dan ketidakpuasan ini kini tidak bertumbuh dari sanggar-sanggar (seperti Bumi Tarung) namun dari kampus-kampus. Dan isunya pun melebar bukan sekadar ada tidaknya muatan sosial-politik kerakyatan dalam berkarya, namun definisi estetika dan kategorisasi-kategorisasi senirupa itu sendiri kini mulai digugat. Peristiwa Desember Hitam (1974), pameran Kepribadian Apa (1975, 1979), serta Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) adalah sebagian dari aksi-aksi ketidakpuasan paling fenomenal yang tercatat dalam dunia senirupa Indonesia era 1970-an. 72 Ketiganya bisa dibilang upaya mengembalikan muatan sosial-politik ke dalam senirupa sekaligus memperluas “kemungkinan berkarya” dengan merontokkan sekat-sekat kategoris yang ada dalam senirupa Indonesia selama ini. Untuk kepentingan paparan ini, perlulah kita menengok sedikit apa yang terjadi pada masa-masa itu guna melihat warisan yang ditinggalkannya pada generasi perupa 1990-an termasuk Taring Padi. Menilai Senirupa Kritis ’70 hingga ’90-an Seiring naiknya militer ke tampuk kekuasaan, dosen-dosen ASRI –sejak 1968 beralih nama menjadi STSRI “ASRI”—yang dianggap terlibat LEKRA seperti Abdul Salam, Ngajarbana Sembiring, dan Suromo dicopot lalu digantikan oleh perupa-perupa formalis seperti Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, dan Widayat. Formalisme mereka ini mengambil bentuk seni lukis dekoratif, yang dianggap sebagai semacam visualisasi “kepribadian nasional” Indonesia dan menggeser tema-tema sosial-politik yang ada dalam tradisi realisme Sudjojono. Widayatlah yang pernah mengatakan bahwa melukis adalah menghias: “Lukisan itu berfungsi sebagai benda hias, untuk digantung di dinding rumah, di kantor, di art gallery, di museum, dan lainnya.”73 Namun sejak awal 1970-an, ketidakpuasan terhadap pendekatan dekoratif ini mulai terasa di kalangan mahasiswa. Sementara di Bandung, formalisme yang diturunkan dari tradisi modernis mengekalkan pemilahan ketat antara disiplin seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Penentangan terhadap formalisme oleh aktivis mahasiswa senirupa ITB lebih ditujukan
untuk merombak kekakuan premis-premis fundamental modernisme yang dianut para seniman “mazhab Bandung”. Formalisme semakin meraja dalam senirupa Indonesia ketika dewan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974 mensahkan karya-karya para pelukis dekoratif dan abstrak A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam, dan Abas Alibasyah sebagai karya-karya terbaik. Merespons keputusan juri tersebut, 14 seniman muda dari STSRI “ASRI”, ITB, dan IKJ menandatangani pernyataan yang mereka sebut Desember Hitam, yang pada intinya menyebutkan bahwa perkembangan senilukis Indonesia hanya bisa sehat apabila ia menghargai kepancaragamannya sendiri dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Abas Alibasyah selaku Direktur STSRI “ASRI” bereaksi keras dengan menskors para mahasiswanya yang ikut menandatangani pernyataan tersebut. Dengan pemikiran khas Orde Baru Abas menyatakan bahwa mencampurbaurkan senirupa dan politik sangatlah berbahaya bagi stabilitas perkembangan negara. Letjen Widodo, Panglima Komando Wilayah Pertahanan II Jawa-Madura, ikut memprihatinkan Peristiwa Desember Hitam.74 Formalisme juga secara nyata disokong oleh pemerintah Orde Baru saat memulai proyek pembuatan patung-patung di ruang publik sejak 1976. Patung But Muchtar “Persatuan” di pelataran MPR/DPR atau patung G. Sidharta “Tonggak Samudra” di Tanjung Priok misalnya, menampilkan gaya abstrak yang berbeda jauh dengan patung-patung publik realistik yang dibangun semasa Soekarno, semisal karya-karya Edhi Sunarso (patung “Dirgantara” di Pancoran dan patung “Selamat Datang” di Bundaran HI) atau patung Jenderal Sudirman karya Hendra Gunawan di Yogyakarta. Delapan bulan sesudah Desember Hitam, gerakan aktivis mahasiswa senirupa dari Bandung dan Yogyakarta ini mengerucut dalam pameran Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) di TIM, Jakarta, 2-7 Agustus 1975. Manifesto yang mereka lansir tahun 1979, “Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”, tetap memukau untuk dibaca bahkan pada saat ini. GSRB memperjuangkan robohnya sekat-sekat yang membatasi senirupa dalam kategorisasi konvensionalnya (seni lukis, seni patung, dan seni gambar) dan menganggap sah semua bentuk dan kegiatan “yang dapat dikategorikan ke dalam seni rupa di Indonesia”, termasuk dari seni-seni tradisional dan semua
kemungkinan pencarian lainnya. GSRB juga menolak citra seniman sebagai sosok empu yang “tidak dimengerti masyarakat”. Sebaliknya GSRB percaya “masalahmasalah sosial aktual lebih penting untuk dibicarakan daripada sentimen-sentimen pribadi”. Yang paling telak, GSRB menentang habis-habisan pendapat yang mengatakan seni adalah universal. Secara kelompok, GSRB hanya berumur pendek (bubar 1979), namun demikian warisan yang ditinggalkannya tidak. Banyak pengamat meletakkan GSRB sebagai titik munculnya seni rupa kontemporer di Indonesia.75 Ada beberapa ciri menarik yang bisa kita amati dari aksi-aksi senirupa kritis – kalau istilah ini bisa dipakai—selama masa Orde Baru. Pertama, sebagaimana telah diulas tadi, berbeda dengan LEKRA atau tradisi realisme Sudjojono, para aktivis senirupa era ’70-’80-an bukan sekadar mempermasalahkan surutnya muatan-muatan sosial-politik dalam karya seni akibat depolitisasi Orde Baru, melainkan mereka juga mulai menggugat batasan-batasan senirupa itu sendiri. Seperti dikemukakan kemudian oleh Jim Supangkat, eksponen dan teoretikus utama GSRB, munculnya seni kontemporer di Indonesia tak terlepas dari reaksi terhadap depolitisasi pada perkembangan senirupa sebelumnya.76 Berkat jalan yang telah dibuka oleh GSRB, “pemberontakan bentuk” macam ini sudah sedikit dipersoalkan oleh generasi perupa ’90an, yang telah menganggap praktik interdisipliner seni kontemporer sebagai suatu kewajaran dan tinggal memanfaatkannya sebagai medium ekspresi. Kedua, atas arah yang dipilihnya, maka kita sebenarnya bisa bertanya seberapa politis sebenarnya GSRB. FX Harsono, salah satu dari sedikit eksponen GSRB yang konsisten dengan sikap seninya, mengakui Keberpihakan terhadap rakyat yang menjadi korban pembangunan dan penindasan oleh rezim Soeharto tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam pernyataan GSRB. Tidak seluruh anggota GSRB punya kepedulian terhadap pemasalahan sosial dan penindasan terhadap masyarakat, tetapi beberapa eksponen seperti yang saya sebutkan sebelumnya selalu menempatkan permasalahan sosial dalam penciptaan karya-karya mereka.
77
Dari situ kita bisa memahami jauhnya tema karya-karya Harsono sendiri bila dibandingkan dengan karya-karya Pandu Sudewo, misalnya, yang sama-sama GSRB. Dan tak heran bila para pelukis LEKRA seperti Misbach Tamrin menganggap GSRB “secara politik tidak dengan terang-terangan dinyatakan sebagai media atau senjata perlawanan.” Menurut Tamrin, bisa jadi GSRB enggan menempuh jalan politik dan “terpaksa hanya berkutat di lingkaran seni rupa itu” karena menyadari bahayanya.78 Dengan kata lain, dengan berkutat mempersoalkan definisi-definisi seni itu sendiri, GSRB belum berhasil mendobrak keluar dari sekat pemisah yang dipasang Orde Baru antara ranah seni-budaya dan politik. Namun penilaian Tamrin barangkali tidak sepenuhnya tepat apabila kita melihat bahwa kemungkinan-kemungkinan eksperimentasi yang ada dalam seni kontemporer justru bisa menjadi peluang bagi pekerja seni macam Moelyono untuk meluluhkan garis pembeda antara “seniman” dan “masyarakat awam” (praktik yang disebutnya sebagai Seni Rupa Penyadaran). Penampikan GSRB atas posisi istimewa seniman dalam masyarakat juga bisa dibaca sebagai versi anyar atas diktum LEKRA bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan.” Era ’80 hingga ’90-an semakin banyak seniman yang melibatkan diri dalam kerja-kerja di masyarakat dan mengangkat isu-isu sosial konkret yang ada di tingkat akar rumput bukan sekadar sebagai tema karya, namun sebagai proyek partisipatif masyarakat untuk memikirkan jalan keluar dari masalah sosialnya tersebut. Tercatat misalnya Sanggar Suka Banjir milik penyair Wiji Thukul di Solo, Teater Kebun Teh yang masuk ke desa-desa kecil di Delanggu dan Tawangmangu, Kelompok Olah Seni Anak-Anak Merdeka di Cilacap dan Cisolok yang lantas menjadi Yayasan Anak Merdeka, dan tentunya Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).79 Ketiga, akibat depolitisasi Orde Baru itu sendiri yang mulai menampakkan hasilnya, aksi-aksi senirupa kritis masa itu sulit diorganisir menjadi suatu gerakan skala besar yang berumur panjang. GSRB secara formal hanya berumur 4 tahun dan tidak semua anggotanya berkarya dengan intensitas dan keyakinan yang tetap sama sesudahnya. Aksi-aksi yang berjalan selama dan sesudahnya berlangsung sporadis. Kelompok Seni Pipa (Kepribadian Apa), yang sebagiannya diisi oleh eksponen-eks-
ponen GSRB, cuma mengadakan dua kali pameran pada 1977 dan 1979. Sehingga pada akhirnya, kritisisme para perupa era ’80-an lebih banyak dilakukan dalam kapasitas sebagai ekspresi individual dan tidak bisa meluas sebagai gerakan kelompok. Hal ini cukup mengherankan, karena tidak seperti bidang-bidang lain semacam kewartawanan, olahraga, atau film yang dikontrol sedemikian rupa oleh rezim Orde Baru melalui organisasi-organisasi payung seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), atau Persatuan Aktris Film Indonesia (Parfi), senirupa dan para perupa justru tampak luput dari kontrol organisasional macam ini. Tapi ketiadaan kontrol juga tidak lantas membuat mereka bisa mengorganisir diri sebagai gerakan yang masif dan berkelanjutan. Tidak banyak pengamat yang menjelaskan fenomena ini. Sepertinya, hal ini ada kaitannya dengan kian terlembaganya pendidikan senirupa, yang membuat aksi-aksi senirupa sejak ’70an bermula terlebih dulu sebagai gerakan mahasiswa dari dalam kampus80 (berbeda dengan kehidupan perupa masa sebelumnya di sanggar-sanggar yang bisa dibilang lebih berbaur dengan kehidupan masyarakat umum). Sementara gerakan mahasiswa sendiri praktis dimandulkan dengan dikeluarkannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef pasca Peristiwa Malari 1974. Dengan dibubarkan dan dilarangnya Dewan Mahasiswa sebagai organisasi intra universitas di tingkat perguruan tinggi, praktis kegiatan mahasiswa kini kian terpisah dari politik nasional. Selain faktor tersebut, juga ada faktor lain seperti perbedaan prinsip berkesenian dalam tubuh GSRB sendiri seperti dibilang Harsono tadi, surutnya idealisme sebagian eksponennya, maupun friksi-friksi individual.81 Keempat, adanya kecenderungan bergesernya “kritik politik” menjadi “himbauan moral” dalam senirupa kritis maupun seni-seni lainnya di Indonesia. Hal ini agaknya ada kaitannya pula dengan depolitisasi kehidupan kampus yang membuat mahasiswa kemudian memandang diri lebih sebagai “kekuatan moral” dibanding “kekuatan politik.” Kelugasan idiom ungkap (mungkin juga kelancangannya) dari masa-masa terdahulu tergantikan oleh simbolisasi. Kita bisa bandingkan misalnya realisme Itji
Tarmizi dengan realisme Dede Eri Supria. Dalam Lelang Ikan –karya Tarmizi yang dikoleksi Soekarno—nampaklah rakyat kecil (nelayan) tak berdaya menghadapi kekuasaan tengkulak atau cukong dalam menetapkan harga ikan hasil tangkapan. Sementara dalam Labirin-nya Dede Eri Supria, kita juga melihat ketakberdayaan rakyat kecil, namun kita tak melihat sosok riil siapakah yang membuat mereka tak berdaya. Kita cuma melihat labirin: simbol keruwetan sistem secara umum tanpa ada seseorang atau suatu lembaga yang bisa ditunjuk secara pasti. Inilah yang saya maksud dengan “himbauan moral”. Konsep seni sebagai himbauan moral ini salah satunya dikemukakan oleh pelukis Hardi, yang pernah menjadi eksponen GSRB,
dalam
sebuah
wawancaranya
dengan FX Harsono: Ia [Hardi] beranggapan bahwa seni hanyalah berupa himbauan terhadap khalayak dan para pengambil keputusan agar lebih memperhatikan nasib rakyat dan dianggapnya tidak punya peran dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Seni bukan sebagai alat protes sosial yang mampu menciptakan perubahan.
82
Dengan mendudukkan diri sebagai kekuatan moral, seniman dan mahasiswa “diperbolehkan” mengkritik Orde Baru dalam lingkup yang memang sudah disediakan buat mereka. Beberapa pengamat akan menyebut kritik macam ini sebagai “oposisi loyal”: menerima fakta dasar sistem kekuasaan Orde Baru namun menghendaki diadakannya perbaikan di sana-sini.83 Ini yang membuat Iwan Fals –dengan tembang-tembang protesnya yang ‘santun’—dalam kadar tertentu masih bisa ditolerir oleh Orde Baru, sementara penyanyi protes lainnya yang kini sudah tak banyak diingat orang, Mogi
Darusman, dengan lirik-liriknya yang jauh lebih menohok rezim Soeharto, tak pernah diberi kesempatan pentas lagi oleh penguasa.84 Dalam senirupa pun terjadi “penghalusan” bahasa ungkap dalam memotret realitas masyarakat. Ketimpangan sosial sering dilukiskan tanpa menunjuk langsung aktor-aktor penyebab ketimpangan tersebut. Sosok penguasa penindas, kapitalis-birokrat, militer yang banyak muncul pada karya-karya kritik semasa LEKRA digantikan dengan gambaran umum tentang ketimpangan sosial (misalnya kemewahan kota besar). Menarik bahwa salah satu lukisan Hardi berjudul Penjual Koran Dikejar Polisi menampakkan empat bocah pengasong koran berlari menghindar, namun sosok polisi pengejarnya sendiri tidak terlihat di kanvas. Polisi di sini, sama seperti labirin dalam lukisan Dede Eri Supria, menjadi sesuatu yang tak kasat mata, menjadi suatu sistem umum. Dalam analisa Harsono tentang pergeseran konsep kerakyatan, kecenderungan ini mungkin akan disebutnya sebagai “kelompok kerakyatan yang romantis”: permasalahan sosial tampil hanya sebagai obyek estetis, dan dengan demikian justru kehilangan konteks sosialnya. Namun jelas bahwa kecenderungan ini tidak berlangsung mutlak dan terus menerus. Aktor-aktor penindas dalam struktur masyarakat yang timpang digambarkan kembali dengan berani oleh Semsar Siahaan, misalnya. Lalu bagaimana dengan seni abstrak sendiri? Mungkinkah ia ikut berdiri sebagai seni oposisi terhadap Orde Baru? Ada kasus menarik bagaimana pengamat seni Astri Wright memberi tafsiran terhadap lukisan A.D. Pirous Mentari Setelah September 1965 (1968). Secara visual lukisan Pirous ini terdiri dari “bentuk-bentuk kubis” (maksudnya: pemiuhan obyek seturut paham kubisme, bukan bentuk-bentuk sayur kubis) yang mayoritasnya terlihat vertikal, dengan satu bentuk menyerupai bulatan kuning besar di sisi atas. Wright menafsirkan lukisan ini sebagai penggambaran suasana ke-
takutan dan represi pasca pembantaian antikomunis 1965, di mana bentuk-bentuk tadi adalah “laki-laki dan perempuan-perempuan berselimutkan pakaian, muka mereka menghadap ke bawah ke arah tanah, berpaling dari bulatan matahari yang besar dan tergantung di belakang mereka.”85 Sebagai peneliti yang mengenal dekat A.D. Pirous dan karya-karyanya, Kenneth George membantah tafsiran ini. Wright, menurut George, dibimbing oleh solidaritas dan politik pengharapannya sendiri tentang bagaimana perupa seharusnya beroposisi terhadap kediktatoran rezim Soeharto, dan karenanya “melupakan atau mengingkari latar belakang sejarah ketika karya seni itu dihasilkan dan ketika karya seni itu dipamerkan.” Dengan demikian, peluang seni abstrak untuk bisa menjadi seni oposisi terhadap Orde Baru sepertinya memang nihil. Kolektivisme Taring Padi Praktik berkesenian Taring Padi tentu tak terlepas dari warisan pertarungan-pertarungan yang telah terjadi dalam medan sosial senirupa Indonesia sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Toni mengambil kevakuman pasca GSRB sebagai titik berangkat apa yang mereka lakukan: Pasca Gerakan Seni Rupa Baru, Indonesia tidak punya gerakan kesenian. Kita akhirnya punya kesimpulan, harus ada dua: satu gerakan kesenian kerakyatan, yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Kemudian yang satunya gerakan yang benar-benar nihilism. Aku milih yang pertama.
86
Kita bisa melihat dua kecenderungan yang ada dalam GSRB pada pernyataan di atas: seni kontemporer bisa dipakai sebagai instrumen sosial-politik, atau seni kontemporer bisa asyik dengan eksperimentasi internalnya sendiri sampai menjadi nihilis. Taring Padi sejak awal mengambil pilihan yang pertama: bagaimana seni kontemporer dipakai sebagai instrumen sosial-politik. Sebuah grafiti yang menghiasi squat Gampingan menampilkan gambar sesosok lelaki merancap di atas liang lahat. Di lengan kanannya tertulis “Blup Art” dan di atasnya tertulis slogan besar “Tolak
Seni untuk Seni”. Inilah kritik keras Taring Padi terhadap kecondongan nihilis yang diusung oleh “Blup Art”, sebuah eksperimentasi yang digagas oleh Aminudin TH Siregar dari FSRD ITB. Lagi-lagi kubu Yogya versus kubu Bandung, andai pembagian usang ini boleh dipakai di sini.87 Bagi Taring Padi, prinsip-prinsip berkesenian macam itu bukan hanya onani, tapi juga sudah tinggal mayat hidup. Dalam Mukadimahnya (lihat hlm. ..) kita tidak lagi mendapati kegelisahan soal “pencarian bentuk” seperti pada GSRB, namun langsung masuk pada persoalan bagaimana seni bisa dimanfaatkan sebagai instrumen sosial-politik (“mengembangkan potensi seni yang ada untuk perubahan”). Seni kontemporer yang bergerak pada ranah lintas-disipliner bagi Taring Padi sebagai generasi perupa ’90-an sudah dianggap taken for granted, sebagaimana dibilang Toni: Seni itu semacam tempayan, wadah besar, yang bisa dimasuki oleh apa saja: baik dari ekonomi, kimia, fisika, biologi, sains, humanitarian... bisa masuk dalam tempayan itu, digodok, dan munculnya adalah seni.
88
Terkait dengan pilihan politik Taring Padi, pernyataan Icul berikut ini juga mengambil jarak yang sangat tegas dari seni modern, dan dengan demikian menggemakan kembali perdebatan kesenian kita dari era ’60-an itu dalam konteksnya yang sekarang: Seni modern di sini ialah seni yang sudah terkontaminasi, seni yang sudah digunakan sebagai salah satu alat penguat penindasan oleh orang-orang yang berkuasa atau orangorang yang mencari kekuasaan.
89
Pilihan sikap untuk menentang diktum “seni untuk seni” inilah yang membuat mereka sering dipersamakan dengan LEKRA. Penelisikan lebih dalam menunjukkan perbedaan-perbedaan yang cukup substansial antara keduanya.
Dalam Mukadimahnya, Taring Padi menekankan bahwa seni budaya bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan rakyat sejak zaman dahulu kala, namun keberadaannya telah dijauhkan dari kehidupan rakyat oleh penguasa. Agar seni budaya tumbuh secara bermakna dalam hidup rakyat, maka ia harus dikembangkan dengan “orientasi kerakyatan yang digali dari kebutuhan rakyat serta pertumbuhan pribadi sosial demokratis kerakyatan” Dalam semacam manifestonya yang provokatif, “Lima Iblis Budaya” (lihat hlm. ..), Taring Padi menengarai adanya lima hal yang layak dilawan agar seni budaya bisa tumbuh secara bermakna: 1) Lembaga-lembaga seni budaya yang menitikberatkan seni untuk seni, dengan doktrin-doktrin sesat yang bertujuan menjauhkan perkembangan seni dari masyarakat; 2) Departemen pemerintahan yang cuma berusaha menjual keeksotikan budaya Indonesia demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan; 3) Lembaga-lembaga seni yang mendudukkan diri sebagai legitimator dan penentu arah perkembangan seni; 4) Sistem yang hanya mementingkan kepentingan individu pekerja seni tanpa memikirkan kepentingan rakyat; 5) Prinsip ‘Ekonomi Sebagai Panglima’ serta praktik KKN Orde Baru yang mengikis pemahaman serta fungsi seni dalam masyarakat. Akibat kemiripannya dengan jargon “Tujuh Setan Desa” yang pernah dicetuskan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang terafiliasi dengan PKI, Taring Padi jadi sering dituding “kiri”. Namun dari segi penyusunan maupun, maaf, kualitasnya, keduanya menurut saya tak bisa dibandingkan. Sekalipun provokatif, “Tujuh Setan Desa” adalah jargon yang disarikan dari hasil riset partisipatif yang obyektif dan belum ada presedennya di Indonesia, dengan 3.300 kader PKI diterjunkan di 124 kecamatan untuk bekerja di lapangan selama 12 minggu.90 Sementara “Lima Iblis Budaya” saya kira lebih spontan dan sloganistis sifatnya. Identifikasi atas lima permasalahan tersebut lebih didasarkan pada himpunan pengalaman anggota-anggota Taring Padi sebagai seniman maupun mahasiswa seni selama Orde Baru, namun tak ada rumusan jelas bagaimana menghubungkan kelimanya dengan praktik seni kerakyatan dalam persepsi mereka. Selain itu, konsepsi-konsepsi kesenian LEKRA disusun ketika Indonesia tengah merumuskan arah politik yang hendak ditempuhnya pasca Proklamasi di tengah kecamuk suasana Perang Dingin. Kehidupan intelektual dan politik Indonesia saat itu sangatlah bergairah oleh banyaknya lembaga-lembaga kebudayaan yang seru berpole-
mik, partai-partai politik dengan ideologinya masing-masing ketika larang-melarang belumlah dikenal. Taring Padi menghadapi situasi yang sama sekali bertolak belakang: tiga dasawarsa pemerintahan otoriter, pengekangan kebebasan politik dan berekspresi, pembungkaman ilmu-ilmu sosial dan pemikiran kritis, pengelabuan sejarah, pengebirian kemandirian rakyat dalam berorganisasi, serta komodifikasi seni oleh negara maupun swasta yang belum terjadi pada zaman LEKRA. Dalam hal ini, saya kira “kultur-degenerasi-borjuis” yang dicetuskan LEKRA saat itu justru baru pada taraf intuitif, sementara Taring Padi bergerak nyata di tengah Indonesia hasil pembangunanisme Orde Baru yang telah memunculkan kelas kapitalis dalam negeri dan kelas-kelas baru lainnya yang belum terbentuk secara riil pada zaman LEKRA.91 Hal ini bisa dilihat misalnya dari kritik Misbach Tamrin yang telah dikutip sebelumnya terhadap komersialisasi dunia senilukis Yogyakarta tahun 1963. Kritik Tamrin sesungguhnya tidak mempermasalahkan pasar senirupa itu sendiri, melainkan apakah karya-karya yang dibeli kolektor memang karya yang baik. Mantan LEKRA Hersri Setiawan juga menegaskan bahwa LEKRA mendorong para senimannya berpameran di galeri dan menjual karya-karyanya.92 Isu pasar belumlah ada waktu itu. Sebaliknya, bertolak dari pengalaman umum selama Orde Baru bagaimana relasirelasi pasar kapitalis mewabahi kesenian, gugatan Taring Padi dilontarkan atas relasirelasi dalam pasar senirupa itu sendiri. Oleh karena itu Arbuckle menyimpulkan: Taring Padi menentang keras ‘abstraksi kapitalis’ dari karya seni. Sebaliknya, LEKRA membiarkan masalah relasi-relasi produksi kultural tak terganggu gugat.
93
Jadi dengan segala kekurangan dan kelebihannya, pernyataan-pernyataan publik Taring Padi paling baik dibaca sebagai gebrakan untuk menandai perlawanan terhadap budaya bisu dan dimulainya kembali pembicaraan-pembicaraan ideologis yang telah ditabukan selama 30 tahun (Arbuckle mengistilahkannya dengan pas sebagai “reopening the ideological debates”). Icul menganggap “Lima Iblis Budaya” sebagai “modal simbolik” yang dibutuhkan Taring Padi saat itu untuk bisa mencuat dan di-
kenal di mana-mana.94 Taring Padi provokatif karena memang provokasilah yang diperlukan untuk menggugah publik dari tiga dasawarsa kebungkaman. Tak ada cara lain untuk itu. Provokasi ini politis sifatnya, karena dengan itu buyarlah koordinat yang dipancangkan selama puluhan tahun oleh kekuasaan atas dunia kesenian bahwa seni itu terpisah dari politik, bahwa seniman itu individualis dan tidak perlu berorganisasi dll. Media massa jelas turut berperan di sini. Media ikut membesarkan apa yang dilakukan Taring Padi sebagai organisasi karena tiadanya gerakan kesenian macam ini yang terbaca oleh media massa sebelumnya. Strategi ini pun juga bisa dibilang berhasil, mengingat sorotan yang lantas mereka terima atas segala gebrakannya. Meski strategi semacam ini juga berisiko membuat orang salah tangkap esensinya dan cenderung berfokus pada ‘ribut-ribut’nya saja. Silang pendapat Taring Padi dengan Galeri Cemeti misalnya, membuat “Lima Iblis Budaya” banyak disimplifikasi sebagai sikap antigaleri. Padahal tidak demikian halnya. Silang pendapat ini bermula pada 1999, ketika Galeri Cemeti hendak membawa karya dua perupa Taring Padi –yang sedang dipamerkan di galeri mereka dalam pameran bersama bertajuk Knalpot—ke pameran lanjutan di Bali. Secara kolektif, dalam surat yang ditandatangani Toni, Taring Padi memutuskan menolak tawaran tersebut karena menganggap galeri di Bali terlampau komersil. Perlu dicatat bahwa saat itu Cemeti adalah galeri seni rupa yang sangat disegani dan program mereka tidak mungkin disamakan dengan program galeri-galeri komersil lainnya.95 Silang pendapat kedua berlangsung lebih substantif. Taring Padi mengkritik pameran bersama AWAS! Recent Art from Indonesia (2002) yang diorganisir Cemeti ke beberapa negara. Taring Padi menganggap pameran ini tidak merepresentasikan Indonesia secara keseluruhan dan lebih layak dijuduli “Art by Contemporary Artists in Java”. Dari sini terlihat bahwa hubungan Taring Padi dengan galeri dan isu-isu pasar senirupa lebih
kompleks daripada sekadar menolaknya mentah-mentah begitu saja. “Lima Iblis Budaya” lebih dimaksudkan untuk mengkritisi lembaga-lembaga yang bersifat otoriter dan kapitalistik dalam menentukan perkembangan senirupa di Indonesia, yang
bisa menciptakan ketidaksetaraan antara galeri, kurator, dan pekerja seni. Ketidaksetaraan inilah yang membuat seni menjadi semakin elite dan tersisih dari kenyataan hidup masyarakat umum yang dimiskinkan oleh pembangunanisme Orde Baru. Meski demikian, Arbuckle cukup berhati-hati untuk menilai Taring Padi dari pernyataan-pernyataan dan dokumen-dokumen tertulis yang pernah mereka hasilkan. Alasannya: Sebagian besar dokumentasi tertulis Taring Padi dirumuskan oleh penulis-penulis yang lebih fasih dalam kelompok ini, dan tidak senantiasa mencerminkan opini Taring Padi secara keseluruhan.
96
Saya sependapat bahwa Taring Padi lebih baik dinilai dari karya-karyanya ketimbang pernyataan-pernyataan tertulisnya. Meski demikian saya menganggap semua pernyataan yang pernah keluar atas nama Taring Padi bagaimanapun akan tetap tercatat se-
bagai Taring Padi, dan karenanya layak dipakai untuk mengkaji mereka sebagai sebuah kolektif, dengan segala pertentangan paham internalnya. Taring Padi mengerjakan karya-karyanya secara kolektif dan anonim, tapi tidak tertutup peluang bagi anggota perorangan untuk berkarya secara pribadi tanpa terlepas dari “garis” kelompok. Dan “garis” yang dimaksud di sini bukanlah gaya visualisasi, melainkan “komitmen kerakyatan”. Seperti selalu mereka tekankan: yang menjadi sasaran Taring Padi bukanlah memajukan seni, tapi memajukan masyarakat lewat kesanggupan mereka, yakni kesenian. Masyarakat didorong kesadaran kritisnya dengan cara berkarya bersama-sama. Karena itulah keanggotaan Taring Padi –paling tidak pada masa-masa awal—bersifat terbuka, majemuk, dan tidak melulu mahasiswa seni. Ada yang tidak kuliah, ada pula yang lulusan jurusan akunting, ada yang bekerja sebagai tukang baso, tukang becak, musisi, penulis, dlsb. Seperti telah diulas tadi, secara historis terdapat kaitan antara menurunnya semangat kerakyatan dalam senirupa Indonesia dengan represi yang dialami sanggarsanggar pasca-1965. Taring Padi berusaha memperbarui kembali tradisi sanggar itu di gedung kosong ISI Gampingan yang sangat menunjang untuk menghidupkan suasana kolektif (guyub) dalam berkesenian. Anggota-anggota Taring Padi tinggal bersama, berkarya bersama, bahkan makan bersama lewat dapur umum yang mereka bangun. Mereka bahkan menanam kebun organik dan mengolah pupuk organik dari tinja para penghuni squat. Di squat itu mereka rutin berkumpul untuk membahas pelbagai macam topik yang bisa melebar ke mana-mana mulai dari politik, budaya, debat teoretis, sampai urusan kebun organik itu. Mereka juga mengadakan kelas kritik karya di mana para anggota belajar mengkritisi karya anggota lainnya yang dipajang di kelas. Selain itu mereka juga mengundang rekan-rekan dari luar untuk memberikan semacam kursus politik. Tradisi di squat Gampingan ini tetap berusaha mereka lestarikan saat Taring Padi harus berpindah markas ke Sewon. Namun demikian, kebebasan ekspresi pribadi dan gaya personal yang dimiliki anggota Taring Padi sebelum Taring Padi terbentuk juga tidak dinihilkan dalam suasana kolektif macam ini. Ini paling jelas terlihat pada karya-karya baliho dan ilustrasiilustrasi di Terompet Rakyat. Pada dua baliho yang sama-sama mengangkat isu tanah ini misalnya, Tanah adalah Hidup Kami (1999) dan Tanah untuk Rakyat Tanah (2000), kita bisa melihat jelas gaya gambar yang jauh berbeda. Hal ini timbul karena proses kolektif pembuatan baliho itu sendiri. Ide-ide pokok sebuah karya dan visualisasinya biasanya dirembuk bersama, dan sketsa awal diserahkan ke anggota yang
paling jago gambar. Biasanya yang dipilih untuk ini adalah Manyul
atau
Devi,
karena
merekalah yang paling bisa membuat sketsa dengan cepat.97 Skets itu pun kadang dibuat pada bidang kertas A4 atau bahkan lebih kecil dari itu. Setelah disepakati, baru dipindah ke kain baliho yang ukurannya puluhan kali lipat kertas sketsa. Proses pemindahan ini biasanya menimbulkan distorsi pada proporsi figur-figur dalam lukisan, yang bisa kita lihat pada baliho Tanah adalah Hidup Kami: sosok pak tani yang mengacungkan cangkul terlampau besar ukuran kepalanya. Ini bisa dimengerti karena Taring Padi selalu bekerja langsung pada bidang gambar dan tidak pernah memakai teknologi pembesaran semacam OHP. Distorsi itu pun hanya bisa ditengarai dari kejauhan (foto di atas diambil dari lantai 3 squat Gampingan). Hal ini bagi Manyul tidak menjadi soal: “Proporsi kacau, hajar terus.” Selanjutnya, proses memberi warna dasar pada sketsa pinsil dilakukan secara keroyokan dan boleh oleh siapa saja, termasuk para pengunjung squat yang tidak berlatar seni atau anak-anak kampung sekitar. Mereka yang lebih piawai akan memperjelas detail-detail warnanya (raut muka, rona kulit dsb) serta membubuhkan sentuhan akhir (seperti tampak pada foto mural karya Taring Padi untuk pembukaan toko bahan pertanian organik Sahani di Jalan Gejayan, Yogyakarta, 17 Oktober 1999). Karena digarap per bagian, maka seringkali
terlihat bagaimana sentuhan personal masing-masing anggota terlihat pada tiap-tiap bagian gambar, dan secara keseluruhan baliho atau mural Taring Padi jarang menunjukkan satu gaya yang seragam pada seluruh bagiannya. Menarik untuk melihat bagaimana pengalaman Surya Wirawan (Yoyok) menunjukkan bahwa kolektivitas dalam Taring Padi tidak (dan memang tidak bisa) dipaksakan. Yoyok adalah perupa dengan keterampilan gambar yang sangat mumpuni, namun ia terbiasa menekuni bidang-bidang kecil, di mana ia bisa memperlihatkan kemampuannya untuk mengolah detail-detail yang njlimet secara telaten. Ketika berhadapan dengan bidang besar ia mengaku selalu gamang. Jadi seringkali ketika membuat baliho ukuran besar, ia kebagian tugas menggarap kerja-kerja lainnya: “Ya menyiapkan kanvas, atau seperti waktu workshop komik, membikin spanram satu-satu sampai tanganku sakit.”98 Dalam analisa FX Harsono tentang pergeseran tema kerakyatan dalam senirupa Indonesia, Taring Padi ditempatkannya sebagai kelompok advokasi, yakni kelompok perupa yang memakai karyanya sebagai “media advokasi”.99 Namun saya kira ini hanya satu segi dari karya-karya Taring Padi. Advokasi –yang masih mengandaikan adanya jarak serta komunikasi satu arah antara kelompok yang mengadvokasi (Taring Padi) dengan kelompok yang diadvokasi (masyarakat sasaran)—memang berlaku pada karya-karya baliho, poster, bahkan musik mereka, namun beberapa kegiatan Taring Padi untuk langsung berkarya di tengah dan bersama-sama masyarakat bisa digolongkan ke dalam “media penyadaran”. Dalam hal ini, komunikasi berlangsung dua arah: bukan hanya masyarakat tersadarkan lewat kerja bersama mereka dengan Taring Padi, namun anggota-anggota Taring Padi sendiri mendapat pemahaman langsung
yang
lebih
utuh
mengenai
realitas
persoalan
masyarakat.
Dua
kecenderungan ini akan dibahas masing-masing pada subbab berikut. Kepalan Tangan dan Buruh yang Non-Eksis Taring Padi sangat kritis tentang di mana karya mereka dipasang. Meski tidak menolak sepenuhnya untuk berpameran di galeri umum, namun mereka selalu mengutamakan memasang karya di ruang-ruang publik. Ada tujuan yang jelas untuk sikap ini, yakni mengkomunikasikan pesan kepada khalayak umum seluas mungkin. Andai pun mereka berpameran dalam pengertian konvensional kata tersebut, Taring Padi
mengupayakan tempat-tempat pameran baru yang lebih tidak berjarak dengan masyarakat umum dibanding galeri, misalnya di warung-warung emperan, sebagaimana Pameran Grafis di 4 Warung yang mereka lakukan pada 2002. Selain itu, squat Gampingan sendiri juga sering mereka manfaatkan untuk mengadakan pelbagai macam acara publik dan malam-malam kebudayaan. Namun Harsono mencermati bahwa hasrat menggebu untuk menyampaikan pesan ini juga membawa masalah tersendiri, karena Eksplorasi hanyalah sekitar bagaimana menghadirkan pesan yang bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat […] Idiom-idiom rupa yang dipakai untuk merepresentasikan permasalahan masyarakat menjadi stereotip […] Ketika rakyat ditampilkan sedang berjuang melawan penindas, selalu tampil dengan simbol tangan yang mengepal, otot yang menonjol, atau rakyat sebagai sosok petani, buruh, masyarakat miskin yang merebut kemerdekaannya.
100
Pengamatan ini ada benarnya, namun juga tidak selalu demikian. Penting saya rasa untuk menilai karya-karya Taring Padi dari konteks pembuatannya. Misalnya, 10.000 lembar poster yang mereka cetak dan sebarkan ke belasan kota di Indonesia menjelang Pemilu 1999, antara lain Yogyakarta, Solo, Semarang, Temanggung, Surabaya, Jakarta, Lumajang, Bandung, Padang, Bukittinggi, dan Makassar.101 Intervensi publik terluas yang pernah mereka lakukan ini terlaksana atas permintaan Komnas HAM melihat situasi yang ada. Masa itu adalah masa transisi yang menegangkan. Ingatan kelam tentang kerusuhan 1998 masih membayang, kekuatan-kekuatan lama masih bercokol di pemerintahan, konflik-konlik horisontal mulai terjadi di mana-mana, dan banyak pengamat memperparah keadaan dengan meramalkan bahwa Pemilu nanti akan berdarah-darah akibat gesekan-gesekan antar kekuatan politik yang baru merasakan kebebasan pasca 1998.
Dalam suasana seperti ini, kita bisa melihat bahwa idiom-idiom “tangan yang mengepal, otot yang menonjol” tidak lagi digunakan oleh Taring Padi. Imaji-imaji agresif dalam suasana yang agresif bisa memperburuk keadaan dan memelencengkan
tujuan penyadaran publik tentang pemilu damai. Karena itulah sesuai dengan konteks dan kepentingan Komnas HAM sebagai pihak pemesan, Taring Padi memakai idiomidiom yang berbeda dalam rangkaian poster ini: tangan yang berjabat, berangkulan, tangan yang terjulur dan terbuka, bukan mengacung dan terkepal. Kalaupun imaji api tetap digunakan, itu bukan untuk menyatakan semangat juang yang berkobar-kobar, melainkan simbol untuk menghanguskan senjata dan sikap permusuhan. Namun demikian, sebagaimana dianalisa oleh Kiswondo, pesan-pesan Taring Padi dalam deretan poster ini menjadi moralistis dan mengabaikan aspek politis di balik fenomena konflik horisontal itu sendiri (lihat boks “Produksi Respons atas Konflik Horisontal” hlm …
)
Dalam poster cukil kayu ini juga terlihat bahwa gaya personal anggota tidak ditiadakan. Cukilan poster ini malah dibuat secara individual, namun dicetak dan disebarkan secara kolektif.