sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XXI, Nomor 2, 1996 : 15-31
MENGENAL SPONS LAUT (DEMOSPONGIAE) SECARA UMUM oleh Ichsan Amir dan Agus Budiyanto1)
ABSTRACT AN OVERVIEW ON MARINE SPONGES (DEMOSPONGIAE). Sponge fauna is dominated typically by members of the class Demospongiae. Sponge fauna in Indonesia is the richest and most diverse marine sponge fauna of the world. Taxonomical and ecological studies of that fauna are necessary to support its biochemical study, particularly in the effort to search for marine natural products.
kanal internal yang lebih rumit, dimana sistim aliran air tersebut melalui beberapa sel kolar sebelum keluar melalui oskulum. Pada umumnya, spons mampu memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu 1 menit, sehingga tidak salah kalau hewan ini terkenal sebagai hewan "filter feeder" yang paling efisien dibandingkan hewan laut lainnya (BERGQUIST 1978). Konsistensi tubuh spons pada umumnya elastis seperti busa karet tetapi ada beberapa jenis yang keras dan agak rapuh. Tubuh spons ini diperkokoh oleh suatu kerangka spikula yang mengandung kalsium karbonat atau silica dan juga didukung oleh kerangka serat-serat keratin atau spongin. Materi spongin khususnya pada "bath sponges", sangat kenyal atau lembut dan tahan terhadap pembusukan, sehingga baik untuk bahan penggosok kulit tubuh kita.
PENDAHULUAN Spons atau Porifera termasuk hewan multi sel yang mana fungsi jaringan dan organnya masih sangat sederhana. Hewan ini hidupnya menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam laut. Dalam mencari makanan, hewan ini aktif mengisap dan menyaring air yang melalui seluruh permukaan tubuhnya. Hal ini dapat dicontohkan pada bentuk spons yang memiliki kanal internal yang paling sederhana (Gambar 1), dimana dinding luarnya (pinakodermis) mengandung pori-pori (ostia). Melalui ostia inilah air dan materi-materi kecil yang terkandung di dalamnya dihisap dan disaring oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes), kemudian air tersebut dipompakan keluar melalui lubang tengah (oskulum). Sistim pengisapan dan penyaringan air ini terjadi juga pada spons yang memiliki
') Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta
15
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
peneliti asing yang berminat untuk melakukan penelitian spons di Indonesia. Jadi ada baiknya kalau kita sebagai "tuan rumah" juga mengenal atau memiliki pengetahuan tentang spons, baik itu dalam segi taksonomi, ekologi maupun manfaatnya.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum tentang spons laut (khususnya kelas Demospongiae). Hewan ini banyak terdapat diperairan Indonesia dan jenisjenisnya terlengkap di dunia (SOEST 1989). Tidak mengherankan kalau banyak
Gambar 1. Salah satu struktur sel spons yang paling sederhana. a: Oskula, b: Sel penutup (pinakosit), c: Sel amobosit, d : Sel pori (porosit), e : Pori saluran masuk (ostia), f: Telur, g: Spikula triaxon, h: Mesohil, i:Sel mesenkim j: Bulu cambuk (flagella), k : Sel kolar (choanosit), 1 : Sklerosit, m : Spikula monoaxon (Di gambar kembali dari BUCHSBAUM 1948).
16
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
d. Oskula : Karakter ini juga penting untuk mengidentifikasi taksonomi spons. Saluransaluran air keluar melalui oskula dapat mempengaruhi mimik permukaan luar spons. Jumlah dari oskula dan pori-pori berikut ukurannya diakibatkan oleh faktor hidrodinamik (BERGQUIST 1978).
IDENTIFIKASI SPONS Untuk mengidentifikasi spons secara tepat tidak cukup hanya dengan mata telanjang saja (makroskopis), tetapi harus dilakukan juga identifikasi secara mikroskopis. Untuk menguraikan kriteria spesimen spons, beberapa pakar membuat protokol identifikasi seperti di bawah ini.
e. Konsistensi : Konsistensi adalah kriteria umum mengklasifikasikan tekstur dari spons. Untuk menentukan konsistensi kita harus meraba atau merasakan dengan tangan pada permukaan tubuh spons. Untuk menentukan/ merasakan kwalitasnya, kita dapat menggunakan istilah sehari-hari yang dipertegas dengan memakai kata "agak" atau "sangat" misalnya untuk : rapuh, padat, lunak. keras, alot seperti daging atau karet, berpasir/kasar seperti amplas, bergelembung, lembut seperti beludru, lengket, licin, getas, kaku, kasar seperti bulu sikat, berduri dan sebagainya.
1. Secara makroskopis : Kwalitas dari kriteria secara makroskopis bersifat subyektif artinya sangat tergantung pada indera si pengamat sendiri. misalnya : a. Lokasi : Lokasi ini digunakan untuk menunjukkan tempat asal sampel dan kondisi tempat spesimen itu hidup (apakah itu hidup di pasir, melekat pada batu-batuan atau karangkarang mati, hidup pada area laut terbuka atau laut yang terlindung oleh pulau, kedalaman, kecerahan atau cahaya, dan sebagainya). Bentuk tubuh luar maupun proses metabolisme pada spons juga dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimiawi lokasi tersebut.
f. Permukaan : Karakter ini juga membantu diagnosa taksonomi. Dalam beberapa grup spons, lapisan permukaan didukung oleh suatu jaringan spikula atau serat-serat. Dalam beberapa hal, tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan selalu didukung oleh serat-serat kolagen dan materi-materi lendir yang cenderung dikeluarkan melalui tempat-tempat pertemuan antara serat-serat "spongin" dan jalur-jalur spikula. Keberadaan dan ukuran dari tonjolan-tonjolan ini adalah karakter yang penting dalam diagnosa yang khusus. Dalam beberapa jenis spons, struktur permukaan khusus ini adalah perkembangan dari hubungan saluran dalam dan saluran keluar. Bentuk makrokopis yang subyektif ini, misalnya : bergerigi, berbulu sikat, berporipori, kasar, halus seperti kulit dan sebagainya.
b. Bentuk luar : Bentuk luar spons sangat bervariasi. bentuk luar ini sering didukung dan disusun dari dalam oleh kandungan kerangkanya untuk membuat satu individu spons atau dalam koloni yang besar. Misalnya bentuk : pengebor, tabung, merambat, masif, jari, bola, semi bola, bercabang-cabang, tugu dan sebagainya. c. Ukuran : Ukuran ini menentukan besar dari spesimen dalam 3 dimensi, yaitu panjang, lebar, tinggi, diameter atau ketebalan. ketika spons masih hidup berarti kita mengukurnya sebelum kontraksi. Sebaliknya apabila telah mati berarti ukurannya mengecil. Ukuran besar atau kecil dari spons dapat membantu dalam identifikasi.
17
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pisau silet yang tajam. Kemudian sayatan ditaruh pada kaca preparat dan diuji di bawah mikroskop. Ekstosom dan choanosom dapat menentukan arsitektur kerangka spesimen, yang mana sering digunakan dalam kiasifikasi. Bentuk kerangka tersebut contohnya : kerangka choanosom, korteks, lapisan kerangka, tonjolan spikula, spikula ekstosom, serat, retikulasi serat kerangka, retikulasi serat "anisodictyal" dan "isodictyal", kerangka anisotropik atau "rectangular", kerangka isotropik atau "triangular", struktur isotropik, kerangka pokok, simpul serat-serat multispikula, serat "paucispicular", serat "plumose", serat primer, kerangka primer, spikula primer, struktur retikulasi, serat sekunder dan lain sebagainya. Beberapa contoh dari kerangkakerangka spons tersebut diilustrasikan pada gambar (2 - 7)
g. Warna : Warna atau pigmentasi dari spesimen ketika hidup atau ketika diawetkan dapat juga membantu dalam identifikasi. jenis spons yang sama tetapi pada tempat yang berbeda dapat juga berbeda warna apabila kondisi lingkungannya berbeda (misal : kedalaman, kecerahan/cahaya, serta faktor fisik/kimiawi lainnya). 2.
Secara mikroskopis : Identifikasi secara mikroskopis dapat menggunakan mikroskop biasa untuk mengidentifikasi ekstosom, choanosom, spongin dan spikula atau juga mikroskop elektron untuk mengidentifikasi microsklera tertentu. a. Ekstosom dan choanosom : Untuk mengetahui struktur dari ekstosom dan choanosom, specimen spons disayat tipis sejajar permukaan spons dan juga tegak lurus permukaan spons dengan
Gambar 2. Bentuk-bentuk dari struktur retikulasi spons. a: Periferal dari Spongia. Terdapat tonjolan serat yang menusuk pinakodermis menjadi konula. b: Retikulasi "isodictyal". c: Struktur retikulasi non-spikula anisotropik. d: Struktur retikulasi unispikula "interstitial", serat yang membesar antara isotropik. e: Struktur chalinid.
18
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Bentuk-bentuk dari serat Keratosa a: Serat bening, anastomosa primer berisi spikula asing dan butiran pasir, anastomosa sekunder bersih. b: Stratifikasi serat, primernya berisi hancuran-hancuran kotoran, sedangkan sekundernya bersih. c: Stratifikasi serat yang mana inti primer dan sekundernya berisi hancuran-hancuran kotoran. d: Semua serat berisi hancuran-hancuran kotoran. e: Stratifikasi, yang mana seratnya yang berjalur di dalamnya (jalur-jalur yang berstratifikasi). f: Stratifikasi serat yang berjalur ditengah, dimana serat yang primer berisi kotoran dan spikula asing. g: Stratifikasi dari jalur-jalur serat. h: Inti serat berisi "style" dan "substyle" dan "acanthostyle" yang berdiri pada serat tersebut.
Gambar 4.
Contoh kerangka retikulasi periferal yang tertentu (sayatan tegak lurus permukaan spons). a: retikulasi periferal yang rapat. b: retikulasi ganda.
19
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 5.
Contoh struktur yang tak beraturan dalam Hadromerida. a: Sayatan transversal pada spons yang merambat. b: Sayatan tegak lurus permukaan.
Gambar 6.
Contoh bentuk korteks tertentu (sayatan tegak lurus permukaan). Kumpulan dari "styles" umumnya muncul kepermukaan luar korteks dan membentuk seperti tonjolan bulu-bulu sikat pada lapisan papilanya
20
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 7. Contoh struktur (a) dan korteks (b) spons Choristida . Pada sayatan tegak lurus terhadap permukaan, "ectochrote" dengan kumpulan "euaster" kecil membentuk atap "cribriporal", yang didukung dari bawah oleh "microxea". Lapisan "sterrastral" yang tebal mengandung "exochone", "sphincter" dan "endochone"; lapisan "hyaline" bawah mengandung "cladome" dari "orthotriaene"; dalam periferal "choanosom", "endochone" yang pendek berlapis menjadi subkorteks dan akan beranastomosa ke kanal dalam.
b. Spongin : Karakter ini sangat penting untuk menentukan arsitektur kerangka spons dari kelas Demospongiae. Spongin ini juga menyumbangkan konsistensi dan tekstur tubuh spesimen. c. Spikula : pada umumnya, setiap individu spons memiliki lebih dari satu macam bentuk spikula. Sehingga perlu adanya pengamatan yang rinci tentang bentuk-bentuk mikroskopis dari setiap spikula yang dikandungnya. Untuk melihat spikula-spikula ini, sedikit potongan spons dilarutkan dengan natrium hypoklorit dalam tabung test. Setelah materi spons tersebut larut, bilas materi tersebut dengan aquadest beberapa kali untuk
menghilangkan kristal "bleach" tersebut. Kemudian dapat ditaruh di atas preparat untuk pengujian di bawah mikroskop. Untuk membuat preparat permanen, materi yang teiah dilarutkan dengan natrium hypoklorit, dibilas dengan aquadest. Kemudian materi dibilas lagi dengan alkohol 100% beberapa kali disentrifus untuk memisahkan kristal "bleach" dan air dari materi tersebut. Kemudian endapan dipipet dengan hati-hati dan ditaruh diatas kaca preparat sampai kering. Setelah itu, ditutup dengan "Canada Balsam" dan kaca penutup. Untuk pengujian spikula tertentu dapat menggunakan "scanning electron microscope
21
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
(S.E.M.)". Caranya sebagai berikut : materi yang telah dilarutkan dengan "bleach", dilanjutkan dengan sentrifus. Kemudian larutan "bleach" nya dipisahkan, sedangkan endapannya direndam dalam 20% HNO3. Setelah dibilas dengan aquadest, dapat dilanjutkan pembilasannya dengan 100% alkohol. Terakhir, materi endapan tersebut diberi lapisan emas dalam preparat khusus untuk pengujian di bawah mikroskop elektron. Secara fungsinya, spikula dibagi dua kategori, yaitu : Megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah komponen dad kerangka
primer yang berperan untuk mebentuk spons dan perkembangan substruktur internal. Mikrosklera tidak berfungsi seperti peranan megasklera,tetapi membentuk kelompok antara kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal (BERGQUIST 1978) Ukuran, bentuk dan susunan dari masingmasing spikula yang dikandung oleh hewan spons sangat berguna untuk menentukan klasifikasinya, Bentuk dan nama dari megasklera dan mikrosklera diilustrasikan pada gambar (8 - 12).
Gambar 8. Megasklera tetraxon : "triaene". a: bentuk "Calthrope" dengan "rhabd" nya yang pendek, b: "Plagiotriaene", c: "Anatriaene", d: "Protriaene", e: "Mesoprotriaene", f: "Prodiaene", g: "Promonaene", h: "Orthotriaene", i: "Dichotriaene".
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
22
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 9. Megaskiera monoaxon (a-f: "diact"; g-k : "monoact"). a: "fusiform oxea", b: "Hastate oxea", c: "Strongyloxea", d: "Strongyle", e: "Tylote", f: "Centrotylote oxea", g: "Hastate style", h: "Fusiform style", i: "Styloid", J: "Tylostyle, k: "Subtylostyle".
Gambar l0. Mikrosklera monoaxon. a: "Microxea, b: "Microstrongyle", c: "Centrotylote microxea" d: "Microtylostyle",e: "Comma", f: "Raphide", g: "Trichordragmata", h: "Sahidaster" i: "Verticillate", j: "Anisodiscorhabd", k: "Spiraster", l:"Anthosigma",m: "Selenaster" n: "Spinispira", o: "Spirula", p: "Toxaspire".
23
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1 1 .
Mikrosklera bentuk bintang atau "astrose" (a-e: Streptosklera; f-o: "Euaster"). a & b: "Plesiaster", c: "Amphiaster", d: "Metaster", e; "Spiraster", f: "Oxyaster", g: "Oxyspheraster" h: "Pycnaster", i: "Strongylaster", j: "Tylaster", k: "Anthaster", 1: "Anthospheraster", m: "Sterrospheraster", n: "Sterraster", o: "Aspidaster".
Gambar 12. Mikrosklera bentuk sigma atau Sigmatosklera. a & b: "sigma", c: "Serrate sigma", d: "Diancistra", e: "Toxon", f: "Forcep", g: "Arcuate chela" (pandangan depan & samping), h: "Palmate isochela" (pandangan depan & samping), i: "Palmate anisochela" (pandangan depan & samping), k: "Anchorate isochela" (pandangan depan & samping), 1: "Birotulate", m: "Bipocillium".
24
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KLASIFIKASI TAKSONOMI
Indo-Pasifik lainnya adalah sebagi berikut (dimodifikasi dari SOEST, unpublished) : Subkelas : Tetractinomorpha Demospongiae dengan mikrosklera "astrose" Bangsa : Choristida. Tetractinomorpha yang mana megasklera "tetractine" nya berarsitektur jari-jari atau radial. Subbangsa : Astrophorida. Choristida dengan mikrosklera "astrose". Suku : Stelletidae. Astrophorida dengan "euaster" dan spikula "triaene", Contoh : Ecionemia, Ancorina, Stelletta. Suku : Geodiidae. Astrophorida dengan "sterraster" atau "aspidaster". Contoh : Geodia, Caminus, Erylus. Subbangsa : Spirophorida. Choristida dengan sigmaspira. Suku : Tetillidae. Spirophorida dengan "triaene”. Contoh : Cinachyra (dengan "porocalyx"). Bangsa : Hadromerida. Tetractinomorpha dengan "tylostyle" dalam susunan radial periferal. Suku : Clfonidae. Hadromerida pengebor. Contoh : Cliona, Cliothosa. Suku : Spirastrellidae. Hadromerida dengan "spiraster". Contoh : Spirastrella. Suku : Timeidae. Hadromerida dengan "euaster". Contoh : Timea. Suku : Tethyidae Hadromerida dengan "style" atau "strongylostyle". Contoh : Tethyopsis, Xenospongia.
Menurut beberapa pakarnya, spons termasuk filum Porifera yang dibagi dalam 3 kelas, seperti di bawah ini : 1. Kelas Hexactinellida : Merupakan spons gelas. Spikula terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin. Spikulanya berbentuk bidang "triaxon", dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari (Hexactinal). Spons dari kelas ini belum banyak dikenal, karena sulit mendapatkan dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 m) 2. Kelas Calcarea : Spikula spons ini tersusun dari Kalsium karbonat dan tidak mengandung spongin. Sebagian besar spons dari kelas ini bentuknya kecil-kecil dan berwarna putih keabu-abuan, dan ada beberapa jenis berwana kuning, pink, atau hijau. Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula "triaxon" dan tidak ada perbedaan antara megasklera dan mikrosklera. Beberapa jenis spons ini yang umum adalah Sycon gelatinosum (berbentuk silinder berwarna coklat muda), Clathrina sp. dan Leucetta sp. Spons dari kelas ini juga sedikit jumlahnya, lebih kurang hanya 10% dari jumlah semua hewan spons yang ada di laut. 3. Kelas Demospongiae : Hampir 75% jenis spons yang dijumpai di laut adalah dari kelas Demospongiae. Spons dari kelas ini tidak memiliki spikula "triaxon" (spikula kelas Hexactinellidae), tetapi spikulanya berbentuk "monaxon", "tetraxon" yang mengandung silikat. Beberapa jenis spons kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja. Beberapa contoh klasifikasi kelas ini yang umum dijumpai di perairan Indonesia dan juga dijumpai di beberapa wilayah
25
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Suku : Microckmidae. Poecilosclerida dengan ekostosom seperti tonjolan bulu-bulu sikat dari "subtylostyle". Contoh : Clathria, Rhaphidophlus. Suku : Myxillidae. Poecilosclerida dengan tangesial ekstosom "tylote". Contoh : Tedania. Suku : Mycalidae. Poecilosclerida dengan "anisochelae". Contoh : Mycale. Suku : Esperiopsidae. Poecilosclerida dengan retikulasi atau kerangka "plumoreticulate" dan megasklera "diactine". Contoh: lotrochota, Coelocarteria, Liosina. Bangsa : Haplosclerida. Ceractinomorpha dengan spikula "diactine" kecil-kecil. Retikulasi serat-seratnya tersusun rapih. Suku : Petrosiidae. Haplosclerida dengan kerangka "alveolus" (serat-serat kerangkanya isotropik). Contoh : Petrosia, Xestospongia. Suku : Oceanapiidae. Haplosclerida dengan suatu kerangka ekstosom yang terdiri dari lapisan-lapisan retikulasi yang isotropik dari spikula tunggal, retikulasi kerangka choanosom yang anisotropik juga dari spikula tunggal. Contoh : Oceanapia, Aka. Suku : Callyspongiidae. Haplosclerida dengan retikulasi ekstosom ganda dari serat-serat spongin yang berintikan spikula tipis. Contoh : Callyspongia. Suku : Niphatidae. Haplosclerida dimana kumpulan spikula pada ekstosomnya beretikulasi paratangensial. Contoh: Amphimedon, Gelliodes.
Suku : Suberitidae. Hadromerida tanpa mikrosklera "astrose". Contoh : Suberites, Terpios. Bangsa : Chondrosida. Tetractinomorpha tanpa megasklera. Suku : Chondrosiidae. Chondrosida dengan korteks organik. Contoh : Chondrilla. Subkelas : Ceractinomorpha. Demospongiae dengan kerangka retikulasi (spons primitif) Bangsa:Halkhondrida. Ceractinomorpha dengan "oxea" dan "styles" yang sama dan tanpa lokalisasi tertentu, juga terdapat "intermediate" spikula; kemungkinan besar memiliki juga "isonitril". Suku:Axinellidae. Halichondrida dengan kerangka jari-jari yang memusat. Megaskleranya adalah "style" kadang-kadang dengan "oxea". Permukaan dan kerangka ekstosom tersusun dengan spikula yang menonjol pada permukaan spons (seperti bulu-bulu sikat). Contoh : Pseudaxinella. Suku:Halichondriidae. Halicondrida dengan spikula yang rapat, tetapi jalur kumpulan spikula pada choanosomnya samar-samar serta susunan spikulanya tidak teratur. Contoh : Myrmekioderma, Amorphinopsis, Axinyssa, Ciocalypta, Hymeniacidon. Bangsa : Poecilosclerida. Ceractinomorpha dengan mikrosklera "sigmatose" (Chelae, sigmata, toxa) dan " acanthostyle" yang berdiri ("sigmata" dan "toxa" juga terdapat pada Bangsa Haplosclerida tetapi tanpa "acanthostyle").
26
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Suku : Chalinidae. Haplosclerida dengan kerangka "paucispicular" anisotropik. Contoh : Haliclona, Dendroxea. Bangsa : Dictyoceratida.
Suku : Aplysinellidae. Verongida dengan serat-serat "dendritic" (serat-serat tebal, bentuk tak beraturan dan relatif jarang). Contoh : Aplysinella, Druinella.
Ceractinomorpha tanpa spikula. kerangkanya selalu anisotropik.
Selanjutnya, hasil uraian spesimen seperti pada protokol di atas, dapat dipakai untuk mengidentifikasi nama jenisnya (species), dengan cara menelusuri literatur-literatur atau tulisan-tulisan tentang taksonomi sponsspons di Indo-Pasifik yang ditulis oleh para pakar spons, seperti : SOLLAS, LEVI, CARTER, TOPSENT, GRAY, RIDLEY, DENDY, SCHMIDT, VOSMAER, DE LAUBENFELS, SOEST, BERGQUIST, HOOPER dan lain-lainnya.
Suku : Spongiidae. Dictyoceratida dengan serat-serat tanpa jalur-jalur dan sebagian besar tanpa garis-garis. Contoh : Spongia, Hippospongia, Dactylospongia, Phyllospongia. Suku : Thorectidae. Dictyoceratida dimana serat-serat spongia membentuk kerangka "anastomose". Contoh : Ircinia, Hyrtyos, Smenospongia. Bangsa : Dendroceratida. Ceractinomorpha tanpa spikula silikat dengan "choanocyte" berbentuk kantong yang besar. Serat-seratnya selalu "dendritic" dan juga anisotropik. Suku : Aplysillidae. Dendroceratida dengan serat-serat kerangka yang "dendritic" dan kadang-kadang didukung dengan spikula spongin yang tidak menempel pada kerangka primer. Contoh : Aplysilla, Pleraplysilla. Suku : Dysideidae. Dendroceratida yang mana seratserat sponginnya membentuk kerangka "anastomose" dan bergaris-garis pada lapisan yang bervariasi (kerangka anisotropik sering mengandung butiran pasir). Contoh : Dysidea, Euryspongia. Bangsa : Verongida. Ceractinomorpha tanpa spikula silikat dengan jalur-jalur organik khusus pada serat-seratnya (berwarna gelap pada cahaya transmisi).
MORFOLOGI DAN EKOLOGI SPONS Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dan jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal. Pengamatan yang dilakukan oleh AMIR (1992), menunjukkan bahwa spons pada jenis yang sama pertumbuhannya cenderung semakin besar dan meninggi dengan bertambahnya kedalaman laut. Diameter oskula spons juga dipengaruhi oleh suhu, ombak, kekeruhan, sedimen, tekanan dan kecepatan arus air.
27
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Spons yang berada di lingkungan yang keruh dan berarus keras, oskulanya cenderung berada di puncak permukaan tubuh atau kadangkala menyerupai cerobong. Predator dan kompetisi juga dapat mempengaruhi morfologi dari spons. beberapa jenis dari opisthobranchia, prosobranchia dan echinodermata dikenal memangsa spons. Sehingga secara evolusi, spons akan beradaptasi untuk menghindar dari predatorpredator tersebut, misalnya merubah menjadi spons pengebor (SOEST unpublished). Spons juga berkompetisi dengan alga dan karang dalam hal mendapatkan cahaya. pada lingkungan yang agak gelap (mungkin terhalang atau di perairan yang agak dalam), spons berhasil mendapatkan cahaya, misalnya secara evolusi spons berhasil tumbuh di antara sela-sela alga dan karang dengan bentuk tubuh bercabang. Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah. Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionya (misal berwarna ungu dan merah jambu). Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophita (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagella atau zooxanthella (WILKINSON 1980). Spons adalah hewan "filter feeder" yang menetap, dimana hewan ini dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran air tersebut menyediakan kumpulan makanannya dan oksigen. Makanan spons terdiri dari detritus organik seperti bakteri, zooplankton dan phytoplankton yang kecil-kecil yang mana secara efektif ditangkap oleh sel-sel berbulu cambuknya. Spons adalah hewan "filter feeder" yang dapat menyaring
partikel yang sangat kecil (diameter < 50µm) yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (BERGQUIST 1978). Spons dari jenis Mycale hidup bersimbiosa dengan karang (Tubipora), dimana spons tersebut hidup di dalam rongga karang tersebut (SOEST & VERSEVELDT 1987). Sedangkan spons pengebor seperti Cliona hidup pada substrat yang berkapur, seperti pada cangkang moluska, karang dan coralline algae. Spons pengebor dapat menyebabkan bioerosi terhadap karang (WILKINSON. 1983). Tetapi ada beberapa jenis spons yang dapat mengikat beberapa patahan-patahan karang sampai tumbuh menjadi karang baru (WULFF. 1984). Beberapa hewan laut seperti kerang, kepiting, tunicata, polychaeta, amphipoda, isopoda dapat hidup atau berlindung secara menetap atau sementara di dalam spons. Jadi spons juga merupakan habitat bagi hewan-hewan lain yang lebih kecil darinya (BERGQUIST 1978). REPRODUKSI Pada umumnya hewan spons berkelamin ganda (hermaprodit), tetapi memproduksi sel telur dan sel spermanya pada waktu yang berbeda. Hewan ini dapat juga berkembang biak (reproduksi) secara aseksual (fragmentasi). BERGQUIST (1978) melaporkan bahwa dalam reproduksi seksual, hewan ini membutuhkan air yang mengalir untuk membantu pertemuan sperma dengan telur. Pejantan melepaskan spermanya melalui oskula, kemudian mengalir dan masuk ke dalam saluran masuk (ostia). Kemudian sperma tersebut ditangkap oleh "Chaonocyte" dan bertemu dengan telur dalam mesohil. Pada jenis spons yang ovipar, telur yang telah dibuahi dikeluarkan dari tubuh spons dan
28
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
makanan yang ada ditubuhnya, kemudian beregenerasi membentuk tunas baru atau kompleks gemmula untuk menjadi spons dewasa (BERGQUIST 1978). Cara reproduksi fragmentasi ini dapat ditiru untuk membuat kultur spons.
kemudian menetas. Sedangkan, pada jenis spons yang vivipar, larva spons dikeluarkan dari tubuh spons dan berenang dengan bulu getarnya selama selang waktu tertentu sampai mendapat tempat menempel yang sesuai. Larva dari kelas Calcarea disebut "amphibiastula" (Gambar 13a) sedangkan larva dari kelas Demospongia disebut "parenchymula" (Gambar 13c). Setelah menempel, larva mengalami metamorfosa menjadi individu muda, disebut "olynthus" pada Calcarea (Gambar 13b) dan "rhagon" pada Demospongia (Gambar 13d). Pcrtumbuhan spons muda menjadi individu yang dewasa dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, kekeruhan, arus air, kemiringan dasar, sedimen, serta kompetisi ruang (BERGQUIST & TIZARD 1969). Reproduksi aseksual umumnya dengan fragmentasi. Potongan-potongan dari spons yang patah dapat hidup dengan cadangan
MANFAAT DAN NILAI EKONOMIS SPONS Beberapa jenis spons telah dikenal memiliki manfaat seperti untuk bioindikator pencemaran, indikator dalam interaksi komunitas dan juga dipakai sebagai alat penggosok (bath sponges). Beberapa jenis spons kaya akan senyawa kimia seperti karotin, asam amino bebas, sterol, asam lemak, brominat phenol, derivat senyawa dibromotyrosine dan bromopyrol (BERGQUIST & HARTMAN 1969; BERGQUIST 1978; LAWSON et al. 1984),
Gambar 13. Ilustrasi larva dari Calcarea (a & b) dan Demospongiae (c & d). a : Amphibiastula, b: Olynthus, c : Parenchymella, d : Rhagon.
29
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
serta senyawa kimia baru (CAPON et al. 1986) dan juga memiliki nilai yang penting untuk industri farmasi (ALLEN et al. 1986). Hal ini disebabkan beberapa jenisnya memiliki sifat antibiotis yang tinggi (BERGQUIST & BEDFORD 1978; AMADE et al. 1978) serta "antifouling", dan "antiinflamatory" (BAKUS et al. 1984). HOOPER et al (1978) mengidentifikasi senyawa kimia yang dikandung beberapa jenis spons untuk "Kimia -Taksonomi", diantaranya adalah : pigmen karotin dalam spons jenis Antho, Eurypon, Clathria, dan Cyamon; asam amino bebas dalam spons jenis Clathria; Clathriopsumma. Selanjutnya HOOPER et al (1978) mengekstrak spons jenis Amphinomia sulphured dan Trikentrion flabelliforme dalam fraksi ethanol/hexane yang mana menunjukkan sifat antimikroorganisma (E. coli; B.subtilis dan S. cerevisiae) yang paling positip dibandingkan dengan aktifitas antibiotik dari jenis spons lainnya. Sifat antibiotis ini, mungkin disebabkan oleh sulfur (zat belerang) yang dikandung simbion spons tersebut. Secara fisiologis, proses metabolisme hewan spons juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti : temperatur, kekeruhan, kekuatan arus, cahaya, salinity serta faktor-faktor kimiawi lainnya. Sehingga jenis spons yang sama tetapi masing-masing hidup pada kondisi lingkungan yang berbeda, dapat memiliki keaktifan metabolit sekunder yang berbeda pula (DAVIDSON pers. comm).
beberapa ilmuwan dari berbagai bidang seperti taksonomi, ekologi, fisiologi serta biokimia yang saling terkait dan berkaitan. Hal ini penting, karena spons bukanlah hewan yang telah siap pakai untuk mencapai nilai tambah tersebut. Hal lain yang juga sama pentingnya adalah bahwa, dalam pencarian senyawasenyawa kimia baru tersebut bukan berarti untuk mengeksploitasi spons secara tidak bijaksana, tetapi hasil penemuan tersebut akan dipakai sebagai pola atau model untuk membuat senyawa sintetisnya (apabila memang sudah positif bermanfaat untuk industri kimia/farmasi). Dalam pengambilan spesimen spons di laut harus selalu mempertimbangkan sifatsifat ekologis hewan spons tersebut, sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih efisien dari segi waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Dan yang lebih penting pula yaitu pada pengambilan spesimen tidak sampai mengganggu ekosistem itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA ALLEN, T.M., SHARMA, A. and DUBIN, R.E. 1986. Potential new anticancer drugs from marine organisms collected at Enewetak Atoll. Bull. Mar. Sci. 38 (1): 4-8. AMADE, P., CHARROIN, C, BABY, C. and VACELET, J. 1987. Antimicrobial activities of marine sponges from the Mediterranean Sea. Mar. Biol. 94 (2) : 271-276.
KESIMPULAN
AMIR, I. 1992. Sponge fauna of coral reef ecosystem in the Seribu Islands and Ujung Kulon. In Third ASEAN Science and Technology Week Conference Proceedings. Vol.6. Marine Science Living Coastal Resources.
Perairan Indonesia memiliki jenis-jenis hewan spons yang terlengkap di dunia. Pemanfaatan dan nilai ekonomis hewan spons laut dapat pula diterapkan untuk kemajuan dan pembangunan bangsa Indonesia, salah satu caranya adalah melalui kerjasama antara
30
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
BAKUS, G.J. and KAWAGUCHI, M. 1984. Toxins from marine organisms : Studies on antifouling, toxins, drugs, and pollutants. In : BOLIS et al (Eds). Marine Animals. Springer-Verlag Berlin Heidelberg : 43-46.
sponges: Families Microcionidae, Raspailiidae and Axinellidae, and their relationships with other Families in the Orders Poecilosclerida and Axinellida (Porifera: Demospongiae). Invertebr. Taxon. 6: 261-301.
BERGQUIST, P.R. 1978. Sponges. Hutchinson, London : 268 pp.
LAWSON, M.P., BERGQUIST, P.R. and CAMBIE, R.C. 1984. Fattyacid composition and the classification of the Porifera. Biochem. System and Ecol. 12 (4) : 375-394.
BERGQUIST, P.R. and BEDFORD, J.J. 1978. The incidence of actibacterial activity in marine Demospongiae; systematic and geographic considerations. Mar. Biol 46: 215-221
SOEST, R.W.M. VAN 1989. The Indonesian sponge fauna: A status report. Neth. J. S. Res. 23 (2) : 223-230.
BERGQUIST, P.R. and HARTMAN, W.D. 1969. Free amino acid patterns and the classification of the Demospongiae. Mar. Biol. 3 (3) : 247-268.
SOEST, R.W.M. VAN and VERSEVELDT, J. 1987. Unique symbiotic otocoral-sponge association from Komodo. IndoMalayan Zool. 4 : 27-32.
BERGQUIST, P.T. and TIZARD, C.A. 1969. Sponges Industry. In Firth (Ed.). Encyclopedia of Marine Resources: 665670.
WILKINSON, C.R. 1980. Cyanobacteria symbiotic in marine sponges. In SCHWEMMLER et al (Eds). Endocytobiology : endosymbiosis and cell biology. Walter de Gruyter, Berlin : 553-563.
BUCHSBAUM, R. 1948. Animals without backbones. The University of Chicago Press, Chicago.
WILKINSON, C.R, 1983. Role of sponges in coral reef structural processes. In : BARNES (Eds). Perspective on Coral Reefs. AIMS, Townsville : 263-274.
CAPON, R.J., MACLEOD, J.K., and SCAMMELLS, P.J. 1986. The Trikentrins: novel indoles from the sponge Trikentrion flab e Hi forme. Tetrahendron 42 (23) : 6545-6550.
WULFF, J.L. 1984. Sponge-mediated coral reef growth and rejuvenation. Coral Reefs 3 : 157-163.
HOOPER, J.N.A., CAPON, R.J., KEENAN, C.P., PARRY, D.L. and SMIT, N. 1992. Chemotaxonomy of marine
31
Oseana, Volume XXI No. 2, 1996