SYAWWAAL - 10 Dalam bulan sebelum ini, dan bulan-bulan sesudahnya, suatu kosa kata yang sering terdengar di telinga kita, ketika sesorang akan meninggalkan tanah air menuju tanah suci sebagai tamu Allah, dan ketika mereka datang nanti, adalah doa yang disampaikan berupa kata-kata “Semoga menjadi haji yang mabrur”. Yang jelas semua jamaah haji sekarang – khususnya yang dari Indonesia – semuanya sudah mabur. Karena sudah tidak lagi seperti dahulu, para jemaah haji menggunakan kapal laut, dan suatu waktu ada pilihan antara kapal laut atau kapal udara. Dan setelah semuanya menggunakan kapal udara, juga masih ada pilihan antara yang hanya selama kira-kira 15 hari, 25 hari atau 40 hari. Kalau dahulu bisa berbulan-bulan. Semula menggunakan kapal carter, tetapi kemudian dari gagasan Bung Karno, lalu diupayakan memiliki kapal sendiri dengan membentuk PT ARAFAT untuk mengelola pelayaran jemaah haji Indonesia. Dan kemudian, entah sebab apa, rupanya tidak berumur panjang. Nama-nama kapal yang sering saya dengar waktu itu, selain Gunung Jati ini, antara lain Belle Abeto, Le Havre Abeto, Tampomas [bukan Tampomas II yang tenggelam di Laut Jawa, Kepulauan Masalembu, Sumenep], dan lain-lain lagi.
Decommissioned in Le Havre on 1 January 1967, it was sold on August 1, 1967 in the arms Abeto SA, and under the name of LE HAVRE ABETO primarily provides transport Indonesian pilgrims to Mecca. Disarmed in March 1978, it was finally demolished in Bangladesh in June 1984.
It is sold in July 1966 to arming Abeto SA, and under the name BELLE ABETO primarily provides transport Indonesian pilgrims to Mecca. It is burned in Sasebo, Japan July 30, 1976, and runs two days later. Destroyed on site.
Kosaka kata yang sudah hilang saat ini, mengenai pernak-pernik perjalanan haji, antara lain sekara dan sekedup1. Saya coba mencarikan rujukan bagi keduanya di KBBI, namun hanya ada satu, karena mungkin yang satunya adalah istilah daerah saja. Sekedup dengan sendirinya sirna karena kemajuan prasarana dan sarana transportasi di Saudi Arabia, sedangkan sekara hilang karena perubahan cara transportasi jemaah haji di Indonesia. Sekara adalah semacam koper besar dari anyaman rotan, yang mudah dibuka dan ditutup, tempat jamaah haji menyimpan segara barang bawaannya guna kebutuhan di perjalanan. 1
se·ke·dup n pelana atau tempat duduk dari kayu yang dipasang di punggung unta;
Mungkin sekedup berasal dari kata syakduf atau sukduf. Dan tentu saja ujudnya dahulu berbeda dengan yang sekarang bisa di jumpai di Arafah [di luar musim wukuf], yang digunakan untuk tujuan wisata dan pemotretan bagi peziarah yang ingin memiliki kenangan naik sekedup di punggung onta. Pengalaman menaiki onta antara Jeddah – Mekkah – Madina pp, tentu tidak akan terlupakan sepanjang hayat bagi yang pernah mengalaminya. Sehingga ada selawatan [syair, pantun] yang mengabadikannya [dalam bahasa Jawa Gresikan], yang sering diajarkan kepada anak-anak balita di waktu saya kecil dulu Budal kaji kudunge mesagi Numpak unto kudunge ombo dowo Tutuk Mekkah moco Bismillah Tutuk Medina moco Alhamdulillah.
Berangkat haji bertutup kepala persegi Naik onta tutup kepalanya lebar dan panjang Sampai di Mekkah mengucap Bismillah Sampai di Madinah mengucap Alhamdulillah
Sampai di Mekkah, mengucapkan Bismillah karena akan memulai ibadah haji [walau sebelumnya sudah dimulai ketika melewati Miqaat Yamani di Yalamlam dengan niat dan mengenakan pakaian ihram, karena menggunakan kapal laut], dan sesampainya di Madinah berucap Alhamdulillah karena sudah menyelesaikan keseluruhan rukun, wajib bahkan sunnah ibadah haji, dan tinggal ziarah ke berbagai tempat antara lain makam Rasulullah Muhammad saw dan beberapa sahabat [Abubakar dan Umar ra] serta tempat bersejarah lainnya seperti palagan Uhud, Masjid Quba [masjid pertama yang dibina oleh Rasulullah], Masjid Qiblatain [dimana turun ayat untuk merubah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah] dll.
Kalau berdasar informasi dari www. hajinformation yang merupakan situs khusus mengenai umrah dan haji dari Pemerintah Kerajaan Saudi, batasan miqat sudah tidak lagi berdasarkan suatu point atau titik tertentu, yang ada pada zaman Rasulullah saw, melainkan sudah merupakan suatu area atau kawasan dengan menghubungkan titik-titik. [lihat bagian lampiran]. Bukan bermaksud mengangkat perbedaan pendapat mengenai hal ini, bahkan Tan’iem dan Ji’ranah yang populer bagi kalangan jamaah kita bila akan melakukan umrah setelah berada di Mekkah, juga tidak lagi disebutkan, sebagaimana yang dikutipkan dibawah ini Muslims coming to Makkah with the intention of performing Umrah or Hajj must not cross a Miqat without first entering into the state of Ihram, unless they live within the area between Miqat and the Haram. In this case they do Ihram either at home or just before entering the Haram area.
Dengan digunakannya kapal udara dalam pengangkutan jamaah haji, apalagi adanya penerbangan langsung ke Madinah [bila pesawat milik Saudia] dan mudahnya transportasi Jeddah – Madinah vv, dalam pengelolaan jamah haji asal Indonesia, dikenal istilah Gelombang Pertama dan Gelombang Kedua. Dimana untuk G-1, akan langsung ke Madinah atau kalau mendarat di Jeddah, juga akan dibawa ke Madinah dahulu. Sehingga yang G-1, umumnya tidak ada masalah miqat dalam pelaksanaan ibadahnya. Karena dinggap penduduk Madinah, maka miqatnya di Dzulhulaifah, dan untuk memudahkan pelaksanaannya, bgi yang akan meninggalkan Madinah menggunakan kapal udara, umumnya memulai mengenakan pakaian ihram di Bir Ali walau niatnya baru dilafalkan ketika pesawat melintasi Dzulhulaifah. Sedang untuk yang G-2, tidak usah dipermasalahkan, bila mana ada sebagian jamaah yang sudah mengenakan pakaian semi ihram sejak di tanah air, dan melafalkan niat ketika pesawat melintasi Qarn al-Manazil atau Yalamlam. Bahkan, yang juga membedakan antara Jeddah dengan Madinatul Hujjaj atau Bandara Jeddah.
Perintah untuk menunaikan ibadah haji bagi ummat Islam, dapat kita temukan pada beberapa firman Allah swt setidaknya dalam ayat-ayat berikut, antara lain surah Ali Imran QS 3:97,
َ َ ٱست ۡ ِن ۚ س ّب ا ِيل َِ طا ِّ تِ َم ِّ اسِ ّحجِِ ۡٱلبَِ ۡي ِ ّ َعلَىِٱلن َِّ ّ َو َ ِلِل َ ِعِ ّإلَ ۡي ِّه mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; serta surah al-Baqarah QS 2:197, yaitu
ۡ ِج َِ لِ ّجدَا َِ لِفُسُوقَِِ َو َِ ثِ َو َِ َلِ َرف ِ َ َجِف َِ نِ ۡٱل َح َِ ضِ ّفي ّه َِ ۡٱل َحجِِأ َ ۡش ُه اِرِ َمعۡ لُو َم ٰـ اتِِۚفَ َمنِفَ َر ّ لِ ّفىِٱل َح [Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. surah al-Baqarah QS 2:196, yaitu
ِلِل ّۚ َ ّ َِ جِ َو ۡٱلعُ ۡم َرِة َِ َوأ َ ّتمواِِ ۡٱل َح Dan sempurnakanlah ibadat haji dan umrah karena Allah. Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah siapa yang berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji, kapan waktu ibada haji dilakukan, serta hanya untuk Allah swt semata sajalah ibadah haji itu dilaksanakan. Dan tidaklah ada beda pendapat mengenai hal ini.
Kembali ke kosa kata mabrur, yang konon tidak lain merujuk pada salah satu doa yang dibacakan ketika berhaji mengharap hajjan mabruran. Kadangkala juga orang menyebutkan, semoga hajinya diterima [lawan dari tertolak] oleh Allah swt. Kita mengenal juga lawan kata haji mabrur, sebagai haji marduud, haji yang dikembalikan atau yang tertolak. Kata mabrur konon seakar kata dengan birra yang sering kita dengar dalam rangkaian birr al-waalidain [berbuat baik kepada kedua orang tua], sedangkan kata marduud seakar dengan radda. Kata al-birra terdefinisikan, antara lain sebagaimana difirmankan Allah swt dalam surah al-Baqarah QS 2:177, yang mengurai-jelaskan unsur pembentuk kebajikan tersebut,
ِڪ ِّة َِّ نِ َءا َمنَِِ ّب ِۡ نِ ۡٱل ّب َِرِ َم َِ بِ َولَ ٰـ ّك ِّ قِ َو ۡٱل َم ۡغ ّر ِّ لِ ۡٱل َم ۡش ّر َِ سِ ۡٱل ّب َِرِأَنِت ُ َولواِِ ُو ُجو َهكُ ِۡمِ ّق َب َِ لَ ۡي َ ٱلِلِ َو ۡٱل َي ۡو ِّمِ ۡٱۡل َ ّخ ِّرِ َو ۡٱل َملَ ٰـ ٰٓ ِٕٮ ِسا ٰٓ ِٕٮ ّلينَِِ َو ّفى ِّ س ّبي ِٰ ىِ َو ۡٱل َيت َ ٰـ َم ِٰ ىِ ُح ّب ّهۦِذَ ّوىِ ۡٱلق ُ ۡر َب ِٰ َعل َِ بِ َوٱلنَ ّب ّي ۧـنَِِ َو َءات َىِ ۡٱل َما ِّ َو ۡٱل ّكت َ ٰـ َ لِ َوٱل َ س ٰـ ّكينَِِ َو ۡٱبنَِِٱل َ ِل َ ىِ َو ۡٱل َم ۡ َ ِصلَ ٰوِة َِ َو َءات َى َِِسا ٰٓ ِّءِ َوٱلض ََرآٰ ِّءِ َو ّحين َِ َبِ َوأَق ِّ ٱلرقَا َ ع ٰـ َهد ُواِِۖ َوٱل َ ٱلز َ امِٱل َ ِڪ ٰوِة َِ َِو ۡٱل ُموفُونَِِ ّبعَهۡ ّد ّه ِۡمِ ّإذَا َ ص ٰـ ّب ّرينَِِ ّفىِ ۡٱلبَأ ّ ۡ )٧١١(َِِكِهُ ُِمِ ۡٱل ُمتَقُون َِ صدَقُواِِۖ َوأُولَ ٰـ ٰٓ ِٕٮ َِ ۡٱلبَأ ّسِِأُولَ ٰـ ٰٓ ِٕٮ َ َِِكِٱلَ ّذين Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Kalau kita coba menuliskan ulang ayat tersebut dalam format bullet dalam tatanan bahasa Indonesia, semata untuk mempermudah pemahaman, maka akan menjadi sebagai berikut: Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada o Allah; o hari kemudian; o malaikat-malaikat; o kitab-kitab; o nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada o kerabatnya; o anak-anak yatim; o orang-orang miskin; o musafir (yang memerlukan pertolongan); o orang-orang yang meminta-minta; o (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan salat; menunaikan zakat; menepati janjinya apabila ia berjanji; bersabar dalam o kesempitan; o penderitaan; o dalam peperangan.
Dengan Allah swt telah memberikan rincian uraian dari yang dimaksud dengan kebajikan, maka seraca tidak langsung, maka yang disebut orang-bajik [bukan orang bijak] atau seorang yang mabrur, adalah orang yang telah sesuai atau telah memenuhi apa yang diuraikan tersebut. Kalau kita lihat kriteria persyaratan mabrur tersebut, kiranya bukan hanya dengan memiliki kemampuan untuk pergi haji serta menuaikan semua rukun dan wajib haji, lalu serta merta memperoleh [predikat haji mabrur. Tentunya banyak perilaku yang sudah dibiasakan jauh sebelum menunaikan ibadah haji itu sendiri, dan juga harus meningkatkan dan menyempurnakannya setelah kembali dari tanah suci. Ada satu kata keterangan yang sangat spesifik dalam urusan memberikan atau berbagi atas harta yang kita miliki, yaitu ىِ ُح ّب ّهۦ ِٰ َ[ َعلyang dicintainya], yang mana hal tersebut juga kita temui dalam firman Allah swt yang lain pada surah Ali-Imran QS 3:92 yaitu dalam bentuk َِِّم َماِت ُ ّحبون
)٢٩(ِيم ِع ّل ا ََِ ِن َِ ّىِتُن ّفقُواِِ ّم َماِت ُ ّحبونَِِِۚ َو َماِتُن ّفقُواِِ ّمنِش َۡىءاِِفَإ ِٰ َ لَنِتَنَالُواِِ ۡٱل ّب َِرِ َحت َ ِٱلِلِ ّب ّهۦ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Yang diberikan seharusnyalah yang dicintai, barangkali kalau mau ditegaskan, yang masih dicintai, bukan yang sudah tidak dicintai lagi walau asalnya dicintai, atau bahkan tidak dicintai sejak awal. Tidaklah diperlukan contohnya, mungkin contoh yang lumrah dengan mudah akan kita temukan saat ini juga pada yang kita kenakan, busana kita. Dari yang semula dicintai dan difavoritkan untuk acara tertentu, kemudian menurun di pakai pada acara biasa, dan kemudian dipakai sehari-hari berkali-kali [digelostor, dalam istilah daerahku], dan akhirnya dianggap sebagai rombeng atau gombal. Manakah yang tepat untuk berbagi?
Tetapi ada pula, yang memiliki sifat berlainan. Walau sudah kumal tetap saja masih dicintai, apalagi yang masih kinyis-kinyis dan serinya berurutan, yang walaupun tidak licin tetapi telah membuat sejumlah orang terpeleset. Semuanya dicintai dengan kadar yang berbeda, kecuali yang tengah bawah, walau tertulis “1 million”.
Semoga kita semua digolongkan Allah swt sebagai orang-orang yang mabrur, dan bukannya orang-orang yang mardud. ِّ ص ّہ ِۡمِ ّع ۡب َراِةِ ّۡلُو ّلىِ ۡٱۡل َ ۡل َب ٰـ ب ّ ص َ َلَقَ ِۡدِكَانَِِ ّفىِق Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Wa Allahu a’lam. Saifuddien Sjaaf Maskoen