Menilai Demokrasi Indonesia Paska Pemilu 20091 August Mellaz2 Democracy is an inefficient system, but it is better than any alternative. Winston Churchill Great Britain Prime Minister
Pendahuluan Sepertinya tidak cukup mudah meraih kesepakatan bagaimana suatu negara dikatakan demokratis. Selain perdefinisi, konsep demokrasi hingga saat ini masih menjadi perdebatan diantara para ahli. Misalnya kriteria apa yang seharusnya dipakai sebagai landasan tentang pemikiran demokrasi, apakah didasarkan pada aspek-aspek yang sifatnya prosedural dan institusional atau akibat yang lebih bersifat abstrak3. Perdebatan ini masih saja berlanjut, bahkan ketika demokrasi itu sendiri telah didiskusikan lebih kurang selama dua ribu lima ratus tahun4. Tanpa satu konsep yang diterima bersama, maka tidak ada konsensus yang dapat kita pakai dalam rangka mengidentifikasi masalah-masalah yang diasosiasikan dengan demokrasi dan demokratisasi. Tentu saja lebih rumit lagi jika kita memiliki keinginan untuk menilai sampai dimana tahapan demokrasi yang telah dicapai oleh suatu negara. Kerumitan ini sepenuhnya bisa dipahami oleh karena, ketika mencoba mendefinisikan demokrasi, ini memandatkan adanya penilaian menyeluruh atas keberagaman yang tercipta berdasarkan perbedaan kultur dan politik, serta beragam tahapan yang telah dicapai oleh situasi ekonomi dan sosial5. Bahkan, ketika penilaian atas prasyarat di atas telah terpenuhi misalnya, tetap saja menetapkan satu standar atau model demokrasi merupakan upaya yang sukar dipahami. Bagaimanapun perdebatan demokrasi yang hingga saat ini masih berlangsung, namun daya tarik dari ide dan praktik demokrasi telah mendorong peningkatan jumlah negara-negara yang mengikatkan dirinya pada prinsip-prinsip demokrasi, bahkan meliputi wilayah geografis dunia yang tidak pernah ada preseden sebelumnya. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1896 hanya terdapat 10 negara yang memiliki basis yang
1
Paper ini disiapkan sebagai salah satu bahan ajar pelatihan kepemiluan untuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2 Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) 3 Lihat Takashi Inoguchi, Edward Newman, dan John Keane, ed. “The Changing Nature of Democracy”. (United Nations University Press, 1998), hlm. 1-19. Mengutip pendapat Olle Toernquist, pembedaan atas dua criteria; procedural democracy (kerap disebut sebagai ‘Bad’) dan demokrasi substansif (kerap disebut ‘good’), sebaiknya tidak digunakan karena tidak memiliki manfaat, bahkan memiliki kecenderungan yang menyesatkan. Argumentasinya, dalam demokrasi memang membutuhkan beberapa prosedur dan ini tidak bersifat formalitas belaka. Karena keduanya harus mendorong meningkatnya kesetaraan politik dan kontrol efektif warganegara terhadap setiap kebijakan yang dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan bersama. Lebih lanjut lihat, AE Priyono, Willy Purna Samadhi, Olle Toernquist, dkk, ”Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia”. (Demos, April 2007), hlm 1-3 4 Robert A. Dahl, “Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat”. (Yayasan Obor, 2001), hlm. 9-22 5 Lebih lanjut pembahasan tentang kriteria, definisi dari sifat alami demokrasi lihat Op.cit Takashi Inoguchi, Edward Newman, dan John Keane, ed. ” The Changing Nature of Democracy”, hlm. 2
1
dapat dinyatakan demokratis. Namun, jumlah ini telah meningkat sepuluh kali lipat menjadi 100 negara pada tahun 1996 atau satu abad berikutnya.6
Definisi dan Kriteria Demokrasi dikenal sebagai prasyarat bagi legitimasi kekuasaan dan pemerintahan, selain itu juga dianggap suatu mesin bagi proses politik yang mampu merubah preferensi atau keinginan publik menjadi kebijakan. Tentu saja tanpa adanya partisipasi aktif dari warganegara, institusi demokrasi tidak akan mampu menghasilkan kebijakan seperti yang diinginkan publik. Meski memunculkan kerumitan tersendiri, setidaknya ada lima kriteria standar demokrasi seperti yang diperkenalkan oleh Robert A. Dahl, antara lain7; Partisipasi efektif. Hal ini memandatkan bahwa sebelum sebuah kebijakan digunakan, maka seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif agar pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat. Kesetaraan suara. Adanya kesempatan yang sama dan efektif bagi anggota-anggota pada saat dibuatnya keputusan atas suatu kebijakan. Dimana setiap anggota memiliki suara yang sama nilainya. Pemahaman yang jelas. Adanya kesempatan yang sama dan efektif bagi setiap anggota dalam batas waktu rasional untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan serta berbagai konsekuensi yang akan ditumbulkannya. Pengendalian agenda. Adanya kesempatan eksklusif pada setiap anggota untuk memutuskan bagaimana dan permasalahan apa yang menjadi agenda pembahasan. Oleh karena itu, berbagai kebijakan harus selalu terbuka untuk dapat diubah oleh anggota jika mereka menginginkannya. Inklusivitas/keterlibatan warganegara dewasa. Adanya pengakuan atau status legal dibawah pengawasan hukum pada setiap orang dewasa sebagai bentuk hak – kewarganegaraan, hak memilih, dan dipilih- untuk terlibat sepenuhnya dalam upaya mempengaruhi pembuatan kebijakan. Singkatnya, agar masyarakat bisa bebas dan setara maka kriteria di atas harus dipenuhi. Sebaliknya, sangatlah sulit melihat bagaimana orang-orang dapat menjadi setara secara politik jika salah satu dari kriteria tersebut dilanggar. Sebagai contoh jika ’kontrol akhir dari agenda politik’ tidak berada di tangan warganegara, maka
6
Ibid, hlm. 4 Op.cit Robert Dahl, hlm. 52-53. Kriteria yang disampaikan Dahl menjadi prasyarat penting bagi terciptanya satu sistem pembuatan keputusan kolektif yang memperbolehkan keterlibatan ekstensif warganegara dalam berbagai masalah politik yang secara signifikan mempengaruhi mereka. Lebih lanjut lihat David Held. “Models of Democracy”. (The Akbar Tanjung Institute, 2007), hlm. 317-320 7
2
kekuasaan rakyat hanya akan menjadi slogan saja. Jika situasi tersebut terjadi, maka pandangan teknokratis ala Schumpeterian akan menjadi orde yang dominan 8. Begitu juga jika warganegara tidak menikmati kondisi partisipasi efektif dan pemahaman yang jelas, maka demos (rakyat) akan kehilangan sarana kognitif maupun saluran partisipatif dalam penentuan keputusan-keputusan kolektif yang bersifat efektif9. Dalam hal ini, kriteria seperti yang disampaikan Robert Dahl selaras dengan argumentasi David Beetham yang secara meyakinkan telah diterima secara luas, yaitu demokrasi adalah ”pengendalian masyarakat atas urusan publik berdasarkan kesetaraan politik”.10 Berangkat dari argumentasi demokrasi seperti yang disampaikan di atas, maka kita dapat memulai sesuatu yang berharga, dimana sasaran-sasaran demokrasi harus dipromosikan melalui seperangkat cara atau hak dan institusi. Hal ini berguna selain untuk menjembatani pentingnya demokrasi baik dari sisi prosedur maupun substansi, sekaligus menguatkan argumentasi Toernquist tentang betapa sia-sianya memperdebatkan dua aspek tersebut. Sebagai ilustrasi, jika pemilu dipahami sebagai salah satu perangkat penting demokrasi, meskipun secara kontekstual bisa saja dikelola dengan berbagai cara yang berbeda. Oleh karena itu kita bisa melihatnya dari sisi hasil-hasil terkait dengan hak dan institusi. Misalnya aspek konstitusionalisme; kesetaraan kewarganegaraan, penegakan hukum, hak-hak sipil dan politik, dan hak sosial-ekonomi. Menyangkut aspek kedaulatan rakyat; pelaksanaan pemilu demokratis, keterwakilan yang efektif, pemerintahan dan birokrasi yang responsif dan akuntabel. Terakhir menyangkut keterlibatan warganegara melalui masyarakat sipil; media yang bebas, keterlibatan kaum akademisi, seni, kehidupan asosiasi, dan berbagai bentuk partisipasi rakyat yang kesemuanya berorientasi demokratis.11 Ini berguna untuk menghindarkan penyederhanaan konsep dan praktek demokrasi, dari sekedar mengartikan seolah-olah demokrasi adalah pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil. Sehingga orang dianggap tidak mengerti demokrasi jika tidak cukup paham tentang bagaimana prosedur pemilu.12 Indonesia Menapak Demokrasi
8
Pandangan ini menyatakan bahwa perlu ada sekelompok kecil elit politik yang kompeten dalam mengambil keputusan-keputusan publik. Oleh karena argumen bahwa sebagian besar warganegara tidak terlibat, tidak tertarik sehingga tidak bisa memikirkan tentang urusan-urusan politik. Dikenal juga sebagai pengusung teori demokrasi kepemimpinan atau kompetisi elit. Lebih lanjut Ibid, David Held, hlm. 318 9 Op cit, AE Priyono, Willy Purna Samadhi, Olle Toernquist, dkk 10 Jika Dahl menyajikan lima kriteria tentang demokrasi, Beetham menyajikan tujuh kriteria, tetapi pada prinsipnya sama karena menyatakan kesetaraan diantara warganegara (dewasa) untuk terlibat dan mengendalikan urusan publik. Lebih lanjut tentang tujuh kriteria demokrasi dari Beetham lihat Ibid AE Priyono, Willy Purna Samadhi, Olle Toernquist, dkk, hlm 15 11 Ibid 12 Ibid, hlm 14-16
3
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, menjadikan Indonesia sebagai satu contoh sejarah besar bagi aplikasi demokrasi, meskipun demokrasi yang ada masih diangap belia. Keberhasilan Indonesia menapak demokrasi yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto, membuka ruang bagi adanya konstalasi politik baru. Ditandai dengan berbagai perubahan dan instalasi institusi politik beserta pembuatan aturan-aturan baru yang berkesesuaian dengan kerangka kerja demokratis -meski terkadang masih harus bernegosiasi ataupun berkompromi dengan kekuatan lama-, namun langkah-langkah tersebut penting bagi upaya untuk menjamin kontinuitas demokrasi yang pada awalnya menyimpan segenap potensi ketidakpastian atau bahkan memiliki kecenderungan chaos13. Satu hal yang mungkin jarang diketahui banyak orang, meski demokrasi Indonesia masih belia, namun terdapat prospek yang menjanjikan bagi keberlanjutannya. Hal ini dapat dilihat dari argumentasi Olle Toerquist tentang ada tidaknya akar dan sejarah demokrasi di Indonesia, dikemukakan sebagai berikut;14 Meskipun sebagian besar gagasan dan tradisi hak asasi manusia dan demokrasi berasal dari barat. Namun gerakan perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia menunjukkan adanya gagasan hak asasi manusia dan demokrasi. Ini satu fakta yang tidak terbantahkan, bahwa gagasan dan gerakan tersebut merupakan inisiatif sebagian besar umat muslim di Indonesia. Kenyataan sejarah yang ada sekaligus menggugurkan bangunan teori demokrasi yang selama ini dianggap mapan, bahwa demokrasi dapat terbangun jika terjadi modernisasi sosial ekonomi yang diikuti pertumbuhan kelas menengah. Fakta yang kita terima, justru pada era pemerintahan Soeharto terjadi pertumbuhan ekonomi secara cepat dan meningkatkan jumlah kelas menengah secara signifikan. Namun kedua hal ini tidak memfasilitasi demokrasi dari dalam Indonesia sendiri. Bahkan sebaliknya, dimana pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah baru justru menjadi penopang dan bekerja sama secara erat dengan rejim otoriter yang berkuasa. Faktor lain terkait dengan tekanan eksternal atau peran dari variabel internasional dalam memberi pengaruh atau mendorong demokratisasi Indonesia. Fakta yang ada justru sebaliknya. Misalnya pada era ’80an ketika pihak barat secara signifikan mengurangi dukungannya terhadap rejim-rejim otoriter terutama di sebagian besar Amerika Latin, dan semakin memperluas intervensinya pada isu HAM (Hak Asasi Manusia) paska perang dingin 1989. Namun kedua momen ini sama sekali tidak berpengaruh pada Indonesia, dimana tidak cukup ada perubahan yang signifikan pada aspek demokrasi dan HAM. Ketiga pelajaran di atas menunjukkan bahwa, perjuangan demokrasi di Indonesia mempunyai akar yang cukup mendalam, yang ditandai dengan adanya upaya-upaya awal untuk melakukan percobaan demokrasi Namun percobaan tersebut terkalahkan 13
Dikutip dari pendapat Maruarar Siahaan. Lihat Bertrand Fort, ed. ”Democratising Access to Justice in Transitional Countries: Proceeding of Workshop Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional Countries”. (Asia-Europe Foundation, Hanns Seidel Stiftung, dan The Habibie Center, 2006), hlm. 36-37 14 Op. Cit, AE Priyono, Willy Purna Samadhi, Olle Toernquist, dkk, hlm. 4-7
4
oleh momen perang dingin yang saat itu terjadi. Pelajaran lain yang juga harus ditegaskan adalah, meskipun terjadi modernisasi ekonomi yang diikuti dengan pertumbuhan kelas menengah serta ditambah dengan meluasnya gagasan tentang HAM dan demokratisasi. Hal ini tidak cukup menjadi input yang kuat dalam rangka mendorong demokratisasi di Indonesia. Setidaknya kesimpulan tersebut hendak menyatakan, meskipun gagasan tentang demokrasi memiliki akar yang kuat di Indonesia, namun kontinuitas serta praktekpraktek politik yang mendukung agar gagasan tersebut berkembang, terinterupsi berbagai fakta sejarah yang pada akhirnya justru menghambat kelanjutan demokratisasi. Kerangka Pemikiran Meskipun sama-sama beranjak dari situasi perpecahan yang berakhir pada runtuhnya rezim otoritarian menuju rezim yang baru ataupun menghasilkan rezim alternatif lain. Namun, tidak semua ilmuwan politik memiliki kesepakatan yang sama untuk menyebut proses paska ambruknya rezim otoritarian tersebut. Kalangan pertama yang dimotori oleh Samuel Huntington, secara konsep menyebutnya sebagai demokratisasi. Demokratisasi, secara sederhana dimaknai sebagai jalan atau proses perubahan dari rezim non demokratis menjadi rezim demokratis. Demokratisasi sendiri ditandai oleh Huntington meliputi beberapa tahapan antara lain; pertama, berakhirnya sebuah rezim otoriter; kedua, dibangunnya sebuah rezim demokratis; dan ketiga, konsolidasi rezim demokratis. Beberapa ilmuwan lain menggunakan tahapan liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi.15 Para ilmuwan politik yang tidak bersepakat terhadap konsep di atas, menyatakan bahwa demokratisasi, secara konsep dianggap suatu cara berpikir yang terlalu linear dan cenderung preskriptif. Dimana asumsi yang menyatakan bahwa kejatuhan satu rezim otoritarian akan selalu diikuti dengan kehadiran rezim demokratis tidak selalu benar. 16 Kalangan yang menolak konsep di atas lebih cenderung untuk menggunakan konsep Transisi Politik. Dimotori oleh Guillermo O’Donnell dan Philippe C Schmitter, konsep transisi tersebut dimaknai sebagai selang (interval waktu) antara satu rezim politik dan rezim yang lain. Transisi dibatasi dengan dimulainya perpecahan serta berakhirnya satu rezim otoritarian, dan diikuti dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan-aturan baru di bawah payung demokrasi atau kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan suatu alternatif lain.17 Dengan demikian, tahapan transisi dapat menghasilkan dua wajah: proses konsolidasi otoritarianisme baru atau konsolidasi demokrasi. Sedangkan tahapan konsolidasi demokrasi dimaknai oleh Laurance Whitehead, sebagai peningkatan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan 15
R. Siti Zuhro, ed. ”Demokrasi Lokal: Peran Aktor Dalam Demokratisasi”. (Penerbit Ombak, 2009), hlm. 16-24 16 Ibid 17 Ibid
5
main demokrasi. Sehingga konsolidasi demokrasi tidak hanya dipahami sebagai proses politik yang berubah pada level prosedural maupun kelembagaan politik, tetapi juga terjadi pada level masyarakat.18 Demokrasi dianggap menjadi terkonsolidasi apabila para aktor (partai politik, kalangan dunia usaha, negara, dan masyarakat sipil) menganggap bahwa tindakan demokratis merupakan alternatif utama untuk meraih kekuasaan tanpa ada yang memiliki hak veto atas pemilihan dan keputusan yang telah berlangsung secara demokratis. Pemilu 1999: Era Transisi Demokrasi Bagian ini ingin melihat bagaimana prosedur dan institusi politik yang di desain dalam rangka mengawal proses perubahan yang baru terjadi paska berakhirnya era Soeharto. Kebutuhan untuk melaksanakan pemilu dianggap sebagai satu penanda utama untuk mengawali masa transisi agar muncul pemerintahan baru yang memiliki legitimasi. Pemilu dianggap sebagaimana pemikiran Giovani Sartori, merupakan mekanisme terpenting untuk memfasilitasi kompetisi politik dan menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi. Oleh karena pemilu adalah instrumen politik paling spesifik yang dapat dibentuk. Dengan kata lain, pemilu dapat direncanakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu, sehingga dapat memberikan ganjaran bagi tipe tindakan-tindakan tertentu dan mengekang tindakan-tindakan lainnya.19 Sebagai penanda berakhirnya era otoritarian dan berlangsungnya era demokratisasi Indonesia, pemilu 1999 merupakan pondasi awal masa transisi demokratis. Disebut sebagai masa transisi demokrasi, oleh karena pelaksanaan pemilu 1999 ditandai dengan bangunan sistem yang dimaksudkan untuk memaksimalkan keterlibatan segenap kelompok politik dan sesedikit mungkin tercipta area konflik pra pemilu20. Meskipun terdapat beberapa kelemahan, namun keberhasilan pelaksanaan pemilu 1999, dianggap memiliki dasar untuk disebut sebagai pemilu pertama yang bersendikan prinsip-prinsip demokrasi setelah lebih dari 30 tahun era otoritarian. Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan yang muncul pada proses pelaksanaan dapat dipahami dan hasilnya bisa diterima.21 Sedangkan pada tingkat institusi, adanya komisi penyelenggara pemilu yang keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil partai dan wakil pemerintah, menjadi pertanda lain bagi era transisi ini22. Ini menunjukkan bahwa meski masa otoritarian sudah berakhir, namun bukan berarti kekuatan-kekuatan lama hilang dan berganti dengan kekuatan yang baru. Justru sebaliknya, masa ini menunjukkan bahwa 18
Ibid, hlm. 17 Peter Harris dan Ben Reilly, ed. ”Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator”. (International IDEA, 1998), hlm. 193 - 204 20 Ibid, Peter Harris dan Ben Reilly, ed. 21 Lihat Didik Supriyanto, “Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu”. (Perludem, 2007), hlm. 2 22 Keanggotan Komisi Pemilihan Umum terdiri dari satu orang dari tiap-tiap partai politik peserta pemilu dan 5 orang wakil pemerintah. Dalam hal hak suara, maka suara wakil dari parpol dan wakil dari pemerintah ditentukan berimbang. Undang-undang Pemilu No. 3 Tahun 1999, pasal 9 ayat 1 dan 2 19
6
kekuatan lama meski sebagian sudah tergusur, namun keberadaannya masih eksis. Oleh karena itu adanya lembaga penyelenggara yang bersisi sebagian wakil partai dan pemerintah, dianggap sebagai format yang terbaik pada masa itu. Pada aras sistem, pelaksanaan pemilu menggunakan sistem proporsional daftar tertutup yang dimaksudkan agar memungkinkan semua kelompok untuk masuk dan memiliki keterwakilan. Dengan kata lain, sistem yang diterapkan memiliki tendensi untuk mendorong akomodasi dan pembentukan pemerintahan koalisi, sehingga legitimasi dan kepercayaan segenap kelompok dapat tercapai23. Peran partai politik dalam menentukan pencalonan kandidat, dan tidak jarang bahkan mengganti kandidat yang akan duduk di kursi parlemen, disatu sisi menunjukkan adanya dominasi partai, namun di sisi menunjukkan adanya keinginan untuk membangun tradisi politik demokratis terutama bagi partai-partai baru. Pelaksanaan pemilu proporsional ini juga ditandai dengan sistem multipartai yang pertama kali semenjak fusi partai yang dilaksanakan pada awal konsolidasi rejim Orde Baru. Dalam pemilu 1999, 48 partai politik yang terlibat dalam kontestasi untuk memperebutkan 462 kursi di parlemen nasional (DPR RI), dimana 4 kursi merupakan wakil dari propinsi Timor-Timur. Sedangkan 38 kursi wakil dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sehingga total jumlah kursi anggota DPR adalah 500 kursi.24 Meskipun dalam proses pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitunga suara berlangsung secara damai, demokratis, dan tidak terjadi kerusuhan sosial seperti yang kuatirkan oleh banyak pihak. Namun kondisi ini tidak terjadi pada proses akhir penetapan hasilnya. Dimana sebagaian besar anggota KPU yang berasal dari wakil partai tidak bersedia menandatangani hasil perhitungan suara nasional, dengan alasan terjadinya banyak pelanggaran. Hal ini mengakibatkan Presiden Habibibie, mengambil alih urusan pemilu, karena pelaksanaan pemilu telah mengalami kemoloran waktu dan terancam tidak menghasilkan apa-apa.25 Langkah yang diambil presiden, meski dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk ”intervensi’, namun tidak mendapatkan banyak perlawanan. Bahkan publik berkecenderungan mendukungnya. Hal ini mengingat sorotan publik, media, dan komunitas internasional, dan ditambah dengan meluasnya pemantauan pemilu yang secara legal diakui berdasarkan undang-undang pemilu. Jika ’intervensi’ presiden dianggap sebagai langkah negatif, maka sorotan tajam atas tindakan tersebut setidaknya akan mendelegitimasi hasil pemilu. Sebagai hasilnya, dari 48 partai politik yang berkompetisi terdapat 21 partai politik yang memperoleh kursi di DPR RI. Dimana PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK menjadi partai yang perolehan kursinya dominan, dengan kisaran prosentase kursi sebesar antara 33,12 persen (PDIP) hingga 1,52 persen (PK).
23
Dalam hal wakil atau kursi di DPR RI, ditentukan bahwa masing-masing Daerah Tingkat II (setingkat Kabupaten/Kota) dipastikan memiliki minimal satu wakil untuk kursi DPR RI. Undangundang Pemilu No. 3 tahun 1999, pasal pasal 4 ayat 1. 24 Undang-undang Susduk MPR, DPR dan DPRD No. 4 Tahun 1999, pasal 11 ayat 3 a dan b 25 Op. Cit Didik Supriyanto, hlm. 44-52
7
Jika dihitung berdasarkan indeks jumlah efektif partai di parlemen (ENPP) 26, dimana indeks ini berguna untuk mengukur sistem kepartaian suatu negara, maka sistem kepartaian yang terbentuk untuk pemilu 1999 menghasilkan indeks sebesar 4,71929 atau sama sistem kepartaian empat partai. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun ada 48 partai bertarung, 21 partai mendapatkan kursi di parlemen, namun hanya 4 partai yang memiliki peran signifikan dalam pembentukan pemerintahan.27 Pemilu 2004: Era Konsolidasi Demokrasi Konsolidasi demokrasi menjadi suatu istilah yang paradoks, dimana demokrasi dan demokratisasi meminjam istilah Robert Dahl, selalu dipahami sebagai suatu proses dan selamanya hanya proses. Pada sisi lain, konsolidasi demokrasi mengandaikan terpenuhinya prinsip-prinsip demokrasi yang seringkali masih merupakan proses atas tujuan yang hendak dicapai.28 Namun, Juan. Linz dan Alfred Stepan memberikan petunjuk penting untuk menengarai, apakah demokrasi di suatu negara atau sistem telah memenuhi kategori untuk dapat dikatakan terkonsolidasi atau tidak. Dikatakan terkonsolidasi atau tidak, maka demokrasi suatu negara sangat bergantung pada tiga syarat yang harus dipenuhi;29 Pertama, dalam suatu pemerintahan modern, apakah pemilihan yang bebas dan legitim dapat dilaksanakan atau tidak, pemenang dapat secara otoritatif menjalankan kekuasaannya, warganegara secara efektif memiliki dan menggunakan haknya yang dilindungi oleh hukum dan negara. Kedua, demokrasi tidak dapat dianggap terkonsolidasi sampai tuntasnya sebuah transisi demokrasi. Tuntasnya transisi demokrasi ini, setidaknya dapat dianggap selesai jika pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan demokratis telah berlangsung sebelumnya memenuhi tujuh prinsip seperti yang dinyatakan oleh Robert Dahl. Ketiga, tidak ada rejim yang dikatakan demokratis kecuali menjalankan pemerintahannya secara demokratis. Jika pemerintah yang terpilih menyalahi konstitusi, melanggar hak individu dan minoritas, mengganggu fungsi-fungsi legislatif, dan pada akhirnya gagal menjalankan pemerintahan berdasarkan batasanbatasan negara hukum, maka rejim semacam itu tidak dapat dikatakan demokratis.
26
ENPP (effective number of parliamentary parties) merupakan indeks yang dikembangkan oleh Marrku Laakso dan Rein Taagepera, dimana penghitungan system kepartaian hanya menyertakan jumlah partai yang mendapatkan kursi atau lolos ke parlemen saja. Indeks merupakan pengembangan dari indeks sebelumnya yang dikenal sebagai ENPV (effective number of party votes) yang menghitung system kepartaian berdasarkan perolehan suara semua partai yang terlibat dalam suatu pemilu. Lebih lanjut lihat, Arend Lipjhart, “Electoral Systems and Party System; A Study of TwentySeven Democracies, 1945-1990, (Oxford University, 1994), hlm. 68 27 Lebih lanjut tentang perhitungan system kepartaian hasil pemilu 1999 lihat August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaja, ”Daerah Pemilihan, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian”, (Jentera PSHK, Edisi Khusus Membaca Daniel s. Lev, 2008), hlm. 119-123 28 Op. cit Robert A. Dahl, hlm. 30 29 Toward Consolidated Democracies - Juan J. Linz and Alfred Stepan, dalam Op. Cit Takashi Inoguchi, Edward Newman, and John Keane, ed, hlm. 48-52
8
Singkatnya, berbicara tentang konsolidasi demokrasi berarti bukanlah berdamai dengan rejim-rejim liberal non demokratis, menerima demokrasi palsu, ataupun hidup berdampingan dengan institusi di luar control negara demokratis. Jadi hanya sistem demokratis saja yang dapat tertranformasi menjadi terkonsolidasi. Sehingga satu sistem dapat disebut sebagai demokrasi yang terkonsolidasi, jika dalam menjalankan pemerintahannya, rejim yang berkuasa menjadikan demokrasi sebagai satu-satunya basis the only game in town.30 Pelaksanaan Pemilu 2004, menunjukkan gejala adanya penguatan dan perbaikan sistem demokrasi yang terlihat dari berbagai indikasi penting. Misalnya, kelembagaan penyelenggara pemilu (KPU) yang dimaksudkan sebagai satu birokrasi baru dalam menjalankan administrasi pemilu. Termasuk dalam hal ini, komposisi keanggotaannya yang dilakukan melalui seleksi terbuka untuk menyaring individu-individu yang cakap, kapabel, dan non partisan. Meskipun seleksi keanggotaan KPU melibatkan DPR dan Presiden, namun kesadaran bahwa sebaiknya keanggotaan KPU haruslah independen menjadi poin penting agar pengalaman 1999 tidak lagi terulang. Pada sisi lain meskipun pencalonan kandidat masih memperlihatkan kuatnya peranan partai politik, namun terjadi perubahan pada aspek alokasi kursi DPR, pembentukan daerah pemilihan baru, tata cara dan penghitungan kursi, dan semakin terbukanya informasi tentang pemilu. Lebih jauh lagi pada pelaksanaan pemilu 2004, jumlah kursi DPR sebanyak 500 kursi kesemuanya diperebutkan oleh partai politik, tidak lagi disediakan sejumlah kursi untuk wakil dari ABRI seperti yang terjadi pada tahun 1999. Demi mengakomodasi kepentingan daerah, maka muncul instrumen baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berfungsi sebagai kamar kedua di parlemen, dimana setiap propinsi berhak mengirimkan 4 wakilnya. Meskipun peran DPD, hingga saat ini masih dianggap tidak cukup efektif karena fungsi legislasinya yang terbatas, hingga kini lembaga tersebut masih keberadaannya tetaplah eksis ditengah segala ruang geraknya yang terbatas. Pada sisi lain, peran masyarakat sipil juga mengalami peningkatan secara signifikan. Tidak saja sekedar dalam memantau pelaksanaan free and fair pelaksanaan pemilu, namun termasuk kemampuan dan legitimasinya dalam melakukan penilaian tentang kualitas demokrasi Indonesia, setelah masa transisi 1999. Mengacu pada kriteria ideal institusi pemilu untuk negara demokrasi terkonsolidasi, maka IDEA Internasional menetapkannya sebagai berikut, bahwa institusi tersebut haruslah; dapat dipertanggungjawabkan, sistem yang ada memungkinkan para pemilih mengekspresikan rangkaian pemilihan yang lebih rumit, adanya peluang untuk menjatuhkan pemimpin yang dinilai buruk, responsif terhadap pemilih, dan mendorong rasa ”kepemilikan” atas proses politik pada para pemilih. 31 Jika mengacu pada kriteria di atas, maka berbagai perubahan yang terjadi pada pemilu 2004, dapat dianggap memiliki kesesuaian dengan kriteria seperti yang dirumuskan oleh IDEA.
30 31
Ibid Op. cit Peter Harris dan Ben Reilly, ed, hlm. 204
9
Adapun sebagai hasil dari pelaksanaan pemilu memperlihatkan konstalasi politik sebagai berikut; dengan 24 partai politik yang berkompetisi, hasil pemilu menunjukkan bahwa terdapat 17 partai politik yang mengirimkan wakil di DPR. Golkar, PDIP, PPP, Demokrat, PAN, PKB, dan PKS menjadi partai dominan yang meraih kursi perwakilan. Adapun prosentase kursi yang diaraih partai dominan tersebut berkisar antara 23, 27 persen hingga 8,18 persen.32 Jika dihitung berdasarkan indeks sistem kepartaian (ENPP) yang juga kerap disebut sebagai indeks untuk mengukur fragmentasi sistem kepartaian, maka ENPP hasil pemilu 2004 memperlihatkan hasil sebesar 7,072. Dengan kata lain, bahwa pelaksanaan pemilu 2004 menghasilkan sistem kepartaian 7 partai. Indeks ini lebih tinggi dibanding dengan hasil pemilu 1999 yang menghasilkan sistem kepartaian 4 partai, meskipun peserta pemilu tahun 1999 jumlahnya dua kali lipat dibanding pada tahun 2004. Sekali lagi hasil dari dua kali pelaksanaan pemilu menunjukkan bahwa tahun 1999 sistem kepartaian yang terbentuk lebih sederhana dibanding tahun 2004, sistem kpartaian tahun 2004 lebih terfragmentasi.33 Pemilu 2009: Pendalaman, Stagnasi, atau re-Konsolidasi Demokrasi? Setelah dua kali pelaksanaan pemilu demokratis, maka wajar jika ada keinginan untuk menilai bagaimana keberlanjutan atau perkembangan demokrasi Indonesia, paska pemilu 2009. Jika tahun 1999 dianggap sebagai masa transisi, dan 2004 dianggap sebagai masa konsolidasi demokrasi, apakah tahun 2009 ada capaian lebih maju dibanding periode sebelumnya. Sebelum melakukan penilaiannya, ada baiknya kita melihat berbagai indikator untuk melaksanakan penilaian tersebut dari berbagai sumber. Freedom House misalnya menetapkan 4 kriteria untuk mengukur tingkat demokrasi di suatu negara dengan berbagai sub kriteria antara lain; 1. Akuntabilitas dan Suara Publik, 2. Kebebasan Sipil, 3. Penegakan Hukum, dan 4. Anti Korupsi dan Transparansi.34 Tidak semua kriteria ini akan dibahas, meskipun pemahaman dan penggunaan secara komprehensif atas semua kriteria tersebut penting bagi penilaian demokrasi suatu negara. Namun oleh karena keterbatasan topik yang ada, kriteria yang akan digunakan sebatas pada kriteria yang berhubungan dengan pelaksanaan pemilu. Dalam hal ini kriteria pertama yakni akuntabilitas dan suara publik, dimana terdiri dari beberapa sub kriteria meliputi; pemilu bebas dan adil dan undang-undang pemilu, pemerintahan yang efektif dan akuntabel, partisipasi masyarakat dan pemantauan, dan independensi media dan kebebasan berekspresi.35 Freedom House menetapkan kriteria demokrasi suatu pemerintahan berdasarkan skor antara 0 hingga 7, dimana nilai 0 merupakan nilai terendah dari demokrasi sedangkan 32
Op.cit August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaya, hlm. 121 Op. Cit August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaya, hlm. 122-123 34 Lihat “Countries at the Crossroads 2007: Selected Comparative Data from Freedom House’s Annual Survey of Democratic Governance”. http://www.freedomhouse.org/uploads/ccr/ChartsCCR2007.pdf dan http://www.freedomhouse.org/uploads/ccr/ChartsCCR2007.pdf (kutipan diambil per 21 Desember 2009 Pkl 16.14 Wib) 33
35
Ibid
10
skor 7 adalah yang tertinggi. Skor ini dilakukan berdasarkan akumulasi dari 4 kriteria demokrasi yang ditetapkan oleh lembaga tersebut.36 Untuk melihat perkembangan dan penilaian demokrasi di Indonesia, riset yang telah dua kali dikeluarkan oleh The Economist melalui Economist Intelligence Unit Democracy, yakni tahun 2006 dan 2007 dapat dipakai sebagai alternatif lain. Berdasarkan riset tersebut 5 kriteria ditetapkan sebagai indikator penilaian, sedangkan skor penilaian yang digunakan adalah antara 0-10, dimana rejim non demokratis atau campuran (hybrid regimes) skornya berkisar antara 4-5.9, demokrasi yang menurun atau cacat (flawed democracies) atau kurang dinilai dengan skor antara 6-7.9, sedangkan dianggap sebagai demokrasi penuh (full democracies) apabila memiliki nilai skor antara 8-10. Penilaian skor ini dibagi dalam 5 kriteria antara lain; proses pemilu dan keberagaman, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Penilaian masing-masing kriteria diberikan skor tersendiri, namun penilaian akhir tentang demokrasi berdasarkan akumulasi dari skor pada lima kriteria yang ada. Berdasarkan hasil riset tersebut pada tahun 2006, maka Indonesia masuk kategori flawed democracies dengan skor akumulasi 6,41, dimana skor untuk proses pemilu dan keberagaman meraih nilai 6,92. Fungsi pemerintahan sebesar 7.14, sedangkan partisipasi politik sebesar 5.00, budaya politik 5.00, dan kebebasan sipil sebesar 6,76. Hasil ini menempatkan Indonesia pada rangking 65 sama dengan Timor Leste, di bawah Filipina (rangking 63) dari seluruh negara-negara di dunia yang dinilai.37 Pada riset oleh lembaga yang sama untuk menilai indeks demokrasi tahun 2008, masih disebut sebagai flawed democracies dan peringkatnya turun dari angka 65 (tahun 2006) menjadi 69, lebih rendah dari Malaysia yang berada pada peringkat 68. Sedangkan skor indeks keseluruhan adalah 6,34 dengan skor masing-masing kriteria sebagai berikut; 6,92 (proses pemilu dan keberagaman), 6,79 (fungsi pemerintahan), 5,00 (partisipasi politik), 6,25 (budaya politik), dan 6,76 (kebebasan sipil). 38 Dengan dua data hasil riset diatas, menunjukkan bahwa penurunan peringkat Indonesia terjadi pada fungsi pemerintahan, sedangkan pada budaya politik mengalami peningkatan. Sedangkan untuk aspek proses pemilu dan keberagaman, partisipasi politik, dan kebebasan sipil nilainya sama tidak beranjak dari angka sebelumnya. Sebenarnya masih ada satu penilaian demokrasi yang direkomendasikan oleh Demos, yaitu metode audit demokrasi yang diusulkan oleh The Internasional IDEA. Metode 36
Sayangnya data Countries at the Crossroad tahun 2005 dan 2007 tidak melibatkan Indonesia sebagai salah satu Negara yang dinilai. Penilaian ini dilakukan terhadap 30 negara yang mewakili lima benua, dari Asia diwakili oleh 5 negara yakni Bangladesh, Bhutan, China, Laos, Filipina dan Thailand. Dari 4 kriteria penilaian, masing-masing Negara memiliki variasi skor yang berbeda dibanding Negara lainnya. Namun secara keseluruhan, Laos dan China memiliki skor yang terendah yaitu kurang dari 2,5. 37 Lihat Economist Intelligence Unit democracy index 2006 http://www.economist.com/media/pdf/DEMOCRACY_TABLE_2007_v3.pdf (kutipan diambil per 21 Desember 2009 pkl 16.06 Wib) 38 Lihat Economist Intelligence Unit democracy index 2008 http://graphics.eiu.com/PDF/Democracy%20Index%202008.pdf (kutipan diambil per 21 Desember 2009 pkl 15.40 Wib)
11
penilaian ini secara tegas membedakan antara sasaran dan instrumen demokrasi, dan faktor intrinsik dan pembentuk demokrasi. Namun metode ini juga tidak luput dari kritik bahwa hasilnya hanya merupakan deskripsi statis atas kinerja institusional yang diukur dari para aktor, mekanisme dan proses.39 Kritik atas berbagai metode penilaian demokrasi seperti di atas, berangkat dari argumen bahwa ada keterbatasan sumber daya terutama pada akses informasi, bank data dan juga kelengkapan dokumen yang sering kali tidak lengkap seperti di Indonesia. Namun berbagai metode yang meskipun tidak luput dari berbagai kritik, tetap saja membantu sebagai sarana kognitif sekaligus pembanding jika tidak ingin dikatakan sebagai alat ukur utama. Oleh karena itu, untuk dapat menilai sejauhmana demokrasi yang berkembang di Indonesia paska pemilu 2009, akan dipengaruhi atas data apa saja yang dimiliki dan aspek apa saja yang hendak menjadi bahasan. Karena hal ini akan memberi pengaruh pada metode apa yang nantinya yang hendak dipakai (kualitatif dan kuantitatif), serta penarikan kesimpulan atas penilaian yang ingin dilakukan. Sebagai penilaian awal, maka kita dapat mengkonfirmasikan apakah topik atau bahasan yang ingin dikupas lebih lanjut dalam buku ini memiliki relevansi dengan berbagai kriteria, standar, metode penilaian demokrasi seperti yang telah dibahas di atas. Adapun beberapa tema atau topik yang ingin dikupas dalam rangka penilaian demokrasi paska pemilu 2009 antara lain;
Aspek Kepastian Hukum (legislasi) Kinerja Penyelenggaraan Pemilu (administrasi pemilu) Pemenuhan hak pilih warganegara yang secara spesifik meliputi isu Daftar Pemilih Tetap (DPT), sosialisasi, dan informasi pemilu Kesiapan dan mekanisme compliance (partai politik dan kandidat) Mekanisme keterbukaan terhadap peran serta masyarakat sipil (pemantauan), dan Peran lembaga-lembaga donor
Meski menghasilkan nilai yang berbeda ketika digunakan oleh lembaga-lembaga riset dan penilai demokrasi, indikator ataupun kriteria yang hendak diulas lebih lanjut dalam buku ini memiliki kesesuaian dengan berbagai kriteria maupun indikator seperti yang digunakan oleh baik Freedom House, The Economist, maupun The Internasional IDEA. Namun, penilaian yang akan dilakukan memiliki kecenderungan berbentuk kualitatif dibanding kuantitatif. Oleh karena jika dilakukan secara kuantitatif, maka keterbatasan metodologi, penarikan sampel, kekerapan atau frekuensi penyimpangan, serta kelengkapan data menjadi faktor utama yang membatasi penilaian ini.
39
Op. Cit, AE Priyono, Willy Purna Samadhi, Olle Toernquist, dkk, hlm. 13-14
12
Daftar Pustaka Dahl, A. Robert, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. (Yayasan Obor, 2001) Priyono, E. A., Samadhi, Purna Willy, Toernquist, Olle dkk, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia. (Demos, April 2007) Lipjhart, Arendt, Electoral Systems and Party System; A Study of Twenty-Seven Democracies, 1945-1990. (Oxford University, 1994) Mellaz, August dan Kartawidjaja, R. Pipit Daerah Pemilihan, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian, (Jentera PSHK, Edisi Khusus Membaca Daniel s. Lev, 2008) Fort, Bertrand ed. Democratising Access to Justice in Transitional Countries: Proceeding of Workshop Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional Countries. (Asia-Europe Foundation, Hanns Seidel Stiftung, dan The Habibie Center, 2006) Held, David. Models of Democracy. (The Akbar Tanjung Institute, 2007) Supriyanto, Didik, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu (Perludem, 2007) Harris, Peter dan Reilly, Ben, (ed). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. (International IDEA, 1998) Inoguchi, Takashi, Newman, Edward, dan Keane, John, (ed). The Changing Nature of Democracy. (United Nations University Press, 1998) Zuhro, R. Siti (ed). ”Demokrasi Lokal: Peran Aktor Dalam Demokratisasi”. (Penerbit Ombak, 2009) Undang-undang Pemilu No. 3 tahun 1999 Undang-undang Susduk MPR, DPR dan DPRD No. 4 Tahun 1999 —Countries at the Crossroads 2007: Selected Comparative Data from Freedom House’s Annual Survey of Democratic Governance: http://www.freedomhouse.org/uploads/ccr/ChartsCCR2007.pdf http://www.freedomhouse.org/uploads/ccr/ChartsCCR2007.pdf (kutipan diambil per 21 Desember 2009 Pkl 16.14 Wib)
13
—Economist Intelligence Unit democracy index 2006 http://www.economist.com/media/pdf/DEMOCRACY_TABLE_2007_v3.pdf (kutipan diambil per 21 Desember 2009 pkl 16.06 Wib) —Economist Intelligence Unit democracy index 2008 http://graphics.eiu.com/PDF/Democracy%20Index%202008.pdf (kutipan diambil per 21 Desember 2009 pkl 15.40 Wib)
14