LANDASAN TEORI Sitem Deteksi Dini ( Early Warning System ) Krisis bisa berarti suatu keadaan yang tidak stabil dimana perubahan mendasar bisa terjadi (Fink, 1986). Dalam kamus Webster’s, krisis didefinisikan sebagai suatu titik balik untuk menjadi lebih baik atau buruk dan merupakan saat yang menentukan. Fink (1986) menjelaskan bahwa berdasarkan anatominya terdapat empat tahap dari siklus krisis : (1) tahap krisis Prodomal; (2) tahap krisis Acute; (3) tahap krisis Chronic; dan (4) tahap krisis Resolution.
Prodomal
Resolution
Krisis
Acute
Chronic Gambar 5 Siklus Krisis (Fink 1986).
Pada tahap Prodomal telah terlihat adanya gejala yang mengarah pada keadaan krisis, namun masih sulit untuk diidentifikasi. Pengenalan kondisi krisis pada tahap ini sangat penting guna mencegah terjadinya krisis pada tahap awal dan membuat tindakan untuk menuju titik balik ke keadaan normal. Di tingkat pusahaan, tahap ini merupakan tahap peringatan bagi manajemen perusahaan untuk mengambil tindakan. Kondisi yang terjadi umumnya sangat dinamis sehingga bila pengenalan keadaan krisis ini tidak ditemukan pada tahapan ini maka kondisi akan terus berlanjut menuju ke tahap Acute. Pada tahap Acute, fakta akan terjadinya suatu krisis sudah ditemukan, sehingga akan sangat sulit sekali menemukan keadaan sebagai titik balik menjadi
31
keadaan normal kembali, dan umumnya sudah cukup banyak kerugian atau permasalahan yang taerjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perencanaan dalam penanganan tahap Acute dan seluruh tindakan harus terkontrol dengan baik sehingga intensitas dan lamanya tahap ini dapat dikendalikan.Tahap selanjutnya adalah tahap Chronic, disebut juga tahap pembersihan atau penyembuhan. Pada tahap ini para pembuat keputusan perlu menerapkan manajemen krisis dengan menganalisa kebenaran dan kesalahan dari langkah/tindakan yang dijalankan sebelumnya untuk bahan evaluasi dalam mengambil langkah terbaik selanjutnya. Tahap terakhir dari suatu siklus krisis adalah tahap Resolution, yaitu tahap pemulihan. Penanganan yang dilakukan pada tahapan ini harus yang berhubungan dengan penanganan yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Namun demikian, umumnya metoda penyelesaian pada tahap Resolution tidak sulit dibandingkan dengan penyelesaikan pada tahapan sebelumnya. Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan penanganan tahap Resolution ini, pertama mengidentifikasi tahap Prodomal dan kedua mengontrol penanganan tahap selanjutnya. Mengingat bahwa tahapan-tahapan di atas merupakan suatu siklus krisis, maka akhir dari tahap Resolution ini dianggap sebagai suatu tahap awal dari Prodomal. Fink (1986) menyatakan sulit untuk menentukan kapan dimulai dan berakhirnya suatu krisis, mengingat krisis merupakan komplikasi efek reaksi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya. Dalam penanganan krisis atau manajemen kontrol sangat dibutuhkan satu alat (tools) untuk melakukan pendugaan keadaan lebih awal, yaitu deteksi dini. Deteksi dini merupakan kegiatan pendugaan untuk suatu keadaan dimasa mendatang (forecasting), dengan mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi sebelum sesuatu rencana yang lebih pasti dilakukan (Eriyatno, 1989). Deteksi dini dapat dipisahkan dalam 2 jangka waktu perkiraan, yaitu perkiraan jangka panjang dan perkiraan jangka pendek. Perkiraan jangka panjang kegunaannya lebih ditekankan pada penyusunan strategi, sedangkan untuk penanganan secara rinci didapatkan dari perkiraan jangka pendek yang umumnya digunakan sebagai pedoman
32
bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan. Secara praktis, sistem deteksi dini sangat diperlukan dalam bidang penjadwalan pemakaian atau pengadaan sumber daya yang dibutuhkan agar dapat dioperasikan seefisien mungkin (Satria 1994). Dari segi proses, deteksi dini dilakukan atas dasar 2 teknik utama, yaitu: (a) didasarkan atas catatan dengan waktu yang selanjutnya diekstrapolasikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan teknik-teknik statistik atau model matematik; dan, (b) berdasarkan analisa kuantitatif yang sangat tergantung pada keahlian, pengalaman, dan kepandaian penilai. Metoda deteksi dini secara kuantitatif terbagi dapat dibagi dalam 2 metoda, yaitu metoda deret waktu (time series) dan metoda sebab-akibat (causal). Metoda ini dapat diaplikasikan bila memenuhi beberapa kondisi, seperti : (a) tersedianya informasi masa lalu (historical data); (b) informasi yang didapatkan dapat dikuantitatifkan; dan, (c) asumsi kondisi masa lalu sama dengan kondisi di masa mendatang (continuity). Pada tingkat perusahaan, sistem deteksi dini dikembangkan menjadi bagian dari manajemen resiko. Sistem ini dilakukan secara kontinyu dan merupakan pekerjaan pemantauan resiko dalam melakukan perbaikan arah kebijakan perusahaan (Gilad 2004). Secara diagramatis siklus deteksi dini dalam manajemen resiko ini dapat dilihat dalam Gambar 6 Identifikasi Resiko Indikator
Umpan Balik
Pemantauan Intelijen
Tindakan Manajemen Sinyal
Gambar 6 Siklus Deteksi Dini (Gilad 2004)
33
Beberapa masalah organisasi (perusahaan atau lembaga) tidak dapat memfungsikan sistem deteksi dini dengan baik, dapat teridentifikasi sebagai berikut : Tabel 13 Masalah Organisasi Dalam Penerapan Sistem Deteksi Dini
Identifikasi Resiko
Pemantauan Intelijen
Tidakan Manajemen
Penyebab Kegagalan
Sangat Baik
Lemah
Lemah
Lambat merespon
Lemah
Sangat Baik
Lemah
Kehilangan kesempatan
Santai (couch potato)
Sedang – Baik
Sedang – Baik
Lemah
Lambat merespon
Buta (Blind)
Lemah – Tidak Ada
Tidak Ada
Lemah – Tidak Ada
Tidak ada respon terhadap perubahan
Tipe
Analitik Taktik
Sumber : Gilad, 2004
Tipe analitik (the analytical) uumnya dimiliki oleh organisasi yang melakukan hal-hal yang bersifat penelitian. Organisasi ini umumnya memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan analisis, namun mengalami kegagalan dalam melekukan penerapannya. Organisasi ini memiliki tim yang bagus dalam perencanaan dan dalam membangun komitmen, namun tidak terlaksana dengan baik karena semuanya dalam batas teori dan wacana. Sedangkan tipe taktis (the tactical) dimiliki organisasi yang lebih mengutamakan penelitian intelijen atau taktik pemasaran, namun mengesampingkan dampak jangka panjang dan seringkali terlambat dalam melaksanakan perubahan strategis. Pada tipe santai (the couch potato), organisasi secara internal telah melakukan analisa tentang resiko dan itelijen untuk memonitor tetapi dari sisi manajemen terjadi ketidakserasian. Terdapat kesenjangan antara pimpinan dan pelaksana. Tindakan yang paling sering dilakukan apabila terjadi krisis adalah melakukan reorganisasi. Tipe terakhir hádala tipe buta (the blind) dimana organisasi tidak ada kepedulian sama sekali terhadap pengembangan organisasinya. Tindakan manajemen lebih
34
menyerahkan dan mempercayai semua kepada tenaga ahli luar, dan hasil yang dicapai umumnya kehancuran dari nilai perusahaan atau nilai saham. Keberhasilan penerapan sistem deteksi dini pada organisasi tergantung dari 2 hal penting yaitu kemampuan síntesis pengenalan keadaan dan integritas dari para analis yang mengelola unit deteksi dini, salah satu model sederhana adalah melalui teknik Issue Management Technology (Eriyatno 1998b).
Issue Management Technology (IMT) Teknik ini merupakan salah satu Teknik Manajemen Kritis yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menetapkan prioritas tindakan pada satu situasi yang abnormal/krisis (Eriyatno 1998b). Teknik ini lebih merupakan satu prosedur yang dihadapkan dalam satu ”perihal”. Yang dimaksud dengan perihal ini adalah segala sesuatu yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi kinerja lembaga atau bagian dari lembaga saat ini atau selama jangka waktu tertentu dimasa depan. Manfaat dari IMT ini agar para pengambil keputusan mampu memusatkan perhatian pada keputusan pada saat yang dibutuhkan, serta mampu mengalokasikan sumberdaya dengan tepat. IMT secara efektif dapat bertindak sebagai jembatan antara titik dimana satu lembaga itu berada, dan kemana dia seharusnya berada dalam ketidakmenentuan lingkungan (Eriyatno, 1998b). Untuk menerapkan IMT secara efektif, syarat utama yang diperlukan adalah para pengambil keputusan harus menanggung beban pertanggungjawaban terhadap penerapan IMT, dan bukan mendelegasikan ke bagian lain yang tidak berhubungan. IMT juga memberikan solusi yang baik terhadap teka teki yang timbul karena pemisahan formulasi dan implementasi strategi. Langkah paling penting dalam prosedur IMT ini adalah penyusunan analisa perihal, yang dilakukan dengan cara : (1) tim inti menyarankan segala perihal yang
35
cocok dengan definisi yang direkomendasikan , melalui proses diskusi terbuka; dan, (2) dilakukan tabulasi prioritas perihal melalui matriks 2 dimensi, dimana setiap perihal diprioritaskan atas dasar dampaknya terhadap realisasi tujuan, dan tingkat kepentingan untuk ditanggulangi. Matriks perihal digambarkan dalam tabel berikut : Tabel 14 Matriks Perihal. Dampak
Kepentingan Rendah
Cukup
Tinggi
Rendah
Masukan Baru
Telaah Periodik
Pemantauan Kontinyu
Ada
Telaah Periodik
Pemantauan Terinci
Perencanaan/Tindakan yang tertunda
Mendesak
Pemantauan
Perencanaan/Tindakan yang terunda
Tindakan segera
Sumber : Eriyatno (1998b).
Tahapan penyusunan analisa perihal dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. : 1) Menentukan 5 -10 perihal yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi realisasi tujuan serta memenuhi kriteria logika kritis, 2) Setiap perihal dispesifikasikan sejelas mungkin dan dijauhkan dari perihal yang semu ataupun penyelesaiannya pada tahap ini (umumnya digunakan kalimat tanya mengapa), 3) Jelaskan alasan dan nalar dari pemilihan setiap perihal, 4) Lakukan debat tentang posisi prioritas setiap perihal (Tabel 14), 5) Sesuaikan setiap perihal dengan tujuan, strategi, dan tindakan, kemudian diskripsikan setiap tindakan dalam setiap kotak pada matriks perihal. Setelah langkah tersebut selesai, para pengambil keputusan diharapkan telah mendapatkan snapshots dari seluruh permasalahan. Makin terlambat suatu perihal
36
diidentifikasikan posisinya, semakin mahal dan sulit dalam penyelesaiannya. Dengan demikian, IMT memberikan solusi agar dimungkinkan ulak-alik antara kerja jangka pendek dengan sasaran jangka panjang dalam penetapan prioritas, dimana fokus diarahkan pada kotak tindakan segera.
Teknik Operasi OWA ( Ordered Weighted Average) Teknik ini merupakan cara pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan (stake-holder). Proses pengambilan keputusan diawali dengan penentuan alternatif pilihan keputusan dan kriteria yang digunakan dalam penilaian setiap alternatif keputusan. Penilaian oleh setiap pakar untuk setiap kriteria pada setiap alternatif dapat dinyatakan dalam bentuk label linguistik fuzzy (Marimin et al, 1997). Proses agregasi pendapat pakar digunakan operator Ordered Weighted Average (OWA) – (Yager 1993). Bobot faktor nilai pengambil keputusan ditentukan dengan formula :
Q(k) = Int [ 1 + k * ( q – 1 ) / r ] dimana, q = jumlah skala penilaian r = jumlah pakar k = 1,2,3……… Proses agregasi pakar selanjutnya menggunakan rumus sebagai berikut Vi = f (Vi) = Max
[ (Qj) ∧ BJ ]
dimana, Vi = nilai total untuk alternatif ke- i Qj = bobot ke- j bj = urutan dari skor alternatif ke- i yang terbesar ke- j
37
Analisa Resiko Batas Ambang (Treshold Risk Analysis) Analisa resiko ambang batas (treshold risk analysis) dimaksudkan untuk menentukan batas ambang dalam pengembangan sistem diteksi dini sebagai awal untuk melihat faktor resiko yang akan terjadi dari hasil diteksi yang dikembangkan. Pengaruh dari hasil tersebut akan mempunyai dampak langsung terhadap satuan tertentu.
Untuk keperluan analisis ini digunakan adaptasi teknik-teknik proses
kontrol statistik (Statistical Process Control – SPC) yang umum digunakan dalam memantau dan meningkatkan performansi proses dalam menghasilkan produk yang berkualitas secara kontinyu (Montgomery, 1996). Sampai saat ini SPC merupakan suatu alat yang ampuh dalam pemecahan masalah pencapaian stabilitas proses dan memperbaiki kemampuan melalui reduksi dari variability (Leonard, Long 1992). Untuk keperluan penelitian, teknik yang digunakan adalah adaptasi dari teknik peta kontrol (Control Charts). Peta kontrol pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter A. Sheward dari Bell Telephone Laboratories, pada tahun 1924. Pembuatan peta kontrol ini dimaksudkan untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi
yang
disebabkan oleh penyebab-khusus (special-causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab-umum (common-causes variation). Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pada hakekatnya semua proses menampilkan variasi, dan para manajemen sangat berkepentingan untuk mengendalikan suatu proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab-khusus dari proses tersebut, sehingga variasi yang melekat pada proses hanya disebabkan oleh variasi penyebabumum (Christensen 1996). Penggunaan peta kontrol, meliputi (Gaspersz 1998) :
Menentukan apakah suatu proses berada dalam pengendalian secara statistikal. Dalam keadaan terkendali - secara statistikal, semua nilai rata-rata dan rentang (range) dari sub-sub kelompok (subgroups) dari sampel berada dalam batas-batas pengendalian (control limits), sehingga variasi penyebabkhusus tidak ada lagi dalam proses.
38
Memantau proses secara terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil secara statistikal dan hanya mengandung variasi penyebab umum.
Menentukan kemampuan proses (proses capability). Setelah proses berada dalam pengendalian statistikal, batas-batas dari variasi proses dapat ditentukan. Selanjutnya, elemen dari peta kontrol dapat dibagi menjadi 3 bagian utama
sebagai berikut (Gaspersz 1998) : •
Garis tengah (Central Line), umumnya dinotasikan dengan CL.
•
Batas kontrol (Control Limits), yang terdiri atas : -
•
Batas kontrol atas (upper control limit) atau dinotasikan sebagai UCL yang ditempatkan diatas garis tengah Batas kontrol bawah (lower control limit) atau dinotasikan sebagai LCL yang ditempatkan dibawah garis tengah
Tebaran (plotting) nilai-nilai dari karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Bila tebaran nilai berada dalam batas-batas kontrol tanpa memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dapat dianggap sebagai kondisi terkontrol (secara statistikal). Sedangkan, bila nilai-nilai tersebut berada diluar batas-batas kontrol atau menunjukan kecenderungan yang tidak normal, maka proses yang berlangsung dapat diidentifikasikan sebagai keadaan diluar kontrol, sehingga perlu diambil tindakan korektif.
UCL
CL
LCL Keterangan : Proses terkendali • Proses tidak terkendali
Gambar 7 Peta Kontrol.
39
Model umum untuk peta kontrol dari x buah contoh (sample), dapat ditulis sebagai berikut (Gaspersz 1998) : UCL Center Line LCL
= μx + L σx = μx = μx - L σx
dimana : μx = rata-rata dari x σx = standar deviasi dari x L = bilangan konstan, yang merupakan ‘distance’ (jarak) dari garis tengah dalam satuan unit standar deviasi, misalnya L = 3, 6 … n Secara umum, penghitungan rata-rata dari contoh secara ststistik dapat dihitung dengan formula (Makridakis et al 1998) : N
μ
∑ =
xi
i= 1
N
dimana, N = jumlah contoh Sedangkan, standar deviasinya dapat dihitung menggunakan formula dasar sebagai berikut : N
σ2 =
∑ (x
i
-μ
)2
i =1
N
atau, dapat dituliskan dengan formula sebagai berikut :
N
σ = σ2 =
∑ (x
i
- μ)2
i=1
N
40
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network – ANN) Jaringan Syaraf merupakan satu representasi buatan dari otak manusia (human brain) yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia (Kusumedewi, 2003). Didasarkan pada mekanisme kerja otak manusia tersebut, mulai dirancang suatu perangkat lunak yang menerapkan sistem kerja seperti otak manusia untuk pemecahan permasalahan, yang disebut Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Inspirasi JST dimulai dari studi tentang mekanisme proses informasi yang berlangsung pada sistem jaringan syaraf biologi (biological nervous) pada otak manusia (Bishop 1994). Istilah buatan atau tiruan digunakan karena jaringan syaraf ini diimplementasikan dengan menggunakan program komputer yang mampu menyelesaikan
sejumlah
proses
perhitungan
selama
proses
pembelajaran
(Kusumadewi, 2003). Konsep pertama dari aktivitas otak manusia digunakan dalam bentuk model perhitungan pada psychology text yang dibuat oleh William James pada tahun 1890 (Illingworth, 1991). Pada tahun 1936, Alan Turing adalah orang pertama yang melakukan studi bahwa otak merupakan suatu computing model. Pengertian dan pemahaman JST mulai diterima dan dikembangkan pada antara tahun 1890 sampai 1949. Sejak tahun 1950 sampai sekarang, studi dan riset telah banyak berkembang untuk berbagai bidang kegunaannya (Kusumadewi, 2003) Berbagai aplikasi JST dikembangkan untuk memprediksi berbagai persoalan, terutama pemrosesan yang melibatkan data majemuk dan dinamik seperti pada permasalahan penjualan (sale), pemasaran (marketing), dan masalah sosial, baik melalui persamaan dengan menggunakan variabel yang linier maupun non-linier (Suykens et al 1996; Chu 2003). Model peramalan dengan menggunakan model JST banyak digunakan karena dapat membuktikan bahwa data yang secara hipotesis tidak mempunyai korelasi terhadap variabel utama tetapi dapat memberikan kontribusi yang kuat terhadap hasil peramalan yang dihasilkan (Zhang, 2004).
41
Konsep Dasar Jaringan Syaraf Tiruan (JST) JST terdiri atas sejumlah elemen pemrosesan informasi yang disebut neuron (Bishop 1994). Neuron merupakan sel syaraf biologi (nerve cell) otak manusia yang merupakan sel aktif elektrik (electrically active cell). Terdapat 3 bagian penting dari neuron sederhana, yaitu : (1). Dendrit (dendrites) berfungsi sebagai membawa informasi/signal; (2) Cell body berisikan inti sel (nucleus); dan, (3) Axon berfungsi membawa signal keluar. Setiap neuron mempunyai satu inti yang bertugas melakukan pemrosesan informasi. Selain menerima informasi, dendrit juga dapat merupakan axon sebagai keluaran dari suatu pemrosesan informasi. Informasi atau rangsangan dari hasil olahan ini akan dilewatkan oleh dendrit untuk menjadi masukan bagi neuron lain melalui synapsis (Synapses). Setiap neuron biasanya berhubungan dengan beribu-ribu neuron lainnya. Oleh karena itu total jumlah dari synapis dalam otak manusia melebihi 1014 unit (Bishop 1995).
Gambar 8 Neuron. Sumber: Mehrotra et al (1997)
Cara komunikasi antara sistem neuron adalah dengan mengirimkan impulse listrik. Hubungan komunikasi antara neuron diterima oleh synapsis melalui dendrit, yang kemudian diteruskan melalui axon untuk disampaikan ke inti sel. Komunikasi yang keluar dari suatu neuron akan dikeluarkan oleh axon untuk dikirimkan ke synapsis milik neuron lainnya melalui dendrit. Ketika impulse yang dikeluarkan
42
menyentuh suatu synapsis, memunculkan chemical neuro-transmitters yang melewati setiap hubungan synaptic ke neuron lainnya. Bentuk dari synapsis akan mempengaruhi baik meningkatkan atau mengurangi kemungkinan dimana subsequent neuron mengirimkan signalnya (Mehrotra et al. 1997). Secara proses, komunikasi yang terjadi pada neuron secara sederhana dapat dijelaskan melalui Gambar 9. Proses komunikasi didalam neuron dan antara neuron sesuai penjelasan dinamankan elemen pemproses (Processing element - PE) yang merupakan operasi dasar dari JST (Stergiou 1996). Dendrit
Informasi
Bobot Inti Sel (Cell Body) Dendrit
Informasi
Bobot
Dendrit
Informasi
AXON
Penjumlahan
Threshold
Bobot
Gambar 9 Neuron sebagai Elemen Pemroses. Sumber: Stergiou C.(1996)
Arsitektur Jaringan JST adalah suatu sistem pemrosesan informasi yang memiliki karakteristikkarakteristik yang menyerupai jaringan syaraf biologi (Marimin, 2005). Karakteristik ini dicirikan melalui hubungan antar neuron (arsitektur), metoda penentuan bobot pada saluran penghubung (training/learning algoritm), dan fungsi aktivasi yang digunakan (Skapura 1996).
43
Sebagaimana neuron, PE (Gambar 9) menerima input sebagaimana yang dilakukan dendrites, kemudian memproses input yang masuk sebagaimana yang dilakukan cell body, dan memberikan output sebagaimana dilakukan oleh axon. Cell body akan memproses data yang diterima melalui proses summation yang terntunya mempunyai suatu batasan tertentu (threshold) untuk memutuskan suatu tindakan yang perlu dilakukan (Bishop 1995). Tindakan yang perlu dilakukan akan dikomunikasikan melalui axon. Model komunikasi antara neuron dapat bermacam-macam. Komunikasi neuron dapat terjadi bahwa output yang dihasilkan dapat menjadi variabel input kembali pada neuron yang sama (Gambar 10). Xn merupakan input-input yang diterima dari neuron. Input tersebut dihubungkan oleh dendrit dalam keadaan sebenarnya, dan Yn merupakan output dari neuron, atau berupa axon, dimana output ini dapat dijadikan input kembali dalam pemrosesn selanjutnya. Dalam menghasilkan output neuron tergantung oleh batas ambang level yang telah ditentukan. Input yang banyak dengan menghasilkan satu output dimungkinkan dalam PE. Pada saat input masuk ke PE, masing-masing akan bereaksi secara berbeda sebagaimana yang terjadi pada neuron. Untuk PE dapat menghasilkan suatu nilai output, setiap input akan diproses didalam PE, setiap input mempunyai bobot faktor (weighting factor), sebagaimana yang diberikan berbagai synaptic strength (kekuatan menerima/menyalurkan komunikasi data) dalam biological neurons. Beberapa input akan menjadi lebih penting dari yang lain, tetapi secara bersamaan kombinasi yang diberikan oleh input-input akan menimbulkan impuls. Bobot (weight) secara initial dapat disesuaikan sesuai dengan aturan yang di set dalam networks. Output yang dihasilkan oleh PE merupakan penjumlahan dari input dikalikan dengan bobotnya. Gambar 11 memperlihatkan bahwa setiap input (Xn) mempunyai bobot faktor (Wn), kemudian input diproses di dalam PE untuk menghasilkan output.
44
X1
W1
X2
W2
Σ
Yj
. . . Wn Xn
Gambar 10 Elemen Pemrosesan dengan Input.
Fungsi Aktivasi Proses input seperti ditunjukan pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa suatu proses dari berbagai input merupakan suatu fungsi yang dinamakan fungsi penjumlahan (summation function). Hasil yang dikeluarkan oleh summation function belum menghasilkan final output namun akan ditransformasi untuk mencapai final output. Summation function diformulasikan sebagai berikut:
y j = ∑ xi wi
Suatu fungsi yang mentransformasi summation function menjadi final output dinamakan transfer function atau threshold (Illingworth 1991). Transfer function dapat berupa fungsi linear ataupun non-linear; tetapi umumnya berupa non-linear. Secara umum, dan tergantung dari threshold yang ditentukan hasil yang dikeluarkan oleh summation function memungkinkan atau tidak memungkinkan untuk menghasilkan neuron yang memberikan final output. Final output tergantung pada situasi apakah hasil yang dikeluarkan summation function dapat ditransformasi atau tidak oleh transfer function. Oleh karena itu transfer function mewakilkan hubungan yang terjadi antara summation function dengan final output. Terdapat bermacam-
45
macam jenis transformation function, pemilihan macam yang digunakan akan mempengaruhi efisiensi dari jaringan yang dibangun. Beberapa fungsi aktivasi yang umum digunakan dalam pemakaian JST, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : o Fungsi Undak Biner (Hard Limiter/Step Function) Fungsi ini umumnya digunakan pada jaringan dengan lapisan tunggal untuk mengkonversikan input dari suatu variabel yang bernilai kontinu ke suatu output biner (0 atau 1). Selain itu fungsi ini banyak digunakan pada proses JST yang bersifat image (gambar) dan proses pengambilan keputusan yang sifatnya ya atau tidak saja (Freeman 1993, diacu dalam Kusumadewi 2003). y
1 x
-1 x < 0, y = -1 x ≥ 0, y = 1 Gambar 11 Fungsi Undak Biner.
o Ramping Function Fungsi ini yang memberikan ouput dengan kisaran (range) antara 0 dan 1. Fungsi yang berada di luar kisaran atau tidak berada di kisaran akan memberikan hasil sesuai dengan hard limiter function dimana fungsi linear dirubah menjadi nilai minimum dan maksimum yang mengakibatkan menjadi non-linear (Freeman & Skapura 1991, diacu dalam Mashudi 2001).
46
y
1 x -1 x < 0, y = 0 0 ≤ x ≤ 1, y = x x > 1, y = 1 Gambar 12 Ramping Function.
o Fungsi Sigmoid Fungsi berikutnya dikategorikan sebagai non-linear yang banyak digunakan dalam model finansial dan perdagangan. Bentuk pertama dari transfer function ini dinamakan fungsi sigmoid (sigmoid function) atau dinamakan kurva S (Sshaped curve) (Skapura 1996). Fungsi banyak digunakan dan bekerja dengan baik sehingga merupakan transfer function pilihan. Terdapat berbagai macam fungsi sigmoid seperti: •
Fungsi Sigmoid biner Fungsi ini termasuk katagori non-linier, dan umumnya digunakan untuk jaringan syaraf yang dilatih dengan menggunakan metoda propagasi balik (backpropagation). Fungsi sigmoid biner memiliki nilai pada rentang 0 sampai 1, sehingga fungsi ini sering digunakan untuk jaringan syaraf yang nilai outputnya terletak pada interval 0 sampai 1. y
y=
1 x Gambar 13 Fungsi Sigmoid Biner
1 (1 + e − x )
47
•
Fungsi Sigmoid Bipolar
Fungsi sigmoid bipolar hampir sama dengan fungsi sigmoid biner, hanya saja nilai output fungsi ini memiliki rentang antara 1 sampai -1. y
x ≥ 0, y = 1 −
1
1 (1 + x)
x < 0, y = −1 +
1 (1 − x)
x -1 Gambar 14 Fungsi Sigmoid Bipolar
•
Fungsi Symmetric Sigmoid Fungsi ini umumnya digunakan digunakan dengan tingginya tingkat kompleksitas dan sifat data yang dinamik, seperti pada operation research dan proses forecasting (prediksi) yang melibatkan data dari berbagai sumber yang tidak homogen dan sifat dinamik yang berbeda (linear dan non-linear). y
y= 1 x -1
Gambar 15 Symmetric Sigmoid Function.
2 −1 (1 + e − x )
48
o Fungsi Hyperbolic Tangent (Tanh)
Sebagaimana fungsi sigmoid, fungsi Tanh lebih menekankan pada sifat yang kontinu dan data yang lebih menyebar yang tidak mengeluarkan output dengan nilai yang drastis (Grossberg 1988).
y y = tanh(x) 1 x -1
Gambar 16 Fungsi Hyperbolic Tangent. o
Fungsi Gaussian Fungsi ini umumnya digunakan pada kasus-kasus probabilistik dimana permasalahan yang ada akan dikatagorikan pada kondisi resiko yang terkecil (Ellio & Watanabe1991, diacu dalam Mashudi 2001). y y = e(x2) 1 x
Gambar 17 Fungsi Gauss.
49
Lapisan JST (Layers)
Pada jaringan syaraf, neuron dikelompokkan dalam bentuk lapisan (layer) yang disebut dengan lapisan neuron (neuron layers). Biasanya neuron-neuron pada satu lapisan akan dihubungkan dengan dengan lapisan-lapisan sebelum dan sesudahnya terkecuali lapisan input dan output. Informasi yang diberikan pada jaringan syaraf (input) akan dirambatkan dari satu lapisan ke lapisan lainnya, sampai dihasilkan informasi yang dibutuhkan (output). Secara singkat proses ini dapat dikatakan informasi diterima oleh lapisan masukan (input layer) dan dirambatkan ke lapisan keluaran (output layer) melalui lapisan tersembunyi (hidden layer). Melihat proses tersebut dapat dikelompokan 3 jenis layer dalam JST antara lain adalah input layer, hidden layer dan output layer, dimana dimungkinkan JST terdiri dari 0 sampai beberapa hidden layer. Dan tergantung dari prose algoritma pembelajaran, bisa jadi proses informasi yang dirambatkan di proses secara mundur.
Input Layer
Hidden Layer
. . .
. . . .
Output Layer
. . .
Gambar 18 Lapisan JST.
50
Input layer merupakan lapisan yang menerima input. Lapisan ini umumnya tidak mempunyai fungsi didalamnya selain hanya bersifat penyangga (buffer) terhadap input yang masuk. Hidden layer merupakan lapisan internal dan tidak mempunyai kontak langsung terhadap lingkungan eksternal. Sedangkan output layer merupakan lapisan yang membangkitkan (generated) jaringan output. Secara teoritis, terdapat 2 macam jaringan yaitu feedforward dan back propagation network. Feedforward terjadi bilamana hasil dari PE bukan merupakan input pada simpul yang berada dalam layer yang sama. Sebaliknya feedback network terjadi ketika hasil yang dikeluarkan dapat diarahkan menjadi input pada simpul sebelumnya atau pada simpul dalam level yang sama (Tang 1993). Pada saat perubahan pada bobot dilakukan dalam preceding layer pada feedforward network dengan cara terbalik dimulai dari output dinamakan back propagation (Weigend et al 1990). Fungsi Pembelajaran (Learning Function)
JST melakukan proses pembelajaran melalui pembobotan yang membuat PE dapat memodifikasi fungsi yang ada sebagai respon dari input yang masuk. JST akan melihat output yang diinginkan dan membandingkan dengan ouput yang dihasilkan oleh JST. Jika penyimpangan yang dihasilkan dari hasil pembandingan tersebut besar maka JST akan menyesuaikan bobot dan mengulang kembali proses yang ada. Terdapat tiga karakteristik penting dalam proses pembelajaran (learning process) yang merupakan metoda penentuan bobot dalam JST, yaitu : (1) Pembelajaran terawasi (supervised learning); (2) Pembelajaran tak-terawasi (unsupervisedlearning); dan, (3) Pembelajaran terawasi sendiri (self-supervised learning). Dalam pembelajaran terawasi proses pembobotan dilakukan dengan melalui modifikasi hubungan bobot (weight connection) dalam JST sehingga tercapai kesesuaian dengan output yang dihasilkan dengan yang diharapkan. Tujuan dari proses ini adalah untuk meminimalkan galat (error) antara output yang diharapkan
51
dengan output yang dihasilkan tersebut. Sebelum melakukan aplikasi model, sangat penting melakukan pembelajaran atas JST yang dibangun. Data input dan output yang digunakan dalam phase pembelajaran (training) dinamakan sebagai training set, dimana dalam ’set’ tersebut setiap input dipasangkan bersama dengan output yang diharapkan. Pasangan input dan output tersebut mempunyai fungsi sebagai teacher (Deco & Obradovic,1996). Kemudian algoritma pembelajaran (learning algoritma) merubah hubungan bobot sedemikian rupa sehingga perbedaan yang terdapat antara output yang diharapkan dengan output yang dihasilkan akan menjadi minimal. Proses pembelajaran dianggap selesai bila JST yang dibangun menghasilkan output yang disyaratkan dari satuan input, dan bila tidak dibutuhkan training maka bobot ditetapkan (Rumelhart et al 1986). Unsupervised learning (pembelajaran tak terawasi) tidak membutuhkan teacher output pada proses pembelajarannya. Faktor external yang dapat mempengaruhi JST untuk merubah bobot juga tidak terdapat. Unsupervised learning juga dapat dinamakan sebagai self-supervised learning. Tujuan dari pada unsupervised learning adalah mengkoreksi hubungan bobot (weight connection) sedemikian rupa sehingga output yang dihasilkan JST memberikan representatif yang berguna berdasarkan statistik environment (Deco & Obradovic,1996). Self-supervised learning (pembelajaran terawasi sendiri) digunakan untuk JST tertentu dimana mereka memonitor kinerja secara intern dan tidak membutuhkan external teacher. Signal error digenerasi oleh sistem JST itu sendiri dengan mengembalikan secara sendiri. Hasil yang diharapakan dilakukan melalui beberapa proses iterasi. Teknik Heuristik
Menurut Thierauf dan Klekamp (diacu dalam Eriyatno 2003), program heuristik merupakan titik pandang dalam merancang suatu program untuk tugas
52
pemrosesan informasi yang kompleks. Teknik heuristik merupakan pengembangan dari operasi aritmatika dan matematika logika. Beberapa ciri teknik heuristik secara umum dapat dikenali sebagai berikut : (1) penggunaan operasi aljabar, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian; (2) adanya perhitungan secara bertahap; dan, (3) mempunyai tahapan yang terbatas sehingga dapat dibuat algoritma komputernya. Selanjutnya, George Poyla (diacu dalam Kristanto 2004) mendefinisikan heuristik sebagai studi tentang sebuah metoda dan aturan penemuan. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan proses pencarian. Heuristik dalam pencarian ruang keadaan (state space) digambarkan sebagai aturan untuk memilih cabang-cabang dalam ruang keadaan yang paling memungkinkan penyelesaian permasalahan dapat diterima. Pemilihan teknik heurisik dimungkinkan selain dapat menyederhanakan lingkup pengambilan keputusan juga dapat menggunakan program komputer untuk pemecahan masalah yang kompleks dalam waktu singkat. Pada program heuristik tidak ada suatu model yang baku, sehingga untuk setiap permasalahan menggunakan program heuristik yang spesifik (Eriyatno, 2003). Selain itu, heuristik tidak menjamin adanya pemecahan yang optimal, tetapi menjamin suatu pemecahan yang memuaskan pengambil keputusan.