MENGUNGKAP NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM SEDHEKAH BUMI DI DESA BAKARAN WETAN, KECAMATAN JUWANA, KABUPATEN PATI JAWA TENGAH Hesti Widyastuti Abstrak Makalah ini membahas masalah kearifan lokal pada masyarakat Desa Bakaran Wetan yang tecermin dalam istilah-istilah yang digunakan pada acara sedhekah bumi. Sedhekah bumi adalah suatu kegiatan adat yang diadakan setiap tahun di desa tersebut. Di samping mendeskripsikan istilah–istilah yang digunakan pada acara sedhekah bumi, diungkap juga nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat setempat. Kearifan lokal yang berhasil ditemukan antara lain menjaga dan meningkatkan rasa syukur kepada Tuhan, menjaga silaturahim, menjaga kerukunan dan tolong-menolong, menjaga lingkungan, yang semua itu tecermin dalam istilah-istilah beserta kegiatan yang ada dalam masyarakat. Kata kunci: sedhekah bumi, petani tambak, kearifan lokal, pantai Utara Jateng
1.
Pendahuluan Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki budaya tinggi. Berkaitan dengan masalah budaya, masyarakat Jawa mengenal berbagai ritual, antara lain slametan (bermakna sama dengan „selamat‟, „terhindar dari segala gangguan dan hambatan‟). Pada awalnya masyarakat Jawa melakukan berbagai ritual atau upacara, baik secara individu maupun kolektif, untuk kepentingan keselamatan dengan tujuan selamat dari berbagai bentuk gangguan fisik maupun nonfisik. Di sisi lain, acara ritual yang melibatkan para tetangga maupun kerabat lain secara sosiologis memunculkan adanya rasa kebersamaan, memupuk rasa kesetiakawanan, dan solidaritas di antara warga masyarakat. Pada dasarnya selamatan (slametan: Jawa) merupakan usaha manusia dalam rangka menyeimbangkan kosmos, menghindari segala bentuk mara bahaya dan ancaman, baik terhadap individu maupun kolektif, pada posisi gawat dan genting (Suhardi, 1986: 38). Dengan kata lain, slametan merupakan usaha riil (nyata dan serius) manusia terhadap sesuatu yang tampak maupun tidak tampak. Oleh Geertz (1983), realitas sosio-religi seperti ini disebut sebagai relativisme kultur Jawa.
10
Masyarakat Jawa mengenal berbagai jenis upacara, baik upacara yang tergolong besar maupun kecil. Suhardi (1986) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa paling tidak mengenal lima jenis upacara besar slametan yang merupakan peninggalan para leluhur yang masih dilakukan secara teratur, terutama di daerah pedesaan, meskipun akhir-akhir ini semakin menurun kadarnya. Lima jenis slametan yang dimaksud antara lain adalah yang berkaitan dengan (1) daur hidup, (2) pertanian, (3) peringatan keagamaan, (4) rasa syukur, dan (5) bersih desa. Sedhekah bumi di Desa Bakaran Wetan berkaitan dengan sekaligus merupakan usaha melestarikan kesenian ke lima jenis tersebut, terutama berkaitan dengan masalah pertanian, rasa syukur atas segala yang telah diberikan oleh Tuhan lewat hasil pertanian. Dalam hal ini, berupa tambak yang direalisasikan dalam bentuk „bersih desa‟. Sesuai dengan namanya, bersih desa memiliki makna yang jelas berkaitan dengan masalah kebersihan, baik bersih secara lahir maupun secara batin. Jadi, sedhekah bumi diadakan dengan tujuan agar desa beserta seluruh isi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan desa bersih dari berbagai bentuk gangguan, baik gangguan fisik maupun nonfisik. Lebih jauh warga desa mengharapkan kehidupan akan selalu lebih baik, selalu hidup rukun, damai, sejahtera, mendapat perlindungan dan berkah dari Yang Mahakuasa dengan hasil pertanian yang melimpah. Sedhekah bumi merupakan suatu kegiatan yang diadakan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan atas segala limpahan rezeki. Kegiatan sedhekah bumi ini sudah ada sejak berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun yang lalu yaitu sejak zaman kehidupan nenek moyang atau para leluhur desa. Kegiatan ini menunjukkan adanya kearifan lokal bagi warga desa Bakaran Wetan. 2.
Kearifan Lokal (Local Genius) Kearifan lokal dapat diartikan sebagai seperangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun pengalamannya yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk mengatasi tantangan hidup (Sedyawati, 1994: 18). Sementara itu, Ahimsa, mendefinisikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan cara yang baik dan benar (2007: 17). Menurut Edi Subroto, kearifan lokal dipandang sebagai salah satu cara untuk memberitahukan kepada komunitas kolektifnya menurut budaya setempat agar berlaku bijaksana terhadap lingkungan hidupnya (2010: 2). Kearifan lokal (local genius) memiliki ketahanan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan berkembang untuk masa-masa mendatang karena kepribadian masyarakat ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan local genius dalam menghadapi kekuatan dari luar.
11
Kearifan lokal biasanya melekat pada adat istiadat atau budaya setempat. Berbagai makna kultural dari adat istiadat setempat sangat berpengaruh terhadap keberadaan masyarakatnya. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani tambak. Masyarakat sangat mengandalkan tambak sebagai sumber mata pencaharian pokoknya, baik sebagai petani penggarap maupun petani pemilik tambak. Oleh karena itu, mereka sangat menghargai lingkungan ekologis tempat tinggalnya. Mereka memiliki kecerdasan kolektif dalam memaknai lingkungannya. Kecerdasan kolektif itu tecermin dalam adat istiadat mereka. Kecerdasan kolektif di desa Bakaran Wetan antara lain terealisasi dalam sedhekah bumi yang di dalamnya terdapat berbagai ritual dan kegiatan yang sarat dengan istilah-istilah khusus. Istilah-istilah itulah yang mengandung makna yang sarat dengan pesan moral tinggi yang arif dan bijaksana. 3.
Pundhen dan Kenduri (Manganan Sigit) Istilah pundhen berasal dari kata pundi (Jawa) yang memiliki makna „orang yang dimuliakan; junjungan‟ (KBBI, 2011: 116). Kata pundhen berasal dari kata pundi + an, akhiran –an menyatakan makna „tempat‟. Jadi, kata pundhen memiliki makna „tempat orang yang dimuliakan‟ atau „tempat untuk memuja‟, „tempat untuk menyembah‟. Pundhen dianggap keramat yang dijadikan tempat untuk berdoa, untuk memuja Tuhan atau menghormati para leluhurnya. Setiap kegiatan (perhelatan) yang dianggap penting oleh warga, baik untuk kepentingan tingkat rumah tangga ataupun untuk kepentingan desa, selalu diawali dengan kegiatan di punden tersebut, seperti kenduri atau yang dikenal dengan manganan sigit. Kenduri adalah “perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat, dsb; selamatan” (KBBI, 2011:478). Manganan sigit selalu mengawali setiap kegiatan yang akan diadakan oleh warga, seperti ketika seorang warga akan mengadakan perhelatan menikahkan atau menyunatkan anaknya yang bersifat perorangan maupun acara sedhekah bumi yang bersifat kolektif (melibatkan seluruh warga desa). Manganan sigit ini juga merupakan ajang bagi warga untuk bersilahturahim, menjalin dan mempererat tali persaudaraan antarwarga. Di samping itu, dengan menghadiri kenduri tersebut mereka juga menunjukkan kepeduliannya terhadap kelestarian budaya desanya. Kearifan lokal seperti itulah yang masih hidup di desa-desa. Bagi sebagian warga desa yang sudah merantau atau hidup jauh dari desa, segala bentuk prosesi adat yang diadakan rutin setiap tahun dapat dimaknai sebagai ajang silaturahmi atau reuni dengan keluarga atau dengan para tetangga mereka. Kearifan lokal yang berwujud berbagai kegiatan semacam sedhekah bumi tersebut tidak hanya
12
terjadi di Desa Bakaran Wetan, tetapi juga terjadi di beberapa desa yang lain di Wilayah Juwana, Pati. 4.
Makna Sedhekah Bumi Sedhekah bumi merupakan acara adat atau tradisi yang diadakan sekali dalam satu tahun. Tradisi ini muncul sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan, yang telah memberikan segala yang dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan Kuasa dan kemurahan-Nya, Tuhan telah memberikan hasil bumi atau panen yang melimpah yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidup mereka. Tambak merupakan andalan bagi Bakaran Wetan. Tambak adalah karunia dari Tuhan yang paling berarti dalam kesejahteraan masyarakat desa ini. Dalam KBBI, kata sedekah bermakna 1. pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan pemberi; derma; 2. selamatan; kenduri; 3. makanan (bunga-bunga dsb.) yang disajikan kepada roh halus (roh penunggu dsb) (2011: 888). Kata sedekah bisa juga berasal dari kata shadaqa yang berarti „benar‟. Menurut pengertian syariat, sedekah mengandung makna „segala pemberian amal derma di jalan Allah‟. Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah mengandung makna lebih luas, yakni menyangkut juga hal-hal yang nonmateri. Sebagai contoh, amal kebaikan yang dilakukan seseorang bisa dikategorikan sedekah. Hal ini sejalan dengan konsep Nabi Muhammad saw. bahwa setiap amal yang baik adalah sedekah. Bahkan, beliau bersabda, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah”. Sedekah menjadi penting karena merupakan bagian dari upaya tazkiyatun nafs „membersihkan diri, lahir-batin‟. Manusia butuh bersedekah, sebab sedekah itu akan kembali kepada manusia itu sendiri dalam beragam bentuk. Posisi sedekah itu sangat istimewa. Sedekah merupakan ibadah yang utama bagi semua orang. Bagi masyarakat desa Bakaran Wetan pada khususnya dan masyarakat Juwana pada umumnya, terutama yang sebagian penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tambak, mereka bisa hidup makmur sejahtera hanya dari hasil tanah, yaitu tambak yang digarapnya. Hanya tambaklah yang bisa membuat orang hidup berkecukupan, bahkan hidup makmur dan sejahtera. Tambak bagi warga setempat merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan. Tambak merupakan sumber penghasilan utama bagi sebagian besar warga. Berkaitan dengan tambak ini, masyarakat Bakaran sangat percaya bahwa besar kecilnya hasil panen sangat bergantung pada musim atau mangsa.
13
Pada mangsa kesanga (antara Juli -- Desember) mereka berkeyakinan bahwa hasil panen akan lebih melimpah dibanding hasil panen pada mangsa kepucuk (antara Januari -- Juni). Hal itu tentu saja berdasarkan pengalaman para leluhur yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun atau beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun lamanya sehingga mereka berkeyakinan seperti itu. Keyakinan ini melekat pada diri setiap warga. Besar-kecilnya hasil panen setiap musim tidak menghalangi guyup rukunnya warga dalam mengadakan acara tahunan, pesta rakyat, yaitu sedhekah bumi. Seperti pada umumnya desa-desa yang lain, wujud guyub rukun atau kekompakan warga juga sangat terasa di desa ini. Hal itu bisa diamati ketika warga desa sedang mengadakan berbagai acara, baik acara untuk kepentingan perorangan maupun acara-acara desa, seperti acara “pesta rakyat” ini. Masyarakat setempat memiliki keyakinan bahwa dengan mengadakan sedhekah bumi pada setiap tahunnya, atau tepatnya setiap saat sehabis panen, keadaan desa akan selalu aman, tenteram, sejahtera, dan warga selalu diberi kesehatan jasmani dan rohani. Bersamaan dengan sedhekah bumi itu, biasanya diadakan juga agenda pembahasan mengenai kas desa, yang dikenal dengan bandha desa. Bandha desa adalah kas milik desa yang berupa tambak yang pengelolaannya diserahkan kepada warga dengan cara dilelang. Pemenang lelang akan berhak menggarap tambak tersebut. Hasil lelang dimasukkan ke dalam kas desa. Bandha desa „kekayaan desa‟yang berupa tambak yang dikelola sejak para leluhur desa merupakan hasil dari kecerdasan masyarakat pada waktu itu, yaitu pentingnya mengelola penghasilan desa demi kesejahteraan masyarakat. Sebagian hasil lelang juga dibagikan kepada warga sebagai bukti kebersamaan dalam menikmati kekayaan alam di wilayahnya. 5.
Prosesi Sedhekah Bumi Berbagai kegiatan dilaksanakan oleh seluruh warga desa dalam menyambut acara sedhekah bumi yang merupakan tradisi turun-temurun bagi warga desa Bakaran Wetan. Seluruh lapisan masyarakat, tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, kaya, atau pun miskin ikut berpartisipasi merayakan atau meramaikan hajat besar yang diadakan setiap tahun ini. Akan menjadi beban tersendiri apabila sebagai warga di desa ini tidak ikut andil atau aktif dalam wujud apa pun dalam hajat besar sedhekah bumi ini. Bagi yang mampu, diharapkan dapat mendarmakan sebagian hartanya untuk keperluan hajat besar ini, sedangkan yang kurang mampu akan mendarmabaktikan tenaga maupun pikirannya demi terciptanya kerukunan dalam mewujudkan hajat besar ini. Seluruh warga bekerja bersama-sama, bau-
14
membau demi kerukunan dan kesejahteraan desanya. Suka cita tampak terasa di berbagai sudut desa. Berbagai bentuk pertunjukan juga ditampilkan dalam hajat ini, termasuk acara-acara kesenian, seperti wayang kulit, campur sari, klenengan, lomba lari, dan tidak akan ketinggalan acara yang sangat penting, yakni pengajian. Acara klenengan dilaksanakan pada malam hari setelah kondangan di Petinggen (rumah/tempat tinggal petinggi/kepala desa). Acara ini melibatkan warga yang memilki kemampuan dalam bidang kesenian sekaligus juga menghadirkan seniman dari luar daerah demi menambah semaraknya suasana. Kegiatan atau prosesi sedhekah bumi dikemas menjadi beberapa kegiatan seperti berikut ini: Manganan sigit Manganan sigit adalah „kenduri‟ (kondangan) di pundhen, yaitu suatu tempat yang dipundhi „ditinggikan‟ atau „dikeramatkan‟ di desa itu. Pundhen, oleh beberapa orang dari berbagai daerah, juga sering dipakai sebagai tempat untuk berdoa/memohon atau sering disebut dengan istilah tirakat/nyepi yang letaknya di halaman samping Balai Desa Bakaran Wetan. Beberapa persyaratan harus dipenuhi dalam manganan sigit ini, antara lain yang paling penting „tidak diperbolehkan menggunakan lauk-pauk yang terdiri dari ikan ayam‟. Menurut cerita secara turun-temurun dari para leluhur, dilarangnya ayam untuk lauk di punden disebabkan ayam menjadi kesukaan seorang yang menjadi tokoh cikal bakal Desa Bakaran Wetan, yang dikenal dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran sehingga masyarakat umum dilarang menandinginya. Di pundhen itulah Nyai Ageng dimakamkan sehingga muncullah larangan tersebut dan masyarakat pun tidak berani melanggarnya. Pesan yang disampaikan dari hal ini adalah bahwa dalam hidup sangat penting menghormati orang yang lebih tua. Dalam manganan sigit ini, Petinggi atau Kepala Desa, sebagai wakil warga masyarakat desa, mengundang beberapa warga desa untuk mewakili warga yang lain guna menghadiri acara kenduri tersebut. Dari kegiatan manganan sigit ini yang dapat dirasakan oleh siapa pun yang melihat/menghadiri adalah suatu kebersamaan, kerukunan, kegotongroyongan, dan yang paling penting adalah ajang untuk bersilaturahim antarwarga desa setempat, bahkan antarwarga desa dengan warga desa lain. Manganan sigit biasanya diadakan untuk mengawali serangkaian kegiatan yang akan dilakukan beberapa saat kemudian, misalnya pernikahan, sunatan, sedhekah bumi, dan sebagainya.
15
Kenduri (Kondangan) di rumah Petinggi (Petinggen) Satu minggu setelah acara manganan sigit, diadakanlah prosesi berikutnya, yaitu kondangan di rumah Petinggi (Kepala Desa) yang biasa disebut sebagai petinggen (=tempat tinggal petinggi). Kata kondangan berasal dari kata undang+ke yang berarti „menghadiri undangan‟, menjadi keundangan, bunyi eu luluh menjadi bunyi o, kondangan. Dalam acara ini, hampir semua kepala keluarga menyetorkan makanan dalam beberapa dos atau besek untuk dimakan bersama atau dibagikan atau ditukarkan di antara mereka. Acara ini mengandung makna „membina kerukunan, kebersamaan, tolongmenolong‟ yang diwujudkan dalam bentuk silahturahim ke tempat petinggi desa (yang dituakan di desa) bersama-sama, yaitu menghadiri acara kondangan, dan diikuti makan bersama yang sebelumnya diawali dengan doa bersama. Acara ini, yang merupakan „pesta rakyat‟ desa, semestinya dihadiri oleh seluruh warga. Namun karena tidak seluruh warga bisa hadir, panitia akan mengirimkan dos berisi makanan yang menjadi hak mereka. Sebelumnya, panitia sudah mendaftar nama-nama warga yang berhak menerima sedekah lewat kondangan itu. Pesan yang terkandung dalam acara ini adalah betapa pentingnya kebersamaan dan saling menghormati dengan makan bersama di tempat orang yang dituakan, yaitu Petinggi.
Sindhenan/klenengan Klenengan merupakan seni tradisional Jawa yang biasanya berupa satu paket yang terdiri dari (pe)sindhen „penyanyi tembang-tembang Jawa‟ dan instrumen Jawa (gamelan) sekaligus penabuhnya (niyogo/miyogo). Dari kegiatan ini, terasa adanya penghargaan terhadap tradisi Jawa. Dalam pada itu, seperangkat gamelan beserta penabuh dan pesindennya masih sangat diperhatikan. Masyarakat tidak mau atau tepatnya masyarakat merasa tidak nyaman sekaligus ada rasa kecewa jika acara ini ditiadakan. Warga menganggap bahwa klenengan yang merupakan kesenian atau budaya Jawa harus tetap digelar dalam acara pesta rakyat ini. Oleh karena itu, demi menjaga kerukunan dan ketenteraman dalam mayarakat, sindhenan selalu diagendakan oleh panitia. Pesan yang disampaikan dalam acara ini adalah begitu pentingnya kita membina kerukunan warga dengan cara melestarikan budaya Jawa secara bersama-sama.
16
Kenduri di pundhen Acara ini merupakan lanjutan pesta rakyat yang melibatkan seluruh warga desa. Seperti halnya kenduri/kondangan di petinggen, kenduri ini juga dihadiri oleh sebagian warga desa setempat atau desa tetangga. Warga yang tidak mengikuti atau tidak menyerahkan makanan pada saat kenduri di Petinggen biasanya akan membawa makanan ke pundhen. Makanan yang dibawa biasanya berwujud pisang atau ketan, baik ketan berwarna putih maupun yang berwarna merah (warna dengan gula merah atau gula jawa) yang ditaburi kelapa parut. Pisang, ketan, kelapa, dan gula merah merupakan hasil bumi lokal yang mudah didapatkan oleh masyarakat. Keempat hasil bumi itulah yang secara tidak langsung akan dilestarikan keberadaannya. Sementara itu, masyarakat memaknai gedhang (raja) sebagai simbol baik/sukses seperti raja, ketan memiliki makna merekatkan (mempererat) persaudaraan, putih melambangkan baik/suci dan merah melambangkan buruk/kotor. Sebelum kenduri dimulai, Petinggi beserta istrinya atau juga warga desa yang lain, datang ke pundhen untuk nyekar. Inti utama dari nyekar adalah mohon perlindungan, keselamatan, dan petunjuk dari Yang Mahakuasa agar serangkaian acara sedhekah bumi itu berjalan dengan selamat dan lancar. Selain itu, nyekar juga bertujuan untuk mengingat jasa para leluhur yang sudah meninggal. Acara kenduri ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang modin (salah satu perangkat desa yang mengurusi masalah sosial). Seusai kenduri, acara dilanjutkan dengan berbagai lomba, antara lain lomba lari maraton, lomba memasak, dan sebagainya, yang diikuti oleh warga desa setempat. Seperti kegiatan-kegiatan yang lain, pesan yang terkandung dalam kegiatan ini antara lain adalah pentingnya kebersamaan dan pemeliharaan lingkungan.
Lomba lari maraton Lomba ini merupakan bagian dari serangkaian acara yang diadakan pada pesta rakyat di Bakaran Wetan. Lomba diadakan setelah acara kondangan di pundhen selesai. Siapa pun diperbolehkan mengikuti acara lomba ini. Namun, peserta lomba sebagian besar para pemuda dan anak-anak. Selama ini tak seorang pun wanita mengikuti acara ini. Untuk menarik minat peserta, panitia menyediakan sejumlah hadiah menarik bagi pemenangnya, antara lain sepeda. Dari kegiatan ini juga terasa adanya kebersamaan untuk menjaga kerukunan antarwarga desa. Pesan yang ada dalam kegiatan ini adalah pentingnya kerukunan,
17
kebersamaan, dan juga menjaga kesehatan dengan berolah raga bersama.
Wayang Cilik Wayang cilik adalah wayang kulit yang dalangnya merupakan “dalang lokal” atau dalang yang berasal dari sekitar Bakaran. Pagelaran wayang cilik ini bertempat di dekat pundhen dan digelar pada siang hari setelah kondangan di pundhen. Dari kegiatan ini juga terasa adanya usaha dari desa setempat untuk melestarikan budaya Jawa, yaitu dengan menggelar pertunjukan wayang kulit yang tentu saja lengkap dengan gamelan, miyaga/niyaga, dan pesinden. Yang semuanya itu merupakan perlengkapan dalam pertunjukan wayang kulit yang merupakan budaya Jawa yang di dalamnya sarat dengan pesan bijak dan mulia.
Wayang Gedhe „Wayang Besar‟ Berbeda dengan wayang cilik, wayang gedhe tidak dimainkan oleh dalang local, tetapi dimainkan oleh dalang yang sudah terkenal (dalang kondang) atau dalang yang sudah memiliki jam terbang lebih tinggi. Biasanya, dalang didatangkan dari wilayah Surakarta, seperti almarhum Nartosabdo dan Anom Suroto. Lakon atau cerita yang dipilih biasanya berkaitan dengan cerita-cerita tentang keteladanan, kejujuran, kearifan seorang pemimpin terhadap rakyatnya serta cerita-cerita tentang kebesaran, kemurahan, kekuasaan Sang Yang Maha Agung terhadap umat-Nya. Apa pun lakon yang dipilih, masyarakat desa berharap kehidupan hari esok akan lebih baik dari hari ini, termasuk berharap panen lebih baik. Seperti juga wayang cilik, pertunjukan wayang gedhe ini juga merupakan usaha warga desa dalam melestarikan budaya Jawa yang di dalamnya sarat dengan berbagai pesan mulia.
Pentas Seni Pentas seni yang dimaksud adalah kegiatan seni yang menampilkan berbagai kesenian yang dianggap sebagai hiburan warga desa, seperti campur sari yang mendatangkan organ tunggal beserta para penyanyinya. Kegiatan ini sekaligus merupakan usaha melestarikan kesenian tradisional yang sudah ada sejak zaman leluhur mereka yang dipadukan dengan musik modern. Campur sari yang dipadukan dengan musik lain seperti dangdut merupakan pilihan yang cukup populer dari pertunjukan seni yang disuguhkan. Campur sari merupakan campuran dari alat-alat musik keroncong dan alat musik tradisional Jawa semacam gamelan.
18
Di samping sebagai hiburan, pentas seni ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menggalang kerukunan antarwarga. Warga yang menghadiri acara ini akan merasa senang karena bisa bertemu dengan warga yang lain dan menikmati hiburan kesenian di sela-sela bekerja keras di tambak..
Pengajian Pengajian merupakan acara terakhir atau penutup dari serangkaian acara sedhekah bumi yang setiap tahun digelar di Desa Bakaran Wetan. Pengajian biasanya diadakan di mesjid desa dengan menghadirkan ustadz yang dikenal masyarakat, baik dari lingkungan desa setempat maupun dari tempat lain. Acara pengajian ini menunjukkan adanya kehidupan religius warga setempat. Hal inilah yang diharapkan bisa mengimbangi kehidupan warga desa, ialah bahwa berbagai kegiatan yang merupakan kearifan lokal benar-benar dibarengi dengan kegiatan keagamaan.
6.
Kesimpulan Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sedhekah bumi merupakan kegiatan tahunan yang menjadi adat di Desa Bakaran Wetan yang di dalamnya sarat dengan berbagai pesan arif dan bijaksana bagi hidup dan kehidupan manusia. Hal itu tampak pada istilah-istilah dan berbagai kegiatan yang ditemukan dalam rangkaian acara sedhekah bumi yang tiap tahun digelar di desa tersebut. Kearifan lokal yang berhasil ditemukan antara lain adalah bahwa pentingnya bersyukur kepada Tuhan, menjaga silaturahim, menjaga kerukunan dengan cara saling memahami dan saling membantu, menjaga lingkungan, yang semua itu tecermin dalam istilah-istilah dan kegiatan dalam acara sedhekah bumi tersebut.
7.
Daftar Pustaka Edi Sedyawati. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya. Buku 2. Dialog Budaya: Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Weda Tama Widya Sastra. Edi Subroto, D. 2010. “Etnolinguistik”. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
19
Geertz, Cliffort. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya. Heddy Shri Ahimsa-Putra. 1985. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian“. Makalah dalam Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2007. “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoretis dan Metodologis”. Pidato Ilmiah Dies Natalis FIB UGM ke-62. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suhardi. 1986. “Konsep Sangkan Paran dan Upacara Selamatan dalam Budaya Jawa” dalam Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Javanologi. Tim Redaksi. 2011. Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa. Cetakan ke-2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
20