Keserentakan Pemilu Nasional “Menjawab Efektivitas Pemerintahan Presidensialisme Multipartai”1 August Mellaz2 Abstrak Sebagai sistem pemerintahan, Presidensialisme Indonesia ternyata dipengaruhi oleh ketentuan konstitusi yang menyatakan adanya kerjasama antara Presiden terpilih dengan DPR dalam pembuatan rancangan Undang-Undang dan berbagai kebijakan lain. Ketentuan ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia dapat berjalan secara efektif jika, selain memperoleh legitimasi popular yang tinggi, Presiden terpilih juga harus mendapatkan dukungan kursi signifikan di DPR. Bagaimana jika hasil pemilu memperlihatkan yang sebaliknya. Bahwa Presiden terpilih tidak memiliki dukungan signifikan di parlemen sekalipun meraih dukungan mayoritas pemilih melalui pemilihan langsung. Situasi semacam ini, memunculkan fenomena parlementarisasi sistem presidensialisme, dimana kewenangan eksekutif didominasi oleh kekuatan parlemen, jika tidak maka kebijakan presiden akan mendapatkan resistensi dari parlemen. Munculnya fenomena tersebut karena demokrasi atau pemerintahan Indonesia tidak didasarkan pada prinsip check and balances seperti di Amerika Serikat - pemisahan kekuasaan diantara cabang-cabang pemerintahan yang ada – dimana kekuasaan dari suatu cabang pemerintahan membatasi kekuasaan cabang pemerintahan lainnya. Justru mekanisme yang ada adalah convergence of power – kolaborasi atau kerjasama antara pihak eksekutif dengan legislatif - dalam pembuatan berbagai kebijakan. Untuk mengatasi hal itu, keserentakan Pemilu Nasional - Pemilihan Presiden dan Legislatif Nasional dilaksanakan secara serentak - dan dipisah dengan pemilu DPRD dan Kepala Daerah menjadi satu alternatif untuk mengefektifkan jalannya sistem pemerintahan, dan sekaligus pelembagaan sistem kepartaian. Pengalaman Amerika Latin memberikan pelajaran berharga untuk itu.
Latar Belakang Dapatkah sistem pemilihan dan pemerintahan presidensialisme Indonesia mewujudkan mandat dari UU Pemilu, yaitu; menghasilkan pemerintahan yang kuat, pembentukkan parlemen yang efektif, proporsionalitas dengan kadar keterwakilan lebih tinggi, dan pelembagaan sistem kepartaian. Ternyata tidak. Sistem yang diterapkan di Indonesia, justru menghasilkan sistem pemerintahan presidensialisme yang tidak stabil, fragmentasi kepartaian yang semakin meluas, dan disproporsionalitas yang tinggi. Pemilihan Presiden secara langsung mulai dari putaran pertama hingga kedua3, hanya mampu menghasilkan tingkat legitimasi politik yang lebih tinggi (pemilih) dari presiden terpilih. Namun 1
Materi ini sebelumnya pernah disampaikan pada beberapa diskusi internal dan sampaikan sebagai materi utama dengan kalangan media menjelang pembahasan RUU Pemilihan Presiden. Kajian ini dimaksudkan sebagai kajian mandiri yang digagas dalam rangka menginisiasi pembentukan lembaga Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD). 2 Koordinator Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD). Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pipit R. Kartawidjaja yang bersedia membaca naskah awal dan memberikan masukan bagi paper ini, terutama untuk pendalaman tentang sistem pemerintahan di Amerika Latin (Benua Presidensialisme).
1
kesulitan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan parlemen yang efektif. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa, sistem pemilihan yang kita gunakan memungkinkan terpilihnya presiden dengan dukungan mayoritas (pemilih), namun dukungan parlemennya (DPR) rendah.4 Sedangkan dukungan DPR merupakan suatu keharusan akibat ketentuan konstitusi yang menyatakan, bahwa Undang-Undang dibuat bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Kedua, kegagalan di atas didasarkan juga pada alasan oleh karena pelaksanaan pemilu nasional (pemilu legislatif nasional dan pemilihan presiden) dilaksanakan secara terpisah. Pemilihan Presiden 2004 membuktikan fakta yang dimaksud di atas. Dengan diusung oleh gabungan partai Demokrat, PKPI, dan PBB yang memperoleh 11,33 % total suara nasional dan 19 % kursi di DPR pada pemilu legislatif 2004.5 SBY keluar sebagai pemenang dengan perolehan 60,62 % suara pemilih pada Pilpres putaran kedua. Beranjak dari kondisi tersebut, secara teoritis pemerintahan yang terbentuk memiliki kecenderungan tidak stabil. Fakta empiris membuktikannya. Efek ini kemudian semakin berlanjut, dimana sistem presidensialisme yang berjalan menjadi tidak efektif. Dengan kata lain, bahwa efektivitas pemerintahan secara signifikan dipengaruhi oleh berbagai hambatan, baik secara potensial maupun faktual dari DPR. Terlebih lagi jika presiden terpilih hanya memiliki dukungan kecil di parlemen, maka kerap muncul berbagai hambatan terhadap rencana atau kebijakan pihak eksekutif, terlebih jika rencana kebijakan ini tidak disetujui DPR. Pengalaman pemilu 2004 yang menghasilkan SBY sebagai presiden terpilih secara langsung, menunjukkan hampir setiap kebijakan yang seharusnya menjadi ranah eksekutif menghadapi berbagai tantangan dari parlemen. Fenomena yang terakhir, penolakan calon Gubernur Bank Indonesia oleh DPR dan banyak kebijakan lain menunjukkan betapa presiden terpilih meski memperoleh legitimasi popular tinggi, ternyata wajib memiliki dukungan kursi signifikan di parlemen. Jika tidak, maka efektivitas kebijakannya akan berhadapan dengan resistensi parlemen.6 Presidensialisme dan Potensi Macetnya Pemerintahan Kajian ini menghindari pemikiran yang menggeneralisasi bahwa presidensialisme secara alami lebih rapuh sebagai sistem pemerintahan dibandingkan dengan sistem parlementer. Meskipun, sistem pemerintahan presidensial secara umum memiliki kecenderungan yang mengakibatkan kemacetan pemerintahan dibanding sistem parlementer. Setidaknya ada dua argumen utama untuk menjelaskan mengapa alasan diatas menjadi relevan. Pertama, dibandingkan sistem parlementer, sistem presidensialisme lebih memiliki 3
Pasal 6A UUD 1945 ayat 3 pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih jika memperoleh suara lebih dari lima puluh persen suara pemilih dalam pemilu..... ayat 4, dalam hal tidak ada pasangan yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dari pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Naskah UUD 1945 hasil amandemen. 4 Suatu kecenderungan yang jamak terjadi pada pemerintahan presidensialisme, bahwa sistem ini memiliki tendensi untuk menghasilkan pemerintahan minoritas dan sekaligus melemahnya kekuasaan eksekutif akibat mekanisme cheks and balances dengan kekuasaan legislatif maupun cabang kekuasaan yang lain. Dua kombinasi ini di banyak negara yang yang menggunakannya kerap melahirkan kemacetan pemerintahan, terlebih jika presiden terpilih tidak memiliki dukungan signifikan di parlemen. Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty System, and Democracy: Difficult Equation“, working paper # 144 – 1990. 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004#Hasil_Pemilu_Presiden_Putaran_Pertama_2004 6 Eep Saefulloh Fatah, Analisis Politik “Kisruh Bank Sentral“, KOMPAS Selasa, 25 Maret 2008, hlm.1
2
peluang untuk menghasilkan pemerintahan minoritas sekaligus lemahnya kekuasaan eksekutif, yang dapat mengakibatkan kemacetan pemerintahan. Kedua, sistem presidensialisme tidak memiliki kapasitas dalam memecahkan persoalan yang muncul, seperti pada argumen pertama, dibanding sistem parlementer.7 Karena alasan pemisahan kekuasaan, sistem presidensialisme memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan seorang presiden yang memiliki dukungan mayoritas di parlemen. Presiden dipilih secara langsung dan bukan oleh parlemen, dan karena faktor-faktor personal kandidat yang kerap dimunculkan dalam kampanye, maka pemenang pemilihan tidak lagi harus berasal dari partai mayoritas. Bahkan dalam beberapa sistem presidensialisme, kandidat dari partai-partai kecil dapat berkompetisi untuk pemilihan presiden, dan terpilih meski dukungan parlemennya rendah.8 Berbeda halnya dengan sistem presidensialisme di Amerika Serikat yang menerapkan sistem distrik berwakil tunggal untuk pemilihan anggota DPR. Tipe ini menyulitkan munculnya partaipartai baru dalam pemilu DPR dan electoral college untuk pemilihan presiden. Sistem pemilihan baik untuk kursi DPR, Senat, dan Presiden di Amerika Serikat didesain untuk mendukung keberlangsungan sistem dua partai. Biasanya presiden terpilih menguasai mayoritas di konggres, bahkan partai asal presiden menguasai sekurangnya 40% kursi baik di senat maupun konggres. Ditambah dengan faktor disiplin partai, memungkinkan misalnya presiden dari partai republik membangun dukungan mayoritas –isu- melalui ‘kooptasi’ terhadap partai demokrat.9 Di kebanyakan negara Amerika Latin, pemilihan legislatif didasarkan pada sistem pemilihan proporsional dan distrik berwakil banyak, dalam rangka memfasilitasi jumlah partai yang besar. Pada beberapa negara, termasuk Colombia dan Venezuela, pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif juga menghasilkan fragmentasi sistem kepartaian yang meluas. Terkecuali di Uruguay, pemilih diwajibkan memilih calon asal partai. Namun di kebanyakan negara tidak terjadi, sehingga framentasi yang meluas ini menyulitkan presiden langsung terpilih dalam putaran pertama. Bahkan, dibanyak negara dengan sistem presidensial sulit bagi calon ataupun partai asal presiden untuk sekedar mendekati porsi kursi mayoritas di parlemen.10 Seperti juga di Indonesia, presiden di negara-negara Amerika Latin juga memiliki peran dan tanggung jawab besar dalam penetapan kebijakan dan pembuatan perundang-undangan, sedangkan parlemen memiliki fungsi utama untuk pengawasan eksektif. Fakta ini mengakibatkan banyak pengamat (Davis 1958; Diniz 1984; Hambloch 1936; Lambert 1969) menyimpulkan bahwa sistem presidensial melekat di dalamnya potensi kekuasaan yang diktatorial, meskipun persepsi ini akan lebih akurat dalam rejim otoritarian. Namun, konsentrasi berbagai kewenangan yang ada dalam sistem presidensialisme bahkan dalam sistem demokratispun menyimpan kecenderungan ini. Presidensialisme Amerika Latin ditandai dengan berbagai ambivalensi dan ambiguitas tersendiri; presiden menyapu bersih semua kekuasaan/kewenangan di satu area, namun lemah pada sisi lainnya. Meskipun dalam situasi yang terbuka dan terjadi pembagian kerja 7
Opcit, Scott Mainwaring, hal 10 Ibid, Scott Mainwaring. Beberapa Negara di Amerika Latin seperti Brazil dan Ecuador, juga memungkinkan dan kerap menghasilkan presiden terpilih yang berasal dari partai minoritas. Kasus ini juga terjadi di Indonesia pada Pemilu Presiden tahun 2004. 9 Ibid 10 Ibid, hal 11 8
3
pada cabang birokrasi eksekutif, kekuasaan presidensialisme tetap saja individualistik. Kebanyakan negara Amerika Latin dan termasuk Indonesia, dalam konstitusinya memberikan kewenangan yang besar bagi presiden dibanding yang terjadi di Amerika Serikat. Misalnya, mayoritas legislasi termasuk inisiatif pembuatannya berada di tangan presiden, dan presiden juga memiliki paling banyak kewenangan untuk mengimplementasikan kebijakan. Kerap terjadi veto terhadap isu-isu spesifik yang ada di undang-undang, sedangkan di Amerika Serikat, presiden harus memveto keseluruhan undang-undang atau menerimanya. Sering terjadi, khususnya di Amerika Latin, presiden mengajukan pembahasan undang-undang melalui dekrit yang secara otomatis akan mengesahkan undang-undang meskipun parlemen melakukan penolakan atasnya.11 Sebagai contoh, pasal 121 UUD kolombia memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan keadaan darurat baik untuk sebagian atau keseluruhan wilayah negara melalui dekrit. Pada sisi lain, meskipun kekuasaan presiden besar, namun parlemen – karena fungsi check and balances- dapat memblokade kebijakan atau agenda presiden, terlebih jika presiden berasal dari partai minoritas. Jika ini terjadi, maka konsep check and balances sendiri berpotensi untuk melumpuhkan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, umumnya dalam sistem presidensialisme, melekat kelemahan yang bersifat endemis terkait dengan efektivitas pembuatan kebijakan,12 karena sistem presidensialisme mendorong terciptanya chek and balances dibandingkan efektivitas pengambilan keputusan. Faktor lain yang kerap dianggap menghambat dalam sistem presidensialisme adalah tidak adanya mekanisme institusional yang dapat dipakai sebagai cara ketika deadlock. Oleh karena masa jabatan tetap berdasarkan aturan, meskipun parlemen beroposisi secara masif dengan program-program presiden. Namun tidak ada cara untuk menurunkan presiden sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali lewat impeachment. Namun cara ini hanya berlaku jika presiden melakukan tindakan kriminal ataupun pengkhianatan, dan hal ini jarang terjadi. Di kebanyakan sistem parlementer, jika terjadi mosi tidak percaya maka perdana menteri akan membubarkan parlemen dan melakukan pemilihan ulang. Sedangkan ini tidak akan terjadi pada sistem presidensialisme terutama di Amerika Latin, kecuali di Rusia.13 Aspek Konstitusi; Demokrasi Konsensual Versus Pemisahan Kekuasaan Selain faktor di atas, lemahnya sistem pemerintahan presidensialisme Indonesia juga didasari oleh tidak adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) terjadi diantara cabang-cabang kekuasaan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Sebagai contoh, misalnya kewenangan legislasi (kekuasaan membuat undang-undang). Pada negara-negara yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan (Amerika Serikat), kewenangan menyusun undang-undang ada pada lembaga legislatif (Kongres atau Senate). Sedangkan kekuasaan eksekutif adalah menjalankan mandat atau mengeksekusi Undang-Undang. Di Indonesia, kewenangan pembuatan rancangan Undang-Undang ada bersama-sama di tangan DPR dan Presiden.14 11
Opcit, Scott Mainwaring Ibid, hal 12 13 UUD Republik Federasi Rusia 1993 14 Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 paska Amandemen “Presiden berhak mengajukan rancangan UndangUndang kepada Dewan Perwakilan Rakyat“. Pasal 11 ayat 1 perlunya persetujuan DPR bagi Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, ayat 2 terkait dengan perjanjian internasional yang menimbulkan dampak luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan DPR. Pasal 13, pengangkatan duta dan penerimaan duta negara lain, presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Pasal 14 ayat 1, pemberian grasi dan rehabilitasi 12
4
Keadaan semacam ini, dalam berbagai referensi pemilu disebut sebagai pemerintahan yang didasarkan pada asas “convergence of power”, dimana terjadi suatu kolaborasi di antara cabang-cabang kekuasaan (dalam hal ini antara Presiden dengan DPR untuk membuat UU).15 Seringkali Amerika Serikat dianggap sebagai contoh sistem presidensial yang kuat dan efektif. Karena sering dianggap sebagai negara dengan sistem dua partai, maka ahli-ahli politik Indonesia seringkali memunculkan pendapat, bahwa Indonesia perlu hanya dua parpol atau multi keparpolan sederhana. Ini berarti bahwa parpol “gurem” diberangus, atau parpol baru dipersulit lewat berbagai syarat berat dalam pendiriannya. Namun kita tidak pernah memperhatikan secara jelas, bahwa konsep pemisahan kekuasaan terdefinisikan secara operasional dalam sistem presidensialisme Amerika Serikat. Dalam hal pembuatan legislasi, maka kongres (DPR) lebih berperan dan bukan Presiden. Sedangkan hak veto dimiliki presiden untuk dapat menghentikan atau membatalkan pengesahan UU yang diajukan oleh kongres, jika presiden tidak setuju. Pemisahan ini yang pada akhirnya menjadi konsep operasional dari mekanisme check and balance. Dengan kata lain dalam negara yang mengenal pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang pemerintahan, maka berlaku sebuah sistem “pengawasan dan perimbangan” yang dirancang untuk memperbolehkan tiap lembaga negara membatasi kekuasaan yang lain.16 Sebagai contoh lain dapat kita lihat di Argentina dan Uruguay pada awal abad ke 20 sampai tahun 70an, menggunakan sistem presidensialisme dwiparpol dan multikepartaian sederhana, namun sistem politiknya ternyata tidak stabil. Oleh karena itu, ternyata sistem multipartai sederhana bahkan dwiparpolpun ternyata tidakdipakai sebagai jaminan bagi berlangsungnya mekanisme cek and balance di negara-negara Presidensialisme Amerika Latin. Berdasarkan pengalaman tersebut, mereka memformulasi ulang sistem pemerintahan berdasarkan berdasarkan prinsip convergence of power dengan multikepartaian, dan mengkombinasikannya dengan Keserentakan Pelaksanaan Pemilu. Keserentakan Pemilu Nasional: Pengalaman Amerika Latin Beranjak dari fakta baik politis maupun sistemik ini, mengajarkan kita untuk merumuskan suatu formula kebijakan dan penerapan sistem pemilihan yang sesuai dan diseusuaikan dengan konstitusi. Pengalaman negara-negara Amerika Latin memberikan suatu lesson learn, agar pemerintahan yang stabil dapat terwujud, maka pelaksanaan pemilu nasional secara serentak (pemilu legislatif nasional dan pemilihan presiden) menjadi satu alternatif yang efektif. Ditandai dengan penerapan sistem pemerintahan presidensialisme dan sistem multipartai yang mirip dengan Indonesia, maka keserentakan pemilu dapat menjadi jawaban atas masalah yang saat ini juga dihadapi Indonesia. memperhatikan pertimbangan MA, ayat 2 pemberian amnesty dan abolisi memperhatikan pertimbangan DPR. Pasal 20 ayat 1 DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, ayat 2 pembahasan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pasal 23 ayat 2, RUU APBN diajukan presiden kepada DPR untuk dibahas bersama dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Pasal 24 B ayat 3, Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan Presiden dengan persetujuan DPR 15 Efektivitas pemerintahan presidensial tergantung pada dua hal; yaitu, sitem pemilihan presiden yang dapat menghasilkan legitimasi substansial (mayoritas/terbesar) dari pemilih, dan porsi dukungan parlemen untuk bekerjasama dalam menyusun Undang-undang. Lebih lanjut lihat, J. Mark Payne, et all: "Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America", (The Inter-American Development Bank and the International Institue for Democracy and Electoral Assitance, The John Hopkins University Press, Washington D.C 2002), hlm. 78 16 Lebih lanjut tentang pembagian kekuasaan antar cabang-cabang kekuasan lihat Richard M. Pious, Demokrasi, Office of International Information Programs US Departement of State, hlm. 45
5
Berdasarkan pengalaman Amerika Latin menerapkan keserentakan pemilu, selain tingkat legitimasi pemilih yang tinggi dapat terpenuhi dari presiden terpilih, lebih lagi dukungan signifikan parlemen juga teraih. Kombinasi legitimasi pemilih dan parlemen ini pada akhirnya mendorong efektivitas pemerintahan presidensialisme, dan sekaligus berkontribusi secara positif dalam penyederhanaan dan pelembagaan sistem kepartaian. Berbagai varian pemilihan diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan presiden, setidaknya; 1. Pluralitas (calon presiden lolos berdasarkan suara terbanyak tanpa putaran II). 2. Mayoritas (calon presiden lolos dengan perolehan suara 50 % plus 1, jika tidak maka dua kandidat terbanyak maju pada putaran II). 3. Runoff with a reduced threshold (di Argentina, calon presiden lolos jika perolehan suaranya 45%, atau perolehan suara 40% dengan jarak 10% suara dari kandidat kedua).17 Varian Sistem Pemilihan: Efek Terhadap Pemerintahan dan Sistem Kepartaian Sistem pemilihan merupakan suatu desain yang dapat memperlihatkan secara jelas mandat presiden terpilih dengan mensyaratkan putaran kedua, jika tidak ada kandidat satupun kandidat meraih suara cukup pada putaran pertama. Putaran kedua sendiri menjadi suatu jaminan bahwa seorang presiden pada akhirnya terpilih secara mayoritas, tanpa dipengaruhi oleh seberapa kecil perolehan suaranya pada putaran pertama. Secara umum, pemilihan presiden menggunakan dua formula besar, yaitu; pluralitas dan mayoritas. Namun selain itu, ada lagi yang disebut winner takes all seperti di Amerika Serikat. Disebut winner takes all, karena pemilihan dilaksanakan secara tidak langsung, yaitu lewat electoral college yang jumlahnya suaranya setiap daerah pemilihan sama dengan jumlah kursi kongres (DPR). Jadi, jika SBY menang di Jakarta, maka otomatis menyabet 21 suara (sama dengan jumlah kursi DPR untuk Jakarta = 21 kursi), sedangkan Megawati sebagai pesaing tidak akan mendapatkan. Dalam varian pluralitas, presiden terpilih berdasarkan perolehan suara terbesar, sehingga tidak ada pemilihan putaran kedua. Sedangkan dalam varian mayoritas, kandidat harus dapat meraih suara 50% plus satu untuk dapat terpilih pada putaran pertama. Jika tidak ada kandidat yang memenuhi persyaratan tersebut pada putaran pertama, maka dilaksanakan pemilihan putaran kedua bagi dua kandidat yang perolehan suaranya terbesar pada putaran pertama. 18 Sebagai suatu perubahan baru, beberapa negara menerapkan syarat baru bagi terpilihnya seorang kandidat, yaitu menurunkan syarat dibawah batas mayoritas (misalnya dengan 40%
17
Untuk run off with a reduced threshold, prosentase suara untuk pemenang bervariasi tergantung dari negara-negara yang menerapkannya (Ecuador menerapkan angka 40% dengan jarak 10% dari kandidat terdekat. Nicaragua, awalnya menetapkan angka 45%, kemudian diturunkan menjadi 40%, atau 35% dengan jarak 5% dari kandidat terdekat). Tujuan lain dari varian ini adalah, menghasilkan presiden terpilih secara langsung pada putaran pertama, dan meskipun disediakan putaran kedua jika tidak ada kandidat yang memenuhi syarat, namun biasanya jarang terjadi. Ketiga-tiganya, baik varian pluralitas, mayoritas, maupun reduced threshold selain dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yang stabil (legitimasi kuat baik oleh pemilih maupun parlemen), masing-masing akan memberikan insentif bagi munculnya koalisi, penggabungan, merger partai politik, yang bermanfaat bagi penyederhanaan sistem kepartaian pada derajat yang berbeda, jika dilaksanakan secara serentak. Lebih lanjut lihat, Opcit, J. Mark Payne, hlm 67-81. 18 Ibid, hlm. 66
6
perolehan suara, kandidat tersebut menjadi pemenang pada putaran pertama). Ketentuan ini kemudian disebut sebagai runoff with reduced threshold.19 Sejauhmana kombinasi keserentakan pemilu dan penggunaan varian pemilihan berpengaruh pada pemerintahan. Penilaian tersebut menjadi pertimbangan masing-masing negara tergantung pada situasi politik dan dinamika sosial yang ada. Setidaknya beranjak dari kesamaan pendapat bahwa, masing-masing varian dikombinasikan dengan keserentakan pemilihan akan menghasilkan dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung terkait tingkat legitimasi presiden terpilih terkait dengan batas kemenangan yang harus diraih. Misalnya, jika presiden terpilih meraih 60% suara pemilih dalam pemilihan secara serentak, maka mandat legitimasi yang dia peroleh baik dari pemilih maupun dari parlemen juga akan besar. Sehingga secara potensial pemerintahan yang terbentuk dapat berjalan efektif. Bandingkan jika hanya memperoleh 30% saja, maka hal yang sebaliknya akan berlaku. Dalam varian pluralitas, dimana presiden terpilih secara langsung berdasarkan suara terbanyak, akan memberikan insentif bagi partai politik (khususnya kecil dan menengah) untuk beraliansi atau mengorganisir koalisi sebelum pelaksanaan pemilu. Begitu juga bagi pemilih, akan lebih fokus baik pada kandidat atau partai yang lebih memiliki peluang untuk menang. Efek ini akan berlanjut lagi jika jumlah kandidat atau partai politiknya dibatasi, karena berarti juga mempersempit jumlah partai atau koalisi partai untuk dapat memperoleh kursi legislatif.20 Varian pluralitas dikombinasikan dengan keserentakan pemilihan presiden dan DPR, dalam berbagai studi menghasilkan tingkat konsentrasi sistem kepartaian yang paling tinggi, dengan kata lain sistem kepartaian yang terbentuk akan semakin baik. Tabel di bawah menjelaskan kecenderungan penyederhanaan (konsentrasi partai politik) jika pemilu legislatif nasional dengan pilpres dilaksanakan secara serentak (concurent).21 Tabel Konsentrasi Parpol: Pemilu DPR Nasional Dilaksanakan Serentak dengan Pilpres (Concurent) Tendency toward Concentration of the Party System according to Different Presidential Elections System Concurrent
Not concurrent
Plurality
1
3
Runoff with reduced threshold
2
4
Majority runoff 4 6 Note: A score of one means the most concentrated outcome, six the least concentrated Catatan: - Disebut concurrent karena pada saat bersamaan pilpres bersaing dengan pemilu legislatif nasional. - Disebut non concurrent karena pelaksanaan pilpresnya dipisah dengan pemilu legislatif nasional.
Dalam varian mayoritas, dimana presiden terpilih berdasarkan persyaratan perolehan suara 50% plus satu, seringkali menghasilkan efek secara tidak langsung bahwa presiden terpilih dengan mandat yang lemah dan disertai dukungan legislatif yang rendah. Pada pemilihan yang dilaksanakan secara serentak, maka kompetisi presiden memiliki kecenderungan untuk mempersempit wilayah kompetisi partai politik dalam perebutan kursi legislatif. Varian ini juga tidak memberikan insentif yang kuat bagi partai politik untuk berkoalisi sebelum putaran pemilihan pertama, karena masih tersedianya potensi dua kandidat teratas untuk bertarung dalam putaran kedua. Keadaan ini, seringkali dimanfaatkan oleh partai politik untuk lebih fokus 19
Ibid, hlm. 67 Opcit, J Mark Payne, hlm. 68-69 21 Ibid, hlm. 70 20
7
terlebih dahulu pada putaran pertama untuk meraih sebanyak-banyaknya kursi legislatif, sehingga meningkatkan posisi tawarnya dihadapan dua dengan kandidat calon presiden yang lolos pada putaran kedua. Varian juga mendorong munculnya sejumlah besar partai politik maupun kandidat dalam bertarung untuk merebutkan kursi legislatif ataupun memenangkan pemilihan presiden. Konsekuensi empirik dari varian mayoritas ini adalah meluasnya fragmentasi sistem kepartaian yang terbentuk, lebih lagi jika pemilihan dilaksanakan tidak serentak.22 Runoff with a reduced threshold, dengan 40 atau 45 persen suara untuk meloloskan presiden terpilih memberikan efek pembatasan jumlah dari kandidat presiden, maupun partai politik bertarung pada pemilu. Selain memberikan peluang lebih besar bagi kandidat presiden untuk terpilih pada putaran pertama, juga memberikan insentif bagi partai politik untuk berkoalisi sebelum pemilihan, dan termasuk strategi bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Jika tidak ada kandidat yang memenuhi syarat pada putaran pertama, maka putaran kedua akan memberikan keuntungan bagi perluasan mandat kandidat terpilih.23 Efek Pemilu Serentak Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian Secara teoritis, jika pelaksanaan pemilu nasional (pemilihan presiden dan DPR nasional) dilaksanakan serentak pada hari yang sama, terbuka peluang bagi partai politik untuk mendapatkan suara signifikan dalam pemilihan legislatif. Ini terjadi karena efek yang disebut “coattails”, dimana preferensi pemilih terhadap kandidat presiden juga akan diberikan kepada calon legislatif atau calon dari daftar partai yang sama. 24 Sama dengan yang terjadi di Indonesia, sistem presidensialisme Amerika Latin dianggap sebagai sistem politik alamiah. Karena faktor pemilihan presiden dianggap yang terpenting, dimana pemilihan presiden akan memberi pengaruh pada pemilihan legislatif, dan selanjutnya sistem kepartaian. Keeratan kaitan antara ketiga variabel tersebut (presidenlegislatif/parlemen-sistem kepartaian) oleh seorang pakar pemilu (Dieter Nohlen) merupakan efek ketergantungan yang dapat diatasi ataupun diukur lebih tepat melalui dua derajat keserentakan; waktu pelaksanaan, dan kertas suara pencoblosan yang sama. Semakin serentak pelaksanaan pemilu, maka semakin tinggi isu pemilihan presiden dalam mempengaruhi pemilihan anggota legislatif, 25 dan tingkat konsentrasi sistem kepartaian26. Keserentakan pelaksanaan pemilu nasional (pemilu DPR dan pemilihan presiden) dilakukan bersamaan pada hari yang sama, dan dipisah dengan jadwal pelaksanaan pemilu lokal (DPRD dan Pilkada), pada banyak negara terutama Amerika Latin menjadi suatu mekanisme yang mendapatkan porsi kajian tersendiri, oleh banyak pemerhati pemilu karena berbagai keuntungan maupun konsekuensi yang dapat dihasilkan dalam pengembangan demokrasi dan sistem kepartaian.27 22
Ibid, hlm. 68-69 Ibid, hlm. 69-70 24 Efek ini menguntungkan tidak hanya partai politik besar, namun termasuk bagi partai kecil, terlebih jika calon presiden yang diusung merupakan figure popular, maka partai yang mencalonkannya akan mendapatkan berkah ikutan atau yang disebut efek “coattails”. Lebih lanjut, Opcit, J. Mark Payne, hlm. 65 25 Pipit R. Kartawidjaya dan Mulyana W. Kusumah, Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden “Suatu Studi Banding”, KIPP Eropa-FNS-INSIDE, hlm. 39 26 Opcit, J. Mark Payne, hlm 70 27 18 negara di kawasan Amerika Latin melaksanakan pemilihan presiden dan legislatif nasional secara serentak, dan dipisah dengan pemilu lokal (Pilkada dan DPRD). 5 negara (Honduras, Mexico, Panama, Paraguay, dan Venezuela) menerapkan sistem pluralitas dalam pemilihan presiden. 9 negara 23
8
Berbagai faktor menjadi latar belakang, sekaligus dianggap sebagai keuntungan dari pelaksanaan pemilu secara serentak. Pada banyak negara menghasilkan kecenderungan; Pertama, tingkat legitimasi presiden terpilih menjadi kuat, baik secara popular (pemilih) maupun dukungan parlemen. Kedua, besarnya kemungkinan presiden terpilih secara langsung pada putaran pertama (terutama pada sistem pluralitas). Ketiga, efek penyederhanaan sistem kepartaian, melalui; a) Insentif bagi partai politik untuk beraliansi, membentuk koalisi, maupun bergabung baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. b) mempersempit wilayah kompetisi dan jumlah partai politik dalam meraih kursi legislatif.28 Penyederhanaan sistem kepartaian yang biasanya ditandai dengan rendahnya fragmentasi sistem kepartaian merupakan manfaat yang berharga bagi stabilitas pemerintahan demokratis. Melalui studinya, J. Mark Payne dkk (2002), memberikan bukti empirik bahwa pada kurun waktu tahun 1978-2000, 18 negara di kawasan Amerika Latin yang menerapkan pelaksanaan pemilu secara serentak menghasilkan sistem kepartaian yang sederhana. Dengan menghitung jumlah efektif partai politik di parlemen, maka dalam negara-negara yang menggunakan sistem pluralitas rata-rata dihasilkan sistem kepartaian 2,67 atau 3 partai. Dalam sistem runoff with a reduced threshold dihasilkan sistem kepartaian 3,19 atau 3 partai. Sedangkan untuk negara-negara yang menerapkan sistem mayoritas, dihasilkan sistem kepartaian 4,02 atau 4 partai.29 Meskipun memiliki struktur politik yang sama dengan Amerika Latin, hal berbeda terjadi di Indonesia. Melalui penghitungan efektivitas sistem kepartaian di atas, berdasarkan hasil Pemilu 2004, untuk Indonesia dihasilkan sistem kepartaian 7 partai (berdasarkan hitungan ENPP-matematika parpol). Ini menunjukkan bahwa, fragmentasi sistem kepartaian Indonesia lebih meluas (terfragmentasi) dibandingkan dengan di Amerika Latin.30 Sebagai catatan, jika dihitung berdasarkan ENPP, di Brazil sendiri fragmentasi sistem kepartaiannya meluas, yaitu 9,3. Hal ini disebabkan beberapa hal; penerapan pemilihan presiden proporsional daftar terbuka dengan sistem mayoritas (50% plus satu), pelaksanaan pemilu yang serentak antara presiden, DPR, dan Senat. Sehingga berdampak pada terjadinya persebaran kekuatan politik yang luas. Kesimpulan Karena berbagai kelebihan yang dapat dihasilkan melalui keserentakan pelaksanaan pemilu seperti yang disebutkan di atas, turut memberi pengaruh dalam mendukung rekomendasi perbaikan formula pemilu Indonesia di masa mendatang, seperti yang disebutkan dibawah: Pertama, penguatan fokus terhadap isu. Jika pelaksanaan pemilu lokal dipisahkan, maka isu lokal menjadi fokus utama. Tidak ada lagi pencampuradukan antara isu nasional dengan isu lokal. Dengan kebijakan desentralisasi, penguatan isu nasional dan lokal akan mendapatkan menerapkan sistem majority runoff (Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, El Salvador, Guatemala, Peru, Uruguay, dan Rep. Dominika). Sedangkan 4 negara (Argentina, Costa Rica, Nicaragua, dan Ecuador) memakai sistem runoff with reduced threshold dengan ketentuan seperti di Argentina, presiden terpilih jika meraih 45% suara sah atau 40% suara sah dengan jarak 10% dari kandidat kedua. Lebih lanjut, Ibid, hlm. 70-72 28 Ibid, hlm. 68-69 29 Ibid, hlm. 73 30 August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaya, “Daerah Pemilihan, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian”. JENTERA Jurnal Hukum-Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Edisi Khusus 2008 Membaca Daniel S. Lev. Hal 110-132.
9
porsi tersendiri, terutama dikaitkan dengan fokus dan lokasi isunya. Jika pada pemilu nasional, maka isu nasional (misalnya UU N0 32/2004; 1. urusan luar negeri, 2. fiskal, 3. agama, 4. pendidikan, dan 5. keamanan) akan menjadi perhatian utama dari partai untuk bahan kampanye tentang kebijakan nasional yang akan diambilnya, dan pemilih akan menentukan isu nasional ini sebagai preferensi dalam melakukan pemungutan suara. Sedangkan dalam pemilu lokal, meskipun struktur organisasi kepartaian bersifat nasional, namun partai pada tingkat lokal akan fokus dalam penentuan isu lokal, begitu juga preferensi pemilih. Kedua, pemisahan keserentakan pelaksanaan pemilu akan mendorong desentralisasi kewenangan yang akan menguatkan pelembagaan kepartaian. Bukan selalu berarti, desentralisasi kewenangan ini sama dengan perubahan pada struktur organisasi partai politik (nasional menjadi partai lokal, meskipun hal ini mungkin saja terjadi). Struktur organisasi partai politik dapat saja tetap bersifat nasional, tetapi fokus perhatian dan kewenangan kebijakan penentuan dan pengelolaan isu dapat terdesentralisasi pada struktur partai tingkat lokal. Ketiga, sebagai mekanisme evaluasi terhadap kebijakan nasional. Tidak selamanya kebijakan nasional yang selama ini menjadi otoritas pemerintahan pusat dapat diterima oleh daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu nasional yang terpisah (Pilpres-DPR bersamaan) dan pisah dengan pemilu lokal (Pilkada-DPRD), dengan sendirinya menjadi mekanisme efektif dalam evaluasi kebijakann nasional. Terdapat kecenderungan dalam pemisahan antara pemilu nasional dan lokal. Jika kebijakan nasional dianggap tidak bermanfat bagi daerah, biasanya partai pendukung presiden yang berada pada tingkat daerah menjadi tidak populer, sehingga kurang mendapat dukungan dalam pemilu lokal. Kecenderungan ini pada akhirnya menjadi mekanisme evaluasi terhadap pemerintahan pusat, artinya presiden dan partai pendukungnya sadar bahwa kebijakannya ternyata tidak didukung oleh daerah. Selain itu, partai politik atau kader yang sukses kepemimpinannya di tingkat lokal, akan punya peluang dalam meningkatkan kariernya pada level nasional. Karena, kepemimpinannya akan diuji pada derajat, dan dinamika politik yang lebih tinggi di tingkat lokal. Keempat, potensi penyederhaan sistem kepartaian melalui keserentakan pelaksanaan pemilu sekaligus mengurangi fragmentasi politik. Pelaksanaan pemilu nasional yang terpisah dengan pemilu lokal. Misalnya, pilpres dan DPR yang bersama-sama secara otomatis memberikan insentif bagi pembentukan koalisi antar partai. Banyak referensi dan pelaksanaan pemilu yang terpisah, terbukti efektif dalam pengembangan demokrasi dan sistem kepartaian di berbagai negara yang memiliki sistem politiknya dengan Indonesia. Kelima, dengan adanya pemisahan pemilu legislatif lokal dan nasional, maka parpol-parpol dipersilahkan untuk ikut berkompetisi, misalnya dalam pemilu lokal (mengakui parpol lokal), atow nasional. Dibandingkan dengan pemasangan ketentuan electoral threshold di Indonesia yang dimaksudkan sebagai instrumen penyederhanaan parpol, namun ternyata gagal berfungsi. Dapat saja, parpol lokal bertarung dalam pemilu lokal pada awalnya, atau dipasang syarat untuk dapat bertarung dalam pemilu nasional, misalnya jika telah mengikuti 50 persen pemilu propinsi. Oleh karena itu, masalah keutuhan NKRI pada akhirnya tidak menjadi alasan, karena seharusnya larangan pembentukan parpol hanya jika melanggar UU. Catatan atas Pelaksanaan Pemilu Indonesia Yang Terpisah: 1. Durasi Waktu Jeda pelaksanaan antara Pemilu Legislatif dengan Pemilihan Presiden putaran pertama dan kedua yang panjang (estimasi 6 bulan)
10
2. Biaya Mahalnya pembiayaan pelaksanaan Pemilihan Presiden-APBN (putaran pertama dan putaran kedua) Munculnya ”biaya-biaya politik” karena setelah pemilu legislatif selesai, maka partai politik melakukan berbagai tawar-menawar kepada calon kandidat yang akan diusung sebagai presiden (bargaining kompensasi/jabatan). 3. Melemahnya Pelembagaan Sistem Kepartaian Pemilihan Presiden Indonesia justru memfasilitasi koalisi pragmatis (kepentingan dan bagi-bagi kekuasaan) dan bukan institusional partai politik (penguatan kelembagaan dan sistem kepartaian) Koalisi yang tidak pernah berlanjut (permanen). Koalisi dalam Pemilihan Presiden tidak menggambarkan konfigurasi politik (kekuatan/konstalasi politik) di parlemen. Dimana partai-partai politik yang berkoalisi di DPR paska pemilu legislatif, berubah ketika mengusung calon presiden. Setelah presiden terpilih, koalisi juga dapat berubah. Penguatan internal dan kelembagaan kepartaian lemah (justru membuka peluang intervensi dan menguatkan munculnya konflik internal, bahkan perubahan kebijakan internal partai/sikap politik partai yang awalnya oposan berubah menjadi pendukung). Koalisi dalam Pemilihan Presiden ternyata mengaburkan ideologi partai politik, yang seharusnya menjadi modal penting bagi pembangunan koalisi permanen. Hal ini terjadi, karena calon presiden yang diusung oleh koalisi partai politik belum tentu mewakili garis ideologi partai politik pengusungnya. Pemilihan Presiden yang terpisah dari pemilu legislatif, justru menghasilkan banyak calon. Karena parpol yang lolos ET 3% merasa percaya diri untuk dapat mengajukan calon presiden. Sehingga memunculkan banyak calon presiden. 4. Dampak Ketatanegaraan dan Efektivitas Kinerja Pemerintahan Keterlambatan waktu dalam penentuan kabinet (indikasi terjadinya tarik ulur kepentingan, yang justru menguatkan persepsi bahwa presiden terpilih (sistem presidensialisme versi Indonesia) ternyata lemah. Efektivitas jalannya pemerintahan (banyaknya policy pemerintahan yang pada akhirnya seringkali tidak dapat mulus lolos-ketika berhadapan dengan DPR) 5. Aspek Sistem dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Politik Karena kemungkinan presiden terpilih meskipun dukungan di DPR kecil, maka beberapa alternatif menjadi pilihan jika presiden tersebut terpilih: a) Berkoalisi ulang dengan partai-partai yang memiliki kursi besar di parlemen, sehingga mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Oleh karena itu biasanya begitu presiden terpilih maka akan disibukkan, terlebih dahulu dengan isu bagibagi jabatan kabinet (menteri) sebagai kompensasi bagi partai-partai yang dulunya oposan. Dalam pembagian kursi kabinet, karena pendukung utama presiden di DPR adalah partai lain diluar partai yang didirikan presiden, maka bargaining power juga turut menjadi perhitungan utama. Biasanya juga partai terbesar pendukung presiden yang akan menentukan kursi kabinet. Konsekuensi dari fakta ini, sistem pemerintahan kita dengan Presiden sebagai kepala eksekutifnya menjadi lemah, baik secara relatif maupun secara aktual. (Kasus SBY merupakan pembelajaran dan efek dari sistem pemilu yang ada)
11
b) Jika tidak bisa berkoalisi, maka ’kooptasi’ menjadi alternatif lain. Presiden terpilih yang dukungan parlemennya kecil, akan berusaha mengkooptasi/mengintervensi parpol. Misalnya menarik kader parpol oposan menjadi salah satu menteri, biasanya merupakan salah satu pengurus kunci parpol. Bisa ketua atau sekjen partai, hal ini menjadi lumrah pada banyak negara dan tidak hanya fenomena di Indonesia, dan biasanya berdampak pada konflik internal partai (pelemahan kelembagaan partai politik). Kerap terjadi, presiden terpilih ’turut campur’ dalam penentuan kepengurusan parpol (Konggres, Munas, Muktamar) agar orang yang dianggap ’mendukung’ terpilih sebagai ketua dan kebijakan partai bisa berubah, meskipun awalnya partai tersebut mengambil posisi sebagai oposan. c) Efek ini semakin berlanjut terutama menjelang pelaksanaan pemilu selanjutnya (2009). Fenomena di banyak negara (lagi-lagi bukan hanya di Indonesia), kombinasi presidensialisme dengan multipartai menimbulkan kecenderungan bahwa, ketika popularitas presiden turun (terutama menjelang akhir masa jabatan/pemilu), maka partai-partai yang awalnya sebagai pendukung akan berbalik untuk ’meninggalkan/menarik dukungannya’. Alasannya sederhana, agar tidak terkena dampak atas turunnya popularitas presiden yang mereka dukung. Lebih praktis lagi, agar terpilih dalam pemilu mendatang. Rekomendasi Keserentakan pelaksanaan pemilu merupakan suatu formula alternatif bagi perubahan sistem politik dan pemerintahan di masa mendatang, hal ini didasarkan pada pengalaman dan upaya untuk mengatasi berbagai problematika yang ada; Menjadi dasar bagi terealisasinya sistem pemerintahan presidensialisme yang kuat dan stabil. Memfasilitasi munculnya penyederhanaan sistem kepartaian, melalui pemberian insentif bagi partai politik untuk membangun budaya dan pelembagaan politik demokratis yang berkelanjutan (Aliansi, Koalisi, Gabungan, dan atau Merger). Mendorong pembentukan parlemen yang lebih efektif. Menciptakan sistem pemilihan yang lebih sederhana, waktu yang singkat, sekaligus biaya murah baik dalam pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Menciptakan ruang bagi munculnya fokus isu dalam pemilu, mana yang merupakan isu nasional dan mana isu lokal. Membuka ruang partisipasi bagi menguatnya preferensi dan strategi rakyat (pemilih) pada pemilu berdasarkan isu lokal maupun nasional. Agar tujuan-tujuan diatas dapat terealisir secara efektif, maka sistem Pemilihan Presiden runoff with a reduced threshold (mayoritas bersyarat) merupakan pilihan utama. Adapun persyaratan yang diterapkan adalah; pasangan Presiden-Wakil Presiden terpilih pada putaran pertama, jika meraih 45 persen suara dengan jarak 5 persen dari kandidat kedua, atau 40 persen suara dengan jarak 10 persen suara dari kandidat kedua.
12