MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN KEBODOHAN UMMAT MELALUI INKLUSI KEUANGAN SYARIAH (SHARIA FINANCIAL INCLUSION) 1 Edi Susilo Prodi Ekonomi Islam FEB Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
[email protected] Abstrak Islam memandang kemiskinan adalah masalah struktural, karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan pada saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizkinya masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Namun data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penduduk miskin pada Maret 2015 sebanyak 28,59 juta orang (11,22 persen). Sementara ketimpangan yang diukur dengan Gini Rasio pada Maret 2015 tercatat sebesar 0,41. Karena kemiskinan adalah masalah struktural, maka strategi pengentasannya pun harus sistematis, komprehensif dan instutusional. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk pengentasan kemiskinan. Lembaga Keuangan Mikro (Micro Finance/Micro Credit) adalah lembaga yang telah terbukti efektif mengatasi kemiskinan di semua Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ummat yang sebagian besar hidup melalui UMKM selama ini tersekat oleh sebuah hal mendasar dari dunia perbankan yaitu ―bankabe‖, karena perbankan harus menjalankan azas kehati-hatian (prudential banking) dalam melepas kredit pada nasabahnya. UMKM yang secara umum tidak bankable, mengalami kesulitan dalam mengakses kredit/pembiayaan dan jasa layanan lainnya dari perbankan. Maka sebuah pola harus dibangun untuk menghapus sekat antara dunia perbankan yang menerapkan prudential banking dengan dunia UMKM yang membutuhkan suntikan permodalan. Penghapusan sekat itu dapat dijembatani dengan menerapkan keuangan inklusif syariah (Sharia Financial Inclusion). Metode yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah analisis deskriptif. Penggunaan metode analisis deskriptif memungkinkan penulis menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik pemberdayaan ummat melalui inklusi keuangan syariah (sharia financial inclusion) dalam pengentasan kemiskinan dan kebodohan. Kata Kunci: Kemiskinan, Inklusi Keuangan Syariah, UMKM.
1
Artikel ini telah dipresentasikan dan dipublikasikan di Proceeding Seminar Nasional dan Call for Paper “Membangun Indonesia Berbasis Nilai-nilai Agama” diselenggarakan oleh ADPISI (Asosiasi Dosen Pendidikan Islam Indonesia) di UNAIR, Surabaya 19-20 November 2015.
I. PENDAHULUAN Islam memandang kemiskinan adalah masalah struktural, karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan pada saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizkinya masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Namun data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penduduk Indonesia per Juni 2014 berjumlah 252.164,8 ribu orang. Dari jumlah tersebut, penduduk miskin pada Maret 2015 sebanyak 28,59 juta orang (11,22 persen). Sementara ketimpangan yang diukur dengan Gini Rasio pada Maret 2015 tercatat sebesar 0,41. Karena kemiskinan adalah masalah struktural, maka strategi pengentasannya pun harus sistematis, komprehensif dan instutusional. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk pengentasan kemiskinan. Lembaga Keuangan Mikro (Micro Finance/Micro Credit) adalah lembaga yang telah terbukti efektif mengatasi kemiskinan di semua Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Contoh keberhasilan pengentasan kemiskinan dengan lembaga keuangan mikro ini adalah apa yang telah dipelopori oleh seorang profesor dari Bangladish bernama Muahammad Yunus dengan gerakan Grameen Bank. Saat ini pola pemberdayaan kaum miskin model Grameen Bank telah diadopsi oleh lebih dari 130 negara di seluruh dunia. Di Indonesia, lembaga keuangan mikro bukanlah hal baru. Cikal bakal perbankan nasional saat ini tidak lepas dari sejarah lembaga keuangan mikro yang dipelopori oleh R A.WIRA ATMAJA Patih Purwokerto dari pendirian ―Bank Priyayi Purwokerto‖ pada tahun 1895. LKM tersebut lebih dikenal sebagai Lumbung Desa, yang fungsinya adalah untuk membantu para petani yang mengalami kegagalan panen yang modal awalnya berasal dari infak masjid. Secara filosofis LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, pada prinsipnya ingin menjadikan LKM sebagai lembaga pembiayaan terhadap Usaha Mikro yang merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, LKM berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat. Pengentasan kemiskinan dengan pemberdayaan UMKM selama ini tersekat oleh sebuah pola yang paling mendasar dari dunia perbankan yaitu bankable. Bagi dunia perbankan, bankable
adalah syarat mutlak sesuai regulasi dari Bank Indonesia dan Otoritas jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas perbankan di Indonesia. Hal ini wajar dalam perbankan, karena perbankan harus melakukan azas kehati-hatian dalam melepas kredit pada nasabahnya. UMKM yang secara umum tidak bankable, akan mengalami kesulitan dalam mengakses kredit/pembiayaan dari perbankan. Maka sebuah sistem harus dibangun untuk menghapus sekat antara dunia perbankan yang menerapkan prudential banking di satu sisi dengan dunia UMKM yang membutuhkan suntikan permodalan dari dunia perbankan. Penghapusan sekat itu dapat dijembatani dengan menerapkan pola keuangan inklusif (Financial Inclusion). Keuangan inklusif (financial inclusion) merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung oleh berbagai insfrastruktur yang mendukung. (Gemari 2011). Lembaga Keuangan Mikro yang selama ini telah membuktikan perannya dalam mewujudkan inklusif keuangan perlu ditingkatkan perannya dalam mendukung terbangunnya sinergi perbankan dengan UMKM untuk memperoleh akses keuangan. Dengan sinergi perbankan lembaga keuangan mikro, maka pengembangan UMKM yang tersekat persyaratan bankable dapat dijembatani. Namun perlu dirumuskan pola yang sesuai agar sinergi ini dapat benarbenar diperoleh manfaatnya oleh UMKM dan tidak merugikan dunia perbankan atau win win solution. Bank Syariah dengan karakteristiknya sebagai penopang sektor riil, karena akad-akad bank syariah terkait langsung dengan sektor riil, diharapkan dapat lebih membantu perkembangan UMKM, yaitu dengan skim pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Islam memandang bahwa sektor riil harus menjadi prioritas dalam aktivitas ekonomi dikarenakan sektor riil merupakan sektor yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari keberadaan bank syariah. Menurut Aisyah (2009) dalam (Wahyudi S. & Malik, 2013) program keberpihakan UMKM oleh bank syariah ditunjukkan melalui: (1) inovasi strategi pembiayaan; (2) Program Linkage; (3) Pilot project; (4) Pemanfaatan dana sosial; (5) kerjasama technical assistance.
Program linkage yang dilakukan oleh bank syariah adalah dengan memberikan pembiayaan kepada Lembaga Keuangan Mikro yang secara langsung bersentuhan dengan para anggota dan nasabahnya seperti BMT dan BPR/BPRS. Sinergi dalam bentuk pembiayaan ini telah lama berlangsung. Namun yang menjadi permasalahan adalah sinergi tersebut belum bisa melahirkan sebuah potret ―Keuangan Inklusif‖ (Financial Inclusion). Karena sinerginya hanya dalam bentuk pemilik dana (Bank Syariah) sebagai ―Shohibul Maal‖ dan BMT dan BPR/BPRS sebagai Mudharrib, atau lebih umum dikenal sebagai ―kreditur‖ dan ―debitur‖. Sinergi ini sebenarnya dapat dikembangkan menjadi sebuah “Keuangan Inklusif Syariah” untuk menggerakkan sektor riil, edukasi masyarakat melalui pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan.
II. METODE PENULISAN Metode yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah analisis deskriptif. Penggunaan metode analisis deskriptif memungkinkan penulis menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik keuangan inklusif (financial inclusion) industri keuangan syariah dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan ummat secara tepat dan apa adanya. Penggunaan metode analisis deskriptif juga membuka peluang bagi penulis untuk mengidentifikasi variasi permasalahan, melakukan hubungan antarvariabel keuangan inklusif (financial inclusion) lembaga keuangan syariah dengan variabel lembaga keuangan mikro dan anggotanya melalui majlis taklim serta melakukan generalisasi dari temuan-temuan dan analisis yang memiliki validitas universal. Data dan informasi yang digunakan dalam paper ini sebagian besar merupakan data sekunder, yang diambil dari Bank Indonesia, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan beberapa literatur, khususnya studi terdahulu yang dilakukan oleh TNP2K, institusi, peneliti dan penulis lainnya.
III. PEMBAHASAN Negara berkembang seperti Indonesia yang berusaha mengurangi jumlah penduduk miskinnya, memerlukan metode yang tepat, terprogram dengan baik, terlaksana dengan sistematis dan terukur tingkat keberhasilannya. Mengentaskan kemiskinan berbeda dengan memberi bantuan, karena kemiskinan tidak akan selesai dengan pemberian bantuan. Pengentasan kemiskinan diperlukan edukasi, penyadaran dan kerjasama semua pihak. Pemerintah sebagai subyek utama dalam pengentasan kemiskinan harus merancang program yang tepat dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan partisipatif di dalamnya. Wilayah Indonesia yang membentang luas 5.193.250 km², mencakup 17.500 lebih pulau besar dan kecil dengan total penduduk lebih dari 250 juta jiwa adalah tantangan berat dalam mengentaskan kemiskinan. Sebaran yang tidak merata antar pulau dalam menikmati pembangunan juga menjadi kendala tersendiri. Kemiskinan di Indonesia justru terpusat di Indonesia bagian timur yang punya wilayah besar dan sebagian besar adalah wilayah kepulauan. Pengentasan kemiskinan menuntut masyarakatnya untuk mengakses lembaga keuangan. Lembaga keuangannya pun dituntut untuk mendesain pola yang tepat dan efektif agar dapat dinikmati masyarakat dan mengedukasi masyarakat untuk mengelola keuangannya dan memberdayakannya. Lembaga Keuangan inilah yang diistilahkan dengan Lembaga Keuangan Inklusif (Financial Inclusion). Menurut Bank Indonesia, tingkat masyarakat yang berhubungan dengan bank masih rendah, yakni sekitar 48% dengan layanan perbankan yang masih terpusat di Jawa. Sementara itu, hanya 20% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand 77%, Malaysia 66%, China 64%, India 35%, dan Philipina 25%. Demikian pula pembiayaan kegiatan ekonomi UMKM yang juga belum signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau sekitar Rp612 triliun. Tidak heran bila kita melihat Deposit to GDP ratio masih dibawah 50% dan Loan to GDP ratio masih disekitar 35%, jauh dibawah rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik. Beberapa hasil survei dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga nasional maupun internasional juga mencatat tingkat eksklusifitas lembaga keuangan di Indonesia yang masih cukup tinggi, seperti terlihat pada data berikut:
Gambar 1 Tingkat Eksklusifitas Lembaga Keuangan di Indonesia
Sumber: www.bi.go.id
A. Pengertian Financial Inclusion (Keuangan Inklusif) Sampai saat ini belum ada disiplin ilmu yang berfokus membahas Financial Inclusion seperti halnya perbankan dan industri keuangan lainnya seperti asuransi, pasar modal, reksa dana, dana pensiun dan lainnya. Sampai saat ini pengertian dari keuangan inklusifpun masingmasing lembaga kajian mempunyai perbedaan. Belum /tidak terdapat definisi yang baku dari keuangan inklusif, berbagai institusi mencoba untuk mendefinisikannya, sebagai berikut: "Keadaan di mana semua orang dewasa memiliki akses keuangan berupa kredit, tabungan, pembayaran maupun asuransi dari lembaga keuangan formal. Meliputi penyediaan layanan keuangan yang kredibel, dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat dan berkelanjutan, tanpa pengecualian secara finansial dalam memanfaatkan layanan keuangan formal daripada layanan keuangan yang informal "(CGAP-GPFI). "Inklusi keuangan meliputi penyediaan akses keuangan yang aman, nyaman dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, orang pedesaan yang belum mengenal sistem adminstrasi dengan baik dan tidak terlayani lembaga keuangan formal‖ (FATF). "Proses untuk memastikan akses keuangan yang memadai dan memenuhi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan, lemah dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, biaya terjangkau, adil dan transparan dengan regulasi yang jelas dari institusi keuangan utama (perbankan)" (RBI/Reserve Bank of India).2
2
Sumber : www.bi.go.id
Dari beberapa difinisi di atas diperoleh pemahaman tentang financial inclusion, bahwa keuangan inklusif harus bisa menghapus segala hambatan atas akses keuangan kepada seluruh lapisan masyarakat di semua tempat. Hambatan akses keuangan dapat terjadi dari akses tabungan, kredit dan jasa keuangan lainnya seperti sistem pembayaran, asuransi dan layanan lainnya dari dunia perbankan. Yang sering terjadi di masyarakat setelah bisa mengakses layanan keuangan dalam bentuk tabungan dan jasa layanan lainnya, masyarakat terutama masyarakat golongan bawah masih sangat kesulitan mengakses layanan kredit atau pembiayaan. Bahkan ada anggapan umum di masyarakat bahwa keberadaan bank di mata mereka hanya untuk menghimpun dana mereka, tetapi tidak pada layanan akses kredit. Maka financial inclusion adalah solusi untuk menghapus sekat/batas ini. Keberhasilan financial inclusion bila akses layanan perbankan dapat dinikmati dari semua aspek, baik tabungan, jasa maupun kredit. Menurut Bank Indonesia, financial inclusion bertujuan untuk: Meningkatkan efisiensi ekonomi. Mendukung stabilitas sistem keuangan. Mengurangi shadow banking atau irresponsible finance. Mendukung pendalaman pasar keuangan. Memberikan potensi pasar baru bagi perbankan. Mendukung peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia. Berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang sustain dan berkelanjutan. 8. Mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas low income trap, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung pada penurunan tingkat kemiskinan. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
B. Strategi Nasional Keuangan Inklusiff Untuk meningkatkan keuangan inklusiff di Indonesia, dipilih dengan cara komprehensif dengan menyusun suatu strategi nasional yang disusun bersama antara Bank Indonesia, kantor wakil presiden (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K) dan Kementerian Keuangan yang disebut dengan Strategi Nasional keuangan Inklusiff. Untuk mewujudkan tujuan di atas, secara nasional strategi pengembangan financial inclusion dapat dilihat dari 6 pilar berikut:
Gambar 2: Strategi Nasional Keuangan Inklusif
Sumber www.bi.go.id
PILAR 1 EDUKASI KEUANGAN Merupakan strategi kebijakan untuk meningkatkan kapabilitas dalam mengelola keuangan yang dimulai dengan peningkatan pemahaman (pengetahuan) dan kesadaran masyarakat mengenai produk dan jasa keuangan. Ruang lingkup edukasi keuangan ini meliputi: a) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa keuangan, b) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko terkait dengan produk keuangan, c) perlindungan nasabah, dan d) keterampilan mengelola keuangan.
PILAR 2 FASILITAS KEUANGAN PUBLIK Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan publik baik secara langsung maupun bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beberapa inisiatif dalam pilar ini meliputi: a) subsidi dan bantuan sosial, b) pemberdayaan masyarakat, dan c) pemberdayaan UMKM.
PILAR 3 PEMETAAN INFORMASI KEUANGAN Pilar ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, terutama yang tadinya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak atau dari unbankable menjadi bankable dalam memperoleh layanan keuangan oleh institusi keuangan formal. Inisiatif yang dilakukan di pilar ini meliputi: a) peningkatan kapasitas (melalui penyediaan pelatihan dan bantuan teknis), b) sistem jaminan alternatif (lebih sederhana namun tetap memperhatikan risiko terkait), c) penyediaan layanan kredit yang lebih sederhana, dan d) identifikasi nasabah potensial.
PILAR 4 KEBIJAKAN/PERATURAN YANG MENDUKUNG
Pelaksanaan program keuangan inklusif membutuhkan dukungan kebijakan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia guna meningkatkan akses akan layanan jasa keuangan. Inisiatif untuk mendukung pilar ini antara lain meliputi: a) kebijakan mendorong sosialisasi produk jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, b) menyusun skema produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, c) mendorong perubahan ketentuan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian secara proporsional, d) menyusun peraturan mekanisme penyaluran dana bantuan melalui perbankan, e) memperkuat landasan hukum untuk meningkatkan perlindungan konsumen jasa keuangan, dan f) menyusun kajian yang berkaitan dengan keuangan inklusiff untuk menentukan arah kebijakan secara berkelanjutan.
PILAR 5 FASILITAS INTERMEDIASI & SALURAN DISTRIBUSI Pilar ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen yang potensial di masyarakat sekaligus mencari beberapa metode alternatif untuk meningkatkan distribusi produk dan jasa keuangan. Beberapa aspek pada pilar ini meliputi: a) fasilitasi forum intermediasi dengan mempertemukan lembaga keuangan dengan kelompok masyarakat produktif (layak dan unbanked) untuk mengatasi masalah informasi yang asimetris, b) peningkatan kerjasama antar lembaga keuangan untuk meningkatkan skala usaha, dan c) eksplorasi berbagai kemungkinan produk, layanan, jasa dan saluran distribusi inovatif dengan tetap memberikan perhatian pada prinsip kehati-hatian.
PILAR 6 PERLINDUNGAN KONSUMEN Pilar ini bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam berinteraksi dengan institusi keuangan dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Komponen yang berada pada pilar ini meliputi: a) transparansi produk, b) penanganan keluhan nasabah, c) mediasi, dan d) edukasi konsumen
C. Program Keuangan Inklusif Untuk Pemberdayaan UMKM dan Pengentasan Kemiskinan Menurut (Syaifullah, tt), upaya pengentasan kemiskinan harus mampu memadukan antara sosial inklusif, keuangan inklusif dan ekonomi inklusif. Sosial inklusif memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat menyangkut kebutuhan dasar, khususnya bagi masyarakat terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan mobilisasi sosial, seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi peran pemerintah dalam menyediakan kebutuhan masyarakatnya. Keuangan inklusif memperluas akses masyarakat terhadap sektor keuangan formal dengan meningkatkan kelayakan masyarakat. Sedangkan ekonomi inklusif bertujuan untuk memberikan peluang atau akses terhadap masyarakat dalam upaya peningkatan pendapatan, seperti pemberdayaan UMKM. Pemerintah telah membuat berbagai program pengentasan kemiskinan dengan pendekatan keuangan inklusif. Sistem penyaluran dana saat ini berbeda dengan masa lalu, dimana pencairan dana harus melalui jalur birokrasi dari yang terbawah sampai Dinas terkait di pemerintah tingkat dua. Saat ini pencairan dana bantuan apapun langsung cair melalui rekening Bank atas nama kelompok usaha yang didanai oleh APBN/APBD. Dengan demikian terputus jalur birokrasi yang dahulunya setiap meja bisa menyunat/memotong dana tersebut. Hal ini sangat positif untuk menghidari korupsi dan mengedukasi masyarakat atas lembaga keuangan formal. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K sampai saat ini telah membuat program implementasi strategi nasional keuangan inklusif yang tertuang dalam 6 pilar di atas. Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah program yang paling populer dalam rangka mewujudkan keuangan inklusif.
TNP2K (2013) dalam (Damayanti & Adam, 2015) menemukan beberapa faktor yang menyebabkan bank tetap tidak tertarik menyalurkan KUR ke sektor industri, pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan walaupun besarnya jaminan untuk sektor-sektor itu mengalami peningkatan. Pertama, risiko gagal bayar—khususnya sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan, relatif cukup tinggi. Tidak saja karena masalah pada saat budidaya (gagal panen), tetapi juga pada saat pemasaran (penurunan harga). Kedua, cara pembayaran bulanan model perbankan kurang sesuai dengan pendapatan pelaku usaha di sektor-sektor itu yang cenderung bersifat musiman. Ketiga, persaingan antara KUR dengan kredit program yang lain. Artinya, untuk beberapa sektor tertentu, seperti sektor pertanian, bank memiliki preferensi memberikan pinjaman ke pelaku usaha di sektor ini menggunakan skema kredit program yang lain, misalnya KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Keempat, pengalaman dan trauma bank menghadapi kenyataan kredit bermasalah sewaktu pengucuran kredit program (seperti BIMAS, KUT, ataupun KMKP) yang diluncurkan sebelum KUR. Penjaminan yang hanya partial (80 persen) dan tidak full coverage (100 persen) dipersepsikan bank tetap membuka peluang terjadinya risiko kredit bermasalah yang akan membebani perbankan. Kelima, meskipun mendapatkan penjaminan dari pemerintah, hampir semua bank peserta KUR mensyaratkan jaminan tambahan. Permasalahannya adalah status lahan yang dimiliki pelaku usaha di sektor-sektor itu belum tersertifikasi sehingga tidak bisa dijadikan sebagai agunan. BRI menjadi bank dengan kemampuan menyalurkan KUR terbesar (leading bank). Sekitar 65,4 persen (KUR Mikro 53,5 persen dan KUR Ritel 11,9 persen) dari total KUR disalurkan melalui BRI. Kemampuan BRI menjadi leading bank dalam penyaluran KUR tidak terlepas dari dukungan keuangan (financial capacity), kuatnya pemahaman, dan panjangnya pengalaman sebagai penyalur kredit mikro (micro credit business capability), serta terbangunnya kualitas sumber daya manusia (TNP2K, 2014) dalam (Damayanti & Adam, 2015). Dalam kaitan dengan sumber daya manusia, misalnya—berbeda dengan bank lainnya—BRI mengangkat account officer khusus, disebut Mantri KUR. Mantri KUR adalah ujung tombak penyaluran, pemasaran dan pencarian nasabah potensial. Struktur manajemen BRI juga lebih siap untuk menyalurkan KUR dengan memiliki BRI Unit yang khusus menyalurkan KUR Mikro, sementara KUR Ritel ditangani account officer di kantor cabang. Sistem reward and punishment dilaksanakan sebagai salah satu instrumen untuk menjaga kualitas account officer. Dengan sistem yang terbangun tersebut, tidak mengherankan jika BRI mampu meningkatkan ekspansi kredit (KUR) tanpa mendorong terjadinya peningkatan risiko kredit bermasalah (NPL). NPL BRI untuk KUR Mikro adalah 2 persen, sedangkan untuk KUR Ritel sebesar 3,4 persen. secara umum NPL KUR mencapai angka 4,2 persen, masih berada di bawah batas prudensial yang ditoleransi BI sebesar lima persen. Tetapi dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Terdapat beberapa bank yang NPL-nya memang lebih dari lima persen, seperti BTN, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BPD. Kasus di beberapa BPD menunjukkan bahwa tingginya NPL merupakan akibat dari kurangnya pengalaman, kemampuan, dan pengetahuan BPD untuk menangani kredit yang sifatnya produktif, seperti KUR. Secara historis, BPD memang lebih banyak bergerak di penyaluran kredit yang sifatnya konsumtif. Selain KUR, pemerintah juga menyelenggarakan skim lain dengan tujuan yang hampir sama seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan beberapa skema yang dikelola pemerintah daerah dan lintas Kementerian seperti Kementerian Pertanian dengan program Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), Kementerian Sosial dengan program KUBE (Kredit Usaha Bersama). Namun program tersebut dalam prakteknya sering terjadi tumpang tindih antara program satu dengan program lainnya dan terkesan saling bersaing memperebutkan
pasar yang sama. Maka hal demikian harus menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam pemberdayaan UMKM untuk pengentasan kemiskinan dan meminimalisir gap keungan inklusif kepada masyarakat. D. Linkage Program Bank Syariah – Lembaga Keuangan Mikro Syariah Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LMKS) saat ini telah berkembang pesat melebihi pesatnya perkembangan Lembaga Keuangan Mikro jenis lainnya di Indonesia. Hal ini diakui oleh Kementerian Koperasi dan UKM, ―Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) dalam bentuk Baitul maal Waa Tanwil (BMT) berkembang sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari perkembangan kinerja dari BMT secara nasional di tahun ini telah mencapai aset sebesar Rp 4,7 triliun dan jumlah pembiayaan sebesar Rp 3,6 triliun. Dengan perkembangan kinerja tersebut, Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Setyo Heriyanto menyakini, BMT akan sangat berperan sebagai lembaga keuangan mikro yang mampu menggerakan sektor riil di masyarakat. ‖ (REPUBLIKA.CO.ID, 2015)3. Jumlah Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang masyarakat luas mengenalnya sebagai BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) saat ini telah mencapai lebih dari 4.000 unit di seluruh Indonesia. (Rizky, 2013)4. Menurut Machmud dan Rukmana (2010) dalam (Wahyudi S. & Malik, 2013) ―penyebab cukup besarnya persentase pembiaayaan bank syariah terhadap UMKM dikarenakan bank syariah lebih mengutamakan kelayakan usaha (proyek) daripada nilai agunan, sementara faktor agunan untuk sebagian besar merupakan penghambat UMKM dalam akses terhadap perbankan konvesional, bukan karena UMKM tidak memiliki aset, melainkan karena aset nya yang dinilai tidak bankable”. Lebih lanjut (Wahyudi S. & Malik, 2013)5, menyatakan bahwa ―peran perbankan syariah terhadap UMKM dapat ditunjukkan melalui seberapa besar dana yang dialokasikan untuk pembiayaan UMKM. Berdasarkan data Bank Indonesia (2013), pembiayaan perbankan syariah (11 BUS, 23 UUS dan 163 BPRS) pada sektor UMKM jika dibandingkan antara tahun 2009 dengan tahun 2013 memang mengalami peningkatan dari Rp 35,799 triliun menjadi Rp 110,086 triliun namun dari sisi porsi (share) dari keseluruhan pembiayaan perbankan syariah selama 3 tahun terakhir justru mengalami penurunan dari 76,35% menjadi 59,71% pada tahun 2013‖. Besarnya penyaluran pembiayaan Bank Syariah pada UMKM ini tidak lepas dari peran Lembaga Keuangan Mikro dibawahnya seperti BPRS dan BMT yang secara langsung bersentuhan dengan para anggotanya dengan memberikan pembiayaan antara Rp. 5juta sampai dengan Rp. 20 juta yang melakukan linkage program dengan Bank Syariah. Namun menurut penulis ada beberapa catatan kelemahan pelaksanaan linkage program ini dalam mewujudkan financial inclusion dan pengembangan UMKM, yaitu: 1. Bank Syariah lebih fokus kepada penyaluran pembiayaan kepada Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan UMKM, bukan pemberdayaan dan kemitraan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan UMKM. Hubungan bank syariah dengan lembaga keuangan mikro syariah sesunggungnya telah lama terjalin, sejak tahun 2005, bank syariah telah menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan mikro syariah sebagai sarana penyaluran pembiayaan UMKM. Hal ini dilakukan karena bank syariah tidak mungkin dapat menyentuh nasabah UMKM dengan 3
(REPUBLIKA.CO.ID, 2015). “Asset BMT capai Rp. 4,7 trilyun” (Rizky, 2013). Perkembangan BMT dari tahun ke tahun. www.puskopsyahlampung.com 5 (Wahyudi S. & Malik, 2013). Peran Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Peningkatan Keunggulan Kompetitif Sektor UMKM 4
kebutuhan pendanaan dibawah 20 juta, akan tidak efisien. Maka bank syariah menggandeng BPRS dan BMT untuk menyalurkan pembiayaannya kepada nasabah/anggotanya. Namun sangat disayangkan hubungan yang terjalin tidak dilanjutkan pada hubungan kemitraan yang erat atau pemberdayaan lembaga keuangan mikro syariah di bawahnya. Ini dapat dibuktikan tidak adanya pendidikan dan pelatihan terstruktur dari bank syariah kepada lembaga keuangan mikro syariah. Akibatnya lembaga keuangan mikro tidak mengalami proses pembelajaran berkelanjutan dari SDMnya. Kemampuan SDM lembaga keuangan mikro tidak mengalami perbaikan, maka setelah terjalin kerjasama sekian waktu, ada beberapa bank syariah yang tidak melanjutkan kerjasamanya, karena pembiayaan yang diberikan mengalami kemacetan. Kalau tidak macet paling tidak terjadi penurunan kolektibilitas dari lembaga keuangan mikro. 2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah kepada anggotanya lebih sebagai money lender bukan empowering (pemberdayaan). Terjadi kesalahan pula pada lembaga keuangan mikro yang menerima pembiayaan dari bank syariah. Karena lembaga keuangan mikro kepada anggotanya melakukan proses analisa pembiayaan seperti yang dilakukan bank syariah kepada lembaga keuangan mikro. Jadi lembaga keuangan mikro syariah tidak lebih dari sekedar money lender kepada anggotanya, tidak terjadi proses pemberdayaan anggota dari lembaga keuangan mikro. Akibatnya anggota semakin lama bukan semakin baik angsurannya, malah terjadi sebaliknya. Proses pencairan pertama biasanya lancar, kedua lancar, ketiga baru mulai kelihatan kurang lancar dan terjadi kemacetan. Pemberdayaan anggota sangat diperlukan untuk pengembangan UMKM. Kebanyakan UMKM beroperasi secara tradisional manajemennya. Bila hal ini tidak mendapatkan sentuhan pemberdayaan dari lembaga keuangan mikro, maka proses pembelajaran berkelanjutan UMKM akan mengalami stagnasi, yang berakibat turunnya kemampuan pemilik UMKM seiring kemajuannya karena adanya pembiayaan dari lembaga keuangan mikro. 3. Penyaluran kepada anggota bersifat individual lending bukan group lending. Dalam praktenya, lembaga keuangan mikro melakukan proses pembiayaan dengan pola indivudual lending seperti yang dilakukan perbankan. Secara empirik di banyak Negara berkembang yang melakukan pemberdayaan melaui kredit mikro, group lending sangat diperlukan, karena dalam sistem group lending terjadi interaksi timbal balik dan proses pemberdayaan anggota dari lembaga keungan mikro kepada anggotanya. Di Indonesia hal demikian tidak dilakukan oleh lembaga keuangan mikro, dengan berbagai alasan karena terkendala dengan efisiensi biaya bila melakukan pola group lending. 4. Lembaga Keuangan Mikro terutama BMT yang berbadan hukum Koperasi sudah meninggalkan jiwa, filosofi dan semangant Koperasi yaitu dari anggota, untuk anggota dan oleh anggota. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga keuangan mikro berbadan hukum Koperasi saat ini beroperasi bukan dengan pola member base sebagai ruh dari Koperasi. Ini karena Undang-undang No. 25 tahun 1992 membolehkan Koperasi melayani simpan pinjam kepada selain anggota, yaitu kepad calon anggota. Pasal calon anggota ini dijadikan senjata oleh para pengurus Koperasi untuk menghimpun dan menyalurkan dana yang terkadang terkesan ―membabi buta‖. Padahal jiwa dan filosofi Koperasi mestinya berbasis anggota (member base).
E. Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah melalui Simbiosis Mutualisme Bank Syariah – Lembaga Keuangan Mikro Syariah – Kelompok Majlis Taklim Anggota Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Keberadaan industri keuangan syariah terutama perbankan syariah saat ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke. Hampir di setiap Ibukota Kabupaten di seluruh Indonesia saat ini telah beroperasi Bank Syariah baik itu kantor cabang atau kantor cabang pembantu. Walaupun jumlah dan cakupan wilayah perbankan syariah tidak seluas jaringan BRI dengan jumlah Unitnya yang telah sampai di setiap Kecamatan hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. Namun sesungguhnya Bank Syariah memiliki potensi untuk berkembang sampai ke kota-kota kecamatan di wilayah Republik Indonesia bila sinergi antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) bisa terpola dengan baik dan tepat. Mewujudkan keuangan inklusif di Indonesia tidak semudah di Negara lain dengan luas dan karakteristik masyarakatnya yang memiliki budaya beraneka ragam dan cakupan wilayah yang sangat luas. Namun upaya dan strategi yang sudah dilakukan harus terus ditingkatkan dan dievaluasi kelemahannya agar perbaikan metode bisa dengan tepat merealisasikan visi dan misi nasional keuangan inklusif. Catatan kelemahan yang penulis kemukakan di atas adalah refleksi penulis yang telah berkecimpung di dunia keuangan mikro syariah selama 18 tahun. Pemikiran dan usulan pola untuk mewujudkan keuangan inklusif berikut adalah hasil perenungan mendalam atas fenomena Industri Keuangan Syariah yang selama ini penulis perhatikan yang tercermin pada gambar 4 sebagai kerangka berpikir penulis. Keberhasilan keuangan inklusif industri keuangan syariah tidak bisa berdiri sendiri, harus melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holder) dari pusat sampai pemerintah kabupaten. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator perbankan syariah perlu mendesain instrumen regulasi yang berisi petunjuk operasional Bank Syariah sebagai pelaksana untuk melakukan linkage program kepada Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam penyaluran pembiayaan kepada anggotanya. Yang menjadi catatan kelemahan dari Lembaga Keuangan Mikro Syariah selama ini adalah kesulitannya dalam menghimpun dana masyarakat (anggota). Selama ini BMT melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dengan ―melanggar‖ koridor aturan main sebagai Koperasi yang seharusnya melakukan penghimpunan dana hanya sebatas anggotanya saja, akan tetapi Lembaga keuangan Mikro selama ini menghimpun dana dari masyarakat secara bebas dan ―membabi buta‖. Hal demikian sebenarnya tidak ideal untuk ukuran Lembaga Keuangan Mikro, karena penghimpunan dana masyarakat perlu aturan main yang jelas dan payung hukum untuk keamanan dan penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sehingga banyak ditemukan Lembaga Keuangan Mikro (BMT dan KSP) yang bermasalah dikemudian hari yang menjadi korban adalah masyarakat (penyimpan dana). Idealnya Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) tidak melakukan penghimpunan dana atau hanya berfokus pada penyaluran dana saja. Lalu dana dari mana?. Solusinya adalah membuat sinergi antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan aturan atau regulasi yang jelas dan manajemen risiko yang terukur. Bank Syariah sebagai institusi yang menghimpun dana karena telah memiliki segala fasilitas teknologi, jaringan, kemampuan SDM, payung hukum perlindungan konsumen (nasabah) dan penjaminan, sedangkan lembaga keuangan mikro syariah sebagai lembaga yang menyalurkan dana. Untuk
mewujudkannya adalah dengan membuka kantor kas di setiap kantor BMT. Sinergi ini akan saling menguntungkan karena Bank Syariah tidak perlu menyewa tempat untuk membuka kantor kas, BMT juga diuntungkan karena anggotanya yang selama ini menabung secara otomatis menjadi nasabah Bank Syariah. Gambar 3 Keuangan Inklusif melalui Simbiosis Mutualisme Bank Syariah - BMT
Kantor Kas iB BMT A
Kantor Kas iB BMT B
Kantor Kas iB BMT C
•Dana terhimpun dari BMT A •Disalurkan melalui Kelompok Majlis Ta'lim Anggota BMT A
•Dana terhimpun dari BMT B •Disalurkan melalui Kelompok Majlis Taklim Anggota BMT B
•Dana terhimpun dari BMT C •Disalurkan melalui Kelompok Majlis Taklim Anggota BMT C
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa untuk mewujudkan keuangan inklusif dari industri keuangan syariah sampai ke pelosok pedesaan Negeri ini adalah dengan sinergi simbiosis mutualisme antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) yang saat ini sudah menjamur di berbagai pelosok wilayah Negeri ini, yaitu dengan membuka Kantor Kas di setiap kantor BMT. Pembukaan kantor kas ini bertujuan untuk menjaga kredibilitas BMT itu sendiri yang selama ini melakukan penghimpunan dana kepada masyarakat yang berpotensi melanggar undang-undang perbankan. Kendala sudah pasti ada dalam pembukaan kantor kas ini diantaranya kesiapan SDM BMT yang belum mengenal prinsip-prinsip layanan standar perbankan dan keamanan penyimpanan uang kas. Kendala ini bisa diatasi dengan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan kepada karyawan BMT, dan penyediaan fasilitas brankas yang memadai sesuai standar perbankan. Namun biaya pengadaan brankas dan pelatihan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Bank Syariah mendirikan kantor kas sendiri. Kendala besar yang paling potensial dalam sinergi ini adalah penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari kantor kas Bank Syariah di kantor BMT. Karena dalam konsep ini dana yang berhasil dihimpun dari kantor kas itu harus disalurkan kepada anggota BMT tersebut. Ini tidak lazim dan potensi menimbulkan risiko besar di sisi perbankan syariah. Maka strategi komprehensif harus dilakukan dan melibatkan seluruh stake holder seperti tergambar dalam kerangka berpikir yang telah disebutkan di atas. Dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 4 Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah
BI dan OJK sebagai regulator dan pengawas Perbankan Syariah
•Pemerintah Pusat melalui politik APBN
1.
Bank Umum Syariah sebagai Pelaksana Program •Penjaminan Pembiayaan oleh Pemerintah Pusat melalui Askrindo
Lembaga Keuangan Mikro Syariah •Penjaminan oleh Pemerintah Daerah melalui Askrida
Usaha Anggota Kelompok Majlis Taklim •Penjaminan melalui Group Lending (Anggota Kelompok Majlis Taklim)
Regulasi Bank Indonesia (BI) dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah . Sebagai regulator dan pengawas perbankan Bank Indonesia dan OJK perlu menerbitkan regulasi yang mengatur sinergi antara Perbankan Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT). Titik kritis pada konsep pola tersebut adalah risiko pembiayaan yang disalurkan kepada anggota BMT dari dana yang dihimpun dari anggota di kantor kas tersebut. Manajemen risiko pembiayaan dapat dikurangi dengan mensyaratkan kepada BMT dengan penyaluran berbasis anggota (group lending). Menurut (Devi & Aam S., 2013) Penelaahan strategi yang mungkin untuk pengembangan GLM melalui model struktural interpretatif. Hasil strategi ini adalah buah dari depth interview dengan para pakar yang kompeten. Terdapat sedikitnya 7 level struktural elemen tujuan program. Ketujuh level ini terdiri dari total 9 elemen. Adapun kesembilan elemen ini adalah: 1. Perlunya kesetaraan akses dana untuk segala jenis institusi keuangan, baik perbankan maupun model pinjaman berbasis kelompok (Fair Access Fund), 2. Perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pionir pelayanan model pinjaman berbasis kelompok ini (Improve Human Resources Quality); 3. Pentingnya keuangan inklusif pada seluruh sistem keuangan (Inclusion in Financial System); 4. Institusi berupa APEX bagi model pinjaman berbasis kelompok (APEX Institution); 5. Rating system untuk penilaian dan evaluasi GLM (GLM Rating System); 6. Pentingnya pendampingan teknis untuk sustanabilitas model pinjaman berbasis kelompok ini (Technical Assistant); 7. Vitalnya dukungan dari pemerintah (Government Support); 8. Perlunya aturan/undang-undang yang mengatur kompetisi yang fair di antara lembaga pengelola pinjaman, baik formal maupun informal (Fair Competition Act); dan
9. Pentingnya stabilitas ekonomi baik makro maupun mikro (Economic Stability). Lebih penting dari semua hal di atas adalah pada aspek pengawasan pelaksanaan sinergi Bank syariah – Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bila regulasi dan pengawasan berjalan dengan baik, maka group lending sebagai model untuk meminimalisir risiko pembiayaan akan dapat berjalan dengan baik, sehingga sinergi simbiosis mutualisme ini dapat berjalan sesuai dengan konsepnya. 2.
Pemerintah Pusat melaui Politik APBN, Penjaminan dan Instrumen Regulasi Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah. Pemerintah Pusat selama ini telah menjalankan program semacam ini dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun program KUR tidak mengharuskan pada Bank pelaksana untuk menyalurkan dengan pola kelompok (group lending). Pada pola ini Kementerintan Koperasi dan UKM harus menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang mengharuskan pola penyaluran dari Bank Syariah kepada Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan kepada anggotanya adalah dengan pola tanggung renteng (group lending). Group Lending ini dapat mereduksi resiko pembiayaan dan mempercepat program keuangan inklusif syariah. Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang tidak menjalankan program ini dengan pola group lending harus mendapatkan sangsi tegas. Jadi penjaminan melalui Askrindo menjadi bersyarat dengan pola pembiayaan kelompok.
3.
Pemerintah Daerah Mengambil Peran Aktif dan Penjaminan Askrida. Pemerintah Daerah dalam menyukseskan akselerasi keuangan inklusif tidak boleh tinggal diam dan menjadi penonton, harus menjadi salah satu pihak penting dengan membentuk Asuransi Kredit Daerah (Askrida) seperti yang telah dilakukan oleh Pemda Jawa Timur dan Pemda Bali. Namun pada pola syariah ini, pembiayaan kelompok (group lending) menjadi syarat utama dan tidak basa basi. Dengan keterlibatan Pemerantah Daerah ini, maka pembinaan dan pengawasan pelaksanaan program di tingkat Kabupaten dapat dilakukan oleh Pemkab oleh Dinas terkait dengan supervisi dari Otoritas Jasa Keuangan bila OJK belum mempunyai infrastruktur dan kesiapan dalam pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
4.
Simbiosis Mutualisme Perbankan Syariah dengan Kemitraan dan Pemberdayaan kepada Lembaga Keungan Mikro Syariah dan Anggotanya. Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah sebagai pelaku industri keuangan syariah adalah institusi yang paling potensial dalam percepatan (akselerasi) keuangan inklusif syariah. Hubungan antara dua jenis lembaga ini tidak boleh berjalan sendiri-sendiri (harus sinergi) dan saling menguntungkan, sehingga tercipta simbiosis mutualisme. Selama ini kedua jenis lembaga ini belum bersinergi secara ideal, baru berhubungan antara debitor dan kreditor. Kedua jenis lembaga ini mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bank Syariah sebagai institusi perbankan dengan segala fasilitas yang dipunyai dan regulasi yang mengikatnya tidak mungkin menjangkau UMKM yang jumlahnya jutaan dengan kebutuhan permodalan yang hanya berkisar antara 1 jutaan sampai 20-an juataan. Yang potensial bisa melayani mereka adalah lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang jumlahnya ribuan dan tersebar di seluruh pelosok wilayah Indonesia. Di lain sisi lembaga keuangan mikro syariah mempunyai kelemahan terutama pada SDM-nya. Maka Bank Syariah harus memberikan pelatihan berkelanjutan dan terprogram secara sistematis untuk meningkatkan kemampuan SDM BMT agar menjadi lembaga keuangan yang siap menerima sinergi percepatan keuangan inklusif syariah. BMT selama ini menghimpun dana tanpa payung hukum, instrumen dan
penjaminan yang jelas dengan risiko besar yang dapat merugikan masyarakat, sementara Bank Syariah dengan infrastuktur dan fasilitas yang dipunyai memungkinkan bersinergi dengan BMT dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum, penjaminan simpanan dan kepastian bahwa dana yang disimpan di lembaga keuangan bisa kembali tanpa risiko yang besar. Dalam prakteknya banyak terjadi BMT yang gulung tikar karena tidak mampu menyediakan likuiditas kepada penabungnya. Maka sinergi seperti penjelasan gambar 3 adalah kerja sama ideal bagi kedua jenis lembaga dalam mewujudkan percapatan keuangan inklusif syariah di Indonesia. Bila saat ini terdapat 4.000 BMT dan masing-masing BMT mempunyai 2 Kantor, maka terdapat 8.000 kantor BMT. Bila 8.000 kantor tersebut 25%nya berhasil melaksanakan program ini, maka akan ada 2.000 kantor BMT yang menjadi kantor kas Bank Syariah dalam waktu yang relatif singkat. Bila 2.000 kantor ini punya 100 nasabah pembiayaan potensial dengan rata-rata penyaluran 5 juta per anggota, maka terdapat 2.000 kantor kali 100 orang/UMKM dengan pembiayaan 5juta X 100 anggota X 2.000 kantor atau 1 trilyun pembiayaan dalam waktu yang relatif singkat. 5.
Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan Sistem Group Lending dan Pemberdayaan Anggota melalui Kelompok Majlis Taklim Anggota. Selama ini lembaga keuangan mikro syariah memberikan pembiayaan kepada anggota dan masyarakat dengan sistem individual lending (pembiayaan individu). Karena pembiayaannya bersifat individu, maka penilaian kelayakan pembiayaan berlaku seperti pada bank, yaitu kelayakan usaha berdasarkan kemampuan dan jaminan yang disediakan oleh anggotanya. Hal ini akan menyulitkan kedua belah pihak baik bagi BMT maupun bagi nasabah (anggotanya). Kesulitan bagi BMT karena SDM yang dimilikinya kurang kapabel dalam analisa pembiayaan sehingga asimetris informasi sering terjadi yang berakibat kemacetan pembiayaan dengan tingginya NPL/NPF. Tingginya NPF ini terjadi merata hampir di setiap Lembaga Keuangan Mikro non Bank. Karena instrumen regulasi dan pengawasan yang lembah dari Dinas Koperasi dan UKM yang manaunginya. Regulasi dari Lembaga Keuangan Mikro syariah (BMT) adalah regulasi diri sendiri (self regulation), pengawasan internal yang dilakukan tergantung dari regulasi yang dibuatnya sendiri. Ada BMT yang baik dalam penawasan internalnya, tetapi kebanyakan BMT selama ini mengandalkan sifat-sifat baik dan terpuji yang dimiliki oleh karyawannya, karena kebanyakan dari mereka adalah para aktivis dakwah yang punya sifat-sifat dasar kejujuran. Maka ada beberapa BMT yang kebobolan karena ulah karyawannya (moral hazard). Maka lembaga keuangan syariah (BMT) harus mulai mengenal pola group lending (pembiayaan kelompok), yang terbukti efektif dalam menekan pembiayaan bermasalah. BMT harus bisa memberdayakan anggotanya melalui Majlis Taklim dalam penyaluran pembiayaannya. Selama ini BMT belum bisa mencerahkan anggotanya dengan edukasi muamalah yang benar kepada anggota melalui Kelompok Majlis Taklim. Maka anggota yang selama ini telah mendapatkan layanan pembiayaan harus dibentuk kelompok group lending untuk dibina, diedukasi dan diberdayakan. Kunci keberhasilan dari pembiayaan kelompok adalah konsistensi lembaga dalam menerapkan pola ini dari awal sampai akhir. Program ini bisa berhasil bila semua pemangku kepentingan secara konsisten membina dan memberdayakan lembaga keuangan mikro syariah dan anggotanya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Pengentasan kemiskinan melalui keuangan inklusif syariah, terkendala: 1. Bank Syariah lebih fokus kepada penyaluran pembiayaan kepada Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan UMKM, bukan pemberdayaan dan kemitraan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan UMKM. 2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah kepada anggotanya lebih sebagai money lender bukan empowering (pemberdayaan). 3. Penyaluran kepada anggota bersifat individual lending bukan group lending. 4. Lembaga Keuangan Mikro terutama BMT yang berbadan hukum Koperasi sudah meninggalkan jiwa, filosofi dan semangant Koperasi yaitu dari anggota, untuk anggota dan oleh anggota. Pengentasan kemiskinan dan kebodohan umat melalui Keuangan Inklusif Syariah, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Regulasi Bank Indonesia (BI) dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah . Pemerintah Pusat melaui Politik APBN, Penjaminan dan Instrumen Regulasi Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah. Pemerintah Daerah Mengambil Peran Aktif dan Penjaminan Askrida. Simbiosis Mutualisme Perbankan Syariah dengan Kemitraan dan Pemberdayaan kepada Lembaga Keungan Mikro Syariah. Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan Sistem Group Lending dan Pemberdayaan Anggota (UMKM) melalui Kelompok Majlis Taklim untuk membina, mengedukasi dan memberdayakan anggotanya.
B. Saran Pemerintah Pusat melalui Kementerian terkait, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemerintah Daerah perlu merumuskan Regulasi percepatan perwujudan keuangan inklusif untuk penanggulangan kemiskinan melalui simbiosis mutualisme Perbankan Syariah – Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan model pembiayaan kelompok (group lending) majlis taklim anggota Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
SOAL UNTUK DISKUSI : Jelaskan mengapa Lembaga Keuangan Mikro dibutuhkan untuk pengentasan kemiskinan? Jelaskan apa yang dimaksud individual lending dan group lending. Apa kelebihan dan kelemahan masing-masing ? 3. Apakah konsep akselerasi financial inclusion dalam artikel di atas dapat terwujud dalam waktu dekat? Jelaskan alasannya. 4. Bagaimana konsep pemberdayaan anggota oleh lembaga keuangan mikro menurut Saudara. Jelaskan. 5. Mengapa Lembaga Keuangan Mikro berbadan hukum Koperasi seperti BMT dan KSP tidak dapat berkembang sebagaimana BPR atau BRI Unit? Jelaskan pendapat Saudara. 1. 2.
Daftar Pustaka: Bank Indonesia. (2015). Keuangan Inklusif "Apa, Mengapa, Bagaimana dan Siapa". www.bi.go.id . Bank Indonesia. (2015). Strategi Nasional Keuangan Inklusif. www.bi.go.id . Damayanti, M., & Adam, L. (2015). Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai Alat Pendorong Pengembangan UMKM di Indonesia. Naskah Kerja TNP2K 27 – 2015 . Devi, A., & Aam S., R. (2013). Islamic Group Lending Model (GLM) dan Keuangan Inklusif: Studi Dampak dan Strategi Pengembangan. Gemari. (2011, Desember). Financial Inclusion» Jadi Isu Global. Tahun Gemari XII/Edisi 131/Desember 2011. "Financial Inclusion» Jadi Isu Global". Otoritas Jasa Keuangan, (. (2013). Laporan Perkembangan Keuangan Syariah tahun 2013. Otoritas Jasa Keuangan. REPUBLIKA.CO.ID. (2015, Maret Minggu, 22). Aset BMT Indonesia Capai Rp 4,7 Triliun. Minggu, 22 Maret 2015, 23:53 WIB , hal. Aset BMT Indonesia Capai Rp 4,7 Triliun. Rizky, A. (2013). Perkembangan BMT Dari Tahun Ke Tahun. http://www.puskopsyahlampung.com. Susilo, Edi; . (2015). Manajemen Pembiayaan dan Risiko Pembiayaan Bank Syariah. Jepara, Jawa Tengah, Indonesia: Unisnu Press. Syaifullah, d. R. (tt). Keuangan Inklusif dan Pengentasan Kemiskinan. Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan . Wahyudi S., S., & Malik, N. (2013). Peran Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Peningkatan Keunggulan Kompetitif Sektor UMKM.