MENINGKATKAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA AUTIS MELALUI PERMAINAN “GOBAK SODOR” DALAM BIMBINGAN KELOMPOK Fifi Khoirul Fitriyah1
ABSTRACT The purpose of this study is to know whether there is a significant increase the social interaction ability score of autism students after the use of “Gobak Sodor” game in group guidance. This research uses a one-group pretest-posttest design. The subject of this research is two autistic students in inclusive school of SMP Galuh Handayani Surabaya selected with a purposive sample technique. The reason the researchers chose subjects of this study is that two students had lower social interaction ability. In addition, they do not have a personality disorder characterized by the following characteristics: excessive dependence, and excessive fear, deep sadness, exploitative behavior, uncontrolled anger, and if their problems are handled they will not be satisfied. Data collection technique of this research uses observation and data analysis uses the sign test. Result of data analysis showed that ρ > or 1 > 0.05 so that Ho is refused and Ha is reseived, it can be concluded that the research hypothesis is accepted or there is a significant increase in score of social interaction skills of autism students after the use “Gobak Sodor” game in group guidance. Key word : Social interaction, autism students, “Gobak Sodor” game, and group guidance.
I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah banyaknya jumlah peserta didik berkebutuhan khusus, salah satunya adalah peserta didik autis. DSM-IV (Peeters terjemahan Simbolon, 2009) mendefinisikan autis merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam melakukan komunikasi dan interaksi sosial, serta memiliki minat aktivitas yang terbatas. Gatra dalam Pamuji (2006) melaporkan bahwa setiap 150 kelahiran terdapat 1 anak autisme. Data WHO dalam Wagino (2006) melaporkan perbandingan anak autis dengan anak normal diseluruh dunia termasuk di Indonesia mencapai 1:100. Permasalahan banyaknya jumlah autis di Indonesia menuntut pemerintah untuk melakukan upaya sistematis melalui peningkatan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan. Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan pendidikan bagi peserta didik autis dan peserta didik berkebutuhan khusus lainnya adalah melalui pendidikan inklusif. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah diperlukan peranan dan kerjasama bidang bimbingan dan konseling. Kartadinata (2008) menjelaskan peranan guru pembimbing atau konselor adalah membantu kesulitan peserta didik berkebutuhan khusus dengan memberikan layanan bimbingan dan konseling. Guru pembimbing dan konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling dianjurkan untuk berkolaborasi dengan pihak lain yang memiliki keahlian menangani permasalahan siswa berkebutuhan khusus, misalnya; guru lulusan PLB, ahli kesehatan, dan psikolog. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru pembimbing atau 1
Alumni Prodi BK FIP Unesa
1
konselor memiliki peranan penting dalam membantu peserta didik berkebutuhan khusus melalui layanan bimbingan dan konseling. Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 10 tentang Pendidikan Inklusif (2009) menyatakan bahwa: (1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. (2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007) menegaskan bahwa pembimbing yang dimaksud dalam sekolah inklusif adalah guru lulusan PLB, guru BK, Psikolog, atau guru bidang studi yang telah mengikuti pelatihan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Salah satu jenis peserta didik berkebutuhan khusus yang disebutkan dalam Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 3 tentang Pendidikan Inklusif (2009) adalah peserta didik yang autis. Peserta didik autis merupakan salah satu peserta didik berkebutuhan khusus yang berhak mengikti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dari 3 indikasi permasalahan autis yang disebutkan dalam DSM-IV (Peeters terjemahan Simbolon, 2009) yaitu gangguan dalam komunikasi dan interaksi sosial, serta memiliki minat aktivitas yang terbatas, interaksi sosial merupakan permasalahan yang penting yang harus segera diselesaikan. Hal ini disebabkan karena kemampuan interaksi sosial merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap individu agar dapat membina hubungan baik dengan individu lain dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal sehingga individu tersebut merasa nyaman berada di lingkungannya (Peeters terjemahan Simbolon, 2009). Ketika individu merasa nyaman dengan lingkungannya, maka individu tersebut akan mudah terbantu untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan meningkatkan minat aktivitasnya yang terbatas. Setiap manusia dalam kehidupan sosialnya penting untuk melakukan interaksi sosial. Kemampuan melakukan interaksi sosial tersebut dapat terjadi akibat adanya dukungan dari lingkungan. Asumsi teori perilaku yang dikemukakan oleh Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan bahwa berbagai bentuk gangguan psikologis atau gangguan perilaku merupakan hasil belajar. Perilaku menyimpang (tidak adaptif) seperti yang dialami siswa autis terbentuk, berkembang, dipertahankan, dan diubah melalui cara-cara yang sama seperti halnya perilaku normal (adaptif). Perilaku adaptif dan tidak adaptif terbentuk dan dipertahankan oleh situasi-situasi eksternal, atau proses-proses internal seperti kognisi, mediasi, dan pemecahan masalah. Karena perilaku siswa autis merupakan hasil belajar, maka perilaku tersebut dapat diubah sesuai dengan perilaku yang diinginkan yaitu siswa autis menjalin interaksi sosial dengan orang lain melalui proses belajar yang pada akhirnya kemampuan interaksi sosial siswa autis meningkat. Berbagai intervensi diberikan untuk menangani permasalahan siswa autis. Wagino, dkk (2006) menyatakan intervensi yang selama ini dilakukan untuk mengurangi ketidakmampuan penyandang autis mulai dari pengobatan, terapi, diet, hingga pelayanan pendidikan dini bagi penyandang autis kurang membuahkan hasil maksimal dalam membantu penyandang autis mengatasi permasalahannya khususnya dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Pada masa perkembangan remaja, setiap peserta didik memerlukan bimbingan, informasi, dan pelayanan yang memfasilitasi kompetensi kemandirian atau kematangan fisik dan mentalnya secara seimbang melalui pengembangan bakat, minat, dan karakter yang diharapkan. Pelayanan Bimbingan dan Konseling diarahkan pada tercapainya tugas perkembangan peserta didik secara optimal (Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 2008). Terdapat berbagai jenis layanan bimbingan konseling yang dapat diterapkan untuk membantu siswa autis dalam mencapai tugas perkembangan secara optimal 2
khususnya dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Layanan-layanan tersebut bersifat individual maupun kelompok. Dalam mengatasi masalah penelitian ini, layanan bimbingan dan konseling yang digunakan adalah layanan bimbingan kelompok. Alasan peneliti menggunakan layanan bimbingan kelompok disebabkan karena siswa autis membutuhkan suasana kelompok yang di dalamnya terdapat dinamika kelompok sehingga membantu dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya. Hal ini sesuai dengan temuan McConnell (2002) yang menyatakan bahwa siswa autis membutuhkan partner untuk membantunya dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial, sehingga suasana kelompok dibutuhkan siswa autis agar kemampuan interaksi sosialnya meningkat. Rendahnya kesadaran siswa autis tentang permasalahan yang dialaminya sendiri dan rendahnya pemahaman mereka tentang permasalahan siswa lain, menyebabkan layanan konseling kelompok kurang tepat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penelitian ini. Dalam pelaksanaannya, bimbingan kelompok memiliki beberapa teknik yang dapat digunakan. Salah satu teknik bimbingan kelompok adalah teknik bermain. Tujuan teknik ini adalah menjadikan individu mampu mengatasi konflik-konflik dirinya melalui proses bermain yang di dalamnya memiliki unsur terapeutik sehingga membantu dalam proses perubahan perilaku (Nursalim dan Suradi, 2002; Cramer, dkk dalam Delphie, 2005). Permainan yang dipilih dalam bimbingan kelompok adalah permainan “Gobak Sodor”. Permainan “Gobak Sodor” dipilih karena di dalamnya terdapat aspek-aspek pembelajaran yang berorientasi pada perubahan perilaku. Aspek-aspek tersebut yaitu: (1) Dilakukan secara berkelompok berjumlah 6 orang atau lebih, sehingga memungkinkan menjadi sarana terbentuknya dinamika sosial, (2) Menuntut terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang mendukung terjadinya interaksi sosial, dan (3) Adanya reward yang bertujuan untuk merubah dan mempertahankan perilaku yang diinginkan (Husna, 2009). Secara teoritis, permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok sesuai untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis. Namun, penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok ini masih perlu untuk diuji keefektifannya secara empiris dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah: ”apakah ada peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok?” Tujuan penelitian ini secara operasional adalah untuk mengetahui adanya peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. II. KAJIAN TEORI Autis merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam melakukan komunikasi dan interaksi sosial, serta memiliki minat aktivitas yang terbatas (DSM-IV dalam Peeters terjemahan Simbolon, 2009). Lumbantobing (Pamuji, 2007) menyatakan bahwa anak autis adalah kondisi anak yang mengalami perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang; sosial dan afek, komunikasi verbal dan non verbal, imajinasi, fleksibelitas, minat, kognisi dan atensi. Sedangkan Nakita (Pamuji, 2007) menyatakan autis adalah gangguan yang berat terutama ditandai dengan gangguan pada area perkembangan sebagai berikut; keterampilan interaksi sosial yang resiprokal, keterampilan komunikasi dan adanya tingkah laku yang stereotipe minat dan aktivitas terbatas. Sebagian besar permasalahan autis adalah berhubungan dengan kehidupan sosial interpersonalnya. Fokus penelitian ini adalah mengatasi gangguan autis yang berhubungan dengan interaksi sosial. Hal ini disebabkan karena kemampuan interaksi sosial merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap individu agar dapat membina hubungan baik dengan individu lain dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal sehingga individu tersebut merasa nyaman berada 3
di lingkungannya. Ketika individu merasa nyaman dengan lingkungannya, maka akan mudah untuk membantunya dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan meningkatkan minat aktivitasnya yang terbatas (Peeters terjemahan Simbolon, 2009). Terdapat berbagai pendapat yang menyatakan tentang penyebab-penyebab autis. Peeters terjemahan Simbolon (2009) menyatakan autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan pervasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental. Sedangkan Lovaas (Pamuji, 2007) menyatakan bahwa autis terjadi akibat dari kesalahan proses belajar, sehingga dalam memberikan intervensi menggunakan modifikasi perilaku. Setiap manusia dalam kehidupan sosialnya penting untuk melakukan interaksi sosial. Kemampuan melakukan interaksi sosial tersebut dapat terjadi akibat adanya dukungan dari lingkungan. Asumsi teori perilaku yang dikemukakan oleh Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan bahwa berbagai bentuk gangguan perilaku merupakan hasil belajar. Perilaku menyimpang (tidak adaptif) seperti yang dialami siswa autis terbentuk, berkembang, dipertahankan, dan diubah melalui cara-cara yang sama seperti halnya perilaku normal (adaptif). Perilaku adaptif dan tidak adaptif terbentuk dan dipertahankan oleh situasi-situasi eksternal, atau proses-proses internal seperti kognisi, mediasi, dan pemecahan masalah. Skinner (Alwisol, 2008) menyatakan tiga asumsi dasar teori perilaku yaitu; perilaku itu mengikuti hukum tertentu, perilaku dapat diramalkan, dan perilaku dapat dikontrol. Perilaku manusia dapat dipahami dan dikontrol menggunakan teknik analisis fungsional perilaku. Analisis fungsional perilaku adalah suatu analisis perilaku dalam bentuk hubungan sebab akibat, bagaimana suatu respon timbul menyingkap bahwa penyebab terjadinya perilaku sebagian besar berada di event antecedennya atau berada di lingkungan. Apabila penyebab, atau stimulus yang menjadi peristiwa mendahului suatu respon dapat dikontrol, itu berarti telah dilakukan tindak kontrol dari suatu respon. Darminto (2007) menyatakan anteceden dan konsekuensi adalah bagian penting dari teori perilaku. Anteceden adalah peristiwa-peristiwa yang mendahului perilaku, sedangkan konsekuensi adalah peristiwa-peristiwa yang mengikuti perilaku yang dipelajari. Asumsi teori perilaku yang dikemukakan Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan bahwa perilaku terjadi dalam konteks sosial dan berhubungan secara fungsional dengan anteceden dan konsekuensi internal maupun eksternal. Teori perilaku memiliki klasifiksi tipe perilaku (Alwisol, 2008) yaitu perilaku responden dan perilaku operan. Perilaku responden adalah perilaku yang dihasilkan organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respon itu. Sedangkan perilaku operan adalah respon yang dimunculkan organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon itu. Terjadinya pengikatan stimulus baru dengan adanya respon baru. Organisme dihadapkan kepada pilihan-pilihan respon mana yang akan dipakainya untuk menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon mana yang dipilih tergantung pada efeknya terhadap lingkungan yang tertuju kepadanya atau konsekuensi yang mengikuti respon itu. Berdasarkan teori perilaku dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial dapat terjadi ketika stimulus yang menjadi peristiwa mendahului suatu respon tersebut dikontrol, sehingga didapatkan suatu respon yang diinginkan. Respon yang diinginkan dalam penelitian ini adalah siswa-siswa autis melakukan interaksi sosial yang pada akhirnya mampu meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya. Prinsip-prinsip pengendalian perilaku interaksi sosial siswa autis dapat diterapkan melalui layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam mengatasi masalah penelitian ini, layanan bimbingan dan konseling yang digunakan adalah 4
layanan bimbingan kelompok. Alasan peneliti menggunakan layanan bimbingan kelompok dalam penelitian ini adalah disebabkan karena siswa autis membutuhkan suasana kelompok yang di dalamnya terdapat dinamika kelompok sehingga membantu dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis. Winkel dan Hastuti (2005) mandefinisikan bimbingan kelompok adalah pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan. Sedangkan Prayitno (1994) menyatakan tujuan umum layanan bimbingan kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Dalam pelaksanaannya, bimbingan kelompok memiliki beberapa teknik. Salah satu teknik bimbingan kelompok adalah teknik bermain. Tujuan teknik ini adalah menjadikan individu mampu mengatasi konflik-konflik dirinya melalui proses bermain yang di dalamnya memiliki unsur terapeutik sehingga membantu dalam proses perubahan perilaku (Nursalim dan Suradi, 2002; Cramer, dkk dalam Delphie, 2005). Permainan yang dipilih dalam dalam bimbingan kelompok adalah permainan “Gobak Sodor”. Permainan “Gobak Sodor” dipilih karena di dalamnya terdapat aspek-aspek pembelajaran yang berorientasi pada perubahan perilaku. Aspek-aspek tersebut yaitu: (1) Dilakukan secara berkelompok, sehingga memungkinkan menjadi sarana terbentuknya dinamika sosial, (2) Menuntut terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang mendukung terjadinya interaksi sosial, dan (3) Adanya reward yang bertujuan untuk merubah dan mempertahankan perilaku yang diinginkan (Husna, 2009). Agar lebih jelas dalam memahami kerangka berpikir penelitian ini, maka dapat dilihat secara ringkas pada gambar 2.1 di bawah ini. Bagan Alur Kerangka Berfikir Konseling individu ? Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Autis Rendah Indikator : 1. Komunikasi Verbal 2. Komunikasi Non Verbal
Menggunakan Pendekatan Perilaku dan memanfaatkan situasi kelompok
Permainan “Gobak Sodor” Dalam Bimbingan Kelompok
Meningkatnya Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Autis
Terciptanya Kehidupan Sosial Interpersonal yang Dinamis
Hipotesis penelitian adalah : ”Ada peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok.” III.METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah preeksperiment dengan menggunakan one-group pretest-posttest design. Langkahlangkah dalam rancangan penelitian ini terdiri dari: (1) Pengukuran awal atau pretest dengan menggunakan pedoman observasi yang disusun oleh peneliti. (2) Memberikan perlakuan yaitu bimbingan kelompok menggunakan teknik permainan 5
“Gobak Sodor” selama 8 kali pertemuan. (3) Pengukuran akhir atau posttest dengan pedoman observasi yang sama. B. Subyek Penelitian Di SMP Inklusif Galuh Handayani Surabaya terdapat 5 siswa autis. Namun, hanya 2 siswa autis yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Dalam pelaksanaan permainan “Gobak Sodor” dibantu oelh 4 siswa normal yang berdasarkan pertimbangan psikolog Sekolah Inklusif Galuh Handayani mampu untuk membantu pelaksanaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan purposive sample. Subyek penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah siswa autis yang memiliki kemampuan interaksi sosial rendah. Selain itu, siswa-siswa autis tersebut tidak mengalami gangguan kepribadian yang ditandai dengan ciri-ciri yang disebutkan Martaniah (1999) sebagai berikut; ketergantungan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan dan intimitas, kesedihan yang mendalam, tingkah laku yang eksploitatif, kemarahan yang tidak dapat dikontrol, dan jika masalah mereka ditangani maka kehidupan mereka akan dipenuhi ketidakpuasan. C. Teknik dan Instrumen Pengumpul Data Teknik pengumpul data pada penenlitian ini menggunakan observasi. Hadi (Sugiyono, 2008) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu proses yang kompleks atau suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis yang menekankan pada proses pengamatan dan ingatan. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi sistematis, yakni pelaksanaan pengumpulan datanya menggunakan pedoman observasi. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Dalam proses observasi, pengamat tinggal memberikan tally pada kolom tempat peristiwa muncul. Itulah sebabnya cara bekerja seperti ini disebut sistem tanda (sign system). Dalam penelitian ini menggunakan observasi sistematis. D. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis statistik. Data statistik yang digunakan adalah statistik nonparametrik. Analisis data statistik nonparametrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji tanda atau sign test. Pada hakikatnya, pengujian ini hanya memperhatikan arah perbedaan dan bukan besarnya perbedaan itu. Ada dua jenis prosedur pengujian Uji Tanda, yaitu Prosedur Uji Tanda dengan sampel kecil dan Prosedur Uji Tanda dengan sampel besar. Sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel kecil, sehingga prosedur pengujian yang digunakan adalah Uji Tanda dengan sampel kecil. IV.PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN A. Penyajian Data 1. Data Hasil Pengukuran Awal (pretest) Tidak mudah mendapatkan data tentang perilaku siswa-siswa autis. Hal ini disebabkan karena siswa-siswa tersebut tidak mengenal peneliti sehingga merasa risih dengan kehadiran peneliti. Selain itu siswa-siswa autis merupakan siswa berkebutuhan khusus yang mengalami permasalahan dalam melakukan interaksi sosial, komunikasi, dan memiliki minat aktivitas yang terbatas, sehingga menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial dengan adanya orang baru dikehidupannya. Permasalahan ini menyebabkan peneliti harus melakukan pendekatan atau pengembangan rapport terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian kepada siswa-siswa autis SMP Inklusif Galuh Handayani Surabaya dengan cara mengikuti kegiatan belajar mereka di sekolah mulai jam masuk sekolah (08.00 WIB) sampai dengan jam pulang sekolah (12.00 6
WIB) selama satu minggu yaitu pada tanggal 3 sampai dengan 7 Mei 2010. Pengembangan rapport dilakukan dengan tujuan agar terbentuk hubungan yang kondusif dalam proses bimbingan yang akan dilakukan. Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh dari 5 responden, diketahui terdapat dua siswa autis yang memiliki kemampuan interaksi sosial paling rendah dan tidak sedang mengalami gangguan kepribadian. Adapun data pengukuran awal (pretest) yang dihimpun melalui observasi diketahui skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sebagai berikut:
No. 1 2 3 4 5
Tabel 4.1 Skor Hasil Pengukuran Awal (Pretest) Nama Skor GHW 27 WDC 24 AK 87 RNK 56 YNA 52
2. Perlakuan Pada tahap ini, peneliti memberikan perlakuan berupa penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menguji efek permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok dalam membantu siswa autis meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 8 kali pertemuan kepada anggota kelompok bimbingan kelompok yang terdiri dari 2 siswa autis yang merupakan subyek penelitian dan 4 siswa normal yang membantu pelaksanaan kegiatan bimbingan kelompok agar berjalan efektif. Alasan memilih 4 siswa normal tersebut didasarkan pada wawancara dan pertimbangan dengan psikolog Sekolah Inklusif Galuh Handayani yang menyatakan bahwa keempat siswa normat tersebut mampu membantu pelaksanaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. Konselor dalam membentuk kelompok bimbingan kelompok mempertimbangkan jumlah anggota kelompok dan adanya homogenitas dan heterogenitas kemampuan anggota kelompok, hal ini dimaksudkan agar kegiatan bimbingan kelompok dapat berjalan efektif. Prayitno (2004) menyatakan bahwa kelompok yang jumlahnya 2-3 orang akan mengurangi efektifitas bimbingan kelompok, namun jika lebih dari 10 orang maka keefektifan kelompok akan berkurang. Taufiq (2007) menjelaskan bahwa dalam pembentukan kelompok kegiatan bimbingan kelompok penting memperhatikan homogenitas dan heterogenitas kemampuan anggota kelompok dengan perbandingan 2 : 1 antara anggota kelompok yang memiliki kemampuan lebih dan anggota kelompok yang memiliki kemampuan kurang. Dalam SMP Inklusif Galuh Handayani terdapat 5 siswa autis, namun tidak semuanya dijadikan sebagai subyek penelitian. Subyek penelitian ini berjumlah 2 siswa autis, dan 3 siswa autis lainnya tidak dijadikan subyek penelitian karena mengalami gangguan kepribadian. Pembentukan kelompok bimbingan kelompok efektif jika dilakukan lebih dari 2-3 orang dan kurang dari 10 orang dengan memperhatikan homogenitas dan heterogenitas kemampuan anggota kelompok menggunakan perbandingan 2 : 1 antara anggota kelompok yang memiliki kemampuan lebih dan anggota kelompok yang memiliki kemampuan kurang. Dengan demikian pelaksanaan bimbingan kelompok pada penelitian ini dijalankan oleh kelompok heterogen berjumlah 6 orang yang meliputi 2 siswa autis atau subyek penelitian dan 4 siswa normal. Alasan pemilihan 4 siswa normal untuk mengikuti kegiatan bimbingan kelompok adalah berdasarkan kemampuan keempat siswa tersebut yang memiliki kemampuan 7
lebih dalam melakukan interaksi sosial yang ditandai dengan perilaku interaksi sosial yang baik sehingga dalam bimbingan kelompok diharapkan dapat mendukung terjadinya dinamika kelompok. Permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok tahap-tahapnya mengikuti tahap-tahap bimbingan kelompok pada umumnya. Tahap-tahap bimbingan kelompok secara umum terdiri dari 4 tahap yaitu: tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap pengakhiran. 3. Data Hasil Pengukuran Akhir (posttest) Setelah subyek penelitian melaksanakan seluruh kegiatan bimbingan kelompok menggunakan permainan “Gobak Sodor” sebanyak 8 kali, maka selanjutnya peneliti melakukan pengukuran akhir (posttest) kepada 2 siswa autis yang menjadi subyek penelitian ini pada tanggal 7 s.d 11 Juni 2010 atau selama satu minggu. Berdasarkan data pengukuran akhir (posttest) menggunakan pedoman observasi yang sama dengan pedoman observasi yang digunakan pada pengukuran awal (pretest) diketahi skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sebagai berikut: a. GHW memiliki skor 39 b. WDC memiliki skor 40 Pengambilan data akhir (posttest) yang dilakukan selama satu minggu sudah cukup mewakili kondisi subyek penelitian selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan triangulasi dengan teori perilaku. Perilaku interaksi sosial siswa autis terbentuk ketika mengikuti kegiatan bimbinngan kelompok menggunakan permainan “Gobak Sodor”. Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan bahwa perilaku terjadi dalam konteks sosial dan berhubungan secara fungsional dengan anteceden dan konsekuensi internal maupun eksternal. Anteceden atau stimulus yang dibuat dalam penelitian ini adalah dengan memunculkan reward dari konselor sehingga memicu munculnya perilaku yaitu melakukan interaksi sosial sebagai respon. Perilaku siswa autis mengikuti teori perilaku operan. Alwisol (2008) menjelaskan perilaku operan adalah respon yang dimunculkan organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon itu. Pengikatan stimulus baru terjadi dengan adanya respon baru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku siswa autis yang telah terbentuk sebelumnya akan tetap dipertahankan dan ditingkatkan, meskipun tidak lagi diterapkan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. 4. Analisis Data Berdasarkan penyajian data di atas, dapat digambarkan hasil pengukuran awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest) pada masing-masing subyek melalui histogram di bawah ini.
Histogram 4.3 Perbedaan Pengukuran Awal (Pretest) dan Pengukuran Akhir (Posttest) 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Pengukuran Awal (Pretest) Pengukuran Akhir (Posttest)
GHW WDC
8
Analisis data penelitian ini menggunakan uji tanda atau Sign Test menggunakan sampel kecil. menunjukkan bahwa ρ > atau 1 > 0.05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima atau ada peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. B. Pembahasan Setelah dilakukan pengukuran awal (pretest), diketahui bahwa terdapat dua siswa autis yang memiliki kemampuan interaksi sosial paling rendah. Selain itu, siswa-siswa tersebut tidak mengalami gangguan kepribadian yang ditandai dengan ciri-ciri seperti yang dinyatakan Martaniah (1999) sebagai berikut; ketergantungan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan dan intimitas, kesedihan yang mendalam, tingkah laku yang eksploitatif, kemarahan yang tidak dapat dikontrol, dan jika masalah mereka ditangani maka kehidupan mereka akan dipenuhi ketidakpuasan. Sehingga dua siswa autis ini dijadikan sebagai subyek penelitian ini. Dua siswa tersebut adalah GWH yang memperoleh skor 27 dan WDC yang memperoleh skor 24. Berdasarkan hasil pengukuran akhir (postest) diketahui bahwa terjadi peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial setelah diterapkan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. Kondisi ini terjadi karena permainan “Gobak Sodor” dalam kegiatan bimbingan kelompok, subyek diajak belajar untuk berkomunikasi meskipun dalam hal ini komunikasi yang digunakan subyek sering kali tidak dimengerti konselor maupun siswa-siswa lainnya namun yang terpenting adalah subyek mau berkomunikasi. Selain berkomunikasi, subyek juga belajar bekerjasama dengan siswa lain dalam tim. Meskipun pada awal kegiatan peneliti mengalami kesulitan dalam memberikan instruksi dan subyek penelitian susah diarahkan bahkan berlari ke luar arena permainan. Melalui pendekatan perilaku dengan mengkondisikan situasi antecedennya atau reward dan pendekatan yang lembut, subyek-subyek penelitian ini dapat diarahkan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya. Analisis data menggunakan uji tanda menunjukkan bahwa ρ > atau 1> 0.05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Kesimpulannya adalah ada peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. Penelitian ini memiliki keterbatasan karena tidak memiliki kelompok kontrol, sehingga tidak dapat membandingkan skor kemampuan interaksi sosial dengan kelompok lain (kelompok kontrol) yang tidak diterapkan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. Secara garis besar, penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian dan memperkuat teori yang mengemukakan keefektifan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok dan implementasinya dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis. V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Penelitian berjudul Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Autis Melalui Permainan “Gobak Sodor” dalam Bimbingan Kelompok diterapkan kepada dua subyek penelitian yang sengaja dipilih menggunakan purposive sample dan dilaksanakan di SMP Inklusif Galuh Handayani Surabaya. Hasil analisis data menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah diterapkan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. Analisis data menggunakan uji tanda atau sign test menunjukkan bahwa ρ > atau 1 > 0.05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima atau ada peningkatan yang 9
signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok. B. Saran Adapaun saran-saran penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini menyimpulkan bahwa permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis, sehingga permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis di SMP Inklusif Galuh Handayani Surabaya. 2. Penggunaan permainan “Gobak Sodor” dalam bimbingan kelompok dapat diterapkan menggunakan jenis permainan lain yang juga memiliki unsur-unsur yang dapat membantu meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis. 3. Desain penelitian ini adalah pre-eksperimen menggunakan one-group pretestposttest design sehingga tidak memiliki kelompok kontrol. Disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan desain pre-eksperimen dengan bentuk intact-group comparison sehingga memiliki kelompok kontrol yang berfungsi mengontrol variabel-variabel luar yang berpengaruh pada hasil penelitian. 4. Penelitian ini dapat menggunakan penelitian single subject yang berorientasi pada kasus yang bersifat individual. 5. Penelitian ini memungkinkan untuk meneliti varibel lain di luar variabel penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Darminto, Eko. 2007. Teori-teori Konseling: Teori dan Praktek Konseling dari Berbagai Orientasi Teoretik. Surabaya: Unesa University Press. Delphie, Bandi. 2005. Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non Adaptif. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. 2008. Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Tenaga Pendidik dan Kependidikan di Sekolah Inklusif. Jakarta: Ditjen Mendikdasmen. Kartadinata, Sunaryo. 2008. Alur Pikir Penataan Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Makalah disajikan dalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh Jurusan PPB FIP Unesa. Surabaya 15 November 2008. Martaniah, Sri Mulyani. 1999. Handout Psikologi Abnormal. Yogyakarta. McConnell, Scott R. 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young Children with Autism: Review of Available Research and Recommendations for Educational Intervention and Future Research. Journal of Autism Developmental Disorders, Vol. 32, No. 5, 2002. Peeters, Theo. Tanpa Tahun. Panduan Autisme Terlengkap. Terjemahan oleh Oscar H. Simbolon dan Yayasan Suryakanti-Bandung. 2009. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
10
Purwanta, Edi. 2005. Modifikasi Perilaku. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Rice, Catherine. 2006. Prevalence of Autism Spectrum Disorders: Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network. (online). (USA.gov, diakses pada tanggal 10 Maret 2010 pukul 20.30 WIB). Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Tinggi. Wagino, dkk. (2006). Peningkatan Efektifitas Pembelajaran Anak Autis Melalui Implementasi Pendekatan Individualized Education Program (IEP) di SDN Inklusif Klampis Ngasem 1-246 Surabaya. (jurnal). Universitas Negeri Surabaya. William, Chris dan Wright, Barry. 2007. How to Live with Autis and Asperger Syndrome : Strategi Praktis bagi Orang Tua dan Guru Anak Autis. Terjemahan oleh Tim DR. Jakarta: Dian Rakyat.
11