PERSINGGUNGAN HAK CIPTA DAN MEREK : STUDI KASUS SENGKETA LOGO BADAK DAN SENGKETA LOGO NATASHA Boy Prawiranegara dan Agus Sardjono Program Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 16424
Abstrak Kurangnya pemahaman mengenai perbedaan antara perlindungan hak cipta dan merek menyebabkan munculnya sengketa hak cipta yang sesungguhnya merupakan sengketa merek. Pada dasarnya Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan. Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah karya yang memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Sedangkan perlindungan merek pada dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun jasa, dari asosiasi yang keliru terkait sumber dari produk tersebut yang kemudian akan melindungi produsen maupun konsumen atas produk yang bersangkutan. merek sendiri didefinisikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Perbedaan antara kedua perlindungan diatas sering menjadi kabur terutama ketika kekayaan intelektual yang disengketakan berupa logo yang dijadikan merek. Perlindungan ganda memang dimungkinkan terhadap logo yang dijadikan merek namun penerapannya haruslah melihat kembali kepentingan sebenarnya dibalik klaim yang diajukan penggugat. Jika ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif seseorang atas sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah perlindungan hak cipta. Namun gunakanlah perlindungan merek apabila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk (barang maupun jasa) dari adanya pemalsuan asosiasi oleh pihak lain (kompetitor) yang dapat
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut. Kata kunci : Hak Cipta, Merek, Persinggungan HKI. Abstract Lack of understanding of the difference between the protection of Copyright and protection of Trademark led to Copyright disputes which actually, if correctly characterized, at the heart of Trademark domain. Copyright deals with protection of works in the domain of literature, science, and art. The set of rights copyright law offers creators all relate to exploitation of the work itself. On the other hand, Trademark law deals with association of a product, it gives the right holder ability to attempt to control the association consumers make when they encounter a mark. Trademark law seek to protect a product (services or goods) from false association. Law No. 15 of 2001 regarding Marks defined Trademark as sign in the form of a picture, name, word, letters, numeral composition of colours, or a combination of said elements, having distinguishing features and used in the activities of trade in goods or services.The line between these two different regime is often blurred when it comes to logo. Logo, particularly when they are used as a mark, is one of those spaces of intellectual property where there is great deal of overlap between Copyright and Trademark. Even though Copyright and Trademark protection may be applied to such a logo, its application, when a dispute arise, should depend on the interest the claimant seek to protect. Copyright protection should be applied if the interest seek to protect are the incentives given by Copyright law and the economic rights that come form the limited monopoly copyright law grants. Trademark protection applied when the interest seek to protect inhere in integrity, reputation, or false association of a product. Keywords : Copyright, Trademark, Intellectual Property Rights Interfaces
Pendahuluan Untuk memudahkan konsumen mengenali barang atau jasa yang diinginkannya maka dibuatlah suatu merek. merek berfungsi sebagai sarana bagi konsumen untuk mengidentifikasi sumber barang. Fungsi yang demikian mengharuskan suatu merek berbeda dengan merek lain agar tidak menimbulkan kesulitan bagi konsumen dalam mengidentifikasi sumber barang.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Dengan adanya kemudahan mengidentifikasi sumber barang ini maka konsumen akan lebih mudah dalam memilih barang sesuai dengan reputasi yang diinginkannya. Dalam dunia perdagangan sering terjadi peniruan merek terutama terhadap merek yang memiliki reputasi baik. Pelanggaran merek ini dilakukan agar konsumen mengira produk yang akan dibelinya tersebut seolah-olah memiliki kualitas baik sesuai dengan yang diharapkan konsumen di pasar pada umumnya. Pelanggaran merek ini umumnya dilatarbelakangi pertimbangan ekonomi karena untuk membangun reputasi yang baik biasanya produsen harus menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Adanya kerugian-kerugian diatas sejatinya merupakan latar belakang atau kepentingan dibalik suatu klaim pelanggaran merek. Namun dalam praktiknya, penulis menemukan adanya kekurangpahaman hakim dalam menganalisa kepentingan sesungguhnya dibalik suatu klaim terhadap sengketa HKI yang objeknya memilik perlindungan HKI yang bersinggungan. Kekurangpahaman tersebut terefleksi dalam Sengketa logo “Badak” (Putusan Pengadilan Niaga No. 28/Hak cipta/2010/PN.Niaga.JKT.PST Tanggal 21 Juli 2010 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 766 K/Pdt.Sus/2010 Tanggal 30 November 2010), dan Sengketa logo “NATASHA” (Putusan Pengadilan Niaga No. 02/HAKI /C/2009/PN.NIAGA.Smg jo Putusan Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009). Kedua sengketa diatas dianggap sebagai sengketa hak cipta, namun apabila melihat kepentingan sesungguhnya dibalik klaim yang diajukan penggugat, sengketa tersebut seharusnya merupakan sengketa merek. Dalam kedua sengketa diatas terjadi persinggungan antara hak cipta dan merek. Persingungan dalam kedua sengketa diatas terjadi karena logo adalah salah satu bentuk kekayaan intelektual yang perlindungannya dapat berupa hak cipta maupun merek. Meskipun kedua perlindungan tersebut dimungkinkan ada pada objek yang sama namun lingkup perlindungan hak cipta dan merek terhadap objek tersebut berbeda karena antara perlindungan hak cipta dan merek terdapat perbedaan mendasar terutama dari segi tujuan. Pembahasan Dalam praktiknya sering ditemukan adanya kasus hak cipta yang sebenarnya merupakan sengketa merek. hak cipta dan merek pada dasarnya merupakan perlindungan kekayaan
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
intelektual yang berbeda. Namun perbedaan tersebut terkadang menjadi kabur ketika membicarakan kekayaaan intelektual berupa logo yang didaftarkan sebagai merek. Dalam sebuah jurnal hak kekayaan intelektual, terkait persinggungan antara hak cipta dan merek, Agus Sardjono memberikan gambaran kasus yang rentan terhadap persinggungan tersebut sebagai berikut : 1 A sebuah perusahaan memesan logo dari seseorang bernama B. Kemudian setelah B selesai membuat logo tersebut, kita asumsikan logo tersebut merupakan Ciptaan atau dengan kata lain gambar yang dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 12 ayat (1) f Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Karena logo tersebut merupakan Ciptaan, B dapat disebut sebagai Pencipta berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. A kemudian mendaftarkan logo tersebut ke Direktorat Hak Cipta, DJHKI. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, Direktorat Hak Cipta biasanya akan menerima pendaftaran itu, meskipun dalam ranah perlindungan hak cipta, pendaftaran bukanlah syarat untuk adanya perlindungan hak cipta. A sebagai pihak yang melakukan pendaftaran itu kemudian memperoleh kualifikasi sebagai pemegang hak cipta atas logo tersebut. Selanjutnya karena niat perusahaan itu ketika memesan logo adalah memang untuk untuk menjadikannya sebagai merek, maka A kemudian mendaftarkan logo tersebut ke Direktorat Merek. Setelah terdaftar, logo itu dilekatkan pada sebuah produk. Perlindungan manakah yang berlaku terhadap logo tersebut ? hak cipta ataukah merek ? Apakah keduanya dapat diberlakukan secara bersamaan apabila terjadi sengketa terhadap logo tersebut ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat beberapa komentar yang khusus membahas mengenai perbedaan antara hak cipta dan merek.2 Berikut beberapa definisi yang perlu diperhatikan dalam memahami perbedaaan antara perlindungan hak cipta dan merek :
Pasal 1 angka (1) UU 19 2002 hak cipta 1
Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32.
2
Adanya pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan antara Hak cipta dan merek dapat membantu kita untuk menentukan perlindungan HKI yang sebaiknya diterapkan dalam sengketa tersebut.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
“Hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3
Pasal 1 angka (3) UU 19 2002 hak cipta “Ciptaan adalah setiap karya Pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra”.4
Pasal 1 angka (1) UU 15 2001 merek “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.5
Pasal 1 angka (2) UU 15 2001 merek “Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang lainnya”.6 Dari definisi-definisi tersebut dapat disimak beberapa clue yang sesungguhnya dan seharusnya mendasari penafsiran tentang subject matter dari tiap-tiap peraturan di atas.7 Beberapa hal berikut adalah analisis tentang clue yang dimaksud: 1.
Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi ciptaannya (the works). Dengan demikian, yang menjadi objek adalah ciptaan (works) itu
3
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 4220, Ps. 1 angka 1. 4 Ibid. 5 Indonesia, Undang-Undang Tentang merek. UU No. 15 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Ps. 1 angka 1. 6 Ibid. 7 Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, Volume 1 Nomor 1, Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, April 2012, 29.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman, bukan produk yang ada di dalam kemasan atau barang-barang (produk) yang dibuat berdasarkan pola desain tertentu. 2.
Kemasan biasanya digunakan sebagai penanda (merek) dari produk yang dikemas. Dengan demikian, komersialisasinya dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan atas produknya. Contoh : produknya adalah kacang. Kacang itu dikemas di dalam plastik, karton, atau kertas yang diberi gambar dan tanda-tanda lainnya. Meskipun gambar pada kemasan tentu saja diciptakan oleh seseorang, tetapi gambar itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). Di sinilah domain hukum merek.
3.
Ciptaan (works) yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. WIPO IP Handbook dengan jelas menyebutkan bahwa “Copyright protection is above all one of the means of promoting, enriching, and disseminating the national cultural heritage”. Dengan demikian, ada kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda merek (mark), dan bukan pula sebagai pola (pattern). Ciptaan dibuat dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (misal : text book), seni (musik, lukisan, atau patung), atau sastra (puisi, novel, dsb).8
Agus Sardjono menyimpulkan perbedaan antara hak cipta dan merek sebagai berikut : 9 -
Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman.
-
Kemasan biasanya digunakan sebagai penanda (merek) dari produk yang dikemas. Dengan demikian komersialisasinya dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan atas produknya. Bukan kemasannya yang bagus, tapi produknya yang bagus. Kemasan beserta gambar-gambarnya hanya menunjukan sumber pembuat produk tersebut. Meskipun gambar itu sendiri diciptakan oleh seseorang, tetapi gambar itu sendiri tidak
8 9
Ibid., hal. 31. Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 30-31.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). -
Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. "Copyright protection is above all one of the means of promoting, enriching, and disseminating the national cultural heritage". Dengan demikian ada kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda merek, dan bukan pula sebagai pola. Ciptaan dibuat dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (text book), seni (musik, lukisan, patung), atau sastra (puisi, novel, dsb) .10 Terdapat beberapa hal yang bisa disimpulkan dari pendapat-pendapat diatas.
Perlindungan hak cipta dan perlindungan merek pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda. hak cipta bertujuan untuk memacu Pencipta atau “calon-calon Pencipta” menggunakan kreatifitas yang dimilikinya untuk memproduksi Ciptaan. Hak yang diberikan dalam Perlindungan hak cipta merupakan sebuah insentif untuk memacu kreatifitas. Konsep perlindungan hak cipta didasari adanya pandangan bahwa apabila perlindungan hak cipta (beserta insentif-insentif yang ada didalamnya) tidak ada, maka sebagian besar orang akan enggan untuk menjadi Pencipta. Perlindungan merek, disisi lain, tidak menempatkan kreatifitas sebagai tujuan utama. Bahkan dikatakan bahwa tidak diperlukan kreatifitas untuk membuat suatu merek.11 Perlindungan merek sangat erat kaitannya dengan menjaga asosiasi yang ada antara suatu produk, merek, dan produsen dari produk yang bersangkutan. Semangat dari kerangka hukum perlindungan merek pada dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun jasa, dari asosiasi yang keliru terkait sumber dari produk tersebut. Hak ekslusif yang terdapat dalam hak cipta memberikan Pencipta hak untuk mengendalikan distribusi dari Ciptaan itu 10
Lihat juga Jurnal yang ditulis oleh Bernt Hugenholtz, berjudul : Works of Literature, Science and Art. http://www.ivir.nl/publications/hugenholtz/100jrAUTWET.pdf dimana terdapat gagasan yang menegaskan bahwa perlindungan Hak cipta hanya berlaku apabila Ciptaan tersebut dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Suatu karya intleketual berada di luar ketiga lingkup tersebut maka sesungguhnya tidak dilindungi Hak cipta. 11 Penulis berpendapat bahwa kreatifitas, dalam pembuatan merek, tetap dibutuhkan dalam rezim merek. Akan tetapi kreatifitas tersebut berada dalam ruang yang berbeda dengan Hak cipta. Kreatifitas dalam Hak cipta berada dalam ruang ilmu pengetahuan, seni atau sastra.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
sendiri. Sedangkan Hak atas merek merupakan hak yang memberikan pengendalian terhadap asosiasi yang akan didapatkan konsumen ketika melihat suatu merek. Perbedaan tujuan ini juga membedakan kepentingan dari klaim pelanggaran hak cipta dan merek. Dalam hal terjadi sengketa pelanggaran hak cipta, terutama bila terjadi pelanggaran terhadap hak ekonomi dari hak cipta, kepentingan dibalik klaim yang diajukan oleh penggugat adalah tergugat telah melanggar hak eksklusif milik penggugat dengan mengkomersialisasikan Ciptaan itu sendiri baik dengan perbanyakan maupun pengumuman Ciptaan. Sedangkan dalam sengketa merek, kepentingan dibalik klaim yang diajukan penggugat adalah terkait perlindungan terhadap penjualan dari produk yang dilekatkan merek yang disengketakan itu sendiri. Pemegang merek merasa komersialisasi produknya terganggu karena tindakan tergugat yang melanggar asosiasi yang muncul dari produk milik penggugat. Penggugat menginginkan ketika konsumen di pasar melihat merek dari penggugat melekat dalam sebuah produk, konsumen mengasosiasikan produk tersebut dengan penggugat sebagai sumber dari produk tersebut. Penggugat tidak ingin produk (barang maupun jasa) yang bukan hasil produksinya diasosiasikan dengan dirinya. Kembali kepada pertanyaan “apabila logo yang dipesan A tersebut kemudian digunakan sebagai merek perlindungan manakah yang berlaku ? hak cipta ataukah merek ? Apakah keduanya dapat diberlakukan secara bersamaan apabila terjadi sengketa terhadap logo tersebut ? Menurut Agus Sardjono berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, memang dimungkinkan adanya double protection terhadap objek tersebut. Namun apabila kita cermati betul tujuan dari pengaturan masing-masing peraturan itu (teleological perspective) dan sistematika pengaturannya, maka sejatinya logo yang dipesan A tersebut hanya akan dilindungi perlindungan merek.12 Rumusan-rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta memberikan peluang bagi A untuk menggunakan perlindungan hak cipta atas logonya tersebut meskipun sebenarnya yang terjadi adalah pelanggaran merek. Hal semacam ini dapat
12
Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
terjadi karena dalam pelanggaran merek hampir selalu terdapat tindakan perbanyakan logo yang dijadikan merek. Perlindungan hak cipta juga kerap diterapkan terhadap sengketa yang objeknya berupa merek dengan alasan adanya pendaftaran Ciptaan terhadap merek tersebut. Dalam praktek banyak gambar-gambar yang didaftarkan sebagai hak cipta tetapi sesungguhnya akan digunakan sebagai merek.13 Hal ini semakin memperkeruh batasan perlindungan hak cipta dan merek terhadap suatu karya. Disini penegak HKI harus lebih memahami perbedaan antara perlindungan hak cipta dan merek terutama dari segi tujuan. Penafsiran terhadap undang-undang (dalam hal ini Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek) yang dilakukan secara parsial berpotensi menimbulkan gesekan, terutama disebabkan karena undang-undang tersebut memberi peluang untuk adanya gesekan itu. Dalam ranah akademik, persoalan ini dimaknai sebagai titik singgung perlindungan HKI yang disebabkan karena bunyi norma undang-undang yang memiliki makna ganda.14 Makna ganda tersebut dapat membuat garis pemisah antara suatu perlindungan HKI dengan lainnya menjadi samar-samar. Ketika hal ini terjadi, pemahaman terhadap tujuan dari masing-masing perlindungan kekayaan intelektual tersebut dapat memperjelas garis pemisah yang sebelumnya samar-samar tersebut. Jika ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif seseorang atas sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah perlindungan hak cipta. Namun gunakanlah perlindungan merek apabila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk (barang maupun jasa) dari adanya pemalsuan asosiasi oleh pihak lain (kompetitor) yang dapat mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut.
ANALISIS KASUS Sengketa Hak Cipta Logo Badak (Hak cipta : Putusan Nomor 28/ hak cipta/ 2010/ PN. Niaga. JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 K/ Pdt Sus/ 2010). 13 14
Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32. Ibid.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Gambar 115 Wen Ken Drug, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Singapura, adalah produsen minuman dengan merek Cap Kaki Tiga disertai dengan Logo Badak. Dalam keterangannya, logo tersebut telah digunakan Wen Ken Drug sejak tahun 1937. merek Cap Kaki Tiga dengan logo Badak milik Wen Ken Drug adalah merek yang sudah diperkenalkan atau dipromosikan ke publik sejak tahun 1937. Wen Ken Drug mengatakan bahwa promosi merek Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak tersebut telah dilakukan olehnya ke seluruh dunia khususnya Asia sehingga sudah menjadi merek yang sangat terkenal. Pada tahun 1980 Wen Ken Drug dan Tjio Budi Yuwono pernah melakukan kerja sama dalam memproduksi, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan produk minuman larutan penyegar dengan mempergunakan merek Cap Kaki Tiga hingga akhirnya keduanya memutuskan hubungan kerja sama pada tahun 2008. Setelah kerja sama keduanya berakhir, Wen Ken Drug mengetahui adanya penggunaan logo Badak serta adanya pendaftaran Ciptaan logo Badak oleh Tjio Budi Yuwono (TBY). Wen Ken Drug kemudian, melalui kuasa hukumnya, melakukan gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan lukisan dengan judul “Badak dan Tulisan Laroetan Penjegar” nomor 028036 (27 Juli 2005) dan lukisan dengan judul “Badak + Kaligrafi Arab & Tulisan Larutan Penyegar Badak” nomor 027523 (11 Agustus 2004) keduanya atas nama Tjio Budi Yuwono. Gugatan didasarkan pada adanya itikad tidak baik yang dilakukan Tjio Budi Yuwono (Tergugat) dengan tanpa seizin maupun sepengetahuan Penggugat mendaftarkan lukisan atau Logo Badak yang telah digunakan Penggugat sebagai merek sejak tahun 1937 15
Ciptaan
lukisan Badak + Kaligrafi Arab & Tulisan Larutan Penyegar Badak” nomor
027523
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
tersebut. Selain gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan, Penggugat juga menggugat TBY dalam perkara yang terpisah dengan gugatan pembatalan pendaftaran merek. Bagi Penggugat, sejak tahun 1937,
Logo Badak tersebut merupakan satu kesatuan
dengan merek Cap Kaki Tiga yang dimilikinya. Tergugat, selain mendaftarkan hak cipta kedua Logo Badak tersebut atas namanya, juga menggunakan logo tersebut sebagai merek atas produk minuman yang diproduksinya. Hal ini menyebabkan adanya dua produk minuman larutan penyegar di pasar yang sama-sama menggunakan Logo Badak dalam kemasannya. Penggugat keberatan dengan hal tersebut karena kerjasama antara keduanya sudah berakhir dan Penggugat sudah tidak memberikan izin kepada Tergugat terhadap penggunaan Logo Badak yang disengketakan. Analisis Terhadap Sengketa Logo Badak Apakah kepentingan dibalik klaim yang diajukan oleh Penggugat ? Penggugat keberatan terhadap penggunaan Logo Badak yang dilakukan oleh Tergugat yang digunakan dalam produk minuman yang diproduksi oleh Tergugat. Penggugat merasa dirugikan karena penggunaan logo tersebut dapat berdampak negatif terhadap penjualan produk minuman yang dilakukan Penggugat. Dampak negatif tersebut terutama terhadap tingkat penjualan dimana kemungkinan besar akan berkurang akibat adanya pengambilan sebagian pasar oleh Tergugat. Penggugat merasa logo tersebut merupakan haknya karena sejak tahun 1937 Penggugat telah memperkenalkan atau mempromosikan ke publik merek Cap Kaki Tiga beserta logo Badak yang merupakan satu kesatuan dalam produknya. Penggugat merasa logo Badak tersebut merupakan media untuk mengasosiasikan Penggugat dengan produknya yang telah memiliki reputasi yang baik. Perlu diketahui bahwa terhadap logo Badak tersebut selain sengketa hak cipta (Putusan Nomor 28/ hak cipta/ 2010/ PN. Niaga. JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 K/ Pdt Sus/ 2010) terdapat juga sengketa merek (Putusan Nomor 29/ merek/ 2010/ PN. Niaga. JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 767 K/ Pdt Sus/ 2010). Dalam sengketa merek tersebut Penggugat (WKD) keberatan dengan penggunaaan dan pendaftaran lukisan Badak oleh Tergugat (SBS) karena lukisan tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Terkenal Cap Kaki Tiga yang terdapat Lukisan Badak milik Penggugat.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Dalam sengketa hak cipta (Putusan No. 28 hak cipta/ 2010/PN. Jkt.Pst Jo. Putusan 766 K Pdt Sus 2010) Objek : Lukisan Badak 028036 dan 027523 Penggugat menyatakan bahwa dia adalah yang pertama kali mengumumkan lukisan Badak tersebut yang digunakan dalam perdagangan larutan penyegar yang melekat pada merek Cap Kaki Tiga. Pernyataan ini memperjelas peruntukan dari lukisan Badak sebagai merek atau dengan kata lain komersialisasi dilakukan bukan terhadap lukisan Badak namun terhadap produk minuman yang diproduksi oleh Penggugat. Dalam sengketa merek (Putusan No. 29 merek/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Jo. Putusan 767 K Pdt Sus 2010) Objek : “Merek Lukisan Badak” Penggugat berargumen bahwa merek Cap Kaki Tiga dengan lukisan Badak adalah satu kesatuan yang merupakan merek milik Penggugat sehingga Penggugat (WKD) keberatan dengan penggunaaan dan pendaftaran lukisan Badak oleh Tergugat (SBS) yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan lukisan Badak milik Penggugat. Berdasarkan argumen-argumen yang disampaikan Penggugat dalam kedua sengketa diatas, kepentingan Penggugat terhadap logo Badak sejatinya merupakan kepentingan merek. Penggugat tidak hanya keberatan dengan perbanyakan atau pengumuman logo Badak semata melainkan terhadap perbanyakan atau pengumuman yang diikuti pelekatan logo Badak tersebut pada produk yang tidak diproduksi olehnya. Kesimpulan Menurut penulis kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim merek. Penggugat tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat. Kerugian yang dialami Penggugat bukan akibat perbanyakan Logo Badak semata, tapi lebih karena adanya pelekatan logo badak dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat. Apabila Tergugat hanya melakukan perbanyakan terhadap Logo Badak semata tanpa menjadikannya sebuah merek maka hal tersebut bisa jadi tidak merugikan Penggugat, justru yang terjadi adalah Tergugat membantu Penggugat mengiklankan produknya. Penggugat merasa Logo badak tersebut merupakan haknya karena merupakan satu kesatuan dengan merek Penggugat yang terdaftar dengan nama "Cap Kaki Tiga".
Hal ini
mengingat adanya fakta bahwa sejak 1937 dalam produk milik Penggugat Logo Cap Kaki Tiga
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
selalu diikuti dengan adanya logo Badak, sehingga menurutnya lukisan badak merupakan satu kesatuan dengan merek Penggugat yang terdaftar dengan nama Cap Kaki Tiga. Salah satu hal yang menarik adalah adanya fakta bahwa antara Penggugat maupun Tergugat pada awalnya merupakan rekan bisnis akan mempersulit untuk mengatakan bahwa dalam penggunaan logo badak tersebut telah terjadi kerugian di pihak konsumen akibat adanya penurunan kualitas dalam produk milik Tergugat. Hal ini mengingat jauh sebelum sengketa tersebut terjadi keduanya memang sempat bersama-sama membangun produk tersebut dan besar kemungkinan kualitas dari kedua produk yang dihasilkan sama karena Penggugat telah memberikan lisensi sehingga melakukan pengawasan kualitas terhadap kinerja Tergugat selama kurang lebih 30 tahun memproduksi produk tersebut. Meskipun sulit untuk mengatakan terjadi kerugian di pihak konsumen karena adanya penurunan kualitas, adanya kepentingan Penggugat yang tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat tidak menghalangi penulis untuk mengatakan bahwa sengketa ini merupakan sengketa merek. Bagaimana pemahaman Majelis Hakim yang menangani sengketa hak cipta tersebut terhadap penerapan Perlindungan hak cipta dan merek ? Berdasarkan pendapat-pendapat dari Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut yang terdapat dalam putusan baik tahap judex factie (Pengadilan Niaga) maupun tahap judex juris (Pengadilan Mahkamah Agung), terutama yang telah penulis jabarkan sebelumnya, Penulis melihat Majelis Hakim gagal dalam mengidentifikasi kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan mengaitkannya dengan semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Selain itu Penulis melihat adanya percampuran pemahaman antara Perlindungan hak cipta dan merek. Dalam tingkat Pengadilan Niaga pendapat Majelis Hakim “Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini, apakah benar Penggugat telah menggunakan atau yang pertama kali mengumumkan seni Lukis Badak, sehingga Tergugat mendaftarkan seni lukis tersebut dengan itikad tidak baik ? dan pendapat “Bahwa dari uraian pertimbangan tersebut di atas dimana pihak Tergugat tidak dapat membuktikan kalau dia terlebih dahulu menggunakan atau mengumumkan Ciptaan Badak, maka telah terbukti kalau Penggugatlah yang pertama kali menggunakan
dan
mengumumkan
Ciptaan
seni
lukis
Badak”
ketidakpahaman Majelis Hakim tentang munculnya hak cipta.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
menunjukan
adanya
Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, “seseorang atau beberapa orang dapat disebut sebagai Pencipta setelah melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan pribadi”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, “perlindungan hak cipta berlaku juga terhadap semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu”. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa hak cipta muncul atau lahir sesaat setelah dilakukan fiksasi atau dengan kata lain setelah sebuah ide telah dituangkan (fixation) kedalam sebuah “bentuk” yang nyata (fixed form). Persoalan siapakah yang “Pertama kali menggunakan” atau “pertama kali mengumumkan” sebuah Ciptaan tidak menentukan siapa yang menjadi Pencipta dari Ciptaan tersebut. Penggunaan pertama merupakan konsep perlindungan merek dalam sistem deklaratif yang pernah dianut di Indonesia sebelum kemudian diubah menjadi sistem konstitutif.16 Kemudian dalam tingkat yang sama (Pengadilan Niaga) pendapat Majelis Hakim “Bahwa dari bukti P-4 Jo T-15 berupa surat persetujuan pemberian merek Dagang Cap Kaki Tiga bila dihubungkan dengan bukti P-2 berupa gambar kemasan Cap Kaki Tiga dengan menggunakan logo Badak, bukti mana membuktikan bahwa sejak adanya Cap Kaki Tiga yaitu sejak tahun 1937, maka sejak itu seni lukis Badak telah dipakai dan dipromosikan oleh Penggugat” menunjukan bahwa Majelis Hakim, dalam tingkat ini, telah mengetahui logo Badak tersebut peruntukannya sebagai merek. Dalam tingkat Mahkamah Agung Majelis Hakim berpendapat “Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat dengan kreasi sendiri gambar Badak yang sudah cukup banyak digunakan, dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan adanya tulisan Arab yang tidak ada persamaan sama sekali dengan apa yang digunakan oleh Penggugat di Negaranya”. mereka juga berpendapat “Pemohon Kasasi Sebagai pengusaha nasional Indonesia telah mendaftarkan merek Ciptaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Kalimat “digunakan” menunjukan 16
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang merek Perusahaan dan merek Perniagaan “Hak khusus untuk memakai suatu merek guna membedakan barang-barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau sesuatu badan dari barang-barang orang lain diberikan kepada barangsiapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk keperluan tersebut di atas di Indonesia...”
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
bahwa Majelis Hakim mengetahui bahwa komersialisasi tidaklah dilakukan terhadap Logo Badak tersebut. Para pihak yang bersengketa bukanlah penjual logo Badak. mereka adalah produsen minuman yang menggunakan Logo Badak sebagai merek atau paling tidak bagian dari suatu merek. Perlindungan hak cipta pada dasarnya hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Majelis Hakim dalam tingkat Pengadilan Niaga sempat mempertanyakan kesesuaian pendaftaran yang dilakukan oleh Tergugat dengan ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dari segi kriteria Pencipta sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan kriteria Ciptaan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Menurut Pasal 1 angka (2) “Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, dan keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan pribadi”. Pasal 1 angka (3) mendefinisikan Ciptaan sebagai “...hasil setiap karya Pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra”. Kalimat “Bentuk yang khas dan pribadi” dan “dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra” menurut Penulis merupakan kunci utama dalam mendefinisikan Ciptaan. Kedua kalimat tersebut merupakan fondasi dari tujuan perlindungan hak cipta yaitu untuk mendorong kreatifitas terhadap hal-hal yang memiliki nilai budaya. Apakah Logo Badak tersebut memiliki “Bentuk yang khas dan pribadi” ? Penulis berpendapat Logo Badak tersebut tidak jauh berbeda dengan badak bercula satu pada umumnya. Namun Majelis Hakim nampaknya berpendapat sebaliknya. Menurut Penulis, adanya fakta telah dilakukan pendaftaran Ciptaan oleh Tergugat membuat Majelis Hakim tidak lagi melihat kepentingan dari klaim yang diajukan oleh Penggugat atau lebih tepatnya kepentingan para pihak bersengketa terhadap Logo Badak yaitu sebagai tanda pembeda atau merek. Fakta ini merupakan salah satu faktor kaburnya sengketa ini menjadi sengketa hak cipta meskipun sejatinya perlindungan merek yang berlaku terhadap Logo Badak tersebut.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Sengketa hak cipta Logo NATASHA (Putusan Nomor : 02/HAKI/C/2009/PN.NIAGA.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009). Sengketa ini terjadi antara dr. Fredy Setyawan sebagai pendiri sebuah usaha perawatan kecantikan bernama NATASHA Skin Care melawan Then Gek Tjoe. NATASHA Skin Care telah dirintis oleh dr. Fredy Setyawan di Yogyakarta sejak tahun 1999 dimana usaha tersebut kemudian mulai menjadi terkenal pada tahun 2002. Dalam menunjang usaha tersebut dr. Fredy Setyawan telah menggunakan logo NATASHA dimana nama “NATASHA” sendiri diambil dari nama anak perempuannya yang bernama NATASHA Heidi Setyawan sedangkan untuk gambarnya dituangkan dalam bentuk desain terkomputerisasi oleh rekan dr. Fredy Setyawan bernama Gideon. Logo NATASHA itu pun sudah didaftarkan oleh dr. Fredy Setyawan sebagai Ciptaan pada tanggal 9 Maret 2004 dengan Judul Seni logo “NATASHA” Surat Pendaftaran Ciptaan No. 024379/2004 dan sebagai merek berdasarkan Sertifikat merek yang terdaftar dalam Daftar Umum merek dengan nomor pendaftaran 539840 tertanggal 11 Juni 2003 dalam kelas 3. Penggunaan logo NATASHA tersebut telah digunakan sebelum logo tersebut terdafar sebagai merek tepatnya sejak pertama kali NATASHA Skin Care berdiri pada tahun 1999. Kemudian Penggugat menemukan adanya produk kosmetik atau produk yang berhubungan dengan kecantikan yang bukan merupakan produk produksi Penggugat yang menggunakan merek dengan logo “NATASHA”. Hal ini ditemukannya dalam website www.NATASHA.indonesia.com dan berbagai iklan di media masa seperti pada halaman muka Harian Umum Tangerang Tribun tertanggal 27 Nopember 2008. Sekalipun Penggugat merupakan pemegang merek berupa nama dan logo “NATASHA” dalam jasa salon kecantikan dan perawatan kulit, Penggugat tidak pernah mengeluarkan produk kosmetik maupun barangbarang kecantikan lainnya dengan merek berupa nama dan logo “NATASHA”. Penggugat kemudian melakukan pengecekan pada Direktorat Jenderal HKI terutama bagian merek dan menemukan adanya merek berupa nama dan logo “NATASHA” atas nama Then Gek Tjoe dalam kelas 3 dengan nomor IDM00099671 tertanggal 27 November 2006. Penggugat kemudian mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan atas Ciptaan dengan judul “Seni logo
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
NATASHA” nomor 024379 atas nama Then Gek Tjoe dan gugatan pembatalan pendaftaran merek nama dan logo “NATASHA” No. IDM000099671 yang juga atas nama Then Gek Tjoe. Analisis terhadap Sengketa Logo NATASHA Menurut Penulis kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim merek sehingga sengketa ini seharusnya merupakan sengketa merek. Seperti kasus sebelumnya, Penggugat tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat. Pelanggaran yang dituduhkan kepada Tergugat, apabila dikategorikan secara benar, merupakan pelanggaran merek karena Tergugat dapat menimbulkan asosiasi yang keliru antara produk Tergugat dengan Penggugat. Kerugian yang dialami Penggugat bukan akibat perbanyakan Logo NATASHA semata, tapi lebih karena adanya pelekatan Logo NATASHA dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat. Apabila Tergugat hanya melakukan perbanyakan terhadap Logo NATASHA semata tanpa menjadikannya sebuah merek, kecil kemungkinan hal tersebut merugikan Penggugat. Komersialisasi dilakukan bukan terhadap Logo NATASHA melainkan terhadap produknya. Perlu diketahui bahwa terhadap Logo NATASHA tersebut selain sengketa hak cipta (Putusan Nomor : 02/HAKI/C/2009/PN.NIAGA.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009) terdapat juga sengketa merek (Putusan Nomor 01/HAKI/M/2009/ PN. Niaga.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 699 K/ Pdt Sus/ 2009) dimana dalam sengketa merek tersebut penggugat keberatan dengan pendaftaran merek yang dilakukan Tergugat karena hal tersebut dapat menimbulkan ambigu dan kebingungan pada konsumen mengenai produsen dari produk kecantikan yang diproduksi oleh Tergugat. Penggugat khawatir konsumen dapat tersesat dengan adanya persamaan merek tersebut dengan beranggapan seolaholah telah terjadi kerjasama atau afiliasi antara Penggugat dan Tergugat. Dalam sengketa hak cipta tersebut, beberapa kali Penggugat menjelaskan
bahwa peruntukan Logo NATASHA
tersebut sedari awal adalah sebagai merek. Kerugian dari Penggugat sejatinya lebih diuraikan oleh Penggugat dalam sengketa merek Logo NATASHA. Bagaimana pemahaman Majelis Hakim yang menangani sengketa hak cipta tersebut terhadap penerapan hak cipta dan merek ? Menurut Penulis Majelis Hakim gagal dalam mengidentifikasi kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan dalam memahami
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Dalam tingkat Pengadilan Niaga Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut berpendapat bahwa “masalah yang harus dipecahkan adalah apakah seni Logo NATASHA yang telah didaftarkan oleh Penggugat... merupakan Ciptaan Penggugat ataukah memang berbeda dengan Ciptaan Tergugat I... Dengan kata lain apakah tindakan Tergugat I mendaftarkan seni Logo NATASHA pada Tergugat II merupakan suatu tindakan hukum dan melanggar hak moral Penggugat sehingga tidak patut mendapat perlindungan hukum”. Dalam sengketa tersebut Majelis Hakim sempat menjabarkan definisi dari hak cipta, Pencipta, Ciptaan, serta syarat-syarat suatu karya dilindungi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Permasalahan orisinalitas merupakan hal yang paling disorot dalam sengketa ini. Majelis Hakim dalam sengketa tersebut menilai orisinalitas dengan membandingkan tampilan bentuk fisik antara kedua Logo NATASHA yang disengketakan. Penilaian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa perbedaan antara kedua Logo NATASHA tersebut hanya terletak pada adanya tulisan NATASHA dan komposisi pewarnannya sementara bentuk dasar tampilannya adalah sama persis, yakni merupakan tampilan dari wajah seorang wanita yang digambar sedemikian rupa dalam bentuk violet.17 Pendapat Majelis Hakim “bahwa pembatasan perlindungan hak cipta sangat menentukan dalam menelaah bentuk-bentuk perlindungan hak cipta dalam kehidupan sehari-hari. Dasar teori perlindungan hak cipta melahirkan pembatasan bahwa hak cipta hanya berlaku bagi karya Cipta seni (art work), karya cipta literatur (literary work), dan karya Cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (science)...” dan adanya putusan yang menyatakan bahwa Penggugat merupakan Pencipta dan Pemegang hak cipta yang sah atas seni Logo NATASHA menunjukan bahwa Majelis Hakim memahami Logo NATASHA sebagai karya yang masuk ke dalam domain seni, literatur, atau ilmu pengetahuan. Pendapat tersebut menarik karena dalam sebuah jurnal hak kekayaan intelektual, Agus Sardjono berpendapat bahwa Ciptaan (works) yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah karya yang memiliki kualitas tertentu yang bersifat kultural. WIPO IP Handbook 17
Majelis Hakim dalam hal ini melakukan penilaian kulitatif dimana pengambilan bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun pemakaian itu kurang dari 10%, dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak cipta. Lihat Penjelasan Pasal 15 huruf a Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
menyebutkan bahwa “Copyright protection is above all one of the means of promoting, enriching, and disseminating the national cultural heritage”.18 Dengan demikian, ada kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda (merek). Berdasarkan pendapat ini maka Logo NATASHA tersebut sejatinya bukanlah Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta. Berdasarkan pendapat-pendapat dari Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut yang terdapat dalam putusan baik tahap judex factie (Pengadilan Niaga) maupun tahap judex juris (Pengadilan Mahkamah Agung), terutama yang telah penulis jabarkan sebelumnya, Penulis melihat bahwa Majelis Hakim mengetahui adanya fakta bahwa logo tersebut sedari awal peruntukannya sebagai merek dan telah didaftarkan sebagai merek Dagang berdasarkan Sertifikat merek yang terdaftar dalam Daftar Umum merek dengan nomor pendaftaran 539840 tertanggal 11 Juni 2003 dalam kelas 3. Adanya pendaftaran Logo NATASHA sebagai Ciptaan, seolah-olah membuat Majelis Hakim percaya bahwa sengketa tersebut adalah sengketa hak cipta. Terlepas dari Logo tersebut dapat dianggap sebagai Ciptaan atau tidak, perlindungan ganda memang dimungkinkan terhadap Logo NATASHA tersebut19 namun Majelis Hakim tidak melihat bahwa kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim merek. Kesimpulan Pemahaman Majelis Hakim terhadap penerapan perlindungan hak cipta dan merek khususnya dalam sengketa Logo Badak dan Logo NATASHA masih kurang. Dalam sengketa Logo Badak dan Logo NATASHA Penulis melihat Majelis Hakim gagal dalam mengidentifikasi kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan mengaitkannya dengan semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Bahkan dalam sengketa Logo Badak Penulis melihat adanya percampuran pemahaman antara Perlindungan hak cipta dan merek. Pada dasarnya Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Dalam sengketa tersebut, kemasan 18
Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 31. Sayangnya tidak dijelaskan secara detail dalam putusan Pengadilan Niaga dari sengketa Hak cipta Logo NATASHA alasan Majelis Hakim menganggap Logo NATASHA memenuhi kriteria Ciptaan yang dilindungi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. 19
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
beserta logo yang melekat terhadapnya digunakan sebagai penanda atau merek dari produk yang dikemas. Komersialisasi dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan terhadap produknya. Bukan kemasannya yang bagus, tapi produknya yang bagus. Kemasan beserta gambargambarnya hanya menunjukan sumber dari masing-masing pembuat produk tersebut. Meskipun gambar atau logo dalam sengketa tersebut diciptakan oleh seseorang, tetapi logo itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah karya yang memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Ada kualitas tertentu dari Ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda merek, dan bukan pula sebagai pola. Ciptaan dibuat dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (text book), seni (musik, lukisan, patung), atau sastra (puisi, novel, dsb). Terlepas apakah logo yang disengketakan tersebut masuk dalam kriteria Ciptaan atau bukan, perlindungan ganda memang dimungkinkan terhadap logo tersebut. Namun sebenarnya, kepentingan dibalik klaim yang dilakukan oleh masing-masing Penggugat bukanlah terkait kontrol terhadap perbanyakan logo semata, melainkan perbanyakan logo yang diikuti dengan pelekatan logo tersebut dalam produk yang bukan hasil produksinya. Masing-masing Penggugat ingin asosiasi antara produknya, logo yang digunakan olehnya sebagai merek, dan dirinya tetap terjaga. Asosiasi yang terjaga akan melindungi produk yang mereka jual. Produk tersebut terlindungi baik dari segi penjualan maupun reputasi. Mengingat komersialisasi dilakukan oleh produsen terhadap produk bukan terhadap logonya maka sejatinya kepentingan semacam ini sejatinya merupakan kepentingan yang dilindungi oleh rezim merek. Saran Hal yang paling krusial bagi Majelis Hakim dalam menghadapi sengketa-sengketa yang terdapat persinggungan semacam ini adalah dengan terlebih dahulu memahami secara mendalam tujuan dari masing-masing kerangka perlindungan HKI untuk kemudian menentukan perlindungan mana yang sejatinya berlaku terhadap kekayaan intelektual yang disengketakan.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Pemahaman yang mendalam tersebut seharusnya juga dimiliki oleh aparatur pada instansi yang berwenang mengadministrasikan HKI. Jika mereka sebagai salah penegak HKI tidak memahami pemahaman yang mendalam tersebut maka tujuan dari perlindungan HKI kemungkinan besar tidak tercapai.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Kepustakaan Buku : Hasibuan, H.D Effendy. Perlindungan merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat. Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Sardjono, Agus. hak cipta Desain Grafis. Jakarta :Yellow Dot Publishing, 2008. Tim Lindsey, et.al. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung : PT Alumni, 2006.
Jurnal Sardjono, Agus. Titik Singgung Perlindungan HKI : hak cipta, merek, dan Desain Industri. Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Volume 1 Nomor 1, April 2012.
Undang-Undang : Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun 2002. TLN No. 4220 _______________, Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001. LN No. 110 Tahun 2001. TLN No. 4113.
Internet : “Copyright and Related Rights”, http://www.wipo.int/copyright/en/overview.html , diakses pada 13 September 2013.
“What is a Trademark ?”, http://www.wipo.int/trademarks/en/, diakses pada 30 Agustus 2013.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Bernt
Hugenholtz.
“
Works
of
Literature,
Science
http://www.ivir.nl/publications/hugenholtz/100jrAUTWET.pdf,
and
diakses
Art”,
pada
20
Oktober 2013. Laura
A.
Heymann,
“The
Trademark/Copyright
http://scholarship.law.wm.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1216&context=facpubs,
pada 30 April 2013.
Analisis perjanjian..., Prama Dwi Putra, FH UI, 2014 .
Divide” diakses