W
buletin
ra
ai
merupakan media informasi sosialisasi demokrasi yang diterbitkan setiap 3 bulan oleh Elpagar (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat), bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dan Kemitraan.
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab : Furbertus Ipur (Direktur Elpagar) Pemimpin Redaksi : Muhammad Isa Redaktur Pelaksana : Ar Irham Sidang Redaksi : Furbertus Ipur, Muhammad Isa, Ar Irham Tim Liputan : Sri Pujiani, Yooce Febrina Tutkey Kontributor : Peserta Sekolah Demokrasi Desain Visual : Rudy Fransiskus Alamat Redaksi : Jl. Abdurrahman Saleh 3 No. 7 Pontianak 78124 Telepon: (0561) 735155 Email:
[email protected] Situsweb: sekolahdemokrasi.elpagar.org
EDITORIAL
Gebrakan Generasi Gentong
M
engawali Rawai Edisi 9, kami ucapkan selamat kepada 45 peserta Sekolah Demokrasi Sanggau angkatan ketiga. Selamat bergabung kepada sosok-sosok baru yang akan mewarnai setahun kebersamaan, tentu dengan berbagai dinamika di dalamnya. Ada yang berbeda pada angkatan kali ini, yakni munculnya Gentong sebagai akronim dari Gerakan Gotong Royong. Gentong digalang atas dasar mendorong kemandirian atau swadaya bersama dari alumni Sekolah Demokrasi, yang tergabung dalam KKDS untuk ikut ambil bagian dalam kinerja penyelenggaraan Sekolah Demokrasi di Sanggau selanjutnya. Gentong diinisisasi oleh Elpagar dan alumni Sekolah Demokrasi pada peserta Sekolah Demokrasi. Sehingga didapat 45 orang sebagai peserta Sekolah Demokrasi tahun 2013. Gentong lahir sebagai bentuk solusi dari realita peningkatan jumlah peminat diban ding tahun-tahun sebelumnya. Masih banyak orang yang berminat ikut belajar di Sekolah Demokrasi, tetapi terbatasnya dana dan kesempatan kemudian terjaringlah jumlah peserta yang sesuai dengan kuota. Di satu sisi, ini adalah kabar gembira bahwa Sekolah Demokrasi sudah mulai dikenal arti pentingnya di kalangan masyarakat Sanggau. Namun di sisi lain menjadi tantangan, bagaimana minat besar untuk belajar tentang demokrasi, sebaiknya diakomodir supaya semakin banyak orang paham tentang demokrasi yang sesungguhnya. Semoga semangat Gentong juga bisa menular ke Sekolah Demokrasi lain di Indonesia. Sehingga semakin banyak orang yang bersemangat untuk bergabung di Sekolah Demokrasi, tak terbentur pada kondisi terbatasnya dana penyelenggara. Bukankah terasa indah kebersamaan bergotong royong, sebagai satu di antara semangat jiwa demokratis? Mari bersama-sama memupuk semangat demokrasi, agar menjelma menjadi sikap demokratis dalam berbagai lini kehidupan. Redaksi
Redaksi menerima kiriman artikel/opini dan pemasangan iklan layanan masyarakat.
DAFTAR ISI RAWAI
8
RUANG PUBLIK
Partisipasi Politik Perempuan Indonesia 9
TOKOH INSPIRATIF
We Tenri Olle, Ratu Tanete: Pejuang Emansipasi dari Bugis 10
RUANG PUBLIK
Partai Politik Gagal sebagai Aset Rakyat 3-4
6
11
Jarak Memisahkan Cinta (Produk) Indonesia
Gentong, Terobosan Sekolah Demokrasi Sanggau
Kejamnya Perbudakan Tentara Anak
LAPORAN UTAMA
KABAR KITA
5
7
Primadona dari Negeri Tetangga
Wibawa Pemerintah di Mata PKL
RUANG PUBLIK 2
Wai
ra
OPINI
RESENSI FILM 12
KALENDER KEGIATAN SEKOLAH DEMOKRASI SANGGAU
RAWAI
LAPORAN UTAMA
Jarak Memisahkan Cinta (Produk) Indonesia
H
ari cerah hingga menjelang sore hari di musim penghujan pada awal tahun 2013 adalah berkah bagi pelintas di jalan raya trans Batang Tarang-Sanggau. Intensitas hujan merubah jalan aspal yang berlubang menjadi bubur lumpur, manakala jalan sempit itu dilewati oleh mobil-mobil truk pengangkut barang. Tak jarang tiga sampai lima truk jatuh terbalik di sana, hingga mengakibatkan jalan tersebut dimaceti oleh berbagai kendaraan berjam-jam. Peristiwa ini rutin terjadi di setiap tahun dan menjadi topik hangat di kalangan masyarakat untuk mengeluhkan pembangunan jalan umum. Begitu pula isi perbincangan Nur, karyawati satu toserba di Sanggau dan salah satu karyawan pendistribusi rokok. Sore itu mereka membicarakan kelancaran transportasi dari Pontianak hingga Sanggau di antara rutinitas mereka mencatat dan
menghitung orderan stok barang. Kota Sanggau yang terletak di tengah Kalimantan Barat, membuatnya bergantung pada distribusi barang-barang dari ibukota yang terletak jauh di hilir yaitu Pontianak. Tetapi perbatasan dengan negara tetangga lebih dekat jaraknya daripada ibukota provinsi, yaitu pintu masuk di kecamatan Entikong. Sehingga produk impor Malaysia lebih mudah diakses. Walaupun dengan status Entikong hanyalah pintu masuk perlintasan,
“
Perbatasan dengan negara tetangga lebih dekat jaraknya daripada ibukota provinsi, yaitu pintu masuk di kecamatan Entikong, sehingga produk impor Malaysia lebih mudah diakses.”
barang-barang impor bisa masuk tanpa dikenakan bea masuk impor bila dibawa oleh pelintas batas untuk kepentingan pribadi. Tentu bea masuk barang-barang tersebut berdasarkan peraturan bea cukai, yang telah di tentukan dalam undang-undang dan peraturan. Tetapi tidak semua barang-barang yang masuk dapat diketahui dan dapat dikenakan bea cukai. Banyak barang non-bea cukai atau tidak melewati pajak barang masuk lewat lintas batas pada jalur-jalur khusus. Adanya penyalahgunaan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB) untuk membawa produk-produk impor memicu ketersediaan barang-barang impor tersebut mendominasi pasar hingga menyebar ke seluruh wilayah Kalbar pada umumnya dan kabupaten Sanggau pada khususnya. Apalagi kasus penyelundupan gula
Wai
ra
3
dari Malaysia masih marak terjadi. “Barang-barang itu diantar sendiri oleh penyalurnya”, jawab Nur ketika saya bertanya bagaimana Toserba tersebut dapat menyediakan kue-kue yang berbungkus, bersampul dan berbahasa Malaysia. Entikong berpotensi menjadi pintu impor jalur darat, karena aturannya pintu impor hanya di pelabuhan. Nur berkata awalnya pemilik toserba tempatnya bekerja itu hanya menjual produk-produk dalam negeri, tetapi kemudian para penyalur barang-barang impor datang ke tokonya tersebut untuk melakukan penawaran barang. Memang sesuai UU nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, barang-barang impor tersebut sudah dikenai cukai terlebih dahulu ketika masuk melalui pintu perlintasan. Terlepas dari regulasi dan aturan, hal lainnya adalah permasalahan geografiekonomi. Kondisi akses dan jalan industri hulu-hilir di Kalbar dalam hubungannya dengan perekonomian nasional hubungannnya terlalu jauh, sementara jarak perbatasan RI-Malaysia di Sanggau ha nya sebatas “sekilas pandang”. Perbandingan jarak geografis ekonomi di industri hilir-hulu telah menciptakan gap yang lebar untuk mengakses barang, baik dari kecepatan, harga dan kemudahan mendapatkannya. Tetapi gap ini berimplikasi kepada akar budaya bangsa Indonesia. Jauh-jauh hari Soekarno telah menetapkan cinta kepada tanah air, berdikari dari, oleh, dan untuk bangsa dan negara. Hal ini berarti juga mencintai produk-produk Indonesia. Ini kondisi ideal yang jauh dari kenyataan. Faktanya budaya westernisasi
“
Minuman cokelat instan produk negeri jiran.
atau masuknya budaya asing telah menciptakan fenomena “kebarat-baratan”, lalu berubah menjadi “kegilaan” ter hadap semua produk asing (China, Korea, Malaysia, Amerika). Akar persoalannya ada pada budaya, dan dengan mudahnya akses dari Malaysia memperparah keadaan dan memperkuat cinta produk Malaysia. Apakah fenomena ini memperlemah nasionalisme secara komunal pada konteks lokal? Beberapa tahun lalu satu TV swasta Indonesia merekam persis bagaimana perangkat desa di daerah Sintang pedalaman yang berbatasan dengan Malaysia mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia apabila akses jalan tidak dibenahi dengan baik. Ungkapan kemarahan dan emosional itu bisa jadi mewakili banyak orang, hanya saja tak terungkap media. Masuknya barang-barang Malaysia, sama dengan ancaman keluarnya nilai nasionalisme jika kita memahami bahwa demokrasi sesungguhnya adalah peme rataan ekonomi dengan dasar keadilan, dimana orang-orang di pedesaan mendapat kemudahan pelayanan seperti yang ada di kota sesuai proporsi. Apabila permasa lahan ini berlanjut, maka di masa yang akan datang produk lokal akan tergilas. Aswandi, tokoh masyarakat Majelis Adat Melayu Semuntai berkata “produkproduk buatan negeri kita sekarang juga
ndak kalah dengan produk Malaysia”. Dia membandingkan harga gas elpiji antara buatan dalam negeri dengan bu atan Malaysia. Menurutnya harga-harga barang dalam negeri sekarang mulai terjangkau oleh masyarakat. Pencanangan perekonomian bebas antar negara tidak dapat disaingi. Runtuhnya perekonomian lokal, sama dengan runtuhnya budaya lokal kare na ekonomi globalisasi memaksa secara halus para konsumen untuk mengu bah cara pandang kebutuhan manusia hingga dari mana barang itu berasal. Masyarakat tidak akan membeli produk sari temulawak buatan lokal hanya kare na produk tersebut buatan lokal dalam negeri, tetapi lebih memilih buatan luar. “Ya itu kan selera masing-masing orang saja”, tambah Nur, begitu pula yang dikatakan oleh Aswandi. Beragam bentuk program pemerintah yang menggalakkan buatan lokal dengan memberi bantuan modal, keterampilan dan akses pemasaran. Program ini tentu baik, tetapi harus juga diimbangi de ngan pemahaman budaya. Contoh lain misalnya program untuk mengangkat budaya lokal, tentang bagaimana budaya terkikis oleh industrialisasi, budaya menghilang karena kehilangan tanah, budaya melemah karena ekonomi pada umumnya orang tidak berminat. Sungguh menyedihkan. (yooce tutkey) DOK. RAWAI
Akar persoalannya ada pada budaya, dan dengan mudahnya akses dari Malaysia memperparah keadaan dan memperkuat cinta produk Malaysia.”
RAWAI
LAPORAN UTAMA
4
Wai
ra
RUANG PUBLIK
Primadona dari Negeri Tetangga Heri Priyanto Alumnus Sekolah Demokrasi Sanggau Angkatan II
S
emenjak diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas minyak bumi yang dicairkan atau elpiji (LPG/ Liquified Petroleum Gas) oleh pemerintah, kebutuhan elpiji untuk bahan bakar alat dapur dan kendaraan meningkat. Hal ini juga didorong oleh kelangkaan minyak tanah sebagai dampak dari pembatasan produksi yang merupakan kebijakan pemerintah. Dampak lain yang dirasakan oleh ma syarakat adalah ketergantungan terhadap ketersediaan elpiji, sebagai kebutuhan rumah tangga dalam proses mempermudah pekerjaan di dapur. Hal yang sama dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sanggau pada umumnya, selain langkanya ketersediaan minyak tanah di pasaran, masyarakat juga sudah mulai terbiasa dimanjakan oleh kepraktisan dalam menggunakan bahan bakar elpiji untuk kebu tuhan rumah tangga. Namun sangat disayangkan, keberadaan bahan bakar elpiji tidak seperti yang dijanjikan oleh pemerintah. Elpiji yang sudah mulai menjadi primadona di kalangan masyarakat, ketersediaannya di pasaran sering memunculkan beragam tanda tanya di benak masyarakat. Entah kenapa elpiji yang harganya sudah me rangkak naik, menjadi sulit untuk didapati dan harganya pun sangat variatif. Di sisi lain, perawatan terhadap kondisi fisik tabungnya pun tidaklah maksimal, hal ini bisa dilihat dari bentuk fisik tabungnya yang sepertinya dibiarkan begitu saja sehingga berkarat. Harga elpiji dalam negeri di Kabupaten Sanggau sangatlah beragam, untuk Kota Sanggau sendiri tabung elpiji tiga kilogram di tingkat pengecer dihargai Rp 19 ribu hingga Rp 25 ribu per tabung. Sedangkan tabung elpiji 12 kilogram dihargai Rp 115 ribu hingga Rp 135 ribu, itupun jika barangnya tidak langka. Di tingkat kecamatan, harga eceran elpiji dalam negeri lebih bervariasi lagi. Harga eceran elpiji tiga kilogram berkisar antara Rp 30 ribu hingga Rp 35 ribu per tabung, sedangkan tabung 12 kilogram berkisar di antara Rp 160 ribu sampai Rp 175 ribu per tabung. Di tingkat kecamatan, tabung elpiji 12 kilogram lebih sulit diperoleh. Hal ini bisa dimaklumi karena dilatarbelakangi ketersediaan barangnya memang terbatas di pasaran. Seperti yang diungkapkan
oleh Paulinus Si’in, petani yang berasal dari Kecamatan Bonti. “Tabung elpiji tiga kilogram harganya dua puluh lima ribu sampai tiga puluh ribu per tabungnya. Sedangkan elpiji 12 kilogram seratus enam puluh ribu sampai seratus tujuh puluh lima ribu. Elpiji 12 kilogram lebih sulit diperoleh,” tuturnya. Di tingkat desa dan dusun harga elpiji tiga kilogram bisa mencapai Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu per tabungnya. Seperti yang diungkapkan seorang guru di pelosok Kecamatan Meliau. “Kalau di tempat tugas saya, harga elpiji tiga kilogram itu empat puluh ribu per tabungnya, dan maksimal penggunaannya selama dua minggu”. Sedangkan elpiji 14 kilogram yang merupakan produksi dari negeri tetangga (Malaysia), harga eceran untuk di Kota Sanggau berkisar antara Rp 175 ribu sampai Rp 185 ribu per tabungnya, bahkan bisa lebih dari kisaran harga tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu penjual Elpiji di Kota Sanggau. “Kalau barangnya masuk dengan lancar, har ganya akan murah, tapi kalau barangnya susah masuk, harganya akan mahal”. Di tingkat kecamatan harganya pun sangat bervariasi, semakin dekat Kota Kecamatan dengan Malaysia (Serawak), harga eceran per tabungnya pun semakin murah. Kisaran harga elpiji 14 kilogram dari negeri tetangga, berkisar antara Rp 160 ribu sampai Rp 190 ribu. Seperti yang diungkapkan Gatot Setiarno, petugas kese hatan di Puskesmas Entikong. “Kalau di Entikong, elpiji Malaysia itu seratus enam puluh ribu per tabung.” Hal senada juga diungkapkan oleh Paulinus Si’in, “Kalau di Bonti harga elpiji dari Malaysia seratus delapan puluh lima ribu sampai seratus Sembilan puluh ribu per tabung”. Berdasarkan informasi yang kami himpun dari berbagai kalangan di Kabupaten Sanggau, masyarakat lebih memilih menggunakan elpiji dari Malaysia diban ding elpiji produksi dalam negeri dengan berbagai alasan. Ada yang mengungkapkan bahwa mereka memilih menggunakan elpiji dari Malaysia karena faktor kea manan. Ada juga menggunakan elpiji dari Malaysia karena volume elpiji terjamin. Tidak seperti elpiji Indonesia yang isi gas dalam tabungnya yang biasanya kurang. Menyimak pernyataan-pernyataan masyarakat tersebut, sangatlah jelas
bahwa elpiji yang berasal dari negara te tangga kita yakni Malaysia sangat menjadi primadona di kalangan masyarakat di Kabupaten Sanggau. Hal ini dikarenakan elpiji dari negeri tetangga memang memiliki kualitas yang jauh lebih baik daripada elpiji produksi dalam negeri. Volume elpiji sesuai dengan yang tertera di tabung dan kondisi fisik tabung yang mulus karena perawatan tabungnya sangat baik, hal yang bertolak belakang dengan elpiji produksi dalam ne geri. Seperti pengakuan dari seorang ibu rumah tangga yang namanya tidak mau disebutkan, “Saya lebih puas pakai elpiji Malaysia, karena bisa tiga bulan bahkan sampai empat bulan lama penggunaannya”. Lain halnya dengan seorang ibu yang bekerja sebagai guru di Kota Sanggau, yang dengan lugas mengatakan bahwa jangan sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang elpiji dari Malaysia masuk Kota Sanggau. “Pokoknya jangan elpiji dari Malaysia dilarang. Gas kita itu kualitasnya kurang bagus dan harganya pun mahal. Kasihan masyarakat,” pintanya. Negara semestinya dapat menjamin terpenuhi kebutuhan hidup, dan dapat menghadirkan rasa aman bagi setiap warga negaranya. Namun jika kita melihat kenyataan yang ada, sepertinya negara masih kurang serius untuk memenuhi kewajibannya. Pemerintah, melalui pihakpihak terkait semestinya berupaya agar pendristribusian bahan bakar elpiji dapat berjalan dengan baik, dan melakukan perawatan yang memadai terhadap kondisi fisik tabung elpiji yang disalurkan kepada masyarakat. Di samping itu, pemerintah sebaiknya membuat standar harga eceran tertinggi (HET) agar harga elpiji dapat dijangkau masyarakat dari semua kalangan. Jika tidak, bukan tidak mustahil tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produkproduk dalam negeri akan menurun dan hal ini akan berimbas bagi negara, terutama dalam kepentingan ekonomi negara. Sudah semestinya produk-produk dari dalam negeri menjadi primadona di negeri sendiri, bukan sebaliknya. Masyarakat sebagai warga negara tidak bisa dengan serta merta kita salahkan begitu saja, karena masyarakat berhak untuk memperoleh kualitas barang yang baik sesuai dengan biaya yang sudah mereka keluarkan. Mencintai produkproduk dalam negeri adalah “kewajiban bersama”, pemerintah dan rakyat. Negara melalui pemerintah menjamin standar kualitas, harga dan ketersediaan produk yang memadai, rakyat dengan penuh kesadaran dan tentunya bebas dari rasa takut untuk menggunakan produk-produk dari dalam negeri.
Wai
ra
5
DOK. SEKOLAH DEMOKRASI SANGGAU
KABAR KITA
Gentong,
Terobosan Sekolah Demokrasi Sanggau Gerakan Gotong Royong Biayai Peserta
T
DOK. SEKOLAH DEMOKRASI SANGGAU
ahun 2013 ini adalah kali ketiga penerimaan peserta Sekolah Demokrasi di Sanggau. Bertempat di gedung pertemuan YPSBK sebanyak 67 orang mengikuti tes tertulis dan hadir 65 orang pada tes wawancara. Tes tertulis diselenggarakan pada 1 Februari 2013, sedangkan tes wawancara diadakan dua minggu setelahnya, yaitu pada tanggal 1617 Februari 2013. Terjadi peningkatan jumlah peminat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Keberagaman latar belakang identitas dan domisili asal peserta juga berbeda statistiknya. Tetapi, selain peningkatan antusiasme, ada yang berbeda lagi dari sistem manajemen Sekolah Demokrasi. Gebrakan baru pada tahun ini ialah penggalangan suatu program bernama “Gen-
tong”. Gentong adalah akronim dari Gerakan Gotong Royong, merupakan bentuk program swadaya yang diinisisasi oleh Elpagar dan alumni Sekolah Demokrasi pada peserta Sekolah Demokrasi. Pada dasarnya, KID sebagai pencetus Sekolah Demokrasi memberikan beasiswa kepada 35 orang untuk belajar sampai tuntas selama setahun di Sekolah Demokrasi. Sebelumnya, oleh Elpagar sudah diberikan beasiswa di luar kuota yang ditetapkan KID untuk beberapa orang, sehingga peserta Sekolah Demokrasi Sanggau jumlahnya 37 orang pada tahun pertama dan 40 orang pada tahun kedua. Pada tahun ketiga ini, Gentong digalang atas dasar mendorong kemandirian atau swadaya bersama dari alumni Sekolah Demokrasi, yang tergabung dalam KKDS untuk ikut ambil bagian dalam kinerja penyelenggaraan Sekolah Demokrasi di Sanggau selanjutnya. Se-
Penerimaan Sekolah Demokrasi angkatan tahun 2013.
6
Wai
ra
“
Masih banyak orang yang berminat ikut belajar di Sekolah Demokrasi, tetapi terbatasnya dana dan kesempatan kemudian terjaringlah jumlah peserta yang sesuai dengan kuota.” Muhammad Isa Kepala Sekolah Demokrasi Sanggau
hingga didapat 45 orang sebagai peserta Sekolah Demokrasi tahun 2013. Muhammad Isa sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Demokrasi Sanggau menga takan, masih banyak orang yang berminat ikut belajar di Sekolah Demokrasi, tetapi terbatasnya dana dan kesempatan kemudian terjaringlah jumlah peserta yang sesuai dengan kuota. Gerakan ini juga sekaligus menguji apakah demokrasi memang dibutuhkan masyarakat, sehingga Sekolah Demokrasi menjadi penting adanya. Apa lagi dengan konsentrasi bahwa demokrasi terwujud dalam berbagai aspek pembangunan di Kabupaten Sanggau. “Perubahan dimulai dari orang yang mau berubah”, ucap Isa. Menurut dia filosofi tentang Gentong dimaknai dari berbagai kutipan tentang perubahan pada ayatayat suci berbagai agama. Gerakan gotong royong ini walaupun secara resmi akan diinisiasi oleh Elpagar dan KKDS, tidak menutup kemungkinan pihak lain boleh ikut menyumbangkan daya dalam berbagai bentuk untuk kelangsungan Sekolah Demokrasi. Sumbangsih dari Gentong atas dasar hak dan sukarelawan, bukan kewajiban. Sehingga perubahan yang dimaksud bukan sekadar mimpi apabila masing-masing orang menyadari pentingnya gotong royong membuat perubahan. (yooce tutkey)
OPINI
Wibawa Pemerintah di Mata PKL Joni T. Parinding Alumnus Sekolah Demokrasi Sanggau Angkatan II sanakan peraturan daerah tidak serius. Kalau keadaan ini berlangsung te rus akan membuat wibawa pemerintah tidak ada. Semestinya petugas kea manan sering patroli melihat keadaan dan tempat-tempat yang harus steril dari PKL, awalnya sih garang tapi selanjutnya tidak ada aksi/masa bodoh. Pemerintah sudah seharusnya membuat perencanaan bagaimana membuat PKL ini tertib, rapi dan aman. PKL tidak mungkin dilarang karena mereka juga mencari nafkah untuk dia dan keluarganya. Pemerintah barangkali sudah mempunyai perencanaan hanya pelaksanaan dan pengawasannya yang perlu ditingkatkan serta bimbingan dan pendekatan secara personal. Inilah contoh pemerintah yang tidak serius dalam menangani PKL demi tata kota. Pemerintah kalau memang mau menerapkan peraturan tidak boleh tanggung-tanggung. Akibatnya masyarakat tidak akan percaya dan tidak taat akan peraturan-peraturan yang akan diterapkan di kemudian hari. Masyarakat pasti mengatakan “ah itu panas-panas tahi ayam saja, sebentar lagi PKL itu kembali ke tempat semula”. Kalau begini terus, Sanggau tidak
NET
P
edagang kaki lima alias PKL berdagang dengan modal seadanya, sehingga tidak mampu menyaingi pedagang dengan modal besar. Akibatnya PKL dengan kemampuan masingmasing mendirikan pondok-pondok di pinggir jalan untuk berjualan, demi memenuhi kebutuhan hidup. PKL sering dikejar-kejar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagai perpanjangan tangan pemerintah, Satpol PP memang berperan menertibkan dan memperindah tata kota. Mengingat keberadaan PKL membuat pemandangan sepanjang jalan menjadi semrawut, akibat pondok-pondok yang tidak teratur. Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan penertiban PKL, harusnya sudah mempelajari dan mengkaji permasa lahan para PKL sehingga tidak menemui masalah saat operasi penertiban. PKL di Sanggau khususnya penjual buah, sudah dibangun pasar di Rawa Bangun (terminal oplet). Namun los yang disiapkan pemerintah tidak cukup menampung seluruh PKL, sehingga mereka yang tidak mendapat tempat akan kembali lagi ke tempat semula. PKL juga merasa pembeli menjadi berkurang, kalau berjualan di Rawa Bangun. Inilah kelemahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Semestinya pemerintah tegas. Kalau sudah ditetapkan di sepanjang jalan tidak boleh ada PKL, pemerintah harus konsisten sehingga para PKL bisa memahami. Sebaliknya yang terjadi malahan PKL satu per satu kembali ke lokasi lama, tanpa ada tin dakan tegas pemerintah. Akhirnya semakin banyak PKL yang membuat pondok jualan di tepi jalan. Seperti PKL di di depan kantor pengadilan (simpang GPU), tetap menggelar dagangannya padahal sudah ada tulisan permanen yang dibuat pemerintah tentang larangan berjualan di situ. Justru tulisan tersebut sengaja ditutupi kain. Contoh lain, PKL di sekitar Bunut dekat Jl Perintis. Dulunya PKL di situ sudah pernah ditertibkan dan disuruh pindah ke Rawa Bangun. Mereka lalu kembali lagi dan semakin banyak yang buat pondok bahkan ada yang sudah semi permanen. Masyarakat awam yang melihat keadaan ini pasti mereka mengatakan pemerintah dalam melak-
akan rapi dan tertib. Bagaimana kita bisa mencapai visi Kabupaten Sanggau “Sanggau Bangkit” kalau tidak ada ketegasan. Dari sinilah kita memulai membenahi masyarakat terutama PKL, supaya Sanggau terlihat rapi sehingga semboyan ”PERMAI” bisa terwujud. Bagaimana bisa kelihatan elok dan indah kalau PKL se panjang jalan tidak teratur dan kumuh. Pemerintah dalam hal ini petugas keamanan harus tegas, kalau sudah tidak diizinkan mendirikan bangunan atau pondok untuk jualan di suatu tempat, seharusnya cepat usir PKL yang datang lagi ke tempat lama. Baru-baru ini dilakukan penertiban lagi dengan membongkar pondok para PKL, semoga saja para PKL tidak kembali ke tempat semula seperti keadaan sebelumnya. Kalau pemerintah mau dihargai oleh masyarakat, harus tegas dan berwibawa. Kalau dilihat dari keadaan yang sekarang terjadi adalah wibawa dan ketegasan tidak ada, sehingga para PKL hanya mematuhi aturan sesaat saja yakni pada saat operasi penertiban oleh Satpol PP. Saya menyarankan pemerintah membuat kajian, sebelum melaksanakan suatu kebijakan. Sehingga kebijakan yang akan diterapkan tidak membuat masyarakat resah, dan pemerintah juga tidak segan dalam menerapkan kebijakan tersebut. Memang dalam melaksanakan suatu aturan pasti ada pro dan kontra, tetapi yang pro pasti lebih ba nyak kalau memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Penertiban pedagang kaki lima oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP).
Wai
ra
7
RUANG PUBLIK
Partisipasi Politik Perempuan Indonesia Elis Mardiyatul Jannah Alumnus Sekolah Demokrasi Sanggau Angkatan II
G
erakan reformasi tidak bisa disangkal telah membawa berbagai macam perubahan di berbagai ranah kehidup an, baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Begitu juga dengan perempuan, seakan menemukan momentumnya pasca tumbangnya Rezim Orba yang sebelumnya sangat mengungkung kehidupan perempuan. Di masa Orde Baru, dimana budaya patriarki Jawa begitu mendominasi kehidupan kenegaraan, perempuan identik dengan PKK, arisan dan KB (Keluarga Berencana). Saat reformasi bergemuruh, maka kemudian muncul tuntutan akan adanya pemberian kesempatan dan peran yang lebih luas lagi kepada perempuan bukan saja di wilayah domestik, namun diharap perempuan dapat diberikan kesempatan berperan aktif di wilayah publik. Di ranah politik, kemudian muncul regulasi yang mengharuskan keterwakilan perempuan dalam lembaga birokrasi, parpol dan legislator sebanyak minimal 30 persen. Memang saat ini sudah banyak jabatan publik yang dijabat oleh perempuan, mulai dari menteri, gubernur, bupati, hingga anggota DPR/DPRD. Terlepas dari perdebatan tentang angka 30 persen tersebut, saya mencoba mengkritisi kondisi partisipasi politik perempuan saat ini dilihat dari sisi proses politik. Proses politik berarti mulai dari tahap sosialisasi politik (input), peran politik (proses) dan keputusan politik (output) yang dihasilkan. Pertama, dalam proses sosialisasi politik, perempuan masih terjebak dalam idiom “jualan tampang bukan jualan program”. Kita masih ingat saat ada event Pemilu dan Pilkada maka calon kepala daerah ataupun calon legislatif perempuan sibuk untuk pencitraan, mempercantik diri sebelum foto dan gambarnya dipasang di baliho dan pamflet. Sementara itu program-program yang ditawarkan sifatnya sangat dangkal dan ikut-ikutan. Semacam pendidikan gratis dan berobat gratis. Jarang caleg atau calon kepala daerah Perempuan yang berani mengampanyekan program perbaikan kehidupan buruh perempuan, atau penanganan korban human trafficking. Ini memang tidak bisa dipisahkan dengan kondisi masyarakat yang masih melihat “bungkus” bukan “isi”. Tapi dengan kondisi seperti ini Politikus perempuan berarti turut andil dalam pembodohan yang semakin memperparah kondisi yang sudah tidak sehat ini. Kedua, perempuan sebagai pemilih ma sih terjebak sebagai objek pelengkap. Data menunjukkan DPT perempuan lebih banyak
8
Wai
ra
daripada DPT laki-laki. Partisipasi perempuan sebagai pemilih juga lebih tinggi dari pada laki-laki. Dari data ini harusnya bargaining position, nilai tawar perempuan tinggi. Namun sepertinya demikianlah suratan takdir perempuan sebagai objek politik, digunakan saat dibutuhkan tapi dilupakan ketika sudah tercapai tujuan, habis manis sepah dibuang. Ketiga, ketika berperan sebagai aktor politik, perempuan tidak mampu menunjukkan eksistensinya tapi justru terjebak ke dalam arus politik yang ada. Perempuan yang cenderung mengedepankan perasaan dan harusnya mempunyai sense, kepedulian atau mudahnya dapat mengedepankan nuraninya dalam berpolitik, ketika terjun di dunia politik justru terjebak dalam arus politik yang cenderung maskulin: kejam, penuh tipu daya dan mafia. Terlibatnya Angelina Sondakh dalam kasus Hambalang, Laode Ida dalam kasus Banggar, dan Hartati Murdaya dalam kasus Suap Bupati Buol menunjukkan bukti bahwa dengan dibukanya pintu kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik ternyata tidak ada yang berubah. Sangat memalukan sekali ketika beberapa bahasa sandi yang dibuat oleh Angelina Sondakh semacam Apel Malang dan Apel Washington menjadi popular di berbagai media masa. Juga sebagai perempuan yang masih menggunakan bahasa nurani pasti kita merasa malu ketika para politikus terdakwa tersebut membuat berbagai drama di ruang pengadilan, kadang menangis, berpura-pura sakit tapi kemudian tersenyum penuh kemenangan ketika me nerima vonis hukuman yang ringan. Keempat, ini yang paling menyedihkan, dalam dunia politik perempuan kadang masih sekadar menjadi sarana untuk menyuap, kado politik atau bahasa ilmiahnya sebagai gratifikasi politik. Kasus Antasari Azhar mantan Ketua KPK yang terlibat cinta segitiga dan terakhir Kasus Kolusi Impor daging yang melibatkan seorang mahasiswi berada di kamar dengan seorang tersangka, mengindikasikan situasi yang belum berubah sejak dulu. Cerita akan Cleopatra di tanah Roma atau Ken Dedes di tanah Jawa seakan kembali berulang dengan kisah-kisah pemanfaatan tubuh perempuan sebagai daya tarik dalam berkolusi di dalam perpolitikan tanah air. Alternatif Solusi
Melihat kecenderungan seperti itu, maka
beberapa hal berikut ditawarkan sebagai solusi agar partisipasi perempuan dalam politik bisa kembali ke tujuan awal. Pertama, perlunya penguatan kompetensi politik perempuan. Dengan tidak mengabaikan kemampuan beberapa politisi perempuan semacam Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, Rustriningsih dan Sri Wahyuni, secara umum politikus perempuan masih kalah kompetensi daripada politikus laki-laki. Hal ini memang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, se perti skill, jam terbang (political experience) dan faktor pendidikan. Bila pendidikan dan skill (keterampilan politik) dapat dipelajari di institusi pendidikan, maka memang yang sa ngat memberikan kendala adalah jam terbang politik. Ini kembali kepada kebijakan parpol yang harusnya bisa membuka keran kesem patan yang lebih kepada perempuan untuk bisa bersama kaum lelaki menambah jam terbang politiknya. Satu sisi keluarga (khususnya suami bagi politisi perempuan) harus bisa memberikan kesempatan kepada perempuan untuk “ke luar rumah” dalam rangka menambah jam terbang politiknya. Kedua, perlu lebih digiatkan pendidikan dan penyadaran politik untuk memperkuat nilai tawar politik perempuan. Telah dijelaskan di depan bahwa perempuan sebagai pemilih sebenarnya mempunyai posisi dan peran yang tidak bisa dianggap remeh. Tapi bagi perempuan menggunakan hak pilih itu sekadar dianggap sebagai kewajiban tanpa kemudian menuntut hak-hak politik yang harusnya bisa didapat. Oleh karena itu tetap perlu dilakukan upaya penyadaran terhadap hak-hak politik perempuan dan membuka wawasan perempuan akan berbagai masalah yang saat ini ada di sekitarnya yang dapat ditawarkan sebagai agenda (program) politik. Ketiga, perlu dilakukan reorientasi (penyadaran) akan misi yang dibawa perempuan ketika terjun di dunia politik. Perempuan ketika terjun ke dunia politik memang membawa beban moral ganda yang lebih besar daripada laki-laki. Satu sisi orang melihat dari eksistensi dia sebagai perempuan apakah mampu memberikan “warna perempuan” dalam gambar politik yang begitu buruk. Tapi satu sisi orang juga menuntut kompetensi politik perempuan tersebut agar tidak kalah dengan politisi laki-laki. Bila menelisik kondisi yang ada, para politisi perempuan biasanya memilih di antara dua hal berikut ini. Yaitu meninggalkan “keperempuannya” kemudian secara total terjun dalam arus politik yang bernuansa maskulin. Atau mempertahankan “kodrat perempuannya” sehingga hanya menjadi politisi 3D (Duduk, Dengar, Duit). Kedua pilihan tersebut pastinya tidak sesuai dengan harapan perempuan di seluruh Indonesia. Ketika terjun ke dunia politik perempuan tetap harus memperhatikan “khittoh politik perempuan”, yaitu idealisme untuk mengembalikan nurani politik bangsa dan visi kesetaraan yang diimbangi dengan kompetensi politik.
TOKOH INSPIRATIF
We Tenri Olle, Ratu Tanete:
Pejuang Emansipasi dari Bugis
S
ISTIMEWA
atu di antara raja perempuan Bugis yang sejatinya berkontribusi banyak namun senyap di lintas sejarah adalah Raja Tanete, Siti Aisyah We Tenri Olle putri ke 2 La Tunampare’ To Apatorang Arung Ujung, yang memerintah kerajaan Tanete cukup lama, selama 55 tahun dari tahun 1855 1910. Di tangannya lah, popularitas Tanete melintasi samudera dan benua hingga ke Eropa melalui kontribusinya menerjemahkan mahakarya epos Lagaligo dari bahasa Bugis Kuno ke bahasa Bugis umum. Terjemahan ini kemudian dimanfaatkan oleh seorang peneliti Belanda, BF Matthes untuk mengadopsinya menjadi tulisan ilmiah yang akan diceritakan kemudian. Perempuan ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. BF Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La Galigo, yang
mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak anak pria maupun untuk wanita. Kronik hidup We Tenri Olle, penguasa Tanete nan cerdas itu rupanya tak selengkap kronik penguasa lokal yang lain. Setidaknya dalam penelusuran di berbagai literatur, tahun kelahiran perempuan cerdas asal Tanete ini tidak pernah disebutkan. Perempuan peminat sastra dan pemerhati pendidikan ini hanya disebutkan tahun wafatnya di desa Pancana Tanete ri lau, yang juga kampung kelahirannya, tahun 1919. Masa remaja We Tenri Olle dihabiskan di istana Sultan Tanete yang saat itu diperintah oleh kakeknya dari pihak ibu: Raja Tanete La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara. Di tahun 1853, perempuan
cerdas ini menemukan bintang terangnya kala berinteraksi dengan dua peneliti asal Eropa, BF Matthes dari Belanda dan Ida Pfeiffer asal Austria. BF Matthes, yang juga mendirikan sekolah di Tanete untuk kaum laki laki terpandang, adalah peneliti asal Belanda yang menggali sastra klasik Bugis, I Lagaligo. Ida Pfeiffer, perempuan petualang asal Austria itu sempat singgah di kerajaan Tanete dalam perjalanan keli ling dunianya. Interaksi antara Matthes, Pfeiffer dan We Tenri Olla membuka bendala wawasan Tenri Olla muda untuk berpikiran maju melampaui zamannya. Saat naik tahta, We Tenri Olle sejatinya harus menghadapi banyak pertentangan, bahkan dari ibundanya sendiri, Arung Pancana Collie Pujie. Sang Ibunda lebih menghendaki La Makkawaru, kakak lelaki sulung Tenri Olle untuk naik takhta. Tapi intervensi kakeknya La Rumpang ayah Tjollie Poedjie yang juga raja Tanete kala itu, membuat penentangan ibundanya mereda. Terlebih bahwa perilaku keseha rian La Makkawaru yang gemar berjudi dan minuman keras membuatnya tersingkir dari tahta kekuasaan Tanete, satu hal yang bertolak belakang dengan perilaku Tenri Olle yang terkenal cerdas, terpelajar dan peminat sastra bugis dan Islam. We Tenri Olle menikah dengan Arung Bakka Soppeng, bernama La Sandji Unru, dan melahirkan tiga putri: We Pancaiktana Bunga Walie, I Pateka Tana, I Hawang dan seorang putra, La Sangaji Unru yang kelak meneruskan tahta ayahandanya sebagai Raja Bakka di Soppeng. Kedekatan antar raja raja di daerah Bugis memungkinkan mereka saling kawin mawin untuk mempertahankan kekerabatan dan stabilitas wilayah. Kerajaan Tanete yang dipimpin oleh We Tenri Olle, merupakan kerajaan otonom kecil seluas 61.180 hektar dengan jumlah penduduk 13.362 jiwa pada masa itu. Kerajaan kecil ini dipersatukan dari 4 wilayah; Tanete ri Tennga, Tanete ri Lauq, Tanete ri Aja, dan Gattarang. Sebagaimana daerah lain di Sulawesi Selatan, mata pencaharian penduduk Tanete adalah bertani dan nelayan. Saat ini di zaman modern, bekas wilayah kerajaan Tanete dimasukkan sebagai salah satu wilayah administratif Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Saat memerintah, We Tenri Olle berusaha mempertahankan pola patron klien dengan penjajah Belanda untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat Tanete. Meski menyadari betapa terhina nya hidup dalam kungkungan penjajahan formal, namun ratu Tanete ini merasa kestabilan kerajaan jauh lebih dibutuhkan. Tak ada guna mengobarkan perlawanan bersenjata, apalagi kokohnya kekuatan militer Belanda saat itu tak memungkin kan untuk ditaklukkan. (net)
Wai
ra
9
RUANG PUBLIK
Partai Politik Gagal sebagai Aset Rakyat Hance Edwin Talumepa Alumnus Sekolah Demokrasi Sanggau Angkatan II
M
asyarakat sering mengeluhkan pelayanan publik masih belum maksimal, kalau tidak mau disebut gagal. Mengapa gagal? Karena para pemimpinnya yang duduk di lembaga wakil rakyat maupun di lembaga pemerintahan telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sudah menjadi pembicaraan orangorang di warung kopi, warung nasi, halte bus, ataupun terminal kota tentang rendahnya kepercayaan masyarakat ter hadap negara, dalam hal ini pelayanan publik. Warga acapkali menyindir aparat penegak hukum yang tidak tegas dan adil. Tentu kita tidak mengabaikan ki nerja positif aparat, tetapi keberatannya ada pada rasa keadilan, rasa ke takterwakilan rakyat dan aspirasi yang terbungkam secara kolektif. Pembung kaman itu telah melahirkan kegeraman. Kertak gigi dan angkara murka dari si korban yang membela tanah miliknya dari rampasan kerakusan kapitalisme para pemilik modal dilihat sebagai faktor penghambat pembangunan. Pembiaran itu sama dengan kese ngajaan. Sebut saja kasus Desa Semayang, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau ketika konflik tanah antara perusahaan versus masyarakat melahirkan kekerasan. Kalau begitu di mana akar permasalahanya? Akarnya terletak pada sejarah pembodohan depolitisasi zaman Orde Baru. Pada zaman itu penguasa dan elit politik tidak memberikan pendidikan politik yang sistematis dan jelas di kalangan bawah yang berada di tingkat kabupaten hingga kecamatan. Mereka di lihat sebagai faktor penghambat. Buktinya rakyat hingga sekarang buta politik. Pergilah ke warung kopi dan mereka akan mengatakan politik itu kotor. Sungguh sebuah definisi tertutup yang tak dapat digugat dan telah mengakar sedalam-dalamnya. Otomatis pemimpin daerah pun mengimani bahwa politik itu kotor, dan kalau sudah kotor hal ini berarti siapa lebih cerdik bergerak dalam “kesucian” di tengah kekotoran. Siapa pemimpin daerah adalah mereka yang menjabat sebagai pemerintah dan wakil rakyat. Itu adalah problem yang dihadapi langsung oleh rakyat pedesaan dan juga
10
Wai
ra
permasalahan yang ada di perkotaan. Tanpa angka-angka survei, kita sudah bisa menilai gambaran umum apa sebab rakyat tidak percaya terhadap pelayanan publik. Siapa si pelayan? Tidak lain adalah pemerintah. Siapa pemerintah? Tidak lain adalah pelayan masyarakat. Jika pelayanan macet ada DPRD sebagai wakil rakyat akan “menghardik” pelayan yang “nakal”. Kalau pelayan sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif sudah sama-sama melakukan korup, ne potisme, dan kolusi siapa lagi yang akan mengawasi mereka? Mestinya media massa, media sosial, LSM, komunitas, dan pergerakan demonstrasi terpaksa muncul di permukaan. Gejala krisis kepercayaan lalu menjadi krisis kepemimpinan. Bahkan tidak lagi menggejala ketika dibutuhkan tafsiran namun telah menjadi fakta. Ini adalah akar permasalahan rendahnya partisipasi Pemilu, rendahnya kepercayaan terhadap figur pemimpin dalam partai dan otomatis tidak percaya lagi terhadap partai. Asumsi terhadap kata “partai” telah memunculkan image partai yang kinerjanya kurang maksimal, kalau tidak mau di sebut bobrok. Nyaris tidak ada partai yang memberikan pendidikan politik, memberikan penyadaran politik yang baik dan demokratif kepada masyarakat. Kalau menyangkut konsolidasi para politisi partai dan para cukong-cukong penyedia sokong, rapat cepat sekali dilakukan, dan dana menunjang. Sebaliknya kalau partai melakukan seminar in class membahas seminar budaya dan politik kekerasan misalnya, jangan harap akan dilakukan. Penulis tidak pernah melihat ada pendidikan politik yang sistematis oleh partai di Kabupaten Sanggau, dan barangkali di ba nyak daerah. Tidak ada pendidikan politik oleh partai, yang ada konsolidasi politik praktis siapa dapat apa, di mana, kapan dan bagaimana. Tidak ada penyadaran politik untuk memberitahu bahwa politik uang itu kotor. Malah terjadi hal sebaliknya, bahwa pergerakan diam-diam “di bawah tanah” sebagaipenegasan bahwa politik uang itu taktik dan strategi yang tak dapat dihindari. Kalau ini yang terjadi maka sudah dapat diduga apa yang akan terjadi paling
dekat sepuluh tahun ke depan, yaitu bersatunya elite wakil rakyat, pemerintah, dan pengusaha dalam membentuk “segi tiga emas”. Hanya lewat segitiga di atas maka muncullah “emas”. Kekuasaan seperti itu sangat absolut. Bahkan Ketua DPR RI, Marzuki Alie pada acara Indonesia Lawyer Club TV One edisi beberapa pekan lalu, mengatakan: “Kekuasaan DPRD di daerah sudah sangat absolut, tidak ada yang mengawasi mereka.” Sungguh sa ngat menyedihkan. Tetapi ini fakta. Partai di daerah benar-benar tidak berfungsi sebagai pencetak sumber daya manusia yang andal. Tidak dapat mene lurkan figur pemimpin berintegritas. Apa buktinya bahwa tidak berfungsi? Buktinya tidak ada pendidikan politik, tidak ada penyadaran politik kepada masyarakat. Padahal pendidikan politik dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2008 pada BAB I Pasal 1 ayat 4, diharapkan dapat membentuk warga negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran tinggi sebagai warga negara yang baik (good citizen), sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pencapaian tujuan pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan pendidikan politik berhubungan dengan aspek sikap dan perilaku seseorang. Apa buktinya kalau masyarakat tidak tahu politik yang sebenarnya? Buktinya adalah masyarakat Sanggau masih melihat figur dari sisi sukuisme, fanatisme agama dan golongan. Kalau bupati nya orang Dayak, maka wakilnya harus Me layu dan sebaliknya. Sekilas tampak sebagai kebetulan belaka. Tetapi dalam politik kebetulan itu adalah kemewahan. Hal paling menyedihkan adalah ketika masyarakat meyakini bahwa cara politik untuk mengkotak-kotakkan figur ke dalam primordialisme kesukuan, agama adalah normalitas, bukan abnormalitas. Ada mata rantai yang putus dari sikap para founding father, para pendahulu yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan. Ini berarti secara kolektif menganggap politik itu kotor. Sungguh salah kaprah yang justru dipelihara oleh para penguasa. Itulah sebabnya partai politik tidak mau mengadakan pendidikan dan penyadaran politik. Kalau masyarakat tahu, maka tidak ada “ladang emas” bagi elit politik. Biarlah mereka bodoh agar bisa dibayar dan diyakini bahwa adu domba itu keniscayaan yang tak dapat diubah. Marilah kita berubah dengan cara “beranilah berpikir”.
NET
RESENSI FILM
Kejamnya Perbudakan Tentara Anak
W
NET
ar Witch adalah drama berkisah tentang gadis remaja 12 tahun (Rachel Mwanza), yang diculik oleh pemberontak bersenjata di sub-Sahara Afrika, Kongo. Dia berjuang keras melawan perbudakan terhadap anak. Alur cerita dalam War Witch fokus terhadap kisah perlawanan kekerasan terhadap anak yang akan dijadikan menjadi seorang tentara cilik. Sejak ke-
cil, mereka diculik oleh pasukan pemberontak, dan dipaksa menjadi tentara cilik. Kisah perang saudara menjadi kental dalam setiap kejadian pada War Witch dan inilah kejadian nyata terjadi di benua Afrika kala itu. Dalam melakoni peran sebagai tentara anak, Rachel mengalami banyak mimpi buruk dan pencucian otak. Satu di antaranya adalah doktrin dari kaum pemberontak, bahwa senjata adalah ayah ibunya yang mampu melindungi dia. Rachel adalah satu-satunya korban selamat dalam bentrokan antara pasukan pemberontak dan pemerintah. Menyadari kemampuan istimewa Rachel, kaum pemberontak sengaja menghadiahinya senapan AK-47, dan menamainya sebagai
Pemeran Sutradara Penulis Skenario Produser Editor Durasi
: Rachel Mwanza, Alain Bastien, Serge Kanyinda, Ralph Prosper, Mizinga Mwinga : Kim Nguyen : Kim Nguyen : Pierre Even, Marie-Claude Poulin : Richard Comeau : 90 menit
“penyihir perang” atau war witch. Seorang anak albino adalah satu-satunya teman Rachel, dia menamainya “penyihir”. Kisah keduanya sebagai tentara anak, juga menggambarkan bagaimana sikap dasarnya sebagai anak-anak yang senang bermain, meskipun di tengah bombardir peperangan. Kekejaman peperangan yang harus dirasakan para tentara anak, tergambarkan secara dramatis dalam film ini. Berbagai momen mulai dari peristiwa berdarah di depan mata hingga sadisnya perbudakan, membuat film ini terasa sangat nyata. Kualitas cerita yang apik, layak membuat film ini diganjar dengan beberapa penghargaan. Antara lain pada Festival Film Berlin, sang pemeran utama Rachel Mwanza dianugerahi sebagai aktris terbaik, War Witch juga terpilih sebagai film dengan narasi terbaik dan aktris terbaik untuk yang memerankan anak remaja yang terpaksa menjadi tentara anak. Lokasi pengambilan gambar dilakukan di Republik Kongo, namun posisi tepatnya dirahasiakan, mengingat kisah tentara anak dalam film ini merupakan isu sensitif. Dialog dan ekspresi para pemain dalam film ini sangat menggugah hati para penonton. Kim Nguyen berhasil menyuguhkan cuplikan dari gam baran kerasnya hidup para tentara cilik. (dian lestari/net)
Wai
ra
11
Kalender Kegiatan Sekolah Demokrasi Sanggau Februari 2013 22-23
SD 1 (Matrikulasi 1)
Maret 2013 6 8-10 13 20 22-24 27
Talkshow 1 SD 2 (Training HAM, Gender dan Praktek Demokrasi) Talkshow 2 Talkshow 3 SD 3 (Outbond) Talkshow 4
April 2013 3 5-6 10 17 19 20 24 27
Talkshow 5 SD 4 (Matrikulasi 2) Talkshow 6 Talkshow 7 SD 5 (Studium General) SD 6 (Pengantar dan Konsepsi Demokrasi Talkshow 8 FGD 1
Mei 2013 1 3-4 8 15 16
Talkshow 9 SD 7 (Training Penulisan) Talkshow 10 Talkshow 11 Kunjungan Kerja
17-18 22 29 30 31-1
SD 8 (KD S. Politik dan Pemerintahan) Talkshow 12 Talkshow 13 Kunjungan Kerja SD 9: (T. Kebijakan Publik dan Legislasi D)
Juni 2013 3-22 5 12 14-15 19 26
Kampung Visit Talkshow 14 Talkshow 15 SD 10: (Workshop Penulisan) Talkshow 16 Talkshow 17
Juli 2013 3 4 5-6 10 17 20 24 31
Talkshow 18 Kunjungan Kerja SD 11 (Negara, Pasar dan Praktik Demokrasi) Talkshow 19 Talkshow 20 FGD 2 Talkshow 21 Talkshow 22
23-25 SD 12 (T. Gerakan Sosial dan Masyarakat Sipil) 28 Talkshow 26
September 2013 4 11 13-15 18 25
Talkshow 27 Talkshow 28 SD 13 (Pengelolaan Sumber Daya Alam) Talkshow 29 Talkshow 30
Oktober 2013 2 3-26 9 16 23
Talkshow 31 Open Space Talkshow 32 Talkshow 33 Talkshow 34
November 2013 2 8-10 22-23 30
Dialog Publik SD 14 (T. Resolusi Konflik) Evaluasi Peserta FGD 3
Agustus 2013
Desember 2013
7 14 21
7 15
Talkshow 23 Talkshow 24 Talkshow 25
Ujian Wisuda