MENGGUNAKAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENGATASI KEJAHATAN KEHUTANAN 1 Oleh: Garda T. Paripurna & Natsir Kongah
Pengantar
B
elum lama nasib buruk mengalami Riggs National Corp, sebuah bank besar pemilik asset sebanyak U$ 6.37 miliar. Bank yang didirikan tahun 1836, dengan jumlah karyawan 14502 itu didenda oleh Bank Sentral Amerika sebanyak U$ 25 juta karena tidak melaporkan laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana ketentuan Bank Secrecy Act Amerika.3
Tak hanya itu, rentetan kesialan terus menimpa Bank yang berkantor pusat di 1503 Pennyslvania Ave. NV Washington DC 20005. Bank yang memiliki 48 kantor cabang yang dibangun secara perlahan selama 178 tahun itu mengalami penurunan harga saham yang cukup signifikan dari harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir $ 17.65 per saham, anjlok keangka $15.31 persaham4. Selanjutnya, kursi empuk President Riggs National Corp. yang diduduki oleh Timothy C.Coughlin sejak tahun 1992 dan kariernya selama 21 tahun di Riggs terpaksa harus dicopot. Kasus ini sebuah gambaran betapa efektifnya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU) dapat digunakan dan betapa rentannya Penyedia Jasa Keuangan (PJK), khususnya dunia perbankan bila tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer) yang merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian untuk dapat menghindarkan PJK dari risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi. Resiko reputasi tergambar cukup jelas dari apa yang dialami oleh bank yang pernah mencatat rekapitulasi pasar sebanyak $ 468.29 juta ini dengan turunnya harga saham. Resiko reputasi merupakan potensi adanya publisitas negatif mengenai kegiatan usaha PJK yang dapat 1 . Makalah disampaikan pada Diskusi “Menggunakan UU Anti Pencucian Uang Untuk Mengatasi Kejahatan Kehutanan di Riau” pada tanggal 9 Juni 2004, di Pekanbaru – Riau. 2
. Riggs National Corp, www.riggsbank.com, didownload pada tanggal 1 Juni 2004
3
. Kathleen Day, “Riggs May Be Fined More Than $ 25 Million, Penalty Related to Bank Secrecy Act” 28 April 2004. http:www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A47866-2004Apr27.html 4 . Kathleen Day dan Terence O’Hara, “Riggs Starts Exploring Possible Sale, President of Bank’s Parent Firm to Resign” 28 Mei 2004. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A61810-2004May27.html?referrer=email, didownloan pada tanggal 1 Juni 2004.
1
menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap PJK yang bersangkutan. Risiko ini merupakan ancaman utama bagi bank, karena karakterisktik bisnis bank dalam hal ini sangat memerlukan kepercayaan masyarakat dan pasar pada umumnya. Sedangkan resiko operasional adalah risiko kerugian karena kegagalan resiko proses internal, manusia dan sistem atau faktor eksternal.
UU TPPU dan Kejahatan Kehutanan Undang – Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003 (UU TPPU) sebagaimana diatur didalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Hasil Tindak Pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang asuransi; narkotika; psikotrapika; perdagangan manusia; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan; atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Hasil tindak pidana di bidang kehutanan cukup banyak terjadi di Indonesia, dan hal ini telah lama menjadi pergunjingan dan bahan telaah oleh masyarakat – termasuk masyarakat internasional. Aktifitas illegal logging misalnya, sebagai salah satu tindak pidana kejahatan di bidang kehutanan yang begitu menonjol dan mengundang perhatian banyak orang. Mengundang perhatian, karena dampak yang ditimbulkannya begitu besar, baik dari aspek lingkungan itu sendiri maupun kerugian secara ekonomis yang dialami oleh negara. Pemerintah Indonesia telah dirugikan paling tidak Rp. 9 triliun atau U$ 1 miliar pertahun, bahkan beberapa perkiraan menyebutkan kerugian akibat pembalakan liar mencapai U$ 3,4 miliar (Setiono, 2003). UU TPPU ini dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum sebagai alas berpijak untuk menjerat para pelaku, khususnya para aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Lewat pendekatan ini, tidak hanya secara phisik para pelaku dapat dideteksi, tapi juga harta kekayaan dari hasil-hasil kegiatan illegal logging dapat di trasir. Didalam konsep tindak pidana pencucian uang, hal yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, dengan alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan beresiko. Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku akan lebih mudah dengan mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan ini dikejar, dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi tindak kejahatan itu sendiri5. 5 . Bandingkan dengan Robert E.Powis, The Money Launderers, (Singapore : Probus Publishing Co., 1992) sebagaimana dikutip oleh Hikmahanto Juwana dalam makalahnya, “ Beberapa Aspek Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang” disebutkan pada awalnya pencucian uang dikenal di negara-negara industri seperti Amerika Serikat (AS). Pada saat itu uang hasil dari tindak kejahatan seperti bandar narkoba, prostitusi, perjudian dan lain sebagainya yang disebut sebagai predicate crime dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mudah untuk dilacak dan ditentukan bahwa uang tersebut merupakan hasil kejahatan. Pemerintah AS mengambil tindakan tegas melalui pembentukan UU Bank Secrecy Act terhadap pelaku pencuci uang profesional dengan tiga harapan. Pertama, dengan mengundangkan peraturan yang terkait dengan larangan pencucian uang maka para pencuci uang profesional atau lembaga-lembaga yang mewadahinya akan dapat dikenakan sanksi hukum pidana. Kedua, bagaimana uang hasil kejahatan dapat dilacak yang kemudian dapat dirampas oleh negara. Ketiga, agar uang dari hasil kejahatan tidak terus berkembang biak dan memberikan keuntungan
2
Pengertian dan Pola Pencucian Uang Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah. UU TPPU memberi tugas kepada PPATK (pasal 26 dan pasal 27) antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menghimpun, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh dari penyedia jasa keuangan; membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan; memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai informasi yang diperoleh sesuai ketentuan UU TPPU; memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan; membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Sedangkan kewenangan PPATK, antara lain : meminta dan menerima laporan dari PJK; meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate offences). Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang, PPATK menerima laporan, yaitu : a. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (pasal 1 angka 6 dan pasal 13 UU TPPU), b. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (pasal 13 UU TPPU)
bagi pemiliknya (yang mungkin digunakan untuk mendanai kegiatan kejahatan juga, seperti terorisme), dan diharapkan dapat mempersempit penggunaan uang dimaksud.
3
c. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (pasal 16). Disamping itu, menurut Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Laporan butir a dan c, terutama dimaksudkan untuk mendeteksi proses placement pada perbuatan pencucian uang, sementara laporan butir b terutama dimaksudkan untuk mendeteksi proses layering. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa, (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporannya kepada pihak Penyidik dan Penuntut (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK menjalin kerjasama dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan Financial Intteligence Unit (FIU) dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain. Di dalam praktek saat ini berdasarkan kewenangan yang tertuang di dalam Keppres No. 82 Tahun 2003, PPATK dapat pula menerima informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.
Kewajiban PJK Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, di wajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan maupun transaksi keuangan tunai sebagaimana yang disinggung sebelumnya. PJK juga diingatkan untuk benar-benar melaksanakan prinsip mengenal nasabah dan berhati – hati melakukan hubungan dengan individu maupun badan usaha yang memiliki indikasi melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Himbauan yang sama sebenarnya juga telah di lakukan oleh International Monetary Fund (IMF), World Bank dan negara – negara pemberi pinjaman bilateral yang sejauh ini telah memanfaatkan pengaruh kuatnya untuk dapat memberlakukan audit terhadap perusahaan kayu, pembukaan konsesi baru, dan perubahan tata pemerintahan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara umum, dan sektor kehutanan secara khusus. 6 Sanksi pidana bagi PJK yang tidak melaksanakan ketentuan diatas dalam Pasal 6 diatur secara jelas : Setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Sanksi pidana bagi PJK juga diatur dalam Pasal 8 UU TPPU dengan ketentuan PJK yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),di pidana dengan pidana denda paling
6 . “Factsheet : IMF and the Environment”; “Review of the Fund’s Experience in Governance Issues,” IMF Policy Development and Review Department, 28 Maret 2001. http://www.imf.org/external /np/gov/2001/report.htm.
4
sedikit Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Jumlah ini memang tidak sebanding dengan sanksi yang di jatuhkan terhadap Riggs National Corp. sebanyak $ 25 juta oleh Bank Sentral Amerika dan perbankan nasional sejauh ini belum ada menerima sanksi pidana sesuai dengan UU TPPU. Tapi percayalah, bila hal ini tidak diterapkan – sanksi itu akan dijatuhkan.***
5