15
BAB II PENGGUNAAN PERMAINAN SOSIAL DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL
A. Karakteristik Siswa SMP Sebagai Remaja Masa remaja merupakan bagian dari rentang kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini, siswa diarahkan kepada perkembangan menuju masa dewasa yang sehat. Menurut Konopka (Yusuf, Syamsu, 2006) fase remaja awal : 12-15 tahun, remaja madya : 19-22 tahun. Sedangkan menurut Hurlock (1980), masa remaja terbagi dua yaitu remaja awal : 13-16 tahun, dan remaja akhir : 16-18 tahun. Dilihat dari dua pendapat diatas, siswa sekolah menengah pertama (SMP) termasuk kepada masa remaja awal. Piaget dalam Hurlock (1980) berpendapat bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintergrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan cirri khas yang umum dari perkembangan ini.
16
Untuk memahami lebih lanjut mengenai karakteristik perkembangan remaja, berikut akan dijelaskan aspek-aspek perkembangan remaja. a. Aspek Fisik Pada masa remaja individu akan mengalami kematangan organ-organ seksual. Menurut Santrock (2002:7) remaja merupakan suatu periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja. Remaja pria mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis, pembuluh mani dan kelenjar prostat. Matangnya organ-organ tersebut memungkinkan remaja pria untuk mengalami mimpi basah. Remaja wanita ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium. Matangnya organ-organ seksual ini memungkinkan remaja wanita untuk mengalami menstruasi. Perubahan fisik lainnya seperti dipaparkan oleh Nancy J. Cobb (Yusuf Syamsu, 2006:7) adalah sebagai berikut. Tabel 2. 1 Pertumbuhan Fisik Remaja Jenis Kelamin
Usia
Pria
8-13 tahun
Pertumbuhan Fisik Tumbuhnya testis dan kantung buah pelir
10-15 tahun
Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan
10,5-14,5 tahun
Pertumbuhan badan
11-14,5 tahun
Tumbuhnya penis
11-14,5 tahun
Perubahan suara (tumbuhnya pangkal tenggorokan)
12-17 tahun
Minyak dan peluh
17
menghasilkan kelenjar Wanita
8-13 tahun
Tumbuhnya buah dada
8-14 tahun
Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan
9,5-14,5 tahun
Pertumbuhan badan
10-16,5 tahun
Menstruasi pertama
10-16 tahun
Tumbuh bulu ketiak minyak dan keringat menghasilkan kelenjar.
b. Aspek Intelektual Remaja tahap perkembangan berpikir operasional formal. Tahap ini ditandai dengan kemampuan berfikir abstrak, idealis, dan logis. Tipe pemikiran logis ini, oleh piaget (yusuf, syamsu, 2006 : 9) disebut juga pemikiran deduktif hipotetik, yaitu kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis (dugaan-dugaan terbaik) tentang cara-cara mengatasi masalah dan mengambil keputusan. c. Aspek Sosial Pada masa ini berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Kemampuan tersebut mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya. Konformitas juga berkembang pada masa ini, yaitu kecenderungan untuk meniru, mengikuti opini, pendapat, nilai kebiasaan, hobi, atau keinginan orang lain. Perkembangan konformitas ini bisa berdampak positif atau negatif bagi remaja. Hurlock (1980) mengemukakan pada masa ini terjadi peningkatan pengaruh teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial,
18
pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam pemilihan teman, nilai-nilai baru dalam penerimaan dan penolakan sosial. d. Aspek Emosi Masa remaja dianggap sebagai masa “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas.perubahan yang dirasakan mempengaruhi emosi atau perasaan-perasaan baru yang belum dialami sebelumnya sebelumnya seperti rasa cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada usia remaja awal (usia SMP) perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial. e. Aspek Moral Ketika memasuki masa remaja, remaja tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orang tua, guru, dan teman sebaya. Sekarang ia ingin sendiri membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep tentang benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan yang telah dilengkapi dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orang tua dan gurunya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan pengetahuan yang telah diperolehnya dari pelajaran agama.
19
B. Ciri-Ciri Masa Remaja Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannnya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Elizabeth Hurlock menjelaskan terdapat beberapa cirri pada masa remaja, yaitu sebagai berikut. 1. Masa remaja sebagai periode yang penting Pada periode perkembangan remaja, perubahan fisik dan psikologis sangatlah penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, menimbulkan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. 2. Masa remaja sebagai periode peralihan Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga orang dewasa. Jika remaja berperilaku seperti anak-anak, ia akan diajari untuk bertindak sesuai umurnya. Jika remaja berperilaku seperti orang dewasa akan dimarahi karena bertingkah diluar usianya. 3. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Masalah yang dihadapi oleh remaja terkadang menjadi permasalahan yang sulit untuk diatasi. Terdapat dua alasan untuk menjelaskan situasi tersebut. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah sebagian anak-anak diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa
20
mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan dari orang tua dan guru. 4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pada akhir usia masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok adalah jauh lebih penting pada anak daripada individualitas, seperti cara berpakaian, berbicara, dan berperilaku. Sedangkan pada masa awal remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting. Tetapi lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman dalam segala hal. Hal tersebut menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan “krisis identitas”. Seperti dijelaskan oleh Erikson (Hurlock, 208 : 1980) identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak-anak atau orang dewasa, secara keseluruhan apakah ia akan berhasil atau gagal. Menurut Erikson masa remaja sering disebut sebagai masa identitas ego (Ali, Muhammad, 16 : 2004). Hal tersebut disebabkan karena masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah menjadi orang dewasa, tetapi jika diperlakukan seperti orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Menurut Muhammad Ali (2004) mengemukakan terdapat sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja, yaitu sebagai berikut.
21
1. Kegelisahan Remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan atau keinginan yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Tetapi, sesungguhnya remaja belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan semua itu. Tarik-menarik antara keinginan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi perasaan gelisah. 2. Pertentangan Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu mandiri. Oleh karena itu, sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi itu, menimbulkan perasaan ingin melepaskan diri dari orang tua. Pertentangan yang terjadi itu kemudian ditentangnya sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja sesungguhnya belum berani mengambil resiko dari meninggalkan lingkungan keluarga yang jelas aman bagi dirinya. 3. Mengkhayal Keinginan untuk menjelajah atau bertualang tidak semuanya dapat tersalurkan karena hambatan segi keuangan. Kebanyakan remaja memperoleh uang dari orang tuanya. Akibat tidak tersalurkannya keinginan tersebut mereka mengkhayal, melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra biasanya berkisar soal prestasi dan karir. Remaja putri lebih mengkhayal romantika hidup. Khayalan itu tidak selamanya negatif.
22
Khayalan terkadang melahirkan sesuatu yang bersikap konstruktif, misalnya timbul ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan. 4. Aktifitas Kelompok Berbagai macam keinginan para remaja tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala. Adanya larangan-larangan dari orang tua seringkali melemahkan bahkan mematahkan semangat para remaja. Kebanyakan dari mereka menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul bersama rekan sebayanya untuk melakukan kegiatan bersama. Mereka melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama. 5. Keinginan untuk mencoba segala sesuatu. Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa.
C. Tugas Perkembangan Remaja Yusuf, Syamsu (2006) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja yang harus dicapai, adalah sebagai berikut. 1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya )seperti kecantikan, keberfungsian dan keutuhan)
23
2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas (mengembangkan sikap respek terhadap orang tua dan orang lain) 3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal (lisan dan tulisan) 4. Mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar. 5. Menemukan manusia model yang dijadikan pusat identifikasinya. 6. Menerima
dirinya
sendiri
dan
memiliki
kepercayaan
terhadap
kemampuannya sendiri. 7. Memperoleh self-control (kemampuan mengendalikan diri sendiri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup. 8. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap dan perilaku) yang kekanak-kanakan. 9. Bertingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. 10. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara. 11. Memilih dan mempersiapkan karir. 12. Memiliki sikap positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga (meyakini bahwa pernikahan merupakan satu-satunya jalan yang menghalalkan hubungan seksual pria-wanita) 13. Mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
24
D. Siswa SMP Yang Terisolir Masa remaja merupakan masa perubahan dalam setiap aspek kehidupan, salah satu aspek yang mengalami perubahan adalah aspek sosial. Sebagai remaja mereka harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Elizabeth Hurlock mengemukakan beberapa hal yang terjadi selama masa perubahan sosial masa remaja, diantaranya : 1. Kuatnya pengaruh kelompok sebaya Horrocks dan Benimoff (Hurlock, 214 :1980) menjelaskan kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya; disinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya yang tidak dapat memaksakan sanksi-sansi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan disitu pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya. Kecuali itu, kelompok teman sebaya merupakan hiburan utama bagi anak-anak usia belasan tahun. Berdasarkan
25
alasan tersebut terlihatlah betapa vitalnya masa remaja, bagi remaja bahwa kelompok teman sebaya terdiri dari anggota-anggota tertentu dari temantemannya yang dapat menerimanya dan yang kepadanya ia saling bergantung. 2. Perubahan dalam perilaku sosial. Pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat menonjol dalam pola hubungan heteroseksual. Perubahan yang terjadi seperti lebih menyukai lawan jenis lebih dari sekedar teman. 3. Pengelompokan sosial baru Beberapa pengelompokkan sosial remaja diantaranya teman dekat, kelompok kecil, kelompok besar, kelompok yang terorganisir, dan kelompok geng. 4. Nilai-nilai baru dalam memilih teman. Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya entah disekolah
maupun
di
lingkungan
rumah.
Remaja
menginginkan
mempunyai teman yang mempunyai minat, dan nilai-nilai yang sama, yang dapat membuatnya mengerti, dan merasa nyaman serta dapat dipercaya sebagai seseorang yang dapat berbagi cerita. 5. Nilai-nilai baru dalam penerimaan dan penolakan sosial Seperti halnya perubahan yang terjadi dalam nilai-nilai baru dalam memilih teman, nilai-nilai dalam peneriman dan penolakan sosial pun berubah.
26
Perubahan-perubahan yang terjadi selama masa dewasa khususnya perubahan dalam aspek sosial pasti akan memerlukan penyesuaian. Dari pikiran, sikap, atau penampilan yang dimunculkan oleh remaja akan menentukan apakah mereka akan diterima atau ditolak oleh lingkungan teman sebayanya. Dikatakan oleh Schneirders (dalam Hurlock, 1990 ) penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Dibawah ini disajikan tabel yang menjelaskan beberapa kondisi yang menyebabkan remaja diterima atau ditolak dalam kelompok sebayanya.
Tabel 2.2 Penerimaan dan penolakan sosial Sindroma penerimaan
Sindroma penolakan
1. Kesan pertama yang menyenangkan 1. Kesan
pertama
yang
(penampilan menarik, sikap yang
menyenangkan
(menarik
tenang, dan gembira)
mementingkan diri sendiri)
kurang diri,
2. Reputasi sebagai seorang sportif dan 2. Tidak sportif menyenangkan 3. Perilaku sosial yang ditandai oleh 3. Perilaku sosial yang ditunjukkan kerja sama, tanggung jawab, panjang
dengan sikap mengganggu, senang
akal, sopan, dll)
memerintah, tidak bijaksana
4. Matang,
terutama
dalam
hal 4. kurangnya kematangan
pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan-peraturan.
27
5. Status ekonomi yang sama dengan 5. Status ekonomi yang berbeda teman sebaya 6. Tempat tinggal yang dekat dengan 6. Jauh dari tempat tinggal teman sebaya anggota kelompok
Siswa yang diterima oleh teman sebayanya pasti akan mendapatkan kebahagiaan dan bersemangat untuk melewati hari demi hari bersama teman sebayanya. Tetapi bagi orang yang ditolak oleh teman sebayanya perasaan tidak nyaman, merasa diabaikan dan malas untuk menyediakan waktu untuk bergaul. Hal tersebut menyebabkan siswa terisolasi. David Fontana (Yaya Sunarya, 1999) menjelaskan bahwa: “…the isolate is the unfortunate individual who has nofriends and whois generally either ignored by the group, or used in some way as a butt for the rest of them. He or she may be loughed at and ridiculed, or be ficked upon bullied”. Dari pengertian tersebut terkandung makna bahwa konsep isolate (terisolir) berkaitan dengan dua hal, yaitu pertama, berkaitan dengan masalah penerimaan sosial (social acceptance) yang tidak wajar dari teman sekelompoknya. Dimana perlakukan ini akan membawa dampak tertentu terhadap mereka, baik terhadap perkembangan aspek kepribadiannya, perilaku sosial, maupun terhadap prestasi belajar disekolahnya (kegagalan akademis). Kedua, bahwa isolasi (terisolir) merupakan indikator ketidakmampuan melakukan hubungan sosial (sosialisasi) dalam lingkungannya (sekolah/kelas/kelompok belajar). Seorang siswa yang kurang mampu melakukan hubungan sosial dengan yang lain, mungkin karena dia merasa cepat tersinggung, suka menghindari
28
tanggung jawab, overacting, sombong, dan sebagainya akan disikapi (menjadi objek sikap) oleh anggota kelompok yang lain. Selain itu, atribut lain yang dibawa oleh seorang siswa, seperti prestasi yang diperoleh, status sosial ekonomi, dan lain-lainnya, akan disikapi juga oleh orang lain secara berbeda. Mungkin dia diisolasi oleh yang lain atau sebaliknya. Seperti ditegaskan oleh David Fontana (335 : 1986) …An isolate might simply be marked off from the rest of the class by widely differing academic ability or socio-economic status, or he could be socially aggressive in some way, or exceptionally timed and retiring, or have some other kind or personality problem which may need particular guidance and counseling. Dari pendapat diatas jelas bahwa isolasi (terisolir) merupakan indikator ketidakmampuan bersosialisasi, yang ditandai dengan terlalu agresifnya dalam hubungan sosial atau punya perasaan malu yang berlebihan. Menurut Natawidjaja (1979 : 93-95) faktor yang berpengaruh kepada ketidakmampuan penyesuian sosial atau perkembangan sosial yang terpenting adalah faktor pendidikan atau pembiasaan dalam keluarga, dan faktor kelompok sosial. Yang dimaksud dengan siswa terisolir dalam penelitian ini adalah siswa yang tidak dipilih oleh teman sekelasnya (sekelompoknya) sebagai teman dekat atau paling disenangi dalam suatu situasi. Mereka adalah siswa yang terasing atau terpencil atau dikucilkan oleh teman sekelompoknya karena kemampuan penyesuaian yang rendah atau memiliki sikap yang tidak disenangi teman
29
sekelompoknya. Mereka merupakan anggota kelompok kelas tetapi tidak disenangi dan ditolak oleh teman-temannya. Konsep ini mengacu kepada tes sosiometri.
E. Penggunaan Permainan Sosial Dalam Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Permainan Dalam literatur konseling bermain, istilah play (bermain) dan game (permainan memiliki makna yang berbeda. Genis G. Wahyu (2009) mengemukakan bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan. Menurut Schaefer & Reid (Nandang Rusmana, 6:2009) bermain dipandang sebagai suatu perilaku muncul secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia dan binatang, bermain secara intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenangsenang. Setiap orang pasti pernah bermain, mulai dari masa kecil hingga masa dewasa tidak akan terlepas dari bermain. Bermain dapat memberikan kesan bagi orang yang terlibat didalamnya. Kesan atau pengalaman yang kuat dari melakukan permainan dapat membantu seseorang untuk mencegah
atau
mengatasi
tantangan
psikososial
dan
mencapai
perkembangan diri yang optimal. Holeman (2009) mengemukakan bermain dianggap penting semenjak jaman Plato (429-347 SM). Plato Mengemukakan “you can
30
discover more about a person in an hour of play than in a year of conversation”, dari pendapat tersebut tersirat bahwa lebih mudah memahami
seseorang
ketika
dia
bermain.
Sedangkan
Rousseau
berpendapat bahwa bermain adalah alat untuk mempelajari dan memahami individu. Formberg (Sue Dockett&Marylin Fleer, 15: 1999) mengemukakan karakteristik bermain yaitu. a. Bermain bersifat simbolik Bermain melibatkan elemen berkhayal, dimana manusia, objek, dan ide-ide diperlakukan sebagai hal-hal atau sesuatu yang lain. Ketika bermain, manusia atau benda digunakan sebagai symbol untuk manusia dan benda lain yang berbeda. b. Bermain memberikan makna Johnson
(1990)
menggambarkan
bermain
sebagai
jendela
perkembangan dan kesempatan untuk belajar. Kesan-kesan dan pengalaman ketika bermain berperan kuat dalam mengembangkan kepribadian. c. Bermain membuat aktif Bermain adalkah beraktivitas. Dengan bermain berarti mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas baik secara fisik maupun psikis. d. Bermain memberikan kesenangan Seseorang terdorong untuk bermain karena permainan yang dilakukan dapat memberikan kesenangan. Bermain tidak harus seperti bekerja
31
yang menuntut seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Bermain adalah aktivitas untuk memperoleh kesenangan. Oleh karena itu, terapis, konselor, atau guru banyak menggunakan metode bermain sebagai media. e. Bermain bersifat sukarela Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri. Seseorang bebas memilih tanpa paksaan untuk bermain atau tidak ikut bermain. Hal tersebut melatih seseorang untuk mempertimbangkan
waktu dan
energi pada hal-hal yang dianggap penting. Sue Dockett & Marylin Fleer (1999) mengemukakan terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai konsep bermain, teori tersebut terbagi dua teori klasik dan teori kontemporer. a. Teori Klasik 1. Teori Surplus Energi, teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan bermain ketika mereka mempunyai energi yang lebih. Jadi, bermain merupakan cara untuk menghabiskan energi. Salah satu tokohnya adalah Schiller seorang filosof dari Jerman yang menyebutkan bahwa bermain adalah pengeluaran banyak energi dan tidak mempunyai tujuan. Sekarang banyak yang menentang teori ini karena pendapatnya yang menyebutkan bahwa bermain itu tidak bertujuan. 2. Teori Rekreasi, teori ini menjelaskan bahwa bermain merupakan aktivitas yang bertujuan untuk bersenang-senang atau rekreasi,
32
bukan untuk keperluan pekerjaan atau keperluan lain. Teori ini berpendapat bahwa bermain bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan energi. 3. Teori Latihan-Naluri Teori ini menjelaskan bermain sebagai cara bagi anak-anak untuk mempelajari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan ketika menjadi orang dewasa. Bermain berarti mempersiapkan diri untuk peran di masa yang akan datang 4. Teori Katarsis Teori ini menjelaskan bahwa bermain merupakan kegiatan untuk menunjukkan dorongan naluri dalam cara yang pantas dan dapat diterima secara sosial. b. Teori Kontemporer 1. Teori Psikoanalisa Dalam teori ini dijelaskan bahwa bermain adalah sebagai katarsis dari pengalaman-pengalaman. Bermain merupakan cara yang aman untuk mengekspresikan emosi dan impuls-impuls yang tidak diterima dalam kenyataan. 2. Teori Vygotsky Dalam pandangan Vygotsky bermain selalu menjadi simbol pengalaman sosial. Pembelajaran dan perkembangan adalah suatu aktivitas sosial. Tema utama teori ini ialah interaksi sosial memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kognitif.
33
Baginya, proses perkembangan yang panjang antara interaksi sosial dan
pembelajaran sosial akan menyebabkan perkembangan
kognisi. Zone Proximal Development (ZPD) dan Scaffoldingk ZPD adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Scaffolding adalah memberikan bantuan kepada seseorang dalam tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi pemberian bantuan tersebut dengan tujuan pemberian kesempatan kepada seseorang tersebut untuk dapat mengerjakan sendiri. 3. Teori Piaget Piaget terkenal dengan teorinya mengenai tahapan bermain, yaitu. a. Permainan latihan (terutama selama 2 tahun pertama): latihan memperlakukan benda-benda untuk mengerti sifat-sifatnya, memperluas pengetahuannya. b. Permainan simbolis (terutama sesudah tahun ke-2): banyak persamaan dengan permainan fiksi Bữhler; remaja belajar untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhannya dan keinginankeinginannya pada kenyataan (bandingkan asimilasi). c. Permainan aturan (terutama antara 7 dan 11 tahun): mengerti aturan-aturan, yaitu aturan-aturan objektif lepas dari waktu dan orang-orang tertentu. Dipelajari melalui aktifitas-aktifitas permainan.
34
4. Teori Parten Parten mengkategorikan bermain yaitu. a. Gerakan yang terarah: tidak berbuat apa-apa, jalan-jalan, melihat kesana-kemari, bermain-main dengan badan sendiri. b. Tingkah laku pengamat (onlooker behavior): melihat individu lain yang sedang melakukan sesuatu. c. Permainan solitair: bermain sendiri, mencari kesibukan sendiri. d. Permainan parallel: bermain dengan permainan yang sama tanpa ada tukar-menukar alat permainan dan tanpa ada komunikasi. e. Permainan asosiatif: remaja bermain bersama-sama tetapi tanpa ada pemusatan terhadap suatu tujuan, tanpa ada pembagian peranan dan alat-alat permainan. f. Permainan kooperatif: kerjasama dan koordinasi dalam alat-alat dan peranan-peranan, ada perjanjian dan pembagian tugastugas.
Genis G. Wahyu (2009) mengemukakan bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan. hal tersebut yang menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang semata untuk kesenangan fungsional. Berbeda dengan bekerja yang memiliki tujuan tertentu dan tidak harus menimbulkan kesenangan. Saat ini, sekolah telah mengakui nilai dan manfaat bermain yang bersifat
35
edukatif bagi perkembangan para peserta didik. Hal tersebut terlihat dengan pencakupan permainan, olah raga, seni, dalam kurikulum pendidikan formal. Game (permainan) telah ada sejak zaman prasejarah dan dianggap memainkan
suatu
peran
signifikan
dalam
adaptasi
terhadap
lingkungannya. Game (permainan) adalah kagiatan yang terstruktur, biasanya dilakukan untuk memperoleh kesenangan atau sebagai alat pendidikan (www.wikipedia.org). kebanyakan permainan memiliki aturanaturan yang menentukan peran-peran pemain, batasan-batasan dan harapan terhadap
perilaku,
dan
menggambarkan
cara
permainan
itu
berfungsi/berjalan (nandang Rusmana, 6 :2009) . berdasarkan pengertian diatas terlihat jelas perbedaan antara play (bermain) dengan game (permainan). Game memiliki struktur, rentang dan cakupan perilaku yang terbatas dibandingkan play yang tak terstruktur dan melibatkan imajinasi yang berpura-pura. Dalam pelaksanaanya game (permainan)memerlukan kemampuan kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan play (bermain). Studi tentang permainan dapat menjelaskan hubungan antara kognitif-afektif, dan proses interpersonal (Russ,1987; J. Singer,1973;D. Singer & J. Singer,1990). Menurut Russ (Nandang Rusmana, 7 : 2009) dengan mengamati proses permainan, konselor dapat melihat ekspresi dari sejumlah proses kognisi, afektif, dan proses interpersonal. Proses kognisi yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi :
36
1. Organisasi
adalah
proses
psikologis
yang
terkait
dengan
kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena dengan logis dan sistematis. 2. berpikir divergen berkait dengan kemampuan individu untuk mengembangkan sejumlah gagasan, tema cerita, dan symbol secara kreatif. 3. simbolisme berkait dengan kemampuan untuk mentransformasi objek-objek biasa ke dalam representasi-representasi objek-objek lain. 4. khayalan berkait dengan kemampuan untuk terlibat dalam perilaku bermain”seakan-akan” untuk berpura-pura berada dalam suatu waktu dan ruang yang diekspresikan. Proses afektif yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi : 1. Ekspresi emosi merujuk kepada kemampuan individu untuk mengekspresikan keadaan-keadaan dalam situasi bermain purapura, baik afeksi positif maupun afeksi negatif. 2. Ekspresi tema-tema afeksi merujuk pada kemampuan untuk mengekspresikan bayangan-bayangan bermuatan afeksi dan tema khusus dalam bermain. 3. Aturan emosi dan modulasi afeksi merujuk pada kemampuan memuat dan mengatur emosi positif maupun emosi negatif. Proses interpersonal yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi :
37
1. Empati merujuk pada ekspresi kepedulian dan perhatian terhadap orang lain. 2. Skema interpersonal merujuk pada kapasitas individu untuk mempercayai orang lain. 3. Komunikasi merujuk pada kemampuan untuk berkomunikasi, mengekspresikan gagasan, dan emosi pada orang lain.
2. Fungsi Permainan Bandi (2004) mengemukakan bahwa bermain mempunyai fungsi yang berhubungan dengan faktor biologis, intrapersonal, interpersonal, dan sosiokultural. a. Faktor biologis dimaksudkan bahwa bermain sangat erat kaitannya dengan fungsi biologis, yaitu 1. bermain merupakan wahana bagi seseorang untuk mempelajari keterampilan-keterampilan dasar. 2. melalui bermain seseorang dapat meyalurkan seluruh energi serta mendapatkan relaksasi. 3. bermain memberikan kemungkinan terhadap remaja untuk melakukan kinestetik. b. fungsi intrapersonal yaitu : 1. bermain dapat memenuhi gairah diri, yang merupakan perilaku manusia yang membutuhkan sesuatu, walaupun sering tidak terkabulkan.
38
2. bermain dapat memungkinkan seorang untuk memperolah kemampuan untuk menguasai situasi tertentu 3. bermain menjadikan diri seseorang untuk dapat mengatasi konflik-konflik dirinya. c. Fungsi interpersonal, yaitu : 1. bermain merupakan wahana yang paling penting bagi seseorang untuk menemukan jati dirinya. 2. bermain membantu seseorang untuk mempelajari keterampilanketerampilan sosial. Sedangkan fungsi permainan secara sosiokultural adalah bermain sebagai media untuk mempelajari peranan budaya. Hetherington Dan Parke (1979) menyebutkan tiga fungsi utama dari permainan yaitu. 1. Fungsi Kognitif Permainan
membantu
perkembangan
permainan
seseorang
mampu
mempelajari
objek-objek
kognitif.
menjelajah
disekitarnya,
Melalui
lingkungan, dan
belajar
memecahkan masalah yang dialaminya. Piaget (1962) percaya bahwa struktur kognitif seseorang mulai dari anak-anak harus dilatih dan permainan merupakan metode yang sempurna bagi latihan tersebut. Melalui permainan memungkinkan
39
2. Fungsi Sosial Permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial. Ketika kecil, permainan membantu anak-anak dalam memerankan suatu peran, belajar memahami orang lain dan peran-peran yang akan dimainkan kemudian hari setelah mereka tumbuh dewasa. Tidak hany anak-anak bagi remaja atau orang dewasa permainan menjadi ajang bersosialisasi dengan orang lain. 3. Fungsi Emosi Permainan memungkinkan seseorang untuk memecahkan masalah-masalah emosional, sarana untuk belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin. Permainan memungkinkan seseorang untuk melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan yang terpendam. Karena tekanan batin terlepaskan didalam permainan, seseorang dapat mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan.
3. Jenis-Jenis Permainan Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan mengenai jenis-jenis permainan. Menurut McClellan & Katz (2001) kegiatan bermain dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis utama, yaitu (1) kegiatan bermain fantasi (symbolic/pretend/imaginary play), dan (2) gim (game), yaitu permainan yang terstruktur dan mempunyai seperangkat aturan baku dan
40
bersifat kompetitif. Baik kegiatan bermain fantasi maupun gim memperkuat perkembangan kompetensi sosial pada remaja. Sutton-Smith
dan
Roberts
(Nandang
Rusmana,
14:2009)
membedakan jenis permainan berdasarkan pada apa yang menentukan siapa yang menang. Pertama, permainan keterampilan fisik. Kedua, permainan strategi. Ketiga, permainan untung-untungan. Berikut ini akan disajikan secara skematis kategori-kategori permainan yang dikemukakan oleh beberapa ahli yang lainnya dalam tabel 2.3. Tabel 2.3 Bentuk-bentuk Permainan Menurut Beberapa Ahli (Mönks, 1982:142) No. Nama Tokoh 1. Bữhler
a.
b.
c.
d.
2.
Parten
a.
b.
c. d.
Bentuk Permainan Permainan gerak dan permainan fungsi (dari lahir sampai ± 3 tahun); berbagai aktifitas motorik, vokal dan penginderaan. Permainan peranan, permainan fantasi dan permainan fiksi (terutama antara usia 2 dan 5 tahun); semua aktifitas mempunyai sifat “seakan-akan”. Permainan reseptif (ada sesudah tahun ke-2; tidak ada puncak yang terikat pada usia tertentu) terbuka untuk dan dapat meresapkan kesan-kesan baru. Permainan konstruksi (sudah ada mulai usia 2 tahun dan meningkat terutama mulai usia 5 tahun); misalnya membuat sesuatu. Gerakan yang terarah: tidak berbuat apa-apa, jalan-jalan, melihat kesana-kemari, bermainmain dengan badan sendiri. Tingkah laku pengamat (onlooker behavior): melihat individu lain yang sedang melakukan sesuatu. Permainan solitair: bermain sendiri, mencari kesibukan sendiri. Permainan parallel: bermain dengan permainan yang sama tanpa ada tukar-menukar
41
3.
Piaget
4.
Caillois
alat permainan dan tanpa ada komunikasi. e. Permainan asosiatif: remaja bermain bersamasama tetapi tanpa ada pemusatan terhadap suatu tujuan, tanpa ada pembagian peranan dan alat-alat permainan. f. Permainan kooperatif: kerjasama dan koordinasi dalam alat-alat dan perananperanan, ada perjanjian dan pembagian tugastugas. a. Permainan latihan (terutama selama 2 tahun pertama): latihan memperlakukan benda-benda untuk mengerti sifat-sifatnya, memperluas pengetahuannya. b. Permainan simbolis (terutama sesudah tahun ke-2): banyak persamaan dengan permainan remaja belajar untuk fiksi Bữhler; menyesuaikan kebutuhan-kebutuhannya dan keinginan-keinginannya pada kenyataan (bandingkan asimilasi). c. Permainan aturan (terutama antara 7 dan 11 tahun): mengerti aturan-aturan, yaitu aturanaturan objektif lepas dari waktu dan orangorang tertentu. Dipelajari melalui aktifitasaktifitas permainan. a. Agon (Yunani = permainan kompetisi): setiap orang mempunyai kebutuhan untuk menonjol dalam suatu bidang tertentu, pertandingan memberikan kesempatan untuk hal ini. b. Alea (Latin = dadu): tidak tergantung kekuatan sendiri tetapi karena sifat kebetulan; main judi; mengadu nasib dan ingin menguasai. c. Mimicry (Yunani = menirukan); lepas dari diri sendiri dengan menjadi orang lain, berbuat seakan-akan untuk melebihi keterbatasan sendiri. d. Ilin (Yunani = pusaran): permainan yang mengandung bahaya dan resiko, misalnya autocross, mendaki gunung (menanklukkan puncak gunung).
Jefree
dan
kawan-kawannya
(Bandi,
2004:75)
mengembangkan beberapa jenis permainan. Keenam jenis permainan tersebut yaitu :
42
a. Exploratory Play atau permainan eksplorasi, yaitu permainan yang memberi kesempatan terhadap remaja untuk dapat menjelajahi lingkungannya b. Energetic Play atau permainan energik, yaitu permainan yang menggunakan seluruh energi c. Skillful Play atau permainan melatih keterampilan, yaitu permainan yang berkaitan dengan keterampilan baru d. Social Play atau permainan sosialisasi, yaitu permainan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi e. Imaginative Play atau permainan imajinasi, yaitu permainan untuk mengembangkan daya berfikir dan bahasa f. Puzzle-It-Out Play atau permainan puzzle, yaitu permainan memecahkan masalah dengan bermain puzzle.
4. Penggunaan Permainan Sosial Dalam Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis yang sebelumnya mungkin belum pernah dirasakannya dan ada juga yang harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tugas perkembangan tersebut remaja memerlukan pola penyesuaian baru. Jika remaja dapat menunjukkan sikap, penampilan,
43
dan perbuatan yang diterima oleh teman sebaya, maka dia akan diterima secara sosial. Jika gagal maka penolakan adalah konsekuensi dari ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri. Siswa yang ditolak secara sosial dalam istilah sosiometri berstatus terisolir. Hurlock (1980) mengemukakan tanda bahaya yang biasa ditunjukkan oleh remaja karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri yaitu. 1. tidak bertanggung jawab, seperti perilaku mengabaikan tugas sekolah demi mendapat pengakuan sosial. 2. sikap yang agresif dan yakin pada diri sendiri. 3. perasaan tidak aman. 4. merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang dikenal. 5. perasaan menyerah. 6. terlalu banyak mengkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasan. 7. mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan. 8. menggunakan
mekanisme
pertahanan
seperti
rasionalisasi,
proyeksi, berkhayal, dan memindahkan. Untuk mencegah hal-hal tersebut di atas terjadi, maka remaja perlu dilatih untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosialnya. Hal tersebut bertujuan agar mereka mampu berusaha sendiri agar pikiran, sikap, penampilannya dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
44
Salah satu pendekatan yang dapat diberikan untuk melatih remaja dalam mengembangkan kemampuan sosialnya adalah dengan permainan. Permainan yang digunakan adalah permainan sosial. Jefree (Bandi, 2004:75) menyebutkan bahwa permainan sosial adalah permainan yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi. Permainan sosial dapat membantu remaja dalam interaksi sosial dan mengembangkan keterampilan sosial, yaitu belajar bagaimana berbagi, hidup bersama, memecahkan masalah, serta belajar hidup dalam masyarakat secara umum. Parten mengistilahkan permainan ini dengan permainan kooperatif. Permainan sosial dan permainan kooperatif mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu seseorang yang terlibat didalamnya untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Permainan ini dilakukan
dalam
situasi
kelompok.
Nandang
Rusmana
(2009)
mengemukakan terdapat tujuh alasan untuk menggunakan permainan dalam kelompok, diantaranya : 1. Mengembangkan diskusi dan partisipasi Penggunaan meningkatkan
permainan partisipasi
dalam
kelompok
anggota
seringkali
kelompok
dengan
dapat cara
memberikan mereka pengalaman umum.permainan dapat menjadi cara untuk menstimulasi minat dan energi anggota kelompok. 2. Memfokuskan kelompok Suatu permainan dapat digunakan untuk memfokuskan anggota pada suatu isu atau topik yang umum.
45
3. Mengangkat suatu fokus Konselor juga bisa menggunakan permainan untuk mengangkat suatu fokus saat ia merasa sebuah topik baru dibutuhkan. 4. Memberi kesempatan untuk pembelajaran eksperiensial Permainan berguna untuk membuat anggota menindaklanjuti tema yang
didiskusikan
dalam
kelompok
daripada
hanya
membicarakannya. 5. Memberi konselor informasi yang berguna Permainan berguna untuk mendapatkan informasi yang berguna dari anggota kelompok. 6. Memberikan kesenangan dan relaksasi Permainan tertentu dapat melonggarkan suasana dalam kelompok melalui canda tawa dan relaksasi. 7. Meningkatkan level kenyamanan Permainan dapat digunakan untuk meningkatkan level kenyamanan dalam kelompok. Banyak anggota mengalami kecemasan selama sesi awal dalam kelompok. Permainan untuk meningkatkan keakraban seringkali menambah rasa nyaman diantara anggota kelompok. Dalam permainan sosial, seseorang diajarkan untuk bisa memulai mengajak orang lain berkenalan. Kemudian melakukan interaksi yang berkelanjutan, memahami orang lain, menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, mampu menjalankan peran yang
46
telah ditentukan bersama, kemampuan mengontrol diri, kemampuan berempati, dan kemampuan untuk saling menghargai. Dengan diberikan permainan sosial diharapkan remaja yang mempunyai kemampuan penyesuaian sosial rendah mampu mengatasi permasalahannya tersebut dan siap untuk menempuh tingkat kehidupan dewasa.