Samsul Wahidin. Menguji KonfJik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah
Menguji Konflik Peraturan
Perundang-undangan Pusat dan Daerah Samsul Wahidin
Abstract
Basically, only onelegal system that sen/ednationalinterests. Yet, at this moment between Central Goverment and Local Government has tendecy to dochotomize administration law. Harmonization perspective oflegalproduct between Central and Local Government should be focused as interreleted components besides that the law enforcement should be impiementated in good manner.
Pendahuluan
Dewasa ini, ada
kecenderungan
mendikotomikan hukum administrasi, antara
Pusat dan Daerah. Sesuai dengan komitmen terhadap Negara Kesatuan Indonesia, pada dasamya hanya ada satu sistem hukum, yaitu sistem hukum naslonal yang mengabdl kepada kepentingan naslonal. Produk hukum harus senantiasa berorientasl kepada kepentingan naslonal sebagai refleksi dari komitmen NegaraKesatuan. Di dalam refleksi hukum, produk yang dapat dinilai bermasalah di daerah adalah Peraturan Daerah. Secara
kelembagaan produk ini peiiudicermati dalam
kaitannya dengan indikator teijadinya konflik peraturan perundangan balk yang sifatnya horisontal, apa lag! yang bersifat vertikal.' Pada sisi lain, sebuah produk hukum —apakah itu mengandung muatan konflik vertikal maupun konflik horisontal, harus
didasarkan pada asas presumption of inno cence— dan mau tidak mau mesti ada
keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk menyatakannya. Sebuah analisis tidak dapat dengan begitu saja —
'Konflik hcrizonta! maksudnya pertentangan antar peraturan perundangan yang sejenis (misainya antara sesama Peraturan pemerintah, atausesama Keputusan Presiden, atausesama Peraturan Daerah. Konflik
vertikal maksudnya antara peraturan perundangan yang tingkatannya lebih rendah dengan peraturan yang tingkalannya lebih tinggi. Untuk ini, lebih lanjut lihat misainya dalam Karl. Larenz. Methodeniehre der Rechtswissenschaft {BeiWn: Springer Verlag, 1983)
(dikeluarkan oleh Pusat). Konsistensi tertiadap lembaga pengujian semestinya dicermati dan
ini dalam banyak kasus disikapi secara dikotomis. Sekurangnya produk hukum yang
tidak semata meninjau dari perspektif non
menjadi kesepakatan itu harus dijadikan sebagai landasan terpercaya. Tidak mengartikan dan atau menafsirkan berdasar kepentingan dan motivasi yang sejatinya
yuridis (misalnya dari sisi politis) yang menyebabkan adanya simpulan tidak sesuai dengan hukum. Ada konstmksi yuridis yang kiranya periu dicermati. sehubungan dengan "sinyalemen" itu konstruksi formal sebagaimana diatur di
dalam Tap No: IIi/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan
Tata
Urutan
Peraturan
bertentangan dengan hukum atau asas hukum. Jika hal ini yangdiiakukan, makaakan
selalu teg'adi tank-menarik dan memunculkan permasalahan baru yang sebenamya dapat dihindakan. Tentu saja antara Pusatpadasatu
Perundangan. Ketetapan in! adalah merupakan penyempurnaan terhadap Tap
sisi dan Daerah pada sisi lain.
No: XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib
Banjarmasin
Hukum
dan
Tata
Urutan
Peraturan
Perundangan Rl. Ketetapan ini, sesuaidengan konstruksi yuridis sistem negara Kesatuan harus dipandang sebagai refleksi pengaturan berbagai institusi, balk sosial maupun
pemerintahan. Rujukan berbagai kebijakan
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dengan memperbesar porsi asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan daerah dalam peraturan perundangundangan di Indonesia mengalami pasang
pada ketatapan ini yang dipandang sebagai
surut. Hubungannya dengan permasalahan lingkungan hidup begitu penting terutama
refleksi aspirasi rakyat.
sekali untuk mencermati seberapa besar
tertulis harus tetap konsisten serta konsekuen .
kewenangan Pemerintah Daerah di dalam masalah ini sehingga dapat diiakukan Produk Pusat-Daerah
"Sehubungan dengan euforia otonomi daerah, maka untuk landasan hukumnya
adalah UU tentang Pemerintahan Daerah. Hubungan ini harus meyakini bahwa produk tersebut merupakan kompromistik yang telah mengakomodasikan berbagai kepentingan. Berbagai kepentingan dimaksud khususnya adalah antara Pusat dan Daerah yang selama
penilaian pula apakah kewenangan tersebut mampu mengakomodasikan kebutuhan dan menjawab secara riil hal-hal yang muncul di Daerah.
Sinkronisasi^yang kiranya secaranormatif harus dijadikan sebagai patokan dalam kerangka hubungan Pusat dan Daerah adalah bahwa hakekat hubungan antara PusatDaerah bukan sebagai sesuatu yang bersifat
^lihat; GJ. Vlarda, Drie Typen van Rechtsvinding (Ttp: Tjeenk Willink-Zwole, 1980), him. 82 pada bagian
'MarginaleToetsing" menekankan sulitnyasinkronisasi dan akibatyang akan munculjikahal ini tidak dilaksanakan terutama berhubungan dengan prinsip atau asas legalitas yang menekankan pada keharusan pegangan pada hukum tertulis (peraturan pemndang-undangan).
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 - 15
Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusaf dan Daerah
dikotomis dan oleh karena itu tidak di-
dikotomikan. Daerah bukanlah "koloni" dari
Pusat dan pemerintah Pusat tidak berstatus sebagai "pangreh"^atas segala sesuatu yang ada didaerah. Berdasarkerangka dalam UUD 1945 sistem negara Indonesia adalah kesatuan. Berdasar perspektif ini, otorltas dasar atas segala kekuasaan harusdiposislkan pada proporsinya yaltu pada pemerintah Pusat sebagai refleksi dari Negara Kesatuan. Daerah dalam konteks ini adalah sebagai pemegang otorltas yang dilimpahkan oleh Pusat. Hal ini menjadi satu komitmen yang disarikan dari berbagai teori tentang ajaran rumah tangga
yang berlaku pula pada wacana negara federasi. Tak beriebihan jika ada yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar federasi sudah mulai diterapkan dalam sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Makna lebih operasional dari kenyataan diatas adalah harusdiakomodasikannyafakta empirik di daerah sebagai refleksi dari pengakuan atas heterogenitas masyarakat In donesia. Tentu saja dengan tidak meninggalkan prinsip bahwa sebagai konsekuensi NegaraKesatuan, makaapa pun yang menjadi perkecualian harus senantiasa
mengabdi dan diabdikan kepada keutuhan
dalam kerangka otonomi daerah yang
Negara Kesatuan. Pola-pola dan kebijakan
senantiasa menjadi perbincangan hangat sampai sekarang.
yang mencerminkan "perlawanan" dan penggarisan kebijakan yang tidak didasarkan atas prinsip ini tidak perluditempuh. Termasuk kebijakan yang didasarkan pda prjnsip tn'aland error serta kebijakan yang dilandasi oleh penafsiran yang bersifat sepihak akan tetapi bertentangandengan maksuddibentuknya UU
Ketentuan di dalam Pasal 18 beserta
amandemennya member] kesan bahwa sistem Negara Kesatuan yang dijadikan patokan dasar memberikan keleluasaan kepada daerah sedemlkian besar. Bahkan di dalam operasionalisaslnya, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22 Tahun 1999) hanya ada 5 (lima) sektoryang menjadi urusan Pusat yaitu Moneter, Pengadilan, Pertahanan Keamanan, Hubungan Luar Negeri dan Agama. Pembatasan ini sebenamyadapatdikatakan sebagaisubstansi
tersebut.^
Di dalam refleksi Negara yang dijadikan sebagai prinsip dasar dengan label kesatuan tersebut, produk peraturan perundangundangan yang harus dijadikan sebagai acuan adalah sebagaimana dituangkan dalam Tap No:lll/MPR/2000 di atas. Secara hirarkhis dinyatakan bahwa Tata Urutan
'Djenal Hosen Koesoemahatmadja, Pemerintahan Lokal(Bandung. Alumni, 1983), him. 31 yang mengurakan falsafah pangrehsebagai lembagayangmemimpin sementarapada pihak lain ada abdi atau yangdipimpin. Peietakan secara dikotomis in! yangkita nilai kurang tepatdenganmengingat bahwaprinsip antara pangrehdan yangdi-reh adalah sederajat ^Mlsainya konflik atauminimal ketaksamaan persepsi dalam ha! pembangunan jalan keretaapai(rea/way) yangakan menghubungkan Tanjung (Kalsel) dan Pasir (Kaltim). Pemprovdengan berpegang pada PP No. 25 Tahun 2000 berpendapat bahwaitukewenangannya. Kabupaten dengan dalih untuk pengembangan wilayah juga mendalilkan adanya hak yangsama.
Peraturan Perundang-Undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan peraturan hukum di bawahnya. Tata urutan tersebut merupakan refleksi dari asas legalitas yang mendasari setiap pengambilan kebijakan. Secaraberurutan dinyatakan bahwa peraturan perundangundangan Rl adalah:
Kontroversi teitiadap kedudukan Kepmen ini dapat dipandang sebagai refleksi dari ketidakcermatan dalam menyusun Peraturan Perundangan. Pada sisi lain juga dapat dipandang sebagai sebuah bentuk akomodasi terhadap praktik penyeienggaraan negara melalul produk hukum yang diharapkan dapat dilaksanakan secara luwes. Namun akibat
Undang Undang Dasar 1945 Tap MPR UU
Peratuan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden Peraturan Daerah.®
Dibuatnya Tap No: ill/MPR/2000 itu temyata menimbulkan kontroversi khususnya kedudukan dari Keputusan Menteri (Kepmen). Sehubungan dengan ha! tersebut. Menteri Kehakiman dan HAM, Baharuddin Lopa menglrimkan surat kepada para Menteri dan PImpinan Lembaga Negara Non Departemen (LPND) tertanggal 23 Februari 2001. Menkeh dan HAM menyatakan bahwa kedudukan Kepmen itu adalah di atas Peraturan Daerah (Perda) dan setlngkat di bawah Keputusan Presiden (Keppres). Surat bernomor: M.UM.01.06-27 Itu juga menyatakan bahwa Kepmen adalah merupakan produk hukum yang sifatnya mengatur (regeling) dan bukan semata-mata berslfat Keputusan (beschiking).
praktisnya jelas, tank ulur kewenangan khususnya antara Pusat pada satu sisi dan daerah pada sisi lainnya —yang selama ini masih dalam tahap menemukan bentuk menjadi semakin kabur. Untuk itu dipertukan kesamaan bahasa tentang dimanakah sebenamya kedudukan Kepmen dalam Tata Urutan Peraturan Perundangan. Hal ini
penting mengingat di dalam permasalahan lingkungan hidup banyak materi yang diaturdi dalam Kepmen yang pada masa lalu senantiasa dirujuk sebagai dasar hukum untuk operasionalisasi berbagai permasalahan khususnya yang muncul di daerah. Permasalahan
berkenaan
dengan
kedudukan Kepmen itu muncul sebab didalam Tap No: XX/MPRS/1966 yang diperbaiki dan disempumakan oleh Tap No: lll/MPR/ 2000 tersebut mencantumkan Kepmen sebagai salah satu produknya. Kalau memang. penyebabnya hanya karena judulnya adalah Keputusan, dan biasanyaproduk itu merupakan sebuah beschiking, mengapa ada Keppres dengan judul yang sama yaitu sama-sama Keputusan?
^Para pencermat menilai bahwa Tap No: Ill/MPR/2000 Ini banyak kejanggalannya dan tidak cermat. Misalnya pada ketentuan Rasa! 1 yangmenyatakan bahwa sumberhukum adalah sumberyang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Janggalnya, sumber hukum seharusnya tidak sematamerujuk padaperundang-undangan. Tidak cermat, misalnya tidak ada produk hukum yangdikeluarkan olehlembaga Kementerian Negara. Padahalproduk hukum ini sangat penting untuk menjabarkan berbagai produk hukum diatasnyaterutama peraturan pemerintah dan atauundang-undang. 4
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUAR! 2003:1 -15
Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah Mencermati penafsiran menurut tata
(regaling) harus senantiasa mengacu pada
bahasa {de grammaticale of taalkundige interpretatie),^ dari ketentuan di dalam Tap No: III/MPR/2000 itu dapat disimpulkan bahwa Kepmen memang tidak dimasukkan sebagai salah satu produk yang bersifat regaling. Dinyatakan dalam ketentuannya bahwa Peraturan dan Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk olehpemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
tata urutan (sesuai dengan klausula bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah
tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi —vide Pasal 4 ayat (1)). Dengan demlkian ketujuh produk itu
sifatnya baku, final dan tidak boleh disimpangi. Di dalam masalah Kepmen bertiadapan dengan Keppres kiranya sudah jelas bahwa kedudukan Keppres lebih tinggi dari Kepmen. Halinidisebabkan secara struktural kedudukan kedudukan Menteri lebih rendah dari
termuat dalam Tata Urutan Peraturan
presiden. atau konkritnya Menteri adalah
Perundang-undangan (Pasal 4 ayat (2)). Hal Ini berarti bahwa penyebutan produk hukum dl dalam Tap tersebut sifatnya iimitatlf tidak enunsiatif.' Urut-urutan yang disebut di dalamnya pun sudah"disebut secara jelas yaitu mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR, Undang Undang, Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Unang Undang), Peraturan Pemerintah, Keppres (Keputuan Presiden) dan Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan tata urutan yang bersifat
pembantu Presiden. Konsekuensinya bahwa
limitatiftersebut harus dimaknai bahwa di luar
ke 7 (tujuh) produk hukum sebagaimana disebutkan berkualifikasi sebagai policy (kebijakan) yang berorientasi pada dua hal. Pertama, hanya merupakan sebuah beschiking yang tidak boleh mengikat umum dalam arti hanyalah sebagai kebijakan yang bersifat intemal. Kedua, kalaupun merupakan bentuk produk yang bersifat pengaturan
setiapproduk hukum yang dibuat olehMenteri tidak boleh bertentangan bahkan harus senantiasa merujuk padamateri yang menjadi muatan Keppres. Kalau ada pertentangan antara Keppres dengan Kepmen maka
Keppres harus dijadikan sebagai patokan sesuai dengan asas lex superior derogat legi priori.
Menyoal kedudukan Kepmen berhadapan dengan Perda, dapat dicermati berdasarkan kelembagaan. Pada masa lalu kelembagaan Menteri sebagai pembantu presiden berkedudukan lebih tinggi dari Pemerintah Daerah. Menteri berkedudukan sebagai "atasan" dari Pemda, dalam arti Menteri
adalah pejabat Pusat sedangkan Daerah adalah "bawahan" Pusat yang hampir sepenuhnya tergantung pada pengaturan dan hal-hal yang bersifat instruktif dari Pusat.
A Pontier, Rechtsvinding (Nijmegen: As AequI Libri, 1988), him. 22.
'Umitatifartinya terstruktur, tidak dapat disimpangi —berdasar asas hukum yang dijadikan sebagai pijakan sepedilexsuperiorderogat legiprioridan lex specialis derogat legigenerali.DemManpu\abersMh]rafkh\s dalam arti tidak dapat disimpangi dalam hal kedudukannya berdasarkan kelembagaan yang mengeluarkan produk. Enunsiatif artinya dapat saja disimpangi atau bersifat relalif, dengan logika hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam arti berdasarkan prinsip-prinsip hukum.
dengan memperbaiki kembali Tap No: III/
Kendatipun ada otonomi daerah tetapi praktiknya lebih bersifat sentralistik yang diterapkan untuk dan atas nama kesatuan dan persatuan. Hal ini dapat dicermati pada
MPR/2000 dengan memasukkan Kepmen sebagai salah satu produk hukum —dengan materi mengakomodasikan Surat Menteri
berbagal praktik penyelenggaraan pemerintahan, sepierti adanya ienibaga-iembaga Pusat yang
Kehakiman dan HAM di atas. Secara praktis dapat dipahami karena Kepmen secara substansial dibutuhkan'untuk mengatur lebih
ada^di daerah, pembiayaan yang besarberasal dari Pusat.
Sejalan dengan paradigma otonomi daerah yang baru berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, konsep yang ingin diterapkan adalah bersifat fungsional dengan meletakkan hubungan Pusat dan Daerah bersifat fungsional. Pusatdan Daerah tidak diletakkan
pada struktur atasandanbawahan akan tetapi lebih padafungsi masing-masing. Oleh karena itu menteri bukan atasan dari Pemerintah
Daerah. Kalaupun ada hubungan antara Menteri dengan Pemerintah Daerah harus dimaknai secara fungsional —karena Kementerian adalah perangkat teknis (sesuai
dengan bidang masing-masing) dari iembaga Kepresidenan. Dengan demikian produk hukum dari Menteri (berupa Kepmen) tidak
dapat dipandang sebagai atasan dari Perda. Kewenangan untuk itu pun sudah dialur lebih teknis di dalam Peraturan pemerintah
lanjut delegasi wewenang yang disebut oleh Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Keppres sendiri sesuai dengan lingkup kewenangan Menteri yang bersangkutan. Kedua, secara konsisten tetap menjadikan
Kepmen sebagai beschiking, berarti tidak pertu merubah Tap No: lll/MPR/2000. Komitmen yang harus senantiasadipegang adalah bahwa produk terendah yang boleh dijadikan sebagai dasar adalah Keppres. Kendatipun (mungkin) hanya bersifat seldoral akan tetapi tidak boleh mempergunakan Kepmen dan harus tetap pada produk yang disebut oleh Tap No: III/ MPR/2000. Dengan demikian diharapkan ten/vujudnya koordinasi dansinkronisasi yang lebih baik baik dari segi materi maupun dari segi kelembagaan.
Teriepas dari kelemahan yang dijadikan sebagai konstrnksi dan materi Tap No: lll/MPR/
(PP) No. 25 Tahun 2000 —dan untuk permasalahan lingkungan hidup sebagaimana akan disebut di bawah. Oleh
2000 di atas, diakui bahwa di dalam
karena itu produk hukum berupa Kepmen tidak boleh bertentangan dengan Perda. Kalau
muncul kerancuan baik secara horizontal
terjadi demikian maka yang harus dijadikan
penyelenggaraan pemerintahan khususnya peraturan perundang-undangan selama ini maupun vertikal. Secara horizontal yaitu dengan tidak terselenggaranya sinkronisasi
memang mengandung kelemahan'baik
antara peraturan yang selevel. Muncul kecendemngan egosektoral terhadap produk hukum khususnya pada level Undang Undang. Sementara itu secara vertikal juga masih banyak terjadi mis-sinkronisasi antara
struktural maupun fungsional. Aitematif yang dapatditempuh untuk mengatasinya, pertama,
peraturan pada tingkat Pusat dan peraturan di Daerah. Hal itu pada akhimyajuga menciptakan
patokan adalah Perda dengan catatan tentunya bahwa Perda terebut mengacu dengan benar kepada produk hukum yang disebut oleh Tap No:.lll/MPR/2000. Harus diakui bahwa Tapitu
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003: 1 -15
Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah kondisi ketidakteraturan peraturan pemndangundangan di dalam kinerja hukum. Secara hirarkhis, telah diketahui adanya urutan khususnya dalam ha! kewenangan dalam permasalahan otonomi daerah, mulai
dari DUD 1945 sampai dengan Undang Undang yaltu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta dengan UU lain yang mendukungnya. UU Itu harus dipandang sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang ada dl dalam UUD 1945 dimaksud dan karena Itu
harus pula secara konsisten dijadlkan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Tidak ada
pada dasamya adalah kemandirian akan tetapi prinsip negara kesatuan harus dikedepankan. Otonomi daerah harus tunduk pada prinsipprinsip kesatuan yang melegalisasi otoritas pemerintahan tertinggi pada pemerintah pusat dan daerah menjadi kawasan administratif dalam arti kewenangannya tidak boleh bertentangan dengan kewenangan Pusat. Ketentuan sebagaimana disebut di atas
berlaku selama 55 tahun, yaitu sejak diberlakukannya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 2000 saat ketentuan tersebut diamandemen oleh MPR. Amandemen Pasal
alternatif yang memungkinkan terjadinya penyimpangan tertiadap konstmksl yuridis Ini sehlngga tIdak diperlukan penafsiran yang
membawa perubahan signifikan terhadap tatanan -njan berarti pemaknaan terhadap
justru akan meruwetkan permasalahan.
otonomi daerah. Perubahan tersebut bahkan
Pengujian Produk Daerah
mendeskripsikan pada segi-segi yang dapat dikualifikasikan teknis. Pasal 18 yang
Sinkronisasi terhadap produk Daerah dengan produk dari Pusat harus didasarkan pada ketentuan yang ada didalam Tap No: III/ MPR/2000. Pertama, ketentuan di dalam
Pasal 18UUD 1945 yang berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besardan kecil
dengan bentuk susunan pemerintahannya diietapkan dengan Undang Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hakasal-usul dalam daerah-
daerah yang besifat Istimewa. Penjelasan Pasal 18 di atas semakin memperkukuh makna dari keharusan
mengedepankan prinsip Negara Kesatuan pada klausula bahwa oleh karena Indonesia itusuatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak
akan
mempunyai daerah di dalam
lingkungannyayang bersifat steafjuga. Hal ini berarti kendatipun makna otonomi daerah
18 UUD 1945 yang dilakukan tahun 2000
menekankan pada prinsip eenheidsstaat
berhadapan dengan otonomi daerah pada Pasal 18 di atas dihapus dan diganti dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, daerah kabupaten dandaerah provinsi itu dibagi ataskabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur di dalam Undang Undang. 2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalul pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatendan kotadipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
6. Pemerintahan Daerah berhakmenetapkan Peraturan Daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyeienggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai refieksi otonomi daerah diatur dalam Pasal 18A yaitu;
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. 2.. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur •dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang. Pemaknaan terhadap otonomi dl atas dapat disebut sebagai "standar", sementara ada otonomi yang sifatnya khusus
sebagaimana diatur di dalam Pasal 18B yang
diatur dengan Undang -Undang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Rl yang diatur dalam Undang-Undang. Sesuai dengan hirarkhi peraturan pemndang-undangan (vide Tap No: lll/MPR/ 2000) dasar hukum yang harus dijadikan sebagai pijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah Tap No: IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyeienggaraan Otonomi Daerah. Kendatipun dldalam Tap tentang GBHN juga disebut adanya pembangunan daerah akan tetapi untiik GBHN dipandang sebagai petunjuk teknis bagi presiden selaku Kepala Pemerintahan. Untuk dasar pijakan dalam peiaksanannya, Tap No: IV kiranya harus dijadikan sebagai penjabaran daii ketentuan Pasal 18 UUD 1945.
Keluamya Tap inl didasari atas penilaian terhadap penyeienggaraan otonomi daerah yang selama ini belum dilaksanakan secara balk dalam arti belum diberdayakan di atas prinsip keadilan dan perimbangan yang benar
dalam masalah keuangan. P'enanganan otonomi daerah dinilai telah gagal dengan
implikasi timbulnya ketidakpuasan dan ketersinggungan rasa keadilan seperti tercermin dalam tuntutan untuk memisahkan
diri serta tuntutan agar otonomi daerah dilaksanakan secara benar.
TItik berat kebijakan otonomi daerah itu
menyatakan:
dilaksanakan untuk sasaran tertentu yaitu:
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerahyang
1. peningkatan pelayanan pubiik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan dl daerah.
bersifatkhusus atau bersifatistimewa yang 8
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL. 10. JANUARI2003: 1 • 15
Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah 2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah M-
pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam
kewenangan dan keuangan. 3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteaan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
Ketetapan ini dapat disebut sebagai bagian tak terpisahkan sekaligus sebagai penjelas pada level kebijakan dasarterhadap Tap No: XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembaglan dan Pemanfaatan Sumber Daya Naslonal yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
dalam Kerangka Negara Kesatuan Republkik Indonesia. Ketetapan ini tetap dijadikan sebagai acuan dasar dan menjadl bagian in tegral dari pelaksanaan administrasi
pemerintahan dan masalah lain yang berkait erat dengan pemberdayaan masyarakat serta potensi yang ada dl daerah.
Tataran yuridis berikutnya setelah Tap MPR adalah Undang Undang. Pada level ini,
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan UU itu ditunjang pula oleh perangkat UU lain seperti Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UU tentang Pemberantasan KKN, yang kesemuanya bertujuan untuk lebih memberdayakan potensi yang ada di daerah. Pada tataran setelah Undang-Undang adalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan
Undang-Undang. Peraturan Pemerintah (PP) dimaksud adalah PP No. 25 Tahun 2000
tanggal 6 Mel 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Di dalam ketentuan Ini barulah ada
ketentuan yang mengatur masalah yang berhubungan dengan lingkungan hidup secara lebih terinci. Permasalahan ini
dijadikan sebagai salah satu bidang dari kewenangan Pemerintah Pusat sekaligus kewenangan Daerah (provinsi) dalam bidang yang sama. Kewenangan yang dijabarkan secara teknis di dalam PP ini berarti pula ketentuan yang ada di dalam UU telah
diaplika'sikan dalam bentuk peraturan
yang menjadi acuan adalah UU No. 22 Tahun
perundangan lebih bawah sesuai dengan prinsip peraturan perundangan yang bertata
1999 sebagai pengganti dari UU No. 5 Tahun
umtan dan berkelanjutan.®
1974. UU Ini adalah sebagai UU Organik dari ketentuan yang disebutkan di dalam UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. UU Ini memberikan proteksi terhadap pelaksanaan
otonomi daerah berdasarkan prinsip-prinsip yang dinilai benar berdasarkan ketentuan di
Menurut Pasal 2 PP No. 15 Tahun 2000
ini kewenangan pemerintah Pusat yang merepresentasikan kewenangan Negara Kesatuan mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal.
lihat Hans Kelsen, General Theory ofLaw and State (New York: Russel and Russe), 1954). Buku ini
mendeskripsikan tataran nonma-norma di dalam hukum berdasarkan prinsip piramida mulai dari grundnomi, norm sampai pada aturan teknis. Tataran ncrmatif ini dijadikan sebagai dasar di dalam penyusunan produk hukum khususnya dalam hal hirarkhi peraturan perundang-undangan. Lihat pula Padmo Wahjono.
agama serta kewenangan bidang lain, in! adalah kewenangan dasar yang merefleksikan otoritas pemerintah pusatatas wllayah negara sebagai penjabaran dari ketentuan yang ada di atasnya, Begitu puia ketentuan yang dijabarkan, yaitu di datam UU juga
dalam otonomi daerah pada masalah-masalah
lingkungan hidup misalnya, sebagaimana disebut di atas tentu menimbulkan berbagai
masalah yang berfokus padaseal "penafsiran" atas kewenangan yang diatur. Praktiknya, kewenangan tersebut lebih sering dipandang
merefleksikan prinsip yang sama yaitu ketentuan yang lebih tinggi. Kewenangan bidang lain itu meliputi berbagai kebijakan
dari sudut ekonomis. Ketika suatu urusan
yang bersifat nasional yang terinci di dalam
menjadi semacam perebutan kewenangan atas objeknya baik oleh Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Bahkan juga masyarakat yang merasa paling berhak atas objek yang akan membawa pengaruh terhadap kualitas lingkungan hidup tersebut.
25 (duapuluh lima) bidang. Berdasarkan prinsip otonomi yang bermakna kemandlrian, kewenangan yang tidak disebutkan, baik kewenangan Pusat
maupun provinsi itu merupakan kewenangan Kabupaten/Kota. Hakekat dari kewenangan Kabupaten/ Kota adalah resldu dari kewenangan yang dimiliki oleh Pusat dan Provinsi. Rincian dari residu dimaksud
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang harus dipegang di dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Di antara yang
terpenting adalah bahwa peraturan yang ada dibawah ti'dak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan tingkat atasnya. Bahkan peraturan perundangan yang di
berkenaan dengan masalah lingkungan hidup
menguntungkan dari sisi ekonomi, akan
Tarik ulur dari saling merasa memiliki dan
merasa paling berwenang mengatur itu misalnya teijadi dalam masalah kehutanan di Kalimantan Selatan pada kasus yang dikenal dengan Tukar Guling Pegunungan Meratus. Tarik ulur atas tukar guling, sebagai refieksi dari eksploitasi hutan secaraterbatas oleh PI KODECO —yang dikompensasikan dengan
pemberian lahan di lokasi lain, menimbulkan permasalahan khususnya soal kewenangan.
bawah harus merupakan jabaran dari
Pemerintah provinsi merasa paling berwenang karena hutan pegunungan Meratus itu membentang lintas Kabupaten. Mulai dari Hulu
peraturan perundangan di tingkat atasnya.®
Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah sampai
Mencermati pada kewenangan yang
ke Hulu Sungai Selatan. Kabupaten yang
menjadi dasar kineija dari Pusat dan Provinsi
disebut-sebut itu pun merasa punya
®Asas lexposferiorberbunyi: lexposteriorderogatlegiprioriartinya bahwa ketentuan yang lebih rendah hams tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi tingkatannya. Prinsip ini diatur di
dalam Tap No; XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR tentang SumberTertib Hukum dan Tata Umtan Peraturan Perundangan Rl. Kendatipun sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Tap No: lll/MPR/2000 bukan berarti bahwa asas in! tidak berlaku. Sebab hakekatnya penuangan asas hukum di dalam peraturan pemndang-
undangan hanya sebagai refieksi dari penguatan asas dalam tataran konkrel. Lihat Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta. Liberty, 1996), him. 7menekankan bahwa asas hukum itu ada yang dimasukkar dalam Undang Undang tetapl ada puia yang tidak sehingga menjadi asas hukum yang bersifat umum. 10
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 - It
ff-
Samsu! Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah wewenang dan hak atas hutan yang ada di wilayahnya. Pada sisi lain, masyarakat yang popular disebut Suku Dayak Meratus jugamerasapal ing berhak atas tanah yang ditempati dengan klaim yang bersifat religius, serla argumentasi sosiokultural lainnya. Masyarakat setempat yang dimotori oleh puluhan LSM tidak menginginkan, bahkan minta agar Tukar
Guling itu dibatalkan dan tIdak ingin menyaksikan hutannya digunduli. Mereka melakukan tindakan demonstratif, bahkan
dengan ancamanJ" Pusat melalui kebijakan nasional sebagaimana digariskan oleh Menteri Kehutanan jugamengatur masalah yangsama. Masih banyak cdntoh lain yang juga muncul ke permukaan di berbagai wilayah sehubungan dengan kewenangan antara Pusat dan Daerah. Kecenderungan munculnya permasalahan Itu adalah pengelolaan sumber daya alam yang menghasilkan pemasukan atau uang. Namun jika kewenangan itu sifatnya "kering", justru balk Pusat maupun Daerah cenderung saling melempar dan mengelak dari tanggungjawab. Pusat menyatakan itu kewenangan Daerah, sementara Daerah menyatakan itua dalah
kewenangan Pusat^' Secara normatif, manakaia muncul
pergesekan kepentingan maka konstruksi
yuridis yang sebenarnya menjadi tumpuan penyelesaian itu hanya diposisikan secara retorika. Kendatlpun secara yuridis nampak tak ada pertentangan kepentingan namun riilnya pertentangan itu ada, balk kewenangan dari Pusat, Provinsi bahkan juga Kabupaten/Kota dan masyarakat sebagai kelompok sosial. Semua elemen itu mendasarkan dirl pada perspektif otonomi. Masalahnya adalah bagaimana menyelesaikan munculnya perbedaan persepsi tentang kewenangan tersebut atas prinsip-prinsip otonomi dengan tetap berada pada koridor Negara Kesatuan Rl. Bukan mustahil, pemerintah Pusat menyatakan bahwa itu kewenangannya sementara provinsi berdallh bahwa itu adalah
kewenangan provinsi demikian pula pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat setempat
yang
secara
kebetulan
bersinggungan langsung dengan objek lingkungan.
Kalau tidak dapatdipertemukan solusinya maka harus kembali pada institusi pengujian yaitu harus dilakukan berdasarkan prinsip
^"^Ancaman itu ditujukan kepada siapa saja yang melakukan eksploitasi di Pegunungan Meratus bahwa jiwanya terancam, dan masyarakat di sanaakan membela hutan tempat mereka hidup Itu sampai titik darah penghablsan. Ancaman itu nampaknya membuat Gubemur gentar dan menyatakan bahwa selama inl hanya terjadi kesalahan infbrmasi. Padahal sebelumnya Gubemur dengan keras menyatakan bahwa tukar guling itu tetap akan ditlndaklanjuti sesuai dengan proses formal yang telah dilalul, sebagaimana lazimnya kebijakan daerah.
^^Kewenangan dalam bidang sosial, misalnya. Dalam beberapa kasus kecenderungan seperti itu mengemuka —tetapi jugaada sisi positifhya, jika menyentuh sisi yang bersifat kemanusiaan, PusatdanDaerah justru menunjukkan simpati, melepaskan soal kewenangan dengan kebijakan saling membantu balk Pusat maupun Daerah. 11
pengujian secara materiil (toetsingsrecht). Namun pelembagaan dari pengujian secara materiil in! masih belum memperoleh bentuk
yang memuaskan/^ Akibatnya terhadap peraturan perundang-undangan yang terbit, kendatipun dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari peraturan yang ada di atas tidak mustahil sebenarnya justru bertentangan. Hanya mekanisme untuk itu yang perlu dijernihkan sehingga bersifat operasional. Kalau di dalam praktik selama in!
mekanisme yang ada. Dalam ha! ini, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk melakukan uji materiil {judicial review) sesuai dengan ketentuan yang ada.'^ Ketentuan ini mengakhiri kontroversi panjang
tentang tidak dapatberfungsinya lembaga Hak Uji Materiil (HUM) yang menyebabkan
sejajar kiranya menjadi sarana yang balk untuk
beredar dan beriakunyaperaturan perundangundangan yang sebenarnya bertentangan dengan peraturan yang ada diatas, sementara hukum tak berdaya menyelesaikannya. Ketakberdayaan disebabkan oleh adanya ketentuan yang mengandung contradictio in concepto.^* Kenyataan ini berlangsung sedemikian lama sehingga di dalam kineija lembaga peradilan hanya satu kali perkara
hal tersebut. Tidak perlu dan tidak harus
yang diajukan dengan mengacu pada
dengan'cara yang ekstrem seperti ancaman
ketentuan tersebut. Selebihnya banyak perkara yang kandas ketika masih berada pada proses dalam arti pemeriksaan belum menyentuh pokok perkara. Dengan ketentuan di dalam Tap No; ill/ MPR/2000, sekurangnya ada harapan baru kendatipun harapan itu kecil untuk dapat tegaknya supremasi hukum dalam peraturan perundang-undangan. Dengan ketentuan tersebut, ke depan diharapkan makin banyak
pengambilan kebijakan itu lebih bersifat trial and error kiranya di masa yang akan datang
tidak teijadi hal demikian. Sinkronisasi, dan bukan sekadar konsultasi pada forum yang
memisahkan diri, menuntut prosentase
pembagian tertentu yang tak sesuai dengan aturan. Justru dengan mengefektifkan forum sinkronisasi tersebutsegala sesuatunya dapat diselesaikan dengan tidak menimbulkan dampak masalah berikutnya. Demikian pula ketika muncui adanya
perbedaan persepsi terhadap sebuah peraturan kiranya diselesaikan berdasar
^^Uhat: Samsul Wahidin, Hak UjiMateriil diIndonesia {Ja^^aria: Cendana Press, 1984) yang menganailsis
kinerja Hak Uji Materiil berdasarkan perkara yang ditangani oleh Pengadilan. Sejak diatumya masalah Itu di dalam UU No. 14Tahun 1970 sampai tahun 83-an tidak ada satu perkara pun yang ditangani pengadilan berkait dengan pelaksanaan Hak Uji Materiil tersebut. "Berdasar ketentuan di daiam Tap No: lil/MPR/2000 Mahkamah Agung secara aktif dapat melakukan uji
materiil tehadap produk hukum di bawah Undang Undang dengan konsekuensi peraturan peundangan yang
dinyatakan bertentangan dengan peraturan di atasnya langsung tidak beriaku. Tidak harus menunggu pencabutan dari instansi pembuat produk hukum tersebut. "Ketentuan Pasal 26UU No. 14Tahun 1970 yang mengharuskan pengujian melalul Kasasi menimbulkan
permasalahan karena Kasasi harus melalul judexfactie. Lalu apa yang harus diputus oleh/udexfecf/ejlka pada akhimya yang berharga adalah keputusan kasasi? Sementara itu kalau langsung Kasasi, bukankah untuk sampai ke sanaharus melalui pemeriksaan judexfacile? 12
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 -15
Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah masyarakat yang dapat menyalurkan rasa
kepastian hukum yang menjadi taruhan —
ketidakadilan akibat dikeluarkannya kebijakan di dalam peraturan perundang-undangan khususnya pada level di bawah Undang Undang. Hal itu secara langsung akan menjadi
yaitu terjadinya degradasi hukum manakala penyelesaian non hukum yang ditempuh.
bahkan memunculkan konflik kepentingan di
Memahami mengapa hal di atas dapat terjadi karena balk didaerah maupun di Pusat ada lembaga yang secara langsung juga menangani permasalahan yang sejatinya sama. Sementara di Daerah pun ada lembaga yang sejenis yang juga merasa punya kewenangan dalam masalah yang sama. Sebagai contoh, di dalam bidang lingkungan hidup, misalnya. Ada Bapedalda, balk di tingkat provinsi maupun Kota/Kabupaten, di samping lembaga lain yang secara strukturani menangani permasalahan lingkungan. Belum lagi elemen dalam masyarakat yang diwakili oleh LSM dalam jumlah yang banyak dan beragam. Dalam kaitan ini sangat diperlukan adanya penanganan secara lebih terpadu dalam arti setiap tindakan yang akan mempergunakan dasar-dasar kebijakan lingkungan, demikian pula untuk penggarisan kebijakan pada level darah senantiasa mempertiatikan hirarkhi peraturan perundangan
antara Pusat dan Daerah.
secara konsisten dan konsekuen.
sumbangan berharga bag! tegaknya supremasi hukum terutama pada level
instrumen yaltu peraturan perundangundangan. Tentu akan menjadi pelajaran bertiarga bagi para pencetus kebijakan. Masalahnya dalam soal operasionalisasi kewenangan ini, sering muncul perbedaan tafsirantara (aparat) Pusatdan(aparat) daerah yang didasari oleh kepentingan serta orientasi yang masing-masing merasa benar. Apa lag! menyangkut permasalahan yangsarat dengan kepentingan politik dan.ekonomi. Paradlgma yang seharusnya dikedepankan atas dasar koordinatif sering berubah menjadi instruktif. Sementara instniksi yang dlsampalkan (oleh Pusat) kepada Daerah. dalam beberapa peristiwa justru tidak dilndahkan. Hal Ini yang kemudian semakin menumbuhkan friksl dan
Penyelesaian yang semestinya dilakukan
adalah berdasarkan hukum, khususnya
Sejatinya, yang menjadi kata kunci terhadap keberhasilan pelaksanaan dan
peraturan perundangan yang
secara
penegakan hukum adalah konsistensi.
konsisten telah dipatok untuk itu. Akan tetapi disadari bahwa hukum memang hanya salah
Konsistensi ini harus menjadi komitmen aparat pelaksana mulal dari tingkat Pusat
satu instrumen. Masih ada lagi instrumen lain
sampai ke Daerah tanpa kecuali. Secara lebih
balk yang berslfat administratif maupun pendekatan yang bersifat negosiasi tetapi sifatnya hanya sementara. Ke depan akan
Hal itu disebabkan bahwa pada dasarnya
terperinci, konsistensi dimaksud meliputi konsistensi dalam hal tindakan praktis atau implementasi dan penggarisan kebijakan. Kedua hal ini kiranya sangat penting dalam hal menciptakan sinkronisasi penanganan permasalahan lingkungan hidup, khususnya
penyelesaian yang dilakukan di luar hukum
antara Pusat dan Daerah.
cenderung temporer dan dampaknya pun tidak langgeng. Belum lagi pada elemen
Dalam hal tindakan, upaya yang seringkali disebut sebagai terobosan kiranya tidak
muncul permasalahan baru kalau tIdak
didasarkan atas penyelesaian secara hukum.
13
dilakukan. Hams senantiasa konsisten pada
peraturan yang dibuat kendatipun hal itu kemungkinan membawa kerugian materi. Namun hamssenantiasadiingat bahwakemgian lebih besar di kemudian hari, jika sebuah terobosan dilakukan akan terjadi serta hams
dibayar dengan biaya lebih mahal. Bukan hanya kemglan materi yang lebih besar akan tetapijuga terdegradasinya tingkat kepercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Padahal tingkat kepercayaan ini adalah asset tak ternilai mahal serta besarnya dari kinerja
penegakan hukum di masyarakat. Penggarisan kebijakan tersebut, khususnya di daerah hams secara konsisten berpegang pada aturan yang jeias. Kejelasan ini sekurangnya tidak menimbulkan biinterpretasi (dua penafsiran), apa lagi yang bersifat poliinterpretasi (multipenafsiran) sehingga lebih mengacaukan institusi yang
dengan susah payah diciptakan. Institusi dimaksud,
di
antaranya
adalah
penyempumaan terhadap hirarkhi peraturan pemndangan sebagaimana tertuang di dalam Tap No: III/MPR/2000 sehingga berbagal permasalahan yang berhubungan dengan konflik norma, kekosongan hukum dan
kekaburan yang terjadi sebagai akibat ketakjelasan peraturan dapat dihindarkan.
saling terkait. Terpenting dari itu semua adalah bagaimana law enforcement terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pengujian, dapat dilaksanakan secara baik. Ada atau tidaknya peraturan yang berpotensi mengandung konflik baik vertikal maupun hori zontal lebih cenderung pada sikap kritis komponen masyarakat untuk membuktlkan sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat. Konsistensi terhadap penegakan hukum adalah langkah positif dalam perspektif penegakan hukum. Prejudice terhadap ketentuan hukum yang dinilai berpotensi mengandung konflik, tanpa peduli dengan kinerja yang seharusnya ditempuh, merupakan indikator negatif di dalam penegakan hukum. • Daftar Pustaka
Anonim. Webster's NewCollegiate Dictionary. USA: Tp. It
Koesoemahatmadja, RDH. PengantarkeArah Sistem Pemenntahan Daerah di Indo
nesia. Bandung. Binacipta, 1979 Friedrich, CJ. Man and His Government New. York: Mc Graw Hill, 1976.
Riggs, Fred.W. Administrasi Pemerintahan (tetjemahan). Jakarta. Rajawali Press, 1993.
Simpulan
Perspektif sinkronisasi produk hukum antara Pusat dan Daerah —apakah produk
hukum (peraturan perundangan) itu mengandung pertentangan (konflik) atau tidak tergantung pada berbagai komponen yang
Atmosudirdjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Bandung. Alumni, 1978. Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi, Yogyakarta. Gajahmada University Press, 1995. Pot, CW Van der. Handboek van Nederlans Staatsrecht. 1953.
14
JURNAL HUKUM. NO. 22 VOL 10. JANUARI2003:1 - 15
Samsul Wahidin. Menguji Konflik Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah Sjarief, Saleh. Otonomi dan Daerah Otonom.. Jakarta: Pustaka, 1953.
Pemerintahan Daerah. Bandung: Alumni,
Istanto, Sugeng. Beberapa Segi Hubungan
Viarda, GJ. Drie Typen van Rechtsvlnding.
1975.
Tjeenk Willink-Zwole, 1980.
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
Negara Kesatuan Indonesia. Yogyakarta: Karyaputra, 1971. Larenz,
Karl.
Methodenlehre
Koesoemahatmadja, Djenal Hosen Pemerintahan Lokal. Bandung: Alumni,
der
Rechtswissenschaft. Berlin: Springer Verlag, 1983.
1983.
Rentier, J.A. Rechtsvlnding. Nijmegen: Ars Aequi Libri, 1988.
Lubis, M. Solly. Pergeseran Garis Polltik dan Perundang Undangan Mengenai
^
C)
15