Mengapa Perlu Visi Indonesia 2033? Oleh Tim Visi Indonesia 2033
M Mengapa Perlu P l Visi Vi i Indonesia I d i 2033
Tim Visi Indonesia 2033
Andrinof A Chaniago Ahmad Erani Yustika M. Jehansyah Siregar Tata Mutasya
S Strategi i Menuju M j Indonesia I d i Baru B 2033 Pengantar S k li lagi, Sekali l i dan d sedapat d t mungkin ki berulang-ulang b l l dii t bahwa, diingat b h untuk t k mencapai tujuan jangka panjang dalam berbangsa dan bernegara, semua dokumen kebijakan kita harus memiliki kerangka berpikir yang jelas dan logis dalam menggambarkan b k perkiraan k situasi dan d pilihan-pilihan lh lh tindakan d k serta memperlihatkan pengakuan atas kompleksitas hubungan antarkelompok sosial, antarwilayah, antarbidang isu dan antara waktu saat ini dan akan datang. Oleh karena itu, pendekatan dan tindakan sadar maupun tidak sadar, dalam kerja mencapai tujuan jangka panjang yang berorientasi, atau membuat orang terjebak pada tujuan p j parsial,, sektoral,, eksklusifitas kelompok p p dan kawasan,, dan tujuan j jangka pendek adalah salah satu musuh yang harus disingkirkan. Berpijak dari kondisi saat ini, yang merupakan warisan cara kerja puluhan tahun pekerjaan menata – sekali lagi, tahun, lagi menata – harus dilihat sama pentingnya dengan pekerjaan menambah dan menumbuhkan. Kita harus menata relasi-relasi antarkelompok sosial, jejaring antarwilayah dan antarkota, termasuk antara desa dan kota, kota antarsektor, antarsektor antara bangunan bawah ba ah dan bangunan atas kelembagaan berbangsa dan bernegara, dan berbagai bentuk-bentuk relasi lainnya.
1
Sebab, menambah atau menumbuhkan dalam bangunan-bangunan relasi yang rapuh h sangatlah l h berisiko b k membawa b b bangsa d negara kepada dan k d guncangan besar b seperti yang sudah pernah kita alami pada tahun 1997-1998. Relasi-relasi yang perlu kita tata itu haruslah menjadi salah satu panduan, disamping panduan-panduan normatif dan etik yang dibuat para founding fathers bangsa, dalam rencana-rencana dan tindakan praktis kita untuk mencapai tujuan jjangka g p panjang. j g Upaya p y menata atau merekayasa y tatanan relasi berbagai g dimensi kehidupan tadi tidak ada hubungannya dengan sikap belenggu-membelenggu kebebasan manusia, karena apapun pilihan cara bermasyarakat dan bernegara yang kita ambil kita tidak akan menemukan kebebasan yang hakiki. hakiki Memilih jalan kebebasan sebebas-bebasnya di bidang politik maupun ekonomi, tetap saja sebagian besar dari kita akan dihadang oleh belenggu tirani elite, tirani oligarki, tirani pemilik modal besar, besar dan sebagainya. sebagainya Melepas belenggu-belenggu belenggu belenggu seperti ini sama pentingnya dengan melepas belenggu rejim otoriter dan totaliter yang bertindak mengatasnamakan negara.
2
Semestinya, tidak harus ada tubrukan antara pembangunan di tingkat pusat dan daerah. D Daerah h adalah d l h tempat kita ki meletakkan l kk lokus-lokus l k l k pembangunan b yang berada b d dalam d l sebuah b h disain jejaring, morfologi, distribusi dan hirarki kota atau kawasan secara nasional. Daerah, atau suatu wilayah pemerintahan daerah, adalah tempat kita dengan konsisten dan serius mengisi dan menggerakkan pembangunan dengan dengan tujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, menerapkan demokrasi ekonomi, melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, melakukan pembangunan struktur sosial dan relasi-relasi sosial baru pembangunan perilaku bermasyarakat dan bernegara, baru, bernegara pembangunan etos kerja dan kewirausahaan untuk mendukung kehidupan yang berkualitas, dan berbagai kegiatan tata kelola lainnya. Semuanya itu tentu saja harus dilakukan dengan penghormatan penuh terhadap HAM sipil dan politik maupun HAM ekonomi, sosial dan budaya. Dengan cara pandang seperti ini, maka isi terbesar dari apa yang kita namakan sebagai pembangunan nasional tidak lain adalah agregasi dari pembangunan di berbagai daerah tadi. Dengan kata lain,, p pembangunan g nasional adalah himpunan p dari ”proyek-proyek” p y p y menata dan menumbuhkan atau menambah di tingkat lokal yang berada di dalam disain tatanan nasional yang serasi, efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan privat dan kebutuhan sosial (publik) yang juga akan terus mengalami pertumbuhan.
3
Kondisi yang kita warisi saat ini jelas mengharuskan kita untuk memiliki rencana pembangunan b j k panjang. jangka j T t i konsep Tetapi, k pembangunan b j k jangka panjang nasional kita harusnya bersifat logis dan memperlihatkan jalan terang untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut. Oleh karena itu, konsep pembangunan jangka k panjang itu tidak d k cukup k hanya h b berisi gugusan prosa indah d h dan d tidak d k cukup k hanya berbentuk daftar keinginan-keinginan muluk. Tidak ada salahnya, konsep pembangunan jangka panjang berisi sejumlah agenda straregis yang merupakan jalan logis dan bisa dibayangkan efektifitasnya untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang sudah lama kita canangkan. Bagi g kami ((Tim Visi Indonesia 2033), ), metode menata dan menambah yyangg dilakukan secara beriringan adalah metode yang harus kita pakai dalam pembangunan jangka panjang sebagai konsekuensi dari kondisi yang kita warisi dan sebagai strategi untuk mewujudkan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Dalam konteks itulah, dengan berbagai pertimbangan logis dan kajian empiris, kami merekomendasikan sejulah agenda strategis, seperti Pemindahan Ibukota ke Kalimantan, Kalimantan Pengembangan sekitar 53 kota kecil
4
yang tersebar di nusantara, pendaygunaan agen-agen sosial untuk membangun perilaku l k masyarakat, k akselerasi k l pembangunan b pedesaan, d regulasi l dan d penetapan insentif dan disintentif dalam mengatur penempatan pejabat struktural dan fungsional (seperti syarat mendapatkan jenjang profesor di perguruan tinggi), prioritas pembangunan pada sektor-sektor tertentu dan kawasan tertentu, dan sebagainya. Metode yyangg kami tawarkan ini bukanlah p perubahan yyangg menakutkan dan janganlah dipolitisasi untuk menakut-nakutkan masyarakat. Apa yang kami tawarkan haruslah dipahami sebagai refleksi atas kompleksitas dan solusi yang harus dipahami dari berbagai aspek. aspek Usulan pemindahan ibukota ke Kalimantan, Kalimantan misalnya, janganlah terburu-buru dikatakan akan memakan biaya mahal, jika tidak bisa melihatnya dari segi biaya manfaat, peluang-peluang yang hilang, usia manfaat, efek berantainya, berantainya dan sebagainya, sebagainya yang semuanya terkait dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara. Agenda-agenda strategis yang perlu ditetapkan secara eksplisit itu, adalah untukk membawa b masyarakat, k bangsa b d negara ini dan i i keluar k l d i kondisi dari k di i
5
yang membuat kita sulit mencapai tujuan jangka panjang berbangsa dan bernegara dan sekaligus untuk membuat kejelasan tentang cara mencapai tujuan jangka panjang. Agendaagenda d strategis tersebut b h haruslah l h tercermin di d dalam d l d k dokument-dokumen d k k b k kebijakan pembangunan pusat dan daerah seperti Undang-undang, RPJP, RPJM, Arah Kebijakan Umum (AKU), Propenas dan Propeda, Perda APBD dan APBD, dan dokumen-dokumen lain yang bersifat mengikat. Mengadopsi usulan-usulan di dalam Visi Indonesia 2033 tentu saja mengharuskan kita melakukan perubahan, revisi, penyesuaian, bahkan pembuatan sejumlah undang-undang dan peraturan. Tetapi, perubahan dan penambahan perangkat perundang-undangan itu harus juga dilihat sebagai g p perubahan untuk mensingkronkan g berbagai g kebijakan j dan p peraturan agar g terhindar dari keperluan perubahan yang berulang-ulang untuk jangka pendek dan terhindar dari pemborosan energi yang disedot oleh pro-kontra wacana kebijakan di berbagai sektor, bidang dan wilayah. Visi Indonesia 2033 memandangg p perlunya y revisi atas sejumlah j dokumen Karena V kebijakan, maka hal itu sekaligus secara tidak langsung menjawab pertanyaan tentang pilihan tahun 2033. Dengan segala hormat kepada Pemerintah dan DPR RI yang telah merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun 2000 – 2025, dan kepada Tim Perumus Visi Indonesia 2030, atau tim tim-tim tim perumus gagasan pembangunan jangka panjang lainnya, kami memandang kita terpaksa mengundur beberapa tahun target waktu jangka panjang kita untuk mewujudkan Indonesia dengan kemakmuran yang menyebar, adil sejahtera dan berkelanjutan. Dan, tahun 2033, adalah tahun perkiraan untuk mencapai kondisi tersebut apabila elemenelemen strategis bangsa ini sesegera mungkin bekerja dengan cara pandang, pandang metode dan strategi yang kami rekomendasikan.
6
Pendahuluan S k awall hingga Sejak h pertengahan h tahun h 2007, 200 di d tangan pemerintah h paling l tidak d k sudah ada dua konsep tentang visi pembangunan jangka panjang nasional yang ditawarkan melalui hasil kerja kolaboratif. Pertama, konsep yang secara perundangundangan harus dipegang sebagai pedoman, yakni Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Arah Pembangunan Ekonomi 2025. Kedua, Visi Indonesia 2030 yang diluncurkan secara resmi oleh Yayasan y Indonesia Forum di Istana Negara g pada 22 p Maret 2007. Kalau kita mau bicara secara jujur, kedua konsep tersebut belumlah memuat caracara efektif untuk mencapai tujuan jangka panjang yang diinginkan. diinginkan Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan, kondisi yang terbentuk secara sosial, ekonomi maupun geografis justru makin menambah beban bagi bangsa ini untuk mewujudkan cita cita jangka panjang yang telah ditetapkan. cita-cita ditetapkan Agar kita tidak hanya diiming-imingi diiming imingi oleh mimpi indah, kita perlu melangkah ke tahap memilih sejumlah agenda strategis yang lebih mampu memastikan jalan untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut.
7
Masyarakat dan Ekonomi yang Rentan UU No. No 17/2007 maupun Visi 2030 Yayasan Indonesia Forum sama-sama sama sama menyajikan daftar impian yang menyenangkan. UU No. 17/2007 menyebutkan, antara lain, struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh sektor pertanian dalam artian luas, luas kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik terbaik dan tata kelola yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Sementara, Visi 2030 Yayasan Indonesia Forum “memimpikan” Indonesia akan mencapai pendapatan perkapita US $ 18.000 dan menjadi salah satu dari lima p p pada tahun 2030. kekuatan ekonomi dunia bersama China,, India,, AS dan Uni Eropa Kecuali menyebut syarat kuantitatif untuk mendapatkan impian di atas, konsep Yayasan Indonesia Forum sebetulnya tidak memiliki perbedaan mendasar dengan p di dalam Undang-Undang g g tentangg Rencana Pembangunan g Jangka g Panjang j g konsep (UU No. 17/2007). Hanya saja, karena isi UU No. 17/2007 disertai banyak ungkapan normatif, di dalamnya lebih mudah ditemukan beberapa rumusan bersayap yang bisa menjadi sumber masalah dalam implementasi hingga akhirnya membelokkan tujuan jangka panjang yang dijanjikan.
8
Para perancang Visi 2030 akan lebih mudah berkelit jika impian yang mereka sebutkan gagal tercapai. tercapai Seperti yang sudah beberapa kali terdengar, terdengar beberapa anggota tim perumus Visi 2030 ini mengatakan bahwa ini baru mimpi. Lain halnya dengan naskah UU No. 17 Tahun 2007 yang sudah masuk ke soal strategi dan berstatus sebagai b i dasar d h k hukum yang sah. h Di situ i dikatakan dik k bahwa b h dalam d l rangka k mendukung d k pertumbuhan ekonomi, misalnya, diperlukan iklim investasi yang menarik. Kedua konsep menuju masa depan Indonesia tadi sama-sama mengandung bias kepentingan kelompok. Di dalam UU No. 17 Tahun 2007, bias itu lebih eksplisit dan mudah ditemukan. Sementara di dalam Visi 2030, bias itu lebih implisit. Ungkapan tentangg p perlunya y iklim investasi yyangg menarik di dalam UU No. 17 Tahun 2007 adalah contoh bias kepentingan pelaku bisnis dan kaum pragmatis yang menjadi aktor pembuat kebijakan. Jika kita cermati lebih jauh lagi, UU No. 17 Tahun 2007 belum memberi arahan operasional bagi proses pembangunan menuju terbentuknya ekonomi berbasis luas (broad-based economy) yang merupakan prasyarat terbentuknya pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan. berkelanjutan Malah, Malah yang tampak justru dorongan
9
ke arah rapuhnya basis ekonomi jangka panjang. Selain ungkapan perlunya iklim investasi yang menarik, menarik sektor-sektor sektor sektor andalan yang disebutkan menunjukkan bahwa perekonomian jangka panjang Indonesia akan menuju kepada ekonomi pasar bebas yang menyedot deposit sumber daya alam, pertumbuhan sektor pertanian yang mengandalkan d lk sektor k perkebunan k b l luas, d ekonomi dan k i perkotaan k yang berbasis b b i pada d sektor properti didukung oleh sektor keuangan yang spekulatif. Perekonomian seperti ini mengarah kepada struktur ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal dan tidak mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan. Pengalaman guncangan besar tahun 1997-1998 menunjukkan, pertumbuhan ekonomi yyangg sudah tumbuh rata-rata sebesar 7,3 , p persen p pertahun dari tahun 1988 hingga tahun 1996 bisa tiba-tiba berhenti bahkan berubah menjadi kejatuhan nilai kekayaan nasional karena rapuhnya perekonomian. Ekonomi perkotaan mengalami penderitaan lebih tragis karena pertumbuhan ekonominya jatuh hingga minus antara 15 hingga 22 persen dibanding kemerosotan secara nasional yang minus 13,7 persen. Ketika itu, kita tidak sadar bahwa ekonomi nasional yang bertumpu pada pertumbuhan pesat beberapa kota besar -dengan dengan sejumlah kompleksitas
10
permasalahannya- menghadapi ancaman kelangsungan pertumbuhan jangka panjang. Sektor properti yang sering dibanggakan bukan merupakan penampung lapangan kerja secara permanen sehingga menjadi penyumbang besar lonjakan angka pengangguran ketika sektor ini anjlok. Sementara sektor pertambangan jelas tidak mungkin ki diharapkan dih k menampung angkatan k k j dalam kerja d l j l h besar jumlah b k karena sektor k ini dikenal dengan karakteristik memberikan pendapatan paling tinggi dengan daya serap tenaga kerja paling rendah di antara sektor-sektor ekonomi lain. Pernyataan para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok berpengaruh akhirakhir ini menunjukkan, paradoks arah implementasi kebijakan ekonomi nasional – seperti p terjadi j di masa lalu- mulai terulang. g Ketika UU No. 17/2007 baru diundangkan, seorang menteri ekonomi dan beberapa anggota DPR langsung langsung menyebutkan pentingnya sektor migas dan perkebunan sebagai penggerak perekonomian ke depan. Sikap ini juga tampak dalam kampanye menarik modal asing oleh pemerintah. Padahal, sektor pertama yang disebut itu jelas memiliki sifat mengurangi daya dukung jangka panjang karena menyebabkan defisit cadangan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan. lingkungan Sementara, Sementara sektor perkebunan
11
juga cenderung menurunkan daya dukung lingkungan dan melemahkan ekonomi rakyat apabila dijadikan sebagai sektor padat modal. modal Bahkan, Bahkan jika kita tidak berhati berhatihati, perkebunan akan memperbesar jumlah anggota masyarakat buruh dan menyusutkan jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan. Struktur ekonomi dan masyarakat yang rentan terhadap gejolak eksternal telah menjadi pengalaman buruk kita di masa lalu. Baik di masa oil boom (1974-1981), di masa ekonomi gelembung yang digerakkan oleh sektor properti dan perbankan (1988 1996) atau di dalam sistem ekonomi lokal daerah pertambangan emas dan (1988-1996), batu bara saat ini, kita melihat bagaimana cara hidup orang-orang kaya baru yang menikmati hidup boros, senang pamer kemewahan, suka berfoya-foya dan sebagainya. B i kaya Begitu k secara mendadak, d d k mereka k tidak id k berpikir b iki cara hidup hid untukk kelangsungan k l jangka panjang atau maju secara berkelanjutan. Mereka berpikir bahwa untuk hidup aman, cukup membeli tanah dan bangunan untuk simpanan atau menyimpan dana abadi dalam mata uang asing. Perilaku ekonomi di atas telah melahirkan penyakit sosial-ekonomi yang p dan akhirnya y membentuk masyarakat y yyangg rapuh. p Semuanya y bermula dari kompleks sistem ekonomi rumah tangga yang tidak berpikir untuk hidup produktif
12
secara berkelanjutan hingga jangka panjang. Mereka melupakan perlunya mengubah cara mendapatkan kekayaan menjadi berdasarkan jerih payah anggota keluarga yang bekerja, kemudian larut dalam budaya konsumtif dan hedonis. Pemikiran ekonomi arus utama (mainstream) yang jarang menghiraukan efek negatif dari perilaku sosial ekonomi masyarakat di atas bertemu dengan struktur ekonomi yang rapuh sebagai produk kebijakan pragmatis. Ketika perekonomian Indonesia makin bergantung pada beberapa kota besar, para penganut aliran mainstream i t memberi b i pembenaran b melalui l l i teori t i aglomerasi l i yang memandang d aglomerasi ekonomi kota sebagai ciri ekonomi yang efisien dan produktif. Padahal, dilihat dari risiko jangka panjang dan beban ongkos yang ditimbulkan untuk mengongkosi k masalah l h sosiall di d balik b l k aglomerasi l yang terjadi, d teori ini tidak d k kontekstual. Perekonomian nasional yang bergantung pada laju pesat perekonomian beberapa kota besar disertai kehidupan sosial-ekonomi yang kontras di dalamnya jelas membahayakan perekonomian nasional itu sendiri. Sebab, di sanalah terdapat potensi ledakan sosial dan p p politik yyangg disebut oleh Ted Gurr ((1970)) bersumber dari deprivasi relatif (relative deprivation). Artinya, kondisi tersebut berpotensi
13
menimbulkan inefisiensi ekonomi jangka panjang jika potensi instabilitas sosial di k t k t besar kota-kota b t di juga tadi j membuat b t pelaku l k ekonomi k i global l b l tidak tid k merasa nyaman dengan iklim ekonomi di Indonesia. Jika kecenderungan sosial-ekonomi perkotaan itu diiringi pula oleh pertumbuhan b h ekonomi k sektoral k l yang tidak d k memperkuat k ekonomi k masyarakat k di d kawasan agraris -karena kawasan itu mengandalkan sektor pertambangan dan perkebunan luas- yang akan terbentuk adalah perekonomian yang rentan. Meski pertumbuhan ekonomi jangka menengah rata-rata cukup tinggi, ini akan menghasilkan konsentrasi kepemilikan pada segelintir orang dan menyerap tenaga kerja j dalam jjumlah relatif kecil. Selain itu,, struktur ekonomi seperti p ini memiliki kerentanan tinggi karena harga komoditas yang dihasilkan, seperti properti, hasil pertambangan, dan hasil perkebunan setengah olahan sangat sensitif terhadap perubahan harga internasional. internasional Pemilik modal besar yang sedikit jumlahnya juga sangat mudah memindahkan modalnya ke luar negeri. Dari perspektif ini, yang selalu absen di dalam konsep operasional pembangunan ekonomi jangka panjang kita adalah bagaimana membuat pertumbuhan
14
ekonomi yang seimbang antara Jawa dan luar Jawa, antara pedesaan dan perkotaan, antara sektor yang menyerap tenaga kerja secara permanen dalam jumlah besar dan sektor paling produktif tetapi memiliki daya serap tenaga kerjanya rendah, dan antara akses ekonomi masyarakat golongan atas dan golongan bawah. Masalah ini tentu penting untuk diperhatikan dalam menyusun prasyarat pencapaian tujuan jangka panjang jika kita tidak ingin dihempaskan oleh mimpi-mimpi muluk kita di tengah perjalanan memburu impian masa depan itu. Pelajaran dari Masa Lalu dan Ancaman Masa Depan Krisis ekonomi dari tahun 1997 hingga 2001 telah menunjukkan hilangnya peluang untuk hidup lebih baik dan berkelanjutan, berkelanjutan sebagian karena perilaku buruk segelintir pihak yang terlalu ingin menguasai sumber daya ekonomi dan politik untuk kepuasan dirinya sendiri dan untuk pameran prestasi jangka pendek. Peran pelaku ekonomi k d politik dan l k ini bertambah b b h leluasa l l k karena mereka k juga didukung dd k oleh l h para perencana kebijakan yang berpikir sektoral dan mementingkan rencana jangka pendek.
15
Korban utama dan pertama dari perilaku dan cara pandang tadi—sebagaimana kita saksikan di masa-masa masa masa krisis yang lalulalu adalah rakyat mayoritas yang belum diberi akses yang cukup untuk mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain. Mereka yang sebetulnya memerlukan kebijakan afirmatif bersyarat -agar suatu saat siap terjun ke dalam k kancah h ekonomi k i pasar yang kompetitifk titif dilepas dil secara bebas b b sebagai b i sasaran para pengusaha h dan pemodal yang unggul dalam informasi dan pengetahuan. Diantara para korban itu adalah ribuan rumah tangga yang memiliki lahan di tengah k t tetapi kota t t i tidak tid k mengerti ti nilai il i masa depan d d i asett lahan dari l h yang mereka k miliki. iliki Karena K terkena penyakit yang disebut ilusi uang, mereka bukan saja melepas aset berupa tanah, tetapi juga berbagai akses yang sebetulnya menjadi modal untuk anak cucu mereka. Mereka sungguh h tidak id k sadar, d ilusi il i setumpukk uang yang hanya h di k diukur d dengan k kepemilikan ilik lahan l h yang lebih luas di pinggiran atau di luar kota merupakan jebakan yang membuat anak-anak cucu mereka menjadi makin tertinggal dalam derap pembangunan. Kecuali hidup di atas tanah h yang lebih l bih luas l atau sesaat menikmati ik i barang-barang b b k konsumsi i yang sebelumnya b l jarang mereka beli, mereka selanjutnya akan berjuang di tengah fasilitas pelayanan publik yang buruk dan biaya transportasi sehari-hari yang lebih mahal serta pengorbanan waktu l b h lama lebih l d l menempuh dalam h perjalanan l k pusat-pusat fasilitas ke f l umum.
16
Siklus Buruk Kebijakan Gagasan megapolitan yang mengemuka selama berbulan-bulan berbulan bulan semenjak pertengahan tahun 2007 sama sekali tidak menjanjikan jalan keluar dari siklus buruk kebijakan yang berlangsung hingga saat ini. Baik Pemprov DKI Jakarta yang gigih i ih dengan d gagasan manajemen j megapolitan li tersebut b maupun pemerintah i h pusat yang ketinggalan kereta sama-sama tidak memiliki konsep untuk memutus siklus buruk kebijakan perkotaan yang penulis sampaikan. Generasi masa depan sebetulnya bisa diselamatkan dari kemiskinan berkelanjutan. Syaratnya adalah, mereka yang menguasai sumber daya ekonomi dan pemerintah yyangg memiliki kewenangan p g mengelola g sumber daya y alam harus memiliki visi pembangunan yang holistik. Visi holistik ini bisa disebut sebagai cara berpikir yang lintas sektoral, lintas regional dan lintas kelompok sosial.
17
Sinyal dari Ekosistem Jawa Skala longsor dan banjir bandang -berikut berikut korban jiwa dan harta yang terjadi berturut-turut di berbagai daerah di Pulau Jawa sepanjang Januari 2006- adalah indikasi minimnya antisipasi dan kepedulian kita dalam melihat keseimbangan hubungan antar berbagai faktor, terutama antara manusia dan lingkungan sampai kepada hubungan antarunsur lingkungan. Kita kurang peduli dengan kecenderungan yang akan muncul meskipun tersedia data indikatif mengenai hal tersebut. g meningkatnya g y skala banjir j dan tanah longsor g di JJawa sendiri Kecenderungan sebetulnya sudah tampak sejak tahun 1999. Tercatat bahwa sejak 1999 sampai 2003 saja telah terjadi 26 kejadian banjir dan longsor. Masalahnya, mengapa data indikatif itu tidak menjadi bagian penting dalam membuat perencanaan dan mengendalikan perilaku orang-orang yang menguasai sumber daya tadi? Hubungan antarunsur lingkungan itu, misalnya, hubungan antara kawasan dataran tinggi dan dataran rendah, atau antara kawasan hijau dengan daerah aliran sungai (DAS), (DAS) dan d sebagainya. b Hubungan keseimbangan ekosistem dan manusia di Pulau Jawa tadi akan lebih mudah dipahami dari tren ekonomi nasional dan ekonomi di Pulau Jawa sendiri. D Dengan l luas wilayah il h kurang k d i 7 persen (6,7%) dari (6 7%) dari d i totall luas l d daratan
18
nasional, Pulau Jawa menampung sekitar 130 juta, atau hampir 59 persen dari total penduduk d d k Indonesia. I d i Bagi B i kalangan k l pencarii laba l b (pengusaha ( h dan d investor), i ) penduduk d d k yang padat di Pulau Jawa ini memberi stimulus bagi kegiatan ekonomi karena menyediakan pasar yang mudah dijangkau sekaligus menyediakan sumber tenaga kerja yang murah. murah Sedangkan bagi masyarakat biasa, tanah Jawa terlalu sayang untuk ditingalkan karena berbagai jenis kebutuhan pangan pokok bisa didapat dengan kualitas paling baik dibanding daerah lain di Indonesia. Indonesia Tidak heran jika sekitar 60% industri nasional juga berlokasi di Jawa dan arus kedatangan penduduk dari luar Jawa ke Jawa tetap jauh lebih besar dari jumlah penduduk yang dipindahkan ke luar Jawa lewat program transmigrasi. Para ekonom lalu menjustifikasi perkembangan industri di Pulau Jawa ini dengan teori aglomerasi yang menyediakan skala ekonomi yang efisien bagi pengembangan pandangan g yyangg terlalu p positif terhadap p Pulau JJawa selaku lokasi industri. Karena p industri inilah masalah-masalah lain dipandang inferior dari program pertumbuhan ekonomi nasional yang berpusat di Jawa.
19
Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku l k 2004—2008 (Persen) ( )
Daerah Sumatera Jawa Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Kawasan Barat Kawasan Timur
2004 2005 2006 2007 2008 22,41 59,32 60,63 9,49 4 16 4,16 3,3 83,05 16,95
22,12 58,84 60,11 10 4 07 4,07 3,71 82,22 17,78
22,27 59,48 60,68 9,51 4 04 4,04 3,5 82,95 17,05
22,85 58,83 60,03 9,42 41 4,1 3,6 82,88 17,12
23,23 57,68 58,87 10,5 4 21 4,21 3,19 82,1 17,9
Sumber: Badan Pusat Statistik
20
Sebagai lahan subur untuk meningkatkan “nilai tambah” ekonomi, Jawa tidak h hanya d ditempatkan k sebagai b d daerah h industri, d perdagangan d d jasa. Jawa adalah dan d l h juga daerah industri kehutanan untuk mendatangkan keuntungan bagi pelaku bisnis. Akibatnya, komposisi dan distribusi hutan Jawa saat ini tidak mampu menahan datangnya bencana banjir dan longsor. Menurut para ahli lingkungan, proporsi ideal luas hutan adalah 30 persen dari total lahan. Sementara, saat ini hutan negara yang dikelola Perhutani seluas 2,56 , jjuta hektar atau hanya y 22 p persen dari luas daratan Jawa. Itupun kondisinya banyak yang rusak dan tidak sesuai dengan fungsi untuk mendukung keseimbangan ekosistem (Dedi Muhtadi, 7 Januari 2006). Jawa Sejak 1980-an Meningkatnya gangguan keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa tidak terlepas dari visi pembangunan Indonesia sejak berhadapan dengan tuntutan penyesuaian struktural di awal tahun 1980-an. Jawa, sejak pertengahan tahun 1980-an, adalah tanah yang diberi beban jauh lebih berat dari masa sebelumnya. Perubahan struktur d basis dan b i pertumbuhan b h ekonomi k i nasional i l dari d i sektor k ekstraktif k k if yang berbasis b b i
21
di luar Jawa dan kawasan lepas pantai ke sektor industri dan jasa yang harus berbasis di kawasan k d t yang strategis darat t t i menjadikan j dik J Jawa sebagai b i satu-satunya t t k kawasan andalan untuk kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional. Gagalnya atau menyimpangnya transformasi ekonomi dari ekonomi yang b b berbasis sektor k ekstraktif k k f ke k sektor k industri d menjadi d ekonomi k yang berbasis b b sektork sektor nontradable dan bisnis finansial, telah memperburuk keseimbangan ekosistem dan keseimbangan sosial di Jawa. Setelah era minyak berlalu, Indonesia ternyata gagal mengembangkan sektor industri yang kompetitif maupun ramah lingkungan. Jenisjenis industri yang muncul adalah industri properti dan industri perbankan yang sama-sama rapuh. p Bisnis p prasarana industri sendiri -yang y g tadinya y dimaksudkan memperlancar pengembangan sektor industri- berhenti dan berbelok pada bisnis properti dalam bentuk bisnis kawasan industri, perumahan, lapangan golf, kawasan rekreasi komersial, komersial dan sebagainya. sebagainya Kerjasama untuk kepentingan jangka pendek antara pengusaha sektor properti dan perbankan sejak akhir tahun 1980-an ini sekilas menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. mengagumkan Tetapi dampak buruk yang harus diterima
22
rakyat Indonesia bukan saja kerusakan keseimbangan ekosistem dan keseimbangan sosial, i l tetapi t t i juga j k kerapuhan h struktur t kt ekonomi k i nasional i l yang berujung b j pada d krisis kii terburuk sepanjang sejarah Indonesia membangun. Secara ekologis, pertumbuhan dua sektor inti yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi k sejakk akhir kh tahun h 1980-an dan d paruh h pertama tahun h 1990-an yang berbasis b b di kawasan perkotaan dan sekitarnya terbukti telah menimbulkan tekanan terhadap daerah-daerah hijau di Bogor dan Cianjur. Tekanan ini muncul karena struktur ekonomi yang ada memunculkan permintaan terhadap lahan yang berfungsi sebagai kawasan peristirahatan dan wisata komersial bagi kalangan kelas menengah kota. Kekuatan wacana yyangg mendukungg atau membiarkan p perkembangan g ekonomi pada saat itu tidak terbendung. Menurut hemat saya, selain mendapat pembenaran dari teori aglomerasi yang dianut kebanyakan ahli ekonomi, hasil jangka pendek dari proses ekonomi seperti itu sangat memenuhi kepentingan dan cara berpikir pejabat pemerintah, perancang agenda pembangunan di legislatif (MPR), dan sebagian pengusaha kita di masa sepuluh tahun terakhir Orde Baru (1988-1997). Pada masa itu para pejabat pemerintah dan politisi kita betul-betul itu, betul betul larut dalam alam
23
pikiran pembangunan yang berorientasi pada penambahan wujud fisik dan akumulasi pendapatan. d Al untukk mencapaii tujuan Alat j pembangunan b sepertii itu i bagi b i mereka k tidak id k lain adalah prasarana dan sarana fisik. Asumsinya, penambahan prasarana dan sarana fisik tadi akan meningkatkan produktivitas ekonomi dan akumulasi penerimaan pajak (Lihat Andrinof A Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2001). pemerintah Orde Baru ketika itu telah berkuasa lebih dua p puluh tahun Meski p dan sejak awal pemerintah sudah memiliki konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang, namun sejak akhir tahun 80-an cara berpikir pemerintah kembali seperti para politisi yang mengutamakan keberhasilan jangka pendek. Berbagai desakan jangka pendek -seperti keterbatasan dana pembangunan dan tetap rendahnya respons investor terhadap kebijakan-kebijakan deregulasi- direspons oleh pemerintah dengan mengkomersialkan ruang di lokasi-lokasi strategis di tengah dan di pinggir kota. kota Ruang-ruang di lokasi strategis tersebut menjanjikan produktivitas yang tinggi untuk menghasilkan nilai tambah perekonomian dan penerimaan pemerintah untuk jangka pendek. d k Yang Y tid k dipedulikan tidak di d lik oleh l h pemerintah i t h ketika k tik itu it adalah d l h biaya bi
24
eksternalitas dari kegiatan pihak swasta dan kebijakan pemerintah yang nantinya akan k menjadi j di beban b b publik. blik Pemerintah P i h dan d pengusaha h mengambil bil kesempatan k untuk meraih penerimaan pajak dan laba melalui peran sektor properti sebagai primadona dan lokomotif perekonomian. Melihat sumbangan sektor properti begitu gemilang terhadap pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak, para pejabat pemerintah makin antusias mendukung penambahan gedung-gedung tinggi dan bangunan-bangunan superblock untuk perkantoran, perkantoran apartemen mewah dan pertokoan, pertokoan dan infrastruktur fisik “terpadu” di dalam kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Perkembangan ekonomi berbasis properti dan perbankan ini akhirnya meluber ke daerah pendukung kota kota-kota kota besar tersebut. tersebut Untuk Jakarta, Jakarta aglomerasi ekonomi itu telah menyatukan Jakarta dengan kawasan Bogor, Tangerang dan Bekasi, hingga kawasan Puncak (Cianjur) yang berfungsi sebagai daerah tujuan rekreasi warga g kota. Untuk Bandung, g, p perkembangan g yyangg p palingg kontroversial kelas menengah adalah berubahnya kawasan Bandung Selatan sebagai kawasan pemukiman. Di Semarang, bukit-bukit yang mengelilingi kota berubah menjadi lahan pemukiman g menengah g atas. kalangan
25
Program Transmigrasi yang Sia-sia P Program transmigrasi i i sudah d h berjalan b j l sejak j k jaman j k l i l Belanda. kolonial B l d Sejak S j k Orde Od Baru, program ini berlanjut dalam perkembangan ekonomi yang berbeda. Tujuan untuk mengurangi ketimpangan persebaran penduduk antara Jawa dan luar Jawa melalui program transmigrasi menunjukkan kemubaziran sejak akhir tahun 1980-an karena arus kedatangan penduduk dari luar Jawa ke Jawa semakin besar, termasuk dari p provinsi yyangg tadinya y menjadi j daerah tujuan j penempatan p p transmigran g seperti p Provinsi Lampung. Berlanjutnya program transmigrasi yang semestinya sudah dihentikan itu membuat beberapa kebijakan pembangunan mengandung paradoks. Secara de facto tampak bahwa strategi pembangunan ekonomi nasional tetap diorientasikan ke sumber daya-sumber daya yang ada di Jawa, mulai dari tenaga kerja, pasar, infrastruktur dan sebagainya. sebagainya Tetapi, Tetapi secara normatif selalu digembar-gemborkan kita ingin menciptakan pemerataan pembangunan antarwilayah, antarkawasan Barat dan Timur, antara Jawa dan luar Jawa, antara kelautan dan nonkelautan, dan sebagainya.
26
Pasca2006: Potensi Ancaman Ekologis Meluas ke Kawasan Selatan Jawa S l h satu Salah t fakta f kt yang kurang k menjadi j di perhatian h ti publik blik hingga hi saatt ini i i adalah d l h dipersiapkannya landasan untuk akselerasi eksploitasi Jawa tahap kedua sejak tahun 1990-an. Hal itu bisa dilihat dari rencana pemerintah untuk membangun dan mendukung d k pembangunan b jalan l toll secara nasional.l Hingga saat ini -dilihat d l h dari d realisasi maupun rencana pembangunan ruas jalan tol baru- bagian yang dibangun di Jawa di atas 70 persen dari keseluruhan. Secara kebetulan, visi lama pembangunan tadi mendapat kesesuaian dengan visi “baru” pemerintah daerah. Dengan pertemuan visi lama dan visi “baru” itulah, dimulai sejarah j pembangunan p g JJalan Lintas Selatan (J (JLS)) JJawa. Sejak Pemerintahan Megawati rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa sudah dimulai, yang dimaksudkan untuk mengimbangi perkembangan di Pantura. Rencana ini bermula dari rencana Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun 2001 untuk meningkatkan percepatan pembangunan Jawa Timur bagian Selatan. Setelah dikomunikasikan dengan pemerintah provinsi lain di Jawa, rencana ini disambut dan dikembangkan menjadi rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa. Ja a
27
Akhirnya, rencana ini didukung oleh Pemerintah Pusat, baik pada masa Pemerintahan Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono Dukungan pemerintah pusat terhadap pembangunan lintas selatan terlihat lebih digerakkan oleh pemikiran yang semata-mata melihat potensi ekonomi kawasan selatan l P l Jawa. Pulau J S Seperti i disampaikan di ik Menteri M i Perencanaan P P b Pembangunan/Kepala /K l Bappenas saat itu, Paskah Suzetta, dukungan untuk pembangunan jalan lintas selatan (JLS) itu karena adanya potensi ekonomi di sepanjang jalur selatan Jawa mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, hingga Jawa Timur. Untuk menjadikan status jalan yang membentang sepanjang 1.556 km tersebut mulai dari Ujung j g Kulon,, Banten sampai p Banyuwangi, y g , JJawa Timur- menjadi j jjalan arteri primer diperlukan dana sekitar Rp 3 triliun. Pengadaan dana yang cukup besar tersebut jelas tidak mungkin diambil dari APBD lima provinsi dan dari APBN. Karena itu, baik pemerintah daerah dari lima provinsi maupun pemerintah pusat sudah sepakat menawarkan pembangunan ruas-ruas tertentu dari jalur ini kepada investor.
28
Pilihan berpaling kepada investor dalam pembangunan infrastruktur jalan (jalan tol) selama ini juga tidak pernah dilihat sebagai awal ancaman bagi keseimbangan ekosistem dan hubungan sosial. Merupakan fakta bahwa infrastruktur jalan tol yang dibangun di Indonesia sejak tahun 1980-an bukan bertujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa industri yang kemudian meningkatkan ekspor. Jalan tol adalah industri tersendiri yang ingin dibuat beranak beranakpinak oleh investornya dan pemerintah. Dengan kata lain, jalan tol itu bukanlah infrastruktut atau prasarana yang membantu bergeraknya sektor manufaktur dan jasa-jasa lainnya. JJawa adalah lahan industri jjalan tol yyangg p palingg menggiurkan gg karena p penduduknya y yyangg amat padat. Juga, harus diakui sektor bisnis ini bisa menghasilkan percepatan pertumbuhan ekonomi jangka pendek karena adanya backward dan forward lingkage yang ditimbulkannya. Tetapi, perlu sekali diantisipasi dampak dari pembangunan jalan tol ini terhadap keseimbangan ekosistem dan keseimbangan sosial di Pulau jawa di masa depan atau sekitar 20 hingga 25 tahun yang akan datang. Tahun 2020 saja penduduk Indonesia diperkirakan sudah berjumlah 261,5 juta. Sebanyak 146,5 juta jiwa tinggal di Jawa yang luasnya kurang dari 7% dari total luas daratan Indonesia Jawa. Perkiraan jumlah penduduk Jawa itu didasarkan pada asumsi bahwa tren pertumbuhan penduduk berjalan sebagai kelanjutan normal dari kondisi sekarang. Kondisi “normal” itu artinya Jawa adalah daerah yang tetap lebih menarik untuk dd didatangi.
29
Tetapi, yang lebih penting lagi untuk diperkirakan adalah arah pergerakan relasi-relasi ekonomi-politik antara masyarakat, masyarakat pelaku bisnis, bisnis dan pejabat publik. publik Tren pembangunan fisik diperkirakan akan membuat kawasan-kawasan hijau di sepanjang jalan tol lintas selatan Jawa akan menarik selera kaum kelas menengah untuk mendirikan rumah-rumah peristirahatan, lapangan golf, lalu berubah menjadi factory outlet, dan sebagainya. Dari aspek ekosistem, jelas tekanan terhadap daerah hijau akan bertambah. Lalu, karena jumlah orang miskin di Jawa bertambah, makin banyak dari mereka yang tinggal di lahan-lahan kritis dan mendirikan bangunan g sesukanya. y Akibatnya, y , daerah-daerah tangkapan g p air dan daerah resapan air di sepanjang selatan Jawa nanti akan makin berkurang kualitas dan kuantitasnya. Kita belum lagi berbicara tentang relasi sosial-ekonomi dan politik. Salah satu pola relasi sosial yang akan muncul adalah interaksi fisik antarkelompok sosial akan semakin intensif karena mereka tinggal di lahan yang semakin terbatas. Karena besarnya kesenjangan sosial-ekonomi, garis-garis kelas sosial di Jawa juga akan semakin tegas. Garis-garis tegas ini tentu akan menjadi komoditas yang menarik untuk “diperdagangkan“ oleh para politisi yang hanya memburu kedudukan dan uang. Mudah-mudahan tidak semua ramalan itu benar. Tetapi, sebaiknya, marilah kita tetap merenung tentang masa depan Pulau Jawa dan masa depan ekonomi Indonesia setelah 20 atau 25 tahun lagi dari sudut pandang ini!
30
Membangun Ketahanan Ekonomi M t Mantan M t i Pertahanan Menteri P t h J Juwono S d Sudarsono d l dalam t li tulisannya pernah h menyatakan bahwa ketahanan ekonomi merupakan bagian penting dari ketahanan nasional di Indonesia dan ketahanan ekonomi memerlukan sumber-sumber k h ketahanan nonekonomi k ( (Kompas, 8 Mei 2006). ) Dua sumber b ancaman ketahanan k h ekonomi yang disebut Juwono ketika itu adalah ketidakadilan sosial dan kemiskinan. Tinjauan intuitif Juwono itu sebenarnya perlu dikaji lebih jauh. Situasi menjelang krisis ekonomi tahun 1997 merupakan fakta empiris untuk melihat sumber-sumber ancaman ketahanan ekonomi di luar fundamental makroekonomi yyangg konvensional. Sesungguhnya, gg y , di masa itu banyak y sekali faktor nonekonomi -yang y g tidak bisa diwakili oleh angka-angka nominal yang biasa disusun secara instan untuk uji korelasi atau uji regresi- yang nyata pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan Faktor-faktor tersebut bukan saja soal kemiskinan dan ketidakadilan berkelanjutan. sosial, tetapi mencakup juga ketimpangan pembangunan antarwilayah, urbanisasi yang tak terkendali, deprivasi sosial (seperti dikatakan Ted Gurr), dan sebagainya.
31
Kita mungkin sudah merasa keluar dari krisis. Tetapi, merasa keluar dari krisis b k berarti bukan b k aman dari kita d ancaman krisis k b k berikutnya. Meskipun k sudah d h terlihat lh tanda-tanda yang menunjukkan fundamental makroekonomi konvensional -seperti cadangan devisa, inflasi, stabilitas nilai kurs Rupiah, dan sebagainya- membaik fundamental nonekonomi untuk ketahanan ekonomi harus diperhatikan. Ketimpangan p g Infrastruktur Menurut hemat penulis, di atas kertas memang banyak tercantum agenda untuk memulihkan ekonomi Indonesia setelah krisis tahun 1997 sekaligus menggeser orientasi pembangunan ekonomi ke arah prorakyat. prorakyat Namun, Namun jika dilihat langkah-langkah konkret yang diambil pemerintah, banyak di antaranya yang mengandung paradoks. Di satu sisi, ia berangkat dari komitmen yang kuat untuk melakukan pemerataan, pemerataan menegakkan keadilan, keadilan dan mengurangi ketimpangan. ketimpangan Tetapi, di sisi lain, kebijakan ekonomi dan langkah-langkah yang diambil, termasuk masalah yang diabaikan, menunjukkan bahwa pemerintah membangun perintang untukk mewujudkan j dk tujuan j tadi. di
32
Negara-negara yang terbukti perekonomiannya memiliki daya tahan didukung oleh pemerintahan. l h distribusi di tribu i aset, t infrastruktur infr truktur dan d n pelayanan p l n n jasa j p m rint h n Tetapi, T t pi di negeri n g ri kita hingga saat ini, pemerintah belum mempunyai konsep untuk memanfaatkan potensi ekonomi di luar Jawa untuk membangun ketahanan ekonomi yang berbasis k h ketahanan sosial-ekonomi. l k S Sementara, rencana untukk menggerakkan kk perekonomian k pedesaan melalui peningkatan infrastruktur pedesaan belum tampak seperti yang dijanjikan. Ketidakjelasan dan paradoks langkah-langkah pemerintah tadi bisa dilihat, antara lain, dari kecenderungan pembangunan infrstruktur perhubungan yang masih tetap p bersifat JJawa-sentris. Potensi Sumatera,, Kalimantan,, dan Papua p yyangg sangat g besar untuk memeratakan pembangunan ekonomi hingga saat ini belum menjadi perhatian serius. Jalan Lintas Tengah Sumatera yang sudah belasan tahun kondisinya rusak parah hingga kini tidak berubah. Jalan Trans Kalimantan yang yang memiliki kondisi serupa juga belum mendapat perhatian untuk perbaikan permanen. Sementara kita tahu, triliunan nilai kekayaan hutan Kalimantan telah dipindahkan ke Jakarta oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan perusahaan perusahaan HPH nasional. nasional
33
TREN KETIMPANGAN ANTARWILAYAH Wilayah Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Bali + NT Maluku Papua
Penduduk
PDB
Investasi
Kesenjangan
58.0 21.5 5.6 6.3 5.4 1.0 1.2
58.1 23.3 9.3 3.8 2.7 0.3 1.8
72.3 17.7 0.6 6.7 2.7 0.0 0.1
0.17 0.51 0.80 0.19 0.43 0.42 0.65
Sumber data: Dimodifikasi data: Dimodifikasi dari Anggito Abimayu, presentasi Abimayu, presentasi di Komisi XI DPR RI, 30 Agustus XI DPR RI, 30 Agustus 2010.
34
Kita juga tahu, prasarana dan sarana perhubungan udara antarkota utama di K l Kalimantan d dan d dari k k kota-kota utama di d Sulawesi S l masih h tertinggall dibanding db d antarkota di Jawa. Untuk perjalanan dari satu kota besar ke kota besar lain di Kalimantan, atau dari Makassar ke kota-kota besar di Kalimantan, orang harus pergi d l ke dulu k Surabaya. S b I i jelas Ini j l nilai il i minus i b i daya bagi d tarik ik investasi i i maupun pembangunan secara keseluruhan bagi kota-kota di Kalimantan. Ketertinggalan prasarana dan sarana transportasi di daerah-daerah luar Jawa juga terjadi pada subsektor perhubungan laut. laut PT Pelni -yang yang nota bene adalah badan usaha milik publik- selama beberapa tahun terakhir menghentikan satu persatu armada pelayaran kapal penumpangnya. Terakhir, jasa pelayaran PT Pelni rute dari Kupang ke kota-kota di Papua berhenti sejak Maret 2006 (Kompas, (Kompas 8 Mei 2006, 2006 hal 18). Di tengah penyediaan dan perawatan prasarana transportasi yang semakin merosot tersebut, pemerintah dengan gencarnya mencari mitra dari kalangan swasta untuk membangun jalan-jalan tol di Jawa. Kalaupun ada penawaran untuk luar Jawa, porsinya tidaklah lebih dari 10 persen dari keseluruhan. Inilah salah satu paradoks jjanji j p pembangunan g pemerintah saat ini. p bukti p
35
Fondasi Sosial Terus Merapuh P t b h infrastruktur Pertumbuhan i f t kt yang tidak tid k sebanding b di antara t J Jawa d luar dan l J Jawa merupakan sumber ancaman ketahanan ekonomi nasional. Masyarakat daerah luar Jawa sadar kalau daerah mereka tidak mungkin berkembang menyamai Jawa. Akibatnya, kb Jawa tetap menjadi d orientasi untukk memperbaiki b k kualitas k l hd hidup. Sejak pertengahan 1980-an -seiring dengan meningkatnya fungsi aglomerasi Jabodetabek dalam mendorong pergerakan ekonomi nasional- arus migrasi keluar dari Provinsi Lampung berbalik menjadi lebih besar dari arus migrasi masuk ke daerah yang dikenal sebagai daerah tujuan transmigrasi tertua tersebut. Alasan mereka yyangg melakukan out-migration g itu jjelas karena Lampung p g tidak lagi g menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Sebaliknya dengan Jawa yang terus dipasok dengan berbagai infrastruktur moderen. Alasan penduduk Lampung itu mudah dibaca dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat daerah tersebut. tersebut Di samping sektor industri dan jasa yang tidak berkembang, kondisi petani di Lampung merupakan salah satu yang terburuk di antara daerah-daerah di Indonesia. Indikasi tersebut bisa kita baca dari nilai tukar petani (NTP) mereka. mereka
36
Penduduk Lampung tidak mungkin pergi ke Sumatera Selatan atau Bangka-Belitung karena perekonomian daerah ini juga tidak berkembang sebanding dengan provinsi-provinsi di Jawa. Lain halnya jika pembangunan infrastruktur di kedua daerah itu sejak dulu tidak terus-menerus dianaktirikan. Kondisi umum beberapa daerah di Kalimantan tidak berbeda dengan Lampung. Ketika berkunjung ke sebuah provinsi di Kalimantan tahun lalu, sebuah universitas negeri di daerah tersebut memiliki program studi yang jumlah dosennya lebih besar dari jumlah mahasiswa karena minat mahasiswa terhadap p p program g tersebut terus menurun. Hal itu bukan karena minat putera-puteri daerah tersebut terhadap program tersebut berkurang, tetapi karena jika orang tuanya mampu, mereka lebih baik mengirim anak-anaknya kuliah di Jawa. Alasannya, ketertinggalan fasilitas dan kualitas sistem pendidikan di universitas daerah asal mereka dari universitas-universitas di Jawa. Bayangkan jika suatu saat sebagian kawasan Kalimantan menjadi kawasan kering kerontang di musim kemarau dan kawasan langganan banjir di musim hujan. Biaya ekonomi masyarakat pasti akan bertambah untuk pengadaan air bersih di musim kemarau dan disebabkan kehilangan harta di musim banjir. Potensi ancamannya akan lebih besar apabila kita melakukan anatomi struktur sosial-ekonomi masyarakat Kalimantan. Rata-rata di provinsi-provinsi dan d juga kota-kota k k besar b K l Kalimantan, tingkat k ketimpangan k
37
sosial-ekonominya cukup tinggi. Kesenjangannya bahkan lebih besar dari kondisi nasional. Sebabnya tidak ada upaya mentransformasi ekonomi Kalimantan dari ekonomi yang Sebabnya, mengeksploitasi kekayaan alam dengan cara cara padat modal dan padat keuntungan ke struktur ekonomi yang menumbuhkan pemerataan dan memiliki keterkaitan yang kuat antarsektor. Dari kondisi seperti ini, yang harus diprediksi adalah, bagaimana situasi sosial Kalimantan setelah sumber daya alamnya nanti menipis, sementara sektor sekunder dan tersier tidak tumbuh sebandingg dengan g penurunan p p peran sektor p primer. Ada dua kecenderungan buruk yang akan terjadi. Pertama, konflik kelas seperti yang terjadi di Banjarmasin pada Pemilu 1997 dan konflik sosial-ekonomi bercampur konflik budaya seperti yang terjadi di Kalimantan Barat tahun 2000. Kedua, migrasi penduduk Kalimantan ke Jawa yang lebih menjanjikan bagi keselamatan hidup, terutama akses terhadap pangan. Tekanan terhadap ketahanan ekonomi nasional akan bertubi-tubi. Masyarakat juga makin merasakan situasi lingkungan sosial yang makin tidak aman karena meningkatnya kriminalitas. Rumah tangga kaya akan menambah investasinya untuk menyewa satpam dan mengadakan peralatan pelindung dari korban kriminalitas. Sementara masyarakat yang kurang mampu akan berbagi kemiskinan dengan para pelaku pencurian dan pencopetan k karena mereka k lebih l b h mudah d h menjadi d sasaran kejahatan k h d kereta di k api, bus b kota, k
38
pasar tradisional dan lingkungan perumahan nonbuatan. Polarisasi seperti ini juga merupakan bom waktu bagi stabilitas sosial yang pada akhirnya akan mengancam stabilitas ekonomi. Jika siklus huru-hara massa itu terus berulang, apa mungkin meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah tempat aman untuk berinvestasi dan nyaman untuk berekreasi? Dengan kecenderungan di atas, sebuah struktur sosial lima belas hingga dua puluh lima tahun ke depan yang berpotensi meruntuhkan kembali perekonomian nasional sangatlah perlu kita antisipasi. p p Pelajaran j dari krisis ekonomi Indonesia yyangg bergulir g pertengahan p g tahun 1997 dan meledak tahun 1998, bukanlah semata-mata pengaruh penularan (contagion effect) dari ekonomi global. Indonesia mengalami krisis terparah dan terlama untuk disembuhkan tidak lain karena kita lupa membangun fondasi sosial dan fondasi kewilayahan sebagai pilar-pilar ketahanan ekonomi sepanjang masa Orde Baru. Sejak akhir 1980-an kita terbuai oleh ekonomi gelembung (bubble economy) dan lupa akan bara dalam sekam. Akankah kita mengulang kegagalan itu?
39
BIODATA TIM PERANCANG
40
64
ANDRINOF A. CHANIAGO lahir di Padang, 3 November 1962. Saat ini bekerja sebagai Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI, UI untuk mata kuliah-mata kuliah: Ekonomi-Politik pada Program S1 dan S2; Politik Perkotaan pada Program Sarjana Ekstensi, dan Isu-isu Politik Dalam Kebijakan Publik pada Program S2 FISIP UI. Selain itu, penulis juga menjadi Senior Fellow The Habibie Center . Bersama beberapa B b b peneliti li i mendirikan di ik Center C f Indonesian for I d i Regional R i l and d Urban Ub Studies (CIRUS) pada tahun 1999, dan mendirikan CIRUS Surveyors Group (CSG) pada 2008. Saat mahasiswa pernah menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UI. Juga pernah aktif pada beberapa organisasi sosial (nonprofit), (nonprofit) yakni sebagai Anggota Dewan Redaksi Jurnal Galang, (jurnal pemikiran tentang penggalangan dana sosial atau filantrofi); dan menjadi Ketua III Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI); Menyelesaikan S-1 dari Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, dan S2 (Magister)) dari Program Magister Perencanaan dan d Kebijakan b k Publik bl k dari d FE UI, serta Diploma l The h Nationall Development l Courses dari d Fu Hsing Kang College, Taipei, Taiwan, (2004); Mengkuti Short Courses dan Training, antara lain, (1) Economic Globalization, di Wuhan, China, 2007; (2) Taiwan Economic Development and Planning, di Taipei, Taiwan, 2006; (3) Sustainable Urban Development di Touyuan City, Taiwan, 2004; dan (4) Conflict Mediation di Oslo dan Troms O, Mediation, O Norwegia, Norwegia 2003. 2003 Menulis buku berjudul, berjudul Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik Akar Krisis Indonesia (LP3ES, Jakarta, 2001), dan sejumlah tulisan pada buku, jurnal dan media massa.
41
AHMAD ERANI YUSTIKA lahir di Ponorogo, 22 Maret 1973. Menyelesaikan gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 1996. Setelah lulus aktif memublikasikan tulisan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Pada tahun 2001 menuntaskan studi postgraduate (MSc.) dan tahun 2005 menyelesaikan studi doktoral, doktoral semuanya di University of Göttingen (George-August Univesitat Göttingen) Jerman dengan spesialisasi ekonomi kelembagaan. Buku yang pernah diterbitkan antara lain: Perspektif Baru Pembangunan Indonesia: Catatan Kritis terhadap Isu Isu-Isu Isu Aktual (Brawijaya University Press dan P3BE, Malang, 1997); Industrialisasi Pinggiran (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000); Pembangunan dan Krisis: Memetakan Perekonomian Indonesia (PT Grasindo, Jakarta, 2002); Economic Analysis of Small Farm Households (Brawijaya Univesity Press, Malang, 2003); Negara vs Kaum Miskin (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003); Transaction Cost Economic of the Sugar Industry in Indonesia (Wissenschafttsverlag Vauk Kiel KG, Germany, 2005). Selain itu, juga menjadi editor buku: Emansipasi Kebijakan Lokal: Ekonomi dan Bisnis Paskasentralisasi Pembangunan (Bayumedia, Malang, 2003); Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi, dan Kebijakan (Bayumedia, Malang, 2005); dan Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian dan Kehutanan ((Pustaka Pelajar, j , Yogyakarta, gy , 2005). ) Sejak tahun 1997 bekerja sebagai dosen di kampus almamater dan pernah menjabat sebagai sebagai Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute). Pada tahun 2006 terpilih sebagai Dosen Berprestasi I (Teladan I) Universitas Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai Direktur Utama INDEF.
42
MOHAMMAD JEHANSYAH SIREGAR dikenal dengan Jehan Siregar sejak tahun 1995 hingga gg sekarangg menjadi j staf p pengajar g j dan p peneliti di Kelompok p Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung (KKPP, SAPPK ITB). Setelah menamatkan Sarjana Arsitektur di ITB tahun 1995, di tempat yang sama J h Jehan mendapatkan d p tk M gi t di alur Magister l studi t di Perumahan P h d dan P Permukiman ki p d pada tahun 1999, hingga kemudian memperoleh gelar Ph.D pada 2006 di bidang Perencanaan Kota dari The University of Tokyo, Jepang. Konsistensi di bidang perumahan dan permukiman terlihat dari fokus studi sejak tingkat sarjana, yaitu Studio Tugas Akhir berjudulAplikasi Konsep Support dalam Desain Rumah Susun Sederhana, Tesis berjudul Model Perumahan untuk Keluarga Muda Kelas Menengah Perkotaan, dan Disertasi di bidang kebijakan perumahan berjudul Identifying Policy Networks in the Development of Indonesian Housing Policy. Selain S l i mengajar j di Program P S j Sarjana A it kt dan Arsitektur d Magister M i t Perumahan P h dan d Permukiman P ki ITB sejak ITB, j k tahun t h 1993 Jehan Siregar sudah terlibat dalam berbagai kegiatan pendampingan masyarakat, terutama di kawasan Kota Bandung dan Jawa Barat. Antara 1997 hingga 2002 sebagian besar kegiatannya ada di Lembaga Pengakbdian Masyarakat ITB. Sejak tahun 2001 terlibat dalam berbagai kegiatan di Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, di Kementerian Perumahan Rakyat sejak tahun 2005, di Direktorat Perumahan Bappenas, dan di UN-Habitat Jakarta sejak tahun 2007. Beberapa karya yang dihasilkan di antaranya adalah RPJM Perumahan dan Permukiman 2000-2004, Rencana Pembangunan Rusunawa 2000-2004, dan berbagai makalah di bidang perumahan, permukiman, pengembangan komunitas, pertanahan dan penataan ruang
43
TATA MUSTASYA menyelesaikan pendidikan pascasarjana (Master of Arts) bidangg Manajemen j Pembangunan g di Universityy of Turin and ITC-ILO (2009) dan sarjana bidang Ekonomi Pembangunan, FE UI (2001). Sejak lulus UI, ia bergelut di bidang riset, analisa, dan advokasi kebijakan dengan konsentrasi politik dan pembangunan. Dalam kurun yang sama, ia menjadi editor freelance dan penulisa kolom di beberapa media nasional, seperti Kompas, The Jakarta Post, Media Indonesia d Sinar dan Si a Harapan. Ha apa Pengalamannya di dunia riset antara lain: Policy and Advocacy Officer Oxfam Great Britain-Indonesia (2007-2009); Analyst/Researcher The Indonesian Institute, Center for Public Policyy Research (2005-2007);; Researcher The Habibie Center (2004), Researcher and Community Development Officer Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives (2002-2003). Pengalaman lainnya adalah Country Lead, Biofuels Advocacy and Media Campaign, Oxfam International in Indonesia 2008-2009 dan Lead, Monitoring, Evaluation and Learning-Oxfam GB in Indonesia, Media, Advocacy and Communications Team (20072009). Selain itu, ia aktif mengikuti berbagai konferensi dan seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara, misalnya: kontributor “International Institute for Environment and Development (IIED) Regional Advisory Panel Meeting Meeting”, Bangkok, Bangkok Thailand (2008), (2008) peserta aktif “Poverty Poverty Footprint Workshop Workshop”, Bangkok, Thailand (2008), utusan “Asian Forum on Corporate Social Responsibility”, Ho Chi Minh City Vietnam (2007), pembicara dan utusan “Roundtable on Sustainable Biofuels for Asia Outreach”, Shanghai, China (2007), dan utusan Oxfam International Policy and Lobby Team “Conference of Parties for Climate Change, Bali, Indonesia (2007).
44