MENGAPA HARUS GANTI LOGO? (Kasus Pergantian Logo PT Pertamina dan Bank BNI ditinjau dari aspek Filosofi, Estetika dan Fungsional) Wibowo Dosen Program Studi Disain Komunikasi Visual Jurusan Disain FSR ISI Yogyakarta Email:
[email protected] ABSTRACT The more professional a company, the role of corporate identity or logo increasingly important, especially for the needs of sales promotion, public relations, publicity, and advertising.. Besides aiming to build the companies image in the public eye, a good logo will lead to suggestions and strong selfconfidence, pride, sense of belonging, even to establish unity and solidarity among the members of one another. Keywords: Logo, images, consistent Pendahuluan Pengalaman menunjukkan, beberapa perusahaan yang hampir bangkrut, sedang memulai restrukturisasi, perombakan manajemen, pemulihan citra dan sebagainya, ternyata lebih cepat berhasil dengan mengganti logo dan semua aplikasinya. Namun demikian, tidak setiap pembenahan manajemen selalu dengan cara mengganti logo. Beberapa konsultan dan ekspert corporate identity selalu mengadakan riset untuk menentukan sebuah perusahaan perlu mengganti logonya atau tidak. Studi Kasus Robinson Worldwide CH Robinson Worldwide Inc. (CHRW) boleh jadi merupakan client paling legendaris bagi Landor Associates, sebuah perusahaan pembangun identitas korporasi terbesar di dunia, yang berpusat di Amerika Serikat. Bagaimana tidak, perusahaan jasa pengantaran barang itu, saat datang pertama kali kepada Walter Landor Jr. tahun 1998, sedang mengalami kemunduran dalam bisnisnya. Pada tahun 2010, sudah menjadi perusahaan raksasa yang memiliki lebih dari 1775 cabang dan tersebar pada 120 negara. Setiap harinya, company ini mengoperasikan lebih dari 5 juta paket, dengan total jumlah pegawai lebih dari 110 ribu orang ! Pada awal tahun 1998, CEO CHRW, William F.Nicholson, mengajukan permintaan kepada Landor untuk menangani
Corporate Identity nya. William ingin logo perusahaannya diganti. Dia ingin di dalam logonya ada elemen kotak, sebagai symbol peti kemas, dan roda atau gerigi yang menggambarkan laju pertumbuhan perusahaan yang pesat. Seperti biasa, Landor mengawali pekerjaannya dengan riset. Mulai riset perusahaan, target audience, hingga image konsumen terhadap CHRW. Hasil riset merekomendasikan perusahaan ini tidak perlu mengganti logo, cukup dimodifikasi saja. Selanjutnya Landor mengumpulkan 300 truk yang beraneka ragam merk itu, untuk diganti bak bagian belakangnya, dengan bahan, ukuran, dan warna cat yang sama. Warna biru dipakai sebagai corporate color dari CHRW. Logo yang sudah dimodifikasi desainnya itu, diaplikasikan pada semua media promosinya, termasuk alat transportasinya. “Setelah semua ini, apa lagi yang harus saya lakukan ?” tanya William dengan bimbang, Landor menjawab tidak ada. “Silahkan beroperasi seperti biasa. Anda cuma menunggu saja, bagaimana hasilnya, tiga bulan lagi !”
Gambar 1. Logo dan Brandname CHRW (1999)
34
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
Gambar 2. Logo CHRW pada name board
35
Gambar 3. Logo CHRW pada name board
Gambar 4 . Logo CHRW pada bak kontainer
Hanya dua bulan setelah itu, terdapat satu perubahan besar. Pada pertemuan asosiasi perusahaan pengantaran barang di New York, William F.Nicholson, mendapat apresiasi dari boss FedEx. “Perkembangan perusahaan Anda dalam beberapa bulan ini luar biasa fantastis. Saya melihat armada transport Anda ribuan banyaknya, berkeliling kota. Profisiat ! Anda akan jadi pesaing berat saya.” Benarkah ribuan banyaknya ? Sebenarnya tidak. Mobil CHRW tidak bertambah jumlahnya, cuma berwarna seragam, dominan blue deep sea, dan aplikasi logo yang konsisten. Karena corporate color dan logo yang konsisten itulah, maka ketika hilir mudik di dalam kota, terkesan berjumlah banyak. Ratusan bahkan ribuan ! Surprise yang dirasakan William ini ternyata diikuti oleh perkembangan bisnis yang signifikan. Calon konsumen CHRW melihat perubahan drastis dari performance perusahaan ini, menilai sebagai bentuk profesionalisme baru dalam pelayanan. Kredibilitas perusahaan serta merta melejit tajam, dan konsumen menjadi tergoda untuk mencoba.
Studi Kasus Bir MillerCoors Kasus Corporate identity lain, yang juga ditangani oleh Landor Associate adalah Bir MillerCoors. Landor melakukan trial survey yang unik. Perusahaan ini mengundang 100 orang dalam sebuah even ulang tahun MillerCoors yang ke 22, dengan acara utama: pesta bir ! Pada acara itu, ada sepuluh bir yang bermerk berbeda, namun dituang dalam gelas kosong yang diberi nomor. Para undangan diminta memberikan penilaian rasa dalam angket tertulis. Mereka diminta mengidentifikasi nama bir yang telah diminum tersebut. Lebih dari 70 % undangan menilai bir dalam gelas bernomor 8 sebagai bir yang paling enak. “Ini pasti Budweiser !” Teriak seorang peserta, yang disetujui yang lain. Benarkah apa yang mereka yakini itu betul Budweiser ?. Ternyata bukan, gelas nomor 8 telah diisi bir MillerCoors. Sedang bir Budweiser yang paling diunggulkan, yang dituang pada gelas nomor 3, justru hanya mendapat point kurang dari 20 % .
36
DEKAVE, VOL. 01, NO.3, JANUARI-JUNI 2012
Gambar 5. Salah satu produk MillerCoors : Miller Lite
Gambar 6 : Brandname Budweiser
Mengapa bisa demikian ? Dalam kasus ini, Landor menjelaskan, bahwa nama besar suatu brand yang telah terkenal, dapat mempengaruhi rasa atau penglihatan. Budweiser adalah merk bir yang sudah sangat terkenal. Logo, brandname dan taglinenya, sudah sangat akrab bagi para peminum bir itu. Sebaliknya, MillerCoors yang tidak terkenal, tidak akrab, tidak bagus desain logonya, dan tidak gencar iklannya, justru terpilih secara obyektif dan jujur, sebagai bir yang paling enak, meski secara realitas Bud kalah suara, tapi ia lebih diuntungkan, dan MillerCoors sangat dirugikan Kesimpulan Landor dalam kasus ini adalah: pasti ada yang salah dalam pencitraan MillerCoors. Kesimpulan Landor ini dikemudian hari terbukti (dan makin dikuatkan) dengan hasil riset Landor mengenai image bir MillerCoors dimata konsumen, yang tidak begitu bagus. Buruknya pencitraan bir Amerika ini karena tidak seriusnya penanganan Corporate Identity dan tidak konsisten dalam aplikasi medianya. Kedua kasus di atas (CHRW dan Bir MillerCoors), adalah contoh kasus yang menunjukkan pentingnya Corporate Identity bagi perencanaan bisnis perusahaan. Salah satu komponen terpenting dalam Corporate Identity adalah logo, brandmark, atau merek. Lembaga pemerintah maupun swasta, perusahaan komersial atau non profit yang professional, pasti akan menyadari pentingnya logo atau corporate identity bagi perusahaannya. Bahkan banyak perusahaan yang sudah menggunakan logonya selama puluhan tahun,
ketika menyadari bahwa logo itu tidak mampu membangun image yang baik bagi perusahaan, terpaksa harus menggantinya. Namun penggantian atau perubahan logo, tak semudah membalik telapak tangan. Permasalahan baru sering muncul manakala logo sebuah perusahaan tiba-tiba berganti. Perusahaan harus mengeluarkan biaya yang sangat besar sehubungan dengan aplikasi logo baru pada semua elemen media exposurenya. Manajemen juga harus mensosialisasikan adanya logo baru tersebut pada mitra kerja, dan masyarakat luas. Selain masalah teknis di atas, perusahaan juga harus mengantisipasi persepsi negatif yang mungkin muncul dari masyarakat, terkait perubahan logo tersebut. Riset yang dilakukan oleh David E Carter, membuktikan bahwa pergantian logo menimbulkan keraguan konsumen terhadap profesionalisme manajemen perusahaan (David E.Carter, 2002 : 13) Diganti, dimodifikasi, atau dipertahankan ? Inisiatif mengganti logo, biasanya dating dari pemilik perusahaan. Pertimbangan penggantian, biasanya karena berbagai alasan: Logo yang bersangkutan tidak jelas makna dan filosofinya, dari segi estetika, tidak bagus, dari segi fungsional, sulit diaplikasikan pada berbagai media, tidak merefleksikan jenis usahanya, tidak menimbulkan rasa bangga atau rasa memiliki dari karyawan perusahaan tersebut, dan sebagainya. Kendati begitu, David E Carter tak selalu
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
memenuhi permintaan clientnya untuk mengganti logo. Ia terlebih dahulu mengadakan riset, FGD (focus group discussion), brainstorming, kemudian baru melakukan evaluasi dengan tes pengujian logo. (David E Carter, 2002 : 14) Tes ini dilakukan untuk menentukan apakah logo yang
37
4. Memorable (Apakah logo tersebut cukup mudah untuk diingat, karena keunikannya, bahkan dalam kurun waktu yang relatif lama) 5. Easily assosiated with the company. (Logo yang baik akan mudah dihubungkan /
Gambar 7 :Instrumen “The Logo Test”(Logo diganti)
lama masih bisa dipertahankan, cukup dimodifikasi saja, atau harus diganti sama sekali. Tes yang pertama adalah menggunakan 6 parameter logo yang baik, “The Logo Test” dan “kontinyuitas”. Evaluasi ini tidak dilakukan sendirian oleh David E Carter, namun bersamasama dengan Client. Client diajak ikut menilai logo yang telah dibuat, dari segi estetik dan fungsionalnya. Langkah pertama adalah bersamasama menilai, apakah logo yang dibuat : 1. Original and Destinctive. (Apakah logo itu memiliki orisinalitas, kebaruan, nilai kekhasan, keunikan dan daya beda yang jelas) 2. Legible. (Apakah logo tersebut mempunyai tingkat keterbacaan yang cukup tinggi meskipun diaplikasikan dalam berbagai ukuran dan media yang berbeda-beda) 3. Simple (Apakah logo tersebut cukup sederhana dalam pengertian mudah ditangkap dan dimengerti dalam waktu yang relatif singkat)
diasosiasikan dengan jenis usaha dan citra suatu perusahaan) 6. Easily adaptable for all graphic media. (Faktor kemudahan aplikasi logo, baik menyangkut bentuk, warna, maupun konfigurasi logo pada berbagai media grafis). Tes Pengujian Logo “The Logo Test” David E Carter Langkah kedua, adalah melalui instrument : “The Logo Test” yang sudah dimodifikasi (model dan inspirasi dari David E Carter). Instrumen ini adalah sebuah gambar yang berisi 8 logo perusahaan dan produk yang sangat bagus dari segi estetik dan komunikasi visual. Salah satu ruang memang dikosongkan (Place Your Mark Here) untuk menempatkan logo yang akan di tes. Pada saat logo itu dipasang di ruang tersebut, akan langsung terbandingkan dengan 8 logo di atas. Orang awampun akan dapat menilai, apakah logo tersebut masih bisa disejajarkan dengan logo lainnya, sudah ketinggalan jaman, tidak proporsional, komposisi warna tidak serasi (matching), dan sebagainya.
38
DEKAVE, VOL. 01, NO.3, JANUARI-JUNI 2012
Tes Konsistensi Logo Tahap ketiga adalah Tes Kontinyuitas logo. Cara pengujian logo dengan instrument ini adalah dengan melihat profesionalisme dan kontinyuitas Perusahaan dalam memperlakukan logo atau corporate identity yang dimiliki. David E Carter berpendapat, bahwa image masyarakat terhadap produk dan perusahaan, akan berkaitan erat dengan pengelolaan corporate identity. Perusahaan yang professional akan secara konsisten menerapkan logonya pada semua elemen media, seperti: kartu nama, kop surat, map, brosur, catalog, papan nama, kendaraan, seragam pegawai, serta merchandise dan stationery yang lain. Dalam hal ini, David E Carter menentukan 3 kriteria untuk penyikapan logo atau corporate identity yang akan dirancang : 1. Logo tersebut masih bisa dipertahankan. 2. Masih dipertahankan, cuma perlu modifikasi atau revisi. 3. Harus diganti sama sekali.David E Carter minta client untuk menyiapkan meja berwarna putih, dan meletakkan semua elemen promosi, stationary, merchandising yang berlogo (yang dipakai selama kurun waktu 1 tahun ke belakang), di atas meja tersebut. Semua yang hadir mengamati bersama, apakah logo lama tersebut sudah diterapkan secara konsisten, baik dari segi warna, komposisi, bentuk, tipografinya, dan sebagainya.
Jika sudah konsisten, tinggal mempertimbangkan aspek estetik saja. Namun jika tidak konsisten, menurut David E Carter, citra lembaga sudah buruk, maka corporate identity sudah harus direvisi, dimodifikasi, atau diganti sama sekali. Beberapa Kasus Pergantian Logo Perusahaan di Indonesia Keputusan Dirut Pertamina yang Menuai Badai Pada awal tahun 2005, Pertamina, melalui rapat dewan komisaris memutuskan mengganti logo perusahaannya. Ide itu muncul dari keresahan Direktur Pertamina kala itu, Widya Purnama, yang merasa bahwa Pertamina sudah sangat terpuruk, karena beberapa kasus korupsi yang menjerat para pejabatnya. Pada dua tahun terakhir sebelum penggantian logo, telah terjadi beberapa kasus yang makin memperburuk wajah BUMN terbesar di Indonesia ini, di antaranya adalah: Pembobolan uang Negara lebih dari USD 6,349 juta, dalam proyek pembangunan Depo Balaraja. Bersamaan dengan itu, telah diketemukan pencurian besar-besaran yang telah berlangsung selama 8 tahun di PT Pertamina Gas, berupa pembajakan pipa sepanjang 9 km dari kilang pengolahan PK Musi Banyu Asin, yang merugikan
Gambar 7 :Instrumen “The Logo Test”(Logo diganti)
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
39
Negara ratusan miliar setahun. Masih pada tahun yang sama, terjadi lagi kebobolan di Pertamina, 27 kapal pengangkut minyak mentah dari Dumai ke kilang Balongan, telah ditangkap. Kapal-kapal tersebut telah beroperasi lebih dari 5 tahun, dengan kerjasama pejabat Pertamina, mencuri lebih dari 200. 000 barel per bulan dan dijual ke Malaysia. Belum lagi kenaikan harga BBM bersubsidi, kelangkaan minyak, konversi gas LPG dan sebagainya. Beberapa kasus korupsi dan buruknya pelayanan Pertamina ini membuat pimpinan Pertamina kala itu, memutuskan harus ada pembenahan menyeluruh dari manajemen perusahaan yang dipimpinnya. Pertamina harus mengembalikan kepercayaan masyarakat dan kredibilitas perusahaannya, di mata public. Salah satu upayanya adalah mengganti logo! Logo bagi sebuah perusahaan bisa berarti banyak: citra, cita-cita, semangat, dan berkah. Belum lagi maksud itu kesampaian, Pertamina sudah menghadapi masalah dengan logo barunya. Logo berwujud tiga jajaran genjang berwarna merah, hijau, dan biru yang merepresentasikan bentuk panah itu dipermasalahkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Di mata institusi tersebut, proses pergantian logo dua kuda laut mengapit bintang itu telah menabrak UndangUndang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha. Untuk itu, KPPU menghukum Pertamina tersebut dengan denda sebesar Rp 1 miliar. “Dosa” Pertamina, menurut Erwin Syahril, ketua majelis komisi itu, adalah menunjuk
menjelang akhir tahun 2005, Direktur Utama Pertamina ketika itu dijabat oleh Widya Purnama mengungkapkan bahwa perusahaannya akan berganti logo. Saat itu ia menerangkan bahwa projek besar itu digarap oleh Landor Associate. Hasilnya; simbol perusahaan berupa dua kuda laut yang mengapit bintang diganti dengan tiga jajaran genjang berwarna merah, biru, hijau, dan tulisan Pertamina. Bentuk panah itu diartikan sebagai Pertamina yang bergerak maju dan progresif. Lalu warna biru berarti andal, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab; hijau mencerminkan sumber daya energi berwawasan lingkungan; dan merah berarti keuletan dan ketegasan, serta keberanian dalam menghadapi berbagai kesulitan. Penunjukan Landor sebagai konsultan itu didasarkan pada SK Dirut Pertamina No. 036 Tahun 2004 tentang proses pengadaan barang atau jasa yang meliputi tahapan perencanaan kebutuhan, pemilihan penyediaan, pelaksanaan kontrak, dan penerimaan barang dan jasa. Untuk “hajatan” ini Pertamina dikabarkan merogoh kocek sebesar US$ 255 ribu (sekitar Rp 2,55 miliar). Widya ketika itu mengatakan bahwa ongkos tersebut jauh lebih murah dibanding yang dikeluarkan oleh PT Indosat dan Bank BNI dalam proyek serupa. Saat membacakan putusannya, majelis menyatakan bahwa Pertamina secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 19 huruf d Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat alias UU Anti Monopoli (UU No. 5 Tahun 1999)
Gambar 9 : Logo Lama
Gambar 10 : Logo Baru
langsung perusahaan yang mengerjakan pembuatan logo anyar tadi. Seharusnya, “Pembuatan logo itu melalui proses tender,” katanya. Sekadar menyegarkan ingatan,
Majelis KPPU menganggap penunjukan Landor sebagai pembuat logo baru Pertamina tak memiliki alasan yang sah. Bahkan, indikasi adanya penunjukan langsung tersebut telah terlihat
40
DEKAVE, VOL. 01, NO.3, JANUARI-JUNI 2012
sejak awal. Di antaranya, diketahui dari keinginan direksi Pertamina agar perubahan logo dilakukan oleh Landor. Sementara, KPPU berpandangan bahwa pekerjaan pembuatan logo, dapat dilakukan oleh semua pelaku usaha yang mempunyai keahlian di bidang desain grafis. Menurut majelis KPPU, Pertamina terbukti mengistimewakan Landor dan tidak berupaya untuk mencari perusahaan pembuat logo pembanding dan mengabaikan branding consultant lain. Padahal, perusahaan itu memiliki waktu yang cukup untuk memilih penyedia jasa pembanding. Dilain pihak, dalam melakukan penunjukan langsung tersebut, Pertamina juga punya landasan yang kuat. Perusahaan itu menyatakan bahwa hak untuk mengubah logo merupakan wewenang dari direksi Pertamina sebagaimana diatur dan tersirat Pasal 11 Anggaran Dasar Pertamina. Selain itu, Pertamina juga menunjuk SK 036 tentang manajemen pengadaan barang/jasa. Berdasarkan aturan itu, pembuatan logo baru dikategorikan sebagai jenis pengadaan konsultan komunikasi yang meliputi integrated marketing communication, advertising, public relation, branding consultant, dan direct marketing. Karena itu, pelaksanaan proyek dimaksud dilakukan dengan penunjukan langsung. Belakangan diketahui, bahwa sebenarnya Landor telah mengadakan presentasi kepada Dirut Pertamina dan jajarannya. Mereka merasa terpesona dengan reputasi Landor Associate, dalam penanganan logo perusahaan atau corporate identity. Selain itu, pemilihan Pertamina atas Landor juga sedikit
Gambar 11 : Logo Lama
banyak dipengaruhi faktor gengsi, atau pertimbangan prestisius. Bagaimana tidak. Landor Associated adalah perusahaan Corporate Identity service atau pembuat logo terbesar di dunia, yang telah menangani lebih dari 600 brand perusahaan besar di Negara maju seperti : Austrian Airlines, BMI, G, Japan Airlines, Jet Airways, KLM, Singapore Airlines, Citroën, FedEx, LandRover, Volkswagen, Volvo, Diageo, MillerCoors, Café Coffee Day, Evian, Nescafé, PepsiCo, Crest, OldSpice, Procter&Gamble, Vicks, BritishGas, Sunoco, Levi Strauss, Rolex , HSBC, Danone, DelMonte, Heinz, KFC, Kraft, Nestlé, , FedEx, Macy's, Morrisons, Hewlett-Packard, LG Electronics, Microsoft, Panasonic, Sharp, BlackBerry, Nokia, Samsung, Westin Hotels, dan lain-lain. Jika corporate identity PT. Pertamina ditangani oleh Landor Associate, maka image perusahaan tersebut akan langsung terdongkrak. Prestise, profesionalisme dan jaringan global akan langsung melekat pada corporate image perusahaan BUMN terbesar di Indonesia itu. Setidaknya itu harapan Pertamina. BNI 46 Memang Harus Ganti Logo. Keputusan Sigit Pramono, pimpinan Bank BNI untuk mengganti logo menorehkan perubahan yang cukup signifikan di dua bank yang pernah dan kini dipimpinnya secara berturut-turut. Perubahan dimaksud adalah pergantian logo dari Bank Internasional Indonesia (BII) dan Bank BNI. Langkah pergantian logo itu memang tidak terlepas dari tugas yang dimandatkan kepadanya dari pemerintah, yakni untuk menyehatkan kedua bank tersebut. Pada Mei 2002, oleh pemerintah dia
Gambar 12 : Logo Baru
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
dicomot dari posisinya sebagai Senior Vice President di Bank Mandiri untuk menyehatkan BII yang lama mendekam sebagai pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tak sampai dua tahun berselang, kembali dirinya diminta pemerintah untuk menjadi Presiden Direktur di Bank BNI. Tugas utamanya adalah membenahi bank yang kini berlogo sebuah bahtera dengan layar terkembang itu, setelah kebobolan Rp 1,7 triliun akibat kasus Letter of Credit (L/C) fiktif. Bagi Sigit, tugas pembenahan yang dimandatkan kepadanya, diwujudkan tidak sekadar dari sisi performa keuangan dan manajemen. Lebih dari itu, dia merasa perlu untuk mengubah logo kedua bank yang pernah dan kini dipimpinnya itu. Dalam filosofinya, sebuah pergantian logo adalah tahap awal menuju kelahiran sebuah institusi baru. Untuk itu perlu ada simbolisasi baru yang diharapkan bisa bermata dua. Di satu sisi, secara internal mampu membarui kultur, visi, misi dan semangat. Di sisi lain, secara eksternal mampu mengubah persepsi dan citra perusahaan di mata publik menjadi lebih positif. Sama dengan Pertamina, manajemen yang dipimpinnya mengontrak Landor Associate, Amerika Serikat, untuk menangani perubahan logonya itu. Sigit Pramono berpendapat, bahwa di dalam melakukan restrukturisasi atau perubahan di perusahaan yang bermasalah memang tidak harus diikuti perubahan identitas perusahaan atau logo. Tetapi banyak contoh perusahaan besar di seluruh dunia yang melakukan, ternyata mengalami perubahan besar dalam waktu yang relatif singkat. Pengalaman Sigit mengganti logo BII juga bisa menjadi bukti. Citra orang terhadap BII dengan logo yang baru, ternyata sangat berbeda. “Itu sudah saya rasakan betul dari budaya kerja, perilaku karyawan sesudah pergantian, menjadi lebih positif”, kata Sigit Pramono. Bagi BNI, perubahan logo ini bukan sesuatu yang baru. BNI pernah melakukan perubahan. Latar belakang utama penggantian logo itu adalah : upaya restrukturisasi perusahaan. Untuk menumbuhkan spirit perubahan bagi segenap staf, diperlukan mascot atau symbol yang kuat. Simbolisasi yang paling tampak adalah
41
melakukan perubahan identitas perusahaan atau corporate identity. Visi Sigit Pramono ternyata sama dengan Landor. Dalam pandangan mereka, sejarah pertumbuhan BNI yang menorehkan prestasi harus dimunculkan secara menyolok dalam visualisasi logo itu. Maka munculah angka “1946” dalam rancangan logo tersebut. Kemudian memang meskipun dalam perusahaan modern, brand itu penting, tapi tentunya itu tidak sekadar mengganti logo saja. Tapi bagaimana dengan simbolisasi yang lebih baru ini membawa perubahan dari budaya kerja kita, tingkah laku, visi, misi dan harapan baru ke depan. Sebenarnya pergantian logo itu adalah tahap awal dari upaya melahirkan sebuah institusi dengan wajah baru. Sebetulnya itu secara psikologis sudah diterima dengan wajar-wajar saja karena biasanya orang kalau memakai baju baru itu jalan pun bisa lebih percaya diri. Saya kira konsep pergantian logo di perusahaan mirip dengan itu juga. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan logo yang lama. Tetapi sekali lagi karena ada perubahan-perubahan yang diharapkan. Tuntutan agar Bank BNI melakukan perubahan dilatarbelakangi oleh perubahan lingkungan internal dan eksternal yang juga terus berubah. Citra dan persepsi publik tentang BNI yang cenderung birokratis, lamban dan kaku, harus segera diubah, menjadi lebih profesional, dalam arti tidak birokratis, cepat, fleksibel dan responsif. Dalam pandangan Sigit, konsep brand itu luas sekali. Re-branding itu belum tentu semuanya diganti. Misalnya ke depan, namanya tetap BNI, tetapi hanya mungkin ada tambahan logo baru. Tetapi namanya tetap BNI, karena BNI itu sendiri brand yang harus dipertahankan. Jadi komponen terbesar ada di brand itu sendiri, yaitu dari namanya. Karena sebetulnya tingkat brand awareness dari nama BNI itu luar biasa, karena kita lahir sejak 1946. Itu sangat melekat, dan saya yakin kalau dilakukan survei, ditanya BNI itu merek cat atau rokok, orang pasti bilang itu nama bank. Tidak akan ada kesalahan lagi. Itu menunjukkan tingkat brand awareness tinggi. Jadi komponen utama tidak berubah. Dalam melakukan perubahan itu, terlebih dahulu pimpinan bersama-sama dengan Landor menjajagi resistensi atau kemungkinan penolakan
33
42
DEKAVE, VOL. 01, NO.3, JANUARI-JUNI 2012
dari karyawan. Tentu harus dijelaskan kenapa ini dilakukan. Sigit juga membentuk tim sosialisasi yang terus menjelaskan mengapa hal ini dilakukan kepada seluruh karyawan. Ternyata di BNI, hampir 90 persen memberikan komitmen mendukung perubahan ini. Sebetulnya mengganti logo itu erat kaitannya dengan pemilik atau manajemen. Mau tidak mau, dalam ilmu pemasaran modern, karena brand yang kuat dan yang dirancang dengan baik pasti akan membawa dampak yang positif. Itu pemahaman yang disepakati semua ahli pemasaran. Saat ditanyakan, Apa saja yang harus dilakukan dalam rangka pergantian logo?, Sigit Pramono menjawab : “Sebetulnya begitu kita ganti logo, ada banyak hal yang perlu ditertibkan. Kita akan menerbitkan panduan mengenai merek atau brand manual. Tujuannya agar aplikasi dari logo baru itu lebih disiplin. Misalnya penempatan logo di kartu nama, kartu ATM, kartu kredit, kop surat, lantas penempatan di kantor cabang akan tampak seperti apa. Akan ada sekitar 32 item yang diatur aplikasinya” Mengenai proses kreatifnya, apa yang dilakukan Landor, tidak terlalu berbeda dengan brand consultan lain seperti David E Carter. Pertama, mereka melakukan brand survey atau brand audit. Yaitu bagaimana brand BNI yang sekarang diaplikasikan. Kemudian melakukan interview dari semua stakeholders BNI. Mulai dari manajemen, karyawan baik dikantor pusat, wilayah maupun cabang, termasuk nasabah juga ada yang ditanya. Semua ditanya visi bank ini ke
depan seperti apa, dan apa yang dirasakan saat itu. Itu semua dilakukan secara terperinci. Prosesnya sendiri berjalan selama enam bulan. Jika diamati dalam peta navigasi BNI, dalam tahap transformasi itu sudah dinyatakan akan melakukan re-branding. Itu sudah jelas. Penunjukan Landor pun melalui seleksi. Saat ditanya mengenai besaran biayanya, Sigit mengaku tidak mahal. ”Kalau untuk perancangan logo sampai membuat brand manual dan merancang aplikasinya, itu sekitar Rp 3 miliar. Itu di luar biaya aplikasinya. Jadi kalau hanya untuk merancang logo mungkin tidak terlalu mahal”. Yang banyak memakan biaya adalah aplikasinya. Namun hal ini sudah dalam perencanaan keuangan yang matang. Pelaksanaannya dilakukan bertahap, yaitu dengan menggunakan dana untuk renovasi cabang. Tidak seperti Pertamina yang menuai protes saat penggantian logonya, BNI tidak sedikitpun mengalami gejolak. Hal ini disebabkan kredibilitas pimpinan (Sigit Pramono) yang cukup besar di mata karyawan, serta kredibilitas brand consultantnya, Landor. Selain itu, Sigit juga sudah membuktikan pengalaman dan keberhasilannya yang gemilang saat memimpin BII, dengan melakukan hal yang sama. Faktor yang lain adalah, Pimpinan BNI telah melakukan sosialisasi mengenai rencana pergantian logo tersebut dengan baik. Mana yang Lebih Efektif : Rumit, atau Simple ? Logo Bakrie: Rumit namun Memorable. David E Carter untuk merancang logo yang baik, seperti yang dikemukakan di atas (Original
Gambar 13 : Logo Bakrie tahun 1978
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
and Destinctive, Legible, Simple, Memorable, Easily assosiated with the company, Easily adaptable for all graphic media), tidak semua bisa dipenuhi. Misalnya antara memorable dan simple, adalah dua hal yang ambivalen dan kontroversi. Untuk mewujudkan desain logo yang mudah difahami, dan sekecil mungkin menimbulkan salah penafsiran, maka logo tersebut memang harus dibuat sederhana atau simple. Namun untuk menciptakan logo yang memorable, mudah diingat, haruslah sesuatu yang unik, dan memiliki differensiasi yang tinggi. Di Indonesia, logo yang termasuk unik dan memorable, misalnya logo Bakrie Brothers. Logo perusahaan milik Aburizal Bakrie bersaudara ini tidak semetris, tidak berbasis garis lurus, kotak atau lingkaran. Logo yang sangat dinamis dan ekspresif ini, jika diukur dari parameter atau kriteria “Logo yang baik” dari David E Carter, banyak kondisi yang tidak dipenuhi, misalnya : 1. Simple. Logo ini sama sekali tidak simple, bahkan cenderung rumit dan tidak beraturan. 2. Easily assosiated with the company. Bisa dipastikan. Siapapun yang melihat logo ini pasti tidak akan menduga apa jenis usaha dari Bakrie. 3. Easily adaptable for all graphic media. (Yang bermakna faktor kemudahan aplikasi logo, baik menyangkut bentuk, warna, maupun konfigurasi logo pada berbagai media grafis) Bisa dibayangkan, bagaimana aplikasi logo ini pada stempel yang kecil, bentuk tiga dimensional, atau jika diolah menjadi animasi untuk opening tune sebuah iklan televisi ? Dari segi teknis, logo ini juga tidak mudah diberi grid system, karena bentuk nya yang tidak menyatu (berserakan). Dari aspek komposisi warna, karena
43
warna yang digunakan (merah bata dan hijau Turkish), bukan warna komplementer, maka cukup sulit jika diaplikasikan pada warna backgroundnya (supaya kelihatan kontras). Dari aspek pemaknaan, logo itu tidak bisa di jelaskan maknanya untuk setiap elemen logonya, misalnya untuk dua garis lengkung yang berwarna merah bata (terakota) itu maknanya apa. Bulatan yang paling kecil itu maknanya apa, dan sebagainya. Logo itu merupakan satu kesatuan, dan satu pengertian. Logo ini hanya memenuhi kriteria Original, legible, dan memorable, karena bentuknya yang unik, dan memiliki diferensiasi yang tinggi. Namun apakah Bakrie tidak kawatir jika audience akan salah mengapresiasi ? Menimbulkan distorsi pengertian, dan berakibat pada timbulnya image yang buruk ? Beberapa pakar logo seperti Daniel Surya dari Landor Associate Indonesia, dan Henricus Kusbiantoro, justru berpandangan sebaliknya. Daniel menilai bahwa logo Bakrie & Brothers itu justru menjadi salah satu kekuatan dalam menciptakan citra perusahaan. Perusahaan yang digagas oleh Achmad Bakrie tahun 1942 ini, sebenarnya sudah berganti logo sebanyak 4 kali. Saat logo yang terakhir ini diluncurkan pada tahun 1978, Bakrie sudah menjadi perusahaan besar yang memiliki diversifikasi usaha terbesar di Indonesia. Bagi perusahaan sebesar dan sepopuler Bakrie & Brothers, tidak masalah memiliki logo yang rumit dan ekspresif. Semakin unik desain logonya, justru semakin positif citra perusahaan ini. Henricus Kusbiantoro juga apresiasi yang tinggi terhadap logo ini, sebagai logo yang memiliki nilai estetik yang tinggi. NIKE “Swoosh” : Makin Simpel Lain halnya dengan beberapa perusahaan yang mengganti logo, cenderung meminimalisir
Gambar 14 :Perubahan Logo dari tahun 1971 hingga 1990. Tanpa meninggalkan bentuk aslinya
44
DEKAVE, VOL. 01, NO.3, JANUARI-JUNI 2012
Gambar 15 : logo NIKE mulai tahun 1990
desainnya, dengan atau tanpa menghilangkan bentuk aslinya. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah diingat (memorable), dan lebih mudah teknis aplikasinya. Logo Nike, misalnya, secara bertahap dan terencana, menghilang -kan beberapa elemen desainnya. Logo perusahaan sepatu dan alat olah raga asal Amerika ini, sangat berani menghilangkan brandname, yang belasan tahun melekat di logonya. Perusahaan berani melakukan itu, setelah melalui riset yang lama, di 88 negara. Hasil riset menunjukkan, bahwa logo yang berbentuk “centang” itu memiliki image yang sangat kuat bagi responden. Tanpa menyertakan brandname “NIKE”, mereka sudah sangat mengenali logo sepatu berkelas dunia itu. Keberhasilan ini tentu tak terlepas dari sejarah logo Nike itu sendiri. Tidak banyak yang tahu bahwa logo yang berbentuk tanda koreksi atau “centang” itu berasal dari bentuk pahatan batu dari “Dewi Nike “ yang berasal dari mitos Yunani
Gambar 16 : Relief Dewi Nike, Dewi Kemenangan Yunani Yang mengilhami bentuk “centang” pada logo NIKE
kuno, berarti symbol kecepatan dan kemenangan. Relief Dewi Nike, pada sebuah batu yang berbentuk segitiga (menyerupai bentuk “centang”) inilah yang kemudian diadaptasi ke dalam bentuk desain logo Nike, yang kemudian dikenal dengan julukan “swoosh” (menang). Spirit kemenangan, dan kejayaan ini, selalu ditanamkan pada jiwa setiap karyawan Nike, sebagai kredo, atau filosofi perusahaan. Bukan suatu kebetulan, jika bentuk batu segitiga ini menyerupai tanda centang. Penemu ide brilian yang sekaligus pencipta logo NIKE (tahun 1971) ini adalah Carolyn Davidson, seorang mahasiswi desain grafis di Portland State University. Perusahaan NIKE sendiri kemudian mengambil langkah cerdas dengan menggandeng olahragawan peringkat dunia seperti Michael Jordan, LeBron James, Tiger Wood, Ronaldo, Andre Agassi, Shane Warne, Maria Sharapova, Venus dan Serena Williams. Logo NIKE yang simple ini ternyata menjadi tampak elegan ketika dikenakan oleh para atlet dunia itu. Benar-benar
Gambar 17 : Logo NIKE, yang tampak elegan di baju dan topi Maria Sharapova
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
45
Gambar 18 : Logo pertama Microsoft (1975 - 1979)
Gambar 19 : Logo kedua Microsoft (1980 - 1981)
Gambar 20 : Logo ketiga Microsoft (1982 - 1986)
Gambar 21 : Logo keempat Microsoft (1987 - 2012)
Gambar 22 : Logo kelima Microsoft ( Mulai 23 Agustus 2012)
sebuah strategi perencanaan yang jenius ! Logo Baru Microsoft: Minimalis untuk Tuntutan Bisnis Sama seperti logo NIKE yang merupakan penyederhanaan dari logo sebelumnya, Microsoft juga melakukan hal yang sama. Setelah 25 tahun, melalui riset yang lama dan rumit, Microsoft Corporation memutuskan untuk mengganti logonya (lebih tepatnya : modifikasi). Perusahaan terkemuka di bidang computer itu tidak menghilangkan identitas lamanya, yaitu bentuk jendela yang terdiri dari 4 kotak berwarna. Logo baru yang diresmikan pada tanggal 23 Agustus 2012 ini sama sekali bukan atas dasar pertimbangan estetika, namun lebih berorientasi pada bisnis. Logo itu menggunakan font yang disebut “Segoe”, untuk menggantikan huruf tebal miring yang digunakan sebelumnya. Logonya terdiri dari empat kotak berwarna, yakni merah, biru, kuning dan hijau. Walaupun Microsoft mengatakan bahwa logo barunya tersebut lebih fresh dari logo sebelumnya, namun secara keseluruhan tidak banyak yang diubah (Liputan6.com, 22 Agustus 2012)
Microsoft, pembuat perangkat lunak terbesar di dunia, juga telah mengubah produk termasuk Windows, perangkat lunak telepon, dan permainan Xbox dengan desain yang lebih ramping lebih modern-looking untuk bersaing dengan Apple Inc (AAPL). Kotak berwarna di logo baru menyerupai ubin yang ditemukan di ponsel layar sentuh dan tablet. Logo baru dimaksudkan untuk menunjukkan ada sesuatu yang segar, tetapi juga akrab. Selain hal tersebut di atas, redesign dilakukan karena konsumen semakin memilih tablet atas laptop, dan melemahnya penjualan PC yang jelas membuat merosot pendapatan Windows. Padahal perusahaan telah meemutuskan akan merilis Windows 8 pada 26 Oktober 2012 "Ini tidak hanya konsep baru dari produk kami yang paling populer, tetapi juga merupakan era baru bagi Microsoft, sehingga logo kami harus berubah agar secara visual menonjol," kata Manager Brand Strategy Microsoft Jeferry Meisner di blognya. (dailymail/businessweek/MEL)
46
DEKAVE, VOL. 01, NO.3, JANUARI-JUNI 2012
Kesimpulan Setiap perubahan logo, pasti mengandung resiko. Resiko yang pasti dihadapi adalah, penggantian semua aplikasi logo lama, termasuk brandname, tagline, atau corporate colornya. Mulai dari nameboard, sign system, merchandise, stationary, transit ad, media promosi, dan lain lain. Logo baru itupun harus disosialisasikan secara meluas, melalui media masa, melalui forum-forum internal, peluncuran logo, dan sebagainya. Itu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Semakin besar perusahaan, semakin besar juga biaya yang harus dikeluarkan. Di luar faktor teknis tersbut, terdapat juga factor non teknis yang harus diantisipasi. Pergantian logo Tensoplast, misalnya, sempat menjadi masalah besar bagi pemasaran, karena ribuan agen dan pengecer menolak pengiriman produk tersebut, karena menganggap produk itu palsu. Meski sosialisasinya sudah cukup lama dan meluas, namun pergantian logo perusahaan sebesar Bank Danamon pun masih sempat dipertanyakan oleh nasabah. Apakah perusahaan tersebut sudah ganti manajemen ? Apakah mekanisme pelayanannya berubah ? Apakah bisa dijamin, dalam beberapa tahun ke depan masih established ? Beberapa keraguan konsumen terhadap Danamon berimbas pada pembatalan atau penundaan transaksi. Sebagian besar konsumen tidak begitu percaya pada informasi yang diberikan oleh pihak manajemen perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya Bank di Indonesia yang bangkrut, merger, atau kemudian di bawah
pengawasan BPPN, dan sebagainya. Faktor non teknis yang lain, adalah nilai kepercayaan (kredibilitas) dari pengambil keputusan pergantian logo itu sendiri. PT Pertamina Persero, sempat di demo oleh persatuan pensiunan Pertamina, saat logo barunya diluncurkan. Perubahan logo hasil lomba juga banyak menuai protes atau penolakan. Kredibilitas Juri lomba sering dipertaruhkan. Direktur utama PG Madukismo di Yogyakarta misalnya, merasa tidak puas dengan hasil penjurian lomba logo pabrik gula itu. Karya juara satu yang seharusnya ditetapkan sebagai calon logo baru, dianggap “terlalu high tech”, tidak sesuai dengan visi misi perusahaan milik Sultan Hamengku Buwono X itu. Lain kasus PG Madukismo, logo baru sebuah rumah sakit umum milik pemerintah di Jawa Tengah juga terpaksa harus diganti karena beberapa bulan kemudian, diketahui bahwa logo itu sangat mirip dengan logo rumah sakit lain di Sumatera. Kendati begitu, kasus perubahan atau penggantian logo, masih lebih banyak mendapatkan manfaat daripada menuai resikonya. Beberapa perusahaan atau lembaga yang mengganti logonya dalam paparan ini, terbukti sukses dengan meningkatnya citra perusahaan, munculnya spirit perubahan, dan sebagainya. Yang lebih penting, bagi perusahaan yang akan merubah logonya, harus melalui studi kelayakan dan sosialisasi yang memadai kepada semua pihak yang terkait.
Wibowo, Mengapa Harus Ganti Logo?
47
Cincinnati, Ohio. 1992. Daftar Pustaka Abbey, Norman. Notes. Art 50A, Pasadena City College. Pasadena, California. 1992.
Falzone, Michael. Notes. Graphic Design n. American College for the Applied Arts, LosAngeles, California. 1994.
Al Ries & Jack Trout, Positioning (terj.)., Erlangga, Jakarta, 1992
Napoles, Veronica. Corporate Identity Design. Van Nostrand Reinhold, New York. 1988.
Arntson, Amy E. Graphic Design Basics. Holt, Reinhart and Winston, Inc., Orlando.1988 Cotton, Bob. The New Guide to Graphic Design. Phaidon, Oxford. 1990. David E. Carter, Corporate Identity Program for Small Corporations, Art Direction Book Company, New York, 1985 David E. Carter, How to Improve Your Corporate Identity, Art Direction Book Company, New York, 1990
Phillip Kotler, Marketing, penterj. Drs. Herujati Purwoko M.A., Erlangga, Jakarta,1988, Patricia Barnez Mintz, Dictionary of Graphic Art Terms, A Communication Tool forPeople Who Buy Type and Printing, VNR Company, 1981 Wells, William. Advertising -Principles and Practice 3 rd Edition. Phaidon, Oxford.` NIRMANA Vol. 1, No. 2, Juli 1999: 71 – 78, Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra Ensiklopedi Indonesia, Barutama, Jakarta, 1989
De Neve, Rose. The Designer's Guide to Creating Corporate ID Systems. North LightBooks,