“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Nur Rohim Yunus
MENCIPTAKAN BUDAYA HUKUM MASYARAKAT INDONESIA DALAM DIMENSI HUKUM PROGRESIF Oleh Nur Rohim Yunus*)
Abstrak Hukum merupakan sebuah produk budaya. Bahkan hukum dianggap sebagai benda mati, yang tiada artinya jika tak dibuat dengan kesadaran akan urgensi dan ketulusan untuk melaksanakannya. Hukum hanya akan jadi lelucon dan lawakan apabila yang membuatnya menjadi pelanggar hukum nomor satu, dan yang melaksanakannya adalah bangsa tak berbudaya hukum. Lawrence Meil Friedman memiliki anekdot yang menarik tentang hal ini, “Without legal culture, the legal system is inert—a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.” Hukum di negara ini niscaya tak berdaya, ibarat ikan mati, jika tak disokong oleh budaya hukum bangsa sendiri. Penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Data yang dikaji lebih mengedepankan aspek empiris dari fenomena masyarakat. Didalamnya ditelaah sejauhmana budaya hukum masyarakat tumbuh dan berkembang. Sedang telaah teoretis yang menjadi pisau analisis penelitian ini adalah ungkapan dari Satjipto Rahardjo yang mengatakan, “hukum adalah untuk manusia.” Suatu aturan hukum tidak dapat dilepas dari aspek manusia. Bahkan ia sesungguhnya berpusat pada manusia, karena esensi dan eksistensinya berpusat pada manusia (antro posentris). Dari, oleh, dan untuk manusia. Kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah gagasan menciptakan budaya hukum masyarakat Indonesia yang mengedepankan kesadaran untuk bertindak, berbuat, dan berperilaku atas dasar hukum yang seharusnya. Selain perbaikan loyalitas penegak hukum dan rekontruksi kepatuhan seluruh lapisan masyarakat. Kata Kunci : Budaya Hukum, Penegakan Hukum, Kepatuhan Hukum, Kesadaran Hukum A. PENDAHULUAN Membangun dan merealisasikan hukum dalam kehidupan masyarakat sudah pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal masyarakat itu sendiri. 1 Padahal Masyarakat sebagai terjemahan istilah society adalah sekelompok orang yang membentuk sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok 1
hukum akan menjadi baik apabila masyarakat menerimanya dengan sukarela. Sebaliknya, hukum akan menjadi buruk apabila masyarakat tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. [Lihat: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h.20].
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
39
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
tidak dapat menerimanya, karena tidak dapat menjaga kepentingan masyarakat. Dengan demikian hukum dan kepentingan masyarakat harus memiliki keseimbangan, dalam arti bahwa hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sosiolog memandang hukum sebagai sebuah produk budaya. Hukum hanyalah benda mati, yang tiada artinya jika tidak dibuat dengan kesadaran akan urgensinya dan ketulusan untuk melaksanakannya. Hukum hanya akan jadi lelucon dan lawakan apabila yang membuatnya menjadi pelanggar hukum nomor satu, dan yang melaksanakannya adalah bangsa tak berbudaya hukum. Lawrence Meil Friedman memiliki anekdot yang menarik tentang hal ini, “Without legal culture, the legal system is iner -a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.” 2 Hukum di negara ini niscaya tak berdaya, ibarat ikan mati, jika tak disokong oleh budaya hukum bangsa sendiri. Hukum adalah untuk manusia, 3 artinya suatu aturan hukum tidak dapat dilepas dari aspek manusia. Bahkan ia berpusat pada manusia karena esensi dan eksistensinya berpusat pada manusia (antro posentris), dari, oleh, dan untuk manusia. Ia berembrio dari kehendak, motif, ideal, dan keprihatinan manusia. Ia dibuat oleh manusia, dan dirumuskan dalam bahasa manusia yang hanya dapat dipahami oleh manusia. Ia dijalankan oleh manusia dan untuk melayani kepentingan manusia. Keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai Lawrence Meil Friedman, Law and Society; an Introductions, (Prencite-Hall Foundations of Modern Sociology Series, Englewood Cliffts, Standford University, New Jersey, 1979), h. 7. 3 Satjipto Raharjo, membedah hukum progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 151. 2
Nur Rohim Yunus
sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.4 Titik tolak semua teorisasi hukum pada dasarnya berporos pada satu hal, yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor peraturan, maka semakin ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal legalistik. Sebaliknya, semakin ia bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mozaik sosial kemanusiaan.5 Lawrence Meil Friedman 6 memasukkan komponen kultur hukum dalam teori sistem hukumnya yaitu: (1) struktur (structure), (2) substansial (susbstance), dan (3) kultur (legal culture). Ketiga komponen dalam sistem hukum ini kerap dijadikan rujukan standar untuk mengukur penegakan hukum di suatu negara.7 Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 139. 5 Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Surabaya: Penerbit CV Kita, 2006), h. iii. 6 Lawrence Meil Friedman, Law and Society; an Introductions, (Prencite-Hall Foundations of Modern Sociology Series, Englewood Cliffts, Standford University, New Jersey, 1979. 7 Ketiga komponen tersebut dapat dipersepsikan sebagai aspek bekerja sistem hukum, sebagaimana berikut ini: Aspek struktural yaitu: aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum dibatasi tingkat kemampuan atau profesionalitas maupun terbatasnya biaya, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Aspek substantif yaitu: aspek yang disebabkan adanya kelemahan dalam undang-undang yang ada dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aspek kultural/budaya yaitu: aspek yang muncul pada diri aparat penegak hukum yang disebabkan adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap baik dari dalam organisasi kepolisian sendiri ataupun pengaruh dari lingkungan sekitarnya. [Lihat: Pusat Studi Indonesia, Jurnal Studi Indonesia, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), vol. 9-10, h.4]. 4
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
40
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Adapun penjabaran ketiga komponen tersebut sebagai berikut: 1). Struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh suatu sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. 2). Substansi adalah segi output sistem hukum. Dalam pengertian ini dimasukkan norma-norma hukum itu sendiri, baik berupa peraturan-peraturan, doktrindoktrin, keputusan-keputusan, sejauh semua itu digunakan oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. 3). Kultur yaitu seperangkat nilai-nilai dan sikap-sikap yang berkaitan dengan hukum, yang akan menentukan kapan, mengapa, dan dimana rakyat datang kepada hukum atau pemerintah atau menghindar dari keduanya. Ketiga komponen dari sistem hukum tersebut menentukan bekerjanya sistem hukum yang berarti bahwa suatu pembahasan mengenai proses sosialisasi dan pelaksanaan hukum dalam masyarakat niscaya akan melibatkan proses dari ketiga komponen tersebut. Di antara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel, dan kapabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadilan 8 masyarakat, sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum. Jika salah satunya timpang, misal struktur aparat (law unforcement officer) tidak akuntabel, kredibel, dan
Menurut Muchsin yang dinamakan dengan adil apabila; meletakkan sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak oranglain tanpa kurang, memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak, dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya. [Lihat: Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Jakarta: Badan Peneliti Iblam, 2006), h. 76. 8
Nur Rohim Yunus
kapabel, maka mustahil hukum dapat ditegakkan dengan baik dan benar. Struktur yaitu tatanan kelembagaan dan substansi yang tak lain adalah peraturan perundangan-undangan itu sendiri adalah topik yang lebih familiar bagi para yuris, ketimbang elemen yang terakhir. Arti penting legal culture dalam membentuk suatu sistem hukum kadang terlupakan, padahal merujuk dari pendapat Friedman, budaya hukum menentukan “…how law is used, avoided, or abused.” L.M. Friedman 9 selanjutnya menempatkan “legal culture” sebagai salah satu komponen dalam bangunan “grand theory”-nya yaitu The Legal System. Teori tersebut menjadi sangat monumental dalam ilmu hukum, karena sifatnya yang “agung”, hukum dapat dikaji dengan pendekatan sistem pada semua aspek yang terkait dengan hukum. Hukum dikontruksikan sebagai suatu sistem yang terkait satu sama lain (substance, structure, dan culture). Karena kuatnya pengaruh pendekatan hukum sebagai “the legal system” sehingga teori tersebut menjadi rujukan dalam buku-buku teks hukum di seluruh dunia. Melihat betapa pentingnya kajian tentang legal culture sebagai salah satu komponen sistem hukum, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa konsep teoritik yang menjadi substansi dan esensi pemikiran L.M. Friedman khususnya yang terkait dengan legal culture (Budaya Hukum) sebagai komponen mendasar dalam pemikiran fenomenalnya. Selain itu, pemahaman yang benar terhadap substansi dan esensi pemikirannya perlu diperjelas, sehingga asumsi-asumsi yang dimaksudkan dapat dipahami secara Lawrence Meil Friedman, Law and Society; an Introductions, h. 70. 9
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
41
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
benar dari setiap orang jika berbicara tentang Legal Culture. Sejalan dengan pemikiran Friedman tersebut, Soerjono Soekanto 10 mempertegas ketiga komponen ini menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu; hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Dengan adanya ketiga komponen hukum tersebut, keterkaitan hukum dan masyarakat semakin terlihat jelas. Tidak ada budaya hukum (legal culture) bila tidak ditopang oleh substansi dan struktur hukum yang jelas. Hukum yang selama ini dipandang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas dapat kemudian dihindari bila semua komponen hukum mampu mengartikan hukum dengan sebenar-benarnya. Karenanya, sudah menjadi kewajiban untuk melakukan review terhadap konsep Legal Culture dan berupaya merekontruksinya menjadi kajian teoritik sebagai langkah yang sangat tepat dalam memahami secara utuh teori “legal system.”11 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983), h. 30. 11 Teori “legal system” diartikan sebagai teori system hukum. Daniel S.Lev di dalam karangannya Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia menguraikan tentang sistem hukum dan budaya hukum. Menurut Lev sistem hukum menekankan pada prosedur tetapi tidak menjelaskan tentang bagaimana sesungguhnya orang-orang itu menyelesaikan masalahnya di dalam kehidupan sehari-hari. Adapun budaya hukum diperinci ke dalam nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantif. Nilai-nilai hukum prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik, sedangkan komponen substantif dari budaya hukum ini terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara sistem hukum yang satu dengan yang lain. [Lihat: Daniel S 10
Nur Rohim Yunus
Selain bila dikaji secara mendalam kepada aspek budaya hukum (legal culture), maka akan didapati bahwa bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat (law in action), tidak terlepas adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap, yang memberi pemahaman tentang bekerjanya sistem hukum. B. PEMBAHASAN
1. Masyarakat Memandang Hukum
Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal dalam elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh penting dalam bekerjanya sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka tak heran jika para ahli hukum mengatakan jika budaya dan kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum. Tetapi untuk meningkatkan derajat budaya hukum bukanlah perkara mudah. Sebuah tugas yang tidak ringan, karena kesadaran hukum suatu bangsa bersumber dari perasaan dan keyakinan hukum individu. Sehingga dibutuhkan upaya membangun keyakinan individu-individu masyarakat Indonesia bahwa hukum adalah tonggak acuan di negeri ini. Budaya hukum bukan hanya monopoli masyarakat, di dalamnya ada peran serta penguasa dan pembentuk undang-undang sebagai guru yang seharusnya pantas “digugu” dan “ditiru”, serta bijak dan tentunya berbudi. Bukan sebaliknya, hanya menjadi pejabat yang menikmati kursi dengan melupakan tugas dan kewajiban sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya, timbul masyarakat yang Lev, ”Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia”, dalam Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang, 2005), h.104].
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
42
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
lepas kontrol dan tak terkendali, karena pengontrol masyarakat –dalam hal ini pejabat negara- melupakan masyarakat. Selain masyarakat hanya merasa dijadikan objek kepentingan pejabat semata, atau dijadikan sapi perah yang dimanfaatkan untuk memuaskan kepentingan penguasa. Dampaknya, tidak ada lagi kesadaran hukum di masyarakat, hukum hanya sebatas angin lalu yang tidak diacuhkan oleh lapisan bawah. Peraturan perundang-undangan seharusnya berasal dari suara „bawah‟ yang dibawa ke „atas‟, dan bukan corong kepentingan penguasa untuk mengobok-ngobok rakyat di bawah. Karena hukum bukan hanya produk penguasa semata, melainkan hasil dari pengejawantahan nilai-nilai yang ada di masyarakat.12 Karenanya, upaya peningkatan derajat budaya hukum dapat dilakukan dengan melakukan beberapa cara, seperti membuat produk hukum yang sesuai dengan suara rakyat, dan tidak pula membuat frustasi dan sengsara rakyat. Juga bukan produk hukum yang hanya memuat kepentingan-kepentingan personal, kelompok tertentu yang bermain di dalamnya. Hukum layaknya suatu bahasa, tumbuh dan berkembang dalam sebuah bangsa dan menjadi milik bersama dari bangsa tersebut. Karena itu, hukum didasarkan pada karakter dan jiwa kebangsaan dari bangsa yang bersangkutan (volkgeist). Sebagaimana Sebagaimana pemikiran mazhab Historical Jurisprudence, yang diwakili oleh Friedrich Karl von Savigny, bahwa hukum bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang dan terencana oleh pembuat hukum, melainkan hukum merupakan proses yang bersifat internal dan otonom serta diam-diam dalam diri masyarakat. [Lihat: Prof. Darji Darmodiharjo dan DR. Shidarta, SH., Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), Cet. Ke-6, h.128]. 12
Nur Rohim Yunus
pandangan sosiologi hukum (sociological of law) 13 yang melihat hukum sebagai manifestasi masyarakat, yang berarti pembentukan hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri. Eugen Ehrlich 14 berpendapat bahwa Living Law adalah inner order dari masyarakat. Ia mengatakan, “center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself.”15 Di samping itu tentunya yang tak kalah penting adalah kesadaran hukum masyarakat harus sejalan dengan kesadaran hukum penguasa. Sebagaimana halnya seorang anak kecil yang suka meniru, rakyat juga mencontoh watak dan perilaku penguasanya. Penguasa hendaknya mengajarkan rakyatnya bahwa hukum pantas untuk ditegakkan. Sehingga perilaku pembiaran dan sikap permisif terhadap pelanggaran hukum tidak dapat terjadi. Sociological of law adalah aliran pemikiran sosiologis yang pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum adalah apa yang menjadi kenyataan dalam masyarakat, bagaimana secara fakta hukum diterima, tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori oleh Roscoe Pound (juris dari Amerika Serikat), Eugen Ehrlich, Emil Durkheim, dan Max Weber. [Lihat: Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2011), h. 146]. 14 Eugene Ehrlich adalah penulis yang pertamatama melalui bukunya berjudul “Sosiologi Hukum atau Grundlegung der Soziologie des Rechts, pada tahun 1912. Dalam buku tersebutlah antara lain dituliskan bahwa masyarakatlah yang menjadi pusat gaya tarik perkembangan hukum bukan pada perundangundangan, ilmu hukum atau pun putusan hakim. [Lihat: Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h. 146]. 15 Terjemahan teks tersebut adalah: “Pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, juga tidak pada putusan hakim, tetapi di dalam masyarakat itu sendiri.” [Lihat: Alan Watson, Society and Legal Change, (Edinburgh: Scottish Academic Press, 1977), h.131]. 13
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
43
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Selain penguasa juga harus mampu diandalkan untuk menjadi panutan bagi penegakan hukum. Realita yang terjadi saat ini, hukum hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Rakyat hanya tahu “prosedur hukum berbelit-belit, hukum ada untuk dilanggar, atau hukum hanya untuk wong cilik, tajam ke bawah tumpul keatas.” Karenanya sebagai penguasa harus mampu membuktikan bahwa semua paradigma itu adalah salah dan selanjutnya menunjukkan perilaku yang pantas ditiru. Negara hukum 16 bukan hanya sebatas predikat semata. Bila hanya antonim dari kata machtsstaat, tentu predikat ini mudah terukir di negeri ini. Akan tetapi, yang sesungguhnya harus dipertanyakan, apakah hukum telah mendarah daging di dalam diri bangsa Indonesia? apakah memang hukum telah memiliki „nyawa‟-nya di bumi Indonesia ini? Sudah saatnya setiap komponen bangsa harus berani menjadi agen perubahan (the agent of change) demi tegaknya hukum, sebagaimana pandangan Roscoe Pound 17 yang menjadikan hukum sebagai social engineering. Sebuah negara tidak layak dianggap sebagai negara hukum jika kesadaran hukum tak mampu ditumPembahasan tentang negara hukum telah dituangkan secara detail oleh Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhari, SH, dalam bukunya Negara Hukum. Beliau mendefinisikan Negara Hukum sebagai suatu gagasan bernegara yang paling ideal dan telah berkembang sejak lama. [Lihat: Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.4, 2010), hlm.2]. 17 Roscoe Pound dalam teorinya mengatakan bahwa “Law as tool of social engineering” hukum sebagai alat perekayasa sosial masyarakat. [Lihat: Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 233]. 16
Nur Rohim Yunus
buhkembangkan. Penegakan hukum hanya akan menjadi mimpi, bila hukum hanyalah sebatas corong dan alat penguasa serta isinya tak „membumi‟ di masyarakat. Hukum tertulis berwujud undangundang masih hanya berupa janji-janji hukum, ia menjadi hukum apabila dilaksanakan oleh aparat hukum dan diikuti oleh warga masyarakat. Artinya hukum hanyalah salah satu sarana, bukan tujuan, sehingga penggunaannya harus benar-benar bijaksana. Pencapaian tujuan hukum tidak boleh terhalang oleh kelemahankelemahan secara prosedural yang dibuat oleh pembuat hukum (legislatif dan eksekutif) dan aparat pelaksananya dengan mengabaikan keadilan substansial. Bila hal ini terjadi, maka hukum akan benar-benar bersenyawa dalam kehidupan masyarakat, sehingga perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat adalah budaya hukum yang lahir tanpa tekanan. Budaya hukum adalah basis yang tak terelakkan di dalam membangun negara hukum. Rechtstaat tak akan dapat diwujudkan tanpa adanya budaya hukum. Masyarakat yang tak punya budaya hukum adalah masyarakat yang mendekat kepada kemunduran atau kembali kepada peradaban zaman batu.
2. Relasi
Hukum dan Struktur Masyarakat Sebagai Perwujudan Budaya Hukum Hukum dan masyarakat berhubungan secara timbal balik, karena hukum sebagai sarana pengantar masyarakat bekerja di dalam masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat. Hubungan tersebut dapat bersifat simbiosis mutualistis yaitu mendukung tumbuh dan tegaknya hukum, maupun sebaliknya bersifat
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
44
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
parasitis, yaitu menghambat tumbuh berkembang dan tegaknya hukum. Menurut Mochtar Kusumaatmadja 18 hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, yang juga mencangkup lembaga-lembaga dan prosesproses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah di dalam kenyataan. Kehadiran hukum dalam masyarakat salah satunya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkondisikan kepentingan organisasi dalam masyarakat. Kepentingan-kepentingan tersebut oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa, sehingga dapat meminimalisir benturan-benturan sekecil-kecilnya. Pengintegrasian kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial yang dituntut untuk hidup berdampingan secara berkelompok sebagai satuan masyarakat dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam pergaulan masyarakat itu sendiri, tentunya terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang dijunjung tinggi oleh anggota masyarakat untuk mengatur perikehidupan mereka agar tercipta suatu keadilan, ketertiban, kepastian, maupun keselarasan. Dalam pergaulan, terjadi integrasi antara satu dengan yang lainnya, yang pada akhirnya menyebabkan adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perubahan-perubahan itu terkait dengan sifat manusia sebagai zoon politicon, economikus, religious yang memang mampu mengubah diri dan lingkungannya baik secara evolusioner
Lihat: Lili Rasyidi dan IB Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 20. 18
Nur Rohim Yunus
maupun revolusioner melalui proses interaksi dan adaptasi sosial.
3. Penegakan Hukum Sebagai Upaya
Membangun Budaya Hukum Penegakan hukum dirasa sangat urgen dalam menata seluruh ketertiban masyarakat. Sehingga diharapkan masyarakat dapat berbudaya hukum. Tak heran bila ada adagium yang menyatakan: “meskipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus).” Penegakan hukum bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan saling berkait dengan masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat di mana hukum diberlakukan. Hukum ditegakkan tidak melulu mempertahankan pola lama, “status quo” tetapi juga rekayasa sosial, mengalokasikan keputusan politik, penciptaan pola baru bahkan sebagai alat pengefektifan pencapaian tujuan nasional. Namun tujuan dan fungsi hukum itu seringkali tidak seperti yang diharapkan, tiada lain karena banyaknya faktor, baik yang berasal dari dalam sistem hukum19 maupun di luar sistem hukum 20 yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Faktor berasal dari dalam sistem hukum seperti aparat yang tidak kapabel, kredibel dan akuntabel, politik penguasa yang tidak mewakili rasa keadilan masyarakat artinya apa yang diinginkan oleh hukum berbeda dengan keinginan masyarakat. Roscoe pound menyebut dengan istilah kesenjangan Law in the books dan law in action. Chamblis dan Seidman menyebut “The Myth of the operation of the law to given the hie dailcy.” 20 Faktor di luar sistem hukum berasal dari kesadaran hukum masyarakat, perkembangan dan perubahan sosial, politik hukum penguasa, tekanan dunia internasional, maupun budaya hukum masyarakat. 19
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
45
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Selain itu sering terjadi ketimpangan, diskresi antara hukum “solen” dengan hukum”sein,” karena aparat penegak hukum yang malah melakukan penyimpangan, sehingga berakibat timbulnya masyarakat yang beraksi menolaknya dengan berbagai cara seperti memprotes, melanggar, bahkan tidak menghiraukannya. Dengan kata lain, hukum tegak jika seluruh komponen sistem hukum seperti aparat, hukum, dan masyarakat mampu bekerja sama. Namun jika salah satu absen, tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka hukum yang tegak hanya sebuah angan-angan belaka. Aparat atau pun pelaku legislator dianggap “absen” jika dalam law making process nilai-nilai masyarakat direduksi, disimpangi hasilnya hanya untuk menguntungkan golongan tertentu, kelas tertentu, persekutuanpersekutuan tertentu, penguasa, orangorang kaya dan sebagainya. Dalam penegakannya (law enforcement process) aparat mudah disuap, dibeli, sering menjungkirbalikkan fakta, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Di sisi lain masyarakatnya mengembangkan budaya yang tidak kondusif dan mendukung tegaknya hukum seperti main hakim sendiri, tidak bersahabat dengan aparat untuk mencegah penyimpangan, pengabaian hukum dan sebagainya, maka hakikat sistem sebagai keteraturan hanya mitos belaka. Realita yang terjadi justru konflik dalam sistem hukum, karena masing-masing komponen, elemen, sub sistem memiliki kontribusi untuk merapuhkan penegakan hukum. Oleh karenanya, bila ditarik kesimpulan, komponen dasar apa yang mempengaruhi penegakan hukum, maka jawabannya adalah pada sisi aparatur penegak hukum itu sendiri seperti hakim, jaksa, advokat, dan juga polisi.
Nur Rohim Yunus
4. Dilema
Kesadaran Hukum Sebagai Penghambat Budaya Hukum Kesadaran hukum adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau ketaatan kepada hukum. Sedangkan dari sudut terminologi “kesadaran hukum” berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peraturanperaturan hukum dengan tingkah laku hukum anggota masyarakat.21 Kesadaran hukum pada dasarnya merupakan kontrol agar hukum dibuat dan dilaksanakan sebaik mungkin. Oleh karena itu perlu adanya usahausaha ke arah pembinaan kesadaran hukum yang berorientasi kepada penanaman, pemasyarakatan, dan pelembagaan nilai-nilai yang mendasari peraturan tersebut. Kesadaran memerlukan hukum sebagai sarana yang disengaja guna mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki, yang tentunya berangkat dari keinginan bersama. Sehingga dapat menjadi sarana penunjang untuk merealisasikan kebijakankebijakan negara, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan Hankam sesuai dengan skala prioritas yang telah ditentukan. Masyarakat dalam proses bekerjanya hukum berposisi sebagai “pemegang peran” (role occupant). Sehingga diharapkan berperan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum. Seseorang berperan sesuai dengan kriteria hukum atau tidak ternyata Pengertian tentang kesadaran hukum ini diwacanakan sebagai upaya menciptakan masyarakat yang sadar hukum (kadarkum) yang tertuang dalam surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 05-PR.08.10 Tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum, 1998. 21
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
46
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
banyak dikendalikan oleh faktor dalam sistem hukum maupun diluar sistem hukum yaitu anggapan, persepsi masyarakat terhadap adanya hukum yang lazim disebut budaya hukum. Jika masyarakat menganggap bahwa hukum dipraktekkan pemerintah kepadanya dirasa baik dalam menjalin keberlangsungan hidupnya, tentunya rakyat akan berperan sesuai hukum itu. Sebaliknya, jika hukum secara substansial merugikan ataupun tingkah laku masyarakatnya kurang taat, maka perilaku yang diharapkan sulit terwujud dan akhirnya muncul peran yang kontradiktif dan paradok terhadap hukum. Kesadaran hukum terkait erat dengan budaya hukum masyarakatnya. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi atau rendah dapat dilihat pada budaya hukumnya, jika budaya hukumnya cenderung positif, proaktif terhadap cita hukum tentu masyarakatnya memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Dalam hal ini fungsi hukum mengalami perluasan yang mulanya sebagai kontrol sosial dan pertahanan pola sosial bergeser ke arah perubahan tingkah laku yang dikehendaki hukum. Jika demikian dapat digeneralisasikan bahwa tingkah laku masyarakat suatu negara dapat dilihat pada hukumnya, yaitu jika hukumnya bertujuan mengontrol dan mempertahankan pola hidup warga negara secara tetap dan mapan dalam bertingkah laku.
5. Implikasi
Kepatuhan Terhadap Budaya Hukum Masyarakat Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk perilaku
Nur Rohim Yunus
sebagai cermin kepatuhan hukum 22 di dalam masyarakat. Dalam budaya hukum dapat dilihat suatu tradisi perilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau ramburambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subjek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat dalam kesadaran hukumnya sungguhsungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini. Karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk perilaku yang nyata. Secara instinktif maupun secara rasional sebenarnya masyarakat sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Pakar Sosiologi Hukum Satjipto Raharjo 23 secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah sekalipun putusan Pengadilan telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang dalam mengenai perlunya mentradisikan budaya hukum Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “patuh” berarti taat pada perintah dan aturan, atau berdisiplin. [Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 737]. 23 Lihat: Satjipto Raharjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003), h.55. 22
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
47
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
di negeri ini, karena tanpa tertanamnya budaya hukum mustahil akan dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan. Oleh karenanya, sekalipun masyarakat sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini. Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh terhadap nilainilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat. Kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh pada hukum antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama. Secara a contra-rio jika di dalam komunitas masyarakat banyak didapatkan anggota masyarakat tidak patuh pada hukum, hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan, dimana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum
Nur Rohim Yunus
seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya, dan lain sebagainya. Selain itu, ketidakpatuhan dapat terjadi karena hukum dalam penegakannya dinilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik. Penegakan hukum dirasakan diskriminatif, sehingga dalam hal ini kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat tidak patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan, jika individu masyarakat memiliki komitmen kuat, konsisten, dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, sehingga siapapun harus tunduk kepada hukum, dan penegakan hukum pun tidak memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum. Namun, jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, dan tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka akibat yang timbul masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan fisik (eigen rechting).
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
48
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
6. Progresifitas Penciptaan Masyara-
kat Berbudaya Hukum Perubahan merupakan suatu keharusan dalam dinamika kehidupan hukum masyarakat. Tidak ada yang statis, semua berubah, dan bergerak secara dinamis. Segala sesuatu di jagad raya ini selalu mengalami perubahan, tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Pada intinya, moralitas bangsa sangat menentukan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Kesadaran yang beralih pada kepatuhan sehingga tegaknya hukum secara perlahan menjadikan masyarakat berbudaya hukum adalah suatu metamorfosis kehidupan hukum yang harus dijalankan oleh semua komponen masyarakat. Untuk menuju terciptanya masyarakat berbudaya hukum maka perlu ada gerakan perubahan dalam bentuk reformasi atau pun restorasi ulang segala lini kehidupan, baik sistem hukum, masyarakat, pemerintah, maupun aparat penegak hukum itu sendiri. Adapun upaya menciptakan masyarakat berbudaya hukum dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti: a. Reduksi Kekuasaan Menuju Negara Hukum Hakiki Sejak diproklamirkannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memilih negara yang berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan. Oleh karenanya, dalam penyelenggaraan bernegara dan berbangsa, negara berkewajiban melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kewajiban ini telah diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah ditegaskan dalam Pembukaannya, sebagai landasan, jiwa, dan ruh bangsa Indonesia dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.24 24
Lihat: Pembukaan UUD NRI 1945 pada alenia kedua.
Nur Rohim Yunus
Penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak fakta dan sejarah negara-negara di dunia yang mengatakan bahwa negaranya bukan berlandaskan pada kekuasaan (machtsstaat), tetapi dalam realitas kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dalam prakteknya tergelincir ke dalam negara berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Sehingga kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tidak berdasarkan atas hukum. Akibatnya, hukum berlaku sangat diskriminatif. Sehingga dalam pelaksanaannya, banyak menimbulkan masalah dan persoalan yang sangat serius dan bahkan akhirnya menjadi persoalan dilematis. Hukum diartikan sebagai kekuasaan, sehingga penegakan hukum dapat diintervensi oleh seberapa besar pengaruh langsung kekuasaan pada para penegak hukum atau pada sebuah institusinya, yang menyangkut karier dan jabatan. Selain itu banyak gugatan berbagai kalangan yang menyoal ketertutupan pengadilan, yang disebabkan oleh pelaksanaan hukum yang tebang pilih. Gugatan terhadap pelaksanaan hukum yang tebang pilih atau penegakan hukum yang sangat diskriminatif tersebut sangat mencederai rasa keadilan. Karenanya sejauh mungkin agar dapat dihindari, bila tidak, maka pelaksanaan hukum dan penegakan hukum berjarak jauh bagaikan langit dan bumi. Diskriminasi hukum dan kasus tebang pilih terhadap proses hukum terjadi karena dalam penegakan hukum masih jauh dari rasa memiliki budaya hukum. Selain para penegak hukum belum banyak memahami budaya hukum. Padahal, budaya hukum sangatlah penting dan bahkan dapat menjadi faktor penentu dalam
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
49
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
penegakan hukum dan pelaksanaan hukum, sehingga hukum berlaku untuk semua orang dan memiliki rasa keadilan. Bukti empirik menyatakan bahwa proses hukum yang terjadi saat ini sudah bukan menjadi rahasia lagi, dimana praktek dan pelaksanaan hukum berasaskan pandang bulu. Misalnya, maling ayam yang nilai nominalnya tak lebih dari harga dua puluh ribu rupiah dijatuhi hukuman penjara tiga bulan bahkan lebih. Tapi para koruptor yang menggelapkan uang rakyat milyaran rupiah, ternyata dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas, atau hanya mendapat hukuman ringan saja. Padahal, maling ayam hanya mengorbankan kepentingan satu orang, yaitu pemilik ayam yang secara materi hanya dua puluh ribu rupiah, sedangkan pelaku korupsi, yang dikorbankan adalah semua warga masyarakat, yang secara material nilainya milyaran rupiah, dan secara multiplier effect adalah masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia. Karena dampaknya dapat menghambat program kegiatan penyelenggaraan negara, terkendala bahkan terhenti, yang secara ekonomi dengan terhentinya kegiatan penyelengaraan negara untuk kepentingan rakyat telah raib akibat ulah para pelaku kejahatan korupsi tadi. Oleh karenanya, negara hukum (rechsstaat) yang menjadi cita-cita awal negara Indonesia harus direstorasi ulang. Tidak ada lagi kekuasaan yang mendominasi. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Diskriminasi hukum dan tebang pilih dengan membeda-bedakan penguasa atau pejabat dengan rakyat jelata hendaknya dihindarkan, karena tidak sesuai dengan gagasan dasar negara hukum Indonesia.
Nur Rohim Yunus
b. Sinergitas Penegak Hukum dan Sistem Hukum Pada dasarnya budaya hukum yang dikatakan Friedman menunjuk pada dua hal yaitu; unsur adat istiadat yang organis berkaitan dengan kebudayaan secara menyeluruh; dan unsur nilai dan sikap sosial. Bahkan sistem hukum yang terdiri dari struktur dan substansi, bukanlah merupakan mesin yang bekerja. Apabila kedua unsur itu berfungsi dalam masukan dan keluaran proses hukum, maka kekuatan-kekuatan sosial tertentu berpengaruh terhadapnya. Kekuatan-kekuatan sosial itu merupakan variabel tersendiri yang disebut budaya hukum. Varibel itu berproses bersamaan dengan kebudayaan sebagai suatu variasi, yang kemungkinan variabel tersebut menentang, melemahkan, atau memperkuat sistem hukum. Hukum baru dapat berjalan apabila antara penegak hukum dan hukum itu sendiri menjadi sebuah himpunan yang berkorelasi langsung dalam hubungan paralel. Artinya, hukum baru akan berjalan bilamana para penegak hukum mempunyai dan atau menjalankan budaya hukum, atau dengan perkataan lain, hukum baru dapat berjalan dengan rasa keadilan bilamana institusi penegakan hukum tidak menjadi sebuah institusi “jeruk makan jeruk.” Keadilan baru dapat terwujud bilamana para penegak hukum memiliki kejujuran dan parameter kebenaran yang jelas, atau jika para penegak hukum dapat jujur dan benar. Tanpa kejujuran dan kebenaran, amat naïf keadilan dapat diwujudkan dan dirasakan. Karenanya, saat penegak hukum menjalankan budaya hukum, maka dapat menjadi faktor penentu kepatuhan terhadap hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, jika para penegak hukum kurang atau tidak
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
50
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
mempunyai budaya hukum, maka budaya hukum dalam masyakarakat pun sangat kecil kemungkinannya dapat berjalan dan diterapkan. Ketaatan masyarakat terhadap keberadaan hukum akan sangat bergantung pada sejauhmana konsistensi dan budaya hukum hidup dalam aparat penegak hukum atau institusi penegak hukum. Keniscayaan hukum merupakan persoalan budaya hukum, dimana budaya hukum sebagai komponen sistem hukum yang juga tak terlepas dari faktor suri tauladan (qudwah hasanah) yang diberikan oleh para penegak hukum untuk membudayakan hukum terlebih dahulu sebelum kemudian menegakkan hukum kepada masyarakat. Bila budaya hukum suatu masyarakat belum tumbuh dan tertanam baik dalam kehidupan sosial, maka prosesi penegakan hukum pun akan sulit dapat diterapkan. Sehingga bila hal ini terjadi, masyarakat pun tumbuh dan berkembang tanpa adanya budaya hukum yang menyertai. c. Melepas Belenggu Tafsir KUHP Ketiadaan budaya hukum dalam kehidupan para penegak hukum, menjadi penghambat dan kendala besar dalam tegaknya supremasi hukum. Bahkan hukum seolah menjadi berumah di atas angin. Ketiadaan budaya hukum dalam perilaku penegak hukum disebabkan oleh banyak hal, di antara yang sangat signifikan adalah karena para penegak hukum banyak terjerat dan terjebak serta hanya berkutat pada tafsir KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Misalnya, dalam kasus korupsi yang dipergunakan KUHP, bukan dengan UU Pemberantasan Korupsi (UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001) yang lebih luas. Pembajakan hak intelektual tidak menggunakan UU Hak Cipta Intelektual (HAKI). Kasus pelenyapan atau
Nur Rohim Yunus
penculikan aktivis bukan dengan UU HAM dan seterusnya. Oleh karenanya, perlu upaya pembaharuan KUHP yang notabene warisan kaum kolonial Belanda, dengan melakukan legislasi KUHP baru hasil cipta dan rasa yang bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri. 25 Sehingga tidak lagi tumpang tindih keputusan hakim yang bersumber dari KUHP dan Undang-Undang lain yang relevan dengan kasus yang dihadapi. d. Pertanggungjawaban Moralitas Penegak Hukum Penyebab signifikan lainnya adalah masalah moralitas para penegak hukum. Oleh karenanya, sistem pendidikan moral harus dirubah sedemikian rupa dan atau lebih pada metodologi sistem pemaknaan terhadap moralitas itu sendiri. Sehingga para pejabat yang ditunjuk untuk menduduki jabatannya adalah benar-benar orang yang secara moralitas dapat dipertanggungjawabkan. Yang tak kalah signifikan lainnya adalah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dalam sistem makna hukum yang hidup dalam diri para penegak hukum adalah KUHP bukan lagi menjadi KUHP yang sebenarnya, tetapi sudah menjadi “KUHP” dalam sistem makna “Keluar Uang Habis Perkara.”26 Upaya ini sebenarnya telah dilakukan dengan pengajuan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dari tahun 2006, tetapi upaya ini masih belum terealisasi karena Sumber Daya Manusia (SDM) di Senayan yang belum mampu mewujudkannya. 26 Contoh KUHP menjadi “KUHP” terjadi dalam praktek pasal 359 KUHP dalam hal musibah atau kecelakaan lalu lintas. Orang yang tidak mempunyai uang akan menghadapi proses hukum dan menjalani vonis hukuman kurungan atau penjara serendah-rendahnya dengan vonis 6 bulan penjara, tetapi bagi yang mempunyai uang maka akan menjadi Keluar Uang Habis Perkara (KUHP). Fakta tersebut tidak dapat terbantahkan keberadaannya di negeri kita. 25
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
51
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Dalam kasus penangguhan penahanan dan uang jaminan penangguhan penahanan, tentunya dengan berbagai alibi, bahwa yang bersangkutan dapat dijamin tidak akan menghilangkan barang bukti, tidak akan melarikan diri, akomodatif dan ada yang memberikan jaminan. Salah satu pasal dipakai untuk menjastifikasi adalah KUHP. Dibanyak fakta, penangguhan penahanan sangat bergantung pada tingkat lobi dan besarnya uang. Realita yang terjadi juga, penangguhan penahanan dengan jaminan uang disalahartikan. Uang jaminan tersebut berakhir menjadi “uang kami”. Sebagai jaminan, seharusnya uang jaminan tersebut dikembalikan setelah masa penjaminan berakhir atau selesai. Itulah moralitas penegakan hukum di negeri kita. Contoh lainnya, bahwa pada pasal 4 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3. Dalam prakteknya, asal telah mengembalikan uang yang dikorupsi, maka putusan majelis hakim adalah bebas dan dinyatakan tidak bersalah, tidak cukup bukti dan seterusnya, karena dianggap tidak ada kerugian negara lagi. Karenanya, supremasi hukum baru dapat berjalan, jika budaya hukum telah hidup dan berjalan pada kehidupan para penegak hukum itu sendiri. Selama para penegak hukum Bahkan ada fakta di negeri kita, seseorang yang menjadi korban tabrak lari, di mana yang membonceng mati akibat tabrak lari tersebut dan yang menabrak tidak bisa dikenali dan atau hilang jejak, kemudian pengemudi motor yang masih hidup oleh Polisi dijerat dan dijadikan tersangka dengan alasan tafsir KUHP kelalaian yang menyebabkan hilang nyawa seseorang. Bila pengemudi mau mengeluarkan uang, maka perkara akan menjadi “KUHP (Keluar Uang Habis Perkara).”
Nur Rohim Yunus
tidak memiliki budaya hukum, tidak memiliki kejujuran dan kebenaran, maka perilaku penegak hukum akan menjadi diskriminatif dan bahkan menjadi kabur, dan jauh dari rasa keadilan. Kebenaran tidak dapat terwujud jika tidak ada kejujuran. Tanpa kebenaran, keadilan sangat naïf terwujud dan rasa keadilan tidak akan pernah dirasakan, artinya bagaikan menggantung di atas awan. e. Legislasi Undang-Undang Yang Berpihak Pada Aspirasi Masyarakat Selain penegak hukum, para pembuat hukum (legislator) pun harus berbudaya hukum. Karena pembuatan hukum merupakan suatu rencana bertindak dengan aktif memperhatikan berbagai faktor terkait dalam kehidupan masyarakat, dan tidak boleh dilakukan secara parsial. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha yang sistematis meliputi tekhnik-tekhnik perundang-undangan yang dipakai. Dengan harapan proses pertimbangan pembuatan hukum tersebut mampu mengakomodir nilai dan kehendak serta cita-cita bersama. Realita yang terjadi, dalam proses legislasi atau pembuatan UndangUndang (UU) tidak lagi didasarkan atas kepentingan rakyat, tetapi lebih didasarkan pada kepentingan individual atau kelompok semata. Bahkan proses legislasi hukum yang ada, seolah hanya mengayomi para elit penguasa dan pengusaha semata. Bila berkenaan dengan kepentingan partai atau pengusaha, maka kepentingan partai politik dan pengusaha yang didahulukan. Hal ini mengakibatkan hilangnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum, karena mereka mengetahui bahwa hukum dibuat hanya untuk kepentingan kalangan tertentu saja. Dampaknya, tingkat kesadaran hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
52
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
menjadi lemah. Hukum yang dibuat tidak lagi mampu menyerap ke akar rumput. Pemberdayaan hukum dalam bentuk gerakan Kesadaran Hukum (Kadarkum) masih sebatas angin lalu. Lagi-lagi budaya hukum sangat perlu peningkatan yang lebih maksimal. f. Penanaman Nilai-Nilai Agama dan Ketakwaan Nilai-nilai agama selalu berpihak kepada kebenaran dan mengajarkan kebaikan serta memerintahkan melakukan perbuatan baik, sehingga memberikan dampak kedamaian dan ketentraman kepada seluruh umat manusia. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya penanaman nilai-nilai agama terhadap masing-masing individu masyarakat Indonesia, dalam segala lini lapisannya. Upaya ini pun dapat memberikan kontribusi besar dalam rangka pembentukan budaya hukum masyarakat Indonesia, karena adanya nilai-nilai baik dan mulia yang tertanam dalam sanubari individu masyarakat Indonesia.27 Dalam Islam, nilai-nilai agama terwujud dalam bentuk ketakwaan kepada Allah SWT, yang dibarengi dengan perilaku menjaga diri dari amarah dan azab Allah SWT. Dengan kata lain melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Hal ini dilegal formalkan dalam TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Bab III: “Terwujudnya nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Nilainilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa selalu berpihak kepada kebenaran dan mengajarkan untuk memberi maaf kepada orang yang telah bertobat dari kesalahannya.” Bab IV: “Menjadikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka akhlak dan moral penyelenggara negara dan masyarakat.” 27
Nur Rohim Yunus
Pengertian takwa terkandung pula pengendalian manusia akan dorongan dan emosinya dan penguasaan atas kecenderungan dan hawa nafsunya, dengan memenuhi dorongan-dorongan dalam batas-batas yang diperkenankan oleh ajaran Islam. 28 Selain, dalam pengertian takwa juga terkandung perintah kepada manusia agar dalam tindakan-tindakannya, manusia berlaku benar, adil, memegang amanat, dapat dipercaya, bergaul baik dengan orang lain, dan menghindari permusuhan dan kezaliman. Pun hendaknya melaksanakan segala pekerjaan yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya dengan selalu menghadapkan jiwa kepada Allah SWT, memohon ridha dan karunia-Nya. Ketakwaan dengan pengertian di atas akan menjadi kekuatan yang mempengaruhi manusia ke arah tingkah laku yang lebih baik, ke arah pengembangan diri dan menghindari tingkah laku yang buruk, menyimpang, dan tercela. Untuk itu manusia dituntut untuk dapat membina dirinya dan mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsunya. Dengan demikian ketakwaan merupakan salah satu faktor yang mengantarkan pada kematangan kepribadian, keutuhan, keseimbangan, dan mendorong manusia untuk mengembangkan diri menuju kesempurnaan manusiawi. Bila hal ini terakumulasi dalam komunitas masyarakat, maka akan terbentuk masyarakat mulia yang terdiri dari individu-individu bertakwa. Baik sebagai aparat penegak hukum, aparat penyelenggara pemerintahan, ataupun sebagai masyarakat umum. Sehingga hukum yang berlaku dapat Lihat: M. Usman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka Bandung, 2000), h. 304. 28
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
53
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
tegak, dipatuhi, dan berjalan efektif. Maka secara otomatis masyarakat akan berbudaya hukum, karena adanya kesadaran hukum yang tumbuh dalam sanubari masing-masing. g. Adanya Komunikasi Hukum Terjadinya misunderstanding (kesalahpahaman) ataupun misperseption (kesalahan persepsi) masyarakat atas kebijakan hukum pemerintah kerap disebabkan karena miscommunication (kurang komunikasi) antara pemerintah dan masyarakat umum. Sehingga hukum yang dibuat tidak membumi ke seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, diperlukan hubungan timbal balik yang saling memahami antara pemerintah dan masyarakat untuk mewjudkan hukum dan melaksanakannya tanpa ada keterpaksaan atau pun tekanan dari pihak manapun. Dalam hal ini diperlukan komunikasi hukum.29 Kadangkala komunikasi hukum yang dilakukan tidak dapat berjalan dengan lancar disebabkan karena apa yang diatur dalam hukum tidak erat Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti-arti tertentu. Tujuan dari komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama dengan maksud agar terjadi perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku. Namun, komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap. Oleh karena sikap merupakan suatu kesiapan mental (predisposition) sehingga seseorang mempunyai kecenderungankecenderungan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata. Dengan demikian, sikap mempunyai komponen kognitif, afektif maupun konatif. Komponen kognitif menyangkut persepsi terhadap keadaan sekitarnya yang antara lain mencakup pengetahuan. Komponen afektif berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang. Komponen konatif berkaitan dengan kecenderungan untuk bertindak atau berbuat terhadap sesuatu. Ketiga komponen tersebut berkaitan erat dengan komunikasi hukum. [Lihat: Soekanto, 1989) h. 18]. 29
Nur Rohim Yunus
hubungannya dengan masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh masyarakat. Akibatnya hukum tidak mempunyai pengaruh sama sekali atau mempunyai pengaruh yang negatif terhadap sikap masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, maka masyarakat dapat bersikap acuh tak acuh atau bahkan melawan hukum. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dan tidak dipahami, sehingga mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan atau bahkan konflik. Peranan ahli hukum dalam komunikasi hukum sangat diharapkan untuk dapat menjelaskan hukum kepada masyarakat dengan berpegang pada dasar-dasar komunikasi maupun psikologi agar masyarakat dapat memahami serta mematuhi hukum. Komunikasi hukum yang berkaitan dengan suatu keputusan hukum dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat melalui tatap muka, sehingga dapat langsung diketahui apakah pesannya diterima dan dimengerti oleh si penerima pesan atau tidak. Komunikasi langsung harus dapat dilakukan dalam masyarakat-masyarakat kecil yang mendasarkan pola interaksi pada komunikasi tatap muka. Berlainan jika sasaran komunikasi hukum adalah masyarakat luas, maka pembuat hukum harus dapat memproyeksikan sarana-sarana yang diperlukan, agar kaidah hukum yang dirumuskannya mencapai sasaran dan benar-benar dipatuhi. Sedangkan kaitan dengan masalah dan relevansi suatu kaidah hukum, maka semakin khusus ruang lingkup suatu kaidah, semakin efektif kaidah hukum tersebut dari sudut komunikasi hukum. Demikian pula dalam penggunaan bahasa harus digunakan bahasa yang dapat dipahami oleh
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
54
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
masyarakat. Penentuan masyarakat yang menjadi sasaran perundangundangan pun perlu diperhatikan. Apabila hukum telah dikomunikasikan kepada masyarakat, maka kepatuhan terhadap hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada di masyarakat di mana hukum itu akan diimplementasikan. h. Restorasi Nilai-Nilai Budaya Menuju Perubahan Hukum Disadari atau tidak, hukum sebagai kaidah sosial tidak mungkin dapat dilepaskan dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat yang berarti pencerminan dari nilai-nilai dalam masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai kehidupan dalam suatu masyarakat akan mengalami proses perkembangan, khususnya pada suatu masyarakat yang mengalami proses peralihan (transition) dari suatu masyarakat sederhana yang berciri tertutup, statis, dan terbelakang menuju ke suatu masyarakat modern yang berciri dinamis, terbuka, dan maju. Konteks perubahan dalam proses pembangunan atau pun reformasi yang terpenting bukanlah sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berorientasi fisik material semata yang ditandai dengan banyaknya pembangunan infrastruktur atau perkembangan teknologi transportasi dan informasi, akan tetapi yang paling pokok dan terpenting adalah pembangunan manusia sebagai anggota masyarakat serta nilai-nilai dan budaya yang dianut. Nilai-nilai sosial budaya tidak lepas dari sikap (attitude), pola pikir, budaya yang mendorong dan seharusnya
Nur Rohim Yunus
dimiliki oleh masyarakat yang sedang membangun dan mereformasi diri. Bila aspek ini diabaikan, maka pembangunan dan pembaharuan fisik material tidak banyak berarti, bahkan akan menemui kegagalan seperti yang terjadi pada negara berkembang yang mengabaikan aspek budaya lokalnya.30 Para elite masyarakat termasuk apa yang dinamakan intelektual sebagai golongan yang mempelopori pembaharuan, seringkali tidak dapat mempraktekkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang dianjurkan sebagai sifat yang diperlakukan dalam masyarakat modern, seperti; kejujuran (honesty), efisiensi (efficient), bertepat waktu (punctulity), keteraturan (orderliness), rasional dalam berpikir dan dalam mengambil keputusan, kemampuan untuk menangguhkan konsumsi (perspektif masa depan).31 Kaitannya dengan nilai-nilai budaya dapat saja mengambil segi-segi positif dari budaya luar, akan tetapi dalam prakteknya tetap melakukan penyaringan dengan budaya hukum itu sendiri yang lebih bersifat kommunal yang berciri kekeluargaan dan kegotongroyongan sebagai ciri yang menonjol dari budaya hukum Pancasila. Dalam penemuan hukum dan pembentukan hukum-hukum baru, masyarakat Indonesia tidak mungkin mampu menutup diri dari gelombang globalisasi, akan tetapi dalam penerapan hukum harus mampu lebih mempertimbangkan budaya hukum sendiri.
30Lihat:
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, KonsepKonsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2006), h. 10-12. 31Ibid, h. 12.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
55
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
C. PENUTUP Kesimpulan akhir yang dapat diambil adalah perlunya mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa yang telah menjadi warisan leluhur, untuk kemudian dalam bidang hukum menjadi suatu kebudayaan tersendiri. Budaya untuk malu berbuat salah, malu melanggar aturan, dan malu untuk tidak mengikuti aturan dan hukum yang ada. Bila ini telah disadari, maka aspek-aspek lain seperti kepatuhan hukum, penegakan hukum, dan kesadaran hukum dengan sendirinya dapat terwujud dalam bingkai budaya hukum yang terpantri dalam jiwa dan sanubari masyarakat Indonesia. Selain itu diupayakan penciptaan budaya hukum dalam masyarakat Indonesia dalam bentuk progresifitas hukum seperti melakukan reduksi kekuasaan penguasa sehingga Negara Indonesia menjadi Negara hukum yang hakiki, sinergitas penegak hukum dan sistem hukum, melepas belenggu tafsir KUHP, pertanggungjawaban moralitas penegak hukum, legislasi undangundang yang berpihak pada aspirasi masyarakat, penanaman nilai-nilai agama dan ketakwaan, adanya komunikasi hukum, dan restorasi nilainilai budaya menuju perubahan hukum. D. DAFTAR PUSTAKA Alan Watson, 1977, Society and Legal Change, Edinburgh: Scottish Academic Press. Azhari,
Muhammad Tahir, 2010, Negara Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.4.
Nur Rohim Yunus
Darmodiharjo, Darji, dan DR. Shidarta, SH., 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Friedman, Lawrence Meil, 1979, Law and Society; an Introductions, Prencite-Hall Foundations of Modern Sociology Series, Englewood Cliffts, Standford University, New Jersey. Friedman, Lawrence Meil, 1979, Law and Society; an Introductions, (Prencite-Hall Foundations of Modern Sociology Series, Englewood Cliffts, Standford University, New Jersey. Kusumaatmadja, Mochtar, 2006, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni. Lev, Daniel S, ”Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia”, dalam Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, dalam Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang. Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011. Muchsin, 2006, Ikhtisar Filsafat Hukum, Jakarta: Badan Peneliti Iblam. Najati, M. Usman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka Bandung, 2000. Pusat Studi Indonesia, 1999, Jurnal Studi Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
56
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Nur Rohim Yunus
Raharjo, Satjipto, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Kompas,. Raharjo, Satjipto, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Raharjo, Satjipto, 2007, membedah hukum progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Rasyidi, Lili, dan IB Wyasa, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono, 1983, FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono, 1987, Suatu Pengantar, Rajawali Pers.
Sosiologi Jakarta:
Tanya, Bernard L., 2006, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: Penerbit CV Kita. Tim
Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
Ujan, Andre Ata, 2009, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta: Kanisius
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
57