Mengkombinasi Intelektual dan Karir: Biografi Christiaan Snouck Hurgronje Abstract Christiaan Snouck Hurgronje is one of the most prominent Dutch orientalist in nineteenth century. His name is widely known, not only in Dutch, but also in the Muslim world in general. A lot of work produced by Christiaan Snouck Hurgonje and he is an expert on Islam, particularly Islam in the Dutch East Indies. This article describes the Christiaan Snouck Hurgronje’s career and intellectual biography, both in Dutch, Mecca, and the Dutch East Indies. At the Leiden University, he affected by his teachers on a religion, particularly Islam. He increasingly interested on Islam, therefore he directly examines the life of Islam in Mecca. Moreover, he also examines pilgrims from the Dutch East Indies in Mecca. Afterward, he examines on Islam in the Dutch East Indies, particularly Islam in Java and Aceh. When Snouck returned to Dutch, he accepted offer to become professor at the Leiden University in Dutch. Snouck Hurgronje is an important figure for Dutch colonial government on Islam and its policies. Keywords: Christiaan Snouck Hurgronje, Islam, Dutch, Leiden University, Mecca, Dutch East Indies. Pendahuluan Menjamurnya para orientalis di abad ke-19 tidak lepas dari minat yang besar dunia Barat terhadap Islam. Para orientalis beramai-ramai mengkaji Islam, baik dalam bidang ilmu kalam, fiqih, tafsir, tasawuf dan kebudayaan Islam serta lain sebagainya yang terkait dengan Islam hingga kemudian muncullah orientalisorientalis terkemuka. Salah satu orientalis-orientalis terkemuka tersebut yang muncul ialah Christiaan Snouck Hurgronje yang juga mempunyai minat besar untuk mengkaji Islam. Minat Snouck Hurgronje semakin bertambah besar kepada Islam ketika ia memutuskan untuk meniliti langsung Islam di Mekah, khususnya jamaah haji Hindia Belanda, yang selalu menjadi pemimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda ketika mereka kembali ke Hindia Belanda yang sedang dalam penjajahan. Oleh karena itu, Harry J. Benda menyebut Snouck Hurgronje sebagai seorang negarawan kolonial Belanda yang benar-benar besar, yang ahli mengenai penjajahan.1
1
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, diterj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 40.
1
Keberhasilan penelitian langsung yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje terhadap Islam di Mekah telah membawanya menjadi seorang orientalis terkemuka Belanda di abad ke-19 yang sangat produktif dan sangat disegankan di Belanda, terutama di Universitas Leiden. Namanya secara luas sudah dikenal, tidak saja di Belanda tetapi juga di seluruh dunia. Disusul dengan dikirimnya Snouck Hurgronje ke Hindia Belanda, terutama Pulau Jawa dan Aceh, untuk meneliti Islam dan kemudian hasil laporan penelitiannya di serahkan kepada pemerintah kolonial Belanda sebagai bahan pertimbangan menyelesaikan berbagai persoalan mengenai Islam di Hindia Belanda. Artikel ini membahas biografi intelektual dan karir Christiaan Snouck Hurgronje yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu bagian pertama membahas periode awal di Belanda. Pada bagian kedua membahas periode ketika Snouck tinggal di Jedah dan Mekah. Pada bagian ketiga membahas periode ketika Snouck berada di Hindia Belanda. Pada bagian keempat membahas periode kembali ke Belanda. Karena, setiap perjalanan dan lingkungan intelektual Snouck serta keadaan sosial-politik pada saat itu sangat mempengaruhi pemikiran dan kebijakannya yang kemudian mengantarkan pada kesuksesan karirnya. Dan dalam artikel ini akan diakhiri dengan kesimpulan. Periode Awal di Belanda Christiaan Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout pada tanggal 8 Februari 1857.2 Ia merupakan anak keempat dari pendeta J. J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta Ds. Christian de Visser. Perkawinan kedua orangtuanya didahului oleh skandal hubungan gelap, sehingga pendeta ini dipecat dari Gereja Herformd di Tholen pada tanggal 3 Mei 1849, ketika J. J. Snouck Hurgronje telah kawin dan memiliki enam orang anak. Pernikahan resmi kedua orangtuanya baru dilakukan pada tanggal 31 januari 1855, yaitu setelah ibu tirinya meninggal dunia. 3
2
A. J. Wensinck, “Christiaan Snouck Hurgronje”, dalam Nico Kaptein & Dick van der Meij (ed.), Delapan Tokoh Ilmuwan Belanda bagi Pengkajian Islam Indonesia, diterj. Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 15. 3 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 119.
2
Tidak lama setelah melakukan pernikahan resmi, J. J. Snouck berusaha agar kedudukannya dipulihkan di Gereja Herformd. Dari arsip Gereja Herformd di Oosterhout diketahui bahwa pengurus gereja telah mengabulkan permohonan J. J. Snouck supaya diperkenankan menyertai Jamuan Kudus pada 13 Agustus 1856. Anna Maria pun diterima kembali sebagai anggota gereja pada 12 April 1867, dan ia pun mengucapkan pengakuan iman.4 Setelah Snouck Hurgronje tamat Hogere Burge School (Sekolah Menengah 5 tahun) di Breda, kemudian pada tahun 1875 dalam usia 18 tahun, ia melanjutkan untuk masuk Universitas Leiden. Awalnya, ia sebagai mahasiswa Fakultas Teologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Arab, jurusan kesusastraan Semit dengan mengutamakan pada studi bahasa Arab dan filologi Islam.5 Semasa kuliah, Snouck masih mempertimbangkan kariernya sebagai pendeta Gereja Herformd. Terbukti dengan diumumkan namanya didalam Album Gereja (Kerkelijk Album) Universitas Leiden tahun 1877.6 Setelah dua tahun mengikuti kuliah, Snouck berkenalan dengan pemikiran teologi modern yang mempengaruhi pemikirannya dan akan sangat menentukan gagasan-gagasan dan intelektualnya kemudian tentang Islam dan politik kolonial. Perkenalan Snouck dengan teologi modern bermula dari tulisan-tulisan tiga orang “modernis Leiden” terkemuka dan sekaligus merupakan guru-guru Snouck di Universitas Leiden yaitu A. Kuenen, C. P. Tiele, dan L. W. E. Rauwenhoff. Pada mulanya, penganut kebebasan modern di Leiden merupakan pengikut naturalisme. Hal ini berarti cara mereka memandang Alkitab dan kitab-kitab yang diwahyukan seperti Al-Qur’an, hanyalah sebagai “piagam keagamaan insani”. Mereka menolak secara asasi setiap mekanisme ilham alam gaib (adi kodrati), seperti mukjizat-mukjizat dan dongeng-dongeng ajaib.7 Inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran Snouck selanjutnya, khususnya mengenai Islam.
4
P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, (Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1989), hlm. 110-111. 5 E. Gobee, “Pengantar” dalam E. Gobee & C. Adriaanse (ed.), Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, diterj. Sukarsi, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. v. 6 P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 180. 7 Ibid., hlm. 111-112.
3
Dibawah bimbingan Michael De Goeje,8 Snouck berhasil menyusun disertasinya yang berjudul Het Mekkaansche Feest dan akhirnya ia berhasil mempertahankan disertasinya untuk meraih gelar doktor dengan predikat cum laude pada tanggal 20 November 1880. Didalam disertasinya, di bab pertama, Snouck menceritakan hasil suatu penelitian mengenai alasan kenapa Nabi menerima perayaan-perayaan dan upacara-upacara Mekah dalam agamanya serta rincian lebih lanjut tentang cara aneksasinya. Kedu bab lainnya memberikan keterangan tentang peribadatan, terutama tentang bagian-bagian yang penting dari penelitiannya.9 Berikutnya, dari tahun 1881 sampai sebelum keberangkatannya ke Jedah Snouck mengajar di Universitas Leiden. Selain mengajar, ia juga aktif menulis artikel, misalnya di tahun 1882, ia menulis sebuah artikel berjudul Nieuwe bijdragen tot de kennis van den Islam (Sumbangan-sumbangan baru terhadap pengetahuan tentang Islam) yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI).10 Selain itu, ia juga menulis artikel lain yang dimuat dalam De Indische Gids pada tahun 1884. Dalam artikel tersebut, Snouck mengkritik buku pedoman yang dibuat pemerintah Belanda untuk pegawai pemerintahnya di Hindia Belanda. Menurutnya, “masih tidak mengenal unsur-unsur subjeknya” dan “menyalin buku-buku Eropa popular daripada menggunakan sumber-sumber Arab.11 Disebabkan oleh meningkatnya kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda terhadap haji-haji dan pengaruh Pan-Islamisme di Hindia Belanda, serta data mengenai dampak haji bagi Muslim Hindia Belanda tidak cukup tersedia, seperti
8
Michael De Goeje merupakan promotor disertasi Snouck Hurgronje dan professor di Universitas Leiden. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara, dan anak kedua dari empat anak laki-laki dari seorang pendeta. Pada tahun 1854, ia memulai studi teologinya di suatu akademi. Sejak tahun 1856, ia memutuskan untuk memilih studinya di bidang bahasa dan kesusastraan Arab. Mengenai Michael De Goeje, lihat C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XIV, diterj. Soedarso Soekarno, (Jakarta: INIS, 2000), hlm. 73. 9 Disertasi Snouck sudah diterbitkan dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Lihat C. Snouck Hurgronje, Perayaan Mekah, diterj. Supardi, (Jakarta: INIS, 1989). 10 A. J. Wensinck, “Christiaan Snouck Hurgronje”, hlm. 16. 11 G. W. J. Drewes, “Snouck Hurgronje and the Study of Islam”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 113, 1957, hlm. 8.
4
informasi yang dilaporkan J. A. Kruijt dari Jedah terlihat tidak dapat dipercaya. 12 Maka, J. A. Kruijt merekomendasikan Snouck Hurgronje untuk dilibatkan dalam penelitian Jemaah haji Hindia Belanda dalam sebuah surat yang ia tulis untuk Menteri Dalam Negeri pada 7 Mei 1884, konusl J. A. Kruijt sedang cuti di Belanda, ia merekomendasikan Snouck Hurgronje untuk melaksanakan tugasnya, karena ia sendiri sangat sibuk dengan begitu banyak pekerjaan lain diluar mengawasi jamaah haji. Kemudian, dalam surat yang tertanggal 23 Mei 1884, J. A. Kruijt menjamin bahwa ia akan bertanggung jawab untuk memberi pelatihan bahasa Melayu bagi Snouck Hurgronje agar dapat berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Kemudian J. A. Kruijt memberikan respons terhadap Menteri Negeri Jajahan, J. P. Sprenger van Eyck, yang awalnya meragukan kemampuan Snouck Hurgronje berhubungan dengan jamaah haji. Akhirnya, J. P. Sprenger van Eyck menerima dan menyetujui rekomendasi J. A. Kruijt. Dengan demikian, Snouck Hurgronje diangkat secara resmi, dan ia berangkat dengan dana 1.500 Gulden ke Jedah yang disediakan pemerintah Belanda berdasarkan keputusan Kementrian Urusan Jajahan pada tanggal 12 Juli 1884.13 Periode di Jedah dan Mekah Snouck tiba di Jedah pada tanggal 28 Agustus 1884 dan segera menuju konsulat Belanda di Jedah dengan tinggal selama lima bulan untuk mempersiapkan pengembaraan intelektualnya. Di Jedah, ia mempersiapkan diri untuk mempelajari kebiasaan-kebiasaan Arab, untuk dapat menjalin hubungan dengan penduduk Mekah. Karena Snouck masih merasa ragu-ragu, ia mengumpulkan catatan-catatan tentang kehidupan dan kesibukan orang-orang pribumi dan asing di Mekah, terutama orang-orang Melayu. Selain itu, ia juga mengambil foto-foto dari para peziarah sekaligus penjelajah dari India Timur, Zanzibar, Kabulistan, Bukhara, dan beberapa dari Mekah dan Jedah. 12
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2012), hlm. 153. 13 P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 68-71.
5
Kegiatan Snouck di Jedah bermacam-macam, mulai mengikuti kuliahkuliah mengenai Islam, mewawancarai haji-haji dan kadangkala hubungan Snouck menjadi baik dengan masyarakat sekitar karena kesempatan yang ada untuk dapat mengambil foto dengan beberapa orang. Dalam dunia perdangangan, Snouck menyaksikan Jedah tidak berarti lagi dengan dibukanya Terusan Suez dan dengan adanya huru-hara di Sudan. Jedah hanya dianggap penting karena menjadi pelabuhan kota Mekah. Penduduk jedah banyak sekali mengalami percampuran dengan orang-orang Arab Selatan, Hadramaut, Mesir, Afrika Timur, Afrika Tengah dan India.14 Pada tanggal 1 Januari 1885, Snouck pindah ke tempat tinggal Raden Aboe Bakar Djajadiningrat yang bekerja pada konsulat Belanda di Jedah. Kepindahan tersebut bertujuan untuk melepaskan diri dari lingkungan Eropa agar mempermudah proses penerimaannya oleh kalangan umat Islam. Kira-kira pada tanggal 16 Januari 1885, dua minggu setelah Snouck tinggal di tempat Raden Aboe bakar, menurut buku harian kecil Snouck, ia dikunjungi oleh Qadhi Jedah, Ismāil Agha, ditemani oleh dua orang dari pihak wali. Setelah itu, Qadhi Jedah berkunjung lagi ditemani oleh juru bahasa Gubernur Hijaz, atas nama gubernur, ia Snouck diundang ke rumah ke rumah gubernur. Kunjungan itu berlangsung pada tanggal 18 Januari berdasarkan catatan Snouck. dan kemudian dibawah kesaksian dua orang saksi yang ditunjuk gubernur Hijaz, ia memeluk agama Islam dengan nama Abdul Ghaffar.15 Berkat sifat, perilaku dan keilmuan Snouck yang sangat menyakinkan, orang-orang Islam percaya kepadanya, termasuk Raden Aboe Bakar yang memanggilnya dengan sebutan “saudara didalam Tuhan”.16 Panggilan itu membuktikan bahwa Aboe Bakar telah sangat yakin bahwa Snouck merupakan Muslim sejati dan saudara seiman. Oleh karena itu, Aboe Bakar setia membantu Snouck dalam segala penelitiannya. Bahkan, Snouck juga dianggap sebagai seorang ulama karena ilmu dan pengetahuan yang sangat meyakinkan oleh salah 14
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hugronje V, diterj. Soedarso Soekarno, Rahayu S. Hidayat dan A. J. Mangkuwinoto, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 45. 15 P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 119-120. 16 Ibid., 121.
6
satu ulama Mekah terkemuka saat itu yang bernama Sayyid Ahman ibn Zāinî Dahlān, yang secara modern oleh Snouck disebut “Rektor Universitas Mekah”.17 Hal ini semakin membuka jalan Snouck untuk kemudian berencana melanjutkan pengembaraan intelektualnya. Setelah di Jedah, kemudian Snouck memasuki kota suci Mekah dan tinggal selama tujuh bulan (Februari-Agustus 1885). Pada tanggal 21 Februari 1885, Snouck memasuki kota Mekah dengan menggunakan tiga Unta yang mengangkut barang-barangnya. Ia melalui jalan menuju ke Timur yang berangsurangsur menanjak, sampai mencapai ketinggian gunung, dari sinilah dimulai perjalanan dua hari ke arah Timur Mekah dan batas pemisah terbentuk diantara dataran rendah pantai dan dataran tinggi Arab.18 Di Mekah, Snouck belajar mengenal masyarakat Mekah modern. Ia mendengar sendiri apa yang diajarkan dan dipelajari masyarakat dari seluruh dunia, bagaimana mereka berpolitik dan berdiskusi tentang segala sesuatu mengenai pengetahuan Islam. Angan-angan dan kenyataan, iman yang kuat serta perjuangan tanpa toleransi terhadap kehadiran sebagian besat umat Katolik dunia, semua itu Snouck perhatikan di masjid, pemerintahan, warung kopi dan ruang tamu. Ia juga ingin berencana melanjutkan studi di tempat lain.19 Selain untuk penelitian jamaah haji Hindia Belanda, Snouck juga mengamati kehidupan Islam tanpa tekanan, pengaruh Eropa, dan reaksinya untuk dapat diterapkan langsung dari Mekah ke negara-negara lain, khususnya pada koloni-koloni di Hindia Belanda.20 Ketika Snouck Hurgronje berada di Mekah, ia mulai akrab dengan bahasa Aceh dan orang Aceh, keakraban tersebut berawal dari kediaman yang ditempatinya berseberangan dengan tempat tinggal orang Aceh yang hampir dikunjunginya hamper setiap hari.21 Di Mekah, Snouck bertemu dengan Hasan Mustapa. Tidak banyak diketahui apa saja yang dilakukan mereka berdua dan 17
Untuk pembahasan lebih lanjut, lihat C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hugronje V, hlm. 59-108. 18 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hugronje V, hlm. 46. 19 Ibid., hlm. 3-4. 20 Ibid., hlm. 44. 21 A. J. Wensinck, “Christiaan Snouck Hurgronje”, hlm. 18.
7
seberapa jauh hubungan mereka ketika bertemu di Mekah, dikarenakan pertemuan tersebut tidak berlangsung intensif. Di Mekah, Hasan Mustapa mempunyai sekitar tiga puluh murid. Hasan Mustapa berguru pada banyak ulama Mekah, diantaranya ialah Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mustafa al-Afifi, Syaik Abdullah alZamawi, Hasaballah, dan Syaikh Bakar as-Satha. Hasan Mustapa meninggalkan Mekah pada tahun itu juga, 1885.22 Selain bertemu dengan Hasan Mustapa, Snouck juga bertemu dengan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat 23 yang merupakan anak dari mantan bupati Pandeglang. Raden Aboe Bakar Djajadiningrat membantu Snouck ketika melakukan penelitian di Mekah dan Jedah. Sebagai narasumber Snouck, Raden Aboe Bakar Djajadiningrat telah membantu Snouck berkaitan dengan biografi para ulama Hindia Belanda di Mekah, adat istiadat perkawinan, pengajaran AlQuran kepada anak-anak, upacara-upacara dan pemakaman di Mekah serta keterangan tentang hari-hari suci di Mekah berdasarkan keterangan pada tanggal 10 Januari 1887 dari Raden Aboe Bakar.24 Snouck juga mengangkat Aboe Bakar sebagai guru bahasa Melayunya untuk mempelajari bahasa Melayu. Tidak hanya itu, Raden Aboe Bakar Djajadiningrat juga memperkenalkan Snouck Hugronje kepada gurunya yang berasal dari Maroko, Syaikh Abdullah al-Zamawi (18501924)25 yang menjadi pelindungnya selama di Mekah.26
22
Ajip Rosidi, “Menjejaki Karya-Karya Haji Hasan Mustapa”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan (ed.), Warisan Intelektual Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 86-92. 23 Raden Aboe Bakar Djajadiningrat mengawali karirnya di Konsulat Jedah sebagai juru bahasa untuk memberikan laporan tentang tingkah laku jamaah haji pada umumnya, terutama jamaah haji Hindia Belanda. Kemudian ia diangkat sebagai drogman (pejabat yang membantu konsul dalam memberikan informasi tentang keadaan jamaah haji dan mukimin [komunitas Hindia Belanda yang menetap di Mekah]), serta beberapa syaikh menangani berbagai masalah yang menimpa jamaah haji. Lihat M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 237. 24 P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 132-133. 25 Abdullah al-Zamawi adalah anak dari Muhammad Saleh al-Zamawi yang merupakan ulama terkenal dan terhormat. Ayahnya memberikan pendidikan agamanya di rumah. Hal itu dilakukan untuk menjaganya dari sejauh mungkin godaan dunia, di usia 20 tahun ia telah membuat kemajuan dalam kajian keislaman, hal itu membuat ayahnya membujuk seorang rektor untuk mendaftarkannya sebagai seorang mahasiswa. Lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter of Part 19th Century, hlm. 200. 26 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, hlm. 154.
8
Dengan sangat terpaksa, penelitian Snouck harus berakhir ketika ia harus diusir oleh pemerintah setempat dengan tuduhan terlibat dalam anggota pencurian benda-benda suci dan bersejarah di Mekah.27 Meskipun demikian, para ulama Mekah tetap yakin akan kemurnian masuk Islamnya. Snouck tiba di Belanda pada 17 September 1885 untuk kembali mengajar di Universitas Leiden. Selain mengajar, Snouck juga mengolah hasil-hasil penelitiannya selama tinggal di Jedah dan Mekah yang ia terima dari Raden Aboe Bakar. Sebagian besar informasi yang ia terima dikumpulkan Aboe Bakar ketika Snouck sudah meninggalkan Mekah. 28 Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan sebagai karya intelektual dalam dua jilid bahasa Jerman dengan judul Mekka di tahun 1888, serta diterbitkan dan diterjemahkan oleh J. H. Monahan dalam bahasa Inggris dengan judul Mekka in the Latter Part of 19th Century.29 Snouck juga mempublikasikan artikel-artikel berisi peribahasa-peribahasa Arab dengan diberikan komentar untuk kemudian dipresentasikan di Kongres Orientalis di Wina di tahun 1886.30 Pada
tahun
1887,
Bataviaasch
Genootschap
van
Kunsten
en
Wetenschappen (Perhimpunan Betawi bidang Kesenian dan Ilmu Pengetahuan) berusaha ingin mendatangkan Snouck ke Hindia Belanda untuk penelitian ilmiah terhadap agama Islam. Dari situlah Snouck kemudian menulis surat permohonan pada tanggal 9 Februari 1888 kepada penelitian kepada Gubernur Jenderal, ternyata mendapat dukungan dari Direktur Pendidikan, Agama dan Perindustrian supaya pemerintah Belanda menyetujuinya. 31 Sebagai balasannya, akhirnya pemerintah Belanda menyetujuinya dengan tunjangan sebesar 700 Gulden. Awalnya Snouck mendapat tunjangan 1.150 Gulden, tapi karena pemerintah Belanda sedang kekurang uang maka dikurangi. Segera setelah persetujuan
27
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V, hlm. 7-9. Michael F. Laffan, “Raden Aboe Bakar: An Introductory Note Concerning Snouck Hurgronje’s Informant in Jeddah (1884-1912)”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 155, 1999, hlm. 527. 29 C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter of Part 19th Century, diterj. J. H. Monahan, (Leiden: Brill, 2007). 30 G. W. J. Drewes, “Snouck Hurgronje and the Study of Islam”, hlm. 10. 31 E. Gobee & C. Adriaanse (ed.), Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, diterj. Sukarsi, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. XXI-XXIV. 28
9
tersebut, segala sesuatunya dipersiapkan untuk menyambut Snouck kedatangan Snouck ke Hindia Belanda. Periode di Hindia Belanda Pada 11 Mei 1889, Snouck Hurgronje tiba di Batavia dan menetap untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Dalam waktu dua minggu, Snouck sudah dapat menyesuaikan diri dalam pergaulannya dengan beberapa orang Islam di Batavia untuk kepentingan tugasnya. Karena Snouck dapat menyesuaikan diri dengan cepat, pemerintah Belanda memperpanjang tugasnya sampai tiga tahun. 32 Oleh karena pengembaraan intelektual dan dapat menyesuaikan diri dengan cepat, karir Snouck mulai mengalami perkembangan. Snouck diangkat menjadi penasihat kantor Urusan Pribumi dan Arab pada tahun 1889. Di kantor inilah Snouck mulai terlibat banyak dalam kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam. 33 Untuk menjalankan tugasnya, Snouck Hurgronje dibantu oleh Hasan Mustapa 34, yang merupakan keluarga penghulu di Garut, Jawa Barat. Snouck Hurgronje pernah berjumpa dengan Hasan Mustapa ketika berada di Mekah. Dalam hal ini, Hasan Mustapa menjadi tokoh kunci untuk membuka jalan bagi Snouck Hurgronje untuk memperoleh pengetahuan Islam lokal dalam menjalani tugasnya. Hasan Mustapa berperan memberi Snouck Hugronje informasi-informasi untuk kemudahankemudahan tertentu agar dapat masuk ke sisi terdalam kehidupan Islam dan Muslim Hindia Belanda.35 Jauh sebelum kedatangan Snouck Hurgronje ke Hindia Belanda, Hasan Mustapa telah kembali dari Mekah, karena ayahnya berhenti mengirimya uang untuk tinggal di Mekah. Di Garut, Hasan Mustapa menjadi seorang ulama 32
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 116-118. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, hlm. 40. 34 Keikutsertaan mereka (Raden Aboe Bakar Djajadiningrat dan Hasan Moestapa) membantu Snouck Hurgronje tidak semata-mata karena keuntungan-keuntungan yang mereka dapatkan berkat hubungan dengan Snouck Hurgronje, tetapi karena keyakinan mereka bahwa Snouck Hurgronje adalah seorang Muslimin secara lahiriah maupun batiniah. Lihat Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 120. 35 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, hlm. 158. 33
10
terkemuka, dan oleh karena itu, ia memiliki peran penting bagi Snouck Hurgronje untuk mempelajari Islam di daerah tersebut. Hasan Mustapa tidak hanya menemani perjalanan Snouck Hurgronje ke Jawa, tetapi juga memungkinkannya memiliki hubungan langsung dengan umat Muslim di daerah tersebut. 36 Menurut Hasan Mustapa, bahwa Snouck Hurgronje telah memintanya untuk mengantarkan dan menemaninya, ditengah kesibukannya sebagai seorang ulama, berkeliling jauh ke seluruh Pulau Jawa untuk penelitian dan mengenal kebudayaankebuadayaan. Menurut van Koningsveld yang didasarkan pada catatan-catatan perjalanan Snouck yang disertai dengan penganggalan dan penegasan tempat didalam berbagai dokumen, pada tanggal 15 Juli 1889 Hasan Mustapa menemani Snouck melakukan perjalanan penelitiannya yang pertama menjelajah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pertama-tama pergi ke Sukabumi dan tiba pada tanggal 16 Juli 1889. Setelah Sukabumi, pada tanggal 17 Juli 1889 ke Bandung dan dilanjutkan pergi ke Garut pada tanggal 18 Juli 1889, Calincing pada tanggal 20 Juli 1889, Cirebon pada tanggal 8 Agustus 1889. Pada tanggal 10 Agustus melanjutkan ke Mangunraja dan pada tanggal 13 Agustus 1889 ke Ciamis untuk tinggal selama 10 hari. Selama tinggal di Ciamis, Snouck menyaksikan dan mencatat pesta pernikahan seorang ipar bupati, baik didalam maupun diluar masjid yang ada di Ciamis. Setelah tinggal di Ciamis, kemudian Snouck melanjutkan perjalanan dilanjutkan ke Cirebon, dan tiba pada tanggal 23 Agustus 1889 dengan tinggal selama 7 hari. Setelah itu melanjutkan perjalan ke Tegal pada tanggal 6 September 1889, ke Pekalongan pada tanggal 13 September 1889, ke Wiradesi pada tanggal 14 September 1889, ke Bumiayu pada tanggal 16 September 1889 untuk menuju ke Banyumas pada tanggal 21 September 1889. Di Banyumas, Snouck tinggal sampai tanggal 3 Oktober 1889. Besoknya, pada tanggal 4 Oktober 1889 ke Purbalingga, ke Wonosobo pada tanggal 13 Oktober 1889, ke Purworejo pada tanggal 20 Oktober 1889 dan ke Kebumen pada tanggal 28 Oktober 1889.
36
Ibid., hlm. 166.
11
Pada tanggal 15 Desember 1889, Snouck kembali ke Cianjur dan tinggal sampai tanggal 19 Desember 1889, dan kemudian menuju Ciamis. 37 Berdasarkan berita-berita pers di tahun 1890 dan keterangan-keterangan anak lelaki Snouck dari istri kedua (Siti Sadijah) bernama Harry Jusuf ketika di Amsterdam. Snouck menikah dengan Sangkana, anak dari penghulu di Ciamis bernama Raden Haji Muhammad Ta’ib. Dari pernikahan tersebut lahir empat orang anak: Salmah Emah (lahir sekitar akhir tahun 1890), Umar (lahir sekitar akhir tahun 1892), Aminah (lahir sekitar akhir tahun 1893), dan Ibrahim (lahir sekitar menjelang akhir tahun1894). Sangkana meninggal dunia tahun 1896 ketika melahirkan anak kelimanya karena mengalami keguguran. Setelah Sangkana meninggal, keempat anaknya dirawat oleh Raden Aju Lasmitakusuma.38 Kemudian Snouck Hurgronje menikah lagi dengan Siti Sadijah yang merupakan anak dari pejabat kepala penghulu di Bandung bernama Raden Haji Muhammad Sueb atau yang dikenal dengan nama Kalipah Apo pada tahun 1898 di Bandung. Dari pernikahan ini lahir Harry Jusuf pada tahun1905. Pernikahan diatur oleh Hasan Mustapa yang merupakan atasan Kalipah Apo.39 Menurut Raden Tachiat yang merupakan keluarga dari Siti Sadijah, pernikahan itu sah. Berdasarkan kesaksian dari Raden Jusuf yang merupakan anak dari Snouck Hurgronje dan Siti Sadijah, ibunya yakin bahwa Snouck adalah seorang yang beragama Islam. Bahkan, lebih lanjut Raden Jusuf mengatakan bahwa Snouck merupakan Muslim yang taat, rajin salat, berpuasa dan juga telah disunat.40 Selama perjalanan-perjalanan tersebut, Hasan Mustapa juga memfasilitasi Snouck Hurgronje untuk melakukan kontak dan komunikasi dengan para ulama Jawa. Ia memberi Snouck Hurgronje daftar ulama di Jawa Barat, dengan informasi tentang wilayah perhatian mereka, ahli waris, guru-guru, tempat asal, dan keluarga mereka. Hasan Mustapa juga menunjukkan kepada Snouck Hurgronje, dan diamati secara langsung bagaimana para ulama Jawa 37
P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 205-213. 38 Ibid., hlm. 220-221. 39 Ibid., hlm. 222-224. 40 Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, hlm. 121.
12
mentransmisikan pengetahuan Islam mereka kepada para santri-santri, kitab-kitab yang mereka gunakan, dan praktek-praktek keagamaan yang dijalankan oleh Muslim Hindia Belanda. Hal ini menunjukkan kepada Snouck Hurgronje caracara Islam ditransmisikan dari Mekah dan menyebar di Hindia Belanda, dan akhirnya mempengaruhi kehidupan beragama umat Muslim. Kemudian, Snouck Hurgronje berangkat ke Aceh.41 Atas jasa Hasan Mustapa, maka pada tahun 1892, atas usul Snouck Hurgronje, Hasan Mustapa diangkat menjadi penghulu besar di Oleuehleueh, Aceh dan kemudian diangkat menjadi penghulu besar di Bandung. Selama menjadi penghulu besar di Aceh, Hasan Mustapa memberikan informasi tentang perkembangan-perkembangan di Aceh.42 Snouck Hurgronje berada di Aceh dari tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892. Tujuan utama penelitiannya di Aceh adalah untuk mencari pengetahuan mengenai pengaruh Islam dalam kehidupan politik, sosial dan agama rakyat Aceh.43 Selain itu, ia juga sambil mempelajari bahasa Aceh. Kemudian, nama-nama Aceh yang dibahasa-Melayukan secara tepat, ia bahasa-Acehkan, lengkap dengan terma dan bunyi-bunyi eu yang diperlukan untuk bahasa Belanda.44 Di Aceh, ia berhasil memperoleh kepercayaan orang-orang Aceh terkemuka, seperti para ulama dan tokoh masyarakat lainnya. Salah satu ulama Aceh yang percaya kepada Snouck Hurgronje adalah Teungku Nurdin yang merupakan adik laki-laki penghulu Aceh, yang ketika itu berada dibawah pengawasan tentara Belanda. Kemudian Teungku Nurdin bersama Snouck
41
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, hlm. 165-166. 42 P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 225-226. 43 C. Snouck Hurgronje, “Kata Pengantar” dalam Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jilid I, diterj. Sutan Maimoen, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. xvii. 44 Misalnya ejaan Olehleh yang sederhana dijadikan Oeleelheue secara tepat, tetapi sulit untuk yang bukan orang Aceh. Bahkan, perwira-perwira yang kesal tidak dapat membiasakan diri dengan ejaan dan pengucapan baru, memberikan julukan padanya dengan ejaan nama Sneuk Heurgreuyeu. Akan tetapi, transkripsi Snouck Hurgronje dalam bahasa Indonesia yang modern tidak digunakan lagi. Bahasa Indonesia yang berlaku sesudah tahun 1950 akhirnya mengubah Oeleelheue menjadi Olehleh lagi. Lihat Paul van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterj. Grafitipers, (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 152.
13
Hurgronje kembali berlayar ke Jawa untuk menjadi asistennya dalam urusanurusan Aceh.45 Oleh karena itu, Snouck berhasil melakukan penelitian tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat. Laporan yang panjang sebanyak empat jilid diserahkan kepada Gubernur Jendral Pijnaker Hordijk pada tanggal 23 Mei 1892 dengan judul Verslag Omtrent de Religieus-Politieke Toestanden in Aceh (Laporan tentang Situasi Politik dan Agama di Aceh). Dua jilid pertama dari laporannya diterbitkan menjadi buku berjudul De Atjehers (1893/1894), sedangkan terjemahan bahasa Inggrisnya berjudul The Acehnese (1906). Baru kemudian karya Snouck diterbitkan dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya.46 Selain melakukan penelitian di Aceh, Snouck juga melakukan penelitian di Gayo. Dalam paruh kedua tahun 1900 di Peureumeue (Meulaboh Hulu), Snouck bertemu dengan seorang suku Gayo berasal dari Isak bernama Njak Puteh. Menurut Snouck, Njak Puteh adalah orang cerdas yang mengenal sebagian besar tanah Gayo dan menonjol karena pemahaman topografi alamiahnya serta pandai berbahasa Aceh. Dari Njak Puteh-lah Snouck dibuatkan peta dan belajar bahasa Gayo dan bertukar pikiran tanpa kesulitan. Snouck memperoleh sejumlah besar data dari Njak Puteh mengenai pemikiran rakyat. Dengan peta dan hasil penelitian tersebut, hal itu memungkinkan pasukan Belanda untuk masuk dan menyerang Gayo untuk kemudian masuk ke Aceh.47 Hasil penelitiannya mengenai Gayo kemudian diterbitkan dengan judul Het Gajoland en zijne Bewoners pada tahun 1903. Pada tahun 1906, Snouck mengajukan cuti dan kembali ke Belanda. Periode Kembali ke Belanda Karena ilmu pengetahuan, pengembaraan intelektual dan pengalamanpengalaman yang dimilikinya, ketika Snouck tiba di Belanda, Snouck ditawarkan 45
P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, hlm. 92 & 172. 46 C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, 2 Jilid, diterj. Sutan Maimoen, (Jakarta: INIS, 1996). 47 C. Snouck Hurgronje, “Prakata” dalam Tanah Gayo dan Penduduknya, diterj. Budiman S., (Jakarta: INIS, 1996), hlm. xvii-xxi.
14
jabatan guru besar bahasa Arab di Universitas Leiden sebagai pengganti Michael De Goeje (1836-1909). Sebelumnya Snouck ditawarkan menjadi guru besar etnologi Hindia Belanda pada universitas yang sama telah ditolaknya beberapa tahun sebelumnya. Akhirnya, ia menerima jabatan guru besar bahasa Arab pada 23 Januari 1907 dan memulai karirnya yang baru sebagai professor di Universitas Leiden. Ketika Snouck berlibur di Stuttgart, Snouck tertarik dengan kehadiran seorang mantan perwira Turki yang membantunya dalam mempelajari bahasa Turki sebagai persiapan perjalanannya menuju ke Istambul. Selama tinggal di Istambul pada tanggal 25 Juli sampai 23 September 1909, Snouck menyaksikan revolusi Pemuda Turki, yang memberikan kesan pada Snouck tentang kemanusiaan.48 Akan tetapi, perjalanan Snouck ke Istambul diketahui untuk tujuan apa. Pada tahun 1913, Snouck Hurgronje diundang ke Amerika oleh American Committee for Lecturers on the History of Religions untuk memberi serangkaian ceramah tentang Islam. Kemudian, kumpulan makalah dari ceramah-ceramahnya diterbitkan menjadi buku dengan judul Mohammedanism.49 Tidak hanya itu, ia juga mengunjungi berbagai universitas dan berkeliling Amerika. Dalam tahuntahun 1920-1922, ia berturut-turut menjalankan jabatan sebagai sekretaris Senat dan Rektor Universitas Leiden. Dalam pengukuhannya sebagai rektor, ia menyampaikan pidato berjudul De Islam en het Rassenprobleem (Islam dan Masalah Rasialisme).50 Selama menjadi rektor, Snouck mengikuti kejadian-kejadian yang berkembang di Arab dan menulis banyak artikel. Pada tahun 1925, Snouck Hurgronje terlibat dalam agitasi terhadap beberapa anggota Vereenigde Faculteiten di Leiden. Ia mempermasalahkan peradilan Belanda dan Hindia Belanda terhadap orang-orang Hindia Belanda dan pemerintahan Belanda. Hal itu
48
A. J. Wensinck, “Christiaan Snouck Hurgronje”, hlm. 20. C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism, (New York: G. P. Putnam’s Sons, 1916). 50 A. J. Wensinck, “Christiaan Snouck Hurgronje”, hlm. 21. 49
15
menimbulkan adanya dorongan kuat yang kemudian menghasilkan dana untuk mendirikan pengkajian Indologi di Universitas Utrecht.51 Pada tahun 1927, tepat di ulang tahunnya yang ke-70, Snouck diberi uang oleh komite yang terdiri atas kawan-kawanya melalui mantan Gubernur Jendral Idenburg. Ia mempergunakan uang tersebut untuk mendirikan Lembaga Ketimuran (Oostersch Instituut), dan kemudian sejumlah Lembaga Ketimuran lainnya juga ikut bergabung. Perlahan-lahan Snouck mulai mengundurkan diri dari berbagai lembaga yang ia pernah bergabung dan pimpin. Meskipun demikian, Snouck masih tetap memimpin Kongres Orientalis
Internasional yang
diselenggarakan di Leiden pada tahun 1931. Di usia Snouck yang sudah rentan, ia diangkat menjadi anggota kehormatan dari sejumlah akademi dan lembaga di berbagai univeristas di Belanda serta mendapatkan gelar doktor Honoris Kausa dari universitasuniversitas yang ada di Groningen, Amsterdam dan Paris. Pada musim dingin 1933-1934, Snouck Hurgronje jatuh sakit, dan setelah itu ia sembuh. Pada bulan Maret 1936, ia kembali sakit dan harus beristirahat total. Perlahan-lahan ia mulai sembuh lagi, kemudian sakit lagi karena terserang radang paru-paru, dan dapat sembuh kembali meskipun fisiknya semakin lemah. Hingga akhirnya ia sakit dan kemudian meninggal dunia di Leiden pada tanggal 26 Juni 1936 dalam usia 79 tahun.52 Kesimpulan Snouck Hurgronje merupakan seorang orientalis terkemuka Belanda yang sangat produktif dan sangat disegankan di Belanda, terutama di Universitas Leiden. Namanya secara luas sudah dikenal, tidak saja di Belanda tetapi juga di seluruh dunia. Hal itu tidak bisa lepas dari lingkungan pendidikan intelektualnya di Universitas Leiden sangat mempengaruhinya, dimana ia berkenalan dengan pemikiran teologi modern yang mempengaruhi pemikirannya dan akan sangat menentukan gagasan-gagasan dan intelektualnya kemudian tentang Islam dan politik kolonial. Perkenalan Snouck dengan teologi modern bermula dari tulisan51 52
Ibid. Ibid., hlm. 22.
16
tulisan tiga orang “modernis Leiden” terkemuka dan sekaligus merupakan guruguru Snouck di Universitas Leiden yaitu A. Kuenen, C. P. Tiele, dan L. W. E. Rauwenhoff. Tidak puas dengan pendidikan yang didapatnya di Belanda, kemudian Snouck mempelajari dan meneliti Islam secara langsung ke Jedah dan Mekah, terutama haji-haji asal Hindia Belanda. Di Jedah dan Mekah, Snouck bertemu dengan banyak haji-haji asal Hindia Belanda dan orang-orang yang bekerja untuk konsulat Belanda di Jedah, diantaranya ialah Hasan Mustapa dan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat. Di tempat tinggal Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, Snouck measuk Islam dan juga memperkenalkan Snouck Hugronje kepada gurunya yang berasal dari Maroko, Syaikh Abdullah al-Zamawi dan ulama-ulama yang ada di Mekah. Keberhasilan penelitian Snouck di Jedah dan Mekah telah membawa karir Snouck ke Hindia Belanda sebagai penasihat pemerintah Belanda. Di Hindia Belanda, waktu Snouck banyak dihabiskan untuk penelitian di Pulau Jawa dan Aceh untuk kemudian membuat kebijakan terkait Islam dari hasil penelitiannya. Dalam keberhasilan melakukan penelitiannya di Hindia belanda, Snouck tidak sendiri, ia ditemani dan dibantu oleh orang-orang yang yakin bahwa Snouck merupakan Muslim sejati dan taat beragama. Ketika Snouck meneliti Islam di Pulau Jawa, ia ditemani dan dibantu oleh Hasan Mustapa yang merupakan ulama Sunda ternama, yang pernah Snouck jumpai ketika ia tinggal di Mekah. Di Pulau Jawa ini pula Snouck menikah sebanyak dua kali. Di Aceh, Snouck berhasil memperoleh kepercayaan ulama Aceh bernama Teungku Nurdin dan Njak Puteh membuatkan peta, belajar bahasa Gayo serta bertukar pikiran tanpa kesulitan. Snouck memperoleh sejumlah besar data dari Njak Puteh mengenai pemikiran rakyat. Dengan peta dan hasil penelitian tersebut, hal itu memungkinkan pasukan Belanda untuk masuk dan menyerang Gayo untuk kemudian masuk ke Aceh. Puncak karirnya ketika Snouck kembali ke Belanda dimana ia menjadi professor dan rektor di Universitas Leiden. Hal itu membuat Snouck menjadi semakin disegani dan terkenal, sampai-sampai Snouck diundang ke Amerika oleh American Committee for Lecturers on the History of Religions untuk memberi
17
serangkaian ceramah tentang Islam sambil mengunjungi berbagai universitas serta berkeliling Amerika. Bahkan, Snouck diangkat menjadi anggota kehormatan dari sejumlah akademi dan lembaga di berbagai univeristas di Belanda serta mendapatkan gelar doktor Honoris Kausa dari universitas-universitas yang ada di Groningen, Amsterdam dan Paris. Daftar Pustaka Algadri, Hamid. 1984. C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan. Benda, Harry J. 1985. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, diterj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya. Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan. Drewes, G. W. J. 1957. “Snouck Hurgronje and the Study of Islam”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 113: 1-15. Gobee, E dan C. Adriaanse (ed.). 1990. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, diterj. Sukarsi. Jakarta: INIS. Hurgronje, C. Snouck. 1916. Mohammedanism. New York: G. P. Putnam’s Sons. __________. 1989. Perayaan Mekah, diterj. Supardi. Jakarta: INIS. __________. 1996a. “Kata Pengantar” dalam Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jilid I, diterj. Sutan Maimoen. Jakarta: INIS. __________. 1996b. “Prakata” dalam Tanah Gayo dan Penduduknya, diterj. Budiman S. Jakarta: INIS. __________. 1996c. Kumpulan Karangan Snouck Hugronje V, diterj. Soedarso Soekarno, Rahayu S. Hidayat dan A. J. Mangkuwinoto. Jakarta: INIS. __________. 2000. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XIV, diterj. Soedarso Soekarno. Jakarta: INIS. __________. 2007. Mekka in the Latter Part of the 19th Century, diterj. J. H. Monahan. Leiden: Brill.
18
Koningsveld, P. Sj. van. 1989. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial. Jakarta: PT. Girimukti Pasaka. Laffan, Michael F. 1999. “Raden Aboe Bakar: An Introductory Note Concerning Snouck Hurgronje’s Informant in Jeddah (1884-1912)”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 155: 517-542. Putuhena, M. Shaleh. 2007. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKiS. Rosidi, Ajip. 1987. “Menjejaki Karya-Karya Haji Hasan Mustapa”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan (ed.), Warisan Intelektual Islam Indonesia. Bandung: Mizan. Suminto, H. Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. Veer, Paul van’t. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterj. Grafitipers. Jakarta: Grafitipers. Wensinck, A. J. 1995. “Christiaan Snouck Hurgronje”, dalam Nico Kaptein & Dick van der Meij (ed.), Delapan Tokoh Ilmuwan Belanda bagi Pengkajian Islam Indonesia, diterj. Theresia Slamet. Jakarta: INIS.
19