Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah
FT
RA
D 2
FT
3
D
RA
Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah
D FT
RA 4
5
Kata pengantar Ucapan Terima Kasih Ringkasan eksekutif
FT
Daftar Isi 7 9 11 15
2. Estimasi garis dasar emisi saat ini dan di masa mendatang
17
3. Peluang-peluang pengurangan
17
4. Mengembangkan sumber penghidupan berkelanjutan
23
5. Faktor-faktor Pendukung kelembagaan
29
6. Pendanaan yang diperlukan dan sumber-sumber potensial
40
7. Pendekatan pelaksanaan
42
A1. Perkiraan emisi gas rumah kaca
45
Lampiran
45
A2. Perkiraan potensi pengurangan
46
A3. Emisi dari lahan gambut
49
A4. Pembentukan unit persiapan pencegahan perusakan lahan gambut, perusakan deforestasi hutan di Kalimantan Tengah
53
A5.Perhitungan biaya pengurangan
53
A6. Menilai dampak ekonomi terhadap strategi pertumbuhan rendah karbon
56
Daftar pustaka
63
D
RA
1. Konteks pertumbuhan rendah karbon
6
D
RA
FT
“Pemikiran tradisional yang ada saat ini adalah pengurangan emisi karbon harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi, yakni dengan pembiayaan lingkungan dan bantuan internasional yang menyediakan suatu bentuk pembayaran kesejahteraan untuk mengkompensasi masyarakat setempat atas kerugian yang mereka alami. Pemikiran tersebut membatasi.”
7
Kata pengantar
FT
Di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah memberikan beberapa kontribusi penting di dalam perdebatan global perubahan iklim. Sukses menjadi tuan rumah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/United Nations Framework Climate Change Convention (UNFCCC) Konferensi Para Pihak (COP 13) di Bali pada akhir tahun 2007, Indonesia juga menyelenggarakan atau berpartisipasi dalam rangkaian pertemuan tingkat tinggi untuk menjawab isu mengenai penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan sektor kehutanan (LULUCF). Pertemuan Kelompok Kehutanan-11 (Forestry-11 grouping) juga diadakan oleh Indonesia, Kelompok Kerja Informal Pendanaan Sementara REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/Penurunan Emisi dari Pembalakan dan Perusakan Hutan), dan Pertemuan KepalaKepala Negara pada bulan April tahun 2009 yang disponsori Prince’s Rainforest Project.
RA
Pada KTT G-20 yang diselenggarakan pada bulan September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat, Presiden Yudhoyono menyatakan secara sukarela komitmen Indonesia dengan peta jalan (roadmap) yang disusun pemerintah, akan menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Komitmen ini menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang terbesar pertama yang melakukan hal tersebut. Indonesia mengulangi komitmen target penurunannya pada putaran perundingan COP-15 di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, dan kemudian mengikatkan dirinya dengan Copenhagen Accord bulan Januari 2010. Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim, yang akan menjelaskan secara detil bagaimana Indonesia memenuhi komitmen 26% tersebut.
D
Pemikiran yang umum berkembang saat ini adalah program pengurangan emisi karbon harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi, diikuti pula pemikiran bahwa pembiayaan di bidang lingkungan hidup dan bantuan internasional akan memberikan semacam bentuk pembayaran kesejahteraan, untuk mengkompensasi kerugian masyarakat lokal. Hal ini tidak harus terjadi, karena pada kenyataannya, skema untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan (REDD) yang dimandatkan dalam Konferensi Perubahan Iklim Bali dua tahun lalu dapat membawa Indonesia pada jalur pembangunan yang lebih berkelanjutan, atau yang kita sebut sebagai kesejahteraan rendah karbon. Pemerintah provinsi Indonesia merupakan jantung dari kesejahteraan rendah karbon ini. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, di bawah kepemipinan Gubernur A. Teras Narang dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah menjalankan analisis kesejahteraan rendah karbon, untuk memberikan dasar kuantitatif pada diskusi mengenai peluang-peluang untuk menurunkan emisi GRK pada tingkat provinsi, dan pada saat yang bersamaan masih mampu mencapai sasaran pembangunan ekonomi daerah. Laporan ini mengevaluasi potensi kesejahteraan rendah karbon di Kalimantan Tengah yang menerapkan tiga langkah pendekatan. Pertama, memberikan penilaian berdasarkan fakta atas emisi GRK saat ini dan kemungkinan di masa mendatang untuk provinsi. Kedua, menguraikan aksiaksi potensial untuk menurukan emisi, volume relatif dari tiap aksi pengurangan tersebut dan sebuah indikasi dari biaya (pencapaian) dari tiap tindakan tersebut. Ketiga, dan yang terpenting, menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan baru yang akan memberikan sumber penghidupan berkelanjutan jangka panjang bagi penduduk setempat, yaitu penghidupan beremisi karbon yang lebih rendah daripada penghidupan saat ini, dan mengurangi tekanan terhadap kemampuan asli provinsi.
8
D
RA
FT
Harapan kami, pekerjaan ini akan membangun momentum penurunan karbon dioksida (CO2) di Indonesia, dan menjadikan Kalimantan Tengah sebagai contoh kasus,untuk mengkombinasikan pengurangan karbon dengan pertumbuhan ekonomi dan kemudian memberikan inspirasi kepada provinsi-provinsi lain di Indonesia dan di kawasan lain, tentang potensi kesejahteraan rendah karbon. Lebih praktisnya, rancangan sebuah model yang dapat dilaksanakan untuk mencapai pengurangan karbon dan pertumbuhan ekonomi akan membantu Indonesia dan Kalimantan Tengah menjadi lebih baik dalam mengidentifikasi dan menentukan tahapan investasi yang dibutuhkan, serta jauh lebih efektif dalam menggalang dana dari sumber-sumber dana mitigasi iklim global.
9
Ucapan Terima Kasih
FT
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan DNPI ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Agence Française de Développement (AFD), the Climate Works Foundation, Pemerintah Norwegia, dan Packard Foundation yang mendanai sebagian upaya pengembangan strategi pertumbuhan rendah karbon di Provinsi Kalimantan Tengah.
RA
Pemerintah Kalimantan Tengah dan DNPI juga ingin memberikan ucapan terima kasih yang dalam terhadap McKinsey & Company atas dukungan analisisnya terkait dengan studi ini, khususnya pada penerapan metode pengurangan gas rumah kaca, untuk konteks provinsi dan tingkat nasional. Pemerintah Kalimantan Tengah dan DNPI juga ingin berterimakasih kepada lebih dari 100 staf pemerintah, sektor swasta, dan LSM yang kontribusi penting terhadap proyek ini, melalui berbagai lokakarya dan pertemuan. Walaupun metode pengurangan gas rumah kaca ini adalah milik McKinsey, tetapi data dan masukan berasal dari banyak pemangku kepentingan dan sumber informasi. Kesimpulan dan hasil yang dijabarkan dalam laporan ini menjadi milik eksklusif DNPI dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
D
AKHIR KATA KAMI JUGA MENYAMPAIKAN RASA TERIMA KASIH YANG BESAR KEPADA BRR NAD NIAS UNTUK IZIN PENGGUNAAN GAMBAR-GAMBAR PADA SAMPUL DEPAN.
10
D
RA
FT
“Dalam rangka menempatkan ekonomi Kalimantan Tengah ke lintasan pertumbuhan karbon rendah, upaya-upaya mitigasi harus digabungkan dengan pengembangan sumber tambahan pertumbuhan ekonomi untuk menyediakan mata pencaharian berkelanjutan bagi penduduk setempat.”
11
Ringkasan eksekutif
FT
Dalam skenario bisnis seperti biasa/Business As Usual (BAU), Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor emisi gas rumah kaca yang signifikan di Indonesia sampai tahun 2030.
RA
Emisi GHG tahunan Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e1 – setara dengan sekitar 15 persen dari total emisi Indonesia. Penggunaan Lahan dan Gambut, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (LULUCF) sejauh ini adalah kontributor emisi terbesar Kalimantan Tengah, mewakili 98 persen dari total emisi provinsi ini. Apabila tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan sektor-sektor beremisi tinggi, emisi netto Kalimantan Tengah diperkirakan akan meningkat sampai dengan 18 persen antara tahun 2005 dan 2030 – dari 292 menjadi 340 MtCO2e.
Kalimantan Tengah memiliki potensi pengurangan karbon yang besar. Kalimantan Tengah memiliki potensi penurunan emisi GRK hingga mencapai 282 MtCO2e, dengan perpaduan yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional. Dari kemungkinan-kemungkinan penurunan ini, 50 persen datang dari upaya-upaya terkait konservasi lahan gambut dan 48 persen berasal dari sektor LULUCF. Lima peluang penurunan karbon terbesar mewakili 80 persen total potensi pengurangan Kalimantan Tengah, adalah: (1) Mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut; (2) Mengurangi deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif, kebijakan-kebijakan alokasi lahan dan dengan meningkatkan produktivitas pertanian; (3) Merehabilitasi lahan gambut yang tidak digunakan atau yang rusak; (4) Mengelola hutan secara lestari; dan (5) Melakukan reboisasi.
D
Meskipun keseluruhan kebutuhan pendanaan adalah hal yang substansial, biaya tCO2e terkurang adalah relatif rendah. Sebagai contoh, di tahun 2030, total biaya rata-rata per tCO2e berada pada kisaran USD 2,40 dan 3,90. Dari total peluang pengurangan yang ada pada tahun 2030, 19 persen adalah peluang-peluang pengurangan yang siap dicapai (dengan potensi penurunan untuk direalisasi hingga tahun 2015) dan sebagian bahkan berasal dari biaya kemasyarakatan yang negatif, 54 persen dicapai dengan mengambil peluang yang sedikit lebih sulit untuk dicapai (tetapi dengan potensi penurunan untuk direalisasi sampai hingga tahun 2020); dan sisanya 27 persen dicapai dengan mengambil peluang-peluang yang sangat menantang, yang kemungkinan relatif mahal dan sulit untuk dicapai.
Sumber-sumber pertumbuhan (rendah karbon) akan diperlukan untuk memastikan perkembangan yang berkelanjutan, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja di Kalimantan Tengah Untuk menjadikan perekonomian Kalimantan Tengah ke lintasan pertumbuhan rendah karbon, maka upaya-upaya mitigasi harus dipadukan dengan pengembangan sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan penghidupan yang berkelanjutan kepada penduduk lokal. Tujuh peluang pertumbuhan diberikan prioritas berdasarkan potensi dampak
1 Emisi gas rumah kaca biasanya diukur dalam juta ton CO2 setara atau MtCO2e
12
mereka (arti pentingnya saat ini bagi PDB, pertumbuhan masa mendatang, kualitas pekerjaan, dan implikasi untuk emisi karbon) dan kelayakan mereka (yaitu, sesuai dengan kekuatan dan kelemahan lingkungan usaha saat ini): (1) Hasil perkebunan pada lahan non-hutan; (2) Kehutanan lestari; (3) Pertambangan ramah lingkungan; (4) Tanaman pangan pada lahan nonhutan; (5) Budidaya perikanan; (6) Layanan keuangan; dan (7) Ekowisata.
FT
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang sukses, diperlukan transformasi yang signifikan dan lebih luas, baik di dalam pemerintahan maupun di dalam masyarakat Kalimantan Tengah.
RA
Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkan keputusan tanggal 16 November 2009 tentang pembentukan tim persiapan baru untuk mengkoordinir REDD dan upaya-upaya rehabilitasi lahan gambut di provinsi tersebut. Tim persiapan ini menjadi awal yang sangat baik untuk mengkoordinir kegiatan pertumbuhan rendah karbon yang lebih luas di daerah tersebut. Institusi ini bertanggungjawab secara langsung kepada Gubernur untuk memastikan pandangan dan mandatnya. Sementara institusi baru ini berkembang, maka perlu juga melibatkan representasi dari berbagai tingkat pemerintahan, menetapkan secara jelas hubungan dan hak pengambilan keputusan dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dan mengembangkan manajemen kinerja yang tepat atas beberapa hasil prioritas. Institusi baru ini juga akan perlu untuk mendukung Kalimantan Tengah dalam enam fungsi kunci: (1) Menarik, mengelola dan mendistribusikan pembiayaan internasional untuk pembangunan rendah karbon secara transparan, adil dan efisien; (2) Memberikan dukungan teknis untuk menetapkan garis dasar/baseline tingkat provinsi dan standar yang tepat untuk pemantauan, pelaporan dan verifikasi; (3) Mengembangkan tanggapan pengaturan untuk menangani isu-isu penting seperti perencanaan tata ruang dan kepemilikan lahan; (4) Memulai proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, mendorong perubahan perilaku dan membangun penyelenggaraan oleh masyarakat lokal; (5) Mengembangkan prasarana penting untuk mendukung penurunan emisi dan penghidupan yang berkelanjutan; dan (6) Merancang strategi-strategi dengan sektor swasta untuk mendukung pertumbuhan dan investasi sesuai prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi.
D
Kalimantan tengah akan memerlukan dukungan internasional yang signifikan dalam jangka waktu dekat agar sukses dalam rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon.
Kalimantan Tengah dalam waktu dekat akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan agar sukses dalam rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon. Pada tahun pertama, antara USD 143 dan 236 juta akan diperlukan untuk menetapkan fungsi-fungsi kesiapan dasar, untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Selama periode tahun 2011-2030 biaya operasional akan terus meningkat dan mencapai antara USD 0,78 dan 1,32 milyar di tahun 2030, untuk mendukung implementasi pengurangan karbon dan peluang penghidupan yang berkelanjutan. Walaupun keseluruhan kebutuhan dana merupakan hal yang substansial, biaya per tCO2e terkurang relatif rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2030 total biaya pengurangan per tCO2e terkurang (termasuk biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 2,40 dan 3,90. Sebaliknya, Kurva Biaya Global McKinsey2 mengestimasi biaya teknis rata-rata globalnya saja3 (misal, terlepas dari biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 3,75 per tCO2e terkurang.
2 McKinsey & Company (2009) Pathways to a Low-Carbon Economy: Version 2 of the Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve 3 Makalah ini memperhitungkan berbagai biaya dalam mengevaluasi opsi-opsi pengurangan. Biaya teknis didefinisikan sebagai biaya tambahan teknologi rendah emisi dibandingkan dengan kasus yang menjadi acuan, diukur dengan USD per tCO2e emisi terkurang. Biaya teknis mencakup pelunasan tahunan untuk biaya investasi dan biaya operasional dan dengan demikian merupakan “biaya proyek” murni untuk memasang dan mengoperasikan teknologi rendah karbon. Biaya ini tidak mencakup biaya transaksi maupun
13
Estimasi awal menunjukkan bahwa tanpa dukungan keuangan atau sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tambahan, pelaksanaan usaha pengurangan karbon ini dapat menurunkan pendapatan riil per kapita di Kalimantan Tengah hingga 10 persen pada tahun 2030. Hal ini disebabkan usaha tersebut akan menahan sektor-sektor yang menghasilkan karbon ditambah dengan biaya pelaksanaannya. Apabila diperoleh dukungan keuangan yang diperlukan dan dengan mengasumsikan berhasilnya pengambilan peluang-peluang pertumbuhan sektor baru, maka pendapatan rata-rata (riil per kapita) pada tahun 2030 di Kalimantan Tengah dapat meningkat sekitar 13 sampai 17 persen di atas kasus dasar.
FT
Implementasi pertumbuhan rendah karbon harus dilakukan secara bertahap.
D
RA
Fase I melibatkan finalisasi strategi pertumbuhan rendah karbon (diringkas dalam laporan ini) yang mengidentifikasi peluang-peluang besar untuk pengurangan dan pertumbuhan sektor baru, tindakantindakan penting yang diperlukan untuk keberhasilan, dan estimasi biaya-biaya terkait. Fase 2 (Mar – Des 2010) melibatkan pengembangan struktur-struktur kesiapan dasar untuk menarik pembiayaan internasional dan mendukung pertumbuhan rendah karbon, sementara dilakukan peluncuran beberapa inisiatif pengurangan prioritas. Kegiatan-kegiatan ini mencakup finalisasi struktur organisasi, perekrutan staf unit pelaksana rendah karbon dan penetapan indikator-indikator kinerja kunci (KPI). Fase 3 (Jan – Des 2011) melibatkan peluncuran program percontohan untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Setelah percontohan dan tinjauan pelajaran-pelajaran yang diperoleh, digambarkan bahwa akan terdapat pembangunan progresif percontohan-percontohan lain pada tahun 2012, dengan transisi yang menuju pendekatan di tingkat provinsi pada tahun 2013.
biaya masyarakat (mis. Hilangnya layanan biosistem seperti pasokan air bersih dan segar dari hutan).Biaya pengurangan total mencakup biaya teknsi seperti yang disebutkan di atas dan biaya implementasi, namun tidak termasuk biaya masyarakat. Pada akhirnya biaya peluang mengacu kepada total pendapatan sebuah badan yang hilang karena berpindah menggunakan teknologi, perilaku, alternatif dan teknologi rendah emisi.
D FT
RA
14
15
FT
1. Konteks pertumbuhan rendah karbon
RA
Kekayaan alam di Kalimantan Tengah menghadapi tantangan yang besar yaitu bagaimana mencapai pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan. Penghasilan rata-rata di Provinsi Kalimantan Tengah lebih rendah daripada penghasilan rata-rata Indonesia, dan sangat bergantung pada industri-industri galian (misalnya, lebih dari sepertiga pertumbuhan PDB saat ini berasal dari sektor pertambangan). Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila Pemerintah Kalimantan Tengah meletakkan fokus pada pembangunan ekonomi dan perbaikan penghidupan masyarakatnya. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, Kalimantan tengah mengambil peran yang besar dalam memberantas sumber-sumber antropogenik (yang disebabkan oleh manusia) perubahan iklim, terutama yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. Kalimantan Tengah memiliki komitmen untuk bergerak menuju jalur pembangunan yang selaras dengan iklim, yang menyesuaikan pembangunan ekonomi dengan penurunan perubahan iklim. Pembangunan yang selaras dengan iklim memiliki potensi untuk memperluas dasar perekonomian Kalimantan Tengah, mengurangi ketergantungan pada ekspor sumber daya primer dan meningkatkan penghidupan yang berkelanjutan bagi pada petani rakyat dan masyarakat hutan. Untuk mencapai pembangunan yang selaras dengan iklim akan diperlukan perubahan yang besar terhadap struktur perekonomian Kalimantan Tengah, perencanaan penggunaan lahan dan kebijakan pemerintah. Diperlukan pula pola pikir yang baru yang terfokus pada pembangunan ramah lingkungan jangka panjang di dalam pemerintahan, masyarakat bisnis, dan sektor nirlaba.
D
Strategi pertumbuhan rendah karbon yang dijelaskan dalam laporan ini merupakan langkah awal dalam proses yang jauh lebih panjang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Tengah yang berkelanjutan. Terdapat tiga elemen inti (Gambar 1) yaitu: 1. Mitigasi CO2: Mengestimasi ukuran emisi saat ini dan masa mendatang; menilai potensi pengurangan teknis dan kelayakan sarana pengurangan; mengembangkan rencana aksi untuk menangkap peluang-peluang pengurangan prioritas. 2. Pembangunan Ekonomi: Menganalisis kekuatan dan kelemahan kompetitif yang ada; memprioritaskan peluang-peluang pertumbuhan berdasarkan dampak (termasuk dampak ekonomi dan lingkungan) dan kelayakan; mengembangkan rencana aksi untuk menangkap peluang-peluang pertumbuhan prioritas.
3. Faktor-faktor pendukung kelembagaan: Mengembangkan strategi bagi pendukungpendukung penting yang akan menyokong keberhasilan strategi pertumbuhan rendah karbon (misalnya, lembaga-lembaga baru, pemantauan dan evaluasi, mekanisme distribusi keuangan, perencanaan tata ruang). Selebihnya dari laporan ini menguraikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Kalimantan Tengah saat ini dalam ketiga wilayah tersebut dan mengidentifikasi beberapa wilayah prioritas tindakan.
16
Kotak 1
Kunci elemen dari Rencana Pertumbuhan Karbon Rendah Kerangka Rencana Pertumbuhan Rendah
Elemen kunci
Karbon
Mitigasi CO2 • Memperkirakan besar emisi saat ini dan mendatang • Menilai teknis potensi pengurangan dan kelayakan, serta biaya pelaksanaan proyek mitigasi individu.
FT
Mitigasi CO2
Pembangunan Ekonomi
Rencana pertumbuh an karbon rendah
kompetitif yang ada
• Jelajahi sumber-sumber potensi
Faktorfaktor kelembaga an
RA
Pembangun an ekonomi
• Menganalisa kekuatan dan kelemahan
pertumbuhan yang baru (membutuhkan emisi karbon lebih sedikit) Faktor-faktor Kelembagaan • Mengembangkan strategi untuk faktor-faktor pendorong penting (misalnya, pemantauan dan evaluasi, perencanaan tata ruang, pelibatan masyarakat) • Menghitung biaya total untuk mewujudkan peluang tersebut.
Kotak 2
Emisi Kalimantan Tengah diperkirakan meningkat dari 292 menjadi 340 MtCO2e antara tahun 2005 hingga 2030 PRELIMINARY
D
Proyeksi emisi bersih, Juta ton CO2e
Transportasi Listrik
292
4
1
Kehutanan1
101
Gambut
185
0 1 0
2005
15.0%
313
2
88
5
340
0 1 1
4
94
214
230
2020
2030
10.8%
Pembagian emisi total Indonesia 1 Emisi bersin memungkinkan penyerapan kapasitas hutan SOURCE: DNPI Indonesia Cost Curve; team analysis
6
1 Semen Pertanian 2 Bangunan 4
17
2. Estimasi garis dasar emisi saat ini dan di masa mendatang Dalam skenario bisnis seperti biasa, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia sampai tahun 2030.
FT
Emisi gas rumah kaca tahunan Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e4 – setara dengan sekitar 15 persen dari total emisi Indonesia. Gambut dan LULUCF sejauh ini adalah kontributor terbesar terhadap emisi Kalimantan Tengah, mewakili sampai 98 persen total emisi provinsi yang bersangkutan.5 Emisi-emisi yang berasal dari LULUCF dan lahan gambut tersebut dihasilkan oleh deforestasi dan perusakan hutan juga dari kebakaran dan dekomposisi gambut. Apabila tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan sektor-sektor tersebut, emisi netto Kalimantan Tengah diperkirakan akan meningkat sampai dengan 18 persen antara tahun 2005 dan 2030 - dari 292 menjadi 340 MtCO2e, sebagian besar dari peningkatan emisi yang berasal dari pengrusakan lahan gambutnya (Gambar 2).
RA
3. Peluang-peluang pengurangan
Kalimantan Tengah memiliki potensi yang besar dalam pengurangan karbon. Kalimantan Tengah memiliki potensi untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya sampai dengan sebanyak 282 MtCO2e,6 dengan perpaduan yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional. Dari kemungkinan-kemungkinan penurunan ini, 50 persen dapat berasal dari upaya-upaya terkait dengan konservasi lahan gambut dan 48 persen berasal dari sektor LULUCF (Gambar 3). Lima peluang penurunan karbon mewakili lebih dari 95 persen dari total potensi pengurangan Kalimantan Tengah (Gambar 4). Peluang-peluang ini dideskripsikan secara lebih mendetil di bawah.
1. Mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut (86 MtCO2):
D
Pencegahan kebakaran hutan memiliki potensi terbesar untuk menurunkan emisi Kalimantan Tengah dimana biaya kemasyarakatannya relatif rendah, yaitu dibawah USD 1 setiap tCO2e yang terkurangi (belum termasuk biaya-biaya pelaksanaan). Penurunan emisi yang utama dapat dicapai melalui mengurangi emisi dari pembakaran hutan dengan melarang pembakaran sebagai alat untuk persiapan lahan, menyediakan peralatan yang tepat dan praktis (dan dimungkinkan pula insentif keuangan) untuk pembersihan lahan manual, mengembangkan sistem-sistem peringatan dini yang sesuai berdasarkan status risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan, memperkuat pasukan pemadam kebakaran, memastikan pelaksanaan yang kuat dan denda yang besar untuk pelanggaran aturan, dan membangun kesadaran publik akan akibat-akibat ekonomi dan sosial dari pembakaran hutan. Rencana-rencana yang telah ada untuk mengatasi kebakaran, seperti Deklarasi Palangkaraya 2006 tentang Pembakaran Hutan dan Lahan (yang menghasilkan rencana aksi yang berfokus
4 Emisi gas rumah kaca umumnya diukur dalam jutaan ton setara karbon dioksida atau MtCO2e. 5 Lampiran 1 berisi deskripsi metodologi yang digunakan untuk mengestimasi emisi Kalimantan Tengah saat ini dan di masa mendatang. 6 Secara teknis, potensi keseluruhan pengurangan yang dicapai bahkan bisa lebih tinggi lagi dan bisa sampai 340 MtCO2e, namun hal tersebut membutuhkan investasi tambahan yang sangat besar di infrastruktur dan dalam peningkatan kapasitas pemerintah
18
Kotak 3
Potensi pengurangan terbesar adalah di gambut dan LULUCF PRELIMINARY
Pembagian total potensi pengurangan; Persen Kalimantan Tengah Indonesia
FT
Potensi pengurangan MtCO2e / tahun Gambut
141
LULUCF
135
4
Transportasi
1
Daya
1
Bangunan
0
RA
Pertanian
Semen
0
49.9
35.8
47.9
45.9
1.3
4.0
0.3
3.7
0.5
8.4
0.1
1.8
0.0
0.4
SOURCE: DNPI Indonesia Cost Curve; team analysis
Kotak 4
Tertuju pada 5 peluang pengurangan terbesar dapat berpotensi mengubah Kalimantan Tengahmenjadi net absorber emisi
PRELIMINARY
Proyeksi potensi pengurangan, Juta ton CO2e
D
341
86 78 53 42 1
2030 BAU
Persentase total potensi pengurangan
2
3
4
13
28
SOURCE: DNPI Indonesia Cost Curve; team analysis
19
15
59
5
Pencegahan Penggunaan Rehabilitasi Pengelolaan Reboisasi kebakaran lahan lahan hutan gambut berkesinambungan 30
9
5
Lainnya
3
Emisi rendah 2030
19
pada pembangunan kesadaran, pengembangan pengetahuan lokal dalam persiapan lahan, mengembangkan sistem peringatan dini, dan memperkenalkan sistem penghargaan bagi desa-desa yang bebas pembakaran) menggarisbawahi kebutuhan untuk melibatkan masyarakat setempat sejak awal melalui interaksi yang sudah berlangsung sampai saat ini, sumber daya keuangan yang tepat dan mekanisme pendanaanya, tanggung jawab yang jelas, dan kepemimpinan yang kuat untuk memastikan dampaknya.7
FT
Perlu dicatat bahwa potensi teknis maksimum untuk penurunan CO2e melalui pencegahan kebakaran dapat mencapai 140 Mt CO2e apabila semua kebakaran antropogenik di Kalimantan Tengah dapat ditekan. Namun demikian, hal ini akan memerlukan investasi yang sangat besar dalam bidang prasarana dan program-program pencegahan kebakaran lintas provinsi yang sangat luas dan terpencil secara geografis. 2. Mengurangi pembalakan hutan dengan kebijakan-kebijakan alokasi dan penggunaan lahan yang lebih efektif dan meningkatkan produktivitas pertanian (78 MtCO2):
RA
Penurunan emisi yang disebabkan oleh pembalakan hutan dapat dicapai melalui dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang pertama pada dasarnya merupakan pendekatan REDD. Pendekatan ini mentargetkan para pemilik lahan dan membayar mereka untuk tidak memulai kegiatan ekonomi, seperti mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman pertanian lainnya. Pendekatan ini memerlukan biaya yang relatif tinggi, misalnya, berkisar USD 30 per tCO2e terhindari dalam kasus kelapa sawit. Sebuah pendekatan alternatif adalah dengan mengurangi emisi dari pembalakan hutan melalui alokasi lahan yang lebih efisien dan lestari – sebagai contoh dengan menggunakan lahan yang telah rusak dan bukan lahan hutan untuk lahan pertanian yang baru – dan dengan membatasi atau menghentikan ekspansi pertanian ke lahan gambut yang lebih dalam lagi. Pendekatan ini juga akan menekankan peningkatan produktivitas pertanian pada lahan-lahan yang ada melalui pelatihan para petani atas teknik-teknik intensifikasi pertanian dan dengan melakukan diversifikasi terhadap pilihan tanaman. Sementara kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan biaya, tetapi diasumsikan jauh lebih rendah daripada membayar pemilik lahan atas penghasilan mereka yang tidak mereka terima. Keuntungan lainnya adalah bahwa kegiatan-kegiatan ini akan membantu mempertahankan atau meningkatkan pembangunan ekonomi di provinsi terkait.
D
Memastikan alokasi lahan yang efektif merupakan tantangan tersendiri, karena adanya isu-isu sifat lintas yurisdiksi kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang.8 Peningkatan kolaborasi antara pemerintah tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menjadi penting untuk memperbaiki perencanaan ruang dan harus didukung oleh analisis teknis yang mendetil, yang dapat memberikan penilaian yang akurat tentang alokasi lahan saat ini dan menilai potensi manfaat ekonomi penggunaan jenis-jenis lahan berbeda untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda. Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem penetapan kepemilikan lahan untuk mendaftar akta-akta dan wilayah-wilayah peta, dengan dukungan keterlibatan masyarakat yang kuat.9 Untuk menciptakan dampak jangka pendek, Kalimantan Tengah harus mengganti izin pertanian yang tidak aktif menjadi wilayah-wilayah non-gambut. Produktivitas lahan-lahan yang ada dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pembagian pengetahuan tentang praktik-
7 Lihat juga Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah EMRP – Laporan Teknis 1: Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Eks-Wilayah Proyek Mega Rice, yang memberikan deskripsi status pengelolaan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah dan wilayah EMRP termasuk tindakan-tindakan yang direkomendasikan. 8 Pemerintah Kalimantan Tengah baru-baru ini telah menyerahkan proposal perencanaan tata ruang kepada Departemen Kehutanan yang saat ini sedang dalam peninjauan. 9 Analisis lebih lanjut atas isu-isu kepemilikan lahan dan perencanaan ruang diberikan dalam Bagian 4 – Pendukung-Pendukung Kelembagaan.
20
praktik pertanian yang berkelanjutan dan berproduktivitas tinggi. Rencana induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Mega Rice (Kotak 1)10 mencatat bahwa saat ini terdapat pembagian pengetahuan yang terbatas antara para petani dan penyerapan yang relatif kecil tentang penelitian pertanian terbaru mengenai layanan tambahan. Akses kepada layanan tambahan juga nampaknya terbatas di wilayah-wilayah yang lebih terpencil (misalnya rencana induk untuk Eks-Wilayah Mega Rice memperkirakan bahwa saat ini terdapat satu pekerja layanan tambahan per 17.000 hektar atau seluas area bagi 1.000 rumah tangga petani).11
FT
Serupa dengan kasus pencegahan kebakaran, potensi pengurangan teknis maksimum untuk menurunkan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif dan alokasi lahan lebih tinggi daripada estimasi potensi yang digunakan dalam laporan ini, dan dapat mencapai 97 MtCO2e pada tahun 2030. Namun demikian, karena sebagian besar peluang pengurangan ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan petani rakyat, maka terdapat tantangan yang besar yang harus diatasi untuk mencapai potensi teknis penuh. Melihat jumlah, penyebaran dan tingkat keterpencilan petani di Kalimantan Tengah, maka potensi teknis penuh nampaknya tidak dapat dicapai pada tahun 2030. 3. Merehabilitasi lahan gambut yang tidak digunakan atau rusak (53 MtCO2):
RA
Mengurangi emisi lahan gambut melalui reboisasi dan rehabilitasi fungsi hidrologi dari lahan gambut yang rusak yang tidak memiliki nilai produksi makanan dan untuk lahan-lahan yang dilindungi oleh hukum.12 Di sini, para pendukung kunci akan menetapkan pedoman untuk proses-proses pembasahan kembali, mensponsori riset lokal terhadap manfaat dan biaya proses-proses rehabilitasi gambut alternatif (dengan potensi untuk menciptakan pusat keunggulan lokal), dan berkoordinasi dengan pemerintah nasional untuk memastikan bahwa emisi gambut dimasukkan ke dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim internasional. Dalam praktiknya, supaya usaha ini berkelanjutan di jangka panjang, penurunan emisi melalui pembasahan kembali lahan gambut yang rusak juga harus disertai oleh pencegahan dan pengelolaan kebakaran yang efektif serta upaya-upaya untuk mendorong proses-proses reboisasi.
Kotak 1: Rencana induk untuk Eks-Proyek Mega Rice (EMRP)
D
Pada awal tahun 1995, Proyek Mega Rice ditujukan untuk meningkatkan produksi beras di lahan gambut dan dataran rendah Kalimantan Tengah. Wilayah tersebut mencakup 1,4 juta hektar (sekitar 10 persen dari total wilayah Kalimantan Tengah) dan permukiman untuk 25 persen penduduk provinsi itu. Pengeringan ekstensif lahan-lahan gambut dan deforestasi hutan untuk proyek tersebut, telah merusak lahan gambut dan menimbulkan risiko tinggi kebakaran. Kebakaran luas yang terjadi di wilayah tersebut selama musim kering yang berkepanjangan tahun 1997-1998, 2002, dan 2006. Mematuhi Instruksi Presiden (Inpres), Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Proyek Mega Rice dikembangkan dengan dukungan dari pemerintah Belanda untuk memberikan kerangka kerja strategis untuk merevitalisasi daerah dan menurunkan kerusakan lingkungan hidup. Rencana Induk memiliki enam program utama: (1) Pencegahan dan pengelolaan kebakaran; (2) Pengelolaan ruang dan prasarana; (3) pengelolaan dan konservasi lahan gambut yang berkelanjutan; (4) Revitalisasi pertanian; (5) Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan sosial ekonomi; (6) Pengembangan kelembagaan dan pengembangan kapasitas.
10 Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Proyek Mega Rice Kalimantan Tengah, Oktober 2008. 11 Indonesia secara keseluruhan diperkirakan memiliki 1 ahli layanan tambahan untuk setiap 1.667 petani, versus, sebagai contoh, 1:625 di Cina dan 1:476 di Ethiopia. 12 Lampiran 3 memberikan tinjauan tentang emisi gambut dan terkait gambut.
21
4. Mengelola hutan secara lestari (42 MtCO2):
FT
Penebangan pohon pada hutan-hutan produksi Kalimantan Tengah yang tidak lestari, menimbulkan emisi tahunan yang signifikan. Memang terdapat kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan lestari, namun demikian kebijakan tersebut semata-mata terfokus pada volume kayu yang dapat diperdagangkan dan siklus penebangan dan tidak berusaha untuk meminimalisir total biomassa yang hilang selama kegiatan-kegiatan panen, yang lazimnya berjumlah berkali-kali lipat pada area pohon yang ditebang untuk tujuan komersil. Pohonpohon tersebut meliputi pohon-pohon yang ditebang untuk membuka jalan dan jalur rel untuk pelaksanaan panen dan untuk bahan pembuatan jembatan serta pohon-pohon yang rusak selama penebangan dan pemindahan kayu komersil. Hilangnya persediaan karbon ini semakin besar apabila kondisi untuk regenerasi hutan tidak kondusif.
RA
Emisi-emisi ini dapat diturunkan dengan melaksanakan praktik-praktik pengelolaan hutan yang lebih lestari di wilayah-wilayah lahan kering (misalnya, dengan mempekerjakan lebih banyak orang untuk menjalankan penurunan dampak pembalakan (logging), dan untuk mengawasi dan memverifikasi penanaman yang subur), menyediakan bantukan teknis kepada para petani dan penebang kayu, memperbaiki pengaturan hutan, dan mendidik para pelanggan dalam pasar-pasar internasional kunci. Memastikan bahwa masyarakat lokal sepenuhnya terintegrasi ke dalam pengelolaan dan penyelenggaraan hutan-hutan lokal akan menjadi penting dan perlu disertai insentif yang tepat yang memberikan penghargaan kepada para individu dan masyarakat karena telah mendorong penggunaan hutan secara berkelanjutan, seperti dalam Juma Sustainable Development Reserve di Brazil (Kotak 2).13 Telah berjalan sejumlah proyek pengelolaan hutan lestari yang ambisius di Kalimantan Tengah. Proyek Jantung Borneo misalnya merupakan kemitraan antara Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia untuk melakukan konservasi terhadap 220.000 kilometer persegi hutan hujan – hampir sepertiga pulau – melalui jaringan wilayah-wilayah perlindungan dan hutan-hutan yang dikelola secara lestari.
Kotak 2: Juma Sustainable Development Reserve (Brazil)
D
Pada tingkat deforestasi hutan saat ini, sekitar sepertiga hutan di Amazon Brazil telah hilang sampai dengan tahun 2050, melepaskan 3,5 miliar ton karbon dioksida. Bolsa Floresta di Amazon (negara terbesar, hampir 98 persen diliputi oleh hutan hujan), telah mengembangkan Juma Sustainable Development Reserve (Area Reservasi Pembangunan Berkelanjutan Juma), sebuah area seluas 600.000 hektar (1,2 juta akre) dibatasi oleh dua jalan raya. Proyek ini bertujuan untuk menghindari pengrusakan 366.000 hektar hutan dan emisi 210 MtCO2e ke atmosfer sampai dengan tahun 2050. Di dalam proyek tersebut, masyarakat hutan lokal diberi penghargaan karena telah berkomitmen untuk menghindari pembersihan hutan primer dan pembakaran vegetasi. Pendanaan didistribuskan di empat tingkat: • Keluarga-keluarga individu: pembayaran sekitar USD 25 per bulan yang ditransfer melalui kartu debit yang dikeluarkan untuk istri (berdasarkan inspeksi reguler untuk memastikan bahwa pohon-pohon dipelihara); • Asosiasi-asosiasi keluarga: hibah tunai dengan jumlah rata-rata USD 500 per bulan per asosiasi ditambah perlengkapan natura (seperti koneksi internet); • Program-program sosial: hibah sebesar kurang lebih USD 70.000 per tahun untuk masingmasing cagar alam, ditujukan untuk kegiatan-kegiatan sosial, seperti pendidikan atau kesehatan, dan dirancang untuk melengkapi program-program negara dan pemerintah lokal yang ada; • Penghasilan yang berkelanjutan: setara dengan USD 70.000 per tahun untuk masing-masing cagar alam untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan, berdasarkan penggunaan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan.
13 “Biaya REDD: pembelajaran dari penduduk Amazon”, laporan singkat IIED, November 2009.
22
5. Reboisasi (14 MtCO2e):
FT
Meningkatkan sumur endapan karbon alam dengan memperluas penutupan hutan di luar lahan gambut dengan spesies pohon yang sesuai dan yang dapat hidup terus secara ekonomis, seperti spesies asli yang dapat menghasilkan produk kayu dan nonkayu serta spesies yang tepat bertumbuh seperti akasia. Telah berjalan beberapa proyek reboisasi di Kalimantan Tengah. Di Taman Nasional Sebangau, misalnya, WWF Indonesia dan maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways bekerjasama dalam program reboisasi, yang meliputi wilayah seluas 250 hektar dengan 100.000 pohon. Perluasan dampak upaya reboisasi akan memerlukan pendekatan tingkat provinsi terhadap penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), yang dapat menciptakan insentif yang tepat dan pembentukan struktur untuk pemantauan dan pelaksanaan. Perlu dicatat bahwa peningkatan penyerapan karbon melalui penanaman hutan atau reboisasi hanya dapat diwujudkan apabila wilayah-wilayah ini dikhususkan untuk konservasi. Namun demikian, salah satu cara untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang rusak ke dalam tutupan hutan mungkin adalah membuat perkebunan kayu sementara, yang kemudian secara bertahap dapat diubah menjadi hutan konservasi atau hutan lindung.
RA
Memetakan peluang-peluang pengurangan ini berdasarkan total biaya pengurangannya14 dan kelayakannya,15 dapat membantu memprioritaskan peluang-peluang penurunan emisi untuk Kalimantan Tengah (Gambar 5). Pemetaan ini menghasilkan tiga cakrawala yang berbeda, dengan peluang-peluang dikelompokkan berdasarkan tingkat kemudahan pelaksanaan dan biaya pelaksanaan. 1. Cakrawala 1 – Lakukan sekarang, jangan sesal kemudian: meliputi peluang-peluang berdasarkan teknologi yang ada, dengan hambatan pelaksanaan rendah sampai menengah dan biaya yang relatif rendah (kurang dari USD 25 per ton). Bersama-sama, peluang-peluang ini dapat menghasilkan penurunan tahunan sebesar 56 MtCO2e sampai dengan tahun 2030 (16 persen dari perkiraan emisi tahun 2030);
D
2. Cakrawala 2 – Mulai sekarang, akselerasikan kemudian: mencakup pengelompokan peluang dengan biaya menengah/mudah yang menghasilkan pengurangan dengan biaya yang relatif rendah (kurang dari USD 25 per ton) dengan hambatan pelaksanaan rendah sampai sedang, atau yang murah tetapi lebih sulit untuk dilaksanakan, atau mahal tetapi lebih mudah untuk dilaksanakan. Bersama-sama, peluang-peluang ini dapat menghasilkan penurunan tahunan sebesar 200 MtCO2e sampai dengan tahun 2030 (59 persen dari estimasi emisi tahun 2030) dimana biaya berkisar dari USD 80 – USD 21 dan rata-rata USD 5.8 per tCO2e terkurang; 3. Cakrawala 3 – Eksplorasi sekarang, capai hasil seiring waktu: mencakup peluangpeluang yang paling menantang – peluang-peluang dengan biaya tinggi dan dengan hambatan yang besar, karena teknologi belum layak atau karena memiliki risiko perencanaan dan kebutuhan prasarana yang besar. Bersama-sama, peluang-peluang ini dapat menghasilkan penurunan tahunan sebesar 100 MtCO2e sampai dengan tahun 2030 (29 persen dari estimasi emisi tahun 2030).
14 Total biaya pengurangan mencakup biaya teknis ditambah biaya implementasi spesifik-pendorong pengurangan. Ini tidak mencakup biaya implementasi yang tidak spesifik kepada biaya peluang pengurangan (mis. pembentukan kembali rencana tata ruang, membangung sistem MRV, meningkatkan mekanisme keterlibatan masyarakat). Lampiran 5 menjelaskan biaya-biaya tersebut dan metodologi untuk mengestimasikannya. 15 Kelayakan mengambil setiap peluang pengurangan dinilai menggunakan indeks tujuh faktor dengan bobot sama: (1) Isu-isu pembiayaan (misalnya, intensitas modal, waktu-waktu pelunasan), (2) Kemampuan pengaturan dan kelembagaan, (3) Isu-isu agen utama, (4) perilaku yang membudaya, (5) Kendala rantaipasokan, (6) Kelayakan politis, dan (7) Kesiapan teknologi.
23
Prioritas peluang pengurangan karbon
PRELIMINARY Lakukan sekarang (berpotensi direalisasikan tahun 2015) Dimulai perlahan, kemudian dipercepat (berpotensi direalisasikan tahun 2020) Dimulai saat ini, mencakup sepanjang waktu (berpotensi direalisasikan tahun 2015-2030)
Negatif (<0 USD/ ton)
di perumahan dan bangunan komersil (0.1 Mt) • Small hydro (0.2 Mt) • Pengelolaan gizi lahan tanaman (0.2 Mt) • Biofuel untuk transportasi (0.1 Mt) 0.6120 Mt
• Pengelolaan hutan
• Pengelolaan padi – pengairan dangkal (1.2 Mt)
• Efisiensi bahan bakar kendaraan penumpang (0.4 Mt)
• Efisiensi bahan bakar angkutan barang (0.3 Mt)
• Pembangkit listrik bertenaga landfill gas (0.1Mt)
• Retrofit HVAC (0.1 Mt) • Penggunaan langsung landfill gas2.1 (0 Mt
• • • • •
berkesinambungan (42 Mt) • Reboisasi (10 Mt) Biaya Sedang • Aforestasi (3 Mt) saat (0 - 25 • Pengelolaan sawah – ini1 USD/ton) pengelolaan gizi (0.4 Mt) 55 Mt
• Water heating – bangunan
Mt) Pencegahan kebakaran (143 Mt)
Rehabilitasi lahan gambut (53 Mt) Pengelolaan air (2.2 Mt) Pengelolaan hutan (0.9 Mt) Praktek agronomi (0.3)
Tinggi (>25 USD/ton)
0.3 Mt
• Alokasi penggunaan lahan (78 Mt) • Pengelolaan lahan rumput (0.2 Mt) • Restorasi lahan rusak (1.2)
80 Mt
155 Mt
• Biomass khusus (0.6 Mt) • On shore wind (0.1 Mt)
komersial
• Daur ulang limbah baru (0.2 Mt) • LED Lighting (0.1 Mt)
FT
• Efisiensi peralatan elektronik
• Solar PV (0.1 Mt) • Water heating – perumahan (0.1 Mt) • Ternak – makanan tambahan (0.1 Mt)
0.3 Mt
0.7 Mt
RA
~0 Mt Telah tercapai
Beberapa tantangan
Sulit
Kelayakan untuk diatasi (dalam jangka pendek)
1 Berdasarkan biaya implementasi pengurangan spesifik (tidak termasuk biaya langkah penting untuk mendukung pertumbuhan karbon rendah SOURCE: DNPI Indonesia Greenhouse Gas Emissions Cost Curve; team analysis
4. Mengembangkan sumber penghidupan berkelanjutan Sumber-sumber pertumbuhan rendah karbon akan diperlukan untuk menjamin pembangunan yang berkesinambungan, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan pekerjaan di Kalimantan Tengah
D
Untuk mengalihkan perekonomian Kalimantan Tengah ke lintasan pertumbuhan rendah karbon, penting agar sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi diciptakan untuk memberikan penghidupan yang berkelanjutan kepada penduduk lokal. Sumber-sumber pertumbuhan ini dapat membantu mengganti potensi kerugian ekonomi terkait dengan beberapa peluang pengurangan serta menciptakan kesejahteraan yang memerlukan berkurangnya ketergantungan terhadap sumber-sumber pertumbuhan intensif karbon (misalnya, penebangan pohon). Kalimantan Tengah saat ini memiliki kinerja perekenomian campur (Gambar 6): Kesejahteraan yang memadai: Produktivitas Kalimantan Tengah per orang di bawah ratarata nasional (7 persen kurang) dan tidak dapat mengikuti pertumbuhan nasional selama lima tahun terakhir, tetapi konsumsi rata-rata masih yang tertinggi ketujuh di antara provinsi-provinsi di Indonesia.
Sangat inklusif: Kalimantan Tengah memiliki distribusi penghasilan yang paling wajar ketiga di antara provinsi-provinsi di Indonesia, dengan angka kemiskinan terendah keenam di antara provinsi-provinsi tersebut, dan indeks pengembangan manusia tertinggi ketujuh. Keberlanjutan yang masih dipertanyakan: Pertumbuhan produktivitas Kalimantan Tengah tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi lain (misalnya, produktivitas telah bertumbuh mencapai angkat terendah kedua dari provinsi mana pun sejak tahun 2003), dan memiliki
Kotak 5
24
Kotak 6
Kalimantan Tengah saat ini memiliki scoreboard ekonomi gabungan PRELIMINARY
Kinerja ekonomi 1 Kesejahteraan
• Rata-rata output agak
3 Kerberlanjutan
• Distribusi pendapatan ke-3 terwajar diantara propinsi-propinsi di Indonesia
• Pertumbuhan
produktivitas masih tertinggal dari propinsi lainnya (cth: produktivitas tumbuh menjadi tingkat terendah ke-2 dari propinsi lain sejak 2003)
FT
di bawah rata-rata nasional (kurang 7%)
2 Inklusif
• Rata-rata konsumsi
rumah tangga bulanan tertinggi ke-9 diantara propinsi-propinsi di Indonesia
• Tingkat kemiskinan
terendah ke-6 diantara propinsi-propinsi dan tertinggi ke-7 indeks perkembangan manusia
RA
• Akses kuat kepada sumber daya 4 Enabler alam (mineral, hutan) ekonomi • Aset intrinsik kualitas tinggi (keindahan alam, kekayaan budaya)
• • • •
• Ketergantungan tinggi
pada industri ekstraktif (cth: lebih dari 1/3 pertumbuhan GDP saat ini datang dari sektor pertambangan)
Infrastuktur transportasi lemah Lingkungan regulasi penuh larangan Kualitas lingkungan buruk (cth: asap) Terbatasnya listrik
SOURCE: Team analysis
ketergantungan yang besar terhadap industri ekstraktif (misalnya, lebih dari sepertiga pertumbuhan PDB saat ini berasal dari sektor pertambangan).
Kalimantan Tengah memiliki sejumlah kekuatan, yang dapat menjadi dasar pembangunannya:
D
Kekayaan sumber daya alam: Kalimantan Tengah sangat kaya akan batubara, emas, dan mineral-mineral lain serta hutan (saat ini memiliki sekitar 7,5 persen dari hutan Indonesia). Terdapat potensi peluang yang besar untuk mengembangkan industri hilir. Aset intrinsik dan budaya: Kalimantan Tengah memiliki lokasi yang strategis (misalnya, ibukota-ibukota negara ASEAN yang besar dalam jarak 2.000 km), margasatwa yang khas (misalnya, orangutan), dan warisan budaya yang kaya, yang dapat menyokong pertumbuhan sektor-sektor seperti ekowisata. Penduduk muda: Hampir sepertiga dari penduduknya berusia kurang dari 15 tahun, menyediakan pasokan yang stabil akan tenaga kerja di masa mendatang. Pada saat yang sama, terdapat sejumlah masalah dalam lingkungan usaha, yang perlu ditangani. Kelemahan dalam modal SDM: Terdapat kuantitas dan kualitas pendidikan yang relatif rendah di Kalimantan Tengah saat ini. Sementara angka pendaftaran sekolah dasar cukup tinggi (sekitar 95 persen anak-anak usia sekolah dasar mengikuti sekolah dasar), angka pendaftaran paska sekolah dasar rendah, turun 44 persen di sekolah menengah atas (lebih rendah daripada rata-rata nasional sebesar 52 persen). Survei-survei Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa masalah-masalah keuangan rumah tangga adalah alasan yang dominan akan rendahnya angka pendaftaran paska sekolah dasar. Di sisi kualitas, Kalimantan Tengah juga memiliki hasil ujian sekolah menengah terendah kelima dari provinsi mana pun dan andil pengajar sekolah menengah terendah kelima dengan kualifikasi yang tepat.
25
Kesenjangan dalam prasarana transportasi: Terdapat masalah dengan kuantitas dan kualitas jalan – Kalimantan Tengah memiliki kepadatan jalan terendah kelima (relatif terhadap wilayah geografisnya) dari provinsi mana pun di Indonesia dan hampir 40 persen jalan yang ada dinilai berada dalam kondisi buruk. Di samping itu, transportasi sungai terbatas selama musim kering.
FT
Kekurangan listrik: Hampir seperempat rumah tangga bergantung pada lampu untuk penerangan, dan baik para pemimpin usaha lokal dan calon investor menyoroti kurangnya akses listrik sebagai sebuah masalah yang besar. Masalah-masalah lingkungan hidup: Kebakaran hutan dan gambut memiliki dampakdampak sosial dan ekonomi negatif yang besar terhadap provinsi. Luas dampak sebenarnya sulit untuk diukur secara akurat, tetapi data survei awal dari Bank Indonesia menunjukan bahwa kebakaran-kebakaran ini meningkatkan biaya-biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan konsumsi sampai dengan 8 persen dari PDB provinsi. Sebagai contoh, Kalimantan Tengah memiliki angka penyakit asma tertinggi dari provinsi mana pun di Indonesia (yang dalam wawancara dengan para pejabat kesehatan lokal ditunjukkan terkait dengan kebakaran) dan wawancara dengan para manajer usaha lokal menunjukkan hari-hari dengan asap yang sangat banyak menambah 10 sampai dengan 15 persen dampak biaya transportasi jalan.
RA
Pendekatan tiga langkah digunakan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan peluang pertumbuhan (Gambar 7). Pertama, daftar potensi peluang pertumbuhan disusun berdasarkan wawancara dan lokakarya dengan pengusaha lokal, pejabat pemerintah, dan akademisi, tinjauan rencana pembangunan provinsi yang ada, dan analisis peluang pertumbuhan yang dikejar oleh daerah-daerah dengan tingkat pembangunan ekonomi dan ketergantungan terhadap sektor-sektor berbasis hutan yang serupa (misalnya Guyana, Malaysia, Thailand). Gagasan-gagasan ini kemudian diprioritaskan menurut potensi dampak mereka (berdasarkan arti mereka saat ini bagi PDB, pertumbuhan masa mendatang, kualitas kerja, dan implikasi untuk emisi karbon) dan kelayakan (yaitu, sesuai dengan kekuatan dan kelemahan lingkungan usaha saat ini yang telah dicatat sebelumnya). Berdasarkan proses ini, diidentifikasi tujuh sektor pertumbuhan prioritas:
D
1. Hasil perkebunan pada lahan nonhutan (17 persen dari PDB di tahun 2006): Mengembangkan lahan nonhutan yang baik untuk ditanami tanaman budidaya seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan rempah-rempah. Meskipun tanaman perkebunan memiliki kontribusi yang besar terhadap produktivitas Kalimantan Tengah, pertumbuhan dalam sektor tersebut (khususnya kelapa sawit) berterkaitan dengan dampak buruk yang penting bagi lingkungan hidup (dari pembersihan lahan hutan dan pengeringan lahan gambut). Jasa-jasa penyuluhan yang dapat memberikan keterampilan kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas (dan memperkenalkan praktik-praktik ramah lingkungan) pada lahan yang ada harus dilengkapi dengan menetapkan persyaratan hukum wajib atas proses-proses pertanian (misalnya, serupa dengan Panduan Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan/ Roundtable on Sustainable Palm Oil guidelines). Mengembangkan industri hilir akan membutuhkan akses yang lebih baik ke tenaga kerja terampil yang sesuai (misalnya, dengan memperkenalkan program-program kejuruan), memastikan ketersediaan listrik, menyediakan metode-metode agregasi berdasarkan pasar untuk para petani rakyat, dan mengatasi masalah-masalah prasarana transportasi (khususnya jalan dan pelabuhan). Di samping itu, untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit di masa mendatang harus dialokasikan pada lahan yang telah rusak (dan tidak membuka hutan baru). Peningkatan tahunan saat ini sebesar 70.000 hektar dalam area kelapa sawit menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit akan bertumbuh sampai sekitar 2,3 juta hektar sampai dengan 2030, sementara terdapat sekitar 6,4 juta hektar lahan rusak yang berpotensi tersedia yang dapat lebih daripada mengakomodasi pertumbuhan ini.
26
Kotak 7
Peluang pertumbuhan diprioritaskan sesuai dampak dan kelayakannya
Mengidentifikasi hipotesa untuk peluang pertumbuhan baru
Metodologi
• Mewawancarai para pengusaha lokal,
pejabat pemerintah dan pihak akademisi
• Mengkaji rencana pengembangan ekonomi
FT
Kalimantan Tengah
• Melakukan analisa “outside in” terhadap benchmark internasional yang relevan
Dampak
Kelayakan
• Melakukan penilaian dampak potensial terhadap: – Pertumbuhan GDP – Rata-rata pendapatan – Emisi karbon
• Menentukan kelayakan Kalimantan Tengah
RA
Peluang sektor baru yang diprioritaskan
untuk menangkap peluang pertumbuhan, berdasarkan wawancara dengan para ahli sektor, pengusaha, akademisi dan pejabat pemerintah
Mengatasi isu-isu kepemilikan lahan penting agar langkah ini dapat terus dijalankan.16 Dengan memulai langkah-langkah ini, PDB sebenarnya dari tanaman perkebunan dapat bertumbuh sampai dengan lebih dari enam kali tingkat pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2030, dengan jejak karbon yang jauh lebih rendah.
D
2. Kehutanan lestari (9 persen dari PDB di tahun 2006): Memadukan pengolahan primer dan sekunder kayu, yang telah diambil secara lestari di bawah kendali ketat yang memungkinkan terjadinya regenerasi alam dan tingkat pertumbuhan kembali yang cukup pada saat siklus rotasi. Memperluas sektor ini secara berkelanjutan berarti perlu memperluas kesadaran akan teknik-teknik penebangan pohon dengan dampak minimum, mendidik pasar-pasar asing penting untuk menciptakan premi untuk produk-produk yang panen terus-menerus, dan mendukung pengolahan hilir dengan memberikan akses kepada tenaga kerja terampil yang sesuai (misalnya, dengan memperkenalkan program-program kejuruan), memastikan ketersediaan listrik, dan memperbaiki jalan (40 persen jalan saat ini dinilai berada dalam kondisi buruk).17 Upaya-upaya yang saat ini dilakukan untuk mengatasi pembalakan liar perlu diintensifkan dan didukung oleh pendekatan menyeluruh terhadap pengelolaan hutan termasuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat memasok kayu yang diambil secara legal untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Peluang untuk pertumbuhan tambahan penting karena bukti internasional menunjukkan bahwa penerapan pengelolaan hutan yang intensif dapat meningkatkan hasil tahunan per akre sampai dengan sekitar 500 persen.18 3. Pertambangan ramah lingkungan (8 persen dari PDB di tahun 2006): Menggunakan bentukbentuk batubara yang sangat hemat energi yang ditemukan di provinsi sebagai modal untuk mengembangkan sektor pertambangan sekaligus meminimalisir dampak terhadap lingkungan
16 Isu-isu kepemilikan tanah didiskusikan lebih dalam pada Seksi 4 – Faktor Pendukung Kelembagaan. 17 Biro Pusat Statistik Indonesia. 18 Lihat sebagai contoh Wann dan Rakestraw (1998) study of pine plantations in southern United States.
27
FT
hidup. BHP Billiton, sebagai contoh, telah memperkirakan nilai panas berguna (useful heat value UHV) dari endapan batubara Kalimantan Tengah yaitu sekitar 6.000–7.500 Kcal/Kg.19 Memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tambang mematuhi praktik-praktik ramah lingkungan terbaik (misalnya, sebagaimana diuraikan oleh Dewan Internasional Tambang dan Logam)20 dan bahwa prasarana baru (misalnya, jalan rel batubara yang direncanakan) dikembangkan sedemikian mungkin sehingga meminimalisir potensi dampak terhadap lingkungan, akan menjadi sangat penting. Di samping itu, penting agar sebagian besar dari kekayaan tambah yang dihasilkan dimanfaatkan secara lokal. Selain memastikan pelelangan hak-hak tambang yang efisien, Kalimantan tengah harus mengekplorasi kemungkinan untuk mengembangkan kepentingan tambang lokal (perusahaan tambang milik negara Cili ENAMI, sebagai contoh, mengembangkan para penambang junior lokal dengan menyediakan layanan teknis, metalurgis, keuangan dan dagang untuk memperbaiki kegagalan pasar; negara-negara lain, seperti Afrika Selatan, mendorong peran serta lokal dengan memperkenalkan pedoman pengaturan pengadaan lokal). Apabila Kalimantan Tengah dapat mengikuti angka pertumbuhan tahunan saat ini dari negaranegara seperti Brazil dan Cili sampai dengan tahun 2030, maka ukuran sektor tersebut akan menjadi 30 persen lebih tinggi daripada apabila mengikuti rata-rata Indonesia.
D
RA
4. Tanaman pangan pada lahan non-hutan (6 persen dari PDB tahun 2006): Mengembangkan lahan nonhutan yang baik untuk ditanami untuk pertanian komersial buah-buahan dan sayursayuran tropis bernilai tinggi untuk ekspor. Saat ini, sektor tersebut mengalami kekurangan layanan masukan pertanian bermutu tinggi (misalnya, litbang, informasi pasar), khususnya di wilayahwilayah yang lebih terpencil yang dapat melengkapi para petani dengan keterampilan untuk menerapkan praktik-praktik yang sangat produktif dan ramah lingkungan (misalnya, pertanian tanah bajak yang rendah). Kekurangan ini ditambah dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para petani rakyat dalam mengakses pembiayaan dan pasar dan terbatasnya ketersediaan lahan yang subur (hanya 6 persen dari lahan yang tertutup oleh tanah baru yang rata dan subur).21 Pertumbuhan masa mendatang dalam sektor ini dapat didukung dengan mengeksplorasi mekanisme-mekanisme berbasis pasar untuk mengumpulkan para petani rakyat di wilayahwilayah utama dari rantai nilai (sebagaimana relatif berhasil dilakukan di negara-negara seperti Maroko) dan meningkatkan penyediaan layanan penyuluhan pertanian dengan memasukkan pelajaran-pelajaran dari program-program yang sukses selama ini (misalnya, program pemberantasan hama Indonesia). Peluang pertumbuhan tambahan berpotensi besar – produksi beras, yang mewakili sekitar 96 persen dari nilai seluruh hasil tanaman pangan Kalimantan Tengah, kurang dari setengah tanaman pangan di Jawa Timur. Dengan asumsi bahwa kesenjangan ini dapat menjadi setengahnya sampai dengan tahun 2030, PDB sektor ini akan menjadi 90 persen lebih tinggi daripada apabila mempertahankan angka pertumbuhan sebelumnya. 5. Budidaya perikanan (5 persen dari PDB di tahun 2006): Budidaya ikan dan udang air tawar di lahan nonhutan yang tidak cocok ditanami, dapat diekspor dalam bentuk segar, beku, atau produk olahan. Penangkapan ikan memiliki nilai tradisional yang penting bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, yang memberikan dasar tenaga kerja terampil yang baik. Untuk meningkatkan pertumbuhan dalam sektor tersebut diperlukan layanan penyuluhan untuk memberikan pelatihan teknik-teknik budidaya perikanan yang baru, didukung oleh prasarana yang sudah lebih baik, dan fasilitas pendingin. Dengan asumsi bahwa angka pertumbuhan PDB sektor tersebut saat ini sebesar 2 persen dapat ditingkatkan untuk mengejar angka pertumbuhan masa mendatang yang diharapkan dalam sektor tersebut untuk wilayah Asia secara keseluruhan (4,4 persen), PDB dari sektor tersebut akan menjadi 65 lebih tinggi pada tahun 2030 daripada yang didasarkan atas lintasannya saat ini.22 19 Batubara dengan Mutu A yang paling efisien berdasarkan nilai panas untuk massa yang diberikan, memiliki nilai panas berguna (UHV) lebih besar dari 6.200 kCal/Kg. 20 World Wildlife Fund (WWF) telah menyusun kartu skor yang menilai kepatuhan terhadap standar praktik terbaik ramah lingkungan dari perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Kalimantan. 21 Japan International Cooperation Agency 22 Prediksi angka pertumbuhan sector perikanan di Asia yang diberikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO).
28
Kotak 3: Menciptakan penyertaan keuangan di Meksiko
FT
Diconsa adalah jaringan distribusi pemerintah yang menyuplai lebih dari 22.000 toko milik masyarakat dengan makanan dan barang kebutuhan dasar lainnya di Meksiko pedesaan. Pencapaian, riwayat, dan kepemilikannya oleh masyarakat memberikannya kepercayaan dan dukungan tersendiri di tengah masyarakat termiskin Meksiko. Diconsa adalah tulang punggung kemitraan antara sektor publik dan swasta termasuk telekomunikasi, layanan keuangan, LSM, dan badan usaha pemerintah berkolaborasi untuk membangun beragam layanan sosial ke masyarakat terpencil, khususnya layanan keuangan. Kemitraan menggambarkan evolusi bertahap layanan keuangan yang ditawarkan, dimulai dari pembayaran pemerintah, kemudian pembentukan rekening tabungan, pengiriman uang, kredit, dan asuransi. Proyek tersebut akan meningkatkan akses kepada layanan keuangan yang terjangkau di tengah masyarakat termiskin, dan yang paling terisolir Meksiko. Sekitar 5 juta keluarga atau 20 persen dari penduduk Meksiko, yang tinggal di tengah masyarakat perdesaan kecil dengan kurang dari 2.500 penduduk, yang merupakan target dari program Diconsa.
RA
Kotak 4: Taman Nasional Sebangau
Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah mencakup area seluas 568.700 hektar dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar. Pada tahun 2006, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan 808 spesies tanaman herbal, 116 spesies burung, dan 35 spesies mamalia, termasuk 6.000 sampai 9.000 orangutan, beruang madu, dan macan tutul. World Wildlife Fund for Nature Indonesia telah mulai mengembangkan konsep ekowisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Sebangau, dengan memastikan konservasi wilayah terkait, serta memastikan peran serta ekonomi penduduk lokal.
D
6. Layanan keuangan (2 persen dari PDB tahun 2006): Mendorong peningkatan efisiensi dan penetrasi layanan keuangan, memperluas akses keuangan mikro, dan sumber-sumber pengucuran modal internasional (misalnya, REDD). Saat ini, penyertaan keuangan khususnya rendah di provinsi (misalnya, hanya 3,3 persen rumah tangga saat ini memiliki pinjaman, versus 5,3 persen secara nasional).23 Tingkat pemberian pinjaman kepada usaha kecil nampaknya juga relatif tidak berkembang – kredit untuk usaha kecil dan menengah hanya 9 persen dari PDB (kontribusi terendah keempat di antara 20 provinsi yang datanya tersedia),24 dan wawancara dengan usaha-usaha lokal dan serikat-serikat kredit menunjukkan bahwa kurangnya agunan dan sertitikat tanah mempersulit berbagai usaha untuk mengakses kredit. Dibangun di atas upayaupaya yang ada dari badan-badan usaha lokal seperti Bank Indonesia and PNPM Bappenas, terdapat peluang untuk menetapkan sistem-sistem distribusi terukur dengan biaya rendah dan menggunakan potensi pembiayaan REDD untuk memberikan akses keuangan dan membangun kecakapan keuangan di antara komunitas hutan provinsi. Program Diconsa Meksiko memberikan model yang menarik yang dapat digunakan untuk Kalimantan Tengah (Kotak 3). Melihat ke depan, dengan asumsi pertumbuhan PDB dalam sektor terkait dapat mengejar rata-rata Bangladesh, India dan Meksiko (negara-negara yang penyertaan keuangannya telah berhasil ditingkatkan), tingkat PDB pada tahun 2030 dapat mencapai sekitar 1,5 kali lebih tinggi daripada apabila sektor terkait mengejar angka pertumbuhan nasional sebesar 4,7 persen.
7. Ekowisata (2 persen PDB tahun 2006): Mengembangkan pariwisata, berdasarkan margasatwa khas Kalimantan Tengah (misalnya, orangutan) dan keanekaragaman hayati,
23 Biro Pusat Statistik Indonesia 24 Biro Pusat Statistik Indonesia
29
FT
yang meminimalisir dampak ekologis yang buruk. Hal yang penting untuk merangsang pertumbuhan masa mendatang dalam sektor ini adalah mengembangkan prasarana transportasi, khususnya hubungan udara ke pusat-pusat kegiatan utama. Sebagai contoh, meskipun Palangka Raya (ibukota Kalimantan Tengah) dekat dengan ibukota-ibukota negara ASEAN (misalnya, 1.187 km dari Singapura, 1.484 km dari Kuala Lumpur) saat ini tidak terdapat hubungan udara internasional, dan penerbangan dari dalam Indonesia seringkali ditunda atau dibatalkan oleh karena asap dari kebakaran gambut dan hutan. Telah terdapat sejumlah proyek kecil yang sukses (Kotak 4), tetapi untuk mencapai dampak yang besar diperlukan rencana induk wisata untuk membantu mengatasi tantangan-tantangan yang melintang yang dihadapi sektor terkait, yang mencakup promosi wisata, akses kepada keterampilan, dan fasilitas. Peluang akan pertumbuhan tambahan jelas – sebagai contoh, apabila Kalimantan Tengah dapat beralih ke angka pertumbuhan turis yang serupa dengan yang dicapai oleh Bali dalam 20 tahun terakhir, maka pada tahun 2030 kontribusinya terhadap PDB dapat lebih dari dua kali kontribusi yang didasarkan atas pertumbuhan yang telah terjadi. Apabila dipadukan, ketujuh sektor tersebut saat ini mewakili sekitar setengah dari produktivitas Kalimantan Tengah saat ini dan sekitar dua pertiga lapangan pekerjaan. Sektor-sektor tersebut berpotensi untuk mendorong pembangunan Kalimantan Tengah yang rendah karbon.
RA
5. Faktor-faktor Pendukung kelembagaan
Mencapai keberhasilan pertumbuhan ekonomi rendah karbon akan memerlukan transformasi yang besar, baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat luas Kalimantan Tengah. Dari sudut pandang kelembagaan, dukungan terhadap pertumbuhan rendah karbon memerlukan pendekatan lintas sektor yang mengkoordinir berbagai kementerian yang penting untuk keberhasilannya (misalnya, kehutanan, lingkungan hidup, pertanian, pariwisata, pendidikan), selain itu, adanya kepastian akses terhadap kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan program ambisius dan mendesak ini. Seperti banyak daerah berkembang lainnya, Kalimantan Tengah kembali dihadapkan oleh tantangan prioritas penting dan sumber daya yang terbatas, terutama, terbatasnya ketersediaan keahlian manajemen yang diperlukan untuk melaksanakan perubahan transformatif.
D
Banyak instansi pemerintah yang menghadapi tantangan-tantangan serupa (termasuk perubahan iklim) yang telah membentuk unit-unit baru untuk mengkoordinir tanggapan pemerintah dan memastikan terpenuhinya prioritas penting – sebagai contoh di Aceh, setelah kerusakan yang diakibatkan tsunami di akhir tahun 2004, pemerintah Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias untuk mengkoordinir dan mengawasi proses rekonstruksi multitahun. Kalimantan Tengah juga telah menciptakan institusi baru untuk mengkoordinir tanggapannya terhadap pembangunan rendah karbon. Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkan keputusan tanggal 16 November 2009 yang membentuk tim persiapan baru untuk mengkoordinir REDD dan upaya-upaya rehabilitasi lahan gambut di provinsi terkait.25 Institusi ini juga memberikan basis yang baik untuk mengkoordinir kegiatan pertumbuhan rendah karbon yang lebih luas di provinsi terkait. Yang penting adalah institusi tersebut melaporkan langsung kepada Gubernur dan memiliki mandat untuk mengkoordinir upaya-upaya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sekretariat memiliki Sembilan sub-unit (Gambar 8). Tinjauan mengenai unit-unit pelaksana dalam negeri dan internasional dapat memberikan beberapa pembelajaran untuk Kalimantan Tengah dalam mengembangkan mekanisme-mekanisme kelembagaannya sendiri, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan strategi pertumbuhan rendah karbon (Kotak 5).
25 Keputusan nomor 18.44/417/2009. Lihat Lampiran 4 untuk ringkasan keputusan ini.
30
Kotak 8
Struktur Organisasi: Unit Persiapan Reboisasi, Pencegahan Degradasi Hutan, Pencegahan Degradasi Lahan Gambut Kalimantan Tengah
FT
Steering committee • Diketuai oleh Gubernur Kalimantan Tengah • Tiga Wakil Ketua: – Sekretaris Daerah – Kepala Badan Perencanaan – Kepala Bagian Lingkungan Hidup Sekretariat • Sekretaris • Wakil Sekretaris • Staf lainnya
Organisasi dan Kerjasama
Metodologi, Pengukuran dan Monitoring
Penilaian, Pendidikan dan Pelatihan
Komunikasi, Advokasi dan Kesadaran
Pemasaran, Keuangan dan Pembagian Keuntungan
Informasi, Database dan Library
RA
Perijinan, Undang- Pengembangan Kapasitas Daerah Undang dan dan Masyarakat Legislatif
Kelompok Kerja Validasi, Akreditasi dan Sertifikasi
Kotak 5: Pembelajaran-pembelajaran internasional dan dalam negeri mengenai pengorganisasian unit pelaksana
D
1. Harus memiliki hubungan langsung dengan dan mandat yang jelas dari tingkat-tingkat tertinggi pemerintahan (misalnya, BRR Aceh, Economic Development Board di Maroko, Presidential Delivery Unit di Guyana) 2. Perlu melibatkan representasi dari berbagai tingkat pemerintahan dan LSM (misalnya, Amazon Fund di Brazil, Waclimad di Indonesia) 3. Hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan harus ditetapkan secara jelas antara unit baru, departemen-departemen yang ada, dan para pemangku kepentingan lainnya (misalnya, Economic Development Board di Bahrain) 4. Kompensasi pegawai dan proposisi nilai harus kompetitif dengan sektor komersial untuk menarik pemilik keahlian terbaik (misalnya, BRR Aceh, Presidential Delivery Unit di Guyana) 5. Mengembangkan manajemen kinerja yang tepat atas beberapa hasil prioritas (misalnya, Economic Development Board di Bahrain)
31
Hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan harus ditetapkan secara jelas antara unit baru dan kementerian-kementerian yang ada untuk menghindari duplikasi kegiatan dan kurangnya koordinasi. Sementara sebagian besar pelaksanaan dapat tetap berada di dalam departemendeparteman yang ada, strategi dan kebijakan harus dikembangkan bersama antara unit baru ini dan kementerian-kementerian pemerintah yang ada untuk memastikan dimilikinya keahlian yang tepat. Indikator-indikator kinerja utama perlu ditetapkan untuk masing-masing unit dan hasil-hasilnya dinilai secara cermat dan teratur, dan dilaporkan kembali ke komite pengendali (idealnya setiap bulan).
FT
Unit baru tersebut juga harus memiliki hubungan dengan pemerintah tingkat nasional dan kabupaten/kota, serta komunitas hutan lokal (untuk memastikan ijin yang bebas biaya dan diinformasikan), karena banyak kekuatan hukum saat ini untuk mendukung pengurangan karbon berada di tingkat-tingkat ini. Kementerian Kehutanan sebagai contoh mengendalikan penggunaan lahan di provinsi yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” (meliputi sekitar 60 persen dari Kalimantan Tengah), sementara pemerintah kabupaten/kota mengendalikan penggunaan lahan di luar hutan. Dewan Air Indonesia (Waclimad) memberikan contoh yang berguna dari kolaborasi “keseluruhan pemerintah”, dengan hubungan-hubungannya di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
D
RA
Pencarian tenaga ahli yang tepat untuk mengisi organisasi baru ini akan menjadi suatu tantangan. Sementara posisi-posisi utama telah diisi, mungkin sulit untuk memperoleh akses kepada pemilik keahlian yang tepat untuk mengisi posisi-posisi yang tersisa. Dalam jangka waktu singkat, digambarkan bahwa beberapa posisi akan perlu diisi oleh para ahli asing, yang disediakan melalui berbagai program perbantuan teknis. Pendekatan serupa berhasil digunakan dalam upaya rekonstruksi di Aceh menyusul terjadinya tsunami. Evolusi bertahap terhadap lebih banyak kepemilikan lokal diwujudkan dengan mengangkat berbagai teknik perekrutan inovatif, seperti pengaturan penempatan sementara dengan sektor swasta atau LSM, merekrut dari diaspora, dan mungkin penggunaan kantor-kantor pencari tenaga kerja eksekutif. Hal ini perlu disertai program pengembangan kapasitas formal. Hal yang penting untuk menarik pemilik keahlian yang diperlukan untuk organisasi ini adalah kemampuan untuk menawarkan gaji yang kompetitif – BRR Aceh diberikan pengecualian untuk dapat membayar stafnya berbeda dengan pegawai negeri lainnya, sehingga organisasi dapat merekrut individu-individu dengan keterampilan yang dibutuhkan (sebaliknya para pegawai harus mematuhi peraturan integritas profesional yang diterapkan secara ketat). Fleksibilitas serupa dapat berharga karena Kalimantan Tengah berusaha merekrut tenaga ahli untuk mengelola institusinya sendiri. Institusi baru ini perlu menjalankan enam fungsi luas untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon: i. Menarik, mengelola dan mendistribusikan keuangan: menarik pembiayaan internasional untuk perjanjian REDD, VER dan CDM dan mengelola dan mendistribusikan keuangan secara transparan, adil, dan efisien (serupa dengan Amazon Fund di Brazil). ii. Memberikan dukungan pemantauan dan evaluasi: menetapkan garis dasar tingkat provinsi dan standar yang tepat untuk pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV). iii. Mengembangkan kebijakan dan perencanaan tata ruang: mengembangkan tanggapan pengaturan untuk mendukung pengurangan karbon dan menciptakan peluang akan penghidupan yang berkelanjutan. Hal-hal ini mencakup optimisasi alokasi lahan melalui perencanaan ruang dan penyelesaian perselisihan kepemilikan tanah. iv. Meningkatkan keterlibatan masyarakat: mengembangkan proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, termasuk pembentukan dewan-dewan masyarakat lokal untuk memberikan masukan strategi dan memastikan ijin yang bebas biaya dan diinformasikan, mendorong perubahan perilaku menuju praktik-praktik yang berkelanjutan mengembangkan keterampilan-keterampilan baru dan membangun penyelenggaraan masyarakat lokal.
32
v. Membangun prasarana penting: mengembangkan prasarana teknologi dan sistem (misalnya, informasi pasar, pasukan pemadam kebakaran, pendidikan, kesehatan) dan prasarana keras (misalnya, listrik, jalan) untuk mendukung penurunan emisi dan penghidupan yang berkelanjutan.
FT
vi. Mendukung penghidupan berkelanjutan: Mengembangkan strategi-strategi yang mendukung pertumbuhan dan menarik investasi akan peluang-peluang pertumbuhan yang telah teridentifikasi.
i. Menarik, mengelola dan mendistribusikan keuangan
Tiga fungsi terkait keuangan penting untuk keberhasilan strategi pertumbuhan rendah karbon. Pertama, penting untuk menarik pembiayaan internasional untuk menyokong inisiatif - inisiatif pengurangan emisi di Kalimantan Tengah. Kedua, model pembagian penghasilan harus ditetapkan agar dapat mengalokasi dana ke berbagai pemangku kepentingan (termasuk pemerintah tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, serta para pengembang proyek, perorangan, dan masyarakat). Ketiga, keuangan harus dikelola dan didistribusikan secara adil dan transparan.
RA
Pendanaan dari pasar-pasar karbon internasional akan memakan waktu terlalu lama untuk membantu Kalimantan Tengah menyadari tujuan penurunan emisi ambisiusnya untuk tahun 2030. Dalam jangka waktu pendek, pendanaan sementara dari sumber-sumber seperti Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), program UN-REDD, dan program-program bilateral penting untuk menyokong upaya-upaya Kalimantan Tengah untuk menciptakan kesiapan REDD-nya. Kelompok Kerja Informal untuk Pembiayaan Sementara REDD+ (IWG-IFR) menggambarkan transisi pendanaan bertahap, dengan program-program REDD pada awalnya mengandalkan bantuan untuk membangun kesiapan kelembagaan, disusul oleh pembayaran untuk penurunan emisi berdasarkan angka-angka sederhana (misalnya, angka deforestasi hutan), dan pada akhirnya beralih ke sistem pemantauan lanjut yang akan sepenuhnya didanai oleh pasar karbon internasional.
Model pembagian penghasilan spesifik perlu disempurnakan dalam koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan, yang telah menguraikan beberapa pedoman untuk proyek-proyek REDD.26 Dalam menetapkan model pembagian penghasilan, beberapa prinsip perancangan penting harus dipertimbangkan:
D
Menjamin bahwa para individu dan masyarakat lokal menerima insentif: Untuk mendukung perubahan perilaku yang diperlukan untuk keberhasilan pertumbuhan rendah karbon, penting agar para individu dan masyarakat yang terutama dipengaruhi oleh inisiatif penurunan emisi tersebut (misalnya, komunitas hutan) juga mendapatkan beberapa manfaat. Dalam Juma Sustainable Reserve di Brazil, sebagai contoh, para individu menerima pembayaran langsung berdasarkan inspeksi reguler hutan lokal (Kotak 2).27 Pembayaran tersebut harus mencakup insentif terkait dengan pengukuran berbasis masukan (misalnya, untuk membangun bendungan, menanam pohon), pengukuran berbasis kinerja (misalnya, mengurangi terjadinya kebakaran), dan pada akhirnya pengukuran berbasis hasil (terkait langsung dengan emisi gas rumah kaca atau pengganti emisi). Hal ini secara khusus penting karena sebagian besar kekuasaan pengambilan keputusan untuk alokasi lahan saat ini berada di tingkat kabupaten/ kota dan di dalam masyarakat setempat. Masyarakat setempat, desa dan kabupaten/ kota perlu untuk menerima kompensasi yang sesuai agar bersedia untuk berperan serta dalam pendekatan tingkat provinsi (yang penting untuk menghindari masalah kebocoran dan memberikan pendekatan yang lebih sesuai program untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon). Amazon Fund sebagai contoh melibatkan perwakilan dari berbagai tingkatan pemerintah dalam proses pengambilan keputusannya. 26 Pada bulan Juli 2009, Kementerian Kehutanan Indonesia mengusulkan model pembagian penghasilan dengan alokasi bergantung pada jenis kepemilikan atau ijin hutan, berkisar dari 10-50 persen untuk pemerintah, 20-70 persen untuk masyarakat lokal, dan 20-60 persen untuk para pengembang. 27 “The costs of REDD: lessons from Amazonas”, makalah briefing iied, November 2009.
33
Meletakkan pondasi untuk penghidupan yang berkelanjutan: Penting agar pembiayaan untuk penurunan emisi tidak menjadi bentuk kesejahteraan, tetapi menciptakan pondasi untuk mendukung pembangunan rendah karbon. Sebagai contoh, Juma Sustainable Reserve mengalokasikan sebagian dana untuk menyokong kegiatan-kegiatan yang membawa penghasilan berdasarkan penggunaan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan (Kotak 2).
FT
Menciptakan struktur insentif yang benar dan kerangka kerja untuk melibatkan sektor swasta: Para pengembang proyek swasta penting untuk mendukung upaya-upaya ini karena akses mereka kepada modal dan keterampilan dasar mereka yang diperlukan untuk pemantauan dan manajemen proyek rinci. Bank Dunia mengadakan lokakarya pada bulan November 2008 dengan para pengembang proyek REDD memberikan masukan tentang cara untuk mendukung kegiatan-kegiatan REDD di Indonesia. Beberapa rekomendasi mencakup penjelasan dari Pemerintah Nasional tentang letak kekuasaan untuk keputusan tentang pelaksanaan REDD, membantu untuk ‘mempercepat’ proses persetujuan untuk proyekproyek REDD, dan memberikan kejelasan apakah kredit karbon deforestasi hutan (penurunan emisi yang telah diverifikasi, atau VERs) memerlukan persetujuan Pemerintah Nasional sebelum dijual.28 Saat ini, keputusan penggunaan lahan dibagi antara Departemen Kehutanan, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat. Pemerintah provinsi dapat membantu memfasilitasi proses yang lebih terpadu dan memastikan seluruh permasalahan operatoroperator sektor swasta diselesaikan.
RA
Apabila model pembagian penghasilan telah ditetapkan, diperlukan metode alokasi dana ke berbagai penerima yang sesuai dengan standar dasar efisiensi, pengawasan fidusia, dan transparansi. Mengakui sangat pentingnya mempertahankan integritas operasi mereka, BRR Aceh menggunakan kombinasi audit internal (dilaksanakan oleh tim audit internal BRR serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), inisiatif - inisiatif anti korupsi (dilaksanakan oleh Unit Anti Korupsi BRR), audit eksternal (dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan), membuka alur keuangan kepada publik (BRR secara rutin membuka neraca keuangan Badan tersebut kepada publik sebagai contoh) serta meminta semua pegawai menandatangani “Pakta Integritas” yang memasukkan melarang pegawai menerima kompensasi apa pun di luar gaji pasar mereka yang telah disepakati.29
D
Untuk dana-dana yang diperuntukkan bagi masyarakat dan individu lokal, terdapat program distribusi keuangan yang sukses, seperti program PNPM Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang dapat diperbesar dan disempurnakan untuk mendistribusikan danadana ini (Kotak 7). Dana-dana pada awalnya dapat dialokasikan di tingkat masyarakat tetapi secara bertahap berevolusi dan dialokasikan untuk individu, serupa dengan Juma Sustainable Development Reserve di Brazil. Prinsip-prinsip pedoman untuk keuangan: 1. Menjamin bahwa para individu dan masyarakat lokal menerima insentif melalui pembayaran untuk skema kinerja. 2. Meletakkan pondasi untuk penghidupan yang berkelanjutan (tidak semata-mata menyediakan manfaat kesejahteraan jangka pendek). 3. Menjamin transparansi dan integritas untuk menjamin kembali donor, sektor swasta dan masyarakat (misalnya audit independen, pakta integritas pegawai, kompensasi berbasis pasar, akuntansi publik / sistem inventarisasi).
4. Mengembangkan pendekatan kolaboratif terhadap pengambilan keputusan termasuk
28 “Report on Implementation of a Learning Workshop: Developing a Market for REDD in Indonesia,” Bank Dunia, Januari 2009. 29 “Finance – Seven Keys to Effective Aid Management”, BRR NAD-NIAS, April 2009.
34
para pemangku kepentingan nasional, provinsi, kabupaten/kota dan masyarakat (misalnya, representatif-representatif dari masing-masing kelompok dalam komite pengendali). 5. Menetapkan aturan dasar dan insentif yang jelas untuk keterlibatan sektor swasta.
Kotak 6: Amazon Fund di Brazil
FT
Amazon Fund, dibentuk pada bulan Agustus 2008 oleh Pemerintah Brazil, bertujuan untuk memobilisasi pendanaan internasional untuk memberantas deforestasi hutan dan mendukung konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari. Amazon Fund beroperasi atas dasar donasi, mengumpulkan uang atas dasar deforestasi hutan yang berhasil dihindari tahun lalu. Kinerja ini dinilai terhadap tingkat deforestasi hutan rata-rata yang berubah-ubah, disesuaikan setiap lima tahun. Komite Teknis dengan enam ilmuwan terkemuka menjamin penurunan emisi yang dinyatakan.
RA
Dikelola oleh BNDES, Bank Pembangunan Nasional Ekonomi dan Sosial, bantuan dana untuk proyek-proyek yang membantu mencegah deforestasi hutan, serta membantu konservasi dan penggunaan bioma Amazon secara lestari. Alokasi pendanaan ditetapkan oleh komite yang terdiri atas beberapa pemangku kepentingan yang diatur dalam sistem tiga kamar dengan perwakilanperwakilan pemerintah daerah, departemen-departemen nasional, dan masyarakat sipil (termasuk masyarakat pribumi, masyarakat adapt, LSM, industri dan ilmuwan). Keputusan diambil dengan suara positif dari ketiga kamar.
Kotak 7: PNPM Indonesia
D
Mengikuti gerakan untuk mendesentralisasi pemerintahan ke tingkat kabupaten/kota, program PNPM dikembangkan dengan tujuan mengurangi kemisinan sementara memperbaiki pemerintahan tingkat lokal dengan menggunakan proses perencanaan partisipatif. Awalnya dikembangkan oleh Bank Dunia, dan saat ini dijalankan oleh badan perencanaan pembangunan nasional (Bappenas), program PNPM mendukung proses pengambilan keputusan masyarakat melalui perencanaan terbuka, dengan memberikan bantuan kepada masyarakat lokal, yang kemudian memilih program-program yang akan didanai untuk mengurangi kemiskinan. PNPM baru-baru ini diperluas agar mencakup pemberian dana untuk kegiatan-kegiatan sensitif lingkungan (misalnya, reboisasi). Program tersebut saat ini beroperasi di hampir 3.000 dari 4.700 kecamatan di Indonesia, dan telah mengalokasikan atau mencairkan lebih dari USD 200 juta dalam bentuk bantuan, dan diterima secara luas sebagai model praktik terbaik dalam memperkuat pemerintahan di tingkat akar rumput .
ii. Menyediakan bantuan teknis Unit bantuan teknis diperlukan untuk mengembangkan sistem-sistem MRV dasar, yang mencakup penyempurnaan awal skenario emisi provinsi tanpa tindakan pengurangan, menetapkan angkaangka dasar (seperti angka penurunan deforestasi hutan) untuk menilai upaya-upaya penurunan, dan mengembangkan sistem-sistem untuk memantau dampak. Amazon Fund di Brazil sebagai contoh, mengumpulkan uang atas dasar penurunan angka deforestasi hutan yang dicapai di tahun sebelumnya. Kinerja ini dinilai terhadap tingkat deforestasi hutan rata-rata yang berubah-ubah dan dinyatakan oleh Komite Teknis yang terdiri atas para ilmuwan terkemuka (Kotak 6).30
30 “Radical simplicity in designing national climate institutions: Lessons from the Amazon Fund”, Desember 2009 (Simon Zadek, Maya Forstater, Fernanda Polacow dan João Boffino).
35
Saat ini, terdapat sejumlah metodologi berbeda yang dikembangkan untuk proyek-proyek karbon individu di Kalimantan Tengah. Untuk menurunkan biaya transaksi dan meningkatkan kemungkinan proyek-proyek karbon menarik pembayaran pasar karbon internasional untuk penurunan dan penghapusan emisi yang telah teruji, penting agar pemerintah menggunakan metodologi yang telah teruji secara mandiri dan menetapkan pendekatan tingkat provinsi (dibangun di atas pekerjaan terakhir Clinton Foundation di Kalimantan Tengah). Prinsip-prinsip pedoman untuk bantuan teknis:
FT
1. Biaya transaksi proyek-proyek karbon yang lebih rendah dengan menetapkan serangkaian metodologi proyek penurunan emisi tingkat provinsi.
2. Secara bertahap mengembangkan pendekatan-pendekatan pengukuran yang sesuai dengan kemampuan (misalnya, mulai dengan angka-angka dasar untuk menilai upaya-upaya penurunan).
iii. Mengembangkan kebijakan dan perencanaan tata ruang
RA
Isu-isu pengaturan yang terpenting adalah menyelesaikan perselisihan terkait kepemilikan lahan dan hak atas tanah dan mengoptimalkan alokasi penggunaan lahan melalui perencanaan tata ruang. Studi oleh Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan bahwa hutan-hutan Kalimantan Tengah dikonversikan menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit dengan angka tercepat di Indonesia. Peningkatan tahunan saat ini sebesar 70.000 hektar menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan kelapa sawit akan tumbuh sampai sekitar 2,3 juta hektar pada tahun 2030, sementara terdapat sekitar 6,4 juta hektar lahan rusak yang mungkin tersedia yang dapat lebih dari mengakomodasi pertumbuhan ini dan meminimalisir tekanan pada hutan-hutan Kalimantan Tengah yang lenyap. Alasan utama lahan-lahan ini tidak digunakan untuk penanaman saat ini adalah isu-isu kepemilihan lahan dan sosial yang tidak pasti di wilayah-wilayah ini. Mengutip pernyataan seorang eksekutif kelapa sawit, berusaha menanami lahan-lahan ini menjadi “mimpi buruk hukum” oleh karena ketidakpastian terkait dengan kepemilikan lahan.
D
Karena isu-isu kepemilikan lahan yang bersifat lintas yurisdiksi dan perencanaan tata ruang, kolaborasi antara pemerintah nasional dan kabupaten/kota menjadi penting. Di samping itu, setiap kolaborasi perlu didukung oleh analisis teknis rinci, yang dapat memberikan penilaian akurat alokasi lahan saat ini dan menilai potensi manfaat ekonomi menggunakan jenis-jenis lahan untuk berbagai kegiatan untuk menginformasikan perencanaan ruang (Kotak 8). Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem pemberian hak atas tanah untuk mendaftar akta dan wilayah peta. Meskipun teknologi merupakan hal penting untuk proses ini, pengalaman di berbagai negara menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah dan perencanaan tata ruang campuran yang rumit, permasalahan historis, sosial, ekonomi, juga politik, dengan demikian penting untuk membangun dukungan masyarakat yang erat untuk mendukung inisiatifinisiatif ini. Inisiatif-inisiatif ini perlu dihubungkan dengan pendekatan keterlibatan masyarakat yang menjalankan pemetaan lahan berbasis masyarakat dan penyelesaian lahan, mengembangkan kapasitas kelembagaan di tingkat lokal, menjammin proses dilakukan secara adil dan transparan, dan secara jelas menyampaikan manfaat-manfaatnya ke masyarakat lokal. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga perlu diperkuat dan diperluas, sehingga tidak menjadi “stempel karet” melainkan memberikan pertimbangan yang cermat atas masalah-masalah lingkungan hidup sebelum ijin-ijin dikeluarkan, dan diperluas agar mencakup fokus khusus pada emisi karbon dan lahan gambut. Prinsip-prinsip pedoman untuk kebijakan dan perencanaan: Menjamin koordinasi berbagai pemangku kepentingan (khususnya masyarakat lokal) dalam mengembangkan pendekatan untuk perencanaan tata ruang dan pemberian hak atas tanah.
36
Memasukkan teknologi agar dapat menilai dengan tepat biaya dan manfaat ekonomi dari keputusan-keputusan alokasi lahan. Menjamin kemudahan akses terhadap informasi pemberian hak atas tanah (misalnya daftar tanah tunggal yang tersedia untuk publik).
FT
Menyempurnakan dan memperluas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk memberikan analisis terhadap masalah-masalah lingkungan hidup yang lebih cermat dan memasukkan fokus khusus pada emisi karbon dan lahan gambut.
Kotak 8: Program Karbon Hutan Berau (Kalimantan Timur)
Program Karbon Hutan Berau di Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) telah ditetapkan sebagai proyek demonstrasi untuk menurunkan emisi dari penebangan pohon dan pengrusakan hutan (REDD). Sampai dengan tahun 2015, program diharapkan mencapai pengelolaan efektif 800.000 hektar hutan, mencegah emisi karbon sebesar 10 MtCO2e dalam lima tahun, melindungi lahan dengan kondisi hidrologis yang penting dan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (mencakup 1.500 orangutan), dan meningkatkan peluang ekonomi bagi penduduk yang tinggal di dekat hutan.
RA
Didukung oleh The Nature Conservancy (TNC), fase saat ini berinvestasi besar pada perencanaan dan kesiapan ruang. TNC bekerja bersama ICRAF, Daemeter Consulting, Universitas Mulawarman, dan instansi/lembaga lainnya untuk mengembangkan serangkaian data rinci tentang stok karbon, profitabilitas berbagai penggunaan lahan, wilayah-wilayah dengan nilai konservasi tinggi, dan masukan-masukan penting lain untuk perencanaan REDD. TNC juga bekerja bersama University of Queensland untuk memodifikasi perangkat lunak konservasi yang mengijinkan pengguna untuk memasukkan data dan karakteristik ruang dan menghasilkan solusi penurunan emisi yang optimal (berbiaya paling rendah) dengan serangkaian target pembangunan yang berkelanjutan.
iv. Meningkatkan keterlibatan masyarakat
D
Dasar untuk mengembangkan dan mengimplementasikan strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah dimana pemerintah dan badan-badannya melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan. Berbagai tipe organisasi, baik badan pemetintah, perusahaan nirlaba atau swasta, telah menerjunkan program-program yang mengikutsertakan masyarakat di Kalimantan Tengah, termasuk BAPPEDA, Ex-Mega Rice Project, Clinton Foundation, RARE, JP Morgan, dan Proyek Konservasi Gambut Katingan.
Ketika sebagian besar program ini telah mengembangkan proyek dengan model keterlibatan tertentu, organisasi lainnya seperti Kalimantan Gold, sebuah perusahaan pertambangan swasta, telah memanfaatkan dan meningkatkan proses musrenbang pemerintah yang ada. Proses musrenbang adalah proses pembangunan dengan keterlibatan masyarakat dari bawah ke atas dimana tiap desa menunjukkan prioritas pembangunannya dan memasukkannya ke kabupaten. Hal tersebut kemudian digulirkan ke dalam rencana kabupaten, yang dimasukkan ke pemerintah provinsi untuk mendapatkan pendanaan. Yayasan Tambuhak Sinta, sebuah LSM yang didirikan oleh Kalimantan Gold yang bertujuan memastikan masyarakat setempat menjadi penerima utama aktivitas tambangnya, telah memfokuskan upayanya dalam meningkatkan tata kelola dalam masyarakat tersebut. Yayasan tersebut membantu dalam rencana pembangunan desa, yang berfungsi sebagai bagian inti dari keseluruhan proses. Yayasan tersebut juga membantu dalam penunjukkan dan pelatihan kelompok pengelola desa untuk mengawasi proses perencanaan dan partisipasi dan juga membantu dalam menentukan kebutuhan spesifik dan kemampuan teknis yang dibutuhkan tiap desa. Kebutuhan tersebut dicapai melalui program pelatihan spesifik dan dari para ahli yang dibawa oleh Yayasan tersebut. Kompensasi manajemen, ongkos pelatihan dan
37
ongkos pragmatis lainnya dibayar melalui Dana Pembangunan Desa yang dibentuk dari dukungan tiap anggota masyarakat. Hal ini untuk menambah lebih jauh lagi dana yang disediakan kepada tiap anggota masyarakat melalui proses musrenbang. Pada saat ini program tersebut mencakup lebih dari 30 desa di dalam dan sekitar kawasan konsesi pertambangan Kalimantan Gold.
FT
Salah satu contoh program peningkatan keterlibatan masyarakat yang ada dan program pengembangan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan adalah program PNPM yang dikelola oleh BAPPENAS (Lihat Kotak 7). Baru-baru ini, melalui bantuan teknis yang disediakan Bank Dunia, PNPM telah menciptakan seperangkat dana terpisah yang diperuntukkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam dan skema energi terbaharukan. Program yang bernama PNPM Hijau, baru-baru ini menjadi program percontohan di Sulawesi yang direncanakan untuk diperluas ke seluruh kecamatan dimana PNPM saat ini telah beroperasi. Komponen besar pendanaan PNPM hijau saat ini sedang diterjunkan untuk mendukung kelistrikan desa melalui pembangunan pembangkit tenaga mini-hidro.
RA
Proses untuk melibatkan masyarakat setempat harus dikembangkan, termasuk pembentukan dewan masyarakat setempat untuk memberikan masukkan ke dalam strategi dan memastikan keputusan persetujuan yang tanpa paksaan dan berdasarkan informasi yang sudah disediakan. Program Mamangun Mahaga Lewu (PM2L), yang bertujuan untuk memperkuat institusi desa dan mendorong pembangunan berbasis masyarakat, memberikan program yang berguna yang dapat diperluas (Kotak 9).
Kotak 9: Program Mamangun Mahaga Lewu (PM2L) Gubernur Kalimantan Tengah telah memprakarsai program pemberantasan kemiskinan lima tahun yang disebut Program Mamangun dan Mahaga Lewu – Program untuk Pembangunan dan Pemeliharaan Desa (2006–2010). Program ini bertujuan untuk menciptakan desa contoh dengan kapasitas untuk melakukan pembangunan berkelanjutan mereka sendiri. Program berfokus pada pengembangan kapasitas institusi dan manusia lokal dan melibatkan masyarakat lokal dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pemantauan strategi-strategi pembangunan yang baru.
D
Keterlibatan masyarakat perlu didukung oleh rencana yang jelas untuk mendorong perubahan perilaku menjadi praktik-praktik yang berkelanjutan. Memperkenalkan metode-metode baru pertanian ramah lingkungan, misalnya, akan sangat menantang. Namun demikian, terdapat beberapa proyek yang menjanjikan, seperti Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (Kotak 10) yang telah berjalan di Kalimantan Tengah, yang dapat memberikan masukan kepada program tingkat provinsi. Prinsip-prinsip pedoman untuk keterlibatan masyarakat: 1. Menjamin free and prior informed consent (FPIC)/persetujuan dengan pemberitahuan awal dan bebas - FPIC dari masyarakat lokal yang berperan serta dalam proyek-proyek penurunan emisi karbon. 2. Memperkuat institusi-institusi desa untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk terlibat dan mengambil manfaat dari proyek-proyek penurunan emisi karbon (misalnya, para fasilitator masyarakat untuk mendukung pengembangan kapasitas lokal). 3. Mendukung program-program yang melibatkan masyarakat yang ada apabila mungkin. Beberapa program peran serta masyarakat seperti musrenbang dan program PNPM memiliki prasarana peran serta masyarakat signifikan yang telah disebarkan di berbagai desa dan masyarakat lintas Kalimantan Tengah. Sementara terdapat berbagai fokus dan model keterlibatan masyarakat, program-program tersebut menawarkan peluang awal untuk
38
mengikutsertakan keterlibatan para pemangku kepentingan penting dalam pengembangan rencana pelaksanaan.
Kotak 10: Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (Kalimantan Forest and Climate Partnership - KFCP)
FT
KFCP adalah kemitraan bernilai AUD 30 juta antara pemerintah Australia dan Indonesia, yang bertujuan untuk mendemonstrasikan pendekatan yang dapat dipercaya dan bijaksana terhadap REDD, melestarikan 60.000 hektar rawa gambut dan menurunkan emisi gas rumah kaca sampai dengan 40.000 hektar dari lahan gambut yang rusak di Kalimantan Tengah. Sebagai bagian dari upaya keterlibatan masyarakatnya, 10 fasilitator desa akan mendukung pengembangan kapasitas bagi koperasi petani, kelompok pengguna air, dan institusi tingkat desa lainnya. Sampai dengan saat ini, para fasilitator telah mengadakan konsultasi dengan para pemimpin masyarakat dan mengadakan survei garis dasar sosial ekonomi dan penilaian penghidupan.
RA
KFCP juga akan mendukung pengembangan pengaturan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat mengambil tanggung jawab atas REDD di tingkat lokal. Insentif untuk kegiatankegiatan REDD akan mencakup pembayaran berbasis masukan (misalnya, untuk membangun bendungan, menanam pohon), pembayaran berbasis kinerja (misalnya, untuk melindungi hutan dari pelanggaran, mengurangi terjadinya dan luasnya kebakaran) dan pada akhirnya pembayaran berbasis hasil (yaitu, terkait dengan penurunan emisi gas rumah kaca yang dapat diuji). Pembayaran insentif akan didanai oleh KFCP melalui dana perwalian independen.
v. Membangun prasarana penting
Dua jenis pembangunan prasarana penting untuk mendukung pengurangan karbon dan pengembangan penghidupan yang berkelanjutan. Pertama, prasarana teknologi dan sistem (misalnya, akses yang lebih baik kepada sistem informasi pasar dalam sektor pertanian, pendidikan dan pengawasan kebakaran) yang perlu dikembangkan. Kedua, prasarana keras seperti listrik dan jalan yang perlu ditambah.
D
Terdapat beberapa tantangan khusus yang harus diatasi: 1. Pendidikan: Meskipun tingkat kebutahurufan relatif rendah (3,0 persen dari penduduk Kalimantan Tengah adalah buta huruf dibanding 7,3 persen secara nasional), hasil pendidikan masih rendah. Sebagai contoh, Kalimantan Tengah memiliki angka terendah kelima pada ujian nasional sekolah menengah di antara provinsi-provinsi di Indonesia. Kesenjangan dalam kualitas pengajar dan kurangnya akses ke sekolah menengah nampaknya menjadi isu-isu utama. Kurang dari dua pertiga pengajar sekolah menengah memiliki kualifikasi mengajar (angka terendah kelima di antara provinsi-provinsi di Indonesia). Sementara fasilitas-fasilitas sekolah dasar sewajarnya tersebar lintas provinsi dan angka kelulusan sekolah dasar relatif bagus, apakah anak melanjutkan ke pendidikan menengah atau tidak sangat bergantung pada tingkat pemasukan keluarganya dan jarak ke sekolah. Tingkat pendidikan yang semakin baik penting dapat dilakukan transformasi ke jalur pertumbuhan rendah karbon. Terdapat beberapa pembelajaran yang menarik dari negara-negara dan provinsi-provinsi lain yang dapat diterapkan di Kalimantan Tengah. Cili, sebagai contoh, telah menciptakan program dengan gengsi tinggi (Teach for Chile), mengikuti model-model yang berhasil digunakan di Inggris dan Amerika Serikat untuk mendorong individu berkaliber tinggi untuk menjadi pengajar. Menyadari akan pentingnya kepemimpinan dalam mentransformasi hasil pendidikan, BRR Aceh meluncurkan program magang untuk mendapatkan kepala sekolah menengah pertama dan kepala sekolah menengah atas di Aceh selama satu bulan di sekolah-sekolah terbaik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan
39
Malang.31 Program Transfer Tunai berkondisi Brazil (Brazilian Conditional Cash Transfer Program) (Bolsa Familia) juga telah terbukti berhasil mengurangi kemiskinan dengan memperkenalkan kondisi-kondisi terkait dengan pembayaran bantuan (misalnya, mewajibkan 85 persen kehadiran di sekolah untuk anak-anak usia sampai dengan 15 tahun). Menghubungkan pembayaran masyarakat lokal dengan sasaran-sasaran pembangunan seperti pendidikan dan kesehatan dapat juga membantu mendukung perubahan perilaku.
FT
2. Perawatan Kesehatan: Akses terhadap perawatan kesehatan sulit di banyak bagian dari provinsi. Di dalam wilayah Proyek eks-Mega Rice contohnya, sekitar setengah dari penduduk desa melaporkan kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.32 Klinik-klinik kesehatan keliling, yang telah terbukti efektif dalam memberikan akses kepada perawatan kesehatan di daerah-daerah terpencil di negara-negara lain, dapat digunakan di Kalimantan Tengah. Peningkatan cakupan perawatan kesehatan di Brasil sampai kurang lebih 66 juta penduduk (sekitar 40 persen dari penduduknya tahun 2004) dengan pada awalnya mengerahkan unitunit keliling sebagai bagian dari program kesehatan keluarganya.
RA
3. Listrik: Kurangnya akses terhadap suplai listrik yang dapat diandalkan adalah satu dari masalah-masalah penting yang diangkat oleh sektor swasta dan rumah tangga di Kalimantan Tengah. Kurang dari dua pertiga rumah tangga memiliki akses kepada listrik dari penyedia listrik negara PLN, dan mati listrik relatif sering terjadi. Kedepannya, di samping menggunakan pendekatan yang lebih rumit terhadap kebocoran muatan, penting untuk melibatkan PLN dan penyedia listrik sektor swasta dalam dialog untuk memastikan bahwa pengembangan suplai listrik berkaitan erat dengan lintasan pembangunan provinsi.
D
4. Prasarana transportasi: Prasarana transportasi juga merupakan masalah, terutama jalan, dengan hampir 40 persen jalan dinilai dalam kondisi buruk, Kalimantan Tengah memiliki tingkat kepadatan jalan terendah kelima (berdasarkan wilayah) di antara provinsi-provinsi di Indonesia. Karena investasi yang besar yang diperlukan untuk meningkatkan prasarana provinsi, penting untuk memprioritaskan investasi-investasi masa mendatang. Negaranegara seperti Australia dan Singapura telah membentuk badan-badan gabungan publikswasta untuk mengembangkan rencana-rencana prasarana jangka panjang terpadu untuk yang memprioritaskan investasi-investasi dan memberikan pengawasan efektif terhadap pelaksanaan. Badan tersebut mungkin berguna di Kalimantan Tengah untuk memprioritaskan investasi-investasi prasarana menurut kebutuhan sektor swasta dan lokal. Salah satu upaya rekonstruksi Aceh sebagai contoh, para penduduk desa bersama-sama memprioritaskan bagaimana menghabiskan bantuan yang datang, dan dengan bantuan fasilitator desa, bertanggung jawab terhadap dana bantuan tersebut dan mengawasi penggunaannya.33 Prasarana juga harus dikembangkan sesuai dengan rencana-rencana tata ruang yang telah direvisi untuk memastikan diringankannya dampak-dampak lingkungan. Penting pula untuk membatasi korupsi yang lazimnya terkait dengan proyek-proyek prasarana berskala besar. Selama upaya rekonstruksi pasca tsunami berskala besar di Aceh sebagai contoh, BRR memperkenalkan serangkaian langkah untuk menjamin integritas proses, termasuk mengisolasi komite pengadaan dari kontak apa pun dengan peserta tender, serta melakukan pengawasan ketat dari institusi-institusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan.34 Prinsip-prinsip pedoman untuk prasarana yang sangat penting: 1. Melibatkan sektor swasta dan masyarakat lokal untuk memprioritaskan investasi-investasi prasarana. 2. Membatasi jejak lingkungan (termasuk emisi karbon) dari pembangunan prasarana baru. 3. Mempertahankan transparansi dan integritas dalam pengadaan prasarana melalui audit 31 “Education Health Women Empowerment – Preparing Quality Generation”, BRR NAD-NIAS, April 2009. 32 Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Proyek Mega Rice Kalimantan Tengah, Oktober 2008. 33 “10 Pembelajaran Manajemen bagi Pemerintah Tuan Rumah Mengkoordinasi Rekonstruksi Pasca Bencana”, BRR NAD-Nias, 2009. 34 “Infrastructure – Stimulating the Triggering Sector”, BRR NAD-NIAS, April 2009.
40
internal dan eksternal, dan memperkenalkan mekanisme-mekanisme untuk menjamin integritas para pejabat pengadaan. 4. Memasukkan rencana-rencana untuk memperbaiki layanan sosial penting (misalnya perawatan kesehatan) yang mendukung pembangunan ekonomi.
vi. Mendukung penghidupan yang berkelanjutan
FT
Untuk mengalihkan Kalimantan Tengah ke jalur pembangunan rendah karbon, penting agar peluang-peluang pertumbuhan prioritas yang diidentifikasi di awal (dalam Bagian 3) direalisasikan. Dalam koordinasi dengan BKPM, kelompok-kelompok kerja tingkat sektor publik-swasta akan perlu dibentuk untuk mengembangkan rencana-rencana aksi rinci untuk meningkatkan pertumbuhan dan menarik investasi di setiap sektor. Sumber daya-sumber daya BKPM juga akan perlu ditingkatkan dan diselaraskan lebih dekat dengan prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi. Prinsip-prinsip pedoman untuk penghidupan yang berkelanjutan:
1. Melibatkan sektor swasta dalam proses untuk mengembangkan dan melaksanakan strategistrategi untuk mencapai prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi.
RA
2. Memperkuat fungsi-fungsi peningkatan investasi penting, khususnya penyusunan petunjuk proaktif, layanan dan purna layanan investor, dan memastikan fungsi-fungsi tersebut selaras dengan prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi.
6. Pendanaan yang diperlukan dan sumbersumber potensial
D
Kalimantan Tengah akan memerlukan dukungan internasional jangka pendek yang signifikan untuk menyukseskan rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon (Gambar 9).35 Pada tahun pertama, antara USD 143 sampai dengan 236 juta akan diperlukan untuk menetapkan fungsi-fungsi kesiapan dasar untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Dari tahun 2011-2030, biaya operasional terus-menerus meningkat dan akan mencapai antara USD 0.77 milyar dan 1.32 milyar di tahun 2030, dengan asumsi seluruh potensi pengurangan sebesar 282 Mt CO2e berhasil dicapai. Walaupun keseluruhan kebutuhan dana merupakan hal yang substansial, biaya per tCO2e terkurang relatif rendah. Sebagai contoh, di tahun 2030, total biaya pengurangan per tCO2e terkurang (termasuk biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 2.40 dan 3.90. Sebaliknya, Kurva Biaya Global McKinsey mengestimasi biaya teknis globalnya saja (mis. terlepas dari biaya pelaksanaan) akan berkisar antara USD 3.75 per tCO2e terkurang.36 Estimasi awal menunjukkan bahwa tanpa dukungan finansial atau sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi, langkah-langkah pengurangan karbon ini dapat mengurangi penghasilan riil per kapita pada tahun 2030 sampai lebih dari 10 persen di Kalimantan Tengah, karena kelambanan sektor-sektor yang menghasilkan karbon dan biaya-biaya pelaksanaan.37 Apabila ada dukungan keuangan yang cukup dan diasumsikan berhasil diambilnya peluang pertumbuhan sektor baru, maka penghasilan rata-rata (riil per kapita pada tahun 2030 di Kalimantan Tengah, dapat ditingkatkan menjadi sekitar 13 sampai 17 persen di atas kasus dasar (Lampiran 10).38
35 Lampiran 5 memberikan tinjauan terhadap metodologi yang digunakan untuk memperkirakan biaya pengurangan. 36 Kurva Biaya Global McKinsey memperkirakan biaya peluang global sebesar EUR 3 per tCO2e, yang telah dikonversikan ke USD pada nilai tukar 1.25 USD per EUR (nilai tukar pada tahun 2005). 37 Biaya pelaksanaan hanya mencakup biaya khusus untuk peluang pengurangan (mis. Pemadam kebaran) dan tidak mencakup biaya faktor pendukung-pendukung kelembagaan spesifik untuk non-pengurangan. 38 Lampiran 6 memberikan tinjauan atas metodologi yang digunakan untuk memperkirakan dampak ekonomi
41
Total perkiraan kesiapan dasar dan biaya pelaksanaan tahunan
Kotak 9 APPROXIMATION
USD juta per tahun (2010-2030)
Estimasi secara agresif Estimasi secara konservatif Tahun 1 (2010): Kesiapan dasar 181
2011-2030: Biaya pelaksanaan tahunan 236
343
788
115 55
143
Kesiapan institusi
• Menentuk Contoh inisiatif
an unit penyamp aian
• Mengisi
• Melatih
• MRV baseline • Menentukan
model revenue sharing
• Mekanisme
Kesiapan institusi
Spesifik Total biaya biaya Pemerintah pengurangan • Kesadaran • Pemadam masyarakat kebakaran
Enabler penting
pejabat pemerintah
• Layanan
kelanjutan
• Kompensasi
untuk merelokasi pemilik lahan • Perencanaan ke lahan baru tata ruamg
• Usia lahan
penyampaian finansial
RA
posisi penting
Total biaya Pemerintah
Enabler penting
777
420
27 14
28
1,317
FT
502
SOURCE: Team analysis
Kotak 10
Dengan dukungan finansial yang dibutuhkan, rata-rata pendapatan akan lebih tinggi 13-17 persen dibandingkan base case VERY PRELIMINARY - TO BE REFINED
D
GDP real per kapita Rupiah 0001, konstan 2000
5,800
15,300-15,800 13,500
1,600
+13-17%
1,800-2,300 11,900
1,600
7,700
2006
Pendapatan 2030 baseline tambahan pada trend case historis
Biaya spesifik pengurangan2
2030 case tanpa dukungan finansial
1 Dibulatkan ke paling mendekati 100,000 rupiah 2 Tidak termasuk biaya langkah penting dan termasuk kisaran tinggi biaya spesifik pengurangan SOURCE: Indonesia Bureau of Statistics; Team analysis
Pendapatan tambahan dengan dukungan finansial dan pertumbuhan sektor baru
2030 case dengan dukungan finansial dan peluang pertumbuhan baru
42
7. Pendekatan pelaksanaan Dengan transformasi signifikan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan rendah karbon, diusulkan pendekatan bertahap (Gambar 11).
FT
Fase 1 – Menetapkan strategi pertumbuhan rendah karbon (Sep 2009 – Feb 2010): Mengembangkan strategi pertumbuhan rendah karbon (sebagaimana diringkas dalam laporan ini) yang mengidentifikasi peluang besar untuk pengurangan dan pertumbuhan sektor baru, tindakantindakan penting yang diperlukan agar berhasil, dan estimasi biaya terkait.
RA
Fase 2 – Mengembangkan struktur-struktur kesiapan dasar (Mar 2010 – Des 2010): Mengembangkan arsitektur dasar yang diperlukan untuk menarik pembiayaan internasional dan mendukung pertumbuhan rendah karbon. Hal ini mencakup memfinalisasi desain organisasi unit pelaksana rendah karbon (termasuk melaksanakan proses-proses pelaporan dan pengambilan keputusan), mengisi posisi-posisi pimpinan yang kosong, mengidentifikasi dan memperoleh pendanaan siaga, menetapkan rencana pelaksanaan dan indikator-indikator kinerja utama untuk pengembangan strategi pertumbuhan rendah karbon (termasuk pilihan proyek percontohan Fase 3), dan mulai membangun pendukung-pendukung penting seperti mekanisme-mekanisme pelaksanaan keuangan dan metodologi MRV. Fase 3 – Inisiatif-inisiatif pertumbuhan rendah karbon (Jan 2011–Des 2011): Meluncurkan program percontohan awal untuk mendukung pendekatan terhadap pertumbuhan rendah karbon yang meletakkan fokus pada peluang-peluang prioritas untuk pengurangan dan sektor-sektor pertumbuhan baru. Dengan tujuan yang secara ekstensif saling melengkapi dan analisis rinci yang telah diselesaikan, Proyek Eks-Mega Rice (EMRP) memiliki potensi menjadi pilihan logis
Implementasi akan mengikuti pendekatan bertahap
Strategi pertumbuhan karbon rendah
D
Kotak 11
Dana kesiapan
Tahap 1: Sep–Des 2009
Menyusun strategi pertumbuhan karbon rendah yang mengidentifikasi: • Peluang pengurangan besar di Kalimantan Tengah • Peluang meningkatkan penghidupan berkelanjutan • Langkah-langkah penting
Implementasi kesiapan dasar Tahap 2: Jan–Jun 2010
Dana kesiapan tambahan
Pembiaya an interim
Tahap 2a (Jan–Jun 2010) • Memfinalisasikan rancangan organisasi • Posisi staf tersisa • Menyusun rencana implementasi terperinci dan KPI • Mengidentifikasi sumber pendanaan
Tahap 2b (Juli–Des 2010) • Mengembangkan sistem MRV dasar, termasuk baseline propinsi • Mengembangkan mekanisme distribusi keuangan • Memfinalisasikan mekanisme keterlibatan masyarakat • Melaksanakan inisiatif pengurangan yang “telah tercapai”
strategi pertumbuhan rendah karbon.
Tahap saat ini
Pilot pertumbuhan karbon rendah Tahap 3: Jan–Des 2011 Melaksanakan program pilot segera setelah program kesiapan selesai (cth: Ex-Mega Rice Project) Melanjutkan pelaksanaan inisiatif pengurangan yang “telah tercapai”
43
untuk percontohan (Kotak 10). Proyek ini memiliki keuntungan tambahan bahwa Presiden telah memberikan Gubernur kekuasaan legislatif atas wilayah ini (yang lazimnya merupakan bidang baik pemerintah kabupaten/kota maupun nasional).
D
RA
FT
Menyusul percontohan dan tinjauan pelajaran-pelajaran yang diperoleh, digambarkan bahwa akan terdapat pembangunan progresif percontohan-percontohan lain di tahun 2012, dengan kemungkinan transisi menjadi pendekatan tingkat provinsi pada tahun 2013.
FT
RA
D 44
45
Lampiran
FT
A1. Perkiraan emisi gas rumah kaca
Perkiraan emisi GRK tahunan Indonesia dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, bergantung pada beberapa sektor yang termasuk atau tidak termasuk (contoh: emisi dari lahan gambut), metodologi yang diterapkan (contoh: emisi netto vs emisi bruto dari deforestasi hutan) dan tahun yang dipilih sebagai acuan. Mengingat bobot kebakaran lahan gambut dalam emisi Kalimantan Tengah, sebagai contoh, total emisi dapat bervariasi setiap tahunnya berdasarkan frekuensi terjadinya kebakaran.
RA
Suatu metodologi yang secara konsisten digunakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam laporan internal 2009 mengenai emisi Indonesia, telah digunakan untuk memperkirakan tingkat emisi provinsi. Sesuai dengan laporan sementara tahun 2009 oleh DNPI, metodologi yang digunakan untuk mengestimasi emisi tingkat provinsi Kalimantan Tengah selaras dengan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovermental Panel on Climate Change – IPCC). Komponen-komponen utama pendekatan ini terdiri atas:
1. Keberadaan emisi di tujuh sektor. Emisi diperkirakan terjadi di tujuh sektor berbeda termasuk: LULUCF, pertanian, kelistrikan, transportasi, bangunan, industri semen, dan lahan gambut.
D
2. Penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan secara meluas terkait dengan emisi. Emisi diperkirakan terjadi dari LULUCF dan lahan gambut termasuk deforestasi dan pengrusakan hutan, kebakaran lahan gambut dan dekomposisi gambut. Meski terdapat ketidakpastian ilmiah mengenai dekomposisi gambut, saat ini telah ada suatu konsensus dalam literatur yang lebih ilmiah, bahwa dekomposisi merupakan faktor penting dan termasuk sumber emisi yang besar. 3. Penggunaan emisi net untuk LULUCF. Emisi yang diperkirakan dari LULUCF dilaporkan sebagai emisi netto, yaitu kehilangan karbon diukur langsung dari proses deforestasi hutan, perusakan dan kebakaran hutan, serta disesuaikan untuk pertumbuhan kembali hutan alam sekunder, mengelola hutan setelah masa panen dan upaya aforestasi dan reboisasi. 4. Rata-rata pendekatan tahunan terhadap emisi lahan gambut. Kebakaran gambut merupakan sumber terbesar emisi, namun tingkatnya beragam tergantung curah hujan tahunan di berbagai belahan Indonesia. Pendekatan serupa yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam Komunikasi Nasional Kedua (2009), menggambarkan perkiraan emisi kebakaran gambut yang dipublikasikan oleh Van Der Werf et.al. (2008). Namun demikian, oleh karena laporan ini menggunakan rata-rata tahun 2000 hingga 2006, maka perkiraan tersebut agak beragam bila dibandingkan dengan tahun-tahun tertentu selama periode tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup hanya menggunakan tahun 2000 dalam perkiraan ini). Sebagian besar emisi di Kalimantan Tengah berasal dari LULUCF dan gambut. Rincian proyeksi emisi di tiap kategori, berikut asumsi yang ada ditampilkan pada Gambar A1-4.
46
Metodologi IPCC
FT
Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dibentuk oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Program – UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO), adalah badan penasihat ilmiah PBB yang menerbitkan laporan-laporan tentang pengetahuan dan ekonomi perubahan iklim untuk memberikan dasar fakta yang rinci kepada para pembuat kebijakan dan para juru runding. Salah satu kegiatannya adalah untuk mendukung Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) melalui upayanya mengembangkan metodologi-metodologi untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (National Greenhouse Gas Inventories), yang diterbitkannya dalam bentuk pedoman rinci. DNPI mengandalkan pedoman pelaporan emisi nasional IPCC dan panduan praktik yang baik untuk menghitung profil emisi Indonesia. Pedoman IPCC memberikan tiga tingkat metodologi, yang berbeda dalam hal kompleksitas, untuk dipilih berdasarkan kondisi nasional (Annex 1 vs nonAnnex 1) dan ketersediaan data.
RA
Tingkatan 1 adalah pendekatan urutan pertama yang sederhana, dengan emisi dihitung berdasarkan parameter-parameter standar IPCC. Analisis DNPI selaras dengan penilaian tingkatan 1 setidaknya untuk semua sektor yang dikaji. Tingkatan 2 adalah pendekatan yang lebih akrat yang memberikan parameter-parameter khusus tingkat sektor dan nasional yang lebih rinci untuk menghitung emisi. DNPI telah mengembangkan penilaian-penilaian Tingkatan 2 di mana pun tersedia data emisi tingkat sektor nasional baik melalui lokakarya para pemangku kepentingan maupun wawancara ahli. Saat ini, kurangnya data rinci menghalangi DNPI untuk menggunakan metodologi Tingkatan 3, metode urutan tertinggi yang mencakup sistem-sistem peraga dan/atau pengukuran inventarisasi rinci dengan data tersedia pada resolusi yang lebih tinggi. DNPI telah membagi metodologinya untuk semua sektor dengan para peninjau UNFCCC, walaupun UNFCCC tidak menyetujui atau mengesahkan inventarisasi emisi nasional kecuali diserahkan secara formal sebagai bagian dari kerangka kerja komunikasi nasional.
A2. Perkiraan potensi pengurangan
D
Kajian ini terfokus pada peluang pengurangan yang memakan biaya kurang dari USD 80 per ton CO2 ekivalen (tCO2e). Pendekatan dan hasil yang kami peroleh konsisten dengan desakan perkembangan dan pertumbuhan nasional maupun provinsi. Potensi pengurangan ditentukan sebagai perbedaan antara volume emisi dari sumber tertentu dalam skenario bisnis seperti biasa (BSB), serta volume emisi setelah langkah-langkah pengurangan diterapkan. Garis dasar emisi diperhitungkan dari beberapa nilai pendorong, seperti intensitas karbon dari bahan bakar fosil tertentu, volume produksi bahan dasar, atau konsumsi bahan bakar kendaraan. Tiap langkah pengurangan dapat mengubah (atau biasanya mengurangi) nilai pendorong tertentu, dimana perhitungan ditentukan dari literatur dan diskusi dengan para pakar. LULUCF dan emisi-emisi terkait lahan gambut adalah berdasarkan skenario, dengan pengecualian emisi kecil terkait rakyat, dapat dihentikan sepenuhnya pada tahun 2030. Skenario ini diadopsi dari metodologi Kurva Biaya Global Mckinsey dan juga diterapkan pada Kurva Biaya Pengurangan GRK Indonesia Tingkat Nasional DNPI.
47
Kotak A1
Gambut: Emisi dari gambut secara BAU (business-as-usual) diperkirakan tumbuh dari 185 menjadi 230 Mt CO2e tahun 2030 Kebakaran
Emisi CO2e dari gambut di Indonesia Mt CO2e
Dekomposisi Gambut
• Akibat bertambahnya
250
214 200
185
150
118 100 50
82
2005
2020
88
2030
RA
0
67
•
143
132
wilayah lahan rusak, diperkirakan emisi dari kebakaran akan meningkat dari 118 Mt CO2e tahun 2005 menjadi 143 Mt CO2e tahun 2030 Emisi dari dekomposisi gambut sebagai akibat dari kekeringan diperkirakan meningkat menjadi 87 Mt CO2e oleh karena semakin banyak lahan gambut dikonversikan menjadi lahan pertanian, ladang dan pengembangan ladang kayu
FT
230
1 Termasuk emisi dari kebakaran yang terjadi di tanah mengandung minerall bagian dari kebakaran gambut sekitar 85% SOURCE: IFCA; Min. of Forestry Indonesia; Hooijer et al 2006- PEAT CO2e; Alterra; Wetlands International; Expert interviews; Couwenberg et al 2009; Van der Werf et al 2008; Team analysis
Gambut BAU: asumsi
Metodologi
• Emisi dari kebakaran gambut • Wilayah degradasi dan
berdasarkan riset oleh Van beresiko tinggi meningkat der Werf dkk (2008) semerntara wilayah konversi • Rata-rata nilai tahun 2000 lahan gambut tetap konstan hingga 2006 bukan dari emisi • Wilayah terbakar yang tetap per hotspot di tanah minerall tahunan akibat tingginya • Emisi tetap per ha per iklim yang mendorong hotspot tanah mineral keragaman tiap tahunnya • Peran emisi Kalimantan Tengah diperhitungkan berdasarkan persentase bagian lahan gambut rusak di Indonesia • Emisi dari kebakaran tanah mineral diperkiraka berasam dari perhitungan hotspot
Sumber
• • • • •
Van der Werft dkk. 2008 Min of Forestry 2008 Hooijer dkk. 2006 CIFOR 2002 WRI 2008
D
Kebakaran
Asumsi
Kotak A2
Dekomposisi
• Pembagian total wilayah
gambut menjadi 5 tipa lahan berbeda; dikalikan dengan emisi dari dekomposisi yang terkait dengan rata-rata permukaan air bawah tanah
• Hubungan liner antara
permukaan air tanah dan emisi
• Hooijer dkk .2006 • Wösten, Alterra 2005 • Couwenberg dkk 2009
48
Kotak A3
Kehutanan: Absorpsi pada hutan “buatan” akan meningkat seiring waktu, emisi dari LULUCF menurun hingga 94 MtCO2e Reboisasi Degradasi
Emisi CO2e dari hutan kering di Indonesia Mt CO2e 101
88
120 100 80
•
98
98
40 42
0 - 20
98
•
60 20
• Emisi gross melalui reboisasi
94
FT
140
Absorpsi
-39
42
-52
-47
•
RA
- 40
42
- 60
2005
2020
2030
•
dan degradasi hutan produksi diperkirakan tetap konstan Reboisasi hutan dewasa menjadi tumbuhan kayu dan perkebunan menghasilkan 98 Mt CO2e per tahun Degradasi hutan kayu, mengakibatkan degradasi hutan produksi, menghasilkan emisi 42 Mt CO2e per tahun Potensi absorpsi berfluktuasi seiring waktu dimana sebagian besar karbon terpisah dilepaskan di akhir siklus rotasi Seiring berlanjutnya reboisasi, absorpsi hutan alami akan menurun seiring waktu
SOURCE: IFCA; Min. of Forestry Indonesia; Team analysis
Kotak A4
D
LULUCF BAU: Asumsi metodologi
Reboisasi
Degradasi
Metodologi
Asumsi
Sumber
• Wilayah reboisasi
• Tingkat reboisasi tetap,
• Dep. Kehutanan 2008 • IFCA 2008
tahunan (rata-rata 20002005) dikalikan densitas karbon di hutan Kalimantan Tengah
• Total hutan produksi
•
Absorpsi
Kalimantan Tengah dibagi menurut panjang periode rotasi Wilayah log over tahunan dikalikan dengan asumsi kehilangan karbon
• Tingkat pengurangan
•
karbon di hutan sekunder dan buatan dikalikan dengan pengembangan area saat ini dan masa depan Pengurangan di akhir periode rotasi diperhitungkan
•
pada minimum, konstan sebesar 120,000 ha per tahun Rata-rata densitas karbon 217 t C/ha
• Total wilayah konsesi
• Dep. Kehutanan –
• •
•
•
sebesar 6.2 juta ha Periode rotasi 35 tahun Rata-rata densitas karbon 217 t C/ha 30% penurunan densitas karbon
• Tingkat pengurangan
•
dari 1.2 tC/ha di hutan sekunder hingga 8 tC/ha di hutan kayu Penurunan konstan pada hutan sekunder dan peningkatan pada hutan buatan
• • •
Statistik Kehutanan 2007 Statistik Konsesi Kehutanan 2006 IFCA 2008 Stanley; 2008 Lasco dkk 2006
• Dep. Kehutanan 2008 • ALGAS 1998 • FAO – Global Fiber • •
Supply Assessment 2005 SNC 2009 Sheil dkk. 2009
49
Pengurangan besar dapat tercapai dalam waktu relatif pendek
LULUCF EXAMPLE BAU trajectory Emisi setelah pengurangan
Emisi tahunan dan potensi pengurangan Mt CO2e
• Hutan tanah
120
FT
100
mineral menjadi net sink signifikan apabila potensi pengurangan dapat diimplementasikan seluruhnya Implementasi tergantung pada pengawasan ketat dan sistem pengendalian
80 60 40
-144
20 0 -20 -40
RA
-60
•
SOURCE: Team analysis
A3. Emisi dari lahan gambut
D
Gambut merupakan akumulasi sisa-sisa bahan organik yang setengah membusuk. Biasanya terbentuk di daerah rawa, ketika bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob setempat. Sebagian besar tanah gambut terbentuk dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk, serta sisa-sisa bangkai serangga maupun hewan lainnya. Gambut terbentuk selama ribuan tahun, dengan tingkat pertumbuhan 1 milimeter setiap tahunnya, sehingga dalam kondisi yang tepat, dapat merupakan tahap terawal pembentukan batubara (Gambar A6). Lahan gambut mencakup sekitar 3 persen massa lahan secara global, namun mewakili sepertiga total karbon tanah dunia (oleh karena mengandung sekitar 10 kali lipat jumlah karbon dari tanah non-gambut dengan ukuran yang sama). Jika total karbon terkandung dalam gambut (528 Gt) selama satu tahun, maka hal tersebut akan setara dengan sekitar 12 kali lipat total emisi global dunia saat ini. Karbon berada di posisi terancam, karena dilepaskan sebagai CO2 ke atmosfer melalui dua mekanisme (Gambar A7): 1. Kekeringan pada lahan gambut (oleh karena lahan gambut dibuka untuk bercocok tanam) mengakibatkan oksidasi serpihan gambut dan CO2 dilepaskan ke atmosfer (50-60 persen serpihan gambut kering adalah karbon). 2. Kebakaran di lahan gambut yang rusak mengakibatkan emisi CO2 lebih tinggi; kebakaran di lahan gambut yang belum rusak, maupun yang tidak mengalami kekeringan sangat jarang terjadi oleh karena kandungan kelembaban tinggi secara alaminya.
Kotak A5
50
Kotak A6
Dekomposisi zat organik yang sangat lambat selama ribuan tahun menyebabkan penyimpanan karbon sangat besar di tanah gambut
ILLUSTRATIVE
• Lahan gambut
FT
Lahan pada kondisi banjir
Indonesia menyimpan 36 Gt karbon (132 Gt CO2e) dibawah tanah Hutan gambut menyimpan 4,2 Gt karbon (15 Gt CO2e) di permukaan tanah Sebagai perbandingan, hutan hujan terbesar dunia, Amazon, menyimpan 46 Gt karbon (168 Gt of CO2e)
•
•
Dekomposisi zat organik yang lambat menyebabkan kurangnya oksigen dan mikroorganisme
Akumulasi zat organik (gambut)
RA
Lambatnya pengeringan menyebabkan tingginya air dan dekomposisi biomass yang sangat lambat
SOURCE: DNPI Indonesia GHG Emission Cost Curve
Emisi gambut didorong oleh dekomposisi dan kebakaran lahan yang telah rusak serta pembukaan lahan baru
ILLUSTRATIVE
D
Kotak A7
Pembukaan Pembukaan lahan lahan saat saat ini ini
Pembukaan Pembukaan lahan lahan masa masa depan depan
Pemusnahan biomass dipermukaan lahan (logging) SOURCE: DNPI Indonesia GHG Emission Cost Curve
Dekomposisi setelah pengeringan
Kebakaran gambut
51
Sebagai tambahan, sebagaimana lahan gambut sering bernaung dalam kawasan hutan, eksploitasinya kerap bersamaan dengan deforestasi kawasan hutan tersebut, sehingga memperburuk dampak emisi CO2.
FT
Indonesia memiliki wilayah lahan gambut tropis terbesar dari semua negara tropis manapun, yakni mewakili 5 persen dari total luas lahan gambut secara global. Lahan gambut Indonesia telah direboisasi, dikeringkan dan dibakar pada tingkat yang sangat tinggi guna menghasilkan kelapa sawit atau perkebunan kayu kertas, pertanian, dan memasok industri produk kehutanan dengan kayu. Sebagai akibatnya, selain memiliki 5 persen total lahan gambut dunia, Indonesia juga berperan sebagai penghasil 60 persen dari total emisi dunia akibat dekomposisi gambut (Gambar A8).
Indonesia bertanggung jawab atas hampir 60 persen emisi dunia dari dekomposisi gambut
Rincian wilayah lahan gambut dunia berdasarkan permukaan dan emisi CO2 terkait Persen 100%
5
5
90
RA
Wilayah
Emisi CO2 dari dekomposisi
58
24
18
Indonesia
Negara tropis lainnya
Negara lain di dunia
• 5% dari lahan gambut dunia dan 50% lahan gambut tropis berada di Indonesia • Gambut tropikal menghasilkan lebih dari 80% emisi dari dekomposisi gambut • Peran Indonesia atas total emisi dari dekomposisi gambut adalah 58% atau 12 kali lebih besar dari bagian Wilayah
1 Malaysia, Papua New Guinea; Democratic Republic of Congo, Brazil 2 Canada, Russia, Scandinavia, USA
D
SOURCE: Hooijer et al 2006; Wetlands International
Sementara ilmu mengenai gambut memiliki sejarah panjang di wilayah Nordik, pengetahuan ilmiah terkait gambut tropis masih berada di tahap sangat awal. Sejak kebakaran hutan gambut yang cukup dramatis di tahun 1997 serta kejadian El Nino di tahun 1998, para ahli telah beralih fokus kepada lahan gambut tropis, khususnya emisi terkait perubahan penggunaan lahan. Pengetahuan tentang emisi terkait gambut telah berkembang beberapa tahun terakhir, sebagai akibat meningkatnya fokus ilmiah akan hal ini, namun masih terdapat beberapa ketidakpastian yang meliputi:
1. Respirasi tanah dan akar Sebagian besar hasil riset yang dipublikasikan belum mampu untuk mengeluarkan secara penuh emisi alami dari respirasi tanah dan akar dari pengukuran carbon flux.39 Riset yang telah berusaha memisahkan dua komponen ini (Couwenberg et.al. 2009) menunjukkan bahwa 40 hingga 60 persen emisi karbon bawah tanah dari tanah gambut berasal dari respirasi (dan bukan dari 39 Carbon Flux menguraikan perbedaan stok karbon terukur pada sebuah lokasi spesifik secara berulang kali.
Kotak A8
52
dekomposisi gambut). Oleh karena respirasi tanah merupakan emisi alami, emisi ini sebaiknya tidak dimasukkan dalam perkiraan emisi UNFCCC resmi. Implikasi bahwa perkiraan emisi dari dekomposisi gambut mungkin terlalu tinggi akibat kedua faktor tersebut, seperti yang terdapat dalam kajian yang sudah dipublikasikan sebelumnya.
2. Penyurutan sebagai konsekuensi kekeringan
FT
Terdapat ketidakpastian mengenai bagian penyurutan gambut yang didorong oleh dekomposisi gambut. Penyurutan gambut dipengaruhi oleh tiga faktor utama: i. Kompresi mekanis biomassa karena air pori telah mengering; ii. Penyusutan biomassa setelah kekeringan;
iii. Dekomposisi sebagai karbon dari komponen biomasa selulosa, hemiselulosa, dan lignin dioksida.
RA
Saat ini, sebagaimana diketahui bahwa penyurutan meluas di tahun pertama dan kedua setelah kekeringan utamanya merupakan hasil dari proses pembasahan kembali gambut. Namun demikian, belum jelas seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas dalam beberapa tahun kedepan. Beberapa ilmuwan (mis. Hooijer et.al.. 2006) menyatakan bahwa dekomposisi tersebut turut menyumbang hingga 60 persen penyurutan, sementara Kool dkk (2006) menyatakan nilainya sekitar 1 persen. Pada kisaran yang penyurutannya rendah, kemungkinan besar tepat untuk lahan gambut yang tidak dikompresikan oleh alat berat (mis. hutan sekunder dan lahan belukar).
3. Hubungan antara kedalaman kekeringan dan dekomposisi
D
Saat ini, tiga model potensial yang sedang dibahas mengenai lahan gambut. Model yang paling tepat adalah hubungan linier yang dikembangkan oleh Wösten et.al.. (1997). Model potensial lainnya yang tengah didiskusikan adalah pendekatan mengikuti bentuk Kurva-S atau bahkan Kurva-U. Namun demikian, tak satupun dari model-model tersebut telah dipublikasikan dalam kajian sesama kolega, namun dengan demikian model linear telah diterapkan dalam laporan ini. Perlu dicatat bahwa dengan menerapkan pendekatan kurva S atau bahkan pendekatan kurva U terbalik, potensi pengurangan pengelolaan air akan berubah, dan sangat mungkin menjadi lebih kecil daripada yang diestimasikan untuk laporan ini.
4. Tinggi lapisan gambut Ketika luas kawasan lahan gambut Indonesia, kandungan karbon dalam gambut dan rata-rata kepadatan akumulasi diakui secara umum, ketebalan gambut sebenarnya masih belum pasti. Ukuran ketebalan gambut tidak dapat dilakukan dari jauh dengan keakuratan yang memadai dan dengan demikian harus dilakukan pada lahan gambut itu sendiri. Lokasi di alam liar dan keterpencilan lahan-lahan gambut, menyebabkan masalah ini menjadi tantangan dan memakan waktu. Seluruh faktor dan ketidakpastian tersebut memberi dampak signifikan terhadap perkiraan emisi dekomposisi gambut saat ini dan masa mendatang, demikian pula dengan volume dan biaya inisiatif-inisiatif pengurangan terkait gambut.
53
A4. Pembentukan unit persiapan pencegahan perusakan lahan gambut, perusakan deforestasi hutan di Kalimantan Tengah
FT
Surat Keputusan Gubernur No 18.44/417/2009 (tertanggal 16 November 2009), telah dibentuk suatu unit baru yang bertugas memfasilitasi demonstrasi dan implementasi REDD dan inisiatif perlindungan serta rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah. Fungsi-fungsi utama unit baru ini meliputi: Mengkoordinasikan penyusunan dan implementasi strategi untuk meningkatkan REDD serta perlindungan dan rehabilitasi lahan gambut di Provinsi ini dengan pemangku kepentingan daerah dan Nasional (mis: Dewan Nasional Perubahan Iklim). Memfasilitasi pengembangan garis dasar provinsi tentang emisi CO2 saat ini dan masa mendatang. Mengembangkan mekanisme untuk secara efektif memonitor emisi CO.
RA
Membangun sistem distribusi pembayaran untuk kegiatan REDD.
Melaksanakan pendidikan, pelatihan, dan kegiatan kesadaran terkait REDD dan kegiatan perlindungan lahan gambut. Unit ini bertanggungjawab langsung ke Gubernur yang bertindak sebagai Ketua. Gubernur dibantu oleh tiga orang Wakil Ketua, satu kepala Sekretariat, dan satu Wakil Sekretariat serta sembilan orang kepala divisi.
A5.Perhitungan biaya pengurangan
D
Total biaya pengurangan mencakup biaya teknis (misalnya, biaya untuk memasang teknologi rendah emisi yang sepatutnya) begitu juga dengan biaya pelaksanaan spesifik kepada tiap inisiatif pengurangan. Selain dari pada itu, terdapat biaya-biaya untuk faktor pendorong umum, yang dibutuhkan namun tidak spesifik pada tiap inisiatif (misalnya, rencana tata ruang).
Biaya spesifik pengurangan Biaya spesifik pengurangan: merupakan biaya tambahan untuk skenario BSB yang secara langsung terkait dengan pencakupan peluang pengurangan spesifik. Biaya ini menunjukkan pembayaran kembali kumulatif tahunan untuk pengeluaran modal dan operasi hingga tahun 2030. Biaya-biaya tersebut termasuk biaya pengganti yang mungkin dikeluarkan selama implementasi. Sebagai contoh, menghindari reboisasi dengan menggeser pengembangan lahan perkebunan atau ladang kayu kertas pada lahan yang rusak membutuhkan beberapa bentuk pembayaran sebagai kompensasi bagi pemegang konsesi untuk pendapatan mereka yang hilang dengan tidak melakukan penebangan pohon di hutan-hutan tersebut. Biaya sosial lebih luas (mis: biaya dampak kebakaran hutan dan lahan gambut pada kesehatan dan ekonomi) yang mungkin lebih menguntungkan bagi masyarakat yang lebih luas tidak dimasukkan dikarenakan ketidakpastian perkiraannya serta keinginan untuk memfokuskan analisa hanya pada biaya langsung tambahan, yang mungkin dihadapi Pemerintah maupun sektor swasta. Pembiayaan juga tidak termasuk akibat ketidakpastian metode pembiayaan (mis: hak internasional, pembiayaan pemerintah, investasi sektor swasta).
54
FT
1. Mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut: Perkiraan biaya hanya terdiri dari investasi langsung yang dibutuhkan untuk mengatasi kebakaran tanaman (misal: peralatan dan pelatihan bagi anggota pemadam kebakaran, membangun sistem informasi kebakaran dan infrastruktur pemadam seperti sumur). Biaya ini tidak termasuk langkah antar sektor yang lebih luas, seperti melakukan kampanye informasi dan peluncuran program layanan lanjutan untuk mendukung metode tanpa-pembakaran untuk proses pembebasan lahan dimana biaya tersebut tidak langsung ke pencegahan kebakaran fisik, mereka ditangkap secara berbeda. Biaya perkiraan juga tidak memasukan biaya sosial lain terkait dengan kebakaran (misal: biaya dampak kebakaran hutan dan lahan gambut pada pendidikan dan ekonomi). Biaya yang disediakan berkisar dari perkiraan rendah-akhir yang difokuskan hanya untuk menghadapi kebakaran sementara perkiraan tinggi-akhir bertujuan mencegah terjadinya kebakaran secara total. Sumber informasi utama termasuk dalam Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice, metodologi proyek JP Morgan CDM, serta wawancara dengan para ahli pencegahan kebakaran dari APRIL.
RA
2. Mengurangi deforestasi hutan melalui kebijakan alokasi lahan yang lebih efektif dan meningkatkan produktivitas pertanian: Biaya untuk alokasi penggunaan lahan termasuk pembayaran kompensasi bagi pemilik lahan yang akan dikonversikan menjadi lahan perkebunan atau ladang pohon kayu. Besarnya pembayaran kompensasi berbeda secara signifikan berdasarkan hasil perkebunan. Dalam laporan ini diasumsikan bahwa mayoritas perkebunan baru dapat dialokasikan ke lahan rusak dan para pemegang hak lahan hanya akan diberi kompensasi atas kehilangan pendapatan untuk satu kali penjualan pepohonan, bukan atas keseluruhan kerugian pendapatan dari produksi hasil perkebunan. Hal ini menimbulkan biaya yang jauh lebih rendah daripada biaya yang ditimbulkan pada pendekatan biaya peluang penuh di mana pemegang konsesi akan menerima pembayaran atas penghasilan mendatangnya yang hilang. 3. Rehabilitasi lahan gambut yang tidak dipakai atau rusak: Perkiraan biaya berdasarkan informasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice, dan ekstrapolasi untuk total wilayah lahan gambut yang rusak di Kalimantan Tengah.
4. Pengelolaan hutan lestari: Meliputi biaya pembelian peralatan panen, perangkat lunak perencanaan dan pembayaran kompensasi atas kerugian pendapatan dari penebangan kayu.
D
5. Penghutanan kembali: Biaya penghutanan kembali/reboisasi berdasarkan biaya langsung yang dibutuhkan untuk menanam kembali lahan dan pada anggaran per hektar yang dipublikasikan Kementerian Kehutanan di Indonesia. Biaya tidak langsung (misal: perencanaan tata ruang dan sertifikasi lahan) tidak termasuk dan diatasi dengan biaya faktor pendukungpendukung umum.
Biaya faktor pendukung umum Biaya faktor pendukung-pendukung umum: Biaya ini merupakan biaya tambahan yang penting untuk keberhasilan keseluruhan strategi pertumbuhan rendah karbon, tetapi tidak semata-mata terkait pada satu peluang pengurangan tertentu. Biaya-biaya pendukung tersebut terbagi ke dalam tujuh sub kategori: 1. Kesiapan institusi dasar: biaya tambahan terkait pembentukan struktur institusi dasar yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan karbon rendah. Termasuk didalamnya biaya pembentukan dan perekrutan unit pelaksana yang baru, demikian pula pelatihan bagi para pejabat pemerintah. Perkiraan biaya digaris bawahi untuk kesiapan institusional berdasarkan informasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice, dan ekstrapolasi total wilayah Kalimantan Tengah. Demikian pula, biaya tambahan telah termasuk perekrutan posisi pimpinan kunci dalam institusi pelaksana.
55
2. Menarik, mengelola dan mendistribusikan keuangan: biaya tambahan terkait upaya menarik minat pembiayaan internasional untuk REDD, VER dan CDM dan mengelola serta mendistribusikan keuangan secara transparan, adil dan efisien. Perkiraan biaya dilakukan berdasarkan informasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek EksMega Rice, dan ekstrapolasi total wilayah Kalimantan Tengah serta termasuk biaya spesifik di tahun pertama dalam mengembangkan dan menyusun program pilot guna menguji keragaman model manajemen dan distribusi untuk mengidentifikasi model yang paling tepat untuk Kalimantan Tengah.
RA
FT
3. Monitoring dan evaluasi: biaya terkait dengan pembentukan garis dasar tingkat provinsi dan standar implementasi untuk pengawasan, pelaporan, dan verivikasi (MRV) berhubungan dengan pendekatan tier sebagaimana disarankan oleh IPCC dan berdasarkan data dari konsultasi yang berbasis di Inggris, LTS International. Perkiraan biaya didasari oleh asumsi bahwa Kalimantan Tengah harus dapat memenuhi 3 tingkatan standar: Estimasi biaya low-end (tingkat rendah) dengan asumsi bahwa Kalimantan Tengah mampu membangun infrastruktur inventarisasi nasional, sedangkan perkiraan biaya high-end (tingkat tinggi) didasari oleh asumsi bahwa sistem MRV lengkap harus mulai dibentuk dari awal. Sasaran skema pelaporan 3 tingkatan akan memungkinkan Kalimantan Tengah terlibat dalam perdagangan karbon. Kalimantan Tengah juga merupakan sasaran pendekatan partisipasi dalam beberapa tugas inventarisasi (contoh: pengambilan sampel di lapangan) yang akan diambil alih oleh masyarakat yang tinggal di dekat wilayah hutan. Pendekatan partisipasi ini memiliki kelebihan yaitu: 1) masyarakat dapat terlibat langsung dalam keseluruhan proses MRV; 2) bagian pendanaan akan mengalir ke masyarakat dan 3) lapangan pekerjaan akan tersedia di wilayah terpencil, meski akan mengakibatkan sedikit peningkatan biaya. Sebagaimana Kalimantan Tengah tengah menangani sebagian besar lahan gambut yang rusak, penggunaan data dari teknologi penginderaan jauh dari optikal LiDAR (Light detection and ranging) dianggap bermanfaat sebagaimana LiDAR dapat menyediakan informasi terperinci tentang emisi akibat kebakaran dan bahkan dekomposisi gambut. Penggunaan LiDAR merupakan biaya MRV terbesar (65% dari total biaya).
D
4. Kebijakan dan perencanaan: biaya tambahan terkait pembentukan tanggapan pengaturan untuk mendukung pengurangan karbon dan membuka peluang penghidupan berkelanjutan. Termasuk didalamnya biaya pengembangan tata ruang dan sertifikasi lahan. Perkiraan biaya untuk tata ruang berdasarkan informasi dari Rencana Umum Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice, dan ekstrapolasi total wilayah Kalimantan Tengah sementara perkiraan biaya untuk sertifikasi lahan diperoleh dari tolak ukur/Benchmark Bank Dunia. Bank Dunia menunjukkan bahwa biaya sertifikasi lahan rata-rata mencapai USD 80 per hektar yang tercakup (termasuk biaya infrastruktur) dan dalam hal Kalimantan Tengah diasumsikan bahwa 80 persen dari Provinsi belum memiliki sertifikasi yang jelas. 5. Keterlibatan masyarakat: biaya tambahan terkait dengan pengembangan dan proses pelaksanaan keterlibatan masyarakat setempat, termasuk pembentukan badan masyarakat setempat guna memberi masukan terhadap strategi-strategi serta menjamin persetujuan terbuka, mendukung perubahan perilaku menuju praktek berkelanjutan serta meningkatkan penegakan oleh masyarakat lokal.Biaya keterlibatan masyarakat diekstrapolasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice. Program spesifik meliputi pengembangan kerangka kerja keterlibatan berbagai pemangku kepentingan didukung dengan penunjukan fasilitator masyarakat. Sebagai tambahan, program keterlibatan masyarakat meliputi alokasi spesifik menuju pengembangan dan mempertahankan kampanye informasi publik.
6. Infrastruktur: biaya tambahan untuk pengembangan teknologi dan infrastruktur sistem atau infrastruktur ringan (mis: informasi pasar, regu pemadam kebakaran, pendidikan, kesehatan) dan infrastuktur berat (mis: listrik, jalan raya) untuk mendukung pengurangan emisi dan penghidupan berkelanjutan. Biaya pembangunan infrastuktur berat dan ringan utama ini diekstrapolasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice dan diekstrapolasi lebih jauh untuk keseluruhan Provinsi. Biaya-biaya ini dapat dikelompokkan
56
secara meluas menjadi empat area program: kesehatan masyarakat dan sanitasi, transportasi, proyek infrastruktur masyarakat (termasuk infrastruktur untuk layanan lanjutan) serta listrik. Biaya untuk dua infrastruktur tambahan, pendidikan dan penegakan hukum, dihitung dengan memperkirakan berapa biaya untuk mewujudkan alokasi anggaran Kalimantan Tengah bagi pendidikan dan penegakan hukum hingga dapat setara dengan rata-rata nasional (berada pada kisaran low-end) dan hingga pada kisaran sepertiga teratas antar provinsi (berada pada kisaran high-end).
FT
7. Pengembangan sumber penghidupan berkelanjutan: biaya tambahan yang berhubungan dengan pengembangan strategi sektor yang merupakan sumber penghidupan berkelanjutan, dan menarik minat investasi bagi prioritas-prioritas pertumbuhan yang teridentifikasi. Biaya untuk pengembangan sumber penghidupan berkelanjutan diekstrapolasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice dan diekstrapolasi lebih jauh lagi untuk keseluruhan Provinsi. Biaya-biaya ini termasuk program untuk perpanjangan layanan pertanian, pembentukan koperasi dan usaha kecil serta meningkatkan pemrosesan barangbarang lokal. Biaya tambahan untuk memperkuat Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi (BKPMD) melalui penambahan personil dan anggaran untuk mendukung peranannya dalam menarik minat investasi baru terhadap provinsi ini.
RA
Penting untuk ditekankan bahwa kita telah terfokus pada perkiraan biaya tambahan yang terkait dengan menciptakan pertumbuhan rendah karbon (yaitu di atas atau melampaui biaya yang mungkin dikeluarkan pemerintah atau sektor swasta untuk kegiatan umumnya). Untuk faktor pendorong seperti infrastruktur, perkiraan biaya tambahan akan sangat menantang dan oleh karena itu untuk item biaya ini kita mengandalkan kombinasi analisa ‘outside-in’, serta wawancara dengan para tenaga ahli lokal.
A6. Menilai dampak ekonomi terhadap strategi pertumbuhan rendah karbon
D
Model ekonomi dikembangkan dengan memperkirakan tiap sektor ekonomi. Untuk tiap sektor, terdapat tiga skenario pertumbuhan hingga tahun 2030 yang diperkirakan: i. Skenario kasus dasar: Perkiraan tiap sektor didasari oleh tingkat pertumbuhan sektor di provinsi tersebut secara historis. Dimana pertumbuhan dianggap tinggi (mis: lebih besar dari pada 10 persen pertumbuhan riil per tahun), diasumsikan bahwa transisi menuju tingkat pertumbuhan historis dari sektor tingkat nasional.
ii. Skenario Pertumbuhan Sesuai Iklim Konservatif/Climate Compatible Growth (CCG): Pertumbuhan dalam skenario ini lebih tinggi dibandingkan dengan skenario kasus dasar. Sektor yang diasumsikan terus tumbuh di tingkat pertumbuhan histories hingga tahun 2011, kemudian trend mengarah pada tingkat pertumbuhan tolak ukur (teridentifikasi untuk tiap sektor).
iii. Skenario Pertumbuhan Sesuai Iklim Progresif (CCG): Skenario ini merupakan skenario pertumbuhan tertinggi. Sektor yang diasumsikan terus tumbuh pada tingkat pertumbuhan historis hingga tahun 2011, kemudian trend mengarah pada tingkat pertumbuhan tolak ukur yang teridentifikasi untuk tiap sektor (dengan tingkat tolak ukur yang diasumsikan lebih tinggi daripada skenario konservatif). Gambar A9 memperlihatkan kajian skenario pertumbuhan alternatif bagi tujuh sektor yang diidentifikasi sebagai prioritas pertumbuhan.
57
Kotak A9
Kajian output model ekonomi Kalimantan Tengah Milyar Rupiah, konstan 2000 GDP saat ini (% bagian dari total)
2030 BAU GDP (% bagian dari total)
2030 Pertumbuhan kompatibel iklim (rendah)
2030 Pertumbuhan kompatibel iklim (tinggi)
Hasil kebun
2.6 MM (17.4%)
11.3 MM (21.1%)
11.8 MM
12.1 MM
Kehutanan berkelanjutan
1.4 MM (9.3%)
1.2 MM (2.2%)
2.1 MM
2.3 MM
80 to 97
7.3 MM (13.8%)
9.6 MM
9.9 MM
30 to 35
5 to 8
FT
Pertambangan 1.2 MM (8.3%)
Gap skenario CCG terhadap BAU (%)
1.0 MM (6.4%)
0.7 MM (1.4%)
1.0 MM
1.4 MM
36 to 88
Aquaculture
0.8 MM (5.3%)
1.2 MM (2.2%)
2.0 MM
2.0 MM
65
Layanan Finansial
0.3 MM (2.0%)
1.3 MM (2.5%)
2.1 MM
3.3 MM
64 to 154
RA
Hasil pangan
Eco-tourism
0.2 MM (1.5%)
1.2 MM (2.3%)
1.4 MM
2.8 MM
14 to 127
SOURCE: Team analysis
Di bawah ini adalah asumsi terperinci yang digunakan untuk ketujuh sektor yang diidentifikasi sebagai prioritas pertumbuhan. Untuk sektor yang tidak teridentifikasi sebagai prioritas pertumbuhan, diasumsikan bahwa pertumbuhannya pada tingkat yang sama dengan skenario “kasus dasar”.
D
1. Hasil Perkebunan pada lahan nonhutan
Kontribusi PDB saat ini terbagi atas nilai hasil perkebunan – 63% kelapa sawit, 36% karet, 1% lainnya.40 Asumsi hasil (Kelapa sawit) Pertumbuhan hasil secara historis 14% per tahun (2003-2006) dan hasil saat ini (2006) sebesar 4,1 t/ha (ton per hektar) - 10% di atas Malaysia 3,7 t/ha. Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan hingga 5.9 t/ha tahun 2030 (mengimplikasikan tingkat pertumbuhan 1,5% per tahun), sesuai dengan proyeksi hasil mutlak di Malaysia (Malaysia diproyeksikan tumbuh hingga 2% per tahun untuk mencapai 5,9 t/ha di tahun 2030). Skenario CCG konservatif: Tingkat hasil saat ini tumbuh hingga 6,2 t/ha (mengimplikasikan tingkat pertumbuhan 1,7% per tahun), 5% diatas proyeksi hasil mutlak di Malaysia (yang diproyeksikan tumbuh hingga 2% per tahun dari 3,7 t/ha tahun 2006 menjadi 5,9 t/ha tahun 2030).
40 Informasi hasil perkebunan Indonesia diperoleh dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan; Untuk tolak ukur internasional, Food and Agricultural Organization (FAO) merupakan sumber prinsipil.
58
Skenario CCG progresif: Tingkat hasil saat ini tumbuh hingga 6.2 t/ha (mengimplikasikan tingkat pertumbuhan 1,9% per tahun), untuk mempertahankan 10% kesenjangan diatas proyeksi hasil mutlak Malaysia. Asumsi kawasan (Kelapa sawit) Pertumbuhan secara historis 33% per tahun (2003-06); wilayah saat ini di tahun 2006 sekitar 572.000 hektar.
FT
Untuk ketiga skenario tersebut, diasumsikan pertumbuhan hingga 2,3 juta hektar, berdasarkan pertumbuhan tahun 2003-2006 sekitar 70.000 hektar per tahun. Kawasan lahan rusak seluas 5,2 juta hektar (dinilai Kementerian Kehutanan sebagai yang “tidak penting”, “berpotensi menjadi penting” dan “bagaimanapun penting”) tersedia, sehingga 2,3 juta hektar di tahun 2030 terlihat layak. Pertumbuhan historis kurang masuk akal karena apabila pertumbuhan terus berlanjut di tingkat tersebut (yaitu 33% per tahun), maka seluruh wilayah Kalimantan Tengah akan dipadati oleh kelapa sawit tahun 2018.
RA
Perbedaan utama antara skenario-skenario tersebut adalah wilayahnya berasal dari sumber berbeda-beda, wilayah pada skenario kasus dasar diasumsikan berasal dari perluasan kawasan hutan, sementara pada skenario CCG wilayah yang baru ditanam yang berasal dari penggunaan lahan rusak, menghasilkan tingkat emisi yang berbeda. Asumsi hasil (karet)
Pertumbuhan hasil historis sebesar 0,9% per tahun (2003-2006); hasil saat ini (2006) 1,0 t/ha, 10% di atas Malaysia (0,9 t/ha). Skenario dasar: Tumbuh di tingkat 0,22% (proyeksi tingkat pertumbuhan Malaysia), mengakibatkan hasil 1,04 t/ha. pada tahun 2030
Skenario CCG konservatif: Mencapai 8% di atas proyeksi tingkat hasil Malaysia tahun 2030 yaitu menghasilkan 1,05 t/ha (berakibat kepada tingkat pertumbuhan sebesar 0,26%). Skenario CCG progresif: Mencapai 10% di atas proyeksi tingkat hasil Malaysia tahun 2030 (2030 mengakibatkan hasil 1,07 t/ha dengan tingkat pertumbuhan 0,36% per tahun).
D
Asumsi kawasan (Karet)
Pertumbuhan secara historis (2003-2006) sebesar -1% per tahun; kawasan saat ini (2006) sekitar 257.000 hektar. Untuk ketiga skenario, diasumsikan pertumbuhan lanjut pada tingkat -1% per tahun hingga ~21.000 hektar pada tahun 2030. Hasil perkebunan lainnya Diasumsikan sama dengan pertumbuhan PDB secara keseluruhan di bidang pertanian (200306) sebesar -1% per tahun.
2. Kehutanan lestari Secara historis, PDB telah tumbuh negatif sebesar -15% per tahun (2003-06). Skenario kasus dasar berasumsi trend pertumbuhan historis berlanjut. Asumsi hasil untuk skenario pertumbuhan sesuai iklim Saat ini (2006) hasil sebesar 8,9 t/ha.
59
Skenario CCG konservatif: Pertumbuhan hasil 50% (menjadi 13 t/ha) pada tahun 2030 (tingkat hasil konstan selama lima tahun kemudian tingkat pertumbuhan menjadi 2% per tahun, berakibat pada tingkat pertumbuhan sebesar 1.6%), berdasarkan peningkatan hasil dari praktek kehutanan lestari.41 Skenario CCG progresif: Hasil meningkat dua kali lipat (menjadi ~16 t/ha) pada tahun 2030 (tingkat hasil konstan selama lima tahun kemudian tingkat pertumbuhan menjadi 3% per tahun, mengakibatkan tingkat pertumbuhan 2,4%), berdasarkan praktek kehutanan lestari.
FT
Asumsi kawasan untuk skenario pertumbuhan sesuai iklim
Asumsikan tidak ada perubahan jumlah hektar kawasan pada tahun 2006.
3. Pertambangan berkelanjutan ramah lingkungan
Secara historis, PDB tumbuh 45% per tahun (2003-2006) dan bagian saat ini (2006) dari keseluruhan PDB provinsi sebesar 8,3%.
RA
Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan pada tingkat berkelanjutan sebesar setengah dari tingkat historis (22% per tahun) selama lima tahun, kemudian menyesuaikan dengan rata-rata nasional sebesar 4,2% per tahun hingga 2030.
Skenario CCG konservatif: Diasumsikan pertumbuhan 22% per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan rata-rata historis Cili (2003-2006) sebesar 5,7% per tahun hingga 2030.
Skenario CCG progresif: Diasumsikan pertumbuhan 22% per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan rata-rata historis Brazil/Cili (2003-2006) sebesar 5,9% per tahun hingga 2030.
4. Tanaman pangan pada lahan nonhutan
D
Produksi padi mewakili 96 persen total nilai perkebunan pangan di Kalimantan Tengah. Untuk itu skenario didasari oleh perkiraan hasil perkebunan pangan ini (berskala tepat pada PDB sektor setara). Asumsi hasil
Pertumbuhan hasil secara historis sebesar -1,1% per tahun (2003-2006). Hasil saat ini sebesar 2.4 t/ha (45 persen dari hasil Jawa Timur sebesar 5.3 t/ha). Skenario kasus dasar: Diasumsikan tingkat pertumbuhan hasil yang dipertahankan ke depannya (-1,1%) menjadi 1,8 t/ha di tahun 2030. Skenario CCG konservatif: Tingkat hasil saat ini tumbuh pada tingkat pertumbuhan historis (-1,1%) selama lima tahun, kemudian 0,5% (tingkat pertumbuhan historis Jawa Timur) menjadi 2,5 t/ha (mengakibatkan keseluruhan tingkat pertumbuhan 0,2% per tahun) pada tahun 2030.
Skenario CCG progresif: Tingkat hasil saat ini 2,4 t/ha tumbuh pada tingkat pertumbuhan historis (-1,1%) for lima tahun, kemudian menjadi 2.2% (untuk menyesuaikan dengan setengah proyeksi tingkat hasil Jawa Timur tahun 2030) menjadi 3,5 t/ha (mengakibatkan tingkat pertumbuhan 1,5% per tahun) pada tahun 2030.
41 Wann and Rakestraw (1998) sebagai contoh menemukan bahwa hasil per hektar tumbuh 500 persen untuk perkebunan pinus di selatan AS, setelah diperkenalkannya praktek kehutanan lestari
60
Asumsi kawasan Untuk ketiga skenario tersebut, diasumsikan kawasan tetap untuk persawahan sebesar 140.000 ha (yang konsisten dengan tingkat pertumbuhan dari tahun 2003-2006).
5. Budidaya perikanan Pertumbuhan PDB secara historis (2003-2006) sebesar 2% per tahun.
FT
Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 2% per tahun. Skenario CCG konservatif dan skenario CCG progresif: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 2% per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan rata-rata FAO Asia (mis. Cina) sebesar 4,4% per tahun hingga 2030.
6. Layanan Keuangan
Pertumbuhan PDB secara historis (2003-2006) sebesar 13% per tahun
RA
Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 13% per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan rata-rata nasional sebesar 4,7% per tahun hingga tahun 2030. Skenario CCG konservatif: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 16% per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan tingkat tolak ukur (rata-rata India, Bangladesh) sebesar 7% per tahun hingga 2030.
Skenario CCG progresif: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 16% per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan tingkat tolak ukur (rata-rata Mexico, India, Bangladesh) sebesar 10% per tahun hingga 2030.
7. Ekowisata
D
Pertumbuhan PDB secara historis (2003-2006) sebesar 7% per tahun Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 7% per tahun Skenario CCG konservatif: Diasumsikan pertumbuhan PDB berkelanjutan sebesar 7% pertahun hingga 2011, kemudian menjadi 8% pertahun berdasarkan rata-rata tingkat pertumbuhan Costa Rica.
Skenario CCG progresif: Diasumsikan pertumbuhan PDB berkelanjutan sebesar 7% per tahun hingga 2011, kemudian menjadi 12% pertahun berdasarkan rata-rata tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan di Bali dan Phuket
FT
RA
D 61
FT
RA
D 62
63
Daftar pustaka Antar sektor
FT
Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation, Kementerian Lingkungan Hidup, Maret 2009
The Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review, Bank Pembangunan Asia, April 2009
Pathways to a Low-Carbon Economy : Version 2 of Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve, McKinsey and Company, 2009 Payment Mechanism, Distribution and Institutional Arrangement: Second Draft, IFCA, Oktober 2007
RA
Indonesia Low Carbon Option study: Phase 1 Status: Report and Findings, Ministry of Finance and World Bank, November 2008 Pathways to a Low-Carbon Economy for Brazil, McKinsey and Company, 2008 Climate Change & Fiscal Policy Issues: 2008 Initiatives, Kantor Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Desember 2008
Identifying optimal area for REDD intervention: East Kalimantan, Indonesia as a case study, Nancy L Harris, Silvia Petrova, Fred Stolle and Sandra Brown, IOP Publishing LTD, September 2008 Master Plan for Rehabilitation and Revitalisation of the EMRP Area, Laporan Sintesis Utama, Oktober 2008
D
10 Management Lessons for Host Governments Coordinating Post-disaster Reconstruction, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NADNIAS), 2009 Infrastructure: Stimulating the Triggering Sector, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NAD-NIAS), April 2009 Education, Health, Women Empowerment: Preparing Quality Generation, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NAD-NIAS), April 2009 Finance: The Seven Keys to Effective Aid Management, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NAD-NIAS), April 2009 The costs of REDD: lessons from Amazonas, IIED briefing paper, November 2009. The Development Study on Comprehensive Regional Development for the Western Part of Kalimantan, Ringkasan Eksekutif, Badan Kerjasama Internasioanl Jepang, Maret 1999 Report on Implementation of a Learning Workshop: Developing a Market for REDD in Indonesia, Bank Dunia, Januari 2009 Radical simplicity in designing national climate institutions: Lessons from the Amazon Fund, Simon Zadek, Maya Forstater, Fernanda Polacow and João Boffino, Desember 2009
64
Economic and fiscal policy strategies for climate change mitigation in Indonesia, Kementerian Keuangan dan Kemitraan Indonesia Australia, 2009
Pertanian Adapting to Climate Change: The Case of Rice in Indonesia, Bank Dunia, 2008
FT
Yearly report: Research and Development for Agricultural Land Resources, Kementerian Pertanian, 2008 FAOSTAT Agricultural Data, http:// faostat.fao.org/, FAOSTAT, 2007, Mei 2009 Indonesia Forestry Statistics, Kementerian Kehutanan, 2007
Guidelines for National inventory - AR4 -WG3 Chapter 8: Agriculture, Cambridge University Press, IPCC, 2007
Global Anthropogenic Non-CO2 Greenhouse Gas Emissions, USEPA, 1990-2002 2006
RA
Greenhouse Gas Mitigation Potential in U.S. Forestry and Agriculture, USEPA,, EPA 430-R-05-006, 2005 Inventory of U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks, USEPA, 1990-2005, 2006 Peat CO2: Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, WL Delft Hydraulics, Alterra, Wetlands International, 2006 Peatlands: Potential for Agriculture and Environmental Aspect, Ministry of Agriculture, European Union, ReGrin, ICRAFT, 2008 Master Plan for the Rehabilitation and Revitalization of the Eks-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan : Summary of Main Synthesis Report, Euroconsult Mott MacDonald and Deltares, Oktober 2008
D
Kehutanan dan pengelolaan lahan gambut
Methodology for Monitoring and Setting Baseline for Deforestation and Forest Degradation, IPCC Towards the Inclusion of Forest-Based Mitigation in A Global Climate Agreement: Project Catalyst, The Climate Works Foundation, Mei 2009 Climate Regulation of Fire Emission and Deforestation in Equatorial Asia, G.R. Van der Werf, J. Dempewolf, ect PNAS Vol.51, Desember 2008 Consolidation Report Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation in Indonesia, IFCA, Forestry Research and Development Agency (FORDA), Kementerian Kehutanan, 2007 Manual for the Control of Fire in Peatlands and Peatlands Forest. Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Project, Adinugroho W.C., I Nyoman N. Suryadiputra, Bambang H. Saharjo, and Labueni Siboro, Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005 Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD): An Option Assessment Report, Meridian Institute, March 2009 A Guide to the Blocking of Canals and Ditches in Conjunction with the Community.
65
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Suryadiputra, I N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah R. Lubis, Ferry Hasudungan, and Iwan T.C. Wibisono, Project. Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005 Determination of Eligible Lands for A/R CDM Project Activities and for Priority Districts for Project Development Support in Indonesia, Murdiyarso, D., Atie Puntodewo, Atiek Widayati, Meine Van Noordwijk,Center For International Forestry Research (CIFOR), 2006
FT
Strategies for Implementing Sustainable Management of Peatlands In Borneo, Wosten, H, European Commission INCO-DEV, 2005
Do Trees Grow On our Money? The Implications of Deforestation Research Policies To Promote REDD, Kanninen, M. Daniel Murdiyarso, Frances Seymour, Arild Angelsen, Sven Wunder, Laura German, Center For International Forestry Research (CIFOR), 2007
Peat CO2: Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, WL Delft Hydraulics, Alterra, Wetlands International, 2006
Cost of Avoiding Deforestation, Grieg-Gran. M, Institut Internasional untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 2006
RA
The Economic Value of Peatland Resources, Van Beukering et al, Wetlands International, 2008 State of World Forests – Indonesia, Matthews. E, World Resource International, 2002
Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia, Uryu et al., WWF, 2007 Climate Change, Financing Global Forest; Eliasch Review, 2008 Review of Carbon Flux Estimates and Other GHG Emissions From Oil Palm Cultivation on Tropical Peatlands, Verwer et al., Alterra, 2008
D
Climate Regulation of Fire Emission and Deforestation in Equatorial Asia, Van der Werft et al., PNAS, 2008
Forestry Executive Data Strategic , Statistik dan perencanaan hutan, Badan planologi Hutan, Kementerian Kehutanan, 2008.
Forestry Statistics of Indonesia, 2007, Statistik dan perencanaan hutan, Badan planologi Hutan, Kementerian Kehutanan, 2008
Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Papua, Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti (2006). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2000–2001 Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Kalimantan, Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2004). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2000–2002. Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Sumatera, Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2003). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat, 1990-2002 Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia, Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo, Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005 Statistics of Timber Culture Estate, Biro Pusat Statistik, 2006
66
Statistics of Timber Concession Estate, Biro Pusat Statistik, 2006 Statistics of Timber Concession Estate, Biro Pusat Statistik , 2004 Forest Inventory and Maps, Badan planologi Hutan, Pemantauan sumber Daya, Kementerian Kehutanan, 2008 Environment Statistics Of Indonesia, Biro Pusat Statistik, 2008
FT
Final report and Recommendations for Master Plan to Deal with Land and Forest Fires for Muaro Jambi Regency, Singapore National Environment Agency, Jambi Province and Asia Pacific Resource International Ltd, August 2009 Peatlands: Potential for Agriculture and Environmental Aspect, Ministry of Agriculture, European Union, ReGrin, ICRAFT, 2008
LIstrik
Electricity for All: Options for Increasing Access in Indonesia, Bank Dunia, 2005
RA
Energy Information Administration, Country Analysis Brief: Indonesia, www.eja.doe. gov, 2007
Key Indicators of Indonesia Energy and Mineral Resources, Pusat Data Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral (PUSDATIN ESDM). 2007
Indonesia Power Report Q1 2008 Including 5-year Industry Forecasts, Business Monitor International, 2007
Indonesia Energy Statistics and Balances in the IEA Databases, Training Session Coal Statistics, Mr. Jérôme Garcia, NMC Section, Energy Statistics Division, 2008 Carbon Capture and Storage – Financing Challenges and Opportunities, Investment Drivers, Incentives and Financing Options - The Role of Developing Countries, Hardiv Situmeang, 2008
D
Geothermal Today, US Department Of Energy, 2005 EU-Indonesia Infrastructure Forum: Indonesian Power Sector, European Business Chamber of Commerce in Indonesia, 2006
Presentation on the Policy for Indonesia Sustainable Development, Zuhal. Presentation on Indonesia Country Report, National Nuclear Agency of Indonesia, Tri Murni Soedyartomo Soentono, 2008 Indonesia Country Report Annex 3, From Ideas To Action: Clean Energy Solutions For Asia To Address Climate Change, International Resources Group (IRG), 2007 Projection CO2 Sources For Power Sector (For Discussion Only, CSS-Working Group PLN, 2009 Presentation for the Community Based Educational and Partnership Actions - Carbon Neutral Initiative for Community Empowerment and Climate change Mitigation in Indonesia, Teddy Lesmana, 2008 Electricity Governance Initiative: Case of Indonesia, Final Report, World Resource Institute, 2007.
67
Power Generation Cost Assumption, International Energy Agency, 2007 Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2009 - 2018, PT. PLN, Dec 2008 Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2008 – 2027, Menteri Energi dan Sumber daya Mineral, Nov 2008
Semen
FT
Mitigation Approach of Climate Change in Industry, Badan LitBang Industri, Kementerian Perindustrian, 2008 Status of Efforts on CO2 Emission Reductions for Industry Sector, Kementerian Perindustrian, 2009 Statistical Yearbook of Indonesia 2008, Biro Pusat Statistik, 2008 Annual Report Highlights 2008, PT.Holcim Indonesia Annual Report Highlights 2008, PT.Semen Gresik
RA
Annual Report Highlights 2008, PT. Indocement
WBCSD CO2 Inventory Form, PT.Holcim Indonesia WBCSD CO2 Inventory Form, PT.Indocement
Pathways to a Low-Carbon Economy: Version 2 of the Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve, McKinsey & Company (2009)
Transportasi
Emission Factors, Swisscontact, 2005
D
Promoting Green Diesel Technology and Introducing Green Diesel Passenger Cars in Indonesia – Executive Summary and Summary of Recommendation, PUSTRAL UGM, 2007
Clean Air Jakarta – Project Implementation Report For Clean Bus Program, Swisscontact Final Report Clean Bus Program Phase II 1999–2000, Swisscontact
Implementation Report CAP Jakarta Phase III 2001-2003, Swisscontact
Fuel economy and & Vehicle Kilometers Traveled, Swisscontact Lampiran & Asumsi Update November 2008, PUSTRAL UGM, 2008. Urgensi Paket Kebijakan Dan Program Komprehensif Dalam Penghematan BBM Transportasi, Tim Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Transportasi Nasional (TPEKTN), 2008 Vehicle Emission Per Sub-Category, Swisscontact. Averting an Infrastructure Crisis: A Framework For Policy And Action, Bank Dunia, 2004 Potential for Biofuels for Transport in Developing Countries, ESMAP, 2005
68
Energy Efficiency and Climate Change Considerations for On-road Transport in Asia, ADB-DFID, 2006 APEC Biofuels Task Force: Initial Findings and Next Steps Forward, NIST, Brazilian National Institute of Metrology, and INMETRO, 2007
Bangunan
FT
Palm Oil in Biodiesel- A Green Energy Perspective, Greenenergy
Technical Potential to Reduce Fossil Fuel Usage Through Solar Water Heating, National Renewable Energy Lab (NREL), 2007 “LED Sector: The Future’s Bright, The Future’s Green”, Daiwa Analyst Report, 2007 “The Potential To Lower Global Lighting Energy Consumption”, IEA: Presentation by Paul Waide.
D
RA
“Daylight, Dimming, and The California Electricity Crisis” LBNL, Rubenstein, Neils, and Colak, 2001
FT
RA
D 69
FT
RA
D 71
Copyright © 2010