BAB 1 PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Kasus penyalahgunaan narkotika dalam beberapa tahun terakhir dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun elektronika yang hampir setiap hari memberitakan tentang penangkapan para pelaku penyalahgunaan narkotika oleh aparat penegak hukum. Salah satunya adalah berita dari INILAH.COM: Tingginya kasus narkotika di Indonesia mengharuskan seluruh elemen untuk menyatakan perang terhadap narkoba. Secara keseluruhan, jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap mengalami peningkatan signifikan. Sebagai perbandingan pengungkapan kasus narkotika; pada tahun 2007 sebanyak 11.380 kasus, 2008 sebanyak 10.008 kasus, 2009 sebanyak 11.135 kasus, tahun 2010 adalah 17.834 kasus serta tahun 2011 sebanyak 19.045 kasus. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere, meskipun hasil pengungkapan kasus menunjukkan kenaikan, namun hasil ini masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah kebutuhan konsumsi narkoba di Indonesia. Berdasarkan perkiraan pada tahun 2011 jumlah kebutuhan konsumsi narkoba terdiri dari Ganja sebanyak 487.242.210 gram, shabu 49.819.381 gram, ekstasi 148.411.620 butir, heroin 1.868.937 gram serta kokain sekitar 33.317 gram. Gories memaparkan, dari beberapa narkoba jenis Amphetamine Type Stimulants (ATS) adalah shabu dan ekstasi. Khusus shabu mengalami kenaikan dalam kurun waktu 2007-2011, sementara jenis ganja, heroin dan ekstasi mengalami penurunan. Untuk mengatasi permasalah tersebut, lanjut Gories, maka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba harus dilakukan secara seimbang. "Perang dilakukan tidak hanya melalui penegakan hukum atau penurunan pasokan saja
tetapi juga dengan penurunan permintaan yang salah satunya secara bertahap diupayakan tersedia lembaga rehabilitasi medis dan sosial di daerah rawan penyalahgunaan," tegasnya saat peresmian Balai Rehabilitasi BNN Baddoka di Makassar, Selasa (26/6/2012). Selain itu BNN juga berusaha mengintensifkan pintu rawan masuknya jual beli narkoba dari luar negeri degan menggunakan sistem interdiksi terpadu, mengintensifkan kerja sama dengan aparat hukum dan eksekutif agency negara lain untuk mengungkap jaringan yang luas. Dan berdasarkan data BNN tahun 2011, kerugian materil yang diakibatkan oleh narkoba lebih dari Rp 41 triliun.1 Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Pada prinsipnya narkotika tidak dilarang jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun demikian, kepemilikan juga harus ada izin tertentu dari pemerintah, yang dilarang adalah peredaran gelap dan penyalahgunaanya. Sebagaimana yang telah diketahui narkoba banyak ditransaksikan secara sembunyi-sembunyi bahkan terkadang sudah terang-terangan di dalam lingkungan masyarakat untuk dikonsumsi dengan mengambil efeknya berupa kesenangan, padahal kita ketahui dampak negatifnya sangat berbahaya yang dapat saja menimbulkan komplikasi berbagai macam penyakit hingga kematian.2
1
Dapat di lihat pada http://nasional.inilah.com/read/detail/1876531/kasus-narkoba-di-indonesiaterus-meningkat. Diunduh pada tanggal 04-10-2012, pukul 15.31 WIB 2 Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tako Cukup Hanya Bicara, Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta, 2005, hal 5.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, dan pidana seumur hidup. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan, mengatur tentang kewajiban rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta adanya peran serta masyarakat dan kewenangan BNN dalam hal penyidikan. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.3 Tidak hanya sebatas pada kalangan remaja atau generasi muda saja, ternyata aparat penegak hukum POLRI yang seyogyanya diplot sebagai garda
terdepan dalam upaya pemberantasan kejahatan penyalahgunaan
narkotika, malah melakukan kejahatan penyalahgunaan narkotika. Kasus penyalahgunaan narkotika yang melibatkan aparat polisi ini terjadi di Semarang sekitar awal tahun 2012, adalah Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. seorang aparat polisi yang bekerja di Polrestabes Semarang telah diduga melakukan kejahatan penyalahgunaan narkotika yakni telah diduga mengkonsumsi shabu-shabu yang termasuk narkotika golongan 1. Tersangka didakwa dengan dakwaan primer yakni Pasal 112 ayat (1) 3
Dapat dilihat pada http://ferli1982.wordpress.com/2011/01/02/kajian-umum-perbandinganuu-no-22-tahun-1997-dengan-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/. Diunduh pada tanggal 20-09-2012, pukul 11.15 WIB
Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika dan dakwaan Sekunder yakni Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang pada hari senin tanggal 25 Juni 2009, yang memutuskan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yakni Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu : “ Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, atau menguasai Narkotika Golongan 1 bukan tanaman ”.4 Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 800.000.000,- dengan ketenttuan apabila denda tersebut tidak dibayar, wajib diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan. Berdasarkan hasil putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Semarang tersebut, Penuntut Umum mengajukan banding pada tanggal 09 Juli 2012, sedangkan terdakwa mengajukan kontra memori banding pada tanggal 19 Juli 2012. Perkara yang diajukan banding tersebut diputus pada hari selasa tanggal 7 Agustus 2012. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa, serta membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Semarang. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa terdakwa Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. adalah pengguna Narkotika jenis shabu-shabu, dan bukanlah pemilik, penyimpan atau penyedia
4
Lihat Pasal 112 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009
sebagaimana diatus dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, akan tetapi terdakwa telah melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu : “ setiap penyalahguna narkotika golongan 1 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun ”.5 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa terdakwa tidak perlu menjalankan pidana penjara, akan tetapi dimasukkan pada Lembaga Rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial. Penulis akan melakukan analisis yuridis melalui perbandingan terhadap kedua putusan dari perkara yang sama tersebut di atas, yakni tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh aparat polisi yang bernama Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. di tingkat Pengadilan Negeri Semarang yang menjatuhkan putusan pidana penjara selama 4 tahundan denda Rp 800.000.000,-, dan Pengadilan Tinggi Semarang yang menjatuhkan putusan bahwa terdakwa tidak perlu menjalani pidana penjara, akan tetapi terdakwa dimasukkan ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Hasil perbandingan ini akan Penulis analisis dengan kajian bagaimana pertimbangan hakim terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Kajian tersebut meliputi bagaimana pemenuhan unsur-unsur yuridis Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri untuk dapat menetapkan terdakwa sebagai
5
Lihat pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Penyalahguna Narkotika, serta pemenuhan unsur-unsur yuridis dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Putusan Pengadilan Tinggi untuk dapat menetapkan pelaku sebagai pengguna narkotika. Dari hasil uraian dalam Alasan Pemilihan Judul tersebut di atas, maka Penulis mencoba menuangkannya dalam penulisan hukum yang berjudul: “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BAGI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 70/PID/SUS/2012/PN.SMG. Jo NOMOR: 237/PID.SUS/2012/PT.SMG.) ”
B. Latar Belakang Masalah Penerapan sanksi pidana bagi Pengguna / Pemakai narkoba seringkali menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis baik secara yuridis, maupun secara sosiologis. Hal ini tentulah berbeda jauh dari tujuan pidana yang telah dipaparkan oleh Barda Nawawi. Menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan pada intinya mengandung dua aspek pokok, yaitu: 6 1. Aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana. Aspek pokok pertama ini meliputi tujuan-tujuan : a. Pencegahan Kejahatan. b. Pengayoman (pengamanan) masyarakat. c. Pemulihan keseimbangan masyarakat : d. Penyelesaian konflik (conflict oplosing) e. Mendatangkan rasa damai (vrede making). 2. Aspek perlindungan / pembinaan individu pelaku tindak pidana (aspek individualisasi pidana). Aspek pokok kedua ini dapat meliputi tujuan : a. Rehabilitasi, reduksi, resosialisasi (memasyarakatkan) terpidana, antara lain: - Agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak atau merugikan diri sendiri maupun orang lain / masyarakat. - Agar berbudi perkerti (berakhlak Pancasila). b. Membebaskan rasa besalah. c. Melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang tidak masnusiawi (pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia). Secara yuridis, seseorang yang melakukan penyalahgunaan narkotika dikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana. Tetapi secara konseptual, oleh karena penyalahgunaan narkotika masuk kualifikasi 6
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, “Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan Perbadingan Beberapa Negara”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal. 49.
sebagai crime whitout victim yang berarti korban kejahatannya adalah pelaku sendiri, maka dalam hal terjadinya penyalahgunaan narkotika yang menjadi korban (kejahatan) itu adalah pelaku. Dengan demikian, secara konseptual seseorang yang melakukan penyalahgunaan narkotika, selain kualifikasinya sebagai pelaku, ia juga adalah korban. Sebelum berlakunya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam rangka penegakan hukum Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang diubah dengan Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah mengatur bahwa sejauh mungkin penahanan tersangka dan terdakwa pecandu Narkotika di tempat tertentu yang sekaligus tempat perawatan. Hal ini tersurat di dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP (Undang-Undang No.8 Tahun 1981), yang berbunyi: “Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan ditempat
tertentu yang
sekaligus
merupakan tempat perawatan.”7 Dengan
demikian
penempatan
tersangka/terdakwa
dalam
perawatan medis bukanlah hal baru. Pengaturan kembali tentang penempatan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika telah secara jelas sebagaimana digariskan Bab IX Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:8
7 8
Lihat penjelasan pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP(Undang-Undang No.8 tahun 1981). Lihat BAB IX Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 (1). Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (3). Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 56 (1). Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. (2). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pasal 59 (1). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri. (2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Selanjutnya ketentuan dalam Bab IX tersebut lebih dijabarkan di dalam Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 (Lembar Negara Republik Indonesia No.5211) yang diatur dalam Pasal 13 dan 14. Berdasarkan Pasal 103 undang-undang No.35 tahun 2009 dan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 menyatakan bahwa perintah untuk menjalankan rehabilitasi medis dan/atau sosial hanya dapat dilakukan berdasarkan : a. Putusan Pengadilan bagi pecandu yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. b. Penetapan Pengadilan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah dan tersangka yang masih di dalam proses penyidikan atau penuntutan. Selanjutnya Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 menyatakan bahwa pecandu narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Ketentuan Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 memberikan kewenangan kepada Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
untuk menempatkan tersangka dan terdakwa selama proses
peradilan di lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial dan agar sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2), maka kewenangan penyidik dan penuntut
umum dalam
implementasinya
merupakan
rekomendasi, sekaligus memperkuat rekomendasi Tim Dokter untuk
Penetapan Hakim tentang penempatan di dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Sebagai contoh dari penerapan aturan hukum mengenai rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial bagi pengguna/pemakai Narkotika, Penulis akan melakukan analisis yuridis terhadap perkara penyalahgunaan narkotika yang menimpa seorang anggota Polisi di Polrestabes Semarang. Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. yang diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu : “ tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman “.9 Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang, unsur-unsur dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika telah terpenuhi dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu : 1. Unsur setiap orang. Unsur “ setiap orang “ dalam hal ini adalah menunjuk kepada subyek hukum yang diajukan ke persidangan karena yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam perkara
penyalahgunaan
narkotika di atas adalah Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. Rumusan tindak pidana di dalam buku Kedua dan Ketiga KUHP biasanya dimulai dengan kata “barang siapa”. Ini mengandung arti
9
Lihat pasal 112 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subyek tindak pidana pada umumnya adalah manusia.10 Dari penjelasan mengenai unsur barang siapa / setiap orang di atas, jelaslah bahwa unsur setiap orang sebagai subyek tindak pidana / subyek hukum telah dapat terpenuhi. 2. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman. Yang dimaksud dengan “ tanpa hak atau melawan hukum “ adalah apabila perbuatan itu dilakukan tanpa adanya ijin dari pihak yang berwenang. Sedangkan, unsur selanjutnya yaitu “ memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman “ sifatnya adalah alternatif dari beberapa perbuatan, dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan maka unsur kedua ini dipandang sudah dapat terpenuhi. Berdasarkan pemaparan unsur-unsur dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yang kesemua unsurnya telah dapat terpenuhi dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yoga Adi Nugraha, S.H.,M.Hum., maka terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut. Yaitu: ”tanpa hak atau melwan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan ! bukan tanaman”.
10
Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana. Jakarta. Rajawalai Pers. Hlm.54.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam persidangan,11 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana narkotika melanggar Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan oleh karenanya terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 800.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, wajib diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan. Berdasarkan putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang tersebut di atas, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Banding. Berkaitan dengan pengajuan banding dari Jaksa Penunut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan Narkotika, atas nama Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum., Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa tidak sependapat dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa terdakwa seharusnya tidak dikenai Pasal 112 ayat (1) UndangUndang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang berpendapat bahwa terdakwa adalah pengguna narotika jenis shabu-shabu, dan bukanlah pemilik, penyimpan, atau penyedia sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009, akan tetapi terdakwa telah melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No.35 tahun 2009, yaitu: “ Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ”. 11
Berkas Putusan dari Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara Narkotika a.n Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. terlampir.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang juga berpendapat bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 07 April 2010 No:04 tahun 2010 poin 2 sub b nomor 1, bahwa terdakwa yang sewaktu ditangkap ada barang bukti sebanyak 1 gram atau kurang, perlu mejatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, sesuai pula dengan petunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juli 2011 Nomor :30 tahun 2011. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan untuk membatalkan putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang. Oleh karenanya terdakwa tidak perlu lagi untuk mejalankan pidana penjara dan membayar denda sesuai dengan putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang, akan tetapi terdakwa dimasukkan ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial. Dari perbandingan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di atas, maka akan dikaji bagaimana pemenuhan unsur-unsur yuridis dalam Pasal 112 ayat (1) pada Putusan Pengadilan Negeri untuk dapat menetapkan terdakwa sebagai Penyalahguna Narkotika, serta pemenuhan unsur-unsur yuridis dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a pada Putusan Pengadilan Tinggi untuk dapat menetapkan terdakwa sebagai pengguna Narkotika, yang selanjutnya akan dikaitkan dengan kerangka teori yang ada.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan penulis angkat adalah : Bagaimanakah pemenuhan unsur tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Pasal 112 ayat (1) dan/atau dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam studi kasus Putusan
No:
70/PID/SUS/2012/PN.SMG.,
dan
Putusan
No:
237/PID.SUS/2012/PT.SMG ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan ini adalah: Untuk mengetahui manakah putusan Hakim yang paling tepat dalam perkara penyalahgunaan narkotika antara Putusan Hakim Pengadilan Negeri yang memutus Pidana Penjara bagi terdakwa Yoga, ataukah Putusan Pengadilan Tinggi yang memutus bahwa terdakwa Yoga dimasukkan ke dalam panti rahabilitasi.
2. Manfaat a. Manfaat Akademis Sebagai tambahan referensi untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana seorang hakim memutus suatu perkara pidana khususnya dalam
perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang didakwa dengan dakwaan alternatif
b. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang hukum khususnya mengenai teori-teori hukum pidana dalam kajiannya terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian Juridis Normatif yang jika dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, mengetahui, memahami, dan mendiskripsikan Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terhadap kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam tulisan ini.
2. Pendekatan Di dalam suatu peelitian hukum terdapat berberapa macam pendekatan. Pendekatan tersebut akan membantu peneliti untuk
menemukan jawaban dari isu hukum yang diangkat.12. Penulis akan menggunakan pendekatan Kasus (Case Approach), secara tegas Penulis menyatakan akan melakukan analisis yuridis terhadap putusan dari Majelis
Hakim
Pengadilan
Negeri
Semarang
dengan
no:
70/PID/SUS/2012/PN.SMG berkaitan dengan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan pidana penjara dan putusan dari Majelis
hakim
Pengadilan
Tinggi
Semarang
dengan
no:
237/PID.SUS/2012/PT.SMG berkaitan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi dan meniadakan putusan dari Pengadilan Negeri Semarang berkaitan dengan penanganan perkara tindak pidana narkotika pada judul skripsi ini.
3. Bahan Hukum Dalam hal dilakukannya penelitian yang bersifat normatif atau penelitian hukum kepustakaan, bahan hukum yang dikenal adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.13. Pada penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis, Penulis akan mempergunakan bahan hukum yang semestinya digunakan dalam penelitian hukum normatif, yakni bahan hukum primer yaitu perundang-undangan yang meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum 12
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian HUkum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hlm 93-95. 13 Soerjono Soekamto. 1995. Penelitian Hukum Normatif. Hlm. 13.
Acara Pidana, Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Peraturan Pemerintah RI No:25 tahun 2011, Surat Edaran Mahkamah Agung No:04 tahun 2010, dan Surat Edaran Mahkamah Agung No: 03 tahun 2011. Bahan hukum sekunder yang akan Penulis gunakan adalah putusan
hakim
Pengadilan
70/PID//SUS/2012/PN.SMG,
Negeri
putusan
hakim
Semarang
No:
Pengadilan
Tinggi
Semarang No: 237/PID.SUS/2012/PT.SMG, buku-buku teks, dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan hukum pidana, khususnya tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Terakhir, bahan hukum tersier yang akan Penulis gunakan adalah Kamus.
4. Unit Amatab dab Unit Analisis Unit amatan dari penulisan ini adalah Undang-Undang No: 35 tahun 2009 tentang Narkotika, putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang No: 70/PID//SUS/2012/PN.SMG, dan putusan hakim Pengadilan Tinggi Semarang No: 237/PID.SUS/2012/PT.SMG, serta unit analisisnya adalah pertimbangan hakim mana yang tepat dalam menjatuhkan putusan bagi penyalahguna narkotika, apakah Putusan Pengadilan Negeri ataukah Putusan Pengadilan Tinggi.