Pengelolaan Sumberdaya Air (Yudha Arif Nugroho)
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DESA KEMIREN, KECAMATAN GLAGAH, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS KEARIFAN LOKAL MANAGEMENT OF WATER RESOURCES BASED ON LOCAL WISDOM IN KEMIREN VILLAGE, GLAGAH DISTRICT, BANYUWANGI, EAST JAVA Yudha Arif Nugroho1) dan Hairi Cipta2) Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Jalan Agro, Bulaksumur-Yogyakarta Email: 1)
[email protected]; 2)
[email protected] Diterima Juli 2013, diterima setelah perbaikan Agustus 2013 Disetujui untuk diterbitkan Februari 2014 Abstrak: Air merupakan sumber daya alam yang penting bagi kehidupan. Sehingga perlu dilakukan upayaupaya untuk melestarikan keberadaannya. Masyarakat Using yang bermukim di Desa Kemiren masih menerapkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya air. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi bentukbentuk kearifan lokal masyarakat Using dalam mengelola sumber daya air. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan penentuan sampel sumber data dengan cara snowball sampling. Pengumpulan data penelitian diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat 24 mata air di desa Kemiren yang menopang kebutuhan masyarakat Using terhadap sumber daya air. Filosofi untuk menyisakan apa yang dimiliki sekarang telah mengarahkan masyarakat agar tetap mempertahankan sejumlah mata air untuk dikelola sendiri. (2) Ada sejumlah bentuk budaya hasil kearifan lokal masyarakat yang berperan penting dalam menjaga sumber daya air Desa Kemiren, yaitu mitos serta kesan angker, selametan, rebo wekasan, Ider bumi, santet, dan pengelolaan air oleh masyarakat yang disebut hipam. Budaya-budaya ini telah menghindarkan masyarakat dari keserakahan. (3) Masyarakat Using menggunakan gabungan antara konsep segi suplai dan konservasi sisi kebutuhan yang diwujudkan dengan upaya penyimpanan air dan juga pemanfaatannya dengan efisien. Apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Using merupakan salah contoh nyata bahwa kearifan lokal masyarakat mampu menjadi solusi terhadap permasalahan pengelolaan sumber daya air. Kata kunci: kearifan lokal, sumber daya air, desa Kemiren, dan budaya masyarakat.
Abstract: Water is a natural resources which is essential for life, so there are some efforts that should be done to preserve its existence. Using people residing in the Kemiren Village is still applying local wisdom in managing water resources. This research tried to identify the forms of local wisdom in Using society to managing water resources. This research was conducted using a qualitative approach and snowball sampling to determined the sample of the data source. The research data obtained through interviews, observation, and documentation. The results of the research shows: (1) there are 24 springs in the Kemiren Village which fulfilling Using people needs for water resources. The philosophy to save their things has directed them to conserve a number of springs to be managed by themself. (2) There are some forms of culture based on local wisdom in the society that play an important role in maintaining water resources of Kemiren Village, there are myths and scary image, selametan, Rebo wekasan, Ider Bumi, santet, and water management by the local organization called HIPAM. These cultures has been avoiding the people from greed. (3) Using people use a combination of supply and conservation of needs through the efforts to store the water and utilize the water efficiently. What have been done by Using society are the real examples that local wisdom of the society could be a solution of the problems in water resources management Keywords: local wisdom, water resources, Kemiren village, dan culture.
59
Lingkungan Tropis, vol 8, no. 1, Maret 2014: 59-67
PENDAHULUAN Sumberdaya air merupakan sumberdaya alam yang saat ini memerlukan perhatian dan pengelolaan secara intensif. Menurut Vandana Shiva, kendati dua pertiga planet kita terdiri atas air, kelangkaan air terus terjadi. Vandana menjelaskan bahwa kelangkaan menyebabkan kesehatan dan pembangunan ekonomi suatu negara akan terhambat. Data LIPI menunjukan bahwa wilayah Indonesia memiliki 6% persediaan air dunia atau 21% dari persediaan Asia Pasifik. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang kaya akan air, namun tidak menjamin kemudahan akses terhadap air bersih bagi warganya. Sehingga setiap tahun selalu mengalami krisis air bersih. Menuru Asdak (2006), krisis air bersumber pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi. Maka disini masyarakat menjadi salah satu pemegang kunci keberhasilan pelestarian air. Upaya ini dilakukan dengan cara pengelolaan sumberdaya air yang mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik sosial budaya masyarakat, termasuk peran sertanya dalam menjaga ketersediaan sumberdaya air merupakan faktor penting yang tidak dapat dipisahkan dari suatu ekosistem. Upaya pengelolaan sumberdaya air secar bijak yang dilakukan oleh masyarakat sesungguhnya telah berkembang sejak lama. Biasanya dilakukan dalam kegiatan sehari-hari mereka. Bagi mereka, sumberdaya alam merupakan titipan anak cucu, maka penggunaan sekarang harus tetap dibatasi. Mereka memiliki pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna, dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri (Rajab, 2006). Upaya konservasi oleh masyarakat lokal seperti ini bisa menjadi salah satu solusi permasalahan kelangaan sumberdaya air. Salah satu desa yang masyarakatnya masih tetap menjaga budaya leluhurnya adalah masyarakat di Desa Kemiren (Nur et al., 2010). Masyarakat di Desa Kemiren erat kaitannya dengan masyarakat Using. Desa ini oleh pemerintah setempat ditetapkan sebagai cagar budaya untuk mempertahankan identitas masyarakat Using di Banyuwangi.
Keberadaan sungai dan mata air bagi masyarakat Desa Kemiren sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga dengan segala cara mereka akan terus menjaga dan melestarikannya. Tidak saja penting untuk masyarakat, upaya konservasi yang dilakukan mereka juga akan bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Sehingga cara dan bentuk pengelolaan sumberdaya air ini menarik untuk diteliti. Air merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Using yang mayoritas merupakan petani. Air selain berfungsi untuk hajat hidup sehari-hari juga merupakan nyawa bagi budidaya pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat Using. Perikehidupan masyarakat Using yang berbasis pertanian juga diduga memunculkan kearifan masyarakat dalam pelestarian sumberdaya air. Kajian tentang masyarakat Using selama ini didominasi oleh kajian-kajian kesenian. Kajian kearifan masyarakat Using tentang Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air belum pernah dilakukan. Kajian kearifan masyarakat Using tentang pelestarian sumberdaya air ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian seperti : bagaimana bentuk pengelolaan sumberdaya air masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur yang berbasis kearifan lokal? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk pengelolaan sumberdaya air masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur berbasis kearifan masyarakat. Manfaat penelitian ini secara praktis, dapat dijadikan sumber informasi cara mengelola sumberdaya air berbasis kearifan lokal. Dengan mengetahui bentuk pengelolaan seperti ini, diharapkan pemerintah juga lebih peduli dan turut serta mendukung kearifan lokal masyarakar dalam pengelolaan sumberdaya air. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan untuk dapat mendukung pengelolaan air yang dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga lebih inklusif, partisipatif, dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga ingin memberikan contoh solusi dari konflik antara masyarakat dengan pengelola yang selama ini terjadi.
60
Pengelolaan Sumberdaya Air (Yudha Arif Nugroho)
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih untuk memperoleh penjelasan mengenai kearifan lokal masyarakat Desa Kemiren dalam mengelola sumber daya air. Teknik pengumpulan datanya menggunakan snowball sampling atau dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 1998). Subyek atau sampel dipilih berdasarkan rekomendasi orang ke orang yang sesuai dengna penelitian (Patton, 2006). Mulanya peneliti akan meminta rekomendasi dari tetua desa sebagai informan, kemudian dari informan-informan ini nantinya akan dimintai rekomendasi juga. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti tidak akan membatasi jumlah subyek mapun karakteristik sampel, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang di lapangan. Sampai dirasa data yang dibutuhkan telah cukup maka pengambilan data akan dihentikan.
b. Data Sekunder Data sekunder meliputi pustaka/literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Using. Data sekunder ini digunakan untuk menunjang perolehan data primer dan untuk melengkapi analisis yang mendalam agar diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan. Cara Pengambilan Data Teknis pengumpulan data di lapangan diambil dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancar dilakukan dengan cara terstruktur. Pencarian informasi dihentikan setelah seluruh data yang diperlukan telah terjawab dan berulang informasinya. Obeservasi melalui pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi lokasi penelitain, kegiatan kelompok tani, dan kondisi sekitar. Dokumentasi dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara dan observasi, dengan cara mengumpulkan berbagai data sekunder baik berbentuk tulisan maupun gambar.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan akan dilakukan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 1 Bulan. Berlangsung pada minggu ke empat bulan Januari sampai minggu ke tiga bulan Februari tahun 2013. Desa seluas 177.052 Ha ini merupakan wilayah dataran rendah dengan ketinggian 144 m dpl. Desa Kemiren di batasi oleh desa Jambesari (sebelah utara), desa Olehsari (sebelah selatan), desa Tamansuruh (sebelah barat), dan kelurahan Banjarsari (sebelah timur). Desa Kemiren terbagi kedalam 28 rukun tetangga (RT) dan 7 rukun warga (RW).
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara : 1. Memilih masalah 2. Mengumpulkan data pengelolaan sumberdaya air berbasis kearifan lokal masyarakat 3. Mensortir dan mengkelompokkan data 4. Memformulasikan hipotesis 5. Menuliskan hasil Memilih masalah merupakan kerangka berpikir awal dalam penelitian, permasalahan ini didasarkan pada cara-cara pengelolaan sumberdaya air yang terdapat pada kearifan masyarakat. Mengumpulakn data tentang pengelolaan sumberdaya air berbasis kearifan lokal adalah fase yang dimaulai sebelum hipotesis diformulasikan, pada fase ini dilakukan kegiatan wawancara, observasi, dan pencatatan data di lapangan serta dokumentasi. Menganalisis data merupakan analisis yang meliputi pemerikasaan ulang catatan dilapangan untuk mencari bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya air, simbol-simbol budaya, serta mencari hubungan-hubungannya.
Jenis Data a. Data Primer Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh kunci di dalam masyarakat Kemiren. Tokoh kunci tersebut meliputi sesupuh masyarakat, pejabat desa, warga Kemiren, pemilik sumber air, pengelola Hipam, serta budayawan di Banyuwangi. Selain wawancara juga dilakukan observasi lapangan dan dokumentasi berupa foto-foto kegiatan masyarakat.
61
Lingkungan Tropis, vol 8, no. 1, Maret 2014: 59-67
PEMBAHASAN Bali didatangkan pada waktu itu. Sedangkan penduduk asli Blambangan lebih memilih melarikan diri yang salah satunya ke Desa Kemiren. Mereka masih dendam kepada Belanda, sehingga mereka tidak mau dipekerjakan bangsa Belanda. Ada 10 kecamatan dominan Using. Orang-orang ini menempati tanah yang subur. Karena menempati daerah subur mereka tidak pernah membabat hutan dan mereka dimanjakan oleh alamnya. Sehingga hidup mereka banyak dihabiskan untuk berkesenian.
Sejarah Kemiren dan Masyrakat Using Banyak versi menyebutkan asal-usul Desa Kemiren. Menurut para sesepuh Desa Kemiren sendiri, dahulu Desa Kemiren merupakan bagian dari Desa Cungking. Awalnya desa ini hanyalah hamparan sawah hijau dan hutan milik para penduduk Cungking. Pada saat itu, masyarakat Cungking bersembunyi ke sawah-sawah untuk menghindari tentara Belanda. Para warga akhirnya enggan kembali ke desanya dan menetap di sini. Dibabatlah hutan untuk dijadikan perkampungan. Hutan ini banyak ditumbuhi pohon Kemiri dan Durian. Maka dinamakanlah Kemiren. Saat ini Desa Kemiren ditetapkan menjadi kawasan wisata desa adat Using. Kemiren juga ditetapkan menjadi Cagar Budaya untuk melestarikan ke-Usingannya. Dalam buku The Variety of Javanese Religion yang ditulis oleh Andrew Beatty (1999), orang Using disebutkan bahwa mereka adalah keturunan sisa-sisa penduduk tahun 1768. Para ahli sejarah lokal, berpendapat bahwa orang-orang Blambangan pada waktu itu sering ditanya, apakah mereka orang Blambangan. Karena dahulu mereka masih tidak berani menunjuk identitasnya, maka mereka menjawab dengan kata “sing” yang berarti tidak. Sejak saat itu, banyak orang menyebut keturunan Blambangan dengan sebutan Using. Pada masa kekuasaan Belanda, pemerintahan Blambangan dibagi kedalam 2 wilayah yaitu Blambangan Barat dan Timur. Sekarang Blambangan Timur berubah menjadi Banyuwangi, sedangkan Blambangan Barat dibagi kedalam 5 kabupaten. Pusat pemerintahan Blambangan Timur berada di Muncar, Blambangan Barat di Lumajang. Blambangan Timur pada waktu itu melakukan perlawanan kepada siapapun sejak Pemerintahan Prabu Tawangalun. Tahun 1775 perlawanan sudah mulai reda. Akibat peperangan ini, yang awalnya penduduk berjumlah 65ribu orang hanya tersisa 5ribu orang saja. Setelah masa kekalahan itu, pergerakan dan perlawanan orang Blambangan Timur menjadi sembunyi-sembunyi. Banyak penduduk Blambangan yang meninggal akibat perang, menyebabkan tenaga kerja untuk Belanda berkurang. Maka didatangkan orang-orang luar Blambangan untuk menjadi buruh dan pegawai dipemerintahan Belanda. Penduduk dari Mataram, Madura, dan
Keadaan Sumberdaya air di Kemiren Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 2004, sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Ketersedian air menjadi prioritas manusia dalam mencari tempat hidup, tetapi dalam penggunannya manusia sering tidak bijak. Masih banyaknya manusia yang beranggapan bahwa air adalah sumber daya yang tidak pernah habis menyebabkan krisis air dan penurunan kualitas. Pola kehidupan inilah yang menyebabkan air semakin langka. Pola pengelolaan yang sembarangan juga menyebabkan air berubah menjadi bencana dan kehancuran manusia. Contohnya seperti banjir yang sering melumpuhkan Jakarta. Pada sisi yang lain, air juga dapat menjadi lambang kesuburan. Kehidupan bersumber dari air. Bahkan jasad manusia pun berawal dari interaksi air. Tubuh manusia lebih dari 85% berisi air. Dalam konteks pengelolaan lahan, tanah hanya dapat dikelola manakala ketersediaan air pada kadar tertentu. Ketiadaan air berarti ketiadaan kehidupan. Bagi masyarakat Kemiren sendiri, air adalah sumber kehidupan. Sepanjang tahun mata air telah mengalirkan air untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka selalu meyakini bahwa air adalah salah satu dari 3 sumber penopang kehidupan manusia (air, udara, dan bumi). Ketiganya membentuk unsur kehidupan. Kemiren, merupakan salah satu daerah subur yang ada di Banyuwangi. Salah satu penyebab kesuburan ini adalah tersedianya air yang melimpah. Air yang melimpah didapat dari pengelolaan sumberdaya air yang baik dan lestari. Kemiren memiliki 24 sumber air yang
62
Pengelolaan Sumberdaya Air (Yudha Arif Nugroho)
tersebar di seluruh desa,baik berada pada lahan milik dan lahan umum. Beberapa mata air di daerah Kemiren terkenal tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Beberapa mata air mungkin sudah menjadi milik perusahaan air minum atau pemerintah daerah, namun masih banyak sumber air yang memang tidak diberikan kepada pengusaha-pengusaha walaupun dibayar mahal. Hal ini sesuai dengan filosi masyarakat agar menyisakan apa yang dimiliki sekarang (sumberdaya alam maupun harta) untuk anak cucu dimasa depan. Filosofi ini digambarkan di dalam Barong Kemiren. Barong Kemiren adalah kesenian tari masyarakat Kemiren dengan media barong. Bagi masyarakat Kemiren, adanya barong ini bukan hanya sebagai pelengkap dalam kesenian tari. Barong memiliki nilai kesakralan dan merupakan salah satu bentuk hubungan
keharmonisan masyrarakat Kemiren dengan Buyut Cili,yang diyakini masyarakat setempat sebagai cikal bakal desa. Filosofi Barong diartikan sebagi simbol kerukunan dalam berumah tangga dan bermasyarakat. Kurang lebih makanya adalah “ayo bareng-bareng bangun rumah tangga, ayo bareng-bareng bangun masyarakat. Harus giat bekerja dan jangan malu dengan pekerjaannya agar memiliki masa depan cerah. Jangan punya pikiran aneh-aneh kepada siapapun, tidak boleh iri dengki. Harus tepo seliro dan harus ingat sama yang di atas. Dalam berkeluarga juga harus setia dengan pasangan, bersama-sama membangun keluarga yang harmonis. Juga harus selalu ingat dengan anak. Sumberdaya alam dan harta yang dimiliki sekarang jangan dihabiskan sekarang, Harus disisakan untuk anak cucu kelak.”
Gambar 1. Barong Kemiren dan Garuda kecil (bagian dari barong). sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini. 2004) Masyarakat Kemiren sendiri melakukan pengelolaan sumberdaya air secara unik sesuai dengan budaya Using yang diwariskan nenek moyang mereka. Terbukti pengelolaan ini berhasil, karena selama ini masyarakat tidak pernah kekurangan air dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Baik kebutuhan air dalam rumah tangga maupun dalam pertanian. Dari kebutuhan air rumah tangga seperti untuk minum, memasak, mencuci dan mandi mereka tidak pernah kekurangan atau mereka tidak
Pengelolaan Sumberdaya Air Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengelolaan terdiri dari kata dasar kelola. Kelola berarti 1 mengendalikan, menyelerenggarakan (pemerintahan dsb); 2 mengurus (perusahaan, proyek, dsb);menjalankan. Sedangkan pengelolaan sendiri diartikan sebagai proses,cara, melakukan perbuatan mengelola. Dalam hal ini pengelolaan yang dimaksud adalah proses, cara, melakukan perbuatan mengendalikan dan mengurus sumberdaya air dengan basis kearifan lokal setempat. Menurut UU No. 7 tahun 2004, Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi 63
Lingkungan Tropis, vol 8, no. 1, Maret 2014: 59-67
pernah bergantung pada PDAM. PDAM sendiri sebagai perusahaan yang mengelola air minum di daerah sulit diharapkan. Menurut Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia (Kementerian Pekerjaan Umum, 2005 dalam Wibowo dan Mohamed, 2009), sekitar 90% PDAM berada dalam kondisi finansial yang buruk dan juga memiliki tingkat pelayanan yang rendah. Masyarakat relatif bisa memanfaatkan air dari sumber air secara langsung. Dari kebutuhan air untuk pertanian, masyarakat juga tidak pernah sering gagal panen karena kelangkaan air. Sebaliknya, hasil panen mereka melimpah. Hasil tersebut merupakan bentuk kesuksesan dari pengelolaan sumberdaya air oleh masyarakat Kemiren. Baik secara sadar maupun tidak sadar, dalam benak mereka sudah terpatri bahwa air merupakan unsur yang penting bagi kehidupan mereka. Pengelolaan sumberdaya air ini sudah diintegrasikan dalam bentuk kearifan lokal masyarakat.
menjual sumber airnya kepada suatu perusahaan. Selang beberapa lama setelah kejadian jual beli itu, seluruh warga tiba-tiba diserang wabah. Menurut narasumber, “penjaga” sumber waktu itu marah. Dengan kesan angker dan adanya beberapa mitos telah berhasil membentengi masyarakat agar tidak bertindak secara egois dan serampangan dalam mengelola sumberdaya airnya. Mereka selalu memegang teguh apa yang mereka lakukan hari ini akan selalu menimbulkan akibat dikemudian hari. Hal yang hampir mirip juga terjadi pada pengeloaan mata air Tuk Serco di Di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal.Tuk Serco dipersepsikan mempunyai kekuatan ghaib/ roch penunggu, sakral, suci, dan angker, tidak boleh diganggu, harus dihormati, dan dihargai (Siswadi et al., 2011) b.
Selametan Selametan merupakan bentuk dari kesetiaan menghormati roh-roh nenek moyang. Sebaliknya apabila terjadi suatau wabah yang menimpa warga desa, penyakit ataupun kesusahan lain merupakan bentuk dari kemarahan roh-roh nenek moyang terhadap perbuatan atau tingkah laku warga yang kurang sesuai. Sumberdaya air merupakan salah satu sumber yang selalu diselameti. Selain untuk menghormati dan minta doa restu nenek moyang yang menjaga sumber ini, mereka juga meminta agar air selalu mengalir dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selameten pada sumber air dilakukan pada Bulan Rajab, Syuro atau waktu Rabu Wekasan. Masyarakat adat yang masih menyatu dengan alam selalu ada ritual adatnya. Untuk menghormatinya mereka melakukan ritual upacara selametan agar mata air mereka terus dijaga. Misalnya pada bulan Safar dan Syuro. Budaya selametan ini merupakan budaya yang mengajarkan kepada masyarakat agar selalu menghargai setiap sumberdaya alam termasuk sumberdaya air. Dengan kita menghargai alam maka alam akan memberikan sumber kehidupan yang baik.
Berikut adalah bentuk budaya hasil dari kearifan masyarakat dalam mengelola sumberdaya air: a. Mitos dan Kesan Angker Suku Using merupakan suku yang masih kental budaya animismenya. Mereka percaya bahwa benda-benda tertentu selalu ada yang menjaga atau mendiami. Begitu juga dengan sumber-sumber air disini. Masyarakat percaya bahwa setiap sumber pasti ada yang menjaga. Misalnya, sumber air yang berada di sekitar petilasan Buyut Cili yang kondisi airnya masih sangat bagus. Hal ini diakibatkan karena Petilasan Buyut Cili terkenal angker. Setiap masyarakat yang pergi melewati daerah ini akan selalu bilang “amit” (permisi). Ada juga salah satu sumber air “Timbul” yang berada di dekat persawahan. Sumber ini oleh perusahaan swasta hendak dibeli, namun oleh pemiliknya tidak diperbolehkan. Bahkan dengan tawaran yang tinggi. Pemiliknya takut seandainya nanti mata air tersebut dibangun menjadi kawasan wisata atau kawasan industri, nenek moyang mereka akan marah dan warganya akan kena balak. Si Pemilik takut “penjaga” sumber akan marah dan mengganggu kehidupan keluarga atau masyarakat. Biasanya leluhurleluhur atau “penjaga” sumber akan datang untuk memperingatkan mereka dari dalam mimpi untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Sumber air yang bernama “Timbul” ini menurut penuturan pemiliknya dijaga oleh seekor kera. Dari berbagai narasumber, diceritakan bahwa pernah suatu ketika ada seseorang yang
c.
Rebo Wekasan dan Ider Bumi Rabo Wekasan dilaksanakan pada hari Rabo terakhir bulan Safar. Hal ini erat hubungannya dengan kepercayaan bahwa hari itu adalah hari penuh mara bahaya. Masyarakat mengunjungi tempat-tempat sunyi seperti pantai 64
Pengelolaan Sumberdaya Air (Yudha Arif Nugroho)
dan sumber air. Rebo Wekasan di Kemiren dilakukan masyarakat dengan cara tidak mengambil air dalam hari itu. Ritual ini menunjukan bahwa masyarakat sangat menghargai air yang ada. Selain Rebo Wekasan, masyarakat Kemiren juga mengenal ritual adat yang bernama Ider Bumi. Ritual ini dilaksanakan pada hari kedua setelah lebaran. Dalam ritual ini dilakukan kegiatan bersih-bersih desa yang salah satunya untuk membersihkan sungai dan sumber air. Ritual ini dipercaya dapat menghilangkan marabahaya dan penyakit. Walaupun Ider Bumi menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, secara umum masyarakat menyukai adanya pelaksanaan Ider Bumi (Rochsun dan Lestari, 2012).
memang telah menyebabkan air bertransformasi dari barang umum menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi (Wibowo dan Mohamed, 2009). Namun, untungnya masyarakat Kemiren tidak benar-benar memandang air sebagai komoditas ekonomi. Terkadang malah ada yang tidak dibeli, hanya dipakai bersama-sama. Menurut para pemilik mata air, mereka ikhlas jika sumber airnya digunakan orang banyak. Bagi mereka, ini merupakan bentuk sedekah. Setelah sumbernya dibeli, biasanya pihak pengelola Hipam mengambil alih sumber mata air dengan membuat kolam dan mendistribusikannya kepada masyarakat. Biasanya sumber mata air di sekitar dusun hanya bisa digunakan untuk dusun atau desa lain. Hal ini dikarenakan teknologi yang dipakai oleh Hipam masih manual, jadi mereka hanya bisa mengalirkan air dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Jadi tidak semua sumber air yang bisa dijadikan Hipam. Jika dalam satu dusun biasanya kenampakan alamnya relatif datar sehingga sulit dialirkan. Hal ini terbukti dari pengakuan narasumber, meskipun dia memiliki sumber mata air, namun dia tidak bisa mengalirkannya ke dalam rumah. Dia memilih untuk ikut hipam dari dusun lain. Disamping itu, pemilik lahan ternyata masih bisa mengambil manfaat dari sumber mata airnya, misalnya digunakan untuk kebutuhan minum dan MCK (mandi cuci kakus). Asal tidak merugikan Hipam atau mengurangi terlalu banyak debit airnya. Pemilik juga masih memeliki otoritas penuh untuk mengelola lahan sekitar mata air. Misalnya pemilik masih berhak menebang pohon di sekitar mata air. Akan tetapi, masyarakat sudah sangat paham jika mereka menebang banyak pohon akan mengakibatkan debit air menjadi kecil. Sehingga, ada kecenderungan masyarakat akan lebih merawat kondisi sekitar sumber air untuk menjaga debitnya. Memang ada hubungan erat antara pengelolaan lahan di sekitar sumber air. Pengelolaan lahan yang baik akan berdampak baik untuk aktivitas pertanian dan sumber daya air secara bersamaan (Bossio et al., 2010). Anggota Hipam dikenakan biaya rata-rata Rp 4.000,- untuk tiap bulan per kepala rumah tangga. Dari uang ini, nantinya dibagi-bagi untuk pengelola, kebutuhan operasional pengelolaan, untuk pemilik sumber air, dan sisanya untuk uang khas serta uang infaq. Besarnya uang sewa tiap bulan yang diberikan kepada pemilik tidak tetap tergantung dari kebutuhan operasional sewaktu-waktu yang tidak bisa ditebak. Pembuatan Hipam sendiri sebagian disokong
d.
Santet Kearifan lokal dari masyarakat Using tidak lepas dari budaya santet. Dibalut dengan cerita atau mitos, santet menjelma menjadi budaya yang ditakuti oleh orang diluar Suku Using. Santet untuk orang Using adalah mekanisme pertanahan diri. Sejarah Blambangan yang selalu kalah menyebabkan mereka mempertahankan diri dengan santet. Santet selalu menambah kesan angker Kemiren. Santet ini juga sering digunakan untuk melindungi wilayah-wilayah tertentu. Walaupun jarang dipakai untuk melindungi sumberdaya air, namun santet ini mampu memberi kesan bagi orang yang hendak merusak sumberdaya air merasa takut atau berpikir ulang. Pengelolaan dan Pemanfaataan Sumberdaya Air oleh Masyarakat Dalam pemanfaatan sumberdaya air secara keseharian, masyarakat membentuk kelompok yang mengurus distribusi air untuk masyarakat agar merata. Mereka membuat Hipam. Hipam adalah pengelolaan air minum oleh masyarakat yang berasal dari swadana masyarakat. Sumber air Hipam diambil dari sumber air baik dari lahan milik perorangan maupun lahan umum. Sumber air yang berasal dari lahan milik biasanya “dibeli” dahulu, baru kemudian bisa didistribusikan. Pada umumnya tiap sumber air yang dimanfatkan dihargai sekitar 1,5 jutaan tergantung dari besar debitnya. Pembelian ini memang tidak sesuai dengan harga profesional. Air merupakan barang umum yang seharusnya dinilai tanpa harga. Namun, nilai mata uang ini hanya sebagai bentuk terimakasih kepada pemilik yang telah merelakan sumber airnya digunakan untuk orang banyak. Kelangkaan air 65
Lingkungan Tropis, vol 8, no. 1, Maret 2014: 59-67
oleh kelurahan dan sebagian lagi jika masih ada kekurangan dari swadaya masyarakat. Untuk pembayaran airnya, pihak pengelola masih mengikuti perkembangan desa lain. Saat ini masih sekitar 4-5 ribu rupiah satu bulannya. Biasanya 1 sumber digunakan untuk 2 RT. Mengenai pembayaran seringkali harus menyesuaikan karena kemampuan ekonomi masyarakat berbeda-beda dan fungsi Hipam utamanya untuk melayani masyarakat. Jika ada kesulitan pembayaran akan dilakukan musyawarah pengurus. Pengurus Hipam hanya terdiri dari 3 pengurus inti dan anggota. Bila ada kerusakan biasanya dikerjakan bersama-sama. Pengurus inti termasuk seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Sebelum ada Hipam masyarakat harus mencari sumber air sendiri ke orang yang memiliki mata air. Alat-alat yang digunakan dalam Hipam ini tergolong masih sangat sederhana. Sehingga volume yang diambil masih sangat terbatas. Penggunaan airnya hanya untuk minum dan mandi, tidak boleh untuk pengairan sawah dan kolam karena dikhawatirkan menghabiskan persediaan air. Kondisi mata airnya sendiri pada musim kemarau debitnya relatif kecil, tapi tidak pernah kering. Sehingga kondisi sumbernya harus diperhatikan dan dilakukan perawatan.
kearifan lokal masyarakat yang sudah muncul puluhan atau bahkan ratusan tahun silam maka pengelolaan sumberdaya air berbasis kearifan lokal seperti di Desa Kemiren ini akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Karena secara tidak langsung, adaptasi dan proses pewarisan kearifan lokal selalu ada dalam setiap interaksi mereka. Kearifan lokal yang kental dalam kehidupan bermasyarakat juga turut menyuburkan proses ini. Jika melihat dari bentuk-bentuk pengelolaan yang dilakukan masyarakat, konsep pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyrakat Kemiren merupakan penggabungan antara konsep segi suplai dan konservasi sisi kebutuhan. Suripin (2002) menyebutkan bahwa konsep segi suplai ini adalah konservasi air diartikan sebagi upaya menyimpan air dan menggunakannya untuk keperluan produktif di kemudian hari. Perkembangan selanjutnya mengarah pada pengurangan atau pengefisienan penggunaan air yang sering disebut sebagai konservasi sisi kebutuhan. Sedangkan budaya selametan, mengangkerkan benda-benda, prosesi ritual, dan juga mitos merupakan sarana untuk membentengi masyarakat dari tindak keserakahan. Kriteria-kriteria pengelolaan sumber daya air yang terdiri dari efisiensi, equity, dan sustainability (Fauzi, 2004), secara tidak langsung telah diterapkan oleh masyarakat Kemiren. Dalam hal efisiensi terlihat dari biaya penyediaan air yang rendah bahkan dapat memahami kondisi masyarakat. Equity dalam pengelolaan sumber daya air di Desa Kemiren dapat terlihat dari pemerataan akses terhadap mata air yang ada di Desa Kemiren. Sustainaibility antara lain dapat terlihat dari upaya masyarakat dengan tidak menggunakan air secara berlebihan dan menjaga pepohonan yang tumbuh di sekitar mata air.
Pentingnya Kearifan Lokal Bagi Pengelolaan Sumberdaya Air Karakteristik sosial budaya masyarakat termasuk peran sertanya dalam menjaga ketersediaan sumberdaya air merupakan faktor penting yang tidak dapat dipisahkan dari suatu ekosistem. Warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu. Warisan budaya masyarakat pada suatu daerah terbentuk melalui sejarah yang panjang yang terjadi secara turun temurun dari beberapa generasi (Karmadi dalam Nur et al., 2010). Ketika budaya tentang pengelolaan sumberdaya air ini dibalut dengan
KESIMPULAN Masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur memiliki bentuk-bentuk Pengelolaan Sumberdaya Air yang berbasis kearifan lokal. Bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya air berbasis kearifan lokal diantaranya adalah dengan mitos dan kesan angker sumberdaya air,
selametan sebagai bentuk syukur atas limpahan sumberdaya air yang diberikan, ritual adat Rebo Wekasan dan Ider Bumi sebagai bentuk penghargaan terhadap sumber air, dan santet dalam upaya melindungi sumber air bila diperlukan. Selain itu, sumberdaya air dimanfaatkan secara bijak dan bertanggung
66
Pengelolaan Sumberdaya Air (Yudha Arif Nugroho)
jawab untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Ada proses distribusi yang diatur secara adil. Distribusi pemanfaatan sumber air ini diserahkan kepada Hipam.Selain itu, masyarakat Kemiren memliki falsafah yang dipegang teguh masyarakat. Falsafah itu berupa pesan moral kepada masyarakat agar terus menjaga sumberdaya alam (termasuk air) untuk anak cucu
kelak. Filosofi ini terdapat pada Barong Kemiren yang sering dipakai dalam kesenian tari barong. Pengelolaan sumberdaya air berbasis kearifan masyarakat di Desa Kemiren ini dinilai berhasil karena keduapuluh empat sumber air yang ada masih terjaga sampai sekarang. Sumber air juga mampu mencukupi kebutuhan warga.
DAFTAR PUSTAKA Asdak, Chay. “Selamatkan Air!”. Artikel Pikiran Rakyat Cyber Media. http://www.pikiranrakyat.com,2006. Diakses 28 Mei 2013. Beatty, Andrew. The Variety of Javanese Religion. Ingris: Cambridge University Press, 1999. Deborah, B., G. Kim, and W. Critchley. “ Managing water by managing land: Addressing land degradation to improve water productivity and rural livelihoods”. Agricultural Water Management 97 (2010): 536–542. Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: teori dan aplikasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004. Nur, T.K.H.M., Antariksa,Nindya, S. “Pelestarian Pola Permukiman Masyarakat Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi”. Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2 Nomor 1. (2010) Patton, M.Q.Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Poerwandari, E.K. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Universitas Terbuka, 1998. Rajab. “Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil”. Departemen Sosial. http://www.depsos.go.id/modules, 2006. Diakses 28 Mei 2013.
Republik Indonesia. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Jakarta :BPLHD, 2004. Rochsun dan Lilis,L.”Studi tentang Tanggapan Masyarakat terhadap Upacara Adat Ider Bumi di Desa Kemiren Glagah Banyuwangi”. Humaniora Volume 9 No 1 - Kopertis VII. (2012) Shiva, Vandana. Water Wars: Privatisasi Profit dan Polusi. Terjemahan A. Uzair. Yogyakarta: InsistPress, 2002. Siswadi, T. Taruna, dan H. Purnaweni. “Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Mata Air (Studi Kasus Di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal)”. Jurnal Ilmu Lingkungan Volume 9, Issue 2 (2011) : 63-68. Suripin. Pelstarian Sumberdaya tanah dan air. Yogyakarta: Andi offset, 2002. Wibowo, A., dan Mohamed, S. “Risk criticality and allocation in privatised water supply projects in Indonesia”. International Journal of Project Management 28 (2010): 504-513.
67
Lingkungan Tropis, vol 8, no. 1, Maret 2014: 59-67
68