MENENTUKAN KEDALAMAN LAPISAN PADAT TANAH MENGGUNAKAN GELOMBANG AKUSTIK
SKRIPSI
NIKODEMUS GINTING F14070031
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
NIKODEMUS GINTING. F14070031. Menentukan Kedalaman Lapisan Padat Tanah Menggunakan Gelombang Akustik. Di bawah bimbingan E. Namaken Sembiring dan Susilo Sarwono. 2012
RINGKASAN Tanah mempunyai pengertian yang sangat luas dan arti yang berbeda sesuai peruntukannya. Dalam bidang pertanian, tanah diartikan sebagai media tumbuh bagi tanaman darat (Sarwono, 1987). Mempelajari karakteristik tanah sangat penting dilakukan dalam bidang pertanian karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar pendapatan ekonominya masih bertumpu pada sektor pertanian sehingga sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam upaya menciptakan kondisi ekonomi nasional yang lebih baik. Pengetahuan mengenai beberapa sifat-sifat tanah seperti sifat kimia maupun sifat fisik dari suatu tanah pertanian diperlukan untuk menciptakan sektor pertanian yang lebih baik. Sifat kimia tanah misalnya unsur hara, mineral, dan air yang terkandung dalam tanah. Sedangkan sifat fisik tanah merupakan sifat yang paling mudah diamati dan dari sifat ini sebagian besar kondisi tanah sudah dapat diketahui. Sifat fisik tanah yang penting untuk diketahui adalah tekstur, struktur, konsistensi, densitas tanah (bulk density), serta permeabilitas tanah. Bulk density merupakan salah satu sifat fisik tanah yang penting diketahui karena berkaitan langsung dengan daya dukung lahan untuk menjaga produktifitas lahan pertanian (Islami dan Utomo, 1995). Daya dukung lahan dapat ditingkatkan dengan cara pemadatan tanah (soil compaction). Teknologi pemadatan tanah ini bertujuan untuk mengurangi kebutuhan air irigasi, menekan laju perkolasi sehingga diperoleh lapisan padat (plow soil) yang baik. Pemadatan ini dilakukan pada kedalaman tertentu dibawah lapisan olah (top soil) (Partowijoto, 2000 dalam Prasetyo, 2008). Kepadatan tanah hingga saat ini sering diukur menggunakan penetrometer kerucut (cone penetrometer), baik dengan cara statis maupun dinamis. Hasil pengukurannya merupakan penetrasi kerucut (mm) kemudian dikonversi menjadi indeks kerucut kgf/cm2 (Partowijoto, 2000 dalam Prasetyo, 2008). Selain menggunakan penetrometer kerucut, saat ini telah dikembangkan metode lain untuk mengukur kepadatan tanah yaitu dengan cara memanfaatkan sifat-sifat resistansi listrik dalam tanah. Pemanfaatan sifat resistansi listrik dalam tanah diukur dengan cara menancapkan sepasang katoda dalam tanah, kemudian menggunakan sepasang speaker (pemancar dan penerima) untuk memancarkan dan menerima gelombang audio. Nugraha (2004) menunjukkan bahwa metode yang digunakan pada penelitian untuk menentukan nilai bulk density tanah dengan cara menganalisa sifat-sifat resistansi listrik yang ada dalam tanah, yaitu dengan cara menancapkan sepasang elektroda kedalam tanah yang diuji terbukti dapat dilakukan. Metoda yang sama juga dilakukan Widianti (2005). Selain menggunakan dua pasang elektroda, gelombang suara juga dapat digunakan untuk mengetahui nilai resistansi listrik. Gelombaang bunyi dapat merambat melalui medium tergantung gaya-gaya antar partikel-partikel penyusun dari medium tersebut (Kane dan Sternheim, 1988). Prinsip penggunaan gelombang suara adalah sama dengan metode penancapan sepasang elektroda, yang membedakan adalah sepasang elektroda akan diganti dengan sepasang speaker (pemancar dan penerima). Kane dan Sternheim (1988) menjelaskan bahwa menurut frekuensinya, gelombang akustik dapat dikelompokan menjadi tiga jenis gelombang yaitu gelombang infrasonik yang berada pada
rentang frekuensi kurang dari 20 Hz, gelombang sonik yang berada pada rentang frekuensi antara 20 Hz hingga 20 kHz, dan gelombang ultrasonik yang berada pada rentang frekuensi diatas 20 kHz. Gelombang suara merupakan gelombang mekanik yang perambatannya memerlukan perantara. Gelombang ini tidak dapat merambat pada ruang hampa (Halliday dan Resnick, 1998). Medium perambatannya dapat berupa bahan padat, cair, maupun gas. Tujuan penelitian adalah menindaklanjuti penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, untuk membuat alat ukur kerapatan tanah menggunakan gelombang akustik. Hasil pengukuran divisualisasikan menggunakan oscilloscope untuk mempresentasikan hasil pengukuran. Hasil pengukuran ditunjukkan dengan keluaran berupa amplitudo pada berbagai tingkat frekuensi dan perlakuan tebal lapisan olah, serta posisi bebas rangkaian pemancar dan penerima. Penelitian juga digunakan untuk menduga letak lapisan padat dibawah tanah lapisan olah pada skala laboratorium. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui amplitudo gelombang akustik yang diterima akibat pantulan ataupun rambatan oleh medium tanah dengan perlakuan tebal lapisan olah. Selain itu, penelitian juga digunakan untuk menduga kedalaman lapisan padat di bawah tanah lapisan olah. Bahan penelitian yang digunakan adalah tanah contoh berjenis Latosol yang diambil dari Leuwikopo. Peralatan utama yang digunakan meliputi: 1) audio generator, untuk menghasilkan berbagai tingkat frekuensi, 2) oscilloscope, untuk memvisualisasikan gelombang audio, 3) rangkaian penerima, untuk menangkap gelombang audio yang dipancarkan kemudian mengubahnya menjadi besaran elektris dan melakukan penguatan sinyal gelombang audio, 4) wadah uji yang terdiri dari kotak logam dan baskom plastik, 5) pipa silinder. Penelitian dilaksanakan pada kadar air 30% dan posisi speaker membentuk sudut antara 30o dengan perlakuan 2 tingkat kerapatan tanah, yaitu 1.0 gram/cm3 dan 1.3 gram/cm3. Penelitian dilaksanakan pada beberapa tingkatan lapisan olah dilakukan pada tebal lapisan olah 0, 5 10, 15, dan 20 cm. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah 1) Tebal lapisan olah tanah berpengaruh terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio. Semakin tebal lapisan olah menyebabkan semakin kecil penerimaan amplitudo gelombang audionya, dengan kata lain pengaruh tebal lapisan olah akan berbanding terbalik dengan penerimaan amplitudo gelombang audio. Pengamatan pengaruh kadar air terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio pada penelitian terdahulu diketahui bahwa semakin besar kadar air yang terdapat pada lapisan padat menyebabkan penerimaan amplitudo gelombang audio akan semakin kecil. 2) Pendugaan kedalaman lapisan padat menggunakan gelombang audio, terlihat bahwa nilai amplitudo gelombang audio cenderung berubah pada setiap perubahan lapisan padat tanah. Amplitudo yang diterima akan semakin kecil pada peningkatan lapisan olah tanah. 3) Gangguan pada audio generator sangat berpengaruh terhadap gelombang audio yang dipancarkan. Gangguan pada audio generator mengakibatkan terjadi pengurangan energi gelombang audio yang dipancarkan sehingga energi gelombang yang dipancarkan menjadi kecil. 4) Gelombang audio yang terlalu kecil akan sangat sulit dibaca pada pengukuran menggunakan oscilloscope karena pada pembacaan nilai amplitudo diterima pembacaan masih menggunakan bentuk gelombang sinus atau gelombang kotak yang masih harus dikonversi lagi menjadi skala miliVolt dengan mengalikan jumlah kotak yang dilalui amplitudo gelombang terhadap nilai skala miliVolt yang digunakan, sehingga diperlukan alat ukur lain yang dapat memberikan hasil pengamatan lebih teliti langsung dalam bentuk angka digital. 5) Op-amp dengan penguatan lebih besar akan mampu memberikan hasil pengukuran yang lebih teliti, selain itu diperlukan penambahan rangkaian filter untuk mencegah terjadinya noise, serta pemberian daya yang sesuai agar intensitas gelombang yang dipancarkan akan lebih baik.
DETERMINING THE DENSE SOIL DEPTH USING ACOUSTIC WAVE Nikodemus Ginting, E. Namaken Sembiring, and Susilo Sarwono Department of Agricultural Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 0858 8893 0053, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Determining the dense soil depth using acoustic wave is one of the attempts of non-destructive detection method development. This method is applied since the ultrasonic wave detection has been widely conducted and applied in other fields, besides agriculture. The particular purpose of the research is to determine the amplitude of the acoustic waves received as the bouncing effect or the propagation on soil by the cultivating treatment on the dense soil depth. The research tools and materials applied is a sample soil of Latosol, which is connected through circuit of a series of signal generator used as the sinusoidal signal generator, and processed to transmitter speakers in several frequencies. Op-amp circuit functions as the amplifier and the audio waves stabilizer gained by receiver speakers, and they are connected to oscilloscope to visualize the results. Op-amp circuit with bigger amplified level, equipped with a filter circuit, and uses the appropriate power on the transmitter speakers circuit will cause the intensified waves transmitted according to the expected results. The use of the same kind of speakers eases the research to produce results as needed. The research is conducted at 30 % of water content by the speaker position forming 30 0 angles with bulk density of 1.0 gram/cm3 and 1.3 gram/cm3 in the cultivation layer of 0, 5, 10, 15, and 20 cm. In the treatment of cultivation layer thickness is known that the denser or thicker cultivation layer the smaller receiver of the audio wave amplitude. In the estimation of the dense soil depth using audio waves, it is seen that the audio wave amplitude value received will be smaller in the increase of cultivated soil layer. The making of the instrument is adjusted with the result of the previous research. The noise influences the sound waves produced and transmitted, and also the amplitude waves received. The noise covers the transmitted sound waves so that the sound waves is not detected by the oscilloscope. Keywords : acoustic wave, non-destructive detection, the dense soil depth
MENENTUKAN KEDALAMAN LAPISAN PADAT TANAH MENGGUNAKAN GELOMBANG AKUSTIK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh
NIKODEMUS GINTING F14070031
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Menentukan Kedalaman Lapisan Padat Tanah Menggunakan Gelombang Akustik Nikodemus Ginting F14070031
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, M.S) NIP 19461013 197306 1 001
(Ir. Susilo Sarwono) NIP 19480925 197301 1 003
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Desrial, M.Eng) NIP 19661201 199103 1 004
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Menentukan Kedalaman Lapisan Padat Tanah Menggunakan Gelombang Akustik adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 2012 Yang membuat pernyataan
Nikodemus Ginting F14070031
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Nikodemus Ginting. Lahir di Indrapura, 27 Maret 1989 dari ayah S. Ginting dan ibu S. E. Tarigan, sebagai putra ke tiga dari lima bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 1 Air Putih, Indrapura dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan Organisasi termasuk menjadi Ketua Permata (pemuda) di Gereja Batak Karo Protestan, Bogor pada tahun 2011-2013. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di Perkebunan Tebu, PG Tjoekir, Jawa Timur.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Menentukan Kedalaman Lapisan Padat Tanah Menggunakan Gelombang Akustik dilaksanakan diLaboratorium CITS Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Juni 2012. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. 2.
Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, M.S. sebagai dosen pembimbing utama. Ir. Susilo Sarwono atas saran dan bantuan moril yang diberikan selaku dosen pembimbing pendamping. 3. Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr yang telah membantu dalam konsultasi penggunaan instrumentasi. 4. Dr. Ir. I. Wayan Astika, M.S. sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan dorongan selama penulis melakukan studi di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. 5. Pak Edi, Pak Trisnadi, Pak Wana karyawan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu pelaksanaan penelitian. 6. S. Ginting dan S. E. Tarigan selaku Orang Tua yang selalu mendukung hingga penulis bisa menyelesaikan studi di Fakultas Teknologi Pertanian. 7. Abang, adik, kakak, teman yang turut membantu baik dalam doa maupun tindakan untuk penyelesaian penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. 8. Marko Mitokona Cibro, A. Nugroho, M. Furqan, Andi P. Pamungkas, R. Harianja, P. Sagala selaku teman berjuang mengerjakan skripsi. 9. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 44 (2007). 10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, baik segi moral maupun material yang tidak dituliskan di atas. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Teknik Mesin dan Biosistem.
Bogor, 2012 Nikodemus Ginting
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ DAFTAR PERSAMAAN ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1.2 Ruang Lingkup ....................................................................................................... 1.3 Tujuan ..................................................................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2.1 Gelombang .............................................................................................................. 2.2 Gelombang Akustik ................................................................................................ 2.3 Kebisingan .............................................................................................................. 2.4 Alat Ukur Elektronik............................................................................................... 2.4.1 Sistem Pengindera ............................................................................................. 2.4.2 Sistem Penguat .................................................................................................. 2.4.3 Sistem Peraga .................................................................................................... 2.5 Software (perangkat lunak) ..................................................................................... 2.6 Tanah ...................................................................................................................... 2.7 Pemadatan Tanah .................................................................................................... 2.8 Pengukuran Kepadatan Tanah ................................................................................ 2.8.1 Bulk Density ...................................................................................................... 2.8.2 Penetrometer Resistance ................................................................................... 2.9 Resistansi Listrik pada Tanah ................................................................................. 2.10 Penelitian ultrasonik terdahulu................................................................................ III. METODE PENELITIAN ........................................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ............................................................................. 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................ 3.2.1 Bahan ................................................................................................................ 3.2.2 Alat .................................................................................................................... 3.3 Skema Rangkaian Alat Penelitian ........................................................................... 3.4 Perlakuan ................................................................................................................ 3.5 Pengukuran Pengaruh Gangguan pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Dipancarkan......................................................................................... 3.6 Tahap Penelitian...................................................................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4.1 Pengaruh Gangguan pada Audio Generator terhadap Amplitudo Gelombang Audio yang Dipancarkan ........................................................................................ 4.2 Penggunaan Rangkaian Penguat ............................................................................. 4.3 Pengukuran Amplitudo pada Tebal Lapisan Olah ..................................................
iii vi vii ix 1 1 3 3 4 4 4 6 7 7 8 10 11 11 13 13 14 14 14 16 25 25 25 25 25 35 36 37 37 45 45 46 47 iv
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... V. 5.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 5.2 Saran ....................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. LAMPIRAN ............................................................................................................
51 51 51 52 53
v
DAFTAR PERSAMAAN Halaman Persamaan 1. Persamaan 2. Persamaan 3. Persamaan 4. Persamaan 5.
Persamaan pembagi tegangan ................................................................... Persamaan penguat selisih ........................................................................ Persamaan densitas tanah .......................................................................... Persamaan wet bulk density ...................................................................... Persamaan penguat op-amp yang digunakan pada penelitian ...................
8 9 13 14 33
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1a. Gelombang transversal ................................................................................... Gambar 1b. Gelombang longitudinal ................................................................................. Gambar 2. Diagram blok alat ukur elektronik .................................................................. Gambar 3. Rangkaian pembagi tegangan ......................................................................... Gambar 4. Skema rangkaian op-amp ............................................................................... Gambar 5. Rangkaian penguat selisih .............................................................................. Gambar 6. Konfigurasi IC – 741 ...................................................................................... Gambar 7. Pembentukan tanah dari batu-batuan .............................................................. Gambar 8. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan elektroda (Nugraha, 2004) .......................................... Gambar 9. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan elektroda (Ridwan, 2005) ........................................... Gambar 10. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak penusukan ........................... Gambar 11. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (Deni, 2007) .................................................................. Gambar 12. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Deni, 2007) ...................................................................... Gambar 13. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan sudut (Deni, 2007) ................................................ Gambar 14. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan lapisan olah (Deni, 2007) ...................................................... Gambar 15. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan horizontal (Firmansyah, 2007) ....................................................... Gambar 16. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Firmansyah, 2007) ........................................................... Gambar 17. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (Firmansyah, 2007) ...................................................... Gambar 18. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (Firmansyah, 2007) ........................................... Gambar 19. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (Farizi, 2007) ................................................................ Gambar 20. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Farizi, 2007) .................................................................... Gambar 21. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (Farizi, 2007) ............................................................... Gambar 22. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (Farizi, 2007) ..................................................... Gambar 23. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (Prasetyo, 2008) ............................................................ Gambar 24. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Prasetyo, 2008) ................................................................ Gambar 25. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (Prasetyo, 2008) ........................................................... Gambar 26. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (Prasetyo, 2008) ................................................ Gambar 27. Audio generator .............................................................................................. Gambar 28. Adaptor ...........................................................................................................
4 4 7 8 9 9 10 11 15 15 15 16 17 17 18 18 19 19 20 20 21 21 22 22 23 23 24 26 26 vii
Gambar 29. Gelas ukur ...................................................................................................... Gambar 30a. Timbangan digital ......................................................................................... Gambar 30b. Timbangan Ohaus ......................................................................................... Gambar 31. Multimeter ...................................................................................................... Gambar 32. Speaker ........................................................................................................... Gambar 33a. Wadah uji...................................................................................................... Gambar 33b. Skema dimensi wadah tanah......................................................................... Gambar 34. Cawan ............................................................................................................. Gambar 35. Saringan tanah ................................................................................................ Gambar 36. Desikator ........................................................................................................ Gambar 37. Oven ............................................................................................................... Gambar 38. Rangkaian pipa silinder dengan speaker ........................................................ Gambar 39. Stabilizer ......................................................................................................... Gambar 40. Skema rangakaian penguat sinyal op-amp ..................................................... Gambar 41. Rangkaian penguat sinyal op-amp .................................................................. Gambar 42. Oscilloscope ................................................................................................... Gambar 43. Pahat ............................................................................................................... Gambar 44. Baskom ........................................................................................................... Gambar 45. Ember ............................................................................................................. Gambar 46. Diagram blok rangkaian alat penelitian .......................................................... Gambar 47. Skema rangkaian alat pada perlakuan saat pengukuran .................................. Gambar 48. Diagram alir tahap prosedur kerja pengukuran pengaruh gangguan pada audio generator terhadap amplitudo yang dipancarkan ................................. Gambar 49. Diagram alir tahap prosedur kerja pengecekan kadar air tanah awal ............. Gambar 50. Diagram alir tahap prosedur pengkondisian kadar air tanah .......................... Gambar 51. Diagram alir tahap prosedur kerja pengecekan kadar air tanah uji ................. Gambar 52. Diagram alir tahap prosedur kerja penyiapan tanah pada wadah uji .............. Gambar 53. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang audio .......... Gambar 54. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan speaker pemancar ....................................................................... Gambar 55. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang penerima langsung ......................................................................................................... Gambar 56. Grafik hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat kebisingan ................................................................... Gambar 57. Grafik perbandingan antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik dengan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan .................................................... Gambar 58. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3................................................. Gambar 59. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 ........................................................
27 27 27 28 28 29 29 29 30 30 31 31 32 32 33 34 34 35 35 36 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
46 47 48
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 10 kHz (Deni, 2007) ................................................................................................. Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 40 kHz (Firmansyah, 2007) ...................................................................................... Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 50 kHz (Farizi, 2007) ............................................................................................... Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 5 kHz (Prasetyo, 2008) ........................................................................................... Lampiran 5. Spesifikasi audio generator dan oscilloscope .............................................. Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran frekuensi dan amplitudo gelombang audio baik yang dipancarkan speaker pemancar, yang diterima speaker penerima dengan rangkaian penguat, yang diterima speaker penerima tanpa rangkaian penguat, dan hasil perhitungan menggunakan persamaan rangkaian penguat pada berbagai tingkat frekuensi ..................................... Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 0 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 0 cm, pada berbagai frekuensi ............................................................. Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 5 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 5 cm, pada berbagai frekuensi ............................................................. Lampiran 9. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 10 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm 3, TLO 10 cm, pada berbagai frekuensi ........................................................... Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 15 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm 3, TLO 15 cm, pada berbagai frekuensi ........................................................... Lampiran 11. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 20 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 20 cm, pada berbagai frekuensi ........................................................... Lampiran 12. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 0 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 0 cm, pada berbagai frekuensi ............................................................. Lampiran 13. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 5 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 5 cm, pada berbagai frekuensi ............................................................. Lampiran 14. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 10 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm 3, TLO 10 cm, pada berbagai frekuensi ........................................................... Lampiran 15. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 15 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 15 cm, pada berbagai frekuensi ........................................................... Lampiran 16. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 20 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm 3, TLO 20 cm, pada berbagai frekuensi ........................................................... Lampiran 17. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio pada berbagai frekuensi dan tingkat kebisingan ................................................................. Lampiran 18. Tabel hasil pengecekkan dan pengkondisian kadar air tanah ...................... Lampiran 19. Penurunan persamaan rangkaian penguat selisih (persamaan 2) (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008) .........................................................
55 57 59 61 63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74 75 76 77 ix
Lampiran 20. Penurunan persamaan rangkaian penguat pada penelitian ........................... Lampiran 21. Tabel hasil pengkondisian kadar air tanah 30% ........................................... Lampiran 22. Tabel hasil pengkondisian kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan 1.3 g/cm3 .......... Lampiran 23. Tabel Perbandingan volume tanah olah dan tanah tidak olah ...................... Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kerapatan Tanah Berdasarkan Persamaan 3 dan Kadar Air Tanah Berdasarkan Persamaan 5 ................................................ Lampiran 25. Jadwal Pelaksanaan Rangkaian Kegiatan Penelitian ...................................
78 79 80 81 82 83
x
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Pertanian secara luas ditunjukkan untuk menghasilkan kebutuhan papan, pangan, sandang, maupun lingkungan hidup tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga bertujuan untuk melakukan perdagangan ekspor memenuhi kebutuhan luar negeri. Kebutuhan akan hasil pertanian khususnya untuk kebutuhan pangan tidak jarang mengalami kekurangan. Hal ini terjadi dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan pangan sebagai akibat dari bertambahnya populasi manusia yang kemudian mengurangi lahan pertanian untuk dijadikan pemukiman. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut maka lahan pertanian harus diusahakan sebaik mungkin untuk mempertahankan kualitas tanah agar dapat terus digunakan dan diperoleh hasil maksimal dan output seragam. Efisiensi dalam penggunaan sumberdaya pertanian dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Pertanian modern diikuti dengan adanya penerapan teknologi pada beberapa bidang kegiatan atau melakukan perubahan metode pertanian. Salah satu metode pertanian yang kini dikembangkan adalah metode pertanian presisi (precission farming). Adapun tujuan penggunaan metode pertanian presisi pada penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tanah dan tanaman pada lahan spesifik untuk mengoptimalkan input produksi misalnya penggunaan pupuk, insektisida, air pada lahan, maupun pengolahan tanah yang sesuai. Metode pertanian presisi memerlukan informasi mengenai karakteristik tanah dari lahan yang diusahakan. Salah satu parameter karakteristik fisik tanah adalah kerapatan tanah (bulk density). Informasi mengenai kerapatan tanah menjadi penting karena berkaitan dengan daya dukung lahan untuk menjaga produktifitas lahan tersebut. Selain itu, informasi kerapatan tanah juga dapat digunakan untuk mengetahui jenis pengolahan tanah yang optimal untuk suatu lahan. Pengolahan tanah dilakukan dengan menghancurkan tanah menggunakan alat pengolah tanah sehingga tanah menjadi remah. Pengolahan tanah menyebabkan agregat tanah mempunyai kemantapan rendah (Anonimous, 1994). Jika pengolahan tanah dilakukan pada lahan terbuka dan ketika saat tersebut terjadi hujan, maka tanah dengan mudah dihancurkan dan terbawa bersama air permukaan (erosi). Selain mempercepat kerusakan sumberdaya tanah, pengolahan tanah intensif juga memerlukan biaya tinggi. Pengolahan tanah minimum menjadi target masa depan, karena pada kenyataannya tidak semua tanah memiliki kerapatan yang sama, sehingga pengolahan tanah juga harus berbeda. Pengolahan tanah yang terus-menerus mengakibatkan pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah lapisan olah, hal demikian menghambat pertumbuhan akar. Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan tanah, akhir-akhir ini diperkenalkan sistim pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage) yang diikuti oleh pemberian mulsa dapat meningkatkan produksi pertanian (Anonimous, 1994). Pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage) adalah pengolahan tanah yang dilakukan secara terbatas atau seperlunya tanpa melakukan pengolahan tanah pada seluruh areal lahan (Anonimous, 1994). Pengolahan tanah minimum pada pertanian hanya dilakukan terhadap tanah yang kondisinya tidak baik untuk tanaman. Penelitian beberapa tahun menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang terlalu sering cenderung merusak disamping dapat menjadi terlalu mahal. Apalagi pengolahan menggunakan alat-alat berat akan menyebabkan kerusakan struktur dan pemadatan tanah (Arnon, 1972 dalam Wiroatmodjo,-).
1
Pengolahan tanah minimum bertujuan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran pemukaan, mengamankan dan memelihara produktifitas tanah agar tercapai produksi yang setinggitingginya dalam waktu yang tidak terbatas, meningkatkan produksi lahan usahatani, dan menghemat biaya pengolahan tanah, waktu dan tenaga kerja (Anonimous, 1994). Beberapa cara pengolahan tanah minimum yaitu pengolahan tanah disekitar lobang tanaman, pengolahan tanah di sekitar tanaman, dan tanpa pengolahan tanah (Zero Tillage) (Anonimous, 1994). Sinukaban (1987) dalam Wiroatmodjo (-) menegaskan bahwa budidaya tanpa olah tanah dapat menekan erosi sampai sebesar 90% dan aliran permukaan sebesar 45%. Keefektifan metoda tersebut bergantung pada presentase permukaan tanah yang tertutup oleh sisa-sisa tanaman/gulma, kekasaran permukaan tanah dan guludan kecil yang terbentuk, sisa tanaman/guludan yang terbenam, dan erodibilitas tanah. Pengolahan tanah minimum dapat dilaksanakan jika kita mengetahui sifat fisik tanah, misalnya kerapatan tanah. Dengan demikian, diperlukan alat yang dapat digunakan untuk menentukan kerapatan tanah, agar pengolahan tanah dapat dilaksanakan pada bagian yang padat saja. Alat yang selama ini digunakan untuk pengukuran kerapatan tanah adalah penetrometer. Prinsip kerja penetrometer dengan mengetahui tahanan penetrasi tanah. Pengukuran tahanan penetrasi tanah dengan penetrometer praktis dan mudah dilakukan untuk lahan sempit, namun tidak praktis untuk lahan luas, selain itu masih memiliki beberapa kelemahan lain. Nilai tahanan penetrasi tanah sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah (Baver, 1978). Selain itu, pengukuran menggunakan pnetrometer tidak dapat disertai dengan data-data sifat fisik tanah, sehingga diperlukan metode lain untuk melakukan pengukuran kerapatan tanah tersebut. Kerapatan tanah suatu lahan dapat juga diketahui dengan menganalisa sifat resistansi listrik lahan tersebut. Nilai resistensi listrik tersebut diperoleh dengan cara menancapkan dua buah elektroda kedalam tanah. Penelitian yang diakukan oleh Nugraha (2004) dan Widianti (2005) menunjukkan bahwa kadar air yang semakin tinggi diikuti dengan semakin padatnya tanah, maka tegangan listriknya semakin besar dan berbanding terbalik dengan resistansinya. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa jarak penusukan antar elektroda juga mempengaruhi nilai resistansi. Jarak penusukan antar elektroda yang semakin jauh menyebabkan nilai resistansi besar dan tegangan kecil. Namun, cara ini belum mampu memberikan informasi letak lapisan padat tanah. Gelombang akustik biasa digunakan untuk pendeteksian non-destruktif. Salah satu gelombang akustik yang biasa digunakan adalah gelombang audio. Gelombang audio merupakan gelombang yang berada pada rentang gelombang sonik dan gelombang ini dapat didengar langsung menggunakan indera pendengaran manusia. Gelombang suara merupakan gelombang mekanik yang perambatannya membutuhkan perantara karena gelombang ini tidak dapat merambat pada ruang hampa (Halliday dan Resnick, 1998 dalam Prasetyo, 2008). Medium perambatannya dapat berupa padat, cair, maupun gas, sehingga gelombang audio ini sangat memungkinkan untuk pendeteksian tanah yang bertujuan untuk penentuan nilai kerapatan tanah pada lahan. Selain itu, penggunaan gelombang audio ini dapat digunakan untuk menentukan letak lapisan padat tanah pada suatu lahan. Penelitian kerapatan tanah menggunakan gelombang akustik sudah dilakukan oleh Deni (2007), Firmansyah (2007), Farizi (2007), dan Prasetyo (2008). Gelombang yang digunakan oleh masing-masing peneliti adalah gelombang akustik dengan frekuensi 10 kHz, 40 kHz, 50 kHz, dan 5 kHz. Penelitian tersebut dilakukan dengan pengamatan pada tiga perlakuan yaitu tebal lapisan olah, pemancar dan penerima yang menyudut, jarak horizontal pemancar dan penerima, dan jarak vertikal pemancar dan penerima. Penelitian tersebut menunjukkan terjadi penurunan amplitudo yang diterima dengan bartambahnya tebal lapisan olah, bertambahnya jarak pengukuran pada posisi horizontal, serta meningkatnya amplitudo yang diterima pada posisi vertikal dan posisi menyudut jika diikuti dengan meningkatnya kerapatan tanah.
2
Oscilloscope digunakan oleh peneliti terdahulu untuk memvisualisasikan hasil pengukuran. Namun, pengukuran belum dilakukan dengan variasi frekuensi pada posisi pemancar dan penerima yang dapat bergerak luas. Penelitian masih dilakukan dengan nilai-nilai dan posisi yang mewakili kondisi dilapangan, sehingga belum cukup untuk menjelaskan hubungan sifat gelombang terhadap tanah. Pengembangan dari penelitian sebelumnya dilakukan untuk memberikan hasil pengukuran yang lebih baik. Pengembangan dilakukan pada instrumen yang digunakan untuk pengukuran. Instrumen dibuat mampu bergerak luas dan perubahan frekuensi dapat dilakukan setiap saat. Frekuensi gelombang tidak statik, perbedaan ketebalan lapisan olah, serta posisi pengukuran bebas yang akan dilakukan pada penelitian ini diharapkan akan menjelaskan hubungan tersebut. Pengaruh perlakuan dilihat langsung pada monitor berupa amplitudo gelombang yang diterima. Sensor dalam teknik pengukuran dan pengaturan secara elektronik berfungsi mengubah besaran fisik menjadi besaran listrik yang proposional (Herlambang, 2010). Sensor sering digunakan untuk pendeteksian saat melakukan pengukuran. Sharon, dkk (1982) dalam Rahmat (2008) mengatakan, sensor adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyalsinyal yang berasal dari perubahan suatu energi seperti energi listrik, energi fisika, energi kimia, energi biologi, energi mekanik dan sebagainya. Berdasarkan keterangan tersebut, maka gelombang akustik dapat digunakan untuk menentukan kerapatan tanah, karena gelombang akustik merupakan gelombang mekanik dan besaran yang diukur adalah besaran fisik seperti panjang, waktu, dan lainlain. Besaran masukan pada kebanyakan sistem kendali adalah bukan besaran listrik, seperti besaran fisika, kimia, mekanis dan sebagainya. Besaran bukan listrik akan diubah terlebih dahulu menjadi suatu sinyal listrik melalui sebuah alat yang disebut transduser, sehingga dapat digunakan pada sistem pengukuran, atau sistem manipulasi atau sistem pengontrolan (Rahmat, 2008).
1.2
Ruang Lingkup
Penelitian dibatasi pada jenis tanah Latosol dengan dua variasi kerapatan tanah yaitu kerapatan tanah 1.0 gram/cm3 dipilih untuk mewakili kondisi tanah normal yang umumnya dijumpai pada lapisan atas (top soil), sedangkan kerapatan tanah 1.3 gram/cm3 dipilih untuk mewakili kondisi tanah yang mulai mengalami pemadatan, serta kadar air 30%.
1.3
Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk menindaklanjuti penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, menentukan kedalaman lapisan padat tanah menggunakan gelombang akustik. Hasil pengukuran divisualisasikan menggunakan oscilloscope untuk melakukan pengolahan dan mempresentasikan hasil pengukuran. Hasil pengukuran ditunjukkan dengan keluaran berupa amplitudo pada berbagai tingkat frekuensi dan perlakuan tebal lapisan olah, serta posisi bebas rangkaian pemancar dan penerima. Penelitian dilakukan untuk skala laboratorium. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui amplitudo gelombang akustik yang diterima akibat pantulan ataupun rambatan oleh medium tanah dengan perlakuan tebal lapisan olah. 2. Pembuatan instrumen untuk pengukuran objek yang digunakan pada penelitian.
3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Gelombang
Halliday dan Resnick (1998), mendefinisikan gelombang sebagai sebuah gangguan periodik dalam suatu medium atau ruang. Gelombang dapat diartikan juga sebagai bentuk dari getaran yang merambat pada suatu medium. Dalam hal ini yang merambat adalah gelombangnya, bukan zat medium perantaranya. Arifin (2001) secara umum mendefinisikan gejala gelombang sebagai peristiwa perambatan energi dari satu tempat ketempat yang lain. Secara umum gelombang diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu gelombang mekanik dan gelombang elektromagnetik. Gelombang mekanik memerlukan suatu medium untuk merambat sedangkan gelombang elektromagnetik tidak memerlukan medium untuk merambat (Trisnobudi, 2006). Persamaan gelombang mekanik dapat diturunkan dari persamaan gerak Newton, sedangkan persamaan gelombang elektromagnetik dapat diturunkan dari persamaan Maxwell (Trisnobudi, 2006). Contoh dari gelombang mekanik adalah gelombang pada tali dan gelombang akustik, sedangkan contoh dari gelombang elektromagnetik adalah gelombang radio dan gelombang cahaya. Gelombang berdasarkan arah rambatannya dibagi menjadi gelombang transversal dan gelombang longitudinal. Gelombang dapat dikelompokkan menjadi gelombang trasnversal jika partikel-partikel mediumnya bergetar ke atas dan ke bawah dalam arah tegak lurus terhadap gerak gelombang, sedangkan dikatakan gelombang longitudinal jika arah getaran medium sejajar dengan arah rambat gelombang (Lohat, 2008).
2.2
Gelombang Akustik
Gelombang akustik adalah sebuah gangguan mekanika yang terkoordinasi yang melibatkan sejumlah banyak molekul, dimana molekul-molekul tersebut bergerak dan bertumbukan ketika sebuah gangguan gelombang datang dan melewatinya (Kane dan Sternheim, 1988). Gelombang akustik dapat merambat baik dalam fluida maupun dalam padatan. Dalam fluida gelombang akustik merupakan gelombang longitudinal, sedangkan dalam padatan gelombang akustik dapat berupa gelombang longitudinal dan gelombang transversal (Trisnobudi, 2006). Sifat-sifat dari gelombang akustik bergantung pada sifat-sifat dari medium yang dilewatinya (Trisnobudi, 2006). Perambatan gelombang dari kedudukan awal kekedudukan lain yang masih berada pada arah perambatan gelombang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Gelombang transversal (a), gelombang longitudinal (b), dan grafik yang menyatakan komponen dari masing-masing gelombang (Kane dan Sternheim, 1988).
4
Gelombang akustik bila dalam penjalarannya melewati suatu bidang batas (boundary) antara dua medium yang berbeda impedansi akustiknya maka akan terjadi peristiwa-peristiwa gelombang seperti pemantulan (refleksi), transmisi, dan pembiasan (refraksi) (Trisnobudi, 2006). Impedansi pada dasarnya adalah gabungan dari segala jenis hambatan pada sinyal langsung dari sebuah aliran listrik, seperti resistansi, reaktansi, kapasitansi dan seluruh faktor mekanikal yang menimbulkan hambatan dari transfer energi dalam sebuah sistem (Sari, 2009). Impedansi dipengaruhi oleh frekuensi sehingga sifatnya berubah-ubah (Sari, 2009). Makin besar impedansi akustiknya, makin besar pula amplitudo yang dipantulkan (Trisnobudi, 2006). Kane dan Sternheim (1988) menjelaskan juga bahwa menurut frekuensinya, gelombang akustik dapat dikelompokan menjadi tiga jenis gelombang yaitu gelombang infrasonik, gelombang sonik, dan gelombang ultrasonik. Berikut dijelaskan mengenai ketiga jenis gelombang tersebut, antara lain: 1. Gelombang Infrasonik Gelombang infrasonik dalah gelombang akustik yang mempunyai frekuensi sangat rendah sehingga tidak dapat didengar langsung oleh telinga manusia. Gelombang infrasonik memiliki batasan frekuensi kurang dari 20 Hz. Contoh gelombang infrasonik adalah suara ikan lumba-lumba. 2. Gelombang Sonik Gelombang sonik merupakan gelombang audio yang dapat didengar langsung oleh indera pendengaran manusia (audible range). Frekwensi gelombang ini berada pada rentang antara 20 Hz sampai dengan 20 000 Hz. Contoh gelombang sonik adalah suara manusia. 3. Gelombang Ultrasonik Gelombang ultrasonik adalah gelombang akustik yang mempunyai frekuensi diatas 20 000 Hz. Gelombang ini tidak dapat didengar langsung oleh telinga manusia. Contoh gelombang ultrasonik adalah suara kelelawar. Gelombang ultrasonik sudah banyak digunakan pada berbagai peralatan, baik peralatan medis untuk pendeteksian bagian dalam tubuh, maupun peralatan tambahan pada alat transportasi, baik transportasi darat, air, maupun udara. Peralatan medis misalnya, digunakan alat ultrasonografi (USG) untuk pendeteksian kehamilan. Penggunaan gelombang ultrasonik pada alat transportasi juga banyak digunakan, pada transportasi darat gelombang ultrasonik banyak digunakan sebagai alat pendeteksi jarak, pada alat transportasi laut gelombang ultrasonik banyak digunakan untuk pendeteksian lingkungan sekitar yang dilalui, dan pada alat transportasi udara gelombang ultrasonik banyak digunakan untuk pendeteksian ketinggian terbang. Prinsip yang digunakan pada peralatan tersebut adalah sama yaitu dengan membangkitkan gelombang ultrasonik oleh audio generator dan memancarkannya ke obyek lewat transducer kemudian menunggu kapan gelombang tersebut diterima oleh receiver. Gelombang yang diterima dikuatkan kembali lewat rangkaian op-amp kemudian diteruskan ke oscilloscope agar nilainya bisa diamati pada LCD. Menurut Halliday dan Resnick (1998) dalam Deni (2007), gelombang bunyi adalah gelombang mekanis longitudinal. Bunyi terjadi karena adanya kompresi dan penipisan udara disekitarnya secara bergantian. Gelombang bunyi memerlukan media perantara untuk perambatannya. Media perantara yang digunakan untuk perambatan galombang tersebut dapat berupa media padat, cair maupun gas. Pertikel-partikel media yang mentransmisikan sebuah gelombang seperti itu berosilasi di dalam arah penjalaran gelombang itu sendiri. Penjalaran pada suatu media elastis terjadi karena adanya pergeseran dari suatu bagian media elastis dari kedudukan normalnya. Suatu gelombang mekanis
5
dicirikan oleh pengangkutan tenaga melalui materi gerak oleh gerak gangguan di dalam materi tersebut tanpa suatu gerak menggumpal yang bersangkutan dari materi itu sendiri. Menurut Kane dan Sternheim (1988), biasanya bila sebuah gelombang melewati bidang batas (boundary), yakni suatu titik dimana media itu berubah, maka sebagian gelombang itu akan direfleksikan dan sebagian lagi akan diserap atau ditransmisikan. Gelombang yang ditransmisikan pada suatu medium akan mengalami pengurangan amplitudo dan intensitas yang menunjukan adanya pengurangan energi gelombang tersebut. Pengurangan amplitudo dapat disebabkan karena adanya hambatan udara, perbedaan viskositas, atau gesekan (internal friction). Jika hal tersebut terjadi maka gelombang tersebut dapat dikatakan diatenuasi (Halliday dan Resnick, 1998). Analisis gelombang audio dilakukan dengan cara mentransmisikan gelombang pada suatu obyek dan mendeteksi gelombang pantulan dari obyek atau mendeteksi gelombang yang ditransmisikan oleh obyek tersebut. Pengukuran amplitudo gelombang audio pada alat peraga dilakukan dengan cara mengukur besarnya simpangan terjauh gelombang dari sumbu kesetimbangan. Nilai amplitudo pengukuran akan memiliki satuan besaran listrik, yaitu milivolt (mV). Perubahan besaran fisik menjadi besaran listrik dilakukan oleh receiver yang berperan sebagai sensor penerima. Perubahan-perubahan pada amplitudo gelombang audio yang terukur pada alat peraga digunakan untuk menganalisis tipe obyek yang ada.
2.3
Kebisingan
Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan, saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab “penyakit lingkungan” yang penting (Slamet, 2006). Sedangkan kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitas-aktifitas alam (Schilling, 1981). Pengertian yang sama juga dikatakan oleh Daud dan Anwar (2002), yang mendefinisikan bising sebagai bunyi yang tidak dikehendaki (unwanted sound) dan terdiri dari campuran sejumlah gelombang sederhana dari beraneka frekuensi. Di bidang elektronik, fisiologi persarafan dan teori komunikasi bising bermakna sebagai tanda-tanda tidak dikenal yang intensitasnya selalu berubahubah sepanjang waktu. Perkataan bising dipakai juga dalam bidang suara, tetapi di sini diartikan sebagai sebuah energi akustik pendengaran yang pengaruhnya merugikan secara fisiologi atau psikologi bagi kesejahteraan masyarakat. Anies (2005) menambahkan bahwa semakin tinggi intensitas kebisingan, maka potensi untuk menimbulkan berbagai gangguan semakin besar. Ini sesuai dengan definisi bising yang umum menurut Kryter (1985) yaitu suara yang tidak diinginkan. Suma’mur (1993) mengemukakan menurut jenisnya kebisingan dibedakan sebagai berikut: 1. Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dengan spektrum berfrekuensi luas misal: suara yang timbul oleh kompresor, kipas angin, dapur pijar serta spektrum yang berfrekuensi sempit contoh: suara gergaji sirkuler, katup gas. 2. Kebisingan terputus-putus misal suara lalu lintas, suara pesawat udara yang tinggal landas. 3. Kebisingan implulsif (impulsive noise) seperti: pukulan martil, tembakan senapan, ledakan meriam dan lain-lain. Buchari (2007) mengemukakan bising berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia dapat dibagi atas: 1. Bising yang mengganggu (irritating noise) yaitu bising yang tidak terlalu keras. 2. Bising yang menutupi (masking noise) yaitu bunyi yang menutupi suara. Suara lain akan tenggelam dalam bising. 3. Bising yang merusak (damaging/injurious noise) yaitu bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas pendengaran. 6
Sound level meter adalah alat yang biasa digunakan untuk mengetahui intensitas bising. Sound level meter bekerja sama seperti alat penguat suara. Mekanisme kerja Sound level meter apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk. Sound Level Meter dapat mengukur intensitas kebisingan antara 40-130 dBA pada frekuensi 20 – 20.000 Hz. Pada waktu pengukuran Sound Level Meter di pasang setinggi telinga. Pengendalian kebisingan merujuk pada penataan bunyi menurut Satwiko (2004) akan melibatkan empat elemen yaitu sumber suara (sound source), media, penerima bunyi (receiver), dan gelombang bunyi. Menurut Egan (1988) dalam Setiawan (2009) pengurangan kebisingan dapat dilakukan pada tiga aspek yaitu sumber (source), media (sound path), dan penerima (receiver).
2.4
Alat Ukur Elektronik
Elektronika adalah cabang dari ilmu fisika yang mempelajari pengendalian elektron dan pengaturan arus listrik maupun tegangan listrik pada suatu rangkaian (Harry Garlans, 1991 dalam Deni, 2007) atau elektronika adalah cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempelajari teori dan penggunaan kelas peralatan dimana penyaluran elektron terjadi lewat hampa, gas, atau semikonduktor (Chattopadhyay, 1984 diterjemahkan Sutanto, 1989). Cabang elektronika yang berhubungan dengan aliran elektron dalam hampa, gas, atau benda padat dinamakan elektronika fisika (Chattopadhyay, 1984 diterjemahkan Sutanto, 1989). Sebaliknya, cabang elektronika yang berkaitan dengan perencanaan, pengembangan, dan penggunaan peralatan elektronika dinamakn teknik elektronika (Chattopadhyay, 1984 diterjemahkan Sutanto, 1989). Menurut Srivastava (1987), alat ukur elektronik harus mampu memberikan hubungan antara besaran secara fisis. Pada dasarnya alat ukur elektronik terdiri dari 3 bagian utama yaitu sistem pengindera, sistem penguat dan sistem peraga. Skema rangkaian secara sederhana digambarkan pada Gambar 2.
Sistem pengindera
Sistem penguat
Sistem peraga
Gambar 2. Diagram blok alat ukur elektronik (Hamonangan, 2008 dalam Prasetyo, 2008)
1.
Sistem Pengindera
Sistem pengindera merupakan bagian awal yang mendeteksi perubahan fisik dari suatu objek. Pada rangkaian elektronik sistem pengindera digunakan untuk mengubah besaran fisis menjadi besaran listrik. Besaran fisis yang diukur pada penelitian seperti suhu, cahaya, massa benda dan sebagainya merupakan fenomena alam yang tidak berupa sinyal listrik. Untuk menerapkan metode dan teknik pengukuran elektronika maka fenomena tersebut harus diubah menjadi sinyal listrik terlebih dahulu dengan bantuan sistem pengindera. Unsur pengindera primer merupakan unsur pertama yang mendeteksi karakterik dari obyek yang diukur dan menghasilkan keluaran-keluaran berupa besaran listrik dalam batas-batas tertentu (Srivastava, 1987). Unsur pengindera primer dapat berupa transduser. Transduser adalah komponen elektronika yang bertugas mengubah besaran non-elektrik menjadi besaran elektrik dan begitu juga sebaliknya (Pratomo, 2004 dalam Deni, 2007). Kelompok dari transduser adalah sensor. Sensor berfungsi untuk mengubah besaran non-elektrik menjadi besaran elektrik, misalnya sensor suhu yang mengubah besaran suhu (fisik) menjadi besaran tegangan atau kuat arus (elektrik).
7
Sensor adalah jenis tranduser yang digunakan untuk mengubah besaran mekanis, magnetis, panas, sinar, dan kimia menjadi tegangan dan arus listrik, sedangkan transduser adalah sebuah alat yang bila digerakan oleh suatu energi di dalam sebuah sistem transmisi, akan menyalurkan energi tersebut dalam bentuk yang sama atau dalam bentuk yang berlainan kesistem transmisi berikutnya. Transmisi energi ini bisa berupa listrik, mekanik, kimia, optik (radiasi) atau termal (panas) (William, 1993 dalam Rahmat, 2008). Dalam kaitannya dengan sistem elektronik, Sensor dan transduser pada dasarnya dapat dipandang sebagai sebuah perangkat atau device yang berfungsi mengubah suatu besaran fisik menjadi besaran listrik, sehingga keluarannya dapat diolah dengan rangkaian listrik atau sistem digital (Setiawan, 2009). Bentuk dari sistem pengindera yang banyak digunakan adalah rangkaian pembagi tegangan. Adapun gambar dari rangkaian pembagi tegangan dapat dilihat pada Gambar 3 (resistor tersusun seri): Vin
Gambar 3. Rangkaian pembagi tegangan (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008) Persamaan 1 digunakan untuk menghitung besarnya tegangan pada titik output, dimana tegangan pada titik output itu sendiri bergantung pada nilai resistor yang digunakan. Persamaan 1 adalah sebagai berikut:
R2 Vout Vin ............................................................................................(1) R1 R 2 Dimana Vin adalah tegangan sumber, Vout adalah tegangan keluar, dan R adalah resistor yang digunakan. Karena nilai dari tegangan sumber yang diberikan adalah tetap sehingga nilai dari tegangan keluar bergantung pada resistor yang digunakan.
2.
Sistem Penguat
Sistem penguat pada peralatan elektronika berfungsi untuk menguatkan perubahan dari besaran yang diterima sehingga perubahan yang kecil sekalipun dapat di ukur dengan lebih teilti. Penguat yang operatif memilik dua jalan masuk (input). Satu jalan diberi tanda (+) dan disebut jalan masuk penguat non inversi (non inverting) dan satu jalan yang lain ditandai (-) disebut jalan masuk penguat inversi (inverting) (Putra, 2002 dalam Deni, 2007). Operational Amplifier, sering disingkat dengan sebutan Op-Amp, merupakan komponen yang penting dan banyak digunakan dalam rangkaian elektronik berdaya rendah (low power). Istilah operational merujuk pada kegunaan op-amp pada rangkaian elektronik yang memberikan operasi aritmatik pada tegangan input (atau arus input) yang diberikan pada rangkaian. Op-amp digambarkan secara skematik seperti Gambar 4.
8
Gambar 4. Skema rangkaian op-amp Penguat inversi sinyal masuk dibuat melaui input inverting, sedangkan pada penguat noninversi sinyal masuk dibuat melalui input non-inverting.. Fase keluaran dari penguat inversi akan selalu berbalikan dengan sinyal input. Dengan demikian tegangan keluaran rangkaian ini akan satu fasa dengan tegangan input. Penguat op-amp merupakan penguat difrensial dengan penguatan tak hingga. Penguat difrensial mempunyai dua masukan, voltase keluaran tergantung dari perbedaan potensial antara kedua masukannya (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008). Op-amp pada hakekatnya adalah sebuah IC yang didalamnya terdapat rangkaian elektronik terdiri atas beberapa resistor, transistor, dan dioda. Jika IC dirangkaikan dengan rangkaian masukan dan rangkaian umpan balik, maka IC dapat dipergunakan untuk mengerjakan berbagai operasi misalnya penguat audio, penguat nada, oscillator, pembangkit gelombang, dan cirkuit. Penguat selisih yang sering digunakan ditunjukkan dalam bentuk rangkaian penguat selisih seperti Gambar 5 dan penguatannya dapat diselesaikan dengan Persamaan 2.
Gambar 5. Rangkaian penguat selisih (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008)
Rf 2 R1 Rf 1 Rf 1 Vout Vin2 Vin1 ................................(2) R1 Rf 2 R 2 R1 Penggunaan penguat selisih bertujuan untuk mendapatkan selisih dari penguatan inverting dan non-inverting, dengan cara memperbesar frekuensi masuk (Vin) sehingga keluaran (Vout) frekuensi dapat langsung divisualisasikan oleh sistem peraga. Frekuensi yang masuk ke sistem peraga tidak semuanya berfrekuensi tinggi, sehingga kapasitor non-polar perlu digunakan untuk memfilter frekuensi rendah dari masukan (Vin). Dengan demikian akan diperoleh frekuensi tinggi seragam.
9
Penguat selisih dibangun menggunakan sebuah IC (Integrated Circuit) dan komponenkomponen eksternal lainnya. IC 741 digunakan pada penelitian karena memiliki dua buah op-amp didalamnya. Konfigurasi IC 741 ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Konfigurasi IC - 741 (Thomas S, 2002: 101 dalam Zamroni, 2005) Konfigurasi kaki-kaki IC 741 yaitu input membalik (–in) (inverting), input tak membalik (+in) (non inverting), satu terminal output, kaki pencatu daya positif, kaki pencatu daya negatif, dua kaki ground (null), dan kaki tak terhubung. Seperti terlihat pada Gambar 6 yaitu dua kaki ground terhubung dengan ground pencatu daya, kaki inverting terhubung dengan speaker penerima, kaki noninverting terhubung dengan audio generator, kaki tegangan positif terhubung dengan tegangan positif pencatu daya, kaki tegangan negatif terhubung dengan tegangan negatif pencatu daya, satu buah kaki tidak terhubung, dan kaki output terhubung dengan hardware ADC. Tegangan positif V+ merupakan tegangan positif terhadap ground dan tegangan negatif V– adalah tegangan lebih negatif terhadap ground. Karena isyarat keluaran bisa berharga positif dan negatif maka Op-Amp memerlukan catu daya dengan dua polaritas yang sama besar dan simetrik terhadap ground (Zamroni, 2005). Besar catu daya yang akan diberikan pada rangkaian adalah 12 volt. Vout merupakan keluaran dari sistem penguatan yang akan diteruskan kesistem peraga. Masukan Op-Amp yang berlabel inverting (–) dan non inverting (+) merupakan masukan bedaan (difference input). Umumnya sinyal masukan diberikan ke salah satu masukan. Adapun masukan yang lain digunakan untuk mengendalikan karakteristik komponen. Penguatan antara keluaran dan masukan inverting adalah negatif (membalik polaritas) sedangkan penguatan antara keluaran dan masukan non inverting adalah positif (tak membalik polaritas) (Zamroni, 2005). Pin offset null digunakan untuk menghilangkan tegangan ingsutan (offset) ke keluaran akibat ketidak sepadanan transistor pada penguat keadaan masukan. Dengan menghubungkan kedua pin null ke ujung potensiometer, sementara lengan potensiometer yang lain dihubungkan ke catu V– diatur untuk menghilangkan tegangan ingsutan tersebut (Thomas S, 2002: 101 dalam Zamroni, 2005).
3.
Sistem Peraga
Sistem peraga digunakan untuk memvisualisasikan besaran hasil pengukuran. Sistem peraga diperlukan untuk membantu pengguna mengetahui nilai dari suatu besaran yang diukur. Beberapa besaran listrik seperti arus dan tegangan dapat langsung dirasakan oleh sistem indera manusia namun, belum bisa diketahui pasti nilainya. Hasil pengukuran besaran listrik harus divisualisasikan dengan baik agar dimengerti oleh pengguna, sehingga dibutuhkan sistem peraga untuk membantu hal tersebut. Jika tidak menggunakan alat bantu berupa sistem peraga, maka akan sulit diperoleh data akurat untuk
10
bisa dibuktikan. Sistem peraga yang saat ini banyak digunakan untuk menunjukan hasil pengukuran adalah menggunakan sistem analog yang umumnya menggunakan pergerakan jarum penunjuk ataupun dengan suatu sistem digital yang dapat memberikan keluaran berupa besaran angka dan huruf. Oscilloscope merupakan instrumen sistem peraga yang juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan besaran listrik seperti arus, tegangan, daya maupun yang lainnya, sehingga dapat dimengerti oleh indera manusia. Oscilloscope digunakan untuk mengamati bentuk gelombang dan melakukan pengukuran secara visual. Adapun prinsip kerja oscilloscope adalah elektron dipancarkan dalam berkas elektron berkecepatan tinggi. Berkas elektron tersebut bergerak lewat ruang hampa dari tabung dan membentur layar pendar (flourensen), sehingga titik cahaya timbul di tempat pada layar dimana elektron membentur. Lintasan berkas elektron tersebut dapat dibelokkan oleh tegangan yang diberikan. Biasanya sinyal yang di pantau membelokkan titik menurut arah vertikal dilayar dan tegangan lain yang sebanding dengan waktu membelokkan titik secara horizontal. Akibatnya peragaan visual dari sinyal dapat dimungkinkan (Srivastava, 1987).
2.5
Software (Perangkat lunak)
Perangkat lunak adalah istilah umum untuk data yang diformat dan disimpan secara digital, termasuk program komputer, dokumentasinya, dan berbagai informasi yang bisa dibaca dan ditulis oleh komputer. Dengan kata lain, bagian sistem komputer yang tidak berwujud (wikipedia.org, 2011). Perangkat lunak digunakan untuk membantu pengolahan data. Pengolahan data dapat dilakukan menggunakan beberapa software aplikasi, sehingga diharapkan dapat memberikan hasil lebih baik.
2.6
Tanah
Tanah merupakan sistem tiga fase yang mengandung air, udara, bahan-bahan mineral dan organik serta jasad-jasad hidup, yang karena pengaruh berbagai faktor lingkungan terhadap permukaan bumi dan kurun waktu, membentuk berbagai hasil perubahan yang memiliki ciri-ciri morfologi yang khas, sehingga berperan sebagai tempat tumbuh bermacam-macam tanaman (Schoeder, 1972 dalam Hakim dkk, 1986). Dalam bidang pertanian, tanah diartikan sebagai media tumbuh bagi tanaman darat (Sarwono dkk, 1987). Tanah yang terbentuk dipermukaan bumi secara langsung ataupun tidak, berkembang dari bahan mineral dari batu-batuan (Hakim, 1986). Melalui proses pelapukan, baik secara fisis maupun kimia dibantu oleh pengaruh atmosfer, maka batu-batuan berdisintegrasi dan terdisintegrasi menghasilkan bahan induk lepas, dan selanjutnya dibawah pengaruh proses-proses podogenik berkembang menjadi tanah (Hakim, 1986). Proses pembentukan tanah dibawah kondisi tropis dimana suhu tinggi dan curah hujan besar, berlangsung cepat dan berbeda dengan pembentukan tanah didaerah temperate (Hakim, 1986). Proses pembentukan tanah dari batu-batuan dapat diringkas seperti pada Gambar 7. Batu-batuan dan mineral-mineral
Pelapukan
Bahan induk
Ganesa tanah
Profil tanah
Gambar 7. Pembentukan tanah dari batu-batuan Jika hasil pelapukan masih berada di tempat asalnya, maka tanah ini disebut tanah residual (residual soil) dan apabila telah berpindah tempatnya, disebut tanah terangkut (transported soil) (Hardiyatmo, 1955 dalam Prasetyo, 2008). 11
Latosol merupakan salah satu jenis tanah. Tanah ini terdapat hampir diberbagai tampat dan merupakan contoh tanah yang sudah terganggu. Tanah jenis latosol berada pada ketebalan antara 130 mm sampai dengan 500 mm, batas horizon jelas, warna merah, coklat sampai kuning, pH tanah 4.5 – 6.5 dengan tekstur tanah liat dan struktur renah, daya menahan air cukup baik dan cukup baik menahan erosi (Administrator, 2010). Menurut Braja (1986) dalam Prasetyo (2008) tanah jenis latosol terbentang luas disekitar garis khatulistiwa. Tanah jenis ini berwarna merah (sebagai cirinya) yang disebabkan oksidasi dan besi yang ada. Tanah jenis latosol mempunyai sifat fisik yang baik (struktur) tetapi berkemampuan rendah untuk menahan kation (sangat mirip dengan tanah berpasir) dan membutuhkan pemberian pupuk yang agak sering. Tanah memiliki berbagai macam sifat yang sangat berhubungan dengan kondisi tanah yaitu: sifat fisik, mekanik, dan kimia. Sifat fisik tanah merupakan sifat yang paling mudah diamati dan dari sifat ini sebagian besar kondisi tanah sudah dapat diketahui. Sifat fisik tanah yang penting untuk diketahui adalah tekstur, struktur, konsistensi, densitas, serta permeabilitas tanah. Masing-masing sifat fisik tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Tekstur Tanah Tekstur tanah dalam pengertian umum adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan (Das, 1993 dalam Deni, 2007). Tekstur tanah tertuju pada besarnya butir-butir mineral, terutama pada perbandingan relatif berbagai golongan dari tanah tertentu (Buckman, 1982 dalam Prasetyo, 2008). Menurut Kalsim dan Asep (1993) dalam Prasetyo (2008), analisa tekstur tanah dapat dilakukan dengan granulometri. Suatu contoh tanah yang dikeringkan, secara hati-hati dihaluskan dan dipisahkan ke dalam grup ukuran melalui ayakan bertingkat sampai diameter terkecil 50 m. Kelompok partikel tanah yang tertinggal pada masing-masing ayakan disebut fraksi tanah. 2.
Struktur Tanah Struktur tanah adalah permasalahan yang ditimbulkan oleh susunan butir-butir tanah dalam berbagai golongan dan agregat (Buckman, 1982 dalam Prasetyo, 2008). Struktur tanah dapat menentukan sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air serta sifat-sifat mekanik dari tanah (Kalsim dan Asep, 1993 dalam Prasetyo, 2008). 3.
Konsistensi Tanah Konsistensi tanah dipandang sebagai kombinasi sifat yang dipengaruhi oleh kekuatan mengikat antara butir-butir tanah. Konsistensi tanah ialah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan fisik tanah dengan kandungan air yang berbeda-beda seperti yang diperlihatkan oleh reaksi tanah atas tekanan-tekanan mekanik (Buckman, 1982 dalam Prasetyo, 2008). Batas-batas yang sering digunakan untuk menggambarkan konsistensi tanah adalah batas cair, batas plastis dan batas melekat. Batas cair adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis. Batas plastis adalah kadar air pada batas bawah daerah plastis. Sedangkan batas melekat adalah kadar air dimana massa tanah mulai tidak melekat pada benda-benda yang mengenainya (Braja, 1986 dalam Prasetyo, 2008). 4.
Densitas Tanah Densitas tanah (bulk density) adalah total massa tanah dibagi dengan volume tanah (Vt). Namun, total massa akan sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang masih terkandung di dalam tanah, sehingga tanah tersebut perlu dikeringkan terlebih dahulu. Tanah yang telah dikeringkan disebut
12
dengan massa tanah kering. Pengeringan tanah dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 105 ˚C selama 24 jam. Selanjutnya, dari massa tanah kering yang diperoleh dapat ditentukan nilai kerapatan tanah kering (Db) dengan cara membagi massa tanah kering (Ms) tersebut terhadap volumenya. Persamaan yang menggambarkan hal tersebut ditunjukkan pada Persamaan 3. Db = Ms / Vt .................................................................................................................... (3) Nilai Db bervariasi dari 1000 sampai 1800 kg/m3. Bulk density akan semakin rendah apabila partikel tanah semakin halus atau kandungan bahan organik tanah semakin tinggi. 5.
Permeabilitas Tanah Permeabilitas tanah adalah kecepatan air menembus tanah pada periode tertentu. Besarnya permeabilitas tanah ditentukan oleh koefisien permeabilitas yang mempunyai satuan yang sama dengan satuan kecepatan yaitu m/s. Koefisien permeabilitas terutama tergantung pada ukuran rata-rata pori yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah. Secara garis besar makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran pori dan makin rendah koefisien permeabilitasnya (Craig, 1991 dalam Deni, 2007).
2.7
Pemadatan Tanah
Pemadatan (compaction) adalah proses naiknya kerapatan tanah dengan memperkecil jarak antar partikel sehingga terjadi reduksi volume udara tetapi tidak terjadi perubahan volume air yang cukup berarti pada tanah ini (Craig, 1991 dalam Deni, 2007). Pemadatan tanah dapat diberi batasan sebagai perubahan volume karena tanah diberi tekanan (Islami dan Utomo, 1995 dalam Prasetyo, 2008). Lumintang dan Imam (1982) dalam Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa tanah yang mendapat tekanan di atasnya akan mengalami perubahan volume. Tekanan ini dapat bersifat mekanis (mechanical sources) dan alam (natural sources). Menurut Islami dan Utomo (1995) dalam Deni (2007), aerasi tanah (kandungan O2 dan CO2 di dalam tanah) sangat mempengaruhi sistem perakaran suatu tanaman. Aerasi sangat berhubungan dengan bobot volume tanah yang sering digunakan sebagai petunjuk kepadatan tanah. Pada suatu tanah padat kerusakan atau kematian akar disebabkan oleh berkurangnya atau tidak adanya oksigen atau bahkan mungkin disebabkan oleh akumulasi karbondioksida. Pemadatan merupakan salah satu hambatan mekanis yang diberikan tanah yang dapat mempengaruhi sistem perakaran. Perkembangan akar akan terhambat dengan semakin meningkatnya hambatan mekanis atau kepadatan tanah. Jika akar tanaman yang sedang tumbuh menjumpai media padat berpori yang diameternya lebih kecil dari diameter akar, pertumbuhannya akan tetap berlanjut jika akar tamanan mempunyai tekanan untuk memperbesar ruang pori. Pada pihak lain, tekanan tumbuh akan mempunyai nilai maksimum tertentu yang tidak lagi dapat diperbesar. Dengan demikian jika rintangan mekanik yang terdapat pada media tersebut lebih besar dari tekanan tumbuh maksimum akar maka pertumbuhan tanaman akan terhenti (Islami dan Utomo, 1995 dalam Prasetyo, 2008).
2.8
Pengukuran Kepadatan Tanah
Kepadatan tanah dapat diukur dengan beberapa cara yaitu metode densitas tanah (bulk density) dan metode tahanan penetrasi (penetrometer resistance). Kedua metode ini dijelaskan sebagai berikut:
13
1.
Bulk Density
Menurut Lumintang dan Imam (1982) dalam Deni (2007), tingkat kepadatan tanah dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu: void ratio, porosity, bulk density dan specific gravity. Namun yang umum digunakan dalam perhitungan sejauh ini adalah bulk density yang juga merupakan istilah lain dari kerapatan tanah, yaitu perbandingan antara berat tanah kering terhadap volume. Dalam penentuan tingkat kepadatan tanah menggunakan metode bulk density dikenal pula istilah densitas tanah kering (dry bulk density) atau densitas tanah basah (wet bulk density) yang biasa digunakan dalam perhitungan. Densitas tanah kering diukur sesudah tanah dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 105oC, sedangkan densitas tanah kering diukur sebelum dilakukan proses pengeringan. Penentuan wet bulk density dilakukan dengan mengukur berat isi tanah sebuah tabung silinder yang diketahui beratnya Wa (gram) dan isinya I (cm3) dimasukan kedalam tabung silinder sampai terisi penuh dengan tanah. Permukaan tabung silinder diratakan, diangkat kemudian ditimbang. Berat tanah dan tabung silinder adalah Wb (gram). Besarnya nilai wet bulk density dan dry bulk density ditentukan dengan cara yang sama yaitu dengan membagi berat terhadap volume. Besarnya nilai wet bulk density dapat dihitung menggunakan Persamaan 4.
Wet Bulk density
Wb Wa ...................................................................................(4) I
Bulk density dinyatakan dalam dalam basis kering. Sehingga contoh tanah dari lapang harus dimasukan dalam oven dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 105 oC dahulu. Berat kering ini kemudian dibagi dengan volume silider dan didapatkan dry bulk density.
2.
Penetrometer Resistance
Penetrometer resistance merupakan salah satu cara untuk menentukan besarnya kepadatan tanah dengan unit kgf/cm2. Hasil pengukuran dapat langsung terbaca pada alat tersebut dengan satuan pembacaan kg. Nilai Cone Index yang diperlukan untuk menentukan besarnya kepadatan tanah adalah hasil bagi antara hasil pembacaan skala pada alat dengan luasan cone (cm2) (Lumintang dan Imam, 1982 dalam Deni, 2007). Menurut Hardiyatmo (1955), cara penggunaan penetrometer ialah dengan jalan menekan atau memukul stang bor yang mempunyai ujung khusus ke dalam tanah. Kemajuan masuk ke dalam tanah diukur besarnya gaya yang diartikan sebagai indikasi mengenai kekuatan tanah tersebut.
2.9
Resistansi Listrik Pada Tanah
Giancoli (1991) dalam Prasetyo (2008), menjelaskan bahwa berapa besarnya aliran listrik dalam sebuah kabel tidak hanya bergantung pada tegangan listriknya tetapi juga pada resistansinya. Semakin tinggi resistansi, semakin rendah tegangan listrik yang terjadi. Penelitian mengenai sifat resistansi listrik pada tanah telah dilakukan oleh Nugraha (2004), Ridwan (2005), dan Widianti (2005). Perlakuan dalam penelitian tersebut adalah jarak antar elektroda, kedalaman penusukan elektroda, bulk density, kadar air. Perbedaan pada kedua penelitian yaitu antara Nugraha (2004) dan Ridwan (2005) terdapat pada penusukan elektroda. Nugraha (2004) melakukan penusukan elektroda dari atas penampang tanah sedangkan Ridwan (2005) melakukan penusukan elektroda dari samping penampang tanah. Hasil penelitian Nugraha (2004) dan Ridwan (2005) masing-masing ditunjukkan
14
pada Gambar 8 dan Gambar 9, sedangkan hasil penelitian Widianti (2005) ditunjukkan seperti pada Gambar 10.
Gambar 8. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan elektroda (sumber: Nugraha, 2004).
Gambar 9. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan elektroda (sumber: Ridwan, 2005).
Gambar 10. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak penusukan (sumber: Widianti, 2005).
15
Penelitian Nugraha (2004), Ridwan (2005), dan Widianti (2005) menyimpulkan bahwa semakin besar jarak elektroda maka nilai resistansi listriknya semakin besar dan nilai tegangan listriknya semakin kecil. Semakin tinggi tingkat kadar air yang diikuti dengan semakin rendahnya nilai bulk density suatu tanah nilai resitansi listriknya semakin kecil dan nilai tegangan listriknya semakin besar. Dari penelitian Nugraha (2004) diperoleh nilai resistansi rata-rata tertinggi terjadi pada bulk density 0.8 gr/cm3 dengan kadar air 15%, yaitu sebesar 605.3 kOhm. Nilai resistansi rata-rata terendah terjadi pada bulk density 0.8 gr/cm3 dengan kadar air 40%, yaitu sebesar 7.2 kOhm. Nilai resistansi rata-rata tertinggi terjadi pada jarak antar elektroda 16 cm dengan kedalam penusukan elektroda 12 cm, yaitu sebesar 214.7 kOhm. Nilai resistansi rata-rata terendah terjadi pada jarak antar elektroda 6 cm dengan kedalam penusukan elektroda 24 cm, yaitu sebesar 65 kOhm.
2.10 Penelitan Ultrasonik Terdahulu Penelitian ultrasonik terdahulu dilakukan dengan perlakuan sama menggunakan gelombang pada tingkat frekuensi yang berbeda-beda, yaitu gelombang frekuensi 10 kHz, 40 kHz, 50 kHz, dan 5 kHz. Gelombang frekuensi 5 kHz dan 10 kHz tergolong gelombang audio, sedangkan gelombang frekuensi 40 kHz dan 50 kHz tegolong gelombang ultrasonik. Hasil penelitian ultrasonik terdahulu dijelaskan lebih lengkap sebagai berikut:
1.
Hasil Pengukuran pada Setiap Perlakuan (Horizontal, Vertikal, Sudut, dan Tebal Lapisan Olah) Menggunakan Gelombang Frekuensi 10 kHz (Deni, 2007).
Penelitian Deni (2007) pada perlakuan horizontal menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada jarak 9 cm dengan nilai kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan kadar air 30%. Amplitudo menurun dengan meningkatnya kadar air dan kerapatan tanah. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal oleh Deni (2007) ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (sumber: Deni, 2007). Penelitian Deni (2007) pada perlakuan vertikal menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada jarak 3 cm dengan nilai kerapatan tanah 1.2 g/cm3 dan kadar air 50%. Amplitudo menurun dengan meningkatnya jarak pada setiap perlakuan kadar air. Namun, penerimaan gelombang audio
16
meningkat dengan meningkatnya kerapatan tanah. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal oleh Deni (2007) ditunjukkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (sumber: Deni, 2007). Penelitian Deni (2007) pada perlakuan sudut menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada sudut 30o dengan nilai kerapatan tanah 1.4 g/cm3 dan kadar air 50%. Perlakuan sudut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat kerapatan tanah dan kadar air berbeda. Amplitudo cenderung meningkat dengan meningkatnya jarak pada setiap perlakuan kadar air. Namun, penerimaan gelombang audio meningkat dengan meningkatnya sudut antara pemancar dan penerima. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut oleh Deni (2007) ditunjukkan pada Gambar 13.
Besar sudut Gambar 13. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan sudut (sumber: Deni, 2007). Penelitian Deni (2007) pada perlakuan tebal lapisan olah menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada tebal lapisan olah 4 cm dengan kadar air 30% dan 40%, sebab pada tebal lapisan olah 4 cm hanya sedikit terjadi kehilangan energi gelombang audio yang dirambatkan maupun dipantulkan kembali oleh lapisan tanah padat ke penerima. Amplitudo cenderung menurun dengan meningkatnya
17
tebal lapisan olah. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan tebal lapisan olah oleh Deni (2007) ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan lapisan olah (sumber: Deni, 2007).
2.
Hasil Pengukuran pada Setiap Perlakuan (Horizontal, Vertikal, Sudut, dan Tebal Lapisan Olah) Menggunakan Gelombang Frekuensi 40 kHz (Firmansyah, 2007).
Penelitian Firmansyah (2007) pada perlakuan horizontal menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada jarak 9 cm dengan nilai kerapatan tanah 1.2 g/cm3 dan kadar air 30%, sebab terdapat banyak rongga-rongga pada tanah sehingga gelombang tidak dapat merambat dengan baik. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal oleh Firmansyah (2007) ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan horizontal (sumber: Firmansyah, 2007). Penelitian Firmansyah (2007) pada perlakuan vertikal menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada jarak 3 cm dengan nilai kerapatan tanah 1.2 g/cm3 dan kadar air 50%. Amplitudo meningkat dengan meningkatnya kerapatan tanah pada ketebalan tanah yang menurun. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal oleh Firmansyah (2007) ditunjukkan pada Gambar 16.
18
Gambar 16. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (sumber: Firmansyah, 2007). Penelitian Firmansyah (2007) pada perlakuan sudut menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada sudut 30o dengan nilai kerapatan tanah 1.4 g/cm3 dan kadar air 50%. Perlakuan sudut menunjukkan bahwa semakin besar sudut antara pemancar dan penerima maka semakin besar nilai amplitudo yang diterima. Amplitudo diterima semakin besar, diduga terjadi karena pada sudut pemancar yang semakin besar menghasilkan sudut pantulan yang lebih dekat dengan penerima. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut oleh Firmansyah (2007) ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (sumber: Firmansyah, 2007). Penelitian Firmansyah (2007) pada perlakuan tebal lapisan olah menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada tebal lapisan olah 4 cm dengan kadar air 40%. Amplitudo menurun dengan meningkatnya tebal lapisan olah. Amplitudo diterima menurun, terjadi karena banyak energi gelombang yang hilang saat perambatan. Sesuai dengan sifat gelombang bunyi yang mengacu pada hukum kuadrat terbalik, dimana intensitas (energi per satuan panjang keliling lingkaran) akan turun dalam hubungan terbalik dengan semakin panjang radius lingkaran. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah oleh Firmansyah (2007) ditunjukkan pada Gambar 18.
19
Gambar 18. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (sumber: Firmansyah, 2007).
3.
Hasil Pengukuran pada Setiap Perlakuan (Horizontal, Vertikal, Sudut, dan Tebal Lapisan Olah) Menggunakan Gelombang Frekuensi 50 kHz (Farizi, 2007).
Penelitian Farizi (2007) pada perlakuan horizontal menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada jarak 9 cm dengan nilai kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan kadar air 30%. Amplitudo menurun dengan bertambahnya jarak yang diberikan. Kadar air yang tinggi terlihat menghambat terjadinya pantulan gelombang. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal oleh Farizi (2007) ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (sumber: Farizi, 2007). Penelitian Farizi (2007) pada perlakuan vertikal menunjukkan peningkatan ketebalan menyebabkan penurunan amplitudo gelombang diterima. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal oleh Deni (2007) ditunjukkan pada Gambar 20.
20
Gambar 20. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (sumber: Farizi, 2007). Penelitian Farizi (2007) pada perlakuan sudut menunjukkan nilai amplitudo terbesar berada pada sudut 30o. Amplitudo cenderung meningkat dengan meningkatnya besar sudut pada perlakuan sudut. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut oleh Farizi (2007) ditunjukkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (sumber: Farizi, 2007). Penelitian Farizi (2007) pada perlakuan tebal lapisan olah menunjukkan nilai amplitudo terbesar terjadi pada kadar air 40%, sedangkan nilai amplitudo terendah terjadi pada kadar air 50%. Selain kadar air, tebal lapisan olah juga berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Tebal lapisan olah yang semakin meningkat mengakibatkan penurunan nilai amplitudo. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah oleh Farizi (2007) ditunjukkan pada Gambar 22.
21
Gambar 22. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapissan olah (sumber: Farizi, 2007).
4.
Hasil Pengukuran pada Setiap Perlakuan (Horizontal, Vertikal, Sudut, dan Tebal Lapisan Olah) Menggunakan Gelombang Frekuensi 5 kHz (Prasetyo, 2008).
Penelitian Prasetyo (2008) pada perlakuan horizontal menunjukkan nilai amplitudo terbesar terjadi pada jarak 8 cm dengan nilai kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan kadar air 30% yaitu sebesar 5.17 mV, sedangkan amplitudo terendah terjadi pada jarak 14 cm dengan kerapatan tanah 1.4 g/cm3 dan kadar air 50% yaitu sebesar 1.25 mV. Amplitudo menurun dengan bertambahnya jarak yang diberikan terhadap penerima dan pemancar. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal oleh Prasetyo (2008) ditunjukkan pada Gambar 23.
Gambar 23. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (sumber: Prasetyo, 2008). Penelitian Prasetyo (2008) pada perlakuan vertikal menunjukkan peningkatan nilai amplitudo yang diterima seiring kenaikan nilai kerapatan tanah dan kadar air tanah. Namun, mengalami penurunan untuk setiap kenaikan ketebalan tanah. Amplitudo tertinggi terjadi pada ketebalan 3 cm dengan kerapatan tanah 1.4 g/cm3 dan kadar air 50% yaitu sebesar 5.08 mV, sedangkan amplitudo terkecil terjadi pada ketebalan 9 cm dengan kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan kadar air 30% yaitu sebesar
22
2.33 mV. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal oleh Prasetyo (2008) ditunjukkan pada Gambar 24.
Gambar 24. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (sumber: Prasetyo, 2008). Penelitian Prasetyo (2008) pada perlakuan sudut menunjukkan amplitudo mengalami peningkatan seiring meningkatnya sudut pengukuran, kerapatan tanah, dan kadar air tanah. Amplitudo terbesar terjadi pada sudut 40o dengan kerapatan tanah 1.4 g/cm3 dan kadar air 50% yaitu sebesar 8.83 mV, sedangkan amplitudo terendah terjadi pada sudut 20 o dengan kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan kadar air 30% yaitu sebesar 4.83 mV. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut oleh Prasetyo (2008) ditunjukkan pada Gambar 25.
Gambar 25. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (sumber: Prasetyo, 2008). Penelitian Prasetyo (2008) pada perlakuan tebal lapisan olah menunjukkan penurunan amplitudo pada setiap kenaikan tebal lapisan olah dan kadar air tanah. Amplitudo terbesar terjadi pada kadar air 30% dengan tebal lapisan olah 3 cm yaitu sebesar 5.17 mV, sedangkan amplitudo terendah terjadi pada kadar air 50% dengan tebal lapisan olah 5 cm yaitu sebesar 2.42 mV. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah oleh Prasetyo (2008) ditunjukkan pada Gambar 26.
23
Gambar 26. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (sumber: Prasetyo, 2008).
24
METODE 3.1
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilakukan di Laboratorium Ergonomika dan Elektronika Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian dan di Laboratorium CITS Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan selama ±4 bulan terhitung sejak bulan Maret 2012 hingga bulan Juni 2012.
3.2
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah Latosol. Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas: 8. Cawan 1. Audio generator 9. Saringan tanah 2. Pencatu daya (power supplay) 10. Desikator 3. Gelas ukur 11. Oven 4. Timbangan 12. Pipa silinder 5. Multimeter 13. stabilizer 6. Pengeras suara (loud speaker) 7. Wadah pengujian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan adalah tanah contoh berjenis Latosol yang diambil di sekitar daerah Darmaga, Bogor dan merupakan contoh tanah yang telah terganggu.
3.2.2 Alat 1.
Penguat Audio (Audio Generator) Penguat audio digunakan untuk membangkitkan sinyal sinusoidal yang disalurkan ke speaker pemancar. Penggunaan alat ini juga bertujuan untuk mempermudah pengontrolan frekuensi sinyal yang diberikan pada pemancar. Audio generator mempunyai dua buah probe yaitu probe merah sebagai output sinyal yang dipasang pada input rangkaian dan probe hitam sebagai ground yang dipasang pada ground rangkaian. Frekuensi yang digunakan tidak tetap dan keluarannya divisualisasikan pada monitor. Audio generator yang digunakan pada penelitian, bermerek audio generator tipe GAG – 809. Frekwensi yang dihasilkan 10 Hz – 1000 kHz. Gambar audio generator dapat dilihat pada Gambar 27.
25
Gambar 27. Audio Generator 2.
Pencatu Daya (Power supplay) Pencatu daya digunakan untuk memberikan tegangan listrik konstan sebesar 12 Volt yang dibutuhkan oleh rangkaian agar dapat berfungsi dengan baik. Pencatu daya yang digunakan berupa adaptor bermerek Rolinson RL – 8506 dengan 5 tingkat tegangan output yaitu 3 V, 4.5 V, 6 V, 9 V, dan 12 V. Adaptor ini memiliki dua titik yaitu positif serta ground. Gambar adaptor dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Adaptor 3.
Gelas Ukur Gelas ukur digunakan untuk mengukur banyaknya air yang dibutuhkan untuk mengkondisikan kadar air yang dibutuhkan tanah. Gelas ukur yang digunakan merupakan gelas biasa yang diberi tanda batas untuk massa air 500 gram. Gambar gelas ukur dapat dilihat pada Gambar 29.
26
Gambar 29. Gelas ukur 4.
Timbangan Timbangan digunakan untuk mengukur massa tanah yang dikondisikan kadar airnya. Timbangan yang digunakan berupa timbangan digital dan timbangan analog. Timbangan digital digunakan untuk melakukan pengukuran dengan skala terkecil hingga 0 gram dan memerlukan ketelitian tinggi. Pada penelitian, timbangan analog dan timbangan digital digunakan sesuai kebutuhan. Timbangan analog yang digunakan adalah timbangan Ohaus dengan beban maksimum 2 610 gram dan timbangan digital yang digunakan bertipe EP – 12 KB dengan beban maksimum 12 kg. Gambar timbangan digital dan timbangan Ohaus, masing-masing dapat dilihat pada Gambar 30a dan Gambar 30b.
Gambar 30a. Timbangan Digital
Gambar 30b. Timbangan Ohaus
5.
Multimeter Multimeter digunakan untuk mengukur resistansi dan tegangan pada komponen maupun rangkaian. Multimeter yang digunakan bermerek cadik dengan tipe CM-888C, multimeter memiliki dua probe yaitu probe merah (+) dan probe hitam (-). Gambar multimeter ditunjukkan seperti pada Gambar 31.
27
Gambar 31. Multimeter 6.
Pengeras Suara (Loud Speaker) Pengeras suara yang digunakan pada penelitian minimal dua buah, dimana fungsi dari masingmasing pengeras suara adalah sebagai speaker pemancar (transmitter) dan speaker penerima (receiver). Speaker yang digunakan bertipe twitter yang sudah dirangkai dengan kapasitor 4.7 µF dan memiliki hambatan 3.5 Ohm diukur menggunakan multimeter. Speaker berbentuk lingkaran dengan diameter 8 cm. Gambar speaker dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Speaker 7.
Wadah Pengujian Wadah tanah digunakan untuk tempat meletakkan tanah contoh dan juga sebagai tempat untuk melakukan pengujian. Wadah tanah berbentuk kotak dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi, masing-masing adalah 40 cm, 30 cm, dan 30 cm. Tebal bahan yang digunakan untuk pembuatan wadah adalah 2 mm. Sambungan bahan diberi lapisan silikon agar air tidak merembes. Wadah uji tanah dan skema dimensi wadah uji tanah, masing-masing digambarkan seperti Gambar 33a dan Gambar 33b.
28
30 cm
30 cm
40 cm
Gambar 33a. Wadah Uji
Gambar 33b. Skema Dimensi wadah tanah
8.
Cawan Cawan digunakan untuk menampung tanah sample yang akan dikeringkan. Cawan yang digunakan merupakan wadah berbentuk silinder dengan dasar tertutup dan terbuat dari bahan aluminium. Gambar cawan dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Cawan 9.
Saringan Tanah Saringan tanah digunakan untuk menyaring tanah yang telah dikeringkan sehingga didapatkan tanah contoh dengan ukuran seragam. Saringan tanah yang digunakan memiliki ukuran lubang 2 mm. Gambar saringan tanah ditunjukkan pada Gambar 35.
29
Gambar 35. Saringan Tanah 10.
Desikator Desikator digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara tanah contoh yang telah dikeringkan menggunakan oven agar tidak terpengaruh lingkungan luar. Penggunaan desikator bertujuan untuk mengkondisikan agar tanah contoh yang disimpan tidak menyerap uap air dari lingkungan, karena jika hal tersebut terjadi maka akan mempengaruhi hasil pengukuran kadar air tanah. Penyimpanan dapat juga dilakukan langsung pada wadah yang digunakan karena memiliki tutup yang cukup rapat untuk mencegah adanya pengaruh lingkungan. Gambar oven ditunjukkan pada Gambar 36.
Gambar 36. Desikator 11.
Oven Oven digunakan untuk menguapkan air yang terkandung dalam tanah contoh. Pengeringan tanah contoh dalam oven akan dilakukan selama 24 jam pada suhu 110 °C untuk mendapatkan masa tanah contoh yang kering. Metode ini digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air pada tanah contoh. Metode ini dikenal dengan metode gravimetri. Oven yang digunakan pada penelitian adalah oven bermerek Isuzu sterilizer 2 – 2095. Selain menggunakan oven, pengeringan juga bisa dilakukan menggunakan sinar matahari langsung. Gambar oven dapat dilihat pada Gambar 37.
30
Gambar 37. Oven 12.
Pipa Silinder Pipa silinder digunakan sebagai corong untuk menutupi keliling speaker pemancar dan speaker penerima. Tujuan dilakukan penutupan keliling speaker ini adalah untuk memusatkan gelombang audio yang dipancarkan maupun yang diterima ke satu titik tertentu. Pipa silinder disesuaikan dengan diameter speaker yang digunakan, sehingga diameter pipa silinder yang digunakan adalah sama dengan diameter speaker yaitu sebesar 8 cm untuk lingkaran luar dan 4 cm untuk lingkaran dalam. Gambar rangkaian pipa silinder dengan speaker ditunjukkan pada Gambar 38.
Gambar 38. Rangkaian pipa silinder dengan speaker 13.
Stabilizer Stabilizer digunakan untuk memberikan tegangan stabil sesuai dengan kebutuhan alat yang digunakan. Stabilizer pada penelitian digunakan untuk menjaga kebutuhan tegangan listrik komputer agar dipertahankan stabil. Tegangan stabil diperlukan agar peralatan listrik tidak cepat rusak.
31
Stabilizer yang digunakan bertipe SVC – 500 N, dengan dua tegangan keluaran yaitu 110 Volt dan 220 Volt. Gambar stabilizer ditunjukkan pada Gambar 39.
Gambar 39. Stabilizer 14.
Rangkaian Penguat Sinyal Rangkaian penguat sinyal pada penelitian akan menggunakan rangkaian op-amp yang dibuat sendiri. Rangakaian penguat sinyal ini berfungsi sebagai penstabil dan penguat sinyal yang diterima oleh speaker penerima. Skema rangkaian penguat sinyal op-amp dan rangkaian op-amp menggunakan IC 741, masing-masing ditunjukkan pada Gambar 40 dan Gambar 41.
5 1
2
9
4 8
11
7 3 6 10
Gambar 40. Skema rangkaian penguat Sinyal op-amp
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Keterangan Gambar: Speaker penerima 7. IC 741 Kapasitor 1 µF 8. Kapasitor 1 µF Resistor 20 kOhm 9. Dihubungkan ke catu daya 12 Volt Resistor 1 kOhm 10. Dihubungkan ke ground Resistor 100 kOhm 11. Dihubungkan ke oscilloscope Resistor 100 kOhm Fungsi dari komponen secara umum dijelaskan sebagai berikut:
32
a. Speaker penerima berfungsi sebagai alat penerima gelombang audio yang terpancar. b. Kapasitor berfungsi untuk menjaga agar gelombang yang diterima sama dengan gelombang yang diteruskan ke Oscilloscope. c. Resistor berfungsi sebagai tahanan d. IC berfungsi sebagai komponen penguat selisih Rangkaian yang digunakan pada penelitian ini mengakibatkan adanya persamaan 5, yaitu persamaan penguatan sinyal gelombang. Vout = 19.38 x Vin .......................................................................................................... (5) Hasil Vout divisualisasikan oleh oscilloscope sehingga hasil penguatan dapat dibaca dengan mudah. Sedangkan Vin adalah nilai input dari speaker penerima. Penurunan persamaan dijelaskan pada lampiran 20.
Gambar 41. Rangkaian penguat sinyal op-amp 15.
Oscilloscope Oscilloscope digunakan sebagai alat visualisasi dari sinyal yang diterima speaker penerima. Visualisasi dari sinyal yang tertangkap akan ditampilkan pada layar oscilloscope (screen) berupa gelombang sinusoidal. Melalui visualisasi yang baik maka amplitudo gelombang yang diterima dapat diketahui dengan mudah. Pada penelitian ini, digunakan oscilloscope bermerek protek 6510 dengan frekuensi input maksimum 200 MHz. Gambar oscilloscope dapat dilihat pada Gambar 42.
33
Gambar 42. Oscilloscope 16.
Pahat Pahat digunakan untuk memecah kembali lapisan padat tanah pada perlakuan lapisan olah. Penggunaan pahat dilakukan sebagai ganti fungsi cangkul untuk mengolah tanah. Pahat dipilih karena lebih mudah digunakan pada wadah kecil. Gambar pahat ditunjukkan pada Gambar 43.
Gambar 43. Pahat 17. Baskom Baskom digunakan sebagai tempat penampungan sementara tanah sebelum diberi perlakuan kadar air, lapisan olah, maupun perlakuan lainnya. Ketika sudah diberi perlakuan, tanah akan dipindah ke wadah uji dan langsung dilakukan pengujian. Gambar baskom dapat dilihat pada Gambar 44.
34
Gambar 44. Baskom 18.
Ember Ember digunakan sebagai tempat penampungan air yang akan ditimbang, sebelum disemprotkan secara merata ke tanah yang akan di uji. Gambar ember dapat dilihat pada Gambar 45.
Gambar 45. Ember
3.3
Skema Rangkaian Alat Penelitian
Dua buah speaker yang berfungsi sebagai pemancar dan penerima, dipasang membentuk sudut 30 , sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan sudut terbaik untuk menghasilkan pengukuran nilai amplitudo gelombang akustik. Pemancar dihubungkan ke audio generator untuk membangkitkan gelombang akustik, sedangkan penerima dihubungkan ke penguat op-amp untuk menjaga amplitudo gelombang yang diterima agar amplitudo yang kecil dapat terukur. Amplitudo gelombang yang sudah melewati penguat op-amp diteruskan ke oscilloscope untuk dibaca pada LCD oscilloscope. Skema rangkaian alat yang digunakan pada penelitian ditunjukkan dalam bentuk diagram blok seperti pada Gambar 46. o
35
Audio generator
Penguat Op-amp
transduser
receiver
Oscilloscope
Tanah sebagai obyek pengamatan
Gambar 46. Diagram blok rangkaian alat penelitian
3.4
Perlakuan
30o
5 cm
Kadar air 30%
Gambar 47. Skema rangkaian alat pada perlakuan saat pengukuran Gambar 47 menunjukkan skema rangkaian alat pada perlakuan saat pengukuran. Penelitian dilaksanakan pada kadar air 30% dan posisi speaker membentuk sudut 30o dengan perlakuan pada tanah contoh berupa perlakuan tebal lapisan olah. Perlakuan tebal lapisan olah bertujuan untuk memperoleh gelombang pantulan dari suatu lapisan tanah padat (tebal lapisan padat/ TLP) yang berbeda pada kedalaman tertentu di bawah suatu lapisan tanah olah (tebal lapisan olah/ TLO). Penempatan pemancar dan penerima ditetapkan menyudut dengan sudut antara sebesar 30º. Pemilihan penempatan posisi speaker pemancar dan penerima sebesar 30º disebabkan berdasarkan hasil penelitian terdahulu menunjukan bahwa perlakuan pada sudut ini diperoleh nilai gelombang pantulan yang terbaik. Pemilihan kadar air juga dilakukan dengan cara yang sama yaitu berdasarkan hasil terbaik yang ditunjukkan dari hasil penelitian terdahulu. Kadar air 30% dipilih untuk mewakili kondisi tanah dilapangan. Tebal lapisan olah yang akan dilakukan adalah 0 cm, 5 cm, 10 cm, 15 cm, dan 20 cm. Ketebalan 0 cm digunakan sebagai pembanding untuk pengamatan terhadap perlakuan tebal lapisan olah lainnya. 36
Kerapatan tanah merupakan perbandingan antara bobot total tanah terhadap volume tanah. Penelitian dilaksanakan pada dua perlakuan kerapatan tanah yaitu 1.0 gram/cm3 dan 1.3 gram/cm3. Dua variasi kerapatan tanah yang dilaksanakan pada penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang cukup mewakili kondisi tanah dilapangan. Kerapatan tanah 1.0 gram/cm3 dipilih untuk mewakili kondisi tanah normal yang umumnya dijumpai pada lapisan atas (top soil). Sedangkan kerapatan tanah 1.3 gram/cm3 dipilih untuk mewakili kondisi tanah yang mulai mengalami pemadatan.
3.5
Pengukuran Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Dipancarkan
Audio generator yang digunakan memiliki 6 tingkat gangguan yang bisa diberikan oleh alat sendiri. Keenam tingkat gangguan tersebut dapat menyebabkan suara yang dipancarkan mengalami atenuasi 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 dB. Prosedur kerja pada tahap ini, ditunjukkan dengan diagram alir pada Gambar 48. Menempatkan audio generator dan oscilloscope dengan catu daya dan meletakkan keduanya pada jarak berdekatan
Menghubungkan oscilloscope dengan audio generator
Menyalakan oscilloscope
Menyalakan audio generator, tentukan tingkat gangguan alat dan tentukan amplitudo keluaran audio generator pada posisi maksimum
Menghitung nilai amplitudo gelombang audio yang diterima oleh rangkaian penerima pada oscilloscope
Melakukan cara pengukuran yang sama pada tingkat gangguan lainnya pada audio generator
Gambar 48. Diagram alir tahap prosedur kerja pengukuran pengaruh gangguan pada audio generator terhadap amplitudo yang dipancarkan
3.6
Tahap Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini direncanakan akan menggunakan lima tahap yaitu tahap pengecekan kadar air awal tanah, tahap pengkondisian kadar air tanah, tahap pengecekan kadar air tanah uji, tahap
37
penyiapan tanah pada waktu pengujian, dan tahap pengukuran amplitudo gelombang audio. Adapun tahap-tahap tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1.
Tahap Pengecekan Kadar Air Awal Tanah Tahap pengecekan kadar air awal tanah bertujuan untuk mengetahui banyaknya kadar air awal tanah contoh setelah dilakukan penyaringan. Prosedur kerja pada tahap ini, ditunjukkan dengan diagram alir pada Gambar 49. Tanah yang diambil dibersihkan dari berbagai benda asing
Tanah dijemur dibawah sinar matahari
Tanah disaring (ukuran partikel < 2 mm)
Mengambil sampel tanah pada beberapa bagian yang dapat mewakili keseluruhan bagian tanah
Sampel tanah ditempatkan dalam wadah lain yang telah ditimbang lebih dahulu (Bw)
Setelah semua contoh tanah selesai dipindahkan kedalam wadah lain, timbang kembali wadah lain tersebut beserta tanah yang ada didalamnya (Bb). Kemudian masukkan kedalam oven
Memanaskan selama 24 jam dengan suhu 110 oC
Setelah dipanaskan selama 24 jam, ambil dan timbang kembali (Bk)
Menghitung menggunakan Rumus. Nilai yang didapat, dimasukkan ke Rumus:
K.A = Kadar Air (dalam %)
Didapat nilai kadar air tanah awal
Gambar 49. Diagram alir tahap prosedur kerja pengecekan kadar air tanah awal 2.
Tahap Pengkondisian Kadar Air Tanah Tahap pengkondisian kadar air tanah dilakukan sebelum pengukuran amplitudo gelombang audio dilakukan. Tahap bertujuan untuk mengkondisikan tanah sesuai dengan kadar air yang diinginkan. Prosedur kerja pada tahap ini, ditunjukkan dengan diagram alir pada Gambar 50.
38
Menimbang tanah yang telah disaring (massa tanah basah 1 atau MTB 1)
Nilai massa tanah kering (MTK) ditentukan melalui persamaan :
Menentukan nilai kadar air yang diinginkan (30%)
Nilai masa tanah basah 2 (MTB 2) ditentukan melalui persamaan :
Menghitung nilai jumlah air yang ditambahkan pada tanah (JAT) menggunakan persamaan :
Menambahkan air sesuai dengan hasil perhitungan JAT dengan cara disemprotkan ke tanah yang digunakan serta diaduk secara merata hingga air habis
Gambar 50. Diagram alir tahap prosedur pengkondisian kadar air tanah 3.
Tahap Pengecekan Kadar Air Tanah Uji Tahap pengecekan kadar air tanah uji bertujuan untuk mengetahui besarnya kadar air tanah yang akan diuji setelah dilakukan pengkondisian kadar air tanah. Prosedur kerja pada tahap ini, ditunjukkan dengan diagram alir pada Gambar 51.
39
Mengambil sampel tanah pada beberapa bagian yang dapat mewakili keseluruhan bagian tanah
Sampel tanah ditempatkan dalam wadah lain yang telah ditimbang lebih dahulu (Bw)
Setelah semua contoh tanah selesai dipindahkan kedalam wadah lain, timbang kembali wadah lain tersebut beserta tanah yang ada didalamnya (Bb). Kemudian masukkan kedalam oven.
Memanaskan selama 24 jam dengan suhu 110 oC
Setelah dipanaskan selama 24 jam, ambil dan timbang kembali (Bk)
Menghitung menggunakan Rumus. Nilai yang didapat, dimasukkan ke Rumus:
K.A = Kadar Air (dalam %)
Didapat nilai kadar air tanah awal
Gambar 51. Diagram alir tahap prosedur kerja pengecekkan kadar air tanah uji 4.
Tahap Penyiapan Tanah pada Wadah Pengujian Tahap penyiapan tanah pada wadah pengujian merupakan uraian prosedur kerja yang akan dilakukan untuk mempersiapkan tanah contoh pada wadah pengujian sebelum dilakukan pengukuran amplitudo gelombang audio. Prosedur kerja pada tahap ini, ditunjukkan dengan diagram alir pada Gambar 52.
40
Menghitung massa tanah yang dibutuhkan pada setiap tingkatan bulk density (1 g/cm3 dan 1,3 g/cm3)
Menimbang tanah yang telah dikondisikan sesuai dengan nilai massa tanah yang diperlukan untuk setiap tingkatan bulk density
Memasukkan tanah yang telah ditimbang kedalam wadah uji, sesuai dengan batas ketinggian yang telah ditentukan
Tanah siap uji
Gambar 52. Diagram alir tahap prosedur kerja penyiapan tanah pada wadah uji 5.
Tahap Pengukuran Amplitudo Gelombang Audio Tahap pengukuran amplitudo gelombang audio dilakukan dengan cara menempatkan speaker pemancar dan speaker penerima sesuai metode pengukuran gelombang audio. Gelombang audio yang ditangkap penerima akan divisualisasikan menggunakan oscilloscope, amplitudo gelombang audio yang diterima dikumpulkan untuk dilakukan pengolahan data lebih lanjut. Hasil pengolahan data tersebut akan dibandingkan dengan hasil pengolahan data dari perlakuan yang berbeda. Prosedur kerja pengukuran amplitudo gelombang audio, digambarkan dengan diagram alir pada Gambar 53.
41
Menempatkan pemancar dan penerima gelombang audio sesuai dengan metode penelitian
Menghubungkan audio generator dengan pemancar gelombang audio
Menghubungkan oscilloscope pada output dari rangkaian penerima gelombang audio
Menyalakan oscilloscope dan catu daya rangkaian penerima gelombang audio
Menyalakan audio generator, tentukan frekuensi pengukuran dan tentukan amplitudo keluaran audio generator pada posisi maksimum
Menghitung nilai amplitudo gelombang audio yang diterima oleh rangkaian penerima pada oscilloscope
Melakukan cara pengukuran yang sama pada tingkat bulk density 1.0 gram/cm2 dan 1.3 gram/cm2 dengan kadar air tanah 30%
Gambar 53. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang audio Pengukuran amplitudo juga dilakukan untuk mengukur besarnya amplitudo gelombang audio yang dipancarkan oleh speaker pemancar pada berbagai tingkat frekuensi. Prosedur kerja pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan speaker pemancar, digambarkan dengan diagram alir pada Gambar 54.
42
Menempatkan pemancar dan penerima gelombang audio sesuai dengan metode penelitian
Menghubungkan audio generator dengan pemancar gelombang audio
Menghubungkan oscilloscope pada output dari rangkaian penerima gelombang audio
Menyalakan oscilloscope dan catu daya rangkaian penerima gelombang audio
Menyalakan audio generator, tentukan frekuensi pengukuran dan tentukan amplitudo keluaran audio generator pada posisi maksimum
Menghitung nilai amplitudo gelombang audio yang diterima oleh rangkaian penerima pada oscilloscope
Melakukan cara pengukuran yang sama pada berbagai tingkatan bulk density dan kadar air tanah
Gambar 54. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan speaker pemancar Selain itu pengukuran juga dilakukan untuk mengukur amplitudo gelombang audio penerimaan langsung (tanpa medium tanah) yang diterima oleh speaker penerima pada berbagai tingkat frekuensi. Prosedur kerja pengukuran amplitudo gelombang penerima langsung, digambarkan dengan diagram alir pada Gambar 55.
43
Menempatkan pemancar dan penerima gelombang audio sesuai dengan metode penelitian
Menghubungkan audio generator dengan pemancar gelombang audio
Menghubungkan oscilloscope pada output dari rangkaian penerima gelombang audio
Menyalakan oscilloscope dan catu daya rangkaian penerima gelombang audio
Menyalakan audio generator, tentukan frekuensi pengukuran dan tentukan amplitudo keluaran audio generator pada posisi maksimum
Menghitung nilai amplitudo gelombang audio yang diterima oleh rangkaian penerima pada oscilloscope
Melakukan cara pengukuran yang sama pada berbagai tingkatan bulk density dan kadar air tanah
Gambar 55. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang penerima langsung
44
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan
Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat gangguan audio generator dilakukan untuk mengetahui besar pengaruh gangguan audio generator terhadap nilai pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan. Simulasi tingkat gangguan audio generator diberikan berdasarkan kemampuan dari audio generator yang digunakan. Pengukuran pengaruh gangguan audio generator terhadap nilai pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan dilakukan sebagai dasar mengetahui kondisi terbaik untuk menghindari adanya gangguan yang dapat mengganggu hasil pengukuran. Gambar 56 menunjukkan grafik hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat gangguan pada audio generator.
Tingkat gangguan 0 dB Tingkat gangguan 10 dB Tingkat gangguan 20 dB Tingkat gangguan 30 dB Tingkat gangguan 40 dB Tingkat gangguan 50 dB (kiloHertz)
Gambar 56. Grafik hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat gangguan pada audio generator. Grafik diatas menunjukkan adanya gangguan pada audio generator sangat berpengaruh terhadap nilai pengukuran. Adanya gangguan pada audio generator akan mengganggu proses pemancaran gelombang audio, sehingga amplitudo yang dipancarkan akan kecil. Amplitudo kecil yang terpancar mengakibatkan amplitudo terukur yang diterima juga akan kecil. Hal ini akan menyulitkan pembacaan nilai amplitudo gelombang yang diterima pada tahap perlakuan selanjutnya. Terlihat dari grafik bahwa nilai amplitudo tertinggi yang dipancarkan terjadi pada tingkat gangguan audio generator 0 dB yaitu 155 mV, sedangkan amplitudo terendah terjadi pada tingkat gangguan audio generator 50 dB yaitu 0.5 mV. Nilai amplitudo ini dijadikan sebagai acuan untuk pengukuran amplitudo gelombang audio pada tahap perlakuan selanjutnya yaitu dengan mengkondisikan audio generator pada tingkat gangguan 0 dB agar memberikan hasil optimal.
45
Grafik diatas menunjukkan gangguan pada audio generator mengakibatkan penurunan energi gelombang suara yang dipancarkan. Selain gangguan pada audio generator, penurunan energi gelombang suara juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dimana salah satu penyebab hilangnya energi gelombang suara adalah akibat kebisingan. Ini sesuai dengan pernyataan pengaruh kebisingan menurut Buchari (2007) yaitu kebisingan akan menutupi suara yang dipancarkan, sehingga suara akan tenggelam dalam bising.
4.2
Penggunaan Rangkaian Penguat
Rangkaian penguat pada penelitian digunakan untuk sedikit mengatasi gangguan yang menyebabkan hilangnya energi gelombang suara. Terlihat sangat jelas perbedaan antara nilai amplitudo gelombang audio yang diterima dengan dan tanpa penguat. Penggunaan penguat akan besar pengaruhnya terhadap proses pengukuran. Amplitudo gelombang yang dipancarkan akan mengalami kehilangan energi sebelum diterima pemancar, sehingga pada rangkaian penerima diperlukan rangkaian penguat yang berfungsi menguatkan perubahan besaran listrik agar perubahan sinyal yang kecil dapat diukur dengan lebih teliti. Perbandingan antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik menggunakan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan ditunjukkan menggunakan grafik pada Gambar 57 dibawah ini.
(kiloHertz)
Gambar 57. Grafik perbandingan antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik dengan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan Perbedaan yang ditunjukkan pada gambar diatas terlihat sangat jelas antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik menggunakan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan. Amplitudo sekitar sebesar 155 mV yang dipancarkan, hanya terukur sekitar sebesar 0.35 mV jika tanpa rangkaian penguat. Jika hal ini diteruskan untuk pengukuran, maka akan sulit mengamati perubahan sinyal yang kecil. Grafik menunjukkan benar terjadi kehilangan energi gelombang suara. Secara umum, penyerapan suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008). Kehilangan energi dapat terjadi karena penyebaran 46
gelombang akustik, penyerapan energi, dan pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan tanah. Intensitas gelombang akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Jensen et al, 1994). Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi.
4.3
Pengukuran Amplitudo Pada Tebal Lapisan Olah
Hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan tebal lapisan olah pada berbagai tingkat frekuensi dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 16. Hasil pada lampiran tersebut menunjukkan adanya penurunan penerimaan amplitudo gelombang audio untuk setiap peningkatan tebal lapisan olah tanah. Penelitian ini tidak memberi perbedaan perlakuan kadar air. Kadar air dibuat sama untuk semua perlakuan yaitu 30%. Namun, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada pengaruh kadar air terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio. Kadar air yang meningkat menyebabkan menurunnya amplitudo gelombang audio yang diterima. Nilai amplitudo gelombang audio diurutkan dari yang tertinggi ke yang terkecil masing-masing terjadi pada lapisan olah 0, 5, 10, 15, dan 20 cm. Diketahui pula adanya pengaruh tinggi frekuensi terhadap besar amplitudo gelombang yang diterima. Amplitudo yang diterima diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil masing-masing terjadi pada frekuensi 10, 20, 30, 40 dan 50 kHz. Nilai amplitudo tertinggi yang diperoleh dari penelitian terjadi pada frekuensi 10 kHz dengan lapisan olah 0 cm yaitu sebesar 13.9 mV, sedangkan nilai amplitudo gelombang audio terendah terjadi pada frekuensi 30 kHz dengan lapisan olah 20 cm yaitu sebesar 6.28 mV. Hasil ini belum begitu baik dalam menunjukkan pengaruh tinggi frekuensi yang dipancarkan terhadap amplitudo gelombang audio yang diterima. Hal ini mungkin terjadi akibat faktor olahan maupun kepadatan tanah yang kurang merata. Namun, terlihat pengaruhnya pada tanah dengan lapisan olah 0 cm yaitu nilai amplitudo terkecil terjadi pada frekuensi 50 kHz. Pengaruh frekuensi yang dipancarkan terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio sangat mungkin terjadi karena gelombang audio dengan frekuensi yang lebih besar akan memiliki kemampuan lebih besar pula untuk diteruskan menembus lapisan tanah sebelum dipantulkan kembali oleh lapisan padat tanah ke penerima. Gambar 57 dan Gambar 58 dibawah ini masing-masing dilakukan pada bulk density 1.0 gram/cm3 dan 1.3 cm3. Kedua grafik menunjukkan pola penurunan penerimaan amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah. Pola penurunan grafik penerimaan gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3 ditunjukkan pada Gambar 58.
Gambar 58. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3
47
Pola penurunan juga ditunjukkan pada bulk density 1.3 gram/cm3. Pola penurunan grafik penerimaan gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 ditunjukkan pada Gambar 59.
Gambar 59. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 Pola yang ditunjukkan pada kedua gambar diatas terlihat mengalami penurunan untuk setiap peningkatan tebal lapisan olah tanah. Perbedaannya terlihat jelas, nilai amplitudo gelombang audio tertinggi terjadi pada ketebalan lapisan olah 0 cm. Sedangkan nilai amplitudo terendah terjadi pada ketebalan lapisan olah 20 cm. Nilai amplitudo tertinggi terjadi pada ketebalan lapisan olah 0 cm, karena pada ketebalan lapisan olah 0 cm hanya sedikit terjadi kehilangan energi gelombang audio yang dirambatkan kemudian dipantulkan kembali oleh lapisan tanah padat ke penerima. Selain itu, tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 juga menunjukkan penerimaan amplitudo gelombang audio yang lebih tinggi dibanding tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3. Hal ini disebabkan, tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 cenderung lebih keras sehingga lebih mudah memantulkan gelombang bunyi dibanding tanah dengan tanah bulk density 1.0 gram/cm3 yang cenderung lebih elastis. Nilai amplitudo terendah terjadi pada ketebalan tanah lapisan olah 20 cm, karena pada ketebalan lapisan olah 20 cm terjadi banyak kehilangan energi gelombang audio yang dirambatkan sebelum dipantulkan kembali oleh lapisan tanah padat ke penerima. Selain itu, tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3 juga menunjukkan penerimaan amplitudo gelombang audio yang lebih rendah dibanding tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3. Hal ini deisebabkan, tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3 cenderung lebih elastis dibanding tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3, sehingga gelombang bunyi yang dipancarkan banyak diserap dan diteruskan kedalam lapisan tanah dan hanya sedikit yang dipantulkan kembali. Kehilangan energi dapat terjadi karena penyebaran gelombang akustik, penyerapan energi, dan pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan tanah. Kehilangan energi akibat pemantulan terjadi pada saat gelombang akustik berpropagasi melewati dua medium yang memiliki perbedaan indeks bias cukup besar. Perbedaan yang cukup besar ini mengakibatkan gelombang suara dipantulkan oleh perbatasan antar kedua medium tersebut (Pongoet, 2008). Jika permukaan halus sempurna, maka ia akan menjadi pemantul suara yang nyaris sempurna. Sebaliknya jika permukaan laut kasar kehilangan akibat pantulan mendekati nol (Kadarwati, 1999 dalam Iskandarsyah, 2011).
48
Sumber akustik yang memancarkan gelombang akustik dengan intensitas energi tertentu akan mengalami penurunan intensitas bunyi bersamaan dengan bertambahnya jarak propagasi dari sumbernya. Hal ini terjadi karena sumber akustik memiliki intensitas yang tetap, sedangkan luas permukaan bidang yang dilingkupi akan semakin besar dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Penurunan kekuatan energi suara adalah disebabkan oleh lebih jauhnya jarak yang ditempuh oleh porsi pantulan suara. Pantulan yang disebabkan oleh dinding tidaklah sempurna, melainkan energi yang sampai pada dinding diserap oleh dinding sedangkan energi suara yang dipantulkan adalah energi yang datanag dikali dengan (1- ) dengan adalah konstanta absorbsi dinding. Penyerapan gelombang ultrasonik dalam cairan pula disebabkan oleh penyebaran dan kehilangan energi ultrasonik kepada energi panas melalui beberapa mekanisme seperti kekentalan cairan atau konduksi thermal dan fenomena rileksasi. Menurut Urick (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi gelombang suara di dalam suatu kolom perairan adalah jarak sumber suara kedalaman perairan, dan frekuensi sumber suara. Semakin jauh gelombang suara, semakin besar frekuensi yang digunakan merambat dari suatu sumber, maka semakin tinggi nilai atenuasi ( ) yang terjadi di dalam kolom perairan. Selain itu, kecepatan suara bervariasi terhadap kedalaman, musim, posisi geografis dan waktu pada lokasi tertentu. Intensitas gelombang akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Jensen et al, 1994). Di perairan dangkal dekat pantai, profil kecepatan suara cenderung tidak teratur dan sulit di prediksi. Faktor fisik air laut yang paling menentukan dalam mempengaruhi kecepatan suara di dalam air adalah suhu, salinitas, dan tekanan (Urick, 1983). Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi densitas dan kecepatan suara di dalam air. Suhu di daerah tropis pada wilayah permukaan laut berkisar 26-29 yang dipengaruhi oleh musim (Pickard dan Emery, 1990). Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas dan suhu ait laut. Pada daerah non kutub, sifat-sifat air pada lapisan isotermal yang dipengaruhi oleh angin sehingga menyebabkan adanya pengadukan menyebabkan lapisan ini memiliki temperatur yang cenderung konstan. Oleh karena itu, pada lapisan isothermal memiliki bentuk profil suara yang bertambah sejalan dengan kedalaman laut yang disebabkan pengaruh gradien tekanan (Jensen et al, 1994). Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi. Secara umum, penyerapan suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008). Kecepatan dan penyerapan ultrasonik berbeda dalam medium perambatan yang berbeda. Ini karena interaksi gelombang ultrasonik dengan bahan bergantung kepada ciri-ciri fisik medium perambatan dan mekanisme interaksi gelombang ultrasonik dengan bahan. Pada kondisi perairan laut yang mempunyai suhu berbeda-beda menimbulkan variasi kecepatan suara yang menyebabkan refraksi atau pembelokan perambatan gelombang suara. Kecepatan suara akan meningkat seiring bertambahnya suhu dan kedalaman (tekanan). Saat air laut di permukaan yang bersuhu relatif lebih hangat dari pada lapisan air di bawahnya, akan muncul dua kecenderungan yang bertolak belakang yakni kecepatan suara relatif akan berkurang saat suhu menurun dan kecepatan suara akan relatif bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman/tekanan (Waite, 2005). Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada metode yang digunakan yaitu tebal lapisan olah. Pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Deni, Farizi, dan Firmansyah pada tahun 2007, tebal lapisan olah yang digunakan adalah 4, 8, dan 12 cm. Kemudian dilanjutkan oleh Prasetyo pada tahun 2008 dengan tebal lapisan olah 3, 4, dan 5 cm. Sedangkan pada
49
penelitian kali ini tebal lapisan olah yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20 cm. Lapisan olah 0 cm atau tanah tanpa lapisan olah digunakan sebagai kontrol terhadap perlakuan tebal lapisan olah lainnya. Penelitian Deni, Farizi, dan Firmansyah yang dilakukan pada tahun 2007, menjelaskan hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang diterima pada kadar air 30%, 40%, dan 50%, dengan nilai terbesar diperoleh pada tebal lapisan olah 4 cm. Sedangkan nilai amplitudo terkecil diperoleh pada kadar air 50% dengan tebal lapisan olah 12 cm. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Prasetyo pada tahun 2008 menjelaskan nilai amplitudo gelombang tertinggi terjadi pada ketebalan tanah lapisan olah 3 cm dengan kadar air lapisan tanah padat 30%, sedangkan nilai amplitudo gelombang audio terendah terjadi pada ketebalan tanah lapisan olah 5 cm dengan kadar air lapisan tanah padat 50%. Secara prinsip hasil penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini memberikan hasil yang relatif hampir sama. Namun, pada penelitian ini digunakan beberapa metode yang berbeda. Amplitudo gelombang audio yang diterima akan semakin berkurang dengan bertambahnya ketebalan lapisan olah tanah. Hal ini secara umum terlihat pada Gambar 58 dan Gambar 59. Penurunan amplitudo gelombang yang diterima pada setiap peningkatan tebal lapisan olah disebabkan oleh besarnya energi gelombang audio yang hilang untuk merambatkan gelombang audio dari pemancar ke lapisan padat tanah sebelum memantulkannya kembali ke penerima.
50
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
Tebal lapisan olah tanah berpengaruh terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio. Semakin tebal lapisan olah menyebabkan semakin kecil penerimaan amplitudo gelombang audionya, dengan kata lain pengaruh tebal lapisan olah akan berbanding terbalik dengan penerimaan amplitudo gelombang audio. Pengamatan pengaruh kadar air terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio pada penelitian terdahulu diketahui bahwa semakin besar kadar air yang terdapat pada lapisan padat menyebabkan penerimaan amplitudo gelombang audio akan semakin kecil. Pendugaan kedalaman lapisan padat menggunakan gelombang audio, terlihat bahwa nilai amplitudo gelombang audio cenderung berubah pada setiap perubahan lapisan padat tanah. Amplitudo yang diterima akan semakin kecil pada peningkatan lapisan olah tanah. Gangguan pada audio generator sangat berpengaruh terhadap gelombang audio yang dipancarkan. Gangguan pada audio generator mengakibatkan terjadi pengurangan energi gelombang audio yang dipancarkan sehingga energi gelombang yang dipancarkan menjadi kecil. Gelombang audio yang terlalu kecil akan sangat sulit dibaca pada pengukuran menggunakan oscilloscope karena pada pembacaan nilai amplitudo diterima pembacaan masih menggunakan bentuk gelombang sinus atau gelombang kotak yang masih harus dikonversi lagi menjadi skala miliVolt dengan mengalikan jumlah kotak yang dilalui amplitudo gelombang terhadap nilai skala miliVolt yang digunakan, sehingga diperlukan alat ukur lain yang dapat memberikan hasil pengamatan lebih teliti langsung dalam bentuk angka digital. Besarnya nilai amplitudo gelombang audio yang terukur menggunakan oscilloscope dari setiap perlakuan terlihat masih sangat kecil, masih dalam rentang satuan milivolt (mV). Op-amp dengan penguatan lebih besar akan mampu memberikan hasil pengukuran yang lebih teliti, selain itu diperlukan penambahan rangkaian filter untuk mencegah terjadinya noise, serta pemberian daya yang sesuai agar intensitas gelombang yang dipancarkan akan lebih baik.
5.2
Saran
Rangkaian op-amp dengan tingkat penguatan yang lebih besar dan dilengkapi rangkaian filter untuk mencegah noise serta penggunaan daya yang sesuai pada rangkaian speaker pemancar akan menyebabkan intensitas gelombang yang dipancarkan akan lebih sesuai dengan harapan. Diperlukan juga pengembangan lanjutan untuk mengetahui besarnya frekuensi yang dalam perambatannya tidak terpengaruh kandungan kadar air tanah. Penggunaan speaker yang sejenis akan memudahkan pelaksanaan penelitian sehingga hasil yang didapatkan sesuai kebutuhan. Selain itu, pengujian pengukuran menggunakan gelombang ultrasonik juga membutuhkan tempat yang tenang agar memberikan hasil optimal.
51
DAFTAR PUSTAKA Administrator, 2010. Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor. http://bp4k.bogorkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61:geografikabupaten-bogor&catid=42:artikel&Itemid=60. [11 Februari 2011]. Andi, P. -. Delta Elektronik. http://delta-electronic.com/article/?cat=40. [11 Februari 2011]. Anies. 2005. Penyakit Akibat Kerja. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Anonimous. 1994. Pengolahan Tanah Minimum (Minimum Tillage). Balai Informasi Pertanian Irian Jaya. Jayapura. Arifin, I. 2001. Gejala Gelombang. Teknik informatika, Universitas Gunadarma. Baver, L. D., W. H. Gardner., dan W. R. Gardner. 1978. Soil Physics. Willey Eastern Limited. New Delhi. Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. USU Repository. Chattopadhhyay, D, dkk. 1984 diterjemahkan Sutanto. 1989. Dasar Elektronika. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Daud, Anwar ., dan Anwar. 2002. Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM Unhas. Makassar. Deni. 2007. Uji Coba Penggunaan Gelombang Frekuensi 10 kHz Untuk Menentukan Bulk Density Tanah. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Egan, M. D. 1988. Architectural Acoustics. New York. McGraw-Hill. Inc. Farizi, A. 2007. Uji Coba Penggunaan Gelombang Ultrasonik Frekuensi 50 kHz untuk Pendugaan Tingkat Kepadatan (Bulk Density) Tanah. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Firmansyah, A. 2007. Uji Coba Penentuan Bulk Density Tanah dengan Menggunakan Gelombang Ultrasonik Frekuensi 40 kHz. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hakim, N, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung. Halliday, David dan R. Resnick, diterjemahkan Pantur Silaban Ph.D. 1998. Fisika Jilid I Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta. Hardiyatmo, H. C. 1955. Mekanika Tanah 1. Gramedia. Jakarta. Herlambang. 2010. Pengertian Sensor. http://nubielab.com/elektronika/analog/pengertian-sensor. [23 Februari 2011]. Hidayattullah, S. 2009. Perancangan Alat Pengukur Suhu Ruangan dengan Sensor Suhu LM35 Menggunakan Mikrokontroler AT89S51. Laporan KKP, Diploma Tiga (D3), Sekolah Tinggi Ilmu Informatika dan Komputer. Iskandarsyah, M. 2011. Pemetaan Shadow Zone Akustik Dengan Metode Parabolic Equation Di Wilayah Perairan Selat Lombok. Skripsi, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Islami, Titiek dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang. Jensen, F.B., W.A. Kuperman, M. B. Porter, H. Schmidt. 1994. Computational Ocean Acoustics. AIP Press. New York. Kane, J.W. dan M.M. Sternheim. 1988. Fisika Edisi Ketiga. John Wiley and Sons, Lembaga Kerjasama Indonesia – Australia. Jakarta. Kryter, K.D. 1985. The Effect of Noise on Man. Academic Press. New York.
52
L. Lohat, A. S. 2008. Pengertian dan Jenis-jenis Gelombang. http://www.gurumuda.com/pengertiandan-jenis-jenis-gelombang. [11 Februari 2011]. Nugraha, A. A. 2004. Perubahan Resistansi Listrik pada Tanah dalam Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah (Kadar Air dan Bulk Density). Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pickard, G.L dan W. J. Emery.1990. Descriptive Physical Oceanography: An Introduction. Butterworth-Heinemann. Oxford. Pongoet, J. 2008. Analisis Metode Parabolic Equation pada Propagasi Akustik Bawah Air. Thesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Prasetyo, I. Y. 2008. Uji Coba Penggunaan Gelombang Audio Frekuensi 5 kHz Untuk Menentukan Bulk Density Tanah. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahmat, T. 2008. Sensor dan Transduser. http://jundullah05.wordpress.com/2008/04/10/sensor-dantransduser/. [23 Februari 2011]. Ridwan, M. 2005. Pengujian Sifat Fisik Tanah (Kadar Air dan Bulk Density) Tanah Podsolik Merah Kuning dengan Metoda Perubahan Nilai Resistansi. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sari, N. K. 2009. Impedansi. http://novikumalasari.wordpress.com/2009/03/12/el-2246-impedansi/. [11 Februari 2011]. Sarwono, H. 1987. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta. Satwiko, P. 2004. Fisika Bangunan 1 edisi 1. Yogyakarta. Andi. Schilling, R.S.F. 1981. Occupational Health Practice, 2nd. Ed Butterworths & Co. Ltd, London. Scrib.com. BAB II (Landasan Teori). http://www.scribd.com/document_downloads/direct/49659067?extension=pdf&ft=1300620627 <=1300624237&uahk=Bqrc3aFfaypG4I7cyf7DrS+j4tw. [15 Maret 2011]. Setiawan, I. 2009. Buku Ajar Sensor dan Transduser. Program Studi Sistem Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Slamet, JS. 2006. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Srivastava. A.C. 1987. Teknik Instrumentasi. Universitas Indonesia Press. Depok. Suma’mur, PK. 1993. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. CV. Haji Masagung. Jakarta. Suyatno dan Hisam, A. 2010. Perancangan dan Pembuatan Alat Pendeteksi Tingkat Kebisingan Bunyi Berbasis Mikrokontroler [jurnal]. Institut Teknologi Surabaya. Surabaya. Trisnobudi, A. 2006. Fenomena Gelombang. Penerbit ITB. Bandung. Urick, J. 1983. Principle of Underwater Acoustic. Mc Graw Hill.New York. Waite, H.D. 2005. Sonar for Practising Enginers: Third Edition. John Willey & Sons Ltd. West Sussex. Widianti, R. E. 2005. Perubahan Nilai Resistansi Listrik terhadap Perubahan Sifat Fisik Tanah (Kadar Air dan Bulk Density) pada Tanah Latosol Darmaga-Bogor. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wikipedia.org. 2011. Computer software. http://en.wikipedia.org/wiki/Computer_software. [16 Maret 2011]. Wiroatmodjo, J.-. Pengolahan Tanah Minimum, Sekarang dan Masa Depan (Minimum Tillage, Present Status and Its Future). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zamroni, N. A. M. 2005. Penguat Daya Audio Sistem OCL (Output Capasitor Less) Dengan Menerapkan IC OP AMP 741 sebagai Penguat Depan. Skripsi, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 10 kHz (Deni, 2007) Perlakuan Horizontal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 9 cm 51 34 28
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 34 29 24
Jarak 27 cm 27 27 24
Jarak 9 cm 23 18 16
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 23 18 16
Jarak 27 cm 22 18 18
Jarak 9 cm 11 11 11
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 11 11 11
Jarak 27 cm 11 11 11
Perlakuan Vertikal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 3 cm 32 34 39
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 23 29 33
Jarak 9 cm 16 26 26
Jarak 3 cm 44 45 50
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 37 39 45
Jarak 9 cm 31 31 36
Jarak 3 cm 48 53 50
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 38 40 37
Jarak 9 cm 31 31 27
55
Lampiran 1. (lanjutan) Perlakuan Sudut Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Kadar air (%) 30 40 50
Sudut 10 19 21 22
o
Sudut 10o 20 20 21
Sudut 10 21 22 23
o
Amplitudo (mV) Sudut 20o 19 21 23
Sudut 30o 21 23 24
Amplitudo (mV) Sudut 20o 20 20 22
Sudut 30o 22 21 23
Amplitudo (mV) Sudut 20o 21 23 23
Sudut 30o 23 24 25
Perlakuan Tebal Lapisan Olah Amplitudo (mV) TLO 4 cm TLO 8 cm 21 19 21 20 15 12
TLO 12 cm 17 19 11
56
Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 40 kHz (Firmansyah, 2007) Perlakuan Horizontal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 9 cm 14.33 14.67 9
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 11.33 11.67 8.33
Jarak 27 cm 10 10 8
Jarak 9 cm 8.67 6 4.83
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 8.67 6 4.83
Jarak 27 cm 8.67 6 4.83
Jarak 9 cm 5.33 5.33 5.33
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 5.33 5.33 5.33
Jarak 27 cm 5.33 5.33 5.33
Perlakuan Vertikal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 3 cm 9 8.67 9
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 6 7 8
Jarak 9 cm 5.17 6 6.33
Jarak 3 cm 9 9 9.33
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 7 7.33 7.67
Jarak 9 cm 5.67 6 6.67
Jarak 3 cm 8.67 10.33 9
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 7.5 8 8
Jarak 9 cm 6.17 6 5.83
57
Lampiran 2. (lanjutan) Perlakuan Sudut Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Kadar air (%) 30 40 50
Sudut 10 5.83 6.33 6.83
o
Sudut 10o 6.67 7.33 8.33
Sudut 10 7.17 8.17 8.67
o
Amplitudo (mV) Sudut 20o 5.83 6.33 7
Sudut 30o 7 8.17 8.83
Amplitudo (mV) Sudut 20o 7 7.33 8.33
Sudut 30o 7.67 8 9
Amplitudo (mV) Sudut 20o 7.33 8.33 8.67
Sudut 30o 8 9.17 9.83
Perlakuan Tebal Lapisan Olah Amplitudo (mV) TLO 4 cm TLO 8 cm 7.33 7 8 7.67 6.33 5.50
TLO 12 cm 6.83 7.33 5.33
58
Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 50 kHz (Farizi, 2007) Perlakuan Horizontal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 9 cm 10.30 9.7 6.7
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 9.70 7.8 6.3
Jarak 27 cm 8.30 6.5 6
Jarak 9 cm 8 6 4.3
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 7.70 6 4.3
Jarak 27 cm 6.7 6 4.3
Jarak 9 cm 3.8 3.8 3.8
Amplitudo (mV) Jarak 18 cm 3.8 3.8 3.8
Jarak 27 cm 3.8 3.8 3.8
Perlakuan Vertikal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 3 cm 7 7 7
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 5 6 5.8
Jarak 9 cm 4.2 4.2 5
Jarak 3 cm 6.7 6.7 7
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 5.5 6 6
Jarak 9 cm 4.3 4.2 5
Jarak 3 cm 6.8 7 7
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 6 6 6
Jarak 9 cm 4.7 4.5 4.5
59
Lampiran 3. (lanjutan) Perlakuan Sudut Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Kadar air (%) 30 40 50
Sudut 10 4.8 5.2 5.5
o
Sudut 10o 5 6 6.5
Sudut 10 5 6 6.3
o
Amplitudo (mV) Sudut 20o 4.5 5.0 5.5
Sudut 30o 5.2 5.7 6.3
Amplitudo (mV) Sudut 20o 5 6 6.5
Sudut 30o 5.7 6 6.5
Amplitudo (mV) Sudut 20o 5 6 6.5
Sudut 30o 5.5 6 6.5
Perlakuan Tebal Lapisan Olah Amplitudo (mV) TLO 4 cm TLO 8 cm 5.8 5.5 6 5.7 4.8 4
TLO 12 cm 4.7 5.5 3.5
60
Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 5 kHz (Prasetyo, 2008) Perlakuan Horizontal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 8 cm 5.17 4.25 3.83
Amplitudo (mV) Jarak 11 cm 4.67 4.17 3.75
Jarak 14 cm 4.42 4.08 3.58
Jarak 8 cm 3.25 2.50 2.58
Amplitudo (mV) Jarak 11 cm 2.67 2.50 2.42
Jarak 14 cm 2.75 2.42 2.25
Jarak 8 cm 1.58 1.58 1.42
Amplitudo (mV) Jarak 11 cm 1.42 1.33 1.33
Jarak 14 cm 1.42 1.42 1.25
Perlakuan Vertikal Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Jarak 3 cm 3.08 3.58 3.92
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 2.33 3.08 3.58
Jarak 9 cm 2.33 2.67 2.92
Jarak 3 cm 4.00 4.58 5.00
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 3.52 4.58 4.58
Jarak 9 cm 3.08 4.17 4.08
Jarak 3 cm 4.42 4.42 5.08
Amplitudo (mV) Jarak 6 cm 4.25 4.42 4.83
Jarak 9 cm 4.08 4.08 4.25
61
Lampiran 4. (lanjutan) Perlakuan Sudut Kadar air 30% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 40% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4 Kadar air 50% Bulk density (g/cm3) 1.0 1.2 1.4
Kadar air (%) 30 40 50
Amplitudo (mV) Sudut 30o 5.83 6.58 6.83
Sudut 40o 6.00 6.58 7.08
Amplitudo (mV) Sudut 30o 5.25 6.17 6.58
Sudut 40o 5.83 6.33 7.17
Amplitudo (mV) Sudut 30o 7.17 7.83 8.42
Sudut 40o 7.33 7.92 8.83
Perlakuan Tebal Lapisan Olah Amplitudo (mV) TLO 3 cm TLO 4 cm 5.17 4.92 4.42 4.25 3.50 3.42
TLO 5 cm 4.67 3.83 2.42
Sudut 20 4.83 6.17 6.67
o
Sudut 20o 5.17 6.25 6.67
Sudut 20 6.83 7.50 8.08
o
62
Lampiran 5. Spesifikasi audio generator dan oscilloscope Osiloskop Merek Tipe Frekuensi input maksimum Voltase input maksimum Nilai skala vertikal terkecil Nilai skala horizontal terkecil Jumlah kanal input Impedansi input
Protek 6510 200 MHz 400 Volt 1 mV 0.01 µs 3 kanal 1 MΩ
Audio generator Merek Tipe Frekuensi Nilai skala terkecil Output Impedansi output
Audio generator GAG 809 10 - 1000000 Hz 10 Hz 10 Volt RMS 600 Ω
63
Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran frekuensi dan amplitudo gelombang audio baik yang dipancarkan speaker pemancar, yang diterima speaker penerima dengan rangkaian penguat, yang diterima speaker penerima tanpa rangkaian penguat, dan hasil perhitungan menggunakan persamaan rangkaian penguat pada berbagai tingkat frekuensi. No
Frekuensi (kHz)
Amplitudo yang dipancarkan
Data diambil (mV)
Penelitian terdahulu (mV)
1
1
155
95
2
2
155
100
3
3
155
107,5
4
4
150
115
5
5
155
107,5
6
10
155
120
7
15
155
127,5
8
20
155
155
9
30
155
-
10
40
155
-
11
50
155
-
Amplitudo yang diterima dari hasil perhitungan menggunakan persamaan rangkaian penguat (mV) Data dihitung Penelitian terdahulu (mV) (mV)
6,783 6,783 6,783 6,783 6,783 8,721 3,876 7,2675 6,783 6,783 6,783
26 23 28 14 10 25 25 25 -
Amplitudo yang diterima Tanpa rangkaian penguat Data diambil (mV) Penelitian terdahulu (mV)
Dengan rangkaian penguat Data diambil (mV) Penelitian terdahulu (mV)
0,35
1,5
18
32
0,35
1,25
18
31
0,35
1,5
18
28
0,35
0,75
18
18
0,35
0,5
18
5
0,45
1,25
19
17
0,2
1,25
18
20
0,75
1,25
18
19
0,35
-
18
-
0,35
-
18
-
0,35
-
18
-
64
Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 0 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 0 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
0
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
14,5
2
14
3
14
4
13,5
5
13,5
1
14
2
13,5
3
13,5
4
13
5
13,5
1
13,5
2
14
3
10
4
11
5
13,5
1
11
2
10
3
10,5
4
10,5
5
10
1
10
2
10
3
10,5
4
9,9
5
10
Amplitudo rata-rata (mV)
13,9
13,75
12,4
10,4
10,08
65
Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 5 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 5 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
5
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
9,9
2
9
3
9
4
8,75
5
9
1
9
2
8,75
3
8,75
4
9
5
9,25
1
9,25
2
8,75
3
8,9
4
9
5
9
1
9,5
2
9,25
3
9,5
4
9,25
5
9
1
9,75
2
9,5
3
9,25
4
9
5
9
Amplitudo rata-rata (mV)
9,13
8,95
8,98
9,3
9,3
66
Lampiran 9. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 10 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 10 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
10
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
8,75
2
9
3
8,75
4
8,75
5
8,75
1
9
2
9,25
3
9
4
9
5
8,75
1
8,75
2
8,75
3
9
4
8,75
5
9
1
9
2
8,75
3
8,75
4
8,75
5
8,75
1
9
2
9
3
9,25
4
8,75
5
8,75
Amplitudo rata-rata (mV)
8,8
9
8,85
8,8
8,95
67
Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 15 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 15 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
15
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
7
2
8
3
7,25
4
7,5
5
7
1
7,5
2
7,25
3
6,9
4
7
5
7,25
1
7,5
2
7,25
3
7,25
4
7,5
5
7,25
1
6,9
2
7
3
7
4
7,5
5
7,25
1
7,25
2
7,5
3
7,25
4
7,75
5
7,5
Amplitudo rata-rata (mV)
7,35
7,18
7,35
7,13
7,45
68
Lampiran 11. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 20 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3, TLO 20 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
20
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
6
2
6,25
3
6
4
6,4
5
6,5
1
6,25
2
7
3
6,25
4
6,5
5
6,5
1
6
2
6,25
3
6,25
4
6,5
5
6,4
1
6
2
6,4
3
6,5
4
6,25
5
7
1
6,25
2
6,4
3
6,5
4
6,25
5
7
Amplitudo rata-rata (mV)
6,23
6,5
6,28
6,43
6,48
69
Lampiran 12. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 0 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 0 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
0
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
19
2
19,5
3
19
4
19,25
5
19
1
19
2
19,25
3
19,5
4
19,25
5
19,5
1
19,25
2
19,25
3
19,3
4
19,5
5
19
1
19
2
19,5
3
19
4
19,25
5
19
1
19
2
19,25
3
19,5
4
19,25
5
19,5
Amplitudo rata-rata (mV)
19,15
19,25
19,26
19,15
19,3
70
Lampiran 13. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 5 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 5 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
5
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
18,35
2
18,9
3
19
4
18
5
18,5
1
18,25
2
18,5
3
18,5
4
18,25
5
19
1
18,25
2
18,25
3
18,5
4
18,5
5
18,5
1
18,9
2
19
3
18
4
18,5
5
18,25
1
18,5
2
18,5
3
18,25
4
19
5
18,25
Amplitudo rata-rata (mV)
18,55
18,625
18,4
18,53
18,5
71
Lampiran 14. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 10 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 10 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
10
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
18
2
19
3
18
4
18,25
5
18
1
18
2
18,25
3
18
4
18
5
18,25
1
18
2
19
3
19
4
18
5
18,25
1
18
2
19
3
18
4
18,25
5
18
1
19
2
18
3
18,25
4
18,25
5
18
Amplitudo rata-rata (mV)
18,25
18,125
18,45
18,25
18,3
72
Lampiran 15. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 15 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 15 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
15
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
17,5
2
18
3
17,5
4
18,25
5
17
1
18,5
2
17,5
3
17,5
4
18
5
17
1
18,25
2
17
3
18,5
4
17,5
5
17,5
1
17,5
2
18,25
3
17
4
18,5
5
17,5
1
17,5
2
18
3
18
4
17
5
18,25
Amplitudo rata-rata (mV)
17,65
17,75
17,75
17,75
17,75
73
Lampiran 16. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan lapisan olah 20 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3, TLO 20 cm, pada berbagai frekuensi. TLO
Frekuensi (kHz)
10
20
20
30
40
50
Ulangan
Amplitudo (mV)
1
16,5
2
15
3
16,5
4
16
5
17,5
1
16
2
15,5
3
15,5
4
15
5
15
1
15,5
2
16
3
15
4
16,5
5
15
1
16
2
15,5
3
15
4
15
5
15
1
15
2
15
3
15,5
4
16
5
15
Amplitudo rata-rata (mV)
16,3
15,5
15,6
15,3
15,3
74
Lampiran 17. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio pada berbagai frekuensi dan tingkat kebisingan. Amplitudo yang dipancarkan pada berbagai tingkat kebisingan Data diambil (mV)
No
Frekuensi (kHz)
0 dB
10 dB
20 dB
30 dB
40 dB
50 dB
1
1
155
50
15
5
1,75
0,5
2
2
155
50
15
5
1,75
0,5
3
3
155
50
15
5
1,75
0,5
4
4
150
50
15
5
1,75
0,5
5
5
155
50
15
5
1,75
0,5
6
10
155
50
15
5
1,75
0,5
7
15
155
50
15
5
1,75
0,5
8
20
155
50
15
5
1,75
0,5
9
30
155
50
15
5
1,75
0,5
10
40
155
50
15
5
1,75
0,5
11
50
155
50
15
5
1,75
0,5
Amplitudo yang dipancarkan pada tingkat kebisingan 0 dB Data diambil (mV)
Penelitian terdahulu (mV)
No
Frekuensi (kHz)
1
1
155
95,0
2
2
155
100,0
3
3
155
107,5
4
4
150
115,0
5
5
155
107,5
6
10
155
120,0
7
15
155
127,5
8
20
155
155,0
9
30
155
-
10
40
155
-
11
50
155
-
75
Lampiran 18. Tabel hasil pengecekkan dan pengkondisian kadar air tanah. Tabel hasil pengecekan kadar air awal tanah Berat Berat Berat tanah Berat tanah kering + cawan (g) kering (g) basah (g) cawan (g)
No
No. Cawan
Berat basah + cawan (g)
Berat air (g)
Kadar air (%)
1
26
67,28
63,31
23,62
39,69
43,66
3,97
10,00%
2
47
73,72
69,01
23,55
45,46
50,17
4,71
10,36%
3
56
72,73
67,95
22,81
45,14
49,92
4,78
10,59%
4
91
75,05
5
114
69,46
70,02
22,63
47,39
52,42
5,03
10,61%
65,22
23,76
41,46
45,7
4,24
10,23%
6
127
78,17
73,11
24,06
49,05
54,11
5,06
10,32%
Kadar air rata-rata
10,35%
Tabel hasil pengkondisian kadar air tanah Kadar air Berat Berat Berat JAT rata-rata tanah tanah tanah 30% (g) (%) 30% (g) 40% (g) 50% (g)
No
Berat tanah basah (g)
Berat tanah kering (g)
JAT 40% (g)
JAT 50% (g)
1
500
453,10
10,35%
589,03
634,35
679,66
89,03
134,35
179,66
2
750
679,66
10,35%
883,55
951,52
1019,48
133,55
201,52
269,48
3
1000
906,21
10,35%
1178,07
4
1250
1132,76
10,35%
1472,59
1268,69
1359,31
178,07
268,69
359,31
1585,86
1699,14
222,59
335,86
449,14
5
1500
1359,31
10,35%
1767,10
1903,04
2038,97
267,10
403,04
538,97
6
1750
1585,86
10,35%
2061,62
2220,21
2378,79
311,62
470,21
628,79
7
2000
1812,42
10,35%
2356,14
2537,38
2718,62
356,14
537,38
718,62
8
2250
2038,97
10,35%
2650,66
2854,55
3058,45
400,66
604,55
808,45
9
2500
2265,52
10,35%
2945,17
3171,73
3398,28
445,17
671,73
898,28
10
2750
2492,07
10,35%
3239,69
3488,90
3738,11
489,69
738,90
988,11
11
3000
2718,62
10,35%
3534,21
3806,07
4077,93
534,21
806,07
1077,93
12
3250
2945,17
10,35%
3828,73
4123,24
4417,76
578,73
873,24
1167,76
13
3500
3171,73
10,35%
4123,24
4440,42
4757,59
623,24
940,42
1257,59
14
3750
3398,28
10,35%
4417,76
4757,59
5097,42
667,76
1007,59
1347,42
15
4000
3624,83
10,35%
4712,28
5074,76
5437,25
712,28
1074,76
1437,25
76
Lampiran 19. Penurunan persamaan rangkaian penguat selisih (persamaan 2) (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008)
Tegangan diferensial Vd = Vin2 – Vin1
Rf 1 Rf 2 R 1 R2 Bila: Rf 1 Vout x(Vin2 Vin1) R 1 Maka outputnya adalah: Jika Vin2 > Vin1, maka outputnya positif Jika Vin2 < Vin1, maka outputnya negatif
Rf 1 Vout1 xVin1 R 1 Jika Vin2 = 0, maka Rf 1 Rf 2 Vin2 Vout 2 1 R1 R 2 Rf 2 Jika Vin1 = 0, maka Maka dengan teori superposisi akan didapat Vout = Vout1 + Vout2
( Rf 1 R1) xRf 2 Rf 1 Vout Vin2 x Vin1 ( Rf 2 R 2) xR1 R1 atau
Rf 2 R1 Rf 1 Rf 1 Vout Vin2 Vin1 R1 Rf 2 R 2 R1
77
Lampiran 20. Penurunan persamaan rangkaian penguat pada penelitian R3 = 100 kOhm Cin = 1 µF
R1 = 1 kOhm Cout = 1 µF
R2 = 20 kOhm R4 = 100 kOhm
Prinsip rangkaian penguat selisih adalah
Rfeadback xVin Vout Rinput
Dalam hal ini, Rfeadback adalah R3. Sedangkan Rinput adalah sinyal gelombang yang diterima oleh speaker penerima. Nilai: R1 = 1 kOhm R2 = 20 kOhm R3 = 100 kOhm R4 = 100 kOhm Cin = 1 µF Cout = 1 µF 1 z Impedansi input dari rangkaian diatas adalah z sebesar 2xfxC Dengan nilai f adalah 5 kHz
z
1 2x5 x103 x1x10 6
z = 31.85 Ohm Rinput = z + R1 Rfeadback = R3 Maka:
R3 Vout xVin z R1 2 x104 xVin Vout 3 31.85 1x10 Vout = 19.38 x Vin Dengan Vin adalah nilai input dari sistem pengindera (speaker penerima)
78
Lampiran 21. Tabel hasil pengkondisian kadar air tanah 30% Tabel hasil pengkondisian kadar air tanah 30% Berat tanah Kadar air kering (g) rata-rata Berat tanah 30% (g)
No
Berat tanah basah (g)
1
500
453,10
10,35%
589,03
89,03
2
750
679,66
10,35%
883,55
133,55
3
1000
906,21
10,35%
1178,07
178,07
4
1250
1132,76
10,35%
1472,59
222,59
5
1500
1359,31
10,35%
1767,10
267,10
6
1750
1585,86
10,35%
2061,62
311,62
7
2000
1812,42
10,35%
2356,14
356,14
8
2250
2038,97
10,35%
2650,66
400,66
9
2500
2265,52
10,35%
2945,17
445,17
10
2750
2492,07
10,35%
3239,69
489,69
11
3000
2718,62
10,35%
3534,21
534,21
12
3250
2945,17
10,35%
3828,73
578,73
13
3500
3171,73
10,35%
4123,24
623,24
14
3750
3398,28
10,35%
4417,76
667,76
15
4000
3624,83
10,35%
4712,28
712,28
Jat 30% (g)
79
Lampiran 22. Tabel hasil pengkondisian kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan 1.3 g/cm3 Tabel hasil pengkondisian kerapatan tanah (1,0 g/cm3) Lebar Tebal Luas Volume 2 (cm) (cm) (cm ) (cm3) Massa (g)
No
Panjang (cm)
1
40
30
1,67
1200
2000
2000
1
2
40
30
2,50
1200
3000
3000
1
3
40
30
3,33
1200
4000
4000
1
4
40
30
4,17
1200
5000
5000
1
5
40
30
5,00
1200
6000
6000
1
6
40
30
5,83
1200
7000
7000
1
7
40
30
6,67
1200
8000
8000
1
8
40
30
7,50
1200
9000
9000
1
9
40
30
8,33
1200
10000
10000
1
10
40
30
9,17
1200
11000
11000
1
Tabel hasil pengkondisian kerapatan tanah (1,3 g/cm3) Lebar Tebal Luas Volume 2 (cm) (cm) (cm ) (cm3) Massa (g)
(g/cm3)
No
Panjang (cm)
1
40
30
1,28
1200
1538,46
2000
1,3
2
40
30
1,92
1200
2307,69
3000
1,3
3
40
30
2,56
1200
3076,92
4000
1,3
4
40
30
3,21
1200
3846,15
5000
1,3
5
40
30
3,85
1200
4615,38
6000
1,3
6
40
30
4,49
1200
5384,62
7000
1,3
7
40
30
5,13
1200
6153,85
8000
1,3
8
40
30
5,77
1200
6923,08
9000
1,3
9
40
30
6,41
1200
7692,31
10000
1,3
10
40
30
7,05
1200
8461,54
11000
1,3
(g/cm3)
80
Lampiran 23. Tabel Perbandingan volume tanah olah dan tanah tidak olah Perbandingan volume tanah olah dan tanah tidak olah Tanah lapisan tidak Tanah total Tanah lapisan olah olah Volume Massa Volume Massa TLO TLO Volume Massa
No
TLO
1
0
24000
31200
1,3
2
5
24000
31200
1,3
3
10
24000
31200
1,3
4
15
24000
31200
1,3
5
20
24000
31200
1,3
0
0
24000
31200
6000
7800
18000
23400
12000
15600
12000
15600
18000
23400
6000
7800
24000
31200
0
0
Perbandingan volume tanah olah dan tanah tidak olah Tanah lapisan tidak Tanah total Tanah lapisan olah olah Volume Massa TLO TLO Volume Massa Volume Massa
No
TLO
1
0
24000
24000
1
0
0
24000
24000
2
5
24000
24000
1
6000
6000
18000
18000
3
10
24000
24000
1
12000
12000
12000
12000
4
15
24000
24000
1
18000
18000
6000
6000
5
20
24000
24000
1
24000
24000
0
0
81
Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kerapatan Tanah Berdasarkan Persamaan 3 dan Kadar Air Tanah Berdasarkan Persamaan 5 1. Kerapatan Tanah Berdasarkan Persamaan 3 a. Jika kerapatan tanah 1.3 g/cm3, panjang x lebar wadah adalah 30 cm x 40 cm, dan tebal lapisan tanah adalah 3 cm Maka: volume tanah = (30 x 40 x 3) cm3 3 = 3600 cm Bulk density 1.3 g/cm3 Maka: berat tanah = 4680 g
= 1.3 g/cm3 x 6000 cm3
b. Jika kerapatan tanah 1.0 g/cm3, panjang x lebar wadah adalah 30 cm x 40 cm, dan tebal lapisan tanah adalah 5 cm Maka: volume tanah = (30 x 40 x 5) cm3 = 6000 cm3 Bulk density 1.0 g/cm3 Maka: berat tanah = 6000 g
= 1.0 g/cm3 x 6000 cm3
2. Kadar Air Tanah Berdasarkan Persamaan 5 a. Jika kadar air diinginkan adalah 30%, berat tanah basah 4680 g, dan berat cawan 60 g Maka: (4680 – W2) g 30% = ------------------- x 100 % (W2 – 60) g (0.3W2 – 18) g (0.3W2 + W2) g 1.3W2 g W2 g
= (4680 – W2) g = (4680 + 18) g = 4698 g = 3613. 85 g
b. Jika kadar air diinginkan adalah 30%, berat tanah basah 6000 g, dan berat cawan 60 g Maka: (6000 – W2) g 30% = ------------------- x 100 % (W2 – 60) g (0.3W2 – 18) g (0.3W2 + W2) g 1.3W2 g W2 g
= (6000 – W2) g = (6000 + 18) g = 6018 g = 4629.23 g
82
Lampiran 25. Jadwal Pelaksanaan Rangkaian Kegiatan Penelitian JADWAL PELAKSANAAN RANGKAIAN KEGIATAN PENELITIAN Januari No
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Nama Kegiatan IV
1
Penyelesaian proposal dan adminsitrasi
2
Studi Literatur
3
Identifikasi
4
Persiapan bahan
5
Pembuatan alat
6
Pengambilan data
7
Pengolahan data
8
Analisa
9
Perbaikan
10
Pembuatan laporan
I
II
III
IV
I
II
III
IV
V
I
II
III
IV
V
I
II
III
IV
V
I
II
III
IV
83
R2 Vout Vin R1 R 2 Bagan 1 Bagan 2 Bagan 3 Bagan 4
87