Laporan Penelitian dan Rekomendasi
MENDORONG PRESTASI OLAHRAGA MELALUI KEBIJAKAN PENDANAAN DAN FISKAL November 2010
Tim Penulis
Adviser
Haris Herdiansyah Tedy J. Sitepu Tia Rahmania Lukman Hakim
Wijayanto Bima P. Santosa
Paramadina University Jl. Gatot Subroto Kav. 97 Mampang, Jakarta 12790 Indonesia t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375 http://policy.paramadina.ac.id
Laporan Penelitian dan Rekomendasi
MENDORONG PRESTASI OLAHRAGA MELALUI KEBIJAKAN PENDANAAN DAN FISKAL November 2010
Tim Penulis
Adviser
Haris Herdiansyah Tedy J. Sitepu Tia Rahmania Lukman Hakim
Wijayanto Bima P. Santosa
Paramadina Public Policy Institute Jl. Gatot Subroto Kav. 97 Mampang, Jakarta 12790 t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375 http://policy.paramadina.ac.id
Tim Peneliti dapat dihubungi pada: Adviser: Wijayanto Bima P. Santosa
(
[email protected]) (
[email protected])
Peneliti: Haris Herdiansyah Tedy J. Sitepu Tia Rahmania Lukman Hakim
(
[email protected]) (
[email protected]) (
[email protected]) (
[email protected])
BAGIAN 1
LATAR BELAKANG Diperlukan perhatian yang lebih serius dalam membangun prestasi olahraga Indonesia. Keunggulan dan prestasi pada berbagai kompetisi internasional akan membangun karakter dan kepercayaan diri bangsa.
Salah satu cara untuk memantapkan rasa kebangsaan adalah memanfaatkan momenmomen kompetisi antar bangsa, termasuk di dalamnya kompetisi olahraga. Para ahli meyakini bahwa olahraga memberi kontribusi dalam membentuk bahkan mampu melakukan pembentukan kembali identitas nasional suatu negara dalam dunia global (Lippe, 2002)
Olahraga dan Identitas Bangsa Sepanjang tiga dasawarsa terakhir ini olahraga diyakini berperan besar dalam proses globalisasi dan dalam regenerasi identitas lokal, nasional dan regional dari suatu masyarakat/bangsa (Nauright, 2004). Lippe (2002) & Horne (2006) menyatakan bahwa dengan olahraga keberadaan suatu bangsa dihadirkan secara global pada dunia. Kehadirannya melalui kibaran bendera suatu negara, diperdengarkannya lagu kebangsaan, para negarawan yang hadir dalam pertandingan, serta para atlet yang berkompetisi dengan menghadirkan simbol-simbol negaranya dan bentuk positif nasionalisme dan rasa bangga berbangsa. Sehingga, seolah-olah
negara yang lahir dari keyakinan kolektif suatu komunitas itu sungguh-sungguh memiliki wujud. Bangsa Indonesia mengenal Lim Swie King, Ellyas Pical, Mardi lestari, dan Richard Sambera. Nama mereka seakan memberikan ruh kemenangan dan menjadi ikon olahraga tanah air. Mereka adalah milik bangsa, kebanggaan bangsa, dan identitas bangsa Indonesia di kancah olahraga dunia. Ketika mereka bertanding, mereka membawa harapan bagi bangsa Indonesia menjadi juara, untuk berkumandangnya lagu Indonesia Raya dan berkibarnya bendera merah-putih di podium juara. Predikat tersebut memberikan pengaruh positif dan
1
“Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penurunan prestasi olahraga dan bagaimana rekomendasi bagi usaha-usaha peningkatan prestasi olahraga di Indonesia?”
membentuk suatu citra positif bagi bangsa Indonesia yang berujung pada terbentuknya mental bangsa menjadi bangsa yang unggul. Olahraga dan Kinerja Ekonomi Di banyak negara, olahraga ternyata bukan saja merupakan aktifitas yang memberikan manfaat intangible bagi bangsa, tetapi ketika dikelola dengan baik, oleh raga akan menjelma menjadi industri yang mampu mempekerjakan ribuan tenaga kerja serta menjadi sumber pendapatan pajak bagi pemerintah. Di Amerika Serikat, misalnya, olahraga merupakan industri ke-11 terbesar, dengan nilai ekonomi sebesar USD 152 milyar (Luis, 2010). Nilai tersebut belum memperhitungkan efek multiplier yang ditimbulkannya. Apa yang terjadi di Amerika nampaknya mulai diikuti oleh berbagai negara di Eropa serta Australia.
Prestasi Olahraga Indonesia Beberapa dekade yang lalu, potret olahraga bangsa Indonesia pernah mengalami masa keemasan. Cabang sepakbola misalnya, pada masa itu, seluruh bangsa Indonesia mendukung kesebelasan kebanggaan, tim nasional sepakbola Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong menyaksikan dan mendukung tim kesayangannya melawan tim dari negara lain. Para penontonnya pun terhitung cukup banyak, lengkap dengan atribut kebanggaan nasional, bendera merahputih, baik yang dikibarkan maupun dalam bentuk ikat kepala, bandana dan
lain-lain. Suara riuh yel-yel penyemangat, berkumandang sepanjang pertandingan. Pada masa tersebut, momen olahraga berhasil menjadi sarana efektif dalam mempersatukan bangsa. Kini, kondisi olahraga nasional semakin memprihatinkan seiring dengan terpuruknya prestasi di level regional maupun internasional. Keterlibatan dan prestasi Indonesia di pentas olahraga baik Asia maupun dunia semakin mengalami kemunduran. Sejak SEA Games Thailand (1995), prestasi Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan. Trend tersebut terus berlanjut pada SEA Games Malaysia (2001), SEA Games Filipina (2003), SEA Games Vietnam (2005), dan terakhir SEA Games Nakhon Ratchasirna, Thailand (2007), Dalam empat SEA Games terakhir itu, baik dari sisi peringkat maupun dari perolehan jumlah medali (emas), prestasi Indonesia tidak pernah beranjak naik kembali. Setelah 1997 Indonesia tidak pernah lagi menjadi juara umum SEA Games. Pada tingkat Asia, prestasi Indonesia sejak tahun 1998 di Bangkok hingga 2006 di Qatar, juga menunjukkan penurunan yang konsisten, terutama jika dibandingkan dengan prestasi yang diraih oleh negara-negara tetangga. Grafik peringkat Asian Games sejak tahun 1982 terus menunjukkan
Ketika kita sedang membangun moral bangsa melalui prestasi olahraga, sebenarnya kita juga sedang membangun ekonomi kita.
Grafik Peringkat dan Perolehan Medali Emas Indonesia pada SEA Games Tahun 1978 - 2009
2
penurunan prestasi yang konstan, sementara Thailand dan Malaysia menunjukkan prestasi yang stabil, bahkan tren yang membaik. Pada cabang olahraga bulutangkis pun Indonesia mengalami kemunduran. Sejak tahun 2002, Indonesia tidak pernah lagi memenangkan Piala Thomas. Kondisi yang sangat jauh menurun dibanding era tahun 1960 – 1980, dimana kita langganan juara Thomas
Sejak tahun 2002, dunia Bulu Tangkis Indonesia hingga kini belum bangkit dari keterpurukan. Tradisi juara dalam Bulu Tangkis kini telah hilang http://lipsus.kompas.com
Cup, bahkan beberapa kali berhasil menyandingkan piala Thomas dan Uber. Kemunduran prestasi tersebut nampaknya terjadi secara hampir merata diberbagai cabang olahraga. Banyak argumen yang menyebutkan apa penyebab keterpurukan prestasi kita ini. Mulai dari belum adanya program pembinaan atlet yang komprehensif berskala nasional, kekurangan fasilitas olahraga, rendahnya kualitas sistem kompetisi di tanah air, hingga minimnya pendanaan terhadap kegiatan olahraga. Apakah prestasi Indonesia yang terus turun ini akan berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara? Jawabannya adalah ya. Walaupun sulit untuk mengukur secara kuantitatif dampak tersebut, tetapi paling tidak Schults mengatakan bahwa mental pesimis lahir dari lingkungan dan kondisi yang pesimis (Schultz & Schultz, 2006). Suatu konsep psikologi yang terkenal yaitu self-fulfilling prophecy berlaku pada kondisi ini. Self-fulfilling prophecy merupakan kondisi ketika harapan menciptakan suatu realitas (Baron. Branscombe. & Byrne, 2008). Jika dikaitkan dengan kondisi diatas, harapan
yang pesimis akan kemenangan akan menciptakan suatu realitas yang pesimis terhadap kemenangan yang pada akhirnya menciptakan suatu mental yang pesimis. Jika kondisi ini berlanjut dalam waktu yang panjang, maka yang terjadi adalah makin suramnya masa depan olahraga di Indonesia. Upaya memperbaiki prestasi olahraga di tanah air merupakan salah satu faktor penting untuk membangkitkan mental juara.
Pentingnya Membangun Prestasi Olahraga Bercermin dari betapa olahraga berperan dalam pembentukan identitas bangsa (Lippe, 2002) serta regenerasi sosial dan ekonomi (Horne, 2006), maka diperlukan perhatian lebih serius dalam membangun prestasi olahraga Indonesia. Apabila olahraga di Indonesia maju dan mampu meraih prestasi pada berbagai kompetisi internasional maka akan membangun karakter dan kepercayaan diri sebagai bangsa. Di sisi lain, secara ekonomi prestasi ini akan merupakan langkah maju dalam membangun industri olahraga di tanah air.
3
BAGIAN 2 FAKTOR PENURUNAN PRESTASI Tim Peneliti melakukan berbagai studi literatur serta melakukan fact finding di lapangan melalui in-depth interview dengan berbagai pemangku kepentingan di bidang olahraga.
Berbagai pihak yang diinterview adalah para atlet dan mantan atlet, pelatih, pengurus organisasi olahraga, dan pengusaha yang memiliki perhatian pada olahraga. Terdapat beberapa pokok perhatian mereka tentang faktor-faktor yang menyebabkan turunnya prestasi olahraga. Tim Peneliti sepakat mengangkat concern mereka tersebut dengan semangat mencari solusinya dalam forum yang lebih luas tanpa menjadi ajang saling menyalahkan. Berikut beberapa pokok masalah yang diidentifikasi: 1. Profesi Atlet Tidak Menarik bagi Anak Bangsa 2. Olahraga Tidak Terbangun Secara Terintegrasi dengan Sistem Pendidikan 3. Minimnya Dana Untuk Pembinaan Olahraga 4. Belum Optimalnya Keterlibatan Berbagai Pihak, terutama Pihak Swasta, dalam Pembinaan Olahraga 5. Sarana dan Prasarana Olahraga yang Minim 6. Strategi, Peran dan Prioritas Pemerintah
Profesi Atlet Tidak Atraktif bagi Anak Bangsa Beberapa dekade lalu Indonesia memiliki putra-putri terbaik yang dapat mengharumkan nama bangsa melalui olahraga. Dengan kemampuan mereka, para atlet tersebut mampu menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia
4
merupakan bangsa yang tangguh di bidang olahraga. Sebagai contoh, melalui olahraga bulutangkis, Indonesia mampu menguasai dan senantiasa menjadi juara di setiap even internasional. Namanama seperti Rudi Hartono yang pernah menjuarai kejuaraan All England hingga delapan kali, tujuh kali diantaranya secara berturut-turut, Lim Swie King, Hastomo Arby dan lain-lain. Demikian juga dengan Alan Budikusuma dan Susi Susanti yang terkenal sebagai pasangan emas karena berhasil memperoleh medali emas olimpiade. Pada beberapa cabang olahraga seperti bulutangkis, Indonesia masih disegani oleh bangsa lain. Sebagian masyarakat masih berminat menjadikan putra-putri mereka atlet bulutangkis, tetapi fenomena ini nampaknya lebih karena kasuistis, bukan karena proses rekrutmen yang terstruktur.
Kondisi yang cukup kontras terdapat pada cabang olahraga lainnya. Di cabang olahraga lain justru kemenangan dan prestasi semakin sulit diwujudkan Seperti contoh dalam cabang olahraga tenis, sesudah Yayuk Basuki hingga kini belum ada atlet nasional yang menyamai prestasinya; bahkan hingga tahun 2010, Yayuk masih mepunyai posisi cukup dominan di bidang tenis, suatu bukti lemahnya regenerasi. Di cabang tinju, setelah pensiunnya Ellyas Pical terjadi masa krisis petinju berprestasi selama bertahun-tahun sampai munculnya nama Chris John. Kedua contoh tersebut merupakan potret buram yang menggambarkan betapa profesi atlet tidak menarik bagi anak bangsa, sehingga berbagai bidang olahraga mengalami kelangkaan supply atlet muda berbakat. Di sisi lain, atlet adalah profesi yang memerlukan pengorbanan jangka
Sejak Timnas PSSI meraih medali emas Sea Games tahun 1991 di Manila, hingga kini Timnas PSSI tidak pernah lagi meraih prestasi serupa
panjang, pendapatan yang relatif kurang menarik ketika masa produktif datang dan tidak adanya jaminan masa depan ketika seorang atlet pensiun dari karir keatletannya. Apabila kita analogikan dengan alternatif investasi, selain berjangka panjang dan berisiko tinggi, return investasi ini relatif rendah, sehingga hanya investor yang benar-benar mempunyai kecintaan sangat tinggi saja yang akan berinvestasi, dan jumlah investor seperti ini tidaklah banyak. Tentu hal ini menjadikan profesi atlet bukan lah pilihan utama bagi anakanak muda Indonesia. Di beberapa negara, pemerintah sangat peduli dan memperhatikan kesejahteraan atletnya dan memperlakukan atletnya sebagai pahlawan yang membela kehormatan bangsa di kancah olahraga internasional. Bahkan ketika pensiun, pihak pemerintah telah menjamin kesejahteraannya. Kondisi demikian menjadikan profesi tersebut sangat menarik bagi masyarakatnya untuk berprofesi sebagai atlet. Alhasil, proses regenerasi menjadi dinamis.
Salah seorang mantan atlet yang pernah menjadi juara dunia memperkirakan bahwa di Indonesia tidak lebih dari 10 persen mantan juara yang mampu hidup layak di masa tuanya. Dan sebagian besarnya mendapatkan penghasilan di luar keahliannya sebagai atlet. Jika dilihat dari perjalanan karier sebagai atlet, terdapat beberapa fase yang secara umum terbagi menjadi tiga: Pertama fase pra-produktif, yaitu fase awal dimana seorang atlet mulai meniti karier di bidang olahraga dan melakukan serangkaian aktivitas pelatihan dan
Perbandingan Trend Prestasi pada Asian Games
Thailand Malaysia
Filipina
Indonesia
pengembangan keahlian olahraganya. Lamanya fase ini adalah kurang lebih 14 tahun, tergantung jenis olahraga. Pada fase pra-produktif ini, umumnya atlet belum mendapatkan insentif yang memadai sehingga proses pendanaan masih bertumpu pada keluarga/orangtua atau beasiswa. Kedua fase produktif, yaitu fase lanjutan dimana seorang atlet sudah memiliki kemampuan yang memadai dalam bidang olahraga hasil dari pelatihan fase sebelumnya. Pada fase ini, atlet sudah secara profesional melakukan berbagai pertandingan baik nasional maupun internasional. Pada fase ini, insentif diperoleh dari klub, sponsor, hadiah atau bonus. Lamanya fase ini kurang lebih hampir sama dengan fase sebelumnya yaitu sekitar 14 tahun, tergantung jenis olahraga. Ketiga fase pasca-produktif, yaitu fase dimana seorang atlet sudah tidak lagi mempu berprestasi, karena faktor usia. Dalam fase ini, mantan atlet harus menggantungkan kehidupannya pada tabungan yang ia miliki selama menjadi atlet, berbagai royalty yang menghasilkan serta aktifitas non keatletan.
Tren Prestasi Beberapa Negara pada Asian Games
5
14 tahun Sumber dana: orang Tua, keluarga, beasiswa
3
7
12
14
14 tahun Sumber dana: klub, sponsor, hadiah, bonus
17
20
Tahap Beasiswa Latihan Terpadu
30
Tahap Kompetisi Nasional Internasional
Tahap Dewasa
Tahap Latihan dan Kompetisi Junior Potensi Untuk berprestasi
Pengembangan Minat Tahap Pengenalan
Grafik Fase Karier Atlet
• Masa investasi yang panjang • Mutlak diperlukannya dukungan dana dari keluarga atau charity • Tingginya tingkat kegagalan menjadi juara • Kurangnya insentif pada masa produktif • Tidak ada jaminan dimasa tua • Sulit kembali ke dunia kerja atau usaha
Jika digambarkan dalam bentuk grafik mengenai fase-fase tersebut, Grafik di atas menggambarkan bagaimana perjalanan atlet dari masa kecil hingga pasca prestasi. Berdasarkan Grafik tersebut dapat kita lihat beberapa alasan mengapa profesi atlet tidak atraktif, antara lain: Masa investasi yang panjang Masa investasi dalam karier atlet berada pada fase pra-produktif. Dalam fase tersebut, semua usaha yang dilakukan atlet baik dari segi materi, waktu maupun tenaga dicurahkan secara maksimal dalam waktu yang cukup panjang (kurang lebih selama 14 tahun). Selama waktu tersebut, efektif segala hal di luar pelatihan dan pengembangan keahlian olahraga akan tersisihkan atau bahkan dihilangkan dari prioritas Mutlak diperlukannya dukungan dana dari keluarga atau charity Selama masa investasi, umumnya dukungan materi atlet muda masih
6
bergantung dari keluarga maupun charity. Biaya hidup, uang saku, kontrak, maupun dukungan lainnya yang berasal dari PB ataupun klub baru diperoleh ketika atlet sudah masuk ke dalam jalur pembinaan. Dengan demikian, agar karier keatletan dapat dikembangkan sejak awal keluarga pun harus memiliki dana yang memadai. Keluarga yang kurang memiliki dana yang memadai, walaupun memiliki anak dengan bakat yang luar biasa, akan tetap mengalami kesulitan untuk mengembangkan/melanjutkan bakat anaknya tersebut ke jalur profesional. Kurangnya insentif pada masa produktif Prestasi hanya dapat diraih oleh atlet yang memiliki keahlian yang luar biasa, mental juara, disiplin yang tinggi, dan serangkaian modalitas lainnya. Sehingga tidak semua atlet muda mampu meraih prestasi puncak. Terlebih lagi dengan sistem dan manajemen yang kurang memadai, menjadi faktor yang menyulitkan teraihnya gelar juara.
Sejak Lisa Rumbewas meraih medali emas olimpiade tahun 2000 dan 2004, belum ada yang mencatat prestasi serupa pada event olimpiade
Tingginya tingkat kegagalan menjadi juara menurunkan daya tarik atlet sebagai pilihan profesi bagi anak muda. Pada hampir seluruh cabang olahraga di Indonesia, kurangnya insentif menjadi permasalahan yang hampir dipastikan terjadi. Hal ini jelas sangat berpengaruh kepada ketertarikan masyarakat untuk memilih dan menekuni profesi sebagai atlet profesional . Rendahnya intensitas kejuaraan yang merupakan sumber penghasilan para atlet, minimnya jumlah sponsor serta tingkat pajak yang relatif tinggi merupakan faktor penghambat yang signifikan. Tidak ada jaminan di masa tua Walaupun jaminan hari tua (dana pensiun) telah diatur dalam UndangUndang no 3 tahun 2005 pasal 86 mengenai penghargaan, namun pada implikasinya, jaminan hari tua (dana pensiun) bagi atlet belum terealisasi. Sulit kembali ke dunia kerja atau usaha Karier keatletan merupakan karier yang
bersifat satu dimensi, artinya ketika seorang atlet memilih atlet sebagai pilihan profesinya, maka sepanjang rentang karier keatletannya kecil kemungkinan mengembangkan karier lainnya karena terbatasnya waktu dan tenaga. Karier keatletan membutuhkan fokus yang cukup tinggi dalam hal waktu dan tenaga. Banyak hal yang harus dikorbankan, misalnya sekolah ataupun karier dalam bidang lainnya. Ketika seorang atlet sudah pensiun, maka ia akan kehilangan banyak hal, bukan saja profesi keatletannya tetapi juga kesempatan bekerja di bidang lain. Seorang atlet yang telah pensiun, akan sulit untuk mengembangkan diri di dunia kerja kecuali ia memiliki dukungan lain seperti memiliki modal usaha atau memiliki jaringan yang luas yang dapat membantunya bekerja. Di sisi lainnya, pemerintah juga telah memberikan kesempatan untuk bekerja di instansi pemerintah sebagai PNS, tetapi tidak semua atlet bersedia terjun dalam dunia tersebut karena dinamika kerja dan karakter atlet biasanya tidak sesuai dengan bidang kerja PNS. Faktor lain yang cukup membantu
adalah adanya kesempatan bekerja yang diberikan oleh pengusaha (pemilik klub) untuk bekerja pada perusahaannya. Olahraga Tidak Terbangun dari Sekolah Olahraga dan sekolah, menjadi dua hal yang terpisah dan berdiri di atas kaki yang berbeda. Di Indonesia, sekolah didesain sebagai pendidikan formal yang penekanan utamanya terletak pada kemampuan kognitif teoritis-konseptual yang mengarah kepada jalur kerja di bidang formal. Sementara olahraga bergerak pada tataran praktis non teoritis. Dua hal ini didesain dengan tujuan yang berbeda walaupun di sekolah juga diajarkan hal yang bersifat praktis (misal pendidikan olahraga). Permasalahan yang muncul adalah sekolah dan karier atlet berjalan pada rentang waktu yang bersamaan dan keduanya memiliki rangkaian kegiatan pembelajaran yang sangat padat. Dengan demikian, sulit menggabungkan antara pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan atlet (karier atlet) sehingga terpaksa harus memilih salah satu di antaranya.
7
Mengingat berbagai keterbatasan, Pemerintah idealnya lebih mendorong peran swasta dalam pembinaan olahraga. Selain mendorong perbaikan peran, pemerintah perlu lebih memfokuskan diri pada upaya mendisain dan menerapkan kebijakan publik yang kondusif bagi peran swasta.
Beberapa pengalaman para mantan juara yang diwawancarai oleh Tim Peneliti, seringkali pilihan berlatih atau sekolah berbenturan. Bahkan terdapat beberapa kasus pihak sekolah yang memberi ultimatum bila lebih mementingkan latihan maka anak tersebut diminta pindah sekolah karena sekolah tidak dapat selamanya mengijinkan absennya atlet ketika harus bertanding dengan mengorbankan prestasi sekolah. Tentu saja hal ini tidak bisa langsung dipersalahkan karena sekolah sendiri memiliki target-target yang harus dicapai dalam proses belajar-mengajar. Namun, kondisi ini jelas berpengaruh pada proses pembinaan atlet bahkan pada minat untuk memasuki profesi olahraga.
8
Sekedar perbandingan, di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, olahraga justru menjadi bagian wajib dari kegiatan belajar mengajar, dan dianggap sebagai ajang menanamkan berbagai nilai-nilai, diantaranya nilai sportivitas, keberanian mengambil risiko dan percaya diri. Lebih dari itu, setiap minggu terdapat hari yang ditetapkan sebagai hari pertandingan. Di hari tersebut pada siswa bertanding baik antar mereka atau dengan sekolah lainnya. Pelatihan olahraga dan kompetisi terus terbangun sejak di sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sehingga tidak mengherankan bila banyak atlet profesional lahir justru dari kompetisi antar sekolah atau kampus. Bahkan, profesi sebagai atlet dan kegiatan akademis terkadang bisa berjalan secara beriringan, karena pihak kampus memfasilitasinya dengan berbagai kebijakan. Minimnya Dana Pembinaan Olahraga Hasil wawancara Tim Peneliti menemukan bahwa umumnya pembinaan di usia muda lebih banyak melibatkan dana yang bersumber dari orang tua, keluarga, atau kerabat. Setelah atlet muda ini menunjukkan bakatnya dalam berbagai kompetisi beberapa klub akan tertarik untuk memberikan
beasiswa dan pelatihan secara terpadu. Atau, secara sungguh-sungguh orangtua/keluarga memasukkan anaknya ke dalam klub untuk dibina. Apabila tidak tersedianya dana dari orangtua/ keluarga, maka belum tentu atlet tersebut akan melanjutkan karier yang pernah ditekuninya walaupun ia memiliki bakat. Pola tersebut dapat kita fahami keterbatasan dana yang bisa diperoleh atlet untuk pembinaan. Dana yang lebih memadai baru dapat diperoleh oleh atlet saat masuk klub dan mendapat beasiswa. Akan tetapi tidak semua klub bisa memberikan hal tersebut. Hanya klub pada cabang olahraga tertentu saja yang memiliki fasilitas dan dana yang memadai untuk hal ini. Dana pembinaan umumnya juga didapat pada saat atlet mulai masuk pada training center atau pelatnas. Akan tetapi tidak semua pengurus besar cabang olahraga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dana yang besar dari sumber pemerintah ataupun komersil. Pola ini memungkinkan terjadinya kehilangan momentum emas pembinaan di usia muda dikarenakan tidak adanya dana yang seharusnya terkumpul untuk pembinaan.
Salah satu narasumber dari kalangan pengusaha menyampaikan adanya indikasi semakin rendahnya ketertarikan generasi penerus diberbagai kelompok bisnis untuk melibatkan diri pada berbagai aktifitas keolahragaan. Narasumber yang sama juga mengatakan bahwa sebenarnya banyak pengusaha yang bersedia mengeluarkan dana untuk perkembangan olahraga dengan catatan adanya insentif yang mendukung seperti kebijakan fiskal yang lebih ringan daripada yang ada sekarang. Banyak pengusaha yang sedang wait and see untuk ikut mengembangkan kegiatan olahraga, ketika kondisi lebih kondusif, mereka akan serta merta melibatkan diri. Belum Optimalnya Keterlibatan Berbagai Pihak, Terutama Swasta, Dalam Pembinaan Olahraga Salah satu faktornya adalah dari sisi aspek bisnis, olahraga di tanah air merupakan sektor yang dipandang tidak menguntungkan. Pandangan yang didukung oleh fakta ini menyebabkan pihak swasta kurang berminat untuk turut mengembangkan industri olahraga. Berdasarkan penuturan dari salah satu narasumber pengusaha, bisnis di bidang olahraga tidak menguntungkan bahkan merugi. Namun demikian banyak pengusaha yang tetap peduli pada perkembangan olahraga di Indonesia dikarenakan faktor passion pribadi sehingga tetap bersedia mengeluarkan dananya yang tidak sedikit.
Sarana dan Prasarana Olahraga yang Minim Kurangnya sarana dan prasarana olahraga di berbagai daerah juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan karier atlet kurang diminati oleh masyarakat. Walaupun beberapa cabang olahraga disebut sebagai olahraga rakyat yang banyak diminati dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti sepakbola , bola volley, bola basket, dan bulutangkis, namun minimnya sarana dan prasarana juga mempengaruhi munculnya bakatbakat atlet di daerah. Terlebih lagi pada daerah-daerah yang jauh dari ibukota. Berdasarkan wawancara Tim Peneliti dengan narasumber atlet bola basket, ia menyatakan bahwa dirinya harus pindah ke pulau Jawa (Surabaya) untuk mengembangkan bakatnya karena di daerah asalnya di Samarinda sarana dan prasarana untuk bola basket sangat minim.
bibit-bibit atlet terpaksa harus meninggalkan kota kelahiran menuju Jakarta. Sayangnya, banyak bibit atlet yang sangat berbakat berasal dari daerah tidak memiliki keberanian meninggalkan kampung halaman menuju ibukota. Kondisi tersebut mengakibatkan bakatnya tidak berkembang. Strategi, Peran dan Prioritas Pemerintah Dari penggalian oleh Tim Peneliti, dapat diidentifikasi berbagai area yang memerlukan strategi, peran dan prioritas dari pemerintah. Mulai dari fase praproduktif, fase produktif hingga fase pasca produktif. Osborne dan Gaebler (1995) dalam buku Reinventing Government menyatakan bahwa pemerintah diharapkan menerapkan strategi dan peran baru, dari mendayung menjadi mengemudikan, dari rowing menjadi steering. Pemerintah adalah organisasi yang sangat besar dengan berbagai tanggung jawab dan peran yang harus dimainkan. Peran besar tersebut membuat pemerintah sering overload dengan berbagai urusan yang dipandang lebih mendesak. Mengingat berbagai keterbatasan tersebut, pemerintah idealnya lebih mendorong peran swasta sambil mengoptimalkan resources yang dimilikinya. Selain mendorong perbaikan peran, pemerintah perlu lebih memfokuskan diri pada upaya mendisain dan menerapkan kebijakan publik yang mampu mendorong peran swasta.
Demikian juga halnya dengan salah satu narasumber lainnya, yang terpaksa harus meninggalkan kota kelahirannya Manado sejak usia 8 tahun untuk pergi ke Jakarta dan memilih jalan hidup sebagai atlet karena di daerah, sarana dan prasarana olahraga kurang memadai. Umumnya sarana dan prasarana tersentralisasi di ibu kota sehingga
9
BAGIAN 3
MEMBANGUN PRESTASI OLAHRAGA Pendanaan dari pemerintah yang terbatas dan minat swasta/masyarakat memberi donasi yang makin menurun akan berdampak negatif bagi prestasi olahraga Indonesia dalam jangka panjang.
Australia adalah salah satu contoh dramatis bagaimana perjuangan meningkatkan prestasi olahraga di pentas dunia setelah terpuruk bertahuntahun. Selain melakukan upaya langsung, pemerintah Australia juga menciptakan mekanisme guna mengoptimalkan peran pihak swasta.
Belajar dari Australia, 20 Tahun Membangun Kembali Supremasi Olahraga Jatuhnya prestasi olahraga bukan hanya dialami oleh Indonesia. Negaranegara lain pun pernah mengalami hal yang sama. Australia adalah salah satu contoh dramatis bagaimana perjuangan meningkatkan prestasi olahraga di pentas dunia setelah terpuruk bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil luar biasa. Momentum pembaharuan olahraga Australia didorong oleh hasil Oliampiade Montreal tahun 1976. Saat itu, Australia jauh tertinggal dari negara-negara lain. Dari 182 atlit yang dikirim bertanding, tak satupun yang memperoleh emas. Australia hanya memperoleh 1 medali perak dan 4 medali perunggu. Prestasi tersebut adalah titik terendah dalam sejarah olahraga Australia yang selalu berada pada 10 besar perolehan medali. Dalam olimpiade Montreal,
Australia bahkan hanya memperoleh peringkat 32 dalam perolehan medali. Dalam masa gelap itu, Australia tidak pernah lagi berada dalam 10 besar juara olimpiade. Bandingkan kondisi masa gelap tersebut dengan prestasi Australia di Olimpiade Sydney tahun 2000 dengan perolehan medali 16 emas, 25 perak dan 17 perunggu. Pada tahun tersebut Australia menjadi 4 besar dalam perolehan medali. Sejak tahun 1992, Australia kembali selalu berada dalam negara 10 besar dalam perolehan medali Olimpiade. Terakhir di Beijing pada tahun 2008, Australia mencapai peringkat 6. Perolehan medali Australia saat itu adalah 19 emas, 15 perak, dan 17 perunggu. Mencermati peningkatan prestasi olahraga Australia dari tahun ke tahun, kita melihat bagaimana transformasi prestasi tersebut secara signifikan. Australia membutuhkan waktu 20
Peringkat Olimpiade
Jumlah Medali Emas
Prestasi Australia pada Olimpiade 1960 - 2008
Jumlah Medali Emas
10
The race for excellence has no finish line. In Australia, the race starts at the Australian Institute of Sport -AIS
tahun untuk berhasil kembali dari keterpurukan. Selain melalui pelibatan swasta dengan berbagai kebijakan yang memberikan insentif bagi peran mereka untuk ikut membina maupun menjadi sponsor berbagai kegiatan olahraga, pada awal periode kebangkitan prestasi olahraga tersebut, pemerintah Australia memosisikan diri sebagai lokomotif pendorong perubahan. Singkatnya, upaya rowing dikombinasikan dengan upaya steering. Faktor penting dari proses kebangkitan tersebut adalah berdirinya The Australian Institute for Sports (AIS). Lembaga ini didirikan 26 Januari 1981, tepat pada Australia Day. AIS didirikan sebagai bagian pemerintah yang merupakan institusi pelatihan olahraga utama di Australia. AIS berpusat di Canberra di atas tanah seluas 65 ha. Kompleks AIS tersebut telah menjadi simbol bagi keunggulan olahraga Australia. AIS menjalankan 38 program dari 29 cabang olahraga, Saat ini, AIS memberikan 700 beasiswa untuk
atlet berbagai cabang olahraga. AIS semula berbentuk perusahaan terbatas (private company). Pada tahun 1985, Pemerintah menjadikan AIS badan pemerintah (statutory authority) dengan pengawasan langsung dari kementerian olahraga dan tanggung jawab kepada parlemen. Pada tahun 1987, AIS digabungkan dengan Australian Sport Commission (ASC). AIS melakukan seleksi calon atlet yang memperoleh beasiswa melalui beberapa jalur. Beasiswa AIS diiklankan setiap bulan Juli melalui media massa nasional dan setiap orang bisa mengajukan pendaftaran. Jalur lain adalah melalui organisasi olahraga nasional, atau dari identifikasi dari berbagai kejuaran di dalam negeri.
Dalam program AIS, setiap atlet dilatih secara terpadu dengan dukungan pelatih terbaik, fasilitas bertaraf internasional, dan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk olahraga dan medis terkini. Di luar jam pelatihan atlet biasanya pergi ke gedung pusat sport science atau sport medicine. Di sana mereka bisa berkonsultansi dengan sport psychologist atau sport nutritionist. Ikatan kuat antara atlet dan staf pendukung juga menjadi kunci kesuksesan olahraga Australia. Jejak prestasi yang dibangun AIS tidak hanya terlihat dari 142 medali olimpiade yang dimenangkan atlet binaannya. AIS juga membangun masa depan bagi para atlet melalui program Athlete Career and Education (ACE). Program ACE memastikan para atlet memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam masa karir olahraga mereka berakhir. Para adviser di ACE akan mengatur jadwal pelatihan dan pertemuan dengan para ahli public speaking, media presentation, career planning dan time management.
AIS memiliki satu misi yang jelas yaitu meraih supremasi di bidang olahraga dengan membangun tim elit olahraga, membangun fasilitas, dan memberikan pendanaan bagi organisasi olahraga dan atlet yang potensial.
11
Hasil akhir dari semua itu adalah sebuah transformasi yang menjadikan prestasi olahraga sebagai kebanggaan masyarakat Australia, karena memang bisa dibanggakan. Pendanaan pada Pembangunan Prestasi Olahraga Beberapa literatu menyebutkan keberhasilan AIS dalam membangun prestasi tidak terlepas dari pendanaan yang sangat baik. Tentu saja fasilitas kelas internasional, pelatih terbaik, nutrisi, layanan medis, beasiswa, dan kebutuhan para atlet dan staf AIS membutuhkan dana yang luar biasa besarnya. Anggaran tahunan Australia sebesar AUD 324 juta (Rp 2,8 triliiun dengan kurs Rp 8.700) digunakan untuk mendukung komunitas olahraga AUD 71 juta, dukungan tim elit AUD 237 juta, dan AUD 16 juta untuk atlet paralympic. Tidak dapat dimungkiri bahwa dana merupakan aspek penting dalam pembinaan olahraga. Walaupun bukan satu-satunya faktor yang menentukan pencapaian prestasi. Sejumlah studi telah dilakukan di berbagai negara untuk membuktikan
Semakin kaya suatu Negara maka semakin baik nutrisi yang diperoleh rakyatnya, semakin banyak fasilitas, semakin tenaga pelatih olahraga, dan hal lainnya yang dapat diberikan. korelasi antara faktor ekonomi dengan prestasi olahraga. Pada tahun 1972 dilakukan penelitian tentang prestasi pada olimpiade dan ditemukan korelasi antara faktor ekonomi dengan prestasi pada olimpiade (Ball, 1972). Setelah penelitian tersebut, banyak penelitian lanjutan yang dilakukan para ahli dengan metode ekonometrik yang lebih kompleks. Hampir semua studi tersebut menujukkan GDP dan GDP per kapita berhubungan secara signifikan terhadap prestasi pada olimpiade. Penelitian Luiz dan Fadal (2009) menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara GDP dengan prestasi olahraga. Selain penelitian Luiz dan Fadal tersebut, terdapat pula penelitian sebelumnya yang menunjukkan korelasi positif antara tingginya GDP per kapita dengan tingginya rangking FIFA suatu Negara. Temuan tentang korelasi positif GDP
dan GDP per kapita terhadap prestasi olahraga dapat diintepretasikan bahwa semakin besar GDP suatu negara sebaiknya semakin besar pula dana yang dapat dialokasikan pada olahraga. Namun demikian, terdapat beberapa anomali dalam realitas. Misalnya pada cabang-cabang olahraga tertentu atlet dari negara-negara miskin dapat mencapai prestasi yang tinggi pada berbagai kompetisi internasional. Pendanaan Olahraga di Indonesia Selama ini sumber pendanaan olahraga diperoleh dari anggaran pemerintah (melalui APBN dan APBD) dan dari sektor swasta. Dari pemerintah dana untuk olahraga sebagian besar diperoleh dari APBN melalui fungsi pembinaan kepemudaan dan olahraga. Dana ini dialokasikan melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dari tahun
Trend Alokasi APBN untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun 2005 - 2010
12
Perbandingan Porsi Dana Olahraga dari Anggaran Negara
Although the amount of the state budget allocated to the Youth and Sports Ministry has significantly increased from Rp 300 billion (US$33.3 million) in 2004 to Rp 1.1 trillion this year, leaders of sports associations still complain of the lack of priority and transparency. – Jakarta Post 2005 hingga 2010 tren alokasi dana dari pemerintah tersebut dapat dilihat sebagai berikut. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa alokasi dana dari pemerintah untuk olahraga masih terbatas. Sejak tahun 2005 alokasi dana untuk kepemudaan dan olahraga berkisar pada 0.05% hingga 0.08% dari total APBN. Tentu saja, terbatasnya alokasi dana APBN tersebut berdasarkan suatu pertimbangan. Masih terdapat berbagai permasalahan lain yang harus menjadi prioritas pemerintah. Dari jumlah tersebut, tidak pula seluruhnya digunakan secara langsung sebagai dana pembinaan olahraga.
Australia
Thailand
Singapura
Indonesia
0,1%
0,2%
4,2%
0,08%
Di dalam dana tersebut terdapat komponen-komponen pengeluaran lainnya seperti: • • • •
Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pengembangan dan Pelatihan Olahraga Pembangunan Fasilitas Olahraga Pengembangan Olahraga Kompetitif
Sumber pendanaan untuk kegiatan olahraga juga banyak bersumber dari sektor swasta. Banyak pengusaha atau perusahaan yang memiliki perhatian terhadap olahraga. Ada dua kategori utama bentuk keterlibatan pengusaha atau perusahaan dalam kegiatan olahraga. Bentuk pertama adalah bersifat non-profit yang dilakukan melalui yayasan. Bentuk kedua adalah bentuk sponsorship yang merupakan bagian marketing dari perusahaan yang bersangkutan.
sebenarnya juga memperoleh pemasukan dari hasil kerjasama komersial dengan pihak lain. Namun, hasil tersebut hanya cukup untuk mengurangi defisit pendanaan. Hampir semua klub tersebut masih terus didanai dari donasi para pengusaha. Kondisi pada klub bola basket sepertinya tidak terlalu jauh berbeda dengan bulutangkis. Wawancara secara mendalam pada seorang pendiri klub bola basket diketahui bahwa klub tersebut masih terus mendapat subsidi dari pendiri. Walapun ada penghasilan dari usaha komersial yang terkait dengan klub namun jumlah tersebut belum cukup menutupi kebutuhan pembinaan. Pemilihan bidang olahraga yang akan dibina sangat tergantung pada hobi atau
Pihak swasta memberi kontribusi dalam 2 bentuk pendanaan, donasi untuk program pembinaan dan sponsorship. Bentuk kegiatan yang pertama, berupa pembinaan bagi bibit-bibit atlet yang berbakat. Pembinaan ini juga sering dipadukan dengan program beasiswa bagi atlet. Beberapa contoh pola pembinaan ini banyak terdapat pada cabang olahraga bulutangkis. Berdasarkan penggalian Tim Peneliti kepada para pemilik klub, pendanaan bagi klub olahraga diperoleh dari dana CSR perusahaan yang disalurkan melalui yayasan. Para pendiri klub tersebut juga menyatakan bahwa tidak ada profit yang dihasilkan dari klub. Beberapa klub
13
Minat dunia usaha untuk terlibat dalam pembinan olahraga terlihat menurun. Menurut salah seorang narasumber menyebutkan sejak krisis tahun 1997 banyak cabang-cabang olahraga kehilangan pendanaan. Hilangnya pendanaan tersebut berdampak pada berkurangnya sumberdaya untuk pembinaan.
minat pengusaha yang bersangkutan. Beberapa pihak yang tim temui, menyatakan juga bahwa hobi tersebut diturunkan oleh orang tua mereka yang sebelumnya juga gemar olahraga tersebut. Sumber dana dari pihak swasta lainnya adalah berupa sponsorship. Bentuk keterlibatan ini adalah pendanaan perusahaan pada suatu event atau atlit sebagai bagian marketing. Dalam sponsorship pengusaha memperoleh suatu hak sebagai imbalan atas dana yang mereka berikan. Imbalan tersebut dapat berupa hak iklan, hak penyiaran, atau penggunaan produk tertentu. Dalam bentuk sponsorship para pengusaha mengutamakan pertimbangan komersial. Pertimbangan tersebut terutama terkait dengan bagaimana luas dan dampak exposure kegiatan bagi produk yang menjadi sponsor. Oleh karena itu, kegiatan atau cabang olahraga yang banyak diminati masyarakat atau memperoleh liputan dari media menjadi target utama sponsor. Dana untuk event dan kompetisi juga saat ini mulai menurun yang pada akhirnya menurunkan kualitas atlet. Malangnya, cabang-cabang olahraga yang ditinggalkan donor tersebut termasuk
14
cabang olahraga olimpiade. Sejak krisis tersebut, hanya cabang olahraga bulutangkis dan sepak bola yang masih memiliki kompetisi secara rutin. Banyak masalah yang menjadi penyebab turunnya pendanaan dari kontribusi pengusaha. Tim Peneliti menemukan paling tidak ada tiga penyebab utama mengapa pengusaha atau perusahaan menurunkan kontribusi atau tidak berkontribusi lagi. 1. Tidak diturunkannya minat/ hobby olahraga pada generasi penerus pengusaha/ perusahaan tersebut. 2. Perubahan kebijakan perusahaan setelah pergantian manajemen, merger, atau akuisisi.
Prestasi olahraga Indonesia akan terus merosot hingga benar-benar tidak mungkin dikembalikan lagi. Sejarah prestasi olahraga Australia harus kita jadikan pelajaran penting. Suatu negara yang memiliki supremasi olahraga yang baik akibat lengah dalam pembinaannya membutuhkan waktu 20 tahun untuk mengembalikan pada posisi semula. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Kekurangan pendanaan olahraga akan menghambat pembangunan prestasi karena terbatasnya:
3. Peraturan perpajakan yang belum mengatur mekanisme pengurangan donasi untuk olahraga dari perhitungan pajak.
• fasilitas yang bertaraf internasional
Permasalahan Pendanaan di Indonesia
• nutrisi dan layanan medis
Permasalahan pada pendanaan dari pemerintah yang terbatas dan minat swasta/masyarakat memberi donasi yang makin menurun akan berdampak negatif dalam jangka panjang.
• biaya untuk pelatihan
• penyediaan pelatihpelatih yang baik • pemberian honor bagi atlet dan pelatih
BAGIAN 4
KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka konseptual adalah bagaimana berbagai aspek dalam penelitian dihubungkan. Kerangka ini perlu disusun untuk membentuk pola masalah dan bagaimana usulan solusinya.
swasta akan tertarik masuk dalam industri tersebut. Prestasi Olahraga Nasional
Minat Sektor Swasta
Prestasi Bangsa di Berbagai Bidang Lainnya
Kualitas Olahraga
Alokasi Dana Pemerintah, swasta, dan masyarakat utk Olahraga
Kerangka Konseptual Pola Masalah Keolahragaan Indonesia
Kerangka konseptual adalah bagaimana berbagai aspek dalam penelitian dihubungkan. Kerangka ini perlu disusun untuk membentuk pola masalah dan bagaimana usulan solusinya. Kerangka konseptual tersebut dirumuskan dari hasil pembahasan dengan berbagai narasumber dan literatur. Beberapa pokok pemikiran dari kerangka tersebut adalah: 1. Prestasi olahraga berpengaruh penting untuk kebanggaan dan jati diri bangsa. 2. Kebanggaan dan jati diri tersebut akan membuat prestasi bangsa pada aspek lainnya akan baik pula, termasuk kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. 3. Semakin baik prestasi nasional akan
meningkatkan dana yang dapat dialokasikan kepada olahraga pula. 4. Peningkatan alokasi dana pada olahraga akan meningkatkan kualitas olahraga dalam segala aspeknya. Alokasi dana tersebut dapat berasal dari pemerintah, swasta, atau masyarakat. 5. Bila kualitas olahraga baik dan memiliki daya tarik untuk ditonton dan dinikmati masyarakat pihak
Kerangka tersebut juga berlaku sebaliknya. Artinya bila prestasi olahraga raga menurun, kebanggaan dan jati diri bangsa akan terpengaruh. Kondisi ini akan berpengaruh pada prestasi nasional pada aspek lainnya. Dengan timbulnya berbagai permasalahan tersebut alokasi dana untuk olahraga akan menurun pula. Selanjutnya, kualitas olahraga akan turun yang menyebabkannya tidak lagi menarik untuk menjadi tontonan. Pada akhirnya, minat swasta untuk berinvestasi, berbisnis pada bidang olahraga akan turun pula. Bila kita perhatikan, kondisi olahraga Indonesia saat ini dapat dikatakan dalam arus putaran negatif tersebut. Lebih lanjut, rangkaian permasalahan tersebut akan menjadi putaran tanpa henti dan membuat prestasi olahraga Indonesia semakin terpuruk. Untuk memutuskan mata rantai tersebut perlu dipilih titik yang paling strategis dan mungkin dilakukan. Titik tersebut diharapkan dapat membalikkan arah negatif tersebut menjadi arah yang positif. Dari hasil analisis Tim, terdapat tiga titik intervensi yang memungkinkan yaitu: 1. Memperbesar Alokasi Dana untuk Olahraga 2. Memperbaiki Organisasi Keolahragaan Nasional
15
sumber, pelaksanaan, tenaga sukarela, penggerak, pengguna hasil, dan/atau pelayanan olahraga (pasal 75 ayat 4).
3. Menarik Minat Sektor Swasta/ Masyarakat pada Olahraga
Untuk menyederhanakan pembahasan dalam penelitian ini, berbagai pemangku kepentingan dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:
Kajian ini akan lebih fokus pada intervensi ke-tiga, yaitu menarik minat swasta dan masyarakat pada Olahraga. Peran Swasta dan Peningkatan Prestasi Olahraga Swasta mempunyai potensi luarbiasa dalam turut membangun prestasi olahraga nasional. Ada beberapa faktor yang mendukung pernyataan tersebut di antaranya: (1) kemampuan pendanaan yang relatif besar, (2) kecintaan terhadap olahraga diberbagai kalangan, (3) kemungkinan untuk menyatukan kepentingan peningkatan prestasi olahraga dengan upaya mengembangkan bisnis terutama tekait dengan marketing, dan (4) concern pihak swasta akan perlunya meningkatkan kebanggaan berbangsa melalui prestasi olahraga. Keempat faktor tersebut sangat
potensial untuk bisa dimanfaatkan demi membangun industri olahraga nasional yang mandiri dan membanggakan.
1. Pelaku Olahraga, yaitu individu yang terlibat secara langsung dalam aktivitas olahraga sebagai sumber nafkah atau profesinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah atlet dan pelatih.
Intervensi Melalui Kebijakan Fiskal
2. Pengurus Organisasi Olahraga, adalah manajemen perkumpulan, organisasi pembinaan olahraga.
Dalam Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pasal 75, disebutkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan keolahragaan. Bentuk peran ini dapat diwujudkan masyarakat Indonesia dalam bentuk
PERAN
KETERANGAN • •
Fasilitas Olahraga • • Pembinaan
Swasta melakukan pembinaan cabang olahraga tertentu. Mulai dari rekrutmen atlet, beasiswa pendidikan, latihan dan biaya hidup bagi atlet, dll.
•
Swasta memberikan dana kepada even olahraga atau klub olahraga, sebagai bagian dari kegiatan marketing/promosi mereka
•
Swasta memberikan hadiah bagi atlet yang telah berhasil mengangkat citra bangsa. Ada unsur promosi dalam aktivitas ini
Sponsorship
Hadiah/ Bonus
Pihak swasta membangun fasilitas olahraga untuk kepentingan bisnis murni Swasta membangun fasilitas olahraga untuk publik secara terintegrasi dengan fasilitas yang mereka miliki Swasta memberikan akses bagi publik untuk memanfaatkan fasilitas yang mereka miliki
Peran Swasta dalam Membangun Prestasi Olahraga
16
3. Pemerintah, adalah Pemerintah Indonesia termasuk departemen, lembaga, dan unit-unit kerja pemerintah pusat dan daerah. 4. Pengusaha/ swasta, adalah pihak swasta di Indonesia berupa perseorangan maupun badan usaha yang terlibat pada pembinaan, pendanaan, dan usaha-usaha komersial yang terkait dengan olahraga. Sesuai dengan Undang-undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pendanaan untuk kegiatan olahraga di Indonesia diperoleh dari dua sumber utama, dana pemerintah dan masyarakat. Sumber dana dari pemerintah yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana dari masyarakat dapat diperoleh melalui • masyarakat melalui berbagai kegiatan •
kerjasama yang saling menguntungkan
•
bantuan luar negeri yang tidak mengikat
Meningkatkan sumber dana dari alokasi APBN pemerintah bukan hal yang mudah. Pertama, proses alokasi dana APBN tersebut harus mempertimbangkan prioritas masalah bangsa lainnya. Kedua, proses tersebut harus melalui proses politik dan administrasi yang panjang sesuai peraturan perundangan yang berlaku. •
hasil usaha industri olahraga
•
sumber lain yang sah.
Dana dari pemerintah untuk pembinaan olahraga nasional sebagian besar didanai dari anggaran dan belanja negara maupun daerah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014, dana yang dialokasikan pada Kementerian Pemuda dan Olahraga adalah sebesar Rp 7.697,5 Trilliun. Dari jumlah tersebut 13 persen atau Rp 962,6 milyar berupa program pembinaan dan pengembangan olahraga. Sebesar Rp 2,33 Trilliun atau sebesar 30 persen untuk pembinaan olahraga prestasi. Selebihnya pagu dari Kementerian Pemuda dan Olahraga dialokasikan untuk program-program penguatan aparatur maupun program kepemudaan lainnya. Meningkatkan sumber dana dari alokasi APBN pemerintah bukan hal yang
Perbandingan Perlakuan Pajak untuk Donasi Olahraga
Singapura Malaysia
2.5 kali pengurangan penghasilan kena pajak untuk donasi yang disertifikasi IPC Maksimal 10% dari total income dapat dikurangkan
Thailand
Maksimal 2% dari net profit untuk donasi olahraga yang disahkan
Filipina
Dapat dikurangkan untuk donasi olahraga yang disahkan
Australia
Dapat dikurangkan untuk donasi olahraga yang terdaftar dalam DGR
Tabel menunjukkan perbandingan perlakuan perpajakan terhadap donasi di bidang olahraga.
mudah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, proses alokasi dana APBN tersebut harus mempertimbangkan prioritas masalah bangsa lainnya. Dan untuk saat ini, masih terdapat banyak hal yang sangat mendesak yang harus menjadi prioritas bagi APBN. Kedua, proses tersebut harus melalui proses politik dan administrasi yang panjang sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Artinya, walaupun memungkinkan, penambahan alokasi dana untuk olahraga dari APBN akan sulit dilakukan. Perlakuan Pajak untuk Donasi sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pendanaan olahraga juga dapat berasal dari masyarakat. Pada sumber inilah sebenarnya dapat ditanamkan harapan yang lebih besar. Bukan saja karena selama ini telah terjadi praktik-praktik donasi yang baik dalam
pembinaan olahraga. Lebih dari itu, masyarakat (khususnya swasta) dapat menjadi sumber dana yang tidak ada batasnya bagi pembinaan olahraga. Saat ini sebenarnya telah terjadi praktikpraktik pembinaan olahraga dengan menggunakan donasi dari pengusaha nasional. Hanya saja, dari identifikasi yang dilakukan, terjadi penurunan minat untuk melakukan donasi tersebut sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Dari berbagai sebab tersebut, terdapat aspek strategis yang dapat diintervensi pemerintah untuk mengembalikan dan meningkatkan minat swasta melakukan donasi. Pada beberapa negara, pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk pemberian insentif pajak bagi donasi pada olahraga. Bentuk insentif tersebut sangat bervariasi baik dalam bentuk
Swasta dapat menjadi sumber dana pembinaan yang ‘tak terbatas’ asalkan ada aturan yang jelas –Erick Thohir
17
Dengan UU Nomor 36 Thn 2008, setiap pengeluaran perusahaan untuk bantuan dan sumbangan pembinaan olahraga dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Diperlukan peraturan pelaksana untuk membuat ketentuan tersebut efektif.
tarif khusus maupun pengurangan penghasilan kena pajak dari donasi tertentu. Apakah perlakuan pajak oleh negaranegara tersebut dapat dilakukan di Indonesia? Undang-undang perpajakan sebelum tahun 2008 tidak mengatur secara tegas berbagai bentuk sumbangan, termasuk sumbangan olahraga. Dengan demikian, pengeluaran perusahaan atas sumbangan tersebut harus diperhitungkan kembali sebagai komponen penghasilan yang dikenai pajak. Kondisi ini tentu saja memberatkan perusahaan dari sisi keuangan. Dengan UU Nomor 36 Tahun 2008, setiap pengeluaran perusahaan untuk bantuan dan sumbangan pembinaan olahraga dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak perusahaan. Dengan UU Nomor 36 Tahun 2008, setiap pengeluaran perusahaan untuk bantuan dan sumbangan pembinaan olahraga dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan. Namun untuk dapat berlaku efektif undang-undang tersebut harus diturunkan menjadi aturan yang lebih operasional. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 butir m, pengurangan penghasilan bruto perusahaan berupa sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18
Artinya, untuk meningkatkan minat swasta memberi donasi kepada olahraga melalui perlakuan perpajakan sebagaimana negara-negara lain sangat memungkinkan. Pasal 6 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tersebut telah menjadi dasar yang kuat. Saat ini diperlukan aturan teknis yang lebih rinci sehingga insentif pajak tersebut tepat dan memiliki dampak yang positif bagi prestasi olahraga Indonesia.
Beberapa pertimbangan untuk aturan teknis donasi olahraga. Upaya peningkatan minat untuk donasi olahraga dari swasta tidak boleh menjadi peluang penghindaran pajak. Apabila pemerintah nantinya akan memberikan insentif pajak untuk donasi olahraga maka aturan teknis, pengawasan, dan pelaporannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Berikut beberapa hal yang harus mendapat pengaturan dengan baik. Jumlah Pengurangan dari Donasi Penghasilan Pajak Dari beberapa negara contoh tersebut, besaran pengurangan donasi dari penghasilan kena pajak sangat beragam. Singapura menerapkan pengurangan dengan sangat atraktif yaitu 2 kali dari jumlah donasi pada organisasi yang disahkan sebagai institution of a public character (IPC). Khusus untuk tahun 2010 Singapura justru memperbesar pemotongan 2.5 kali jumlah donasi untuk tahun 2009 hingga 2010.
Australia dan Filipina menerapkan jumlah pengurangan sebesar donasi untuk organisasi yang disahkan. Australia mengatur pengesahan tersebut dengan memasukkan organisasi yang berhak ke dalam deductible gift recipient (DGR). Malaysia dan Thailand memberikan batasan bagi jumlah donasi yang diberikan. Malaysia membatasi jumlah donasi yang dapat dikurangkan adalah 10% dari total income. Thailand membatasi donasi sebesar 2% dari net income. Tentu saja besaran insentif tersebut harus mempertimbangkan kebutuhan pendanaan dan berapa besar donasi yang diharapkan diperoleh dari swasta. Berdasarkan sudut pandang swasta, timbulnya minat memberikan donasi tentu saja hanya jika donasi tersebut memberi keuntungan baginya. Atau paling tidak, donasi tersebut tidak merugikan keuangannya.
Bagan berikut menunjukkan ilustrasi berbagai alternatif pengurangan pajak bagi swasta. Dapat kita lihat dari ilustrasi perlakuan tanpa insentif pajak, donasi olahraga sangat merugikan bagi keuangan perusahaan. Artinya, kondisi ini tidak mendorong bahkan menghalangi minat orang untuk memberikan donasi.
Selisih nilai laba bersih bila memberi donasi dengan tidak memberi donasi menjadi lebih kecil bila diberikan insentif pajak berupa double deductible. UU Nomor 36 tahun 2008 tidak akan mendorong secara maksimal minat memberi donasi bila hanya pengurangan jumlah donasi dari penghasilan kena
19
Ilustrasi Perbandingan Manfaat yang Diterima Masyarakat dengan Perlakuan Double Deductible atas Donasi Olahraga
pajak. Lalu apa dampaknya bagi negara dengan pengurangan pajak tersebut? Dipandang dari sisi arus kas, pengurangan pajak sebagai insentif akan mengurangi kas yang diterima oleh negara. Namun dipandang dari sisi lain, justru meningkatkan aset atau manfaat lainnya yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari grafik berikut. Pada grafik di atas dapat kita lihat, peningkatan minat memberi donasi dari swasta akan membantu pemerintah untuk menyediakan dana bagi pembinaan olahraga. Tentu saja hal ini dapat menjadi celah bagi pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Pemberian insentif berupa double deductible dapat disalahgunakan untuk
20
mengurangi kewajiban perpajakan perusahaan. Untuk itu, perturan yang jelas, pengawasan, pemeriksaan, dan pelaporan secara transparan menjadi syarat mutlak penerapan double deductible. Cabang dan Organisasi Olahraga yang Berhak Berdasarkan beberapa negara contoh tersebut, tidak ada pembatasan tentang olahraga mana yang boleh memperoleh perlakuan perpajakan. Dengan demikian,
pada dasarnya donasi digalakkan pada cabang olahraga apa saja. Hanya saja umumnya, negara-negara tersebut mensyaratkan adanya sertifikasi oleh badan tertentu. Singapura misalnya, untuk memperoleh perlakuan double deductible dalam perpajakan, donasi harus diberikan kepada organisasi atau kegiatan yang terdaftar dan disahkan sebagai IPC. Sedangkan untuk memperoleh pengesahan tersebut, Pemerintah Singapura menerapkan syarat-syarat tertentu.
Dipandang dari sisi arus kas, pengurangan pajak sebagai insentif akan mengurangi kas yang diterima oleh negara. Dari sisi lain, justru meningkatkan aset atau manfaat lainnya yang diberikan kepada masyarakat.
Indonesia perlu membentuk organisasi seperti IPC yang bekerja sama dengan lembaga terkait dari Departemen Keuangan dan Departemen Pemuda & Olahraga yang mempunyai wewenang untuk me-review berbagai kemudahan pajak yang diberikan. Secara prinsip, berbagai cabang olahraga dapat kita kategorikan sebagai: •
Olahraga prestasi: taekwondo, yudo, silat, karate, gulat, menembak, panahan, senam, anggar, angkat besi, atletik renang, balap sepeda, dll.
•
Olahraga massa: sepak bola, bola basket, bola voli, bulu tangkis dll.
•
Olahraga hobi: balap mobil, golf, jet-ski, olahraga berkuda, layang gantung, aeromodelling, binaraga, dll.
Ketiga jenis olahraga tersebut mempunyai kapasitas yang berbeda dalam menarik minat masyarakat untuk terlibat didalamnya. Olahraga massa, misalnya, mempunyai potensi mengundang crowd sehingga lebih menarik bagi sponsor. Dilain sisi, olahraga prestasi -- terlepas dari nilai strategis dalam mendulang medali di berbagai even internasional, relatif sulit mendatangkan sponsor akibat jumlah crowd yang tidak signifikan. Karakteristik tersebut perlu menjadi bahan pertimbangan bagi penentuan besaran insentif pajak yang akan diberikan. Batasan Jumlah Donasi Batasan jumlah donasi diberlakukan terutama untuk mencegah pihakpihak yang tidak bertanggungjawab menggunakan celah perpajakan. Penyalahgunaan tersebut adalah memperbesar laporan donasi untuk
memperkecil kewajiban perpajakan. Dengan berjalannya badan untuk sertifikasi olahraga atau organisasi olahraga yang berhak mendapat donasi, celah manipulasi tersebut dapat ditutup. Apabila celah-celah tersebut dapat diatasi, seharusnya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan tersebut juga dapat dihilangkan. Dengan kebutuhan pendanaan saat ini, masih diperlukan donasi yang sebesarbesarnya dari masyarakat. Oleh karena itu, sangat disarankan tidak dilakukan pembatasan jumlah donasi yang dapat diberikan oleh pihak swasta. Perlakuan Pajak Untuk Pelaku Olahraga Selain perlakuan pajak untuk donor tersebut, perlakuan pajak khusus juga dilakukan beberapa negara pada atlet atau pelaku dalam dunia olahraga. Perlakuan tersebut juga dapat dipandang sebagai upaya memaksimalkan alokasi dana pada bidang olahraga. Dengan perlakuan pajak tersebut, pelaku olahraga akan memiliki dana tambahan untuk mendukung hidupnya dalam profesi keolahragaannya.
Cara pandang terhadap penghasilan atau hadiah yang diterima oleh atlet harus dibedakan dengan cara pandang kepada penghasilan profesi lain. Perbedaan cara pandang ini harus dilakukan mengingat cara memperoleh penghasilan, saat penghasilan diterima, dan biaya-biaya yang terjadi berbeda dengan profesi lain. Berikut beberapa poin perbedaan tersebut: 1. Masa investasi yang panjang Sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, masa investasi bagi seorang atlet sangat panjang. Seseorang dapat diharapkan jadi atlet kelas internasional bila memang telah dilatih pada usia muda. Dari beberapa pendalaman pada mantan juara dunia, mereka mulai berlatih pada rata-rata usia 8 tahun. Diperlukan paling tidak 14 tahun latihan hingga calon atlet siap berkompetisi pada skala nasional dan internasional. Bagi atlet tersebut, hanya jika berprestasi pada tingkat itu peluang memperoleh hadiah ada. Artinya, selama 14 tahun tersebut kecil kemungkinan atlet memperoleh hadiah kemenangan dalam jumlah besar.
Perbandingan Perlakuan Pajak untuk Pelaku Olahraga di Beberapa Negara
Singapura
Dimasukkan dalam perhitungan pajak
Malaysia
Tax Exempt - Prize monies yang diterima oleh olahragawan profesional
Thailand
5% untuk Prize
Filipina
0% untuk Prize
Australia
Dimasukkan dalam perhitungan namun dapat dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang melekat
21
Misalnya, seorang petinju memenangkan pertandingan internasional dan memperoleh hadiah setara dengan Rp 2 milyar. Bila dikenakan pajak sebesar 30%, (Rp 600 juta) maka total yang dia terima adalah Rp 1,4 milyar. Namun, bila pajak tersebut tidak dikenakan maka ia tetap memperoleh Rp 2 milyar. Artinya petinju tersebut memiliki tambahan dana sebesar Rp 600 juta. Nilai ini tentu sangat besar bagi individu tersebut. Nilai tersebut dapat menjadi tabungan hari tua atau menjadi modal awal ketika ia berhenti dari dunia tinju. Sebaliknya bagi negara, jumlah tersebut tersebut tentu sangat kecil. Bahkan bila diasumsikan Indonesia memiliki 10 juara dunia tinju. Memiliki 10 juara tinju dunia sudah akan mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional. Untuk itu, pajak yang dibebaskan hanya sebesar Rp 6 Milyar. Lebih lanjut dampak dari perlakuan pajak bagi hadiah juara tersebut akan mendorong banyak anak bangsa akan menekuni profesi olahraga dan diharapkan mampu mengharumkan nama bangsa.
2. Banyaknya biaya pelatihan tanpa ada kompensasi yang pasti
hadiah yang diterima dalam profesinya sebagai atlet.
Berdasarkan pendalaman Tim juga terungkap bahwa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh atlet muda dan keluarganya. Seharusnya biayabiaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan atau hadiah yang diterima dalam profesinya sebagai atlet. Biayabiaya tersebut antara lain:
3. Tingkat keberhasilan yang tidak pasti
• • • • • •
Biaya pelatih Sewa tempat latihan Pembelian alat-alat latihan Biaya nutrisi Transportasi dan akomodasi untuk mengikuti kompetisi Biaya medis bila cedera atau sakit
Biaya-biaya ini dapat dianalogikan sebagai biaya untuk memperoleh penghasilan. Dalam sudut pandang akuntansi, jumlah-jumlah tersebut harusnya diperlakukan sebagai pengurang penghasilan atau hadiah yang diterima. Namun tentu saja dalam masa yang panjang tersebut, pencatatan dan penyimpanan bukti-bukti sulit dilakukan. Banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh atlet muda dan keluarganya. Seharusnya biaya-biaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan atau
22
Tidak dapat dipungkiri bahwa mencari calon juara nasional atau dunia bukan hal yang mudah. Sebuah klub bulutangkis setiap tahunnya melakukan seleksi terhadap 800 anak. Dari jumlah tersebut hanya 10 orang yang akan terpilih memperoleh beasiswa dan dilatih secara intensif dalam klub. Di antara 10 anak yang dibina kemungkinan hanya 1 orang yang akan mampu berhasil berkompetisi pada tingkat internasional. Harus diciptakan daya tarik bagi orang tua dan keluarga untuk mendorong anak-anaknya memasuki profesi olahraga. Salah satu daya tarik ini adalah perlakuan pajak yang berbeda bagi penghasilan atau hadiah atlet olahraga. Dengan perlakuan pajak tersebut, mungkin orang tua akan melihat bahwa investasinya pada anak calon atlet akan menghasilkan. Bukan sebaliknya, justru ketika anaknya memperoleh penghasilan atau hadiah, investasinya tergerus pajak. 4. Masa puncak prestasi yang singkat Masa puncak prestasi yang singkat pada profesi olahraga adalah perbedaan
yang paling mendasar dengan profesi lainnya. Dari usia siap untuk mengikuti kompetisi nasional dan internasional hingga masa penurunan adalah sekitar 14 tahun. Artinya, masa memberikan penghasilan yang terbaik bagi atlet sekitar 14 tahun tersebut. Setelah masa puncak prestasi, umumnya prestasi atlet akan turun, terutama setelah melewati usia 30-an. Pada saat itu penghasilan atlet akan menurun atau bahkan hilang sama sekali. Artinya dari sisi financial management, masa 14 tahun tersebut para atlet harus
Berbagai biaya yg seharusnya dapat sebagai pengurang pajak atlet 1. Biaya pelatih 2. Sewa tempat latihan 3. Pembelian alat-alat latihan 4. Biaya nutrisi 5. Transportasi dan akomodasi untuk mengikuti kompetisi 6. Biaya medis bila cedera atau sakit
intensif. Akibatnya, pada masa-masa tersebut tidak dilakukan pendidikan dan pelatihan untuk menjadi profesi lain selain atlet olahraga. Lima poin di atas menunjukkan bahwa banyaknya kesulitan dari sisi penghasilan yang dialami atlet. Negara tentu saja dapat membantu menjamin kehidupan mereka dengan menjadikan mereka pegawai negeri atau memberikan jaminan hari tua. mengoptimalkan penghasilannya dan mempersiapkan fondasi bagi masa tua. 5. Terbatasnya pilihan profesi pasca masa prestasi Setelah turunnya seorang atlet dari gelanggang kompetisi, mereka umumnya mengalami kesulitan untuk memperoleh profesi lainnya. Hal ini terjadi karena pada masa muda, waktu mereka digunakan sebagian besar untuk berlatih dan bertanding. Namun, proses ini tidak dapat dianggap sebagai suatu kelalaian. Tuntutan kompetisi dan kondisi yang prima membutuhkan latihan yang sangat
Namun terdapat pilihan lain yaitu mendorong para atlet untuk mampu mengelola penghasilan mereka secara optimal. Pembebasan pajak bagi penghasilan atau hadiah atlet adalah salah satu solusi. Dengan demikian, sebagian jumlah penghasilan atau hadiah mereka dapat digunakan sebagai tabungan hari tua atau modal usaha nantinya. Perlakuan Pajak Untuk Sponsorship Saat ini sponsorship yang dilakukan oleh swasta dianggap sebagai biaya promosi.
Dengan demikian, jumlah pengeluaran tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang diperhitungkan dalam pajak. Kondisi ini tentu mendorong pihak swasta untuk giat melakukan promosi dalam bentuk sponsorhip pada cabang-cabang olahraga yang mampu menarik penonton. Hanya cabang-cabang olahraga yang populer yang menarik swasta dalam hal sponsorship. Artinya, aliran dana sponsorship dari swasta hanya akan menghampiri olahraga seperti sepakbola dan badminton. Cabang-cabang olahraga yang kurang populer akan sulit mencari sponsorship. Padahal, tanpa sponsorship sumber pendanaan sudah pasti sangat terbatas. Untuk itu, diperlukan pula insentif bagi swasta agar semakin giat melakukan sponsorship. Tidak hanya bagi olahraga populer tapi juga bagi cabang olahraga lainnya. Terutama cabang-cabang olahraga prestasi yang dipertandingkan pada SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Penerapan insentif pajak tersebut dapat berupa double deductible seperti yang diterapkan pada donasi untuk pembinaan. Batasan atas fasilitas double deductible sebaiknya diatur hanya untuk cabang-cabang olahraga prestasi pada SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Insentif Pajak Sebagai Dukungan Nyata Pemerintah Pemilihan ketiga titik intervensi tersebut dilakukan sebagai pemecah kebekuan dibidang olahraga. Intervensi tersebut sebagai bentuk komunikasi publik dari pemerintah untuk membangkitkan gairah pelaku olahraga. Momentum tersebut juga ditujukan untuk menunjukkan komitmen yang ditunjukkan dengan aksi nyata pemerintah untuk pembenahan prestasi olahraga.
23
Dengan komunikasi publik tersebut, kemudian pemerintah meminta komitmen dari para insan olahraga untuk memberikan kesungguhan dan kerja keras untuk meningkatkan prestasi olahraga.
5. Pembenahan organisasi olahraga, termasuk audit secara menyeluruh dan penataan manajemen organisasi
Setelah aksi nyata ini pemerintah menggalang seluruh elemen bangsa untuk membangun Cetak Biru Olahraga. Cetak biru tersebut selanjutnya menjadi pegangan bagi seluruh insan olahraga dalam membangun prestasi. Cetak biru tersebut harus menjadi komitmen bangsa, direncanakan, dilaksanakan, dimonitor dan diawasi pencapaiannya. Hal-hal yang harus masuk dalam cetak biru adalah:
7. Dengan aksi nyata yang telah dilakukan pemerintah terlebih dahulu, akan lebih mudah menggalang komitmen dan aksi nyata lainnya.
1. Target prestasi yang harus dicapai dalam 10 – 20 tahun mendatang 2. Harmonisasi kebijakan olahraga dan kebijakan pendidikan nasional 3. Master plan pembangunan sarana olahraga nasional – daerah dan rencana pendanaannya 4. Kebijakan pendanaan olahraga nasional secara terpadu termasuk aspek perpajakan
24
6. Adopsi teknologi dan pengetahuan terkini untuk program pelatihan, nutrisi, dan teknik olahraga
Sudah saatnya seluruh bangsa disadarkan bahwa prestasi membutuhkan biaya. Saat pemerintah telah memberikan bagiannya, tiba saatnya bagi komponen bangsa yang lain turut memberikan bagiannya sebagai bentuk semangat nasionalisme dan harga diri bangsa.
Daftar Pustaka Baron, R.A. Branscombe, N. & Byrne, D. (2008). Social psychology. 12th edition. New York: Pearson Beade, Robert A. (1994). Stadiums, professional sport, and economic development: assessing the reality. The Heartland Institute. Illinois. Bernard, B. Andrew, Meghan R. Busse. (2000). Who wins the olympic games: economic development and medal totals. National Bureu of Economic Research. Cambridge. Horne, John & Manzenreiter, Wolfram. (2006). An introduction to the sociology of sports mega-events. Oxford & Malden : Blackwell Publishing Ltd. Lippe, Gerd von der. (2002). Media image: sport, gender, and national identities in five european countries. “media” i International Review for the Sociology of Sport, no. 3-4: 369-394. Luiz, John, and Riyas Fadal. (2010). An economic analysis of sports performance in africa. Wits Business School. Nauright, J. (2004). Global games: culture, political economy and sport in the globalized world of the 21st century. JSTOR: Third World Quarterly, Vol. 25, No.7 (2004), pp. 1325-1336. Shiraev, E.B & Levy, D.A. (2010). Cross-cultural psychology, critical thinking and contemporary application. 4th edition. New York: Pearson Schultz, D. & Schultz, D. (2006). Psychology & work today. 9th edition. New York Pearson Tanaka-Matsumi, J. (1998). The cultural difference model and applied behavior analysis, cross-cultural research in human development. New York: Preager Turnip, Hiras M.S. (2009). Rasa kebangsaan indonesia saat ini: haruskah kita pesimis? www.tandef.net. Diunduh pada 3 Maret 2010. Nauright, John, 2004. Global Games: Culture, Political Economy and Sport in the Globalised World of the 21st Century, J Stor Journal, Vol. 25, No. 7, pp. 1325-1336. Hargreaves., J. 2000. Heroines of sport. The politics of difference and identity. London and New York:Routledge. Guttmann, Allen. 1994. Games and empires: modern sports and cultural imperialism. New York: Columbia University Press. Tomlinson, Alan and Christopher Young, 2006. Culture, politics, and spectacle in the global sports event, State University of New York Press, Albany. Sumber Foto Ilustrasi http://www.antarafoto.com http://www.kompas.com http://www.koran-jakarta.com http://www.koranindonesia.com http://www.perbasi.or.id http://groups.yahoo.com/group/tinju http://www.wikipedia.com http://mapexlombok.student.umm.ac.id berbagai situs lainnya
25
26