Mendidik dengan Nurani untuk Membangun Indonesia RUSLI Abstraksi
Tulisan ini mengkaji tentang mendidik dengan rohani, yang mempokuskan pada: Kepribadian Pendidik, langkah dan Metode. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library research). Hasil kajian ini menemukan bahwa untuk menerapkan konsep mendidik dengan rohani maka perlu memperhatikan proses pendidikan dengan pendekatan nurani akan memberikan sentuhan-sentuhan pada hati akan berdampak yang luar biasa terhadap jiwa peserta didik. Seorang pendidik memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Sebab kepribadian pendidik mempunyai pengaruh langsung dan kumulatif terhadap hidup dan kebiasaankebiasaan peserta didik. Langkah- langkah mendidik dengan nurani, menampilkan; Kelembutan sikap. Memenej Emosi. Hindari Prakonsepsi Negatif. Hadirkan mereka dalam doa. Dan penerapan metode pembelajaran; Metode Berkisah, Metode Perumpamaan, Metode Keteladanan, Metode Nasehat, Metode targhib dan tarhib, Metode Kontrol, Metode Pemberian Sanksi. Dari fokus kajian ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan dengan rohani harus dapat mensinergikan kematangan dan kesehatan kepribadian pendidik dengan penerapan langkah-langkah serta metode pembelajaran. Kata Kunci : Mendidik, Nurani, Membangun Indonesia.
A. Pendahuluan Salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan adalah adanya peserta didik, sebab sesorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik jika tidak ada peserta didik yang dididiknya. Pendidik yang baik adalah pendidik yang mampu memahami peserta didik mencakup pemahaman pendidik tentang tahapan perkembangan peserta didik, potensi, kemampuan, karakteristik, kebutuhan, dan masalah-masalah lain yang berkenaan dengan peserta didik dalam proses belajar yang dialaminya. Dengan memahami peserta didik, pendidik dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan peserta didik, yang merupakan sumber informasi utama dalam penyusunan strategi belajar dan pembelajaran yang akan dikembangkan pendidik bagi peserta didik. Seorang pendidik perlu mempelajari pedagogik (ilmu mendidik atau ilmu pendidikan)
karena seorang pendidik mempunya peranan, tugas, serta tanggungjawab terhadap pengembangan peserta didik. Permasalahan dilapangan sering dijumpai pendidik yang mengaku kewalahan
ketika
menghadapi
perilaku
peserta
didiknya
yang
dinilai
bermasalah. Segala upaya telah dilakukan pendidik namun belum juga menuai hasilnya. Seringkali diberi nasehat, sesekali hukuman fisik, diancaman akan mengurangi nilai hingga ancaman memanggil orang tua mereka juga dilakukan, namun perubahan perilaku peserta didik tersebut tak kunjung nampak. Tidak jarang menghadapi kondisi seperti ini, pendidik sering kehabisan akal untuk menghadapi peserta didiknya. Akhirnya jalan yang dipilih pendidik adalah membiarkan perilaku peserta didik tersebut meskipun tidak sesuai dengan keinginan mereka. Sekilas sikap pendidik yang melakukan pembiaran terhadap peserta didik yang dinilai bermasalah merupakan solusi ketika segala upaya telah dilakukan namun tidak juga menuai perubahan. Namun disisi lain, sikap ini justru mendatangkan problem tersendiri dikemudian hari dimana justru berdampak pada semakin tidak terkendalinya perilaku peserta didik tersebut. Dampaknya juga kembali ke pendidik bersangkutan, yang pada akhirnya juga akan disalahkan karena dinilai tidak mampu mendidik. Meski demikian, akan berbeda jadinya jika yang menghadapi kondisi seperti itu adalah pendidik yang ikhlas mendidik dengan nurani. Pendidik jenis ini adalah pendidik yang memiliki jiwa pendidik, berhati nurani, dan memiliki kepedulian yang besar terhadap keberhasilan peserta didiknya. Bagi pendidik seperti ini tidak pernah ada kata menyerah terhadap kondisi yang mereka hadapi, melainkan justru senantiasa memiliki tujuan untuk melakukan perubahan dalam diri peserta didiknya. Tipe pendidik seperti ini mampu membaca potensi peserta didiknya, dan berusaha untuk mengembangkannya. Dari sini dituntut kepekaan pendidik untuk membaca potensi peserta didiknya. Yang harus disadari pendidik adalah seperti ungkapan Howard
Gardner (pakar Multiple Intellegence), “semua peserta didik itu pandai. Bila pendidik tidak dapat menemukannya dalam diri peserta didik, berarti pendidik tidak bisa menggali potensi peserta didik.” Jelas bahwa ketika pendidik tidak mampu menemukan potensi peserta didiknya secara tidak langsung pendidik tersebut
telah
gagal
dalam
mendidik.
Jadi
setiap
pendidik
memang
bertanggungjawab untuk menemukan potensi peserta didiknya, apapun hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam proses penggalian potensi tersebut hendaknya dijadikan tantangan bagi pendidik sebagai wujud nyata pengabdian kepada bangsa. Kesadaran bahwa tugas pendidik merupakan tugas pengabdian ini secara tidak langsung akan menumbuhkan sikap ikhlas bagi pendidik yang mempengaruhi sikapnya dalam mendidik. Sebab disadari atau tidak sikap pendidik sangat menentukan masa depan peserta didiknya, untuk itu diharapkan para pendidik ketika
mendidik
harus mengacu pada
pengembangan sikap yang bersumber dari hati nurani, sehingga sikap tersebut dapat membuat peserta didik menjadi manusia yang berkarakter mulia, cerdas, mandiri dan mampu memberi kontribusi bagi lingkungan dan sesamanya. B. Tujuan Penulisan Berdasarkan pendahuluan diatas, melalui tulisan ini penulis bertujuan untuk mendeskripsikan pendidikan dengan nurani sebagai upaya memaksimal potensi dari peserta didik. Dalam tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya: 1) bagaiamana konsep mendidik dengan nurani; 2) bagaimana menjadi pendidik yang mampu mendidik dengan nurani; 3) bagaimana kepribadian pendidik yang mendidik dengan nurani; dan 4) bagaiamana metode mendidik dengan nurani. Diharapkan pula kajian ini dapat menambah wawasan para pendidik perihal konsep mendidik dengan nurani, yang diharapkan pula kedepan dapat berguna bagi para pendidik untuk mulai mengoptimalkan potensi diri dengan menerapkan metode mendidik dengan nurani demi meningkatkan kualitas peserta didik, tidak hanya sisi intelektualitas, melainkan juga peningkatan dibidang akhlak, moralitas, dan karakter.
C. Kerangka Teoritik 1. Pengertian Pendidikan Penting kita tinjau pengertian kembali pendidikan secara lebih seksama agar menjadi mudah bagi kita untuk menentukan tujuan sebenarnya dari pendidikan itu sendiri. Secara etimologi kata “pendidikan” ini sepadan dengan kata “education” dalam bahasa Inggris, serta kata “at-ta‟lim”, “at-tarbiyah” dan “at-ta‟dib” dalam bahasa Arab. Kata at-ta‟lim merujuk pada pengajaran yang bersifat
pemberian
atau
penyampaian
pengertian,
pengetahuan
dan
keterampilan (tranfer of knowledge). Kata at-tarbiyah mempunyai pengertian mengasuh, mendidik, dan memelihara. Sementara kata al-ta‟dib dapat diartikan sebagai proses mendidik yang memfokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Meski demikian pendidikan
lebih
tepat
diseut
“at-tarbiyah”
yang
mengandung
arti
mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan. Kata ini mempunyai akar kata yang sama dengan kata “Rabb al-„alamin” yang berarti Allah Dzat yang Mengatur, Mengembangkan, Menumbuhkan, dan Menyuburkan alam semesta. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah menanamkan dan menumbuh kembangkan nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia (Rasyid, 2013: 97-98). Dalam pemahaman lain, kata “at-tarbiyah” juga dimaknai sebagai pendidikan yang mendasari pada kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang,
kelembutan
hati,
perhatian,
bijak,
dan
menyenangkan
(tidak
membosankan) (http://id.wikipedia.org/wiki/Tarbiyah). Menurut Ridwan (2014), pemahaman pendidikan sebagai kegiatan yang dilandasi dengan kasih sayang sejalan dengan makna tersirat yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 21, yang sering diajarkan sebagai doa anak sholeh terhadap orang tuanya“….Warhamhumaa
kamaa
rabbayani
shaghiira” (“…dan
sayangilah
mereka berdua sebagaimana mereka mendidikku (dengan kasih sayang) ketika aku masih kecil”). Berdasarkan pemahaman ayat inilah sebenarnya mendidik dengan hati harus diberlakukan, baik terhadap anak-anak di keluarga maupun bagi peserta didik di sekolah.
lingkungan
Menurut Yusuf al-Qardhawi, “pendidikan (Islam) adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Oleh karena itu tujuan dari pendidikan (Islam) adalah menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai maupun perang dan
menyiapkannya
untuk
masyarakat
dengan
segala
kebaikan
dan
kejahatannya, manis dan pahitnya. Sedangkan Kohnstamm dan Gunning dalam Rasyid (2013), memberikan definisi, “pendidikan adalah pembentukan hati nurani. Pendidikan adalah proses pembetukan diri dan penentuan diri secara etis, sesuai dengan hati nurani,”. Pendidikan juga sejalan dengan falsafa Sam Ratulangi, “si tou timou tumou
tou”
(manusia
baru
dikatakan
manusia,
jika
sudah
mampu
memanusiakan manusia), begitulah halnya substansi pendidikan yakni bertujuan untuk memanusiakan manusia. Dimana sejatinya pendidikan adalah upaya manusia dewasa untuk membimbing manusia yang belum dewasa menuju kepada kedewasaan. 2. Pengertian Nurani Nurani, selalu disandingkan dengan kata “hati” menjadi hati nurani. Secara leterlek berarti cahaya hati yang dimiliki setiap orang, yang dengannya seseorang mampu mendapat petunjuk dalam kebaikan. Secara definisi hati nurani yang berasal dari bahasa latin “conscientia” yang bermakna “turut mengetahui”. Kata ini kemudian diserap dalam bahasa Inggris yakni “consciece” yang maknanya menjadi suara hati, kata hati, atau hati nurani. Kata ini juga memiliki padanan kata berdekatan dengan kata conscious. Conscious artinya sadar, berkesadaran, atau kesadaran. Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya yaitu intuition, intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin. Menurut K. Bertens( 2007), hati nurani dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu retrospektif dan prospektif. Hati nurani restrokpektif mampu memberikan penilaian tentang baik atau buruknya suatu perbuatan yang
dilakukan seseorang pada masa lalu. Hati nurani prospeksi mampu memberikan penilaian tentang baik atau buruknya seseorang kemasa depan. Nurani disini, merupakan penerapan kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang di hati manusia dalam situasi konkret. Suara hati menilai suatu tindakan manusia benar atau salah , baik atau buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru. Dalam hati, manusia sebelum bertindak atau melakukan sesuatu, ia sudah mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut, walaupun kadar kesadarannya berbeda – beda. Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis atau tidak etis, pada saat itu kata hati akan mengatakan perbuatan itu baik atau buruk. Jika perbuatan itu baik, kata hati muncul sebagai suara yang menyuruh dan jika perbuatan itu buruk, kata hati akan muncul sebagai suara yang melarang. Kata hati yang muncul pada saat ini disebut prakata hati. Berangkat dari pemahaman definisi pendidikan dan nurani yang ada, dapat ditarik benang merah bahwa mendidik adalah tugas moral seorang pendidik, yang ketika bersentuhan dengan nurani maka proses pendidikan akan senantiasa dilakukan dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, dengan tujuan mengembangkan, menumbuhkan potensi peserta didik. Pendidikan tidak lain merupakan wadah pembentuk nurani. Karena tujuan pendidikan adalah pembentukan hati nurani, maka sudah seharusnya cara mendidik harus dengan nurani pula. Yang dengannya diharapkan tercipta generasi penerus yang memiliki tingkat kekuatan nurani, sehingga terbentuk manusia yang menjadi harapan bangsa. D. Pembahasan 1. Menjadi Pendidik Bernurani Pada sebuah kesempatan KH. Maemun Zubair pernah berkata, “jadi pendidik itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marahmarah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi
pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridmu mendapat hidayah.” Apa yang disampaikan salah satu ulama kharismatik di Indonesia ini merupakan dasar pendidikan yang seringkali tidak disadari oleh para pendidik. Menurut Annisa Noer (2015), pendidikan di sekolah dikatakan berhasil tidak hanya berkat kepiawaian pendidik dalam mengajar melainkan juga ditentukan oleh sejauhmana pendidik mampu mendidik peserta didiknya. Pendidik yang baik tidak hanya mampu mengajar dengan baik tetapi mampu mendidik peserta didiknya. Sebab ketika pendidik mampu mengajar sekaligus mendidik dengan baik, maka akan menghasilkan peserta didik yang tidak hanya pandai secara intelektualitas melainkan berkualitas dari sisi moralitas, akhlak dan sikapnya, yang pada akhirnya pun tercipta peserta didik yang dapat menjadi kebanggaan. Terdapat perbedaan mendasar antara mengajar dan mendidik, dimana mengajar terbatas pada pemberian bahan materi ajar. Sebagaimanan dikemukakan
yang
Tardif (1989) Mengajar adalah any action performed by an
individual (the teacher) with the intention of facilitating lerning in another individual (the learner ) artinya yaitu
perbuatan yang dilakukan seseorang
(dalam hal ini guru) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar. Kata the teachar dan the learner dalam definisi tersebut dapat diartikan sebagai proses interaksi dua individu dalam proses pengajaran, baik antara orang tua dengan anak atau antara kiai dengan santri. Sedangkan mendidik lebih dari itu merupakan upaya pendidik membentuk perilaku dan karakter peserta didik. Sehingga pendidik akan menjadi teladan, dan menjadi barometer peserta didik berperilaku. Jika mengajar hanya beruhubungan dengan peningkatan kualitas kecerdasan dan kepintaran, maka lebih kepada proses bagaimana peserta didik dapat menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, moral dan sosial. Perubahan itu tidak hanya dilakukan melalui pengajaran saja, tetapi melalui pendidikan dan keteladanan dari seorang pendidik. Jadi di sini seorang pendidik harus lebih banyak dicontoh daripada memberi contoh.
Memang dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), seorang pendidik tidak pernah lepas dari perasaan kesal karena ulah peserta didik yang kadang sudah melampaui batas. Meski begitu pendidik harus senantiasa berhati-hati dalam mengekspresikan perasaan itu. Jangan sampai salah menempatkan sehingga berujung pada membentak atau memukul peserta didik. Disini diperlukan sikap kesabaran dari pendidik untuk menolong peserta didik terutama yang sering bermasalah. Hal ini hanya terjadi jika pendidik memiliki keikhlasan dalam mendidik, sehingga lahirlah sikap empati yang sangat dibutuhkan peserta didik. Ciri pendidik yang berempati adalah pendidik yang murah senyum, ramah, lembut tetapi tegas, dan mendengarkan ungkapan peserta didik di dalam kelas, tetapi terlebih tentang kehidupan mereka secara umum. Serta menghargai tiap hal yang diungkapkan mereka. Mereka butuh perhatian dan pendampingan. Para pendidik tidak akan mudah marah kepada peserta didik yang membuat ulah, tetapi berusaha mencari tau mengapa peserta didik seperti itu, dan akan mencari solusi yang tepat untuk memecahkan masalahnya. Marah terhadap tindakan peserta didik yang membuat ulah boleh saja, tetapi jangan asal marah. Jika pendidik hanya marah-marah dan menyalahkan peserta didik yang membuat masalah, tanpa memberi perhatian dan solusi yang tepat, maka hal seperti itu justru akan menambah beban bagi peserta didik tersebut. Sebagai pendidik yang baik harus tetap memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap peserta didik dengan setulus hati. Dengan melakukan hal tersebut pendidik benar-benar bisa berperan menjadi orang tua kedua bagi peserta didiknya di sekolah. Ia tidak akan menjadi sesosok pendidik yang galak dan menaakutkan bagi peserta didik, ia justru akan menjadi sahabat bagi para peserta didiknya. Proses pendidikan dengan nurani akan memberikan sentuhan-sentuhan pada hati akan berdampak yang luar biasa terhadap jiwa peserta didik. Robert K Cooper dalam Ronie (2005:24) menyatakan: “hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak, atau tidak dapat diketahui oleh
pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.” Dari penjelasan
Robert K Cooper dalam Ronie di atas dapat di
simpulkan bahwa hati adalah otak kehidupan. Jika otak kehidupan seseorang baik, maka perilaku seseorang dalam kehidupan akan baik, senantiasa memberikan yang terbaik, sehingga terjadi respon kebaikan akan kembali kepada dirinya sendiri. Jika respon balik dari rasa cinta peserta didik terhadap pendidik yang mendidik dengan hati bisa terwujud, maka sikap-sikap positif akan terlahir, misalnya penghormatan, kepatuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, dan rasa ingin selalu menghargai pendidik yang dicintainya. Dengan sikap-sikap seperti ini
peserta didik akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi
sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Kemunculan gairah untuk berprestasi di dalam jiwa peserta didik perlu ditumbuhkembangkan dengan memberikan motivasi, dan perhatian serta kasih sayang. Harus disadari bahwa ungkapan rasa kasih sayang dan cinta pendidik tidak mudah ditangkap oleh peserta didik. Oleh karena itu dibutuhkan kiat dan seni tersendiri agar sinyal kasih sayang dan cinta pendidik dapat dipahami peserta didik. 2. Kepribadian Pendidik Bernurani Menjadi seorang pendidik memang tidak mudah sebab dituntut untuk memiliki kepribadian yang kuat dan terpuji. Kepribadian merupakan sesuatu yang melekat pada diri seseorang, merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan Kepribadian yang harus ada pada setiap pendidik adalah kepribadian
yang
mantap
dan
stabil,
dewasa,
arif,
dan
berwibawa.
Sebagaimana dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa kompetensi kepribadian guru yaitu kemampuan kepribadian yang: (1) mantap; (2) stabil; (3) dewasa; (4) arif dan bijaksana; (5) berwibawa; (6) berakhlak mulia; (7) menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat; (8) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (9) mengembangkan diri secara berkelanjutan. Jika diperhatikan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, maka menurut penulis kompetansi kepribadian menjadi landasan bagi seorang guru dalam dunia pendidikan. Pendidik merupakan faktor utama dan berpengaruh terhadap proses pendidikan. Oleh karena itu faktor pendidik terhadap peserta didik sangat besar dan sangat menentukan. Sebab kepribadian pendidik mempunyai pengaruh langsung dan kumulatif terhadap hidup dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik. Menurut Roucek dan Warren,
Kepribadian adalah suatu gabuangan dari
beberapa faktor yang terdiri dari faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor sosiologis
yang
dapat
mempengaruhi
tingkah
laku
seseorang.(
http://seputarpendidikan003.blogspot.co.id/2015/12/)
Sejumlah penelitian menguatkan kenyataan bahwa banyak sekali yang dipelajari oleh peserta didik dari pendidik (guru atau orang tua). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat (1996) bahwa “Pendidikan, pembinaan iman dan taqwa anak belum dapat menggunakan kata - kata (verbal), akan tetapi diperlukan contoh yang secara langsung sebagai teladan, pembiasaan dan latihan yang terlaksana di dalam keluarga sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak yang berlangsung secara alamiah. Maka jelaslah bahwa peserta didik akan menyerap sikap-sikap, merefleksikan perasaan-perasaan, menyerap keyakinan-keyakinan, meniru tingkah laku, dan mengutip pernyataan-pernyataan pendidiknya. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah-masalah seperti motivasi, disiplin, tingkah laku sosial, prestasi, dan hasrat belajar yang terus menerus pada diri peserta didik justru bersumber dari pendidik (guru). Karena kepribadian pendidik sangat berpengaruh terhadap peserta didik, maka pendidik harus memiliki ciri sebagai orang yang berkepribadian matang, dan sehat. Sebab pendidik dalam mendidik dengan nurani harus mempunyai
kepribadian seperti di sebutkan di atas,
sebagai lambang kuatnya nurani. Allpot (dalam Suyanto dan Jihad, 2013: 16-17)
mengemukakan bahwa ciri-ciri pendidik yang memiliki kepribadian matang sebagai berikut: a. Extension of the sense of self. Meningkatkan kesadaran diri (nurani) dan melihat sisi lebih dan kurang dari diri; b. Warm relatedness to other. Mampu menjalin relasi yang hangat dengan orang lain. Allpor membedakannya menjadi intimacy (keintiman) dan compassion (kecintaan). Keintiman merupakan kemampuan orang mencintai
keluarga
atau
teman.
Sedang
kecintaan
merupakan
kemampuan orang untuk mencintai keluarga, teman, dan orang lain. Pendidik yang memiliki ciri ini biasanya mempunyai banyak relasi, tidak hanya sebatas relasi di sekolah, tetapi juga relasi di lingkungan sosial; c. Self acceptance. Memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dan mampu menjauhi sikap berlebihan. Biasanya, pendidik yang memiliki ciri seperti ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap frustasi dan mau menerima apa yang ada dalam dirinya; d. Realistic perception of reality. Memiliki persepsi yang realistis terhadap kenyataan. Pendidik yang memiliki ciri seperti ini berorientasi pada persoalan riil yang dihadapi bukan hanya pada diri sendiri; e. Self objectification. Memiliki pemahaman akan diri sendiri. Pendidik dengan ciri ini biasanya mengetahui kemampuan dan keterbatasan dirinya. Selain itu, dia juga memiliki sense of humor (selera humor). Ketika dia mempunyai masalah, maka dia mampu memecahkan masalah yang pelik tersebut dengan cara yang sederhana diselingi unsur humor; f. Unifying philosophy of life (filsafat hidup yang mempersatukan). Memiliki pedoman hidup untuk menyatukan nilai-nilai yang kuat dalam kehidupan. Pendidik
dengan
ciri
ini
biasanya
memiliki
kematangan
dalam
membangun pemahaman tentang tujuan hidup. Disamping itu, pendidik yang mampu mendidik dengan nurani diharapkan juga memilki kepribadian yang sehat. Sedangkan karakteristik kepribadian yang sehat menuru Elizabeth B. Hurlock (dalam Suyanto dan Jihad, 2013:17)adalah sebagai berikut;
a. Mampu menilai diri secara realistis. Pendidik yang kepribadiannya sehat mampu menilai dirinya sebagaimana adanya, baik menyangkut kelebihan (kecerdasan dan keterampilan) maupun kekurangannya (postur tubuh, wajah, keutuhan, dan kesehatan); b. Mampu menilai situasi secara realistis. Pendidik seperti ini dapat menghadapi kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistis dan mau menerimanya secara wajar. Dia juga tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna. Dengan kepribadian seperti ini, sang pendidik tidak akan menimpakan permasalahan pribadinya kepada peserta didik dengan menjadi mereka sebagai kambing hitam; c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistis. Pendidik seperti ini dapat menilai prestasi yang diperolehnya secara realistis dan mereaksinya secara rasional akan memperoleh kesuksesan dalam hidup. Dia tidak turut menjadi orang sombong. Demikian halnya, ketika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustasi, tetapi tetap dengan sikap optimis; d. Menerima tanggungjawab. Pendidik seperti ini adalah individu yang bertanggungjawab.
Dengan
sikap
seperti
ini
dia
merasa
bertanggungjawab terhadap peserta didik untuk membentuk mereka menjadi manusia yang berkualitas. e. Kemandirian.
Pendidik
seperti
ini
memiliki
sikap
mandiri,
baik
menyangkut cara dia berfikir dan bertindak. Selain itu, dia juga mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri yang berguna bagi proses pendidikan; f. Dapat mengontrol emosi. Pendidik seperti ini biasanya merasa nyaman dengan emosinya. Dia mampu mensikapi kenakalan peserta didik tidak langsung dengan marah-marah melainkan mampu menemukan solusi yang jitu untuk mengendalikannya; g. Berorientasi tujuan. Pendidik seperti ini dapat merumuskan tujuan pendidikan bagi peserta didik dengan pertimbangan matang dan rasional;
h. Berorientasi keluar. Pendidik seperti ini biasanya memiliki sikap yang respek dan simpati kepada peserta didik. Sehingga dengan sikap tersebut problem dari peserta didik dapat dengan mudah ditangani; i.
Diterima secara sosial. Pendidik seperti ini dinilai positif oleh peserta didik dan bisanya menjadi pendidik yang disenangi sekaligus disegani;
j.
Memiliki falsafat hidup. Pendidik seperti ini mengarahkan hidup berdasarkan falsafat hidupnya, dan biasanya dia akan turut menuangkan falsafat tersebut kepada peserta didik, yang dengannya peserta didik dapat meniru tingkah laku pendidik berdasarkan falsafat yang diajarkan;
k. Berbahagia. Salah satu ciri pendidik yang mampu mendidik dengan nurani adalah memiliki mental bahagia, sebab apapun kesulitan yang dihadapi
selama
proses
pendidikan,
pendidik
seperti
ini
akan
menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang ketika berhasil melalui justru mendapatkan kebahagiaan tersendiri. Dari kedua konsep di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kepribadian yang matang dan sehat akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan seseorang secara individu, maupun social kemasyarakatan.
3. Langka dan Metode Mendidik dengan Nurani Dalam artikelnya Ahmad Taufik beberapa langkah yang harus dilakukan pendidik dalam upaya mendidik dengan nurani ini, diantaranya: 1) Kelembutan sikap. Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap. Kelembutan akan melahirkan cinta, dan perasaan cinta akan semakin merekatkan hubungan antara pendidik dengan peserta didiknya. Bila seseorang mencintai sesuatu, pasti ia akan berperilaku lembut terhadap sesuatu yang dicintainya. Jika peserta didik selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan pendidik, maka peserta didik akan meyakini bahwa pendidiknya memang mencintai mereka. 2) Memenej Emosi. Pendidik harus pandai memenej emosinya secara baik dan canggih. Jangan sampai mencampuradukan persoalan pribadi dengan masalah sekolah. Bila pendidik ingin meluapkan emosi yang sulit dibendung di hadapan peserta didik, hendaklah dengan cara duduk, jangan dengan berdiri
apalagi dengan berkacak pinggang. 3) Hindari Prakonsepsi Negatif. Dalam menghadapi peserta didik yang bikin ulah di kelas, sebaiknya pendidik jangan mudah terbawa arus emosional yang bersifat negatif. Stempel atau cap negatif akan menyebabkan hubungan pendidik dan murid menjadi tersekat, tidak netral, bahkan penuh dengan prakonsepsi negatif. Untuk menghindari hal seperti itu pendidik harus mampu menjadi sosok yang pemaaf. 4) Hadirkan mereka dalam doa. Pendidik adalah orang tua kedua bagi anak. Maka, hendaklah pendidik berusaha berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mendoakan anak secara rahasia merupakan keniscayaan bagi pendidik yang kini banyak terlupakan. Pendidik selain sebagai pengajar dan pendidik serta yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi pendoa bagi anak didiknya. Guru sebagai Pendidik merupakan sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Sekolah merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat. Karena itu, selain diberi pembelajaran dalam keseharian, para peserta didik juga diajak mengembangkan aspek persaudaraan dan solidaritas antar teman sebagai bekal kehidupan bersosisalisasi dalam hidup bermasyarakat. Pengembangan aspek kemanusiaan ini bisa tercipta jika pendidik dapat menciptakan iklim pembelajaran dikelas yang kondusif dengan menerapkan model-model pembelajaran yang menantang peserta didik berfikir kritis dan kreatif. Lewat sekolah, peserta didik diajarkan rasa saling menghormati dan mencintai perbedaan dalam segala bidang baik dengan teman, pendidik dan masyarakat sekitar. Peserta didik tidak cukup hanya menerima perbedaan, tetapi lebih penting lagi mencintai kebersamaan dalam perbedaan. Demi
mewujudkan
harapan
tersebut
pendidik
diharapkan
dapat
menerapkan metode mengajar berikut agar upaya mendidik dengan nurani dapat berjalan dengan efektif. Rasyid (2013: 241-254) membeberkan beberapa metode yang patut diperhatikan mengenai penerapan pendidik berbasis nurani ini sebagai berikut: a. Metode Dialogis
Metode ini adalah metode denagn mengunakan tanya jawab, apakah pembicaraan antar dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik pembicaraan tertentu. Metode ini berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya. Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain baik mendengar langsung atau melalui bacaan. Abdurahman an-nahlawi mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola dinamis sehingga materi menjadi tidak membosankan, melalui dialog peserta didik akan tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai, melalui dialog persaan dan emosi peserta didik akan terbangkitkan, sebab topik yang disajikan juga bersifat realistik dan manusiawi. Dengan dialog maka peserta didik akan merasa diberi kesempatan untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. b. Metode Berkisah Mendidik
dengan
metode
kisah
sangat
bermanfaat
untuk
mengembangkan karakter peserta didik. Metode ini akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir, merasakan dan merenungi kisah tersebut, sehingga seolah ia ikut berperan dalam kisah tersebut. Adanya keterkaitan emosi peserta didik dengan kisah akan memberi peluang bagi peserta didik untuk meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan berusaha meninggalkan perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk. Kisah atau cerita biasanya mengusung dua unsur, yakni unsur negatif dan positif. Keberadaan dua unsur tersebut akan memberi warna dalam diri akan jika tidak ada filter dari para orang tua dan pendidik metode mendidik melalui metode berkisah dalam pembentukan akhlak, moral dan akal peserta didik.
Kisah atau cerita mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati peserta didik, perasaannya aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita disenangi orang. Dapat dipahami bahwa cerita tidak hanya sekedar menghibur tetapi juga dapat memberi nasehat, dapat melunakkan hati dan jiwa peserta didik, memberi pengaruh terhadap akhlak dan perilaku peserta didik. c. Metode Perumpamaan Metode perumpaan ini yakni berupa cara pendidik mendidik peserta didik dengan memberikan perumpamaan, sehingga mudah memahami sebuah konsep. Memberikan perumpaan memiliki tujuan psikologi edukatif, berupa memberikan kemudahan dalam memahami sebuah konsep yang abstrak, ini disebabkan karena perumpaan biasa merupakan contoh kongkrit yang berada disekililing peserta didik. Selain itu perumpamaan juga mempengaruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka perasaan. Metode perumpamaan juga bermanfaat untuk membina akal untuk terbiasa berfikir secara valid pada analogis melalui penyebutan premispremis. Dan mampu juga menciptakan motivasi yang menggerakkan aspek emosi dan mental peserta didik. d. Metode Keteladanan Metode ini, disebut juga metode meniru yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik. Itulah mengapa pendidik disebut Pendidik yang fungsinya “diguguh dan ditiru,” sehingga pendidik harus senantiasa memberikan contoh teladan yang baik kepada peserta didik agar ditiru dan dilaksanakan. Seorang pendidik dalam berinteraksi dengan anak didiknya akan menimbulkan respon tertentu baik positif maupun negatif, seorang pendidik sama sekali tidak boleh bersikap otoriter, terlebih memaksa anak didik dengan cara-cara yang dapat merusak fitrahnya.
Nilai edukatif keteladanan dalam dunia pendidikan adalah metode influitif yang
paling
meyakinkan
keberhasilannya
dalam
mempersiapkan
dan
membentuk moral spiritual dan sosial peserta didik. Cara menjadi teladan ini bisa dengan sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh peserta didik, dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang akan ditanamkan pada peserta didik, sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi peserta didik. Ada ungkapan bahwa pendidik itu besar dimata anak didiknya, apa yang dilihat dari pendidik akan ditirunya, karena peserta didik akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari pendidik. Dengan demikian keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik akhlak anak, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik. Kalau pendidik berakhlak baik maka kemungkinan anak didiknya juga berakhlak baik, karena murid meniru pendidiknya, sebaliknya kalau pendidik berakhlak buruk maka kemungkinan muridnya juga akan berakhlak buruk. Hal ini sejalan dengan peribahasa, “pendidik kencing berdiri, murid kencing berlari,” yang kurang lebih bermakna apa yang dilakukan pendidik akan ditiru oleh murid dan bahkan bisa lebih dari yang dilakukan oleh sang pendidik. e. Metode Nasehat Metode ini dilakukan pendidik dengan cara memberi motivasi kepada peserta didik. Metode ini sangat efektif dalam pembentukan pemahaman peserta didik terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan budi pekerti. Meski demikian seorang peserta didik juga harus pintar untuk melihat kondisi peserta didik saat memberi nasehat. Memberi nasehat hendaknya dengan baik, sehingga nasehat tersebut akan diterima dengan rela tanpa ada unsur terpaksa. Metode mendidik dengan memberi nasehat sangat membantu terutama dalam upaya membentuk karakter peserta didik, sebab tidak semua peserta didik mendapatkan dan mengetahui konsep karakter yang benar.
Menurut Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, cara mempergunakan rayuan (sindiran) dalam nasehat, yaitu: a) rayuan dalam nasehat seperti memuji kebaikan murid, dengan tujuan agar murid lebih meningkatkan kualitas akhlaknya,
dengan
mengabaikan
membicarakan
keburukannya.
b)
menyebutkan tokoh-tokoh yang berjasa di masa lalu, yang patut diteladani, sehingga membangkitkan seamangat mereka untuk mengikuti jejak tokoh tersebut. c) membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik. d) sengaja menyampaikan nasehat ditengah anak didik. e) menyampaikan nasehat secara tidak langsung atau melalui sindiran. f) memuji dihadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini dilakukan akan mendorongnya untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. Dengan cara tersebut, niscaya dapat dimaksimalkan dampak dari pemberian nasehat sebagai upaya membentuk karakter peserta didik. Perubahan yang dibutuhkan dalam metode ini adalah perubahan yang tulus ikhlas tanpa ada kepura-puraan, karena kepura-puraan akan muncul ketika nasehat tidak tepat waktu dan tempatnya. Peserta didik akan merasa tersinggung dan sakit hati kalau hal ini sampai terjadi maka nasehat tidak akan membawa dampak apapun, yang terjadi adalah perlawanan terhadap nasehat yang diberikan. f. Metode pembiasaan Metode pembiasaan ini penting agar apa yang telah dipelajari peserta didik dapat benar-benar melekat dan menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi karakter. Pembiasaan dalam pendidikan yang dilakukan sejak dini akan membawa kegemaran dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah budaya sehingga tidak lepas dan terpisahkan dari kepribadian peserta didik. g. Metode targhib dan tarhib Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Sedangkan tarhib adalah ancaman,
intimidasi melalui hukuman. Metode ini dengan targhib bisa berupa pemberian hadiah yang tujuannya untuk memberi motivasi dan meningkatkan prestasi peserta didik, sedangkan tarhib berfungsi untuk membentuk anak menjadi lebih disiplin, meski demikian sanksi seperti ini hendaknya bertahap agar tidak menimbulkan dendam. Dan dihimbau tahap sanksi ringan. h. Metode Kontrol Apa yang dilakukan peserta didik hendaknya diawasi oleh pendidik, apakah peserta didik tersebut melakukan kesalahan yang harus diperbaiki atau melakukan perbuatan yang perlu disadarkan agar tidak mengulanginya. i.
Metode Pemberian Sanksi
Metode ini merupakan metode paling akhir yang harus dilakukan dalam upaya mendidik dengan nurani. Sanksi dibutuhkan bukan karena telah lepasnya kasih sayang dari pendidik kepada peserta didik, melainkan dibutuhkan sebagai efek jerah bagi peserta didik karena telah melakukan kesalahan tertentu. Penting diingat oleh pendidik adalah sebelum memberikan sanksi pendidik harus
terlebih
dahulu
memastikan
apakah
peserta
didik
mengetahui
kesalahannya, sehingga sanksi dapat berlaku efektif sebagai efek jerah. Selain itu pemberian sanksi juga harus memperhatikan koridor-koridor tertentu yang tujuannya bukan untuk menyakiti melainkan untuk mendidik.
E. Penutup 1. Kesimpulan 1) Proses pendidikan
dengan pendekatan nurani
akan memberikan
sentuhan-sentuhan pada hati akan berdampak yang luar biasa terhadap jiwa peserta didik. 2) Seorang pendidik
memiliki kepribadian yang mantap dan stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa. Sebab kepribadian pendidik mempunyai
pengaruh langsung dan kumulatif terhadap hidup dan kebiasaankebiasaan peserta didik. 3) Langkah- langkah
mendidik dengan nurani, menampilkan; (1)
Kelembutan sikap.
(2) Memenej Emosi. (3) Hindari Prakonsepsi
Negatif (4) Hadirkan mereka dalam doa. 4) Diantara
metode
pembelajaran;
Metode
Berkisah,
Metode
Perumpamaan, Metode Keteladanan, Metode Nasehat, Metode targhib dan tarhib, Metode Kontrol, Metode Pemberian Sanksi.
2. Saran 1) Mulai proses pendidikan
dengan pendekatan nurani
ia akan
memberikan sentuhan-sentuhan pada hati akan berdampak yang luar biasa terhadap jiwa peserta didik. 2) Seorang pendidik harus memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Sebab kepribadian pendidik mempunyai pengaruh langsung dan kumulatif terhadap hidup dan kebiasaankebiasaan peserta didik 3) Laksanakan langkah- langkah mendidik dengan nurani, menampilkan;
(1) Kelembutan sikap. (2) Memenej Emosi. (3) Hindari Prakonsepsi Negatif (4) Hadirkan mereka dalam doa. 4) Aplikasikan
metode
pembelajaran;
Metode
Berkisah,
Metode
Perumpamaan, Metode Keteladanan, Metode Nasehat, Metode targhib dan tarhib, Metode Kontrol, Metode Pemberian Sanksi.
F. Daftar Pustaka Ahmad
taufik, Mengajar dengan Hati, online tersedia dalam http://pendidikipskudu.wordpress.com/artikel-pendidikan/mengajardengan-hati/ diakses pada 12 Desember 2015.
Anissa
Noer, Mendidik dengan Sepenuh Hati, Online, file:///C:/Users/Admin/Documents/My%20Blog_%20Mendidik%20d engan%20Sepenuh%20Hati.html diakses pada 12 Desember 2015.
Dradjat, Zakiyah t,et.al, ilmu pendidikan islam,jakarta :bumi aksara,1996. Hamdan Rasyid, Pendidikan Anak Pada Era Globalisasi (Jakarta: MUI-Jakarta, 2013). Nuni Yusvavera Syatra, Desain Relasi Efektif Guru dan Murid, (Jogjakarta: Buku Biru, 2013). Ridwan, Mendidik dengan Hati: Sebagai Suatu Solusi Keberhasilan Pendidikan, (September, 2014). Ronnie M, Dani. Seni Mengajar Dengan Hati, (Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2005). Suyanto & Asep Jihad, Menjadi Pendidik Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Pendidik di Era Global, (Jakarta: Erlangga, 2013). Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).