Menjadi Politisi dan Birokrasi dalam Otonomi Daerah1 Muchtar Ahmad2
Ringkasan Mempertimbangkan budaya egalitarian masyarakat di Riau—tanpa pengalaman kasta dan feodalisme yang hierarchical, harapan dapat melembagakan sistem demokrasi sepenuhnya, maka pemerintahan otonomi yang berfungsi secara efektif akan mempunyai dasar yang cukup baik. ‘Demokrasi lokal’ yang merupakan perwakilan suku dalam kerapatan adat maupun ‘taulan masyarakat’ dalam membuat kebijakan dapat berkembang ke arah sistem demokrasi penuh. Dalam mengatur pendayagunaan sumberdaya dan lingkungan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat maupun memberikan pelayanan yang terbaik bila dipadukan dengan budaya demokrasi lokal terutama di perkampungan, akan memperkaya pelaksanaan otonomi daerah. Hal itu akan lebih mungkin diwujudkan bila otonomi daerah menjamin berkembangnya kepemimpinan bersama, yang di dalamnya dimasukkan putera daerah, termasuk dalam ‘recruitment politisi dan birokrasi di daerah. Suatu sistem yang semakin terjauh dari penyimpangan dan tanpa hal-‐hal yang berlebihan (excessive), tetap diperlukan bagi menjamin kemurnian tujuan demokrasi dan otonomi daerah mau pun hakikat berdirinya republik ini. Atau pilihan bertahan dengan yang dilakukan dan me neruskan selama ini, yang jelas tidak menjamin keterpaduan negeri ini. Kata kunci: demokrasi lokal, ideologi, kebijakan, otonomi, putera daerah, sistem. Pendahuluan Sesuai dengan maknanya sebagai kekuasaan di tangan rakyat, demokrasi berada dalam ranah politik dan wajahnya berkaitan erat dengan budaya politik. Sebagai budaya politik, demokrasi adalah merupakan tatanilai, keyakinan, pilihan persepsi dan sikap yang mempengaruhi prilaku masyarakat yang berada dalam suatu sistem politik, terutama yang memperagakan demokrasi itu. Dengan demikian jelaslah bahwa baik demokrasi, otonomi daerah maupun sistem politik adalah alat dan bukan tujuan. Dalam kaitannya dengan dibentuknya Indonesia, tujuan politiknya adalah masyarakat adil dan makmur, dengan misi utamanya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan alatnya di antaranya adalah demokrasi. Oleh sebab itu adalah wajar bila demokrasi sebagai bagian sistem politik kehadirannya diukur dari sejauh mana tujuan itu tercapai meliputi seluruh tumpah darah Indonesia. Maka seyogyanya ke arah tujuan itulah demokrasi dan politik itu diarahkan. Dalam artian luas, politik 1
Makalah pada Lokakarya: ”Demokrasi dan Otonomi Daerah”, yang ditaja kerjasama Institut for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau dengan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia, Jakarta, yang diadakan pada tanggal 20 dan 21 Juni 2009. 2 Peneliti pada Riau Institution (An Economy Research Institute), Jalan Gunung Kelud No. 1, Pekanbaru 28142, Riau, Indonesia.
mencakup kekuasaan negara, partai, ekonomi, sosial, dan sebagainya; baik sebagai budaya maupun sebagai struktur, yang di dalamnya terkandung alur, kewenangan, serta kekuasaan; yang diwarnai oleh ideologi, strategi dan program. Di Indonesia setelah melewati masa lebih 55 tahun (1945-‐2000) dengan sistim politik yang secara sentralistis dikendalikan oleh diktator dan otoriter militer telah mengantarkan rakyat dan negara kepada akhirnya keterpurukan, jauh dari tujuan didirikannya Indonesia merdeka. Melalui suatu gerakan reformasi yang spontan pada tahun 1998 dibangun sistem politik dan demokrasi, yang di antaranya menghasilkan otonomi daerah mulai tahun 2000. Secara normal, demokrasi dan otonomi daerah akan lebih lurus jalannya pada masyarakat yang egalitarian, tidak miskin dan berpendidikan. Masyarakat Melayu Riau rela-‐tif berbudaya egalitarian, karenanya akan lebih mudah menerima demokrasi. Apalagi secara tradisional hal itu ada dasarnya dalam tradisi masyarakat Melayu, suatu bentuk ‘demokrasi lokal’. Melalui para kepala adat setiap suku segala kepentingan dibicarakan dengan cara merapatkannya bagi menghasilkan mufakat yang akan dilaksanakan bersama karena keputusan atau kesimpulannya diambil secara bersama berdasarkan kehendak mempertemukan kesamaan dan tanggapan yang sama terhadap masalah ataupun tujuan yang hendak diwujudkan. Dengan cara demikian itu, beribu tahun masyarakat Melayu berada dalam perkembangan yang dinamis, sampai merasuknya kekuasaan yang materialistis dari feodalisme dan imperialisme, maupun kapitalisme liberal yang semakin nyata pada akhir-‐akhir ini. Konsensus untuk mencapai tujuan bersama yang dipayungi kekuasaan demokratis berangsur lenyap, diktator dan otoriter muncul, dan korupsi merajalela, yang semuanya berujung dengan menghancurkan demokrasi lokal maupun iktikad baik otonomi daerah. Walaupun secara mendasar demokrasi modern dapat diterima dengan adanya akar demokrasi lokal itu, akan tetapi karena sebagian besar penduduknya berpendidikan hanya rata-‐rata lima tahun saja, terutama di pedesaan yang juga umumnya miskin, maka dalam menjalankan demokrasi banyak hal yang belum selaras dengan hakikat demokrasi maupun tujuan otonomi daerah. Makalah ini membincangkan hal-‐hal yang berkenaan dengan gagasan ideologi yang dikandung oleh demokrasi lokal, dan pendayagunaannya dalam otonomi daerah, berkaitan dengan persoalan putera daerah, yang disambungkan dengan ‘recruitment’ politisi dan birokrasi di daerah Riau. Demokrasi Lokal Secara nisbi masyarakat Melayu berbudaya egaliterianisme. Prinsip yang merupakan panduan dalam memperlakukan individu adalah persamaan kedudukan semua orang. Anggapan awalnya ialah bahwa semua orang, tanpa ada alasan yang baik dan berlawan-‐an, haruslah diperlakukan sama. Oleh karena itu, tantangannya adalah tehadap fihak yang beralasan bahwa jenis kelamin harus didiskualifikasi untuk suatu jabatan atau kerjaya (career), atau bahwa kemiskinan haruslah merintangi seseorang untuk memperoleh pendidikan atau pelayanan publik serupa lainnya. Karena itu perjuangannya justru memenuhi kesamaan hak dan kewajiban. Hal itu dipandang suatu yang bernilai tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan
kegiatan dalam kerapatan adat atau ‘tolan masyarakat’3 sebagai wadah memufakatkan hal-‐hal yang berkenaan dengan adat istiadat, konflik maupun upaya me-‐majukan kesejahteraan masyarakat umumnya. Tolan masyarakat dan kerapatan adat itu agaknya tak dapat dinafikan sebagai bentuk demokrasi yang dimiliki dan berakar di masyarakat, terutama di kampung-‐ kampung Melayu di daerah aliran sungai. Mungkin inilah yang dapat disebut sebagai demokrasi lokal yang asli.4 ‘Demokrasi lokal’seperti itu, merupakan lembaga permusyawaratan para perwakilan suku yang terdiri dari para kepala adat masing-‐masing suku, yang mengadakan perbincangan tentang kepentingan dan tujuan bersama anggota adat dalam lembaga kerapatan adat. Sedangkan yang bersifat umum dan muncul sejak kemerdekaan Indonesia ialah suatu badan yang disebut ‘taulan masyarakat’. Badan ini telah berhasil membuat berbagai kebijakan menyangkut kepentingan umum dan tujuan kesejahteraan bersama, serta kemajuan masyarakat dan kampung. Kelembagaan seperti itu, tentu saja dapat dijadikan dasar dan dengan mudah mempunyai peluang berkembang ke arah sistem demokrasi penuh atau murni. Namun sejak semakin ketatnya sentralisasi selama rentang waktu 50 tahun (1958-‐1998) dengan pemerintahan diktator dan otoriter militer, terutama sejak diputuskannya UU No 5/1974 tentang pemerintah daerah, yang mengatur sampai kepada tatanan masyarakat pada tingkat pedesaan dengan menggunakan satu-‐satunya model di pedesaan Jawa, maka semua kelembagaan di pedesaan di luar Jawa hancur lebur. Sedangkan penggantinya sama sekali tidak berfungsi termasuk di daerah transmigrasi sendiri yang pemukimnya terdiri dari peserta transmigasi dari Jawa dan Bali. Padahal lembaga kerapatan adat maupun badan taulan masyarakat itu dapat dipandang sebagai suatu modal sosial, karena ia merupakan suatu jaringan bersama yang bercorak kebajikan saling memberi berdasarkan kepercayaan (trust) untuk mencapai tujuan bersama (Bourdieu, 1986; Hasbullah 2006). Suatu budaya dan masyarakatnya dapat dianggap sebagai modal sosial, apabila serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat itu, memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Akumulasi modal sosial adalah suatu proses budaya yang rumit dan dalam banyak hal misterius. Di satu sisi pemerintah bisa dengan mudah membuat keputusan dan kebijakan yang berpengaruh memberangus modal sosial. Namun, di sisi lain pemerintah juga menemui banyak kesulitan dalam memahami bagaimana membangun modal sosial kembali (Fukuyama, 2002). Sebagai sosial tentulah ada kepemimpinan di dalamnya. Dalam demokrasi lokal, sebagai modal sosial, tradisi kepemimpinan bersama (collective leadership) dengan tujuan yang jernih 3
Tolan atau taulan artinya kawan, teman atau sahabat. Tolan masyarakat adalah suatu bentuk badan musya-‐ warah yang berbeda dengan kerapatan adat, yang anggotanya adalah pucuk suku dan substansi yang dimu-‐ syawarahkan berkenaan dengan adat-‐istiadat, keluarga, dan konflik antar fihak suku. Sedangkan tolan ma-‐ syarakat adalah badan musyawarah yang anggotanya terdiri para tokoh masyarakat, termasuk pucuk suku, cerdik-‐pandai, imam dan pejabat resmi tempatan tanpa membedakan jenis kelamin dan pendidikan, mau pun asal-‐usul; dengan fungsi utamanya memajukan masyarakat atau kesejahteraan kampung halaman. 4 Tentu saja dalam istilah ini tidak lazim dalam ilmu politik maupun antropologi sekali pun.
yang dibangun atas hasrat dan harapan bagi mewujudkan suatu kehidupan yang lebih baik. Kepemimpinan berama yang kuat itu memiliki dengan sengaja pandangan gambaran masa depan (visionary) yang jelas, membuat keputusan yang cepat dan tepat (decisive), yang taat azas kepada kesejahteraan masyarakat (consistency) dengan tekad kuat agar masa depan yang lebih baik itu wujud dengan wajarnya. Kepemimpinan di pedesaan jelas menghindari otoriterianisme dan bahkan tidak akan berhasil menegakkan suatu rezim yang diktator. Sekaligus, walaupun demikian, ternyata bahwa demokrasi lokal dan kepemimpinan bersama yang sama; sebenarnya amat lemah ketika berhadapan dengan pemerintahan negara yang otoriter maupun diktator militer yang berhasil menghancurkan tatanan modal sosial di pedesaan Riau khususnya. Malangnya lagi, tatanan baru yang direkayasa menurut model dari pedesaan Jawa tidak berhasil menggantikan dengan lebih baik, sehingga masyarakat desa menjadi semakin terintegrasi dan pemiskinan terjadi dengan semena-‐mena, tiada lagi badan yang memperhatikan dengan seksama membangun kesejahteraan masyarakat desa. Maka ketika otonomi daerah diberikan, tidak banyak yang dapat berbuat keadaan yang lebih baik, karena ketiadaan modal sosial. Bila yang dimaksud dengan demorasi lokal itu adalah penerapan demokrasi di daerah, maka dapat disimak dari berbagai kejadian selama ini. Demokrasi diterapkan di daerah, seperti di Indonesia lainnya, adalah sistem parlementer. sistem parlementer ini telah terbukti secara nyata stabil di bawah kekuasaan diktator dan otoriter militer. Akan tetapi stabilitas demokrasi lewat parlementer itu nyatanya telah menjadikan stagnasi. Perhatian ditumpahkan dan menarik hati berakar secara relatif di ceruk struktur kelompok klas tertentu. Namun tak ada keberehasilan usaha untuk membagkitkan massa agar melakukan tindakan politik atas nama mereka yang mewakilinya itu. Stabilitas demokrasi politik seperti itu sungguhpun secara jelas lebih mempertontonkan ketidaksamaan yang tinggi (highly inegalitarian) struktur kekuasaan yang diwarisi dari rezim sebelumnya. Berbagai sistem politik telah dialami oleh daerah di Indonesia, tetapi yang mana pun keadaan nyatanya sama, tidak mampu atau tidak memiliki kemauan kuat untuk melembagakan reformasi yang mendasar dengan menjalankan disiplin sosial. Hal itu terlihat dari unjuk rasa yang merusak, penuh tawuran atau di parlemen yang penuh interupsi yang “kekanak-‐kanakan” (childish) dan korup; baik ketika berada dalam suasana kekuasaan yang demokratis maupun otoritrianisme. Bagaimanapun semua kenyataan itu, memberi kesan demokrasi di ‘negeri yang lemah’ (soft state). Singkat kata rezim di ranah politik pada dasarnya tidak kelihatan akan menjadi ‘demokratis. Penetapan calon legislatif di dalam partai, kepala daerah, dan jabatan di pemerintah menggambarkan tidak demokratis, walaupun otonomi daerah sudah disepakati secara resmi, akan tetapi di lingkungan politik hal itu tidak dipedomani. Otonomi daerah tidak mampu menjamah sistem politik partai. Kelompok penguasa kuat yang mendominasi suatu partai walaupun dengan tanpa pengalaman dan hanya sedikit saja memiliki ketertarikan pada akar kegiatan partainya. Karenanya tidak selalu memberikan daya tarik kepada rakyat terhadap demokrasi, yang konon sedang didambakan semua orang. Secara umum keadaan sekarang menunjukkan suatu permainan sebagai tanggapan terhadap demokratisasi atau sebagai suatu refleksi kegagalan
lembaga demokratis untuk sampai mencapai ke akar rumput. Perilaku politik massa rakyat sebagian besar dikendalikan oleh kepribadian perorangan yang menarik perhatiannya lebih karena uang, kesetiaan daerah, dan/atau sentimen agama. Kepentingan para politisi bukanlah idealisme memainkan peran yang bermakna, dengan mengambil peluang mumpung kekuasaan ditangannya, bagi memajukan kesejahteraan masyarakat maupun kepentingan nasional dan daerah. Akan tetapi, demi kekuasaan, uang, prestise, kepentingan pribadi, patronase, dan suap-‐sogok (graft) yang berupa ‘moral hazard’. Politisi yang menjadi pejabat di parlemen maupun sebagai pejabat pemerintah di Riau misalnya, lebih nyata menunjukkan kebusukan itu, namun tidak pernah mendapat pengawasan pemerintah pusat atau penegak hukum. Seakan dalam kejahatan politik dengan moral hazard yang terjadi, memang diberikan otonomi yang seluas-‐luasnya. Politik sedang membentuk hal yang bersifat personal. Sebab pada pertarungan pe-‐milihan umum, sebagian besar menghindari hakikat yang bersifat ideologi. Demokrasi politik walaupun masih berfungsi, namun amat jauh dari sempurna. Oleh karenanya, demokrasi mungkin saja sedang menuju kehancurannya. Hal itu ditambah lagi disebabkan oleh pelbagai anasir lain, dari anasir yang telah dikemukakan di atas. Otonomi Daerah dan Putera Daerah Otonomi daerah di Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi politik dan demokrasi suatu kurun waktu. Perhatikanlah pemahaman otonomi pasca kemerdekaan yang disebut dengan otonomi yang seluas-‐luasnya (tercantum dalam Undang Undang No. 1/1945, No. 22/1948, dan No. 1/1957). Dalam masa demokrasi terpimpin telah diberlakukan apa yang disebut otonomi yang realistis. Memasuki masa Orde Baru disebut otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab (UU No. 5/1974). Semua itu menunjukkan betapa otonomi secara mudah diotak-‐atik dan diubah sesuai selera rezim yang berkuasa, termasuk pemahaman tenang otonomi itu sendiri. Daerah sendiri, yang amat berkepentingan tidak pernah diberi kesempatan untuk memiliki pemahaman sendiri apalagi menyelenggarakannya. Misalnya pemahaman otonomi daerah menurut UU No. 5/1974 selalu dikaitkan dengan berapa uang daerah yang bisa dieksploitasi atau berapa persentase Pendapatan Asli Darah terhadap RAPBD. Sehingga jelas dengan kasar otonomi darah berkenaan dengan “auto-‐money”. Hal seperti itu secara substantif tidak berubah sampai sekarang ini. Otonomi daerah mengarah kepada pemberian tugas yang merupakan kewajiban pemerintah pusat kepada daerah, bukan perubahan pemahaman makna otonomi sebenarnya. Pemahamannya jelaslah ditentukan oleh pemerintah pusat, sesuai dengan sifatnya yang sentralistis dengan konfigurasi ABRI bersama birokrasi sebagai aktor dominan dalam setiap proses politik. Rekruitmen aparat pemerintah, politisi dan birokrasi ditentukan secara terpusat di Jakarta, baik oleh pemerintah mau pun oleh campur tangan partai. Maka mulai dari aparat pemerintahan sipil, hukum, militer, kepolisian dan kantor wilayah semuanya ditentukan oleh pusat, bahkan diselenggarakan dan keputusan diterima-‐tidaknya merupakan prerogatif pusat. Dalam keadaan seperti itu, masih diributkan tentang istilah putera daerah, sebagai suatu
tekanan dan ‘teror kejiwaan’ bagi daerah. Bila pemerintah dan partai di pusat menetapkan calon yang bukan berasal dari daerah itu, betapapun kompetensinya amat diragukan tidak ada pilihan lain atau daya bagi daerah untuk menolaknya. Kalau seorang pejabat pusat menitipkan keluarganya atau pejabat yang bertugas di daerah membawa sekalian mulai tukang sapu dan satpam sampai kepada stafnya dari daerah lain, hal itu dianggap tak berkaitan dengan putera daerah, karena itu dianggap sebagai suatu yang benar. Akibatnya pemerintah daerah dengan ‘issue’ putera daerah itu menjadi tidak mungkin memenuhi kewajibannya yang harus mempunyai kebijakan terbukanya peluang kerja dan mengurangi pengangguran di daerahnya. Oleh sebab itu, lebih sering terjadi di Riau seorang putera daerah tidak diterima menjadi aparat pemerintah, sementara pencari kerja yang berasal dari daerah lain justru diterima tanpa syarat yang dikenakan pada ‘putera daerah’.5 Semua keadaan itu telah berhasil menyumbangkan ketidakpercayaan kepada otonomi daerah maupun kepada iktikad baik pemerintah pusat, yang pada gilirannya menimbulkan ketidakpuasan, yang bagi Melayu Riau dilakukan melalui jalur ‘ajuk’, ‘aruk’ dan ‘amuk’. Contohnya, ketika terjadi peristiwa Ismail Suko yang terpilih oleh DPRD Riau dengan suara menang telak, tetapi pemerintah pusat tetap menetapkan Imam Munandar yang menjadi Gubernur pada tahun 1980-‐an. Otonomi daerah seyogyanya mengandung dimensi peningkatan kapasitas daerah atau demoratisasi kehidupan politik. Bersamaan dengan itu otonomi adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi maupun efektifnya penyelenggaraan dan pelayanan pemerintah. Dengan cara demikian maka akan semakin jelas otonomi daerah adalah dalam rangka membangun suatu negara bangsa seutuhnya dan kuat. Karena hanya dengan daerah yang kuatlah yang menjadikan Indonesia menjadi kuat, bukan sebaliknya. Dengan filosofi otonomi daerah yang pada hakikat dan substansinya tidak jelas perbedaannya dengan masa Orde Baru, juga masih jauh dari filosofi otonomi daerah yang seluas-‐luasnya pada pasca kemerdekaan, maka pada tingkat kenyataannya otonomi daerah sedang menggali kuburnya sendiri. Karena bukan saja sekedar pemahaman otonomi yang tak dimiliki daerah atau tidak diperbolehkan, tetapi juga sekarang sebenarnya daerah tidak diberikan kewenangan apapun. Kewenangan yang pernah diberikan dan sangat terbatas satu persatu sudah mulai ditarik lagi ke pusat; sehinga yang tinggal sekarang ada-‐lah yang ditugaskan oleh pemerintah pusat belaka. Bila ada daerah yang tidak puas dan berani memberontak, maka diberikan apa yang disebut dengan otonomi khusus menurut pamahaman pusat. Pada hal seyogyanya dalam otonomi yang benar, maka termasuk mengenai ‘discretionary powers’, yaitu kekuasan yang terukur dari seberapa besar kewenangan yang dimiliki daerah dalam mengeksploitasi potensi sumberdaya ekonomi dan lingkungannya bagi memajukan
5
Pada penerimaan pegawai di suatu kabupaten di Riau pada tahun 2008 yang lalu, dari 20 dokter yang melamar dan diterima lima orang, hanya satu yang putera daerah diterima itupun karena pamannya pejabat yang mengurus penerimaan pegawai tersebut. Lebih buruk lagi seorang dokter yang sudah tiga tahun me-‐ngabdi di daerah terpencil itu tidak diterima putera daerah kabupaten tersebut, tetapi rekannya yang baru dua bulan bekerja di puskesmas itu yang berasal dari propinsi lain, justru diterima menjadi calon pegawai. Tidak sampai 10% pegawai perusahaan BUMN maupun swasta besar dan industri besar di Riau yang ber-‐asal dari putera daerah Riau. Demikian pula pegawai jawatan sentral (kantor wilayah) tidak jauh berbeda
kesejahteraan masyarakat maupun memberikan pelayanan yang terbaik, dan pemerintah pusat berperan lebih sebagai pengawas daripada pelaksana. Sesungguhnya bila filosofi otonomi daerah, yang berintikan: peningatan kapasitas, efisiensi, penyelenggaran dan pelayanan pemerintah yang efektif, serta membangun negara bangsa yang utuh dan kuat, dan demokratisasi kehidupan politik, dipadukan dengan budaya demokrasi lokal terutama di perkampungan, maka akan memperkaya pelaksanaan otonomi daerah itu ke arah idealnya. Namun hal itu banyak tergantung pada apakah daerah memiliki keunggulan dan keistimewaan politik yang penting dan pusat mempunyai ketulusan dan rasa keadilan yang jujur? Keberadaan anasir yang bersifat moral dan budaya itu akan menentukan apakah otonomi dapat lebih baik mendudukkan sosial dan ekonomi daerah ke tempat yang lebih tepat dengan cepat. Sistem ‘Recruitmen’ Politisi dan Birokrasi Otonomi daerah diselenggarakan oleh manusia; dalam kelompok politisi maupun birokrasi. Yakni orang yang berkedudukan sebagai aparat pemerintah dan birokrasi yang mendukungnya. Pemerintah daerah terdiri dari gubernur dan DPRD di tingkat provinsi dan bupati dan walikota bersama DPRD kabupaten/kota, yang dilaksanakan oleh birokrasi pada masing-‐masing tingkatan. Karena merekalah pada hakikatnya yang menyelenggarakan otonomi di daerah. Oleh sebab itu tatanan rekruitmen politisi dan birokrasi menentukan kejayaan otonomi daerah. Sebagaimana dinyatakan oleh Afan Gaffar (1995) bahwa filosofi otonomi berkaitan dengan potensi dan sumber daerah yang dirubah pengaturannya oleh daerah sendiri, yang selama ini dalam payung otonomi apapun namanya diatur sepenuhnya oleh pusat. Padahal otonomi daerah haruslah juga dikaitkan dengan besarnya kewenangan yang bisa dimiliki suatu daerah. Satu di antara kunci otonomi yang terpenting adalah kewenangan ‘recruitment’. Sampai dewasa ini kewenangan merekrut gubernur, bupati dan pegawai pemerintah sipil maupun militer, semua aparat pemerintah selalu ditentukan oleh pusat. Apa arti kenyataan ini ialah bahwa otonomi daerah yang dijalankan sepenuhnya berada dalam genggaman pusat. Pada hal otonomi daerah akan lebih mungkin diwujudkan pencapaian tujuannya, bilamana ada jaminan berkembangnya kepemimpinan yang kuat dan berasal dari putera daerah, termasuk dalam ‘recruitment’ politisi dan birokrasi di daerah. Rasionalnya, mustahil pendatang atau orang yang lahir, dibesarkan, memperoleh pendidikan di daerah lain, akan lebih baik tahu tentang daerah dan pekerjaannya tertumpu bagi kepentingan daerah karena kecintaannya pada daerah itu; dibandingkan dengan pada putera daerah. Sebagian besar pendatang atau lebih khusus lagi politisi, aparat pemerintah dan birokrasi dari luar daerah umumnya lebih mementingkan daerah dari mana berasal dari pada daerah di mana dia mencari makan. Khusus di Riau, budayawan UU Hamidy, setengah marah menilai bahwa bagi para pendatang Riau merupakan daerah perburuan! Pada kenyataannya tidak ada pola baku yang dipegang secara taat azas oleh partai ataupun pemerintah pusat berkenaan dengan ‘recruitment’ politisi dan birokrasi di daerah, kecuali
bahwa keputusan ditentukan pusat dan daerah mengemis belas kasihan pusat dengan memberikan (bukan mendapatkan) upeti yang besar. Dalam penetapan calon gubernur, bupati dan walikota, calon legislatif partai, hal itu amat nyata sekali berlaku. Ada suatu partai dalam rangka menentukan calon wali kota dan bupati, dilakukan pemilihan oleh para anggota partai tersebut. Hasil pemilihan umum anggota itu adalah terpilihnya ‘putera daerah’. Akan tetapi, dalam pemilihan Bupati dan Walikota, kenyataannya yang ditetapkan pengurus pusat partai justru yang diajukan partai itu adalah orang yang tidak terpilih sama sekali; tetapi pengurus partai yang berhasil memasukkan uang lebih kepada partai. Hasil pemilihan kepala daerah, ternyata partai itu berhasil menang menjadi wakil bupati, tetapi kalah dalam pemilihan walikota. Tidak wajarkah ‘putera daerah’ kecewa dan membuktikan kekecewaannya dengan tidak memilih (ajuk) misalnya? Oleh karenanya, dengan lebih mempertimbangkan budaya egalitarian masyarakat Melayu Riau—yang tanpa pengalaman kasta mau pun feodalisme dan ‘hierarchial class’ yang ketat— sebagai suatu modal sosial, maka besar harapan agar dapat melembaganya sistem demokrasi yang menjamin sepenuhnya otonomi, bagi mendukung pemerintahan yang berfungsi secara efektif. Hal itu mungkin akan terjadi manakala mempunyai dasar yang cukup memadai untuk menyelenggarakan kepengurusan negara yang baik (good state governance). Ciri kepengurusan yang baik itu setidak-‐tidaknya adalah ketaatan kepada hukum, professionalisme, kewajaran dan adil, kemandirian, keterbukaan, pertanggungan jawab yang terukur, dan keberlanjutan dan keterikatan kepada upaya mencapai tujuan negara. Dengan demikian suatu sistem demokrasi politik yang memungkinkan terjadinya penyimpangan yang jauh dan akan mengecewakan rakyat secara berlebihan (excessive), tetap dihindari. Untuk itu perlulah dibangun sistem demokrasi politik yang dapat menjamin kemurnian tujuan otonomi dalam republik ini. Ideologi dan Kegagalan Di luar kelaziman memahami ideologi, dalam kaitannya dengan perbincangan dalam makalah ini, dimaksudkan gagasan logis yang ideal dikandung demokrasi dan otonomi. Dalam demokrasi ialah kekuasaan berada di tangan rakyat, sedangkan dalam otonomi adalah kewenangan mengatur sendiri. Misalnya ideologi umumnya pemerintah dunia ketiga tentang pembnagunan yang sering dijadikan perhatian pemerintah dan suatu persoalan politik ialah tekad kuat keterikatan kepada egalitarianisme. Konkritnya kesejahteran bagi semua dan sama. Pembangunan ekonomi dianggp wujud, bila terbukti terjadinya suatu penigkatan yang nyata pada tingkat hidup masyarakat secara keseluruhan. Ideologi ini merupakan cirikhas ragam radikal yang mendasari pemikiran suatu negara sejahtera yang unggul. Sedangkan kesamaan sosial—yang mana pemerataan ekonomi hanyalah suatu bagian, suatu penentu maupun suatu akibat—adalah juga dipandang sebagai sasaran yang amat penting. Gagasan ini adalah biasa dikemukakan dalam undang-‐undang dan kadakala sebagai prinsip yang memberi arah dilampirkan. Demokrasi dan otonomi dapat dipandang sebagai penjabaran lebih lanjut dari egalitarianisme, yang walaupun secara tegas disebutkan dalam undang-‐undang secara khusus namun dalam
pelaksanaanya sering tidak memberikan makna yang berarti. Otonomi merupakan subsistem dalam sistem nasional dengan azas desentralisasi yang dilaksanakan secaa bersama dengan azas dekonsentrasi dan perbantuan. Desentralisasi adalah suatu cara mewujudkan demokrasi sebagai peluang kepada rakyat daerah ikut serta dalam peme-‐rintahan dan pembangunan. Oleh sebab itu desentralisasi ketatanegaraan yang disebut juga desentraslisasi politik dilakukan dengan cara pelimpahan kekuasaan mengatur perundangan dan pemerintahan kepada daerah otonom dalam lingkungannya. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan kekuasaan alat perlengkapan negara dari tingkatan yang atas kepada tingkatan pemerintahan di bawahnya bagi melancarkan pekerjaan dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya dari menteri kepada gubernur, dan gubernur kepada bupati dan seterusnya (Suradinata 1995). Dalam kenyataannya prinsip otonomi daerah yang seperti itu banyak yang disunat di sana-‐sini, karena pemerintah pusat mempunyai pemahaman sendiri dan melakukan pilihan otonomi dan daerah mana yang akan diberikan. Tergantung mana yang lebih besar nilai uangnya lalu ditahan atau ditarik secara berangsur dengan berbagai bentuk peraturan dan pelbagai alasan, atau dilihat kuat tidaknya tuntutan daerah. Bagi daerah yang berani dan kaya sumberdaya alamnya melakukan pemberontak memisahkan diri, maka diberikan otonomi khusus. Sedangkan yang tidak berani dan setia kepada NKRI, dipotong perbantuannya, sehingga nilai yang diterimanya semakin jauh berbeda dari daerah yang sama penduduknya walaupun tidak memiliki sumberdaya alam yang banyak. Pada perhitungan perbantuan itu sudah ada rumusnya, yang disusun oleh daerah yang meskin sumber daya alamnya, tanpa mengikutsertakan daerah yang kaya sumberdaya alamnya sendiri. Dalam kenyataannya penerapan otonomi daerah dilakukan pemerintah seperti menghadiri pesta makanan prasmanan, hanya dipilih makanan yang sesuai dengan seleranya. Oleh sebab itu otonomi daerah sesungguhnya gagal dalam mencapai tujuannya menyejahterakan rakyat umum serta memberikan pelayanan yang efisien dan efektif karena gagal menjalankan prinsip dasar otonomi yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuan. Karena pemerintah mempunyai pemahaman sendiri tentang otonomi dan daerah dianggap sebagai ‘musuh’ terhadap kepentingan nasional. Dalam prinsipnya ideologi negara sejahtera yang demokratis diterima secara keseluruhan dengan kesan radikal. Apabila suatu negeri memasuki era pembangunan cepat, maka pemikiran dasar negara sejahtera berisi dalil abstrak yang dikemukakan para pakar, namun tidak merupakan bagian dari filosofi pemerintah. Sebab bagi pemerintah baik daerah maupun pusat, seperti keadaan di masa awal industri ekonomi Indonesia, tekad secara politik menganut doktrin egalitarian adalah suatu tindakan tanpa ada dasar kesejarahan yang mendahuluinya (Myrdal 1968). Oleh karena itu bukanlah suatu yang mudah memadukan ke dalam teori sambil mencari bukti adanya mekanisme yang bersebabkan alasan sosial. Disitulah dapat ditelaah kegagalan mencapai tujuan menyejahterakan rakyat juga disebabkan oleh kegagalan berbagai pemahaman demokrasi dan otonomi pusat, yang sudah diujicobakan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kegagalan memajukan lebih jauh lagi kesejahteraan rakyat dengan arahan demokrasi politik dan otonomi yang benar, juga mencerminkan kenyataan bahwa tidak ada upaya yang bermakna (significant) yang telah dibuat untuk mengorganisir daerah secara keseluruhan untuk meningkatkan kapasitas kompetensinya dalam menjalankan otonomi daerah, tidak juga
didayagunakan egalitarianisme dalam struktur sosial dan ekonomi, seperti tergambar dari adanya otonomi khusus Papua dan Aceh, yang dituntut juga oleh Riau dan Kalimantan Timur tapi tidak dikabulkan. Jadi penyebab utama kegagalan dan kegalauan otonomi adalah tidak disiapkan secara ideologi dan filosofi yang jelas maupun dalam pandangan lain terhadap persoalan publik dalam menggunakan jalan demokrasi dan parlementer. Kenyataan tidak efektif dan tidak stabilnya demokrasi politik dapat berkembang kepada suatu bentuk diktator, otoriter ataupun melalui moral hazard kekuasaan diperoleh, hanya demi mendapatkan kewenangan kekuasaan politik, tanpa mempertimbangkan ideologi, hakikat dan tujuan negara, demokrasi, dan otonomi. Dengan pelbagai alasan dan sebab, demokrasi politik juga gagal berakar di daerah dan terjadilah bentuk rezim otoriter yang menyebar luaskan moral hazard dan menggagalkan tercapainya tujuan kemerdekaan negara maupun otonomi daerah sendiri. Oleh sebab itu biasanya perubahan apapun yang dilakukan umumnya dianggap perlu demi mengubah keadaan yang terjadi, sebab ternyata model demokrasi politik dengan sistem partai seperti yang ada ternyata tidak efektif, korup dan merusak kesatuan nasional, seperti tergambar dari upaya inisiatif yang kuat politisi di DPR memperjuangkan pemekaran daerah. Pemekaran daerah juga pertanda gagalnya otonomi dijalankan oleh daerah, yang erat kaitannya dengan perilaku politisi dan birokrasi pusat. Disintegrasi politik yang pada akhirnya akan diikuti oleh ‘kediktatoran’ kelihatannya cara yang dianggap layak untuk menjamin pemerintahan yang baik dan stabil. Itulah kegagalan demokrasi politik yang sedang dijalankan yang pada gilirannya menimbulkan disintegrasi yang mengkhawatirkan membawa ke bentuk kediktatoran seperti terjadi dalam penerapan otonomi dan perimbangan keuangan daerah dan pusat. Kesimpulan dan Saran Penyelenggaraan otonomi daerah dan demokrasi di Indonesia tidak berlandaskan upaya mencapai tujuan negara, tidak pula merupakan suatu gagasan yang ideal (ideologi atau filosofi)—integralisme, egalitarian, demokrasi, otonomi kesejahteraan, ketulusan, keikhlasan dan keadilan—melainkan bersifat kebijakan yang tergantung dari keadaan dan kemampuan pemahaman politisi dan birokrasi pemerintah pusat. Kalau pemerintah pusat dalam keadaan lemah, maka otonomi daerah diberikan seperti apapun yang diinginkan daerah, terutama bagi daerah yang memberontak atau ingin merdeka. Lalu dengan berbagai cara, bila pemerintah pusat merasa sudah cukup kuat, semua wewenang otonomi daerah yang sudah tercantum dalam undang-‐undang sekalipun dipreteli secara berangsur. Otonomi daerah sebenarnya diinginkan daerah dan sebagai suatu keniscayaan bagi membangun Indonesia yang padu mewujudkan kesejahteraan umum. Namun dirusak oleh moral hazard yang semakin buruk dari pusat yang menjalar ke daerah; bersumber dari politisi di legislatif dan partai, maupun eksekutif dan yudikatif beserta birokrasinya. Tidak ada sistem recruitment politisi dan birokrasi yang berubah dalam otonomi daerah yang sedang dijalankan, semuanya serba terpusat, sedangkan daerah lebih sebagai penerima tugas
atau pelaksana ujian dan semacamnya. Hal ini dapat merupakan sumber kegagalan demokrasi dan penyelenggaraan otonomi daerah. Pustaka Rujukan Bourdieu, P. 1986. The Forms of Capital. Dalam J. Richardson (Ed) Handbook of Theory and Research for Sociology of Education, Greenwood, New York, 241-‐258. Fukuyama, Francis 2002. Trust. Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Penerbit Qalam, Yogyakarta. 14. Afan, Gaffar 1995. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Majalah Ekonomi dan Sosial XIV (4) April 1995, 60-‐63. Hasbullah, Jousairi 2006. Social Capital (Menuju Keungulan Budaya Manusia Indonesia, MR-‐ United Press, Jakarta. Mattulada 1977. Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia, Prisma VI (2) Februari 1977, 35-‐ 43. Myrdal, Gunnar 1988. Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, Vol. II, Pantheon New York, 741-‐797 (Equality and Democracy) Suradinata, Ermaya 1995, Kebijakan Pembangunan dan Otonomi Daerah, Prisma, Majalah Ekonomi dan Sosial XIV (4) April 1995, 65-‐80.