MENGAPA ANGKA PENGANGGURAN RENDAH DI MASA KRISIS?: Menguak Peranan Sektor Informal Sebagai Buffer Perekonomian1 Edy Priyono Drektur Pelaksana AKADEMIKA, Bekasi 1. Pengantar : Proyeksi Yang Salah Pada tahun 1998, Indonesia mulai merancang dan melaksanakan program penganggulangan dampak krisis yang dikenal dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Salah satu masalah yang paling mendasar dalam perancangan program JPS adalah bagaiman menentukan kelompok sasaran. Penentuan kelompok sasaran ini menjadi masalah, karena besaran (magnitude) dampak krisis belum diketahui. Bahwa ada dampak krisis, semua orang setuju dan bisa melihatnya hingga saat ini. Akan tetapi, seberapa besar dampak tersebut, sangat sulit untuk mengetahuinya akibat keterbatasan data. Persoalan tersebut sangat terasa di bidang ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran2 yang terjadi memang dapat diamati dan dihitung secara kasar, tetapi dinamika pasar kerja secara keseluruhan tetap sulit untuk diteteksi. Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survai Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 1998 baru bisa diketahui hasilnya paling cepat pada tahun 1999. Padahal, disisi lain, perencanaan dan pelaksanaan program JPS tidak bisa ditunda lagi. Dalam kondisi demikian, tidak ada jalan lain kecuali membuat proyeksi dampak krisis di pasar tenaga kerja, khususnya proyeksi jumlah penganggur. Beberapa pihak kemudian membuat proyeksi jumlah penganggur berdasarkan data dan alat analisis yang dikuasainya. Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) RI memproyeksikan jumlah pengangur pada tahun 1998 akan mencapai 13,7 juta, sedangkan Bappenas memproyeksikan jumlah 12,4 persen (lihat tabel 1). Secara umum, proyeksi ini dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa demand for labor akan turun sebagai implikasi menurunnya output nasional. Pada gilirannya, penurunan permintaan terhadap tenaga kerja akan meningkatkan jumlah penganggur3. Meskipun ada juga pihak yang memperingatkan bahwa ledakan junlah penganggur ini belum tentu terjadi4, tetap saja jauh lebih banyak pihak yang percaya bahwa akan terjadi pembengkakan angka penganguran pada tahun 1
Artikel ini dimuat di Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol 1, No. 2, Juli 2002. Menurut perkoraan Departemen Tenaga Kerja RI, hingga bulan Juni 1998 saja sudah ada sekitar 3,2 juta orang yang menjadi korban PHK. 3 Ini “cocok” denngan berbagai teks. Antara lain lihat Taylor (1995), Sharp et al (1998) serta Sharp dan Leftwich (1993). 2
1
1998 dan tahun-tahun berikutnya sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi mulai tahun sebelumnya. Data proyeksi inilah yang antara lain kemudian menjadi patokan penyusunan program dan alokasi dana dalam pelaksanaan program JPS. Akan tetapi, hasil perhitungan angka pengangguran menurut Sakernas 1998 ternyata jauh lebih rendah dibandingkan yang diproyeksikan sebelumnya. Tabel 1 menunjukkan, bahwa angka pengangguran pada tahun 1998 hanya 5,5 persen yang berkaitan dengan sekitar 5,1 juta penganggur. Angka ini jelas jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka proyeksi mana pun di berbagai publikasi. Rendahnya angka pengangguran di satu sisi, sementara di sisi lain dampak krisi di pasar tenaga kerja begitu mudah diamati, akhirnya menimbulkan berbagai dugaan dan kecurigaan yang diarahkan kepada pemerintah. BPS dianggap telah memanipulasi perhitungan angka pengangguran untuk keperluan tertentu5. Disamping itu, ini sebenarnya yang paling serius dari sekedar kecurigaan terjadinya manipulasi data, muncul pendapat yang pada intinya menyatakan, bahwa dampak krisis di pasar tenaga kerja tidak besar, ditunjukkan oleh rendahnya angka pengangguran merupakan bukti keberhasilan upaya pemerintah untuk menaggulangi dampak krisis di pasar tenaga kerja.
Tabel 1. Beberapa Poyeksi Ketenagakerjaan 1998 dan kenyataanya Jumlah Jumlah Angka Penganggur (Juta) Angkatan Kerja Pengangguran (%) (Juta) PROYEKSI *: • Depnaker • Bappenas • Task Force ILO-Jakarta KENYATAAN **: • BPS
13,7 12,4 9,3
92,6 91,5 92,6
14,8 13,6 10,0
5,1
92,7
5,5
* Lihat ILO-Jakarta Office, 1999. Employment Chalengees Of the Indonesian Economic Crisis ** Lihat BPS, 1999. Keadaan angkatan Kerja di Indonesia Agustus 1998.
Silang pendapat seputar angka pengangguran tersebut memunculkan beberapa pertanyaan. Pertama, benarkah angka pengangguran setelah terjadi krisis ekonomi memang rendah ? Kedua, kalau angka pengangguran memeng rendah, apakah itu berarti
4
Lihat artikel “Ledakan Penganggur Belum Tentu Terjadi” oleh Edy Priyono di koran Suara Pembaruan, Oktober 1998. 5 Lihat antara lain komentar pengamat politik Didik J. Rachibini dan Martin Panggabean dalam Harian Suara Pembaharuan 3 April 1999
2
tidak ada dampak krisis ekonomi terhadap pasar tenaga kerja? Ketiga, kalau tetap dipercaya bahwa ada dampak krisis dan dampak itu bukan tingginya angka pengangguran, lantas apa sebenarnya dampak krisis di pasar tenaga kerja ? Makalah ini ditulis untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut.
2. Metode Penelitian Studi ini merupakan analisis data sekunder yang menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS). IFLS merupakan survai skala besar yang diselenggarakan oleh Lembaga Demografi FEUI bekerjasama dengan RAND. IFLS pertama (IFLS-1) dilaksanakan pada tahun 1993, sedangkan IFLS-2 dilaksanakan pada tahun1997. IFLS merupakan survai panel, sehingga rumah tangga sampel IFLS-2 merupakan responden pada survai IFLS-1. Seperti dimaklumi, tahun 1997 (tepatnya Juli 1997) sering dianggap sebagai awal periode krisis ekonomi di Indonesia. Khusunya untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rumah tangga Indonesia, pada tahun 1998 diadakan survai ulang sekitar 20 persen responden IFLS-2. IFLS yang diselenggarkan pada tahun 1998 disebut sebagai IFLS-2+. Studi ini menggunakan data responden panel IFLS-2 dan IFLS-2+. Responden yang digunakan adalah mereka yang berumur 15 tahun atau lebih. Dengan kata lain, yang menjadi responden penelitian ini adalah mereka yang burumur 15 tahun atau lebih yang diwawancarai pada tahun 1997 dan 1998. Jumlah total responden panel dalam studi ini adalah 4.589 orang. Dibandingkan denngan studi-studi sejenis lainnya (termasuk yang menggunakan data Sakernas 1998 dan Susenas 1998), studi ini memiliki kekhasan pada penggunaan data responden panel. Dengan menganalisis dinamika responden panel, dampak sebuah kejadian (dalam hal ini : krisi ekonomi) dapat diamati secara lebih baik. Di samping keunggulannya dalam mengidentifikasi dampak sebuah kejadian (atau perlakuan), data responden panel juga mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah ketidakmampuannya merepresentasikan populasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan jumlah dan karakteristik populasi, sementara sampel penelitian tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, studi ini tidak dimaksudkan untuk mengkonfirmasikan rate (angka) tertentu yang sudah dihitung oleh BPS, tetapi lebih kepada upaya untuk menjelaskan fenomena yang secara kasar tertangkap oleh statistik yang dikeluarkan oleh BPS, khususnya mengenai angka pengngguran. 3
Analisi mengenai dampak dampak krisis ekonomi ekonomi dalam studi ini dilakukan dengan cara membandingkan kondisi tahun 1997 (sebelum terjadi krisis) dengan kondisi tahun 1998 (ketika krisis berlangsung). Sangat disadari, bahwa metode analisis seperti ini mengandung sebuah kelemahan dalam bentuk asumsi
bahwa berbagai
perubahan yang terjadi pada periode 1997-1998 memang disebabkan oleh krisis ekonomi, bukan oleh sebab lain. Meskipun denikian, tenggang waktu yang pendek (yakni hanya satu tahuan) cukup memberikan landasan yang kuat bagi peletakan sebuah asumsi bahwa faktor-faktor di luar krisis ekonomi tidak banyak mengalami perubahan. Di samping itu, sejauh dimungkinkan, analisi dilakukan denan cara membandingkan perubahan 1997-1998 dengan pola umum yang terjadi, dengan sebuah pemikiran bahwa perubahan di luar pola umum merupakan dampak krisis ekonomi.
3. Temuan dan Analisis 3.1. TPAK Naik, Angka Pengangguran Turun Dengan menggunakan data IFLS, hasil perhitungan statistik ketenagakerjaan ternyata cenderung underestimated. Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan data tersebut, tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia (TPAK) pada tahun 1997 adalah sekitar 66 persen. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 1997 sekitar 67 dari 100 penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) di Indonesia aktif dipasar tenaga kerja, sehingga dapat dikelompokkan ke dalam angkatan kerja. TPAK ini meningkatkan menjadi sekitar 70 persen pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan, bahwa di masa krisis ekonomi, tenaga kerja di Indonesia semakin aktif di pasar kerja, dan bukan sebaliknya.
Tabel 2. Perbandingan Beberapa Statistik Ketenagakerjaan 1997dan 1998 Berdasarkan Data IFLS Statistik 1997 1998 TPAK (%)
66,5
69,5
Employment Rate (%)
94,56
96,83
Unemployment Rate (%)
5,44
3,17
Sumber : Data mentah IFLS (diolah)
Konsisten dengan hasil perhitungan BPS, angka pengangguran6 (unemployment rate) yang dihitung berdasarkan data IFLS ternyata juga rendah. Bukan hanya rendah, 6
Ada beberapa jenis pengangguran. Yang dimaksud dengan pengangguran di sini adalah pengangguran terbuka (open unemployment)
4
angka pengangguran justru mengalami penurunan di masa krsisi ekonomi. Penurunan terjadi dari sekitar 5,4 persen pada tahun 1997 menjadi sekitar 3,2 persen pada tahun 1998. Ini menunjukkan, bahwa bukan hanya tenaga kerja di Indonesia semakin aktif di asar kerja (ditunjukkan oleh perkembangan TPAK) di masa krisis, tetapi yang aktif di pasar tenaga kerja ternyata yang menganggur juga relatif semakin sedikit. Berdasarkan employment rate, terlihat bahwa pada tahun sebelum krisis ekonomi terjadi (1997) sekitar 95 diantara 100 angkatan kerja berstatus sebagai pekerja dan hanya sekitar lima orang yang menganggur. Sementara itu, pada tahuan dimasa krisis (tahun 1998) diantara 100 orang angkatan kerja yang berstatus sebagai pekerja adalah 97, sedangkan yang menganggur hanya dua. Kecenderungan semakin banyaknya orang yang bekerja berkaitan dengan meningkatnya partisipasi angkatan kerja seperti yang dijelaskan di atas. Tabel 3 menunjukkan, bahwa ketika terjadi krisis ekonomi, banyak responden yang sebelumnya tidak aktif di pasar kerja (bukan angkatan kerja) masuk ke pasar tenaga kerja sebagai pekerja. Terlihat bahwa sekitar 23 persen dari responden melakukan entry ke pasar kerja dan nyaris semuanya menjadi pekerja (22 persen dari responden). Tabel yang sama memperlihatkan, bahwa sangat sedikit responden yang mengalami perubahan status dari pekerja menjadi penganggur. Inilah yang menyebabkan angka pengangguran justru turun ketika krisis, karena pergeseran dari pekerja menjadi penganggur jauh lebih sedikit dibandingkan pergeseran dari bukan angkatan kerja ke pekerja ditambah dengan pergeseran dari penganggur ke pekerja. Bahkan, pergeseran dari pekerja menjadi penganggur masih lebih kecil dibandingkan dengan pergeseran dari penganggur ke pekerja. Tabel 3. Perubahan aktifitas responden panel 1997-1998 Aktifitas 1997 Aktivitas 1998 Jumlah
Persen
Bekerja Bekerja Bekerja
Bekerja Menganggur Buka AK
2.527 36 319
55,1 0,8 7,0
Menganggur Menganggur Menganggur
Bekerja Menganggur Buka AK
98 22 46
2,1 0,5 1,0
Bukan AK Bukan AK Bukan AK
Bekerja Menganggur Buka AK
461 43 1032
10,5 0,9 22,5
5
TOTAL
4.584
100,0
Frekuensi missing = 5 Sumber: Data mentah IFLS (diolah)
Kenyataan semakin banyaknya orang bekerja di masa krisis disebabkan oleh dorongan untuk mencukupi kebutuhan. Dengan semakin mahalnya harga barang dan jasa, tidak ada jalan lain bagi tenaga kerja kecuali berusaha untuk bekerja apa saja7. Orang yang terkena PHK pun, terutama ketika uang pesangonnya sudah habis, akan berusaha matimatian memperoleh pekerjaan lain, karena di Indonesia tidak ada tunjangan penganggur (unemployment benefit). Analisis tersebut didukung oleh hasil analisis responden panel tentang karakteristik responden yang berubah status dari bukan angkatan kerja menjadi pekerja, seperti terlihat dalam Tabel 4. Tabel tersbut menunjukkan bahwa sekitar 35 persen dari mereka ternyata pada tahun 1998 bekerja di sektor informal8 (usaha sendiri). Secara umum, sektor informal ini memberikan return yang kecil (apalagi dalam situasi krisis ekonomi), tetapi alternatif ini tetap harus diambil oleh tenaga kerja untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kalaupun tidak bekerja untuk memperoleh penghasilan, paling tidak, banyak orang yang terdorong untuk membantu anggota keluarga lain mencari uang, meskipun dia sendiri tidak dibayar (sebagai unpaid family worker). Tabel 4 juga menunjukkan, bahwa sebagian besar dari mereka (sekitar 43 persen), meskipun bekerja, tidak menerima upah karena sifat pekerjaannya hanya membantu orang lain (kemungkinan besar keluarganya) mencari uang. Dilihat dari karakteristik responden yang bergeser dari bukan angkatan kerja menjadi pekerja, juga terlihat bahwa sebagian besar di antara mereka merupakan usia kerja9 (19-55 tahun) dari sebagian besar diantara mereka sebelum krisis memiliki aktifitas utama mengurus rumah tangga. Pola mobilisasi tenaga kerja menjadi terlihat dengan jelas, yakni ketika terjadi krisis, banyak orang yang sebelumnya hanya mengurus rumah tangga, kemudian dilibatkan untuk membantu mencari uang (tanpa dibayar). Menarik untuk dilihat, bahwa tenaga kerja yang sebelum krisis sebenarnya sudah berada di luar angkatan kerja karena pensiun, ternyata kembali masuk ke pasar kerja sebagai pekerja ketika terjadi krisis. Dilihat dari sisi umur, sekitar 18 persen responden 7
Ini menguatkan hipotesis luxury unemployment. Antara lain lihat Manning (1998). Sebenarnya “usaha sendiri” di data IFLS tidak secara sempurna mencerminkan sektor informal, karena didalamnya bisa termasuk “usaha dibantu buruh tetap” yang secara umum dikategorikan sebagai sektor formal. Akan tetapi, proporsi “usaha dibantu buruh tetap” biasanya sangt kecil, sehingga status “usaha sendiri” dapat dikatakan identik dengan sektor informal. 9 Usia kerja didefinisikan demikian, karena usia 18 tahun ke bawah dianggap sebagai usia sekolah dan usia di atas 55 tahun merupakan usia pensiun umumnya di Indonesia. 8
6
yang kembali bekerja merupakan mereka yang usianya di atas 55 tahun. Disamping itu, dari data aktivitas tahun 1997, terlihat bahwa sekitar 11 persen dari mereka ternyata sebelumnya sudah pensiun (tidak aktif di pasar kerja). Dilihat lebih mendalam, sekitar 55 persen diantara responden usia pensiun yang kembali ke pasar kerja ternyata bekerja sebagai pengusaha mandiri. Ini berarti ketika krisis terjadi, banyak orang yang sudah memasuki usia pensiun (tetapi masih mampu bekerja) kembali bekerja untuk menghasilkan uang.
Tabel 4. Karakteristik Responden yang Bukan AK tahun 1997 Tapi Bekerja Tahun 1998 Karakteristik Jumlah Persentase 1. Umur • 15 – 18 Tahun 77 16,7 • 19 – 55 Tahun 298 64,6 • > 55 Tahun 86 18,7 • TOTAL 461 100,0 2. Daerah Tempat Tinggal • Perkotaan 167 38,0 • Pedesaan 273 62,0 • TOTAL 440 100,0 3. Pendidikan Terakhir • Tidak sekolah 195 44,3 • SD 128 29,1 • SLTP 108 24,5 • SLTA 7 1,6 • Perguruan tinggi 2 0,5 • TOTAL 440 100,0 4.Aktifitas 1997 • Sekolah 58 12,6 • Mengurus rumah tangga 302 65,5 •Pensiun 49 10,6 • Lainnya 52 11,3 • TOTAL 461 100,0 4. Status Pekerjaan 1998** • Berusaha sendiri 158 35,3 • Karyawan swasta 98 21,9 • Pekerja tak dibayar 191 42,7 • TOTAL *** 447 100,0 * : Ada frekuensi missing =21 ** : Pilihan jawaban karyawan pemerintah frekuensi = 0 *** : Ada frekuensi missing = 14 Sumber: Data mentah IFLS (diolah)
Selain penduduk usia tua, penduduk usia sekolah juga dilibatkan di pasar kerja. Sekitar 17 persen dari mereka yang berubah status dari bukan angkatan kerja menjadi
7
pekerja berusia kurang dari 18 tahun. Ini senada dengan kenyataan bahwa sekitar 13 persen dari mereka yang berubah status, pada tahun 1997 memiliki aktivitas sebagai pelajar (bersekolah). Sebagian besar (58 persen) dari mereka yang berusia sekolah tersbut bekerja tanpa dibayar, sehingga mudah diduga mereka menjadi pekerja karena membantu keluarga (terutama orang tua) dalam mencari uang. Jika benar demikian, kemungkinan besar mereka tak harus meninggalkan sekolah ketika harus bekerja membantu keluarga. Meskipun demikian, ada juga yang menjadi pengusaha atau karyawan swasta yang kemungkinan besar mengharuskan mereka
untuk meninggalkan sekolah (jika sebelumnya masih
sekolah). Kenyataan bahwa mayoritas (43) persen dari mereka yang masuk ke pasar kerja sebagai pekerja itu berstatus sebagai pekerja tak dibayar perlu mendapat catatan khusus. Status sebagai pekerja tak dibayar tidak berimplikasi pada penghasilan individu bersangkutan, dan belum tentu meningkatkan produktivitas usaha dimana dia bekerja. Dalam banyak kasus usaha keluarga, mereka bekerja bukan karena memang diperlukan bantuannya, tetapi lebih karena alasan “daripada menganggur”. Akibatnya, meskipun secara statistik ada tambahan jumlah pekerja, tidak ada jaminan bahwa kesejahteraan rumah tangga meningkat. Secara makro, sekali lagi penting untuk dicatat, bahwa peningkatan employment rate (atau penurunan unemployment rate) tidak merupakan petunjuk bahwa telah terjadi peningkatan kesejarteraan penduduk dimasa krisis10. Sebaliknya, penurunan angka pengangguran ini merupakan implikasi memburuknya kondisi perekonomian rumah tangga yang membuat banyak orang tak punya pilihan lain kecuali mencoba bekerja mencari nafkah atau, paling tidak bekerja (baik menjadi penganggur atau tidak aktif di pasar kerja sama sekali). Mereka tetap bisa hidup karena ada transfer dari anggota keluarga lain atau dengan melakukan dissaving.
3.2. Dampak Krisis Ekonomi Paparan di bagian terdahulu jelas menunjukkan bahwa dampak krisi ekonomi sama sekali tidak dicerminkan oleh tingginya angka pengangguran. Angka pengangguran justru turun ketika terjadi krisis ekonomi. Akan tetapi, sangat naif jika kemudian dikatakan bahwa pasar kerja di Indonesia ternyata “baik-baik saja” di masa krisis. Berbagai perubahan yang terjadi selama krisis ekonomi akan ditunjukkan oleh paparan berikut ini.
10
Bandingkan dengan fenomena pengangguran di negara maju. Antara lain lihat Becker (1997)
8
a. Perubahan Status Pekerjaan Dampak krisis ekonomi dihipotesiskan akan terlihat pada perubahan struktur pekerja menurut status pekerjaan. Secara lebih spesifik, diduga akan terjadi sektor infomal sebagai implikasi merosotnya daya serap sektor formal di satu sisi, dan tekanan bagi tenaga kerja untuk terus bekerja di sisi lain. Tabel 5 menunjukkan, bahwa tidak terjadi perubahan dramatis dalam struktur pekerja menurut status pekerjaan diantara responden panel antara tahun 1997 (sebelum krisis) dengan tahun 1998 (setelah krisis). Memang terjadi kenaikan persentase pekerja tak dibayar dari sekitar 16 persen menjadi sekitar 20 persen, tetapi pada saat yang sama terjadi penurunan persentase pekerja yang berusaha sendiri dari sekitar 47 persen menjadi 44 persen. Sementara itu, kelompok status pekerjaan lain (karyawan pemerintah dan karyawan swasta) praktis tak menunjukkan perubahan berarti. Dapat dikatakan, bahwa tidak terjadi perubahan struktur pekerja menurut status pekerjaan dimasa krisis ekonomi. Tabel 5. Perubahan Distribusi Pekerja Menurut Status Pekerjaan Responden Panel 1997-1998 (%) Status Pekerjaan 1997 1998 Berusaha sendiri 47,1 44,0 Karyawan Pemerintah 7,5 7,1 Karyawan Swasta 29,0 29,2 Pekerja Tak Dibayar 16,4 19,7 TOTAL 100,0 100,0 Sumber: Data mentah IFLS (diolah)
Meskipun tak terlalu terlihat dalam struktur pekerja menurut status pekerjaan, dinamika status pekerjaan sebenarnya terjadi terjadi selama krisis ekonomi. Tabel 6 menunjukkan bahwa sekitar 20 persen dari pekerja yang berusaha sendiri sebelum krisis ekonomi, berubah menjadi karyawan swasta atau pekerja tidak dibayar di masa krisis ekonomi. Diduga, pergeseran ini terjadi akibat bangkrutnya sebagian usaha informal. Pergeseran ke arah karyawan swasta tak bisa langsung diklaim sebagai perpindahan ke sektor formal, karena kuat dugaan bahwa status sebagai karyawan swasta disini tetap dalam lingkup usaha informal.
Sementara itu, pergeseran ke arah status pekerja tak
dibayar menunjukkan bahwa kegiatan itu dilakukan sekedar asal tidak mengganggur. Pergeseran dari yang semula bekerja sebagai karyawan pemerintah tidak besar. Adanya sekotar 11 persen karyawan pemerintah yang bergeser status menjadi karyawan swasta diduga disebabkan oleh kembalinya pensiunan ke pasar kerja. Biaya hidup yang 9
semakin tinggi menyebabkan sebagian pensiunan tak cukup hidup dengan mengandalkan uang pensiun. Dalam kondisi demikian, kembali bekerja sebagai karyawan merupakan salah satu alternatif yang bisa diambil. Perubahan yang cukup besar terjadi terhadap mereka yang sebelum krisis terjadi bekerja sebagai karyawan swasta. Sekitar 38 persen diantara mereka berubah status setelah terjadi krisis ekonomi. Sebagian besar diantara mereka yang berubah status, berubah menjadi pengusaha mandiri. Inilah fenomena yang dapat diamati secara sederhana dalam lingkup yang kecil, dimana banyak korban PHK yang mencoba memperbaiki nasib dengan membuka usaha secara informal dalam skala kecil. Perubahan paling mendasar dialami oleh mereka yang sebelumnya terjadi krisis ekonomi bekerja sebagai pekerja tak dibayar. Sekitar 34 persen dari mereka berubah status pekerjaannya pada masa krisis ekonomi. Perubahan terbesar mengarah kepada status pekerjaan berusaha sendiri, kemudian menyusul perubahan menjadi karyawan swasta. Mudah diduga, bahwa krisis ekonomi menyebabkan tekanan yang lebih besar untuk mendapatkan uang, sehingga banyak pekerja tak dibayar yang kemudian berubah status menjadi pekerja yang dibayar atau denngan penghasilan. Pembahasan ini menunjukkan, bahwa dinamika status pekerjaan dimasa krisis tidak terlalu terlihat, jika yang digunakan adalah struktur pekerja menurut status pekerjaan. Ini tidak berarti krisis tidak berdampak pada perubahan status pekerjaan, tetapi perubahan status pekerjaan ini tidak terjadi dengan pola yang seragam.
Status Pekerjaan 1997
Tabel 6 Persentase Responden yang Bekerja 1997 Menurut Status Pekerjaan 1997 dan 1998 Status Pekerjaan 1998
Usaha Kary. Sendiri Pemerintah Usaha Sendiri 79,2 0,4 Kary. Pemerintah 2,4 85,9 Kary. Swasta 17,2 3,2 Tidak Dibayar 20,9 0,6 Sumber: Data mentah IFLS (diolah)
Kary. Swasta 11,5 11,3 72,1 12,7
Tidak Dibayar 8,9 0,4 7,5 65,8
TOTAL 100,0 100,0 100,0 100,0
b. Perubahan Jam Kerja Utama Jam kerja merupakan gambaran intensitas kerja. Rata-rata jam kerja per minggu pada pekerjaan utama responden panel dalam studi ini ternyata mengalami penurunan dari
10
rata-rata sekitar 39 jam perminggu menjadi sekitar 34 jam per minggu. Hal ini menunjukkan bahwa selama terjadi krisis ekonomi, intensitas orang bekerja pada pekerjaan utamanya berkurang. Pada skala mikro, pengurangan jam kerja ini antara lain disebabkan adannya pekerja yang “dirumahkan” selama krisis atau junlah shift kerja yang berkurang di banyak perusahaan yang bergerak di industri manufaktur. Analisis juga dapat dilakukan dengan melakukan pengelompokkan responden ke dalam tiga kategori, yaitu: underemployment (jam kerja < 35 jam seminggu), fullempleyment (jam kerja 35 s/d 60 jam seminggu) dan overempleyment11 (jam kerja lebih dari 60 jam seminggu). Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase underemployment naik dari sekitar 62 persen menjadi sekitar 67 persen ketika terjadi krisis ekonomi. Pada saat yang sama, persentase pekerja fullemployed dan overemployed mengalami penurunan. Analisis ini mengkonfirmasikan penurunan rata-rata jam kerja pada pekerjaan utama yang disebut sebelumnya. Tabel 7 Distribusi Pekerja Menurut Intensitas Kerja Di Pekerjaan Utama Responden Panel 1997-1998 (%) Intensitas 1997 1998 Underemployed 62,1 67,1, Fullemployed 29,7 26,0 Overemployed 8,2 7,0 Sumber: Data mentah IFLS (diolah)
c. Perubahan Kepemilikan Pekerjaan Sampingan Kepemilikan pekerjaan sampingan
merupakan
salah
satu variabel yang
menunjukkan perubahan besar ketika terjadi krisi ekonomi. Hasil pengolahan data IFLS menunjukkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi (tahun1997) hanya sekitar 20 persen responden yang menyatakan memilki pekerjaan sampingan. Persentase ini meningkat drastis menjadi sekitar 75 persen pada periode krisi ekonomi (tahun 1998). Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa mencari pekerjaan sampingan merupakan salah satu cara yang dipakai oleh masyarkat untuk mengatasi krisi ekonomi. Seperti dijelaskan dibagian lain tulisan ini, krisis ekonomi benar-benar memaksa orang untuk bekerja lebih keras lagi guna mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi akibat inflasi.
11
d. Perubahan Penghasilan. Secara umum, Tabel 8 menunjukkan bahwa para pekerja mengalami kenaikan penghasilan nominal pada periode krisis ekonomi, yakni rata-rata sekitar Rp 195 ribu sebulan menjadi sekitar Rp 270 ribu, atau naik sekitar 38 persen. Meskipun demikian, kenaikan penghasilan nominal ini masih lebih rendah dibandingkan dengan laju inflasi pada periode krisis (sekitar 70 persen). Ini berarti, rata-rata pekerja yang menjadi sampel studi ini mengalami kemerosotan penghasilan riil sekitar 32 persen. Ada dua informasi penghasilan yang bisa diperoleh dari data IFLS, yakni penghasilan untuk status pekerjaan karyawan (swasta maupun pemerintah) dan informasi penghasilan untuk status pekerjaan berusaha sendiri. Krisis ekonomi ternyata memberikan dampak yang berbeda pada pekerja di dua status pekerjaan tersebut. Tabel 8 menunjukkan, bahwa rata-rata penghasilan pekerja berstatus karyawan cenderung tetap (sekitar Rp 255 ribu sebulan), sementara penghasilan pekerja yang berusaha sendiri mengalami peningkatan dari sekitar Rp 144 ribu sebulan menjadi Rp 282 ribu sebulan (naik hampir 100 persen). Hal ini menginsyaratkan bahwa pekerja dengan status pekerjaan karyawan sama sekali tak mampu meng-adjust laju inflasi, sementara yang berstatus sebagai “usaha sendiri” mampu melakukannya. Kenaikan rata-rata penghasilan kelompok pekerja yang berusaha sendiri bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan laju inflasi. Dengan kata lain, ada indikasi bahwa kelompok responden yang berusaha sendiri justru mampu memetik manfaat di tengah krisis ekonomi. Tabel 8. Rata-rata Penghasilan Nominal per Bulan Dari Pekerjaan Utama Responden Panel 1997-1998 (Rp) Kelompok Responden 1997 1998 Pekerja: 194.909 269.823 1. Karyawan 255.210 254.853 2. Berusaha sendiri 143.838 282.501 Sumber: Data mentah IFLS (diolah)
4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan a. Hasil studi ini menunjukkan bahwa krisis ekonomi sama sekali tidak berimplikasi pada tingginya angka pengangguran. 11
Dalam kondisi demikian, memaksakan diri untuk
Hipotesisi overemployment dapat dilihat antara lain dalam Killingsworth (1983)
12
menggunakan angka pengangguran sebagai salah satu indikator dampak krisis ekonomi akan berimplikasi pada dua hal, yaitu kehilangan sense of crisis atau pengabaian prinsip-prinsip statistik ketenagakerjaan. Sudah waktunya angka pengangguran tidak lagi sebagai indikator untuk melihat dinamika pasar tenaga kerja di negara sedang berkembang (termasuk Indonesia) dimana peranan sektor informal sangat besar, khususnya jika dikaitkan dengan krisis ekonomi. Diperlukan sebuah pemahaman baru terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia, bahwa masalahnya bukanlah orang bekerja ataukah tidak bekerja, melainkan kesejahteraan pekerja. b. Dampak krisis ekonomi di pasar tenaga kerja yang paling nyata adalah turunnya pendapatan riil, khususnya bagi mereka yang berstatus karyawan.
Penurunan ini
merupakan dampak langsung kenaikan harga barang dan jasa, bukan akibat penurunan pendapatan nominal. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa persoalan ketenagakerjaan tidak selesai ketika seseorang sudah bekerja. Status sebagai pekerja tidak memberikan jaminan bahwa dia sejahtera, dan status sebagai penganggur tidak selalu berarti bahwa dia miskin.
Implikasinya, menjadikan penganggur sebagai kelompok sasaran utama
dalam program penanggulangan krisis merupakan langkah yang menyesatkan. Berdasarkan situasi obyektif pasar tenaga kerja di Indonesia, kelompok yang paling memerlukan perhatian adalah yang sudah bekerja tetapi tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. c. Di masa krisis, tenaga kerja melakukan mekanisme penyesuaian dengan cara mencari pekerjaan sampingan. Hal itu mengklarifikasikan peranan signfikan sektor informal sebagai penyangga (buffer) dalam perekonomian. Meski tak secara khusus dipelajari dalam studi ini, hal itu berimplikasi pada curahan waktu yang semakin besar di pasar tenaga kerja. Salah satu indikasinya adalah relatif banyak ibu rumah tangga yang terjun ke pasar kerja sebagai pekerja, serta banyak pekerja tidak dibayar yang berubah status menjadi pengusaha mandiri. Dalam kondisi demikian, tugas pemerintah adalah menghilangkan berbagai kebijakan yang dapat dikonotasikan sebagai entry barrier ke pasar kerja. Selain itu, berbagai pihak sebaiknya berhati-hati dalam membuat proyeksi ketenagakerjaan yang mengkaitkan angka pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi.
13
DAFTAR PUSTAKA Becker, Gary S., 1996. The Economics of Life. Mc Graw-Hill Book. Biro Pusat Statistik, 1999. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 1998. ILO-Jakarta Office, 1999. Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis. Killingsworth, M.R., 1983. Labor Supply. Cambridge University Press. Manning, 1998. Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story?. Cambridge University Press. Sharp, A.M, Register, C.H, dan Grimes, P.W., 1998. Economics of Social Issues. Thirteenth Edition. Irwin-McGraw-Hill. Sharp, A.M., dan Leftwich, R.H., 1993. Economics of Social Issues. Seventh Edition. Business Publication Inc. Taylor, J.B., 995. Principles of Macroeconomics. Houghton Mifflin Company.
14