BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah masalah khas manusia, hanya manusia yang mempunyai persoalan tentang pendidikan, sebagaimana kodratnya sebagai makhluk rasional yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Apabila suatu bangsa dan manusia mengalami krisis multidimensional berarti pendidikan sedang mengalami krisis dan disorientasi tujuan dan pemaknaan. Oleh karena itu, Manusia memiliki kemampuan untuk dididik dan mendidik dengan tujuan untuk dapat mengatasi persoalan atau krisis tersebut (Suhartono,2009: 62-63;78-79). Persoalan yang dihadapi oleh dunia tersebut merupakan manifestasi dari ketidakharmonisan antar alam dan manusia, maka, perlu ada yang dikonstruksikan ulang dalam menata pendidikan yang berkelanjutan. Berbagai permasalahan pendidikan yang terjadi, baik lokal, regional, maupun global telah menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membuat perubahan untuk mengembangkan hidup dan kehidupan manusia lebih baik. Menurut Novak (1977: 28) isu-isu terkini pendidikan yang sering dibahas orang pada umumnya adalah apakah pendidikan wajib diperlukan hanya sampai umur 12-14 tahun? apakah peserta didik harus memiliki lebih banyak kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka menghabiskan waktunya di sekolah? haruskah sekolah dihapuskan? Chamberlain dan Kindred (1966: 259) dalam bukunya berjudul The Teacher and School Organization, memaparkan temuannya bahwa masalah pendidikan dewasa ini pada dasarnya bertitik tolak
tentang perdebatan apa sebenarnya tujuan pendidikan itu?, apakah pendidikan untuk membentuk individu atau membentuk masyarakat? Apakah pendidikan dimaknai
untuk
mengembangkan
intelektual,
melestarikan
masyarakat,
merekonstruksi masyarakat atau untuk mempertemukan kebutuhan individu dan masyarakat. Apakah pendidikan bertujuan semata-mata hanya untuk realisasi diri atau untuk menjalin hubungan antar manusia. Apakah tujuan pendidikan sekedar untuk efisiensi ekonomi atau sebagai tanggung jawab warganegara? Pertanyaan tersebut mencerminkan bagaimana pendidikan harus dikembangkan bagi manusia. Apabila mencermati perkembangan dunia yang modern sekarang ini berbagai teori dan konsep tentang pendidikan berkembang pesat seperti konsep pendidikan yang dikaitkan dengan agama, alam, ilmu, politik, budaya, sosial, kemanusiaan, lingkungan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Penelitian ini akan memfokuskan pendidikan dalam konteks global sebagaimana yang dirumuskan oleh lembaga internasional seperti UNESCO yaitu seputar Paradigma Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan atau Education for Sustainable Development (ESD). Bagaimana pendidikan dapat dilihat sebagai suatu entitas yang dinamis, universal, dan sarat dengan nilai-nilai. Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menjadi paradigma pendidikan
global
sejak
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(United
Nations)
memperkenalkan dalam forum internasional yang dikenal sebagai KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada bulan Desember 2002 yang dikenal dengan deklarasi Rio. Sejak itu, Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menjadi agenda utama dalam lembaga pendidikan dunia di bawah UNESCO. Awal mula gagasan Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dilatarbelakangi oleh
sejumlah persoalan global yang melanda dunia antara lain perubahan iklim (climate change), krisis energi (energy crisis), kelangkaan pangan (food scarcity), krisis kebudayaan, dan hilangnya pengetahuan lokal (Indigenous knowledge), serta, persoalan kerusakan lingkungan yang sampai sekarang ini belum menemukan solusi yang konkret. Berbagai kajian dan penelitian tentang perubahan iklim, energi alternatif terbaharukan, serta pangan alternatif yang dilakukan oleh para ilmuwan dunia belum juga mendapatkan hasil yang memuaskan untuk mencapai pada suatu perubahan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan. Dalam Tajuk Rencana pada Kedaulatan Rakyat (9 November 2013, hal.14) berjudul “Krisis Ekologi Tetap Menghantui” menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di dunia dan Indonesia sudah semakin akut, eksploitasi sumber daya alam di dunia mencapai 7,3 triliun dollar per tahun. Akibat dari eksploitasi tersebut berdampak pada laju pemanasan global semakin cepat, lenyapnya kemampuan fungsi hutan dalam menyerap karbondioksida, serta kerusakan ekologi semakin meluas. Bukti lain bahwa bencana alam semakin banyak terjadi yaitu iklim tidak menentu, dan perubahan cuaca semakin ekstrim tanpa disadari oleh manusia. Misalnya, Amerika Serikat mendapatkan serangan hawa dingin di sejumlah wilayah Washington, Chicago, Missouri, Wisconsin, New York, dan kota penting lainnya diserang udara dingin yang berdampak pada 2.855 penerbangan ditunda dan 2.332 penerbangan dibatalkan (Kompas, 7 Januari 2014, hal.14). Dalam KTT Dunia tentang Pembangunan
yang
berkelanjutan
(Sustainable
Development)
yang
diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 2-4 September 2002 menegaskan pentingnya Sustainable development. Adapun basis filosofi
Sustainable development sebagaimana tertuang dalam website UNESCO (http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-internationalagenda/education-for-sustainable-development/three-terms-one-goal/) adalah: ‘seeks to meet the needs of the present without compromising those of future generations. Sustainable development is a vision of development that encompasses respect for all life—human and non-human—and natural resources, as well as integrating concerns such as poverty reduction, gender equality, human rights, education for all, health, human security and intercultural dialogue’. (berusaha untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan adalah visi pembangunan yang mencakup penghormatan terhadap semua sumber daya hidup manusia dan non-manusia dan alam, serta memfokuskan pada pengintegrasian pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender, hak asasi manusia, pendidikan untuk semua, kesehatan, keamanan manusia dan dialog antarbudaya).
Dasar filosofi tersebut menjadi latar belakang pentingnya solusi atas persoalan kemanusiaan dan kealaman melalui pendidikan. Selama ini pendidikan diabaikan dalam mengatasi persoalan global sebagaimana yang terjadi sekarang. Catatan rubrik berita Kompas (4 November 2013,hal.12) berjudul “Soal iklim,peran Perguruan Tinggi belum Optimal” juga menunjukkan bahwa peran perguruan tinggi dalam menyikapi perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global belum optimal. Sikap intelektual tidak cukup menanggapi perubahan iklim sebatas lewat seminar atau menyebarkan selebaran di jalan, hal ini butuh aksi nyata. Oleh karena itu, dalam KTT Dunia tahun 2002 tentang Pembangunan yang berkelanjutan mulai disinggung pentingnya peran pendidikan untuk terlibat dalam mengatasi persoalan dunia yang semakin kompleks. Rumusan yang ditawarkan dalam deklarasi Johannesburg, kemudian digunakan oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB) untuk memformulasikan paradigma sustainable development ke dalam pendidikan. Akhirnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui badan resmi
UNESCO mendeklarasikan Education for sustainable development (ESD), 20052014 sebagai paradigma pendidikan global untuk memerangi dan merespon isuisu global pada abad ke-21 ini. Sejak deklarasi Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan tahun 2002, berbagai lembaga pendidikan di dunia mencoba untuk memikirkan kembali filosofi pendidikan, program pendidikan, dan kurikulum pendidikan di mana dan pada aspek yang seperti apa pendidikan dapat berperan secara berkelanjutan dalam mengatasi krisis global. Reorientasi sistem pendidikan dan kurikulum menjadi topik yang diperdebatkan dalam implementasi paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Di satu sisi pendidikan sudah memiliki model dan kurikulum yang baku untuk para siswa, sedangkan di sisi lain, pentingnya untuk membuat suatu perubahan kurikulum yang berbasiskan pada visi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan untuk berkontribusi dalam mengatasi persoalan global. Pada tahun 2005, paradigma Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan mulai dikembangkan dan diterapkan di seluruh dunia. Untuk menyukseskan agenda PBB tersebut berbagai badan pendukung mulai dibentuk salah satunya adalah Regional Centre of Expertise (RCE) sebagai salah satu badan pendukung di bawah naungan United Nations University – Institute of Advanced Studies (UNU-IAS) yang berfungsi untuk menerjemahkan, menyosialisasikan, mengembangkan, dan mempraktekkan nilai-nilai Sustainable development di dalam aspek pendidikan yaitu pengetahuan, sikap, dan nilai baik formal maupun non-formal. RCE merupakan organisasi berjaringan yang diakui UNU-IAS untuk menggerakkan
program
dan
menyebarkan
gagasan
pendidikan
untuk
pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Adapun di Indonesia sendiri memiliki tiga RCE yang berada di Bogor, Yogyakarta, dan Kalimantan Timur. Di Korea Selatan terdapat empat RCE yang terletak di Tongyeong, Inje, Ulju, dan Incheon (Wawancara Su Yeon Park, staff RCE Tonyeong, 2 April 2012). Penelitian ini mengambil obyek material paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong, Korea Selatan dan obyek formalnya adalah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme. Pengertian Filsafat Pendidikan yang digunakan di sini merujuk pada pemikiran Noddings (2007:xiii) bahwa “Philosophy of Education is the philosophical study of education and its problems” (Filsafat pendidikan adalah studi kefilsafatan tentang pendidikan dan masalahnya). Secara khusus, penelitian ini akan menyoroti bagaimana implementasi Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan. Selain itu, penelitian ini akan menggali dan mengeksplorasi bagaimana pemikiran dan konsep yang dibuat, serta aplikasi paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan pada sekolah di Kota Tongyeong, Korea Selatan. Penelitian ini akan membatasi kajian yang memfokuskan pada konsep dasar, model/sistem pengembangan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di sekolah, metode yang dikembangkan, dan action
plannya
Rekonstruksionisme.
dalam
perspektif
pemikiran
Filsafat
Pendidikan
1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dirumuskan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apa hakikat Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan? 2. Bagaimana filsafat dan konsep Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang diterapkan di Kota Tongyeong, Korea Selatan? 3. Bagaimana analisis kritis filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dalam melihat
praktek
paradigma
pendidikan
untuk
pembangunan
yang
berkelanjutan pada sekolah di Kota Tongyeong, Korea Selatan? 4. Bagaimana sumbangsih pemikiran paradigma pendidikan untuk pendidikan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan bagi pendidikan di Indonesia?
2. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di Fakultas Filsafat UGM, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Sarjana Wiyata, Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, ditemukan belum ada penelitian yang pernah dilakukan sama seperti judul tesis ini. Bahkan, dalam judul disertasi di Fakultas Filsafat UGM sejak tahun 1982 hingga 2013 juga belum ditemukan penelitian atau kajian yang memfokuskan pada Filsafat Pendidikan. Berikut ini ditemukan beberapa judul penelitian yang memiliki topik yang erat kaitannya dengan obyek formal dalam penelitian ini. Ahmad Samawi No. 4498/IV-9/2/92, Tesis, Konsep Demokrasi Dalam Pendidikan Menurut Progressivisme John Dewey. Fakultas Filsafat UGM. 1995.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi dan melakukan evaluasi secara kritis filsafati tentang konsep demokrasi dalam pendidikan menurut Progresivisme John Dewey; 2. Relevansi konsep John Dewey dengan pendidikan nasional di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Hasil dari tesis ini adalah bahwa konsep demokrasi dalam pendidikan yang dimaksudkan John Dewey adalah suatu pandangan, sikap, dan aktivitas yang memberikan kesempatan seluas-seluasnya kepada anak (peserta didik) untuk berpartisipasi dalam menentukan pendidikannya agar ia tumbuh dan berkembang secara optimal dan wajar sesuai dengan potensinya. Eknathon, No. 5623/IV-9/22/93, Tesis, Konsep Filsafat Pendidikan Hamka
Dalam
sistem
Pendidikan
Nasional,
Fakultas
Filsafat
UGM:
Yogyakarta.1999. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengklarifikasi dan melakukan evaluasi secara kritis filsafati tentang; pertama, konsepsi filsafat pendidikan dalam pendidikan menurut Hamka. Kedua, relevansi konsep pendidikan HAMKA dengan sistem pendidikan nasional di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa konsep dasar Filsafat pendidikan Hamka bercorak esensialitis orientasi ke depan yang ditandai dengan prinsip tauhid. Filsafat pendidikan Hamka bertumpu pada sifat dasar manusia berdasarkan pandangan teosentris yang mengacu pada nilai-nilai ilahiyah dan menjadikan tauhid sebagai nilai moral dalam segala aktivitas pendidikan(hal.43). Proses pendidikan dilukiskan sebagai aktivitas interaktif antara pendidik dan subyek didik untuk mencapai tujuan baik, dengan cara baik dalam konteks positif. Aktivitas pendidikan hakikatnya merupakan usaha manusia untuk membantu dan
mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai pada titik maksimal sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Dasar filsafat pendidikan Hamka bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi untuk memahami alquran dan sunnah rosul. Menurut Hamka bahwa dasar filsafat pendidikan adalah filsafat pendidikan yang menjadi nara sumbernya adalah Al-quran,Sunnah dan akal sebagai alat untuk memahaminya(hal.48). Menurut Hamka pendidik merupakan unsur yang memiliki peran amat besar dan karena otoritasnya yang luas untuk menentukan, merancang, dan mengarahkan pendidikan( hal.51). Sudin, No. 6033/IV-9/32/94, Tesis, Konsep Pendidikan Moral Ibn Miskawaih:Dalam Bukunya:Tahzib Al Akhlaq Wa That-Hir Al- A’Raq, Fakultas Filsafat,1999. Tujuan tesis ini mengungkap tiga persoalan dalam pemikiran Ibn Miskawaih menyangkut dasar ontologis dan aksiologis, khususnya nilai moral, konsep manusia dan rumusan pendidikan moral.
Dalam tesis ini ditemukan
bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak mulai dari pendidikan moral yang terdiri dari 1. syariat agama, 2 akhlak, 3. aritmatika dan geometri. Untuk proses transfer materi dalam proses pendidikan diperlukan beberapa metode yaitu 1. Tabii (alami), 2 nasehat dan tuntunan, 3. Hukuman, 4. Sanjungan dan pujian, 5. sesuai dengan asas pendidikan. Machmoed Hadi, No. 7701/IV-9/64/96, Tesis, Telaah Filsafati Terhadap Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Fakultas Filsafat UGM. 2000. Penelitian ini merupakan penelitian historis faktual mengenai tokoh. Hal yang ditekankan dalam penelitian ini adalah konsep pendidikan Al-Ghazali pada aspek metafisika, epistemologi, dan aksiologis. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ciri-ciri kefilsafatan yang ada dalam konsep-konsep pendidikan Al-Ghazali, disamping itu
juga menemukan relevansi antara konsep-konsep dimaksud dengan pendidikan nasional. Kecenderungan pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan ada dua hal keagamaan dan kemanfaatan. Bercorak keagamaan menekankan pada pembinaan akhlak. Rukiyati, No. 7696/IV-9/59/96, Tesis, Konsep Pendidikan Menurut Fukuzawa Yukichi (1835-1901), Fakultas Filsafat, 1999. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep pendidikan Fukuzawa, mengadakan evaluasi kritis terhadap konsep pendidikan Fukuzawa dan menemukan relevansinya bagi pengembangan pendidikan di Indonesia berdasarkan Pancasila. Kesimpulan dalam tesis tersebut adalah hakikat pendidikan menurut Fukuzawa adalah usaha mengaktualisasikan potensi terpendam peserta didik sehingga dapat menjadi kekuatan nyata bagi dirinya. Tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan masyarakat beradab. Landasan pendidikan untuk mencapai tujuan tersebut adalah persamaan, kebebasan, dan kemandirian. Dimensi aksiologis Fukuzawa adalah ada nilai yang bersifat tetap dan ada yang abadi, pandangan tentang persamaan derajat manusia, kebebasan dan kemerdekaan serta keadilan, yang berlaku secara universal dan abadi. Achmad Sumiyadi, No. 9628/IV-9/91/97, Tesis, Konsep Filsafat Pendidikan Pancasila Notonagoro: Implementasinya dalam pengembangan Manusia Indonesia seutuhnya, Fakultas Filsafat UGM. 2000. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi dan melakukan evaluasi secara kritis filsafati tentang 1. konsep filsafat pendidikan Pancasila Notonagoro, 2 Implementasi filsafat pendidikan Pancasila dalam pengembangan sumber daya manusia kaitannya dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Kesimpulan filsafat pendidikan Pancasila adalah konsep filsafat pendidikan yang berdasarkan pada filsafat negara yaitu Pancasila. Filsafat pendidikan pancasila Notonagoro didasarkan pada landasan ontologis hakikat manusia yang monopluralis. Dasar moralnya adalah tabiat saleh yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan dan keadilan. Runi Hariantati No. 9608/IV-9/71/97, Tesis, Konsep Kemerdekaan Diri Dalam Pendidikan Demokratis Menurut Ki Hadjar Dewantara, Fakultas Filsafat 2002. Makna kemerdekaan diri adalah mencerminkan adanya kebebasan seorang individu untuk mencari sendiri pengetahuannya serta kebebasan untuk mengembangkan bakat alamnya tanpa harus menyimpang dari aturan-aturan kehidupan yang ada. Kemerdekaan diri merupakan kebebasan yang terikat, sehingga individu tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Konsep kemerdekaan diri merupakan dasar dalam pendidikan formal. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam proses pendidikan dan pengajaran diperlukan pemahaman akan adanya hak kodrat yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Pusat perhatian bertumpu pada peserta didik sebagai manusia dengan segala aspeknya (hal.8). Andri Printianto, No. 18667/IV-9/192/02 Tesis, Filsafat Pendidikan Alfred North Whitehead dalam The Aims of Education and other Essays. Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 2004. Tujuan penelitian adalah untuk menyelidiki gagasan filosofis Alfred North Whitehead mengenai pendidikan yang terdapat dalam karyanya yang berjudul the Aims of education and other essay. Dalam tesis ini dibatasi pengungkapan masalah yaitu, 1 hakikat peserta didik dan guru, 2. tujuan pendidikan, 3 kurikulum 4, tahap-tahap ritmis pendidikan dan 5. kebebasan dan disiplin dalam pendidikan. Pandangan Whitehead bahwa peserta
didik dan guru sebagai sosok dinamis. Guru berfungsi merangsang dan membimbing pertumbuhan diri anak dalam belajar. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah tercapainya pengetahuan dan kebijaksanaan. Kurikulum yang disampaikan adalah kurikulum yang mampu mencakup kedua wilayah tersebut (nilai dan realitas). Muhhamad Fahmi, No. 21481/IV-9/219/04, Tesis, Konsep Pendidikan Isma’ail Raji AL-Faruqi, Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Fakultas Filsafat. 2006. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi konsep pendidikan Al-Faruqi dan relevansinya bagi modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Posisi AL-Faruqi di kalangan para pembaharu Islam, 2 Penyebab dikotomi pendidikan Islam, 3. Tawaran solusi dari AL Faruqi, konsep pendidikan AL Faruqi, dan Relevansi pemikiran pendidikan Al-Faruqi bagi modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Posisi Al Faruqi di dalam pembaharu Islam sebagai reformis-tradisionalis dan rekonstruksionis. Permasalahan klasik pendidikan Islam adalah dikotomi keilmuan antara Barat (sekuler) dan agama. Kurikulum pendidikan komprehensif, proses pendidikan integratif, dengan musyawarah sepanjang hidup, tujuan pendidikan adalah berorientasi pada dunia dan akhirat. Dwi Septiwiharti, No. 24641/IV-9/187/06, Tesis, Tinjauan Filsafat Atas Pemikiran Fuad Hasan tentang Pendidikan, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 2009. Menurut Fuad Hassan, hakikat pendidikan adalah suatu pengejewantahan yang khas manusiawi; baginya hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai animal educandum dan animal educandus; bahwa manusia adalah makhluk yang dididik serta mendidik sekaligus termasuk mendidik dirinya sendiri (hal. 134).
Menurut Fuad Hassan, (hal. 141) menegaskan bahwa yang paling mendasar dan perlu dipahami adalah pembelajaran (learning) tidak identik dengan penyekolahan (schooling). Penyekolahan merupakan bagian dari ikhtiar pembelajaran, tetapi tidak setiap modus pembelajaran bersifat penyekolahan. Kurikulum muatan lokal merupakan salah satu pendekatan yang realistis mengingat kebhinekaan budaya dalam
kehidupan
bermasyarakat
bangsa
ini.
Kurikulum
muatan
lokal
dimaksudkan untuk menyadarkan peserta didik terhadap lingkungannya agar anak tidak mengalami keterasingan terhadap lingkungan sendiri (hal.142). Anak menurut kodratnya memiliki dunia yang khas (hal. 157). Anak tidak perlu dipaksa dan dipacu untuk mempercepat proses pendewasaan. Basiuddin, No. 08/278258/PFI/00261, Tesis, Filsafat Pendidikan Nicolaus Driyarkara: Relevansi Bagi Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti, Fakultas Filsafat UGM. 2010. Hasil penelitian menunjukkan filsafat pendidikan Driyarkara mempunyai relevansi yang sangat signifikan, dimana antara hakikat pendidikan Driyarkara dan pendidikan budi pekerti menunjuk kepada proses pemanusiaan manusia dengan mengedepankan nilai-nilai religius,sosial, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap alam. Berdasarkan hasil inventarisasi dan penjelasan tentang topik penelitian di atas bahwa penelitian atau kajian tentang Pendidikan untuk Pembangunan yang berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong sampai sejauh pengalaman penulis belum pernah dilakukan kecuali yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini.
B. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan dan mengklarifikasikan hakikat pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. 2. Menemukan
dan
perkembangan
menganalisis
pemikiran
hakikat
tentang
pendidikan
paradigma
Korea
pendidikan
dan untuk
pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan. 3. Mengungkap persoalan mendasar pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong. 4. Melakukan
kajian
kritis
terhadap
paradigma
Pendidikan
untuk
Pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan relevansinya bagi pendidikan di Indonesia dalam perspektif pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.
C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Peneliti: Penelitian ini memperkaya wawasan keilmuan filsafat pendidikan
terutama
tentang
konsep
filsafat
pendidikan
untuk
pembangunan yang berkelanjutan. 2. Bagi pengembangan penelitian Filsafat: penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala filsafat khususnya kajian Filsafat Pendidikan Korea, dan studi Filsafat Pendidikan Kawasan Asia Pasifik,Asia Timur, dan Asia Tenggara, serta memperdalam kajian pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Khususnya di Fakultas Filsafat UGM,
hasil penelitian ini dapat memperkuat dan mengembangkan kajian dan pemikiran Filsafat pendidikan kontemporer. 3. Bagi pembangunan bangsa dan negara: Tesis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam policy input ke pemerintah untuk merumuskan konsep pendidikan yang berkelanjutan ke depan di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Masalah pendidikan menjadi masalah kehidupan manusia sepanjang masa. Apabila pendidikan mengalami krisis dan persoalan maka akan menyebabkan krisis multidimensi (Suhartono,2009:63). Dalam pengertian luas Suhartono (2009:79-80)
menjelaskan
bahwa
pendidikan
adalah
seluruh
kegiatan
pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kehidupan manusia. Oleh karena itu, pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk dan tingkatan kehidupan manusia. Terkait dengan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan berbagai kajian dan penelitian tentang pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan telah banyak dilakukan oleh para pakar dan ilmuwan lintas disiplin seperti Mahruf dkk (2011) mencoba untuk membedakan istilah Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan, Pendidikan untuk Pembangunan
berkelanjutan,
dan
Pendidikan
menuju
Pembangunan
berkelanjutan. Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan menekankan pada langkah-langkah berikut yaitu transmisi informasi, sikap perubahan, dan perubahan perilaku. Pendidikan untuk Pembangunan berkelanjutan difokuskan untuk mengambil tindakan dalam konteks, membangun kesadaran dan
pemahaman praktis, dan sebagai hasilnya adalah komitmen praktis untuk kehidupan yang berkelanjutan, sementara itu, Pendidikan menuju pembangunan berkelanjutan menekankan untuk menghasilkan pengetahuan melalui tindakan kritis dan refleksi, kebijakan perubahan dan praktek, akhirnya, mengembangkan warga negara yang aktif dan kritis (Mahruf dkk, 2011: 131-132). Konferensi Dunia UNESCO tentang Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang diselenggarakan di kota Bonn, Jerman pada tanggal 31 Maret2 April 2009, juga telah menghasilkan deklarasi Bonn yang menjelaskan bahwa Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan berupaya menetapkan arah baru pendidikan dan pembelajaran untuk semua. Deklarasi ini merumuskan pertama, Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan untuk membantu masyarakat dalam membangun kesadaran untuk mempromosikan pendidikan berkualitas, dan melibatkan masyarakat. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip nilai-nilai dan praktik-praktik yang diperlukan untuk merespon secara efektif terhadap tantangan saat ini dan masa depan. Kedua, membantu masyarakat untuk mengatasi berbagai macam isu-isu kritis yang berbeda antar lain air, energi, perubahan iklim, bencana dan pengurangan risiko, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis pangan, risiko kesehatan, kerentanan sosial dan ketidakamanan. Ketiga, Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, toleransi, ketercukupan, dan tanggung jawab. Keempat, Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menekankan pendekatan kreatif dan kritis, pemikiran jangka panjang, pengembangan inovasi dan pemberdayaan dalam menghadapi situasi tidak menentu (lihat Deklarasi Bonn,2009).
Rekomendasi Gothenburg (2008) juga menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan adalah reorientasi pendidikan dalam rangka memberikan kontribusi untuk masa depan yang berkelanjutan untuk kebaikan bersama generasi sekarang dan mendatang. Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan mengakui adanya saling ketergantungan dari perspektif lingkungan, sosial, dan ekonomi, dan ketergantungan manusia pada biosfer yang sehat. Hens, Luc, Torsten Widemann, Schalk Raath, et.al (2011:69-71) melakukan penelitian di sekolah dasar di Afrika Selatan terkait dengan Sistem Manajemen Lingkungan (Environmental Manajemen System) penelitian dan survei yang dilakukan pada tahun 2006 (38 sekolah), tahun 2007 (32 sekolah ) dan pada tahun 2008 (25 sekolah), itu terdiri dari 7 sekolah di perkotaan yang berlokasi di kota-kota dan desa-desa, 19 sekolah di pedesaan yang terletak di dekat (jarak jauh) dan peternakan di daerah pedesaan, 13 sekolah Township berlokasi di pemukiman bekas rezim Apartheid. Hens et.al, menjelaskan bahwa penelitian ini sebagai bagian dari peningkatan kapasitas program pembelajaran lingkungan yang dianjurkan oleh Rencana
Pelaksanaan
World
Summit
on
Sustainable
Development
di
Johannesburg pada tahun 2002, penelitian ini menunjukkan bahwa setelah Sistem Manajemen Lingkungan diimplementasikan dan lingkungan yang terintegrasi kurikulum, kegiatan di sekolah dipantau dan diukur berdasarkan hasil kuesioner menunjukkan bahwa pada proyek awal, 50% dari sekolah melakukan kegiatan yang baik terkait sanitasi dan penataan lingkungan. Dua tahun kemudian angka ini
naik menjadi 76% untuk yang berhubungan dengan limbah terjadi peningkatan bahkan lebih kuat/baik: dari 50% menjadi 100% (Hens et.al, 2011: 80-86). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kinerja lingkungan dari sekolah juga ditingkatkan untuk tindakan terkait penghijauan dari 50% pada awal proyek sampai
64%
dua
tahun
kemudian.
Berdasarkan
hasil
penelitian
ini
memperlihatkan bahwa hanya energi yang berhubungan kegiatan sehari-hari tidak berpengaruh secara signifikan, dengan hanya 24% dari semua sekolah berkinerja baik pada akhir periode survei. Kuesioner ini memfokuskan pada empat aspek lingkungan: air, limbah, energi, dan penghijauan dan tiga aspek manajerial: pengelolaan lingkungan, integrasi lingkungan dalam kurikulum, dan sikap peserta didik, guru, dan anggota staf (Hens et.al, 2011: 93-102). Penelitian Liu, Yunhua & Constable, Alicia menunjukkan bahwa ada hubungan
antara
Piagam
Bumi
dan
Pendidikan
untuk
Pembangunan
Berkelanjutan dan Filosofi Cina. Liu dan Constable menganalisis hubungan antara piagam bumi dan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam kerangka filsafat Cina (Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme), penelitian ini menunjukkan bahwa visi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan adalah simetris dengan prinsip-prinsip Piagam bumi dan filosofi Cina. Studi ini menekankan bahwa filsafat Cina kuno memiliki kerangka kerja untuk penekanan pada penghormatan terhadap orang lain, harmoni sosial, keterkaitan dengan alam dan bumi. Filsafat tersebut telah memberikan nilai inti pada paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks individu, masyarakat, dan lembaga (Liu, Yunhua & Constable, Alicia, 2010: 193-195).
Akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa piagam bumi dan Pembangunan Berkelanjutan sebagai kerangka global yang dihubungkan dengan konteks lokal dan nilai-nilai tradisional akan memberikan kontribusi lebih pada dunia yang berkelanjutan, adil, dan damai (Liu, Yunhua & Constable, Alicia, 2010:201). Hal ini dipercaya bahwa aplikasi dari nilai-nilai global dengan konteks lokal perlu jembatan dan jembatan tersebut adalah nilai-nilai lokal yang sudah melekat dalam setiap bangsa seperti di filsafat Cina. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan dan Agenda 21, di Bab 36 dari Agenda 21 (1992) menyatakan bahwa pendidikan, termasuk pendidikan formal, kesadaran masyarakat dan pelatihan harus diakui sebagai sebuah proses di mana manusia dan masyarakat dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya. Selain itu, deklarasi ini menekankan bahwa pendidikan sangat penting untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas lingkungan alam, orang dan isu-isu pembangunan (lihat Dewan Ekonomi dan Sosial, pertemuan regional Kedua tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, Roma, 15-16 Juli 2004, hal. 2). Pemerintah Kosta Rika menerjemahkan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan dalam praktek dengan cara yang tidak terpisahkan. Pemerintah ini memiliki komitmen pada pendidikan lingkungan di bawah kerangka piagam bumi sejak tahun 2006. Selain itu, pemerintah memiliki komitmen dengan mengadaptasi
beberapa
deklarasi
internasional
tentang
pembangunan
berkelanjutan dan menjadi pendidikan seumur hidup pada pendidikan lingkungan di sekolah. Desain nasional tentang pendidikan lingkungan menjadi strategi nasional
untuk
pendidikan
lingkungan
(Keputusan
32001-MEP),
yang
menekankan pada empat tema utama yaitu 1). Konservasi, perlindungan dan pemulihan lingkungan (sosial, budaya dan alam), 2). Pencegahan dan mitigasi terhadap dampak dari tindakan manusia terhadap lingkungan, 3). Menghormati semua bentuk kehidupan, 4). Berkelanjutan untuk pembangunan manusia. Kegiatan dari pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui pengembangan kursus pelatihan guru pendidikan lingkungan disebut sebagai Education for Sustainable Development Regional Course (Elizondo, Alicia Jimenez, 2010: 228-234). Elizondo dan Alicia (2010:228) menjelaskan bahwa tujuan utama dari kursus pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ini adalah untuk melaksanakan pelatihan yang berkesinambungan di bidang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dalam rangka menghasilkan kepekaan sosial, kesadaran dan memberdayakan peserta untuk membuat keputusan untuk memecahkan masalah dan bekerja menuju peningkatan kualitas hidup di komunitas, lembaga atau wilayah mereka (lihat Ministry of Public Education, 2008:1 dikutip dalam Elizondo, Alicia, 2010:228). Hasil dari program ini adalah guru di Sekolah Tinggi menjadi orang yang aktif untuk memulai pendidikan lingkungan di sekolah mereka seperti klub lingkungan dimulai, mengelola proyek daur ulang, mengembangkan diri mereka sebagai bagian dari lingkungan dan pemimpin,serta mengundang siswa untuk menjadi peserta aktif dalam lingkungan pendidikan. Para peserta ingin memiliki sesi lagi untuk setiap topik dan berdasarkan umpan balik peserta menunjukkan bahwa isi kursus sesuai. Kesulitannya
adalah
tentang
pendanaan
sumber
daya
dan
bagaimana
menempatkan komitmen menjadi aksi. Sementara itu, menurut Elizando bahwa
hasil dari proses daur ulang digunakan untuk beasiswa bagi remaja yang sakit mental dan yang keluarganya tidak bisa membayar uang sekolah (Elizando, Alicia, 2010 : 232). E.Rakhyun dalam telaah buku Klaus Bosselmann dengan judul The Principle of Sustainability: Transforming law and Governance, 2008 (E. Rakhyun, 2010:309) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan adalah tentang keberlanjutan dan implikasi hukumnya (E. Rakhyun, 2010:310). Dia menekankan bahwa menurut tesis Bosselmann prinsip keberlanjutan harus universal diakui sebagai prinsip hukum dasar (prinsip lingkungan yang paling mendasar) seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Selain itu, E. Rakhyun menjelaskan bahwa buku ini menggambarkan hubungan penting antara ekologi dan yurisprudensi. Seperti pada teori Bosselmann yang menggarisbawahi bahwa teori hukum keberlanjutan global didasarkan pada realitas ekologi sederhana, fundamental dan mapan (tapi satu yang sering dilupakan dan diabaikan) bahwa manusia merupakan bagian integral dari masyarakat hidup dan bahwa ada batas ekologis yang harus dihormati pada skala planet (E. Rakhyun, 2010: 310). Podger dkk (2010) menggarisbawahi bahwa piagam bumi Internasional dan Organisasi Masyarakat Sipil memiliki pendekatan yang berbeda pada pembangunan berkelanjutan, yaitu perlu penekanan pada nilai-nilai etika. Nilainilai etika dalam hal ini adalah rasa hormat, kesetaraan, keadilan dan partisipasi seluruh Piagam dan Earth Charter yang berbasis inisiatif. Podger mencatat bahwa Earth Charter International (ECI) diselenggarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil menyadari untuk mengakomodasi nilai-nilai berdasarkan
pendekatan etika dan sadar akan pengaruh pendekatan ini pada tujuan pembangunan berkelanjutan (Podger dkk,2010: 298). Podger menjelaskan bahwa ada banyak indikator untuk mengevaluasi dan mengukur efektivitas pembangunan berkelanjutan nasional dan internasional dan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan seperti pendekatan tradisional untuk mengukur efektivitas dan keberhasilan terhadap lingkungan, sosial, dan fenomena
ekonomi
bagi
pembangunan
berkelanjutan.
Selain
itu
juga
menggunakan pendekatan holistik berkelanjutan. Beberapa pengembangan indikator dan alat penilaian yang telah dikembangkan untuk menilai kemajuan menuju pembangunan berkelanjutan. Studi Podger menemukan bahwa indeks pembangunan berkelanjutan dan indikator untuk pendidikan pembangunan yang berkelanjutan tidak memberikan inspirasi yang signifikan atau bantuan metodologi untuk pengembangan indikator yang mengukur nilai-nilai etis yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan proyek pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, baik di tingkat individu, proyek, organisasi atau komunitas (Podger,2010:299). Kajian Mathar (2010:280) melaporkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di sekolah Jerman terintegrasi dengan prinsip-prinsip Piagam Bumi. Ada dua wilayah di negara Jerman yang memulai proses ini dengan mengorganisir in-service training bagi para guru primer dan sekunder. Sejak 2007, kelompok pendidik
yang terlibat
pembangunan
yang
dalam
pelaksanaan
berkelanjutan
sebagai
deklarasi
pendidikan
penasehat
senior
untuk untuk
mengembangkan program pelatihan guru dalam pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan untuk sekolah-sekolah di Jerman. Mereka berusaha untuk
mengintegrasikan nilai-nilai Piagam bumi dan kerangka holistik pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ke dalam sistem sekolah dari wilayah di Jerman yaitu: Hessen dan Rheinland-Plaflz. Mathar (2010: 281)
mencatat
bahwa
ada
tiga
langkah dalam
mengembangkan program sistematis untuk mengintegrasikan Piagam Bumi yang berkaitan dengan kegiatan sekolah. Pertama, menyelenggarakan seminar pelatihan guru untuk menginformasikan tentang teks Piagam Bumi, prinsip, filosofi dan memperkenalkan kemungkinan metodologis mengintegrasikan Piagam Bumi dalam mengajar mata pelajaran yang berbeda di sekolah. Kedua, mengembangkan mitra konsorsium untuk menerjemahkan Piagam Bumi Buku Panduan untuk pendidikan pembangunan yang berkelanjutan dan adaptasi terhadap realitas Jerman non-terpusat sistem sekolah. Ketiga, untuk memperluas integrasi piagam Bumi dalam sistem sekolah dan akhirnya, upaya dalam pelaksanaan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Jerman adalah melalui lintas-kurikuler pengembangan kerangka kerja untuk pengembangan global dalam konteks Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Matsuura (2005:1) pada UNESCO dan Pembangunan Berkelanjutan juga menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah ajaran moral serta konsep ilmiah. Hal ini terkait erat dengan perdamaian, hak asasi manusia dan keadilan, setara dengan isu ekologi atau pemanasan global. Gadotti, Moacir mencatat bahwa dalam praktek reorientasi pendidikan menuju keberlanjutan khususnya dalam kurikulum memerlukan upaya khusus. Seperti Jean Piaget menggarisbawahi dalam Gadotti (2010 : 205) bahwa "kurikulum harus mencakup hal-hal yang bermakna bagi siswa" Gadotti
menambahkan bahwa pernyataan Piaget belum lengkap, apalagi, ia menekankan bahwa konten yang hadir dalam kurikulum harus bermakna bagi siswa, dan hanya bisa berarti bagi mereka jika isi ini juga bermakna bagi keselamatan planet. Penelitiannya menunjukkan bahwa strategi untuk reorientasi pendidikan formal saat kurikuler yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan berdasarkan laporan konferensi akhir tentang pendidikan lingkungan, diadakan dari November 24-28, 2007 di Pusat Pendidikan Lingkungan di Ahmedabad, India, perlu transformasi pendidikan yang mencakup unsur-unsur dari wawasan, refleksi, belajar di luar ruangan, dan belajar melalui tema keberlanjutan, selanjutnya dalam mengimplementasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di sekolah melalui serangkaian hubungan regional dengan sekelompok sekolah dan kemitraan dengan perguruan tinggi yang ada, pemerintah dan organisasi nonpemerintah (Gadotti, Moacir,2010: 206). Wals (2007) dalam Gadotti (2010:206) menekankan bahwa untuk reorientasi pendidikan formal model kurikuler dalam kerangka pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, maka perlu mempromosikan 'pembelajaran sosial' pengalaman dan partisipatif, dengan kata lain, itu berarti dalam proses kita perlu mengambil tindakan yang ada program seperti: eco-school, sekolah hijau, sekolah lingkungan, sekolah berkelanjutan dan sekolah warga negara. Gadotti mencatat bahwa tanpa dialog yang berhasil di kalangan masyarakat, mengembangkan kurikulum teknologi ramah lingkungan tidak dapat berjalan dengan baik (Gadotti, 2010:207). Seperti O 'Sullivan (2004) dalam Gadotti (2010:207) menekankan bahwa itu harus mengintegrasikan ekonomi lokal (konsumsi berkelanjutan), efisiensi energi (green teknology, sumber daya
terbarukan, konsumsi yang bertanggung jawab), interaksi manusia (HAM, prinsip-prinsip bersama, hubungan kekuasaan), dan keanekaragaman hayati (interaksi ekologi), Akhirnya, elemen ini dikumpulkan ke dalam pengetahuan yang sistematis dan menjadi kebiasaan baru bagi kehidupan yang berkelanjutan. The Southeast Asian Ministers Education Organization (SEAMEO) Regional Innotech program pendidikan (2010) telah mengembangkan toolkit untuk mengintegrasikan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan ke dalam kurikulum pendidikan Menengah Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Toolkit ini dibagi menjadi enam bab. Bab satu membahas tentang tujuan pembelajaran dan gambaran singkat tentang ESD, bab dua membahas tentang dimensi kurikulum, peran guru, pentingnya studi sosial dan status ilmu sosial di negara-negara Asia Tenggara. Bab tiga membahas tentang status ESD di pendidikan menengah di Asia Tenggara dan isu-isu dan perhatian, Bab empat membahas tentang bagaimana mengintegrasikan ESD ke sekolah kurikuler, bab lima membahas tentang pedagogi dan sistem evaluasi, desain rencana pembelajaran, dan hasilnya. Bab enam membahas tentang saran untuk topik pembangunan berkelanjutan untuk integrasi kurikulum. Bab ini menggunakan toolkit dalam pelajaran ilmu-ilmu sosial. ESD dapat dimasukkan ke dalam satu atau dua pelajaran dalam sistem kurikulum sekolah. Penelitian Wals (2009:195) menunjukkan bahwa ada 10 temuan kunci hasil dari telaah Decade of Education for Sustainable Development (DESD) seperti yang ditampilkan pada makalahnya berjudul “A Mid-DESD Review: Key Findings and Ways Forward”, Wals menjelaskan bahwa pertama, terdapat berbagai interpretasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, itu
tergantung pada kebutuhan regional, nasional, dan lokal. Mereka mungkin menafsirkan dalam berbagai cara. Sebagai contoh, negara mungkin mengadopsi orientasi lebih pedagogis terhadap pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan menekankan sistem sosial belajar, partisipasi dan kapasitas atau yang lebih instrumental menekankan perubahan perilaku masyarakat. Kedua,
PBB berkontribusi
terhadap Deklarasi
pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan melalui pembentukan program tematik dan memfasilitasi lintas sektor. Ketiga, sudah ada banyak badan koordinasi ESD nasional yang mapan. Menurut Wals, 97 negara yang menanggapi survei tahun 2008, 79 melaporkan pembentukan badan koordinasi nasional ESD. Keempat, ESD sudah ditunjukkan dalam dokumen kebijakan nasional, mayoritas dokumen memperluas partisipasi dalam ESD dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum terutama di pendidikan dasar dan menengah. Kelima, kerjasama pemerintah antar departemen terkait program pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan sudah terjalin tetapi masih minim koordinasi. Wals melaporkan bahwa di sebagian besar dari negara di dunia, struktur kerjasama pemerintah antar departemen tentang ESD masih kurang. Keenam, paradigma ESD pada umumnya ditemukan pada pendidikan formal. Wals menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah dari negara-negara menanggapi telah berkomitmen untuk mendukung masuknya ESD dalam pendidikan formal, terutama di pendidikan dasar dan menengah. Ketujuh, ESD di pendidikan non-formal dan pembelajaran informal adalah agenda semua orang. Kedelapan, perlu untuk penelitian lebih lanjut pengembangan dan diseminasi
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kesembilan, jaringan ESD yang luar biasa di tingkat internasional. Kesepuluh, ketersediaan anggaran publik yang minim atau insentif ekonomi untuk pendidikan pembangunan yang berkelanjutan(Wals, 2009: 195-204). Ginkel, Hans Van (2006) pada judul presentasi makalahnya “Global Efforts on Education for Sustainable Development and UNU Regional Centres of Expertise on ESD” menggarisbawahi bahwa visi Decade of Education for Sustainable Development (DESD) adalah untuk menciptakan sebuah dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk manfaat dari pendidikan yang berkualitas dan mempelajari nilai-nilai, perilaku dan gaya hidup yang diperlukan untuk masa depan yang berkelanjutan dan untuk transisi sosial yang positif. Dia menambahkan bahwa pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya tentang pendidikan lingkungan tetapi meliputi globalisasi, perdagangan dan pembangunan, pengentasan kemiskinan, konsumsi berkelanjutan dan produksi, keadilan sosial, perspektif gender, dan pemahaman budaya yang berbeda (Ginkel, 2006:215). Lee (2011) dalam kajiannya menjelaskan bahwa integrasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam kurikulum sekolah menunjukkan bahwa
dalam
mengintegrasikan
pendidikan
untuk
pembangunan
yang
berkelanjutan itu bisa dimasukkan dan dikembangkan melalui pendekatan tradisional
atau inovatif.
Selain itu,
dia
menambahkan
bahwa
untuk
mengintegrasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ke dalam kurikulum sekolah, adalah penting untuk memahami unsur-unsur utama dari pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan itu seperti; pengetahuan,
masalah, keterampilan, pendekatan dan nilai-nilai. Hal ini juga mungkin diperlukan untuk membuat evaluasi untuk pemahaman siswa tentang pengertian Education for sustainable development atau Sustainable development, apakah sudah jelas. Dia juga mencatat bahwa peran guru sangat penting dan guru perlu mengerti tentang pentingnya program pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan secara efektif. Selain itu, Lee menekankan bahwa untuk melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan tidak perlu mengubah kurikulum yang ada, itu hanya perlu menghubungkan berbagai tema dan isu dengan masyarakat, ekstrakurikuler, pelajaran sekolah. Lee menunjukkan bahwa pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam kurikulum sekolah dapat dilakukan dan terintegrasi dengan berbagai cara (Lee, 2010: 130-136). Menurut Elias, Nakayama dan Hargreaves (2005:13) menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Korea memberikan
pemahaman
kepada
beberapa
orang
tentang
pentingnya
pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, tantangan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Korea adalah bagaimana menghubungkan antara pendidikan, secara umum, dan pembangunan berkelanjutan ternyata tidak mudah dibuat, terutama dalam hal hubungan antara pendidikan nilai dan pembangunan berkelanjutan. Ransoo (1984) menekankan bahwa isu-isu umum pada Pendidikan Korea adalah bagaimana siswa dapat beradaptasi dan bertahan pada konteks sosial dan global. Menurut risetnya pendidikan di Korea perlu mempertimbangkan perubahan sosial dalam masyarakat dan konteks global. Kompleksitas administrasi, manajemen, dan hambatan sistem pendidikan menjadi
penting untuk memperhatikan bagaimana pendidikan dapat memberikan kontribusi pada perubahan sosial untuk masa depan generasi muda dan memiliki strategi reformasi. Lebih lanjut ia menekankan agar lembaga pendidikan tidak terisolasi dari masyarakat (Ransoo, 1984: 97-130). Isu-isu tentang pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan masih kuat menekankan pada isu-isu lingkungan, khususnya pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah. Zolho (2005) memberikan pendapat kritis tentang pendidikan lingkungan dalam masyarakat pada makalahnya berjudul “Is there A Global Environmental Crisis? Environmental Education in Northern Europe and Africa”, Menurut pandangannya melalui studi kasus tentang pendidikan lingkungan di Eropa Utara dan Afrika khususnya, dalam interpretasi Barat, menyebutkan bahwa pengertian awal 'lingkungan' merupakan istilah dari tradisi pencerahan. Menurutnya ada perdebatan yang serius dan perbedaan interpretasi tentang pendidikan lingkungan, sebagai contoh orang hanya peduli dengan pendidikan lingkungan, seperti yang terlihat bahwa setiap hari sekolah membawa siswa dan guru melakukan kunjungan lapangan, dan studi lapangan, bekerja sebagai sukarelawan untuk mengambil sampah dari jalan, pantai, dan lingkungan publik adalah kegiatan rutin pada pendidikan dasar di sekolah. Zolho memberikan contoh, kasus di Afrika, penyebab masalah lingkungan adalah simetri dengan mayoritas penduduk lokal, hasil dari situasi jangka panjang ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan. Selain itu, studi Zolho menunjukkan bahwa perdebatan tentang pendidikan lingkungan di kurikulum sekolah adalah bahwa pendidikan lingkungan harus diajarkan untuk siswa. Diikuti dengan fokus utama pendidikan lingkungan yang diajarkan secara terus-menerus
di Afrika Selatan, seperti di tempat lain. Akhirnya studi ini menyimpulkan bahwa pendidikan lingkungan adalah materi terbaik dalam menangani masalah-masalah lingkungan lokal melalui analisis kritis terhadap penyebab masalah lingkungan, dan mengidentifikasi persoalan mendasar, serta mencari solusi lokal yang layak berdasarkan konteks yang lebih luas dari kebutuhan yang ada untuk keberlanjutan global (Zolho, 2005:76). Konferensi
Internasional
bertema
‘Lingkungan
dan
Masyarakat:
Pendidikan dan Kesadaran Publik tentang keberlanjutan’ dari 8-12 Desember 1997 telah menghasilkan Deklarasi Thessaloniki (1997) yang menyatakan bahwa untuk mencapai keberlanjutan yang lebih besar perlu ada upaya koordinasi dan integrasi dalam sejumlah sektor penting dan perubahan yang cepat dan radikal atas perilaku dan gaya hidup, termasuk perubahan konsumsi dan pola produksi. Untuk itu, pendidikan yang tepat dan kesadaran publik harus diakui sebagai salah satu pilar keberlanjutan bersama-sama dengan penyusunan undang-undang, penguatan ekonomi dan teknologi. Selain itu, dalam deklarasi ini menekankan bahwa reorientasi pendidikan secara keseluruhan menuju keberlanjutan perlu melibatkan semua tingkat pendidikan formal, non-formal dan informal di semua Negara(http://www2.leuphana.de/vcse/uploads/media/Declarations_on_higher_ed ucation_and_sustainable_development.pdf). Konsep keberlanjutan bukan hanya meliputi lingkungan tetapi juga kemiskinan, kependudukan, kesehatan, ketahanan pangan, demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian. Keberlanjutan dalam analisis akhir, menekankan keharusan moral dan etika di mana keanekaragaman budaya dan pengetahuan tradisional perlu dihormati. Deklarasi ini telah diperkuat untuk rekomendasi
sebelumnya dan belajar pada Konferensi Lingkungan (1975),
Tbilisi
Konferensi
Belgrade tentang Pendidikan Pendidikan
Lingkungan (1977),
Konferensi Moskow Pendidikan Lingkungan dan Pelatihan (1987), dan Toronto World
Congress
untuk
pendidikan
dan
Komunikasi
Lingkungan
dan
Pembangunan (1992) dan KTT Rio (1992).
E. Landasan Teoritis Penelitian ini adalah penelitian filsafat pendidikan yang mengkaji tentang paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan. Pendidikan dapat dimaknai dari berbagai perspektif. Dalam konteks filsafat pendidikan berupaya untuk mendapatkan gambaran atau garis besar seluruh rangkaian proses pendidikan (Brubacher,1962:6). Secara terminologi ada perbedaan antara pedagogis, ilmu pendidikan dan filsafat pendidikan, Pedagogis pada umumnya mengacu pada seni pendidikan (art of education), yang berarti pendidikan yang diletakkan pada konteks mengajar dan cara belajar. Ilmu pendidikan merujuk pada prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan oleh seluruh pembelajar. Jadi Filsafat pendidikan dapat berguna ketika ada tindakan pada tingkat (art of education) karena filsafat tidak dapat membawa teori ke dalam realitas hanya sekedar mendiskusikan teori tersebut (Brubacher,1962:16-17;Rohman,2008:11). Pendidikan tidak hanya berkembang dalam kerangka politik dan sosial atau fenomena tetapi pendidikan memiliki esensi dasar yang melandasi mengapa pendidikan penting dan harus ada. Menurut Basiuddin (2010:xii) menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses untuk meningkatkan, mengubah pengetahuan,
keterampilan dan sikap tata laku seseorang dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia melalui kegiatan bimbingan dan pelatihan. Sumiyadi (2000:3) memaparkan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses pendewasaan manusia dalam usaha untuk membentuk jiwa dan kepribadian, meningkatkan moral, memperoleh wawasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang kelak akan dijadikan dasar dan bekal untuk menempuh kehidupan di masyarakat. Eknathon
(1999:50)
memberikan
pengertian
tentang pendidikan
bahwa
pendidikan adalah aktivitas interaksi komunikatif antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan dengan cara dan dalam lingkungan yang positif. Muslikhin (2002: 35) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari sub sistem kehidupan masyarakat yang ikut menjadi salah satu institusi sosial yang bergerak guna merealisir terwujudnya nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan hidup (filsafat) masyarakat yang menjadi panutan masyarakat. Dalam kerangka aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan setidaknya ada 4 aliran utama yang berpengaruh dalam pengembangan teorisasi pendidikan antara lain Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme. Pandangan Progresivisme bertitik tolak pada pendidikan harus berpusat pada anak dan disesuaikan dengan minatnya,guru berperan sebatas sebagai pembimbing(Sukardjo dan Komarudin, 2009:12). Kredo dalam pemikiran kaum progresivisme mengatakan bahwa pendidikan adalah untuk kehidupan (education for life). Pendidikan harus memiliki dampak dalam kehidupan sehari-hari, aliran ini menekankan pada proses pendidikan dengan bertumpu pada penemuan (discovery) dan pencarian (inquiry), serta disiplin yang ketat (Barrow dan Woods,
2006:35). Pemikiran Perenialisme dalam pendidikan menjelaskan bahwa manusia membutuhkan pendidikan yang mengedepankan suatu kondisi dan situasi untuk kembali pada nilai-nilai keserasian dan kebudayaan masa lalu supaya manusia yang dididik memahami dan tidak lupa kebudayaan masa lalu tersebut. Kerusakan kebudayaan dan perilaku manusia yang cenderung agresif dan destruktif sebagai akibat dari lunturnya nilai-nilai kebudayaan masa lalu yang menjunjung tinggi adat, moral, dan keadaban manusia. Aliran Perenialisme memberikan jalan untuk membentuk dunia yang harmonis dengan sekitarnya dengan cara mengembangkan suatu pendidikan yang menekankan pada pelestarian dan pengembangan nilainilai kebudayaan masa lalu (Sukardjo dan Komarudin, 2009:12). Aliran Esensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus terpusat pada guru jadi inisiatif pokok dalam pendidikan tidak terletak pada peserta didik tetapi pada guru (Printianto,2004: 15-17). Aliran Rekonstruksionisme merupakan aliran yang berpengaruh dalam pemikiran pendidikan sekarang ini. Aliran ini melihat bahwa keadaan zaman sekarang ini mengalami krisis sosial dan politik, moral, kebangsaan, dan alam akibat dari pendidikan yang kurang mengedepankan aspek kesadaran berpikir kritis, kedewasaan bertindak, dan disorientasi tujuan dan nilai dalam pendidikan. Untuk itu, aliran Rekonstruksionisme memiliki pemikiran pentingnya menata kembali pendidikan yang telah jauh dari kehidupan lingkungan yang ada agar berjalan secara serasi, selaras dan seimbang. Pemikiran kaum Rekonstruksionisme menolak gagasan terkait sekolah yang netral, tetapi bagaimana hakikat sekolah selalu
dapat
melayani
kepentingan
masyarakat.
Bagi
Kaum
penganut
Rekonstruksionisme berpandangan bahwa figur seorang pendidik harus diubah
dari konsep pembantu atau teknisi menjadi seorang intelektual transformatif menuju perubahan sosial dan kebaikan umum (Stanley,1992: xiii). Pengertian tentang Pendidikan menurut Rekonstruksionis adalah untuk menyiapkan masyarakat
menuju
tata
aturan
baru
http://oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html). Peters dalam the Philosophy of Education menjelaskan bahwa konsep dasar dalam pendidikan adalah menekankan pada pengembangan pengetahuan dan pemahaman manusia tentang realitas kehidupan (Peters,1973:5). O’Neil (2001:12-14) memberikan penjelasan untuk melakukan kajian pendidikan setidaknya ada 3 pendekatan untuk menganalisisnya yaitu Pertama, menggunakan pendekatan analisis. Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan filosofi pendidikan hubungan dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. metode yang digunakan adalah dengan melihat dan mengkaji persoalan-persoalan mendasar di dalam dunia pendidikan baik secara teoritis maupun empirik. Kedua, pendekatan sistemik, yaitu suatu pendekatan yang mengkaji tentang fenomena atau realitas pendidikan dalam konteks teori sistem atau aliran yang berkembang dalam
filsafat
pendidikan,
misalnya
realisme,
idealisme,
liberalisme,
konservatisme. Ketiga, pendekatan filosofi, yaitu melacak dan menganalisis landasan pendidikan atau keyakinan yang dirumuskan dalam filsafat pendidikan dengan mempelajari corak pemikiran para filosof pendidikan dalam mencari solusi terkait permasalahan pendidikan. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa hakikat pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Bandingkan dengan tujuan pendidikan nasional yang termuat dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1989 yang menyebutkan: “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Sebagaimana Standish (2003:221) menekankan dalam tulisannya yang berjudul “The Nature and Purposes of Education” bahwa pendidikan adalah suatu perubahan, kontekstual, dan sangat unik, serta merupakan konstruksi konsep yang historis dan politis. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan kerangka konseptual pemikiran filsafat pendidikan rekonstruksionisme untuk menganalisis konsep pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang dikenal sebagai Education for sustainable development (ESD) dalam aspek pemaknaan atas realitas, peserta didik, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dasar pemikiran kaum Rekonstruksionisme diletakkan pada dua aspek yaitu pertama, kurikulum yang dikembangan berdasarkan situasi dan dinamika masalah sosial yang ada disekitarnya. Kedua, peserta didik didorong agar terlibat langsung dalam komunitas sosial dan terjun ke masyarakat (Breithorde dan Swinjarski,1999: 1). Penelitian ini akan menggunakan kerangka teoritis umum dari pemikiran Rekonstruksionisme dalam membaca dan menganalisis paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Persoalan yang dibahas dalam aliran Rekonstruksionisme merujuk pada tiga aspek yaitu pertama, masyarakat yang
seperti apa yang harus dibentuk. Kedua, metode dan kurikulum yang seperti apa yang disusun untuk membentuk masyarakat tersebut dalam pendidikan. Ketiga, peran guru dan murid dalam pendidikan.
F.Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Penelitian ini merupakan kolaborasi antara penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Adapun data lapangan terkait dengan topik penelitian ini diambil di Tongyeong-si, Gyeongsangnam-do, Korea Selatan. Sedangkan data kepustakaan untuk kajian teoritik tentang pendidikan dan perkembangannya diperoleh di Yogyakarta antara lain di Fakultas Filsafat UGM, Universitas Negeri Yogyakarta, Pusat Studi Korea-UGM, Universitas Sanata Dharma, Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa, dan beberapa di
Korea
Selatan. Lokasi penelitian di Tongyeong-si, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan khususnya di Inpyeon elementary school, Tongyeong girl’s Middle school, dan Dongwon high school dan Yogyakarta.
2. Cara Penelitian Adapun cara penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan pengumpulan data pada sumber-sumber utama untuk penelitian lapangan melalui observasi partisipatoris dan terbuka, wawancara mendalam terstruktur dengan key persons seperti guru, mahasiswa, siswa sekolah, RCE Tongyeong, dan Dinas Pendidikan di kota Tongyeong, Korea Selatan dilakukan pada bulan April-Juni
2012. Sedangkan untuk penelitian kepustakaan melalui kajian teks yaitu berupa hasil penelitian, jurnal tentang pendidikan, aliran filsafat pendidikan, pemikiran filsafat pendidikan, berita koran, majalah, buku panduan akademik, UndangUndang sisdiknas, dan dokumen pendukung lainnya terkait dengan topik penelitian yang dibahas.
3. Proses Penelitian a. Tahap pengumpulan data Proses pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap untuk mendapatkan data primer dan data sekunder sebagai berikut: Data primer penelitian lapangan ini diambil melalui studi lapangan, observasi dan wawancara mendalam terstruktur kepada para pendidik dan peserta didik di Tongyeong-si, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan. Sekolah yang menjadi tempat observasi dan wawancara adalah Inpyeon elementary school, Tongyeong girl’s Middle school, dan Dongwon high school. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dan menentukan sekolah adalah melalui pendekatan purposive sampling. Data primer untuk penelitian kepustakaan diambil dari website UNESCO, jurnal online, dan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian. Data sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh dari berbagai tulisan ilmiah baik berupa artikel, jurnal, dan penelitian yang telah diterbitkan maupun unpublished works.
b. Tahap analisis data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Verstehen: dalam tahap ini peneliti mencoba untuk memahami unsur-unsur filosofis paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong. Metode verstehen ini digunakan untuk memahami pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks filosofis. 2. Interpretasi: Peneliti berusaha menafsirkan, mengungkapkan esensi realitas dari data lapangan dan kajian kepustakaan untuk ditemukan suatu formula atau rumusan yang baru. 3. Reduksi data dan Klasifikasi data: Data lapangan yang diambil melalui wawancara (data verbal) akan diseleksi dan diurai maknanya berdasarkan kebutuhan peneliti dan mencari relevansinya dengan penelitian melalui metode reduksi yaitu dengan cara memilah mana yang terkait dengan filsafat pendidikan, etika, epistemologis, aksiologis,dan ontologis. Setelah fase
reduksi
data
kemudian
dilanjutkan
klasifikasi
data
melalui
pengelompokkan data berdasarkan objek formal dan kebutuhan yang dipilih oleh peneliti (Lihat Kaelan,2005:69). 4. Heuristik, artinya mencoba menemukan hal-hal baru yang terkait dengan ESD khususnya tentang materi ESD sehingga dapat ditemukan hal-hal baru yang dapat memperluas pemahaman terhadap makna pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, dan gagasan baru bagi pengembangan ilmu di bidang studi filsafat pendidikan. 5. Abstraksi, metode analisis yang digunakan dalam proses ini adalah berupaya untuk mengungkap hakikat pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dengan memisahkan unsur-unsur yang menyusunnya baik
dasar nilai, dasar epistemologis, dan dasar historis agar dapat menemukan substansi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.
G. Hasil yang dicapai Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman yang komprehensif tentang evolusi dan sejarah pemikiran pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. 2. Pemahaman teori Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme. 3. Telaah teori Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme terhadap pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan relevansinya bagi pendidikan di Indonesia.
H. Jadwal Penelitian Kegiatan penelitian untuk tesis ini dilakukan selama 2 tahun. Tahun pertama, yaitu tahun 2012 adalah kegiatan pra studi dan kajian terkait pendidikan. Pada bulan April-Juni 2012 dilakukan pengambilan bahan dan materi baik berupa dokumen, foto, hasil wawancara, dan materi pendukung lainnya di Kota Tongyeong, Korea Selatan. Pada bulan berikutnya yaitu Juli- Desember 2012 dilakukan proses klarifikasi data, seleksi, dan kategorisasi data yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk penulisan tesis ini. Tahun kedua, yaitu tahun 2013 dilakukan proses penulisan ulang, updating data, dan penyusunan draft rancangan proposal tulisan tesis S2 untuk program Ilmu Filsafat. Pada bulan JanuariAgustus, dilakukan proses penulisan, kemudian pada bulan September-Desember 2013 tahap konsultasi, revisi dan evaluasi terakhir hingga pada penulisan final
tesis program Pascasarjana Ilmu Filsafat ini. Pada Januari 2014, proses pendadaran/ujian tertutup tesis.
I. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini dilaporkan dalam tujuh bab sebagai berikut: Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak di Jawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori, dan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian. Bab kedua berisi tentang pemikiran pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menyangkut pengertian, sejarah pemikiran, dan orientasi dan ruang lingkup pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan (education for sustainable development). Bab ketiga berisi tentang Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong Korea Selatan; Studi kasus yang mengungkap tentang Kota Tongyeong, Sekilas pendidikan di Kota Tongyeong dan aplikasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di kota Tongyeong,serta dampak implementasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Bab keempat merupakan uraian tentang pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme yang menjelaskan ulasan tentang hakikat manusia,pengertian dan perkembangan filsafat pendidikan, Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dan tokoh-tokoh yang berpengaruh didalamnya.
Bab
kelima
berisi
tentang
tinjauan
Filsafat
Pendidikan
Rekonstruksionisme terhadap pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di kota Tongyeong, Korea Selatan. Bab keenam berisi tentang relevansi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan manfaatnya bagi Pendidikan di Indonesia. Bab ketujuh berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.