MENDIDIK ANAK MELALUI ANALISIS PERILAKU TERAPAN Sumardjono Padmomartono Progdi Bimbingan Dan Konseling – FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Penerapan Prosedur Mendidik yang berkualitas pedagogik masih merupakan kontroversi di kalangan psikologi behavioristik dan psikologi humanistik. Dalam praktik kependidikan di keluarga dan di sekolah sukar dihindarkan penerapan prinsip hukuman dan ganjaran, padahal prosedur ini perlu telaah dengan seksama agar dapat diminimalkan potensi kesalahan penerapannya. Artikel ini membahas analisis perilaku terapan sebagai sarana mensosialisasikan perilaku baku yang perlu dikuasai anak. Bahasan mencakup hakekat anak, hakekat perilaku bermasalah dan pengubahannya, potensi penerapan analisis perilaku terapan melalui Metode Resep Masakan dan Metode Analisis Fungsional. Di akhir bahasan diilustrasikan penerapan penguatan positif melalui Prinsip Premack dan Belajar Observasi dan Meniru tayangan film anak di TV.
PENDAHULUAN Pendidikan anak adalah tanggungjawab keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidik dan orang tua dihadapkan pada problematika pemilihan prosedur mendidik atau mensosialisasikan anak yang berkualitas mendidik. Melalui pendidikan kalangan pendidik, orang tua dan orang dewasa yang bertanggungjawab pada pendidikan berupaya memastikan anak mengkinerjakan perilaku, sikap, keterampilan dan motivasi baku dan sesuai dengan tolokukur yang berlaku pada masyarakat ideal. Namun tidak setiap prosedur mendidik anak bernilai pedagogik. Meskipun dalam pedagogi dikenal pendekatan behavior management/ pengelolaan perilaku yaitu penerapan prinsip belajar ke dalam prosedur pengubahan perilaku anak; akan tetapi ada sejumlah prosedur yang menuntut kehati-hatian dan pertimbangan matang sebelum ditempuh oleh orang tua dan pendidik. Dengan makin disadarinya hak asasi anak dalam pendidikan, serta ada potensi kesalahan dalam pendidikan anak, maka orang tua dan pendidik dituntut makin selektif dalam penerapan prosedur mendidik. Pendekatan behavior management adalah prosedur pengubahan perilaku yang diselenggarakan secara langsung, seketika dan sistematik terutama dalam konteks manajemen belajar dan pengelolaan perilaku anak. Justru
sifatnya yang langsung dan seketika inilah maka orang tua dan pendidik harus lebih dituntut berhati-hati melaksanakan upaya pengubahan terhadap perilaku anak. Konsep behavior modification/pengubahan perilaku adalah prosedur yang berlaku dalam bimbingan konseling dan psikoterapi; yang di tangan ahlinya masih dikritik karena bernuansa mekanistik dan kurang manusiawi menurut pandangan para humanis. Kontroversi penggunaan prosedur pengubahan perilaku dalam mendidik anak mestinya tidak perlu terjadi asalkan para pemakainya senantiasa menyadari implikasinya pada perkembangan anak. Melalui bahasan ini diulas potensi penggunaan applied behavior analysis dalam mensosialisasikan perilaku baku yang diharapkan agar dikuasai anak. Melalui telaah ini pendidik dan orang tua dapat membandingkan dan meninjau kembali penerapan prosedur pedagogik yang selama ini diyakininya efektif/manjur. Terkait dengan penerapan applied behavior analysis/analisis perilaku terapan, terdapat konsep-konsep mengenai hakekat anak, modifikasi perilaku dan proses pengubahan perilaku yang akan diuraikan terlebih dahulu. Di akhir bahasan diilustrasikan penerapan penguatan positif melalui Prinsip Premack dan Belajar Observasi dan Meniru tayangan film anak di TV. Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
HAKEKAT ANAK Asumsi mengenai anak yang berperilaku adalah titik tolak diselenggarakannya prosedur pengubahan perilaku. Terkait hal ini, Dustin & George (1990) mengemukakan gagasan sebagai berikut: 1. Anak adalah organisme aktif yang berpotensi mengkinerjakan segala jenis perilaku. 2. Anak dapat mengkonseptualisasi dan mengendalikan sendiri perilakunya. 3. Anak mampu mempelajari perilaku-perilaku yang baru. 4. Anak dapat mempengaruhi perilaku orang lain sekaligus dipengaruhi orang lain yang terungkap dari perilaku anak itu sendiri. 5. Asumsi yang telah dikemukakan tersebut belum/tidak mempersoalkan benar salahnya perilaku yang dikinerjakan anak. Sisi benar dan salah dalam hal ini lebih dipandang dari segi adaptif/berpenyesuaian diri atau maladaptif/salah suai sesuai kondisi lingkungan anak. HAKEKAT MODIFIKASI PERILAKU BERMASALAH Kebanyakan prinsip modifikasi perilaku berasal dari karya dan perluasan operant conditioning Skinner. Sebagai sain terapan, manajemen/ modifikasi perilaku sesungguhnya merupakan koleksi metode-metode behavioristik yang sebagian diantaranya strategik digunakan di lapangan bimbingan konseling, psikologi pendidikan dan pendidikan/pembelajaran. Modifikasi perilaku kini tidak hanya membatasi problematika pengubahan pada perilaku saja, tetapi diperluas dengan menekankan prosesproses yang lebih berhakikat kognitif melalui pengakuan adanya elemen kognitif dalam perubahan perilaku. Karena proses berubahnya perilaku merupakan konsekuensi dari proses-proses kognitif dalam diri anak. Kaum behavioristik memandang anak adalah hasil dari pengalaman-pengalaman. Perilaku bermasalah itu perilaku yang dipelajari. Perilaku bermasalah diartikan sebagai perbuatan yang mengganggu belajar dan meng-
hambat kinerja anak di kelas pembelajaran maupun dalam situasi pergaulan. Pakar psikologi dan pedagogi memilah perilaku bermasalah menjadi masalah kelakuan/conduct problems dan masalah kepribadian/personality problems. Masalah kelakuan terdiri atas perilaku yang mengganggu dan diarahkan pada anak lain dalam bentuk kelakuan agresif, memusuhi, merusak atau membangkang. Kadang masalah kelakuan terkait dengan kenakalan/delinquency dan psikopatologi anak. Masalah kepribadian tidaklah sehebat dampaknya dibandingkan dengan masalah kelakuan. Masalah kepribadian berwujud-nyata dalam kecenderungan menarik diri, yaitu perilaku yang mengesankan takut-takut pada anak lain, cemas dan menghindari situasi yang dapat menyebabkannya dicela, dikritik, diejek dan ditolak. Ada kemungkinan pula anak mengalami sikap memusuhi. Dalam situasi wajar ia mengarahkan sikap itu pada diri sendiri dalam wujud rasa bersalah atau kritik diri berlebihan. Dalam situasi stres akut, anak tak mampu lagi menahannya sehingga ia dapat meledak dan mengarahkannya pada anak lain dalam wujud yang lebih hebat katimbang sikap permusuhan yang ditunjukkan anak yang tidak bermasalah serupa. Hakekat perkembangan dan kelangsungan perilaku bermasalah itu sama saja dengan jenis perilaku lainnya. Implikasi pandangan ini dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, perilaku dipandang bermasalah karena orang lain memandangnya memang bermasalah pada konteks situasinya, sebagai contoh perilaku dapat dianggap bermasalah di sekolah akan tetapi tidak sedemikian di rumah. Kedua, perilaku dipandang bermasalah itu bertolak dari gagasan bahwa sesuatu perilaku yang menghasilkan kesenangan maupun yang membantu mengurangkan hasil ketidak-senangan sangat cenderung meningkat probabilitas kemunculannya.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Jadi pandangan ini berasumsi karena perilaku bermasalah itu hasil belajar, dapat diralat kembali proses dipelajarinya (unlearned). Dalam menangani situasi ini, paradigma stimulusrespons dijadikan pola dasar semua proses belajar. Tiap orang bereaksi pada sesuatu stimuli dalam pola yang secara teoritik dapat diramalkan tergantung pada pengalaman belajar awal dan penguatan. Hanya saja pada
manusia respons atas stimuli lebih kompleks dan berlangsung dalam taraf organisasi dan konseptualisasi yang lebih tinggi. PROSES PENGUBAHAN PERILAKU Konsep ini berpumpun pada pengubahan atau memodifikasi perilaku. Proses pengubahan perilaku dapat digambarkan sebagai berikut:
Proses Pengubahan Perilaku
Control Antecedents ▼
Behavior ▼
▼
Increase Behavior
Maintain Behavior
Decrease Behavior
Positive/Negative Reinforcement
(Intermittent -Reinforcement)
(Punishment)
Control
antecedents/behavioral antecedents adalah kejadian atau stimuli yang hadir ketika seseorang mengkinerjakan perilaku. Wujudnya dapat berupa suara, penglihatan, orang, bahan/material atau tempat dan bau-bauan.
▼
Kebanyakan
perilaku
muncul
antecedents
(disebut
control
dikendalikan
antecedents) pasangan reinforcers
karena pengulangan mengikuti perilaku yang berdampingan dengan stimuli lingkungan. Perhatikan contoh berikut:
Hakekat Stimuli Pada Penguatan Dan Hukuman (Kazdin,1980) Tindakan dilakukan setelah Menyenangkan Menjengkelkan perilaku muncul (positive event) (aversive event) Ditambahkan pada situasi
Penguatan Positif/Hadiah (Jon diberi permen karena patuh)
Hukuman I/Dihukum (Hidung Jon dipencet karena bandel)
Disingkirkan dari situasi
Hukuman II/Penalti (Permen Jon disita karena bandel)
Penguatan Negatif/Melegakan (Pencetan pada hidung Jon dilepas karena minta maaf)
POTENSI ANALISIS PERILAKU TERAPAN Penerapan pengubahan perilaku untuk mengubah perilaku yang dipandang penting secara sosial di lapangan pendidikan, bisnis dan ilmu sosial disebut applied behavior analysis/ analisis perilaku terapan. Kalangan pendidikan dan orang tua sering dihadapkan pada persoalan menggunakan penguatan saja, atau hukuman saja atau gabungan dari kedua
prosedur pengubahan perilaku itu. Untuk mengatasi persoalan itu perlu ditetapkan rangkaian prosedur yang dianggap efektif bagi situasi dan perilakunya. Dikenal metode resep masakan/cookbook method dan metode analisis fungsional/ functional analysis method yang akan diuraikan sebagai berikut:
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Metode Resep Masakan Prosedur yang dipilih: prosedur hukuman atau penguatan tergantung pada apa yang dikehendaki dari perilaku yang ingin diubah. Jika ingin meningkatkan peluang dimunculkannya perilaku positif, maka dipilih prosedur penguatan. Akan tetapi jika dikendaki agar terjadi penurunan peluang munculnya perilaku yang dilarang, maka dipilih prosedur hukuman. Bagi pemula, prosedur hukuman patut dihindari penggunaannya. Burden & Byrd (1999) mengartikan hukuman sebagai pemberlakukan pinalti dengan maksud menekan peluang muncul perilaku terlarang. Berikut peringatan sehubungan dengan penerapan hukuman: 1. Hukuman memang dapat mengendalikan perilaku, akan tetapi hukuman itu sendiri tidak membelajarkan dikuasainya perilaku yang dikehendaki agar muncul, sekaligus sukar mengurangi hasrat berperilaku terlarang. Hukuman bukan solusi tuntas peniadaan perilaku terlarang, hanya sebagian dari pemecahan masalah. 2. Hukuman semestinya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk meniadakan perilaku terlarang pada siswa yang sesungguhnya tahu perilaku itu terlarang serta mampu mengendalikannya agar tidak muncul, akan tetapi siswa itu sendiri menolak untuk menghentikan perilakunya. 3. Pendidik mestinya mengetahui pasti kapan tepatnya menggunakan prosedur hukuman, jenis hukuman yang dapat digunakan serta cara menggunakannya. 4. Hukuman semestinya digunakan hanya sebagai bagian dari respons perilaku yang terencana terhadap perilaku bermasalah yang berulang kejadiannya. Potensi kerugian penerapan hukuman dikemukakan Gary R. Borich (1996) sebagai berikut: 1. Hukuman tidak menjamin bahwa respons perilaku yang dikehendaki akan dimunculkan anak. Hukuman yang diterapkan tanpa dipasangkan dengan ganjaran/ hadiah dari dimunculkannya perilaku
2.
3.
4.
5.
konstruktif justru mendorong munculnya perilaku terlarang lainnya. Contoh: Agar tetap mau duduk tenang di kursinya, Bu Guru Ani menghukum Jono mengerjakan lembar soal dengan jumlah soal yang lebih banyak. Bukannya Jono mengerjakan soalsoal itu, ia bahkan mengelamun, mengirim nota ke teman sekelasnya atau bahkan memainkan rambut teman putrinya. Memang Jono tetap duduk karena hukuman itu, tetapi justru ia munculkan perilaku mengganggu lainnya. Dampak hukuman spesifik sifatnya terhadap konteks kejadian dan perilaku yang berkenaan. Semestinya hukuman hanya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk meniadakan perilaku terlarang pada anak yang sesungguhnya tahu perilaku itu terlarang serta mampu mengendalikannya agar tidak muncul. Akan tetapi anak itu sendiri menolak untuk menghentikan perilakunya. Contoh: tambahan soal bagi Jono tidak berlaku bagi Bu Guru Tri karena prosedur hukuman itu hanya terikat pada kontingensi Jono - hukuman soal tambahan dan bu Guru Ani saja, serta tidak berlaku bagi kontingensi bu Tri. Hukuman berpotensi memunculkan dampak iringan terlarang. Jika pemberian tambahan soal di dalam kelas bermakna aversive bagi Jono, maka prosedur ini berkonsekuensi sangat tidak diinginkan dan menyakitkan bagi Jono. Mungkin saja Jono akhirnya takut ambil resiko meninggalkan kursinya termasuk misal untuk minta ijin ke kamar kecil sekalipun. Hukuman kadang memunculkan respons bermusuhan dan agresif. Anak tidak hanya dihukum di sekolah saja, tetapi juga di rumah. Jangan heran jika ditemukan munculnya ledakan emosi berlebihan waktu anak dihukum ibunya yang semestinya tidak berkonsekuensi sedemikian parah. Hukuman berasosiasi dengan pribadi orang yang menghukum. Jika hukuman sering digunakan sebagai sarana meningkatkan
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
munculnya perilaku yang konstruktif, maka pendidikan/orang tua akan kehilangan sikap bekerjasama yang dikehendaki muncul dari anak. Penting agar meniadakan hukuman dalam persoalan yang berkenaan disiplin. Jika tidak maka hukuman hanya selalu diasosiasikan dengan sosok pribadi orang yang menerapkannya. 6. Hukuman yang sebenarnya dijadikan sasaran utama meniadakan perilaku terlarang, tetapi yang tidak seketika dipasangkan dengan prosedur penguatan pemberian hadiah/ganjaran ketika muncul perilaku positif, tidak akan awet/berlaku lama dampaknya. Jadi jika perilaku positif yang dikehendaki kurang dipahami benar agar dimunculkan oleh anak ketika prosedur hukuman itu sedang diberlakukan, maka anak hanya akan melihat hukuman itu sebagai niat untuk melukai hatinya dan bukan sebagai instrumen pendorong munculnya perilaku konstruktif. Metode Analisis Fungsional Metode ini mensyaratkan ditetapkannya dahulu perilaku spesifik yang dikehendaki agar muncul beserta konsekuensi yang memotivasi perilaku itu sebelum dipilih cara sesuai untuk mengubah perilaku kini. Adalah fungsi perilaku (yaitu motivasi yang melatarinya) yang akan menetapkan pilihan perilaku yang ingin diubah. Jadi tekanannya bukan hanya pada tujuan mengurangi atau meningkatkan peluang munculnya perilaku yang dibentuk. Prosedur ini menuntut diperiksa motivasi di belakang perilaku bermasalah anak (misalnya motivasi siswa menarik perhatian teman/ pendidik, atau menghindari tugas). Juga perlu ditetapkan kondisi apa saja yang dapat dijadikan penguat atau penghukum perilaku anak karena tidak sebarang kejadian dapat berfungsi menguatkan atau menghukum perilaku seseorang. Siswa dari berbagai latar belakang budaya dan sosial ekonomi memiliki perbedaan peng-
alaman sehingga ada yang tidak termotivasikan oleh tindakan penguatan atau penghukuman yang sama. Pengalaman belajar sebelumnya, budaya, minat dan kecakapan adalah dilema etik bagi pendidik dan orang tua untuk menggunakan prosedur pengubahan perilaku yang sama pada anak yang berbeda-beda latar belakangnya. Metode Analisis Fungsional (Borich, 1996) merekomendasikan langkah membentuk perilaku konstruktif anak sebagai berikut: 1. Identifikasi perilaku yang terlarang yang mau diubah maupun perilaku konstruktif yang dikehendaki untuk menggantikannya. 2. Identifikasi antecedents bagi perilaku yang terlarang maupun yang konstruktif (seperti teman sekelas-sebaya yang berpengaruh). Ubah perubahan seperlunya pada lingkungan kelas (semisal mengubah susunan tempat duduk anak) guna mencegah munculnya perilaku terlarang serta meningkatkan peluang munculnya perilaku konstruktif. 3. Identifikasi maksud dan tujuan di sebalik perilaku terlarang, misal mencari perhatian; menghentikan tindakan teman sekelas yang diduga memuaskan/memenuhi kebutuhan terlarang tersebut. 4. Tetapkan prosedur pemberian penguatan terhadap perilaku konstruktif sebagai pengganti perilaku terlarang. 5. Hanya menggunakan prosedur hukuman sebagai jalan terakhir, bila lainnya gagal. Rudolf Dreikurs (Parkay & Stanford, 1992) menyarankan pendidik bersikap penuh “encouragement” pada siswanya; diamati betapa terampil pendidik mengkritik dan mengecilkan semangat anak. Namun pendidik canggung memberi dorongan. Pemberian dorongan berarti percaya pada anak di waktu kini. Justru pendidik perlu berhati-hati agar tidak memuji secara berlebihan karena membuat anak tergantung pada persetujuan pendidik itu. Di samping itu dampaknya menciptakan rasa tidak aman anak kalau-kalau ia Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
gagal memenuhi harapan pendidik, terutama ketika anak mendapati pendidik makin jarang memujinya. PENANGANAN INDIVIDUAL PERILAKU BERMASALAH Dreikurs, Grundwald & Pepper dalam
Maintaining Sanity in the Classroom: Classroom Management Techniques, 2nd.Ed. (1982) mengembangkan pendekatan individual penanganan perilaku bermasalah. Diidentifikasi 4 tujuan sesat/mistaken goals perilaku bermasalah anak, yaitu: 1) Menarik perhatian. 2) Mencari kekuatan pengaruh/kekuasaan. 3) Saluran membalas dendam. 4) Menunjukkan kekurangcakapan yang nyata atau hanya khayali saja. Prosedur yang ditempuh adalah mengabaikan perilaku negatif dan hanya mengindahkan perilaku yang konstruktif saja. Hendaknya pendidik menolak berkonfrontasi dengan anak yang secara destruktif menunjukkan kekuatan pengaruhnya. Caranya melalui menyalurkan enerji pengaruh anak pada kegiatan yang konstruktif, misalnya sebagai pengurus kelas/OSIS. Jika sesekali pendidik tersinggung dengan perilaku anak, berarti anak telah membalas dendam. Pendidik sebaiknya menyembunyikan ketersinggungan itu dan hanya menunjukkan sikap kepedulian positif dan penghargaan pada anak. Pada orang yang perilakunya menyakiti orang lain, sesungguhnya lebih sering menyakiti hatinya sendiri. Penggunaan ke empat tujuan perilaku sesat tersebut menunjukkan bahwa anak mengalami ketidak-berdayaan nyata atau membayangkan saja melalui saluran perilaku bermasalah. Pola perilaku ini dipandang penyimpangan parah/ serius. Seolah anak yakin tak mampu melakukan sesuatu yang diharapkan darinya sehingga tidak mau berupaya sedikitpun. Saran bagi pendidik adalah tetap memberi encouragement serta tidak mudah menyerah pada perilaku bermasalah anak.
Pendekatan Dreikurs tersebut berdasarkan pada tiga gagasan kunci, yaitu: 1. Ada latar belakang berbeda-beda pada siswa yang berperilaku bermasalah. 2. Pendidik dapat menggunakan reaksi emosinya sendiri sebagai dasar pemahaman dalam menetapkan motivasi perilaku bermasalah siswanya. 3. Strategi pengubahan perilaku yang berbeda harus digunakan untuk mengatasi perilaku bermasalah yang disebabkan oleh motivasi yang berbeda. ILUSTRASI PENERAPAN PENGUATAN POSITIF DALAM PENDIDIKAN Dari antara penguatan ekstrinsik yang biasa diterapkan di sekolah yaitu memberi perhatian, memuji, memberi token/kepingan tabungan berbentuk anak diberi bintang dan nilai. Wujud penguatan ekstrinsik diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Consumable/dapat dimakan, misalnya kuekue, gula-gula. 2. Manipulatable/dapat dimainkan, misal mainan-gantungan kunci. 3. Auditory & visual stimuli , seperti musik atau kartun berwarna. 4. Social stimuli berupa senyum persetujuan, pujian atau perhatian. 5. Tokens/hadiah kepingan tabungan berupa bintang warna-warni. Penguatan yang sangat efektif adalah Premack Principle yang dijelaskan Lefrancois (1985) sebagai berikut: Premack Principle adalah perilaku yang sangat sering muncul dimanfaatkan untuk memberi penguatan pada perilaku yang jarang dimunculkan. Orang tua dan pendidik suka menerapkan prinsip ini seperti anak boleh bermain di luar rumah seusai makan sore; siswa boleh membaca buku di perpustakaan segera setelah menyelesaikan tugas sekolah.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Perilaku Salah Penguat Perilaku (Premack Principle) Berteriak-teriak, dorong-mendorong, berlari ke sana-sini, berlompat-lompatan dan perilaku salah lainnya digunakan untuk memberi penguatan dalam kelas. Dalam proses pemakaian sebagai penguatan, pendidik sangat mengendalikan perilaku yang diperkuat sekaligus melakukan kendali munculnya perilaku itu. Pendidik hanya perlu penerapan secara jitu Prinsip Premack. Landasan berpikirnya adalah bahwa prinsip perilaku tertentu dapat digunakan memperkuat perilaku lain; artinya perilaku yang dilakukan spontan pada dasarnya berkadar penguatan diri serta dapat dipakai memunculkan serta mengendalikan perilaku yang kurang spontan. Contoh Kasus Homme dkk. (Lefrancois, 1985) menghadapi masalah perilaku anak kelompok bermain yang sangat liar dan sukar ditenangkan. Sebagian besar waktu sekolah dipakai anak-anak usia 3 tahunan itu berlarian, berteriak-teriak, melompat-lompat, tertawa-tawa dan saling dorong di kelas. Nyaris anak-anak tidak memperhatikan guru dan tetap bising seraya mengabaikan perintah guru supaya duduk manis dan tetap tenang di bangku masing-masing. Apa yang dilakukan Homme dkk. nampak tidak umum, yaitu menjadikan berlarian, berteriak dan perilaku salah lainnya sebagai kontingensi/pertautan dengan perilaku yang dieksperimenkan. Mereka menggunakan perilaku salah itu sebagai penguatan bagi munculnya perilaku yang awalnya jarang sekali dikinerjakan anak. Eksperimenter menyuruh anak duduk dan melihat ke papan tulis tiga menit saja.
Segera setelah 3 menit berlalu, eksperimenter membunyikan bel dan mengumumkan: “Siapa saja boleh teriak-teriak sekarang!” Segera pula, setelah anak-anak berteriak-teriak, bel dibunyikan lagi dan menyuruh anak kembali duduk di bangku. Setelah beberapa menit lagi, bel dibunyikan dan anak-anak boleh berlarilari, melompat-lompat dan melonjak-lonjak. Setelah eksperimen berlangsung beberapa saat, peraturan bertahap diubah sampai anak mampu duduk tenang dan berbahagia dalam waktu yang lebih panjang serta terserap pada kegiatan yang lebih bermakna. Akhirnya, bukan perilaku anak-anak diperkuat dengan diberi kelonggaran berlari-lari dan berteriak sporadis selama sehari; perilaku anak diperkuat dengan hadiah kepingan yang pada jam terakhir boleh ditukarkan dengan tambahan waktu bermain. Homme dkk. melaporkan seluruh prosedur ini demikian sukses sehingga dapat membelajarkan kurikulum SD klas 1 pada anak-anak itu hanya dalam waktu sebulan! BELAJAR OBSERVASI DAN MENIRU TAYANGAN FILM ANAK DI TV Belajar melalui observasi dan meniru membuktikan adanya sisi positif dan negatif pada anak. Melalui penayangan Film Anak di TV ditunjukkan dampak konstruktif belajar pengamatan dan peniruan pada perkembangan intelektual anak yang dilibatkan dalam eksperimen. Di lain pihak ditemukan pula dampak menonton TV pada perkembangan sikap agresif dan perilaku agresif pada anak sebagaimana dilaporkan oleh Hetherington & Parke (1999) sebagai berikut:
Sesame Street Sebagai Sarana Pendidikan Anak Usia Dini
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Dapatkah anak mempelajari kecakapan intelektual yang baru melalui mengamati tayangan televisi? Film Pendidikan Anak Usia Dini Sesame Street dirancang sebagai tayangan untuk mengembangkan kecakapan kognitif anak usia dini agar siap menempuh pendidikan di SD. Di Amerika Serikat, sekitar 16 juta anak usia 3 tahun 5 tahun secara teratur menonton tayangan ini selama 3 jam 4 jam seminggu. Dilaporkan film pendidikan ini menduduki peringkat atas tayangan terbanyak ditonton pada waktu itu. Film ini melakonkan wayang-wayang kecil canggih dengan pensifatan masing-masing. Tiap tokoh memainkan taktik-taktik kependidikan yang sanggup penyita minat anak untuk terus menonton tayangan sehingga penurut peneliti tujuan film tercapai. Pre dan post-test berjangka waktu 6 bulan masa tayang dilakukan dengan pengukuran kecakapan identifikasi huruf, angka, bentuk geometrik, organorgan tubuh dan menyortir serta mengklasifikasikan benda. Temuan menunjukkan peningkatan kecakapan kognitif pada anak-anak. Dilakukan kendali faktor taraf pendidikan orang tua, sikap orang tua dan jumlah anak dalam keluarga. Pembandingan pada jumlah waktu menonton anak dari kelas sosial rendah dan kelas menengah dengan sekor berbagai kecakapan menunjukkan seluruh anak mengalami peningkatan sekor. Ditemukan pula bukti, anak yang lebih sering dan lebih banyak jam menontonnya ternyata memperoleh sekor lebih tinggi pada berbagai tes. Pada penelitian ambisius lainnya diukur kesiapan bersekolah, kecakapan mengenal huruf dan angka serta kosakata pada anak berusia 5 tahun yang ketika berusia 2 4 tahun menonton film ini. Temuannya berupa: 1. Anak yang telah menonton film ini memperoleh sekor tes lebih tinggi daripada anak yang jarang atau tidak pernah menonton.
2. Temuan butir 1. tersebut tetap berlaku ketika faktor kompetensi berbahasa awal, taraf pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, bahasa ibu di rumah, serta sekor kualitas lingkungan rumahtangga dikendalikan. 3. Meskipun kecakapan membaca meningkat pada anak tersebut, ketika anak bersekolah dan mencapai usia 7 tahun, menonton film ini ternyata tidak mampu meramalkan kecakapan membaca. Hal ini menunjukkan dampak tayangan film ini menonjol pada anak pra sekolah. Kecakapan membaca adalah cerminan pengalaman mutakhir anak dengan pajanan/exposure buku dan media cetak lainnya yang dibacakan orang tua atau dibaca anak itu sendiri. Temuan penelitian menunjukkan pokok-pokok sebagai berikut: 1. Bahkan pada anak yang berusia amat dini menonton tayangan film televisi dilakukan dengan sangat aktif dan selektif. 2. Jika tayangan berisi ceritera yang komprehensif dan menarik, anak menonton sedemikian dekat dan terpaku perhatiannya. 3. Anak menonton sambil melakukan gerakan fisik, bernyanyi, bertepuk tangan dan menunjukkan mereka mengikuti pensifatan tokoh favoritnya yang dimainkan dalam film, terutama daya tarik ini dipacu oleh tokoh filmnya yang mengajak anak aktif menggerakkan tubuh dan mulutnya. 4. Dampak positif tayangan ini tidak hanya berlaku di Amerika Serikat tetapi juga di Portugis ditunjukkan anak dan orang tua mendapat wawasan lebih positif bersekolah. Hal sama berlaku di Turki dan Mexico. Sangatlah jelas anak belajar melalui pengamatan dan acara televisi dapat digunakan sebagai sarana penting pendidikan. Di AS telah diundangkan UU Tayangan TV Anak (1990) dan UU Kesiapan Belajar Nasional (1993) yang mencerminkan tanggungjawab pemerintah AS dan saluran TV memenuhi kebutuhan kependidikan dan informasional anak. Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Tekanan orang tua terhadap pengelola program TV dalam menuntut penayangan program yang lebih bermutu bagi anak sangatlah penting karena ternyata pola menonton televisi anak berkaitan dengan kecenderungan dan pengaruh memilih program tayangan pada orang tua maupun anggota keluarga lainnya. Telaah dampak tayangan televisi pada perkembangan anak sampai pada berbagai kesimpulan yang perlu disikapi orang tua dan guru. Hetherington & Parke (1999) menyodorkan sejumlah pokok pikiran sebagai berikut: 1. Besar peran tayangan TV dalam mensosialisasikan anak; padahal anak mulai menonton televisi pada usia yang sangat dini, jumlah jam nonton makin meningkat sampai anak mencapai pubertas. 2. Anak menonton berbagai program tayangan. Anak laki suka tayangan action, petualangan, olahraga, sedang anak perempuan lebih memilih drama sosial kemanusiaan. Namun perlu dicermati sebagian program tontonan anak seperti film kartun bernuansa agresi dan kejahatan. 3. Meskipun anak usia dini mengesankan menonton televisi seolah menonton jendela sulap. Jadi perlu disadari kecakapan kognitif anak berkembang bertahap, sehingga anak makin memahami acara televisi; artinya mampu memahami hubungan sebab-akibat dan mampu memilah antara fantasi dan kenyataan hidup sehari-hari. 4. Tayangan tertentu televisi pendidikan berdampak positif pada perkembangan kognitif anak seperti Sesame Street. Manfaat menonton acara serupa konstruktif bila anak berada di rumahtangga dan sekolah yang mendukung perkembangan anak. 5. Menonton televisi mengandung dampak negatif. Menonton berat berkorelasi dengan rendahnya kemampuan memahami bacaan. Menonton televisi menyisihkan olahraga dan rekreasi lainnya serta menjauhkan anak dari kegiatan sosial dan lingkungan. Pemajanan/exposure tindakan agresif dan jahat dalam tayangan televisi
mendorong munculnya tingkah laku agresif pada anak. Komsumen TV yang menjadi penonton berat makin kebal kepekaannya pada kejadian kekerasan dalam hidup. 6. Iklan seringkali berdampak kuat pada kecenderungan anak memilih makanan dan mainan yang kurang sehat/kurang berfaedah serta yang berpeluang mengandung bahan berbahaya bagi anak usia dini. Orang tua dapat mengubah dampak tontonan televisi dengan bertindak sebagai penterjemah berita/tayangan TV serta bertindak sebagai pengendali dan pengelola acara program pilihan tontonan TV di rumah tangganya. KEPUSTAKAAN Borich, G. D. 1996.
Effective Teaching Methods, 3rd. Ed. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Burden, P. R. & Byrd, D. M. 1999. Methods for Effective Teaching, 2nd Ed. Needham Height, MA: Allyn & Bacon. Dreikurs, R. Grunwald, B. B. & Pepper, F. C. 1982. Maintaining sanity in the classroom: Classroom management techniques, 2nd Ed., dalam Parkay, F. R. & Stanford, B. H. 1992. Becoming a
Teacher, Accepting the Challenge of A Profession, 2nd Ed. Boston: Allyn & Bacon.
Dustin, R. & George, R. 1977. Action nd counseling for behavior change, 2 Ed., dalam George, Rickey L. & Cristiani, Therese S., 1990. Counseling, Theory and Practice, 3rd Ed. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice-Hall. Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1999.
Child Psychology: A Contemporary Viewpoint, 5th. Ed., Revised by Ross D. P. & Virginia O.L.. Boston: McGraw-Hill.
Lefrancois, Guy R. 1985. Psychology for Teachings, 5th. Ed. Belmont, California: Wadsworth. Parkay, Forrest. R. & Stanford, Beverly. H. 1992. Becoming a Teacher, Accepting
The Challenge of A Profession, 2nd Ed. Boston: Allyn & Bacon.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319