CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE ARSITEK URUSAN PERDATA KOLONIALISTIK HINDIA BELANDA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) dalam Ilmu Syari'ah Jurusan Ahwal al Syakhshiyah Dosen Pembimbing: Drs. H. Musahadi, M.Ag. H. Khoirul Anwar, M.Ag.
Disusun Oleh ARIEF MUTHOFIFIN NIM 032111139
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
MOTTO
Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar … [alm. Mas Pram: 2004]
v
DEKLARASI
Dengan menjunjung tinggi Tri Etika Perguruan Tinggi: Diniyah, Uhkwah, dan Ilmiah, saya menyatakan bahwa naskah skripsi ini merupakan karya ilmiah asli hasil penelitian penulis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, di hadapan hukum, mupun kepada Allah SWT. Jika dikemudian hari ditemukan kepalsuan dalam karya ini maka akan penulis tanggung dengan pencabutan gelar kesarjanaan.
Semarang, 07 Juni 2010
Deklarator,
ARIEF MUTHOFIFIN NIM 032111139
iv
ABSTRAK
Hampir semua peneliti hanya menempatkan Christiaan Snouck Hurgronje, Ph.D. (1857-1936) sebagai peletak dasar Politik Islam (Islam Politeik) di Hindia Belanda. Luput dari bacaan mereka tentang peran besarnya sebagai seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik Hindia Belanda. Sejak penugasannya di Hindia Belanda sebagai agen intelejen Negeri Belanda (1889-1936), dia merubah nalar manual kolonial—penguasaan fisik dan intimidasi—menjadi mengendalikan sistem kekeluargaan Pribumi. Di sinilah hal terpenting baginya daripada permainan politik kolonial yang sedang diterapkan Pemerintah Jajahan Hindia Belanda di Nusantara. Karena sistem keluarga sesungguhnya merupakan sebetulbetulnya pusat dari kekuatan rakyat, konsolidasi pemberontakan, dan sinergi antar golongan yang tak terbatas agama, ras, dan kepercayaan, untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa di Negara Maritim ini. Selain itu, penguasaan terhadap sistem keluarga Pribumi adalah cara kolonial yang lebih halus, matang, terencana, dan tidak seresisten angkatan bersenjata. Oleh karena itu, sebagai penasehat dalam urusan agama pada pemerintah Hindia Belanda, dia mengoperasikan pemikiran-pemikirannya sebagai strategi baru melumpuhkan kekuatan Islam Pribumi. Pertama, membuat konsepsi teoritik (landasan ideal) tentang teori resepsi; melumpuhkan hukum Islam dengan mempertentangkan dengan hukum adat. Selanjutnya, hukum adat akan dimatikan. Kedua, pernikahan sesuai syari’at yang sah dirubah hukumnya menjadi tidak sah ketika tidak dicatat oleh pegawai penyelenggaran pernikahan dari pemerintah jajahan. Pencatatan pernikahan dipakai sebagai alat untuk mengawasi sistem inti dari konsolidasi masyarakat Islam. Ketiga, penghulu diangkat sebagai pegawai kolonial yang digaji pemerintah pusat untuk tugas mata-mata. Yakni, memberi informasi tentang pergerakan pribumi, penggunaan kas-kas masjid untuk jihad, selain tugas formal sebagai penyelenggara pernikahan. Keempat, watak kolonial dalam sistem keluarga yang coba diciptakan olehnya adalah kesimpulan atas ‘keilmiahannya’ bahwa mustahil hukum waris adat dan hukum waris Islam untuk damai. Artinya, hukum Islam harus tunduk atas kemenangan hudup adat. ‘Keilmiahan’ kolonial ini hanya khayalan. Nyatanya dua sistem hukum itu mampu berdamai seperti di Minangkabau. Kelima, pernikahan yang harus dan harus monogami tidak jauh-jauh dari suatu episode perpanjangan kolonialisme. Karena dengan monogami, Jawa terutama, bisa jadi modern (maju) dalam pengertian kolonial. Yaitu, sesuai dengan sistem hukum Protestan yang menghendaki pernikahan harus monogami saja. Menutup kemungkinan lain ketika tidak hanya monogami. Penelusuran terhadap pemikiran-pemikirannya mengantarkan kita pada fakta bahwa Indonesia (modern) merupakan sampahnya hukum Eropa yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje. Maksudnya, Indonesia belum merdeka dalam sistem hukum. Selain juga tidak memiliki jati diri (anomi) dalam hukum. Kata Kunci: Christiaan Snouck Hurgronje, Sistem Keluarga Islam, Modernisme, Liberalisme, dan Kolonialisme.
vi
KATA PENGANTAR
Hasil penelitian dengan judul “Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda” kini telah usai. Untuk selanjutnya dapat dijadikan syarat kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam studi Syari’ah (Hukum Islam) dalam konsentrasi Ahwal al Syakhsiyyah (AS) atau kerap disebut Urusan Perdata Islam di IAIN Walisongo Semarang pada 2010. Keterlibatan banyak pihak tidak bisa terelakkan selama studi di Walisongo berlangsung meskipun penentu sebenarnya adalah penulis (setelah Allah SWT). Terima kasih kepada Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A, Rektor IAIN Walisongo (dua periode), Prof. Dr. H. Muhibbin Noor, M.A., (PR I), Drs. H. Machasin, M.Si. (PR II), dan Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.A., (PR III), yang telah memimpin perguruan tinggi—di mana penulis belajar—dengan sebaikbaiknya. Serta Kepala Kopertais, Bapak Jaza, yang setia memberi “pengawalan” berkali-kali kepada kami untuk berkompetisi dengan mahasiswa se-Indonesia di dalam maupun di luar Pulau Jawa. Tak luput terima kasih untuk Ulfah Hanim, M.Ag. bagian Akademik Kampus, yang sangat baik hati membantu mahasiswa seperti penulis yang sampai “sakaratul maut,” kata Drs. H. Eman Sulaiman, M.H., atau semester 14, tidak kunjung tertib dalam urusan administrasi akademik. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., Dekan Fakultas Syari’ah, adalah orang yang menyebut penulis sebagai mahasiswa ‘nakal’ yang ‘identik’ dirinya sewaktu
viii
muda. Sempat berkali-kali terjadi perang pendapat dan pemikiran (tepatnya, Perang Dingin dan Perang Panas) dengannya—yang jauh lebih senior (usia dan pengalaman)—merupakan dinamika yang unik dan menarik. Drs. H. Musahadi, M.Ag. (PD I), senior sekaligus dosen penulis, yang mengajari cara bermetodologi yang baik dan ajarannya untuk ‘meninggalkan’ judul penelitian yang monoton dan ‘tidak mutu’ (pada kebanyakan penelitian) sehingga judul karya saya seperti di atas. Beliau adalah Pembimbing I penelitian ini yang telaten dalam mengoreksi dan menyempurnakannya. Bersanding dengan Drs. H. Khoirul Anwar, M.Ag. Pembimbing II yang nampak cepat tanggap, sehingga tanpa berlama-lama naskah ini mendapat persetujuan untuk disidangkan di “meja hijau”. Drs. H. Maksun, M.Ag. (PD II) dan Drs. H. Nur Khoirin Yudha, M.Ag. (PD III), Wali Studi penulis, untuk kesemunya penulis sampaikan terima kasih. Terima kasih pula kepada Drs. Ahcmad Arief Budiman, M.Ag. (Ketua Jurusan AS), Antin Lathifah, M.Ag. (Sekretaris Jurusan AS), dan M. Shoim, S.Ag., M.H., yang berupaya memberi kemudahan-kemudahan dan kesempatan seluas-luasnya kepada kami agar menyelesaikan studi dengan sesegera mungkin. Dorongan semangat dan jasa-jasanya merupakan andil yang significant pada proses menyelesaikan studi di batas akhir sehingga menjadi sarjana. Para sesepuh di IAIN Walisongo yang selalu inspirational Prof. Dr. H. Muchojjar, M.A., atas lontaran idenya yang berharga dan tumpangan mobilnya di Bandara Ahmad Yani sepulang bersama menggunakan Adam Air dari Annual Conference on Islamic Studies Depag RI (2007) di Riau, disampaikan terima kasih. Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., dosen dan Sekretaris MUI Jawa Tengah
ix
(Jateng), terima kasih karena selalu menjadi ‘objek dan sasaran utama’ yang baik atas kritisisme mahasiswa seperti penulis yang “mbeling,” katanya. Kebaikan itu ditunjukkan dengan tidak memarahi atau menjauhi kami yang selalu dan tetap mbeling saja. Kepada Drs. H. Abu Hapsin Umar, M.A., Ph.D., Ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama Jateng sekaligus Ketua NU Jateng, berkali-kali ronda
malam
bersama
dengan
beliau
merupakan
bagian
dari
proses
berpengetahuan yang amat penting. Beliau semua tetap menjadi orang tua yang baik meskipun ide, pendapat, dan keinginannya tidak selalu kami turuti. Atas segala kebaikannya disampaikan terima kasih mendalam. Perlu disebut-sebut Sahabat penulis, dosen, maupun para pendahulu yang telah membuka jalan yang terang di Lembaga Penerbitan Mahasiswa Justisia: Dr. Rumadi, M.A., Dr. H. M. Arja Imroni, M.Ag., Dr. Imam Yahya, M.Ag., Drs. H. Abdul Ghofur, M.Ag., Sumanto al Qurtuby, S.Ag., M.Si, M.A., Ph.D., Ahmad Jukari, Choirul Muslim, Abdullah Ibnu Tholhah, S.HI., Ali Mujib al Fatczuly, Ingwuri Handayani, S.HI., Ngainir Richadl, S.HI., M. Khoirul Umam ar Rozy, M.SI., M. Aziz Hakim, S.HI., M. Kholidul Adib, S.HI., M. Sholekan al Jalily, S.HI., Siti Nur Ma’unah, S.HI., Ahmad Khoirul Umam, S.HI., M.A., Tedi Kholiluddin, S.HI., M.SI., Pujiyanto, S.HI., Chusnunia, S.HI., Iman Fadhillah, S.HI., M.SI., Wiwit R. Fatkhurrahman, S.HI., Triharyani, S.HI., Mu’asyaroh, S.HI., Zaki Mubarok, S.HI. Ritono, S.HI., M. Ghufron, S.HI, dan M. Thoifur Hasballah MK, C.S.H.I. (alm.). Keluarga besar Justisia 2003: Ika Nur Fajar Raudlatul Jinnan, S.HI., Dyah Hidayati, S.HI., Ernawati Putri Ningrum, S.HI., Sofi Hidayati, S.HI. M. Najibur
x
Rohman, S.HI., Ahmad Sofwan, S.HI., M. Miftakhul Maghrubi, S.HI., M. Ichrom, S.HI., A. Wahid, S.HI., Atan ‘Syah’ Navaron, dan Sujiantoko. Para Junior: M. Nasrudin al Andalasy, Suharjo, Yoni A.P., Ali ‘Kopling’ Imron, Munif Ibnu Fatkhussyarif, The Rouf, Hamdani, Zainul Anwar, Ubaidillah Adzkiya, Nikmatul Umroh, Ica Zuhrotunnisa, Khoirudin, Hambali, Vian Q.A., Yayan M.R., Ainung Jariyah, U-Sholly, Rifa, Nazar Nurdin, Ariyani K.J., Syafi’i, Salam, Ceceprudien, dan semua kru yang tidak disebut satu per satu di sini. Semua Sahabat di Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo; Drs. H. Muhsin Jamil, M.A. (Kepala Pusat Penelitian IAIN Walisongo), Rusmadi, S.Th.I., Hijriyah, Dul Badri, dan kawan-kawan. Di PR PMII Syari’ah-PK PMII Walisongo-PC PMII Kota Semarang-PKC PMII Jateng; Sutono, S.HI., Sugeng Hadiyanto, Taufiq Ismail, Ahsan Fauzi, M. Qosim al Khos, dan Kusdiyanto dkk., IPNU Ranting-PW Jateng, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dan Rumah GANA Semarang. Semua proses di dalamnya memiliki makna dan akan terus diapresiasi. Kerabat lintas iman; Romo J. Pujasumarta, Romo Aloys Budi Purnomo, Romo Dwi Harsanto, Romo Subagyo, Lukas Awi, dan Rony Candra, kesemuanya penulis sampaikan terima kasih. Kepada M. Faridul Atros, kakak penulis, terima kasih serta atas semua usaha-usahanya. Kemudian sahabat saya semenjak di MAN Kendal hingga kuliah, M. Azhar, S.Sos.I, penulis berterima kasih kepadanya karena sampai di detikdetik akhir batas perkuliahan telah memberikan bantuan yang sangat berarti. Wa bil khusus Agus Sunyoto, M.Ag., penulis 7 jilid Suluk Abdul Jalil, berkali-kali diskusi telah memberikan sudut baca yang lain terhadap peristiwa ke
xi
peristiwa. Master Shifu Mardi Rahayu, S.Ip., meskipun ‘aneh’ tapi ‘perhatian’ untuk mengoleksi buku-buku referensi. Zaki Mizan (Bandung) di Leiden Belanda yang turut menyuplai beberapa sumber referensi primer. Lalu, Drs. H. Rohmadi, M.Ag. dan Drs. H. Mahfud Junaidi, M.Ag, yang bersedia meminjamkan koleksi bukunya berlama-lama untuk keperluan penelitian ini. Terima kasih kepada kelimanya. Serta yang perannya tak terlupakan, yakni, “asisten” yang kerap direpoti bantuannya ataupun merepoti; Evy Lestari, S.HI., dan M. Luthfil Khakim dan M. Afwa Fithrian. Kepada semua yang terakhir ini tidak ada lain kata kecuali terima kasih mendalam atas segala-galanya. Keutuhan karya ini juga atas mereka. Terima kasih pula untuk pihak-pihak yang sengaja tidak ditampilkan namanya di sini. Peran dan andilnya sebenarnya memiliki arti dan penting; serta kepada siapa siapa yang telah saya ‘curi’ semangatnya. Terima kasih!
xii
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul ………………………………………………………. Nota Pembimbing …………………………………………………… Pengesahan ………………………………………………………….. Deklarasi …………………………………………………………….. Motto ………………………………………………………………... Abstrak ……………………………………………………………… Persembahan ………………………………………………………… Kata Pengantar ……………………………………………………… Daftar Isi …………………………………………………………….
i ii iii iv v vi vii viii xiii
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………..
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. .
1
B. Perumusan Masalah …………………………………………...
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………
6
D. Telaah Pustaka ………………………………………………...
7
E. Metode Penelitian ……………………………………………...
11
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian …………………………....
11
b. Sumber Data Penelitian ………………………….………….
14
c. Metode Pengumppulan Data ………………………………. .
16
d. Metode Analisis Data ……………………………………….
18
e. Penggunaan Teori …………………………. ……………….
21
f. Pemusatan Objek Penelitian ………………………………..
24
F. Sistematika Penulisan ………………………………………….
xiii
27
BAB II Perangkat Bacaan Kolonialisme dan Postkolonialisme untuk Urusan yang Terkait Kawasan Koloni ………………….. .
30
A. Kolonialisme yang Angkuh …………………………………....
30
a. Merkantilisme ke Liberalisme …………………………….. .
38
b. Imperialisme ………………………………………………...
41
c. Neokolonialisme …………………………………………... .
47
B. Postkolonialisme yang Kukuh ………………………………...
52
a. Fungsi dan Manfaat Postkolonialisme ……………………. .
60
b. Bidikan Postkolonialisme …………………………………. .
62
c. Representasi Postkolonialisme ……………………………. .
66
d. Batasan Postkolonialisme …………………………………. .
69
e. Relevansi Postkolonialisme di Nusantara ………………… .
72
BAB III Dinas Mata-Mata dan Pemikiran Perdata Kolonial Christiaan Snouck Hurgronje …………………………………….
75
A. Arkeologi Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ………..
75
a. Christiaan Snouck Hurgronje dalam Bacaan Situasi Keluarga …………………………………………… .
75
b. Pendidikan, Pembentukan Pemikiran, dan Karya Tulis Christiaan Snouck Hurgronje …………… . c. Petualangan, Penelitian, dan Tugas Awal Penyamaran
xiv
79
Christiaan Snouck Hurgronje ……………………………….
88
B. Pendudukan Belanda di Nusantara dan Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje ……………....
98
a. Masyarakat Nusantara dalam Pendudukan Belanda ………..
98
b. Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje untuk Pemerintah Hindia Belanda dan Penyamaran Berikutnya .....
102
C. Konsepsi-Konsepsi Kolonialistik dari Pemikiran Christiaan Snocuk Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda ..
111
a. Membela Teori Resepsi (Theorie Reseptie) …………………
112
b. Pengawasan Penyelengaraan Pernikahan …………………. ..
118
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Pegawai Pemerintah ……. ..
123
d. Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam …………….
128
e. Asas Monogami dalam Pernikahan …………………………
130
BAB IV Perangkap Kolonialistik Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda …………….
133
A. Christiaan Snouck Hurgronje Sang Pemikir Modernis-Liberalis-Kolonialis ……………………………….
133
a. Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden …………..
133
b. Evolusi Sosial-Kebudayaan: Teori Pemunahan Ras ………
139
c. Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme: Suatu Proyek Penghancuran ………………………………
xv
143
B. Operasi dari Rencana Licik Christiaan Snouck Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda …………
145
a. Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam ………….
146
b. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan ……………… ..
150
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Agen untuk Urusan Kelurga Koloni ………………………………
156
d. Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai ! …………….... e. Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial …………..
163 167
C. Pengaruh Konsep Kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje dalam Kenyataan Hukum di Indonesia ………….
171
a. Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia …
171
b. Gagal Menghasilkan Sistem Hukum yang Merdeka ……….
176
c. Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri)
…
181
Penutup …………………………………………… ………………….
183
A. Kesimpulan …………………………………………… ………….
184
B. Saran-saran ………………………………………………………
187
C. Penutup …………………………………………………………..
190
Daftar Kepustakaan …………………………………………………..
192
BAB V
Lampiran
xvi
1
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE ARSITEK URUSAN PERDATA KOLONIALISTIK HINDIA BELANDA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Ubi societas ibi ius1 Cicero
Hukum mengalami proses introduksi atau perkembangan setua sejarah peradaban manusia, bahkan alam semesta. Dari yang kecil (kosmis) atau hukumhukum yang mengatur manusia. Sampai yang besar tak terhingga (kosmos) atau tanda-tanda pengatur peredaran jagat raya. Terdapat pula aspek universal pada “aturan-aturan langit” yang “diturunkan” untuk kosmis ataupun kosmos. Biasa disebut firman, wahyu, titah, suara Tuhan. Pendekatan pada yang terakhir dengan keyakinan atau fakta keberimanan. Menurut tradisi agama Semit kuno terakhir, tanda-tanda universal disebut dengan ayat-ayat Qur’aniyah. Tanda-tanda –hukum 1
Ubi societas ibi ius = di mana ada masyarakat di situ ada hukum, adagium ini pernah dilontarkan pemikir Romawi kuno Cicero (106-43 SM). Lihat E.K.M. Masinambow (ed.), Hukum dan Kemajemukan Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).
2
dan aturan—rupa Qur’an dan Hadits Sahih.2 Menurut keyakinan agama-agama Semit lain dan agama di luar tradisi Semit kuno, tanda-tanda universalitas semakin beragam sesui semangat zaman: Zabur, Taurat, Injil, Wedha, Konfusian, sampai Gatoloco, dan sebagainya. Antara kosmos dan kosmis berpasangan dan berjalan kelindan mencapai keseimbangan. Proses menuju sempurna tanpa batas ras, agama, ideologi, kepercayaan, warna kulit, dan apapun. Sedikit berat sebelah dalam memahami tanda-tanda tadi, akibatnya ketidakseimbangan. Lebih menonjol pada aspek tertentu. Namun, sangat kurang, tertinggal, bahkan miskin papa pada kebutuhan lainnya. Pengaruhnya tak hanya pada satu segi, ketidakseimbangan di mikro kosmis pengaruhnya kuat pada makro kosmos dan tanda-tanda universal, serta sebaliknya. Adanya bermacam tanda-tanda termaksud, perlu upaya menerjemahkan secara praktis dan bersifat relatif sesuai kebutuhan zaman yang tak pernah tetap. Tanpa upaya memahami, menafsir, interpretasi, dan breack down dari “suara langit” ke konteks “kebumian”, sifat-sifat dari ketiga aspek tadi berhenti pada utopia. Niscaya dari kegiatan wira usaha interpretasi atas tanda-tanda menjadi hukum yang menjawab persoalan, khususnya kosmis, adalah wujudnya keragaman, setiap masa dan tempat tidak bisa dipakaikan seragam. Kecuali, sekadar upaya menyeimbangkan. Karena setiap ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Adagium itu pun berlaku bagi masyarakat paling sederhana tapi kompleks atau individu. Dalam masyarakat kecil (individu) terjadi 2
Yudian Wahyudi, Ph.D., Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), Cet. III, hlm. 25-26.
3
interaksi, mempengaruhi, menunjang dan menghambat, dan proses dinamisasi sebagai ciri-ciri masyarakat. Introduksi cepat, besar-besaran, radikal, dan keras terjadi pula pada tata hukum masyarakat Pribumi. Arus itu berasal dari berlangsungnya proses terusmenerus pengaruh perkembangan sistem hukum asing, Eropa. Mempengaruhi tata hukum masyarakat Pribumi (Indonesia, terutama Jawa) yang sebelumnya memiliki sumber hukum adat dan agama yang dipergunakan lama dan mapan. Sistem hukum Eropa dimaksud, khususnya, sistem hukum Belanda. Soetandyo mengurai akar sistem hukum Eropa, Belanda ini, terbentuk dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani. Penyebarannya ke penjuru dunia, termasuk masyarakat Pribumi, melalui mega proyek revolusi: ‘Papal Revolution’ hingga revolusi kaum berjuis-proletar di Perancis (abad ke-19).3 Konsepsi-konsepsi hukum kolonialistik Eropa Belanda mampu membuat masyarakat Pribumi bertekuk lutut. Membungkam tata dan sistem hukum yang pernah hidup dan berkembang di masyarakat. Sistem dan tata hukum yang dihasilkan dari hubungan dinamis dan dialektik antara Kapitayan (agama asli Pribumi), Hindu, Budha, Konfusian, dan Islam. Namun, porak-poranda diterpa serangan virus ganas hukum-hukum Eropa, Belanda, melalui proyek revolusinya. Kita kenang kejadian itu dengan istilah kolonialisme dan imperialisme. Fakta
3
Herold J. Berman, Law and Revolution, (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1983), hlm. 49-50. Sebagaimana dikutip dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 1995), Cet. II, hlm. 2.
4
hegemoni,4 penguasaan, dan penjajahan sistem hukum Eropa, Belanda, terhadap tata hukum masyarakat Pribumi. Paulus misalnya, mengatakan sebagian dari penduduk Pribumi masih tunduk, patuh, bersesembah pada hukum perdata Eropa. Efek nalar inlander5 akibat terjajah Eropa tidak hanya pada contents hukumnya saja. Lainnya, dalam tindakan hukum sehari-hari, masyarakat Pribumi bisa dianggap terus dalam selubung hukum perdata Eropa, Belanda. Tidak Eropa atau Belanda, Paulus justru menggunakan istilah ‘Barat’6; bidikannya lebih luas dibanding Eropa, Belanda. Perintis, pengkaji, arsitek, konseptor, dan think tank Belanda yang berpengaruh kuat menyusupkan semangat Eropa pada hukum-hukum masyarakat Pribumi terutama Christiaan Snouck Hurgronje. Lalu, C. van Vollenhoven dan ter Haar. Kedua terakhir mungkin tidak banyak diulas karena pilihan dan fokus penelitian pada pengaruh besar orang pertama. Untuk mengetahui lebih mendalam kiprahnya akan kita fokuskan pada masa kurun 1889-1936 waktu Christiaan Snouck Hurgronje menjadi penasehat Pemerintah Daerah Jajahan Hindia-Belanda. Model telaah yang memfokuskan pada durasi pentahunan pernah dipakai oleh Soetandyo dengan pemilahan durasi lima puluh tahunan, terhitung sejak 4
‘Hegemoni’ berasal dari bahasa Yunani; hegeishtai. Artinya, memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan lain. Gramsci (22 Januari 1891-27 April 1937) memakai untuk menganalisis kekuasaan yang menindas realitas sosial lain yang lebih lemah. Lihat Antonio Gramsci, http://jv.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci. Lihat pula, Antonio Gramsci, CatatanCatatan Politik, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2001). 5 Inlander sebutan untuk peranakan ‘Pribumi’ atau ‘Pribumi’. Maknanya, setara dengan pemulung dan anjing. Di berbagai tempat elit Belanda atau perusahaan Belanda di Hindia Belanda sering dijumpai papan peringatan berbunyi: “Pemulung, Anjing, dan Pribumi Dilarang Masuk!” 6 B.P. Paulus, S.H., Garis-Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm. 6. Paulus terjebak pada dikotomi istilah ‘Barat’ (West) dan ‘Timur’ (East) yang dipakainya secara tidak tepat. Lainnya, ada pula istilah ‘Timur Tengah’. Padahal, dilihat dari posisi peta wilayah Indonesia, wilayah ‘Timur Tengah’ tepatnya disebut ‘Barat Tengah’, ‘Barat Selatan’ atau ‘Barat’ saja. Sedangkan, negara-negara Eropa lain dan United State of Amerika—dengan pusat optik Indonesia—bisa berada dalam wilayah ‘Barat’, bahkan ‘Timur’ (bumi bulat). Jadi, istilah ‘Barat’, ‘Timur’, dan ‘Timur Tengah’ tidak selalu tepat dipakai.
5
1840-1990, yaitu, ada tiga kategorisasi besar: 1840-1890, 1890-1940, dan 19401990.7 Rentang tahun 1890-1940 merupakan periode sekitar masa kerja Christiaan Snouck Hurgronje (1889-1936). Jika memakai pembagian menurut Soetandyo maka kurun 1890-1940 menjadi saat-saat menarik dikaji. Cukup banyak data handal yang dipakai melakukan kajian hukum-hukum kolonial. Bahan menyusun hipotesis-hipotesis kemungkinan melakukan mentransfer sistem hukum dari suprasistem budaya Eropa ke suprasistem budaya lain. Misalnya, membentuk sistem budaya kolonial di Asia, terutama Pribumi.8 Pada babakan ini pula peran besar sang maestro hukum kolonial Christiaan Snouck Hurgronje menancapkan kekuatan hukumnya di Hindia Belanda. Dalam kurun inilah penelitian dilakukan secara mendalam terhadap karya hukum yang diterapkan dalam kebijkan Pemerintahan Hindia Belanda. Juga yang kini diwarisi era Indonesia merdeka. Sungguh demikian kuat dan akut pengaruh konsepsi kolonialistik hukum Hindia Belanda di Indonesia yang dikomando secara intelektual oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Sampai-sampai reformasi sudah bergulir lebih dari satu dekade di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kerak-kerak dan ampas kolonialistiknya masih dipakai dan belum bisa dibersihkan. Akibanya, Indonesia sebagai bangsa besar dan berdaulat mengalami anomi (tak berjati diri) dalam aspek hukum—terutama—anomi dalam urusan perdata. Hingga kini!
7 8
Soetandyo Wignjosoebroto, ibid., hlm. 3. Ibid., hlm.7.
6
B. PERUMUSAN MASALAH Dengan mendasarkan pada latar belakang masalah, muncul pertanyaanpertanyaan penting yang dapat dijadikan pokok-pokok perumusan masalah di dalam penelitian. Yakni: 1. Bagaimanakah arkeologi pengetahuan Christiaan Snouck Hurgronje yang kolonialistik? 2. Bagaimanakah konsepsi-konsepsi kolonialistik pemikiran keperdataan Hindia Belanda yang diarsiteki Christiaan Snouck Hurgronje? 3. Bagaimanakah
pengaruh
konsep
kolonialistik
Christiaan
Snouck
Hurgronje dalam kenyataan hukum di Indonesia? Perumusan masalah tersebut, coba ditelisik sampai akhir sebagai hasil penelitian. Bagaimana penelitian ini mencapai kesimpulan yang menjadi jawaban ilmiah atas masalah-masalah mendasar.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Setelah menentukan perumusan masalah dalam penelitian dengan pasti, pokok-pokok tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui arkeologi pengetahuan Christiaan Snouck Hurgronje yang kolonialistik. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji konsepsi kolonilistik pemikiran keperdataan Hindia-Belanda yang diarsiteki Christiaan Snouck Hurgronje.
7
3. Untuk mengetahui pengaruh konsep kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje dalam kenyataan hukum di Indonesia. Dalam berbagai tujuan, penelitian ini diharapkan memberi manfaat. Terutama sejarah dan kritik hukum kolonial yang berhasil menyusup ke hukum Indonesia. Khususnya pengaruh Christiaan Snouck Hurgronje. Yaitu: 1. Bermanfaat bagi pengembangan khazanah pengetahuan hukum, terutama aspek perdata di Indonesia dalam tinjauan kritis atas maisntream. 2. Sekaligus kritik atas kenyataan hukum perdata di Indonesia yang sangat kolonialistik dan berbau Belanda. 3. Selanjutnya, perlawanan atas sakralitas hukum-hukum perdata Indonesia. Semoga manfaat adanya.
D. TELAAH PUSTAKA9 Kajian dan penelitian terhadap Christiaan Snouck Hurgronje sudah begitu banyak. Tidak sedikit hasil-hasil penelitian dimaksud yang diakui tingkat keilmiahannya. Ada pula hasil penelitian terakreditasi (diakui kepakarannya) karena layak dipublikasikan dalam buku, jurnal, makalah seminar (nasional dan internasional), website, dan sebagainya. Para ilmuwan yang tertarik mengkaji Indonesia (Indonesianis) tidak bisa kiranya meninggalkan begitu saja tokoh
9
Untuk melakukan telaah pustaka, dalam penelitian kualitatif, dibutuhkan sumber-sumber pustaka yang membahas topik atau masalah spesifik. Sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian. Perlu lebih dari satu literatur pustaka agar penelitian semakin kuat. Telaah pustaka dilakukan untuk mengumpulkan teori, memberi komentar, kritik atas kelebihan dan kekurangan pustaka, membandingkan dengan teori atau pustaka lain yang terkait dengan penelitian yang sedang dijalankan.
8
Christiaan Snouck Hurgronje. Karena tokoh ini berpengaruh kuat dalam permikiran
Islam Indonesia.
Nasehat-nasehatnya
mendominasi
kebijakan
hukum—di Hindia-Belanda. Tidak sedikit dijumpai karya-karya peneliti yang melakukan riset terhadap Christiaan Snouck Hurgonje. Diantaranya: H. Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken.10 Membongkar intrik-intrik politik Pemerintah Daerah Jajahan Hindia Belanda yang aktor intelektualnya juga Christiaan Snouck Hurgronje. Trik-trik itu misalnya, melalui isu netral terhadap agama, asosiasi kebudayaan, gerakan-gerakan tarekat dan ketakutan terhadap Pan Islam. Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution11 karya Daud Rosyid meneliti peran-peran Christiaan Snouck Hurgronje plus Harun Nasution dalam merekayasa hadits-hadits nabi. Bagaimana sunnah dibajak untuk kepentingan tertentu. Terutama melegitimasi pikiran-pikiranya agar benar secara Islam. Padahal, dilakukan demi kepentingan mereka. Kemudian, Paul van’t Veer dengan De Atjeh-Oorlog-nya yang disunting dalam Bahasa Indonesia Perang Aceh12 mengulas perlawanan masyarakat Aceh terhadap kamar dagang Belanda atau VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) dan Pemerintah Daerah Jajahan Hindia Belanda tanpa henti. Van’t Veer mampu
10 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken, (Yogyakarta: LP3ES, 1985). 11 Daud Rosyid, Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2006). 12 Paul van’t Veer, De Atjeh-Oorlog, (Uitgeverij De Arbeiderspers / Wetenschappelijke Uitgeverij: 1979), terj. Grafiti Pers, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985).
9
membongkar buah-buah kegagalan yang dipetik Christiaan Snouck Hurgronje dalam perannya sebagai aktor intelektual bagi Hindia Belanda. P.SJ. van Koningsveld sangat layak disebut salah satu ilmuan yang membahas dengan hati-hati dan tajam karya-karya Christiaan Snouck Hurgronje. Koningsveld menghubungkan secara logis, diskiptif, dan analitik terhadap contents (isi) naskah data-data track record Chistiaan Snouck Hurgronje. Secara kritis, Koningsveld mengkritik E. Gobe dan. C. Adriaanse yang membela “matimatian” Christian Snouck Hurgronje. Koningsveld mengutarakan konsepi-konsepi Belanda lewat pemikiran hukum Christiaan Snouck Hurgronje. Lihatlah Snouck Hurgronje dan Islam.13 Ditambah berbagai artikel populer yang mengulas Christiaan Snouck Hurgronje. Seperti, Kejahatan Christian terhadap Islam dan Aceh,14 memberikan ulasan pikiran Christiaan Snouck Hurgronje bahwa al-Qur’an adalah karya Muhammad, pembersihan dalam Perang Aceh, devide at impera, dan gerak spionase Christiaan Snouck Hurgronje. Sedangkan Augustaracing menulis Snouck Hurgronjohuis15 yang memaparkan peletak dasar “Islam Politiek” atau “Inlandsch Politiek” yang tak lain ialah Christiaan Snouck Hurgronje. Sama halnya dengan Labbaik, yang bertitel Majalah Islami ini, mengusung naskah Snouck Hurgronje
13 P.SJ. van Koningsveld, Snouck Hurgronje en Islam: Acht artkelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk, terj. Redaksi Girimukti Pasaka, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, (Jakarta: PT Girimukti Pasaka, 1989). 14 Artikel tersebut disadur dari Dr. Daud Rasyid, MA, ”Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi” dan sumber lainnya oleh Indra Yogi. Lihat dalam www.hidayatullah.com atau http:www.scribd.com/doc/3988469/snouck-hurgronje?autodown=doc 15 Augustaraching, Snouck Hurgronjehuis, (ditulis pada 24 Mei 2008) lihat pada WordPress.com yang merupakan saduran dari buku Lathiful Khuluq yang berjudul Strategi Belanda Melumpuhkan Islam.
10
dan Pemisahan ‘Islam Politik’16 dalam terbitannya. Artikel Pemikiran Politik Islam Snouck Hurgronje17 yang menyertakan sumber rujukan utama pun masih berputar-putar pada masalah politik saja belum beranjak fokus ke persoalan hukum. Sebagaimana naskah Identitas Politik di Hindia Belanda18 yang juga berputar-putar pada tanam paksa, akulturasi, dan liberalisasi lewat politik. Dari sekian banyak literatur, peneliti susah menelusuri literatur spesifik membahas konsep-konsep hukum kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje. Apalagi, mengenai telaah hukum perdata kolonialistik: perdata positif maupun perdata Islam. Peneliti laiknya Lathiful Khuluq yang menulis Biografi C. Snouck Hurgronje19 saja banyak menyoroti aspek strategi politik Belanda. Karya-karya tersebut tadi dan banyak karya lain menelaah pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ditinjau dari perspektif politik atau politik Islam (siyasah). Oleh karena itu, penelitian ini semakin menemukan titik cerah. Bukan dalam posisi mengulang-ulang publikasi penelitian yang telah banyak beredar. Namun, lebih kurang, permulaan penelitian yang fokus utamanya pada pemikiran hukum perdata kolonialistik buatan Christiaan Snouck Hurgronje.
16 Tulisan ini juga saduran dari Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, dalam http://hidayatullah.com/modules.php?name=News&file=article&sid=1521 17 Lihat dalam WordPress.com. 18 J.H. Wenas, Identitas Politik di Hindia Belanda, dalam www.sarwono.net, edisi 3 Januari 2005, atau lihat dalam http://www.sarwono.net/artikel.php?id=50 19 Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam: Biografi C. Snouck Hurgronje, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
11
E. METODE PENELITIAN Rangsangan individu peneliti terhadap suatu masalah dalam penelitian merupakan titik tolak sebenarnya penelitian dilaksanakan. Bukan pada metode penelitian. Namun, metode penelitian adalah aspek yang tidak bisa ditinggal. Karena, metode penelitian menjadi elemen penjaga reliabilitas dan validitas hasil penelitian.20 Secara filosofis, metode penelitian juga bagian dari kajian filsafat ilmu. Yakni, ilmu pengetahuan yang mempelajari prosedur-prosedur kerja dalam rangka mencari kebenaran (filsafat epistemologi). Kualitas kebenaran yang dicari dari kerja-kerja penelitian juga ditentukan oleh prosedur kerjanya.21
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian Pada dasarnya jenis penelitian ini meneliti hukum doktrinal yang terfokus pada fakta kesejarahannya. Selanjutnya bisa disebut penelitian sejarah hukum doktrinal. Menurut Soetandyo, penelitian hukum doktrinal, meneliti hukum yang dikonsep dan dikembangkan berdasar doktrin yang dianut sang pengembang. Diantaranya doktrin klasik (hukum alam kaum filosofis), doktrin positifisme para yuris-legis, dan doktrin historis serta doktrin realisme-fungsionalisme yang tergolong dalam kaum realis. Di Indonesia metode doktrinal acap kali disebut metode penelitian normatif.22 Sedangkan Soerjono Soekanto mengkategorisasikan
20
Burhan Bungin (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 42. 21 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif , Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), Cet. II, hlm. 5. 22 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 147-148.
12
penelitian ini sebagi penelitian hukum normatif. Yang diantaranya terdapat fokus penelitian terhadap sejarah hukum. Yang demikian itu oleh Soetandyo Wignjosoebroto disebut penelitian hukum doktrinal. Dalam penelitian doktrinal ini bukan studi empiris. Melainkan, usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah; dogma atau doktrin, dalam hukum positif.23 Serta tidak menuntup kemungkinan penelitian terhadap hukum Islam yang dipositifikasi. Oleh karena itu, riset doktrinal ini termasuk kategori penelitian kualitatif. Data-data disajikan dalam bentuk verbal bukan data-data yang disusun dalam angka-angka. Penelitian kualitatif, dimaksudkan Strauss dan Corbin, jenis penelitian yang hasil temuannya tidak dengan statistik atau penjabaran angkaangka hitung.24 Sebagaimana Moleong,25 metode kualitatif merupakan penelitian dengan segala prosedur-prosedurnya yang hasilnya adalah data-data deskriptif. Kata-kata tertulis atau naskah verbal. Serta data-data lisan yang didapat dari orang-orang sebagai sumber data dan perilaku-perilaku yang dapat diamati. Penelitian sejarah hukum doktrinal ini juga tidak bisa dilepaskan dari sifatnya yang kualitatif. Karena penelitian kualitatif dalam sejarah hukum doktrinal ini juga mempunyai kelebihan khusus. Yakni, mengungkap dan memahami sesuatu atau fakta di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Atau mengungkap wawasan yang baru sedikit diketahui. Oleh karena
23
Bambang Sunggono, S.H., MS., Metodologi Penelitian Hukum, Cet. VII, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 41-42. 24 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 4. 25 Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelilian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 3.
13
itu, penelitian kualitatif dapat memperinci secara kompleks fenomena-fenomena yang sulit diungkap menggunakan metode kuantitatif.26 Kerena penelitian yang dilakukan adalah konsepsi atas kejadikan masa lalu atau sejarah pembentukan hukum perdata kolonialistik di era Hindia Belanda, diperlukan berbagai pendekatan. Yaitu, Pertama, pendekatan deskriptif. Suatu prosedur atau cara untuk mengurai pengetahuan fakta sejarah. Untuk ditafsirkan secara ilmiah. Kedua, pendekatan normatif. Tawaran dari disiplin pengetahuan berupa konsepsi, norma, kaidah, resep, formula, dan “kapsul”. Penggunanya diharapkan bisa mengurai dan memecahkan suatu masalah. Tujuannya, tidak kesulitan ketika mempergunakan hasil riset. Ketiga, pendekatan sejarah. Sejarah dipergunakan sebagai pendekatan untuk melihat, menelaah, dan meneliti suatu objek kajian. Evaluasi ‘secara historis’ itu harus, kata Gadamer. Bagi sejarahwan hukum, hukum yang dipahami secara benar dengan cara ini, dan ini selalu berarti bahwa dia harus menilai makna historisnya; karena dia akan selalu dibimbing latar depan historis dan prasangkanya sendiri, dia bisa ‘salah’ melakukan hal ini. Sebagai jembatan, menurut Gadamer, dengan mediasi antara masa lalu dan masa kini, yaitu aplikasi.27 Yakni, aplikasi nyata pengaruh hukum perdata Hindia Belanda sewaktu dijadikan hukum Indonesia merdeka. Untuk validitas fakta kesejarahan, ditekankan pada anatomi sejarah atau fakta-fata sejarah yang melingkupi. Fakta dilihat dalam ukuran konteksnya atau
26
Anselm Strauss & Juliet Corbin, ibid., hlm. 5. Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975), terj. Ahmad Sahidah, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xvii. 27
14
masa (lalu) terjadinya. Juga signifikansi sejarah atau fakta-fakta terkait sebagai benang penghubung konteks masa lalu dengan konteks masa sekarang.
b. Sumber Data Penelitian Agar penelitian lebih mendalam dan sesuai tujuan yang dimaksud dalam penelitian, dibutuhkan data-data spesifik yang dapat dipergunakan sebagai sumber dalam studi pemikiran tokoh ini. Ada dua macam sumber data; pertama, sumber data primer. Yaitu, sumber data utama dan paling pokok28 berupa buku-buku karya pemikiran tokoh yang diteliti, Christiaan Snouck Hurgronje. Diantaranya; Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (11 jilid); The Revolt in Arabia; Islam di Hindia Belanda; Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya; Perayaan Mekah; Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje (14 jilid); Tanah Gayo dan Penduduknya; Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II; Mohammedanism; dan Mekka in the Latter Part of the 19th Century. Dalam data primer, penulis meneliti naskah-naskah dari tokoh (objek penelitian). Jadi, data penelitian berdiri sendiri sebagai data tanpa ada ulasan dari peneliti lain. Sehingga posisi data primer merupakan data utama tanpa cita rasa sentuhan peneliti lain. Kedua, buku atau sumber data yang bersifat skunder atau data-data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul atau oleh pihak
28
Drs. Husein Umar, S.E., M.M., MBA, ibid., hlm. 43.
15
lain.29 Yakni, buku-buku atau naskah berisi ulasan atau analisis pemikiran suatu tokoh, Christiaan Snouck Hurgronje, yang dilakukan seorang atau beberapa penulis dan peneliti. Data-data skunder merupakan hasil riset seorang atau beberapa orang peneliti terhadap pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje yang terbukukan, artikel, atau dalam bentuk naskah lain. Dari penamaan jenis data (primer dan skunder), kesemuanya merupakan rangkaian data terkait, mengisi, memperkuat, maupun melemahkan. Tidak bisa dipisahkan dengan cara polarisasi dikotomis. Sebagaimana semangat Gadamer melepaskan diri dari cengkeraman metode tertentu yang justru merintangi atau menghambat kebenaran. Artinya, Gadamer melakukan penyelidikan kebenaran yang melampaui ruang kontrol metode ilmu pengetahuan di manapun ia ditemukan, dan menyelidiki legitimasinya. Ilmu pengetahuan dimitrakerjakan dengan mode-mode pengalaman di luar ilmu pengetahuan: filsafat, seni, dan sejarah. Mode pengalaman mencari sebuah kebenaran dengan proses dikomunikasikan, yang tidak bisa dibuktikan melalui sarana metodologis yang tepat untuk ilmu pengetahuan.30 Sedangkan peneliti menceburkan diri pada pusaran dialektika data-data yang tiada henti. Berusaha tidak terjebak pada istilah pertentangan antara primer dan skunder. Model ini—sebagaimana dipesankan Gadamer—sebagai upaya
29
Ibid., hlm. 43. Hans-Georg Gadamer, ibid. hlm. vi. Semacam itu dilakukan Gadamer bukan bersifat antimetodologis. Justru, untuk memenuhi aspirasi metodologi terdalam. Yakni, untuk mencapai kebenaran bukan dengan memehuhi syarat-syarat atau teknik-teknik tertentu untuk mencapainya yang dilakukan subjek. Melainkan, kebenaran muncul sebagai akibat dari sesuatu yang “terjadi tanpa kemauan kita dan sesuatu yang terjadi di luar tindakan kita”. 30
16
mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran yang tidak terlacak metodologi agar menjadi “bulat”, “utuh”. Meskipun sebelumnya mengikuti kewajiban prosedurprosedur ilmiah yang “begitu angkuh memaksa”; misalnya pemilahan dikotomis konsepsi primer dan skunder.
c. Metode Pengumpulan Data Keniscayaan suatu penelitian kualitatif, data-datanya dikumpulkan secara dokumentatif. Proses pengumpulan data dengan menelusuri jejak-jejak literatur kepustakaan. Mendapatkannya dengan cara library research (studi kepustakaan). Data-data dari library research berupa deskripsi kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.31 Pencarian data-data pustaka32 atau literatur ilmiah dengan mengamati, mendalami,
mencermati,
menelaah,
dan
mengidentifikasi
naskah-naskah
pengetahuan. Sehingga pada suatu kesimpulan benar dan diakui secara filosofis maupun empiris. Data-data itu seperti buku, majalah, surat kabar, dan dokumen penelitian bentuk lain termasuk buku digital (e-books) maupun artikel internet. Data kepustakaan disebut juga data nonmanusia. Oleh Lincoln dan Guba, data nonmanusia disebut records and documents. Termasuk records (rekaman atau catatan) adalah suatu pernyataan tertulis yang disiapkan oleh atau untuk seorang (suatu organisasi atau lembaga) yang dapat dipertanggungjawabkan
31 32
Dr. Lexy J. Moleong, M.A., ibid. Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, ibid., hlm. 296.
17
(publikasi resmi). Termasuk rencana anggaran, laporan pertanggungjawaban, rencana dan laporan kegiatan, hasil audit, dan keputusan atau kebijakan resmi.33 Sedangkan, document terdiri dari surat-surat, memo, nota, pidato-pidato, buku harian, foto, kliping berita koran, hasil penelitian, dan agenda kegiatan.34 Sartono Kartodirdjo membagi sumber dokumen menjadi lima macam. Pertama, otobiografi. Kedua, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, dan memoir. Ketiga, surat kabar. Keempat, dokumen-dokumen pemerintah. Kelima, cerita roman dan cerita rakyat.35 Otobiografi merupakan riwayat hidup Christiaan Snouck Hurgronje yang dapat dijumpai dalam terbitan biografi tentang dirinya. Sedangkan surat-surat pribadi yang rahasia bisa diungkap lewat buku nasehatnasehatnya. Surat kabar seperti koran atau web site yang mengulas dirinya dipakai pula di sini. Terbitan pemerintah adalah naskah resmi yang diterbitkan oleh pemerintah seperti teks hukum. Lalu, cerita rakyat yang masih hidup dari cerita mulut ke mulut ataupun buku kronik sejarah. Literatur-literatur tadi, oleh Strauss dan Corbin, disebut literatur teknis dan nonteknis. Literatur teknis; laporan tentang penelitian, karya tulis professional dengan disiplin ilmiah. Seperti makalah teoritik dan filosofis.36 Sedangkan literatur nonteknis meliputi surat, biografi, catatan harian, laporan, kaset video, surat kabar, dan sebagainya.37
33 Sanapiah Faisal, Penelitia Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Edisi I, (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), hlm. 81. 34 Ibid. 35 Sartono Kartodirdjo, Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), Cet. IV, hlm. 56. 36 Anselm Strauss & Juliet Corbin, ibid., hlm. 39. 37 Ibid., hlm. 47.
18
Kategorisasi dan definisi data-data, menurut para pakar metodologi terdapat sisi-sisi perbedaan. Namun, perbedaan definisi data literer dari para pakar mengrucut ke arah sama. Yakni, data-data yang menunjang penelitian kualitatif dengan library research.
d. Metode Analisis Data Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis serakan data-data yang terkumpul. Supaya data tercecer mudah dipahami peneliti dan enak dinikmati sebagai temuan yang dirasakan orang lain. Karena ini penelitian sejarah hukum doktrinal maka dipergunakanlah analisis bahasa hukum atau kebijakan atau nasehat dan arahan yang dioperasikan lewat kebijakan. Maka, di sini akan “diadakan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan lembaga hukum—seperti masalah perkawinan, waris, dan sebaginya—tertentu maupun peraturan perundang-undangan tertentu”. Analisis ini merupakan “aktivitas ilmiah untuk menyusun pentahapan perkembangan hukum atau perkembangan peraturan perundang-undangan”.38 Selain analisis terhadap sejarah hukum doktrinal tidak pula dipungkiri untuk menganalisis isi terhadap objek penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini juga menganalisis isi data atau analisis isi (contents analysis).39 Metode dalam
38
Bambang Sunggono, S.H., MS., Metodologi Penelitian Hukum, ibid., hlm. 98-99. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 1995), Cet. VI, hlm. 103. Contents analysis pertama kali digunakan oleh mahasiswa publisistik di Amerika Serikat yaitu M.M. Willey dalam The Country Newspaper, Astudy of Socialization and Newspaper Content, pada 1926. 39
19
penelitian data dan informasi melalui pengujian arsip dan dokumen.40 Persoalan lalu yang terjadi lama tidak dapat dianalisis tanpa ada data-data penunjang. Data yang dimaksud bisa dilacak setelah menjadi bahasa verbal. Misalnya, melalui jalur sekolah, lembaga kerja, dan institusi lain. Karena teknik contents analysis berhubungan dengan komunikasi. Terutama isi komunikasi. Tak terbatas hanya isi kounikasi, juga meliputi isi nonverbalnya. Seperti, karya seni, arsitektur, pakaian, alat rumah tangga, film, dan televisi.41 Maka, contents analysis merupakan analisis ilmiah terhadap isi pesan suatu komunikasi, demikian Barcus. Karenanya, secara teknis contents analysis mencakup tiga hal. Pertama, klasifikasi tanda-tanda yang dipakai komunikasi. Kedua, menggunakan kriteria dasar komunikasi. Dan ketiga, menggunakan teknis analisis tertentu untuk membuat prediksi. Getolnya pada contents analysis ini, George dan Kraucer berujar, contents analysis kualitatif lebih mampu menyajikan nuansa dan melukiskan prediksi penelitiannya.42 Dalam pada itu, metode yang digunakan dengan meneliti naskah-naskah kepustakaan; buku, jurnal, majalah, koran, dokumentasi digital, dan data-data berbentuk lain. Khususnya dalam kajian tokoh Christiaan Snouck Hurgronje, tentu dibutuhkan proses pengujian dan analisis kritis terhadap isi-isi (contents) warisan masa lampau pada era Hindia Belanda. Saat Perang Dunia ke-2 (PD II), contents analysis digunakan memperlajari propaganda musuh. Contents yang diteliti baik dari isi siaran radio maupun isi 40
Drs. Husein Umar, S.E., M.M., MBA, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 31. 41 J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), Cet. VI, hlm. 66-67. 42 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, ibid., hlm. 68-69.
20
harian.43 Maka, dalam meneliti naskah-nakah Christiaan Snouck Hurgronje, metode contents analysis menemukan signifikansinya. Karena Christiaan Snouck Hurgronje adalah agen intelejen Negeri Belanda yang ditugasi menjadi penasehat Pemerintahan Daerah Jajahan Hindia Belanda. Contents analysis akan mengorek isi nasehat-nasehat manis berbisa; strategi dan propagandanya. Karena pengetahuan berarti pula propaganda, dalam contents analysis, Barelson membagi antara isi dalam wujud komunikasi dan isi di balik wujud komunikasi atau isi laten. Kalau seorang peneliti semata-mata membatasi diri pada suatu analisa dari isi yang terwujud saja sedangkan tidak mempersoalkan tujuan dan arti dari isi komunikasi, maka relevansi teoritisnya dengan sendiri bersifat rendah (meskipun reliabilitynya tinggi). Mengikutsertakan isi laten (kebalikan dari isi yang terwujud) dari komunikasi berarti bahwa reliability dari isi laten adalah rendah tetapi relevansi teoritisnya tinggi.44
Penelitian model ini, dalam sisi empiris bisa dilihat efek yang ditimbulkan akibat isi pesan yang terwujud dalam bahasa verbalnya. Maka, isi laten akan terbukti dari efek berbeda dari “cover” isi pesannya. Kesimpulan-kesimpulan dari tambahan data-data empiris sebagai efek isi pesan yang terwujud dapat ditarik secara teoritis dan mempunyai arti benar sebagai hasil penelitian. Cara mengetahui isi laten atau isi sebenarnya di balik isi yang terwujud, metode contents analysis, sangat tajam sebagai pisau bedahnya. Gadamer pun telah mengingatkan secara keras bahwa orang-orang yang menjadi penulis atau melakukan kerja-kerja pengetahuan tidak bisa diakui legitimasinya sebagai satu43
Dalam dunia yang dikuasasi kapitalisme atau neoliberalisme ini. Contents analysis dipakai untuk tujuan komersil. Yakni, memformat isi pesan-pesan dalam promosi produk (barang, jasa, iklan politik, dll.) agar sesuai dengan cita rasa konsumen yang melihat, mendengar, dan merasakan. Sehingga, disiplin dari contents analysis juga dipakai untuk memanipulasi isi pesan agar sasaran terbidik dengan baik. Meskipun faktanya berbeda, bahkan kebalikan dari isi pesan. 44 J. Vredenbregt, ibid., hlm. 70.
21
satunya orang yang mempunyai standar makna paling valid atas karyanya. Gadamer mencontohkan dalam interpretasi karya seni.45 Dengan kerja contents analysis yang ganda. Yakni, analisis isi wujud dari pesan verbal yang dipropagandakan. Selanjutnya, analisis isi tersembunyi (isi laten) atau isi sebenarnya dari isi yang terwujud. Maka, sebagaimana Gadamer, peneliti punya hak sama untuk memahami makna pesan sumber data. Bahkan bisa jadi melebihi kemampuan memaknai yang dilakukan tokoh yang diteliti atas pikirannya sendiri. Karena peneliti sekarang berada pada konteks kekinian dan masih menjadi pelaku sejarah. Sedangkan, tokoh yang dikaji sudah di alam baka sehingga tidak melihat efeknya sekarang.
e. Penggunaan Teori Sebagai upaya agar penelitian ini bisa ‘menyetubuh’ dan ‘sealur’ dengan maksud-maksud pemikiran tokoh yang sedang diteliti maka teori kolonialisme peneliti pergunakan. Maksudnya, pada kerangka teori kolonialisme peneliti berusaha seolah ‘sebagai’ pihak kolonial yang sedang menjalankan aksi imperialisme di suatu wilayah atau kawasan. Artinya, peneliti perlu mengetahui setting masyarakat Eropa, terutama Belanda, pada era-era sebelum dan ketika kolonialisme dan imperilisme bergerak ke bumi Nusantara. Karena tanpa cara ini maka peneliti akan terjebak pada talaah terhadap etik atau ide-ide yang terlontarkan oleh sumber informasi. Padahal, pada masa-masa itu pengetahuan atau pemikiran yang terpublikasikan merupakan isu yang dihembuskan. Bukan
45
Hans-Georg Gadamer, ibid., hlm. xv.
22
fakta itu sendiri atau fakta yang sebenarnya. Oknum-oknum yang menyatakan diri netral atas nama objektifisme malah akan terkecoh dengan sumber-sumber pemikiran dari Barat karena begitu menarik. Setidaknya karena tidak mudah dijumpai sumber pengetahuan pembanding yang berasal dari anak bangsa negeri maritim ini. Mengikuti kerangka kolonialisme kita posisikan penduduk Nusantara yang dicengkeram imperialisme Belanda diangkat sebagai objek. Objek di sini bisa dibilang sebagai pihak yang lemah atau perlu dilemahkan dengan berbagai cara. Misalnya, dilemahkan menggunakan perangkat hukum. Agar sasaran yang sebenarnya yang menguntungkan bisa diambil dengan sangat leluasa. Bila perlu objek dikuasai untuk waktu yang tak terbatas. Kolonialisme (colonialism) merupakan
babakan
baru
dari
individualisme.
Muncul
abad
ke-15.
Individualisme, ditandai ditemukannya mesin cetak dan disusul reformasi Kristen. Pada akhir abad ke-16, Descartes (1596-1650)46 menawarkan revolusi pemikiran yang benar-benar luar biasa. Itulah biji pertama modernisme.47 Yakni, bahwa segala sesuatu itu bisa diterima asalkan jelas dan rasio bisa menerimanya. Model ini dikenal dengan filsafat rasionalisme.48 Sedangkan kerangka postkolonialisme merupakan cara agar peneliti, sebagai yang merupakan bagian bangsa yang pernah dalam bidikan kolonialisme 46
Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. Lihat pula F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 37-38. 47 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…, ibid., hlm. 2-3. F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 72. 48 Selain Descartes sebagai filosof modern, ada Baruch de Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), serta Blaise Pascal (1623-1662), yang terkategori filsafat rasionalisme.
23
dan imperilisme Belanda, menjadikan diri sebagai subjek. Yakni, subjek yang meneliti tentang kolonialisme Belanda. Terutama penelitian terhadap pemikiran hukum yang berasal dari Belanda atau tokoh-tokoh imperialis. Maka di sini ada asumsi awal atau kecurigaan terhadap pemikiran hukum produk kolonial. Postkolonialisme, teori ini merupakan akumulasi konsep-konsep, cara-cara untuk memahami, dan tidak meninggalkan praktik untuk menjelaskan objek. Oleh karenanya, dalam postkolonialisme kurang tepat jika kata ”post” sekadar diartikan masa “setelah” atau “sesudah”. Bagi Stephen Slemon, postkolonialisme tidak sekadar menunjuk pada suatu negara. Melainkan kondisi-kondisi yang ditinggalkan (postcolonial condition).49 Maka, postkolonialisme bukanlah neokolonialisme ataupun antikolonialisme.50 Tokoh-tokohnya seperti; Edward Said, Jacquest Lacan, Frantz Fanon, Gayatri Chakravorty Spivak, D. Chakrabarty, Homi K. Bhabha, Slavoj Zizek, Sara Suleri, Bill Ashcroft, Helen Tiffin, Ania Loomba, Leela Gandhi, Gauri Viswanathan, serta Michel Foucault. Kecurigaan-kecurigaan terhadap pemikiran produk Eropa atau kolonial Belanda tidak mungkin bisa dilenyapkan. Karena objek penelitian (pemikiran hukum Belanda) tidaklah objektif. Mengapa? Objek penelitian sesungguhnya merupakan subjek yang memiliki kepentingannya sendiri (baca, dalam kerangka kolonialisme). Sehingga objek penelitian adalah sesuatu yang sangat subjektif. Sama halnya dengan kerangka postkolonialisme akan menjadi sangat subjektif
49
Stephen Slemon, Post-colonial Critical Theories, dalam Gregory Castle (ed.), Postcolonial Discourses: An Anthology, (Massachusetts: Blackwell, 2001), hlm. 102. 50 Leela Gandhi, Postcolonial Theory A Critical Introduction, (Allen & Unwin, 1998) terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah, Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, hlm. 90-91.
24
ketika otonom memosisikan segala hal yang imperialis dan kolonialisme sebagai objek semata. Maka dengan menggunakan kedua kerangka teori secara sekaligus ini, kolonialisme dan postkolonialisme, dapat menjadi jembatan dialogis antara subjek satu
(alur
pemikiran
kolonialisme)
dan
subjek
lain
(alur
pemikiran
postkolonialisme). Jembatan dialogis yang akan memosisikan kolonialisme sebagai kolonialisme yang lebih tinggi dan yang berusaha menguasai dan memperdayai. Juga memosisikan postkolonialisme sebagai kritik tajam yang akan mengorek kebiadaban kolonilisme. Terutama, dalam pemikiran hukum perdata kolonialistiknya Christiaan Snouck Hurgronje. Sehingga kedua kerangka teoritik itu peneliti tempatkan pada porsinya masing-masing sebagai analisis fakta-fakta. Di mana melalui analisis fakta-fakta penelitian ini dapat ditarik suatu benang merah penghubung yang dialogis atau kesimpulan yang sangat tegas dan yang sama sekali berbeda di antara fakta-fakta dalam analisis penelitian.
f. Pemusatan Objek Penelitian Diantara pemikiran Christaan Snouck Hurgronje yang perlu dijadikan objek penelitian dalam disiplin hukum perdata Islam adalah:
1. Mendukung Teori Resepsi (Theorie Reseptie) Theorie Reseptie berkaitan dengan kerangka awal pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje untuk mepertentangkan hukum adat dan hukum Islam. Pada
25
teori ini dia mendukung hukum adat dan kaum adat untuk melenyapkan pengaruh Islam dan hukum Islam di Hindia Belanda. Pada teori resepsi ini sangat penting untuk acuan membaca arah pemikirannya dalam urusan perdata penduduk di daerah taklukan Hindia Belanda.
2. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan Kebanyakan peneliti (untuk tidak mengatakan semuanya) tersipu meneliti langkah-langkah politik kolonial Christiaan Snouck Hurgronje sebagai peletak dasar ‘politik Islam’ di Hindia Belanda. Luput dari para peneliti yang telah ada adalah penelitian terhadap aspek urusan rumah tangga Pribumi, khususnya pernikahan, yang sebenarnya sangat serius dibahas Christiaan Snouck Hurgronje. Karena urusan rumah tangga (keperdataan) Pribumi justru aspek paling menentukan dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Maka, Christiaan Snouck Hurgronje mengambil langkah strategis, yakni, pengawasan terhadap pernikahan dengan pencatatan.
3. Pengangkatan Penghulu untuk Kepentingan Kolonial Penghulu yang sah perlu diangkat oleh pemerintah koloni Hindia Belanda sebagai pejabat. Tindakan ini untuk mengurangi sekaligus melenyapkan pengaruh penghulu (yang telah ada) di masjid-masjid. Jika perlu, penghulu masjid juga dianggat sebagai pejabat di bawah bupati dan di bawah kontrol pemerintah pusat Hindia Belanda. Langkah ini diambil agar penghulu di bawah kendali kolonial
26
dan bekerja berdasarkan kepentingan kolonial. Meskipun penghulu-penghulu (modern) kolonial tidak memiliki kualitas yang mumpuni sebagai tokoh agama.
4. Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam Salah satu upaya untuk membatasi (dan menghilangkan) pengaruh Islam adalah berusaha sedapat mungkin untuk mencegah penerapan hukum waris Islam. Maksud demikian dilaksanakan dengan cara membenturkan sistem waris Islam dengan sistem waris adat. Di mana hukum waris Islam harus tunduk di bawah hukum waris adat. Misalnya, di masyarakat Minangkabau yang mengikuti adat waris matriarkat (jalur ibu/ perempuan) sedangkan hukum waris Islam bersifat patriarkat. Kolonialisme menghendaki kekalahan Islam. Maka, dibuatlah mitos pengetahuan bahwa hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) tidak mungkin bisa berdamai. Sehingga jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini—versi kolonial—harus mengikuti hukum waris adat dan meninggalkan hukum waris Islam.
5. Asas Monogami Monogami merupakan bentuk pernikahan yang sangat diinginkan kolonialisme. Karena monogami akan semakin mendekatkan penduduk Nusantara kepada budaya modern Eropa. Dengan alasan yang dirasionalisasi bahwa monogamilah jenis pernikahan yang sehat sekaligus akan membentuk keluarga yang baik. Sedangkan poligami yang tidak tabu terjadi pada penduduk Pribumi akan dihilangkan karena menghambat proses modernisasi dan pem-Barat-an
27
penduduk jajahan, khususnya di tanah Jawa. Adanya Asas Monogami dalam pernikahan di Indonesia menandakan bahwa kolonialisme masih hidup.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Supaya rangkaian bahasan dalam penelitian ini dapat dicerna dengan mudah dan runtut, penyusunannya mengetengahkan penulisan sistematis. Yaitu: Bab I Pendahuluan. Di dalam Bab Pendahuluan ini terdiri dari rangkaian; Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II
Perangkat Bacaan Kolonialisme dan Postkolonialisme untuk
Urusan yang terkait Kawasan Koloni. Kolonialisme yang Angkuh; Merkantilisme ke Liberalisme; Imperialisme; Neokolonialisme. Postkolonialisme yang Kukuh; Fungsi dan Manfaat Postkolonialisme; Bidikan Postkolonialisme; Batasan Postkolonialisme; Relevansi Postkolonialisme di Nusantara. Bab III Dinas Mata-Mata dan Pemikiran Perdata Kolonial Christiaan Snouck Hurgronje. Arkeologi Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje; Christiaan Snouck Hurgronje dalam Bacaan Situasi Keluarga; Pendidikan, Pembentukan Pemikiran, dan Karya Tulis Christiaan Snouck Hurgronje; Petualangan, Penelitian, dan Tugas Awal Penyamaran Christiaan Snouck Hurgronje.
28
Pendudukan Belanda di Nusantara dan Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje; Masyarakat Nusantara dalam Pendudukan Belanda; Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje untuk Pemerintah Hindia Belanda dan Penyamaran Berikutnya. Konsepsi-Konsepsi Kolonialistik dari Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda; Membela Teori Resepsi (Theorie Reseptie); Pengawasan Penyelenggaraan Pernikahan; Pengangkatan Penghulu sebagai Pegawai Pemerintah; Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam; Asas Monogami dalam Pernikahan. Bab IV Perangkap Kolonialistik Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda. Christiaan
Snouck
Hurgronje
Sang
Pemikir
Modernis-Liberalis-
Kolonialis; Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden; Evolusi SosialKebudayaan: Teori Pemunahan Ras; Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme: Suatu Proyek Penghancuran. Operasi dari Rencana Licik Christiaan Snouck Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda; Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam; Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan; Pengangkatan Penghulu sebagai Agen untuk Urusan Keluarga Koloni; Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai !; Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial. Pengaruh Konsepsi Kolonialistik Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje di Indonesia; Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia; Gagal
29
Menghasilkan Sistem Hukum yang Merdeka; Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri). Bab V Penutup. Sebagai capaian simpul dari hasil penelitian yang benar, berkelanjutan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, pada bab penutup ini disusun dengan; Kesimpulan, Saran-Saran, dan Penutup. Demikian, segala rangkaian ini sebagai langkah awalan untuk melakukan kajian ilmiah lebih mendalam tentang “Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek51 Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda”.
51
‘Arsitek’ merupakan penunjukan kepada pakar rancang bangun. Para ahli yang mengkonsep sesuatu agar lebih rapi, halus, bernuansa seni, kuat, dan akurat. Dalam penelitian ini, redaksi ‘arsitek’ dipilih untuk mewakili kondisi tokoh Christiaan Snouck Hurgronje yang mumpuni sebagai arsitektur. Yakni, arsitek yang mengkonsep pengetahuannya sebagai cara-cara menguasai masyarakat di wilayah Pemerintahan Daerah Jajahan Hindia Belanda. Peran sebagai pemikir tadi bisa juga disebut sebagai ‘aktor intelektual’, yang bertugas membuat konsep-konsep cara menjajah dan menguasai. Lebih tepat lagi, tugas penting sebagai tim ahli atau aktor intelektual dalam suatu penguasaan atau penjajahan disebut sebagai ‘think thank’. Yaitu, garda utama yang dengan kecanggihan pikiran-pikirannya mendesain konsepi-konsepi, strategi-strategi, fatwa-fatwa kebijakan, dlsb. untuk target tertentu. Misalnya, menjajah, menguasai, menghegemoni fisik atau nonfisik, dan memerintah dengan remot control otak melalui pengetahuan-pengetahuan, semisal kepada Daerah Jajahan Hindia Belanda. Namun, untuk kepentingan penelitian dan memperhalus kata, digunakanlah redaksi ‘arsitek’ untuk maksud tim ahli, aktor intelektual, desainer, think thank, dst. Kiranya memang lebih elegan dan enak kalau pilihan itu jatuh pada redasksi kata ‘arsitek’ dengan maksud-maksud yang sudah dijabarkan tadi.
30
BAB II PERANGKAT BACAAN KOLONIALISME DAN POSTKOLONIALISME UNTUK URUSAN YANG TERKAIT KAWASAN KOLONI
A. KOLONIALISME YANG ANGKUH “Je pense donc je suis” “Cogito ergo sum” Rene Descartes1
Kolonialisme (colonialism) merupakan babakan baru dari individualisme. Muncul abad ke-15. Individualisme, ditandai ditemukannya mesin cetak dan disusul reformasi Kristen. Pada akhir abad ke-16, Descartes (1596-1650)2 menawarkan revolusi pemikiran yang benar-benar luar biasa. Itulah biji pertama modernisme.3 Yakni, bahwa segala sesuatu itu bisa diterima asalkan jelas dan 1
Rene Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern. Yang menggumuli kesadaran dalam bentuk filsafat. Metode kesangsian (le doute methodique) digunakannya untuk berpikir; kepastian. Pemikirannya tentang je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) acap dijadikan jargon akademik. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 37-38. 2 Meskipun para metodolog filosofis besar memosisikan Descartes sebagai peletak tonggak revolusi pemikiran. Perlu ditengok masa-masa sebelum dia, seperti tokoh Michel de Montaigne (1533-1592). Montaigne ini moralis, bukan ilmuwan atau matematikawan. Sebagai ahli waris skeptis kuno, Montaigne meragukan indera dan akal budi. Tekanan pikirannya pada alam yang menjadi karakter melekat dalam diri kita. Pandangannya disokong para pemikir kuno. Tokoh skeptis satu ini pernah mengajar seni kuno yang mengembangkan suatu kehidupan filosofis. Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. 3 ’Modern’ muasalnya ’moderna’ (Latin). Artinya, ‘sekarang’, ‘baru’, atau ‘saat ini’, atau jetztzeit (Jerman). Manusia dikatakan modern ketika sadar waktu kekinian. Cirinya; subjektif, kritik, dan kemajuan. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…, ibid., hlm. 2-3. Modernisasi --secara simplistis—sering disebut Westernisasi (proses pem-Barat-an). F. Budi Hardiman, Melampaui
31
rasio bisa menerimanya. Model ini dikenal dengan filsafat rasionalisme.4 Pengaruh rasionalisme di bidang agama, pertengahan abad ke-17 (1655), Eropa dibagi berdasar agama lewat perjanjian Westphalia5. Yakni, Jerman representasi Protestan sedangkan Perancis dan Italia kubu Katolik. Inilah benih negara. Sebagai koreksi atas teori bahwa negara mulai ada diabad ke-19. Di bidang industri, ditandai keberhasilan teknologi membuka terusan Suez. Kapal Eropa bisa keliling dunia lewat Suez dan terbukti bahwa bumi bulat, tidak flat6 (datar). Dari situlah kapitalisme merkantilis dimulai; ketika kapal-kapal Eropa melayari seluruh penjuru dunia.7 Babak selanjutnya dari edisi pelayaran samudera adalah kolonialisme, imperialisme, dan neokolonialisme. Kolonialisme (colonialism). Kata-kata ini berhasil membekas trauma bagi penduduk atau bangsa yang pernah mengalami fase tragis dan mengenaskan di dalam belenggu. Tidak merdeka. Kurang utuh sebagai manusia-manusia bebas dalam
suatu
ikatan
kewilayahan.
Terkungkung
kebebasan
berekspresi,
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 72. 4 Selain Descartes sebagai filosof modern, ada Baruch de Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), serta Blaise Pascal (1623-1662), yang terkategori filsafat rasionalisme. 5 Perjanjian Westphalia (The Peace of Westphalia) disebut juga perjanjian Munster dan Osnabruck. Bertujuan mengakhiri tiga puluh tahun perang Katholik vs Protestan di Eropa. Lalu, disepakati resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swiss. Westphalia ditandatangani 24 Oktober 1948 oleh Kaisar Romawi Suci Ferdinand III, pangeran Jerman lainnya, dan perwakilan Belanda, Perancis, Swedia. Lihat, Muhammad Kholid Syeirazi, Reformasi Protestan 1517 dan Benih-Benih Nasionalisme Modern, dalam http://www.jarkom.biz/cara-login/224kholid-syeirazi-reformasi-protestan-1517.html (Last Updated Friday, 19 December 2008 15:07). 6 “Flat Earther” julukan untuk yang nekad dan acuh tak acuh mendukung bumi berbentuk flat, datar. Padahal, Aristoteles (330 SM) membuktikan bumi bulat, Eratosthenes (240 SM) dari Cyrene dengan tepat menghitung lingkar bumi, dan Bede (abad 8) penelitiannya menerima bumi bulat. Lihat, Peyakin Bumi Bulat dalam http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/ 2008/11/081113_bumibulat.shtml (Diperbaharui pada: 13 November, 2008). 7 Emmanuel Subangun, Struktur Ekonomi Kolonial dan Kapitalisme Indonesia Kini, dalam Jurnal Pitutur, Meracik Wacana, Melacak Indonesia, (Yogyakarta: Pitutur, 2001), hlm. 27-28.
32
mengembangkan segenap potensi, mandiri dan berdaulat sebagai manusia yang apa adanya. Demikian kuat pengaruh kata-kata ‘kolonialisme’, oleh Sulchan, redaksi itu
diurai
menjadi
empat;
koloni,
kolonial,
kolonisasi,
dan
kolonisir
(mengolonisir). ‘Koloni’, kata pertama ini dimaksudkan untuk menandai suatu wilayah atau tanah (berarti pula negara) jajahan. ‘Kolonial’ merupakan uraian atas sifat-sifat sang pelaku di daerah koloni atau watak-watak penjajah. Sedangkan ‘kolonisasi’ diartikan (poses) pemindahan penduduk ke tanah seberang. Terakhir, ‘kolonisir’ atau ‘mengolonisir’, kegiatan untuk menguasai dan memperdaya, dalam bahasa Sulchan; menjajah.8 Lebih sederhana, Candra, dalam dua istilahnya; colonial dan colony. Colonial tetap sebagai kolonial, tidak diperjelas. Lalu, colony dijelaskan sebagai jajahan.9 Jajahan atau koloni, dalam bahasan Candra, bisa disebut dalam istilah Cina zhimindi atau qunti. Isme yang merangkai kata kolonial (kolonial-isme) dapat pula disebut zhimin zhuyi.10 Kata-kata yang begitu penuh bau penjajah dan penjajahan itu mengalami pula adopsi ke bahasa Indonesia. Istilah-istilah Indonesianya mirip dengan berbagai kata dari disiplin Bahasa Belanda. Seperti, koloni (kolonie, Belanda), berkoloni (‘n kolonie vormen/ hebben; z vestige), kolonial (koloniaal), kolonialisme (kolonialisme), kolonialis/tis (kolonialist),
8
Drs. Sulchan Yasyin (ed.), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1997), hlm. 295. 9 Ar. Adi Candra-Pius Abdillah, Kamus 1.500.000; Inggris-Indonesia Indonesia Inggris, (Surabaya: Arkola, 1998), hlm. 56. 10 Surayin, Kamus Umum & Homonim Cina-Indonesia Indonesia-Cina, (Bandung: Yrama Widya, 2003), hlm. 426.
33
kolonisasi (kolonisatie), kolonisator (kolonisator), sedangkan kolonisir atau mengkolonisir (koloniseren).11 Setelah diurai dalam ragam jenis kosa kata dan bahasa, ‘kolonialisme’ sebagai kata belum mampu mewadahi maksud nyatanya. Masih terpatah-patah dalam arti-arti kecil. Oleh karena itu, dalam rangkaian istilah, ‘kolonialisme’ merupakan “pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut.”12 Pengembangan kekuasaan dilakukan dengan meyakinkan. Dipropagandakan bahwa moralitas pelaku koloni lebih baik, lebih tinggi, dan lebih hebat dari yang dikoloni. Tugas terakhir ini diserahkan kepada tokoh-tokoh moralis atau tokoh sosial; agamawan, budayawan, pelajar atau aktivis intelektual, dan akademisi. Loomba menelusuri kolonialisme dari Oxford English Dictionary (OED) berasal dari “colonia” bahasa Romawi, artinya “tanah pertanian” atau “pemukiman”. Dalam sejarahnya, kata itu mengacu pada kejadian orang-orang Romawi yang bermukin di negeri lain namun masih mempertahankan kewarganegaraannya sebagai bangsa Romawi.13 Pemukiman berpindah itu akan membentuk komunitas ”baru”. Mungkin tidak selalu baru dengan segala kebaruannya. Dari pemaknaan istilah ini, kolonialisme tidak bisa dianggap sebagai proses identis dalam dunia yang berbeda. Di mana pun bisa terjadi 11
A. Teeuw, Kamus Indonesia Belanda Indonesisch-Nederlands Woordenboek, (Jakarta: KITLV-LIPI & Gramedia, 1994), hlm. 353. 12 Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme (terakhir diubah pada 23:00, 2 Februari 2009). 13 Ania Loomba, Colonialism / Postcolonialisme, (New York: Routledge, 2000), terj. Hartono Hadikusumo, Kolonialisme / Pascakolonialisme, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 1.
34
hubungan paling kompleks dari pembentukan komunitas ”baru” itu. Hubungan di dalamnya tidak selalu mengakibatkan trauma di antara kaum pendatang dan yang didatangi. Relasi yang dibangun tidak selalu menjadi parasit salah satunya atau kedua-duanya. Tidak menutup juga pertalian yang bersifat mutualisme. Kamus Oxford lain menyebutkan colonial sebagai person living in a colony14 (orang yang berada / hidup disebuah koloni / wilayah lain). Juga disebut sebagai inhabitant of colony15 (penduduk / berada / tinggal di koloni). Penjelasan Lombaa atas kolonialisme tadi, secara terminologi, disesuaikan ketika kata-kata itu muncul dan berbagai kemungkinannya. Sebagai proses pengetahuan yang terjadi di lapangan, kolonialisme bisa menjadi sangat spesifik maknanya. Terkait dengan kecenderungan kuat yang mempengaruhi kehidupan manusianya juga. Maka dari serangkaian kata tadi, penjelasan makna, dan penjabaran pengistilahan, kata kolonialisme dapat dikerucutkan dalam penjelasan lebih terperinci dan berkepentingan tanpa hendak meniadakan kemungkinan lain. Nampaknya, Nohlen lah yang dapat menjelaskan ‘kolonialisme’ secara lebih teliti namun terlalu subjektif sebagai orang yang berada di luar.16 Dalam pembahasannya, Nohlen berusaha menyesuaikan dengan kondisi riil di negara koloni dan para pelaku yang berasal dari Eropa. Untuk menuju kedekatan realitas dipergunakan penjelasan kesejarahan atas kolonialisme. Bagi Nohlen, ‘koloni’ berarti daerah yang bergantung dari luar. Kolonialisme yang terjadi dihampir semua negara-negara di dunia merupakan pertanda bahwa Eropa sedang 14
Oxford University, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press, 2004), hlm. 78. 15 Julia Swannell (ed.), The Little Oxford Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1987), hlm. 102. 16 Kerancuan pemaknaan dan penjabaran istilah akan diurai pada bahasan postkolonialisme.
35
melakukan proses memperluas wilayah kekuasaannya di negara-negara luar Eropa.17 Tidak hanya oleh pelaku ekonomi atau para pemodal, kolonialisme juga dilakukan kelompok kepercayaan.18 Bisa pula agamawan. Mereka melakukan ekspansi dan menyebar ke dearah-daerah ’tanpa nama’ pada asumsi waktu itu. Ketika sampai pada daerah-dearah tanpa nama itu mereka kemudian memberikan penamaan. Peristiwa itu disebut dengan penemuan atau menemukan. Peristiwa mendapatkan sesuatu (tempat) yang sebelumnya ‘tidak ada’. Atau tempat itu ada namun sang penemu menganggap dirinya yang kali pertama melihat dan menemukannya sehingga berhak menamai lokasi yang dimaksud. Kolonialisme, sejak semula untuk kepentingan ekonomi atau dagang. Demi kepentingan itu lalu banyak dibuat pangkalan-pangkalan dagang sekaligus menguasai pangkalan yang sudah ada di suatu lokasi. Sering kali perebutan pangkalan berlangsung sengit jika letaknya pada zona-zona strategis bagi perdagangan dunia. Zona strategis kebanyakan terdapat di daerah pesisir. Dekat perairan laut karena mereka melakukan pendaratan di tepian pantai sekaligus memulai aktivitas ekonominya di sana. Paling tidak, diciptakan dulu komunitas strategis yang kokoh di pesisir untuk bertahan hidup. Tidak langsung masuk ke daerah pedalaman. Meskipun tidak selalu bermotif ekonomi, fokus utama kegiatan kolonialisme tak lain demi membesarkan kekayaan negara pengkoloni. 17
Dieter Nohlen (ed.), Kamus Dunia Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 342. Konial Portugis di Nusantara diwakili oleh kelompok Kristen Katholik. Dibungkus selubung penyebaran agama Kristen Katholik Portugis menguasi basis rakyat. Sedangkan Belanda membawa agamawannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Protestan untuk mendukung kekuasaan kolonial. 18
36
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber kekayaan asli daerah koloni dilakukan pengkoloni tanpa malu. Keuntungan sebesar-besarnya diperoleh negara-negara pengkoloni. Bukan hanya cara-cara halus yang dipakai, demi memuaskan tujuan kolonialisme dipergunakan pula cara kasar. Merampas kekayaan dalam bumi, seperti logam-logam mulia, dan mengeksploitasinya. Kegiatan ekonomi kolonial Eropa yang begitu jauh dari nilai kemanusiaan itu didasari semangat pengetahuan ekonomi merkantilisme.19 Itu diungkapkan para kritikus merkantilisme yang mengindentikkan kegitan ekonomi ini dengan cara penumpukan emas dan perak sebanyak-banyaknya. Akibatnya, neraca yang menguntungkan dari ekspor yang mengatasi impor. Keuntungannya pada kondisikondisi ekonomi yang semakin kondusif di negara-negara Eropa Barat. Untuk mencapainya harus ada pengalihan kelas reaksioner ke kelas progresif. Yaitu, mengerahkan energi-energi baru, acap kali membongkar tatanan lama, pahampaham keagamaan juga bisa menghambat kemajuan material. Kerangka sosial politik pun harus dikondisikan agar menjadi wadah yang memungkinkan bagi pertumbuhan ekonomi kumulatif. Kondisi ini sangat menguntungkan. Investasi swasta akan meningkat pesat ketika berhasil menciptakan modal sosial dasar. Ironisnya, sumbangan negara terhadap ekonomi malah menciptakan ideologi
19 Ajaran merkantilisme populer di sekolah-sekolah Eropa pada periode modern (abad ke-16 sampai ke-18). Yaitu, tentang peran negara dalam pengaturan ekonomi. Namun, intervensi negara di bidang ekonomi mendesak ke luarnya teori kapitalisme. Adam Smith dalam The Wealth of Nations membuat teori baru itu. Merkantilisme menghilang pada abad ke-18. http://id.wikipedia. org/wiki/Merkantilisme (terakhir diubah pada 05:37, 26 Desember 2008). Merkantilisme berkembang di Inggris sebagai kumpulan kebijakan yang mengutamakan perdagangan dan perniagaan (ekspor) dan meminimalkan impor untuk menumpuk kekayaan dan kekuatan. Christopher Pass & Bryan Lowes, Dictionary of Economics, terj. Drs. Tumpal Rumapea, M.A. & Drs. Posman Haloho, M.A., Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi II, (Jakarta: Erlangga, 1998), hlm. 407.
37
laissez-faire.20 Akmumulasi modal tetap merupakan prinsip dasar kapitalisme. Pergeseran prakarsa publik ke prakarsa perseorangan menjadi awal pergeseran kapitalisme ke periode klasik.21 Sedangkan,
pendukung
kolonialisme
dan
merkantilisme22
berujar
sesungguhnya hukum-hukum kolonial memberi keuntungan lebih bagi negaranegara koloni. Keutungan yang diberikan berupa perkembangan infastruktur ekonomi dan politik. Perangkat awal supaya daerah-daerah koloni menuju keadaan lebih modern seperti dengan cara menyebarkan ajaran demokrasi di wilayah
koloni.
Untuk
membenarkan
klaim
pendapat
kolonial,
diberi
‘pembuktian’ contoh negara sukses akibat dikoloni. Seperti, Singapura, Selandia Baru, Australia, Hong Kong, dan Amerika Serikat. Semangat merkantilisme pada awal ekspansinya berhasil merampas logam-logam mulia laiknya di Amerika Latin.23 Bentuk-bentuk perdagangan tidak sehat dikuasai oleh Inggris, dilakukan dengan Afrika dan Amerika. Budak-budak Afrika dibeli dengan harga sangat murah lalu dijual lagi untuk dijadikan tenaga 20
Laissez-faire istilah sains alam dari [lɛse fɛr]. Merupakan frase dari tradisi Bahasa Perancis, arti harfiahnya; “biarkan berbuat”. Maksudnya, "biarkan terjadi" tentang sesuatu hal. Pada abad ke-18 digunakan untuk menandai ekonomi pasar bebas yang digalang Eropa. Itulah itu digunakan kali pertama para psiokrat untuk melawan peran serta negara dalam perdagangan. Kadang-kadang laisses-faire disebut laisser faire, laisser passer, atau membiarkan orang berbuat sesuka hati. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet. II, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 512. 21 M. Dawan Raharjo (ed.), Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 20-22. 22 Para pendukung dan pengikut merkantilisme diantaranya; Raja Karel V (Spanyol), Ratu Elizabeth (Inggris), Prinsmaurits (Belanda), dan Louis XIV (Prancis). Dengan begitu, mereka juga mendukung kolonialisme. Karena merkantilisme termaktub di peraturan negara dalam bentuk proteksionime dan politik kolonial. Tujuannya, neraca perdagangan yang menguntungkan pengikut merkantilisme. 23 Sebagaimana Nusantara, Amerika Latin juga terkenal dengan kekayaan alam melimpah. Sama halnya negara-negara di Asia dan Afrika. Kolonialisme Eropa datang kali petama di Amerika Latin dalam rangka menjarah sumber kekayaan logam bumi demi kebutuhan industrialisasi. Taufik Rahman, CRS dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: CRS, 2007). Lihat pula, Jurnal Dialog CSIC, Imperialisme Moneter, dalam http://jurnal-ekonomi.org/2004/04/10/ imperialisme-moneter/ (April 10th, 2004).
38
kerja di Amerika. Dari kerja para budak tanpa gaji ini dihasilkan komuditas produksi seperti rempah-rempah, gula, rum, kapas, dan sebagainya. Keuntungan berlimpah bagi Inggris karena ongkos produksi sangat rendah. Oleh Inggris, komuditas itu diperdagangkan lagi di pasaran Eropa maupun pasar lokal setempat dengan harga jauh berlipat ganda.
a. Merkantilisme ke Liberalisme Liberalisme24 merupakan doktrin politik luar negeri negara-negara Eropa sebagai pengganti merkantilisme. Dengan segala cara tetap mempertahankan teori ekonomi dari David Ricardo (1772-1823).25 Yaitu, bagaimana negara koloni diposisikan sebagai penganut teori ekonomi Ricardo. Koloni tetap diposisikan sebagai produsen bahan mentah untuk industri. Karena masih mentah dan sederhana, ongkos produksi juga murah. Di tangan negara Eropa, bahan-bahan mentah murah tadi diolah menjadi beragam jenis. Tarif harga di pasaran pun melambung tinggi. Selanjutnya, negara-negara koloni dikondisikan agar tidak 24
Filsuf kanamaan yang menjadi juru bicara liberalisme adalah John Locke (1632-1704). Dia lahir di Inggris saat gejolak perang saudara; Cavalier (pengikut raja Charles I) melawan Raundhead (kekuatan dalam parlemen). Locke banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal John Owen, dosennya. Beda dengan Hobbes (pendukung absolutisme), Locke dalam filsafat politiknya The Second Treatise of Governmnet malah getol sebagai juru bicara liberalisme. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…, ibid., hlm. 73-75. 25 David Ricardo, keturunan Yahudi Ortodox ini dilahirkan di London (1772). Mengikuti jejak sang ayah, Ricardo menjadi broker saham. Dia untung besar dalam waktu singkat. Lalu menjadi pemilik tanah sekaligus anggota parlemen. Karyanya The Principles of Political Economy and Taxation (1817). Tidak hanya kepada David Ricardo (1772-1823), Karl Marx (1818-1883) juga manaruh hormat pada Adam Smith (1723-1790), Thomas Robert Malthus (1766-1834), Jean Baptiste Say (1767-1832), Johan Heinrich von Thunen (1780-1850), Nassau William Senior (1790-1864), Friedrich von Herman, John Stuart Mill (1806-1873), dan John Elliot Cairnes (18241875) atas prakarsa pemikiran ekonomi klasik yang tak kunjung kadaluwarsa. Lihat, http://yohanli.wordpress.com/2007/11/02/sejarah-teori-ekonomi-klasik/. Jika Adam Smith masih menganggap masyarakat sebagai keluarga yang besar, Ricardo menganggap masyarakat galanggang perjuangan untuk memperoleh keunggulan (laiknya evolusi Darwin). Robert L. Heilbroner, terj. Boentaran, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1972), hlm. 86.
39
mampu dalam kualitas dan pengetahuan mengolah bahan mentah dan sederhana. Supaya akses pasar negara-negara koloni semakin terbatas. Walau tidak merkantilis lagi, model liberalisme yang disebar ke luar seluruh penjuru dunia membawa Eropa jaya di pasaran bebas.26 Permainan ekonomi merkantilisme yang menjadi liberalisme ekonomi berhasil merusak dan memiskinkan negara-negara koloni. Menguntungkan negara-negara Eropa yang paling tidak didukung lima kekuatannya. Pertama, militer. Kekuatan militer negara-negara Eropa dalam kondisi lebih unggul. Keunggulan angkatan bersenjata ini juga akibat dukungan para marsose27 dari negara koloni. Sehingga militer Eropa yang tidak semunya kuat dan hebat mampu memenangkan perebutan wilayah. Kedua, monopoli alat dan jalur transportasi laut (dunia pelayanan). Selat-selat laut strategis28 yang banyak dilalui kapal dagang dunia berhasil dikuasai Eropa. Aturan main atau hukum peredaran kapal di setiap selat tadi pun ada pada otoritas kolonial.
26
Oleh para pendukungnya—pengusung ekonomi liberalisme—pasar bebas disebut konsep pasar ideal. Segala aktivitas uang, barang, dan jasa ada pada otoritas individu. Peran negara dihilangkan atas nama sebagai mediator pemodal dan buruh. Di Indonesia, pasar bebas diberlakukan pada 2003. Lihat misalnya, Pasar & Pasar Bebas, dalam http://insist.or.id/ index.php?lang=en&page=angkring&id=2. Lihat Robert L. Heilbroner, op.cit., tentang konsepsi pemikiran Ricardo. 27 Marsose kompeni merupakan sebutan kaum Pribumi yang membela kepentingan penjajah Belanda. Para marsose amat menindas dan mengabaikan kondisi bangsa sendiri. Emanuel Subangun menyebut dengan istilah ‘naluri hidup’ untuk memuaskan bangsa asing. Menjadi patron seolah menaikkan status sebagai bangsa terjajah menjadi ‘menuju’ atau ‘setara’ dengan patronnya. Namun, tujuan itu tidak pernah tercapai. Jurnal Pitutur, ibid., hlm. 6-7. 28 Selat-selat laut strategis di dunia seperti; Selat Malaka (50 ribu kapal melintas/ tahun), Terusan Zues, dan Terusan Panama. Selat Makassar dapat pula dijadikan indikator perubahan iklim dunia. Fadli Syamsuddin, Selat Makassar Indikator Perubahan Iklim Dunia?, lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/ilpeng/291874.htm (Senin, 05 Mei 2003). Selain itu, juga ada Terusan Panama yang sangat strategis.
40
Ketiga, mental rendah diri kulit berwarna.29 Sebenarnya hanya mitos, Eropa menyebarkan pengetahuannya bahwa bahwa kulit berwarna (hitam, gelap, sawo matang, dlsb.) kualitasnya lebih rendah. Itu menjadikan rakyat daerah koloni semakin diperlakukan secara tidak manusiawi oleh kepentingan Eropa. Keempat, semangat misi penyebaran agama. Misi agama-agama konstruksi Eropa berhasil tersebar dan dipercaya masyarakat. Akibatnya, masyarakat terkondisikan mendukung pengkoloni. Dan, kelima, humanisme.30 Ajaran yang menuduh bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa dengan segala identitasnya adalah tidak beradab dan tak berperadaban. Humanisme berusaha merubah masyarakat koloni sesuai kondisi Eropa yang menganggap dirinya beradab. Proyek humanisme dilakukan dengan menghapus identitas asli kebangsaan daerah koloni.31 Selanjutnya penghapusan ras manusia di luar Eropa baik identitas budaya maupun fisik (dipunahkan). Diganti dengan manusia Eropa atau setengah Eropa (Indo).32
29
Mental rendah diri kulit berwarna diciptakan Belanda dengan membuat tiga kategori kelas. Kelas pertama warga negara asing Barat, kelas kedua asing Timur Cina, Arab, dan India, kelas tiga atau terendah adalah Pribumi atau inlander. Cara lain pernah dilakukan dalam bentuk invasi kapitalis Eropa ke Amerika dalam wujud perbudakan ras kulit hitam (negro). Manusia-manusia bebas itu dikondisikan tidak bebas. Akhirnya, tahun-tahun mendatang menjadi mentalitas budak (ras kulit berwarna). Di Kuba, menurut sensus Kuba (1955), orang-orang Negro atau Mulatto populasinya sekitar 55,85% (1827), 1899 menjadi 32%, dan 1934 hanya 25,2%, sedangkan 1953 tinggal 26,9%. Roberto Jorquera, Kuba: Satu Pelajaran Bagaimana Menghancurkan Rasisme, dalam http://indomarxist.tripod.com/0000008.htm. 30 Humanisme lahir di zaman renaissance (abad ke-13 s.d. ke-15). Humanisme merupakan gerakan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusaan yang dinodai Eropa dan Barat. Humanisme dikomandoi keluarga Medici, Italia. Penggila ilmu, Ariosto Ludovico, menamakan dirinya kaum humanis. Lihat, Musa Musawir, Humanisme Dalam Selayang Pandang, dalam http://islam alternatif.net/iph/content/view/61/1/ (Jumat, 16 Maret 2007). Oleh Protagoras, humanism dijadikan doktrin bahwa manusia sebagai ukuran atas segala sesuatu. Yakni, pada rasionalismenya tanpa acuan pada yang adikodrati. Lorens Bagus, ibid., hlm. 295. 31 Dijabarkan dari Dieter Nohlen (ed.), ibid., hlm. 342. 32 Setengah Eropa (Indo) sebutan bagi keturunan campuran orang Eropa (Europeanen) dengan kelompok lain di Indonesia (juga disebut kaum Eurasia). Kelompok terakhir ini, terutama sebelum 1980-an, dikenal dengan orang Indo (Indo-europeanen, "Indo-Eropa"). Indo terjadi akibat perkawinan campuran laki-laki Belanda dengan perempuan Pribumi, perempuan menjadi bersetatus Eropa. Posisi perempuan bukan istri, melainkan gundik (bukan istri resmi).
41
Itulah sendi-sendi kekuatan kolonialisme dan penguasaan ekonomi atau dagang dunia sebelum imperialisme yang muncul pada akhir abad ke-19.
b. Imperialisme33 Jika kolonialisme merupakan penguasaan Eropa (pengkoloni) di bidang ekonomi atas daerah koloni. Sedangkan imperialisme bertujuan menguasai dan mengendalikan bangsa-bangsa lain di luar batas negaranya secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berupa perluasan wilayah negara pengkoloni. Artinya, penaklukan wilayah koloni secara teritorial (tidak hanya ekonomi). Imperialisme yang secara tidak langsung yaitu dominasi terhadap politik, ekonomi, militer, dan budaya daerah-daerah koloni, serta hukum. Meskipun fakta kejadian dengan adanya modernitas seperti itu, imperialisme maupun kolonialisme tidak sesempit itu. Karena imperialisme maupun kolonialisme tidak selalu berhubungan dengan kapitalisme. Bahkan, sebelum kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme sudah ada. Contohnya, Kekaisaran Rusia dan Kemaharajaan Spanyol. Imperialisme, dalam OED oleh Lombaa, hanya sesuatu yang ”mengacu pada kemaharajaan”. Imperialisme sebagai ”perintah seorang kaisar”, terutama yang dispotik dan semena-semena; asas
atau
semangat
kemaharajaan;
perebutan
memajukan
kepentingan-
kepentingan kemaharajaan”.34
33
Imperialisme muncul kali pertama di Inggris pada akhir abad ke-19. Berasal dari imperate (Latin), artinya memerintah. Hak memerintah disebut imperator, dengan kekuasaan imperium. Lalu menyebar sebagai penguasaan terhadap negara-negara atau wilayah lain yang disebut dengan imperialisme. 34 Ania Loomba, ibid., hlm. 6.
42
Lenin pernah meramalkan ketika suatu saat nanti seluruh dunia akan diserap oleh kapitalis keuangan Eropa. Maka, pada era itulah disebut ”imperialisme”. Ketika sistem global yang merupakan tahap tertentu dari perkembangan kapitalisme mencapai titik ”tertingginya”. Lenin mengartikan juga akan terjadi persaingan dan perang dari berbagai kekuatan imperialisme dunia yang akibatnya matinya kapitalisme. Di sini, kapitalisme bisa menjadi khas pembeda antara kolonialisme dan imperialisme.35 Pada saatnya kapitalisme itu hilang dan tidak dibutuhkan lagi, wajah dunia akan tampak lain. Mungkin semakin tidak terindentifikasi secara definitif soal silang sengkarut imperialisme. Dan wajah-wajah lainnya. Dalam penjelasan paling sederhana yang tengah tejadi, soal ekspansi wilayah atau penguasaan teritorial dalam impereliasme dapat dilakukan dengan enam tahap atau teori. Pertama, teori kekuasaan imperialis. Berkaitan dengan hasrat individu-individu untuk menguasai atau kelompok-kelompok negara yang pengaruhnya begitu kuat terhadap negara lain. Sedangkan Schumpeter36 (18831950) menerjemahkan imperlialisme sebagai disposisi tanpa objek sebuah negara menjadi ekspansi penuh kekerasan tanpa batas. Kebringasan imperialisme diterapkan di negara-negara lemah atau yang bisa dijadikan koloni. Dari terori kekuasaan imperialis, kita bisa melihat bahwa negara-negara kolonial sebenarnya mempunyai sistem pemerintahan yang tidak terpercaya. 35
Loomba, ibid., hlm. 7. Schumpeter dalam History of Analysis-nya pernah mengungkapkan ketiadaan ilmu ekonomi yang ilmiah dewasa ini. Atau barangkali, ilmu ekonomi yang ilmiah sebagaimana termaksud ada, maka bisa jadi di luar perhatian Schumpeter. M. Dawan Raharjo (ed.), Kapitalisme…, ibid., hlm. 3-4. Lengkapnya Schumpeter Joseph Alois Schumpeter (8 Februari 1883-8 Januari 1950) dia ahli dalam ilmu ekonomi dan politik di Moravia, lalu Austria-Hungary, dan Czech Republic. 36
43
Mereka tidak bisa hidup apa adanya dengan segenap potensi yang mereka miliki meskipun terbatas jumlahnya. Hasrat untuk kepuasaan itu mereka lampiaskan dengan ekspansi dan eksploitasi kekayaan milik negara lain. Dan itu semakin membuktikan
negara
kolonial
tidak
mampu.
Numun,
negara
kolonial
mengkonsepsi pemerintahannya dengan pengetahuan untuk rakyatnya agar mandiri dan bisa hidup dari potensinya sendiri. Jika konsepsi mereka bagus maka tidak akan melakukan ekspansi untuk memenuhi hasratnya. Tatapi mengelola yang terbatas itu dengan cermat. Imperlialisme malah mempermalukan dirinya di panggung dunia. Suatu konstruksi diri negara rapuh dan tidak mandiri dengan dirinya. Kekurangan dirinya dilampiaskan dalam bentuk keserakahan menjarah potensi sumber daya negara lain yang berlimpah ruah. Kedua, politik psikologi. Model ini akan menjelaskan imperialisme berfungsi sebagai sebuah politik dalam negeri. Sebagai sarana kekuatan rakyat untuk memberikan tekanan sosial terhadap negara akibat kondisi bangsa yang tidak kunjung membaik. Dalam politik psikologi, kolonialisme dijadikan saluran pelampiasan keinginan agresi-agresi kecil yang terakumulasi akibat ketidakadilan sosial. Selain psikologis, konsekuensinya timbul pada aspek material bagi kalangan bawah. Imperialisme ekonomi justru semakin tumbuh subur dan terjamin keberadannya ketika terjadi konflik psikologi. Koflik sosial akibat ketidakadilan sosial malah sengaja dipelihara dan selanjutnya terbeli oleh para
44
imperialis. Kondisi chaos terus dipelihara untuk seolah ketidakadilan sosial bisa terus diperjuangkan. Meskipun realitasnya ekploitasi tetap berjalan. Ketiga, filsafat-kebudayaan. Berbagai keunggulan imperialisme acap kali dikampanyekan kepada khalayak. Diklaim bahwa imperialisme merupakan “berkah” yang diterima negara-negara koloni dari negara-negara maju. Misalnya, transfer budaya modern yang sering diklaim sebagai budaya maju. Budaya yang dapat memperbaiki budaya primitif (terbelakang) di negara-negara koloni. Filsafat-kebudayaan yang demikian imperialis mengatakan bahwa otoritas tindakan imperialisme ada di tangan manusia berkulit putih. Bertugas sebagai “penanggung jawab” untuk menyampaikan nilai-nilai humaniter (kemanusiaan) dan religius kepada warga koloni yang “biadab”. Di akhir abad ke-19, zaman di mana Inggris mencapai masa keemasan, ditebarkan narsisme budaya. Klaimnya, kultur negara-negara industri, termasuk Inggris, merupakan budaya unggul dibanding tradisi dan kebudayaan negara lain. Kuatnya gempuran budaya imperialis yang melesat ke negara-negara koloni membuat sok budaya (sock culture). Perlawanan yang dilakukan bukan bagaimana menghilangkan budaya imperialis diganti dengan budaya sendiri. Melainkan agak lunak, bagaimana mengisi kehidupan baru dalam desakan identitas budaya imperilisme. Keempat, ekonomi politik. Teori baru untuk menjelaskan imperialisme. Bantahan terhadap teori petualangan kekuasaan yang dianggap mendasari imperialisme. Ekonomi politik imperialis diolah dari teori “borjuis” yang kritis. Bahwa perkembangan kapitalisme dapat mencapai akumulasi modal dalam negeri
45
yang besar. Surplus akumulasi ekonomi dalam negeri itu terjadi ketika pendapat lapisan masyarakat luas yang terlalu rendah sedangkan permintaan akan barang di pasaran sangat terbatas. Masyarakat dunia yang serba dikuasai imperialisme merupakan stadium akhir kapitalisme. Pendapat Imperialisme sebagai Stadium Akhir Kapitalisme (1916) bertopang pada pendapat Cuharin, karya Hilferding, Kautsky,37 dan Luxemburg. Karya ini dijadikan standarisasi teori imperialisme marxis. Kelima, perpektif ilmu sejarah non-marxis. Sekitar 1870-1918 dalam diskripsi sejarah disebut sebagai “abad imperialisme”. Dimulai pertengahan abad ke-19 ketika Inggris mulai membangun dunia jajahannya. Afrika dijadikan kue yang dibagi-bagikan kepada Inggris, Perancis, Portugis, Belgia, dan Jerman. Di Timur Jauh, Inggris dan Perancis menguasai Asia Timur,38 sedangkan Jepang sedang mempertahankan diri dari Rusia pada 1904-1905,39 dan mulai 1900 Eropa mempemainkan Cina. Imperialisme (didalamnya pula kolonialisme) tidak akan berhenti pada dominasi atau pengusaan wilayah (teritorial) negara koloni. Namun, gejalagejalanya mengarah, bahwa imperialisme plus kolonialisme melakukan perubahan bentuk yang lebih halus dan semakin berbahaya.
37 Karl Kautsky (16 Oktober 1854-17 Oktober 1938) dia ahli dalam ilmu filsafat dan politik Czech-German. 38 Di Balik Perang Asia Timur Raya dalam http://sejarahperang.wordpress.com/2008/09/12/ di-balik-perang-asia-timur-raya/ 39 Perang Rusia Vs Jepang, lihat http://forum.detik.com/showthread.php?t=61225 atau Perioda Pendudukan Jepang dalam http://swaramuslim.com/ebook/html/013/index3.php? page=03-03
46
Keenam, teori struktural imperialisme. J. Galtung40 termasuk yang peduli terhadap keberlangsungan dan perubahan bagi imperialisme baru. Galtung berusaha melakukan kritik imperialisme yang telah terjadi. Dengan cara mengaitngaitkan pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian terhadap perdamaian dan imperialisme yang mendasarkan diri pada teori dependencia. Dalam wujud baru berupa teori Struktual Imperialisme. Di sini, konsep imperialisme diperhalus oleh Galtung. Yakni, imperialisme adalah hubungan semikian rupa antara sebuah negara di sentra kekuasaan dan negara periferi41 (pinggiran). Sehingga tercipta harmoni hubungan dan kepentingan antara sentra di bangsa sentra dan sentra di bangsa periferi. Teori ini akan menghasilkan disharmoni yang lebih besar di antara bangsa-bangsa di periferi daripada yang berada di bangsa-bangsa sentra. Ada pula disharmoni kepentingan periferi di bangsa sentra dan periferi di bangsa periferi. Model Galtung membuat batu loncatan sentra imperialisme di sentra bangsa periferi. Konsepsi ini memungkinkan kelangsungan imperialisme secara terus-menerus meskipun di negara koloni telah terjadi kemerdekaan secara formal. Terakhir ini, bisa disebut dengan neokolonialisme.42
40
Johan Galtung sebagai guru besar yang konsen di bidang sosiolog. Terlibat pula sebagai aktivis perdamaian. Galtung lahir di Oslo, Norwegia (24 Oktober 1930). Seperti Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid, Galtung juga pengagum ajaran cinta damai dari Mahatma Gandhi. Ahmad Syafii Maarif, Galtung: Tiga Corak Fundamentalisme, dalam Perspektif, Gatra Nomor 21 (Kamis, 10 April 2008). Lihat pula Johan Galtung, Studi Perdamaian; Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, (Surabaya: Eureka, 2003). 41 Periferi sebutan bagi golongan, bangsa, atau negara pinggiran (berada di batas tepi). 42 Dieter Nohlen (ed.), ibid., hlm. 260-264.
47
c. Neokolonialime Penguasaan negara-negara Eropa terhadap mangsanya secara halus dan lebih menyakitkan merupakan gaya baru kolonialisme atau neokolonialisme. Neokolonialisme
terjadi
sejak
daerah-daerah
koloni
mengalami
masa
dekolonisasi.43 Secara mendasar sikap imperialisme dan neokolonialisme terhadap koloni atau bekas koloni adalah tidak pernah berubah. Dari sudut politis setelah dekolonisasi negara koloni telah merdeka. Namun, adanya faktor ketergantugan politik bekas koloni terhadap pengkoloni merupakan kemerdekaan semu. Oleh karena itu, neokolonialisme merupakan bentuk lain imperialisme. Imperialisme melakukan penguasaan koloni di tingkat negara secara jelas dan kasat mata. Sedangkan, neokolonialisme penguasaan secara tidak langsung terhadap koloni. Sifat neokolonialisme yang tidak langsung ini menjadikannya susah diketahui dan diidentifikasi. Mesti tak ‘kasat mata’, kerja-kerja neokolonialisme lebih menampakkan hasilnya. Cara menguasai berubah bentuk sedangkan tujuan yang hendak dicapai sama; kepuasan ekonomi Eropa. Aturan yang dipergunakan tetap sama, aturan kapitalisme yang mengatur hubungan pasar negara-negara pengkoloni (negara industri) dan yang dikoloni (kaya bahan industri).
43
Dekolonisasi bisa bermakna cukup simplistik dan dekil, yakni kemerdekaan yang “diberikan” kepada negara tertinggal oleh “negara maju”. Karena itu, sejak kemerdakaan formal di negara-negara koloni, pengkoloni masih menancapkan hak-haknya mengelola sumber daya di daerah koloni sebelumnya. Ini dikenal dengan neokolonialisme. Dr. Bambang Sulistyo, Dari Dekolonisasi ke Neokolonialisme: Kebijakan Ketenagakerjaan Migas Negara, di Balikpapan Kalimantan Timur, paper di (t.t.: Universitas Hasnuddin Makassar).
48
Sejak berakhirnya perang dunia, Amerika Serikat44 menjadi negara paling diuntungkan sebagai pengkoloni. Yang melakukan penghisapan secara rakus terhadap negara-negara koloni. Amerika Serikat melakukan penguasaan tidak hanya di medan pasar namun juga level struktur negara. Dua kekuatan ini semakin melenggangkan laju neokolonialisme. Karena para pejabat di struktur negara koloni bersedia menggunakan sistem dan kebijakan yang sama dengan negara pengkoloni. Sesungguhnya model dan bentuk janji-janjji kesejahteraan apapun dari pengkoloni tidak pernah berbuah kebaikan. Malahan, rakyat koloni semakin miskin dan memburuk kondisinya. Era neokolonialime mengidealkan delapan kekuatan agar daerah koloni tidak memerdekakan diri. Pertama, militer. Dilakukan dengan cara pendidikan perwira, polisi, dan militer yang diambil dari sebuah negara koloni atau calon koloni. Desain pendidikan dilakukan oleh negara-negara pengkoloni atau yang hendak mengkoloni. Tujuanya, negara koloni atau calon koloni menjalankan status quo intern dan mau menjalankan nilai-nilai yang ditanamkan oleh pendidikan dari pengkoloni. Kedua, politik. Negara-negara industri yang bercita-cita menjadi pengkoloni membangun pangkalan-pangkalan pengaruh. Misalnya, dalam bentuk organisasi internasional. Strategi politik dilakukan dengan membuat dan memanfaatkan konflik atas nama Timur dan Barat.45 Diatur sedemikian rupa agar 44
Amerika Serikat dimasuki kolonialime Eropa, termasuk negara yang memiliki sumber daya alam menjanjikan. Kecuali Hawai, seluruh wilayah Amerika Serikat pernah dijajah Inggris. 45 Dikotomi Timur dan Barat pada awalnya untuk menujuk arah. Kemudian, beralih fungsi sebagai penunjukan status suatu bangsa. Barat terdiri dari Eropa (termasuk Amerika) sebagai negara maju. Timur ialah Asia dan Afrika yang tertinggal dan miskin. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
49
konflik tetap berlanjut dalam jangka panjang sehingga bermanfaat bagi pengembangan ekonomi Eropa. Konflik-konflik yang sudah reda disimpan sementara untuk dijadikan kekuatan laten. Jika dibutuhkan, konflik akan dilanjutkan. Ketiga, kultural. Di ranah kultur, neokolonialisme memanfaatkan media informasi dan yang menguasai basis massa banyak. Dibangunlah berbagai stasiun televisi, radio, bioskop, media cetak, dan sebagainya, yang didirikan negaranegara industri. Untuk jangka panjang, akses informasi yang dibombardirkan ke negara koloni melemahkan budaya-budaya setempat. Inilah yang disebut dengan “tata informasi dunia baru”.46 Misalnya, mengalihkan kepatuhan terhadap figur masyarakat ke kepatuhan kepada fans dari artis-artis Hollywood atau artis Indo (Eropa). Keempat, komunikasi. Pembangunan alat dan sistem komunikasi canggih oleh negara pengkoloni, misalnya satelit, untuk mengusai akses telekomunikasi. Artinya, penguasaan terhadap jalur lalu lintas udara transkontinental. Dengan satelit memungkinkan negara pengkoloni mengoptik secara menyeluruh terhadap segala jenis aktivitas, kondisi, situasi yang mungkin, potensi, dan segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari negara koloni. Kelima, teknologi. Diciptakannya hlm. 441. Akhirnya, dikotomi Barat dan Timur menjadi hegemonik. Padahal, jika kita melihat arah dari Nusantara berpijak, Amerika Serikat berada di arah Timur. ‘Timur Tengah’ lebih tepat disebut ‘Barat Utara’ (barat Nusantara di utara katulistiwa). 46 ’Tata informasi dunia baru’ merupakan kebebasan pers dan arus infomasi bagi seluruh negara di dunia. Namun, sebenarya bukan untuk kebebasan berekspresi. “Tata informasi dunia baru” justru untuk mengendalikan segala arus informasi dunia dalam otoritas adidaya atas nama kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Kegagalan “tata informasi dunia baru” dapat dilacak dalam William F. Fore, Para Pembuat Mitos: Injil, Kebudayaan, dan Media, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Dewan Pekabaran Injil NHK Belanda, 1999). Lihat pula Poltak Partogi Nainggolan (ed.), Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, 2002).
50
teknologi oleh negara industri juga sebagai salah satu cara membuat ketergantungan
negara
koloni
terhadap
alat-alat
pengkoloni.
Baik
itu
ketergantungan atas produk, shoft ware dan hard ware, maupun ketergantungan secara pengetahuan. Karena negara koloni selalu merasa tertinggal dalam pengetahuan dari negara pengkoloni. Keenam, sosial. Orang-orang berpendidikan, akademikus, dan tokoh intelektual, lebih cenderung berpindah tempat dalam status sosial. Meninggalkan kenyataan sosial dalam dirinya yang terkoloni menuju kenyataan sosial negara pengkoloni. Imigrasi tidak hanya dalam gaya hidup yang serba mencontoh (mimicry)47 namun juga perpindahan tempat dalam arti fisik. Ketujuh, keuangan. Negara-negara koloni sengaja dibuat ketergantungan terhadap sumber keuangan negara industri. Atas nama kredit dan bantuan jasa keuangan ataupun pinjaman lunak untuk pembangunan usaha-usaha ekonomi negara koloni. Lembaga keuangan dunia yang dijadikan sumber bantuan seperti Bank Dunia dan IMF48. Bantuan keuangan hanya diberikan kepada negara-negara koloni yang menerapkan kebijakan politik-ekonomi-hukum sesuai keinginan IMF
47
Istilah mimicy (meniru) sering digunakan Franz Fanon dan Homi K. Bhabha. Yakni, nalar dan kebiasaan meniru (seolah menjadi) sesuai apa yang berasal dari Eropa. Supaya ‘menaikkan’ status diri dari manusia ‘rendahan’ menjadi manusia ‘Eropa yang mulia’. Eropa dianggap universal (pas untuk semua) sehingga pantas ditiru semua bangsa secara sama dan sebangun. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 452. 48 International Monetary Fund (IMF) lahir di desa kecil, Bretton Wods, di lereng Mount Washington, negara bagian New Hampshire Amerika Serikat dalam forum konferensi keuangan international (1-22 Juli 1994). Ada 35 negara yang menjadi founding fathers IMI penandatanganan Anggaran Dasar IMF (31 Desember 1945). Selain IMF, konferensi yang diprakarsai PBB tersebut itu berhasil mendirikan dua lembaga lain: International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau lebih dikenal World Bank. Dan lembaga perdagangan internasional, semula namanya International Trade Organization (ITO) atau World Trade Organization (WTO). Namun, terakhir dibentuk General Agreement on Tariffs and Trades (GATT). Cyrillus Harinowo, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca-IMF, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 7375.
51
atau Bank Dunia. Dengan sendirinya negara koloni terkendalikan secara politik ekonomi maupun hukum oleh negara pengkoloni. Kedelapan, ekonomi. Akhirnya, negara-negara koloni terkendalikan dari berbagai lini (tidak merdeka). Dihisap sumber kekayaannya sampai habis demi keuntungan pengkoloni. Meskipun dalam Memoriam of Understanding (MoU) negara koloni bisa ikut serta menanamkan modal untuk usaha-usaha industri, keuntungan tidak didapat. Bahkan, modal dari koloni tidak dicatat serta ikut investasi. Namun, dikembalikan ke negara koloni tanpa menghasilkan keuntungan. Relasai ekonomi semakin timpang dan tidak seimbang. Negara koloni diposisikan sebagai penghasil bahan mentah murah. Sedangkan negara pengkoloni sebagai penghasil barang jadi yang sangat mahal harganya. Akhirnya, bahan mentah hanya alat barter untuk mendapatkan produk dari industrialisasi. Oleh Kwami Nkrumah (1909-1972),49 Kepala Pemerintah Negara Afrika Hitam yang pertama merdeka (1957), yakni Ghana (Pantai Emas), kenyataan ini disebut sebagai “stadium akhir imperialisme”.50 Demikian itu, penjajahan Eropa (kolonialisasi) terhadap negara-negara lain (koloni) yang sangat kaya sumber daya mengalami perubahan dalam berbagai cara dan bentuknya. Motif utamanya adalah penguasaan atas sumber-sumber kekayaan ekonomi negara koloni. Aktivitas ini didorong oleh semangat individualisme Eropa dan rasionalisme modern yang menumbuhkan sains dan 49
Kwami Nkrumah lahir 21 September 1909 di Nkroful, Pantai Emas (Ghana, sekarang). Ayah Nkrumah seorang pandai emas. Sejak 1935 Nkrumah melanjutkan studi di Amerika Serikat S.1 (4 tahun) dan lulus dengan 2 gelar magister. Selama studi, lelaki penganut paham sosialis ini sudah aktif di Pan African Congress dan organisasi lain. http://id.wikipedia.org/wiki/ Kwame_Nkrumah#cite_note-bio-0 (terakhir diubah pada 12:43, 26 April 2009). 50 Dieter Nohlen (ed.), ibid., hlm. 476-477.
52
teknologi. Dipergunakan untuk menjelajah dunia dan mengusai. Dalam bentuk kolonialisme, impierialisme, maupun neokolonialisme. Namun, pada pembahasan di sini kita perkenalkan dengan istilah populer, yaitu kolonialisme.
B. POSTKOLONIALISME YANG KUKUH ”Aku berpikir di mana aku tak ada, maka aku ada di mana aku tak berpikir”51 Jacquest Lacan52 ... Sebab, dengan wacana independen yang tidak terhegemoni oleh pakem induk Valmiki, kita bisa melihat gambaran lain dari tokoh Ravana, yakni seorang maharaja pribumi India berkulit hitam yang secara kultural menganut nilai-nilai matriarkhi dan pahlawan pemuja Siva yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan ras Arya, ras pendatang dari negeri Kaukasus di benua Eropa yang bertubuh jangkung, berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang, bermata biru, ras yang secara kultural menganut nilai-nilai patriarkhi, pemuja Indra dan banyak dewa yang lain. Akan tetapi, akibat mental pribumi yang gampang dipecah belah dan diadu domba, Ravana dan wangsanya akhirnya dikalahkan oleh kshatriya keturunan PuruArya bernama Rama yang didukung pribumi-pribumi berjiwa pengkhianat, 53 seperti Sugriva dan Bhibhisana.
Dari tafsir kritis atas kisah Ramayana karya hegemonik Valmiki pendukung ras Arya kulit putih (bule), Agus Sunyoto mengetengahkan kritisismenya dalam Rahuvana Tattwa (Kisah Sejati Sang Rahuvana). Bahwa 51 Pemikiran Jacquest Lacan termaktub dapat dibilang perlawanan model berpikir kolonial Cartesian cogito ergo sum. F Budi Hardiman, Merayakan Keterpecahan atau tentang, dalam situs Uni Sosial Demokrat. Lihat, http://unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=2130&coid= 3&caid=22 dari URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/04/opini/407245.htm. Lihat juga Leela Gandhi, Postcolonial Theory A Critical Introduction, (Allen & Unwin, 1998) terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah, Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, hlm. 13. Dalam buku Ghandi suntingan Yuwan, pemikiran Lacan ditulis dengan redaksi “saya berpikir di tempat saya tidak ada, oleh karena itu, saya ada di tempat saya tidak berpikir” lebih panjang dari kutipan Hardiman. 52 Lacan merupakan salah satu tokoh filsafat aliran strukturalisme, lainnya ada Levi Strauss, dan Foucault. Strukturalisme muncul di Perancis pada 1960. Aliran ini merupakan reaksi terhadap modernisme dan segala macam dampaknya. 53 Agus Sunyoto, Rahuvana Tattwa, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. xxv.
53
Ravana, yang selama ini difigurkan jahat (antagonis) dalam Ramayana ternyata adalah pemuja Siva yang saleh, penganut matriarkhi, pahlawan sekaligus maharaja bangsanya India berkulit hitam, penguasa tiga dunia yang gagah berani dan pantang menyerah. Tak seperti tuduhan kisah Ramayana bahwa Ravana merupakan sebangsa demon buas, bermoral rendah, pongoh, dan licik. Namun, akibat kalah perang oleh penjajah, Ravana dari wangsa Rakshasa (pemuja Dewi Raksha) figurnya ditulis secara negatif oleh pendukung Ras Arya Eropa, pakem Valmiki,54 kemudian Rama yang ber ras Arya dijadikan pahlawan dari wangsa Mannu (Mannusa; sebutan untuk pendukung Rama). Tidak disebut Mannusa (kemudian, manusia) bagi di luar Arya-Rama, alias Rakshasa (kemudian, raksasa). Begitu dyahsat dan mengacak-acak kemapanan pengetahuan atau wacana kolonial yang menjadi mainstream tunggal dari warisan Eropa kulit putih. Memikirkan sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan akibat terperdaya pengetahuan dan wacana maisntream yang diklaim paling benar. Bagaimana sang diri mendifinikan dirinya sendiri sesuai kondisi sang diri secara bebas. Tidak diintimidasi dan terselubungi “kebenaran-kebenaran” konstruksi pemutarbalikan informasi buatan wacana kolonialisme. Misalnya, dalam soal agama... Kesalahan utama para Orientalis itu adalah menganggap ada satu esensi yang bisa dipakai untuk menjabarkan Islam. Mereka merasa bisa mendefinsikan hakikat masyarakat Arab dan kebudayaan Islam –sebuah kebudayaan dengan sejarah yang kaya dan pengaruh yang menjangkau hingga ke Granada bahkan Asia Tenggara—dalam suatu generalisasi atau simplifikasi yang serba tunggal dan pukul-rata (”Islam adalah...”, ”Arab adalah ...”). Dasar 54 Karya lain yang masih dalam pengaruh hegemonik pakem Valmiki seperti buku C. Rajagopalachari, Ramayana, (Bombay: Bharatiya Vidya Bhavan), terj. Saut Pasaribu, Ramayanam Cet. II, (Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002).
54
keyakinan ini sebenarnya adalah kecongkakan Barat yang merasa bahwa apa dinamakan ”peradaban” (ilmu pengetahuan, seni, teknologi, dan perdagangan) hanya berjalan maju di wilayah dan sejarah mereka. Sementara Timur itu statis, terbelakang, eksotis, pasif. Di sini Said mencomot dan mengembangkan pemikiran Foucault tentang relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Apalah arti kolonialisme dan imperialisme Eropa kalau bukan perpanjangan tangan dari kecongkakan Barat tadi? Bukankah penindasan imperialis yang paling keji selalu ditopengi misi untuk mendidik dan memperadabkan? Pandangan Orientalis ini begitu berurat-berakar dalam bangunan pemikiran Barat, sampai-sampai para intelektualnya yang paling kritis sekalipun tak luput darinya. Karl Marx misalnya, yang komentarnya dipakai sebagai epigram pembuka buku Said, berkata ihwal ’orang Timur’: ”Mereka tidak bisa tampil sendiri, mereka harus diwakili.”55
Dari semangat itulah studi poskolonial menulis pengetahuannya sendiri. Bukan atas dasar konstruksi filsafat saya berpikir maka saya ada. Melainkan, aku berpikir di mana aku tak ada, maka aku ada di mana aku tak berpikir. Yakni, kondisi ketika si “bisu” berbicara, si “gila” mengilmiahkan pikirannya, si “bodoh” menguatkan epistemologinya, dan ketika pecinta takhayul, bid’ah, dan khurofat menjelaskan dengan amat rasional dan empiris atas pengetahuannya. Namun, pengetahuan maisntream kolonial yang masih mengakar kuat akan menolaknya. Sebagai sampah peradaban yang dikonstruksi oleh negara “terbelakang” yang tak layak pakai di negara “maju”. Dirinya yang “maju” semakin tidak rela, ketika tahu, bahwa falsafah-pengetahuannya telah ketinggalan lebih jauh di belakang negara “terbelakang”. Meskipun begitu, masih tetap banyak pengikut yang grandung dengan mainstream pengetahuan kolonial. Itulah ketika pada 1985 Gayatri Spivak56 mempersoalkan “kebisuan” subaltern.57 Dengan sebuah sindiran kritis, “Dapatkah subaltern Berbicara?”58 55 Pegantar dalam Edward Said, Freud and the Non-European, (London: Verso & Freud Museum, 2003), terj. L.P. Hok, Bukan Eropa: Freud dan Politik Indentitas Timur Tengah, (Tangerang: Marjin Kiri, 2005), hlm. viii. 56 Lengkapnya Gayatri Chakravorty Spivak, lahir 24 Februari 1942 di Kalkuta, Bengal Barat. Spivak belajar Sastra Inggris di Universitas Kalkuta (B.A 1959) dan Universitas Cornell (M.A 1962 dan Ph.D. 1967). Lihat, http://webdev.ui.ac.id/post/kuliah-umum-gayatri-c-spivakid.html?UI=4e9bf235bcd559a0f3243 e370857ea9b& UI=4e9bf235bcd559a0f3243e370857ea9b
55
Subaltern di sini merujuk pada “klas-klas subaltern” dari Gramsci.59 Maksudnya, kelas-kelas yang berada di posisi inferior. Di atasnya ada kelas-kelas superior yang lebih dominan dibanding kelas-kelas lain. Di era 1980-an, masa itu sedang marak studi dalam perspektif masyarakat yang terdominasi. Club studi untuk dikemudian dikenal dengan kelompok Sulbaltern Studies. Kelompok ini lalu mensistematisir pembahasan tema-tema subaltern. Pokok-pokok kasus bahasan subalatern studies dijadikan landasan berpikir untuk diteoritisasikan. Subaltern studies tadinya membahas masalah-masalah kecil yang berkaitan dengan ras, gender, kasta, pekerjaan, atau lainnya. Namun, berkembang dan dijadikan kajian teoritis untuk membahas problematika besar yang secara umum terjadi di negara Asia Selatan. Jangkauan subaltern studies kemudian diperluas dalam persoalan sejarah, politik, ekonomi, dan sosiologi masyarakat subaltern. Kesepakatan banyak pihak terhadap kelompok subaltern studies memunculkan
gagasan
tentang
subalternitas
postkolonial.
Kutha
Ratna
menyebutnya teori itu sebagai varian postrukturalisme.60 Bukan variasi postmodernisme (1972)61. Postkolonialisme mampu menempatkan dirinya pada 57
Istilah subaltern biasa digunakan dalam strata kepangkatan di dunia militer. Yakni, untuk menunjuk perwira di bawah kapten. Namun, Gramsci memakainya untuk mewakili klas-klas tertindas. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 460. 58 Leela Gandhi, ibid., hlm. 1. 59 Antonio Gramsci lahir di Kota Ales, Pulau Sardinia (22 Januari 1891). Pada 1911 studi di Universitas Turino dengan beasiswa. Dia bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan sejak 1915. http://arts.anu.edu.au/suarsos/gramsci.htm. Diceritakan Giuseppe Fiori, Gramsci meninggal pada 1937 setelah 10 tahun dalam penjara Musollini. Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, terj. Kamdani & Imam Baihaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 14 60 Postrukturalisme merupakan bagian dari posmodernisme. Mumblay dan Putman (1992) mengatakan focus kerja postrukturalisme pada linguistic yang memproduksi subjekvitas dan identitas. Madan Sarup, Postrukturalisme & Posmodernisme, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008). 61 Postmodernisme lahir disuatu sore Juli 1972 di St. Louis. Setelah tujuh tahun postmodenisme menjadi bagian penting dunia intektual. 1979 Conseil des Universities pemerintah Quebac (Canda) meminta laporan pengetahuan masyarakat-masyarakat paling maju. Lalu, tugas
56
posisi sejajar dengan teori-teori lain. Dari disiplin semiotika, resepsi, interteks, feminis, hegemoni, interaksi simbolik, aktor jaringan, dekonstruksi, dan ragam teori lain yang menolak hegemoni narasi besar.62 Postmoderisme merupakan zaman atau era atau kelanjutan, dan penyempurnaan modernisme yang didominasi ilmu-ilmu sosial budaya. Sedangkan postrukturalisme dipergunakan sebagai teori untuk meneliti objek yang bernama postmodernisme. Sekaligus dekonstruksi terhadap strukturalisme.63 Menarik pendapat Kuntha Ratna bahwa postkolonialisme varian postrukturalisme. Maka, laiknya postrukturalisme, postkolonialisme juga menolak narasi besar, oposisi biner, axis diametrikal, dan rangkaian pengetahaun serta proses sejarah yang berjalan monolitik. Salah satu caranya dengan membongkar struktur ideologi melalui arkeologi dan genealogi sesuai gaya Foucault (19261984).64 Dalam rangka mengungkap begitu banyak masalah tersembunyi di balik kenyataan yang pernah terjadi. Postkolonial demikian penting karena; pertama, itu diberikan kepada Jean-Fancois Lyotard. Lyotard menjawab dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Michigan, USA: William B. Eerdmans Publishng Co, 1996), terj. Wilson Suwanto, A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme, (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2001), hlm. 67. 62 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm.78. 63 Strukturalisme dianggap anti humanis. Karena objek strukturalisme dianggap cukup diri, lepas dari masyarakat. Serta konsep-konsep tentang unsur, antar hubungan, dan totalitas. Karena sejak awal strukturalisme fokus pada struktur matematis dan logis, fisik dan biologi, psikologis, dan linguistik. Tidak pada fenomena sosial langsung. Jean Piaget, Le Stucturalisme, (France: Presses Universitaires de France, 1968), terj. Hermoyo, Strukturalisme, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 13, 30, 44, 62. 64 Pada 15 Oktober 1926 di kota Poitiers-Perancis, “Paul-Michel” Foucault lahir. “PaulMichel” merupakan nama babtis Foucault. Namun, dia tidak menggunakan “Paul” karena itu nama ayahnya yang dibencinya sejak remaja. Foucault banyak menggeluti bidang pengetahuan. Namun, basis yang dipakai Foucault adalah sejarah. Disitulah terjadi pusaran diskursus, pengetahuan, subjektivitas, kekuasaan, kebenaran, dan sebagainya. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism…, ibid., hlm. 200-201. Lihat pula John Lechte, Fifty Key Contemporary Thinkers, (New York and London: Routledge, 1994), terj. A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: KANISIUS, 2001). Karya pokok Foucault yang pertama Folie et deraison: Histoire de la folie a l’age classique (Kegilaan dan Ketakbernalaran: Sejarah Kegilaan Pada Masa Klasik) pada 1961 dan pada 1984 dia meninggal akibat penyakit terkait dengan AIDS. hlm. 177.
57
postkolonialisme menganalisis era kolonial: termasuk Indonesia. Kedua, postkolonialisme memiliki keterkaitan erat terhadap nasionalisme; mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Ketiga, postkolonialisme juga untuk menggalang narasi kecil dari bawah, belajar dari masa lalu untuk menuju masa depan. Keempat, menyadarkan kepada khalayak bahwa penjajahan atau kolonialisme tak selalu berbentuk fisik. Dan kelima, postkolonial tidak hanya teori, juga kesadaran diri. Sadar memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan hegemoni dalam bentuk lain-lain. Dapat pula hegemoni spiritual dan material yang berasal dari luar maupun dalam bangsa sendiri.65 Berbeda dengan Kuntha Ratna, menurut Gandhi, postkolonialisme merupakan titik temu dari beragam disiplin dan teori yang sedang bertarung. Memungkinkan suatu dialog interdisipliner dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Menggabungkan kesulitan ilmu-ilmu yang bertentangan seperti Marxisme66 dan postmodernisme67/postrukturalisme.68 Lanjut Kuntha Ratna, postkolonialisme varian dari poststrukturalisme. Dari pertentangan teori itu memunculkan konsensus kecil mengenai isi, ruang lingkup, dan relevansi, sesuai kajian postkolonial. 65
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 81-82. Marxisme atau marxim merupakan filsafat dari tulisan-tulisan Karl Marx, ajaran Marx, atau kritiknya terhadap kapitalisme dengan pemikiran materialisme dialektis dan materialisme historisnya. Lorens Bagus, ibid., hlm. 572. Meski demikian, Marxisme dan kapilalisme dalam gerak sejarah sama-sama fokus pada materialisme. Jon Elster, An Introduction to Karl Marx, (England: Cambridge, 1986), terj. Sudarmaji, Karl Marx: Marxisme-Analisi Kritis, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000), hlm. 141. 67 Postmodernisme secara konseptual begitu memesona. Yaitu, ketidakpercayaannya terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala pemikian yang mentotalisasi. Misalnya, Hegelianisme, Marxisme, dan Liberalisme. Dengan prinsip paralogi (para pencipta) bukan holologi (para ahli). I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 28. 68 Leela Gandhi, ibid., hlm. 4. 66
58
Secara redaksional, kata ”postkolonial” berasal dari ”post” atau setelah, kolonial ialah penjajah, dan ”isme” suatu paham. Penggabungan diri kata-kata dalam postkolonialisme secara harfiah menjadi paham mengenai teori yang dilahirkan sesudah zaman kolonial.69 Gandhi menyatakan, menurut para kritikus, redaksi postkolonial yang dirangkai (tidak dipisah tanda hubung, misalnya ”postkolonial”) medan perasanya jauh lebih sensitif terhadap sejarah panjang dari berbagai konsekuensi kolonial.70 Proyek atas postkolonial ini untuk kali pertama, versi Shelly Walia, dikemukakan Franz Fanon71 dalam Black Skin, White Masks dan The Wretched of the Earth pada 1987. Lalu, Edward W. Said (1935-2003) merintis postkolonialisme di dunai Anglo Amerika melalui bukunya Orientalism pada 1978.72 Pemikiran Said banyak dipengaruhi Foucault. Pengetahuan bukan untuk ilmu tetapi pengetahuan ialah kolonialisme itu sendiri. Dalam pengetahuan mengandung visi dan misi sekaligus tujuan yang hendak dicapai. Pengetahuan menjadi alat kekuasaan dan kekuasaan mengokohkan pengetahuan. Postkolonialisme, teori ini merupakan akumulasi konsep-konsep, cara-cara untuk memahami, dan tidak meninggalkan praktik untuk menjelaskan objek. Oleh karenanya, dalam postkolonialisme kurang tepat jika kata ”post” sekadar diartikan masa “setelah” atau “sesudah”. Bagi Stephen Slemon, postkolonialisme tidak sekadar menunjuk pada suatu negara. Melainkan kondisi-kondisi yang 69
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 82. Leela Gandhi, ibid., hlm. 4. 71 Dokter jiwa ini lahir di Fort-de-France, 20 Juli 1925, namanya Frantz Fanon. Wafat 6 Desember 1961 di Washington DC (usia 36 tahun). Dia juga seorang pengarang dan pembuat esai Perancis. Walau meninggal diusia muda, karya Fanon menginspirasi gerakan pembebasan dari kolonialisme lebih dari empat dekade. (http://id.wikipedia.org/wiki/Frantz_Fanon). 72 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 84. Edward Wadie Said (1 November 1935-25 September 2003/ 67 tahun) dia figur pendiri postcolonialism. Anglo-Amerika merupakan bagian Anglosfer Amerika; yang keseluruhan mempergunakan Bahasa Inggris (Britania Raya). 70
59
ditinggalkan (postcolonial condition).73 Maka, postkolonialisme bukanlah neokolonialisme ataupun antikolonialisme.74 Di Indonesia, kalau postkolonialisme ingin dipergunakan paling tidak mengandung tiga pengertian. Pertama, masa pascakolonial di seluruh dunia. Pengertian pertama ini membatasi diri pada masa-masa setelah kolonial. Di Indonesia masa itu dimulai sejak pertengahan abad ke-20. Kedua, segenap naskah sejak kedatangan Eropa di Nusantara. Cakupan pengertian kedua lebih luas karena durasinya sejak abad ke-16 (kedatangan Portugis dan Spanyol di Nusantara). Ketiga, segala tulisan atau wacana pengetahuan tentang kedigdayaan Eropa dan kemelorotan negara lain. Terakhir ini memiliki cakupan tak terbatas. Terhitung sejak sebelum kedatangan Eropa di Nusantara. Namun, Eropa sudah memiliki konsepsi atau pencitraan terhadap negara lain.75 Secara teoritik terdapat perdebatan dalam soal pengertian ”pascakolonial” atau
secara
harfiah
”setelah-kolonial”.
Berakhirnya
kolonialisme
dan
menyebarnya manusia bekas koloni ke seluruh penjuru dunia, bisa dianggap seluruh dunia ada pada masa pascakolonial. Pengertian ini pun menjadi parameter karena ketimpangan dan kesenjangan dari perintah kolonial belum bisa dihilangkan sampai sekarang. Negara bisa pasca dalam ukuran formal, realitasnya masih terkolonisasi. Pemaknaan tekstual atas pascakolonial, mengakibatkan teori yang heboh di tahun 1980-an ini tidak bisa dipakai siapapun yang berada pada 73
Stephen Slemon, Post-colonial Critical Theories, dalam Gregory Castle (ed.), Postcolonial Discourses: An Anthology, (Massachusetts: Blackwell, 2001), hlm. 102. 74 Leela Gandhi, ibid., hlm. 90-91. Antikolonialisme ditunjukkan dengan sikap menolak segala bentuk kolonialisme, baik yang pernah terjadi antar negara. Maupun, dalam skala yang lebih luas dari negara. 75 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 96-97.
60
paling pinggir atau paling bawah dari negara-negara. Mereka yang terpinggirkan tidak pernah dalam situasi pasca. Jawaban itu untuk menambah pemahaman dan pengamalam ”pascakolonial”. Tidak dari pertanyaan, kapan? Namun, bagaimana? Maka, menurut Loomba dari Hulme, pascakolonial bisa generalisasi sejauh kata itu ”mengacu pada suatu proses pembebasan dari sindrom kolonial, yang membentuk banyak sekali dan barangkali tak terelakkan bagi mereka yang dunianya telah ditandai oleh perangkat fenomena itu: ”pascakolonial” adalah (dan seharusnya adalah) sebuah istilah diskriptif bukan evaluatif” (Hulme, 1995: 120).76
a. Fungsi dan Manfaat Postkolonialisme Teori merupakan cara tertentu untuk memahami objek. Dilihat melalui ’teropong’ postkolonialisme maka masalah atau objek yang sedang ditampilkan adalah kolonialisme. Pula perlu diingat, postkolonialisme mempunyai hubungan integralistik dengan model berpikir ala Edward Said. Yang menjadikan objek postkolonialisme semakin tidak terbatas hanya pada kolonialisme–sebagaimana mainstream pahami. Postkolonialisme yang juga mengalami interaksi dengan paradigma Orientalism Said sehingga memiliki cakupan juah lebih luas lagi.77 Mengapa objek kolonialisme bidikannya? Mengapa pula, masa-masa penjajahan kolonialisme perlu teliti lagi dengan postkolonialisme dan bukan lainnya? Sebab, penjajahan atau kolonialisme meninggalkan berbagai bentuk atas sifatnya. Terbendakan dalam naskah, monumen, prasasti, hasil teknologi, dan 76 77
Ania Loomba, Colonialism..., ibid., hlm. 24. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 99.
61
lain-lain. Meninggalkan pula warisan permasalahan akut psikologis, mentalitas, dan spiritualitas yang harus segera diselesaikan. Akibat kolonialisme, bangsa kita terinveksi (minimal terkontaminasi) sistem dan mekanisme kolonial. ’Barang’ asing yang sebenarnya tidak mengalami penyesuaian atau bahkan bertentangan vis a vis dengan kepribadian bangsa. Dua kepribadian yang bersinggungan dan saling mempengaruhi ini menjadikan manusianya hidup di dua ruang. Yaitu, ruang kenyataan bangsa di wilayah Nusantara yang ”tertinggal” dan ruang semu atau bayangan-bayangan seolah nyata dari peradaban kolonial yang ”maju”. Tidak disadari, keberadaan pada dua ruang yang tidak jelas itu menjadikan manusiamanusianya selalu terkucil, tersingkir, terasing, dan tak diperhitungkan dalam kenyataan global. Ditandai sifat-sifat buruk seperti cemburu, iri hati, oportunis, korup, apatis, dan pemalas. Untuk
manfaat
dan
fungsi
analisis,
postkolonialisme
banyak
bersinggungan dengan berbagai varian penelitian sejarah. Baik persinggungan sosial maupun sengketa intelektual. Di situlah postkolonialisme turut serta sering dimasukkan dalam kategori perangkat teori analisis historis. Bedanya, diskripsi historis hanya berkutat pada fakta-fakta sejarah. Analisis postkolonial menjawab pertanyaan bagaimana fakta-fakta sejarah itu (meskipun datanya sama) bisa dipahami secara berbeda. Kajian historis yang stagnan. Posisi postkolonialisme berada di level lanjutan dan lebih jauh setelah penelitian model diskripsi historis. Hubugan erat yang terus dijalin antara postkolonialisme dan kolonialisme membuka peluang penelitian ini pada pemahaman terhadap sejarah. Tidak sekadar alur, plot, tokoh, waktu, tempat, dan kejadiannya. Analisis postkolonial lebih dari
62
deskripsi historis yang berhenti di tempat. Namun, membidik sejarah yang terus bergerak sehingga analisisnya juga pada sejarah pergerakan dan sosial, tanpa ketinggalan soal nasionalisme.78 Memfungsikan postkolonialisme tak pula sebatas analisis historis. Juga teori ini dapat difungsikan menganalisis kultur dan budaya serta tradisi di negara pascakolonial. Akibat kolonialisme yang berabad-abad di Nusantara, jelas tersedia warisan naskah begitu banyak. Naskah-naskah atau manuskrip79 lain yang selalu menarik dalam penyelidikan postkolonialisme. Manuskrip yang tidak hanya terkontaminasi juga terinveksi kolonialisme Eropa. Baik naskah-naskah ilmu pengetahuan yang terdiri dari bahasan sejarah, hukum, antropologi, sosiologi, dan geografi, maupun naskah-naskah karya sastra yang ’tidak ilmiah’. Kesemuanya itu tetap ’anak’ pada zamannya yang tidak boleh ditirikan.
b. Bidikan Postkolonialisme Kesepakatannya terhadap Gramnsi, Said berjuang memperlihatkan kolonialisme tidak sesempit dalam hegemoni ekonomi ala Marxis ortodok. Atau kolonialisme Marxis di awal kemunculannya. Lebih dari itu, kolonialisme melakukan hegemoni ide. Bahasannya lebih luas dibandingkan hegemoni ekonomi. Karena berada di antara infrastruktur material dan superstruktur 78
Ibid., hlm. 101. Manuskrip biasa diartikan sebagai tulisan tangan asli. Usianya termuda 50 tahun. Tentu, yang punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Tjandrasasmita, arkeolog satu ini, mengkategorisasi tiga jenis manuskrip Islam di Nusantara. Pertama, berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, Jawi (ditulis huruf Arab berbahasa Melayu). Ketiga, Pegon (ditulis huruf Arab, menggunakan bahasa daerah; Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh, dlsb.). DR H Uka Tjandrasasmita, Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah, (www.Sabili.co.id). Ketegori manuskrip Tjandrasasmita terlalu sempit. Karena manuskrip mengenai segala sesuatu (naskah dlsb) yang mendukung penelitian sejarah dari konstruksi masa lalu. 79
63
ideologis. Serangan gencar pada sistem ideologi dilakukan melalui pencitraan yang sengaja diciptakan. Citra tentang koloni sebagai bangsa ”terbelakang”, ”pasif”, ”sensual”, ”kanibal”, bahkan ”barbar”. Konstruksi struktur ideologi Eropa terhadap daerah-daerah koloni seisinya dalam rangka membenarkan tindakan kolonialisme bahwa koloni tidak berperadaban. Maka, kolonialisme harus memperadabkan koloni-koloni yang ndeso dan ’ketinggalan jaman’.80 Untuk membenarkan dan mengukuhkan segala pengetahuan dan ”kebenaran” yang telah dimanipulasi diterbitkanlah ribuan buku. Tidak kurang ada 60 ribu judul yang membahas Timur Dekat dalam kurun 150 tahun (1800-1950). Meminjam istilah Edgar Quinet (1803-1975) –disebut Renaissance81 dunia Timur. Sebaliknya, tak satu pun buku hasil tulisan bangsa Timur mengenai Barat.82 Seakan-akan menjadi sangat wajar dan harus mengarahkan kiblat dalam berpengetahuan ke arah Barat. Di situlah yang paling ”otoritatif”, ”valid”, ”terpercaya”,
”benar
Postkolonialisme
ingin
secara
ilmiah”,
membuktikan
dan
”harus
penjungkirbalikan
dita’ati”
hasilnya.
kebenaran
yang
dilakukan lewat ide-ide dan ideologi kolonial Eropa, Barat. ... proyek tulisan poskolonial untuk mempertanyakan wacana Eropa dan strategi-strategi diskursifnya, menginvestigasi media-media yang digunakan oleh Eropa untuk memaksakan dan mempertahankan kode-kodenya dalam dominasi kolonial di seluruh dunia dilakukan dari suatu posisi di dalam dan di antara dua dunia. Oleh karenanya, upaya pembacaan dan penulisan kembali catatan-catatan historis dan fisional Eropa tidak terelakkan menjadi 80
Ndeso sering dimaknai peyoratif sebagai ketertinggalan dalam segala hal. Dalam bahasa aslinya, Perancis, renaissance artinya “kelahiran kembali” atau “kebangkitan kembali”. Karena Eropa memang daerah mati potensi, tidak berpendidikan, dan tidak berperadaban serta tidak berkeadaban. Dalam bahasa Latin disebut nascentia—nascor, natus (kelahiran, lahir, dilahirkan). Kata itu dipopulerkan dalam tulisan Michelet pada 1855 dan pada 1860 dipergunakan oleh Burckhardt. Lorens Bagus, ibid., hlm. 953-954. Edgar Quinet (17 Februari 1803-27 Maret 1875) ialah intelektual dan sejarahwan Perancis. 82 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 111-112. 81
64
tugas vital pemikiran poskolonial. Melebihi upaya-upaya penciptaan esensiesensi nasional atau regional alternatif, manuver-manuver subversif ini menjadi karakteristik khas tulisan poskolonial. Kesusastraan/kebudayaan poskolonial lebih merupakan praktik-praktik diskursif tandingan, bukan praktik-praktik turunan wacana Eropa.83
Brilian apa yang telah dilakukan Said dalam Orientalism-nya ketika menggunakan
semangat
postkolonialisme
ini
dalam
mengkonstruksi
pemikirannya. Said mengerjakannya paling tidak dengan tiga tahap strategis yang harus dilalui. Agar pengetahuan yang dia bangun tidak mudah diruntuhkan. Pertama, semata-mata untuk kajian akademis. Sebagai kajian akademis, pengetahuan yang dikonstruksi oleh negara-negara koloni atau orang Timur agar dapat pula dipertanggungjawabkan (baik data-data ataupun analisisnya). Menyesuaikan standarisasi pencarian kebenaran pengetahuan, yakni, secara ilmiah yang dipakai para akademisi, seperti di kampus. Kedua, sebagai usahausaha untuk meraih kekuasaan. Pengetahuan tidak sekadar untuk pengetahuan. Pengetahuan dijadikan alat dan kekuatan untuk meraih (merebut) kekuasaan yang digenggam tangan-tangan kolonialis. Penguasaan fisik ataupun cengkeraman laten dan halus namun khas kolonial. Yang datangnya dari internal diri, maupun dari luar negeri. Dan ketiga, usaha menciptakan citra diri kita sebagai pusat, subjek. Bukan objek (baca, binatang percobaan) yang sedang diteliti. Caranya, menciptakan dikotomi secara laten di bidang pengetahuan sesuai kontruksi Timur. Point ketiga itu merupakan usaha berat ketika harus membuat konsepsi-konsepsi atas pengetahuan yang diciptakan sendiri. Bebas dari hegemoni tata aturan dan pengetahuan kolonial. 83 Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures, (1989), terj. Fati Soewandi & Agus Mokamat, Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial, (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 308.
65
Karena pengetahuan kolonial berwatak jahat. Terus membiarkan dikotomi berlanjut: kolonial v koloni, ”maju” v ”terbelakang”, ”berperadaban” v ”biadab”. Perbedaan itu dipelihara ’sealamiah’ mungkin. Maksudnya, agar Pribumi selalu membawa beban koloni, tetap bodoh mekipun sekolah, dan merasa terbelakang dan tidak mampu lagi mengejar ketertinggalan. Bahasa-bahasa asli negara koloni memperoleh dampak atas kolonialisme. Dianggap bahasa asli daerah telah mati, lapuk, dan tidak mempunyai arti. Itu untuk memperkukuh bahasa kolonial Belanda saja dan dipatenkan sebagai bahasa ilmu pengetahuan modern dan bahasa orang-orang terpelajar. Demi maksud keji kolonialisme, banyak pula naskahnaskah lama asli daerah koloni yang dibakar dan dimusnahkan. Banyak juga yang dibawa lari dalam wujud fisik (manuskrip, misalnya) untuk dipenjarakan di museum-museum Eropa. Dari sekian banyak yang harus dihadapi, objek kajian postkolonial pada umumnya wacana-wacana postkolonial. Terdiri berbagai bentuk pencitraan terkait dengan peninggalan kolonial. Analisis terhadap wacana yang berhubungan dengan pengkoloni dan koloni setelah fase dekolonisasi. Juga analisis terhadap wacana yang mengendap atau tersisa dalam ingatan akibat teriveksi kolonialisme secara keseluruhan. Diperjuangkan melalui isu seperti gender, ras, penindasan, dan bentuk penjajahan lain.84 Kajian postkolonial ini diperkuat oleh banyak tokoh. Seperti: Edward Said, Jacquest Lacan, Frantz Fanon, Gayatri Chakravorty Spivak, D. Chakrabarty, Homi K. Bhabha, Slavoj Zizek, Sara Suleri, Bill Ashcroft, Helen Tiffin, Ania Loomba, Leela Gandhi, Gauri Viswanathan, dan lainnya, serta 84
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 116-117.
66
pengaruh kuat model berpikir Foucault.85 Dengannya, negara Barat dan Eropa (seperti Belanda) akan dipermalukan. Bahwa telah terbukti, pada zaman kolonial, Belanda mempermalukan diri dengan membuat peta atlas dengan sengaja menampilkan seolah-oleh wilayah Belanda lebih luas dan lebih kaya hasil buminya dibanding Nusantara.86 Dengan maksud memberi citra bahwa ”selayaknya (wajar)” Belanda menjajah Nusantara.
c. Representasi Postkolonialisme Kolonialisme berpengaruh sangat kuat terhadap daerah koloni. Tiga hal yang menguatkannya. Pertama, durasi waktu yang begitu lama dalam kolonialisme maupun luasnya pengaruh kolonial di wilayah koloni. Kedua, perbedaan tingkat peradaban pengkoloni dan koloni, serta hegemoni peradaban kolonial. Ketiga, kolonialisme dilakukan dengan berbagai sarana kompleks; agama, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, fisik, dan persenjataan. Gejalagejala tersebut akan diikuti dengan kuatnya ”representasi”. Asalnya dari repraesentatio (Latin), akar kata praeese. Artinya, mendahului atau mendahului 85
Jacques Marie-Émile Lacan (13 April 1901-9 September 1981) ialah psikoanalis Prancis. Frantz Omar Fanon (20 Juli 1925-6 Desember 1961) dia psikiatris dan filsuf serta pengarang asal Martinique. Gayatri Chakravorty Spivak (24 Februari 1942) seorang kritikus India, teoritikus tentang marxisme dan pejuang hak-hak perempuan. Dilip Kumar Chakrabarti dia arkeolog India dan profesor di CambridgeUniversity. Homi K. Bhabha (Mumbai-India 1949) ia Direktur Pusat Kemanusiaan Harvard University. Slivoj Zizek merupakan peneliti senior di Institute of Sociology Universitas Ljubljana, Slovenia. Sara Suleri Goodyear dia pengarang, sejak 1983, profesor Bahasa Inggris di Yale University. Helen M. Tiffin: Guru Besar dalam Bahasa Inggris di Universitas Tasmania, Australia. Leela Gandhi (1966): Profesor dalam Bahasa Inggris di Universitas Chicago. Gauri Viswanathan, Profesor dalam English and Comparative Literature di Columbia University (New York). 86 Peta buatan kolonial Belanda pada 1938 menggambarkan Nusantara tak semestinya. Dari ukuran luas, hutan, jalan, transportasi, dan sebagainya mereduksi fakta. Kamis, 5 Febuari 2009 lalu diluncurkan Atlas Nasional Indonesia (ANI) untuk menunjukkan wilayah Nusantara sesungguhnya. Akhirnya Merdeka Dari Atlas Belanda, Dalam http://www.republika.co.id/koran/ 14/29784/Akhirnya_Merdeka_dari_Atlas _Belanda (Jumat, 06 Februari 2009 pukul 06:19:00)
67
objek lain. Disiplin retorik beranggapan representasi sebagai ketepatan memilih kata-kata. Sehingga membangkitkan daya imajinasi. Representasi bisa pula diartikan sebagai citra dan gambaran, atau lukisan. Secara tradisional mengandung arti imitasi dan kemiripan, yakni memiliki citra mental dan aktual.87 Terang Cavalaro, representasi berkaitan dengan proses pengulangan. Aktivitas untuk menghadirkan kembali. Makna baru bisa didapat dari suatu kalimat atau kata karena kalimat atau kata tersebut digunakan dalam konteks berbeda. Konteksnya representasi, ketika bicara atau menulis apapun baik oleh antropolog, sejarahwan, linguis, psikolog, desainer, dan sutradara, secara mendasar tidak mencipatakan sesuatu apapun yang baru. Hanya pengulangan atas yang sudah ada. Ini karena representasi sejajar dengan interaksi, simulakrum (medium penyampai pesan). Teori postkolonial, menurut Foucault dan Said, merepresentasikan tiga hal yang tidak pernah terpisahkan; bahasa, kebenaran dan kekuasan.88 Bahasa menjadi alat untuk mempermudah melakukan transfer atas informasi atau pengetahuan. Di situ ada teks dan atau wacana. Simbol yang memahamkan kepada seseorang tentang suatu kebenaran dari bahasa. Sehingga kebenaran bisa dikandung atau dikonstruk oleh bahasa. Tanpa kebenaran, bahasa tidak berarti apa-apa kecuali sekadar bahasa. Kebenaran yang juga dibahasakan menjadi maksud dalam tujuan kekuasaan. Juga, kebenaran menjadi benar jika pula didukung oleh kekuasaan. Sering kali kebenaran menjadi salah karena posisinya minoritas dan tanpa dukungan kekuasaan. Sedangkan kebenaran butuh 87 88
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid. hlm., 122-123. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin, The Empire Writes Back… ibid., hlm. 258.
68
dibahasakan dan dibantu kekuasaan agar terasa perubahan sosial dari yang telah dipelajari. Ketiganya, bahasa, kebenaran, dan kekuasaan berhubungan terusmenerus tanpa putus. Postkolonial juga akan membongkar ketiga relasi yang tekandung dalam naskah atau peninggalan atau akibat kolonial. Bahasa, kebenaran, dan kekuasan yang masing-masing terkait dan terkonstruk oleh kolonialisme namun menjadi suatu ”kebenaran” di benak koloni. Entah benar dan tidaknya? Justru ketidaksadaran—alamiah—atas
kebenaran
versi
kolonial—yang
menjadi
pengetahuan dan kekuasaan—itulah saat-saat kolonialisme menancapkan taringtaring beracunnya. Maka, postkolonialisme tidak hanya mengorek kenyataan kolonial tadi. Juga, bagaimana membuat konstruksi bahasa, kebenaran, dan kekuasaan sendiri yang merdeka dan tidak kolonialistik. Namun, bahasa, kebenaran, dan kekuasaan yang menjadi representasi kenyataan wilayah atau negara sendiri, tidak hanya yang pernah menjadi koloni. Ketiga relasi itu bisa dicontohkan salah satunya dalam isu gender. Perempuan harus membuat konstruksi atas bahasanya sendiri yang khas perempuan. Sebabnya hanya ada satu-satunya piranti bahasa yang khas kolonial. Yaitu, bahasa penindas.89 Dalam kasus ini, penindas itu biasanya laki-laki karena hasrat sensualitasnya terhadap perempuan. Bahasa-bahasa yang menjadi mainstream juga diterima perempuan secara bias. Penuh nuansa dan kepentingan laki-laki atau penindas. Bagaimana bahasa yang khas perempuan itu mampu memberi suara pada perempuan ”bisu” sebagaimana adanya. Di bidang hukum, 89
Bill Ashcroft, dkk. ibid. hlm. 270.
69
bahasa yang dipakai pun bukan berasal dari bahasa sendiri. Sangat banyak produk hukum hasil konstruksi kolonial, baik Inggris, Belanda, maupun Perancis. Berarti, dalam bahasa yang tidak asli dari bangsa sendiri itulah kolonialisme mengukuhkan dan melakukan pembenaran kekuasan kolonialistiknya.
d. Batasan Postkolonialisme Postkolonialisme dapat ditempatkan di ruang antara. Misalnya, ruang antara totalitas dan struktur politik sedangkan di sisi lain ada fragmen politik. Yakni,
ruang
perdebatan
antara
Marxisme
dan
pascamodernisme/
pascastrukturalisme. Dua ruang itu masing-masing tidak pernah berkaitan. Malahan, pertentangan di antara keduanya selalu bersaing dalam pokok-pokok pemikirannya. Pertama, secara meta-naratif atau narasi besar. Postkolonialisme membidik sesuatu yang lebih luas dari batasan makna katanya sendiri. Menelisik sesuatu yang tak terbatas kolonialisme. Sehingga bersifat transhistorisitas postkolonial. Di sini, postkolonialisme mampu melampaui dirinya sendiri. Namun, terang Aijaz Ahmad,90 terjadi efek kokosongan yang amat fundamental dalam makna sesungguhnya akibat konstruksi transhistorisitas postkolonial yang diglobalkan. Penyebaran makna tersebut yang demikian luas menjadikan kita tidak dapat bicara mengenai sejarah tertentu dari struktur yang tertentu pula.91 Dirinya, postkolonialisme, menginginkan dirinya lebih jauh dari sekat-sekat bahasan tentang kondisi kolonialisme dan struktur yang dibangunnya. 90 91
Aijaz Ahmad ialah penganut teori Marxisme dan kometator politik di India Leela Gandhi, ibid. hlm. 223.
70
Begitu karena postkolonialisme menganggap ada kekuatan atau luas masalah yang tidak dapat diukur secara fundamental atau terdefinisi. Misalnya, subordinasi secara kultural yang menonjol di masyarakat koloni Australia. Berbeda dengan subordinasi administrasi dan meterialistik di tanah jajahan Asia dan Afrika. Jika, postkolonialisme menutup diri terhadap perbedaan-perbedaan itu, maka dia akan kehilangan intervensi politis dan etis. Menuju kondisi ketidaksetiaan dan kekuasaan.92 Kedua, akhir kolonialisme. Postkolonialisme dapat menjadi pemikiran terbaik sebagai kritik sejarah, demikian kata Robert Young. Terutama dalam perdeban sengit antara Marxisme dan postmodernisme atau postrukturalisme. Marxisme sendiri dengan amat jelas lepas dari alegori-alegori postkolonialisme terhadap sejarah. Sedangkan lawan-lawannya telah berhasil dikritik Marxisme dalam pemikiran sejarah atau historisismenya.93 Postkolonialisme dapat berkembang dengan pesat sesuai kondisi masyarakat dunia bila disertai perlawanan terhadap mainstream. Anne McClintock94 mengetengahkan kritiknya dengan pendapatnya tentang kata ”post” dalam kata postkolonialisme. Kata-kata itu menyerahkan suatu prestise tentang suatu sejarah kepada kolonialisme. Pemikiran-pemikiran ini dapat bertemu dalam penyatuan paradoks keanekaragaman dan dinamika masyarakat dunia terjajah hanya dalam satu konstruksi saja. Yaitu, bersejarah melalui kategori tunggal kolonialisme. Meskipun sebagai upaya balas dendam, menurut Tiffin, postkolonialisme dapat meneruskan dua cita-citanya. Pertama, membongkar 92
Ibid. hlm. 225. Ibid. 94 Anne McClintock (lahir pada 1954 di Harare, Zimbabwe) dia dikenal sebagai feminist. 93
71
kenyataan subordinasi masyarakat dunia oleh Eropa. Kedua, mengorek-orek segala sesutu yang menyimpang di tubuh kolonial yang dilakuan kalangan yang menolak kolonialisme.95 Dua hal tentang pemaksaan dan balas dendam justru tidak akan meminimalkan pengakuan sedang dalam kondisi terjajah. Malah, menyetujui kondisi itu sebagai kolonialisme. Nah, pendapat ini telah mengecualikan kalangan-kalangan atau kelompok-kelompok ”nonpemaian”—dalam bahasa Anandi. Sebagai batasan kebutuhan akademik postkolonialisme sudah mampu menyingkap dan menamai bentuk masa lalu sejarah kita sebagai kolonialisme secara nyata adanya. Sehingga inkoherensi sejarah menemukan mangsanya secara akademik dan dapat pula dipertanggungjawabkan dalam pandangan restropektif yang menyatu terhadap kritik postkolonial. Bisa terjadi seperti itu ketika postkolonialisme terkungkung dalam identifikasi diri sebagai ”akhir” atau ”setelah” masa kolonialisme.96 Di awal, kekhawatiran keterbatasan postkolonialisme ini sudah diantisipasi dengan pengertiannya yang tidak sebatas tekstual, ”setelah”. Tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan kolonialisme; warisan sejarah, warisan mental, warisan pengetahuan dan sebagainya, ketika dan setelah kolonialisme. Bahkan, sebelum kolonialisme itu ada. Tatkala Barat dan Eropa mengkronstruksi tentang Timur sebelum kedatangannya secara fisik (kolonialisme) maka sejak itulah sudah dimulai bidikan postkolonialisme. Sehingga batasan postkolonialisme tidak terbatas ruang dan waktu yang terdefinisi secara sempit. Sebagaimana dikatakan 95 96
Ibid. hlm. 227. Ibid. hlm. 229-300.
72
Gilroy yang dengan keras mendukung bahwa tema-tema postkolonialisme melebihi batas-batas etnisitas dan nasionalisme untuk menyatakan tentang ”kesadaran ganda”. Tambah Gilroy,
meskipun begitu postkolonialisme lebih
mempunyai sifat murah hati.97
e. Relevansi Postkolonialisme di Nusantara Teramat banyak warisan kolonialisme Eropa di Nusantara. Teks, wacana, manuskrip, artefak, benda fisik bersejarah, dan sebagainya. Efek kolonialisme juga berupa warisan yang mengendap dalam kehidupuan manusia dalam keseharian masyarakat Nusantara pascakolonial. Meskipun, dekolonisasi secara formal sudah terjadi di sini pada 17 Agustus 1945, dan banyak negara lain. Namun, bekas inveksi kolonialisme Eropa di Nusantara; Portugis, Sepanyol, dan Belanda masih tetap hidup. Ditambah lagi dengan penjahan –dalam bahasa Jayabhaya98--orang-orang cebol alias Jepang. Postkolonialisme menjadi amat relevan dan menemukan objek yang tepat untuk menganalisis kenyataan masyarakat Nusantara pascakolonialisme. Akan mengorek bekas-bekas kolonial di berbagai lini kehidupan kita. Seperti manipulasi pengetahuan, dikotomi yang menyesatkan, dan ajaran-ajaran takhayul irasional—atas nama rasionalisme— modern yang amat sangat menyesatkan! Menelanjangi
kuasa
pengetahuan,
modal,
dan
kekuasaan
yang
terakumulasi sebesar-besarnya untuk kepentingan pengkoloni. Yang secara 97
Ibid. hlm.181. Maharaja Jayabhaya adalah raja Kediri (1135-1157). Gelar lengkapnya Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. 98
73
historis, kolonialisme di Nusantara sejak awal abad ke-17. Ditandai berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) oleh Belanda. Sedangkan Inggris mendirikan organisasi sejenis dengan nama East Indies Company (EIC), pusatnya di Kalkuta, India. Warisan nalar kolonial bagi bangsa kita yang disebut inlander demikian kuat. Sampai menampilkan mental minder dan malas. Di bidang pengetahuan terhipnotis dengan tipu daya pengetahuan ”rasional” modern yang irasional. Sebagaimana fokus riset ini, relevansi teori postkolonial dipakai di kawasan yang dulu disebut Nusantara ini akan dikhususkan pada era kolonialisme Belanda. Yakni, era yang ditandai dengan masuknya perdangan dunia yang kapitalis, VOC. Perekonomian dikuasai oleh Belanda. Namun, tidak semua kawasan berhasil dikuasi kongsi dagang Belanda, yang selanjutnya diambil alih pemerintah Negeri Belanda terhadap Nusantara. Namun, tidak semua kawasan langsung tunduk dan dikuasi Belanda. Karena fanatisme keber-Islam-annya yang begitu kuat sehingga susah menerima yang lain. Maka, untuk merobohkan bangunan budaya dan masyarakat Nusantara yang diperkuat oleh agama dikirim penasehat-penasehat intelektual di kawasan jajahan Belanda, atau Hindia Belanda. Seperti, C. van Vollenhoven (18741933).99 Namun, para penasehat Pemerintah Hindia Belanda tidak menampakkan hasil memuaskan dalam nasehat dan strateginya. Lantas kemudian, dikirimkanlah penasehat intelektual, arsitek, think thank, dan kreator yang lihai dalam bidang akademik, penelitian, ilmu pengetahuan, dan sekaligus agama. Yaitu, Dr. 99
Cornelis van Vollenhoven (lahir 8 Mei 1874 di Dordrecht- mati 29 April 1933 di Leiden).
74
Christiaan Snouck Hurgronje. Sejak itu konsepsi pengusaan kolonial Belanda terhadap koloni Nusantara berjalan mulus. Halus,
mulus,
menyusup,
menggurita,
dan
beracun.
Dikuasi
pengetahuannya, agamawan, sekaligus masyarakat. Untuk kemudian dikonstruksi hukum-hukumnya; hukum Islam maupun budaya (hukum adat), sesuai kepentingan kolonial Belanda. Dikenal dengan hukum yang bewatak sangat kolonialistik yang pelaksanaannya diperkuat melalui kebijakan Pemerintahan Daerah Jajahan Hindia Belanda. Selanjutnya, masyarakat dikondisikan mematuhi maksud-maksud kolonialisme Belanda. Terbukti, kolonialisme Belanda di bumi Nusantara berjalan langgeng setelah Christiaan Snouck Hurgronje ikut memperkuat sebagai think thank atau kreator atau arsitek intelektualnya. Dan, peneliti perlu menelisik sekaligus mengoreksi bekas-bekas kolonialisme di bumi Nusantara dengan penuh kesabaran; dibantu ketangguhan dan ketajaman postkolonialisme!
75
BAB III DINAS MATA-MATA DAN PEMIKIRAN PERDATA KOLONIAL CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
A. ARKEOLOGI1 PEMIKIRAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
a. Christiaan Snouck Hurgronje dalam Bacaan Situasi Keluarga Seorang Pendeta Protestan, Ds. J.J. Snouck Hurgronje memiliki anak dari Anna Maria de Visser (1819-1892) yang diberi nama Christiaan Snouck Hurgronje.2 Anna Maria de Visser sangat populer di kalangan pendeta sebagai puteri Pendeta Protestan Ds. Christiaan de Visser—rekan sejawat Ds. J.J. Snouck Hurgronje—dengan Anna Catherina Scharp. Pada tanggal 3 Mei 1849 Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser yang belum resmi menikah dikeluarkan dari Gereja Hervormd di Tholen atau Zeeland Belanda karena 1
Foucalut memakai istilah ‘arkeologi’ untuk mempelajari praktik dikursus atau wacana yang melibatkan aturan main di dalamnya. Arkeologi merupakan kategori epistemologis selain ada juga istilah ’genealogi’. Yang disebut terakhir ialah sebuah model analisis diskursus yang secara khusus melihat relasi tak terpisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan di dalam diskursus. Dalam kerjanya, arkeologi dan genealogi, tidak terpisahkan. Karena arkeologi berurusan dengan episteme atau struktur pemikiran yang khas dari suatu jaman. Lihat, Roberto Machado, Kritik Arkeologi Foucault, dalam Majalah BASIS, No. 01-02, Thn. 52, (Januari-Februari 2003), hlm. 50-61. 2 Penulis akan mempertahankan redaksi ‘Christiaan Snouck Hurgronje’ dalam penelitian ini untuk memperlihatkan obyek penelitian sebagaimana adanya. Tindakan ini amat berbeda dengan banyak banyak peneliti lain yang menuliskannya dengan redaksi C. Snouck Hurgronje, Snouck Hurgronje, Snouck atau Hurgronje saja. Karena tiga redaksi terakhir menjadi kamuflase bagi pembaca awam untuk mengerti bahwa tokoh yang sedang dibahas dibesarkan dalam tradisi Nashrani yang kuat.
76
melakukan hubungan gelap. Padahal waktu itu Ds. J.J. Snouck Hurgronje telah menikah dan mempunyai enam orang anak. Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser baru resmi menikah setelah sekitar enam tahun tragedi pengusiran di Gereja Hervormd. Yakni, setelah istri Ds. J.J. Snouck Hurgronje yang pertama meninggal dunia 31 Januari 1855 di Terheijden.3 Christiaan Snouck Hurgronje dilahirkan di Oosterhout, Belanda, pada tanggal 8 Februari 1857.4 Artinya, dua anak Ds. J.J. Snouck Hurgronje dari Anna Maria de Visser lahir di luar perkawinan resmi. Karena Christiaan Snouck Hurgronje adalah anak yang ke empat dan dilahirkan dua tahun setelah perkawinan resmi orang tua kandungnya. Dari arsip Kota Oosterhout, Terheijden dan Mechelen, didapat keterangan bahwa kedua anak pertama, Anna Maria dan Jacqueline Julie dilahirkan berturut-turut di Chilham (Inggris) pada tanggal 24 Mei 1849 dan di Mechelen pada tanggal 4 Desember 1850. Setelah perkawinan lahirlah pada tanggal 19 Februari 1855 Christina Anna Catherina (wafat pada 3 Maret 1856 di Oosterhout); pada 8 Februari 1857 Christiaan di Oosterhout; pada 3 September 1859 Anna Catherina di Oosterhout. Kedua anak pertama yang lahir sebelum perkawinan sah memakai nama ibu mereka ‘De Visser’ setelah meninggalkan Oosterhout pada tanggal 3 Mei 1871; anak-anak lainnya selalu memakai nama ‘Snouck Hurgronje’.5 3
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Het Kantoor voor Inlandsche Zaken, Cet. II, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 119. Lihat pula Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 7. 4 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. v. 5 P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje En Islam; Acht artkelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk, terj. P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam;
77
Secara kasat mata bisa dilihat bahwa nama ‘Chistiaan Snouck Hurgronje’ merupakan gabungan nama kakeknya ‘Christiaan’ dan nama ayahnya ‘Snouck Hurgronje’.6 Dengan menyandang dua nama besar ini menjadi tugas berat baginya. Karena ia harus menjalani hidup sebagai pemuka bagi penganut Protestan atau pendeta dalam rangka memperbaiki atau menebus kesalahan yang pernah diperbuat ayah7 dan ibunya. Meskipun pada tanggal 13 Agustus 1856 permohonan Ds. J.J. Snouck Hurgronje agar kedudukannya di Gereja Hervormd dipulihkan kembali telah dikabulkan. Kurang dari setahun, pada tanggal 12 April 1867, Anna Maria juga diterima sebagai anggota di tempat itu setelah mengajukan permohonan8 dan permaafan. Rehabilitasi nama yang diperoleh kedua orang tuanya tidak menjadikan beban Christiaan Snouck Hurgronje untuk kembali mengharumkan nama keluarga atas masa lalu orang tuanya otomatis batal. Menurut F. Schroder, Christiaan Snouck Hurgronje, merupakan nama yang semua diperuntukkan bagi orang lain.9 Bukan nama yang ‘diperuntukkan’ bagi anak keempat Anna Maria de Visser sebagai individu bebas. Nama tersebut mengandung jati diri dan masa lalu orang tuanya (Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser) yang include pada Ds. Christiaan de Visser. Dalam persoalan cinta di dalam keluarga Christiaan Snouck Hurgronje sebagaimana anak manusia lain yang mengidolakan ibunya. “Menurut pengalaman,” demikian Christiaan Snouck Hurgronje menulis, “saya tahu bahwa cinta seorang ibu tidak Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, (Jakarta: PT Girimukti Pasaka, 1989), hlm. 109-110. 6 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 110-111. 7 Ibid., hlm. 31. 8 Ibid., hlm. 177. 9 Ibid., hlm. 31.
78
dapat dibandingkan dengan apa pun juga di dunia dan bahkan hampir tak dapat dibandingkan dengan apa pun jua …,” kenangnya dikala usia senja. Kenangan khusus terhadap Anna Maria de Visser itu ditulis pada 1921 sewaktu Christiaan Snouck Hurgronje berusia 64 tahun.10 Ds. J. Scharp (1756-1829), buyut (ayah kakeknya) dari pihak ibu, bisa dikatakan sebagai salah satu yang sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje. Ds. J. Scharp, seorang orator ulung di mimbar Rotterdam di zamannya, pada 1824 berhasil menyelesaikan buku pelajaran Islam Korte schets over Mohammed en de Mohammadanen. Hendleiding voor de kwekelingen van het Nederlandsche Zendelinggenootschap atau Seketsa Singkat tentang Muhammad dan Kaum Muslimin. Buku Pegangan bagi Para Siswa Perhimpunan Pengabar Injil Belanda. Buku berbahasa Belanda ini harus disalin tulis tangan oleh murid-murid calon pengabar Injil.11 Buku ini menguraikan kelemahan-kelemahan ajaran Islam, anggapan buruk Islam terhadap ke-Kristenan, disertai trik-trik melumpuhkan ajaran Islam. Selain karena pendidikan modern yang diperoleh di Leiden, pelajaran dari Ds. J. Scharp bisa dianggap sangat mempengaruhi pola pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje sebagai orientalis kolonial di hari kemudian.
10 11
Ibid., hlm. 178. Ibid., hlm. 175-176.
79
b. Pendidikan, Pembentukan Pemikiran, dan Karya Tulis Christiaan Snouck Hurgronje Sekolah lanjutan yang disebut Hogere Burgerschool (H.B.S.) di Breda, Belanda, merupakan tempat Christiaan Snouck Hurgroje belajar Bahasa Latin dan Yunani (Greek). Pada 1874 atau saat berusia 17 tahun dia melanjutkan belajar di Universitas Leiden, Belanda. Fakultas Teologi merupakan jalan awal pendidikan tingginya yang berhasil diselesaikan dalam tempo sekitar empat tahun. Dia bukannya memperoleh pendidikan keagamaan dari jalan Hervormd-tradisional. Tahun 1878 menjadi detik-detik penentuan ketika dirinya lulus sebagai sarjana muda bidang Teologi di Leiden. Setelah sebelumnya Fakultas Teologi mengantarkannya berkenalan dengan tokoh-tokoh ‘modernis Leiden’. Seperti, Abraham Keunen, C.P. Tieles, dan L.W.E. Rauwenhoff.12 Dari ketiga tokoh modernis Leiden ini dia banyak belajar tentang arah pemikiran teologi modern, Teologi modern menarik perhatiannya dan sangat mempengaruhi pandangannya ketika melihat Islam.13 Arah pemikiran modernisme Leiden bisa dibaca dengan jelas saat dirinya menduduki suatu jabatan penting di Hindia Belanda dan berkesempatan mengoperasikan pikiran-pikirannya. Abraham Kuenen, salah satu modernis Leiden yang dikenal sebagai ahli Penjanjian Lama, telah memberikan pelajaran kritik biblik atau kritik atas Kitab Suci kepada Christiaan Snouck Hurgronje. Kritik biblik yang menggunakan metode rasional menghasilkan pemikiran kontroversial dan kadang sangat bertentangan dengan ajaran agama yang dianut di kala itu. Akibat perjumpaan 12
Abraham Kuenen (16 September 18280-10 Desember 1891); lahir di Haarlem, India Utara. Dia ahli dalam Protestan, 13 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 12-13.
80
perjumpaan dengan kaum modernis Lieden Christiaan Snouck Hurgronje menjadi salah satu pengikut fanatik rasionalisme Leiden. Ciri-cirinya adalah penolakan terhadap sesuatu yang irasional. Trinitas14 dan posisi Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik) ditolaknya karena dianggap bagian ajaran agama yang tak masuk akal. Semakin lama di Universitas Leiden, kekuatan pengetahuan dia tambah tertunjang melalui pelajaran bahasa-bahasa Semit yang diperoleh dari R.P.A. Dozi dan Michael Jan de Goeje.15 Dari orang terakhir dia memperdalam bahasa Semit (Samiyah). Khususnya bahasa dan sastra Arab sewaktu di Fakultas Sastra Universitas Leiden. Studi sastra Semit dipilih setelah dia berhasil menjadi kandidat examen sarjana muda pada Fakultas Teologi Universitas Leidien pada 1878.16 Sebelum menjadi murid yang penuh harapan bagi sang orientalis, M.J. de Goeje (1836-1903), Christiaan Snouck Hurgronje sewaktu masih muda pernah terasing dari ahli-ahli teologi Leiden yang modern. Karena ia sempat terhanyut dalam paham Khayal dan Kenyataan (Dichtung und Warheit)-nya Goethe.17 Sejak belajar di Fakultas Teologi Universitas Leiden, Christiaan Snouck Hurgronje memiliki teman akrab seangkatan, namanya Herman Bavinck (18541921). Herman Bavinck di masa-masa berikutnya sangat terkenal sebagai ahli dogmatika Kristen. Herman Bavinck dapat dikatakan sebagi figur yang memiliki kapasitas intelektual yang setara dan setingkat dengan Christiaan Snouck 14
Dalam suatu data menunjukkan bahwa konsep Trinitas yang dipercaya pengikut Kristen (Katholik) berasal dari tradisi Pagan kuno. Konsep Trinitas ini diwakili oleh Semiramis dan anaknya (Pagan Babylonia), Devkan dan Khrisna (Pagan India), Isis dan Horus (Pagan Mesir), dan sebaginya. Dalam Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas). 15 Michael Jan de Goeje (13 Augustus 1836-17 Mei 1909) dia orang Belanda orientalis. 16 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 13. 17 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31.
81
Hurgronje. Meskipun antara dua sahabat tadi masing-masing memilih konsentrasi penelitian yang tidak sama. Namun, satu di antara keduanya biasa terjadi saling memuji dan mengunggulkan secara akademis. Hingga pada suatu saat, Hepp menceritakan anekdot tentang ujian kesarjanaan kedua sahabat tadi. Di mana kejadian dalam ujian kesarjanaan tadi meleset dari dugaan setiap orang; ternyata Christiaan Snouck Hurgronje tidak mendapat hasil cum laude. Sebaliknya, Herman Bavinck lah yang memperoleh cum laude dari dewan penguji. Cerita Hepp: … “Ini”, demian Hepp, “sangat mengecewakan Bavinck. Ia yakin bahwa jika ada orang yang berhak mendapatkannya, maka pastilah orang itu adalah sahabatnya. Ia mengerti bahwa pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik itu. Hari berikutnya ia sendiri mendapatkan giliran. Pada pengumuman hasil ujian, preases memberitahukan bahwa fakultas dengan senang hati memberikan cum laude kepadanya. Bavinck menjadi pucat-pasi. Semangatnya yang menggebu-gebu meledak. Ia melemparkan kertas yang diserahkan kepadanya ke atas meja dan berkata, bahwa ia tak dapat menerimanya. Cum laude harus dicoret. Atau kalau tidak begitu, tuan-tuan dapat menyobek dokumen tersebut. Segera ia meninggalkan ruangan. Hal demikian belum pernah terjadi di Leiden. Itu akan tetap merupakan kejadian unik di dalam riwayat Sekolah Tinggi tersebut”. …18
Kemudian, pergaulannya yang intensif dengan kaum ‘modernis Leiden’ membuat Christiaan Snouck Hurgronje urung dari tujuan semula untuk menjadi pendeta Protestan. Sebaliknya, ia lebih semangat mengembangkan diri dalam bidang orientalistik di bawah bimbingan para modernis Leiden. Sejak saat itulah dirinya sebagai tokoh orientalis-kolonialis dalam dunia pengetahuan menemukan jalur pijak keilmuannya. Aliran modernis Leiden yang diikutinya berpendapat bahwa agama sekadar kesadaran etis. Ialah kesadaran yang terletak pada setiap diri manusia. Serta ajaran tentang dunai Barat sebagai yang segala-galanya atau 18
Ibid., hlm. 44-45.
82
superior jika dibandingkan dunia Timur yang tak beradab. Klaim-klaim demikian dapat dibilang wajar mengingat lingkungan belajarnya di Leiden tergolong liberal di masanya. Liberalisme di Leiden merupakan liberalisme pemikiran yang sangat kuat terpengaruh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882). Darwin memakai teorinya untuk binatang. Evolusi model Darwin di dunia Barat juga biasa difungsikan di bidang kebudayaan. Sehingga kesimpulan evolusi kebudayaan19 itu berbunyi; budaya Eropa (Barat) dan agama Kristen merupakan puncak tertinggi dalam (proses) evolusi kebudayaan. Sedangkan kebudayaan atau ajaran-ajaran di dunia yang selain Barat difitnah sebagai keadaban terbelakang. Islam pun dapat dikategorikan sebagai bentuk “degenerasi” kebudayaan. Karena Islam, bagi kalangan Kristen, merupakan hukuman Tuhan atas segala dosa kaum Nashrani.20 Islam bukan rahmah untuk seluruh alam semesta tapi sanksi bagi umat manusia. Sudah kita ketahui (Bab II) bahwa berkembangnya liberalisme satu paket dengan kolonialisme dan imperialisme.21 Diawali dari revolusi pemikiran pada akhir abad ke-16, oleh Rene Descartes (1596-1650);22 ‘Je pense donc je suis’ atau ‘Cogito ergo sum’, sebagai biji pertama modernisme.23 Bahwa segala sesuatu bisa diterima asalkan jelas rasio bisa menerimanya. Model ini dikenal dengan filsafat rasionalisme. Liberalisme yang disuburkan di Universitas Leiden termasuk yang 19
Proses atau dorongan atau rekayasa ke arah kesempurnaan citra manusia—dalam perspektif kolonial—dengan standar tetinggi (paling sempurna) adalah citra manusia Barat. 20 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 13-14. 21 Lihat Bab II dalam penelitian ini. 22 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. 23 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 2-3. Dan F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 72.
83
mengkonstruk anggapan bahwa Eropa atau dunia Barat paling otoritatif dan di atas dunia mana pun. Sedangkan dunia Timur lebih rendah atau ’tak beradab’ karena belum selesai berevolusi, Barat sudah. Mazhab liberal Leiden ini pun ikut memberi tuduhan kolonialistik bahwa ras kulit berwarna (selain kulit putih Barat) bermental kerdil dan berhati kancil. Tuduhan dan klaim-klaim seperti ini sebenarnya hanya mitos yang dibangun dari rasionalisme Barat untuk menciutkan peradaban Timur. Eropa menghendaki tercipta suatu kondisi di mana bangsa-bangsa kulit berwarna (hitam, gelap, sawo matang, kuning, dll) benar-benar rendahan. Untuk menuju berhasil liberalisme Leiden menggunakan isu-isu seperti ide-ide humanisme.24 Humanism bertujuan ’memanusiaan’ orang-orang Timur dengan dijadikan laiknya orang Barat (dibaratkan). Karena langsung ataupun tidak humanisme sedang menuduh bangsabangsa di luar Eropa (di luar dunia Barat) dengan segala identitas lokalnya sebagai barang bukti bangsa yang tidak beradab (tak berperadaban). Humanisme yang sombong ini berusaha merubah masyarakat dunia selain Barat agar sesuai kondisi manusia Eropa yang ”beradab”. Proyek-proyek liberalisme dari Leiden, seperti tertera dalam humanisme dan isu lain sengaja digencarkan sebagai upaya menghapus identitas asli kebangsaan suatu wilayah yang dijadikan sasaran para orientalis.25 Daerah-daerah sasaran yang sedang diadabkan dunia Barat dengan cara, seperti kolonialisme, disebut koloni26 atau bisa pula disebut daerah taklukan. 24
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet. II, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 295. Orientalisme merupakan pandangan (pendapat dlsb) dunia Barat kepada dunia Timur. Dalam kajian kolonial; Barat (yang memandang, meneliti)/ atau subyek sedangkan Timur (yang dipandang, diteliti) atau obyek alias hewan percobaannya. Kajian untuk membalik situasi ini bisa dilihat dalam oksidentalisme. 26 Dieter Nohlen (ed.), Kamus Dunia Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 342. 25
84
Keseriusan dan minatnya terhadap dunia penelitian yang tinggi pertanda jika Christiaan Snouck Hurgronje memang orang yang tangguh dan berkarakter. Keuletannya di bidang akademik mengantarkannya, pada 24 November 1880 selesai studi doktroral dengan yudicium cum laude, mempertahankan disertasinya berjudul Het Mekkansche Fest.27 Disertasi doktoral Christiaan Snouck Hurgronje diberi predikat yang tinggi oleh P.Sj. van Koningsveld.28 Padahal, P.Sj. van Koningveld merupakan salah satu peneliti dan kritikus hebat yang membedah pemikiran dan kelakuan Christiaan Snouck Hurgronje yang kolonialistik tanpa pengampunan. P.Sj. van Koningsveld memberi predikat Het Mekkansche Fest sebagai karya ilmiah terbaik Christiaan Snouck Hurgronje29 karena penulisnya berposisi benar-benar sebagai ilmuwan. Setelah menyelesaikan program doktoral dan menunjukkan prestasi yang baik Christiaan Snouck Hurgronje diangkat menjadi dosen di ”Leiden & Delf Akademy”. Tugasnya sebagai dosen adalah menyiapkan calon-calon pegawai kolonial Belanda yang akan dikirim ke Hindia Belanda.30 Tugasnya sebagai dosen cukup serius dan sangat menentukan kelanjutan kekuasaan kolonialisme Belanda di Nusantara. Menurut penulis, di sinilah karir Christiaan Snouck Hurgronje sebagai sang kolonialis sejati dimulai dalam langkah-langkah praktis. Meskipun permulaan ini masih berkutat pada dunia akademik perguruan tinggi. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa yang 27
Mekah dijadikan subjek disertasi untuk Ph.D. Christiaan Snouck Hurgronje rupa-rupanya berasal dari gurunya M.J. de Goeje. Lihat Jan Jus Witkam, Christiaan Snouck Hurgronje: a tour d’horizon of his life and work, dalam Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007), hlm. 11. 28 Prof. Dr. van Koningsveld lahir pada 1943. Dia adalah Kepala Bagian Naskah Timur di Leiden dan Dosen tentang Islam di Fakultas Teologi Universitas Leiden. 29 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 14-15. 30 Ibid., hlm. 24.
85
dilakukannya di ”Leiden & Delf Akademy” demi kelanggengan penjajahan Belanda di Nusantara. Banyaknya karya tulis Christiaan Snouck Hurgronje menjadi petunjuk bagi kita sesungguhnya sang orientalis Leiden ini sangat produktif. Selain sangat produktif, melalui karya-karyanya bisa diungkap alur-alur kelonialnya dalam bentuk pemikiran-pemikirannya. Di antara karya tulis doktor pengikut modernis Leiden ini yang mudah dijumpai di perpustakaan kita adalah: 1. C. Snouck Hurgronje, The Holy War, Made In Germany, (New York and London: The Knickerbocker Press, 1915).31 2. C. Snouck Hurgronje, The Revolt in Arabia, (New York and London: The Knickerbocker Press, 1917).32 3. C. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bratara Karya Asara, 1973).33 4. C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1873).34 5. C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter, Het Mekkaansche Feest, terj. Supardi, Perayaan Mekah, (Jakarta: INIS 1989).35
31
C. Snouck Hurgronje, The Holy War, Made In Germany, (New York and London: The Knickerbocker Press, 1915). 32 C. Snouck Hurgronje, The Revolt in Arabia, (New York and London: The Knickerbocker Press, 1917). 33 C. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bratara Karya Asara, 1973). 34 C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1873). 35 C. Snouck Hurgronje, Het Mekkaansche Feest, terj. Supardi, Perayaan Mekah, (Jakarta: INIS 1989).
86
6. E. Gobee dan C. Adiaanse (penyunting), Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I-XI, (Jakarta: INIS, 1990-1995).36 7. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Christian Snouck Hurgronje, Jilid I-XIV, (Jakarta: INIS, 1995-2002). 37 8. C. Snouck Hurgronje, Tanah Gayo dan Penduduknya, terj. Budiman S., (Jakarta: INIS, 1996).38 9. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, deel I en II, (Landsdrukkerij, Batavia; E.J. Brill, Leiden: 1895), terj. Sutan Maimon, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, (Jakarta: INIS, 1997).39 10. C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism, (21 November 2003).40 11. C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, (Leiden: Hotei Publishing, 2007).41 Banyaknya pembahas kiprah dan karya tulisnya membuktikan Christiaan Snouck Hurgronje memang sosok yang sangat diperhitungkan. Baik pun yang ditelaah karena mendukung langkah-langkah kolonialistiknya untuk menguatkan kepentingan Belanda di Nusantara. Atau pun penelaah yang sangat gencar
36
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I-XI, (Jakarta: INIS, 19901995). 37 C. Snouck Hurgronje, terj. S. Maimun dan Rahayu S. Hidayat, dkk. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid I-XIV, (Jakarta: INIS, 1995-2002). 38 C. Snouck Hurgronje, terj. Budiman S., Tanah Gayo dan Penduduknya, (Jakarta: INIS, 1996). 39 C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, deel I en II, (Landsdrukkerij, Batavia; E.J. Brill, Leiden: 1895), terj. Sutan Maimon, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, (Jakarta: INIS, 1997). 40 C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism, (t.p.: 21 November 2003). 41 C. Snouck Hurgronje, (Translated) J. H. Mohana, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, (Leiden: Hotei Publishing, 2007).
87
mengkritik serta menghujat tindakan dan pemikirannya. Beberapa pengkaji dan kajian tentang dirinya (di Bab I) perlu ditambahkan di sini: 1. G. Drewes, Snouck Hurgronje and the study of Islam, (Leiden: UniversityDay Lectures, 1957).42 2. Michael Laffan, Finding Java:Muslim nomenclature of insular Southeast Asia from Sriwijaya to Snouck Hurgronje, (Singapore: Asia Research Institute, 2005).43 3. Jan Just Witkam, The audio-visual dimension, Christiaan Snouck Hurgronje’s documentation of sights and soudns of Arabia, (Leiden: Friday 16 February 2007).44 4. Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007).45 Penelitian yang serius, memperoleh temuan bahwa karya-karya Christiaan Snouck Hurgronje atau pun yang bersinggungan denganya, bukan semata-mata dibuat untuk kepentingan ilmiah. Dengan kata lain, penelitian yang dimaksud tidak murni karya ilmiah. Tak sedikit dari karya-karya yang penulis sebut yang bernuansa kolonial. Bahkan tidak hanya nuansanya saja yang kolonial, isinya pun berupa pembelaan-pembelaan demi membenarkan tindakan Christiaan Snouck 42
G. Drewes, Snouck Hurgronje and the study of Islam, (Leiden: University-Day Lectures, 1957) dapat diakses dari http://www.kitlv-journals.nl 43 Michael Laffan, Finding Java:Muslim nomenclature of insular Southeast Asia from Sriwijaya to Snouck Hurgronje, (Singapore: Asia Research Institute, 2005). 44 Jan Just Witkam, The audio-visual dimension, Christiaan Snouck Hurgronje’s documentation of sights and soudns of Arabia, (Leiden: Friday 16 February 2007). 45 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (18571936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007).
88
Hurgronje dan kelanggengan kolonialisme Belanda ’secara ilmiah’. Kita kenal yang demikian dalam politik balas budi (Ethische Politiek).46 Yang seharusnya penduduk koloni Hindia Belanda berterima kasih karena dari yang mulanya ’tidak beradab’ sekarang sudah ’diadabkan’ melalui kolonialisme Belanda.
c. Petualangan, Penelitian atau Tugas Awal Penyamaran Christiaan Snouck Hurgronje … Mein Hauptzweck war die Beobachtung des durch europaischen Einfluss nicht gehemmten Lebens des Islams un der Wirkungen, welche er von jenen Zentren aus auf andere Lander, namentlich auf unsere niederlandisch-ostindischen Kolonien ausubt (= Maksud utama saya adalah mengamati kehidupan Islam dengan segala akibatnya yang tidak terkungkung oleh pengaruh Eropa, yang justru dari pusat itu timbul pada negeri-negeri lain, yakni atas jajahan-jajahan kami di Hindia Belanda).…47 Christiaan Snouck Hurgronje, 5 Maret 1887.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje bukan semata-mata sutradara yang bermain di balik layar kolonialisme Belanda untuk kawasan Nusantara. Dirinya juga memiliki suatu pengalaman pergulatan pengetahuan di medan nyata yang ‘seru’. Dapat dikatakan petualangan ini tidak semua orang bisa dan mampu melaluinya. Baik penjelajahan demi kepentingan penelitian maupun usaha-usaha lain yang terkait penyamaran dirinya di suatu wilayah penting bagi kelanggengan kolonialisme Belanda di dunia Timur. Kota Mekah merupakan kawasan suci yang diperuntukkan hanya bagi orang Islam. Di luar Islam adalah kafir yang diharamkan menginjakkan kakinya di tempat kelahiran agama suci yang disampaikan Rasulullah Muhammad S.A.W. 46
Politik Etis merupakan kebijaksanaan Belanda terhadap Indonesia berdasarkan rasa hutang
budi. 47
P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 57. [Huruf miring tebal dari Arief Musthofifin/ A.M.]
89
Namun pada 1884 Christiaan Snouck Hurgronje, anak Pendeta Protestan Ds. J.J. Snouck Hurgronje dengan Anna Maria de Visser, telah berhasil memasuki kawasan yang steril dari non-Islam itu (Mekah) sampai 1885. Peristiwa ini terjadi setelah empat tahun dia mengajar di “Leiden & Delf Akademy” untuk menyiapkan calon-calon pegawai kolonial di –“jajahan-jajahan kami” dalam istilah Christiaan Snouck Hurgrenje—Hindia Belanda. Banyak pertanyaan mengemuka seputar peristiwa masuknya cucu Pendeta Protestan Ds. Christiaan de Visser ini di Mekah. Untuk urusan penelitian ataukah tugas menyamar sampaisampai Christiaan Snouck Hurgronje memasuki Mekah? Masihkah beragama Protestan atau sudah ber-Islam sewaktu Christiaan Snouck Hurgronje berada di Mekah? Ataukah keberhasilannya memasuki Mekah dilakukan dengan cara berpura-pura sebagai Muslim agar tugas penyusupannya lancar? Jika terakhir ini yang tarjadi, agama atau keyakinan apakah yang dianut anak keempat Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser ini? Beberapa pertanyaan yang muncul dari kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di Kota Suci Mekah—yang berjargon “selain Islam dilarang masuk!”—diperlukan suatu penguraian. Pada 5 Maret 1887, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje mengakui sendiri maksud-maksud perjalanannya ke Kota Suci Mekah. Yaitu, meneliti kehidupan Islam dari pusatnya. Karena di pusat Islam umat Muslim dari segala bangsa berkumpul. Dari pusat Islam itu pula dianggapnya tersebar pengaruh ke seluruh penjuru dunia. Pengaruh Islam itu termasuk yang timbul di negeri “jajahanjajahan kami”—dalam istilah Christiaan Snouck Hurgronje—Hindia Belanda. Pengakuan itu menunjukkan senyata-nyatanya Christiaan Snouck Hurgronje di
90
Mekah untuk mengetahui arus pergerakan Islam di dunia. Dengan tahu yang terjadi di pusatnya, di pusat itu juga ada masyarakat Islam Nusantara, dia dapat membuat rencana-rencana untuk kepentingan kolonial di Hindia Belanda (“jajahan-jajahan kami”) yang kebanyakan Muslim. P.Sj. van Koningsveld menemukan data pada 1 Agustus 1885 Christiaan Snouck Hurgronje telah menulis surat kepada Theodor Noldeke. Surat itu menceritakan aktivitasnya di Mekah untuk mengetahui pengaruh pusat Islam, Mekah, terhadap gerakan perlawanan masyarakat Muslim di Hindia Belanda. Penggalan isi surat itu: … “Kegiatan saya di sini tidak terbatas pada perdebatan atau pemecahan persoalan-persoalan fikih yang sulit, seperti yang selalu Tuan perkirakan; sebaliknya urusan-urusan itu sama sekali tidak membuat saya sibuk. Sebagaimana berulang-ulang saya katakan, tujuan utama saya adalah menelaah kehidupan Islam: jadi mengamati cara berpikir, cara berbuat dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslim. Pengaruh pusat ini memancar ke segala tempat yang didiami kaum mukminin – khususnya, kerena saya orang Belanda dan tidak menampik ilmu pengetahuan yang praktis, pengaruh-pengaruh tersebut sangat terasa di Hindia Timur. Sudah barang tentu bangunan-bangunan suci sangat menarik minat saya. Tetapi sebagaimana baru saja Tuan kemukakan, keadaankeadaannya tidaklah menguntungkan bagi penelitian hal itu”. …48
Penggalan surat yang dikirimkan kepada Theodor Noldeka tadi menggambarkan maksud-maksud dari aktivitas perjalanan Christiaan Snouck Hurgronje di Mekah. Dari bunyi-bunyi pernyataannya mengandung suatu tujuan penting. Perjalanan itu mengandung maksud ganda. Yakni, tujuan ilmiah untuk pengumpulan pengetahuan tentang kehidupan Islam dari pusatnya. Serta tujuan politik agar tahu lebih gamblang pengaruh-pengaruh pergerakan Mekah terhadap Muslim di Hindia Belanda. Aktivitas lain pada kondisi itu, seperti penelitian 48
Ibid., hlm. 57. [Huruf miring tebal dari A.M.]
91
terhadap prasasti-prasasti atau asal-usul bangunan-bangunan suci, merupakan kerja yang mustahil.49 Arab atau Mekah pada waktu itu sangat ‘anti pati’ dengan kedatangan orang-orang yang berasal dari negara yang penduduknya bukan mayoritas Muslim. Situasi Mekah sangat berbahaya bagi keberadaan orang-orang non-Muslim seperti mayoritas orang Belanda. Dapat dijelaskan kembali, kehadiran Christiaan Snouck Hurgronje di Mekah, pour besoin de la cause (demi sesuatu urusan).50 Pertama, menyelidiki jemaah haji Hindia Belanda di negeri Arab. Dalam tugas ini dirinya memperoleh tunjangan perjalanan dari Kementerian Urusan Jajahan. Tak selang lama setelah kedatangannya di Arab ia menekuni keadaan jemaah haji Hindia Belanda di Jeddah. Di tanah Arab dia tidak mungkin bekerja sendirian. Ada informaninforman yang rutin mengirim informasi kepadanya. Dalam catatan-catatan di buku hariannya ia mendapat informasi dari Raden Abu Bakar Djajadiningrat, pelajar asal Sunda di Mekah. Kedua, kedatangannya di Mekah karena Christiaan Snouck Hurgronje hendak mencontoh pakar Islam Ignaz Goldziher dengan cara menjadi murid para syaikh Azhar di Kairo. Agar mendapat kesempatan istimewa mempelajari Islam dari dalam. Dia nampaknya sedang meniru langkah-langkah Goldziher supaya diterima sebagai muridnya para ulama Mekah.51 Dengan begitu
49
Op.cit. Seperti halnya amata-mata ulung Perancis Leon Roches setelah masuk Islam pada tahun 1837, “sebagai orang dalam” mempunyai peran penting dalam penaklukan Afrika Utara oleh Perancis. Bandingkan Abun-Nasr, The Tijaniyya. A sufi order in the modern world, London, 1965, hal. 66, 69, 70 catatan 38; dan kepustakaan yang tercantunm di sana. Bandingkan juga kasus Ny. Rosita Forbes, dengan nama Siti Khadijah, seorang muslimah, melakukan perjalanan melalui daerah orang Sanusi (De Telegraaf 30/3/1921 dan lain tempat). Selanjutnya bandingkan Augustus Ralli, Christians at Mecca, London, 1909. P.Sj. van Koningsveld, ibid., catatan kaki, hlm. 130. 51 Ibid., hlm. 130. 50
92
dia akan mendapat legitimasi dan klaim-klaim penguat di hadapan khalayak sebagai seorang ‘pendukung Islam yang serius’ dan ‘Muslim tulen’. Dia di Mekah tidak cuma mengandalkan kekuatan intelektual dan dukungan dari perguruan tinggi di Leiden. Karena melaksanakan agenda yang amat penting dan susah pasti dilatarbelakangi dukungan kekuatan lain. Kekuatan itu seperti devisi intelejen Kerajaan Belanda atau kerjasama dengan persekutuan di dalam negeri Arab, dan sebagainya. Memang tidak sedikit pelajar-pelajar terdidik dengan cara Eropa dan berprestasi yang kemudian dilatih secara khusus untuk kepentingan dinas mata-mata. Dinas yang melibatkan kerja sama jaringanjaringan elit tertentu yang bergerak melancarkan perjalanannya di Mekah. Supaya kehadirannyanya di Mekah diterima dengan baik-baik laiknya kunjungan tamu, atau bahkan selayaknya silaturrahmi dari saudara jauh. Tepatnya tanggal 21 Februari 1885 Chistiaan Snouck Hurgronje berhasil masuk Mekah. Hanya selama enam bulan keberadaannya di sana ia telah berhasil mempelajari ilmu kalam dan mengumpulan banyak keterangan tentang tingkah laku jemaah haji Hindia Belanda.52 Keberangkatannya ke Mekah tidak semata karena perintah namun dia juga berkehendak dan ikut mengkonsep skenarionya. Pelibatannya dalam konsep ini agar apa-apa yang terjadi di Kota Suci selalu bisa dia kendalikan. Menurut keterangannya, “jadi saya pikir, sebelum keberangkatan saya (Februari 1885), saya harus resmi menerangkan dalam perintah…,” katanya. “Ini demi studi dan keselamatan diri saya,” lanjutnya. Dalam pengakuan lain, tentang keberangkatannya ke Mekah, pun dia sendiri yang akan menerangkan atau 52
Ibid., hlm. 95-96.
93
membuatnya dalam surat resmi perintah. De Lostalot ikut menjamin dengan janji berulang kali tidak akan menyinggung kasus tersebut pada saat Christiaan Snouck Hurgronje berada di kota suci, dan De Lostalot kembali ke Eropa. Janji pasti untuk menutupi maksud keberadaannya di Mekah telah membuat Christiaan Snouck Hurgronje lega hati untuk berada di Kota Suci.53 Menanggapi keberadan Christian Snouck Hurgronje di Kota Suci Mekah, P.Sj. Koningsveld, tanggal 16 November 1979 di hadapan Lembaga Ketimuran di Belanda, menerangkan bahwa tanpa “masuk” Islam tidak mungkin orang bisa memasuki Mekah. Maka dari itu Christiaan Snouck Hurgronje telah “masuk” Islam lebih dahulu untuk menciptakan kepercayaan antara para ulama Mekah dengan dirinya. 54 Tanpa perbuatan demikian nampaknya sangat mustahil dirinya di kemudian hari menjadi orientalis dan penasihat kolonial di Hindia Belanda atas prestasinya di Mekah. Karena penolakan, pengusiran, dan ancaman pembunuhan terhadapnya sangat bisa terjadi jika dia memasuki Mekah sebagai non-Islam atau peneliti (orientalis) semata. Pernah terjadi terhadap diri Prof. Huber, arkeolog Perancis, yang pada 1884 yang mengadakan perjalanan meneliti prasasti-prasasti melalui negeri Arab, kemudian dia dibunuh dengan cara yang tak dapat diterangkan.55 Dari rangkaian peristiwan ke peristiwa dapat diambil suatu benang merah bahwa Christiaan Snouck Hurgronje dalam perhubungan awal di Arab masih sebagai non-Muslim. Untuk fungsi keamanan dan kelancaran tugasnya maka pada 53
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923), terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 7. 54 P.Sj. van Koningsveld, ibid. hlm. 95-96. 55 Ibid., hlm. 102-103.
94
1 Januari 1885 dia sedia pindah dari tempat tinggalnya di Konsulat Belanda untuk ke rumah baru. Jika ia tetap tinggal di Konsulat Belanda statusnya tidak ubah beda dengan orang Eropa lain yang non-Islam. “Pada tanggal 1 malam menjelang tanggal 2 Januari,” dalam catatannya tanggal 2 Januari 1885, “untuk pertama kali di rumah baru, sejak sekarang Abu Bakar akan menemani saya”.56 Nama orang itu lengkapnya Raden Abu Bakar Djajadiningrat, asal Banten Jawa Barat, ia sudah lebih dulu lima tahun berlajar di Mekah pada saat kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di Jedah.57 Keberadaan Raden Abu Bakar Djajadiningrat merupakan bagian sekenario dari rencana lanjutan yang sudah dipersiapkan. Proses awal untuk berada di Mekah ini telah berjalan mulus seperti telah direncanakan. Di catatan pribadi Chistiaan Snouck Hurgronje didapat keterangan bahwa tanggal 16 Januari 1885 dirinya dikunjungi Qadi atau Hakim Jedah, Isma’il Agha, ditemani petugas Wali dua orang yaitu Gubernur Hijaz yang berkedudukan di Mekah sebagai pembesar pemerintah tertinggi dan Wakil Khalifah Utsmaniah di Istambul.58 Catatan berikutnya yang masih terkait, pada kunjungan terakhir tanggal 18 Januari 1885, dirinya diundang Gubernur Hijaz untuk kemungkinan perjalanan ke Mekah. Gubernur Hijaz menganggap Christiaan Snouck Hurgronje sebagai tamu. Kamudian perhubungan antar elit ini berlanjut pada tanggal 21 di rumahnya lalu ke Kebun Konsulat untuk berfoto.59
56
Ibid., hlm. 100-101. Ibid., hlm. 101. 58 Ibid., hlm. 101-102. 59 Ibid., hlm. 102. 57
95
Christiaan Snouck Hurgronje selama di Mekah (sejak 21 Februari 1885) menggunakan nama baru, yakni Abdul Ghaffar.60 Walau berada di Mekah dirinya masih sering menerima berbagai surat berbahasa Arab dari Jedah dan tanpa keraguan semuanya menganggap ia sebagai Muslim bahkan sebagai ulama. Barang bukti surat-menyurat itu sekarang tersimpan di Perpustaan Universitas Leiden, Belanda.61 Namun kemudian, ternyata keberadaan Christiaan Snouck Hurgronje di Mekah tidak bertahan lama. Di awal paruh terakhir tahun 1885 Christiaan Snouck Hurgronje mau tidak mau harus meninggalkan Mekah berdasarkan perintah pengusiran. Pertistiwa yang terjadi pada 5 Agustus 1885 itu sebelumnya diawali pembacaan surat pengusiran oleh Wakil Gubernur dalam bahasa Turki yang tidak ia pahami. Menarik membaca tulisan Van’t Veer: … Sebenarnya semua yang bersangkutan mengetahui identitas sarjana Belandanya dan antara lain dia mendapat bantuan sepenuhnya dari gubernur Turki. Turki masih menguasai seluruh Semenanjung Arab. Keberangkatannya yang tergesa-gesa terjadi justru atas permintaaan Gubernur, yang khawatir timbul kesulitan ketika oleh berita-berita dalam pers Barat timbul kesan bahwa Abd al-Ghaffar bukanlah sarjana tetapi mata-mata. Kertas-kertas kerjanya dikirimkan kemudian dengan rapi kepadanya dan tidak seorang Muslim pun yang menyatakan keberatan terhadap publikasi-publikasinya tentang Mekkah. Karyanya itu merupakan telaah sumber-sumber, disusun sebagai suatu “penelitian lapangan” yang sangat modern untuk waktu itu, yang menunjukkan banyak sekali orisinalitas Snouck, keberaniannya mengabdi ilmu dan daya pemahamannya akan ilmu bahasa dan ilmu bangsa-bangsa.62
Dalam kondisi terusir dari Mekah, setiba ia di Jeddah masih bisa berhubungan dengan berbagai kolega di Mekah. Sebuah nama Aziz ibn al 60
Abdul Ghaffar merupakan nama samaran Christiaan Snouck Hurgronje ketika di Mekah pada 1885. 61 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 118. 62 Paul Van’t Veer, De Atjeh-Oorlog, (Uitgeverij De Arbeiderspers/Wetenschappelijke Uitgeverij, 1979), terj. Paul Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985). hlm. 151. [Huruf miring tebal dari A.M.]
96
Haddad, orang Aljazair, tak luput dihubungi untuk memperoleh keterangan perihal pengusirannya. Aziz ibn al-Haddad menerangkan dirinya sangat yakin pengusiran itu bukan karena ke-Islaman. Pasalnya Christiaan Snouck Hurgronje telah mengumumkan masuk Islam secara terang-terangan sehingga dibenarkan para ulama Mekah. Perlu diketahui, Aziz ibn al-Haddad sama seperti Raden Abu Bakar Djajadiningrat, keduanya setia menjadi informan bagi kelancarakan tugastugas Christiaan Snouck Hurgronje. Meskipun berikutnya Christiaan Snouck Hurgronje telah pulang ke Leiden akibat pengusiran di Mekah dirinya tetap menerima informasi dari Raden Raden Abu Bakar Djajadiningrat.63 Paling tidak ada sekitar tiga kali kiriman karangan berbeda Raden Raden Abu Bakar Djajadiningrat dalam Bahasa Arab. Kiriman itu diterima melalui Konsulat Belanda sekitar musim gugur 1886, 10 Januari 1887 dan 17 Desember 1887.64 Sebagai informan, Raden Raden Abu Bakar Djajadiningrat, cepat tanggap membalas dalam bahasa Arab surat-surat Chistiaan Snouck Hurgronje tentang keterangan-keterangan yang diperlukan. Jadi, sejak 1884 sampai Christiaan Snouck Hurgronje berada di Leiden lagi masih tetap ada hubungan intensif dengan Raden Abu Bakar Djajadingingrat sebagai informan. Tidak keliru jika dikatakan, arti masuk Islamnya Christiaan Snouck Hurgronje menjadi Abdul Ghaffar hanya sekadar anekdot. Kepercayaan yang diberikan para ulama Mekah kepadanya hanya dijadikan pelengkap syarat untuk menduduki jabatan penasihat urusan Islam di Hindia Belanda. Meskipun ada pula yang berpendapat bahwa dia benar-benar masuk Islam. Yaitu, setelah dia berlayar 63 64
Ibid., hlm. 131-132. Ibid., hlm. 131-132.
97
ke Arab (1984), agaknya di suatu tempat selama musim panas (1884 atau 1885), Christiaan Snouck Hurgronje “mengucapkan kalimat syahadat untuk masuk Islam, sekaligus memutuskan ikatannya dengan Gereja Hervormd. Buku hariannya bungkam tentang hal ini – ia merahasiakan masuk Islamnya bagi bukan-Muslimin.”65 Tetapi, anekdot-anekdot ke-Islaman Christiaan Snouck Hurgronje masih dilanjutkan ketika dirinya berada di Hindia Belanda. Sehingga sewaktu ada pemberontakan di berbagai bagian Hindia Belanda, misalnya Perang Aceh, dirinya mampu memperoleh keterangan-keterangan yang tidak biasa. Suatu keterangan yang tidak mungkin diperoleh pegawai administrasi pemerintah Hindia Belanda mana pun. Karena keterangan-keterangan ini diperolehkan dari informan yang setia ditambah hubungan intim dirinya dengan penduduk Hindia Belanda. Sedangkan para ahli kalam Mekah benar-benar berhasil ditipu kemusliman Christiaan Snouck Hurgronje atau Abdul Ghaffar. Sungguh yang demikian itu adalah kesalahan mereka sendiri (baca, ahli kalam/ ulama Mekah) yang harus ditanggung.66 Sekaligus koreksi bagi jalannya pemerintahan di Kota Suci supaya lebih awas.
65 66
P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31-32. Ibid., hlm. 98.
98
B. PENDUDUKAN BELANDA DI NUSANTARA DAN PENUGASAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
a. Masyarakat Nusantara dalam Pendudukan Belanda Secara historis formal, kolonialisme Belanda di Nusantara sejak awal abad ke-17. Ditandai dengan berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie yang dikenal dengan VOC (1602-1799)
67
oleh Belanda. Selama Perang Inggris IV
(1780-1784), VOC di Indonesia semakin terpisah dari negeri Belanda. Akibatnya VOC bukan hanya harus meminjam sekitar 2.300 prajurit dari Surakarta dan Yogyakarta guna mempertahankan Batavia dari serangan yang diduga dilancarkan pihak Inggris (yang tidak pernah terjadi), melainkan juga harus meminta bantuan keuangan kepada pemerintah di negeri Belanda.68 Sedangkan Inggris mendirikan organisasi sejenis dengan nama East Indies Company (EIC), pusatnya di Kalkuta, India. VOC dan EIC sama-sama sebuah persekutuan dagang yang bertujuan mengeruk kekayaan (gold) dari wilayah potensial yang diincar atau jadikan daerah koloni. Dalam aksinya VOC mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam Bumi Pertiwi. Tak luput cara kotor dan keji dipakai untuk menyerang dan melumpuhkan penduduk. Perlawanan perjuangan rakyat untuk merdeka dari kolonilisme Belanda terjadi di mana-mana. Di antaranya perlawanan Pattimura (1817) di Maluku Tengah, perlawanan rakyat Banjarmasin (1859-1863 dan 1863-1905) di Kalimantan Selatan, 67
VOC yang didirikan pada Maret 1602 bubar pada 1799 karena skandal korupsi besarbesaran. Sehingga Pemerintah Kerjaan Belanda segera melakukan upaya penyelamatan dengan cara mengambil alih wewenang administrasi dan kekuasannya. 68 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 242.
99
perlawanan Sultan Iskandar Muda di Aceh (1598), perlawanan Sultan Agung di Jawa (1628-1629), perlawanan Sultan Hasanuddin di Makassar (1666), dan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten (1680).69 Rangkaian-rangkain pemberontakan di berbagai titik penting ini membuat penjajah Belanda bingung dan kehilangan arah. Karena tidak mungkin jumlah personal pasukan pemerintah Hindia Belanda yang terbatas akan cukup menangani perlawanan rakyat jika dilakukan secara serempak di banyak wilayah. Namun, rasa pusing Belanda tidak berlangsung lama. Perlawanan rakyat terjajah Belanda yang membuncah di manamana masih bisa dipatahkan.70 Sehingga dalam hitungan waktu yang relatif cukup lama Belanda masih mampu menjaga kekuatan dan kuasanya atas daerah koloni di Nusantara. Di lain sisi, gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap pasukan Belanda tidak pernah mati. Terutama perlawanan yang dilangsungkan masyarakat Muslim yang dipimpin tokoh-tokoh Islam kharismatik. Karena Pribumi memiliki etika kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin agama, seperti kiai. Semakin baik seorang pemimpin Islam di mata masyarakat Muslim, semakin tinggi fanatisme dan kepatuhan terhadapnya. Jika suatu ketika terjadi seruan dari pemuka agama Islam untuk perang melawan penjajahan maka dukungan fanatik massa yang besar sangat mudah diperoleh. Untuk itu perlawanan masyarakat Muslim terhadap penjajah mungkin saja terjadi merata di kantong-kantong penyebaran Islam. 69
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusant, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 150-277. 70 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945, (Den Haag: 1958), terj. Daniel Dhakidae, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta Pusat: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 37-38.
100
Tidak sedikit pula terjadi perlawanan besar—dalam bahasa kolonial adalah ’pemberontakan’—masyarakat Muslim yang sungguh-sungguh terjadi dan terus meluas. Perlawan kuat masyarakat Muslim ini juga karena alasan idelogis yang paling pokok, yaitu iman. Perlawanan wujud Perang Sabil atau Jihad. Tujuannya, melawan konsolidasi kekuatan pemerintah Belanda di Jawa dan Sumatera selama abad ke-19. Contohnya dapat dijumpai dalam Perang Banten pada pertengahan abad ke-18, yang disebut Perang Cirebon (1825-1830), dan terutama Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Diponegoro dari Mataram di bawah panji-panji Islam dengan sangat gigih melawan penjajahan Belanda. Contoh lain dapat dilihat dalam Perang Padri. Orang-orang Belanda turun tangan dan ikut campur dalam Perang Padri yang terjadi di Sumatera (18211823) bersama pihak kepala-kepala adat Minangkabau melawan para ulama yang perkasa. Sedangkan selama ganasnya Perang Aceh, yang terjadi pada 1872 sampai 1908, Belanda mengalami kesulitan untuk mematahkannya. 71 Sebab, militansi keIslaman yang sudah sangat mengakar telah dibuktikan dengan darah dan nyawa rakyat Aceh, dan peperangan berlangsung lama. Melihat serangkaian perlawanan yang ganas itu Belanda nampak benarbenar kehilangan arah. Dapat ditunjukkan dalam kebijakan-kebijakan kolonial yang mengganggu akal sehat dan kemerdekaan beragama masyarakat Pribumi Islam Nusantara. Sungguh kebijakan yang payah, kekanak-kanakan, dan pongah. Seperti, larangan ibadah haji, larangan melangsungkan acara ke-Islaman pada hari minggu, dan seterusnya. Demikian ini karena sikap Belanda terhadap umat Islam 71
Harry J. Benda, ibid., hlm. 37-38.
101
di Indonesia, dalam bahasa Benda (1919-1971),72 “dibentuk oleh kombinasi yang kontradiktif antara ketakutan dan pengharapan berlebih-lebihan; kedua-duanya lahir dari kekurangan akan pengetahuan yang tepat, kalau bukannya ketiadaan pengetahuan sama sekali”.73 Di benak pemerintah penjajah Hindia Belanda: … Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisir secara ketat, di dalam banyak hal serupa dengan agama Katholik Roma, dengan susunan kebiaraan hierarkhis yang bersekutu dengan Khalif Turki, dan yang memegang kekuasaan besar terhadap pemerintah Indonesia dan rakyatnya, orang-orang Islam yang kehidupannya, menurut anggapannya, diatur oleh hukum Islam. Baik dalam cabang-cabang internasionalnya – termasuk bahaya permohonan bantuan orang Indonesia kepada para sultan Islam di luar negeri – dan pengaruhnya terhadap kehidupan penduduk asli, Islam dengan demikian nampak, sebagai musuh yang ditakuti. …74
Pengharapan berlebihan yang dimaksudkan Benda adalah bahwa Belanda menganggap dirinya mampu menghilangkan pengaruh Islam di Nusantara melalui Kristenisasi yang digencarkan. Hal ini selaras dengan kesombongan watak kolonial yang menganggap Barat atau Kristen lebih superior dibanding Islam atau Timur. Dengan begitu dikiranya umat Islam di Hindia Belanda dengan sangat mudah bisa di-Kristen-kan dibanding kawasan Muslim lainnya yang lebih taat. Apalagi tujuan ini mendapat dukungan konstitusi dan anggaran negeri Belanda untuk kepentingan missionaries dalam menggencarkan misi Kristen, baik Roma Katholik ataupun Protestan, agar bisa beroperasi di koloni Hindia Belanda. Namun, agaknya misi Kristenisasi ini kurang berhasil jika dibanding ketakutan Belanda yang berlebihan terhadap gerakan Islam. Karena ternyata yang berhasil di Kristenkan hanya minoritas pedalaman yang belum tersentuh Islam. Ketakutan 72
Prof. Dr. Harry J. Benda (1919-1971) merupakan Guru Besar Sejarah di Yale University Amerika Serikat. 73 Ibid., hlm. 38. 74 Op.cit.
102
berlebihan terhadap Islam yang dimaksudkan ialah tentang masa depan Islam Pribumi (Indonesia) yang lebih gemilang menjelang akhir abad ke-19. Untuk melawan ketakukan, mereka membatasi ibadah haji bagi Muslim Pribumi dengan alasan mengada-ada. Kebijakan terakhir ini pun kurang berhasil meskipun membuat Perang Diponegoro sempat terhenti. Sedangkan pemberontakanpemberontakan lain terhadap Belanda tetap berkecamuk di mana-mana. Menurut Benda, berdasarkan latar belakang perlawanan umat Islam Pribumi Nusantara yang tidak kunjung padam dan kebingungan Belanda inilah Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, ahli bahasa Arab dan Islam, pada 1889 diangkat menjadi penasihat pada kantor Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurusi masalah-masalah Arab dan Pribumi.75 Kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje ke Hindia Belanda sebagai ‘orang Islam’, tidak hanya tugas penelitian, juga sebagai agen intelejen.
b. Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje untuk Pemerintah Hindia Belanda dan Penyamaran Berikutnya … bahwa Snouck Hurgronje adalah seorang dibya (hal ini saya pribadi benar-benar yakin; di samping Multatuli dia adalah tokoh dibya kedua dalam sejarah kolonial abad ke-19 kita), kedudukan dan peranannya pada tahun 90-an lebih menggelapkan daripada menjelaskan. Demikian terhadap sebuah buku tebal tentang tindakan Snouck di Aceh, yang ditulis oleh Jenderal K. van der Maaten yang mengaguminya setengah mati; maka dia pun mulai menggambarkan Snouck sebagai sarjana dan negarawan agung, seakan-akan setiap orang yang menemuinya di Aceh harus meyakini hal itu. Pada penulis-penulis yang lebih kritis pun terdapat kecenderungan untuk mengemukakan kebenaran Snouck yang sangat jelas pada tahun 1896 sejak tahun 1893, sekiranya tidak lebih dulu, dibandingkan dengan kebijakan Deijkerhoff yang gagal.76
75 76
Ibid., hlm. 39-40. [Huruf miring tebal dari A.M.] Paul Van’t Veer, ibid., hlm. 151.
103
Banyak hal yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar untuk merebut kepercayaan kalangan Muslim. Tugas penelitian atau penyusupan awal yang dilakukan di Jeddah lalu ke Mekah pada 1884-1885 memberi kesempatan kepadanya memperbesar pengaruh. Adanya kepercayaan ulama dan bangsawan Mekah membuat dirinya tenar dan dikenal masyarakat Hindia Belanda yang sedang berada di Mekah sebagai “mufti” besar. Sekaligus, sekembalinya ke Leiden dirinya tetap dipercaya sebagai orientalis yang ahli dalam Islam. Posisinya sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda dan penyusup (agen) yang lihai untuk kepentingan kolonial bertambah mulus melalui cara dirinya melangsungkan perkawinan Islam atau menikah berdasarkan syari’at Islam selama 1889-1906 di Hindia Belanda. Pertama, pernikahan Christiaan Snouck Hurgronje dengan anak tunggal penghulu besar Ciamis Raden Haji Muhammad Ta’ib, namanya Sangkana (33 tahun). Pernikahan pertama ini dilaksanakan di bawah tekanan Lasmitakusuma, istri bupati Ciamis yang masih kerabat penghulu besar Ciamis yang pada mulanya tidak sepakat. Dari perkawinan ini lahir diantaranya: Emah, Umar, Aminah, dan Ibrahim. Disaat mengandung anak kelimanya Sangkana meninggal dunia sebab keguguran (1895). Akhirnya, Sasmitakusuma mengambil alih fungsi perawatan atas anak-anak Sangkana dengan Christiaan Snouck Hurgronje.77 Kedua, pernikahan kali kedua Christiaan Snouck Hurgronje dilangsungkan dengan Siti Sadijah putri Haji Muhammad Su’eb, wakil qadli (penghulu) di Bandung yang juga dipanggil Kalipah Apo. Perkawinan kali kedua di Hindia Belanda ini terjadi 77
P.Sj. van Koningsveld, hlm. 162.
104
pada 1898.78 Waktu menikah usia Siti Sadijah baru 13 tahun sedangkan Christiaan Snouck Hurgronje berusia sekitar 44 tahun.79 Pernikahan kedua mendekatkan sang orientalis kepada bangsawan dan pejabat keagamaan Bandung. Karena dari garis leluhur keluarga Siti Sadijah ke atas terdapat penghulu, bupati, bahkan raja Jawa Barat. Anehnya, pernikahan-pernikahan tersebut tetap disangkal oleh Christiaan Snouck Hurgronje, meskipun diberitakan di media massa secara vulgar. Malah, “orang-orang
koran”—dalam
bahasa
Christiaan
Snouck
Hurgronje—
dipersalahakan karena dianggap tidak memiliki keinsyafan batin.80 Penyangkalan ini menurut penulis tentu mengandung maksud penting. Pertama, Christiaan Snouck Hurgronje sedang menjaga wibawa kolonialnya. Karena dalam perspektif kolonial orang kulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit berwarna. Apalagi orang kulit berwana itu berjenis kelamin perempuan. Penjagaan wibawa ini karena pernikahannya dengan perempuan Pribumi dapat mengganggu kemurnian ras kulit putihnya. Juga barangkali dirinya akan dikategorikan bangsa kulit putih rendahan. Kedua, menjaga kepercayaan Christiaan Snouck Hurgronje di mata pemerintah negeri Belanda. Agar dirinya tetap dipercaya sebagai orang Belanda secara utuh. Maksudnya, tidak sedang menodai
ras
dan
agama
kolonial
(Kristen)
atas
pernikahannya yang
dilangsungkan sesuai syari’at Islam. Ketiga, menjaga kondisi agar tugas penyamaran sebagai agen kolonial tidak diketahui masyarakat Hindia Belanda secara luas. Karena akan menjadi ganjalan dan dapat menyurutkan kepercayaan 78
Ibid., hlm. 161. Latiful Khuluq, ibid., hlm. 9. 80 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm.160-161. 79
105
pejabat agama di Hindia Belanda jika diketahui menikahi Pribumi secara Islam. Dan keempat, untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai ilmuwan yang bekerja atas keyakinan pengetahuannya untuk tidak disinggung atau diganggu oleh siapapun (liberal), baik penduduk Hindia Belanda maupun kerajaan Belanda. Yang terakhir ini sebagai bukti jika Christiaan Snouck Hurgronje memang setia terhadap liberalisme-modernisme-rasionalisme yang diperolehnya dari “kalangan modernis” Leiden. Terbukti setelah pernikahan-pernikahan dalam Islam dengan perempuan Pribumi, sekembalinya Christiaan Snouck Hurgronje pada 1906 ke Belanda, dia malah menikahi Ida Maria pada 1910. Pernikahannya dengan Ida Maria, putri Dr. A.J. Oort, pensiunan pendeta liberal di Zutphen berlangsung sampai Christiaan Snouck Hurgronje meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936.81 Dari pernikahan ini terlahir seorang anak perempuan bernama Christien. Pernikahan Christiaan Snouck Hurgronje dengan Ida Maria sempat membuat masyarakat gempar. Seluruh pers Hindia terkejut waktu Dr. Christiaan Snouck Hurgronje melakukan perkawinan di gereja pada awal abad ini, pada hal sebelumnya ia mengawini seorang gadis Pribumi secara Islam dan ia mengaku Muslim. Setelah Van Heutsz meninggal, dianggap sebagai pahlawan dan “pasifikator Perang Aceh”, baru ia angkat pena melawan si mati sehingga mengakibatkan adanya dua aliran, Van Heutsz-Snouck Hurgronje, dalam sejarah kolonial Hindia Belanda tentang Perang Aceh.82 81
Ibid., hlm. 124. Baca kritik W.F. Wertheim terhadap Snouck Hurgronje “Countrerinsurgency research at the turn of the Century – Snouck Hurgronje and the Acheh War” dalam Dawning of an Asian Drama, Selected Articles on Modernization and Emancipationi, 1973, Publ.No. 20,. Afd.Z.O. Azie, Universiteit v. Amsterdam (sebelumnya sudah dipublikasikan dalam De Sociologische Gids, 1972). Penyingkapan secara terbuka dan berani terhadap kegiatan dan moralitas Snouck juga dilakukan oleh P.Sj. van Koningsveld dalam risalahnya Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar, Enige historisch-kristische Kanttekeningen, Leiden, Juli 1982. Ceramah van Koningsveld di Indonesia juga mendapat tanggapan luas seperti tulisan W.G.J. Remmenlink “Snouck Hurgronje dan Kode Etik Penelitian Sosial”, Sk. Kompas 2 Februari 1983, H. Oemar Bakri “Kesalahan Besar Pendapat Snouck Hurgronje”, Sk. Pelita, 7 Februari 1983, dll. Risalah van Koningsveld, yang pada mulanya diceramahkan pada 6 Nopember 1979 dan telah mengobarkan polemic lama (lih. 82
106
Lewat pernikahan-pernikahan dengan perempuan Pribumi itu Christiaan Snouck Hurgronje sedang menempuh resiko besar. Sekaligus bukti diri sebagai peneliti yang tetap menjaga validitas datanya. Sehingga lewat pernikahannya dengan Pribumi dapat digapai rahasia kehidupan agama, kemasyarakatan dan rumah tangga bumiputra sebagai masyarakat Muslim secara langsung. Pernikahan-pernikahanya dengan perempuan Pribumi dapat pula dijadikan alasan kuat baginya untuk menetap di Hindia Belanda selama 1889-1906. Di mana kurun ini merupakan masa terpenting dalam kehidupan Christiaan Snouck Hurgronje. Awalnya perjalanan studi dia ke Hindia Belanda atas prakarsa dirinya sendiri. Tepatnya tanggal 1 April 1889 Christiaan Snouck Hurgronje naik kapal di Brindisi dengan tujuan Penang. Tanpa diketahui orang, dari tampat pelabuhan itu, dia menerobos ke pedalaman Aceh dan tiba di sekitar istana Sultan Aceh di Keumala. Perjalanan rahasia ini untuk mengumpulkan keterangan-keterangan militer dan strategi guna kepentingan pelaksanaan perang Belanda di Aceh.83 Surat Christiaan Snouck Hurgronje kepada Jenderal Van der Maaten menarik dicermati: “Sebelum berangkat ke Hindia tahun 1889 saya uraikan kepada Menteri, bahwa, karena Pemerintah terutama berminat kepada arti politik Islam, maka Aceh akan merupakan tempat terkemuka di antara sasaran-sasaran penelitian hlm. 31 risalah tersebut) sepanjang 1980-1981 di Belanda, yang pada pokoknya menyingkap Snouck Hurgronje sebagai agen intelejen, kolonialis, rasis, muslim gadungan dan sebaginya, ditambahi dengan artikel barunya yang mengukuhkan risalahnya tersebut berjudul “Perkawinan, Status dan Politik kolonial di Hindia Belanda. Raden Joesoef mengungkapkan perkawinan ayahnya sendiri Snouck Hurgronje”, Kompas Minggu, 6 Februari 1980. Sedangkan secara umum ditulis oleh Mr.Hamid Al-Godri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, Sinar Harapan, 1984. Lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Cet. II, (Jakata: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 97-98. Dalam catatan kaki nomor 11. [Huruf miring tebal dari A.M.] 83 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 19.
107
saya. Saya tunjukkan bahwa saya di Mekah telah belajar mengenal orangorang Aceh dari dekat, sebagaimana tak ada seorang Eropa lain pun punya kesempatan ke arah itu. Saya bermaksud dengan cara saya sendiri, katakanlah dengan menyamar, pergi ke Penang. Di sana dengan bergaul dengan para pelarian Aceh, saya akan dapat mendengar banyak dan barangkali mendapat kesempatan untuk misalnya pergi ke Keumala. Saya yakin bahwa dengan cara itu akan dapat berbuat banyak untuk menjernihkan keadaan dan barangkali buat mengadakan hubungan pribadi yang baik. Menteri dapat diyakinkan, ia menelegram Gubernur Jenderal yang tidak menaruh curiga lalu saya berlayar dengan diam-diam menumpang kapal pos Inggris ke Penang. Di sanalah Konsul mengejutkan saya dengan telegram dari Buitenzorg yang menyatakan bahwa saya harus membatalkan rencana saya karena besarnya keberatan yang diajukan oleh Jenderal Van Tijn kepada Gubernur Jenderal dan saya harus terus berlayar ke Batavia. Dengan ini penyamaran saya sekarang dan untuk selamanya menjadi mustahil.”84
Jadi, selanjutnya Christiaan Snouck Hurgronje berlayar meneruskan perjalanan ke Batavia naik kapal uap Japara dari Singapura dan sampai tujuan Batavia tanggal 11 Mei 1889.85 Di Jawa Christiaan Snouck Hurgronje memulai aksinya sebagai agen untuk dinas mata-mata bagi kepentingan pemerintah Belanda. Menarik mengambil kutipan artikel di De Locomotief (21 September 1889) yang sebelumnya dimuat De Tijd (Waktu) tanpa nama. Ada anggapan kuat jika artikel itu ditulis oleh Van den Berg atau Prof. Dr. J. de Louter, lawan-lawan Christiaan Snouck Hurgronje. Bahwa: … Dr. Snouck Hurgronje telah meninggalkan kekristenan, menjadi Muslim dan ‘mufti’, sebagian dengan tujuan ilmiah dan sebagian lagi dengan tujuan praktikal, yakni untuk melakukan dinas mata-mata bagi pemerintah Belanda dan melaporkan kepadanya tentang apa yang terjadi di lingkungan perserikatan-perserikatan rahasia keagamaan di Mekah dan di Hindia Belanda.86
84
P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 193-194. [Huruf miring tebal dari A.M.] Ibid.¸ hlm. 194. 86 Ibid., 202. [Huruf miring tebal dari A.M.] 85
108
Christiaan Snouck Hurgronje sebelumnya telah melakukan dinas matamata di Mekah laiknya Ignaz Goldziher.87 Kelanjutan dari tugas mata-mata untuk pemerintah Belanda itu dilanjutkan di Hindia Belanda dengan mulai gencar di Jawa. Seperti telah dijadwal dengan prediksi perjalanan dinas mata-mata di Hindia Belanda dilakukan sangat sistematis. Kira-kira 15 Juli 1889 Christiaan Snouck Hurgronje ditemani Haji Hasan Mustapha memulai perjalanan penelitian dan dinas mata-mata dengan menjelajah Jawa Barat lalu Jawa Tengah. Tanggal 16 Juli 1889 ia pergi ke Sukabumi. Melewati Bandung (17 Juli) ia pergi ke Garut (18 Juli), Calincing (20 Juli), Garut lagi (6 Agustus), dan Cirebon (8 Agustus). Lalu ke Mangunreja (10 Agustus) dan ke Ciamis (13 Agustus), di sana tinggal 10 hari. Seterusnya tiba di Cirebon lagi (23-30 Agustus), Tegal dilalui (6 September), lalu Pekalongan (13 September), dan Wiradesa (14 September). Bumiayu pada tanggal 16 September dan di Banyumas (21 September-3 Oktober). Dia berada di Purbalingga (4 Oktober) dan melintasi Wonosobo (13 Oktober) serta sampai di Purworejo (20 Oktober). Sebelumnya berada di Banyumas (17 Oktober). Melalui 87
Christiaan Snouck Hurgronje termasuk pengagum Ignaz Goldziher. Tak urung dia melakukan pembelaan terhadap idolanya. Ignaz Golziher, “Vorlesungen Uber den Islam.” Cetakan ulang revisi kedua oleh Franz Babinger. Dengan kata pengantar dari C.H. Becker. (Religionswissenschaftlice Bibliothek, diterbitkan oleh Wilh. Streitberg, 1) Heidelberg, 1925, di sertai foto pengarang. Pada tahun 1909, Golziher tidak lagi dapat melanjutkan untuk memberikan serangkaian kuliah tentang Islam, karena kondisi kesehatannya. Padahal dia telah menerima undangan untuk memberikan kuliah tentang sejarah agama dari Komite Amerika. Dengan desakan dari para ahli sahabat pengarang, teks ceramah yang dibuat dalam bahasa Jerman itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Winterschen pada tahun 1910. Begitu banyak karya Golziher, tetapi tidak ada yang seberhasil karya ini, yang diterima di kalangan luas. Karya ini memang membangun sitesis yang matang dari karya-karyanya bagi pembaca dari kalangan terpelajar. Tidak ada satu buku pun yang dengan bentuk yang langka dan terjamin mutunya, memberi informasi tentan asal mula dan perkembangan agama Islam, tentang hokum, dogma, cara hidup beragama, mistik, sekte dan bentuk perkembangannya. Tidak satu pengarang lainnya yang sama memiliki kompetensi tentang semua tema-tema ini, seperti sang juara dari Hongaria ini, yang terlalu pagi menghadap Sang Pencipta. Lihat dalam C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Deel VI, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno, A.J. Mangkuwinoto, Rahayu S.H., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XIV, (Jakarta: INIS, 2000), hlm. 203.
109
Kebumen (28 Oktober) dan dilanjutkan ke Garut lagi. Dari tempat ini ditulis surat-surat (12, 15, 19, dan 20 November). Kemudian, dia berada di Cianjur (1519 Desember).88 Dari rangkaian perjalan inilah Christiaan Snouck Hurgronje mengumpulan data-data awal untuk mengkonsep pemikirannya. Ditambah yang lebih intensif adalah data-data yang berasal istri-istri Pribuminya dan kerabat, serta informan lain yang setia. Pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje selanjutnya dioperasikan melalui kebijakan-kebijakan kolonialistik dalam pemerintah Hindia Belanda bagi Pribumi. Karena tanpa dijalankan lewat kebijakan permintah Hindia Belanda konsepsi-konsepsi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje bukanlah apa-apa. Demikian ini sangat mungkin karena dirinya telah dipercaya oleh pemerintah Belanda dan pada tanggal 15 Maret 1891 dia diangkat sebagai Penasehat urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam. Delapan tahun kemudian ia diangkat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab (11 Januari 1899) sampai tahun 1906.89 Jabatan penting di Hindia Belanda didapat setelah sebelumnya Christiaan Snouck Hurgronje melakukan penyamaran sebagai agen intelektual atau peneliti suku-suku di Aceh. Kemudian menetap di Batavia untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Tanggal 9 Juli 1891 dia berangkat ke Aceh, menetap di Kutaraja. Lalu kembali ke Batavia pada tanggal 4 Februari 1892. Sedangkan antara tahun 1898 sampai 1903 dia sering pergi ke Aceh dalam rangka membantu Van Heutsz ketika
88 89
Ibid., hlm. 205-209. H. Aqib Suminto, ibid., hlm. 116.
110
menaklukkan Aceh.90 Di masa-masa awal kedatangannya di Hindia Belanda dia mendapat tugas menyamar sebagai peneliti di Indonesia selama dua tahun dengan gaji f.700,- per bulan. Beslit Raja 22 Juli 1889 nomor 25 mengukuhkan posisi Christiaan Snouck Hurgronje dengan cara menyamar demi memasuki daerah Aceh yang tidak diduduki Belanda.91 Menurut Suminto, Christiaan Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik”. Selanjutnya Islam dibagi dalam tiga kategori, yaitu; 1. bidang agama murni atau ibadah; 2. bidang sosial kemasyarakatan; dan 3. bidang politik; masing-masing bidang menuntut cara pemecahan yang berbeda.92 Dalam paparan Khuluq, Christiaan Snouck Hurgronje membagi dalam tiga sikap; 1. Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral; 2. Masalah
perkawinan
dan
pembagian
warisan
dalam
Islam,
menuntut
penghormatan; 3. Tidak satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.93 Sedangkan bagi penulis, konsepsi pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje untuk Hindia Belanda saya tempatkan dalam tiga kategori; politik Islam, masalah hukum adat dan hukum Islam, dan spesifik urusan keluarga Islam. Untuk lebih jelas dan mendalam maka penelitian ini terfokus pada masalah kedua terakhir. Yakni, pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje tentang masalah hukum adat dan hukum Islam serta pemikiran dalam urusan keluarga 90
Ibid., hlm. 116. Ibid., hlm. 118. 92 Ibid., hlm. 13. 93 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 2. 91
111
Islam atau perdata. Hal ini seperti yang diakui Christiaan Snouck Hurgronje bahwa tidak ada persoalan yang menjadi rintangan khusus bagi pemerintah jajahan untuk membuat undang-undang. Rintangan khusus itu ada pada “hukum mengenai keadaan dan wewenang seseorang,” lalu, “hukum perkawinan, hukum keluarga dan hukum warisan,” tulis Christiaan Snouck Hurgronje.94
C.
KONSEPSI-KONSEPSI
KOLONIALISTIK
DARI
PEMIKIRAN
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA Tidak sedikit karya Christiaan Snouck Hurgronje yang memuat pemikiranpemikirannya. Dan dia juga telah berhasil mengabdikan pemikirannya untuk kepentingan operasi kolonialisme Belanda di bumi Nusantara. Sehingga dalam hal politik dia disebut peletak dasar “politik Islam”. Sedangkan dalam bidang hukum dia merupakan peneliti serius dan jeli yang membidik urusan-urusan perdata. Terutama menyangkut masalah keluarga dan perkawinan serta masalah dalam aspek hukum Islam lainnya. Pemikirannya dituangkan seperti dalam teori resepsi, pencatatan perkawinan, dan pengangkatan penghulu. Sehingga patut dia disebut “arsitek urusan perdata kolonialistik” Hindia Belanda. Yang telah mengkreasi urusan paling pribadi (urusan rivat), seperti aspek-aspek persoalan keluarga atau keperdataan lainnya, menjadi sedemikian penting bagi kelancaran kolonialisme Belanda. Pengaruh Islam dalam hukum keluarga dan segala yang termasuk di 94
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 200.
112
dalamnya dijadikan Chritiaan Snouck Hurgronje sebagai obyek yang paling penting.95 Padahal sebelumnya, nalar penjajah Belanda yang buntu sering mengacuhkan strategi menguasai sistem keluarga koloni. Karena kolonialisme masih dipahami sebagai intimidasi dan penguasaan secara fisik dan militer. Beberapa konsepsi kolonialistik dari pemikiran-pemikiran seorang Dr. Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan keperdataan yang dioperasikan melalui kebijakan pemerintah jajahan Hindia Belanda perlu dipaparkan di sini.
a. Membela Teori Resepsi (Theorie Reseptie) Pasca-1865 terjadi kondisi yang mendorong Belanda peduli pada hukum adat. Setidaknya ada tiga orang yang muncul sebagai penemu studi ilmiah tentang hukum adat pada periode itu. Yaitu, G.A. Wilken (w. 1891), Liefrinck (lahir dan wafatnya tidak diketahui) dan Christiaan Snouck Hurgronje. Figur-figur inilah yang membangun pondasi riset tentang hukum adat sejak 1900.96 Atas suatu kesadaran bahwa untuk memahmi institusi Pribumi harus dengan kajian hukum adat menggunakan perspektif ketimuran. Pelanjut studi hukum adat pada periode ketiga di antaranya; Ossenbruggen dan C. van Vollenhoven. Pengkajian yang sudah ada sejak jaman VOC ini selanjutnya disebut dengan istilah adatrecht. Istilah adatrecht pertama dipergunakan oleh Christiaan Snouck Hurgronje pada sekitar 1900 untuk menunjuk adat yang membawa konsekuensi hukum.97 Adat atau kebiasaan yang tidak membawa konsekuensi hukum pada masa itu masih 95
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … IX, ibid., hlm. 197. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 3940. 97 Ratno Lukito, ibid., hlm. 38-39. 96
113
kurang penting jika dipakai dalam operasi-operasi kolonial. Serta tidak perlu dimaksudkan dalam kategori kajian adatrecht. Studi terhadap hukum adat kemudian menghasilkan teori resepsi (theorie reseptie). Yakni, bahwa hukum Islam dapat diterima untuk diterapkan pada masyarakat Hindia Belanda jika telah sesuai dengan adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat yang mengandung konsekuensi hukum. Jika hukum Islam yang hendak dipakai masyarakat tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan adat maka otomatis akan tertolak. Christiaan Snouck Hurgronje begitu gencar memperjuangkan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan teori resepsi. Dalam surat rahasianya yang dikirim kepada Paduka Tuan Direktur Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan dari Betawi pada tanggal 26 Februari 1890, dia memperingatkan atas kelalaian pemerintah dalam mengawasi persoalan adat. Dia heran bahwa pranata yang khas belum terawasi seperti majelis “pendeta” dalam Islam. “Selain itu,” katanya, “adat-adat Jawa yang penting dalam perkawinan (dan justru yang berakibat hukum) begitu saja diabaikan… .”98 Di rakya Aceh pun berlaku hal yang sama yang sering dinyatakan secara terpisah dalam hukum dan adat.99 Bagi dirinya terhadap adat-adat masyarakat, terutama adat yang memiliki akibat hukum, sangat penting untuk dilakukan pengawasan. Nampaknya, pada situasi masa itu kerja demikian tidak pas kalau hanya dibebankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan Christiaan Snouck Hurgronje nampaknya terlanjur kesal terhadap pihak pemerintah yang menyepelekan masalah adat-adat di masyarakat. Karena kebijakan-kebijakan pemerintah masih 98
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasehat.. Jilid I, ibid., hlm. 23. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, deel I en II, (Landsdrukkerij, Batavia; E.J. Brill, Leiden: 1895), terj. Sutan Maimon, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, (Jakarta: INIS, 1997), Hlm. 251. 99
114
memakai cara-cara lama dalam menangani daerah koloni, yakni kekerasan fisik dan ancaman bersenjata. Oleh karena itu sebagai orang kolonial Belanda yang berpendidikan tinggi dan punya wawasan luas dia terjun ke lapangan langsung untuk mengumpulkan data-data tentang adat di masyarakat Jawa ataupun Aceh. Dalam suratnya dari Betawi tanggal 17 September 1892 Christiaan Snouck Hurgronje mengingatkan masih dibutuhkannya penambahan data dan perbaikan dari laporan yang sudah ada. Yakni, pentingnya laporan-laporan kolonial yang menyertakan data-data, “misalnya,” tulisnya, “adat-adat yang menguasai kehidupan keluarga dan yang sekarang baru saya sentuh seperlunya saja”. Jadi pada 1892 data adat yang khususnya menyangkut masalah keluarga baru dia dapat alakadarnya. Keinginan Christiaan Snouck Hurgronje selanjutnya “akan dapat dibahas dengan jauh lebih panjang lebar; hal itu juga berlaku terhadap penyimpangan-penyimpangan dari agama Islam ortodoks dalam ajarannya maupun amalnya yang sekarang hanya sekilas disebut namanya”.100 Di tahun berikutnya Christiaan Snouck Hurgronje sudah bisa menyiapkan laporan-laporan yang dibutuhkan tentang kehidupan masyarakat dan adatnya. Laporan yang disiapkan misalnya, tentang masyarakat Aceh. Dalam suratnya kepada Sekretaris Pertama Pemerintah dari Betawi pada tanggal 24 Februari 1893 disebutkan bahwa dia sudah menyiapkan tiga bab karya mengenai Aceh. Di awal bab disebutkan masalah pembagian penduduk, pemerintah negara dan peradilan. Bab selanjutnya tentang kalender Aceh, perayaan, dan musim di Aceh; seperti pertanian, pelayaran, perikanan, serta hak tanah dan hak air. Bab ke tiga 100
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasehat.. Jilid I, ibid., hlm. 25.
115
membahas persoalan kehidupan keluarga dan hukum keluarga.101 Di bab terakhir karyanya mengenai Aceh dan pola hubungan keluarga dapat diketahui pemikiranpemikirannya yang kukuh memperjuangkan adat yang membawa konsekuensi hukum dengan pembelaan-pembelaan terhadap adat yang kadang berlebihan. Misalnya, pelarangan Christiaan Snouck Hurgronje kepada Pemerintah Daerah yang ingin membuat kebijakan agar penghulu, naib, dan sebagainya menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kas masjid. Larangan itu berlaku jika dalam adat tidak pernah terjadi. Bisa dilihat dalam suratnya dari Betawi pada tanggal 12 Juni 1901 kepada Direktur Departemen Pemerintahan Dalam Negeri atau Pamong Praja. “Janganlah, melalui campur tangan Pemerintah Daerah,” katanya, “diciptakan kas-kas mesjid atas biaya pendapatan para penghulu yang lazim,” lanjutnya. Karena menurut kondisi pada saat itu telah terjadi penyaluran uang dalam jumlah besar untuk kas-kas masjid sebagai pusat peribadatan Islam. Pelarangan itu atas alasan yang sangat pragmatis. Yakni, supaya para penghulu atau naib bisa menikmati kepemilikannya jika dikehendaki yang demikian. Maka, tidak perlu “dituntun” –(baca, dipaksa) dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje—oleh pemerintah agar beramal lewat masjid. Sumbangan untuk masjid boleh dilakukan asal ditentukan oleh sejarah, yaitu adat, suka rela. Kemudian dijelaskan, “jika sepanjang ingatan manusia sebagian uang biaya perkawinan dan sebagainya disisihkan untuk membentuk kas mesjid, maka adat tersebut, setelah dibersihakan dari penyelewengan, boleh dilestarikan.” “Akan tetapi,” tulis Christiaan Snouck Hurgronje, “jika adat seperti itu tidak ada, maka janganlah ada 101
Ibid., Jilid I, hlm. 27.
116
penghulu,
naib,
dan
sebagainya
yang
dipaksa
menyerahkan
sebagian
pendapatannya untuk kas mesjid (sebagaimana terjadi di beberapa daerah).”102 Jadi, sesuatu yang terkait penetapan hukum dalam amaliyah Islam harus sesuai adat yang ada. Jika adat tidak pernah mengajari soal menyumbang untuk masjid maka pihak pemerintah daerah pun tidak boleh membuat kebijakan menuntun penghulu dan naib menyumbangkan penghasilannya untuk masjid. Di sini jelas terlihat bahwa Christiaan Snouck Hurgronje melakukan pembelaan yang terlampau berlebihan terhadap adat-adat yang mengandung konsekuensi dan maslahat. Tindakannya hendak menutup kemungkinan-kemungkinan masyarakat yang ingin berkreasi. Misalnya, membuat kebiasaan baru dan baik yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Kebiasaan baru yang baik dan secara terus-menurus dijalankan pada masa mendatang juga akan menjadi adat pula. Kreasi baru yang dilarang membiasakan kepada penghulu, naib, atau yang lainnya untuk menyisihkan sebagian penghasilan bagi masjid. Daripada disumbangkan untuk masjid, bagi Snouck Hurgronje, uang-uang itu lebih baik diserahkan kepada bawahan masing-masing. Tak tanggung-tanggung dukungan dan pembelaan terhadap adat dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje dengan mengkritik orang-orang Eropa. Katanya undang-undang yang diterapkan pada masyarakat Pribumi berat sebelah. Hal itu dikarenakan para pembuat undang-undang yang tak lain orang-orang Eropa. Orang berbangsa Eropa ini, “biasanya hanya secara serba tanggung merasuk ke 102
E. Gobee dan C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 546. Meskipun Chrisitaan Snouck Hurgronje mendukung adat tetapi dirinya mengingkari usaha-usaha rakyat untuk menciptakan kebiasaan (selanjutya adat) baru.
117
dalam kehidupan masyarakat Pribumi,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, “dan hanya mendapat keterangan yang berat sebelah atau kurang lengkap mengenai masyarakat tersebut,” terangnya. Pernyataan demikian terjadi pada tahun-tahun berikutnya yang ditulis dari Betawi kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal. Dia juga berpesan bagi para pembuat undang-undang yang bercita-cita mengadakan suatu penyeragaman hukum. Masih dalam suratnya dari Betawi pada tanggal 19 April 1904 itu bahwa “adat yang tidak tertulis, tanpa keberatan, dapat menenggang penyimpangan-penyimpangan setempat yang memang ada dasar hidupnya,” lanjutnya.103 Maksudnya, di dalam upaya pembuatan aturan tidak perlu terlampau diseragamkan sebagaimana hendak dilakukan orang-orang Eropa yang bertugas membuat aturan. Karena adat perlu dihargai wibawanya di mata masyarakat selain ada ketentuan-ketentuan dari hukum Eropa. Penyimpangan yang dimaksudkan ialah selama dalam adat (yang berkonsekuensi hukum) sanggup menyelesaikan perbedaan aturan dengan yang dibuat orang Eropa maka tidak perlu semua aturan diseragamkan. Dengan cara demikian Christiaan Snouck Hurgronje sedang berbuat untuk mengukuhkan sikap sebagai orang yang seolaholah patut ‘disegani’ di mata kaum adat sebagai pembela masyarakat adat—koloni jajahannya.
103
E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 720.
118
b. Pengawasan Penyelenggaraan Pernikahan Permasalahan yang juga menjadi bahan pembicaraan dalam pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ialah masalah pencatatan atau pengawasan dalam pernikahan. Bagaimana yang dimaksudkannya? Kepada para kadi dengan demikian selalu dilimpahkan pengawasan tertinggi atas penyelengaraan pernikahan dan apa yang berkaitan dengan itu. Dalam beberapa hal mereka malah diserahi penyelengaraan akad nikah itu sendiri. Hal ini berlaku juga bagi para penghulu. Tugas tersebut untuk sebagian yang cukup penting dilakukan oleh para naib di bawah pengawasan mereka. Adapun para naib ini pada gilirannya menjalankan kekuasaan atas personalia mesjid-mesjid kewekdanaan mereka, sama seperti yang dilakukan oleh para penghulu terhadap mesjid-mesjid agung.104
Demikian bunyi buah pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje yang dikirimkan kepada Direktur Pengajaran, Ibadah dan Kerajinan dari Betawi pada tanggal 13 Maret 1900. Pada periode ini dan seterusnya untuk urusan pernikahan atau akad nikah bagi penduduk Hindia Belanda harus dilakukan di bawah pengawasan. Meskipun pernikahan yang tidak diawasi sah-sah saja dan sering kali terjadi pada penduduk Hindia Belanda sebelumnya. Bahkan bisa dikata lumrah dan biasa. Namun, Christiaan Snouck Hurgronje tetap menginginkan suatu pengawasan dalam pernikahan, yang tugas itu berada di benak pejabat-pejabat kolonial seperti penghulu, kadi, atau naib. Pengawasan atas pernikahan di Hindia Belanda sangat perlu dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan khusus yang telah diberikan Christiaan Snouck Hurgronje. Yakni, berkaitan dengan masa depan percampuran antara Islam, Kristen, Pribumi, Cina, Eropa, Arab, Jepang, dan masyarakat lain yang ada di Hindia Belanda. Pertimbangan itu diberikannya ke hadapan Yang Mulia Gubernur 104
E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat… Jilid V, ibid., hlm. 703.
119
Jenderal pada 1904 secara panjang lebar. Bahkan penjelasan itu menyentuh tata kehidupan berikutnya di masyarakat internasional dari suatu kejadian kecil, pernikahan. Penjelasannya dipakai sebagai penguat bagi kebijakan pengawasan pernikahan yang perlu dilakukan secara serius oleh penghulu, kadi, atau naib di bawah kuasa pemerintah Hindia Belanda. Surat yang dikirimkan dari Betawi pada tanggal 19 April 1904 itu memberikan keterangan. Jelasnya, jika pembuat undang-undang menerangkan mereka (Pribumi Islam) harus memilih hukum yang diperuntukkan bagi orang Kristen, maka harus dipatuhi meskipun mereka non-Kristen. Selanjutnya mereka bisa meneruskan kehidupan di bawah aturan keluarga, dalam istilah Christiaan Snouck Hurgronje, hukum Mohammadan (baca, Islam). Tapi biasanya orang Mohammadan tidak mau digabung dalam soal perundangan dengan orang Eropa.105 Sedangkan dalam cakupan yang lebih luas ada kemudahan menggabung orang Mohammadan Asia dan Mohammadan lainnya beserta golongan Eropa. Walau ada penyeragaman tetapi masih ada pembeda-bedaan penduduk di mata hukum. Misalnya, “dalam kedudukannya terhadap negara Turki, agama, keadaan peradaban, dan hukum keluarga, keduanya benar-benar sama.”106 Menurutnya ada hukum keluarga di antara orang Mohammadan, seperti di Semenanjung Balkan atau keturunan mereka yang menetap di daerah lain, tidak berlaku sebagai satu keberatan dalam mengadakan penggolongan penduduk. Kehendak lain muncul dari golongan Arab dan Cina agar bebas bertempat tinggal di tengah penduduk lain. Juga menginginkan dihapuskannya sistem surat 105 106
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 719. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 723.
120
jalan dan seluruh wilayah Hindia Belanda dibuka bagi lalu lintas mereka. Artinya, bagi Cina dan Arab107 dengan adanya kebebasan menetap merupakan kebebasan pula untuk melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat tanpa pengawasan dan campur tangan pemerintah kolonial. Kesempatan demikian menjadi bagian kekhawatiran Christiaan Snouck Hurgronje dan masih perlu dipertimbangkan kembali. “Setiap undang-undang baru mengenai pembagian penduduk,” menurutnya, “sepantasnya memperhitungkan dengan sungguhsungguh hal yang diuraikan tadi”.108 Pemikiran ini dilontarkannya karena ternyata pembagian yang sedang direncanakan tidak mempertimbangkan hal-hal tadi. Pertimbangan yang dikemukakan Christiaan Snouck Hurgronje untuk pembagian dan pengawasan penduduk secara geografis, agama, hukum, dan politis. Pertama, pertimbangan geografis untuk memasukkan Turki agar satu golongan dengan Belanda. Kedua, atas dasar agama agar Cina dan Pribumi yang sudah masuk Kristen bisa dalam satu golongan. Ketiga, pembagian bersifat hukum seperti pembagian dalam hukum keluarga. Keempat, sifat politis untuk kemungkinan memasukkan Jepang dalam golongan Eropa sesuai hukum keluarga mereka.109 Pembagian untuk pengawasan seperti ini dalam praksisnya tidak sesuai harapan. Karena tidak mungkin akan mempersamakan Pribumi Kristen dan Eropa Kristen. Pola pembagian penduduk yang berbeda diperkirakan memperbanyak golongan Cina memilih masuk Islam dan menikah dengan Pribumi Islam serta sembunyi di kampung agar bebas bergerak.110 Golongan Cina yang demikian 107
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 724. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 725. 109 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 725. 110 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 724. 108
121
lebih banyak daripada yang memilih masuk Kristen. Karena pembaptisan tidak otomatis membuat seseorang setara dengan Eropa. Dari segi keuntungan yang didapat maka lebih banyak penduduk koloni yang memilih masuk Islam di Jawa maupun Aceh ketimbang yang pindah ke Kristen. Christiaan Snouck Hurgronje tahu, “kita akan kehilangan sebagian besar pangawasan atas sebagian orang Cina yang sangat kurang dapat dipercaya,” katanya.111 Tentu hal terakhir ini sangat dijauhi dari segi kepentingan kolonial jangka panjang. Pengawasan penduduk melalui pengawasan pernikahan tetap dilaksanakan karena sistem hukum kolonial memberi peluang tindakan yang sangat oportunis. Misalnya, untuk menghindari benturan dengan sistem hukum kolonial yang rumit, maka istri bisa memilih pindah agama dari Mohammadan ke Kristen untuk sementara. Dengan demikian pernikahan batal.112 Tidak perlu mengurus perceraian melalui prosedur hukum kolonial yang berbelit-belit. Sedangkan Jepang yang menginginkan persamaan dalam asas hukum keluarga tetap dianggap jenis yang beda dari Eropa. Sama halnya dengan Mesir. Berurusan dengan masalah keluarga ini Christiaan Snouck Hurgronje sangat jeli memahami bahwa, “hukum
Mohammadan
membenarkan
hampir
semua
sarana
untuk
mempertahankan hukum keluarga itu, termasuk juga cara menyesatkan pemerintah.”113 Sehingga dalam urusan keluarga, termasuk pernikahan, dijadikan masalah serius dalam tugas-tugas kolonialnya. Selain itu ada pertimbangan penyerapan Islam Pribumi terhadap pengikut lain yang juga sangat cepat. Terjadi seperti di kampung Betawi, kota-kota bandar di Jawa, Padang, Palembang dan 111
Ibid., Nasehat… Jilid V, Hlm. 727-728. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 728. 113 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 731. 112
122
Kutaraja atau daerah hulu Aceh, juga di Tanah Gayo. Tentu penyerapan ini melalui Pribumi-Mohammadan. Di lain sisi, aspek ganjalan hukum perkawinan Eropa begitu besar. Di mana orang Indo-Eropa dalam perkawinan akan membentuk keluarga yang tidak sah menurut hukum Eropa. Kelanjutannya yaitu melanggar ketentuan pendaftaran kelahiran dan kematian pada pegawai catatan sipil. Sedangkan para pembesar seringkali alpa melihat fenomena ini.114 Mau tidak mau gejala peningkatan pengikut Mohammadan dari Cina cenderung lebih besar. Untuk mengendalikan kondisi yang mengkhawatirkan dari persatuan Pribumi-Islam dan Cina ini Christiaan Snouck Hurgronje memberikan nasihat-nasihatnya kepada pemerintah Hindia Belanda. Yaitu, pertama, agar meninggalkan ciri hukum keluarga. Karena hukum keluarga yang ada tidak murni dan tidak dapat dipertahankan. Namun, memakai tolok ukur perkembangan di negara yang bersangkutan. Kedua, agar tidak memasukkan semua orang Mohammadan asing, termasuk kawula Turki, sama dengan Eropa.115 Konsep-konsep demikian dikukuhkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje agar nampak lebih gamblang pembagian masyarakat Hindia Belanda dalam sekatsekat. Agar pemerintah kolonial melihat secara detail warga jajahannya sesuai latar belakang masing-masing. Tidak disamaratakan sebagai penduduk jajahan dengan perlakuan serupa. Pengawasannya dimulai dari aturan keluarga, yakni perkawinan, dengan pembatasan dan pemilihan prosedur yang harus diikuti. Hal tersebut untuk menghilangkan kemungkian-kemungkinan semua warga jajahan 114 115
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 735. Ibid., Nasehat… Jilid V, Hlm. 735.
123
menyatu memeluk agama Mohammadan. Maka sebagaimana kutipan di muka, kepada para kadi dilimpahi tugas pengawasan tertinggi atas penyelengaraan pernikahan dan apa yang berkaitan dengan itu. Bahkan jika perlu diserahi tugas sebagi penyelengara akad nikah itu sendiri. Tugas demikian berlaku pula bagi penghulu, naib, untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap masjid-masjid kawekdanan. Sebagaimana para penghulu bertugas mengawasi penyelenggaraan pernikahan di masjid-masjid agung.
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Pegawai Pemerintah Bagian berikutnya untuk mencapai rasioanalisasi dan modernisme di dunia Timur, sebagaimana pendidikan Christiaan Snouck Hurgronje di Leiden yang liberal, dilakukan pengangkatan penghulu. Tidak hanya mengangkat penghulu, juga kadi dan naib, yang ditugaskan mengawasi pernikahan. Namun, dalam proses pengangkatan penghulu harus sesuai dengan kriteria pemikiran kolonial. Yakni, dimulai dari penyatuan keberadaan penghulu peradilan Mohammadan dengan jabatan penghulu pengadilan negeri. Selanjutnya,
“jabatan
penghulu
mesjid
sebagaimana adanya dihilangkan seluruh arti pentingnya,” kata Christiaan Snouck Hurgronje.116 Hilangnya penghulu masjid dianggapnya hanya bagian akibat dari ketetapan-ketetapan yang diumumkan dalam Lembaran Negara 1882, No. 152.
116
Di masjid-masjid Pribumi sebelumnya ada tokoh agama Islam (dipercaya umat Islam) yang juga berperan sebagai penghulu dalam pernikahan. Fungsi penghulu masjid ingin digeser Christiaan Snouck Hurgronje dengan penghulu pegawai (yang diangkat) kolonial Belanda atau penghulu masjid yang mau digaji pemerintah Hindia Belanda.
124
Bisa dilihat kerangka pikir demikian dalam suratnya ke hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal yang ditulis dari Weltevreden tanggal 2 Juli 1891.117 Tindakan ini sempat mendapat keberatan dari beberapa wilayah. Atas alasan, penghulu pengadilan negeri (pegawai kolonial) bukan yang pantas menjadi imam atau pemimpin ibadah umat Islam, dan tidak memenuhi syarat-syarat untuk itu. Beberapa kota yang keberatan terhadap penyederhanaan demikian seperti Semarang, Bagelen dan Jepara. Tetapi, keberatan-keberatan itu bagi sang penasehat pemerintah Hindia Belanda hanya sebagai khayalan.118 Oleh karena itu keberatan-keberatan dari tempat lain, laiknya Kendal dan Rembang, dianggap gugur. Dengan alasan apapun juga semua keberatan tidak cukup dijadikan dasar untuk menggugurkan penggabungan tadi.119 Sehingga jabatan tersebut masih tetap berada di bawah pemerintah pusat dan digaji oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan di lain tempat, seperti di Besuki, penghulu masjid yang diangkat oleh bupati lama-kelamaan akan menjadi penghulu pengadilan negeri sekaligus ketua majelis ulama.120 Pertimbangan demikian diajukan Christiaan Snouck Hurgronje untuk tetap melangsungkan pengangkatan penghulu setelah melihat yang terjadi di Demak pada 1878.121 Seorang penghulu pengadilan negeri yang tidak memiliki pengaruh pun bisa menjalankan fungsinya sebagai pegawai pemerintah kolonial yang patuh. Aspek kolonialistik yang terdapat pada perihal pengangkatan penghulu, termasuk penghulu masjid, supaya berada di bawah kuasa pemerintah jajahan adalah untuk 117
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 817. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 818. 119 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 818-819. 120 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 820. 121 Op.cit. 118
125
mendukung kepentingan kolonial. Christiaan Snouck Hurgronje pun menyadari bahwa jabatan priyayi yang tinggi pada era itu tidak menimbulkan penghormatan rakyat. Sehingga para kerabat sering menganjurkan kepada saudaranya agar tidak menjadi pejabat kolonial (priyayi baru). Masih dalam suratnya kepada Sekretaris Pertama Pemerintah dari Betawi tanggal 23 September 1892 bahwa kondisi ini masih bisa diatasi. Yakni, dengan diadakan perbaikan-perbaikan seperlunya.122 Perbaikan yang dimaksudkan Christiaan Snouck Hurgronje pada nantinya dituangkan dalam konsep pendidikan bagi calon “rohaniawan” Islam terutama yang berkaitan dengan jabatan penghulu. Baginya tidak ada alasan untuk meniadakan pengaruh para penghulu itu. Karena jabatan penghulu memiliki pengaruh, bisa membantu keteraturan urusan, pengaruh demikian sudah melekat sejak dahulu, dan keputusan segala pengaruh penghulu masih ada di tangan bupati. Penjelasan ini mengandung maksud bahwa adanya jabatan penghulu dalam suatu kondisi yang paling tidak diinginkan sekalipun masih dapat dikendalikan dari tangan bupati.123 Karena semua lingkup jabatan itu secara langsung masih berada di bawah koordinasi dengan pemerintah pusat. Berbeda dengan penghulu masjid (yang dipercaya masyarakat Muslim) yang dalam kerjanya tidak langsung dikontrol pemerintah jajahan Hindia Belanda. Maka, yang terakhir ini perlu disingkirkan perlahan-lahan. Kepada Direktur Kehakiman, Christiaan Snouck Hurgronje memperjelas maksud pengangkatan penghulu di bawah kekuasaan pemerintah, sekaligus upaya-upaya mempersiapkan calon penghulu. Dalam suratnya yang ditulis 19 122 123
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 829. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 829.
126
Maret 1893 dari Weltevreden itu diterangkan persiapan pendidikan, terutama, bagi calon penghulu pegawai pemerintah kolonial. Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi; pertama, tamat dengan hasil baik dari sebuah kursus mengenai kitab-kitab fiqih. Serta berpengalaman dengan bagian kitab membahas kewajibankewajiban pokok agama atau rukun Islam, hukum keluarga dan hukum waris; kedua, memiliki pengetahuan di luar agama untuk jabatan penghulu. Seperti kewenangan dan tugas majelis ulama menurut undang-undang. Serta tahu tugas penghulu juga sebagai penasihat pada pengadilan negeri. Juga tahu peraturan Pemerintah Daerah dalam peresmian pernikahan atau penerimaan berita mengenai perceraian yang harus ditaati; ketiga, mengenai perwatakan dan kedudukan dalam masyarakat.124 Keberadaan pejabat penghulu di bawah kekuasaan pemerintah jajahan Hindia Belanda dan digaji oleh pemerintah akan memudahkan pelaksanaan kebijakan kolonial. Misalnya, dalam kasus penghulu kepala melakukan tidakan yang tidak diinginkan pemerintah. Menurut surat Christiaan Snouck Hurgronje dari Betawi (6 Desember 1894) kepada Sekretaris Umum bahwa penghulupenghulu yang tidak patuh dengan kepentingan kolonial akan dihapus secara berangsur-angsur dengan alasan ada lowongan. “Sekurang-kurangnya,” tulisnya, “di tempat para pejabat yang ada sekarang belum dapat dipensiunkan.”125 Atau penggantian itu dilakukan dengan upaya lain seperti memperbesar biaya pernikahan, perceraian, atau keputusan hukuman majelis ulama126 agar
124
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 837. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 841. 126 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 841. 125
127
masyarakat merasa dirugikan. Demikian itu supaya kondisi masyarakat dan tindak-tanduk pejabat penghulu masih dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat. Tujuan demikian dapat pula diraih dengan usaha lain. Seperti yang dilakukan di Masjid Lawang Kidul dengan cara pemerintah pusat mengangkat penghulu yang tidak tahu apa-apa.127 Berikut ini menjaga kelanggengan maksudmaksud kolonial dengan pengangkatan penghulu dengan kemudahan-kemudahan yang diperoleh para penghulu. Terutama bagi penghulu kepala, kemudahankemudahan yang sah dari jabatannya seperti tidak dibebani kewajiban membelanjakan uangnya untuk kepentingan sosial. Berbeda dengan pegawai Pemerintah Daerah dan polisi.128 Kebijakan-kebijakan yang mengenakkan penghulu pemerintah Hindia Belanda itu dalam rangka menjadikan penghulu sebagai anak emas kolonial. Tentu dengan maksud-maksud tersembunyi yang perlu kita ungkap sesuai kondisi yang diharapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap adanya penghulu yang digaji pemerintah. Sedangkan di lain sisi, ada penghulu masjid yang secara perlahan-lahan dihilangkan perannya melalui operasi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekali lagi ditegaskan Christiaan Snouck Hurgronje, penghulu atau petugas pernikahan, diberi wewenang melakukan pengawasan tertinggi atas peresmian kontrak pernikahan dan atas pendaftaran perceraian yang terjadi karena talak. Barang pasti wewenang tertinggi itu diberikan untuk kepentingan kolonial.
127 128
Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 844. Tertanda di Betawi, 5 Januari 1905. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 846.
128
d. Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam Satu hal lagi yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje—masih selaras kerangka resepsi—yakni tidak diperlukannya penerapan hukum Islam dalam sistem pembagian warisan yang terkait dengan masyarakat adat. Misalnya, pada kasus pembagian warisan di masyarakat adat Minangkabau. Pemikiran gaya orientalis menunjukkan bahwa hukum adat dan hukum Islam bertentangan dalam menyelesaikan persoalan pembagian warisan. Sehingga persoalan warisan seperti di Minangkabau tidak mungkin diselesaikan secara damai menggunakan hukum adat dan hukum Islam. Christiaan Snouck Hurgronje juga membela adat Minangkabau yang mengajarkan anak-anak tidak mendapatkan warisan (tidak mewarisi) dari ayah. Karena susunan keluarga Minangkabau yang matriarkat memosisikan perempuan (garis ibu) sebagai pewaris. Christiaan Snouck Hurgronje menyebut yang menentang pewarisan adat matriarkat Minangkabau (agar sesuai sistem kewarisan Islam) dengan istilah ”para ahli hukum agama untuk merugikan hukum adat…,”129 katanya. Pembelaan itu dilakukan dengan alasan mereka (yakni, orang Minangkabau) sejak muda dan disepanjang pendidikannya sudah terbiasa dengan sistem keluarga (matriarkat) yang melanggar hukum agama. Sehingga mereka harus bersabar menghadapi hukum kewarisan Islam yang aturannya berkebalikan. Ada suatu kekuatan rakyat, menurut Christiaan Snouck Hurgronje yang dapat berfungsi menghambat pengaruh Islam dalam sistem keluarga Minangkabau (matriarkat), yakni “konservatisme alami pada sebagian besar penduduk 129
C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, ibid., hlm. 252-253.
129
Minangkabau.”130 Konservatisme alami yang dia maksudkan tak lain ialah masyarakat Minangkabau yang sangat fanatik dengan hukum kewarisan adat. Perlawanan terhadap sistem kewarisan hukum Islam di Minangkabau juga bisa digerakkan dari orang-orang pragmatis yang berkepentingan pribadi. Yakni, “sementara orang, yang agaknya merasa akan dirugikan oleh adanya peralihan dari hukum waris Pribumi kepada hukum waris Islam,” 131 tulisnya. Christiaan Snouck Hurgronje memberikan klaim atas gerakan para pejuang Islam yang akan menerapkan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat adat dengan bahasa yang diplomatis dan tegas. Yakni, “bahwa di balik ‘anjuran’ dan ‘celaan’ itu biasanya terselubung usaha untuk menggantikan kekuasaan yang ada dengan kekuasaan mereka sendiri,”132 ujarnya. Maksudnya, orang-orang Islam yang gencar memperkenalkan sistem kewarisan Islam (patriarkat) pada sistem keluarga matriarkat Minangkabau dituduh hanya berorientasi kekuasaan. Yaitu, ingin merebut dan menguasai masyarakat Minangkabau dengan cara menguasai sistem kewarisannya. ‘Celaan’ yang dimaksudkan di sini adalah penunjukan kepada para penghulu, tumenggung, atau guru agama yang tak berpendirian133 telah berada pada kekufuran. Karena mereka hanya mengikuti sistem hukum kolonial (Kristen) untuk mengatur kehidupan keluarga Muslim. Jadi dalam pandangan umumnya, para kolonialis termasuk Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) maupun Cornelis van Vollenhoven (1874 130
Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, (Jakarta: INIS, 199 ), hlm. 1998. 131 Ibid., Nasehat… X, hlm. 1998. 132 Ibid., Nasehat… X, hlm.2082-2083. 133 Ibid., Nasehat… X, hlm. 2083.
130
1933)—pelanjut teori resepsi—menggambarkan situasi yang kontras dalam soal penerapan hukum adat dan hukum Islam. Tidak hanya di Minangkabau, Aceh, Sumatera Selatan, dan lainnya yang mengikuti sistem matriarkat, tidak mungkin menerapkan hukum waris Islam (galur laki-laki) karena ada hukum waris adat (galur perempuan) yang bertentangan dengan hukum waris Islam. Sehingga, hukum waris Islam tidak bisa masuk (dipakai) dalam masyarakat matriarkat yang disebut tadi. Sekali lagi, hukum Islam harus tunduk di bawah hukum adat.
e. Asas Monogami dalam Pernikahan Poligami adalah masalah serius bagi kelancaran kepentingan kolonialisme Belanda. Christiaan Snouck Hurgronje mengatakan “poligami, kelonggaran ikatan perkawinan, penolakan beberapa hak wanita merupakan faktor-faktor yang paling banyak menghambat hubungan masyarakat Islam dengan kebudayaan modern.”134 Karena untuk menjadi masyarakat modern, sebagaimana diidealkan Christiaan Snouck Hurgronje, ketika orang-orangnya hidup secara monogami. Tidak seperti gaya hidup umat Islam Hindia Belanda yang banyak mempraktekkan poligami. Poligami dianggapnya sebagai penolakan (baca, perampasan) atas hak-hak wanita dalam kehidupan rumah tangga yang seharusnya setara antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Dikatakannya lagi bahwa poligami, kemudahan dalam perceraian, dan posisi rendah istri dibanding suami, menyebabkan suatu tindakan sewenangwenang dalam urusan keluarga. Contoh-contoh demikian bagi Christiaan Snouck 134
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid., hlm. 197.
131
Hurgronje “menghambat perkembangan rumah tangga yang wajar”.135 Artinya, poligami dan posisi yang tidak setara antara suami dan istri (di Jawa) baginya merupakan susunan rumah tangga yang tidak sehat. Sehingga sewajarnya susunan keluarga yang (berpoligami) demikian harus diubah sesuai dengan yang dia rencanakan. Akhirnya, pada 1937 dikeluarkan oleh pemerinah Hindia Belanda suatu ‘Ordonansi Mengenai Catatan Perkawinan’. Ordonansi ini mengusulkan tentang penghapusan praktik poligami yang biasa dilakukan masyarakat Muslim Hindia Belanda.136 Pernikahan yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda melalui ordonansi tadi sudah tentu yang monogami sebagimana alasan-alasan yang pernah diutarkan Christiaan Snouck Hurgronje. Menurut Koningsveld, “Untuk di kemudian hari sebagai buah pekerjaannya melihat kehidupan monogami di Jawa sebagai hal wajar di dunia bumiputra dan melihat para bapak Jawa bekerja sungguh-sungguh membangun kehidupan anak-anaknya”.137 Bisa diartikan, kewajaran yang diimpikan dari kerja-kerja kolonilis itu ketika rakyat, Jawa terutama, hanya mempraktekkan mogami atau sudah tidak ada lagi orang yang berpoligami. Kondisi Jawa yang demikian sangat mungkin karena, menurut keterangan dari Suminto, itu disebabkan ordonansi ini hanya memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menikah di catatan sipil. Serta mewajibkan seseorang beristri
135
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924), terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 47. 136 Ratno Lukito, ibid., hlm. 37-38. 137 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 244.
132
hanya satu dengan menutup pintu bagi poligami.138 Maksudnya, pernikahan yang harus dicatatkan di catatan sipil hanya boleh ketika dilakukan secara monogami. Di sini memang ada upaya kolonial mengawasi pernikahan poligami yang coba dicatatkan secara sah. Namun, ordonansi perkawinan yang dikeluarkan pada 1937 yang bercita-cita menghapus poligami penduduk bumiputra itu, “segera ditarik kembali karena adanya oposisi yang sangat besar dari kaum Muslimin Indonesia”.139 Kejadian ini menjadi satu titik awal kali ketika umat Muslim Pribumi mampu menghentikan campur tangan Belanda. Meskipun ordonansi yang menghendaki pernikahan monogami sempat dicabut bukan berarti buah kekalahan bagi Christiaan Snouck Hurgronje. Karena pernikahan di Indonesia modern—sesuai konsep Christiaan Snouck Hurgronje— menerapkan asas manogami. Yakni, ada dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Kenyataan ini menandakan bahwa hukum kolonial yang pernah dikonsep oleh Christiaan Snouck Hurgronje masih hidup dan dipakai dalam tertib hukum perdata (perkawinan) Indonesia. Artinya, operasi kolonial yang menghendaki asas pernikahan monogami dapat dikatakan menuai hasil.
138
H. Aqib Suminto, ibid., catatan kaki hlm. 31, (Lihat Perca Selatan, 15 Juni 1937; IPO, I, 1937, hal. 427). 139 Ratno Lukito, ibid., hlm. 37-38.
133
BAB IV PERANGKAP KOLONIALISTIK PEMIKIRAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA
A. CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE SANG PEMIKIR MODERNISLIBERALIS-KOLONIALIS
a. Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden “Jalannya sejarah, pelanggaran hukum dan terciptanya hukum, terjadi dengan sendirinya, bahwa Kristen dan Islam harus hidup berdampingan dan usaha negara-negara hanya dapat diarahkan jika terjadi hubungan damai dengan kaum Muslim yang menjadi bawahannya, memungkinkan dan menjamin perkembangan damai di antara penduduk. Dan tujuan seperti ini hanya dapat tercapai atas dasar kompromi antara suara hati Negara Kristen dan hukum Islam.”1 Christiaan Snouck Hurgronje
Barat, Eropa, Belanda, dan utamanya Leiden, di masa itu berada pada era tumbuh suburnya modernisme. Di Fakultas Teologi Universitas Leiden (1874), Christiaan Snouck Hurgronje berkenalan dengan Abraham Keunen, C.P. Tieles, dan L.W.E. Rauwenhoff. Ketiganya merupakan tokoh modernis Leiden yang mempengaruhi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam memandang 1
Pernyataan itu tertanggal di Kutaraja (Aceh), Juli 1898. Terbit dalam Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft, Juli 53 (Leipzig, 1899) hlm. 125-167. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 130. [Huruf miring tebal dari Arief Musthofifin/ A.M.].
134
Islam.2 Selain itu, memang semenjak remaja Christiaan Snouck Hurgronje sudah dipersiapkan untuk menjadi Pendeta Protestan. Islam bagi calon pendeta merupakan materi khusus yang wajib dipelajari. Pendidikan khusus bagi calon pendeta diorientasikan sebagai persiapan menghadapi musuh Kristen, yakni Islam, semenjak Perang Salib. Inilah upaya balas dendam orang Kristen Eropa terhadap Islam akibat kalah dalam Perang Salib yang diwujudkan dalam penyebaran pendeta ke seluruh dunia. Di dunia Timur, para pendeta disertakan dalam program imperialism dan kolonialisme, untuk menggerogoti Islam yang sedang tumbuh subur. Metode dan bekal pengetahuan untuk melumpuhkan Islam selalu diajarkan bagi para pendeta.3 Ada pernyataan menarik dari Christiaan Snouck Hurgronje pada 1876 dikala dirinya menjadi mahasiswa: “kita harus membantu bangsa Pribumi (penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam”.4 Semenjak masih mahasiswa dia sudah memiliki pandangan sebagai orientalis dan pemikir kolonial yang berhasrat menggempur wilayah Islam Pribumi di Nusantara. Kembali ke modernisme-liberalisme Leiden sebagai salah satu akar genealogis dari pemikiran kolonial Christiaan Snouck Hurgronje. Pada akhir abad ke-16, Descartes (1596-1650)5 sudah menawarkan revolusi pemikiran yang benarbenar luar biasa dampaknya sebagai biji pertama modernisme, yakni rasionalisme. Modernisme Leiden, terutama di Fakultas Teologi Universitas Leiden, mengukuhkan sendi-sendi kekuatannya pada rasionalisme. Di Leiden ini 2 Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 3 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 34. 4 Ibid., hlm. 35. 5 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. Lihat Bab II.
135
Christiaan Snouck Hurgronje termasuk pengikut fanatik rasionalisme dari aliran modernis Leiden yang menolak hal-hal irasional. Misalnya, trinitas6 dan posisi Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik), ialah ajaran yang tidak diterimanya. Perlu diperhatikan dengan cara seksama terhadap bentukan modernismeliberalisme itu. Pertama, modernisme Leiden yang terwujud dalam rasionalisme Christiaan Snouck Hurgronje telah membentuk pola pikir yang simplistis, reduktif, berpihak, dan sangat ekstrim, serta liberal. Dapat ditunjukkan dalam terbitan di Leiden pada E.J. Brill (1880) yang berisi pandangannya terhadap Nabi Muhammad. “Akhirnya Nabi Muhammad memindahkan panggung kegiatannya;” katanya, “jubah kenabiannya ditinggalkan di kota kelahirannya. Keadaan telah mengalihkan perhatiannya semakin jauh dari peran kenabian ke peran politik yang harus memperhitungkan urusan-urusan duniawi.”7 Pendapat ini sebagai upaya untuk melemahkan sejarah perjuangan Nabi Muhammad. Dianggap Nabi Muhammad sudah meniadakan sifat-sifat kenabian dan berbalik menjadi seorang yang haus politik kekuasaan. Artinya, Nabi Muhammad sudah tidak sungguhsungguh lagi untuk meluaskan agamanya yang sejati. Telah berubah untuk menjalankan peran-peran politiknya yang menghendaki ketaatan. Setelah delapan tahun kemudian berhasil menaklukkan kota kelahirannya, Nabi Muhammad
6 Dalam suatu data menunjukkan bahwa konsep Trinitas yang dipercaya pengikut Kristen berasal dari tradisi Pagan kuno. Konsep Trinitas ini diwakili oleh Semiramis dan anaknya (Pagan Babylonia), Devkan dan Khrisna (Pagan India), Isis dan Horus (Pagan Mesir), dan sebagainya. Dalam Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas). 7 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 4.
136
bertindak sebagai penentu hukum, dan ia mulai bekerja untuk mencabut agama berhala sampai ke akar-akarnya.8 Rasionalisme Christiaan Snouck Hurgronje yang simplists dan reduktif tadi berusaha menempatkan Islam pada penjara yang sangat sempit. Sebagaimana tuduhannya terhadap Nabi Muhammad yang dianggap meninggalkan tugas kenabian dalam urusan agama dan Tuhan lalu memilih urusan politik. Dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje adalah urusan-urusan duniawi. Berupa penaklukan-penaklukan wilayah atau ekspansi politik yang dimulai dari menguasai tanah kelahiran Nabi Muhammad. Pada kondisi ini Nabi Muhammad dianggap tidak lagi menjalankan tugas-tugas kenabian dalam menyebarkan agama secara sederhana. Rasioanlisme yang sangat sempit ini menempatkan Christiaan Snouck Hurgronje pada jurang kebuntuan berpikir yang dalam. Dengan asumsi yang sangat redutif bahwa Islam seharusnya hanya berurusan dengan Tuhan. Tidak perlu—sebagimana dilakukan Nabi Muhammad—melakukan kerja-kerja keduniawian apa lagi yang berkaitan dengan urusan politik. Dengan kata lain, Islam (baca, masalah-masalah ketuhanan) dan politik (baca, masalah-masalah keduniawiaan) dalam agama (Islam) di posisikan terpisah oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Atau keduanya tidak memiliki keterikatan dan kesalinghubungan dalam praktik di lapangan. Pola pikir rasionalisme produk Leiden ini selanjutnya dapat membuat konklusi bahwa Islam di jaman Nabi Muhammad telah berselingkuh dengan politik atau perselingkuhan agama dan kekuasaan.
8 Op.cit.
137
Petunjuk ini memberikan pengertian bahwa tradisi ilmiah Leiden yang modernis telah membentuk otak manusia menjadi sangat kerdil. Objek dipandang dari satu sudut saja dan anehnya satu sudut itu yang dianggap paling benar. Kegetolan Christiaan Snouck Hurgronje pada rasionalisme Leiden yang teramat sangat sempit itu tidak menjadikan dirinya mampu melihat Islam sebagai fenomena yang menyeluruh. Melainkan ditinjau dari sudut pandang yang patahpatah. Padahal, dalam Islam tidak ada pemisahan yang tegas antara “urusanurusan keduniawian” dengan “urusan-urasan ketuhanan”. Maka, apa yang dilakukan Nabi Muhammad dengan penaklukan kota-kota lain, misalnya Mekah, tidak lepas dari posisinya yang sedang menjalankan fungsi-fungsi kenabian. Karena dalam Islam terjadi hubungan sinergi antara “urusan-urusan keduniawian” atau ‘politik’ dengan “urusan-urusan ketuhanan”. Keduanya bukan satu dan lain hal yang terpisah. Wajar ketika menggunakan modernisme-rasionalisme produk Leiden Christiaan Snouck Hurgronje terjebak pada pengambilan tuduhan bahwa Nabi Muhammad telah meninggalkan jubah kenabiannya untuk “urusan-urusan keduniawiaan” atau ‘politik’. Masih dari sudut pandangnya yang rasionalis dilihatnya Islam hanya sekadar kultus (pemujaan) terhadap Muhammad. Perkembangan para pengikut Islam di berbagai lingkungan kehidupan diberi tuduhan sangat bodoh oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje manusia warga dunia yang mengikuti (Islam, Muhammad) “lebih mirip dengan petani kikuk9 yang masih muda,” katanya.10 Sedangkan setelah sepeninggal Nabi 9
Kikuk: canggung, janggal, baru sekali atau pemula alias amatiran.
138
Muhammad menurutnya pengikut Islam kembali ke zaman jahiliyah lagi. Bagi Christiaan Snouck Hurgronje itu akibat Muhammad hanya memikirkan cara menambah jumlah penganut. Oleh sebab itu, ketulusan imannya (Muhammad) berkurang dan ajarannya (Islam) ditinggalkan pengikutnya.11 Contoh lain memperlihatkan pandangan modernisme Leiden dalam cara pandang Christiaan Snouck Hurgronje terhadap Qur’an. Qur’an baginya berbeda dengan undang-undang. Ayat-ayat hukum di dalam kitab itu hanya berisi asasasas umum. Sedangkan yang rinci hanya untuk yang terjadi selama Nabi hidup. Maka, secara rasional, peristiwa yang tidak terjadi selama tahun-tahun kegiatan Nabi tidak akan dirinci dalam al-Qur’an.12 Qur’an pada mulanya hanya sebagai kitab hukum. “Namun,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, “karena kehidupan masyarakat baru itu segera menjadi sangat rumit, Quran segera dirasakan tidak memadai”. “Wajar sekali jika ditambahkan berbagai ulasan yang dikemukakan oleh Nabi,” imbuhnya. “Tampak bahwa Nabi bukan sekadar penafsir wahyu, namun dalam hal-hal tertentu ia tidak ragu-ragu untuk melengkapinya,” demikian uraian orientalis ini.13
10
Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ini dimuat dalam Questions diplomatiques et colonials, tahun ke-5, nomor 106, 15 Juli 1901 (Paris), hlm. 76-82, sebuah jawaban kepada surat Edmond Fazy, “Enquete sur l’avenir de l’Islam”. Surat seutuhnya dicetak pada hlm. 73-82 majalah tersebut di atas. Halaman-halaman pertama membicarakan Islam di Hindia Belanda dan dicetak ulang dalam Verspreide Geschriften, jilid IV. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924), terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 5. 11 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid. hlm. 11. 12 Ditebitkan di Batavia, Desember 1896. Dimuat dalam Revue de l’Histoire des Religions, tahun ke-19, nomor XXXVII (Paris, 1898) hlm. 1-22, 174-203. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis oleh Tuan Van Gennep. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … IV, ibid., hlm. 52. 13 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 52.
139
b. Evolusi Sosial-Kebudayan: Teori Pemunahan Ras Kedua, modernisme Leiden yang sedang diperankan Christiaan Snouck Hurgronje sedang menggiring manusia untuk berevolusi. Evolusi yang dimaksud sesuai teori evolusi Charles Darwin14 yang diterapkan pada binatang. Evolusi yang sedang diterapkan Christiaan Snouck Hurgronje diujicobakan pada manusia. Lalu dapat dikenal dengan evolusi sosial atau evolusi kebudayaan.15 Di mana manusia-manusia di dunia ini dalam status derajat yang bertingkat. Barat merupakan wujud peradaban manusia paling tinggi. Khususnya, dunia Timur, adalah manusia-manusia rendahan dalam strata evolusi. Modernis dari Leiden mau menjadikan dunia Timur lebih beradab dengan evolusi atau dimodernkan. Dalam De Indische Gids VIII, I (Leiden, 1886), halaman 90-111 (4 Desember 1885), Christiaan Snouck Hurgronje mencontohkan evolusinya dalam ilmu hukum dan ilmu pengetahuan agama. Dalam rangka persaingan evolusi dinyatakan bahwa “ilmu pengetahuan agama tidak dapat lebih lama eksis dalam penjelasan dan pembelaan dogma agama yang sebenarnya,” lanjutnya, “sebab kebenaran juga bukan ada, tetapi menjadi; melihat dan menjelaskan sebab-sebab evolusi agama.” 16
Pengaruh teori evolusi ini begitu kuat dan cepat menyebar
termasuk dalam persoalan penerapan ilmu pengetahuan agama dan karya ilmiah para yuris. Evolusi dalam agama diterangkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje 14
Teori Darwin mangatakan leluhur manusia adalah hasil dari evolusi kera. Tidak sedikit yang meragukan teori Darwin. Karena dia sebenarnya tidak berteori tetapi sedang menjelaskan mitos, tradisi, dan kepercayaan Pagan Kuno dengan legitimasinya sebagai ilmuan (milik penguasa). Sampai saat ini tidak terjadi evolusi lanjutan dari manusia untuk menjadi apa lagi? 15 Kebuntuan evolusi dari manusia menjadi apa lagi? sedang dijawab lewat evolusi sosial dan kebudayaan. Puncak evolusi ini adalah jenis manusia Barat (tepatnya, berkulit putih) dan superman (manusia super). Manusia yang tidak identik dengan orang Barat berarti belum selesai berevolusi, tidak berperadaban, dan lebih dekat dengan monyet (leluhur manusia). 16 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 3.
140
seperti dalam sejarah perkembangan dari bentuk yang paling sederhana dari animisme dan fetisme (pemujaan benda yang dianggap sakti). Demikian pula ilmu hukum baginya harus dimulai pada bangsa primitif dan diakhiri dengan bangsa yang berbudaya.17 Untuk mendorong penganut Islam pada evolusi sosial18 diterapkan kebijakan kebebasan dalam beragama dan mewaspadai gerakan politisnya.19 Dengan anggapan yang sangat rendah terhadap umat Islam bahwa evolusi yang dimaksudkan adalah untuk suatu evolusi sosial yang lebih tinggi dibanding ajaran agama. Evolusi ini didesain sepertinya terjadi secara alamiah sehingga tidak mungkin dihambat (di bawah sadar). Christiaan Snouck Hurgronje sudah tahu jika dorongan ke evolusi sosial mengandung resiko korban manusia. Namun, atas pertimbangan sifat Pribumi yang begitu cinta damai memberi keyakinan jika evolusi tidak akan menyimpang jauh dari skenario atau pengarahan.20 Cara yang tepat untuk melakukan pengarahan dalam evolusi sosial adalah melalui kebijakan hukum Islam. Demi menggapainya Christiaan Snouck Hurgronje sudah mempersiapkan metode “histories”. Berbeda dengan Kohler yang hanya menggunakan metode perbandingan. Memang dirinya sering kali lebih menyukai
17
Ibid., hlm. 3-4. Dorongan terhadap penganut Islam untuk berevolusi, dalam artian, agar sesuai klasifikasi dan standarisasi manusia Barat. Baik isi otaknya, jiwanya, sekaligus tampilan fisik tubuhnya. Di luar semuanya itu atau yang tidak mau mengikuti arah evolusi sosial dan kebudayaan akan dipunahkan (genosida). Yang telah berhasil (hampir) dipunahkan seperti masyarakat asli Benua Amerika (secara salah disebut) Indian (baca, orang India), suku Asli Benua Australia (Aborigin), dan orang kulit gelap (hitam) di Indonesia (Papua, dll.). 19 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … X, ibid., hlm. 57. 20 Ibid., hlm. 71. 18
141
berbicara “histories”, sedangkan Kohler mengatakan “membandingkan”. Metode ini dipakainya secara bersungguh-sungguh sebagai lapangan pekerjaan.21 Ketiga, pencerahan Eropa22 dan modernisme di Leiden sudah sesumbar sebagai yang lebih tinggi dari peradaban mana pun, terutama Timur. Sehingga kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di bumi Nusantara hendak mengajari penduduk Pribumi agar maju. Meninggalkan keterbelakangan menuju kemajuan yang disebut “modernisme”.23 Caranya lewat kebijakan kolonial dia mengangkat tinggi-tinggi derajat mahasiswa Pribumi yang belajar di Eropa, seperti Universitas Leiden, Delft, dan Amsterdam, sebagai yang lebih sederajat dengan orang Eropa. Setidaknya jika dibandingkan orang Eropa yang petani dan nelayan.24 Pujian ini untuk mencuri hati karena Pribumi yang berpendidikan Eropa selanjutnya akan menerapkan pengetahuan Eropa di Hindia Belanda. Artinya, pelajar Pribumi yang di Eropa pada kenyataannya justru sedang memperlancar maksud-maksud dari kepentingan kolonial melalui pengetahuannya. Maksud memodernkan ini pun pernah dilakukan di Turki modern setelah keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani pada 1818. Turki yang dibangun kembali merupakan Turki modern. Sendi-sendi hukum negara yang dipakai adalah Undang-Undang Dasar. Bangunan atas Tukri modern ini sebenarnya sedang ingin
21 Terbit dalam Rechtsgeleerd Magazijn, V Haarlem, 1886, hlm. 551-567. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 19 22 Renaisans puncak periode sejarah pada 1500. ‘Renaisans’ atau ‘renaissance’ (Perancis) artinya ‘Lahir Kembali’; kelahiran kembali budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. 23 Modernisme atau paham tentang kemajuan. Maksud kolonialnya, Barat lebih maju dan Timur terbelakang. Maka, harus dimajukan (di-Baratkan). 24 . C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid., hlm. 75.
142
menghilangkan fungsi khalifah dan meniadakan jihad.25 Dengan adanya Turki modern, pasca runtuhnya, Turki memang dikonsep untuk memberi peluang yang seluas-luasnya kepada negara-negara Kristen agar mendapat kemudahan proses atau gerak di pemerintahan Turki.26 Nusantara yang dikuasai pemerintah kolonial Belanda pun sedang ditarik ke arah modernisme sesuai pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje lewat urusan keluarga dan hukum Islam. Sebagai sedikit penyeimbang, tidak semua yang berasal dari Christiaan Snouck Hurgronje berbau kolonialisme dan ke luar dari disiplin akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. P.Sj. van Koningsveld mengakui bahwa karya disertasi Christiaan Snouck Hurgronje sebagai karya seorang akademisi. Misalnya, pandangan Christiaan Snouck Hurgronje tentang larangan terhadap perempuan memasuki masjid. Diterangkannya bahwa perempuan “di zaman Muhammad biasa ikut serta melakukan salat [di mesjid]”. Adapun kebiasaan setelahnya berupa pelarangan perempuan memasuki masjid adalah “akibat makin memburuknya kelakuan kaum wanita.” Maksudnya, perempuan seringkali hanya akan mengalihkan perhatian kaum pria dari hal yang agung di dalam mesjid.27 Dalam pendapatnya yang demikian itu terlihat bagaimana Christiaan Snouck Hurgronje sebagai akademisi sedang menempatkan fakta secara objektif. Juga 25
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923), terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VI, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 73. 26 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 73. 27 Tertanggal di Leiden, bulan Mei 1886. Diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Jilid ke-5, bagian I (Den Haag, 1886), hlm. 356-377. Bagian kedua diterbitkan terjemahan ringkasan dalam bahasa Perancis, dengan judul: Le voile des Musulmanes oleh H.M. d`Estrey, dalam Revue Scientifique, tahun ke-42, No. 2, 14 Juli 1886 (Paris) hlm. 50-53. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje II, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 116-117.
143
disertai pembelaan-pembelaan terhadap segala upaya deskriminasi perempuan dalam memasuki tempat ibadah.
c. Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme sebagai Proyek Penghancuran Namun, pada kenyataannya modernisme dari Leiden yang telah dibawa oleh Christiaan Snouck Hurgronje di Nusantara dalam wujud rasioanlisme (hukum Islam, hukum Eropa, pendidikan, sistem Barat,), liberalisme, dan evolusi sosial (Darwinisme) merupakan pengetahuan penghancur yang sangat berbahaya. Terbukti dalam banyak kasus, negara-negara menganut sistem dan pengikut prosedur kolonial murni sampai saat ini tetap pada lembah kehancuran. Sistem Barat tidak bisa dipakai untuk menuju kebangkitan bangsa-bangsa yang pernah dihancurkan oleh kolonialisme Barat. Janji-janji pengetahuan modern berupa kebangkitan, kemajuan, dan kesejahteraan rakyat nyatanya tidak pernah terjadi. Dapat dijadikan contoh, Turki pada 1818 mendapat gelar the sick man atau laki-laki yang berpenyakitan. Sejak 1824 Turki mulai mengadopsi sistem Barat dan menjadi Republik Turki. Sampai sekarang—Kekhalifahan Turki yang berganti Republik Turki—tidak pernah maju, negaranya hancur, masyarakat tidak sejahtera, dan tidak pernah menjadi juara dunia. Sangat berkebalikan ketika Kekhalifahan Turki yang menjadi kampium dunia. Sama halnya Republik Turki, Republik Indonesia juga menggunakan sistem Barat. Yakni, setelah kerajaankerajaan Nusantara diruntuhkan oleh kolonialisme. Sejak merdeka pada 1945 digunakanlah sistem Barat, termasuk hukum Belanda. Nasib Indonesia sampai sekarang sama dengan Turki. Indonesia betah menjadi negara terbelakang, tidak
144
bangkit, dan tetap setia dengan hukum kolonial. Berbeda sekali dengan Jepang yang hancur di bom atom pada 1945. Sebagian besar penduduk Jepang tewas. Namun, setelah genosida28 1945 Jepang mau hidup dengan budaya dan sistemnya sendiri. Tidak memakai sistem Barat murni seperti Turki atau Indonesia. Terbukti, Jepang yang memakai sistemnya sendiri (termasuk dalam hukum) sekarang menjadi salah satu juara dunia yang bangkit. Betolak belakang dengan Indonesia atau pendahulunya, Turki, sampai detik ini masih dalam lembah keterpurukan dalam sistem modern Barat yang rasional, liberal, dan kolonialistik. Maka, mega proyek kolonial yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje dari genealogi modernisme-rasionalisme-liberalisme Leiden dalam wujud pemikiran hukum Islam dan hukum keluarganya untuk penduduk Nusantara adalah pengatahuan penghancur berbekuatan tinggi dan berdampak panjang. Yang terbukti sampai sekarang bangsa Indonesia modern masih dalam kondisi terbelakang dan ketinggalan jaman dalam menyelesaikan persoalan hukum di dalam masyarakat. Penjelasan operasi pemikiran dan pengetahuan hukum yang digalakkan Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan pemikiran perdata kolonialistik di Hindia Belanda akan memberikan keterangan yang lebih nyata.
28
Genosida (genocide); pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan bangsa (ras dll.) lewat pembunuhan fisik. Pada era sekarang yang sedang berjalan adalah genosida kebudayaan.
145
B. OPERASI
DARI
RENCANA
LICIK
CHRISTIAAN
SNOUCK
HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA Christiaan Snouck Hurgronje, agen intelejen Belanda, sebelumnya paham betul kondisi penduduk Nusantara. Diketahuinya bahwa sejak sebelum jatuh di bawah penjajahan Belanda sudah banyak Pribumi yang berhaji. Malahan sudah dalam hitungan abad di Mekah ada kelompok Pribumi Nusantara yang jumlahnya terus bertambah. Baik Pribumi sebagai pelajar ilmu agama, lari dari kerja rodi, dan sebagainya.29 Selain alasan itu juga karena Mekah dikenal sebagia pusat gerakan Islam, terutama Pan-Islam yang berbahaya bagi eksistensi dunia Barat. Pasalnya di sana orang membicarakan urusan agama dan politik. Oleh karena itu, “Demi mengamati unsur utama dari kehidupan Mekah itulah, maka saya hidup di kota itu selama beberapa bulan sebagai orang Mekah sejati,” kata Abdul Ghaffar, nama lain Christiaan Snouck Hurgronje sejak di Mekah.30 Kondisi penduduk Nusantara di Mekah yang menjalin suatu masyarakat tersendiri dan lain sebagainya dijadikan bahan-bahan awal untuk operasi pengetahuan Christiaan Snouck Hurgronje dalam hukum Islam dan hukum keluarga di Hindia Belanda. Untuk bidang hukum, “Snouck menganjurkan agar pemerintah sedapat mungkin membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam.”31
29
Dimuat di Nieuwe Rotterdamsche Courant tertanggal 24 dan 25 November 1915. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 108. 30 Ditulis di Batavia, April 1900, diterbitkan dalam Revue de l’Histoire des Religions, tahun ke-22, jilid XLVI (Paris, 1901), hlm. 262-281. C. Snouck Hurgronje, ibid., hlm. 15-16. 31 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 45.
146
a. Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam Untuk menindaklanjuti gagasan pembatasan peran Islam dalam hukum Christiaan Snouck Hurgronje mewujudkannya dalam konsep teori batas. Konsep ini kemudian dikenal dengan theorie reseptie. Yakni, “hukum Islam baru diakui eksistensinya atau kekuatan hukumnya bila sudah diterima oleh masyarakat Indonesia atau bila sudah menjadi hukum adat.” Konsep ini dipakainya untuk membunuh pertumbuhan hukum Islam dan menjaga kelangsungan hidup hukum adat. Dengan gigih dia mendukung pelaksanaannya agar hukum Islam bisa dikondisikan menyesuaikan dengan adat-istiadat. Baginya hanya ada hukum perkawinan dan keluarga yang dijalankan masyarakat Hindia Belanda32 dengan baik. Sedangkan hukum Islam lainnya tidak sepenuhnya berjalan. Dari dukungannya terhadap hukum keluarga dia mendapatkan simpati dari masyarakat Islam yang telah melaksanakan hukum keluarga dan perkawinan. Bekal kepercayaan rakyat ini segara dia tindak lanjuti. Suatu teori tidak akan diakui kebenarannya dan mendapat dukungan tanpa pembuktian dalam kenyataan. Christiaan Snouck Hurgronje melakukan usahausaha untuk membuktikan bahwa teori resepsi tepat guna. Yakni, “Islam juga jangan dibiarkan dapat mengalahkan adat”. Dengan alasan, Islam tidak mampu membangktikan dinamika peradaban modern walau bisa mengubah adat. Islam di Nusantara juga masih berwatak India33 dan sisa-sisa kemunduran abat pertengahan. Watak India ini karena Islam berasal dari negeri asalnya, yakni India
32
Op.cit. Christiaan Snouck Hurgronje merupakan teoritikus yang mengatakan bahwa kedatangan (penyebaran) Islam di Nusantara berasal dari India (Gujarat). 33
147
Muka,34 yang telah menyelaraskan dengan Hindu campuran (Jawa dan Sumatera).35 Peradaban Islam juga dipandang sebagi bentuk degenerasi dari peradaban Barat-Kristen.36 Atas alasan-alasan ini yang diterapkan dalam kebijakan kolonial maka teori resepsi untuk mengunggulkan hukum adat di atas hukum Islam semakin kukuh. Adat pun perlu terus dijaga dan dilindungi dalam maksud kolonial. Misalnya, perlindungan terhadap pranata-pranta rakyat yang lama. Dengan menyadari resiko besar ketika memperjuangkan dan membela adat yang setengah mati atau tidak kukuh lagi. Dalam kondisi-kondisi yang tepat Christiaan Snouck Hurgronje merencana mengarahkan arus adat itu ke palung yang diinginkan37 kolonial. Jadi, rencana panjang pembelaaan teori resepsi terhadap adat dalam rangka mematikan adat itu sendiri. Hukum adat yang sudah dapat dibina lalu dijerumuskan ke dalam palung atau jurang yang dalam agar tidak bangkit lagi. Artinya, rakyat Pribumi sedang ingin dipermainankannya, jika perlu dikebiri dengan mempermainkan hukum adat. Dukungan terhadap hukum adat yang sangat tinggi ini sejalan dengan pemikiran selanjutnya untuk kesatuan hukum bagi semua penduduk. Kesatuan yang hanya tercapai bila keadaan masyarakat Pribumi sudah matang.38 Ditambah kesiapan sarana pemerintah yang cukup untuk menyamakan pemberlakuan hukum 34
Christiaan Snouck Hurgronje menamai negeri India sebagai India Muka. Sedangkan Hindia Belanda (Indonesia) adalah India Belakang (Timur); penamaan yang kolonialistik. 35 Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1973), hlm.13 36 Ibid., hlm. 46-47. 37 Teridentifikasi dari Kutaraja, 26 November 1891, Kepada Yang Terhormat Sekretaris Pertama Pemerintah. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. 24. Palung merupakan dasar terdalam dari cekungan di dasar lautan atau samudera. 38 Yang sudah matang sesuai standar kolonial ialah Pribumi yang menyamai (mimicry) orang Eropa; pendidikan, mental, sikap, dan pengetahuannya.
148
bagi setiap orang.39 Penyiapan kondisi masyarakat yang siap ini tentu saja dengan upaya westernisasi Pribumi melalui pendidikan-pendidikan Eropa (Surjomiharjo: 2000).40 Lewat ahli-ahli hukum didikan Eropa memungkinkan hukum adat dikodifikasi sesuai kebutuhan kolonial. Mengapa demikian? Christiaan Snouck Hurgronje, sang arsitek urusan perdata kolonialistik untuk Hindia Belanda, mengerti betul bahwa “adat tersebut akan kehilangan wataknya karena kodifikasi itu,” katanya.41 Cara ini sangat melancarkan kepentingan kolonial apalagi hukum adat dapat diubah-ubah dengan cara musyawarah. Ahli-ahli hukum didikan Eropa dipakai sebagai alat secara terus-menerus untuk menghilangkan kendala kolonial dan melunakkan akibat yang tidak diinginkan kolonial dari hukum adat. Pongkondisian hukum adat supaya di bawah kendali kolonial dalam rangka mengalahkan hukum Islam ini telah dipersiapkan secara matang. Hukum adat yang ada di bawah kendali Eropa akan disempurnakan sesuai keinginan Eropa dengan masyarakat sebagai sasaran. Karena terkendali, penyempurnaan hukum adat agar sesuai keingian kolonial dapat diselesaikan cepat tanpa pelibatan banyak sarjana hukum dan tanpa menyita banyak waktu.42 Selanjutnya kata Christiaan Snouck Hurgronje, “Jika hukum adat seperti itu dikodifikasi, hukum tersebut akan dimusnahkan.”43 Di sini secara sengaja dia ingin memusnahkan pengaruh hukum adat dari kehidupan masyarakat Nusantara sekaligus 39 Dari Betawi, 19 April 1904 untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 716. 40 Pada 1832, saat kali pertama sekolah modern Barat di buka di Yogyakarta. 41 Tertanda Weltevreden, 18 April 1893, Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 746. 42 Dari Bandung, 26 September 1903, untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. Ibid., Jilid V, hlm. 761. 43 Ibid., Jilid V, hlm. 761.
149
menghilangkan pengaruh hukum Islam. Kesemuanya akan diganti dengan pengaruh hukum-hukum Eropa dari Belanda dalam rangka menjajah secara sistemik dalam tata hukum formal (kodifikasi). Ratno Lukito dalam Islamic Law and Adat Encounter memberi analisis menarik untuk pergulatan hukum adat dan hukum Islam. Ratno, penulis sempat beberapa kali berkomunikasi dengannya, beralasan bahwa kolonialisme Belanda menggunakan standar ganda. Dalam bahasa Ratno Lukito (lahir 1968)44 adalah “kebijaksanaan dualisme”. Yaitu, “mempertahankan hukum-hukum adat dengan jalan mengalahkan hukum Islam,” terangnya.45 Hukum adat dan hukum Islam memang secara sengaja dipertentangkan atau dimusuhkan untuk saling mengalahkan. Yang seperti ini oleh Ratno Lukito disebut “pendekatan konflik”. Dalam pertentangan ini sengaja dipilih terutama dalam tema hukum keluarga, seperti perkawinan, karena Christiaan Snouck Hurgronje sadar betul pentingnya urusan perdata bagi masyarakat Nusantara. Bahwa hukum keluarga Islam bagi masyarakat berlanjut tumbuh dan punya peran yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam Indonesia.46 Dengan bahasa lain, persoalan keperdataan atau keluarga, bagi Pribumi memiliki pengaruh bagi tindakantindakan manusianya pada urusan publik. Sehingga paling tepat untuk mengendalikan masyarakat jajahan di Hindia Belanda bukan melalui jalur umum (publik). Namun, dengan mengendalikan pusat gerak masyarakatnya, dalam wujud urusan keluarga. 44
Ratno Lukito ialah Staf Pengajar di Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 28. 46 Ratno Lukito, ibid., hlm. 30. 45
150
Selain itu, dengan pendekatan konflik, teori resepsi sedang memecah belah penduduk prbumi untuk diadu domba. Yaitu, membagi lebih dahulu secara ekstrim antara penduduk penganut hukum adat agar fanatik dengan penganut hukum Islam agar pula fanatik. Contohnya adalah Perang Padri di Sumatera (1821-1823) antara Kaum Muda (Young Generation) dan Kaum Tua (Old Generation). Dalam perang yang terjadi selama paro pertama abad kesembilan belas di Minangkabau itu Belanda mendukung Kaum Tua atau kaum adat. Lalu memusuhi Kaum Muda yang sedang memperjuangkan peran hukum Islam.47 Penerapan terori resepsi yang diperjuangkan Christiaan Snouck Hurgronje memang mengupayakan sistem hukum untuk mengukuhkan posisi kolonial. Sistem hukum dalam teori resepsi itu dalam rangka memisahkan dua kekuatan sistem hukum yang mungkin bersatu; hukum adat dan hukum Islam. Hubungan dialogis, dialektik, atau bahkan persatuan hukum adat dan hukum Islam pada penduduk Nusantara merupakan penghalang yang susah dipatahkan kolonialisme jika benar hal itu terlaksana dengan baik.
b. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan Sebelumnya telah diutarakan sekilas arti pentingnya suatu keluarga bagi kelangsungan aktivitas publik penduduk Nusantara. Christiaan Snouck Hurgronje secara pasti tahu benar bahwa segala unsur pergerakan rakyat untuk menentang kolonial Belanda berasal dari suatu centrum, yakni keluarga. Untuk menarik perhatian dan dukungan maka dia mengeluarkan statemen dalam persoalan 47
Ibid., hlm. 45.
151
keluarga ini bahwa hukum Islam hanya benar diterapkan dalam urusan keluarga. Seperti dalam perkawinan. Sedangkan dalam urusan selain keluarga, hukum Islam tidak diterapkan sebagimana mestinya. Kelanjutan dari dukungan ini adalah pada hari-hari berikutnya dia justru sangat mengurusi aturan-aturan atau hukum-hukum adat dan hukum Islam yang berkaitan dengan urusan keperdataan (keluarga). Nampaknya, dia ingin menguasai dalam persoalan keperdataan ini dengan cara menebar simpati lebih dahulu. Kemudian kepercayaan yang sudah dia bangun ditindaklanjuti dengan upaya pengawasan. Pengawasan pada centrum dan titik paling kecil dan paling menentukan, yang tak lain perkawinan, umumnya urusan keperdataan. Usaha-usaha yang sangat serius dilakukan olehnya untuk mengendalikan situasi ini menggunakan sistem dan aturan perkawinan di bawah kendalinya. Yakni, segala yang terjadi atas perkawinan di wilayah daerah penjajahan Belanda, Hindia Belanda, harus diawasi. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun atas yang terjadi dalam keluarga atau perkawinan Pribumi yang sangat menentukan pergerakan rakyat jajahan. Tugas paling utama untuk pengawasan gerak-gerik rakyat jajahan dengan cara pengawasan perkawinan itu diberikan kepada para kadi, penghulu, atau naib. Satu jabatan membawahi wilayahnya masing-masing untuk urusan perkawinan. Kadi dilimpahi pengawasan tertinggi atas pelaksanaan pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Tugas ini juga berlaku bagi penghulu namun dengan wilayah pengawasan yang berbeda. Penghulu
152
melakukan pengawasan pernikahan di masjid-masjid agung. Sedangkan kekuasaan naib mengawasi personalia di masjid-masjid kawekdanan.48 Dalam menguatkan fungsi pengawasan atas pernikahan, kadi, penghulu, dan naib tidak hanya datang atau berada di lapangan. Melainkan, ada prosedur formal kolonial dalam pernikahan yang harus dipatuhi oleh pasangan-pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan. Yakni, pencatatan pernikahan. Pernikahan-pernikahan yang sah
menurut pemerintah Hindia Belanda adalah
pernikahan yang dicatat oleh pengawas pernikahan, seperti kadi, penghulu, dan naib. Di luar itu pernikahan tidak diakui negara. Mengingat pentingnya arti pernikahan bagi Pribumi, maka oleh Christiaan Snouck Hurgronje, pemerintah menetapkan biaya paling tinggi untuk pernikahan dan pencatatan perceraian dibanding urusan lainnya.49 Karena mau tidak mau penduduk jajahan dipastikan menginginkan perkawinan yang sah menurut pemerintah. Sebagaimana keharusan pencatatan pernikahan untuk dianggap sah yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan RI nomor 1 tahun 1974.50 Karena kronologi pembentukan aturan yang terakhir ini tidak terlepas dari warisan aturan Belanda pula. Di eranya Christiaan Snouck Hurgronje sangat menghendaki perncatatan pernikahan agar pemerintah bisa mengawasi gerakan rakyat yang bersumber agama, terutama Islam. Rakyat biasa yang tidak begitu kuat dalam pengetahuan agama takut jika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pencatatan. Karena 48
E. Gobee, C. Adriaanse, ibid., Jilid V, hlm. 703. Tertanggal di Batavia, 24 Februari 1890. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften (Gesammelte Schriften), (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 94-95. 50 Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), 49
153
jika tidak dicatat pernikahan tidak akan dianggap sah. Imbasnya hal-hal yang berkaitan dalam pernikahan selanjutnya juga tidak sah. Padahal, tidak menjadi masalah ketika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pengawasan dan perncatatan pegawai kolonial laiknya kadi, penghulu, dan naib. Pernikahan yang terakhir ini tetap sah asal memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam Islam. Maka, pada era-era ini sangat marak isu yang disebut nikah siri. Suatu pernikahan yang sah dalam prosedur fiqih hanya saja tidak di bawah pengawasan dan pengesahan pemerintah jajahan Hindia Belanda. Karena pernikahan-pernikahan sesuai hukum Islam dan tidak di bawah pengawasan penjajah (selanjutnya nikah siri) merupakan bentuk perlawanan. Perlawanan rakyat terjajah terhadap keberadaan kolonial Belanda di bumi Nusantara. Sekaligus sebagai bentuk harga diri bangsa51 yang bisa menyelenggarakan sistem dan aturannya sendiri atas kepercayaan rakyat tanpa dibayang-bayangani sistem Barat yang kafir52 itu. Padahal, pengawasan pernikahan baik melalui pencatatan pernikahan (baca, agar pernikahan tidak siri) atau pengawasan, pada masa itu dipakai untuk memilah dan memetakan kondisi penduduk jajahan Belanda. Sehingga akan terbelah dan terkondisikan mana-mana penduduk yang serius melawan segala bentuk penjajahan dan mana yang rakyat biasa yang bisa dikendalikan. Identifikasi penduduk jajahan dengan cara pengawasan pernikahan atau perncatatan pernikahan ini sangat manjur. Selain membelah dan memetakan 51 Harga diri ini dalam postkolonialisme ialah bagaimana subyek—subaltern dalam istilah Gramsci—menuliskan dirinya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. Bukan menjadi obyeknya kolonialisme yang tidak bisa menyusun peradabannya sendiri sehingga Barat memaksa ikut turut campur. 52 Kafir di sini bukan dalam pengertian yang diperkecil bagi sebutan di luar agama Islam. Namun, sebutan untuk yang tidak menghendaki kemerdekaan, penjajah dan tidak memberi keselamtan (islam).
154
situasi rakyat jajahan juga menggerogoti kekuatan perlawanan rakyat. Secara tidak langsung rakyat sedang dirasuki sistem modern dan rasional yang di impor dari Leiden oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Sendi-sendi perlawanan ”tak sadar” yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pernikahan mandiri (baca, siri) lambat tapi pasti terkikis dan rusak. Lalu animo pernikahan merdeka (baca, siri) diputarbalikkan dengan tuduhan-tuduhan buruk. Seperti, ketiadaan tanggung jawab suami terhadap istrinya.53 Kondisi menjadi sangat terbalik dari rakyat yang tadinya ”tak sengaja” melawan penjajahan dengan pernikahan merdeka. Sekarang berubah menjadi rakyat yang ”tak sengaja” melawan perjuangan bangsanya sendiri dengan mendukung pengawasan pernikahan oleh pemerintah penjajah Belanda. Ironis dan tragis. Tak tahunya pengawasan dan pencataan perkawinan merupakan penetrasi hukum Eropa terhadap hukum Islam. Umat Islam sangat menentang penetrasi hukum sekuler dari pemerintah kolonial. Semua partai serta organisasi Islam turut menentang rencana pemerintah memperkenalkan nikah tercatat pada 1930-an. Saat 1938 pemerintah juga sempat berencana memindah wewenang mengatur waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri serta merencanakan mendirikan Mahkamah Islam Tinggi dan perencanaan pencatatan perkawinan, umat Islam menentang usaha-usaha tersebut dengan keras. Pijper54 menggambarkan
53 Kita mengenal kontrol sosial atau moral dalam pelaksanaan hukum. Melalui positifikasi dan formalisasi hukum aspek kontrol sosial dan moral ditiadakan. Dalam perspektif ini, nikah siri merupakan tindakan kejahatan karena negara tidak bisa mengontrol, dan si pelaku (laki-laki) disebut orang tak bertanggung jawab. Tuduhan ini diperkuat dengan contoh dan alasan yang kadang dibuat-buat. 54 Lengkapnya Prof. Dr. G.G. Pijper, lahir pada 1893, peneliti bahasa pada KvIz (1925-1931), wakil AvIz (1932-1937), dan AvIz (1937-1942).
155
kemarahan ini sebagai “bukti kekuatan Islam”55 yang tersinggung karena urusan paling pribadi (keluarganya) dicampuri orang lain. Penentangan ini atas ukuran jangka panjang dari pengawasan pernikahan oleh dinas-dinas pemerintah jajahan adalah untuk dibuat sekat-sekat atau sel-sel pemisah di dalam penduduk Pribumi. Agar tidak terjadi suatu pernikahan antara Pribumi dengan etnis keturunan. Misalnya, pernikahan Pribumi dengan anak keturunan Cina (Tionghoa), akad yang berusaha ditiadakan dengan aturan-aturan kolonial. Caranya seperti pembagian penduduk dengan penggolongan bertingkat; Eropa, Asing Timur, dan Pribumi. Di mana pengkotak-kontakan penduduk yang sesuai dengan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje adalah berikut; Pertama, pertimbangan geografis untuk memasukkan Turki agar satu golongan dengan Belanda. Kedua, atas dasar agama agar Cina dan Pribumi yang sudah masuk Kristen bisa dalam satu golongan. Ketiga, pembagian bersifat hukum seperti pembagian dalam hukum keluarga. Keempat, sifat politis untuk kemungkinan memasukkan Jepang dalam golongan Eropa sesuai hukum keluarga mereka.56 Selanjutnya, rencana-rencana yang disebut penyamaan hukum bagi setiap penduduk Nusantara hanya kamuflase. Padahal, tidak sedikit penduduk yang pragmatis terutama Cina, ingin beralih agama menjadi Kristen agar sebagai manusia memiliki kedudukan setara dengan bangsa Eropa. Demikian pun tidak akan memberi banyak perubahan bagi yang pindah agama Kristen. Christiaan Snouck Hurgronje sendiri mengakui bahwa ada suatu ganjalan di mata hukum Eropa bagi perkawinan-perkawinan Pribumi. Seperti pernikahan-pernikahan 55 56
Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 73-74. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat… Jilid V, ibid., hlm. 725.
156
Pribumi dengan Eropa atau Indo-Eropa yang dianggap membentuk keluarga tidak sah menurut hukum Eropa. Selain tidak sah menurut hukum Eropa jenis pernikahan demikian berlanjut dengan pelanggaran pencatatan sipil dalam kelahiran atau pun kematian. Christiaan Snouck Hurgronje sering mengingatkan akan
keteledoran
para
pegawai
catatan
sipil
terhadap
penyimpangan-
penyimpangan dalam perkawinan57 karena tidak sesuai aturan kolonial yang diingininya. Sehingga ketidakpastian dalam hukum Eropa dalam perkawinan memberi peluang kepada warga Cina untuk bergabung dengan Islam Pribumi. Karena dengan menjadi Islam lebih memberi kebebasan dalam bergerak dan bekerja. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi kepentingan kolonial. Maka, dengan cara yang tepat perlu dibuat aturan agar tidak terjadi pernikahan Cina dan Pribumi sesuai aturan hukum Islam dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Segalanya perlu dikendalikan dan dikontrol supaya konsolidasi rakyat terjajah dari beragam jalur pernikahan tidak pernah terjadi58 untuk waktu yang tak terbatas.
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Agen untuk Urusan Keluarga Koloni Pengawasan dalam perkawinan baik melalui prosedur pencatatan sipil atau diketahui pegawai pemerintah yang berwenang ditindaklanjuti dengan cara pengangkatan penghulu. Bagi Christiaan Snouck Hurgronje: ‘Pengangkatan penghulu sebenarnya untuk menempatkan penghulu pemerintah Hindia Belanda
57 58
Ibid., Jilid V, hlm. 735. Op.cit.
157
di masjid-masjid untuk mengawasi gerak-gerik umat Islam dari kas masjid yang dibelanjakan. Tidak hanya untuk tahu penyelewengan penggunaan.’ Dapat diambil suatu pemahaman bahwa pengangkatan penghulu oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda untuk mengetahui gerak-gerik umat Islam lewat pembelanjaan kas masjid. Bukan hanya sekadar tugas formal untuk tahu penyelewengan penggunaan kas yang dilakukan pengelola masjid.59 Karena untuk tujuan suci hal yang terakhir ini jarang sekali terjadi. Namun Christiaan Snouck Hurgronje memakai para penghulu ini sebagai agen pemerintah kolonial untuk mengawas pergerakan masyarakat Muslim. Di mana kas-kas masjid itu salah satunya diperoleh dari penyelenggaraan pernikahan-pernikahan oleh penghulu di masjid-masjid yang ditarik dengan harga tinggi dibandingkan penyelenggaraan urusan lain. Pengangkatan dan penugasan khusus penghulu ini dilakukan lewat jalur khusus sebagaimana yang dikemukakan Christiaan Snouck Hurgronje. Pertama, perlu diteliti dalam pemilihan penghulu terutama untuk urusan penduduk paling pribadi. Urusan paling pribadi di sini tak lain menyangkut masalah keluarga, perkawinan, perceraian, kewarisan. Kedua, penghulu yang diangkat diharuskan serius meneliti pembukuan kas masjid termasuk meneliti pemberian masyarakat. Karena cara seperti ini tidak mungkin dianggap campur tangan kolonial. Ketiga, penghulu juga sebagai pelaksana peraturan khusus pernikahan, perceraian, dan keputusan majelis ulama.60 Dari pengangkatan penghulu atau penghulu yang 59
Penyelewengan dalam maksud kolonial yaitu saat kas masjid dipakai biaya umat Islam untuk berjihad melawan kolonialisme Belanda. 60 Dari tempatnya Betawi, 4 Maret 1893. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
158
ditugaskan pemerintah kolonial ke masjid-masjid menjadikan gerak-gerik masyarakat lebih terkendali. Setidak-tidaknya apa yang hendak dilakukan masyarakat untuk menentang pemerintah kolonial sudah diketahui sejak dini. Persoalannya yang kerap terjadi di dalam masyarakat pada hal perkawinan bukan hanya perkawinan semata-mata. Melainkan ada upaya-upaya menyatukan kekuatan pemberontakan terhadap penjajah melalui jalur pertalian kekeluargaan. Sehingga konsolidasi kekuatan pemberontakan umat Islam terhadap Belanda tidak begitu kelihatan atau tersamar. Pada masa-masa sebelum Christiaan Snouck Hurronje yang demikian itu tidak menjadi sorotan kolonial. Atau pemerintah jajahan sering kali melupakan terhadap tindakan-tindakan rakyat terjajah yang tidak mematuhi hukum tentang pencatatan sipil yang tidak diindahkan penduduk. Kelalaian terhadap pencatatan dan pengawasan perkawinan rakyat jajahan itu justru dijadikan angin segar untuk pergerakan rakyat. Sebagai wahana memperkuat iman dan menyatukan barisan atas nama fanatisme Islam yang dipupuk lewat jalur pernikahan dalam Islam. Kelanjutannya, tidak sedikit terjadi pernikahan bukan hanya sesama Pribumi saja, tapi juga pernikahan dengan keturunan Cina maupun Arab. Jalur ikatan kekeluargaan atau perkawinan ini dipilih karena jika gerak-gerak pergerakan penduduk jajahan dilakukan lewat jalur sistem formal (kekuasaan) maka dipastikan akan kalah. Mempertimbangkan arti pentingkan perkawinan dalam Islam Pribumi dan fungsi penghulu yang sangat penting, maka bagi Christiaan Snouck Hurgronje, tidak ada alasan meniadakan fungsi dan pengaruh penghulu. Karena pada jabatan Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VII, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 1339.
159
ini melekat pengaruh yang akan memperlancar urusan pemerintah kolonial kepada penduduk jajahan. Selain itu, penghulu ini masih dikendalikan di bawah kuasa bupati.61 Hanya demi kepentingan kolonial ini kadang-kadang tidak menjadi soal ketika yang diangkat pemerintah pusat sebagai penghulu adalah orang yang tidak tahu apa-apa62 atau kurang kapabilitasnya. Karena penghulu yang bodoh lebih mudah dikendalikan pemerintah. Apalagi ketika penghulu diberi kemudahankemudahan oleh pemerintah kolonial.63 Seperti, ketiadaan kewajiban bagi penghulu untuk membelanjakan uangnya untuk kepentingan sosial. Berbeda dengan pegawai Pemerintah Daerah dan polisi.64 Penghulu hasil didikan kolonial atau yang dikehendaki penjajah mendapat tugas pula untuk menelisik secara langsung gerak-gerik masyarakat Islam. Tidak hanya melalui pengawasan dan pencatatan pernikahan. Penghulu-penghulu terpercaya dipasang di titik-titik strategis kekuatan Islam. Misalnya, untuk mengetahui kehendak rakyat Muslim di Banten. Para penghulu ini dipasang sebagai penghubung kiai-kiai tertemuka di Banten.65 Christiaan Snouck Hurgronje memossisikan Banten bagi Jawa laiknya Aceh bagi Sumatera. Terbukti sejak lama telah ada komunitas Banten di Mekah yang berhaji. Itu pertanda bahwa Banten sangat kuat penagruhnya bagi Jawa.66 Oleh karena itu penghulu-penghulu yang diangkat pemerintah jajahan bertugas menyelidiki situasi dan pola gerak 61
E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 829. Ibid., Jilid V, hlm. 844. 63 Surat tertanggal Betawi, 5 Januari 1905 untuk Direktur Kehakiman. 64 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 846. 65 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VIII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 1412. 66 Dari Betawi, 26 Maret 1890. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid VIII, ibid., hlm. 1411-1412. 62
160
masyarakat Muslim Banten dalam menghadapi penjajahan Belanda. Penugasan para penghulu ini menjadi mudah tanpa kecurigaan rakyat yang berlebihan. Di mana penghulu dalam menjalankan tugas-tugas kolonialnya dengan cara mengadakan, mencatat, atau berada (untuk mengawasi) jalannya suatu pernikahan Islam lebih tidak dicurigai. Suatu peristiwa hukum yang sejak awal dikatakan Christiaan Snouck Hurgronje tidak menyimpang dari hukum Islam. Wajar jika petugas kolonial (penghulu) mendapat kelancaran jalan untuk tugas-tugasnya karena sedemikian penting perannya. Malahan tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Syeikh Ahmad Rifa’i di Kendal-Batang-Pekalongan, Jawa Tengah, dituduh menyimpang dari ajaranajaran Islam. Kita tahu, bahwa tokoh agama pada kala itu tidak hanya sebagai guru mengaji, juga kadang sebagai penghulu dalam perkawinan. Syeikh Ahmad Rifa’i yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam ini, menurut Christiaan Snouck Hurgronje, perlu disingkirkan. “Saya bahkan menganggap, tindakan pengasingan terhadap orang seperti Ripangi hanyalah tepat,” katanya.67 Pengasingan terhadap Syeikh Ahmad Rifa’i atau Ripangi dilakukan karena dianggap membahayakan ketenteraman. Karena Ripangi buta dan tuli terhadap peringatan pemerintah. Tuduhan-tuduhan kolonial terhadap Ripangi ini karena melawan penjajah Belanda dengan caranya yang tidak mengindahkan aturan hukum kolonial. Maka, bagi Syeikh Ahmad Rifa’i, orang-orang Pribumi yang
67
Betawi, 26 Mei 1896 Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2084-2085.
161
menjadi penghulu, tumenggung, dan guru agama yang mengikuti kata penjajah disebut sebagai orang Pribumi yang tersesat.68 Peran-peran agamawan yang tidak mau di bawah kendali kolonial seperti Syeikh Ahmad Rifa’i ini dipandang oleh Belanda membahayakan ketertiban. Christiaan Snuock Hurgronje memutarbalikkan kegiatan Syeikh Ahmad Rifa’i ini sebagai perlawanan terhadap semua adat Pribumi. Serta alasan Syeikh Ahmad Rifa’i tidak menghormati dan tidak mengakui kekuasaan konkret kolonial Belanda yang menjadi sejarah. “Oleh karena itu penyebarluasan tulisan-tulisan Ahmad Ripangi harus di berantas,” katanya.69 Dari alasan kekuasaan kongkret ‘telah menjadi sejarah’ Christiaan Snouck Hurgronje sedang menjadikan pemerintah jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah sejarah (baca, adat). Di mana adat istiadat merupaka hukum yang harus ditaati oleh seluruh penduduk jajahan Belanda. Kita tahu pula bahwa dia, Christiaan Snouck Hurgronje, adalah orang yang sangat getol terhadap perjuangan hukum adat untuk menghabisi hukum Islam. Sehingga seringkali gerak-gerak ulama’ atau masyarakat Muslim yang menentang Belanda disamakan dengan penentangan terhadap adat alias penentangan terhadap bangsanya sendiri. Christiaan Snouck Hurgronje sungguh seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik di Hindia Belanda yang pintar, cerdik, licik, dan, berwibawa. Dari agen-agennya, yakni penghulu, kadi, maupun naib, yang selalu memberikan laporan gerak-gerak Muslim Pribumi, Christiaan Snouck Hurgronje mampu menentukan target-target operasi selanjutnya. Syeikh Ahmad Rifa’i salah 68 69
E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid X, ibid., hlm. 2083. Ibid., Jilid X, hlm. 2088.
162
satunya. Muhammad Jahid dan Syeikh Abadul Jalil dapat dijadikan contoh lainnya. Yang disebut terakhir tadi cukup fenomenal. Menurut informasi matamatanya, Christiaan Snouck Hurgronje mendapat keterangan bahwa Syeikh Abdul Jalil (Syeikh Siti Jenar)70 berdakwah dan meramalkan tentang terjadinya revolusi di Jawa yang tidak lama lagi. Kemudian rencana-rencana untuk meng-Islamkan orang-orang Belanda. Sedangkan orang Belanda yang membangkang akan di usir dari Jawa.71 Gerakan-gerakan tokoh Islam seperti mereka sungguh mengancam kelangsungan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Tetapi, lewat agen-agen atau mata-mata yang dimiliki, laiknya penghulu, Christiaan Snouck Hurgronje dapat lebih awal mengantisipasi. Bahkan menyusun rencana-rencana tandingan guna mematahkan dan menumbangkan pejuang-pejuang kemerdekaan atas Belanda. Yaitu, dengan cara memutarbalikkan fakta bahwa para pejuang kemerdekaan yang Muslim ini diklaim sebagai penjahat, pembawa ajaran sesat, mengusik ketenteraman dan ketertiban, atau memberontak terhadap pemerintah nagara jajahan Hindia Belanda yang sah. Pengusiran, pengasingan, penjara, atau pembunuhan adalah hukuman yang mudah dijatuhkan oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda untuk mereka.
70
Revolusi Jawa sebagaimana diramalkan Syeikh Siti Jenar dapat dilihat dalam Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar, Jilid 1-7, (Yogyakarta: LKiS, 2003-2005). 71 Ibid., Jilid X, hlm. 2122.
163
d. Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai ! Christiaan Snouck Hurgronje merupakan pengikut rasionalisme dan liberalisme Leiden yang kuat. Meskipun pada masa remaja dia sempat terhanyut dalam paham Khayal dan Kenyataan (Dichtung und Warheit)-nya Goethe.72 Sekarang pun dia nampaknya telah kembali kepada paham khayal yang pernah ditinggalkannya. Khayalan sang ilmuwan Barat itu adalah soal ketidakmungkinan sistem hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) untuk berdamai. Contohnya pernah terjadi pada masyarakat Minangkabau. Sehingga dianggapnya tidak ada jalan lain sebagai alternatif penyelesaian persoalan warisan kecuali menggunakan hukum waris adat. Artinya, hukum waris Islam tidak bisa dipergunakan bersanding dengan hukum waris adat. Kekesalannya terhadap gencarnya perjuangan ajaran Islam untuk memakai hukum waris Islam yang menentang kolonialisme, dituduh oleh Christiaan Snouck Hurgronje, sebagai ‘celaan’ untuk merebut kekuasaan73 oleh golongan Islam dari kaum adat Minangkabau. Staatsblad No. 116 Tahun 1937 dapat dijadikan bukti upayanya untuk mencegah pengaruh sistem kewarisan Islam. Dalam peraturan ini, jurisdiksi masalah kewarisan yang semula ada di Pengadilan Agama (PA) dipindah ke Pengadilan Umum (PU). Yakni, “di mana perkara-perkara yang muncul tidak dipecahkan menurut hukum Islam tetapi menurut adat”. Sedangkan jurisdiksi PA dibatasi hanya dalam dua masalah; perkawinan dan perceraian. Staatsblad No. 116 Tahun 1937 merupakan upaya kolonial merebut supremasi 72 73
P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31. Lihat Bab III.
164
kewarisan; di sini hukum adat lebih unggul daripada hukum Islam.74 Segala daya dan upaya telah dikerahkan Christiaan Snouck Hurgronje maupun pemerintah Hindia Belanda sebagai pembenar bahwa hanya hukum adat yang semestinya dipakai untuk menyelesaikan persolan warisan di Minangkabau. Bukan hukum Islam. Sekaligus untuk membenarkan pemikirannya tentang hukum waris adat dan hukum waris Islam yang tidak mungkin didamaikan. Namun segala daya upaya untuk membuktikan bahwa ‘hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai’ telah sia-sia belaka. Dengan kata lain, mitos ‘hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai’ hanyalah khayalan yang dibangun ilmuwan Barat. Sekali lagi, Christiaan Snouck Hurgronje tua sudah terjebak pada paham khayalnya Goethe, sebagaimana masa mudanya sebelum bertemu kaum modernis Lieden. Khayalan sang ilmuwan Barat ini telah berakhir sia-sia. Ternyata, justru dengan tanpa adanya campur tangan kolonial, masyarakat lebih mampu mendamaikan hukum waris adat dan hukum waris Islam. Subaltern yang sering dicap bodoh dan tak berpendidikan ini membuktikan diri lebih unggul dalam menyelesaikan masalah dibanding kolonialis seperti Dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Contohnya di Minangkabau. Pernah disepakati antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam (dalam Perang Padri, abad ke-19) tentang rumusan; adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Quran). Rumusan yang cerdas ini kemudian dikukuhkan kembali dalam rapat antara ninik, mamak, imam khatib, cerdik-pandai, manti-dubalang Minangkabau di Bukittinggi pada 74
Ratno Lukito, ibid., hlm. 37.
165
1952. Sebagai bukti bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam dapat berdamai ditegaskan pula dalam pertemuan-pertemuan lain. Misalnya, penegasan kembali dalam seminar hukum Adat Minangkabau di Padang (Juli 1968). Kesimpulan penting dapat diambil dalam rapat dan seminar tentang kewarisan itu; pertama, kewarisan harta pusaka tinggi diperbolehkan turun-menurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat; kedua, harta pencaharian (disebut juga pusaka rendah) diwariskan menurut syara’ (hukum Islam). Jadi, sejak 1952, jika ada perselisihan soal harta pusaka tinggi diselesaikan dengan pedoman hukum adat. Lalu, penyelesaian masalah harta pencaharian berlaku hukum faraa’id (hukum kewarisan Islam). Perdamaian antara hukum waris adat dan hukum waris Islam ini disuarakan kembali dalam seminar hukum adat Minangkabau pada 1968. Di sana juga diserukan kepada seluruh hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan kesepakatan tersebut. Dengan demikian, hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) sudah berdamai di bawah keputusan rakyat Minangkabau tanpa campur tangan kolonial yang kotor dan licik. Apalagi ungkapan yang paling pas untuk para pengkhayal Barat yang kukuh bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai, laiknya Christiaan Snouck Hurgronje dan sahabatnya Cornelis van Vollenhoven, kecuali mereka sedang membuat mitos baru dalam dunia hukum perdata. Sungguh tindakan akademisi Barat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di pengadilan altar akademik. Benar kiranya yang dikatakan Hazairin75 tentang 75
Hazahirin dalam Hukum Kekeluargaan Nasional.
166
segala yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje untuk membenarkan pikiranpikirannya; bahwa bangunan teori resepsi yang dikonsep Dr. Christiaan Snouck Hurgronje adalah teori iblis. Pemikiran yang dikonstruksi Abdul Ghaffar—nama Islam Christiaan Snouck Hurgronje—tak lain justru untuk membuat orang Islam sendiri tidak melaksanakan hukum Islam. Bagaimana mungkin orang yang medeklarasikan diri sebagai Mulsim di hadapan para ulama Mekah malah berbalik menentang penyebarang Islam di Hindia Belanda? Kecuali jika tindakan itu hanya dilakukan oleh Muslim gadungan yang telah melakukan pelacuran intelektual hanya demi kelancaran penjajahan Belanda (Kristen) di Nusantara. Jan Just Witkam dalam naskah Orientalist menyebutkan bahwa Christiaan Snouck Hurgronje memang “not a religious man.” Yang ada padanya “little personal religious feeling”.76 Orientalist ini sekaligus membuktikan bahwa kehebatan Christiaan Snouck Hurgronje dalam ilmu teologi, penguasaannya atas Bahasa Arab, dan bekal ajaran Islam yang cukup mendalam tidak otomatis menjadikan dirinya sebagai pemeluk ‘Islam’ yang taat. Terakhir tadi jika bukan untuk penyamaran belaka. Jadi, yang dilakukan intelektual kolonialis Christiaan Snouck Hurgronje dalam hukum kewarisan, telah sesuai dengan konsep operasi pemikirannya. Yakni, “menaklukkan Islam di Indonesia berarti membebaskan pemeluknya dari pembatasan sempit sistem Islam” kata Christiaan Snouck Hurgronje “La Politique Musulmane de la Hollande”, dalam Verspreide Geschriften, IV, I, hlm. 204.
76
Jan Just Witkam, Christiaan Snouck Hurgronje: a tour d’horizon of his life and work, dalam Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007), hlm. 15.
167
Penyempitan pengaruh hukum Islam ini akan dilanjutkannya dengan menjadikan orang Indonesia bersatu dalam budaya77 dan sistem hukum penjajah Belanda.
e. Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial Dalam UU RI No. 1 tahun 197478 tentang Perkawinan terkandung asas pernikahan adalah monogami. Asas ini sebagaimana yang pernah direncanakan Christiaan Snouck Hurgronje yang menghendaki pernikahan monogami dan menghapus poligami. Sebagaimana cita-citanya yang ingin melihat masyarakat Indonesia, terutama Jawa, menjalani hidup wajar dengan monogami. (Artinya, poligami tidak wajar). Menghilangkan kesewenang-wenangan antara suami dan istri akibat posisinya yang tidak setara. Menjadikan kehidupan keluarga yang sehat dengan monogami. Monogami ini, sekaligus, baginya mendukung arah modernisasi di Indonesia. Asas monogami ini juga selaras dengan Ordonansi Mengenai Pencatatan Pernikahan pada 1937 yang merencanakan pernikahan monogami dan dicatat.79 Artinya, asas monogami dalam pernikahan di Indonesia (UU No. 1/ 1974) merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kolonialisme. Jika Christiaan Snouck Hurgronje masih berusia panjang hingga saat ini pasti dirinya akan berbangga buah pikirannya dipakai dalam hukum Indonesia. Asas monogami sebagai kepanjangan tangan kolonial tidak hanya berhenti pada kesamaan ide Christiaan Snouck Hurgronje maupun cita-cita dalam ordonansi pernikahan pada 77
Suminto, ibid., catatan kaki hlm. 38, dari Harry J. Benda, “Continuity and Cange in Southeast Asia”, op.cit., hlm. 89. 78 Lihat Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, ibid. atau Drs. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003). 79 Lihat Bab III.
168
1937. Ada hal-hal yang lebih penting ikut mendasari asas monogami ini. Pertama, ide pernikahan harus monogami merupakan upaya kolonial ikut campur tangan dalam persolan ibadah atau agama murni. Padahal, Christiaan Snouck Hurgronje dalam nasehatnya menyatakan, bahwa dalam hukum yang murni agama pemerintah hendaknya netral.80 Poligami merupakan hukum yang murni agama. Hukum Islam tidak menutup kemungkinan suatu pernikahan poligami. Polemik antara pendukung poligami dan yang mengharamkan poligami dalam hukum Islam tidak mengerucutkan poligami dalam satu hukum, haram misalnya. Artinya, poligami merupakan masalah hukum yang debatable (tidak satu hukum). Pernikahan harus monogami seperti diinginkan Christiaan Snouck Hurgronje ialah bentuk reduksi atas hukum Islam. Kekayaan khazanah hukum Islam benar-benar dikerdilkan olehnya hanya untuk mendukung cita-cita kolonialisme. Kedua, agar Muslim Hindia Belanda menjadi pelaksana amaliyah orang (Kristen) Eropa yang hanya boleh menikahi seorang perempuan (memiliki satu istri). Karena kolonialisme tidak hanya untuk kepentingan kekayaan (gold) yang ada di Nusantara. Meskipun tujuan meng-Kristen-kan seluruh penduduk jajahan tidak tercapai setidaknya ajaran-ajaran Kristen diamalkan masyarakat Muslim Hindia Belanda. Dengan begitu, secara nonformal, Muslim Indonesia ialah sangat Kristen (baca, mimicry) dalam ajarannya. Sekaligus pengikut tertib hukum keluarga yang juga Kristen (Eropa). Sehingga ‘tidak ada bedanya’ antara Muslim
80
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 200. Bandingkan Latiful Khuluq, ibid., hlm. 2.
169
dan Kristen karena kedua-duanya sama pelaksana ajaran sekaligus kepentingan Kristen (Eropa). Ketiga, pernikahan monogami, seperti ini disebutkan Christiaan Snouck Hurgronje akan mendorong Indonesia, ke arah dunia modern81 (kemajuan). Asas monogami sedang ingin memajukan Muslim Pribumi yang ‘terbelakang’ agar lebih dekat (seperti) kehidupan modern (Eropa) yang ‘lebih maju’. Di sini, umat Islam Pribumi, benar-benar sedang dikebiri oleh Abdul Ghaffar atau Christiaan Snouck Hurgronje sebagai manusia ‘terbelakang’. ‘Terbelakang’ dalam maksud kolonialisme adalah lebih mirip dengan moyangnya (kera). Asas monogami berupaya menjadi Muslim yang mirip kera bodoh ini semakin maju dengan mengikuti konsep keluarga Eropa yang keseluruhannya hanya monogami. Satu orang pun dilarang (haram) berpoligami (kira-kira) dengan alasan apapun. Keempat, alasan kebudayaan akan pula menjelaskan kepentingan di balik asas monogami. Para ulama Nahdlatul Ulama pernah memberikan pendapatnya dari sisi budaya ini. Yakni, Eropa dan Indonesia memiliki budaya yang berbeda dan masyarakatnya juga disusun atas sistem yang berbeda. Keliru jika Indonesia kemudian disamaratakan dengan Eropa bahwa segala bentuk pernikahan harus monogami. Dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 16, 1 Juli 1937, diterangkan suatu akibat laki-laki dilarangan beristri lebih dari satu orang perempuan. Hal ini dicontohkan di Eropa, masyarakat yang anti poligami, memunculkan budaya baru. Yaitu, laki-laki biasa memiliki perempuan lagi dengan cara yang tidak benar atau
81
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid., hlm. 197.
170
pergundikan. Bahkan, muncul perkumpulan-perkumpulan hotel (hotel-societeit) yang melegalkan pergundikan.82 Praktik pergundikan seperti itu pula sepertinya yang telah dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje dengan menikahi secara Islam perempuan Pribumi: Sangkana dan Sadijah. Bagaimana tidak? Terbukti setelah pernikahan-pernikahan dalam Islam dengan dua perempuan Pribumi tadi, Christiaan Snouck Hurgronje pada 1906 kembali ke Belanda, lalu dia menikahi Ida Maria pada 1910. Ida Maria merupakan putri Dr. A.J. Oort pensiunan pendeta liberal di Zutphen. Hubungan pernikahan dengan Ida Maria tetap terjalin sampai Christiaan Snouck Hurgronje meninggal dunia (26 Juni 1936)83 di Leiden.84 Sedangkan anak-anaknya dari mengawini perempuan Pribumi dilarang ke Belanda (meskipun untuk belajar) sekaligus tidak boleh memakai ‘Snouck Hurgronje’ pada tiap-tiap namanya. Fakta ini merupakan bentuk Christiaan Snouck Hurgronje tidak mengakui anak-anak Indonesianya.85 Hukum perkawinan Indonesia memang tidak mengharamkan poligami. Bagi laki-laki, masih diberi kesempatan punya istri lebih dari seorang perempuan jelita. Namun, asas monogami tidak bisa mengingkari dari sejarah kolonialnya.
82 Lihat Penolakan Kiai NU terhadap RUU Anti Poligami Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (tanpa identitas). 83 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 124. Lihat pula Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Cet. II, (Jakata: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 97-98. Dalam catatan kaki nomor 11. 84 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (18571936) Orientalist, ibid., hlm. 11. 85 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 227-228.
171
C. PENGARUH KONSEP KOLONIALISTIK CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE DALAM KENYATAAN HUKUM DI INDONESIA
a. Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia Hindia Belanda bahkan tidak memiliki pusat ilmu pengetahuan Islam, hanya hidup dari sisa hidangan internasional …86 Christiaan Snouck Hurgronje
Demikian itu pernyataan tegas Christiaan Snouck Hurgronje yang diterbitkan dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII, di Batavia pada 1900, di halaman 393-427. Pernyataan Christiaan Snouck Hurgronje tersebut sedang membuka cakrawala pikir kita bahwa sesungguhnya diakui oleh sang arsitek hukum kolonial bahwa Nusantara merupakan sampahnya peradaban dunia. Yang hidup dengan cara menyantap sisa-sisa dari jamuan internasional. Jamuan yang dimaksudkan di sini adalah keilmuan, pengetahuan, hukum, maupun keadaban. Kondisi seperti ini pun tercermin sampai saat ini setelah Hindia Belanda merdeka dan menjadi Republik Indonesia modern. Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak merubah status Indonesia sebagai tempat sampahnya dunia. Sumber lain menyebutkan kemerdekaan itu pada 27 86
Tertanggal : Batavia, April 1900 Terbit dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde Diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII (Batavia, 1900) halaman 393-427. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1923), hlm. 174. [Huruf miring tebal dari A.M]
172
Desember 1949.87 Bahkan pada orde reformasi ini pun status sebagai sampahnya dunia belum pindah tangan dari Indonesia. Adapun Christiaan Snouck Hurgronje merupakan distributor ulung yang berhasil menyebarkan sampah-sampah Barat, khususnya Leiden, ke tertib kehidupan masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyebarkan, lebih lagi, Christiaan Snouck Hurgronje adalah aktor yang berhasil pada skala tertentu menjadikan bangsa Indonesia mau tetap menyantap sisa-sisa dari hidangan internasional yang dibawanya dari Leiden. Tidak terkecuali sampah-sampah hidangan internasional via Belanda itu menyentuh pada kenyataan hukum di Indonesia. Misalnya dalam proses pembentukan hukum perdata di Indonesia yang seolah tidak sanggup tanpa merujuk (tepatnya, menjiplak atau mimikry) dalam istilah Franz Fanon atau Homi K. Bhabha88— konsep-konsepnya dari Belanda. Dalam proses pembentukannya, hukum perdata (misalnya, pencatatan pernikahan) di Indonesia banyak terpengaruh warisan pemikiran dan hukum kolonial Belanda. Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon) merupakan asal mula Hukum Perdata Belanda. Code Napoleon89 disusun berdasarkan hukum Romawi atau Corpus Juris Civilis (waktu itu dianggap hukum paling sempurna). Saat Perancis menguasai Belanda (1806-1813), hukum perdata dan dagang diberlakukan di Belanda.90 Berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri 87
Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), ibid., hlm. 31. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 452. 89 Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). 90 Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional 88
173
Belanda, baru pada 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda91 (selesai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Februari 1830).92 Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, KUHPdt. Belanda ini diusahakan supaya berlaku di Hindia Belanda. Yakni, dengan membentuk B.W. Hindia Belanda (isinya serupa dengan BW Belanda). Tokoh Belanda yang memperkokoh B.W. Hindia Belanda adalah Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem93 dan Mr. C.C. Hagemann,94 ditambah Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer.95 Lalu dibentuk panitia baru; Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem96 dan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.97 Panitia ini yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia yang banyak dijiwai KUHPdt. Belanda (diumumkan 30 April 1847 di Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948).
(berlaku asas konkordansi). Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. 91 Berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr.J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Sebelum selesai Kemper meninggal dunia (1924) dan usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan Nicolai, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia (pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara). Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama : 1.Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda) – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt. 2.Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD. 92 Tetapi, pada Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda (kerajaan Belgia) sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanakan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof. Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda. 93 Ketua panitia kodifikasi. 94 Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem. 95 Masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. 96 Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem. 97 Anggota.
174
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,98 KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku dipakai di Indonesia. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia99 (induknya hukum perdata Indonesia).100 Jadi pada kenyataan hukum ini, terutama perdata, Indonesia benar-benar penerima sampah-sampah hukum dari perdaban Barat. Di mana Indonesia modern mewarisi konsep-konsep hukum dari negara jajahan Hindia Belanda, Hindia Belanda mendapatkannya dari Belanda, dan Belanda sisa dari Perancis. Mata rantai ini menunjukkan bila Indonesia modern menjadi pihak ke empat yang memakai konsep hukum yang merupakan sisa-sisa dari Perancis. Sungguh suatu kondisi hukum yang sangat terperosok ketika Indonesia modern hingga saat ini memakai warisan hukum dari koloni jajahan Hindia Belanda yang mana Hindia Belanda mewarisi dari Kerajaan Belanda (koloni jajahannya Perancis). Dengan diberi dan menikmati sampah-sampah hukum dari PerancisBelanda-Hindia Belanda ini yang disebut Christiaan Snouck Hurgronje dalam rangka memajukan (baca, memodernkan) Indonesia. Sebagaimana juga telah dijadikan tujuan utamanya untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jawa, berpindah ke dunia modern. Tata hukum Indonesia modern bukan yang sesuai 98
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” 99 Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. 100 Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam Evy Lestari, Pengaruh Kolonialisme Belanda terhadap Keharusan Nikah Seagama dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,” (Skripsi F.S. IAIN Semarang: tidak diterbitkan, 2009), hlm. 108-109.
175
terori resepsi yang diperjuangkannya agar kehidupan diatur dengan hukum adat. Bukan pula lagi Indonesia yang diatur dengan hukum Islam. Karena memang Islam sedari awal merupakan sasaran utama yang harus dihancurkan melalui hukum adat, modernisme, rasionalisme, liberalisme, evolusi sosial dan hukum, sampai formasilasi (penerapan) hukum Eropa untuk wilayah jajahan di Hindia Belanda (sekarang, Indonesia modern). Caranya, sedapat mungkin menjauhkan dan membebaskan (liberalization) orang-orang Indonesia dari ajaran Islam untuk menganut ajaran Belanda-Kristen agar Indonesia berada pada orbit pembaratan (wearwenization).101 Tentu yang pertama di tarik ke orbit pembaratan adalah orang-orang yang tidak kental ajaran agamanya. Paling mudah misalnya melalui pengawasan atau pencatatan pernikahan oleh penghulu, naib, yang ditugaskan oleh pemerintah jajahan. Sehingga dengan sendirinya orang-orang Indonesia belajar dengan konsep modern yang kolonialistik dengan target panjangnya sebagai mitra kolonialisme. Malahan yang paling mudah untuk dikendalikan sebagai marsose penyelenggara aturan-aturan dari Belanda ialah kaum ningrat dan kepala adat yang jauh dari pengaruh dan sistem hukum Islam. Christiaan Snouck Hurgronje mewujudkan rencana menjadikan Hindia Belanda (kemudian, Indonesia) sebagai tempat sampah hukum ini dengan mengusahakan anak dari keluarga terkemuka Hindia Belanda belajar dengan sistem pendidikan Barat. Nama-nama seperti Ahmad Djajadiningrat, putra ningrat Banten, dan Wiranatakusumah, regent Cianjur terakhir, merupakan anak didik Christiaan Snouck Hurgronje. Orang 101
Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 47-48.
176
Eropa laiknya Abendanon, Engeleberg, van Lith, dan Hardeman kemudian ikut menapaki langkah orientalis dari Leiden itu.102 Beberapa organisasi seperti Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (1916), Christelijke Ethische Partij (1918), dan Politiek Economische Bond (1919) juga terlibat untuk mempereratkan hubungan Belanda dengan Hindia Belanda (asosiasi).103 Pribumi sebagaimana Ahmad Djajadiningrat dan Sujono turut rela menjadi antek Belanda untuk kelancaran tujuan kolonial laiknya organisasi modern tadi.104 Selanjutnya bagi Indonesia, akibat tidak diakuinya hukum Islam oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang lebih ‘mendukung’ hukum adat, adalah terhentinya mata rantai Islamisasi di Nusantara.105
b. Gagal Menghasilan Sistem Hukum yang Merdeka Sebaliknya, yang hidup dan dilestarikan dalam sistem hukum dan tata pemerintahan Indonesia modern justru hukum warisan dari Eropa, Belanda. Hal ini membuktikan bahwa Pribumi didikan Barat atau Eropa benar-benar sudah menjadi manusia modern. Tentu modern dalam pengertian Barat yang gemar mengunggul-unggulkan hukum positif peninggalan kolonialisme Belanda. Sekian banyaknya guru besar ilmu hukum sekaligus dengan segala disiplin yang digelutinya tidak pernah menghasilkan sistem hukum merdeka yang sesuai dan 102
Ibid., hlm. 47. J. Hardeman (1885-1962) pernah menjadi pegawai Amerika Serikat (19041909), lalu Pegawai Departemen Pendidikan dan Agama (1926-1929) semasa Gubernu Jenderal De Graeff. 103 Asosiasi hendak menggabungkan negeri kolonial Belanda dengan daerah koloninya (taklukan) Hindia Belanda termasuk dalam sistem hukumnya. Meskipun tidak di isi dengan bahasa dan agama yang sama. 104 Ibid., hlm. 69. 105 Ibid., hlm. 70-71.
177
menjiwai jati diri wawasan Nusantara kita. Perubahan dan revisi yang dilakukan dalam bidang hukum tidak pernah bisa lepas dari konsep-konsep warisan kolonial. Padahal, jika kita mau menjiplak masih dapat dijumpai konsep hukum warisan leluhur bangsa Nusantara. Sehingga tidak menjadi terlalu konsumtif terhadap hukum imporan asal Eropa yang modern (baca, sampah) itu. Misalnya, bisa dikutip peraturan perundang-undangan yang disusun Prabu Suria Alem atau kita sebut dengan Undang-Undang Suria Alem. Ada sejumlah 144 pasalnya dapat dijadikan rujukan penyelenggaraan pengadilan di Indonesia. Jumlah pasal tadi setelah penyederhanaan dan pengurangan dari Suria Alem yang semula terdiri dari 507 pasal.106 Undang-undang ini dapat dipakai sebagai sumber percontohan awal untuk pengembangan hukum di Indonesia. Pembahasan di dalamnya tidak sebatas urusan pidana dan masalah publik. Problematika hukum yang berkenaan dengan keluarga, seperti perkawinan, anak, dan sebagainya, tidak luput dari pembahasannya. Dengan mengembangkan hukum-hukum dari warisan leluhur setidaknya akan menjadikan Indonesia lebih memiliki kehormatan. Karena mampu berdaulat di atas kaki sendiri untuk penyusunan tertib kehidupan dan kebangsaan. Tidak seperti kenyataan hukum di Indonesia sekarang ini yang hanya tunduk dan patuh dengan sampah-sampah hukum dari Belanda khusunya, dan Eropa pada umumnya, yang Christiaan Snouck Hurgronje pun ikut membawanya. Dari sini dapat ditarik suatu benang penghubung kolonial tentang perangkap kolonialistik dalam pemikiran hukum yang dibangun Christiaan Snouck Hurgronje. Yakni, sebagai alat penjinak, pengawasan, dan pengendali, 106
681.
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Jakarta: PT Buku Kita, 2008), hlm. 664-
178
masyarakat Hindia Belanda yang berlanjut pada masyarakat Indonesia modern. Pertama, konsep koloniaslitik Christiaan Snouck Hurgronje untuk menjinakkan sendi-sendi perlawanan masyarakat Muslim. Penjinakan perlawanan Pribumi terhadap Belanda dilaksanakan melalui rasionalisasi. Yakni, memasukkan anakanak bangsawan ke sekolah Eropa. Selanjutnya juga berlaku untuk anak-anak lain. Christiaan Snouck Hurgronje yakin untuk membentuk generasi baru Jawa107 dengan pendidikan yang baik ke jenjang yang lebih tinggi. Dia juga berusaha menepis kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa menginjak masa pubertas anak-anak didikan Eropa ini jadi memiliki sifat acuh tak acuh.108 Maksudnya, menginjak usia remaja anak-anak Pribumi didikan Eropa menjadi kehilangan tata krama dan tidak menjalankan aturan-aturan Pribumi. Karena menjadi sangat rasional dan kritis sehingga segala sesuatu yang ada di masyarakat dianggap keliru. Memang demikian hasilnya karena genealogi pengetahaun Barat yang beda dengan dunia Timur akan memejamkan mata saat memandang segala sesuatu yang dihasilkan dunia Timur. Dengan rasionalisasi ini generasi penerus menjadi jinak atau penurut atas kemauan kolonial. Penjinakan itu dibahasakan Christiaan Snouck Hurgronje bahwa Pribumi yang berpendidikan Eropa lebih setara dibanding petani atau nelayan Belanda. Pada persoalan hukum pun menjadi sangat jinak dan penurut. Seperti rasionalisasi hukum perdata dalam bentuk pengawasan oleh penghulu,
107
Generasi baru Jawa ialah generasi yang berasal dari anak-anak Jawa yang terdidik dalam sistem pendidikan modern. Hasilnya orang-orang bergaya indisch (tiruan Barat). 108 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 148.
179
pencatatan pernikahan, atau pernikahan harus serumpun (seagama).109 Positifikasi hukum ini langsung membuat Pribumi-Pribumi terpelajar bertekuk lutut untuk mengikuti. Karena yang diterapkan oleh Belanda sesuai dengan kapasistas keilmuan yang diperoleh ahli hukum Pribumi dari Eropa. Orang-orang seperti inilah yang diangkat tugas sebagai penghulu oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda. Menurut Christiaan Snouck Hurgronje memang seharusnya membiarkan Pribumi di bawah pimpinan atau kekuasaan langsung para pamong bila keadaan memungkinkan.110 Hingga saat ini pun, pada era Indonesia modern, para pelajar didikan sekolah atau pergurun tinggi sistem Eropa benar-benar jadi jinak. Menjadi pendukung setia formalisasi hukum Eropa untuk Indonesia tanpa bisa berbuat apaapa. Nampaknya mereka sudah buta sejarah111 bahwa nenek moyang bangsa kita memiliki warisan tata aturan hukum yang sangat patut untuk dikembangkan. Kedua, kenyataan hukum kita selalu di bawah pengawasan dan arah konsepsi kolonial. Pengawasan ini dilakukan awalnya lewat penguasaan hukum adat untuk kepentingan kolonial. Hukum-hukum dalam masyarakat selalu tumbuh berkembang. Serta terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat. Kata Chrisitian Snouck Hurgronje, dengan pengawasan yang cermat bisa menghilangkan bahaya yang muncul dari perkembangan hukum dalam masayakat.112 Pengawasan menggunakan hukum adat mampu pula 109
Evy Lestari, ibid. Dimuat dalam de Gids, tahun penerbitan ke-72 (Amsterdam, 1900), hlm. 211-234. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid.¸ hlm. 137. 111 Menjadikan anak-anak Indonesia buta sejarah bangsanya merupakan bagian skenario kolonial. Sangat banyak khazanah leluhur kita yang diangkut ke Belanda (Leiden) maupun Inggris yang tidak gampang kita akses. Khazanah ini pada masa-masa mendatang dapat dipakai untuk membodohi generasi mendatang kita (ahistoris). Selanjutnya digencarkan kolonialisme sejarah. 112 Betawi, 19 April 1904, dikirim ke hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasihat…, Jilid V, ibid., hlm. 720. 110
180
mengendalikan perkembangan hukum Islam. Sehingga pada era kolonial Belanda bercokol hukum Islam kalah fungsi dibanding hukum positif Eropa. Dengan cara pengawasan dalam sudut pandang hukum positif Eropa ini pada era-era sekarang terjadi kerancuan hukum. Yakni, hal-hal yang sudah diatur dalam hukum Islam sesuai fiqih justru tidak diakui oleh hukum positif bergaya Eropa yang membahas tentang ke-Islaman. Anehnya, orang-orang yang konon ahli hukum, karena terawasi secara tidak langsung oleh pengetahuannya sendiri (dari genealogi Eropa) tidak kuasa menerobos tembok kolonialistik dalam materi-materi hukum yang dipelajarinya. Ketiga, tingkat selanjutnya, kehidupan hukum di Indonesia benar-benar dikendalikan sampah-sampah hukum yang dibuang dari Leiden oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Di mana pencatatan pernikahan menjadi ‘dipaksakan’, dan ‘dipaksa’ pula pernikahan harus seagama. Serta masih terjadi dikotomi sosial dan status hukum akibat pembelahan antara kaum adat (selanjutnya abangan) dengan golongan Islam (santri, kiai), lalu Pribumi dan Tionghoa, Islam dan Kristen dan Konghucu, dan seterusnya. Jurang ini sangat lebar. Bahkan sampai sekarang pemisahan kekuatan kaum Muslim dan penganut agama lain masih terjadi dalam masyarakat. Artinya, konsepsi-konsepsi pemikiran kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje masih hidup hingga sekarang dan tetap terus mengontrol perhubungan antar penduduk di Indonesia lewat dikotomi kondisi, deskriminasi, dan pembedaan status di mata hukum.
181
c. Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri) Namun demikian, tidak semua konsepsi kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje berhasil mengkondisikan kenyataan hukum perdata di Indonesia sesuai keinginan kolonial. Misalnya, teori resepsi tidak serta merta membuat dikotomi ekstrim antara hukum adat dan hukum Islam. Karena masyarakat Indonesia memiliki sifat akomodatif. Sehingga pada kenyataannya hukum adat dan hukum Islam diakomodir secara baik-baik.113 Pertama, dipraktekkannya taklik talak (ta’liq talaq) di hampir semua perkawinan. Pada praktik ini hukum Islam mengadaptasi ke hukum adat. Yakni, ikrar suami di saat ijab qabul bersedia diceraikan istrinya yang ditinggal pergi tanpa nafkah beberapa waktu dan istri tidak rela. Dengan membayar sejumlah uang maka talak bisa dijatuhkan oleh pengadilan. Kedua, praktik khul’ dalam perceraian. Seorang istri dalam kondisi tertentu dapat memaksa suaminya menerima pengembalian maharnya sebagai pebayaran dari perceraian. Jika suami menolak menerima perceraian tersebut, hakim boleh memutuskan bahwa suami dianggap sudah mengucapkan sighat talak, atau hakim langsung membubarkan ikatan perkawinan. Ketiga, ordonansi perkawinan untuk pulau-pulau di luar Jawa dan Madura. Ada ketentuan bahwa para pejabat agama Islam pada masyarakat pantai barat Sumatra dan Tapanuli dilarang menyelenggarakan suatu upacaya perkawinan tanpa ada izin tertulis dari ketua masyarakat asli. Yakni, ketua masyarakat asli di mana para pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut berada. Lebih dari itu, surat perizinan 113
Ratno Lukito, ibid., hlm. 48. Contoh-contoh ini dapat ditemukan dalam tulisan ter Haar, Beginselen van het Adatrecht, hlm. 183, dan C. Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam, hlm. 49; dikutip dalam Westra, “Custom and Muslim Law,” hlm. 160-1; lihat juga G.H. Bousquet, Introduction a l’etude de l’islam indonesien, hlm. 235. (Catatan kaki Ratno Lukito hlm. 48).
182
tersebut harus menerangkan bahwa tidak ada penolakan hukum dari hukum adat masyarakat bagi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.114 Sedangkan pada umumnya, akibat tidak mampu melepas dari mewarisi serta memakai konsepi dan pemikiran sampah kolonialistik bawaan Christiaan Snouck Hurgronje, kenyataan hukum di Indonesia menderita anomi. Indonesia alias negara hukum yang tidak punya jati diri. Dan, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje patut dikatakan sebagai arsitek ulung, cerdas, cerdik, licik, dan penuh wibawa, yang berhasil menjadikan Republik Indonesia (modern) tetap berada di bawah bayang-bayang dan kendali hukum kolonialistik Belanda!
114
Ibid., hlm. 48-49.
133
BAB IV PERANGKAP KOLONIALISTIK PEMIKIRAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA
A. CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE SANG PEMIKIR MODERNISLIBERALIS-KOLONIALIS
a. Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden “Jalannya sejarah, pelanggaran hukum dan terciptanya hukum, terjadi dengan sendirinya, bahwa Kristen dan Islam harus hidup berdampingan dan usaha negara-negara hanya dapat diarahkan jika terjadi hubungan damai dengan kaum Muslim yang menjadi bawahannya, memungkinkan dan menjamin perkembangan damai di antara penduduk. Dan tujuan seperti ini hanya dapat tercapai atas dasar kompromi antara suara hati Negara Kristen dan hukum Islam.”1 Christiaan Snouck Hurgronje
Barat, Eropa, Belanda, dan utamanya Leiden, di masa itu berada pada era tumbuh suburnya modernisme. Di Fakultas Teologi Universitas Leiden (1874), Christiaan Snouck Hurgronje berkenalan dengan Abraham Keunen, C.P. Tieles, dan L.W.E. Rauwenhoff. Ketiganya merupakan tokoh modernis Leiden yang mempengaruhi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam memandang 1
Pernyataan itu tertanggal di Kutaraja (Aceh), Juli 1898. Terbit dalam Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft, Juli 53 (Leipzig, 1899) hlm. 125-167. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 130. [Huruf miring tebal dari Arief Musthofifin/ A.M.].
134
Islam.2 Selain itu, memang semenjak remaja Christiaan Snouck Hurgronje sudah dipersiapkan untuk menjadi Pendeta Protestan. Islam bagi calon pendeta merupakan materi khusus yang wajib dipelajari. Pendidikan khusus bagi calon pendeta diorientasikan sebagai persiapan menghadapi musuh Kristen, yakni Islam, semenjak Perang Salib. Inilah upaya balas dendam orang Kristen Eropa terhadap Islam akibat kalah dalam Perang Salib yang diwujudkan dalam penyebaran pendeta ke seluruh dunia. Di dunia Timur, para pendeta disertakan dalam program imperialism dan kolonialisme, untuk menggerogoti Islam yang sedang tumbuh subur. Metode dan bekal pengetahuan untuk melumpuhkan Islam selalu diajarkan bagi para pendeta.3 Ada pernyataan menarik dari Christiaan Snouck Hurgronje pada 1876 dikala dirinya menjadi mahasiswa: “kita harus membantu bangsa Pribumi (penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam”.4 Semenjak masih mahasiswa dia sudah memiliki pandangan sebagai orientalis dan pemikir kolonial yang berhasrat menggempur wilayah Islam Pribumi di Nusantara. Kembali ke modernisme-liberalisme Leiden sebagai salah satu akar genealogis dari pemikiran kolonial Christiaan Snouck Hurgronje. Pada akhir abad ke-16, Descartes (1596-1650)5 sudah menawarkan revolusi pemikiran yang benarbenar luar biasa dampaknya sebagai biji pertama modernisme, yakni rasionalisme. Modernisme Leiden, terutama di Fakultas Teologi Universitas Leiden, mengukuhkan sendi-sendi kekuatannya pada rasionalisme. Di Leiden ini 2 Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 3 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 34. 4 Ibid., hlm. 35. 5 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. Lihat Bab II.
135
Christiaan Snouck Hurgronje termasuk pengikut fanatik rasionalisme dari aliran modernis Leiden yang menolak hal-hal irasional. Misalnya, trinitas6 dan posisi Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik), ialah ajaran yang tidak diterimanya. Perlu diperhatikan dengan cara seksama terhadap bentukan modernismeliberalisme itu. Pertama, modernisme Leiden yang terwujud dalam rasionalisme Christiaan Snouck Hurgronje telah membentuk pola pikir yang simplistis, reduktif, berpihak, dan sangat ekstrim, serta liberal. Dapat ditunjukkan dalam terbitan di Leiden pada E.J. Brill (1880) yang berisi pandangannya terhadap Nabi Muhammad. “Akhirnya Nabi Muhammad memindahkan panggung kegiatannya;” katanya, “jubah kenabiannya ditinggalkan di kota kelahirannya. Keadaan telah mengalihkan perhatiannya semakin jauh dari peran kenabian ke peran politik yang harus memperhitungkan urusan-urusan duniawi.”7 Pendapat ini sebagai upaya untuk melemahkan sejarah perjuangan Nabi Muhammad. Dianggap Nabi Muhammad sudah meniadakan sifat-sifat kenabian dan berbalik menjadi seorang yang haus politik kekuasaan. Artinya, Nabi Muhammad sudah tidak sungguhsungguh lagi untuk meluaskan agamanya yang sejati. Telah berubah untuk menjalankan peran-peran politiknya yang menghendaki ketaatan. Setelah delapan tahun kemudian berhasil menaklukkan kota kelahirannya, Nabi Muhammad
6 Dalam suatu data menunjukkan bahwa konsep Trinitas yang dipercaya pengikut Kristen berasal dari tradisi Pagan kuno. Konsep Trinitas ini diwakili oleh Semiramis dan anaknya (Pagan Babylonia), Devkan dan Khrisna (Pagan India), Isis dan Horus (Pagan Mesir), dan sebagainya. Dalam Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas). 7 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 4.
136
bertindak sebagai penentu hukum, dan ia mulai bekerja untuk mencabut agama berhala sampai ke akar-akarnya.8 Rasionalisme Christiaan Snouck Hurgronje yang simplists dan reduktif tadi berusaha menempatkan Islam pada penjara yang sangat sempit. Sebagaimana tuduhannya terhadap Nabi Muhammad yang dianggap meninggalkan tugas kenabian dalam urusan agama dan Tuhan lalu memilih urusan politik. Dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje adalah urusan-urusan duniawi. Berupa penaklukan-penaklukan wilayah atau ekspansi politik yang dimulai dari menguasai tanah kelahiran Nabi Muhammad. Pada kondisi ini Nabi Muhammad dianggap tidak lagi menjalankan tugas-tugas kenabian dalam menyebarkan agama secara sederhana. Rasioanlisme yang sangat sempit ini menempatkan Christiaan Snouck Hurgronje pada jurang kebuntuan berpikir yang dalam. Dengan asumsi yang sangat redutif bahwa Islam seharusnya hanya berurusan dengan Tuhan. Tidak perlu—sebagimana dilakukan Nabi Muhammad—melakukan kerja-kerja keduniawian apa lagi yang berkaitan dengan urusan politik. Dengan kata lain, Islam (baca, masalah-masalah ketuhanan) dan politik (baca, masalah-masalah keduniawiaan) dalam agama (Islam) di posisikan terpisah oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Atau keduanya tidak memiliki keterikatan dan kesalinghubungan dalam praktik di lapangan. Pola pikir rasionalisme produk Leiden ini selanjutnya dapat membuat konklusi bahwa Islam di jaman Nabi Muhammad telah berselingkuh dengan politik atau perselingkuhan agama dan kekuasaan.
8 Op.cit.
137
Petunjuk ini memberikan pengertian bahwa tradisi ilmiah Leiden yang modernis telah membentuk otak manusia menjadi sangat kerdil. Objek dipandang dari satu sudut saja dan anehnya satu sudut itu yang dianggap paling benar. Kegetolan Christiaan Snouck Hurgronje pada rasionalisme Leiden yang teramat sangat sempit itu tidak menjadikan dirinya mampu melihat Islam sebagai fenomena yang menyeluruh. Melainkan ditinjau dari sudut pandang yang patahpatah. Padahal, dalam Islam tidak ada pemisahan yang tegas antara “urusanurusan keduniawian” dengan “urusan-urasan ketuhanan”. Maka, apa yang dilakukan Nabi Muhammad dengan penaklukan kota-kota lain, misalnya Mekah, tidak lepas dari posisinya yang sedang menjalankan fungsi-fungsi kenabian. Karena dalam Islam terjadi hubungan sinergi antara “urusan-urusan keduniawian” atau ‘politik’ dengan “urusan-urusan ketuhanan”. Keduanya bukan satu dan lain hal yang terpisah. Wajar ketika menggunakan modernisme-rasionalisme produk Leiden Christiaan Snouck Hurgronje terjebak pada pengambilan tuduhan bahwa Nabi Muhammad telah meninggalkan jubah kenabiannya untuk “urusan-urusan keduniawiaan” atau ‘politik’. Masih dari sudut pandangnya yang rasionalis dilihatnya Islam hanya sekadar kultus (pemujaan) terhadap Muhammad. Perkembangan para pengikut Islam di berbagai lingkungan kehidupan diberi tuduhan sangat bodoh oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje manusia warga dunia yang mengikuti (Islam, Muhammad) “lebih mirip dengan petani kikuk9 yang masih muda,” katanya.10 Sedangkan setelah sepeninggal Nabi 9
Kikuk: canggung, janggal, baru sekali atau pemula alias amatiran.
138
Muhammad menurutnya pengikut Islam kembali ke zaman jahiliyah lagi. Bagi Christiaan Snouck Hurgronje itu akibat Muhammad hanya memikirkan cara menambah jumlah penganut. Oleh sebab itu, ketulusan imannya (Muhammad) berkurang dan ajarannya (Islam) ditinggalkan pengikutnya.11 Contoh lain memperlihatkan pandangan modernisme Leiden dalam cara pandang Christiaan Snouck Hurgronje terhadap Qur’an. Qur’an baginya berbeda dengan undang-undang. Ayat-ayat hukum di dalam kitab itu hanya berisi asasasas umum. Sedangkan yang rinci hanya untuk yang terjadi selama Nabi hidup. Maka, secara rasional, peristiwa yang tidak terjadi selama tahun-tahun kegiatan Nabi tidak akan dirinci dalam al-Qur’an.12 Qur’an pada mulanya hanya sebagai kitab hukum. “Namun,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, “karena kehidupan masyarakat baru itu segera menjadi sangat rumit, Quran segera dirasakan tidak memadai”. “Wajar sekali jika ditambahkan berbagai ulasan yang dikemukakan oleh Nabi,” imbuhnya. “Tampak bahwa Nabi bukan sekadar penafsir wahyu, namun dalam hal-hal tertentu ia tidak ragu-ragu untuk melengkapinya,” demikian uraian orientalis ini.13
10
Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ini dimuat dalam Questions diplomatiques et colonials, tahun ke-5, nomor 106, 15 Juli 1901 (Paris), hlm. 76-82, sebuah jawaban kepada surat Edmond Fazy, “Enquete sur l’avenir de l’Islam”. Surat seutuhnya dicetak pada hlm. 73-82 majalah tersebut di atas. Halaman-halaman pertama membicarakan Islam di Hindia Belanda dan dicetak ulang dalam Verspreide Geschriften, jilid IV. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924), terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 5. 11 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid. hlm. 11. 12 Ditebitkan di Batavia, Desember 1896. Dimuat dalam Revue de l’Histoire des Religions, tahun ke-19, nomor XXXVII (Paris, 1898) hlm. 1-22, 174-203. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis oleh Tuan Van Gennep. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … IV, ibid., hlm. 52. 13 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 52.
139
b. Evolusi Sosial-Kebudayan: Teori Pemunahan Ras Kedua, modernisme Leiden yang sedang diperankan Christiaan Snouck Hurgronje sedang menggiring manusia untuk berevolusi. Evolusi yang dimaksud sesuai teori evolusi Charles Darwin14 yang diterapkan pada binatang. Evolusi yang sedang diterapkan Christiaan Snouck Hurgronje diujicobakan pada manusia. Lalu dapat dikenal dengan evolusi sosial atau evolusi kebudayaan.15 Di mana manusia-manusia di dunia ini dalam status derajat yang bertingkat. Barat merupakan wujud peradaban manusia paling tinggi. Khususnya, dunia Timur, adalah manusia-manusia rendahan dalam strata evolusi. Modernis dari Leiden mau menjadikan dunia Timur lebih beradab dengan evolusi atau dimodernkan. Dalam De Indische Gids VIII, I (Leiden, 1886), halaman 90-111 (4 Desember 1885), Christiaan Snouck Hurgronje mencontohkan evolusinya dalam ilmu hukum dan ilmu pengetahuan agama. Dalam rangka persaingan evolusi dinyatakan bahwa “ilmu pengetahuan agama tidak dapat lebih lama eksis dalam penjelasan dan pembelaan dogma agama yang sebenarnya,” lanjutnya, “sebab kebenaran juga bukan ada, tetapi menjadi; melihat dan menjelaskan sebab-sebab evolusi agama.” 16
Pengaruh teori evolusi ini begitu kuat dan cepat menyebar
termasuk dalam persoalan penerapan ilmu pengetahuan agama dan karya ilmiah para yuris. Evolusi dalam agama diterangkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje 14
Teori Darwin mangatakan leluhur manusia adalah hasil dari evolusi kera. Tidak sedikit yang meragukan teori Darwin. Karena dia sebenarnya tidak berteori tetapi sedang menjelaskan mitos, tradisi, dan kepercayaan Pagan Kuno dengan legitimasinya sebagai ilmuan (milik penguasa). Sampai saat ini tidak terjadi evolusi lanjutan dari manusia untuk menjadi apa lagi? 15 Kebuntuan evolusi dari manusia menjadi apa lagi? sedang dijawab lewat evolusi sosial dan kebudayaan. Puncak evolusi ini adalah jenis manusia Barat (tepatnya, berkulit putih) dan superman (manusia super). Manusia yang tidak identik dengan orang Barat berarti belum selesai berevolusi, tidak berperadaban, dan lebih dekat dengan monyet (leluhur manusia). 16 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 3.
140
seperti dalam sejarah perkembangan dari bentuk yang paling sederhana dari animisme dan fetisme (pemujaan benda yang dianggap sakti). Demikian pula ilmu hukum baginya harus dimulai pada bangsa primitif dan diakhiri dengan bangsa yang berbudaya.17 Untuk mendorong penganut Islam pada evolusi sosial18 diterapkan kebijakan kebebasan dalam beragama dan mewaspadai gerakan politisnya.19 Dengan anggapan yang sangat rendah terhadap umat Islam bahwa evolusi yang dimaksudkan adalah untuk suatu evolusi sosial yang lebih tinggi dibanding ajaran agama. Evolusi ini didesain sepertinya terjadi secara alamiah sehingga tidak mungkin dihambat (di bawah sadar). Christiaan Snouck Hurgronje sudah tahu jika dorongan ke evolusi sosial mengandung resiko korban manusia. Namun, atas pertimbangan sifat Pribumi yang begitu cinta damai memberi keyakinan jika evolusi tidak akan menyimpang jauh dari skenario atau pengarahan.20 Cara yang tepat untuk melakukan pengarahan dalam evolusi sosial adalah melalui kebijakan hukum Islam. Demi menggapainya Christiaan Snouck Hurgronje sudah mempersiapkan metode “histories”. Berbeda dengan Kohler yang hanya menggunakan metode perbandingan. Memang dirinya sering kali lebih menyukai
17
Ibid., hlm. 3-4. Dorongan terhadap penganut Islam untuk berevolusi, dalam artian, agar sesuai klasifikasi dan standarisasi manusia Barat. Baik isi otaknya, jiwanya, sekaligus tampilan fisik tubuhnya. Di luar semuanya itu atau yang tidak mau mengikuti arah evolusi sosial dan kebudayaan akan dipunahkan (genosida). Yang telah berhasil (hampir) dipunahkan seperti masyarakat asli Benua Amerika (secara salah disebut) Indian (baca, orang India), suku Asli Benua Australia (Aborigin), dan orang kulit gelap (hitam) di Indonesia (Papua, dll.). 19 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … X, ibid., hlm. 57. 20 Ibid., hlm. 71. 18
141
berbicara “histories”, sedangkan Kohler mengatakan “membandingkan”. Metode ini dipakainya secara bersungguh-sungguh sebagai lapangan pekerjaan.21 Ketiga, pencerahan Eropa22 dan modernisme di Leiden sudah sesumbar sebagai yang lebih tinggi dari peradaban mana pun, terutama Timur. Sehingga kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di bumi Nusantara hendak mengajari penduduk Pribumi agar maju. Meninggalkan keterbelakangan menuju kemajuan yang disebut “modernisme”.23 Caranya lewat kebijakan kolonial dia mengangkat tinggi-tinggi derajat mahasiswa Pribumi yang belajar di Eropa, seperti Universitas Leiden, Delft, dan Amsterdam, sebagai yang lebih sederajat dengan orang Eropa. Setidaknya jika dibandingkan orang Eropa yang petani dan nelayan.24 Pujian ini untuk mencuri hati karena Pribumi yang berpendidikan Eropa selanjutnya akan menerapkan pengetahuan Eropa di Hindia Belanda. Artinya, pelajar Pribumi yang di Eropa pada kenyataannya justru sedang memperlancar maksud-maksud dari kepentingan kolonial melalui pengetahuannya. Maksud memodernkan ini pun pernah dilakukan di Turki modern setelah keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani pada 1818. Turki yang dibangun kembali merupakan Turki modern. Sendi-sendi hukum negara yang dipakai adalah Undang-Undang Dasar. Bangunan atas Tukri modern ini sebenarnya sedang ingin
21 Terbit dalam Rechtsgeleerd Magazijn, V Haarlem, 1886, hlm. 551-567. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 19 22 Renaisans puncak periode sejarah pada 1500. ‘Renaisans’ atau ‘renaissance’ (Perancis) artinya ‘Lahir Kembali’; kelahiran kembali budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. 23 Modernisme atau paham tentang kemajuan. Maksud kolonialnya, Barat lebih maju dan Timur terbelakang. Maka, harus dimajukan (di-Baratkan). 24 . C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid., hlm. 75.
142
menghilangkan fungsi khalifah dan meniadakan jihad.25 Dengan adanya Turki modern, pasca runtuhnya, Turki memang dikonsep untuk memberi peluang yang seluas-luasnya kepada negara-negara Kristen agar mendapat kemudahan proses atau gerak di pemerintahan Turki.26 Nusantara yang dikuasai pemerintah kolonial Belanda pun sedang ditarik ke arah modernisme sesuai pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje lewat urusan keluarga dan hukum Islam. Sebagai sedikit penyeimbang, tidak semua yang berasal dari Christiaan Snouck Hurgronje berbau kolonialisme dan ke luar dari disiplin akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. P.Sj. van Koningsveld mengakui bahwa karya disertasi Christiaan Snouck Hurgronje sebagai karya seorang akademisi. Misalnya, pandangan Christiaan Snouck Hurgronje tentang larangan terhadap perempuan memasuki masjid. Diterangkannya bahwa perempuan “di zaman Muhammad biasa ikut serta melakukan salat [di mesjid]”. Adapun kebiasaan setelahnya berupa pelarangan perempuan memasuki masjid adalah “akibat makin memburuknya kelakuan kaum wanita.” Maksudnya, perempuan seringkali hanya akan mengalihkan perhatian kaum pria dari hal yang agung di dalam mesjid.27 Dalam pendapatnya yang demikian itu terlihat bagaimana Christiaan Snouck Hurgronje sebagai akademisi sedang menempatkan fakta secara objektif. Juga 25
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923), terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VI, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 73. 26 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 73. 27 Tertanggal di Leiden, bulan Mei 1886. Diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Jilid ke-5, bagian I (Den Haag, 1886), hlm. 356-377. Bagian kedua diterbitkan terjemahan ringkasan dalam bahasa Perancis, dengan judul: Le voile des Musulmanes oleh H.M. d`Estrey, dalam Revue Scientifique, tahun ke-42, No. 2, 14 Juli 1886 (Paris) hlm. 50-53. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje II, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 116-117.
143
disertai pembelaan-pembelaan terhadap segala upaya deskriminasi perempuan dalam memasuki tempat ibadah.
c. Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme sebagai Proyek Penghancuran Namun, pada kenyataannya modernisme dari Leiden yang telah dibawa oleh Christiaan Snouck Hurgronje di Nusantara dalam wujud rasioanlisme (hukum Islam, hukum Eropa, pendidikan, sistem Barat,), liberalisme, dan evolusi sosial (Darwinisme) merupakan pengetahuan penghancur yang sangat berbahaya. Terbukti dalam banyak kasus, negara-negara menganut sistem dan pengikut prosedur kolonial murni sampai saat ini tetap pada lembah kehancuran. Sistem Barat tidak bisa dipakai untuk menuju kebangkitan bangsa-bangsa yang pernah dihancurkan oleh kolonialisme Barat. Janji-janji pengetahuan modern berupa kebangkitan, kemajuan, dan kesejahteraan rakyat nyatanya tidak pernah terjadi. Dapat dijadikan contoh, Turki pada 1818 mendapat gelar the sick man atau laki-laki yang berpenyakitan. Sejak 1824 Turki mulai mengadopsi sistem Barat dan menjadi Republik Turki. Sampai sekarang—Kekhalifahan Turki yang berganti Republik Turki—tidak pernah maju, negaranya hancur, masyarakat tidak sejahtera, dan tidak pernah menjadi juara dunia. Sangat berkebalikan ketika Kekhalifahan Turki yang menjadi kampium dunia. Sama halnya Republik Turki, Republik Indonesia juga menggunakan sistem Barat. Yakni, setelah kerajaankerajaan Nusantara diruntuhkan oleh kolonialisme. Sejak merdeka pada 1945 digunakanlah sistem Barat, termasuk hukum Belanda. Nasib Indonesia sampai sekarang sama dengan Turki. Indonesia betah menjadi negara terbelakang, tidak
144
bangkit, dan tetap setia dengan hukum kolonial. Berbeda sekali dengan Jepang yang hancur di bom atom pada 1945. Sebagian besar penduduk Jepang tewas. Namun, setelah genosida28 1945 Jepang mau hidup dengan budaya dan sistemnya sendiri. Tidak memakai sistem Barat murni seperti Turki atau Indonesia. Terbukti, Jepang yang memakai sistemnya sendiri (termasuk dalam hukum) sekarang menjadi salah satu juara dunia yang bangkit. Betolak belakang dengan Indonesia atau pendahulunya, Turki, sampai detik ini masih dalam lembah keterpurukan dalam sistem modern Barat yang rasional, liberal, dan kolonialistik. Maka, mega proyek kolonial yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje dari genealogi modernisme-rasionalisme-liberalisme Leiden dalam wujud pemikiran hukum Islam dan hukum keluarganya untuk penduduk Nusantara adalah pengatahuan penghancur berbekuatan tinggi dan berdampak panjang. Yang terbukti sampai sekarang bangsa Indonesia modern masih dalam kondisi terbelakang dan ketinggalan jaman dalam menyelesaikan persoalan hukum di dalam masyarakat. Penjelasan operasi pemikiran dan pengetahuan hukum yang digalakkan Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan pemikiran perdata kolonialistik di Hindia Belanda akan memberikan keterangan yang lebih nyata.
28
Genosida (genocide); pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan bangsa (ras dll.) lewat pembunuhan fisik. Pada era sekarang yang sedang berjalan adalah genosida kebudayaan.
145
B. OPERASI
DARI
RENCANA
LICIK
CHRISTIAAN
SNOUCK
HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA Christiaan Snouck Hurgronje, agen intelejen Belanda, sebelumnya paham betul kondisi penduduk Nusantara. Diketahuinya bahwa sejak sebelum jatuh di bawah penjajahan Belanda sudah banyak Pribumi yang berhaji. Malahan sudah dalam hitungan abad di Mekah ada kelompok Pribumi Nusantara yang jumlahnya terus bertambah. Baik Pribumi sebagai pelajar ilmu agama, lari dari kerja rodi, dan sebagainya.29 Selain alasan itu juga karena Mekah dikenal sebagia pusat gerakan Islam, terutama Pan-Islam yang berbahaya bagi eksistensi dunia Barat. Pasalnya di sana orang membicarakan urusan agama dan politik. Oleh karena itu, “Demi mengamati unsur utama dari kehidupan Mekah itulah, maka saya hidup di kota itu selama beberapa bulan sebagai orang Mekah sejati,” kata Abdul Ghaffar, nama lain Christiaan Snouck Hurgronje sejak di Mekah.30 Kondisi penduduk Nusantara di Mekah yang menjalin suatu masyarakat tersendiri dan lain sebagainya dijadikan bahan-bahan awal untuk operasi pengetahuan Christiaan Snouck Hurgronje dalam hukum Islam dan hukum keluarga di Hindia Belanda. Untuk bidang hukum, “Snouck menganjurkan agar pemerintah sedapat mungkin membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam.”31
29
Dimuat di Nieuwe Rotterdamsche Courant tertanggal 24 dan 25 November 1915. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 108. 30 Ditulis di Batavia, April 1900, diterbitkan dalam Revue de l’Histoire des Religions, tahun ke-22, jilid XLVI (Paris, 1901), hlm. 262-281. C. Snouck Hurgronje, ibid., hlm. 15-16. 31 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 45.
146
a. Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam Untuk menindaklanjuti gagasan pembatasan peran Islam dalam hukum Christiaan Snouck Hurgronje mewujudkannya dalam konsep teori batas. Konsep ini kemudian dikenal dengan theorie reseptie. Yakni, “hukum Islam baru diakui eksistensinya atau kekuatan hukumnya bila sudah diterima oleh masyarakat Indonesia atau bila sudah menjadi hukum adat.” Konsep ini dipakainya untuk membunuh pertumbuhan hukum Islam dan menjaga kelangsungan hidup hukum adat. Dengan gigih dia mendukung pelaksanaannya agar hukum Islam bisa dikondisikan menyesuaikan dengan adat-istiadat. Baginya hanya ada hukum perkawinan dan keluarga yang dijalankan masyarakat Hindia Belanda32 dengan baik. Sedangkan hukum Islam lainnya tidak sepenuhnya berjalan. Dari dukungannya terhadap hukum keluarga dia mendapatkan simpati dari masyarakat Islam yang telah melaksanakan hukum keluarga dan perkawinan. Bekal kepercayaan rakyat ini segara dia tindak lanjuti. Suatu teori tidak akan diakui kebenarannya dan mendapat dukungan tanpa pembuktian dalam kenyataan. Christiaan Snouck Hurgronje melakukan usahausaha untuk membuktikan bahwa teori resepsi tepat guna. Yakni, “Islam juga jangan dibiarkan dapat mengalahkan adat”. Dengan alasan, Islam tidak mampu membangktikan dinamika peradaban modern walau bisa mengubah adat. Islam di Nusantara juga masih berwatak India33 dan sisa-sisa kemunduran abat pertengahan. Watak India ini karena Islam berasal dari negeri asalnya, yakni India
32
Op.cit. Christiaan Snouck Hurgronje merupakan teoritikus yang mengatakan bahwa kedatangan (penyebaran) Islam di Nusantara berasal dari India (Gujarat). 33
147
Muka,34 yang telah menyelaraskan dengan Hindu campuran (Jawa dan Sumatera).35 Peradaban Islam juga dipandang sebagi bentuk degenerasi dari peradaban Barat-Kristen.36 Atas alasan-alasan ini yang diterapkan dalam kebijakan kolonial maka teori resepsi untuk mengunggulkan hukum adat di atas hukum Islam semakin kukuh. Adat pun perlu terus dijaga dan dilindungi dalam maksud kolonial. Misalnya, perlindungan terhadap pranata-pranta rakyat yang lama. Dengan menyadari resiko besar ketika memperjuangkan dan membela adat yang setengah mati atau tidak kukuh lagi. Dalam kondisi-kondisi yang tepat Christiaan Snouck Hurgronje merencana mengarahkan arus adat itu ke palung yang diinginkan37 kolonial. Jadi, rencana panjang pembelaaan teori resepsi terhadap adat dalam rangka mematikan adat itu sendiri. Hukum adat yang sudah dapat dibina lalu dijerumuskan ke dalam palung atau jurang yang dalam agar tidak bangkit lagi. Artinya, rakyat Pribumi sedang ingin dipermainankannya, jika perlu dikebiri dengan mempermainkan hukum adat. Dukungan terhadap hukum adat yang sangat tinggi ini sejalan dengan pemikiran selanjutnya untuk kesatuan hukum bagi semua penduduk. Kesatuan yang hanya tercapai bila keadaan masyarakat Pribumi sudah matang.38 Ditambah kesiapan sarana pemerintah yang cukup untuk menyamakan pemberlakuan hukum 34
Christiaan Snouck Hurgronje menamai negeri India sebagai India Muka. Sedangkan Hindia Belanda (Indonesia) adalah India Belakang (Timur); penamaan yang kolonialistik. 35 Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1973), hlm.13 36 Ibid., hlm. 46-47. 37 Teridentifikasi dari Kutaraja, 26 November 1891, Kepada Yang Terhormat Sekretaris Pertama Pemerintah. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. 24. Palung merupakan dasar terdalam dari cekungan di dasar lautan atau samudera. 38 Yang sudah matang sesuai standar kolonial ialah Pribumi yang menyamai (mimicry) orang Eropa; pendidikan, mental, sikap, dan pengetahuannya.
148
bagi setiap orang.39 Penyiapan kondisi masyarakat yang siap ini tentu saja dengan upaya westernisasi Pribumi melalui pendidikan-pendidikan Eropa (Surjomiharjo: 2000).40 Lewat ahli-ahli hukum didikan Eropa memungkinkan hukum adat dikodifikasi sesuai kebutuhan kolonial. Mengapa demikian? Christiaan Snouck Hurgronje, sang arsitek urusan perdata kolonialistik untuk Hindia Belanda, mengerti betul bahwa “adat tersebut akan kehilangan wataknya karena kodifikasi itu,” katanya.41 Cara ini sangat melancarkan kepentingan kolonial apalagi hukum adat dapat diubah-ubah dengan cara musyawarah. Ahli-ahli hukum didikan Eropa dipakai sebagai alat secara terus-menerus untuk menghilangkan kendala kolonial dan melunakkan akibat yang tidak diinginkan kolonial dari hukum adat. Pongkondisian hukum adat supaya di bawah kendali kolonial dalam rangka mengalahkan hukum Islam ini telah dipersiapkan secara matang. Hukum adat yang ada di bawah kendali Eropa akan disempurnakan sesuai keinginan Eropa dengan masyarakat sebagai sasaran. Karena terkendali, penyempurnaan hukum adat agar sesuai keingian kolonial dapat diselesaikan cepat tanpa pelibatan banyak sarjana hukum dan tanpa menyita banyak waktu.42 Selanjutnya kata Christiaan Snouck Hurgronje, “Jika hukum adat seperti itu dikodifikasi, hukum tersebut akan dimusnahkan.”43 Di sini secara sengaja dia ingin memusnahkan pengaruh hukum adat dari kehidupan masyarakat Nusantara sekaligus 39 Dari Betawi, 19 April 1904 untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 716. 40 Pada 1832, saat kali pertama sekolah modern Barat di buka di Yogyakarta. 41 Tertanda Weltevreden, 18 April 1893, Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 746. 42 Dari Bandung, 26 September 1903, untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. Ibid., Jilid V, hlm. 761. 43 Ibid., Jilid V, hlm. 761.
149
menghilangkan pengaruh hukum Islam. Kesemuanya akan diganti dengan pengaruh hukum-hukum Eropa dari Belanda dalam rangka menjajah secara sistemik dalam tata hukum formal (kodifikasi). Ratno Lukito dalam Islamic Law and Adat Encounter memberi analisis menarik untuk pergulatan hukum adat dan hukum Islam. Ratno, penulis sempat beberapa kali berkomunikasi dengannya, beralasan bahwa kolonialisme Belanda menggunakan standar ganda. Dalam bahasa Ratno Lukito (lahir 1968)44 adalah “kebijaksanaan dualisme”. Yaitu, “mempertahankan hukum-hukum adat dengan jalan mengalahkan hukum Islam,” terangnya.45 Hukum adat dan hukum Islam memang secara sengaja dipertentangkan atau dimusuhkan untuk saling mengalahkan. Yang seperti ini oleh Ratno Lukito disebut “pendekatan konflik”. Dalam pertentangan ini sengaja dipilih terutama dalam tema hukum keluarga, seperti perkawinan, karena Christiaan Snouck Hurgronje sadar betul pentingnya urusan perdata bagi masyarakat Nusantara. Bahwa hukum keluarga Islam bagi masyarakat berlanjut tumbuh dan punya peran yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam Indonesia.46 Dengan bahasa lain, persoalan keperdataan atau keluarga, bagi Pribumi memiliki pengaruh bagi tindakantindakan manusianya pada urusan publik. Sehingga paling tepat untuk mengendalikan masyarakat jajahan di Hindia Belanda bukan melalui jalur umum (publik). Namun, dengan mengendalikan pusat gerak masyarakatnya, dalam wujud urusan keluarga. 44
Ratno Lukito ialah Staf Pengajar di Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 28. 46 Ratno Lukito, ibid., hlm. 30. 45
150
Selain itu, dengan pendekatan konflik, teori resepsi sedang memecah belah penduduk prbumi untuk diadu domba. Yaitu, membagi lebih dahulu secara ekstrim antara penduduk penganut hukum adat agar fanatik dengan penganut hukum Islam agar pula fanatik. Contohnya adalah Perang Padri di Sumatera (1821-1823) antara Kaum Muda (Young Generation) dan Kaum Tua (Old Generation). Dalam perang yang terjadi selama paro pertama abad kesembilan belas di Minangkabau itu Belanda mendukung Kaum Tua atau kaum adat. Lalu memusuhi Kaum Muda yang sedang memperjuangkan peran hukum Islam.47 Penerapan terori resepsi yang diperjuangkan Christiaan Snouck Hurgronje memang mengupayakan sistem hukum untuk mengukuhkan posisi kolonial. Sistem hukum dalam teori resepsi itu dalam rangka memisahkan dua kekuatan sistem hukum yang mungkin bersatu; hukum adat dan hukum Islam. Hubungan dialogis, dialektik, atau bahkan persatuan hukum adat dan hukum Islam pada penduduk Nusantara merupakan penghalang yang susah dipatahkan kolonialisme jika benar hal itu terlaksana dengan baik.
b. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan Sebelumnya telah diutarakan sekilas arti pentingnya suatu keluarga bagi kelangsungan aktivitas publik penduduk Nusantara. Christiaan Snouck Hurgronje secara pasti tahu benar bahwa segala unsur pergerakan rakyat untuk menentang kolonial Belanda berasal dari suatu centrum, yakni keluarga. Untuk menarik perhatian dan dukungan maka dia mengeluarkan statemen dalam persoalan 47
Ibid., hlm. 45.
151
keluarga ini bahwa hukum Islam hanya benar diterapkan dalam urusan keluarga. Seperti dalam perkawinan. Sedangkan dalam urusan selain keluarga, hukum Islam tidak diterapkan sebagimana mestinya. Kelanjutan dari dukungan ini adalah pada hari-hari berikutnya dia justru sangat mengurusi aturan-aturan atau hukum-hukum adat dan hukum Islam yang berkaitan dengan urusan keperdataan (keluarga). Nampaknya, dia ingin menguasai dalam persoalan keperdataan ini dengan cara menebar simpati lebih dahulu. Kemudian kepercayaan yang sudah dia bangun ditindaklanjuti dengan upaya pengawasan. Pengawasan pada centrum dan titik paling kecil dan paling menentukan, yang tak lain perkawinan, umumnya urusan keperdataan. Usaha-usaha yang sangat serius dilakukan olehnya untuk mengendalikan situasi ini menggunakan sistem dan aturan perkawinan di bawah kendalinya. Yakni, segala yang terjadi atas perkawinan di wilayah daerah penjajahan Belanda, Hindia Belanda, harus diawasi. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun atas yang terjadi dalam keluarga atau perkawinan Pribumi yang sangat menentukan pergerakan rakyat jajahan. Tugas paling utama untuk pengawasan gerak-gerik rakyat jajahan dengan cara pengawasan perkawinan itu diberikan kepada para kadi, penghulu, atau naib. Satu jabatan membawahi wilayahnya masing-masing untuk urusan perkawinan. Kadi dilimpahi pengawasan tertinggi atas pelaksanaan pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Tugas ini juga berlaku bagi penghulu namun dengan wilayah pengawasan yang berbeda. Penghulu
152
melakukan pengawasan pernikahan di masjid-masjid agung. Sedangkan kekuasaan naib mengawasi personalia di masjid-masjid kawekdanan.48 Dalam menguatkan fungsi pengawasan atas pernikahan, kadi, penghulu, dan naib tidak hanya datang atau berada di lapangan. Melainkan, ada prosedur formal kolonial dalam pernikahan yang harus dipatuhi oleh pasangan-pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan. Yakni, pencatatan pernikahan. Pernikahan-pernikahan yang sah
menurut pemerintah Hindia Belanda adalah
pernikahan yang dicatat oleh pengawas pernikahan, seperti kadi, penghulu, dan naib. Di luar itu pernikahan tidak diakui negara. Mengingat pentingnya arti pernikahan bagi Pribumi, maka oleh Christiaan Snouck Hurgronje, pemerintah menetapkan biaya paling tinggi untuk pernikahan dan pencatatan perceraian dibanding urusan lainnya.49 Karena mau tidak mau penduduk jajahan dipastikan menginginkan perkawinan yang sah menurut pemerintah. Sebagaimana keharusan pencatatan pernikahan untuk dianggap sah yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan RI nomor 1 tahun 1974.50 Karena kronologi pembentukan aturan yang terakhir ini tidak terlepas dari warisan aturan Belanda pula. Di eranya Christiaan Snouck Hurgronje sangat menghendaki perncatatan pernikahan agar pemerintah bisa mengawasi gerakan rakyat yang bersumber agama, terutama Islam. Rakyat biasa yang tidak begitu kuat dalam pengetahuan agama takut jika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pencatatan. Karena 48
E. Gobee, C. Adriaanse, ibid., Jilid V, hlm. 703. Tertanggal di Batavia, 24 Februari 1890. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften (Gesammelte Schriften), (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 94-95. 50 Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), 49
153
jika tidak dicatat pernikahan tidak akan dianggap sah. Imbasnya hal-hal yang berkaitan dalam pernikahan selanjutnya juga tidak sah. Padahal, tidak menjadi masalah ketika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pengawasan dan perncatatan pegawai kolonial laiknya kadi, penghulu, dan naib. Pernikahan yang terakhir ini tetap sah asal memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam Islam. Maka, pada era-era ini sangat marak isu yang disebut nikah siri. Suatu pernikahan yang sah dalam prosedur fiqih hanya saja tidak di bawah pengawasan dan pengesahan pemerintah jajahan Hindia Belanda. Karena pernikahan-pernikahan sesuai hukum Islam dan tidak di bawah pengawasan penjajah (selanjutnya nikah siri) merupakan bentuk perlawanan. Perlawanan rakyat terjajah terhadap keberadaan kolonial Belanda di bumi Nusantara. Sekaligus sebagai bentuk harga diri bangsa51 yang bisa menyelenggarakan sistem dan aturannya sendiri atas kepercayaan rakyat tanpa dibayang-bayangani sistem Barat yang kafir52 itu. Padahal, pengawasan pernikahan baik melalui pencatatan pernikahan (baca, agar pernikahan tidak siri) atau pengawasan, pada masa itu dipakai untuk memilah dan memetakan kondisi penduduk jajahan Belanda. Sehingga akan terbelah dan terkondisikan mana-mana penduduk yang serius melawan segala bentuk penjajahan dan mana yang rakyat biasa yang bisa dikendalikan. Identifikasi penduduk jajahan dengan cara pengawasan pernikahan atau perncatatan pernikahan ini sangat manjur. Selain membelah dan memetakan 51 Harga diri ini dalam postkolonialisme ialah bagaimana subyek—subaltern dalam istilah Gramsci—menuliskan dirinya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. Bukan menjadi obyeknya kolonialisme yang tidak bisa menyusun peradabannya sendiri sehingga Barat memaksa ikut turut campur. 52 Kafir di sini bukan dalam pengertian yang diperkecil bagi sebutan di luar agama Islam. Namun, sebutan untuk yang tidak menghendaki kemerdekaan, penjajah dan tidak memberi keselamtan (islam).
154
situasi rakyat jajahan juga menggerogoti kekuatan perlawanan rakyat. Secara tidak langsung rakyat sedang dirasuki sistem modern dan rasional yang di impor dari Leiden oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Sendi-sendi perlawanan ”tak sadar” yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pernikahan mandiri (baca, siri) lambat tapi pasti terkikis dan rusak. Lalu animo pernikahan merdeka (baca, siri) diputarbalikkan dengan tuduhan-tuduhan buruk. Seperti, ketiadaan tanggung jawab suami terhadap istrinya.53 Kondisi menjadi sangat terbalik dari rakyat yang tadinya ”tak sengaja” melawan penjajahan dengan pernikahan merdeka. Sekarang berubah menjadi rakyat yang ”tak sengaja” melawan perjuangan bangsanya sendiri dengan mendukung pengawasan pernikahan oleh pemerintah penjajah Belanda. Ironis dan tragis. Tak tahunya pengawasan dan pencataan perkawinan merupakan penetrasi hukum Eropa terhadap hukum Islam. Umat Islam sangat menentang penetrasi hukum sekuler dari pemerintah kolonial. Semua partai serta organisasi Islam turut menentang rencana pemerintah memperkenalkan nikah tercatat pada 1930-an. Saat 1938 pemerintah juga sempat berencana memindah wewenang mengatur waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri serta merencanakan mendirikan Mahkamah Islam Tinggi dan perencanaan pencatatan perkawinan, umat Islam menentang usaha-usaha tersebut dengan keras. Pijper54 menggambarkan
53 Kita mengenal kontrol sosial atau moral dalam pelaksanaan hukum. Melalui positifikasi dan formalisasi hukum aspek kontrol sosial dan moral ditiadakan. Dalam perspektif ini, nikah siri merupakan tindakan kejahatan karena negara tidak bisa mengontrol, dan si pelaku (laki-laki) disebut orang tak bertanggung jawab. Tuduhan ini diperkuat dengan contoh dan alasan yang kadang dibuat-buat. 54 Lengkapnya Prof. Dr. G.G. Pijper, lahir pada 1893, peneliti bahasa pada KvIz (1925-1931), wakil AvIz (1932-1937), dan AvIz (1937-1942).
155
kemarahan ini sebagai “bukti kekuatan Islam”55 yang tersinggung karena urusan paling pribadi (keluarganya) dicampuri orang lain. Penentangan ini atas ukuran jangka panjang dari pengawasan pernikahan oleh dinas-dinas pemerintah jajahan adalah untuk dibuat sekat-sekat atau sel-sel pemisah di dalam penduduk Pribumi. Agar tidak terjadi suatu pernikahan antara Pribumi dengan etnis keturunan. Misalnya, pernikahan Pribumi dengan anak keturunan Cina (Tionghoa), akad yang berusaha ditiadakan dengan aturan-aturan kolonial. Caranya seperti pembagian penduduk dengan penggolongan bertingkat; Eropa, Asing Timur, dan Pribumi. Di mana pengkotak-kontakan penduduk yang sesuai dengan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje adalah berikut; Pertama, pertimbangan geografis untuk memasukkan Turki agar satu golongan dengan Belanda. Kedua, atas dasar agama agar Cina dan Pribumi yang sudah masuk Kristen bisa dalam satu golongan. Ketiga, pembagian bersifat hukum seperti pembagian dalam hukum keluarga. Keempat, sifat politis untuk kemungkinan memasukkan Jepang dalam golongan Eropa sesuai hukum keluarga mereka.56 Selanjutnya, rencana-rencana yang disebut penyamaan hukum bagi setiap penduduk Nusantara hanya kamuflase. Padahal, tidak sedikit penduduk yang pragmatis terutama Cina, ingin beralih agama menjadi Kristen agar sebagai manusia memiliki kedudukan setara dengan bangsa Eropa. Demikian pun tidak akan memberi banyak perubahan bagi yang pindah agama Kristen. Christiaan Snouck Hurgronje sendiri mengakui bahwa ada suatu ganjalan di mata hukum Eropa bagi perkawinan-perkawinan Pribumi. Seperti pernikahan-pernikahan 55 56
Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 73-74. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat… Jilid V, ibid., hlm. 725.
156
Pribumi dengan Eropa atau Indo-Eropa yang dianggap membentuk keluarga tidak sah menurut hukum Eropa. Selain tidak sah menurut hukum Eropa jenis pernikahan demikian berlanjut dengan pelanggaran pencatatan sipil dalam kelahiran atau pun kematian. Christiaan Snouck Hurgronje sering mengingatkan akan
keteledoran
para
pegawai
catatan
sipil
terhadap
penyimpangan-
penyimpangan dalam perkawinan57 karena tidak sesuai aturan kolonial yang diingininya. Sehingga ketidakpastian dalam hukum Eropa dalam perkawinan memberi peluang kepada warga Cina untuk bergabung dengan Islam Pribumi. Karena dengan menjadi Islam lebih memberi kebebasan dalam bergerak dan bekerja. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi kepentingan kolonial. Maka, dengan cara yang tepat perlu dibuat aturan agar tidak terjadi pernikahan Cina dan Pribumi sesuai aturan hukum Islam dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Segalanya perlu dikendalikan dan dikontrol supaya konsolidasi rakyat terjajah dari beragam jalur pernikahan tidak pernah terjadi58 untuk waktu yang tak terbatas.
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Agen untuk Urusan Keluarga Koloni Pengawasan dalam perkawinan baik melalui prosedur pencatatan sipil atau diketahui pegawai pemerintah yang berwenang ditindaklanjuti dengan cara pengangkatan penghulu. Bagi Christiaan Snouck Hurgronje: ‘Pengangkatan penghulu sebenarnya untuk menempatkan penghulu pemerintah Hindia Belanda
57 58
Ibid., Jilid V, hlm. 735. Op.cit.
157
di masjid-masjid untuk mengawasi gerak-gerik umat Islam dari kas masjid yang dibelanjakan. Tidak hanya untuk tahu penyelewengan penggunaan.’ Dapat diambil suatu pemahaman bahwa pengangkatan penghulu oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda untuk mengetahui gerak-gerik umat Islam lewat pembelanjaan kas masjid. Bukan hanya sekadar tugas formal untuk tahu penyelewengan penggunaan kas yang dilakukan pengelola masjid.59 Karena untuk tujuan suci hal yang terakhir ini jarang sekali terjadi. Namun Christiaan Snouck Hurgronje memakai para penghulu ini sebagai agen pemerintah kolonial untuk mengawas pergerakan masyarakat Muslim. Di mana kas-kas masjid itu salah satunya diperoleh dari penyelenggaraan pernikahan-pernikahan oleh penghulu di masjid-masjid yang ditarik dengan harga tinggi dibandingkan penyelenggaraan urusan lain. Pengangkatan dan penugasan khusus penghulu ini dilakukan lewat jalur khusus sebagaimana yang dikemukakan Christiaan Snouck Hurgronje. Pertama, perlu diteliti dalam pemilihan penghulu terutama untuk urusan penduduk paling pribadi. Urusan paling pribadi di sini tak lain menyangkut masalah keluarga, perkawinan, perceraian, kewarisan. Kedua, penghulu yang diangkat diharuskan serius meneliti pembukuan kas masjid termasuk meneliti pemberian masyarakat. Karena cara seperti ini tidak mungkin dianggap campur tangan kolonial. Ketiga, penghulu juga sebagai pelaksana peraturan khusus pernikahan, perceraian, dan keputusan majelis ulama.60 Dari pengangkatan penghulu atau penghulu yang 59
Penyelewengan dalam maksud kolonial yaitu saat kas masjid dipakai biaya umat Islam untuk berjihad melawan kolonialisme Belanda. 60 Dari tempatnya Betawi, 4 Maret 1893. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
158
ditugaskan pemerintah kolonial ke masjid-masjid menjadikan gerak-gerik masyarakat lebih terkendali. Setidak-tidaknya apa yang hendak dilakukan masyarakat untuk menentang pemerintah kolonial sudah diketahui sejak dini. Persoalannya yang kerap terjadi di dalam masyarakat pada hal perkawinan bukan hanya perkawinan semata-mata. Melainkan ada upaya-upaya menyatukan kekuatan pemberontakan terhadap penjajah melalui jalur pertalian kekeluargaan. Sehingga konsolidasi kekuatan pemberontakan umat Islam terhadap Belanda tidak begitu kelihatan atau tersamar. Pada masa-masa sebelum Christiaan Snouck Hurronje yang demikian itu tidak menjadi sorotan kolonial. Atau pemerintah jajahan sering kali melupakan terhadap tindakan-tindakan rakyat terjajah yang tidak mematuhi hukum tentang pencatatan sipil yang tidak diindahkan penduduk. Kelalaian terhadap pencatatan dan pengawasan perkawinan rakyat jajahan itu justru dijadikan angin segar untuk pergerakan rakyat. Sebagai wahana memperkuat iman dan menyatukan barisan atas nama fanatisme Islam yang dipupuk lewat jalur pernikahan dalam Islam. Kelanjutannya, tidak sedikit terjadi pernikahan bukan hanya sesama Pribumi saja, tapi juga pernikahan dengan keturunan Cina maupun Arab. Jalur ikatan kekeluargaan atau perkawinan ini dipilih karena jika gerak-gerak pergerakan penduduk jajahan dilakukan lewat jalur sistem formal (kekuasaan) maka dipastikan akan kalah. Mempertimbangkan arti pentingkan perkawinan dalam Islam Pribumi dan fungsi penghulu yang sangat penting, maka bagi Christiaan Snouck Hurgronje, tidak ada alasan meniadakan fungsi dan pengaruh penghulu. Karena pada jabatan Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VII, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 1339.
159
ini melekat pengaruh yang akan memperlancar urusan pemerintah kolonial kepada penduduk jajahan. Selain itu, penghulu ini masih dikendalikan di bawah kuasa bupati.61 Hanya demi kepentingan kolonial ini kadang-kadang tidak menjadi soal ketika yang diangkat pemerintah pusat sebagai penghulu adalah orang yang tidak tahu apa-apa62 atau kurang kapabilitasnya. Karena penghulu yang bodoh lebih mudah dikendalikan pemerintah. Apalagi ketika penghulu diberi kemudahankemudahan oleh pemerintah kolonial.63 Seperti, ketiadaan kewajiban bagi penghulu untuk membelanjakan uangnya untuk kepentingan sosial. Berbeda dengan pegawai Pemerintah Daerah dan polisi.64 Penghulu hasil didikan kolonial atau yang dikehendaki penjajah mendapat tugas pula untuk menelisik secara langsung gerak-gerik masyarakat Islam. Tidak hanya melalui pengawasan dan pencatatan pernikahan. Penghulu-penghulu terpercaya dipasang di titik-titik strategis kekuatan Islam. Misalnya, untuk mengetahui kehendak rakyat Muslim di Banten. Para penghulu ini dipasang sebagai penghubung kiai-kiai tertemuka di Banten.65 Christiaan Snouck Hurgronje memossisikan Banten bagi Jawa laiknya Aceh bagi Sumatera. Terbukti sejak lama telah ada komunitas Banten di Mekah yang berhaji. Itu pertanda bahwa Banten sangat kuat penagruhnya bagi Jawa.66 Oleh karena itu penghulu-penghulu yang diangkat pemerintah jajahan bertugas menyelidiki situasi dan pola gerak 61
E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 829. Ibid., Jilid V, hlm. 844. 63 Surat tertanggal Betawi, 5 Januari 1905 untuk Direktur Kehakiman. 64 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 846. 65 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VIII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 1412. 66 Dari Betawi, 26 Maret 1890. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid VIII, ibid., hlm. 1411-1412. 62
160
masyarakat Muslim Banten dalam menghadapi penjajahan Belanda. Penugasan para penghulu ini menjadi mudah tanpa kecurigaan rakyat yang berlebihan. Di mana penghulu dalam menjalankan tugas-tugas kolonialnya dengan cara mengadakan, mencatat, atau berada (untuk mengawasi) jalannya suatu pernikahan Islam lebih tidak dicurigai. Suatu peristiwa hukum yang sejak awal dikatakan Christiaan Snouck Hurgronje tidak menyimpang dari hukum Islam. Wajar jika petugas kolonial (penghulu) mendapat kelancaran jalan untuk tugas-tugasnya karena sedemikian penting perannya. Malahan tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Syeikh Ahmad Rifa’i di Kendal-Batang-Pekalongan, Jawa Tengah, dituduh menyimpang dari ajaranajaran Islam. Kita tahu, bahwa tokoh agama pada kala itu tidak hanya sebagai guru mengaji, juga kadang sebagai penghulu dalam perkawinan. Syeikh Ahmad Rifa’i yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam ini, menurut Christiaan Snouck Hurgronje, perlu disingkirkan. “Saya bahkan menganggap, tindakan pengasingan terhadap orang seperti Ripangi hanyalah tepat,” katanya.67 Pengasingan terhadap Syeikh Ahmad Rifa’i atau Ripangi dilakukan karena dianggap membahayakan ketenteraman. Karena Ripangi buta dan tuli terhadap peringatan pemerintah. Tuduhan-tuduhan kolonial terhadap Ripangi ini karena melawan penjajah Belanda dengan caranya yang tidak mengindahkan aturan hukum kolonial. Maka, bagi Syeikh Ahmad Rifa’i, orang-orang Pribumi yang
67
Betawi, 26 Mei 1896 Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2084-2085.
161
menjadi penghulu, tumenggung, dan guru agama yang mengikuti kata penjajah disebut sebagai orang Pribumi yang tersesat.68 Peran-peran agamawan yang tidak mau di bawah kendali kolonial seperti Syeikh Ahmad Rifa’i ini dipandang oleh Belanda membahayakan ketertiban. Christiaan Snuock Hurgronje memutarbalikkan kegiatan Syeikh Ahmad Rifa’i ini sebagai perlawanan terhadap semua adat Pribumi. Serta alasan Syeikh Ahmad Rifa’i tidak menghormati dan tidak mengakui kekuasaan konkret kolonial Belanda yang menjadi sejarah. “Oleh karena itu penyebarluasan tulisan-tulisan Ahmad Ripangi harus di berantas,” katanya.69 Dari alasan kekuasaan kongkret ‘telah menjadi sejarah’ Christiaan Snouck Hurgronje sedang menjadikan pemerintah jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah sejarah (baca, adat). Di mana adat istiadat merupaka hukum yang harus ditaati oleh seluruh penduduk jajahan Belanda. Kita tahu pula bahwa dia, Christiaan Snouck Hurgronje, adalah orang yang sangat getol terhadap perjuangan hukum adat untuk menghabisi hukum Islam. Sehingga seringkali gerak-gerak ulama’ atau masyarakat Muslim yang menentang Belanda disamakan dengan penentangan terhadap adat alias penentangan terhadap bangsanya sendiri. Christiaan Snouck Hurgronje sungguh seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik di Hindia Belanda yang pintar, cerdik, licik, dan, berwibawa. Dari agen-agennya, yakni penghulu, kadi, maupun naib, yang selalu memberikan laporan gerak-gerak Muslim Pribumi, Christiaan Snouck Hurgronje mampu menentukan target-target operasi selanjutnya. Syeikh Ahmad Rifa’i salah 68 69
E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid X, ibid., hlm. 2083. Ibid., Jilid X, hlm. 2088.
162
satunya. Muhammad Jahid dan Syeikh Abadul Jalil dapat dijadikan contoh lainnya. Yang disebut terakhir tadi cukup fenomenal. Menurut informasi matamatanya, Christiaan Snouck Hurgronje mendapat keterangan bahwa Syeikh Abdul Jalil (Syeikh Siti Jenar)70 berdakwah dan meramalkan tentang terjadinya revolusi di Jawa yang tidak lama lagi. Kemudian rencana-rencana untuk meng-Islamkan orang-orang Belanda. Sedangkan orang Belanda yang membangkang akan di usir dari Jawa.71 Gerakan-gerakan tokoh Islam seperti mereka sungguh mengancam kelangsungan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Tetapi, lewat agen-agen atau mata-mata yang dimiliki, laiknya penghulu, Christiaan Snouck Hurgronje dapat lebih awal mengantisipasi. Bahkan menyusun rencana-rencana tandingan guna mematahkan dan menumbangkan pejuang-pejuang kemerdekaan atas Belanda. Yaitu, dengan cara memutarbalikkan fakta bahwa para pejuang kemerdekaan yang Muslim ini diklaim sebagai penjahat, pembawa ajaran sesat, mengusik ketenteraman dan ketertiban, atau memberontak terhadap pemerintah nagara jajahan Hindia Belanda yang sah. Pengusiran, pengasingan, penjara, atau pembunuhan adalah hukuman yang mudah dijatuhkan oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda untuk mereka.
70
Revolusi Jawa sebagaimana diramalkan Syeikh Siti Jenar dapat dilihat dalam Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar, Jilid 1-7, (Yogyakarta: LKiS, 2003-2005). 71 Ibid., Jilid X, hlm. 2122.
163
d. Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai ! Christiaan Snouck Hurgronje merupakan pengikut rasionalisme dan liberalisme Leiden yang kuat. Meskipun pada masa remaja dia sempat terhanyut dalam paham Khayal dan Kenyataan (Dichtung und Warheit)-nya Goethe.72 Sekarang pun dia nampaknya telah kembali kepada paham khayal yang pernah ditinggalkannya. Khayalan sang ilmuwan Barat itu adalah soal ketidakmungkinan sistem hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) untuk berdamai. Contohnya pernah terjadi pada masyarakat Minangkabau. Sehingga dianggapnya tidak ada jalan lain sebagai alternatif penyelesaian persoalan warisan kecuali menggunakan hukum waris adat. Artinya, hukum waris Islam tidak bisa dipergunakan bersanding dengan hukum waris adat. Kekesalannya terhadap gencarnya perjuangan ajaran Islam untuk memakai hukum waris Islam yang menentang kolonialisme, dituduh oleh Christiaan Snouck Hurgronje, sebagai ‘celaan’ untuk merebut kekuasaan73 oleh golongan Islam dari kaum adat Minangkabau. Staatsblad No. 116 Tahun 1937 dapat dijadikan bukti upayanya untuk mencegah pengaruh sistem kewarisan Islam. Dalam peraturan ini, jurisdiksi masalah kewarisan yang semula ada di Pengadilan Agama (PA) dipindah ke Pengadilan Umum (PU). Yakni, “di mana perkara-perkara yang muncul tidak dipecahkan menurut hukum Islam tetapi menurut adat”. Sedangkan jurisdiksi PA dibatasi hanya dalam dua masalah; perkawinan dan perceraian. Staatsblad No. 116 Tahun 1937 merupakan upaya kolonial merebut supremasi 72 73
P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31. Lihat Bab III.
164
kewarisan; di sini hukum adat lebih unggul daripada hukum Islam.74 Segala daya dan upaya telah dikerahkan Christiaan Snouck Hurgronje maupun pemerintah Hindia Belanda sebagai pembenar bahwa hanya hukum adat yang semestinya dipakai untuk menyelesaikan persolan warisan di Minangkabau. Bukan hukum Islam. Sekaligus untuk membenarkan pemikirannya tentang hukum waris adat dan hukum waris Islam yang tidak mungkin didamaikan. Namun segala daya upaya untuk membuktikan bahwa ‘hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai’ telah sia-sia belaka. Dengan kata lain, mitos ‘hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai’ hanyalah khayalan yang dibangun ilmuwan Barat. Sekali lagi, Christiaan Snouck Hurgronje tua sudah terjebak pada paham khayalnya Goethe, sebagaimana masa mudanya sebelum bertemu kaum modernis Lieden. Khayalan sang ilmuwan Barat ini telah berakhir sia-sia. Ternyata, justru dengan tanpa adanya campur tangan kolonial, masyarakat lebih mampu mendamaikan hukum waris adat dan hukum waris Islam. Subaltern yang sering dicap bodoh dan tak berpendidikan ini membuktikan diri lebih unggul dalam menyelesaikan masalah dibanding kolonialis seperti Dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Contohnya di Minangkabau. Pernah disepakati antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam (dalam Perang Padri, abad ke-19) tentang rumusan; adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Quran). Rumusan yang cerdas ini kemudian dikukuhkan kembali dalam rapat antara ninik, mamak, imam khatib, cerdik-pandai, manti-dubalang Minangkabau di Bukittinggi pada 74
Ratno Lukito, ibid., hlm. 37.
165
1952. Sebagai bukti bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam dapat berdamai ditegaskan pula dalam pertemuan-pertemuan lain. Misalnya, penegasan kembali dalam seminar hukum Adat Minangkabau di Padang (Juli 1968). Kesimpulan penting dapat diambil dalam rapat dan seminar tentang kewarisan itu; pertama, kewarisan harta pusaka tinggi diperbolehkan turun-menurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat; kedua, harta pencaharian (disebut juga pusaka rendah) diwariskan menurut syara’ (hukum Islam). Jadi, sejak 1952, jika ada perselisihan soal harta pusaka tinggi diselesaikan dengan pedoman hukum adat. Lalu, penyelesaian masalah harta pencaharian berlaku hukum faraa’id (hukum kewarisan Islam). Perdamaian antara hukum waris adat dan hukum waris Islam ini disuarakan kembali dalam seminar hukum adat Minangkabau pada 1968. Di sana juga diserukan kepada seluruh hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan kesepakatan tersebut. Dengan demikian, hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) sudah berdamai di bawah keputusan rakyat Minangkabau tanpa campur tangan kolonial yang kotor dan licik. Apalagi ungkapan yang paling pas untuk para pengkhayal Barat yang kukuh bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai, laiknya Christiaan Snouck Hurgronje dan sahabatnya Cornelis van Vollenhoven, kecuali mereka sedang membuat mitos baru dalam dunia hukum perdata. Sungguh tindakan akademisi Barat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di pengadilan altar akademik. Benar kiranya yang dikatakan Hazairin75 tentang 75
Hazahirin dalam Hukum Kekeluargaan Nasional.
166
segala yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje untuk membenarkan pikiranpikirannya; bahwa bangunan teori resepsi yang dikonsep Dr. Christiaan Snouck Hurgronje adalah teori iblis. Pemikiran yang dikonstruksi Abdul Ghaffar—nama Islam Christiaan Snouck Hurgronje—tak lain justru untuk membuat orang Islam sendiri tidak melaksanakan hukum Islam. Bagaimana mungkin orang yang medeklarasikan diri sebagai Mulsim di hadapan para ulama Mekah malah berbalik menentang penyebarang Islam di Hindia Belanda? Kecuali jika tindakan itu hanya dilakukan oleh Muslim gadungan yang telah melakukan pelacuran intelektual hanya demi kelancaran penjajahan Belanda (Kristen) di Nusantara. Jan Just Witkam dalam naskah Orientalist menyebutkan bahwa Christiaan Snouck Hurgronje memang “not a religious man.” Yang ada padanya “little personal religious feeling”.76 Orientalist ini sekaligus membuktikan bahwa kehebatan Christiaan Snouck Hurgronje dalam ilmu teologi, penguasaannya atas Bahasa Arab, dan bekal ajaran Islam yang cukup mendalam tidak otomatis menjadikan dirinya sebagai pemeluk ‘Islam’ yang taat. Terakhir tadi jika bukan untuk penyamaran belaka. Jadi, yang dilakukan intelektual kolonialis Christiaan Snouck Hurgronje dalam hukum kewarisan, telah sesuai dengan konsep operasi pemikirannya. Yakni, “menaklukkan Islam di Indonesia berarti membebaskan pemeluknya dari pembatasan sempit sistem Islam” kata Christiaan Snouck Hurgronje “La Politique Musulmane de la Hollande”, dalam Verspreide Geschriften, IV, I, hlm. 204.
76
Jan Just Witkam, Christiaan Snouck Hurgronje: a tour d’horizon of his life and work, dalam Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007), hlm. 15.
167
Penyempitan pengaruh hukum Islam ini akan dilanjutkannya dengan menjadikan orang Indonesia bersatu dalam budaya77 dan sistem hukum penjajah Belanda.
e. Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial Dalam UU RI No. 1 tahun 197478 tentang Perkawinan terkandung asas pernikahan adalah monogami. Asas ini sebagaimana yang pernah direncanakan Christiaan Snouck Hurgronje yang menghendaki pernikahan monogami dan menghapus poligami. Sebagaimana cita-citanya yang ingin melihat masyarakat Indonesia, terutama Jawa, menjalani hidup wajar dengan monogami. (Artinya, poligami tidak wajar). Menghilangkan kesewenang-wenangan antara suami dan istri akibat posisinya yang tidak setara. Menjadikan kehidupan keluarga yang sehat dengan monogami. Monogami ini, sekaligus, baginya mendukung arah modernisasi di Indonesia. Asas monogami ini juga selaras dengan Ordonansi Mengenai Pencatatan Pernikahan pada 1937 yang merencanakan pernikahan monogami dan dicatat.79 Artinya, asas monogami dalam pernikahan di Indonesia (UU No. 1/ 1974) merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kolonialisme. Jika Christiaan Snouck Hurgronje masih berusia panjang hingga saat ini pasti dirinya akan berbangga buah pikirannya dipakai dalam hukum Indonesia. Asas monogami sebagai kepanjangan tangan kolonial tidak hanya berhenti pada kesamaan ide Christiaan Snouck Hurgronje maupun cita-cita dalam ordonansi pernikahan pada 77
Suminto, ibid., catatan kaki hlm. 38, dari Harry J. Benda, “Continuity and Cange in Southeast Asia”, op.cit., hlm. 89. 78 Lihat Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, ibid. atau Drs. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003). 79 Lihat Bab III.
168
1937. Ada hal-hal yang lebih penting ikut mendasari asas monogami ini. Pertama, ide pernikahan harus monogami merupakan upaya kolonial ikut campur tangan dalam persolan ibadah atau agama murni. Padahal, Christiaan Snouck Hurgronje dalam nasehatnya menyatakan, bahwa dalam hukum yang murni agama pemerintah hendaknya netral.80 Poligami merupakan hukum yang murni agama. Hukum Islam tidak menutup kemungkinan suatu pernikahan poligami. Polemik antara pendukung poligami dan yang mengharamkan poligami dalam hukum Islam tidak mengerucutkan poligami dalam satu hukum, haram misalnya. Artinya, poligami merupakan masalah hukum yang debatable (tidak satu hukum). Pernikahan harus monogami seperti diinginkan Christiaan Snouck Hurgronje ialah bentuk reduksi atas hukum Islam. Kekayaan khazanah hukum Islam benar-benar dikerdilkan olehnya hanya untuk mendukung cita-cita kolonialisme. Kedua, agar Muslim Hindia Belanda menjadi pelaksana amaliyah orang (Kristen) Eropa yang hanya boleh menikahi seorang perempuan (memiliki satu istri). Karena kolonialisme tidak hanya untuk kepentingan kekayaan (gold) yang ada di Nusantara. Meskipun tujuan meng-Kristen-kan seluruh penduduk jajahan tidak tercapai setidaknya ajaran-ajaran Kristen diamalkan masyarakat Muslim Hindia Belanda. Dengan begitu, secara nonformal, Muslim Indonesia ialah sangat Kristen (baca, mimicry) dalam ajarannya. Sekaligus pengikut tertib hukum keluarga yang juga Kristen (Eropa). Sehingga ‘tidak ada bedanya’ antara Muslim
80
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 200. Bandingkan Latiful Khuluq, ibid., hlm. 2.
169
dan Kristen karena kedua-duanya sama pelaksana ajaran sekaligus kepentingan Kristen (Eropa). Ketiga, pernikahan monogami, seperti ini disebutkan Christiaan Snouck Hurgronje akan mendorong Indonesia, ke arah dunia modern81 (kemajuan). Asas monogami sedang ingin memajukan Muslim Pribumi yang ‘terbelakang’ agar lebih dekat (seperti) kehidupan modern (Eropa) yang ‘lebih maju’. Di sini, umat Islam Pribumi, benar-benar sedang dikebiri oleh Abdul Ghaffar atau Christiaan Snouck Hurgronje sebagai manusia ‘terbelakang’. ‘Terbelakang’ dalam maksud kolonialisme adalah lebih mirip dengan moyangnya (kera). Asas monogami berupaya menjadi Muslim yang mirip kera bodoh ini semakin maju dengan mengikuti konsep keluarga Eropa yang keseluruhannya hanya monogami. Satu orang pun dilarang (haram) berpoligami (kira-kira) dengan alasan apapun. Keempat, alasan kebudayaan akan pula menjelaskan kepentingan di balik asas monogami. Para ulama Nahdlatul Ulama pernah memberikan pendapatnya dari sisi budaya ini. Yakni, Eropa dan Indonesia memiliki budaya yang berbeda dan masyarakatnya juga disusun atas sistem yang berbeda. Keliru jika Indonesia kemudian disamaratakan dengan Eropa bahwa segala bentuk pernikahan harus monogami. Dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 16, 1 Juli 1937, diterangkan suatu akibat laki-laki dilarangan beristri lebih dari satu orang perempuan. Hal ini dicontohkan di Eropa, masyarakat yang anti poligami, memunculkan budaya baru. Yaitu, laki-laki biasa memiliki perempuan lagi dengan cara yang tidak benar atau
81
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid., hlm. 197.
170
pergundikan. Bahkan, muncul perkumpulan-perkumpulan hotel (hotel-societeit) yang melegalkan pergundikan.82 Praktik pergundikan seperti itu pula sepertinya yang telah dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje dengan menikahi secara Islam perempuan Pribumi: Sangkana dan Sadijah. Bagaimana tidak? Terbukti setelah pernikahan-pernikahan dalam Islam dengan dua perempuan Pribumi tadi, Christiaan Snouck Hurgronje pada 1906 kembali ke Belanda, lalu dia menikahi Ida Maria pada 1910. Ida Maria merupakan putri Dr. A.J. Oort pensiunan pendeta liberal di Zutphen. Hubungan pernikahan dengan Ida Maria tetap terjalin sampai Christiaan Snouck Hurgronje meninggal dunia (26 Juni 1936)83 di Leiden.84 Sedangkan anak-anaknya dari mengawini perempuan Pribumi dilarang ke Belanda (meskipun untuk belajar) sekaligus tidak boleh memakai ‘Snouck Hurgronje’ pada tiap-tiap namanya. Fakta ini merupakan bentuk Christiaan Snouck Hurgronje tidak mengakui anak-anak Indonesianya.85 Hukum perkawinan Indonesia memang tidak mengharamkan poligami. Bagi laki-laki, masih diberi kesempatan punya istri lebih dari seorang perempuan jelita. Namun, asas monogami tidak bisa mengingkari dari sejarah kolonialnya.
82 Lihat Penolakan Kiai NU terhadap RUU Anti Poligami Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (tanpa identitas). 83 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 124. Lihat pula Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Cet. II, (Jakata: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 97-98. Dalam catatan kaki nomor 11. 84 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (18571936) Orientalist, ibid., hlm. 11. 85 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 227-228.
171
C. PENGARUH KONSEP KOLONIALISTIK CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE DALAM KENYATAAN HUKUM DI INDONESIA
a. Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia Hindia Belanda bahkan tidak memiliki pusat ilmu pengetahuan Islam, hanya hidup dari sisa hidangan internasional …86 Christiaan Snouck Hurgronje
Demikian itu pernyataan tegas Christiaan Snouck Hurgronje yang diterbitkan dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII, di Batavia pada 1900, di halaman 393-427. Pernyataan Christiaan Snouck Hurgronje tersebut sedang membuka cakrawala pikir kita bahwa sesungguhnya diakui oleh sang arsitek hukum kolonial bahwa Nusantara merupakan sampahnya peradaban dunia. Yang hidup dengan cara menyantap sisa-sisa dari jamuan internasional. Jamuan yang dimaksudkan di sini adalah keilmuan, pengetahuan, hukum, maupun keadaban. Kondisi seperti ini pun tercermin sampai saat ini setelah Hindia Belanda merdeka dan menjadi Republik Indonesia modern. Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak merubah status Indonesia sebagai tempat sampahnya dunia. Sumber lain menyebutkan kemerdekaan itu pada 27 86
Tertanggal : Batavia, April 1900 Terbit dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde Diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII (Batavia, 1900) halaman 393-427. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1923), hlm. 174. [Huruf miring tebal dari A.M]
172
Desember 1949.87 Bahkan pada orde reformasi ini pun status sebagai sampahnya dunia belum pindah tangan dari Indonesia. Adapun Christiaan Snouck Hurgronje merupakan distributor ulung yang berhasil menyebarkan sampah-sampah Barat, khususnya Leiden, ke tertib kehidupan masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyebarkan, lebih lagi, Christiaan Snouck Hurgronje adalah aktor yang berhasil pada skala tertentu menjadikan bangsa Indonesia mau tetap menyantap sisa-sisa dari hidangan internasional yang dibawanya dari Leiden. Tidak terkecuali sampah-sampah hidangan internasional via Belanda itu menyentuh pada kenyataan hukum di Indonesia. Misalnya dalam proses pembentukan hukum perdata di Indonesia yang seolah tidak sanggup tanpa merujuk (tepatnya, menjiplak atau mimikry) dalam istilah Franz Fanon atau Homi K. Bhabha88— konsep-konsepnya dari Belanda. Dalam proses pembentukannya, hukum perdata (misalnya, pencatatan pernikahan) di Indonesia banyak terpengaruh warisan pemikiran dan hukum kolonial Belanda. Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon) merupakan asal mula Hukum Perdata Belanda. Code Napoleon89 disusun berdasarkan hukum Romawi atau Corpus Juris Civilis (waktu itu dianggap hukum paling sempurna). Saat Perancis menguasai Belanda (1806-1813), hukum perdata dan dagang diberlakukan di Belanda.90 Berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri 87
Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), ibid., hlm. 31. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 452. 89 Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). 90 Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional 88
173
Belanda, baru pada 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda91 (selesai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Februari 1830).92 Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, KUHPdt. Belanda ini diusahakan supaya berlaku di Hindia Belanda. Yakni, dengan membentuk B.W. Hindia Belanda (isinya serupa dengan BW Belanda). Tokoh Belanda yang memperkokoh B.W. Hindia Belanda adalah Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem93 dan Mr. C.C. Hagemann,94 ditambah Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer.95 Lalu dibentuk panitia baru; Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem96 dan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.97 Panitia ini yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia yang banyak dijiwai KUHPdt. Belanda (diumumkan 30 April 1847 di Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948).
(berlaku asas konkordansi). Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. 91 Berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr.J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Sebelum selesai Kemper meninggal dunia (1924) dan usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan Nicolai, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia (pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara). Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama : 1.Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda) – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt. 2.Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD. 92 Tetapi, pada Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda (kerajaan Belgia) sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanakan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof. Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda. 93 Ketua panitia kodifikasi. 94 Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem. 95 Masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. 96 Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem. 97 Anggota.
174
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,98 KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku dipakai di Indonesia. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia99 (induknya hukum perdata Indonesia).100 Jadi pada kenyataan hukum ini, terutama perdata, Indonesia benar-benar penerima sampah-sampah hukum dari perdaban Barat. Di mana Indonesia modern mewarisi konsep-konsep hukum dari negara jajahan Hindia Belanda, Hindia Belanda mendapatkannya dari Belanda, dan Belanda sisa dari Perancis. Mata rantai ini menunjukkan bila Indonesia modern menjadi pihak ke empat yang memakai konsep hukum yang merupakan sisa-sisa dari Perancis. Sungguh suatu kondisi hukum yang sangat terperosok ketika Indonesia modern hingga saat ini memakai warisan hukum dari koloni jajahan Hindia Belanda yang mana Hindia Belanda mewarisi dari Kerajaan Belanda (koloni jajahannya Perancis). Dengan diberi dan menikmati sampah-sampah hukum dari PerancisBelanda-Hindia Belanda ini yang disebut Christiaan Snouck Hurgronje dalam rangka memajukan (baca, memodernkan) Indonesia. Sebagaimana juga telah dijadikan tujuan utamanya untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jawa, berpindah ke dunia modern. Tata hukum Indonesia modern bukan yang sesuai 98
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” 99 Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. 100 Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam Evy Lestari, Pengaruh Kolonialisme Belanda terhadap Keharusan Nikah Seagama dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,” (Skripsi F.S. IAIN Semarang: tidak diterbitkan, 2009), hlm. 108-109.
175
terori resepsi yang diperjuangkannya agar kehidupan diatur dengan hukum adat. Bukan pula lagi Indonesia yang diatur dengan hukum Islam. Karena memang Islam sedari awal merupakan sasaran utama yang harus dihancurkan melalui hukum adat, modernisme, rasionalisme, liberalisme, evolusi sosial dan hukum, sampai formasilasi (penerapan) hukum Eropa untuk wilayah jajahan di Hindia Belanda (sekarang, Indonesia modern). Caranya, sedapat mungkin menjauhkan dan membebaskan (liberalization) orang-orang Indonesia dari ajaran Islam untuk menganut ajaran Belanda-Kristen agar Indonesia berada pada orbit pembaratan (wearwenization).101 Tentu yang pertama di tarik ke orbit pembaratan adalah orang-orang yang tidak kental ajaran agamanya. Paling mudah misalnya melalui pengawasan atau pencatatan pernikahan oleh penghulu, naib, yang ditugaskan oleh pemerintah jajahan. Sehingga dengan sendirinya orang-orang Indonesia belajar dengan konsep modern yang kolonialistik dengan target panjangnya sebagai mitra kolonialisme. Malahan yang paling mudah untuk dikendalikan sebagai marsose penyelenggara aturan-aturan dari Belanda ialah kaum ningrat dan kepala adat yang jauh dari pengaruh dan sistem hukum Islam. Christiaan Snouck Hurgronje mewujudkan rencana menjadikan Hindia Belanda (kemudian, Indonesia) sebagai tempat sampah hukum ini dengan mengusahakan anak dari keluarga terkemuka Hindia Belanda belajar dengan sistem pendidikan Barat. Nama-nama seperti Ahmad Djajadiningrat, putra ningrat Banten, dan Wiranatakusumah, regent Cianjur terakhir, merupakan anak didik Christiaan Snouck Hurgronje. Orang 101
Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 47-48.
176
Eropa laiknya Abendanon, Engeleberg, van Lith, dan Hardeman kemudian ikut menapaki langkah orientalis dari Leiden itu.102 Beberapa organisasi seperti Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (1916), Christelijke Ethische Partij (1918), dan Politiek Economische Bond (1919) juga terlibat untuk mempereratkan hubungan Belanda dengan Hindia Belanda (asosiasi).103 Pribumi sebagaimana Ahmad Djajadiningrat dan Sujono turut rela menjadi antek Belanda untuk kelancaran tujuan kolonial laiknya organisasi modern tadi.104 Selanjutnya bagi Indonesia, akibat tidak diakuinya hukum Islam oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang lebih ‘mendukung’ hukum adat, adalah terhentinya mata rantai Islamisasi di Nusantara.105
b. Gagal Menghasilan Sistem Hukum yang Merdeka Sebaliknya, yang hidup dan dilestarikan dalam sistem hukum dan tata pemerintahan Indonesia modern justru hukum warisan dari Eropa, Belanda. Hal ini membuktikan bahwa Pribumi didikan Barat atau Eropa benar-benar sudah menjadi manusia modern. Tentu modern dalam pengertian Barat yang gemar mengunggul-unggulkan hukum positif peninggalan kolonialisme Belanda. Sekian banyaknya guru besar ilmu hukum sekaligus dengan segala disiplin yang digelutinya tidak pernah menghasilkan sistem hukum merdeka yang sesuai dan 102
Ibid., hlm. 47. J. Hardeman (1885-1962) pernah menjadi pegawai Amerika Serikat (19041909), lalu Pegawai Departemen Pendidikan dan Agama (1926-1929) semasa Gubernu Jenderal De Graeff. 103 Asosiasi hendak menggabungkan negeri kolonial Belanda dengan daerah koloninya (taklukan) Hindia Belanda termasuk dalam sistem hukumnya. Meskipun tidak di isi dengan bahasa dan agama yang sama. 104 Ibid., hlm. 69. 105 Ibid., hlm. 70-71.
177
menjiwai jati diri wawasan Nusantara kita. Perubahan dan revisi yang dilakukan dalam bidang hukum tidak pernah bisa lepas dari konsep-konsep warisan kolonial. Padahal, jika kita mau menjiplak masih dapat dijumpai konsep hukum warisan leluhur bangsa Nusantara. Sehingga tidak menjadi terlalu konsumtif terhadap hukum imporan asal Eropa yang modern (baca, sampah) itu. Misalnya, bisa dikutip peraturan perundang-undangan yang disusun Prabu Suria Alem atau kita sebut dengan Undang-Undang Suria Alem. Ada sejumlah 144 pasalnya dapat dijadikan rujukan penyelenggaraan pengadilan di Indonesia. Jumlah pasal tadi setelah penyederhanaan dan pengurangan dari Suria Alem yang semula terdiri dari 507 pasal.106 Undang-undang ini dapat dipakai sebagai sumber percontohan awal untuk pengembangan hukum di Indonesia. Pembahasan di dalamnya tidak sebatas urusan pidana dan masalah publik. Problematika hukum yang berkenaan dengan keluarga, seperti perkawinan, anak, dan sebagainya, tidak luput dari pembahasannya. Dengan mengembangkan hukum-hukum dari warisan leluhur setidaknya akan menjadikan Indonesia lebih memiliki kehormatan. Karena mampu berdaulat di atas kaki sendiri untuk penyusunan tertib kehidupan dan kebangsaan. Tidak seperti kenyataan hukum di Indonesia sekarang ini yang hanya tunduk dan patuh dengan sampah-sampah hukum dari Belanda khusunya, dan Eropa pada umumnya, yang Christiaan Snouck Hurgronje pun ikut membawanya. Dari sini dapat ditarik suatu benang penghubung kolonial tentang perangkap kolonialistik dalam pemikiran hukum yang dibangun Christiaan Snouck Hurgronje. Yakni, sebagai alat penjinak, pengawasan, dan pengendali, 106
681.
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Jakarta: PT Buku Kita, 2008), hlm. 664-
178
masyarakat Hindia Belanda yang berlanjut pada masyarakat Indonesia modern. Pertama, konsep koloniaslitik Christiaan Snouck Hurgronje untuk menjinakkan sendi-sendi perlawanan masyarakat Muslim. Penjinakan perlawanan Pribumi terhadap Belanda dilaksanakan melalui rasionalisasi. Yakni, memasukkan anakanak bangsawan ke sekolah Eropa. Selanjutnya juga berlaku untuk anak-anak lain. Christiaan Snouck Hurgronje yakin untuk membentuk generasi baru Jawa107 dengan pendidikan yang baik ke jenjang yang lebih tinggi. Dia juga berusaha menepis kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa menginjak masa pubertas anak-anak didikan Eropa ini jadi memiliki sifat acuh tak acuh.108 Maksudnya, menginjak usia remaja anak-anak Pribumi didikan Eropa menjadi kehilangan tata krama dan tidak menjalankan aturan-aturan Pribumi. Karena menjadi sangat rasional dan kritis sehingga segala sesuatu yang ada di masyarakat dianggap keliru. Memang demikian hasilnya karena genealogi pengetahaun Barat yang beda dengan dunia Timur akan memejamkan mata saat memandang segala sesuatu yang dihasilkan dunia Timur. Dengan rasionalisasi ini generasi penerus menjadi jinak atau penurut atas kemauan kolonial. Penjinakan itu dibahasakan Christiaan Snouck Hurgronje bahwa Pribumi yang berpendidikan Eropa lebih setara dibanding petani atau nelayan Belanda. Pada persoalan hukum pun menjadi sangat jinak dan penurut. Seperti rasionalisasi hukum perdata dalam bentuk pengawasan oleh penghulu,
107
Generasi baru Jawa ialah generasi yang berasal dari anak-anak Jawa yang terdidik dalam sistem pendidikan modern. Hasilnya orang-orang bergaya indisch (tiruan Barat). 108 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 148.
179
pencatatan pernikahan, atau pernikahan harus serumpun (seagama).109 Positifikasi hukum ini langsung membuat Pribumi-Pribumi terpelajar bertekuk lutut untuk mengikuti. Karena yang diterapkan oleh Belanda sesuai dengan kapasistas keilmuan yang diperoleh ahli hukum Pribumi dari Eropa. Orang-orang seperti inilah yang diangkat tugas sebagai penghulu oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda. Menurut Christiaan Snouck Hurgronje memang seharusnya membiarkan Pribumi di bawah pimpinan atau kekuasaan langsung para pamong bila keadaan memungkinkan.110 Hingga saat ini pun, pada era Indonesia modern, para pelajar didikan sekolah atau pergurun tinggi sistem Eropa benar-benar jadi jinak. Menjadi pendukung setia formalisasi hukum Eropa untuk Indonesia tanpa bisa berbuat apaapa. Nampaknya mereka sudah buta sejarah111 bahwa nenek moyang bangsa kita memiliki warisan tata aturan hukum yang sangat patut untuk dikembangkan. Kedua, kenyataan hukum kita selalu di bawah pengawasan dan arah konsepsi kolonial. Pengawasan ini dilakukan awalnya lewat penguasaan hukum adat untuk kepentingan kolonial. Hukum-hukum dalam masyarakat selalu tumbuh berkembang. Serta terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat. Kata Chrisitian Snouck Hurgronje, dengan pengawasan yang cermat bisa menghilangkan bahaya yang muncul dari perkembangan hukum dalam masayakat.112 Pengawasan menggunakan hukum adat mampu pula 109
Evy Lestari, ibid. Dimuat dalam de Gids, tahun penerbitan ke-72 (Amsterdam, 1900), hlm. 211-234. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid.¸ hlm. 137. 111 Menjadikan anak-anak Indonesia buta sejarah bangsanya merupakan bagian skenario kolonial. Sangat banyak khazanah leluhur kita yang diangkut ke Belanda (Leiden) maupun Inggris yang tidak gampang kita akses. Khazanah ini pada masa-masa mendatang dapat dipakai untuk membodohi generasi mendatang kita (ahistoris). Selanjutnya digencarkan kolonialisme sejarah. 112 Betawi, 19 April 1904, dikirim ke hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasihat…, Jilid V, ibid., hlm. 720. 110
180
mengendalikan perkembangan hukum Islam. Sehingga pada era kolonial Belanda bercokol hukum Islam kalah fungsi dibanding hukum positif Eropa. Dengan cara pengawasan dalam sudut pandang hukum positif Eropa ini pada era-era sekarang terjadi kerancuan hukum. Yakni, hal-hal yang sudah diatur dalam hukum Islam sesuai fiqih justru tidak diakui oleh hukum positif bergaya Eropa yang membahas tentang ke-Islaman. Anehnya, orang-orang yang konon ahli hukum, karena terawasi secara tidak langsung oleh pengetahuannya sendiri (dari genealogi Eropa) tidak kuasa menerobos tembok kolonialistik dalam materi-materi hukum yang dipelajarinya. Ketiga, tingkat selanjutnya, kehidupan hukum di Indonesia benar-benar dikendalikan sampah-sampah hukum yang dibuang dari Leiden oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Di mana pencatatan pernikahan menjadi ‘dipaksakan’, dan ‘dipaksa’ pula pernikahan harus seagama. Serta masih terjadi dikotomi sosial dan status hukum akibat pembelahan antara kaum adat (selanjutnya abangan) dengan golongan Islam (santri, kiai), lalu Pribumi dan Tionghoa, Islam dan Kristen dan Konghucu, dan seterusnya. Jurang ini sangat lebar. Bahkan sampai sekarang pemisahan kekuatan kaum Muslim dan penganut agama lain masih terjadi dalam masyarakat. Artinya, konsepsi-konsepsi pemikiran kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje masih hidup hingga sekarang dan tetap terus mengontrol perhubungan antar penduduk di Indonesia lewat dikotomi kondisi, deskriminasi, dan pembedaan status di mata hukum.
181
c. Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri) Namun demikian, tidak semua konsepsi kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje berhasil mengkondisikan kenyataan hukum perdata di Indonesia sesuai keinginan kolonial. Misalnya, teori resepsi tidak serta merta membuat dikotomi ekstrim antara hukum adat dan hukum Islam. Karena masyarakat Indonesia memiliki sifat akomodatif. Sehingga pada kenyataannya hukum adat dan hukum Islam diakomodir secara baik-baik.113 Pertama, dipraktekkannya taklik talak (ta’liq talaq) di hampir semua perkawinan. Pada praktik ini hukum Islam mengadaptasi ke hukum adat. Yakni, ikrar suami di saat ijab qabul bersedia diceraikan istrinya yang ditinggal pergi tanpa nafkah beberapa waktu dan istri tidak rela. Dengan membayar sejumlah uang maka talak bisa dijatuhkan oleh pengadilan. Kedua, praktik khul’ dalam perceraian. Seorang istri dalam kondisi tertentu dapat memaksa suaminya menerima pengembalian maharnya sebagai pebayaran dari perceraian. Jika suami menolak menerima perceraian tersebut, hakim boleh memutuskan bahwa suami dianggap sudah mengucapkan sighat talak, atau hakim langsung membubarkan ikatan perkawinan. Ketiga, ordonansi perkawinan untuk pulau-pulau di luar Jawa dan Madura. Ada ketentuan bahwa para pejabat agama Islam pada masyarakat pantai barat Sumatra dan Tapanuli dilarang menyelenggarakan suatu upacaya perkawinan tanpa ada izin tertulis dari ketua masyarakat asli. Yakni, ketua masyarakat asli di mana para pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut berada. Lebih dari itu, surat perizinan 113
Ratno Lukito, ibid., hlm. 48. Contoh-contoh ini dapat ditemukan dalam tulisan ter Haar, Beginselen van het Adatrecht, hlm. 183, dan C. Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam, hlm. 49; dikutip dalam Westra, “Custom and Muslim Law,” hlm. 160-1; lihat juga G.H. Bousquet, Introduction a l’etude de l’islam indonesien, hlm. 235. (Catatan kaki Ratno Lukito hlm. 48).
182
tersebut harus menerangkan bahwa tidak ada penolakan hukum dari hukum adat masyarakat bagi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.114 Sedangkan pada umumnya, akibat tidak mampu melepas dari mewarisi serta memakai konsepi dan pemikiran sampah kolonialistik bawaan Christiaan Snouck Hurgronje, kenyataan hukum di Indonesia menderita anomi. Indonesia alias negara hukum yang tidak punya jati diri. Dan, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje patut dikatakan sebagai arsitek ulung, cerdas, cerdik, licik, dan penuh wibawa, yang berhasil menjadikan Republik Indonesia (modern) tetap berada di bawah bayang-bayang dan kendali hukum kolonialistik Belanda!
114
Ibid., hlm. 48-49.
183
BAB V PENUTUP
Mengusung Dr. Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai obyek—‘kelinci percobaan’ (dalam istilah kolonial)—penelitian ini tidak seberat yang pernah dibayangkan, meskipun pelaksanaannya juga tak mudah. Tidak kurang dari tiga puluh jilid buku buah karyanya peneliti telaah ‘satu per satu’ dalam rangka mengumpulkan ‘kebenaran’ yang terserak di tiap lembarnya sehingga diperoleh kebenaran yang ‘bulat’ dan ‘utuh’—dalam istilah Gadamer. Tak mudah juga karena data primer obyek penelitian ini berupa operasi dari rencana-rencana pemikiran yang pembukuannya di luar bayangan sistematika karya ilmiah. Di mana pada era kolonialisme, wacana merupakan praktik-praktik dari kepentingan penguasa yang dipropagandakan (dan berhalu-lalang), di sini perlu meminjam dulu arkeologi dan genealogi yang pernah diperkenalkan Foucault. Meskipun studi ini diniatkan untuk penelitian dalam urusan perdata (disiplin ilmu hukum Islam, khususnya) namun tidak pula bisa diceraikan dari persinggungan kuat dengan disiplin ilmu sejarah, ilmu filsafat dan ilmu politik (kolonial). Pada akhirnya, studi dengan kerangka bacaan kolonialisme dan postkolonialisme—yang pernah diperkuat karakter pikir, laiknya Edwar Said—ini (sementara) harus disudahi.
184
A. KESIMPULAN Kesepatakan umum perlu diketengahkan sebagai hasil penelitian (amatir) ini untuk membuktikan; bahwa studi yang dilakukan dengan segala pengorbanan tidak percuma. Kesepakatan umum itu:
1. Secara arkeologis dan genealogis Dr. Christiaan Snouck Hurgronje merupakan orang yang sangat terdidik dalam Protestan dan akademik (Leiden) serta menguasai siyasah (strategi) berpengetahuan. Sekaligus orang yang sangat terlatih sebagai agen intelejen Belanda untuk melaksanakan tugas mata-mata di Mekah dan Hindia Belanda. Selain itu juga dikonstruksi oleh rasionalisme dan liberalisme Leiden serta dendam Perang Salib atas Islam. Arkeologi dan genealoginya berasal dari pencerahan Eropa, rasionalisme dan modernisme yang sepaket dengan liberalisme dan kolonialisme yang rasis. Modernisme-rasionalisme ataupun liberalisme memang dapat menjadikan peradaban Barat (juga Belanda) maju. Karena hanya dengan konsep-konsep demikianlah mereka bisa bertahan hidup dalam persaingan evolusi (istilah Darwin) peradaban dengan dunia-dunia Timur yang lebih jauh kaya potensi; orang, ilmu, alam, dan sebagainya. Padahal, janji-janji kemajuan (modernisasi) dari Barat itu tak lain ialah mesin penghancur bagi konsolidasi penduduk Nusantara. Konsolidasi itu dipangkas lewat pemikiran-pemikirannya yang modernis-rasionalis-liberalkolonilistik dalam kebijakan pemerintah kolonial. Sedangkan evolusi yang
185
dipraktikkan dalam konteks sosial dan kebudayaan hanyalah cara untuk memunahkan ras kulit berwarna (selain kulit putih Arya).
2. Praktik-praktik diskursus atau wacana atau pemikiran telah dioperasikan Christiaan Snouck Hurgronje dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Operasi rencana-rencana yang mengandung kelicikan itu kita ambil dalam persoalan yang terkait urusan keperdataan masyarakat Muslim Pribumi di Hindia Belanda. Yang dimaksud konsep-konsep kolonialistik pemikiran keperdataan Christiaan Snouck Hurgronje adalah; Pertama, teori resepsi sengaja dibangun dan dibela sekuat tenaga sehingga “menjadi” kerangka idealis yang “paling tepat” untuk pelaksanaan hukum di Hindia Belanda. Teori ini sebenarnya untuk menggulingkan pengaruh hukum Islam. Ketika hukum Islam berhasil dikalahkan oleh hukum adat, maka menurut kepentingan resepsi, hukum adat akan dimatikan dan semua diganti hukum Eropa; Kedua, kebijakan pencatatan pernikahan sengaja diciptakan untuk mengawasi pergerakan perlawanan masyarakat Muslim terhadap penjajah Belanda. Dengan rasionalisasi bahwa yang sah hanyalah pernikahan yang telah dicatat oleh pegawai kolonial (catatan sipil). Sedangkan pernikahan yang sudah sesuai syari’at tapi tidak dilaporkan kepada pegawai penjajah (siri) dianggap tindakan gelap alias pernikahannya tidak sah; Ketiga, pihak yang paling diandalkan untuk kepentingan kolonial adalah pegawai penghulu. Pegawai ini diangkat dan digaji pemerintah jajahan untuk
186
menelusuri langkah-langkah, strategi, dan jejak perlawanan masyarakat Muslim. Misalnya, dengan cara mengaudit penyaluran dana dari kas-kas masjid yang biasa digunakan biaya jihad melawan kafir Belanda. Di situlah penghulu memainkan perannya sebagai informan (agen intelejen) bagi kepentingan kolonial; Keempat, konsep-konsep kolonialistik mengingkari kebenaran ilmiah dan empiris. Dipertontonkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje dalam khayalan ilmiahnya tentang ketidakmungkinkan hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarki) untuk berdamai. Solusinya hanyalah hukum waris adat sedangkan hukum waris Islam harus tunduk. Khayalan ini dirasa ‘benar’ karena dilahirkan oleh seorang ilmuwan ‘otoritatif’. Namun, konsep ini tidak lebih dari konsep kolonialistik untuk menghilangkan peranan hukum Islam di masyarakat kita; Kelima, asas monogami merupakan jebakan hukum bagi masyarakat Muslim Pribumi. Maksudnya, asas ini menghendaki pernikahan hanya monogami saja. Yaitu, pernikahan yang sesuai ajaran Protestan dan Kristen pada umumnya. Padahal, pernikahan Islam masih memberi peluang poligami meskipun dengan pertimbangan yang rumit. Maka, konsep asas monogami ini merupakan kelanjutan dari Kristenisasi dan modernisasi (pem-Barat-an).
3. Christiaan Snouck Hurgronje sudah di alam baka. Namun, konsepsi pemikiran kolonialistiknya dalam persoalan hukum belum ikut terkubur. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 bukan berarti telah merdeka
187
dari mewarisi (menggunakan) konsep-konsep kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje dalam kenyataan hukum di Indonesia. Karena urusan keperdataan Indonesia modern masih mengacu pada hukum perdata warisan jaman kolonial Hindia Belanda. Artinya, Indonesia modern merupakan pihak ke empat yang mewarisi sisa-sisa hukum Eropa. Awalnya Kode Napoleon Perancis dipakai di Belanda (jajahan Perancis) lalu oleh Belanda diterapkan di Hindia Belanda (koloninya Belanda) dan sisa pakai Hindia Belanda dinikmati Indonesia modern. Konsepsi pemikiran kolonialistiknya memiliki tiga pengaruh kuat di Indonesia; pertama, menjadikan Hindia Belanda atau Indonesia (modern) sebagai tempat sampah hukum dunia yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje dari Leiden; kedua, pengaruh kolonialistiknya yang kuat membuat Indonesia gagal menghasilkan sistem hukum yang berdaulat dan merdeka. ketiga, Indonesia menjadi negara hukum yang tak berjati diri karena kediriannya digadaikan pada hukum penjajah Belanda. Entah sampai kapan?
B. SARAN-SARAN Kita, Indonesia, tidak berkeinginan kukuh di dalam perangkap pemikiran kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan keperdataan (masalah keluarga) Muslim, tertutama. Tindakan-tindakan strategis berjangka panjang perlu terus diperjuangkan. Hal-hal yang masih bisa dikembangkan kemudian, seperti:
188
1. Tetap waspada dan awas terhadap pengetahuan atau konsepsi teoritik yang berasal dari luar; baik Barat, Eropa ataupun Timur Tengah, dan sebagainya. Setiap pengetahuan memiliki kepentingannya sendiri. Karena diruntut secara genalogis atau dari kaca mata arkeologi; seperti modernisme, rasionalisme, liberalisme, membawa kepentingan kolonial sebanyak-banyaknya bagi dunia Barat (Belanda). Memang yang ditawarkan dari luar kadang terlalu memukau dan mewah namun belum tentu pas jika diterapkan di Indonesia. Setiap produk keilmuwan memiliki latar belakang sejarah kelahirannya (setting sosio-historis) sendiri-sendiri. Maka, dunia Timur seperti Indonesia, memiliki hak untuk melahirkan pengetahuan atau konsep teoritik dari sejarahnya sendiri; dari masa-masa yang paling lalu sampai kenyataan sekarang, untuk membentuk masa depan sendiri. Di sini ada kedaulatan, kemerdekaan, wibawa, harga diri, jati diri, karakter, dan sebagainya. Daripada hanya sibuk memperbincangkan pengetahuan produk bangsa lain, dan kadang dibelanya dengan darah dan air mata. Tugas menyusun konstruksi pengetahuan sendiri bagi Indonesia memang tidak seperti membalik telapak tangan. Eropa mau merintisnya selama lebih dari seribu tahun hingga mencapai detik-detik perncerahan pada abad ke-16, 17, dan 18. Yakni, dengan cara mempelajari kembali pemikiran leluhurnya yang usang dan pernah ditinggalkan, seperti Anaximenes, Anaximandros, Plato, Aristoteles, dan seterusnya. Padahal sejak abad ke-3 sampai sekitar abad ke-14 Eropa dalam kondisi terpuruk di jaman kegelapan. Keberhasilan pencerahan Eropa itu yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje contohnya.
189
Indonesia perlu memulainya dengan belajar dari pikiran-pikiran masa lalu leluhur bangsa Nusantara yang pada saat ini kadang dijadikan bahan cibiran dan pergunjingan.
2. Masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang peran Christiaan Snouck Hurgronje dalam mengkonsepsi urusan perdata kolonialistik yang masih dipakai di Indonesia modern. Dalam peraturan keluarga, misalnya perkawinan, tidak hanya semata urusan privat yang bebas dari kepentingan kuasa publik. Justru bagi masyarakat Timur, keluarga, bisa menjadi titik pantik yang sangat mempengaruhi kerja-kerja publik. Sehingga ketika kita memperhatikan Christiaan Snouck Hurgronje tidak hanya sebagai seorang politikus (peletak dasar “Islam Politiek’). Namun, dia juga seorang pemikir dalam urusan hukum keluarga yang tidak bisa diremehkan. Pemikiran-pemikaran perdata kolonialistiknya yang telah dioperasikan lewat kebijakan pemerintah Hindia Belanda terbukti efektif melemahkan sendi-sendi perlawanan masyarakat Muslim. Berbeda sekali dengan kebijakan kolonial sebelum kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje yang masih menggunakan strategi militer. Selain boros biaya, hasilnya tidak begitu seberapa. Sedangkan dengan strategi penguasaan urusan keluarga (perdata) Muslim Hindia Belanda efek-efek yang ditimbulkan sangat bisa dirasakan. Sampai sekarang.
190
3. Perlu memproklamasikan bahwa Indonesia merdeka seratus persen dari sistem hukum kolonial Belanda. Ada pun hubungan dialogis atau kompromi dalam bentuk apa pun dengan suatu sistem hukum mana pun dapat dilakukan selanjutnya atas bangsa-bangsa yang sudah berdaulat penuh dalam hukum. Sehingga, masing-masing bangsa berada pada kedudukan setara untuk melakukan kerja sama atau studi banding terhadap sistem hukum tertentu, sistem Belanda misalnya. Karena bangsa-bangsa besar yang berdaulat hingga saat ini diakibatkan mereka berdiri pada sistem hukumnya sendiri yang dikembangkan dari para leluhurnya. Bukan yang mengunyah mentah-mentah sampah-sampah sistem hukum yang dibuang dari Barat, seperti Belanda. Ada pun jika berkehendak mengadakan persinggungan dengan sistem hukum lain (dari luar), yang perlu diambil adalah isi, esensi, dan subtansinya. Dipergunakan hanya yang sesuai dan yang bisa membawa bangsa ini ke arah kemajuan dalam mengurusi masalah-masalah hukum masyarakat yang cepat berubah. Sebaliknya, jika tetap memakai sampah-sampah sistem hukum dari peradaban lain, ditambah meninggalkan khazanah hukum yang diwariskan pada leluhur, maka dipastikan suatu negara tetap pada jurang kehancuran. Indonesia, barang buktinya.
C. PENUTUP Penelitian serius (dan amatir) ini telah mencoba menemukan sesuatu yang tersembunyi dari informasi yang beredar. Terutama, aspek keperdataan yang
191
pernah dioperasikan Dr. Christiaan Snouck Hurgronje sang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik, di Hindia Belanda. Namun, penelitian ini masih sekadarnya. Sumbang saran, kritik, dan ulasan untuk penyempurnaan akan membantu memperkaya khazanah pengetahuan hukum di Indonesia. Ada suatu pepatah, ‘hanya gading palsu yang tak retak’; segala kekeliruan ada pada pertanggungjawaban ilmiah penulis. Semoga yang telah penulis awali tidak berakhir di sini. Wallahul muwafiq illa aqwamitthariq!***
192
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Pustaka Buku Ashcroft, Bill; Gareth Griffiths, & Helen Tiffin, 1989, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures, terj. Fati Soewandi & Agus Mokamat, 2003, Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial, Yogyakarta: Qalam. Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Cet. II, Jakarta: Gremedia Pustaka Utama. Benda, Harry J., 1958, The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945, Den Haag. terj. Daniel Dhakidae, 1980, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta Pusat: Pustaka Jaya. Bungin (ed.), Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Candra, Ar. Adi-Pius Abdillah, 1998, Kamus 1.500.000; Inggris-Indonesia Indonesia Inggris, Surabaya: Arkola. Castle,
Gregory
(ed.),
2001,
Postcolonial
Discourses:
An
Anthology,
Massachusetts: Blackwell. Tjandrasasmita. Depag. RI, 1999, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
193
Drewes, G., 1957, Snouck Hurgronje and the study of Islam, Leiden: UniversityDay Lectures. diakses dari http://www.kitlv-journals.nl Elster, Jon, 1986, An Introduction to Karl Marx, England: Cambridge. terj. Sudarmaji, 2000, Karl Marx: Marxisme-Analisi Kritis, Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitia Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Edisi I, Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Fore, William F., 1999, Para Pembuat Mitos: Injil, Kebudayaan, dan Media, Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Dewan Pekabaran Injil NHK Belanda. Gadamer, Hans-Georg, 1975, Truth and Method, New York: The Seabury Press, terj. Sahidah, Ahmad, 2004, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Galtung, Johan, 2003, Studi Perdamaian; Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya: Eureka. Gandhi, Leela, 1998, Postcolonial Theory A Critical Introduction, Allen & Unwin. terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah, Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Gobee, E. dan C. Adriaanse, 1990, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, Jakarta: INIS. -----------------------, 1990, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
194
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid II, Jakarta: INIS. -----------------------, 1990, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid III, Jakarta: INIS. -----------------------, 1991, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 18891936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV, Jakarta: INIS. -----------------------, 1991, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 18891936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, Jakarta: INIS. -----------------------, 1992, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VI, Jakarta: INIS. -----------------------, 1991, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 18891936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VII, Jakarta: INIS.
195
-----------------------, 1993, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VIII, Jakarta: INIS. -----------------------, 1994, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IX, Jakarta: INIS. -----------------------, 1994, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, Jakarta: INIS. -----------------------, 1995, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi,
Nasihat-nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid XI, Jakarta: INIS. Gramsci, Antonio, 2001, Catatan-Catatan Politik, Surabaya: Pustaka Promethea. Grenz, Stanley J., 1996, A Primer on Postmodernism, Michigan, USA: William B. Eerdmans Publishng Co., terj. Wilson Suwanto, 2001, A Primer on Postmodernism:
Pengantar
Yogyakarta: Yayasan ANDI.
untuk
Memahami
Postmodernisme,
196
Hardiman, F. Budi, 2003,Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. -----------------------, 2004, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gamedia Pustaka Utama. Harinowo, Cyrillus, 2004, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca-IMF, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Heilbroner, Robert L., terj. Boentaran, 1972, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia. Nohlen, Dieter (ed.), 1994, Kamus Dunia Ketiga, Jakarta: Grasindo. Hurgronje, C. Snouck, 1915, The Holy War, Made In Germany, New York and London: The Knickerbocker Press. -----------------------, 1917, The Revolt in Arabia, New York and London: The Knickerbocker Press. -----------------------, 1973, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bratara Karya Asara. -----------------------, 1873, Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya, Jakarta: INIS. -----------------------, Het Mekkaansche Feest, terj. Supardi, 1989, Perayaan Mekah, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, 1995, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I, Jakarta: INIS.
197
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, 1995, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje II, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sultan Maimun, 1995, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje III, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VI, Jakarta: INIS. -----------------------, 1924, Verspreide Geschriften (Gesammelte Schriften), Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, 1993, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, Jakarta: INIS. -----------------------, 1924, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, 1994, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS.
198
-----------------------, 1924, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, 1994, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, Jakarta: INIS. -----------------------, 1924, 4Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, 1994, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, 1999, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XI, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, 1999, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XII, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Del VI, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, A.J. Mangkuwinoto, Rahayu S.H., 2000, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XIII, Jakarta: INIS. -----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Deel VI, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, A.J. Mangkuwinoto, Rahayu S.H., 2000, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XIV, Jakarta: INIS.
199
-----------------------, terj. Budiman S., 1996, Tanah Gayo dan Penduduknya, Jakarta: INIS. -----------------------, 1895, De Atjehers, deel I en II, Landsdrukkerij, Batavia; E.J. Brill, Leiden:, terj. Sutan Maimon, 1997, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, Jakarta: INIS. -----------------------, 2003, Mohammedanism, t.p.: 21 November. -----------------------, 2007, (Translated) J. H. Mohana, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, Leiden: Hotei Publishing. Kartodirdjo, Sartono, 1981, Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. IV, Jakarta: Gramedia. Khuluq, Lathiful, 2002, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam: Biografi C. Snouck Hurgronje, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koningsveld, P.SJ. Van, 1989, Snouck Hurgronje en Islam: Acht artkelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk, terj. Redaksi Girimukti Pasaka, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, Jakarta: PT Girimukti Pasaka. Laffan, Michael, 2005, Finding Java:Muslim nomenclature of insular Southeast Asia from Sriwijaya to Snouck Hurgronje, Singapore: Asia Research Institute.
200
Lechte, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers, New York and London: Routledge. terj. A. Gunawan Admiranto, 2001, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: KANISIUS. Lestari, Evy, 2009, Pengaruh Kolonialisme Belanda terhadap Keharusan Nikah Seagama dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,” Skripsi F.S. IAIN Semarang: tidak diterbitkan. Loomba, Ania, 2000, Colonialism / Postcolonialisme, New York: Routledge. terj. Hartono
Hadikusumo,
2003,
Kolonialisme
/
Pascakolonialisme,
Jogjakarta: Bentang Budaya. Lukito, Ratno, 1998, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS. Masinambow (ed.), E.K.M., 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong, M.A., Dr. Lexy J., 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. VI, Bandung: Rosda Karya. -----------------------, 2004, Metodologi Penelilian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Prof. Dr. H. Noeng, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Cet. II., Yogyakarta: Rake Sarasin. Nainggolan, Poltak Partogi (ed.), 2002, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi.
201
Paulus, S.H., B.P., 1979, Garis-Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda, Bandung: Penerbit Alumni. Pass, Christopher & Bryan Lowes, 1998, Dictionary of Economics, terj. Drs. Tumpal Rumapea, M.A. & Drs. Posman Haloho, M.A., Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi II, Jakarta: Erlangga. Piaget, Jean, 1968, Le Stucturalisme, France: Presses Universitaires de France. terj. Hermoyo, 1995, Strukturalisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka. Raffles, Thomas Stamford, 2008, The History of Java, Jakarta: PT Buku Kita. Rahman, Taufik, 2007, CRS dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: CRS. Raharjo, M. Dawan (ed.), 1987, Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, Jakarta: LP3ES. Rajagopalachari, C., 2002, Ramayana, Bombay: Bharatiya Vidya Bhavan, terj. Saut Pasaribu, Ramayanam Cet. II, Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru. Ratna, SU, Prof. Dr. Nyoman Kutha, 2008, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs, M.C., 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi. Rofiq, M.A., Drs. Ahmad, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, Jakarta: Rajawali Pers. Rosyid, Daud, 2006, Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution, Bandung: Syamil Cipta Media.
202
Said, Edward, 2003, Freud and the Non-European, London: Verso & Freud Museum., terj. L.P. Hok, 2005, Bukan Eropa: Freud dan Politik Indentitas Timur Tengah, Tangerang: Marjin Kiri. Sarup, Madan, 2008, Postrukturalisme & Posmodernisme, Yogyakarta: Jalasutra. Simon, Roger, 2000, Gramsci’s Political Thought, terj. Kamdani & Imam Baihaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Solomon, Robert C. & Kathleen M. Higgins, 1996, A Short History of Philosophy, New York: Oxford University Press. terj. Saut Pasaribu, 2003, Sejarah Filsafat, Cet. II, Jogjakarta: Bentang Budaya. Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan TeknikTeknik Teoritisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas). Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sulistyo, Dr. Bambang, t.t., Dari Dekolonisasi ke Neokolonialisme: Kebijakan Ketenagakerjaan Migas Negara, di Balikpapan Kalimantan Timur, paper di Universitas Hasnuddin Makassar. Suminto, H. Aqib, 1985, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken, Yogyakarta: LP3ES.
203
Sunggono, S.H., MS., Bambang, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. VII, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sunyoto, Agus, 2003-2005, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar, Jilid 1-7, Yogyakarta: LKiS. -----------------------, 2006, Rahuvana Tattwa, Yogyakarta: LKiS. Surayin, 2003, Kamus Umum & Homonim Cina-Indonesia Indonesia-Cina, Bandung: Yrama Widya. Swannell, Julia (ed.), 1987, The Little Oxford Dictionary, New York: Oxford University Press. Teeuw,
A.,
1994,
Kamus
Indonesia
Belanda
Indonesisch-Nederlands
Woordenboek, Jakarta: KITLV-LIPI & Gramedia. Toer, Pramoedya Ananta, 2003, Sang Pemula, Cet. II, Jakata: Lentera Dipantara. Umar, S.E., M.M., MBA, Drs. Husein, 1997, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran, Jakarta: Gramedia. University, Oxford, 2004, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press. Veer, Paul van’t, 1979, De Atjeh-Oorlog, Uitgeverij De Arbeiderspers / Wetenschappelijke Uitgeverij, terj. Grafiti Pers, 1985, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers. Vlorijk, Arnoud and Hans van de Velde (compiled), 2007, Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, Leiden: Leiden University Library. Vredenbregt, J., 1984, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Cet. VI, Jakarta: PT Gramedia.
204
Wahyudi, Ph.D., Yudian, 2007, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, Cet. III, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press. Wignjosoebroto, Soetandyo, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Cet. II., Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. -----------------------,
2002,
Hukum;
Paradigma,
Metode
dan
Dinamika
Masalahnya, Jakarta: ELSAM. Witkam, Jan Just, 2007, The audio-visual dimension, Christiaan Snouck Hurgronje’s documentation of sights and soudns of Arabia, Leiden: Friday 16 February. Yasyin, Drs. Sulchan (ed.), 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah.
2. Pustaka Jurnal dan Majalah Jurnal
Dialog
CSIC,
Imperialisme
Moneter,
dalam
http://jurnal-
ekonomi.org/2004/04/10/ imperialisme-moneter/ (April 10th, 2004). Maarif, Ahmad Syafii, Galtung: Tiga Corak Fundamentalisme, dalam Perspektif, Gatra Nomor 21 (Kamis, 10 April 2008). Machado, Roberto, Kritik Arkeologi Foucault, Majalah BASIS, No. 01-02, Thn. 52, Januari-Februari 2003.
205
Subangun, Emmanuel, 2001, Struktur Ekonomi Kolonial dan Kapitalisme Indonesia Kini, dalam Jurnal Pitutur, Meracik Wacana, Melacak Indonesia, Yogyakarta: Pitutur.
3. Pustaka Artikel dan Berita Website Akhirnya Merdeka Dari Atlas Belanda, dalam http://www.republika.co.id/koran/ 14/29784/ Akhirnya_Merdeka_dari_Atlas _Belanda (Jumat, 06 Februari 2009 pukul 06:19:00) Antonio Gramsci dalam, http://jv.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci. -----------------------, dalam http://arts.anu.edu.au/suarsos/gramsci.htm. Augustaraching, 24 Mei 2008, Snouck Hurgronjehuis, saduran buku Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, dalam WordPress.com (artikel) Di Balik Perang Asia Timur Raya dalamhttp://sejarahperang.wordpress.com/ 2008/09/12/ di-balik-perang-asia-timur-raya/ Frantz Fanon dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Frantz_Fanon Gayatri Chakravorty Spivak dalam http://webdev.ui.ac.id/post/kuliah-umumgayatri-c-spivakid.html?UI=4e9bf235bcd559a0f3243e370857ea9b&UI=4 e9bf235bcd559a0f3243e370857ea9b Hardiman, F. Budi, Merayakan Keterpecahan atau tentang, dalam situs Uni Sosial Demokrat. http://unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=2130
206
&coid=3&caid=22 dari URL Source: http://www.kompas.com/kompascetak/0307/04/opini/407245.htm Jorquera, Roberto, Kuba: Satu Pelajaran Bagaimana Menghancurkan Rasisme, dalam http://indomarxist.tripod.com/0000008.htm. Kolonialisme dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme (terakhir diubah pada 23:00, 2 Februari 2009). Merkantilisme dalam http://id.wikipedia. org/wiki/Merkantilisme (terakhir diubah pada 05:37, 26 Desember 2008). Musawir, Musa, Humanisme Dalam Selayang Pandang, dalam http://islam alternatif.net/iph/content/view/61/1/ (Jumat, 16 Maret 2007). Nkrumah,
Kwami,
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Kwame_Nkrumah#
cite_note-bio-0 (terakhir diubah pada 12:43, 26 April 2009). Pasar & Pasar Bebas, dalam http://insist.or.id/index.php?lang=en&page= angkring&id=2. Peyakin Bumi Bulat dalamhttp://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2008/ 11/081113_ bumibulat.shtml (Diperbaharui pada: 13 November, 2008). Perang Rusia Vs Jepang, dalam http://forum.detik.com/showthread.php?t=61225 Perioda Pendudukan Jepang dalamhttp://swaramuslim.com/ebook/html/013/ index3.php?page=03-03 Sejarah
Teori
Ekonomi
Klasik
dalamhttp://yohanli.wordpress.com/2007/
11/02/sejarah-teori-ekonomi-klasik/. Snouck Hurgronje dan Pemisahan ‘Islam Politik’ saduran dari Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, dalam Labbaik Majalah Islami,
207
http://hidayatullah.com/ modules.php?name=News&file=article&sid=1521 Syamsuddin, Fadli, Selat Makassar Indikator Perubahan Iklim Dunia?, dalam http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/ilpeng/291874.htm (Senin, 05 Mei 2003). Syeirazi, Muhammad Kholid, Reformasi Protestan 1517 dan Benih-Benih Nasionalisme
Modern,
dalam
http://www.jarkom.biz/cara-login/224-
kholid-syeirazi-reformasi-protestan1517. html (Last Updated Friday, 19 December 2008 15:07). Uka,
DR
H,
Manuskrip
Ulama
Nusantara
Dijarah
Penjajah,
dalam
www.Sabili.co.id Wenas, J.H., Identitas Politik di Hindia Belanda, dalam www.sarwono.net, edisi 3 Januari 2005, atau dalam http://www.sarwono.net/artikel.php?id=50 Yogi, Indra, Kejahatan Christian terhadap Islam dan Aceh, disadur dari Dr. Daud Rasyid, MA, Melawan
”Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Konspirasi”,
dalam
www.hidayatullah.com
http:www.scribd.com/doc/3988469/snouck-hurgronje? autodown=doc
atau
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Ttl Alamat
HP/ e-mail
: Arief Muthofifin : Kendal, 15 Februari 1984 : Desa Donosari Rt 04 Rw II Gang Salak No. 17 Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Kode Pos 51351 : 08.17.05.85.4.86/
[email protected]
Pendidikan Formal • SDN 1 Donosari (1990-1996) • SMPN 2 Patebon (1996-1999) • MAN Model Percontohan Kendal (1999-2002) • Workshop Keterampilan Teknik Otomotif (1999-2002) • S.1 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang (2003-2010) Pendidikan Nonformal • Ponpes al-Miftah/ Madrasah Raudlatul Huda Donosari (1990-1996/ nomaden) • Ngaji dengan Ustadz Ustadz Kampung (1990-1999) • Ponpes Raudlatut Thalibin Tugurejo, Tugu-Semarang (2003-2004) Aktivitas Berorganisasi • Ketua Lembaga Karatedo Indonesia (LEMKARI) MAN Kendal (2000-2001) • Pengurus Departemen Kajian di Ponpes Raudlatut Thalibin Tugurejo, TuguSemarang (2003) • Forum Sajian Ilmiah/ FORSI Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang (2003, alm.) • Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang: Pimpinan Umum (PU)/ Pemimpin Redaksi (Pimred) Buletin JustNews (2003), Sekred/ de facto Pimred Majalah JUSTISIA (2004), Penggagas dan Pendiri Majalah LiKSA/ Lingkar Kajian Sastra Justisia (2004), Pimred Majalah JUSTISIA (2005), Wakil PU/ de facto PU LPM Justisia (Desember 2005), PU LPM Justisia (2006 & 2007) sekaligus de facto Pimred Jurnal Justisia (2006), Litbang LPM Justisia (2008-sekarang). • Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo Semarang: Bidang Kajian Keilmuan (2006-2007), Litbang KSMW (2008-sekarang). • Partai Pembaharuan Mahasiswa/ PPM IAIN Walisongo Semarang (2003-2006). • Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM): DPM Fakultas Syari’ah Komisi A Bidang Advokasi Akademik Mahasiswa (2004-2005), DPM IAIN Walisongo Komisi C Bidang Advokasi Mahasiswa (2007-2008). • Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Pimred Salib/ Syari’ah Liberal (2004-2005) PR PMII Syari’ah, Bidang Kajian dan Penerbitan PK PMII
Walisongo (2006-2007), Ketua I PC PMII KOTA SEMARANG/ Bidang Internal, Pengembangan SDM dan Pengetahuan (2008-2009). • Ikatan Pemuda/ Pelajar Nahdlatul Ulama (Ranting-PW): Pendiri/ Pimred Majalah Manhaj al-fikr dan AstraNawa PC IPNU Kabupaten Kendal (20072009), Wakil PU Majalah Risalah Nusa PW IPNU Jawa Tengah (2006-2009). • Ketua Bidang Diklat dan Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang (2008-2010). Event yang Pernah Diikuti • The Best Pemakalah Ilmiah Mahasiswa se-Jawa Tengah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga (2005) • Pemakalah Mahasiswa di Annual Conference on Islamic Studies Departemen Agama RI-Bandung (2006) • Pemakalah Mahasiswa di Annual Conference on Islamic Studies Departemen Agama RI-Pekan Baru Riau (2007) • Pemakalah Mahasiswa PIONER PTAI se-Indonesia di Pontianak-Kalimantan Barat (2007) Aktivitas Menulis Kontributor buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan: Pergulatan Pemikiran Anak-Anak Muda Semarang (2006), LPM Justisia, SUARA MERDEKA, WAWASAN, INSPIRASI (Majalah Gereja Katedral Jateng), Pontianak Post, Jawa Pos, KOMPAS, Buletin At-Taharruriyyah, NU Online, dll.
Semarang, 07 Juni 2010 Penyusun,
Arief Muthofifin NIM 032111139