Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia Oleh Syamsuddin Haris
Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (1) • Pemilu-pemilu (dan Pilkada) semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung, tapi tidak kunjung menghasilkan pemerintahan yang efektif, sinergis, serta berorientasi kepentingan rakyat; • Relatif rendahnya kualitas akuntabilitas para wakil rakyat dan pejabat publik yang dihasilkan pemilupemilu dan pilkada seperti tercermin dari masih maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan pribadi dan partai; • Intensitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada terlampau sering sehingga berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi sebagai akibat kejenuhan publik;
Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (2) • Skema penyelenggarakan pemilu yang didahului Pileg sebelum Pilpres tidak sesuai sistem presidensial. Skema yang anomali ini berdampak pada mekanisme Pilpres yang terpenjara oleh hasil Pileg melalui ketentuan pemenuhan ambang batas pencalonan Presiden. Seperti diketahui, untuk mengajukan pasangan capres/cawapres, parpol dan gabungan parpol harus memperoleh minimal 25 persen suara secara nasional atau 20 persen kursi DPR; • Dengan demikian pemilu-pemilu (Pileg, Pilpres dan Pilkada) belum dirancang untuk memperkuat skema demokrasi presidensial dan juga tidak didesain dalam rangka meningkatkan efektifitas dan sinergi pemerintahan hasil pemilu.
Apa Solusinya, Mengapa Pemilu Serentak? • Secara umum pemilu serentak dapat didefinisikan sebagai pemilu yang diselenggarakan untuk memilih beberapa wakil dan atau pimpinan lembaga demokrasi sekaligus pada satu waktu secara bersamaan; • Bertolak dari definisi umum tersebut, bangsa Indonesia sebenarnya telah menyelenggarakan pemilu serentak, yakni ketika anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dipilih secara bersamaan. Sejak Pemilu 2004, anggota DPD juga dipilih secara serentak dengan anggota DPR dan DPRD. • Namun demikian pemilu legislatif serentak yang terlaksana selama ini tidak didesain dalam rangka skema sistem demokrasi presidensial. Pileg diselenggarakan untuk mengisi keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD tanpa menghitung komplikasi politiknya bagi sistem presidensial.
Sistem Demokrasi Presidensial (1) • Presiden adalah pusat kekuasaan yang menjabat kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara; • Pemilihan secara langsung Presiden (dan Wapres) oleh rakyat atau oleh dewan pemilih (seperti di AS); • Masa jabatan Presiden bersifat tetap (fixed term); • Presiden (eksekutif) dan Parlemen (legislatif) adalah dua institusi terpisah yang memiliki legitimasi politik berbeda (karena dihasilkan oleh pemilu yang berbeda) dan relasinya berdasarkan prinsip checks and balances; • Parlemen tidak bisa menjatuhkan Presiden kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment) yang panjang karena Presiden dinilai melanggar konstitusi (dalam konteks kita melalui pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi);
Sistem Demokrasi Presidensial (2) • Sebaliknya, Presiden tidak bisa membubarkan Parlemen; • Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlemen, melainkan bertanggung jawab kepada konstitusi dan rakyat yang memilihnya; • Lembaga kepresidenan adalah eksekutif yang bersifat tunggal. Konsekuensinya, walaupun menurut konstitusi Presiden dibantu oleh Wapres, kekuasaan Presiden tidak terbagi, kecuali dikehendaki oleh Presiden; • Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden; • Berlaku prinsip supremasi konstitusi, sedangkan dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen;
Dilema Sistem Demokrasi Presidensial • Akibat prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif, muncul fenomena “legitimasi demokratis ganda” (dual democratic legitimacy) dalam relasi Presiden-Parlemen sehingga timbul persaingan legitimasi yang memicu konflik; • Cenderung terjadi fenomena “pemerintahan terbelah” (the divided government) ketika lembaga kepresidenan dan parlemen dikuasai partai politik yang berbeda; • Dampak berikutnya terjadi instabilitas demokrasi yang akhirnya berpotensi pada terbentuknya pemerintahan tidak efektif;
Dilema Kombinasi Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai (1) • Kemungkinan besar terpilih “Presiden minoritas”, yakni presiden dengan basis politik relatif kecil di Parlemen; • Parlemen sangat fragmentatif serta tanpa partai atau kekuatan politik mayoritas; • Potensi konflik akibat dual democratic legitimacy, begitu pula perbedaan basis politik antara Presiden dan Parlemen memicu munculnya konflik; • Konflik antara Presiden-Parlemen bisa mengarah pada “pemerintahan terbelah” (the devided government) dan jalan buntu politik (deadlock), sehingga berujung pada instabilitas demokrasi presidensial dan pemerintahan tidak efektif;
Dilema Kombinasi Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai (2) • Pemilu 2004, 2009, dan 2014 menghasilkan “Presiden minoritas”, presiden dengan basis politik reklatif kecil di parlemen serta DPR tanpa kekuatan mayoritas; • Meskipun pada periode 2004-2014 dibentuk “pemerintah mayoritas”(KIB), tetapi tidak efektif karena koalisi yang semu; • Terjadi persaingan legitimasi Presiden-DPR yang memicu munculnya konflik (14 usulan interpelasi dan 9 usulan angket yang didukung parpol2 pendukung pemerintah; SBY tidak pernah hadir dalam rapat paripurna DPR); • Periode 2004-2009 konflik Presiden-DPR tidak berdampak pada deadlock dan instabilitas, tapi sifat relasi cenderung transaksional ketimbang institusional;
Pemilu Serentak dan Penguatan Demokrasi Presidensial • Berbagai komplikasi sistem presidensial berbasis multipartai (presiden “minoritas”, parlemen fragmentatif tanpa kekuatan mayoritas, fenomena “pemerintahan terbelah”, dll) perlu dikelola secara benar, cerdas, dan tepat; • Atas dasar pengalaman sejumlah negara penganut sistem presidensial berbasis multipartai, berbagai komplikasi politik tsb bisa dikurangi melalui skema pemilu serentak; • Pertanyaannya kemudian: pemilu serentak seperti apa yang dapat meminimalkan berbagai komplikasi politik yang muncul di balik skema presidensial multipartai?
Enam Varian Pemilu Serentak (1) • Pertama, pemilu serentak sekaligus untuk semua pemilihan pejabat publik di tingkat nasional hingga lokal, diselenggarakan satu kali dalam lima tahun. Pemilu ini meliputi pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota), pemilihan presiden, serta pemilihan kepala daerah (Pilkada). Ini seringkali disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan; • Kedua, pemilu serentak hanya untuk seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Dalam model clustered concurrent election ini, pemilu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan waktunya, dan kemudian diikuti pemilu presiden, gubernur dan bupati/walikota beberapa bulan kemudian. Jadi keserentakan atas dasar lembaga legislatif-eksekutif;
Enam Varian Pemilu Serentak (2) • Ketiga, pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal (concurrent election with mid-term election). Dalam model ini pemilu presiden diselenggarakan serentak dengan pemilu DPR dan DPD. Sedangkan pemilu DPRD (prov dan kab/kota) dilakukan bersamaan dengan pilkada, 2-3 tahun setelah pemilu nasional. • Keempat, pemilu serentak nasional dan lokal yang dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regionalbased concurrent elections). Dalam model ini, pemilihan presiden dan pemilihan DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Pada tahun kedua diadakan pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD dan kepala daerah berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu.
Enam Varian Pemilu Serentak (3) • Kelima, pemilu serentak nasional yang diikuti dengan pemilu serentak di setiap provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model concurrent election with flexible concurrent local elections ini maka pemilihan Presiden dibarengkan dengan pemilihan anggota DPR dan DPD. Setelah itu diadakan pemilu serentak lokal untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD sesuai siklus dan jadual yang disepakati; • Keenam, pemilu serentak nasional Presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan kemudian diikuti setelah selang waktu tertentu dilakukan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dalam pemilu ini, keserentakan tingkat lokal hanya untuk suatu provinsi, yakni memilih kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) secara bersamaan.
Kelebihan Skema Pemilu Serentak Varian Nasional-Lokal (1) • Pertama, peningkatan efektifitas pemerintahan karena pemerintahan hasil pemilu lebih stabil sebagai akibat coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden dari parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol yang sama. Itu artinya, pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden terpilih. • Kedua, pembentukan koalisi politik yang dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat “memaksa” parpol mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik.
Kelebihan Skema Pemilu Serentak Varian Nasional-Lokal (2) • Ketiga, pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal diharapkan berdampak positif pada tiga hal: (1) ada jeda waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serentak nasional dan juga sebaliknya; (2) terbuka peluang besar bagi terangkatnya isu lokal ke tingkat nasional yang selama ini “tenggelam” oleh isu nasional; (3) semakin besar peluang elite politik lokal yang kepemimpinannya berhasil untuk bersaing menjadi elite politik nasional. • Keempat, diharapkan terjadi penyederhanaan sistem kepartaian menuju sistem multipartai sederhana (moderat). Sebagai akibat terpilihnya parpol atau gabungan parpol yang sama dalam pemilu presiden dan pemilu DPR, fragmentasi parpol di parlemen berkurang dan pada akhirnya diharapkan berujung pada terbentuknya sistem multipartai moderat.
Kelebihan Skema Pemilu Serentak Varian Nasional-Lokal (3) • Kelima, pemilu serentak nasional yang terpisah dari pemilu serentak lokal diharapkan dapat mengurangi potensi politik transaksional sebagai akibat melembaganya oportunisme politik seperti berlangsung selama ini. Transaksi atas dasar kepentingan jangka pendek bisa dikurangi jika fondasi koalisi politik berbasiskan kesamaan visi dan platform politik. • Keenam, pemilu serentak nasional yang dipisahkan dari pemilu serentak lokal diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil pilihan masyarakat karena perhatian pemilih tidak harus terpecah pada pilihan yang terlampau banyak sekaligus di saat yang sangat terbatas dalam bilik suara. Dengan begitu, maka para pemilih memiliki waktu yang lebih luang untuk memutuskan pilihan secara matang sebelum mencoblos atau menandai pilihan mereka.
Pemilu Serentak 2019 • Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa pemilu serentak akan diselenggarakan pada Pemilu 2019. • Hanya saja persoalannya, pemilu serentak “versi MK” adalah pemilu lima kotak (untuk memilih Presiden/wapres, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) yang diselenggarakan secara serentak pada 2019. • Problem pemilu serentak “versi MK”: (1) tujuan yang dicapai hanya efisiensi waktu dan dana, padahal yang tak kalah pentingnya adalah tujuan efektifitas pemerintahan hasil pemilu; (2) pilkada serentak diselenggarakan terpisah, padahal semestinya diselenggarakan sebagai bagian pemilu serentak lokal yang diselenggarakan dua tahun sesudah pemilu serentak nasional.
Wassalam, Terima kasih