[104] Potret Buruh Perempuan Thursday, 13 June 2013 13:54
Menjadi manajer di rumah sendiri, jauh lebih terhormat
Perempuan bekerja bukan lagi pemandangan langka. Ada yang bergaji tinggi sebagaimana karyawan kantoran yang berbekal titel, ada pula pegawai rendahan yang mendapat julukan buruh. Nah, tulisan ini menyoroti para perempuan bergaji minim ini, berkenaan dengan Hari Buruh 1 Mei.
Ya, fenomena buruh perempuan menarik dikaji. Mereka mengeluarkan tenaga dan menghabiskan sebagian besar waktunya di pabrik, mal atau outlet penjaja komoditas. Pendapatannya tak seberapa, tapi risikonya luar biasa. Mulai diskriminasi, kekerasan hingga pelecehan seksual.
Ambil contoh di ibukota Jakarta. Dari 80.000 orang buruh, 90 persennya merupakan wanita. Dari jumlah itu, 75 persen buruh wanita mengalami kekerasan seksual. Dari catatan tahunan yang dikeluarkan Komnas Perempuan 2012, terdapat 216.156 kasus kekerasan seksual. Di antaranya diterima oleh buruh wanita sebanyak 2.521. Angka itu berdasar kepada buruh wanita yang melaporkan kejadian yang dialaminya.
Menurut Ketua Komunitas Buruh tingkat pabrik Jumingsih, kasus pelecehan seksual itu sering diterima di dalam pabrik. Pelakunya mulai atasan hingga teman pria. “Biasanya buruh diperkosa dengan ancaman tidak akan diperpanjang kontraknya. Ini sudah biasa dilakukan di pabrik di Jakarta Utara,” ujarnya di kantor Kontras, Jakarta Pusat, belum lama ini seperti dilansir tribunnews.com.
Di luar pabrik, peluang pelecehan terjadi saat pulang lembur. Pasalnya, jika pulang lebih dari pukul 22:00, tidak disediakan sarana transportasi yang aman.
1/5
[104] Potret Buruh Perempuan Thursday, 13 June 2013 13:54
Fakta ini mencuatkan keprihatinan. Misalnya yang dipelopori Barisan Maju Buruh (BAMBU) Perempuan. Untuk mengantisipasi pelecehan seksual dan pemerkosaan yang makin marak, BAMBU mengimbau buruh perempuan agar membawa sebilah bambu berukuran 40 cm dalam kesehariannya (Okezone,19/4/2013).
Problem Sistemik
Keberadaan buruh perempuan tak lepas dari ketidakberdayaan sebuah keluarga dalam mencukupi kebutuhan hidup yang makin tak terjangkau. Jika ia masih gadis, terpaksa bekerja karena orang tuanya tak mampu (atau tak mau) lagi mencukupi kebutuhannya.
Jika ia istri yang bekerja, bisa jadi karena suami—yang rata-rata juga buruh—mendapat gaji minim dan tak sebanding dengan kebutuhan keluarga. Jadi, mereka ini bukanlah kelompok pengejar materi demi gengsi, melainkan sekadar bertahan hidup. Kemiskinan telah mendorong mereka untuk ikut bekrontribusi menjemput rezeki.
Sistem sekuler-kapitalisme memanfaatkan kondisi ini dengan menggiring perempuan ke ruang publik. Ya, para pengusaha lebih suka mempekerjakan kaum perempuan karena dianggap lebih rajin, teliti, telaten dan tidak berani menuntut. Pengusaha juga tak perlu memberikan tunjangan tetek-bengek, berbeda dengan buruh pria.
Gerakan emansipasi dengan kesetaraan dan keadilan gender, semakin memperparah nasib perempuan. Bukannya mengentaskan mereka agar berhenti bekerja dan memuliakannya dengan jaminan kesejahteraan, justru meningkatkan volume buruh perempuan. Sejak dini, anak-anak perempuan sudah dicekoki pemahaman bahwa kelak ketika lulus sekolah harus bekerja agar mandiri secara ekonomi.
Ironisnya, berduyun-duyunnya perempuan ke dunia kerja tidak dibarengi dengan penerapan sistem yang kondusif. Sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan saat ini, sama sekali tidak menjamin keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan para buruh perempuan ini. Lemahnya sistem hukum terhadap pelaku pelecehan seksual, makin menyuburkan tindak kriminal. Bayangkan jika pemerkosa tidak dihukum berat, ia bebas berkeliaran memangsa korbannya, lagi dan lagi.
2/5
[104] Potret Buruh Perempuan Thursday, 13 June 2013 13:54
Buruknya sistem kerja dan pengupahan, menjauhkan buruh perempuan dari kesejahteraan. Seperti jam kerja yang panjang hingga mengabaikan tugas utama perempuan, upah yang tak layak dan jenis pekerjaan yang menyalahi kodrat.
Situasi atau lingkungan kerja yang eksploitatif, semakin menambah derita perempuan. Seperti tidak adanya pemisahan pekerja lelaki dan perempuan, minimnya jam istirahat, larangan mengenakan pakaian takwa, dan sejenisnya. Jelaslah, pengorbanan waktu dan tenaga kaum hawa ini sangat tidak setimpal dengan upah yang tak seberapa.
Kerugian Non Materi
Ideologi sekuler-kapitalis melalui gagasan keadilan dan kesetaraan gendernya berpandangan, perempuan yang hanya tinggal di rumah dan tak bekerja adalah beban pembangunan. Mereka menjadi beban laki-laki (ayah atau suaminya) dan beban negara. Karena itu, keberadaan perempuan bekerja akan mengurangi beban ini, sehingga pembangunan jauh lebih cepat mencapai kesejahteraan.
Padahal, justru keberadaan buruh perempuan ini, mengecilkan peluang laki-laki untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Ketika lowongan pekerjaan disabet kaum hawa, pengangguran dari kalangan kaum adampun merajalela. Jika para pria ini menganggur, bukankah berdampak pada tidak berjalannya mekanisme pernafkahan? Inilah beban sesungguhnya.
Merambahnya perempuaan di berbagai sektor, akhirnya mengabaikan tugas kodratinya di rumah. Fungsi ibu dalam keluarga beralih ke tangan pihak yang tak kompeten dan kapable. Seperti pembantu, baby sitter, atau alat elektronik (televisi, internet, game). Ini harus dibayar mahal dengan munculnya fenomena kenakalan anak dan remaja, pergaulan bebas, bunuh diri anak, perceraian, narkoba, kriminalitas dan problem keluarga lainnya.
Semua itu merupakan kerugian nonmateri yang jauh lebih dahsyat dibandingkan materi yang mampu dikumpulkan kaum buruh perempuan ini. Karena itu, seharusnya negara cemas dengan semakin meningkatnya jumlah buruh perempuan, termasuk para tenaga kerja wanita (TKW),
3/5
[104] Potret Buruh Perempuan Thursday, 13 June 2013 13:54
dan bukan malah bangga.
Dijamin Negara
Kesejahteraan bersumber dari terpenuhinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Semua itu seharusnya dijamin negara sebagai penanggungjawab rakyatnya. Sayang, negara sekuler tak memiliki paradigma seperti itu. Rakyat dipaksa mencari penghidupan dan menyejahterakan diri sendiri. Berlakulah hukum rimba, siapa yang kuat, berduit atau berkuasa, maka dialah yang memenangkan kehidupan ini.
Berbeda dengan sistem Islam. Negara yang menerapkan sistem Islam, memberi jaminan kesejahteraan pada seluruh warganya, termasuk perempuan. Negara wajib menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi kaum laki-laki agar mekanisme pernafkahan di pundaknya bisa ditunaikan dengan sempurna.
Sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan tersedia dengan mudah dan murah. Semestinya kaum bapak bekerja ¨hanya¨ untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, sehingga mampu mencukupi kebutuhan sekunder bahkan tersier. Dengan demikian, perempuan akan dengan senang hati di rumah, tak bersusah-payah memeras keringat. Perempuan tinggal menerima, dari ayah atau suaminya.
Perempuan, khususnya kaum ibu, didudukkan pada posisinya sebagai pendamping laki-laki. Mengambil peran mengurus rumah tangga, mengatur keuangan, mendidik anak dan mendidik kaum perempuan di masyarakat. Tanpa bermaksud merendahkan para buruh perempuan, menjadi manajer di rumah sendiri, niscaya akan jauh lebih terhormat dan mulia.
Meski begitu, jikapun perempuan ingin tetap bekerja dengan alasan syar´i, negara akan mengayomi. Negara wajib membuat regulasi pengupahan yang manusiawi, dan menegakkan hukuman berat bagi pelaku kriminal, baik berupa kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan.
Negara wajib memaksa perusahaan yang mempekerjakan perempuan untuk memberikan
4/5
[104] Potret Buruh Perempuan Thursday, 13 June 2013 13:54
hak-haknya, seperti masalah cuti, ibadah, jam kerja yang manusiawi, tata cara berpakaian dan pergaulan yang islami. Dengan demikian perempuan akan merasa aman dan nyaman menunaikan akad kerjanya di ruang publik. Negara seperti inilah yang layak diperjuangkan, termasuk oleh kaum perempuan. Dialah Khilafah Islamiyah. Wallahuálam.(kholda)
5/5