Sunarsip / 6/5/2008
Menempatkan Privatisasi BUMN Secara Tepat 1 Oleh Sunarsip ∗ Sejak kasus PT. Krakatau Steel (KS) yang hendak diakuisisi Arcelor Mittal muncul, diskursus mengenai privatisasi BUMN kembali ramai. Diskursus tersebut terutama mencoba mempertentangkan antara metode privatisasi BUMN melalui initial public offering (IPO) maupun strategic sales. Dalam kasus KS, banyak pihak mengusulkan agar pemerintah menghindari privatisasi melalui strategic sales dan memilih IPO. Namun sayang, diskusi yang berkembang kemudian melebar yang ke hal-hal yang kurang relevan. Sebagai contoh, sekarang ini muncul diskursus yang mengarahkan kepada satu kesimpulan bahwa bila kita mengkaitkan privatisasi BUMN untuk tujuan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka metode IPO-lah yang harus dipilih. Sedangkan bila pemerintah memilih strategic sales pasti akan merugikan negara. Diskursus seperti ini, itu sama saja dengan menjustifikasi bahwa pemerintah hanya memiliki satu opsi kalau akan melakukan privatisasi BUMN (apapun BUMN-nya), yaitu harus dengan metode IPO. Di sinilah letak kesalahkaprahan pemahaman atas isu privatisasi BUMN ini. Isu metode privatisasi BUMN yang seharusnya dikontekskan dengan kebutuhan BUMN yang bersangkutan, namun dialihkan menjadi isu yang mengeneralisasikan privatisasi BUMN secara keseluruhan.
Strategic Sales Vs IPO Pada dasarnya, setiap metode privatisasi BUMN memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Metode IPO saat ini memang sedang menjadi ”bintang” dibandingkan metode-metode privatisasi lainnya. Namun demikian, situasi ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari trauma masyarakat atas berbagai kegagalan strategic sales di masa lampau, seperti yang terjadi pada Semen Gresik (1998), Pelindo II (1998), Indosat (2002), dan sejumlah kasus divestasi perusahaan yang dulu dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Padahal, banyak juga perusahaan (swasta) yang menempuh langkah strategic sales dalam rangka mempercepat transformasi perusahaan melalui alih teknologi dan knowledge dan sebagainya. Hanya saja, harapan terjadinya transfer teknologi dan knowledge ketika BUMN diprivatisasikan secara strategic sales, memang sama sekali tidak tampak. Yang terjadi adalah justru eksploitasi atas keunggulan yang selama ini telah dimiliki BUMN terkait untuk memperkuat bisnis dari perusahaan pengakuisisi. Nah, dalam kasus KS, faktor inilah yang perlu dipertimbangkan pemerintah ketika akan memutuskan mendivestasi KS secara strategic sales. Kenapa strategic sales gagal diterapkan dalam kasus BUMN kita? Kalau kita runut, sesungguhnya kegagalan strategic sales tempo dulu tidak lepas dari situasi dan motivasi 1
Republika, rubrik (hal 18), Kamis, 5 Juni 2008. Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence. Beralamatkan di www.iei.or.id. Dapat dihubungi di
[email protected].
∗
-1-
Sunarsip / 6/5/2008
waktu itu ketika BUMN terkait diprivatisasikan. Sebagai misal, ketika Semen Gresik dijual (1998), saat itu adalah puncak-puncaknya krisis ekonomi Indonesia. Pemerintah waktu itu berasalan Semen Gresik harus dijual karena untuk meningkatkan kepercayaan investor dan untuk menutupi defisit APBN. Situasi ini sudah barang tentu menempatkan pemerintah dalam posisi ”kalah” bila harus menjual Semen Gresik. Keterpaksaan inilah yang kemudian dimanfaatkan investor (waktu itu Cemex) untuk membeli Semen Gresik dengan harga murah dengan berbagai klausul perjanjian jual beli yang merugikan pemerintah. Kajian penulis, sebagian besar privatisasi BUMN melalui strategic sales, umumnya merugikan pemerintah (baca: negara). Faktor traumatis inilah yang menyebabkan masyarakat kita akhirnya seolah hanya memiliki satu opsi, yaitu IPO. Namun sayang, dukungan atas IPO ini terkesan berlebihan dengan dibumbuhi berbagai jargon populis, seperti IPO untuk kemakmuran rakyat, IPO untuk kesejahteraan rakyat, dan sebagainya yang sesungguhnya tidak relevan dengan konteks manfaat IPO bagi BUMN terkait. Perlu diketahui, baik IPO maupun strategic sales itu hanyalah metode privatisasi atau cara menjual BUMN. Dan bermanfaat atau tidaknya metode privatisasi bagi peningkatan kinerja BUMN dan ekonomi (kesejahteraan rakyat) itu sangat tergantung apakah setelah di-IPO-kan atau di-strategic sales-kan, BUMN tersebut dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kinerja yang lebih baik, yang ditunjukkan dengan perolehan labanya, akan dapat memberikan sumbangan lebih buat negara, baik berupa pelayanan dan penyediaan barang dan jasa yang lebih baik kepada masyarakat, pajak dan dividen yang lebih besar, serta dana-dana sosial dan kemitraan yang lebih besar. IPO memang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan strategic sales. Melalui IPO, pemerintah memiliki peluang untuk mewujudkan demokrasi ekonomi melalui perluasan basis kepemilikan saham BUMN. Ingat, esensi kepemilikan BUMN adalah kepemilikan rakyat yang direpresentasikan melalui kepemilikan pemerintah. IPO juga dapat dimanfaatkan menjadi wahana pemerataan kesejahteraan. Sebab, semakin banyak masyarakat kita yang memiliki saham BUMN, akan semakin besar manfaat yang dapat diperoleh masyarakat, baik melalui dividen maupun capital gain. Selain itu, IPO juga dapat menjadi wahana yang baik untuk meningkatkan good corporate governance (GCG). Bukan rahasia lagi bahwa meski upaya pembenahan di tubuh BUMN senantiasa dilakukan pemerintah, namun masih sering dijumpai praktekpraktek tidak sehat yang dilakukan oleh oknum pengelola BUMN. Termasuk politisasi BUMN-BUMN juga masih sering dijumpai. Penulis teringat analog yang sering digunakan Menteri Negara BUMN Sofjan A. Djalil terkait dengan IPO ini. Menurutnya, IPO itu ibarat kita membuka pintu dan jendela rumah yang selama ini tertutup agar sinar matahari bisa masuk dan membunuh kumankuman yang ada di dalamnya. Nah, IPO sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk ”menelanjangi” BUMN terkait sehingga masyarakat dapat mengetahui isi perut BUMN. Sebab dengan IPO berarti BUMN terkait harus mengikuti ketentuan pasar modal (protocol capital market), termasuk di dalamnya terdapat aspek keterbukaan. Namun demikian, IPO belum tentu menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penyebabnya antara lain karena nilai tambah yang diperoleh melalui
-2-
Sunarsip / 6/5/2008
IPO tidak sebanding dengan effort yang harus dipenuhi BUMN. Perlu diketahui bahwa saat ini banyak perusahaan swasta yang tadinya tercatat sebagai perusahaan terbuka (listed company) lantas menarik diri dari bursa dan kembali menjadi perusahaan tertutup. Penyebab lainnya efek transfer teknologi dan knowledge dalam IPO sangat minim bahkan hampir tidak ada. Sehingga, peningkatan kinerja BUMN juga menjadi minimal. Satu hal yang perlu dicatat, kalau kita bicara IPO dan kaitannya dengan kesejahteraan rakyat, juga harus dipahami bagaimana realitas di pasar modal. IPO, sebagaimana penulis kemukakan di atas, memang dapat dijadikan sebagai sarana untuk perluasan basis kepemilikan BUMN kepada masyarakat. Namun, kalau melihat realitas di pasar modal, mungkin kita akan kecut hati. Berdasarkan studi yang penulis lakukan, ternyata dari 15 BUMN yang mencatatkan diri di bursa efek, ternyata sebagian besar sahamnya yang diperdagangkan di bursa tersebut dimiliki oleh investor asing, khususnya investor institusional (lihat Tabel). Bila kondisinya seperti ini nantinya, apakah masih bisa dikatakan bahwa IPO dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat?
Beberapa Persyaratan Penulis berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar privatisasi BUMN dapat memberikan manfaat yang besar, baik bagi BUMN, pemerintah, dan rakyat. Pertama, adalah aspek lingkungan ekonomi (economic environment). Privatisasi BUMN harus dilakukan pada momentum yang tepat. Artinya, jangan memprivatisasikan BUMN dalam kondisi pasar yang tidak kondusif. Sebab, bila privatisasi dilakukan pada saat ekonomi dan pasar yang sedang jatuh (bearish), hasil privatisasi (penjualan saham) yang diperoleh akan tidak sebanding dengan nilai perusahaan, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tak berwujud (intangible). Kedua, hendaknya tidak menjual BUMN dalam situasi kondisi internal perusahaan yang tidak sehat. Tentunya, syarat ini hanya berlaku bagi BUMN yang masih memiliki prospek untuk dipertahankan. Bila BUMN yang bersangkutan memang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan (layak dilikuidasi), memang harus diambil keputusan cut off, yaitu menjualnya sekalipun dalam kondisi rugi untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi di masa mendatang. Namun, bagi BUMN yang masih memiliki prospek untuk disehatkan, langkah yang tepat sebelum diprivatisasikan adalah merestrukturisasi terlebih dahulu sampai diperoleh hasil yang baik, agar hasil privatisasi nantinya dapat maksimal. Untuk memenuhi kedua syarat di atas sesungguhnya gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena sesungguhnya tidak sulit untuk dapat memenuhi kedua syarat tersebut. Namun, menjadi susah karena adanya hambatan (constraint) yang dapat menghalangi kita untuk memenuhi syarat tersebut. Hambatan itu adalah aspek legislasi, yaitu adanya kewajiban konsultasi atau persetujuan dari DPR ketika akan memprivatisasikan BUMN. Padahal kita tahu bahwa untuk urusan konsultasi atau persetujuan ini bisa memakan waktu lama. Sementara itu, momentum untuk menangkap peluang pasar bagus tersebut, bisa hanya dalam hitungan hari saja. Menurut penulis, bila mekanisme ini terus dipertahankan, akan sulit bagi kita untuk dapat memenuhi syarat bahwa privatisasi BUMN harus dilakukan pada saat kondisi pasar
-3-
Sunarsip / 6/5/2008
sedang kondusif dan jangan menjual BUMN pada saat kondisi pasar sedang tidak kondusif. Kemungkinan besar yang akan terus terjadi adalah kita akan selalu menjual BUMN dimana pasar sedang tidak kondusif, akibat tekanan APBN. Penulis mengusulkan agar pengajuan konsultasi privatisasi BUMN kepada DPR dilakukan sekaligus melalui mekanisme pengajuan RAPBN. Dimana, dalam setiap pembahasan pengajuan RAPBN dimasukkan pula agenda mengenai privatisasi BUMN. Tidak hanya sekedar besaran target privatisasi, melainkan juga termasuk daftar BUMN yang akan diprivatisasikan serta metode privatisasi BUMN yang akan ditempuh. Setelah mekanisme ini selesai, perlu ditambahkan klausul bahwa pemerintah diberi kewenangan untuk menentukan saat yang tepat kapan BUMN terkait diprivatisasikan. Bila ternyata kondisi pasar tidak memungkinkan untuk memprivatisasikan BUMN saat ini, maka langkah privatisasi dapat dieksekusi pada tahun-tahun berikutnya. Mekanisme seperti ini akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi DPR. Bagi pemerintah, fleksibilitas seperti ini akan memudahkan mendapatkan hasil yang maksimal, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi BUMN yang bersangkutan. Sedangkan keuntungan bagi DPR adalah adanya jaminan target yang jelas bagi pemerintah serta pemerintah tidak akan bisa semena-mena dalam menentukan kebijakan privatisasi BUMN yang akan ditempuh. Saat ini praktek yang terjadi adalah APBN hanya menentukan besaran target privatisasi BUMN yang harus dipenuhi. Tidak jelas dari BUMN mana serta dengan metode privatisasi apa untuk memenuhi target privatisasi tersebut. Sehingga tidak mengherankan bila setiap ada rencana privatisasi BUMN selalu memunculkan kekisruhan, karena sama-sama tidak memegang legalitas yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Catatan Akhir Berdasarkan analisis di atas, sesungguhnya berbagai keskisruhan seputar privatisasi BUMN dapat dihindari, jika kita mampu menempatkan isu privatisasi BUMN ini secara tepat. Penentuan metode privatisasi BUMN, apakah itu IPO maupun strategic sales, adalah domain korporasi yaitu disesuaikan dengan kebutuhan strategi korporasi BUMN terkait. Yang terpenting adalah harus diyakini bahwa metode privatisasi BUMN yang akan ditempuh adalah yang terbaik bagi peningkatan kinerja perusahaan. Selanjutnya adalah tidak tepat bila menjual BUMN dalam kondisi pasar yang tidak kondusif, penuh keterdesakan (bahkan mungkin keterpaksaan) yang akhirnya justru merugikan kepentingan negara dan BUMN terkait. Bila privatisasi dipaksakan dalam kondisi seperti ini, hasil privatisasi BUMN tidak akan maksimal, karena asset perusahaan akan dinilai under valued. Terakhir, perlunya konsensus bersama, terutama pemerintah DPR yang memiliki kewenangan kebijakan ini. Konsensus yang mengikat terkait dengan (i) target privatisasi BUMN, (ii) BUMN yang akan diprivatisasikan, serta (iii) metode privatisasi yang akan diambil adalah penting untuk sebagai pegangan hukum bagi pemerintah dan DPR agar dalam pelaksanaan privatisasi BUMN tidak terjadi kekisruhan. Penulis kira tidak adanya konsensus yang dapat menjadi pegangan hukum ini adalah salah satu faktor yang akhirnya memunculkan kekisruhan dalam kasus KS terakhir ini.***
-4-
Sunarsip / 6/5/2008
Tabel: Komposisi Kepemilikan Saham BUMN Terbuka Tahun 2007
No. BUMN
Komposisi Kepemilikan Saham Publik Pemerintah Non Publik Domestik Asing 1) 2) 14,29% 40,81% 44,9% 51,82% 3,27% 45,54% 51,00% 15,53% 32,65% 65,00% 25,41% 9,59% 65,02% 24,15% 10,83% 56,97% 4,72% 38,31% 67,27% 11,49% 21,24% 65,00% 18,4% 16,6% 70,00% 16,30% 13,70% 51,01% 24,90%3) 24,09%4) 55,22% 35,34% 76,36% 23,64%5) 80,66% 19,34%5) 90% 10%5) 68,4% 31,6%
1. Indosat 2. Telkom 3. Adhi Karya*) 4. Timah*) 5. Bukit Asam Batubara*) 6. Bank BRI*) 7. Bank Mandiri 8. ANTAM 9. Jasa Marga 10. Semen Gresik 11. PGN 12. Bank BNI 13. Indofarma*) 14. Kimia Farma*) 15. Wijaya Karya Keterangan: 1) Dimiliki oleh Indonesia Communications Limited (ICL) 2) Sebesar 5,83% dipegang oleh JP Morgan Chase Bank US Resident (Norbax Inc) 3) Dimiliki oleh Blue Valley Holding Pte.Ltd yang berafiliasi dengan Rajawali Group 4) Sebesar 13,64% dimiliki oleh investment bank di luar negeri. 5) Tidak ada informasi pemegang saham asing. *) Berdasarkan data dari Laporan Tahunan 2006 Sumber: Laporan Tahun Perusahaan, diolah Penulis
-5-