Menjaga(l) Putusan MK: ‘Early Warning System’ bagi Serangan Balik Para Koruptor1 Zainal Arifin Mochtar2 Serangan balik para koruptor bukan hanya ‘isapan jempol’. Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, fakta-fakta berbicara bahwa betapa sering para koruptor menggunakan berbagai cara untuk terbebas dari korupsi. Bagai virus dan anti-virus, pelaku korupsi dan gerakan anti korupsi juga tengah bertarung. Metode terbaru (dan paling konstitusional) adalah dengan cara menyerang lembaga yang sedang getol melakukan pemberantasan korupsi melalui constitutional review di Mahkamah Konstitusi (MK). Ironi memang. Ketika MK ternyata telah menerima beberapa logika yang diajukan oleh para koruptor untuk membuat lembaga pemberantas para koruptor menjadi ‘cacat’. Harus dicatat, telah dua kali MK mengoreksi kekuatan pemberantasan korupsi oleh KPK. Koreksi MK atas KPK Kali pertama adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan oleh Bram Manoppo dkk. Hal yang terpokok pada Putusan ini adalah mengenai penggunaan asas retroaktif. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, yang antara lain menyatakan “....hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun...”. MK sebagai penafsir konstitusi, pernah membangun semacam yurisprudensi dengan menolak penggunaan asas retroaktif, seperti yang pada pertimbangan hukum di perkara yang lalu, yakni pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.013/PUUI/2003 tentang pencabutan prinsip Retroaktif terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada Putusan terdahulu itu, MK secara tegas mengutarakan bahwa Perundang-undangan Pidana, baik dalam konteks Hukum Pidana Formil maupun Materiel tidak membenarkan untuk diberlakukan surut atau ex post facto law. Artinya, hal ini menjadi suatu pengakuan dan justifikasi bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan atau Prospective Law, bukan sebaliknya dengan memberlakukan surut suatu aturan hukum. 1 Opini hukum yang dituliskan khusus untuk acara Expert Meeting dengan Tema “Menyelamatkan KPK” bertempat di Yogyakarta, 12-13 Oktober 2006, yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGM, Indonesian Court Monitoring (ICM) dan Kemitraan. 2 Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGM.
1
Ketika membahas hal ini, MK berjalan-jalan ke beberapa pasal lainnya. Logika hukum yang dibangun oleh para hakim adalah; Pertama, Pasal 72 memberikan rumusan yang sangat jelas bahwa UU KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002; Kedua, Pasal 70 UU KPK yang mengatur tentang saat KPK mulai melaksanakan tugas dan wewenangnya, yaitu paling lambat 1 (satu) tahun setelah UU tersebut diundangkan. UU KPK diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, dan sekaligus berarti saat itu pulalah KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya; Ketiga, Pasal 68 UU KPK, menyatakan, kewenangan yang dimiliki oleh KPK adalah untuk meneruskan proses yang sebelumnya telah ada dan untuk melanjutkan proses tersebut. Artinya, kewenangan KPK dalam hubungan ini adalah bersifat prospektif, yang baru dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 undang-undang a quo menunjukan bahwa dalam hubungan ini KPK hanya berfungsi melanjutkan proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan yang telah ada sebelumnya yang dilakukan dengan penyerahan tersangka dan berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain dari polisi atau kejaksaan. Konklusi dari ketiga logika ini adalah pada UU KPK (khususnya Pasal 68 yang menjadi dasar utama permohonan), sama sekali tidak berisi pernyataan bahwa seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana atau menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Padahal, hal itulah yang menjadi prinsip utama dari asas retroaktif. Sehingga, tidak tepat jika Pemohon menggunakan pasal itu untuk menerangkan adanya pelanggaran hak konstitusional dalam bentuk pelanggaran asas legalitas. Melalui Putusan ini, MK benar pada Putusannya tetapi berbuat terlalu jauh di pertimbangannya dengan menafsirkan Pasal 72 yang sama sekali tidak dimintakan oleh Pemohon. Hal yang seakan membuka ‘kotak pandora’ bagi kemungkinan digunakan sebagai senjata baru para koruptor. Yang lucunya lagi oleh Ketua MK buru-buru dinyatakan bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan MK adalah tidak mengikat.3 Kali kedua adalah Putusan MK No. 03/PUU-IV/2006 mengenai UU Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi. Logika yang diantar oleh putusan ini adalah berangkat dari pengertian asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Oleh karena itu, Putusan MK menjadi logika penegasan bahwa ada yang hal yang terlalu ‘over acting’ dalam perumusan delik (legal drafting) UU PTPK yang memasukkan kalimat mengenai sifat melawan hukum materiil ini dalam penjelasan. MK berpendapat bahwa demi asas kepastian
Padahal secara teori ada dua jenis pertimbangan hukum; Pertimbangan hukum yang menjadi racio decidendi harus mengikat karena menjadi dasar dari putusan. Kedua, pertimbangan hukum yang obiter dicta yang bisa saja dijadikan tidak mengikat karena tidak berhubungan langsung dengan isi putusan. Lihat: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Pengujian Perundang-undangan, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. 3
2
hukum, maka hanya sifat perbuatan melawan hukum dalam artian formil (tercantum dalam aturan perundang-undangan) yang benar untuk dipakai Tampaknya, Putusan MK harus dibaca secara jeli. Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa sistematika dan logika pada putusan ini sangatlah aneh. Karenanya, beberapa catatan harus diberikan agar tidak tertipu dan terjebak pada logika ‘aneh’ MK pada putusan ini. Kita kesampingkan uji materi terhadap beberapa pasal lainnya, dan lebih konsen pada bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang telah diinvalidasi oleh MK. Secara simpel, putusan MK ini membenturkan sifat melawan hukum (wederechtelijk heid) dengan asas legalitas. Jika dibaca menyeluruh, putusan MK terlihat merambah ke pembahasan mengenai sifat melawan hukum (wederechtelijk heid) yang sama sekali tidak dimintakan oleh Pemohon. MK-lah yang tiba-tiba membahasnya karena merasa perlu menjelaskan sifat melawan hukum itu sebelum sampai ke kesimpulan mengenai uji materi Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya di UU PTPK. Ide awal perbincangan sifat melawan hukum dalam putusan ini lahir dari pendapat Ahli, Prof. Andi Hamzah (Putusan MK No. . 03/PUU-IV/2006 halaman 59-60) yang kemudian dielaborasi secara mendalam oleh MK dalam pertimbangan hukumnya dalam menjawab uji materi penjelasan Pasal 2 ayat (1). Lucunya, ternyata Sang Ahli (Prof. Andi Hamzah) telah sedikit ‘meralat’ pendapatnya itu. Dalam diskusi publik atas Eksaminasi Putusan MK No. 03/PUU-IV/2006, Prof Andi Hamzah mengakui putusan MK tidak mengubah apapun karena sesungguhnya sifat melawan hukum sejatinya tetap bisa diterjemahkan ke dalam empat bentuk, yakni formil, materiil, umum dan khusus. Pertanyaannya, jika memang tidak merubah apapun, mengapa dalam persidangan Ahli ngotot untuk mencabut kalimat tersebut dengan alasan demi asas legalitas? (Putusan MK No.03/PUU-IV/2006 halaman 67). Namun, satu hal yang jelas adalah berdasarkan pendapat ahli ini, MK telah memutus hal yang tidak dimintakan secara langsung oleh pemohon dalam posita-nya (ultra-petita). Kemudian, jika Pasal 2 ayat (1) dianggap oleh MK telah melahirkan norma baru sehingga melanggar ketentuan doktrin ilmu perundang-undangan dan menjadi alasan untuk menginvalidkannya, maka hal ini pun bisa diperdebatkan. Lapangan hukum pidana mengenal pembagian sifat melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Eddy O.S Hiariej mengutip Prof. Moeljatno yang pada intinya menyatakan sifat melawan hukum diartikan secara formil dan materiil. Kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang diperlukan agar aturan-aturan hukum mempunyai isi atau arti dan bukan suatu pengertian dalam lisan atau tulisan belaka.4 Artinya, MK-lah yang tidak mengerti ajaran sifat melawan hukum karena menganggap penambahan sifat perbuatan hukum materiil merupakan pembentukan norma baru dalam term wederechtelijk heid. Lebih subtansial, logika putusan MK lahir dari penafsiran MK terhadap asas kepastian hukum. Dengan membuang rasa keadilan masyarakat dan berbagai hal lainnya yang dianggap oleh MK adalah setipe dengan sifat melawan hukum dalam artian materiil, maka tanpa sadar MK telah mengecilkan makna 4
Lihat: Eddy O.S. Hiariej, Memahami Sifat Melawan Hukum, Opini Kompas, 2 Agustus 2006.
3
penegakan hukum hanya dalam jaminan kepastian hukum dan membuang asas keadilan maupun kemanfaatan. Di sini, jelas MK telah menghianati perintah konstitusi, karena perlu diingat bahwa perintah konstitusi sangat jelas dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, “Indonesia adalah negara hukum” yang berarti juga selayaknya mengadopsi ketiga asas tersebut, baik kepastian, keadilan maupun kemanfaatan. Menyitir kata Prof. Mahfud MD (2006), politik hukum memasukkan konsepsi negara hukum ini pada amandemen Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini, karena Indonesia ingin membangun negara hukum yang berdasar atas rechsstaat dan rule of law. Masih dari perintah konstitusi, MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, diberi petunjuk dalam Pasal 24 ayat (1), “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Artinya, MK juga wajib menegakkan segala jenis hukum dan keadilan, tentunya termasuk rasa keadilan masyarakat. Malangnya, MK menjustifikasi penafsiran penegakan hukum hanya dalam bentuk kepastian hukum ini dengan melakukan ‘pemerkosaan’ teks konstitusi. Ini terlihat dari Putusan MK (halaman 75) yang menuliskan bahwa untuk penjelasan Pasal 2 ayat (1), MK merasa perlu untuk mempertimbangkan; “1. Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti,...”. Padahal, teks Pasal 28D ayat (1) konstitusi menuliskan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pada titik ini, semua orang begitu mudah memahami betapa tajam perbedaan antara “jaminan dan perlindungan hukum yang pasti” dengan “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil ...”. MK telah ‘memperkosa’ Pasal 28D ayat 1 ini untuk menjustifikasi pengedepanan kepastian hukum dibanding asas keadilan. Another Potential Lost bagi KPK Kali ini ada hal yang baru lagi. Di MK saat ini telah terdaftar 3 permohonan lainnya yang pada intinya juga ingin mengoreksi kewenangan KPK. Permohonan ini ada pada beberapa pasal pada UU PTPK yang dianggap oleh ketiga pemohon tersebut telah melanggar hak konstitutional para pemohon. PERTAMA, Pasal 6 huruf c UU KPK yang berbunyi “melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi” bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Argumentasi Pemohon (Mulyana W. Kusuma); Bahwa dengan pemberlakuan pasal 6 huruf c UU KPK yang menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”, sesungguhnya mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan hukum, sehingga terdapat pertentangan
4
antara dua atau lebih ketentuan dalam UU yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama dan mengatur materi muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum... Bahwa ketentuan pasal 30 ayat (1) huruf a dan d UU Kejaksaan RI merupakan penegasan tentang tugas dan wewenang kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya pasal 6 huruf c UU KPK, dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terdapat dua aturan yang sama-sama berlaku. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex certa. Bisa saja kita nilai permintaan ini berlebihan karena memperlihatkan betapa lemahnya logika pemisahan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagai penggabungan beberapa fungsi penegakan hukum, jika melakukan analisis hal ini dari sudut pandang integrated criminal justice system yang memang sangat lintas sektoral. Tetapi jika dibaca secara lebih sistematis, permintaan ini sesungguhnya menggugat peran lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan penyidikan terhadap kasus korupsi. Walau tidak berhubungan dengan langsung, hal ini punya kesinkronan dengan ‘komentar’ Ketua MK agar ada penertiban lembaga-lembaga yang melakukan penyidikan.5 Meminjam analisis yang dilakukan terhadap UU KY, maka juga sangat mungkin bagi MK membatalkan hal ini secara sementara untuk kemudian menunggu itikad eksekutif dan legislatif untuk menyinkronkan lembaga-lembaga penyidik ini. Maka ada dua hal yang harus dapat dijelaskan dan didedahkan pada hal ini. Apakah benar telah ada ketidaksinkronan lembaga penyidik karena terlalu banyak pelaku? Apakah ajaran lex certa mengharamkan penyatuan fungsi penegakan hukum dan mengharamkan adanya dua aturan yang sama-sama berlaku dan mengatur hal yang sama? Pertama, adanya beberapa lembaga penyidik bukanlah merupakan alasan untuk membubarkan sementara. Jangan sampai terjadi logika yang sama pada Putusan mengenai UU KY yang lebih memilih kondisi tidak ada hukum daripada hukum yang tidak jelas ataupun ‘tumpang tindih’. Sesungguhnya, dengan mengingat kembali semangat yang terkandung dari pembentukan KPK, sangat jelas hal yang berawal dari keinginan mendorong pemberantasan tindak pidana korupsi ke jalur cepat, karena jalur yang ada yakni melalui kepolisian dan kejaksaan telah berjalan terlalu lambat. Karenanya, meskipun terdapat banyak lembaga penyidik, bukan berarti telah terjadi tumpang tindih, tetapi yang terjadi adalah saling menunjang. Artinya, terbentuknya KPK tidak berakibat pada terjadinya pemangkasan peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan. Dalam UU KPK tidak ada satu pasalpun yang mengurangi Ada beberapa hal yang disampaikan Ketua MK di Pertemuan Partai Golkar tersebut, yakni banyaknya lembaga penyidik telah membebani anggaran negara dan bukan hanya dalam arti uang, tetapi antarpejabat sering kali bertentangan pendapat mengenai satu hal yang menumbuhkan kebingungan rakyat. Lembaga penyidik yang dimaksud Jimly berjumlah hingga 55 lembaga adalah kejaksaan, kepolisian, komisi pemberantasan korupsi, dan 52 lembaga penyidik pegawai negeri sipil, seperti bea cukai, kehutanan, dan pajak. Jimly bahkan berujar, "Rakyat miskin yang makin lama makin banyak makin lama makin bingung. Terkesan pejabat bertengkar sendiri, sibuk mengurus diri masing-masing untuk menambah kewenangan. Kalau ini terus dibiarkan, lembaga penyidik ini akan bersinergi negatif dengan perasaan umum rakyat yang menderita". Lihat: Kompas 18 September 2006.
5
5
kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Dalam Penjelasan Umum UU KPK sangat jelas dinyatakan bahwa “KPK berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi” (trigger mechanism). Bahkan jika dibaca secara detail aturan mengenai KPK dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga lain, sama sekali tidak terdapat aturan yang memangkas atau menghilangkan kewenangan lembaga lainnya.6 Maka logika banyaknya lembaga penyidik di pemberantasan korupsi bukanlah logika yang bisa diterima untuk menyatakan bahwa KPK tumpang tindih dengan kepolisian dan kejaksaan. Kedua, ajaran lex certa yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari prinsip legalitas7, tetapi sesungguhnya tidak berhubungan dengan penyatuan fungsi penegakan hukum ataupun dua lembaga yang mengatur hal yang sama. Asas Lex Certa adalah penempatan substansiel suatu aturan secara tegas dan tidak menimbutkan multi-interpretatif, sehingga tidak dijadikan sebagai sarana penguasa melakukan suatu perbuatan yang dikategorikan abuse of power.8 Karenanya, dalam hal ini tidak memiliki korelasi secara langsung dengan kekhawatiran pemohon. KEDUA, Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;…”, bertentangan dengan pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pemohon (Mulyana W. Kusuma) lalu kemudian menjustifikasi larangan untuk melakukan penyadapan dengan menggunakan Pasal 40 UU No. 36 tentang Telekomunikasi yang berbunyi; “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun” dan menafsirkan hal ini sebagai aturan yang secara tegas telah menjamin hak pribadi seseorang terhadap tindakan penyadapan untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pemohon terlihat tidak jeli karena pada Pasal 41, 42 dan 43 dari UU tentang Telekomunikasi tersebut membicarakan perihal keabsahan untuk melakukan penyadapan dengan mekanisme tertentu khususnya untuk keperluan pidana, walaupun hanya boleh dilakukan oleh penyelenggara jasa komunikasi dengan permintaan dari penyidik. Artinya, Pemohon telah mencampuradukkan antara larangan penyadapan dengan tindakan mendapatkan alat bukti dengan Lihat Pasal 6, 7, 8, 9, 10 dan 50 UU KPK. Allan B. Morrison dalam bukunya Fundamentals of American Law (1996) ada empat aspek akan prinsip legalitas yaitu “law, retroactivity, lex certa dan analogy” yang kesemuanya diaplikasikan lebih ketat. 8 Lihat: Indriyanto Seno Adji, Jurnal Keadilan, 2004., yang dikutip oleh MK dalam Putusan Perkara No. 065/PUUII/2004 tentang Uji Materi UU HAM, halaman 25. 6 7
6
melakukan penyadapan. Dengan membaca ketentuan ini, maka penyadapan bukan merupakan hal yang dilarang sepanjang dilakukan dengan mekanisme yang tepat. Ketentuan yang lahir dari ini adalah penyadapan adalah hal yang konstitusional sepanjang tidak dilakukan dengan illegally obtained evidence. Apa yang terjadi dahulu ketika pengangkapan Mulyana W. Kusuma, bukanlah wilayah MK untuk menilainya apakah itu illegally obtained evidence atau bukan, melainkan wilayah peradilan hukum. MK berada pada wilayah konstitusionalitas penyadapan yang terlihat bahwa sepanjang berhubungan dengan penyidikan suatu perbuatan pidana, maka hal itu adalah hal yang wajarwajar saja. Alasan lainnya diberikan oleh Pemohon lainnya (Nazaruddin Sjamsuddin dkk.) mengenai hal ini yakni KPK yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada aturan tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama dalam penegakan hukum. Sesungguhnya, kewenangan penyadapan yang diberikan pada KPK sama sekali tidak berhubungan dengan hak warga negara untuk rasa aman. Prinsipnya, penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari tindakan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik terhadap suatu tindak pidana. Belum adanya aturan yang jelas bukan berarti KPK menjadi pihak yang bersalah, karena secara jelas aturan mengenai melakukan penyadapan oleh penyidik untuk tindak pidana tertentu tatacaranya akan di atur melalui Peraturan Pemerintah.9 Selain itu, keberadaan pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon telah pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang dimohonkan oleh KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) mengenai keberadaan UU KPK termasuk muatan materi pasal 12 ayat (1) huruf a, yang mana dalam putusan No. 006/PUU-I/2003 tanggal 30 Maret 2004 perkara tersebut menyatakan antara lain: “tidak terbukti pembentukan dan materi muatan Undang-undang No. 30 tahun 2002 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Berdasar ketentuan pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “terhadap materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali”, maka aturan hukum harus ditegakkan dengan cara menolak permohonan pemohon ini. Lihat Pasal 42 ayat (2) dan (3) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyebutkan bahwa; (2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9
7
KETIGA, mengenai jurisdikasi temporal KPK. Pemohon (Tarcisius Walla) menghendaki agar Pasal 72 UU KPK oleh MK dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat untuk diperlakukan secara surut”. Sesungguhnya, ini yang cukup berbahaya karena dahulu MK telah bertamasya banyak dengan menjelaskan hal ini walau hanya dalam pertimbangan hukum Perkara 069/PUU-II/2004. Sehingga, Pemohon terlihat hanya ingin meminta fatwa sesungguhnya dari MK untuk Pasal ini. Ada beberapa hal yang harus dibahas. Pertama, apakah Pasal 72 berhubungan dengan asas legalitas yang dalam hal ini larangan untuk menerapkan aturan retroaktif. Sesungguhnya hal ini tidak berhubungan, karena Pasal 72 hanya lebih dekat pada aturan sejak kapan KPK bisa menangani suatu perkara. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat menolak pemberlakukan ke depan jurisdiksi temporal KPK, hanya saja KPK diperbolehkan mengambil perkara yang sebelum terbentuknya lembaga KPK, melalui mekanisme Pasal 68. Hal ini dilakukan demi mendorong penyelesaian kasus korupsi secara lebih serius, yang artinya demi kepentingan para pencari keadilan. Karenanya, tidak wajar jika MK menimbang hal ini sebagai hal yang merusak asas legalitas. Apalagi, dengan alasan yang sama yakni demi kepentingan para pencari keadilan, MK membongkar pagar temporal MK pada kewenangan judicial review-nya. Karenanya, sesungguhnya hal yang wajar jika KPK juga punya jurisdiksi temporal yang lebih lapang. Kedua, kalaupun hal ini dianggap sebagai bagian dari wajah asas retroaktif, maka hal itu tetap saja menimbulkan perdebatan karena asas retroaktif sangat berwajah banyak. Secara yuridis, wajah asas retroaktif berada pada 2 jenis utama. Pertama, pada pemberlakuan surut inti hukumnya. Ini yang secara mutlak ditolak. Jika ada suatu perbuatan yang dulunya bukan merupakan kejahatan, lalu sekarang dengan ketentuan peraturan yang baru menjadi sebuah bentuk kejahatan, maka penggunaan asas retroaktif memang masuk pada kategori mutlak untuk ditolak; Kedua, pemberlakuan surut ketentuan hukumnya. Jika ada suatu perbuatan yang dari dulunya memang merupakan kejahatan, lalu kemudian ada tatacara baru dalam penanggulangannya, maka penggunaan asas retroaktif menjadi relatif untuk digunakan. Dengan berdasarkan pada pertimbangan tertentu, maka prinsip retroaktif dapat diterapkan. Misalnya, ketika kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan menjadi musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis), maka asas ini dapat dikesampingkan. Melihat korupsi dari kacamata ini, maka sangat membuka kemungkinan bagi dilakukannaya kekuasaan retroaktif bagi jurisdiksi KPK. KEEMPAT, Keberadaan Pengadilan Tipikor jika ditinjau dari Pasal 1 Angka 3 yang berbunyi “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dikaitkan
8
dengan Pasal 53 yang berbunyi “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Hal ini dianggap oleh Pemohon (Nazaruddin Sjamsuddin dkk.) akan melanggar Prinsip Kemadirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman serta menimbulkan Ketidakpastian Hukum dan Ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 24 (1) dan (2) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Konstruksi alasan pemohon adalah bahwa Pasal 1 angka 3 UU KPK telah menempatkan pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran bagian “Menimbang” huruf b UU KPK menunjukkan bahwa pengadilan tipikor tidak berada dalam bagian kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif), dan Pengadilan Tipikor justru lebih erat dan/atau merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif). Bahwa sangat sulit diharapkan Pengadilan Tipikor dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara merdeka, mandiri dan imparsial sebagai suatu lembaga pengadilan yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman serta dapat memberikan kepastian hukum, karena konsep pembentukan sejak awal sudah tidak sesuai dengan UUD 1945, serta tidak sejalan dengan konsep negara hukum, maka keberadaan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional (ex falso quo libet). Bahwa pembentukan dan pengaturan Pengadilan Tipikor di dalam UU KPK bersama dengan pembentukan dan pengaturan lembaga KPK, maka pasti akan menimbulkan banyak permasalahan sehubungan dengan independensi dan kemerdekaannya dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Pemohon terlihat terlalu gegabah dengan menyimpulkan KPK berada di ranah eksekutif dan bukan yudikatif sehingga dapat dipertanyakan independensinya. Sangat jelas, di dalam konstitusi telah tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) dan (3) yang menyebutkan; (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Hal ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan tentang adanya peradilan khusus yang dibentuk ke dalam salah satu lingkup peradilan dan di dalam penjelasan Pasal 15 tersebut disebutkan peradilan tindak pidana korupsi adalah salah contohnya. Karenanya, kekhawatiran pemohon tidak menjadi beralasan karena pengadilan tipikor berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. KELIMA, keberadaan KPK yang dikaitkan dengan Pasal 2 UU KPK yang berbunyi “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi” jo. Pasal 3; “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
9
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun” dan Pasal 20 UU KPK “(1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; (2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. menerbitkan laporan tahunan; dan c. membuka akses informasi” telah melanggar prinsip dan konsep negara hukum yang berkedaulatan rakyat, yang mewajibkan setiap Penyelenggara negara untuk senantiasa tunduk terhadap landasan negara hukum, yaitu bahwa setiap tindakan negara harus mempertimbangkan kepentingan kegunaan (doelmatigheid) dan landasan hukum (rechmatigheid). Pemohon kemudian mendalilkan bahwa UUD 1945 telah menetapkan 8 (delapan) organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama/ sederajat, yang secara langsung menerima konstitusional dari UUD 1945, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Bahwa kewenangan organ negara yang berdasarkan perintah Undang-undang seharusnya didasarkan dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945 guna menghindarkan kekacauan sistem ketatanegaraan, menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi, serta menghindari terjadinya penyalahgunaaan kekuasaaan (abuse of power). Bahwa ternyata dalam UU KPK, telah menjadikan KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di luar kerangka sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden. Bahwa sebagai organ kenegaraan baru yang mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD 1945, yang sebetulnya telah terbagi dalam beberapa kekuasaan, maka dapat dimaknai bahwa KPK merupakan atau dapat disebut sebagai lembaga ekstra konstitusional. Secara teori ketatanegaraan, ketika merumuskan bagaimana suatu lembaga negara di luar eksekutif, yudikatid dan legislatif, maka ada 3 teori yang sering ditawarkan. Pertama, separation of powers yang berciri tidak menerima kehadiran lembaga-lembaga penunjang tersebut, sehingga bisa disimpulkan sebagai ekstra konstitutional. Kedua, separation of function yang berciri masih bisa menerima kehadirannya sepanjang berhubungan dengan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif. Ketiga, check and balances yang berciri menerima sepenuhnya kehadiran lembaga penunjang lain sebagai bagian prinsip kekuasaan ke-4 atau ke-5 dari cabang kekuasaan legislatif, yudikatif dan
10
eksekutif.10 Dalam konsep check and balances ini, maka tidak tepat dikatakan adanya lembaga ekstra-konstitutional. Pemohon terlihat tidak memahami ketentuan organ negara yang terkandung dalam konstitusi termasuk yang telah pernah ditafsirkan oleh MK. Dalam pertimbangan hukum Putusan MK Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 telah menyebutkan bahwa terdapat dua pembedaan makna yang signifikan dari penyebutan lembaga negara dengan menggunakan huruf kecil dan huruf kapital pada L dan N. Yang dimaksud “Lembaga Negara” tidak sama dengan “lembaga negara”. Penyebutan suatu lembaga sebagai “lembaga negara (dengan huruf kecil)” tidak berarti memberikan status “Lembaga Negara” pada lembaga yang bersangkutan. Dalam penjelasan selanjutnya MK menjelaskan tentang kelahiran institusi-insitusi demokratis dan ‘lembagalembaga negara’ dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam penjelasan MK disebutkan bahwa: Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan yang lebih besar.11 Adapun dalam amar putusan MK tentang kasus ini, MK menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara” tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam UUD 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti UU dan bahkan Keppres.12 Artinya, lembaga apapun tetap memiliki sisi konstitutionalitas meskipun dibentuk bukan dalam konstitusi. Bahkan, untuk menyebutkan bahwa hanya ada 8 lembaga negara yang diakui oleh konstitusi, juga merupakan perihal yang sumir, karena sampai saat ini masih ada beberapa jenis penafsiran untuk menentukan lembaga yang ada di konstitusi. Prof. Mukthie Fadjar (2004), menuliskan bahwa setidaknya terdapat 3 jenis penafsiran13, yaitu; Pertama, penafsiran luas. Artinya semua lembaga negara yang tercantum dalam UUD 1945 dapat digolongkan sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan Lihat: Peter L. Strauss, The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch, 1984, Columbia Law Review. Lihat juga di dalam, John H. Garvey dan Alexander Aleinikov, Modern Constitutional Theory, West Publishing and Co, Minnesota, USA, 1994, halaman 296. 11 Lihat : Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 halaman 21-22. 12 Ibid, hal. 79. Dari hal ini maka ada beberapa lembaga negara yang dibentuk melalui UU, yakni paling tidak ada 10 yaitu; (a) Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) (b) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), (c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), (d) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), (e) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), (f) Komisi Nasional Untuk Anak (Komnas Anak), (g) Komisi Kepolisian, (h) Komisi Kejaksanaan, (i) Dewan Pers, dan (j) Dewan Pendidikan. Sedangkan yang dibentuk berdasarkan Keppres diantaranya adalah Komisi Ombusdman Nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan, dll. 13 Lihat: A. Mukthie Fadjar, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, makalah pada Diskusi terbatas bertema “Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Mekanisme Penyelesaian di Mahkamah Konstitusi”, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, Oktober 2004. 10
11
melalui UUD 1945. Kedua, penafsiran moderat, yakni yang hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara; Ketiga, penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implisit dari ketentuan Pasal 67 UU MKRI. KEENAM, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence). Pasal 40 UU KPK Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Melanggar Prinsip Persamaan di Muka Hukum dan Kepastian Hukum, serta bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Pemohon beralasan bahwa berdasarkan Pasal 40 UU KPK, KPK dinyatakan tidak berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Artinya bahwa seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi Terdakwa. Hal ini berbeda bagi tersangka perkara tindak pidana korupsi yang penanganan perkaranya diajukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Sehingga, ketentuan ini jelas-jelas telah mencabut dan melanggar hak-hak asasi warga negara atas kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diberikan dan dijamin oleh konstitusi, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasan permohonan ini sesungguhnya tidak tepat karena tidak mengurangi hak azasi warga negara yang sama di hadapan hukum. KPK adalah lembaga khusus yang memiliki mekanisme khusus. Kakhususan ini telah diakui oleh Penjelasan Pasal 15 UU No. 4 Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa peradilan tindak pidana korupsi masuk dalam lingkup pengadilan khusus yang berada di bawah Mahkamah Agung. Tentunya, jika hal ini dianggap sebagai diskriminasi, maka pengadilan anak, pengadilan pajak dan beberapa pengadilan khusus lainnya harus juga dikatakan sebagai bagian dari program diskriminasi, karena masing-masing pengadilan itu juga memiliki ketentuan-ketentuan khusus (lex specialis). Karena kekhususan ini pula, maka KPK juga memiliki mekanisme penghentian perkara secara khusus. Perkara tidak dapat dihentikan di tingkat penyidikan, tetapi bisa dihentikan di tingkat penyelidikan. Dalam hal penyelidikan tidak mendapatkan bukti permulaan yang cukup, maka KPK dapat menghentikan penyelidikan.14 Prinsip ini menjadi momentum kehati-hatian bagi penyelidik sebelum menetapkan proses penyidikan suatu kasus. Hal ini juga harus dipahami pada kewenangan khusus KPK untuk melalui Pasal 68 UU KPK menyatakan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”. Adapun Pasal 9 dimaksud berbunyi, 14
Lihat: Pasal 44 ayat 3 UU KPK.
12
“Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: (a) laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; (b). proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; (c) penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; (d) penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; (e) hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau (f) keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan”. Kewenangan ini mendorong KPK untuk bekerja keras mendorong penyelesaian tindakan korupsi yang telah terkatung-katung. Apalagi tipologi korupsi pra KPK, merupakan korupsi yang serius dengan jumlah yang sangat besar tetapi dengan komitmen penyelesaian yang minim. Selain daripada itu perlu kami sampaikan, keberadaan pasal 40 UU KPK sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon telah pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang dimohonkan oleh KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) mengenai keberadaan UU KPK termasuk materi muatan pasal 40, yang mana dalam putusan No.:006/PUUI/2003 tanggal 30 Maret 2004 perkara tersebut menyatakan antara lain: “tidak terbukti pembentukan dan materi muatan Undang-undang No. 30 tahun 2002 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Oleh karena itu pasal 40 UU KPK tersebut tidak dapat diuji kembali berdasarkan pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “terhadap materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali”. KETUJUH, Pemohon (Nazaruddin Sjamsuddin dkk) mendalilkan bahwa kalimat mendapatkan perhatian masyarakat pada Pasal 11 huruf b UU KPK yang selengkapnya berbunyi; “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: ... (b). mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;...” telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Alasannya adalah aturan ini sangat sumir jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. Perihal suatu hal yang tidak ada tolok ukurnya dapat dikatakan menjegal asas legalitas merupakan hal yang masih dapat diperdebatkan. Secara teori hukum tata negara, sebuah konstruksi aturan hukum harus menghindarkan diri dari ketidakjelasan dengan menggunakan doktrin the constitutional doctrine of void for vagueness.15 Akan tetapi, tidak semua sesuatu yang tidak memiliki tolok 15 Lihat: Prof Jeffries, Legality, Vagueness and the Construction of Penal Law, 71. Va. L. Rev. 189, 196-97, 206 – 08, (1985), dimuat dalam Richard G. Singer dan Martin R. Gardner, Crimes and Punishment: Case, Materials and Readings in Criminal Law, 2nd Edition, Mattew Bender and Co., 1996.
13
ukur dapat dinyatakan sebagai hal yang tidak diperbolehkan. Misalnya saja perihal konstitutionalitas suatu peraturan. Ketika MK merumuskan suatu hal yang bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional) juga tidak memiliki tolok ukur yang jelas. Jika dikatakan bahwa bertentangan dengan konstitusi menjadi tolok ukur MK dalam menentukan konstitutionalitas, maka apa yang dimaksud bertentangan itu sendiri juga menjadi sesungguhnya tidak jelas. Ini yang menjadi dasar bahwa sesungguhnya tidak semua hal harus mencantumkan tolok ukur yang jelas dengan penyesuaian terhadap asas legalitas. Penutup: Kepentingan Menjaga(l) Putusan MK Potret menunggangi lembaga penjaga konstitusi sebagai alat para koruptor melakukan serangan balik sesungguhnya telah terlihat. Ada berbagai permohonan baru yang masuk ke MK yang ingin mengulangi kesuksesan pemohon terdahulu. Sehingga, siapapun yang mengaku sebagai pelaku pemberantasan korupsi harus mendengungkan sistem peringatan dini (early warning system) bagi gerakan pukulan balik para koruptor. Ada 2 hal penting dalam kaitan hal ini yakni menjaga MK dari putusan yang kemungkinan memenangkan para koruptor atawa juga menjagal Putusan MK yang telah memenangkan para koruptor. Suatu pertanda agar para koruptor menyadari, menggunakan MK sebagai jalan konstitusional meawan para pemberantas korupsi bukan lagi jalan yang terpilih.[ ]
14