Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
MENGGALI MUTIARA PAPUA DI PULAU DEWATA (SURVEI DAMPAK KEBIJAKAN AFIRMASI PENDIDIKAN TINGGI DI DUA UNIVERSITAS NEGERI DI PROVINSI BALI TAHUN 2014 oleh: Ardian Bakhtiar Rivai Program Studi PPKn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ABSTRACT This study aims to address the problem of non-optimal results affirmation of Papua students' academic achievement in public universities in Bali. This study uses a case study design, justified by questionnaire. Research subjects involving 36 students in Udayana University and 15 students in Ganesha University of Education. The study concluded that there are two factors that affect to affirmations Papua students' academic achievement. First, individual factors, namely, the prospective student academic achievement, expectations, adaptability, comfort motivation, preparation of learning and student effort in achieving learning outcomes. Secondly, environmental factors, namely, procedures, services, relationships among students, faculty treatment, and treatment of college education personnel affirmation higher education providers. Keywords: Affirmative Action, Higher Education, Bali.
Pendahuluan Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Papua, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah melaksanakan sebuah program yang disebut sebagai afirmasi pendidikan tinggi (Adik). Tujuan utama dari pelaksanaan program afirmasi pendidikan tinggi adalah pemerintah mampu meningkatkan kualitas sumber daya generasi muda Papua yang terdidik dan kompetitif. Dalam kaitanya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia terdidik, maka salah satu bentuknya adalah dengan menghasilkan sarjana-sarjana dari Papua yang memiliki kemampuan akademik yang setara dengan sarjana lainya di Indonesia. Pada kenyataanya di lapangan, program afirmasi pendidikan tinggi ini ternyata belum secara maksimal memberikan dampak terhadap kualitas capaian akademik mahasiswa Papua di universitas penyelenggara program afirmasi pendidikan tinggi. Terdapat banyak mahasiswa Papua yang capaian prestasi akademiknya masuk dalam kategori sangat kurang dan kurang. Sehingga, kenyataan ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “kesenjangan akademik” antara mahasiswa afirmasi Papua dengan mahasiswa reguler pada umumnya. Masalah yang kemudian muncul adalah mengapa mahasiswa afirmasi Papua belum mampu bersaing secara akademik dengan mahasiswa reguler, khususnya di universitas negeri di Bali. Studi ini hadir untuk menjawab permasalahan tersebut dengan membawa misi untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesuksesan capaian akademik mahasiswa afirmasi Papua dalam rangka meraih prestasi akademik yang optimal. Pada prinsipnya, bahwa masalah tentang capaian akademik mahasiswa afirmasi di Bali dapat dirumuskan dalam dua faktor. Pertama faktor individu atau internal mahasiswa, menurut McCormick dkk (2013) dalam memahami keberhasilan capaian akademik mahasiswa dalam kondisi yang terafirmasi, faktor individu mencakup beberapa hal, yaitu motivasi, usaha, dan
37
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
persiapan diri dalam menyambut proses perkuliahan. Faktor yang kedua, yaitu faktor eksternal atau lingkungan belajar mahasiswa. Masih menurut pemaparan McCormick dkk (2013), dijelaskan bahwa selain dukungan faktor internal individu mahasiswa afirmasi dalam berikhtiar mencapai hasil akademik yang optimal, juga dipengaruhi hal-hal seperti, hubungan vertikal dan horisontal mahasiswa afirmasi, dukungan fasilitas oleh universitas, serta yang terpenting juga layanan universitas yang optimal. Konsep berfikir McCormick dkk (2013) tentang apa yang mereka sebut sebagai quality of effort dan academic social integration menjadi bahan acuan bagi saya untuk menafsirkan afirmasi pendidikan tinggi di Bali saat ini menjadi sebuah proses yang berkesinambungan. Ukuran capaian akademik mahasiswa tidak saja hanya bisa diukur dari indeks prestasi kumulatif mereka selama studi, tetapi lebih daripada itu, McCormick dkk (2013) mensyaratkan bahwa capaian program afirmasi dampaknya berlaku dalam jangka waktu yang sangat panjang. Sehingga saya harus menyadari bahwa penelitian ini hanya mampu sebatas menangkap capaian mahasiswa afirmasi dalam jangka waktu yang sangat singkat dan dalam konteks yang sangat sempit. Sesungguhnya pemerintah telah lama menyadari bahwa kondisi pendidikan tinggi Papua relatif tidak setara dengan lulusan-lulusan lain di Indonesia. Argumen ini didukung oleh Data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Nizam, 2013) yang menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar pendidikan tinggi Papua hanya sebesar 18,4%. Kondisi ini sekaligus menjelaskan apa yang disebut sebagai “anomali pembangunan”. Tingginya produk domestik bruto (PDB) Papua tahun 2010 yang mencapai 31,57 juta per kapita (dalam Nizam, 2013) tidak serta merta berjalan beriringan terhadap peningkatan APK di Papua. Studi ini penting dilakuan karena dalam rangka ikhtiar menjawab keprihatinan kondisi sumber daya manusia di Papua, maka salah satu bentuk solusinya adalah dengan meningkatkan apa yang disebut sebagai angka partisipasi kasar pendidikan tinggi Papua. Angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Papua relatif lebih rendah daripada rata-rata APK nasional, sehingga sangat berpengaruh signifikan terhadap rendahnya Index Pembangunan Manusia (IPM) yang pada tahun 2011 hanya sebesar 64,94 atau peringkat terakhir di seluruh Indonesia (Bappenas, 2012). Alasan lain yang menjadi pendukung adanya kebijakan afirmasi pendidikan tinggi Kemdikbud adalah kondisi pendidikan tinggi di Papua yang saat ini masih sangat jauh tertinggal. Baik itu dari sisi akreditasi, program studi, dan kualitas dosen. Pada tahun 2012, dari 127 program studi yang ada di Propinsi Papua, 74 program studi (58,2%) nya belum terakreditasi, dan 7 program studi sisanya telah habis masa akreditasinya (Kompas, 2013). Kondisi yang demikian ini semakin diperparah oleh sebagian besar program studi yang sudah diakreditasi nilainya masi C. sehingga sangat kecil peluang untuk membangun kualitas sumber daya manusia yang maksimal. Dari aspek dosen, ketertinggalan pendidikan tinggi di Papua terlihat dari jumlah dosen yang masih bergelar S1 sebesar 70% (2.480 orang) dari total 3.547 orang dosen. Yang sudah bergelar S2 hanya 28% (979 orang), dan yang bergelar S3 baru 1% atau 47 orang (Kompas, 2013). Parahnya tentang kondisi pendidikan tinggi Papua saat ini akan semakin mengkhawatirkan apabila dibandingkan dengan UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengamanatkan kewajiban Dosen untuk bergelar minimal S2. Sehingga, rendahnya kualitas dan mutu pendidikan tinggi di Papua mengharuskan adanya campur tangan pemerintah untuk melahirkan apa yang disebut sebagai kebijakan afirmasi ini. Atas dasar keprihatinan tersebut, maka sangat relevan jika UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan adanya program afirmasi sebagai cara untuk mendorong akses pendidikan yang lebih luas kepada pemuda usia produktif yang berasal dari Papua. Program Afirmasi Pendidikan Tinggi merupakan kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti, Kemdikbud) dengan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
38
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
Tinjauan Pustaka Mewacanakan affirmative action di pendidikan tinggi, menghadapkan kita kepada diskursus tentang penerapan kebijakan afirmasi dalam sistem penerimaan (admission) di instansi pendidikan tinggi. Secara umum terdapat dua mazhab tentang sistem penerimaan (admission) pendidikan tinggi. McGhee (2003) mematakan mazhab yang dianut instansi pendidikan tinggi menjadi dua kelompok besar, yaitu mazhab elitism dan mereka yang menganut mazhab diversity (keberagaman). Tampaknya, pemetaan yang dilakukan oleh McGhee (2003) tersebut sangat relevan saya gunakan untuk membaca peta mazhab sistem kebijakan admisi di institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Pertama, mazhab elitisme yang menganggap bahwa universitas harus merekrut mahasiswa berkualitas, individu yang kuat, sebagai instrumen untuk menguatkan institusi pendidikan tinggi (Bigalke & Neubauer, 2009). Dalam pandangan mazhab ini, mahasiswa dianggap sebagai bentuk komoditi pendidikan tinggi untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar. Sehingga, mazhab ini mensyaratkan adanya pendidikan tinggi yang terorganisir, merekrut personal yang tangguh, mudah dikelola, bernilai untuk dipromosikan, dan disukai oleh pasar (Bigalke & Neubauer, 2009). Menurut pandangan mazhab elitisme, universitas menjadi semacam tempat bertemunya sumber daya manusia yang hebat, berkualitas, dan memiliki daya saing tinggi. Sehingga, dengan adanya input sumber daya manusia berkualitas, maka pada prosesnya, akan terbangun semacam kompetisi sumber daya yang berkualitas yang bisa menghasilkan output lulusan yang berkualitas tinggi pula. Penekanan utama mazhab ini adalah adanya capaian kualitas terbaik dari sebuah universitas. Adanya dukungan infrastruktur yang modern dan mendukung proses pendidikan tinggi yang berkompetisi menuju puncak tertinggi capaian akademis. Mazhab ini relatif lebih mengabaikan adanya pertimbangan kesetaraan ras minoritas yang terbelakang dalam hal kualitas sumber daya nya. Karena, menurut pandangan ini, mereka yang tidak memenuhi kriteria minimum kualitas akademik hanya akan menghambat proses perkembangan universitas dalam kompetisi global. Sehingga, hanya mereka yang kuatlah yang bisa menjadi bagian kompetisi di sebuah instansi pendidikan tinggi. Kedua, mazhab diversity, yang menganggap bahwa institusi pendidikan tinggi merupakan tempat untuk mengembangkan minat dan bakat dengan mengabaikan latar belakang struktur sosial dan ekonomi (Haydon, 2010). Mazhab ini mensyaratkan adanya intervensi pemerintah untuk mendorong dan membuka peluang bagi individu yang kurang mampu secara ekonomi atau kelompok minoritas yang kesulitan menjangkau akses pendidikan tinggi. Mazhab keberagaman menganggap bahwa institusi pendidikan tinggi adalah ruang tempat berkreasi, tempat untuk mengembangkan ide dan gagasan semua individu tanpa menghiraukan latar belakang personalnya. Haydon (2010) menjelaskan bahwa basis konsep mazhab ini sesungguhnya sangat dekat dengan apa yang disebut sebagai konsep meritokrasi, konsep yang mengharuskan adanya apa yang disebut sebagai “educational equality”. Universitas harus menampilkan adanya banyak variasi individu sebagai bentuk kesetaraan pendidikan, baik itu dari segi ras, agama, budaya, ekonomi dan sosial. Sehingga, kelompokkelompok ras atau ekonomi kurang beruntung bisa juga menerima pendidikan seperti layaknya kelompok ekonomi atas yang memang sudah bisa survive secara mandiri tanpa adanya dukungan negara. Menurut pandangan konsep meritokrasi, institusi pendidikan tinggi merupakan tempat untuk berproses bagi mereka kelompok ras minoritas untuk dididik sebagai output lulusan yang baik. Logika meritokrasi merupakan antitesis dari pandangan mazhab elitisme atau para pemikir neo-liberal, jika menurut mazhab elitisme universitas diharuskan merekrut mahasiswa berkualitas tinggi. Maka menurut pandangan mazhab diversity (keberagaman), universitas justru harus merekrut mahasiswa berkualitas rendah dari kelompok-kelompok terbelakang untuk diproses sebagai lulusan yang berkualitas baik. Meski, harus secara jujur diakui, bahwa tentu saja kualitas lulusan yang dihasilkan akan memiliki perbedaan yang sangat jauh. Selain karena faktor input yang memang jelas berbeda, faktor proses juga menjadi bagian dari konsekuensi adanya
39
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
pemahaman tentang mazhab meritokrasi ini. Dalam diskursus antara mazhab eltisme dan mazhab keberagaman, studi ini memposisikan diri untuk menganut faham keberagaman sebagai landasan untuk membangun tesis bahwa kebijakan afirmasi pendidikan tinggi Kemdikbud merupakan cara yang tepat dalam rangka membuka akses pendidikan tinggi mahasiswa asli Papua. Keprihatinan saya tentang rendahnya index pembangunan manusia Papua, dan jeratan rantai keminskinan yang sudah lama mengikat masyarakat Papua di alam yang kaya raya, menjadikan itu sebagai alasan utama, mengapa saya harus mengangkat topik ini. Terlepas dari perdebatan antara mazhab elitisme dan mazhab keberagaman, saya mencoba membangun argumen bahwa salah satu cara yang paling tepat untuk membuka akses pendidikan tinggi untuk Papua adalah dengan memberikan kemudahan dan dorongan untuk masuk dalam universitas negri berkualitas. Samuel dan William (2002) menjelaskan bahwa akses menuju pendidikan tinggi merupakan satu dari banyak dambaan masyarakat saat ini. Atas dasar itu, diperlukan proteksi kesetaraan dari ras, entis, dan jenis kelamin dalam sistem admisi di universitas. Sejarahnya, affirmative action ini pertama kali dideklarasikan pada tahun 1964 dalam “Title VI of The Civil Rights act” yang bertujuan untuk mengembangkan kepemimpinan antar rasial untuk masa depan masyarakat sipil yang lebih baik (Samuel dan William, 2002). Realitas pendidikan tinggi saat ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi masih didominasi oleh kota-kota besar saja. Sehingga memunculkan apa yang disebut oleh Haydon (2010) sebagai “inequality eduaction”. Kondisi dimana partisipasi pendidikan tinggi hanya didominasi oleh mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas, yang secara fasilitas dan infrastruktur pendidikan sudah sangat mendukung. Terlebih lagi adanya kemudahan dukungan informasi dan teknologi di perkotaan yang semakin menciptakan adanya ketimpangan sosial antara mereka yang berada di kota besar dengan mereka yang berada di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tujuan Penelitian Dalam rangka menjawab permasalahan tentang disparitas antara harapan dan kenyataan implementasi program afirmasi pendidikan tinggi studi kasus di Bali. Studi ini bertujuan untuk melihat kondisi afirmasi pendidian tinggi di Bali dan sekaligus mengemban misi dalam bentuk penjelasan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi capaian prestasi akademik mahasiswa Papua dalam implementasi program afirmasi pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri di Provinsi Bali. Pada akhirnya, penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak diimplementasikanya program afirmasi pendidikan tinggi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Metodologi Penelitian ini dilakukan di Universitas Pendidikan Ganesha dan Universitas Udayana. Universitas Pendidikan Ganesha merupakan salah satu pelaksana program afirmasi pendidikan tinggi di Kabupaten Buleleng, sedangkan Universitas Udayana berlokasi di Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang ditunjuk oleh Kementrian Pendidikan & Kebudayaan.Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik survei dan untuk menjastifikasi kondisi afirmasi di perguruan tinggi negeri di Bali digunakan teknik analisis statistik deskriptif. Penelitian ini melibatkan tiga elemen penelitian, yaitu Admisi, Lingkungan Belajar, dan Capaian Prestasi Akademik. Dalam penelitian ini sistem penerimaan mahasiswa (admission) untuk mahasiswa afirmasi pendidikan tinggi di Provinsi Bali adalah tata cara maupun sistem kemudahan yang digunakan oleh panitia penerimaan mahasiswa baru (admisi) di Universitas Pendidikan Ganesha dan Universitas Udayana untuk melakukan kebijakan afirmasi pendidikan tinggi bagi calon mahasiswa yang berasal dari Papua. Untuk memahami bagaimana admisi afirmasi ini diimplementasikan, digunakan dua faktor sebagai basis analisisnya. Pertama faktor individu mahasiswa yang mencakup prestasi akdemik saat SMA dan ekspektasi mahasiswa saat mengikuti program afirmasi pendidikan tinggi. kedua, faktor lingkungan yang menjelaskan tentang prosedur pendaftaran afirmasi pendidikan tinggi di Bali, dan layanan birokrasi universitas penyelenggara afirmasi di Bali kepada mahasiswa Papua.
40
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN SSN 2460-1802 2460
Pembahasan Sebagai salah satu indikator ukuran untuk menghitung bagaimana ba gaimana capaian mahasiswa afirmasi pendidikan tinggi di Bali. Maka pengetahuan mahasiswa yang saya jadikan acuan di studi ini adalah dengan mengetahui bagaimana capaian indeks prestasi mahasiswa semester dan kumulatif mahasiswa. Karena, capaian mahasiswa yang yang paling kongkrit diwujudkan adalah dengan mengetahui bagaimana prestasi mahasiswa di perkuliahan. Berdasarkan hasil sensus, ditemukan bahwa 41% mahasiswa mencapai IP semester termasuk dalam kategori amat kurang. Sedangkan 16% masu dalam kategori kurang, 39% termasuk dalam kategori cukup, 2% masuk ategori baik, dan sisanya, 2% termasuk dalam kategori sangat baik. Untuk IP kumulatif, mahasiswa yang termasuk dalam kategori amat kurang sebanyak 37%, 24% termasuk dalam kategori kurang, 35% dalam kategori cuku cukup, dan sisanya 2% dalam kategori baik, dan 2% kategori sangat baik. 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 0,1-1 1 (Amat Kurang)
1,1-2 (Kurang)
2,1-2,9 (Cukup)
3,0-3,5 (Baik)
IP Semester
41%
16%
39%
2%
3,6-4,0 (Sangat Baik) 2%
IP Kumulatif
37%
24%
35%
2%
2%
Gambar 1 Indeks Prestasi Mahasiswa Afirmasi Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, di mana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya (Noto (Notoadmodjo, 2007). Tingkat Pengetahuan Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan mempunyai 6 tingkat sebagai berikut, pertama, Tahu (Know). Tahu dalam tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari di pelajari atau rangsangan yang telah di terima. Kedua, Memahami (Comprehention Comprehention). ). Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan di mana dapat menginterprestasikan secara benar. Ketiga, Ketig Aplikasi (Application). ). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi sebenarnya. Keempat, Analisis (Analysis). ( ). Adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek kedalam alam komponen-komponen komponen komponen tetapi masih didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kelima, Sintesis (Syntesis). ( ). Menunjukkan pada suatu kemampuan dalam melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian bagian bagian didalam suatu keseluruhan yang baru. Keenam, Evaluasi (Evaluation). ( ). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, untuk mengetahui atau untuk mengenali) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan ilmu,
41
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
dan mengubah kecenderungan (Notoatmodjo, 2007). Kognisi juga mengacu pada suatu lingkup fungsi otak tingkat tinggi, termasuk kemampuan belajar dan mengingat; mengatur merencana dan memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan perhatian seperlunya; memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami lingkungan, dan melakukan perhitungan. Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor. Setiap aspek ini sendiri adalah kompleks. Bahkan, memori sendiri meliputi proses encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan menjadi ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory. Perhatian dapat secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan persepsi meliputi beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir, dan lain-lain. Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk berpikir. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (2011) bahwa kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Jadi proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar. Perkembangan kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah berpikir. Menurut Syaodih dan Agustin (2008) perkembangan kognitif menyangkut perkembangan berpikir dan bagaimana kegiatan berpikir itu bekerja. Dalam kehidupannya, mungkin saja anak dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut adanya pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan anak perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya. Husdarta dan Nurlan (2010) berpendapat bahwa perkembangan kognitif adalah suatu proses menerus, namun hasilnya tidak merupakan sambungan (kelanjutan) dari hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya. Hasil-hasil tersebut berbeda secara kualitatif antara yang satu dengan yang lain. Anak akan melewati tahapan-tahapan perkembangan kognitif atau periode perkembangan. Setiap periode perkembangan, anak berusaha mencari keseimbangan antara struktur kognitifnya dengan pengalaman-pengalaman baru. Ketidakseimbangan memerlukan pengakomodasian baru serta merupakan transformasi keperiode berikutnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berpikir. Perkembangan kognitif dimaksudkan agar anak mampu melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar melalui panca inderanya sehingga dengan pengetahuan yang didapatkannya tersebut anak dapat melangsungkan hidupnya. Kesimpulan Pada hakikatnya untuk menjawab tentang ketercapaian prestasi akademik mahasiswa sebagai dampak kebijakan afirmasi Papua di perguruan tinggi negeri Bali yang belum optimal, dapat dijelaskan dalam dua faktor. Pertama faktor individu, terkait bagaimana input mahasiswa afirmasi yang dijelaskan dengan prestasi mereka saat sma, ekspektasi saat akan melaksanakan program afirmasi. Di sisi lain, faktor individu juga bisa menjelaskan bagaimana adaptasi mahasiswa dalam lingkungan baru mereka di Bali. Untuk mendukung adaptasi, kenyamanan mereka untuk melaksanakan studi di Bali juga menjadi pertimbangan terhadap motivasi mereka selama menempuh jenjang pendidikan tinggi. Ketika mereka memutuskan untuk melanjutan studi jenjang sarjana pada program afirmasi pendidikan tinggi, maka secara tidak langsung juga menunjukkan bagaimana motivasi mereka dalam mengemban misi peningkatan kualitas diri mereka dalam hal akademik. Sehingga, penting juga melihat bahwa usaha mereka dalam memperispakan perkuliahan. Pada prinsipnya, faktor
42
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
internal individu mahasiswa afirmasi ini tidak serta merta bisa digunakan untuk menjastifikasi capaian prestasi akademik mahasiswa afirmasi. Namun, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan faktor yang kedua, yakni faktor lingkungan di luar faktor-faktor internal mahasiswa afirmasi Papua. Faktor kedua, yakni faktor lingkungan. Adanya layanan prosedur dalam proses pendaftaran mahasiswa afirmasi Papua di Bali juga sangat menjadi pedoman bagaimana kelak hasil output lulusan program afirmasi pendidikan tinggi ini. Selain juga tentang bagaimana layanan birokrasi universitas dalam mengahadapi mahasiswa afirmasi Papua yang secara alamiah tentu memiliki habituasi yang berbeda dengan kehidupan birokrasi di universitas di Bali. Sehingga, sampai pada kesimpulan bahwa untuk menjawab belum optimalnya capaian akademik mahasiswa afirmasi Papua di Bali haruslah digunakan perspektif yang menyeluruh. Tidak bisa hanya menjastifikasinya hanya dengan bagaiaman kualitas inputnya atau hanya dengan bentuk prosesnya di universitas. Namun, lebih daripada itu, bahwa capaian akademik yang digambarkan dalam studi ini hanyalah bentuk capaian akademik jangka pendek saja. Karena spirit tujuan capaian afirmasi pendidikan tinggi yang sesungguhnya hanya tampak dalam jangka waktu yang sangat panjang. Saat ketika mereka telah lulus sarjana, dan kembali ke kampung mereka untuk membangun dan mengambangkan Papua. Tujuan capaian program afirmasi pendidikan tinggi tidaklah kasat mata, tidak juga dapat dirasakan dampaknya secara langsung. Karena perihal yang paling hakiki dari program afirmasi pendidikan tinggi ini adalah bagaimana program afirmasi bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia di Papua.
Daftar Pustaka As’ad, Muhammad. 2004. Perilaku Organisasi. Bumi Aksara. Jakarta Azwar, Saifuddin. 2005. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bappenas. 2012. Pembangunan Daerah Dalam Angka 2012. Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Bigalke, Terance W. & Neubauer, Deane E. 2009. Quality and the Public Good: An Inseparable Linkage. Dalam Higher education in Asia/Pacific: quality and the public good. Edited by Terance W. Bigalke and Deane E. Neubauer. Palgrave Macmillan. New York. Danim, Sudarwan. 2004. Motivasi, Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Rineka Cipta. Jakarta Gallaher, Eboni M. Zamani. Green, Denise O’Neil. Brown II, M Christopher. & Stovall, David O. 2009. The Case for Affirmative action on Campus: Concepts of Equity, Considerations for Practice. Stylus Publishing. Virginia. Grin, John. & Loeber, Anne. 2007. Theories of Policy Learning: Agency, Structure, and Change. Dalam Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods. Edited by: Frank Fischer, Gerald J. Miller, mara S. Sidney. CRC Press Taylor & Francis Group. New York. Haydon, Graham. 2010. Meritocracy. Dalam Educational Equality. edited by Graham Haydon. Continuum International Publishing Group. London. Husdarta. & Nurlan, Kusmaedi. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik. Alfabeta. Bandung. Johnson, David W. and Roger T. Johnson. 1984. Cooperation in the Classroom. A publication Interaction Book Company. Minnesota. Manullang. 1991. Pengembangan Motivasi Berprestasi. Pusat Produktivitas Nasional. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Jakarta. McCormick, Alexander C. Kinzie, Jillian. & Gonyea, Robert M. 2013. Student Engagement: Bridging Research and Practice to Improve the Quality of Undergraduate Education. Dalam Higher Education: Handbook of Theory and Research. Volume 28. Editor: Michael B. Paulsen. Springer. New York.
43
Volume 2 No. 01 Juni 2015 /ISSN 2460-1802
McGhee, Patrick. 2003. The Academic Quality Handbook: Enhancing Higher Education in Universities and Further Education Colleges. Kogan Page. London. Miller, David. 2006. Nationalism. Dalam The Oxford Handbooks of Political Theory. Edited by: John S. Dryzek, Bonnie Honig, dan Anne Phillips. Oxford University Press. New York. Nizam. 2013. Sharing Forum: Global Trends & Enriching Education to Prepare for Competitive Glocal Citizens. Power Point Seminar Nasional dan kongres Indostaff 2013. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka. Cipta. Jakarta. Ormrod, J.E. 2003. Educational Psychology, Developing learners. Fourth edition. Pearson Education, Inc. New Jersey. Sardiman AM. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Siagian, Sondang P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta. Simanjuntak, Payaman, J. 2001. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta. Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Syaodih, Ernawulan. & Agustin, Mubair. 2008. Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini. Universitas Terbuka. Jakarta. Tirtarahardja, Umar. & La Sulo. 1994. Pengantar Pendidikan. Depdikbud. Jakarta. Usman, Moh. 2002. Menjadi Guru Progesional. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Veithzal, Rivai. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan (Dari Teori Ke Praktik). Edisi satu.: PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Widoyoko, S.E.P. 2007. Pengembangan Model Evaluasi Pembelajaran IPS SMP. PPS UNY. Yogyakarta. Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Grasindo. Jakarta. Wlodkowski, Raymond J. & Judith, H. Jaynes. 2004. Hasrat untuk Belajar. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
44