MENELISIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERLATAR BELAKANG AGAMA
Catatan Hasil Kunjungan ke Kampus Mubarok, Jemaat Ahmadiyah Indonesia Parung, Bogor, 21 November 2015
LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Oleh: Ahmad Hamdani (PP. Ma‟had Aly UIN Jakarta) Ahmad Avif Okjilshipia (PP. Tahfidz Daarul Quran) Fajar Syahrullah (PP. An-Najah) Nurizka Awalia (PP. Daar El-Qolam) Nisa Alfiatin Najah (PP. An-Nuqtah)
Editor: Ahmad Gaus AF
Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution
A. Pendahuluan Kontroversi menyangkut aliran Ahmadiyah di Indonesia dalam 10 tahun terakhir telah berubah menjadi kekerasan massa yang menelan korban jiwa dan harta benda. Kekerasan ini ditengarai bersumber dari perbedaan doktrin Sunni atau Ahli Sunnah walJamaah yang dianut oleh mayoritas kaum Muslim Indonesia dengan doktrin Ahmadiyah mengenai status atau kedudukan Nabi Muhammad vis a vis Mirza Ghulam Ahmad. Bagi kaum muslim Sunni, Nabi Muhammad ialah nabi terakhir yang diutus Tuhan, dan tidak ada nabi lagi setelahnya. Sementara bagi penganut aliran Ahmadiyah, yang biasa disebut Ahmadi, Mirza Ghulam Ahmad adalah juga seorang nabi utusan Tuhan, walaupun tidak membawa syariat baru. Pengikut Sunni tidak dapat menerima doktrin kenabian Mirza Ghulam Ahmad, bagaimanapun penjelasannya. Pengakuan adanya nabi setelah Muhammad itulah yang menjadi sumber kontroversi di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan belakangan merebak menjadi kekerasan berdarah dan menjurus pada pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Sebelum memasuki pembahasan ini lebih jauh, ada baiknya kita melihat aspek historis kemunculan aliran Ahmadiyah dan kehadirannya di Indonesia. Ahmadiyah didirikan pada 1889 di kota kecil Qadian, di negara bagian Punjab, India, oleh Mirza Ghulam Ahmad. Sejak pendiriannya, aliran ini berkembang menjadi organisasi keagamaan yang perlahan tapi pasti menyebar ke berbagai negara dan telah memiliki cabang di 174 negara mencakup kawasan Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, Eropa, dan termasuk Indonesia. Sebagai organisasi internasional, Ahmadiyah telah menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia, sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa. Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia berawal pada tahun 1922, ketika tiga orang pemuda Indonesia bernama Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan menimba ilmu di India, tepatnya di kota Lahore. Karena tertarik dengan ajaran Ahmadiyah, mereka memutuskan untuk ziarah ke makam pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza Ghulam Ahmad di Qadian. Selain itu tujuan mereka ke Qadian adalah untuk mempelajari dan mendalami ajaran Ahmadiyah. Tidak lama berselang, ketiganya secara resmi dibaiat menjadi anggota Ahmadiyah.
1
Dalam perkembangannya, mereka ingin menyebarkan Ahmadiyah di Indonesia, dan meminta Khalifah Ahmadiyah kedua yang bernama Mirza Basyiruddin Mahmud untuk berkunjung ke Indonesia. Namun, rupanya Khalifah tidak bisa memenuhi permintaan mereka, dan ia mengganti dengan mengirim Maulana Rahmat Ali pada tahun 1925, yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia.1 Sejak tahun 1925, Ahmadiyah tumbuh dan berkembang di Sumatera. Pertamatama Maulana Rahmat Ali masuk dari Aceh ke Tapaktuan. Tahun 1926 beliau menuju Padang. Dan tahun 1929 Jemaat Ahmadiyah sudah berdiri di Padang. Walaupun pada awalnya kedatangan para penyebar Ahmadiyah ini banyak mendapat tanggapan kurang kooperatif karena perbedaan-perbedaan yang mereka bawa, namun secara perlahan tidak sedikit masyarakat Sumatera yang akhirnya menganut ajaran Ahmadiyah. Penyebaran Ahmadiyah di Sumatera meliputi wilayah Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Selatan.2 Setelah merasa cukup dalam mendakwahkan Ahmadiyah di Sumatera, Maulana Rahmat Ali memutuskan untuk pergi ke Jawa, tepatnya Jakarta. Keputusan ini merupakan sejarah penting dalam perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Dan sejak tahun 1931 Ahmadiyah berkembang pesat di pulau Jawa, cabang-cabang Ahmadiyah tersebar di beberapa wilayah di daerah Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Singaparna, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Manislor, Cimahi, dan Ciamis), Jawa Tengah (Purwokerto, Yogyakarta, Kebumen, Banjarnegara, Semarang, Salatiga, Magelang) dan Jawa Timur (Surabaya). Pada tahun 1952, Ahmadiyah mulai melakukan dakwah di Indonesia bagian timur. Namun, wilayah-wilayah yang disentuh oleh mubalig Ahmadiyah tidak terlalu luas, hanya mencakup Ujung Padang, Lombok, dan Sulawesi Utara.3 Para pengikut Ahmadiyah sendiri terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah “Ahmadiyya Muslim Jama‟at” atau Ahmadiyah Qadian. Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI
1
Murtolo, “Sejarah Singkat Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia selama 50 Tahun, Majalah Sinar Islam, Januari 1976, hal.11-12 2 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2005) hal. 316 3 Ibid., hal. 17-25
2
No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia sejak tahun 1935 berada di Jakarta. Dan pada tahun 1987 pindah ke Parung, Bogor. Kelompok kedua ialah “Ahmadiyya Anjuman Isha‟at-e-Islam Lahore” atau Ahmadiyah Lahore. Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia atau GAI, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35. Dua aliran Ahmadiyah ini memiliki perbedaan pandangan tentang kenabian. Aliran Lahore berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir atau penutup para nabi (khatam an-Nabiyyin), artinya sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.4 Dasarnya adalah al-Quran surat al-Ahzab ayat 40: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”. Sedangkan aliran Qadian berpandangan bahwa kata khatam dalam ayat tersebut di atas tidak sama artinya dengan kata khatim. Kata khatim berarti penghabisan, sedang kata khatam berarti stempel, bukan berarti menutup. Dan stempel tersebut dipergunakan untuk mensyahkan sesuatu.5 Menurut arti kata khatam dalam ungkapan khatam an-Nabiyyin, terdapat empat macam pengertian: 1) Rasulullah SAW adalah cap (materai) para nabi, yakni tidak bisa dianggap benar kalau kenabian tidak dimateraikan Rasul; 2) beliau adalah yang terbaik, termulia yang paling sempurna diantara para nabi, dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi malaikat; 3) Rasulullah SAW adalah rasul yang terakhir di antara para nabi pembawa syariat; 4) Rasulullah SAW adalah yang terakhir hanya dalam arti bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sempurna-sempurnanya.6 Kedua aliran Ahmadiyah tersebut juga berbeda pandangan menyangkut status kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Aliran Lahore memandang bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, melainkan seorang Mujaddid yang mempunyai banyak persamaan dengan nabi dalam hal menerima wahyu. Oleh sebab itu, dalam akidah secara tegas mereka menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai
4
S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Jilid II (Yogyakarta: PP Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 148 5 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir (Jakarta: Ahmadiyah Indonesia, 1989), hal. 47 6 Bashiruddin Mahmud Ahmad, The Holy Quran with English Translation and Commentary, Vol. IV (Pakistan: Islam International Publication LTD, 1988), hal. 21-26
3
al-Masih dan al-Mahdi bukanlah termasuk rukun iman, maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir.7 Sementara itu, aliran Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Kendati demikian, Ahmadiyah aliran Qadian yang dimotori oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad tetap berpandangan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi pembawa syariat terakhir. Tapi, setelah Nabi Muhammad masih ada nabi lagi yang tidak membawa syariat baru. Dia itulah Mirza Ghulam Ahmad, yang diyakini mendapat anugrah Allah karena kepatuhannya kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariat Nabi Muhammad. Titik tengkar kaum Muslim Sunni Indonesia lebih banyak terjadi dengan Ahmadiyah Qadian, khususnya terkait kedudukan Mirza Ghulam Ahmad yang disandingkan dengan status kenabian terakhir yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, jemaat Ahmadiyah Qadian sendiri berpandangan sebagai berikut:8 “Jemaah
Ahmadiyah
menjunjung
tinggi
Sayyidina
Muhammad
Mustafa
Rasulullah shallallahu alaihi wa'aalihi wassallam sebagai Khataman-nabiyyin yang merupakan penghulu dari sekalian nabi dan nabi yang paling mulia. Beliau adalah nabi pembawa syariat terakhir. Penutup pintu kenabian tasyri'i. Tidak ada lagi nabi pembawa syariat baru sesudah Rasulullah saw. Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad (yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan. Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.” Sementara itu mengenai nabi akhir zaman dinyatakan sebagai berikut: “Kami percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan-Nya kepada umat manusia melalui semua agama besar mengenai turunnya seorang nabi di akhir zaman telah menjadi kenyataan di dalam diri Hz.Mirza Ghulam Ahmad as., pendiri Jemaat Ahmadiyah. Beliau adalah Almasih yang ditunggu-tunggu oleh umat Kristen; Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam; dan Krishna yang dinanti-nantikan oleh umat Hindu.”9 7
Team Dakwah PB GAI; Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (t.t,: Team Dakwah PB GAI Bagian Dakwah dan Tarbiyah, 1984), hal. 9 8 M.Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da'watul Amir, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, 1989, hal. 2 9 Dikutip dari:Akidah Dan Tujuan Jemaat Ahmadiyah; Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari 1894-1994, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1994, hal.46-47.
4
B. Akar Konflik Ahmadiyah dan Kasus Kekerasannya Silang sengketa dan konflik kaum Muslim Indonesia secara khusus berkaitan dengan Ahmadiyah Qadian di bawah organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Beruntung kami, para penulis, berkesempatan mengunjungi kantor pusat JAI di kampus Mubarak, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 21 November 2015 lalu. Kunjungan kami ini merupakan rangkaian kegiatan Pelatihan (Training) Peningkatan Pemahaman Perdamaian di Pesantren Berperspektif HAM dan Islam selama empat hari (1922/11/2015), yang diadakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad- Adenauer-Stiftung (KAS) dan Uni Eropa. Kegiatan ini diikuti oleh tiga puluh santri dari 30 pesantren di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kemudian, kegiatan training ini diakhiri dengan kunjungan atau field trip ke kampus Mubarok (pusat kegiatan Ahmadiyah di Parung, Bogor) untuk berdialog seputar konflik, kekerasan, perdamaian, dan persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Berdasarkan dialog yang kami lakukan dengan pihak Ahmadiyah, terungkap bahwa awalnya organisasi keagaman ini tidak mengalami masalah dengan masyarakat dari tahun berdirinya 1953 sampai tahun 1980. Masalah baru muncul setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Tahun 1980 mengeluarkan fatwa bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq, yang sejalan dengan al-Quran dan Hadis. Pemerintah melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Menurut pihak Ahmadiyah, selain fatwa MUI tersebut juga ada pendekatan-pendekatan dari luar negeri, terutama Saudi Arabia, ke Indonesia mengenai kesesatan Ahmadiyah. Pada tahun 1981 beberapa orang dari kedutaan Arab datang menemui mentri agama Indonesia. Mereka menyatakan bahwa Ahmadiyah itu berbahaya, sesat dan menyesatkan. Informasi itu disebarkan melalui selebaran, booklet, dan beberapa media massa sehingga tersebar ke masyarakat. Sejak itulah kasus-kasus kekerasan menimpa jemaat Ahmadiyah. Pada tahun 1993 jemaat Ahmadiyah terpukul dengan pembumi-rataan sebuah masjid milik jemaatnya di Garut, Jawa Barat. Pada tahun 2001 jemaat Ahmadiyah di
5
kampung Sambielen Lombok diusir secara paksa oleh warga. Pada tahun 2004, terjadi penganiayaan jemaat Ahmadiyah di Kuningan dan Pangandaran. Pada tahun 2005, kampus Mubarak yang merupakan kantor pusat Ahmadiyah di Parung, Bogor, diserbu massa yang merusak beberapa bangunan dan fasilitas serta menjarah sebagian barang. Dengan alasan bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman yang berbahaya bagi Islam, para penyerang menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan. Mereka mengekspresikan kemarahan atas penodaan yang dilakukan oleh para penganut Ahmadiyah, yakni penodaan terhadap Allah, Rasul, dan kemurnian akidah Islam. Islam yang suci harus dibela dari tangantangan kotor yang bermaksud jahat ingin menghancurkan Islam dari dalam. Jadi, bentuk-bentuk kekerasan massa itu merupakan suatu ekspresi kekhawatiran dan pembelaan pada agama yang dianutnya; masyarakat tidak menginginkan adanya penyebaran-penyebaran faham-faham yang sesat atau menyimpang, serta merasa berkewajiban melindungi masyarakat lainnya. Kekerasan yang paling banyak mendapat perhatian media massa dan masyarakat, termasuk dunia internasional, adalah penyerangan dan penganiayaan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada tahun 2011 yang menyebabkan tewasnya tiga orang dari jemaat Ahmadiyah. Para penyerang jemaat Ahmadiyah, baik di Parung maupun di Cikeusik, pada umumnya menggunakan senjatasenjata seperti golok, parang, kayu, bambu, dan batu-batu. Warga Ahmadiyah yang melarikan diripun menerima penganiayaan berupa pemukulan oleh benda tumpul seperti kayu, bacokan senjata tajam, dan tusukan golok. Para penganut Ahmadiyah mengharapkan adanya perlindungan dari pihak pemerintah karena mereka juga merupakan warga negara. Secara kemanusiaan, mereka menuntut kembali hak-hak asasi mereka yang dilindungi oleh Konstitusi. Namun dalam prakteknya, sejauh ini tampaknya tidak mudah mewujudkan hal itu karena masyarakat pada umumnya telah menganggap mereka sesat, dan atas dasar itu tidak menginginkan keberadaan mereka. Selain penyerangan fisik, upaya penolakan terhadap keberadaan jemaat Ahmadiyah juga diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti mengirim surat pernyataan menolak keberadaan Ahmadiyah ditengah-tengah masyarakat, mempublikasikan segala bentuk kesesatannya melalui berbagai macam media massa, dan desakan kepada pemerintah agar Ahmadiyah dibubarkan karena dianggap membahayakan akidah Islam.
6
Intimidasi dan kekerasan yang terus terjadi menyebabkan jemaat Ahmadiyah mengalami trauma. Banyak dampak atau akibat yang timbul pasca kasus kericuhan dan penyerangan besar-besaran tersebut, misalnya hilangnya sumber penghidupan mereka dan tempat tinggal karena rumah-rumah mereka dihancurkan. Tuduhan bahwa Ahmadiyah sesat juga membuat kegiatan sosialisasi mereka terganggu. Anak-anak mereka sulit bersekolah karena terjadinya pem-bully-an bagi anak-anak Ahmadiyah. Status sebagai pengikut Ahmadiyah juga menyulitkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan. Dampak yang sangat terasa oleh jemaat Ahmadiyah khususnya kaum wanita dan anak-anak adalah luka fisik dan beban mental. Walaupun dalam dialog dikatakan bahwa anak-anak dan wanita-wanita Ahmadiyah jauh lebih tegar dibandingkan kaum prianya, mereka tetaplah merasakan perubahan kepribadian jika dibiarkan berlarut-larut. Untuk mengobati rasa takut dan kekhawatiran para korban, Ahmadiyah membentuk sebuah tim yang menangani center yang disebut dengan “trauma healing”. Tim itulah yang mengatasi problem psikologis para jemaat Ahmadiyah melalui terapi spiritual dan kajian-kajian rohani. Para mubaligh dan tokoh Ahmadiyah serta kaum perempuan Ahmadiyah banyak terlibat dalam kegiatan ini. Mereka berusaha mengembalikan atau memulihkan rasa takut para korban dengan cara menanamkan kepercayaan, keyakinan, dan keikhlasan serta memberi pengarahan bahwa akan ada pertolongan dari Allah. Jemaat diberi keyakinan bahwa segala penderitaan itu akan segera berakhir.
Analisis Kasus Kekerasan Kekerasan yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI secara mendasar mengarah pada dua persepsi. Pertama, bagi
kelompok yang ingin JAI
dibatasi gerakannya atau bahkan dibubarkan, melihat JAI sebagai sebuah urusan kesesatan agama. Kedua, bagi mereka yang tidak setuju JAI dibubarkan, melihat isu ini sebagai urusan hukum, baik itu menyangkut keberadaan JAI maupun pelanggaran hukum yang tampak dalam konflik JAI. Permasalahan yang kemudian juga muncul adalah, ketika kita masih berkutat pada pernyataan bahwa ini merupakan isu penodaan atau penyimpangan agama atau ini adalah isu civic (hak dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara), tentu kekerasan ini tidak akan pernah usai. Karena secara
7
mendasar kedua aspek tersebut dimungkinkan memang turut serta dalam kekerasan yang terjadi. Jika dilihat, kekerasan yang beberapa kali diarahkan terhadap para pengikut JAI sebenarnya merupakan fenomena hate crime. Hal ini terjadi karena kekerasan tersebut tidak bersifat sporadis, melainkan berjalan secara sistematis. Secara harfiah, hate crime berarti kejahatan sebagai akibat rasa kebencian. Namun, secara konseptual, hate crime bukan tindakan kriminalitas yang dilandaskan pada kebencian atau ketidaksukaan yang bersifat spontan belaka. Hate crime adalah aksi kriminal yang dijalankan segolongan orang dengan dalih menegakkan kebenaran. Oleh karenanya hate crime dikatakan sebagai sebuah pelanggaran HAM. Hate crime, sebagaimana diuraikan oleh Eugene Mc Laughlin,10 adalah tindak kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian, bias maupun prasangka terhadap seseorang atau properti yang didasarkan pada ras, etnisitas, jender, agama, atau orientasi seksual dari pihak korbannya. Kebencian itu bisa jadi bersifat aktual maupun dipersepsikan belaka. Para pelaku hate crime selalu melandaskan pada identitas yang terdapat pada korban-korbannya. Terdapat proses seleksi yang dijalankan secara intensional (penuh kesengajaan) kepada para korban dengan alasan perbedaan yang tidak bisa ditoleransi. Jadi, hate crime memang kejahatan yang lahir dari watak tidak mengenal toleransi. Hate crime sangat mudah menghantam masyarakat yang plural (majemuk) karena para pelakunya selalu berupaya mencari-cari perbedaan identitas. Masalahnya bukan hanya perbedaan identitas itu sendiri yang kemudian meluapkan aksi-aksi hate ``crime, namun melainkan perbedaan itu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang. Sumber yang menyuburkan hate crime pada JAI dimulai dari fatwa MUI pada tahun 1980 yang kemudian dikuatkan lagi melalui fatwa MUI tahun 2005, yang menyatakan bahwa JAI sesat dan menyesatkan. Kemudian juga muncul melalui surat keputusan bersama (SKB) dari tiga institusi, yakni Kementrian Agama, Kementian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung tentang JAI pada 9 Juni 2008. Fatwa MUI dan SKB inilah yang kemudian memicu munculnya peraturan daerah (Perda) yang melarang aktivitas Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia.
10
Lihat, Eugene McLaughlin dan John Muncie (eds.), The Sage Dictionary of Criminology (New Delhi: Sage Publications, 2001), hal. 136.
8
SKB dirasa cukup memiliki dampak yang sangat luas dalam menyuburkan hate crime terhadap JAI. Sebagai prinsip awal, dalam buku sosialisasi SKB secara jelas dikatakan bahwa “pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat”. Pernyataan ini penting untuk digarisbawahi untuk mencari titik temu sesungguhnya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimanakah penerjemahan prinsip tersebut? Pemerintah mempersepsi perannya sebagai “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang”. Posisi warga JAI sendiri dalam persepsi tersebut adalah 1). Penyebab lahirnya pertentangan sebagaimana tersebut; 2). Korban tindakan kekerasan sebagai masyarakat. Keduanya harus ditangani pemerintah, sebagaimana tercermin pada SKB yang terdiri dari dua bagian, yaitu: 1. Peringatan pada Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajarannya yang dianggap menyimpang. 2. Peringatan pada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan melanggar hukum pada warga JAI. Pertanyaan yang kemudian juga muncul adalah, jika persepsi pemerintah seperti di atas, dapatkah prinsip “pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat” dipertahankan? Dampak nyata dari SKB ini kemudian terdeskripsikan dalam bentuk intimidasi yang terjadi pada JAI. Intimidasi muncul dari dua pihak, pertama adalah aparat atau pemerintah dimana bentuk peraturan dan atau keputusan yang dikeluarkan memicu reaksi yang sangat sensitif terhadap perpecahan di kalangan masyarakat. Intimidasi kedua muncul dari masyarakat dalam bentuk provokasi dan penyerangan secara anarkis kepada JAI. Kondisi diatas seolah dilegitimasi dengan kenyataan adanya hubungan yang kurang harmonis antara JAI dengan masyarakat sekitar. Intensitas keberbauran JAI yang belum begitu „mesra‟ atau cenderung ada hanya pada momen-momen tertentu memunculkan stigma bahwa JAI adalah kelompok yang eksklusif. Bahkan pernah muncul tudingan bahwa kelompok Ahmadiyah menganggap hanya diri mereka yang benar dan suci, karena itu jika ada orang lain (kaum Muslim non-Ahmadi) yang memasuki masjid Ahmadiyah, apalagi melakukan shalat di dalamnya, maka segera
9
mereka bersihkan bekas shalat tersebut. Namun, dalam dialog yang kami lakukan dengan pihak JAI hal tersebut dinyatakan tidak benar alias fitnah belaka. Menurut JAI, masjid mereka terbuka untuk umum, dalam arti siapa pun boleh memasukinya, termasuk melakukan ibadah ritual seperti shalat. Kebetulan pula saat kami berkunjung ke kampus Mubarok sebagai kantor pusat JAI di Parung, Bogor, bertepatan dengan waktu shalat zuhur. Kami pun diajak ke masjid mereka dan melakukan shalat zuhur berjamaah. Usai ibadah shalat, seorang mubaligh Ahmadiyah naik ke atas mimbar dan menyampaikan ceramah singkat mengenai rukun Islam. Kami menyimak uraian tersebut dan mendapatkan bahwa ternyata mereka pun meyakini rukun Islam yang lima, sebagaimana kaum Sunni pada umumnya. Shalatnya pun tidak ada perbedaan. Perbedaan baru terlihat saat dialog berlangsung, yang intinya bagi Muslim Sunni seperti kita meyakini bahwa Imam Mahdi yang dijanjikan Allah akan datang di akhir zaman untuk meluruskan agama Allah dan menegakkan kebenaran serta keadilan. Sementara jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu sudah datang, dalam wujud Hz Mirza Ghulam Ahmad.
C. Pelanggaran HAM yang Terjadi Menurut pihak Ahmadiyah sebagaimana dikemukakan dalam dialog, kasus pelanggaran HAM yang mereka alami hanya mendapat respon minim dari pemerintah. Salah satu buktinya adalah ketika terjadi penyerangan besar-besaran terhadap jemaat Ahmadiyah di Parung maupun di Cikeusik. Saat itu tidak terlihat penanganan tegas dari kepolisian setempat. Bahkan terkesan cenderung membiarkan anarkisme itu terjadi, sehingga memakan korban nyawa dan kerusakan berbagai fasilitas dan rumah tinggal. Para penyerang yang beringas seakan mendapat ”dukungan” dari diamnya aparat. Mereka menyatakan akan berhenti menyerang dengan syarat bahwa jemaat Ahmadiyah mau kembali beribadah dan berkeyakinan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, atau memisahkan diri dari Islam serta tidak mengatasnamakan Islam. Jika syarat itu tidak dipenuhi maka Ahmadiyah harus dibubarkan karena selama mereka ada akan tetap terjadi konflik horisontal. Segenap hak asasi manusia yang melekat pada warga Ahmadiyah telah terenggut atau direnggut paksa. Dan negara membiarkannya. Hak hidup mereka diabaikan,
10
terbukti dengan dibiarkannya pembunuhan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Hak kebebasan beragama mereka juga telah hilang karena tempat-tempat ibadat mereka disegel oleh aparat. Hak-hak sipil juga dirampas, contohnya hak menikah dalam status warga negara Indonesia. Mereka dilarang menikah dengan memiliki buku nikah dari kantor urusan agama (KUA). Warga Ahmadiyah juga dilarang membuat KTP sebagai warga negara Indonesia. Hak memiliki juga lenyap karena harta benda mereka seakan dihalalkan untuk direbut atau dimusnahkan dari jemaah Ahmadiyah. Hak bertempat tinggal juga direnggut karena keyakinan mereka yang berbeda. Misalnya ratusan jemaat Ahmadiyah yang terpaksa menjadi pengungsi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) karena diusir oleh warga. Dalam kasus-kasus tersebut, para penyerang pada umumnya tidak memperdulikan keberadaan anak-anak, kaum wanita, dan orang-orang tua. Akibatnya, kelompok-kelompok yang rentan tersebut pun menjadi sasaran kekerasan. Setelah berdialog dengan Ahmadiyah kami merasa bahwa kaum Muslim pada umumnya memang kurang atau belum memahami esensi hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk dalam hal beragama dan berkeyakinan. Introduksi tema-tema HAM kurang dilakukan baik oleh tokoh-tokoh agama maupun organisasi kemasyarakatan yang besar seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan sebagainya. Akibatnya, masyarakat mudah tegelincir melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM. Dan dalam hal ini, Ahmadiyah seringkali menjadi korban pelanggaran HAM yang dimaksud. Walaupun kita tahu bahwa Ahmadiyah itu sesat, bukanlah wewenang kita untuk menghakiminya, dan tidak seharusnya pula kita menindak mereka dengan kekerasan, karena kita dengan mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi negara kita. Umpamanya saja ada orang tersesat jalan hendak ke Bandung namun justru pergi ke Bogor, apakah kita akan memukuli orang tersebut? Tugas kita hanyalah menunjukkan jalan menuju Bandung. Apakah dia akan menerima arahan kita atau tidak, itu urusan dia. Betapapun sesatnya Ahmadiyah dilihat dari akidah Sunni, mereka tetaplah organisasi yang memiliki legalitas dan dasar hukum. Dan sebagai negara hukum, hendaknya segenap warga negara berperilaku dan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak main hakim sendiri, apalagi dengan jalan kekerasan. Kekerasan yang mengatasnamakan Islam dapat menimbulkan citra buruk Islam dimata dunia sebagai agama penebar teror dan anarki. Kaum muslim dituduh sebagai fanatik, anti-toleransi,
11
dan suka melanggar kebebasan agama orang lain. Tuduhan-tuduhan semacam itu tentunya tidak kita harapkan, apalagi kita bangsa Indonesia sejak dulu terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi toleransi. Dan kita memiliki Bhinneka Tunggal Ika, sebagai pijakan hidup bersama secara rukun dan damai di dalam perbedaan-perbedaan. Sudah banyak contoh negara-negara lain belajar kepada kita dalam hal mengelola perbedaan. Sering dikatakan dalam perbandingan bahwa negara-negara Arab adalah satu bangsa dan satu bahasa (bangsa dan bahasa Arab) namun mereka terpecah menjadi puluhan negara. Sebaliknya, bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa, namun bersatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini merupakan anugerah dan rahmat Allah SWT yang harus kita syukuri dan pelihara bersama.
Analisa Kasus-kasus Pelanggaran Pelanggaran HAM dan kebebasan beragama selalu berhasil menarik perhatian khalayak luas. Hal ini karena setiap orang menyadari pentingnya agama dan juga sekaligus menjaganya. Secara definitif, intoleransi beragama (religious intolerance) berarti sikap dan tindakan yang tidak menghargai hak-hak fundamental pemeluk agama tertentu dalam menjalankan keyakinan agama yang berbeda dengan keyakinannya. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam resolusi Declaration on the Elimination of All Form of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Beliefe menyatakan, intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan berarti setiap pembedaan, pengabdian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan HAM dan kebebasan-kebebasan yang mendasar atas dasar yang setara. Penjelasan tersebut bisa dijadikan pijakan dalam membahas pelanggaran HAM pada JAI. Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena eksistensinya sebagai manusia; tidak seorang pun diingkari hak asasinya tanpa keputusan hukum yang adil. Hal ini senada dengan Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa ”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
12
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Penjelasan di atas sudah sangat gamblang menyebutkan bagaimana setiap manusia harus dijunjung hak asasinya. Lalu, bagaimanakah kita melihat penyerbuan atas JAI? Dalam perspektif HAM, penyerbuan tersebut merupakan presenden buruk bagi adanya toleransi beragama di Indonesia dan merupakan bentuk anti klimaks dari kejadian penyerangan terhadap JAI yang selama ini marak di berbagai wilayah di Indonesia sebagai suatu pelanggaran HAM. Begitu pula dalam perspektif hukum, penyerbuan massa terhadap JAI karena adanya ketidaksetujuan terhadap keyakinan dan aktivitas yang dilakukan kelompok JAI merupakan pelanggaran hukum. Komisi Nasional hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) menyebutkan, setidaknya ada delapan indikasi pelanggaran HAM dari kasus penyerbuan atas JAI, yaitu: pelanggaran terhadap hak untuk hidup, hak untuk bebas memilih agama dan menjalankan ibadah, hak untuk berkumpul, hak atas rasa aman, hak privasi tempat tinggal, hak perlindungan atas miliknya, hak untuk tidak didiskriminasi, dan hak anak. Pelanggaran-pelanggaran sebagaimana tersebut, kemudian tercermin dari dampak yang ditimbulkan pasca penyerbuan berlangsung seperti rusaknya fasilitas ibadah dan rumah warga JAI, menimbulkan
keretakan antara JAI dengan warga,
bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya trauma berkepanjangan dari wanita dan anak-anak JAI, dan perubahan self-society JAI. Pendidikan sebagai lembaga ideologis negara juga menjadi tempat diskrminasi bagi warga JAI, artinya ruang-ruang negara yang seharusnya sebagai tempat yang netral menjadi tempat yang tidak nyaman bagi JAI.
Kekerasan psikologis merupakan
kekerasan yang selalu ada dalam rangkaian kekerasan yang terjadi, kekerasan fisik pun tidak pernah terlepas dari kekerasan psikologis sebagai akibat kekerasan fisik. Tekanan terhadap JAI pun secara tidak langsung terjadi melalui kekerasan yang terjadi di berbagai ruang, termasuk ruang ideologis negara seperti pendidikan.
13
D. Upaya Rekonsialiasi dan Penyelesaian Konflik secara Damai Rekonsialiasi merupakan suatu usaha untuk memulihkan hubungan peraudaraan yang bertikai untuk kembali harmonis. Rekonsiliasi dapat diartikan pula sebagai upaya penyelesaian perbedaan, hal ini karena seringkali perbedaan menyulut timbulnya perpecahan. Hal mendasar yang harus dilakukan dalam rekonsiliasi adalah membuang jauhjauh sifat kebencian sebagai modal awal. Namun pada tahap ini seringkali terkendala dengan kenyataan bahwa JAI susah melakukan mediasi dengan pemerintah atau pihakpihak terkait. Legitimasi sepihak non-kompromi bahwa JAI adalah sesat dan menyesatkan begitu sulit untuk dipecahkan. Sehingga dalam kasus JAI pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah, apakah kelompok mayoritas akan menerima dan merangkul JAI? Kondisi ini kemudian memunculkan masalah berkepanjangan karena upaya rekonsiliasi menjadi alot dan sulit dilakukan. Hal ini tak lain karena tuduhan bahwa JAI adalah sesat dan menyesatkan sudah mengakar dalam diri banyak orang. Namun kabar baiknya, JAI memiliki kesadaran tentang pentingnya perdamaian. Hal tersebut kemudian menginisiasi proses rekonsiliasi pasca konflik. JAI melakukan berbagai macam inisiatif perdamaian untuk memperbaiki hubungan mereka dengan masyarakat luas. Mereka mendatangi para pemuka agama, pemerintahan, dan pihak berwenang lainnya untuk bernegoisasi mengenai hak asasi mereka yang telah terenggut. Mereka juga mengadakan seminar-seminar perdamaian agar permusuhan tidak terjadi kembali antara mereka dengan masyarakat nonAhmadiyah. Penanganan pasca konflik juga tidak hanya dilakukan oleh kaum pria. Organisasi Wanita Ahmadiyah juga ikut berpartisipasi dalam masalah ini. Mereka ikut andil dalam penyembuhan traumatis pada anak dan wanita Ahmadiyah. Penangan traumatik yang dialami oleh kaum wanita dan anak-anak pasca penyerangan masyarakat terhadap Ahmadiyah diupayakan semaksimal mungkin. Organisasi wanita ini membekali anak-anak Ahmadiyah dengan kiat-kiat yang harus mereka lakukan jika kekerasan kembali terjadi. Beberapa cara yang diajarkan yaitu persediaan koper kecil yang mengutamakan isi beberapa baju dan berkas penting seperti ijazah sekolah, akte kelahiran, dan lain-lain. Anak-anak juga diperintahkan untuk sekolah dan mengenyam
14
pendidikannya bersama masyarakat di luar Ahmadiyah. Mereka tidak dianjurkan untuk sekolah di sekolah khusus milik Ahmadiyah. Organisasi wanita Ahmadiyah mengusahakan agar anak-anak Ahmadiyah mendapat hak keluasannya dalam bersosialisasi di dalam masyarakat luas. Ketua Organisasi Wanita Ahmadiyah, Dr. Lilis Aisyah dalam dialog terbuka dengan kami para santri menjelaskan bahwa kaum wanita dan anak-anak Ahmadiyah juga dibekali motto hidup:“cinta untuk semua, tidak membenci siapapun” (love for all, hatred for none). Menurut Lilis, motto ini menyebabkan kaum Ahmadi tidak pernah melawan atau membalas dendam atas apa yang dilakukan para penyerang kepada mereka. Mereka juga menjadikan motto ini sebagai mantra penguat bagi masyarakat Ahmadiyah untuk mampu bertahan hidup bersama dengan masyarakat lainnya. Konflik besar yang terjadi di pusat Ahmadiyah di Bogor dan di Cikeusik tidak menandakan bahwa peristiwa itu merupakan puncak, dan bahwa pandangan masyarakat tentang Ahmadiyah telah selesai. Di tahun 2015 memang konflik besar tidak terjadi, namun ini bukan berarti kejadian seperti tahun-tahun sebelumnya tidak akan terjadi kembali. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ada beberapa upaya yang dilakukan Ahmadiyah yang tersusun dalam strategi komunikasi dan kerjasama mereka kepada masyarakat lainnya. Strategi-srategi itu diantaranya: 1. Komunikasi lintas agama seperti yang dilaksanakan dengan Jakatarub (Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama), Interfidei (Interfaith Dialogue), Pelita (Pemuda Lintas Agama), dan lain-lain. 2. Kerjasama dengan kelompok toleran seperti Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Pemuda Ansor, dan lain-lain. 3. Kerjasama dengan perguruan tinggi lainnya seperti UIN Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Universitas Padjajaran Bandung. 4. Kunjungan dengan media massa untuk mengklarifikasi kesalahpahaman masyarakat mengenai akidah Ahmadiyah. 5. Dialog terbuka dengan pihak yang anti Jemaat Ahmadiyah Indonesia seperti MUI dan Ormas garis keras.
15
6. Program live-in atau field trip mengenai sistem organisasi Ahmadiyah, pengkaderannya, peran sosialnya, dan sistem pengorbanan uang dengan cara mengikhlaskan sepersepuluh gaji atau pendapatan mereka untuk Jemaat Ahmadiyah. 7. Pengobatan massal tanpa melihat perbedaan agama. 8. Menghadiri undangan parlemen Eropa dan Inggris dalam rangka dialog mengenai toleransi dan multikulturalisme. 9. Dll. Tidak semua upaya yang dilakukan itu mendapat respon baik dari masyarakat dan pemuka agama lainnya. Tidak sedikit juga yang memilih untuk menolak usaha dan strategi mereka ini. Alasannya bermacam-macam, dari masalah keyakinan yang tidak bisa dikompromikan, hingga tuntutan tanpa syarat agar Ahmadiyah dibubarkan atau kembali ke Islam yang haq sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Hadis. Namun, jemaat Ahmadiyah melalui organisasi JAI terus berusaha agar hak beragama dan berkeyakinan mereka diakui sebagai dinyatakan oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan hak asasi mereka sebagai warga negara dapat dipulihkan.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi a. Kesimpulan Fenomena kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah adalah salah satu contoh bagaimana ketidakadilan hukum muncul ketika legitimasi kebenaran ditentukan oleh pihak mayoritas dan yang berkuasa. Di sisi lain, pihak yang merasa dirugikan akan berjuang mempertahankan hak mereka sebagai manusia yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah di Indonesia, kemudian muncul juga pengusiran terhadap pengikut aliran Syi‟ah di Sampang Madura, telah mencoreng negara yang menjunjung tinggi HAM dan Bhinneka Tunggal Ika. Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Hak untuk hidup, hak berserikat, hak memilih keyakinan yang dilindungi undang-undang, dan hak memperoleh perlindungan dari negara sehingga terciptanya rasa aman. Selama ini tuduhan yang dilontarkan kepada Ahmadiyah terkait penistaan agama, sedangkan pihak Ahmadiyah bersikeras menolak tuduhan tersebut. Bukan hal yang mudah untuk menyelesaikan konflik terkait keyakinan atau agama, akan tetapi jika konflik dapat
16
dikelola dengan baik maka tidak akan memicu sampai munculnya sebuah kekerasan. Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang tak dapat dihindari. Butuh sebuah penanganan yang pasti dan memungkinkan terpeliharanya hak setiap pihak. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa HAM telah memberi jalan bagaimana kelompok dapat menghormati kebebasan beragama apapun. Kekuatan HAM dan penegakannya menjadi inti suksesnya keadilan dalam masyarakat. Jika hal ini dapat dilakukan, tidak ada persoalan lagi mengapa harus ada kelompok yang dimusuhi. HAM menjadi patokan bagaimana setiap individu harus saling menghargai. Adanya dialog dua arah, sikap anti kekerasan, saling menghargai kepercayaan orang lain, dan hak-hak asasi sesama mesti dikembangkan dan dijadikan landasan dalam setiap tindakan.
b. Rekomendasi Dalam kasus ini Ahmadiyah bisa menghindari konflik yang terjadi di masa lalu dengan cara lebih sering berinteraksi positif dengan warga masyarakat lainnya. Dengan diawali interaksi yang baik Ahmadiyah bisa hidup bersama dengan memiliki haknya masing-masing. Interaksi tersebut bisa direalisasikan dengan cara pembauran Ahmadiyah dengan masyarakat. Pembauran itu tidak harus melepaskan keyakinan mereka dalam beragama, karena keyakinan beragama adalah hak asasi warga negara Indonesia. Memang memerlukan waktu yang lama untuk diterima oleh masyarakat, namun kami yakin pada hakekatnya masyarakat Indonesia memiliki rasa toleran yang tinggi antar-umat beragama. Perbedaan yang mengemuka hendaknya bisa diselesaikan dengan duduk bersama untuk memahami satu keyakinan dengan keyakinan yang lain tanpa kekerasan. Masyarakat yang paham dengan agama Islam tentu akan mencerminkan budi yang baik sebagaimana diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW dalam menyelesaikan permasalahan umat. Rasulullah SAW tidak pernah menyelesaikan problem umat dengan amarah dan emosi. Beliau juga sangat menghargai perbedaan. Sewaktu Rasulullah SAW menjadi pemimpin umat dan negara, perbedaan beragama tidak dicampurbaurkan dalam urusan kewarganegaraan. Maka, belajar dari teladan beliau, alangkah baiknya jika perbedaan paham agama dan keyakinan tidak merusak hak kewarganegaraan. Kami memahami bahwa masyarakat melakukan semua itu karena ingin melindungi agama mereka dari ajaran-ajaran yang menyimpang, menghindari adanya
17
kemusyrikan dan menjauhinya faham-faham sesat. Namun menurut kami ada kesalahan tersendiri dalam bentuk ekspresinya. Tidak seharusnya melawan faham-faham semacam itu dengan kekerasan karena agama Islam sejatinya menolak segala bentuk kekerasan. Islam adalah agama yang sangat damai, maka tidak seharusnya kita sebagai umat Muslim melakukan tindakan-tindakan kekerasan, karena segala bentuk kekerasan sebagaimana yang akhir-akhir ini banyak terjadi telah mengubah citra Islam yang damai dan sejuk menjadi keras dan beringas. Dan bagi pemerintah, terdapat kewajiban untuk melindungi hak asasi warga negara tanpa kecuali. Konstitusi atau undang-undang dasar kita dengan jelas memberi jaminan bagi kebebasan beragama, karena itu setiap warga seyogyanya memperoleh perlindungan negara untuk memiliki keyakinan dan beribadah sesuai dengan hati nuraninya. Pemerintah juga hendaknya memberikan pemahaman keagamaan dan HAM kepada masyarakat Indonesia secara masif dan terintegrasi, misalnya dengan memasukannya kedalam kurikulum pendidikan. Tugas pemerintah juga untuk memfasilitasi dialog, pendekatan, dan mediasi secara tuntas antara JAI, pemerintah, dan organisasi-organisasi Islam lainnya. []
18