Kearifan Lokal Masyarakat Samin
ISSN: 20891911
.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SAMIN TERHADAP TANAH DALAM MENCIPTAKAN KETAHANAN PANGAN DITINJAU DARI PERPEKTIF BUDAYA HUKUM Oleh: St Laksanto Utomo
47
ABSTRACT
Food resilience became one part of government's development with the needs of adults because the bulk of food imports, including rice diametrically opposed to the condition of this country because as persons with an agricultural country but the fact of being a rice importer. It is inversely proportional to the real situation in rural areas, especially villages that are still based farmers. Samin community local wisdom with custom farmer's life is at the heart of life, cumin community school with a hoe is the belief that done for generations. The government should apply the law in modern (agrarian principal legislation) to be more involved and aspirations to be involved in regulation and government policy. Samin community could be a model for other indigenous peoples who left or were not involved in the development of Indonesia, if observed in depth local knowledge and beliefs of indigenous peoples who maintain the environmental balance and mempertahanakan farm visits are even more superior to either agricultural (food resilience), and the property of the field agricultural land (paddy fields). Key words: food resilience, Samin community
Pendahuluan Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya terdiri dari berbagai suku bangs a dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan modemisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam hal mengikuti alur modemisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktor keterikatan kultur/adat, agama maupun lokasi. Masyarakat yang dideskripsikan terakhir inilah yang disebut dengan Masyarakat 47
28
Dr St Laksanto Utorno,SH.MH : Peneliti pada LPSH-HILC Jakarta, saat ini sbg Dekan FH USAHID Jakarta, rnakalah ini sebagai bahan paparan pada "Roundtable Workshop "Optirnalisasi Pernanfaatan Bentang untuk Kedaulatan Pangan" yang diselenggarakai Tropenbos International Indonesia, tgl17 Januari 2012, di Diklat Kehutanan Bogor, Jawa Barat
Hukum Adat" yang masih hidup terpencil. Walaupun dalam keadaan ketertinggalan dan Istilah rnasyarakat hukurn adat rnerupakan terjernahan dari rechtgemenschap. Penggunaan istilah "masyarakat hukurn adat" diperdebatkan karena sejarah dan pernaknaannya sangat sernpit yaitu entitas rnasyarakat adat sebatas entitas hukurn sehingga sebaiknya digunakan istilah "rnasyarakat adat" atau Indigenous Peoples (IPs) yang rnaknanya lebih luas rneliputi, dirnensi kultural dan religi. Terdapat beberapa pengertian rnasyarakat adat atau Indigenous Peoples (IPs), yaitu: 1. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) rnasyarakat adat adalah kelornpok rnasyarakat yang rnerniliki asal-usul leluhur (secara turun ternurun) di wilayah geografis tertentu, serta rnerniliki nilai, ideologi, ekonorni, politik, budaya dan wilayah sendiri. 2. Konvensi ILO 169 tahun 1989 rnengenai Bangsa Priburni dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States) rnendefinisikan IPs sebagai suku-suku bangsa yang berdiam di negara rnerdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonorninya berbeda dengan kelornpok rnasyarakat yang lain. Atau suku-suku bangsa yang telah rnendiami sebuah negara sejak rnasa kolonisasi yang rnerniliki kelernbagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri. 3. Jose Martinez Cobo, yang bekerja sebagai pelapor khusus untuk Kornisi Pencegahan Diskrirninasi dan Perlindungan Kaurn Minoritas, pada tahun 1981, dalam laporannya yang berjudul Diskrirninasi Terhadap Masyarakat Adat, rnendefenisikan IPs sebagai kelornpok rnasyarakat atau suku bangsa yang rnerniliki kelanjutan hubungan sejarah antara rnasa sebelurn invasi dengan rnasa sesudah invasi yang berkernbang di wilayah rnereka, rnenganggap diri rnereka
48
Hukum ResponsifVolume
02
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
keterbelakangan mereka tetap memiliki hak sebagai warga negara yang diakui dan dilindungi keberadaan dan kebebasannya untuk tetap hidup dengan nilai-nilai tradisionalnya. Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh. Sekarang ini desa Baturejo, kecamatan Sukolilo yang luas wilayahnya ialah 963,546 Ha dimukimi oleh penduduk yang berjumlah 5.397 orang di mana sejumlah 597 orang adalah warga dari masyarakat Sikep". Di antara luas wilayah desa itu sebesar 57,300 Ha merupakan tanah kas desa. Tanah desa yang bersertifikat ada 296 buah di mana luas tanah ini keseluruhannya adalah 248,500 Ha. Sedangkan tanah yang belum bersertifikat ada 774 buah yang luas keseluruhannya adalah 657,740 Ha, Sementara itu, jumlah wajib pajak bumi dan bangunan ada 3.371 orang, dengan SPPT diserahkan kepada 3.371 orang. Nilai wajib pajak bumi dan bangunan ditetapkan berjumlah mencapai Rp 11.796.711, di mana target ini dapat tercapai seluruhnya. Adapun jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani adalah 2.136 orang dan yang bekerja sebagai buruh tani berjumlah 1.698 orang'". Sekalipun tatanan hukum pertanahan menurut tradisi Samin masih sangat kuat berpengaruh, namun dalam perkembangannya masyarakat Samin juga ikut terpola dengan tatanan hukum pertanahan modem yang dibuat oleh Negara. Dari 40 orang responden yang diwawancarai, sebanyak 38 orang mengakui sudah memiliki pengetahuan - setidak-tidaknya pemah mendengar - Undang-undang Pokok Agraria yang antara lain mengatur tentang berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas. 4. Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, Maret 1999 menyepakati bahwa Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turuntemurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri. Rikardo Simarmata, "Menyongsong Berakhimya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarakat,
, diakses tanggal 16 September 2006, dan Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, "Hukum Adat dan HAM," Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat, diakses tanggal 1 November 2006 49 Laporan Monografi Desa, luni 2009. so Laporan Monografi Desa, Desember 2009.
Hukum ResponsifVolume
02
ISSN: 20891911 masalah pertanahan. Bahkan, sebanyak 33 orang setuju untuk dilakukan pendaftaran tanah menurut hukum Agraria modem. Sangat bervariasi alasan yang dikemukakan oleh respond en untuk untuk mendaftarkan tanahnya, namun sebagian besar dari mereka (17 orang) beralasan agar status haknya menjadi jelas, dan sebanyak 14 orang beralasan demi memenuhi tuntutan aturan hukum pertanahan modem. Ratifikasi kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ekosob) oleh pemerintah pada tahun 2005, telah menandai babak baru wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Meski boleh dibilang terlambat, namun ini merupakan suatu kemajuan yang patut untuk di apresiasi. Dengan diratifikasinya kovenan tersebut, negara ini memiliki kewajiban untuk menegakan hak-hak ekosob dalam kehidupan warganya. Perlindungan dan penegakan hak-hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya merupakan pencapaian peradaban manusia yang luar biasa disamping hak-hak sipil dan politik. Hal ini dikarenakan, perlindungan hak-hak asasi manusia meniscayakan seseorang untuk hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya; yang dicirikan oleh kehidupan yang terhormat, bebas dan tidak diliputi oleh ketakutan. Perlindungan. HAM merupakan "barang" baru (penemuan manusia modem) yang belum pemah terpikirkan oleh generasi manusia sebelumnya. Ditengah gejolak kehidupan global yang tidak menentu seperti sekarang, penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya memang bukan perkara mudah. Ada berbagai tekanan kepentingan serta banyak rintangan yang harus dihadapi. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut menjadi penyebab utama terabaikannya perlindungan dan penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bagi Indonesia sendiri, masalah ekonomi adalah rintangan yang cukup berat dalam menjalankan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagaimana halnya Masyarakat pedesaan pada umumnya, masyarakat Samin di desa Baturejo memiliki tradisi yang dijalankan secara temurun. Dalam tradisi lisan masyarakat Samin di Baturedjo terdapat ucapan-ucapan yang berisi ajaran hidup yang diyakini dan dijalani oleh masyarakat Samin dalam rraktik keheidupannya sehari-hari, antara lain: 1 a.
Laksanto Utomo, Penguasaan Tanah Masyarakat Adat (Studi Budaya Hukum Masyarakat Samin Di Desa Baturejo, ~l
29
• Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
memandang agama sebagai "b. Menghin~~ri perbuatan tereela seperti be~engkar, be~sel~s~h paham, irihati, jangan meneun, rnengambil mlh~ orang lain tanpa ijin, e. Mamaham~ kehidupannya karena roh yang mereka punyai hanya satu dan akan dipakai selama-lamanya. d. Kehidupan seorang Sikep haruslah sabar e. Mereka pereaya bahwa orang me?inggal ibar~t berganti pakaian dan apabila sekah berbuat baik maka akan selamanya menjadi orang baik. Akan tetapi, banyak warga Sikep yang mewariskan tanah kepada anak-anaknya bahkan sampai diwariskan kepada eueu, pemilikan tanah masih mengatasnamakan pada orangtua maupun kakek-neneknya. Juga apabila terjadi pembelian tanah milik orang lain sesama warga Sikep, masih belum dilakukan balik nama kepada pemilik baru. Hal ini menjadi kebiasaan sebagai akibat adanya suasana saling kepereayaan yang kuat di antara sesama warga Sikep, di samping ada kerepotan pengurusan maupun tambahan biaya yang tidak sedikit dalam admini~trasi bali~ nama, apalagi mengingat penghahasilan petani yang sangat terbatas sesuai dengan tanah garapan mereka yang relatif sempit. Tanah garapan masyarakat Sikep sekarang kebanyakan terdapat di sebelah utara des a Baturejo yang kebetulan lokasinya lebih rendah sehingga sebagian terdiri dari rawa-rawa dan biasa disebut tanah banarawa. Semula tempat ini ditumbuhi hutan belukar, rum putrumputan, alang-alang, dan gelagah. Kakeknenek warga Sikep dahulu membabat tumbuhtumbuhan tersebut dan membenahinya menjadi persawahan tadah hujan dan mengajukan permohonan kepada pemerintah unt~k dij~dik~ hak milik. Tanah garapan kemudian diwarisi oleh anak-cucu warga Sikep sekarang dan jauhnya dari rumah kediaman mereka adalah mulai dari satu sampai enam kilometer. Namun ketika selesai pembangunan saluran irigasi Jratunseluna, oleh pemerintah daerah lokasi rawa-rawa di tempat itu dijadikan pula sebagai lokasi patusan atau muara pembuangan sisa-sisa air irigasi. Karena terjadi penggundulan hutanhutan jati di pegunungan Kendeng, maka endapan erosi selama musim hujan tak pelak lagi berakumulasi menimbuni rawa-rawa tersebut sehingga terus-menerus semakin dangkal.
Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah). Disertasi Undip Semarang, 2011, hal. 234
30
ISSN: 20891911 A.
Pembahasan
Kepastian hukum dalam kepemilikan tanah diatur dalam Undang- Undang No 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 yang telah dirubah PP No 24 Tahun 1997 antara lain diatur pendaftaran : Jual beli, Hibah dan Waris, peraturan pendaftaran penguasaan tanah merupakan eksisting individual , ekonomis (kapitalis) 52 dan eenderung menghaneurkan kearifan lokal. Masyarakat Sikep/samin dengan budaya hukum yang mempunyai nilai, sikap, eustomarry serta way of thingking. 53. Masyarakat Saminlsikep eenderung menjadi lebih apatis, skeptis, karena peraturan yang bersifat tertulis, mengikat,~ersifat umuIfl dan statis, yang datangnya dan top down. Hukum negara merupakan modernisasi hukum, modernisasi hukum dilakukan untuk memberikan peluang kegiatan industrialisasi dan bisnis melalui hukum nasional, eara kerja hukum ini disemangati oleh nilai kapitalisme." Dalam masyarakat tradisional seperti masyarakat Saminlsikep akan terjadi beberapa permasalahan yang terkendala. Benturan peraturan dan keadaan masayarakat Saminlsikep dapat difolongkan dalam beban budaya yang tertekan'", kondisi tyersebut di masyarakat Sabu dikatakan Bernard masyarakat sabu mengalami proses mental illness yaitu terjadi karena benturan antara aturan masyarakat (soci~P' regularies) denga hukum negara (state law) . Paradigma konstruktivisme menjadi bagian untuk memberikan kondisi dan situasi agar masyarakat bisa terlibat, memahami dan melaksanakan dengan tanpa paksaan karena peraturan sangat aspiratif, maka perlu ada perubahan atau pelalksanaan agar peraturan dapat tereapai untuk mendapat kepastian hukum Esmi Warssih, Pranata Hukum sebuah telaah sosiologis, PI Suryandaru Utama, Semarang, 2005 l3 Clifford Geertz, 1983, Local Knowledge: further Essay in Interperatif Anthropolgy, New York, Basic Books . l4 Lukrnan Sutrisno, Masalah dan Proyek PIR-BUN, dalam Prisma No 4 Tahun XVIII, LP3ES Jakarta, 1989. II Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hu~m di ~ndon~sia ~alam konteks Situasi Global. Dalam Khudfaizah Dimyati (editor) . Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Muhammadiyah Press, Surakarta, 2000, him: 6 l6 Bernard L Tanya, Beban Budaya Masyarakat Lokal menghadapi Hukum Negara, Analisis Budaya dan ~esulitan Sosio Kultural Masyarakat Sabu menghadapi Regulasi Negara, Disertasi Semarang, Program Doktor Ilmu Hukum, Tahun 2000 l7 Bernard Arif Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tetantang fondasxi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, PT Mandar Maju, Bandung, 1989 52
Hukum ResponsifVolume 02
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
serta menjamin kepemilikan masyarakat. Perubahan konsep hukum yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan terhadap kebutuhan sosial sesuai situasi dan waktunya menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick58. Melibatkan masyarakat Samin/Sikep untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup sudah menjadi keniscayaan hal ini merupakan salah satu penyelesaian agar eksistensi masyarakat sikep dengan nilai tradisional dengtan melibatkan masyarakat adat adalah salah satu penyelesaian secara ekologi sesuai Capra "that science needs to develop the concepts and insights of holism and systems theory to solve societys complex problem".59 Teori Pelapisan Hukum dari Satjipto Rahardjo agar bisa membahas peruwujudan budaya sam in, dinamika samin serta model ideal budaya hukum agar peraturan pemerintah dapat dilaksanakan masyarakat khususnya masyarakat samin/sikep, apakah beberapa peraturan yang aspiratif dari bawah keatas, peraturan yang aspiratif dalam pembentukan undang-undang senantiasa melibatkan masayarakat adat atau melihat situasi dan kondisi tertentu. Satjipto Rahardjo lebih jauh menegaskan, bahwa tidak ada tatanan sosial, termasuk di dalamnya tatanan hukum, yang tidak bertolak dari kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat. Dengan perkataan lain, tidak ada tatanan tanpa paradigma/" Kesamaan sikap, prilaku, filosofi antara segmen-segmen bangsa dalam menghadapi globalisasi sangat diperlukan, mengingat legal culture merupakan the elimate of social thought and social force which determines how law is used, avoided or abused sebagai bagian dari transformasi sosial. Harry Benda dan Lance Castles, serta Victor T. King dan A. Pieter Koerver mengulas masyarakat Samin dari perspektif masyarakat dengan aliran tertentu yang melakukan gerakan perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda disebabkan masalah ekonomi, masalah pajak dan perspektif gejala millenarisme61• Ketiga 58Philip Nonet & Philip Selznick, Law and Society Transitition ; Toward Responsive Law, New York and Row, New York, 1978,him 259-260 59Frijof Capra, "The Turning point; Science, Society and trhe Rising Culture", Simon and Schuster, Bantam paperback, 1983 60 Satjipto Rahardjo. "Pendayagunaan Sosiologi hukum untuk Memahami Proses-Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi", Makalan Seminar Nasional Sosiologi Hukum don Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998b. 61 Korver, A.Pieter E., "The Samin Movement and Millenarism", lac.cit, him: 249.
Hukum ResponsifVolume
02
ISSN: 20891911 penulis melihat gerakan Samin masa lampau tumbuh atas gejala berciri sosiologi, antropologi dan kesejarahan 62. Masyarakat Samin mempunyai pedoman hidup misalnya norma yang bersumber dari kepercayaan, merupakan kebiasaan dan tradisi yang hidup dalam masyarakat, tradisi dan keyakinan yang berlaku dan hidup di masyarakat Samin sejak tahun 189063 hingga sekarang tahun 2002. Dalam penelitian ini penulis melihat adagium antropologi termasuk antropologi hukum yang menyatakan "bahwa tidak ada masyarakat yang tidak memiliki hukum", hal ini didasari pendekatan holistik yang digunakan dan pendirian bahwa hukum adalah bagian dari kebudayaan". Kegiatan beraktifitas hubungan manusia dan kelompok satu sarna lain memerlukan aturan atau seperangkat tatanan sebagai pedoman bertingkah laku65• Yang sungguh fundamental harus ada dalam hukum di masyarakat mana pun, primitif atau beradab adalah penggunaan sah paksaan fisik oleh badan yang diberi wewenang secara sosial'". Sebagaimana dalam hukum primitif hukum dibangun di atas pendahulu-pendahulu, di sana juga keputusan baru bertumpu pada aturan lama hukum atau norma adat-istiadat'". Radcliffe-Brown melihat masyarakat dengan melihat cara perilaku tertentu yang biasa dan yang mencoraki masyarakat khusus untuk itu. Perilaku demikian mungkin disebut kebiasaankebiasaan, di mana di dalam kebiasaan sosial terdapat otoritas masyarakat. Untuk sebagian kebiasaan diberi sanksi dan sebagian tidak.68 Menurut pandangan Savigny'" bahwa hukum berkembang bersamaan dengan sejarah berkembangnya rakyat. Artinya hukum menjadi kuat dengan kuatnya rakyat dan hukum menjadi lenyap jika rakyat itu kehilangan kebangsaannya Mula-mula hukum berkembang dari adat kebiasaan dan keyakinan umum, baru kemudian 62Ibid., him. 250. 63Suripan Sadi Hutomo, loc.cit., him. 4 64Yulia Mirwati, "Konflik-konflik mngenai tanah ulayat dalam era reformasi di Daerah Sumatera Barat", Disertasi Doktor pada Program Doktor Pascasaijana Universitas Sumatera Utara, 2002, him. 28. 65Valerine, JKL, Kriekhoff "Kedudukan Tanah Dati sebagai Tanah Adat di Maluku Tengah"; Suatu Kajian dengan Memarfaatkan Pendekatan Antropologi, Disertasi Doktor Pada Program Pasca sarjana Universitas Indonesia, 1991, him. 37. 66Hoebel,E. Adamson: "The Law of Primitive Man", Harvard University Press, New York, 1979, him. 26. 67Ibid,him. 30. 68Radcliffe-Brown,Op.cit, him. 205. 69W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, vol II, terjemahan Mihammad Arifin dari Legal Theory, CV Rajawali, Jakarta, 1990, him 60..62
31
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
berkembang berdasarkan yurisprudensi. Demikian hukum di mana-mana muncul dari kesamaan pend irian rakyat dan tidak berasal dari kehendak pembuat undang-undang. Maka di dalam masyarakat, hukum ditemukan dan bukan dibuat, pertumbuhan hukum bersifat organis dan merupakan proses yang tak disadari. Karena itu di dalam sistem hukum perundang-undangan kurang penting dibandingkan dengan adat istiadat. Savigny menolak pandangan hukum Kodrat dan keyakinannya pada hukum yang bersifat universafo yaitu tidak terikat pada negara dan jamannya, di mana keberadaan hukum berasal dari murni pemikiran, maka ia memandang sistem hukum tergantung pada fungsi khususnya berkaitan dengan budaya masyarakat dan sejarahnya. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat yang dimaksud "volkgeist" atau "nilai hidup dalam masyarakat" dari Savigny mempunyai beberapa kelemahan, karena ditinjau dari sudut praktis: bagaimana kita mengetahui apakah suatu ketentuan hukum yang hendak kita tetapkan itu sesuai dengan "kesadaran hukum masyarakat" (atau "perasaan keadilan masyarakat") dan siapakah yang dapat mengungkapkannya". Sementara itu dalam pendapat Hoebel, sebenarnya hukum bukanlah persetujuan suatu kedaulatan, tidak juga dari perundangan khusus legislatif2• Menghadapi pandangan yang mendasarkan hakikat hukum pada adanya bidang pengadilan dan tindakan yang diputuskan sebagaimana dalam peradaban barat, maka jika demikian kesimpulannya masyarakat primitif tidak memiliki sistem hukum. Akan tetapi perlu diakui bahwa setiap suku bangsa mempunyai pengadilan sendirisendiri yang lazimnya berbeda satu sarna lain, misalnya pengadilan oleh pendapat umum, dan biasanya pengadilan ini dapat menyelesaikan perselisihan pihak-pihak yang bersengketa, pengadilan seperti ini harus diakui sudah berlakunya sistem hukum. Lebih lanjut Hoebel menegaskan: "The really fundamental sine quanon of law any society-primitive or civilized-is the legitimate use of physical coercion by a socially authorized agent. The law has teeth, teeth that can bite if need be,although they
ISSN: 20891911 need not necessarily be bared. Trully ... 'Law without force is an empty name, 'and more poetically, 'A legal rule without coercion is a fire does not burn, a light that does not shine. 'No matter that often the force need not be unleased ... 'Against subjects its (that lae of usually enough to secure compliance, but force is still present thought latenf,.73 Budaya hukum yang hidup dalam masyarakat Samin dengan melihat sikap masyarakat hukum dan sistem hukum yang dalam masyarakat, serta sikap masyarakat terhadap hukum dipengaruhi nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat weople's attitudes toward law and legal system) ". Melihat hukum pada konsepsi modern Cardozo yang menyatakan hukum adalah 'suatu prinsip atau pengaturan kelakuan yang demikian dibuat untuk membenarkan prediksi dengan kepastian yang masuk akal sehingga ia akan ditegakkan oleh pengadilan jika kewibawaannya ditentang' 75. Sistem hukum yang dikemukakan Lawrence M. Friedman terdiri dari 3 (tiga) elemen," yaitu: (1) struktur hukum (legal structure), (2) substansi hukum (legal substance), (3) budaya hukum (legal culture). Sistem hukum menurut Friedman: It is wrong to think of law as a tissue of don't, that is, as a kind of nagging or dictatorial parent. Much of the law is intended to make life easer, safer, happier, or better. There are also many in which the legal system facilitates, rather than forbid or harasses. It subsidizes; it promotes; it provides easy ways to reach diserable goals. The law about wills or contract, for examples, is basically about ways to do what you want to do, safely and efficiently, it is much less concerned with what not to do ... A great deal of law is facilitative in this way. It provides standard ways - routines for reaching goals. It build roads for the traffic of society ", 77 Struktur hukum dalam pandangannya adalah badan Legislatif/Parlemen, di mana badan Legislatif yang antara lain mengeluarkan Ibid., him. 26. Lawrence M. Friedman, The American Law, The New YorkLondon W W Norton Company, 1984, him. 5. 75 B.N. Cardozo, The Growth of the Law (New Haven, 1942), him. 52. 76 Lawrence M Friedman, op.cit, him. 6. 77 Ibid., him. 2.
73
Leopold Pospisil, "Anthropolgy of Law: A Comparative Theory", Harper & Row, Publishers, New York, 1971, hlm.139. 71 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK Fakultas Hukum, Iniversitas Padjadjaran, Bina Cipta, 1976, him. 7. 72 Hoebel, E Adamson, op.cit hlm.l8-25.
70
32
74
Hukum ResponsifVolume 02
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
peraturaan-peraturan yang dalam hal ini produkproduk yang antara lain mengatur pertanahanJ agraria. Eksekutif dan Badan Eksekutif sebagai pelaksana peraturan (di antaranya pertanahanJagraria), juga sebagai pembuat peraturan bersama dengan lembaga Legiaslatif, dan Lembaga Yudikatif menindak pelanggar hukum. Sementara itu, substansi hukum dijelaskan Friedman meliputi unsur-unsur hukum ataupun peraturan, sosialisasi hukum agar dikenal seluas-luasnya sebagai pola perilaku bersama, dan penerapan sanksi yang memadai untuk menjamin dapat tegaknya hukum demi kepastian hukum.78 Budaya hukum dalam arti strik dan positif bercirikan pelaksanaan perilaku yang mewujudkan kerukunan dan kerjasama demi kesejahteraan maupun keadilan para warga. Dalam hal ini perilaku yang umumnya tidak disetujui para warga dipandang sebagai "salah". Sedangkan periJaku yang umumnya disetujui bisa mengusahakan keadaan rukun dan kerjasama dipandang sebagai "benar". Jadi secara hakiki budaya hukum membutuhkan legitimasi benar -salah kelakuan manusia untuk kesejahteraan dan keadiJan. Adapun legitimasi ini berakar di dalam hatinurani perorangan, yang mendasari kehidupan moral seseorang dan masyarakat. Sebab itu dalam proses bermasyarakat dan bernegara, seharusnya tata hukum menjilmakan nilai moral "baik" sekaligus menghindari nilai moral "jahat" dan demikian mempertegas aturan moral; sehingga perbuatan seperti membunuh, mencuri, memperkosa, dan menipu ~ajak di samping berciri iJegal, sekaligus immoral 9. Dengan demikian sikap dan perilaku warga masyarakat dipolakan pada tata aturan berlegitimasi "benar", supaya yang terbangun janganlah suatu masyarakat kacau balau dan saling bermusuhan, sampai berkembang berbagai perilaku ganas, kebiadaban yang merusak budaya itu sendiri. Untuk itu lazimnya disadarkan pentingnya para warga mengikuti kaidah periJaku dan diperingatkan adanya sanksi sosial atas pelanggaran kaidah itu oleh para orangtua, guru, pemimpin lokal, maupun pemuka agama. Kaidah perilaku ini berupa hukum formal yang diselenggarakan negara, dan hukum informal jika diselenggarakan oleh berbagai kelompoklorganisasi sosial di dalam negara. Di sini setiap perilaku yang mengikuti tata hukum 7. 79
Friedman, op.cit., hIm. 138 dan 154. L.M. Friedman, op.cit, hIm. 220-230.
Hukum Responsif Volume 02
ISSN: 20891911
'"
demikian bernilai untuk membangun kebersamaan dan kemajuan masyarakat maupun negara. Proses perkembangan masyakat dan negara untuk seterusnya akan membutuhkan pertumbuhan tata hukum yang baru sesuai dengan perubahan sosial demi meningkatkan kesejahteraan dan menjamin keadilan80• Kumpulan warga masyarakat berjumlah sangat banyak yang membentuk negara harus dipimpin aparatur kekuasaan, yaitu ada peranan penguasa tinggi-rendah yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata warga masyarkat biasa. Bagaimanapun aparatur kekuasaan memiliki kepentingannya masing-masing dan mungkin sekali kepentingannya mengalahkan kepentingan para warga negara. Artinya, para penguasa menyalahgunakan kuasanya, seperti umumnya banyak berlangsung di negara Komunis dan negara sedang berkembang, yang akibatnya tak berperan memajukan kesejahteraan umum atau memperbaiki keadilan sosial. Pengendalian aparatur kekuasaan barn dapat diimbangi oleh persatuan kelompok-kelompok warga negara, munculnya cendekiawan, kehidupan pers bebas, dan berperannya badan pengadilan. Hal ini dimungkinkan, jika ditegakkan hak kebebasan berkumpul, berserikat, berbicara, hak pendidikan umum, dan dikuatkannya badan-badan peradilan dengan Mahkamah Agung diberikan hak judicial . 81 reView. Menurut E Adamson Hoebel dalam penelitiannya tentang tatanan hukum pada manusia primitive mengungkapkan sejumlah contoh kasus: For instance of hitch, dispute, grievance, trouble, and inquiry into what the trouble was and what was done about it. Beyond this tool, there lies - if can be discovered the problem of motivation and result of what was done. The method of emphasizing trouble cases as a road into the study of law is not a panacea in itself, it is to be used in conjunction with a full treatment of ideological problems and norms" for Cardozo's dictum is not to be forgotten, we must not sacrifice the general to the particular. Cases are also to be embedded in description of the whole cultural setting. But the orientation of the case-method approach is inductive. Its user arrive at the norms of primitive law, as does the student 80 81
Ibid., hIm. 268-279. Ibid., hIm. 183-192.
33
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
=r=
.
of common the analysis of cases and more cases. Dalam bidang pertanahan masyarakat Samin yang menyatakan diri sebagai penegak kebudayaan petani asli seperti diungkapkan Victor T. King83: "lastly, they regarded themselves as the upholders of true Javanese peasant culture. They fiercely independent." Kebiasaan dan tradisi tersebut sampai saat ini masih diyakini dan berlaku di kalangan masyarakat Samin. Bagi masyarakat Samin di tempat penulis melakukan penelitian di Desa Baturedjo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, masih berpandangan bahwa menyekolahkan anak adalah pan tang, 84 "turunan Sam in ora perlu sekolah, yen sekolah dadi pinter, yen pinter ndak minteri, yen minteri dadi keblinger. " Arti dalam bahasa Indonesia ialah anak orang Samin tidak perlu sekolah, bila pandai akan menyalahgunakan kepandaian dengan bertindak curang dan tidak jujur. "Turunan Samin sekolahe karo pacul" dalam bahasa Indonesia berarti keturunan Samin belajar bercocok tanam atau bertani't". Budaya masyarakat dan perilaku dalam mendidik anak masih berpandangan seperti tersebut. Bagaimana pengaruhnya dalam memandang masalah pertanahan, bandingkan dengan teori fungsional dan structural Malinowsky", fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh dan efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat. Penelitian ini akan menekankan pada sistem perilaku masyarakat Samin, norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Perilaku masyarakat Samin terpelihara dan tidak terpengaruh oleh situasi, kondisi, dan perkembangan budaya dewasa mi. Kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur perilaku dan perubahan sosial budaya tentunya juga dijumpai pada masyarakat Samin. Sebab perubahan sosial budaya bagaimanapun akan
82Hoebel, E. Adamson, op.cit., him. 29. 83Victor T. King, loc.cit. him. 460. 84 Suripan Sadi Hutomo, "Samin Surontiko dan Ajaranajarannya", Basis, Januari XXXIV, Yogyakarta, 1985. 8'Taufik Suprihatini, "Stereotip dan pendapat jarak Sosial pada masyarakat Jawa Samin dan masyarakat Jawa bukan Samin", Penelitian Program Pascasarjana Fisip UI, tahun 1993. 86 Koentjoroningrat, Sejarah Antropologi, penerbit UI-Press 1990, him. 167.
34
ISSN: 20891911 terjadi karena memang direncanakan dan kerena tidak disengaia". Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 3 hal mana secara yuridis formal didasari adanya hak menguasai yang dirumuskan dalam pasal 2 UUP A. Konsep "menguasai" oleh pembuat UUPA Nomor 5 Tahun 1960 di atur dan diteta~kan secara tata jenjang hak-hak sebagai berikut: 8 1.. Hak bangsa Indonesia, yang dimuat pasal 1 UUP A, merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi. Hak bercirikan aspek perdata dan public. 2. Hak menguasai dari Negara, yang terdapat dalam pasal 2 UUP A, semata-mata beraspek public. 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang disebut dalam pasal 3, UUPA beraspek perdata dan public. 4. Hak-hak perorangan, semula beraspek perdata dan terdiri dari: a. Hak-hak atas Tanah, sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bangs a yani9 disebut dalam pasal 16 dan 53 UUP A. b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan, termuat dalam pasal 49 UUPA. c. Hak Jaminan atas Tanah, disebut sebagai "Hak Tanggungan" terdapat dalam pasal25, 33, 39 dan 51 UUPA. Khususnya konsep "menguasai" dari pembuat UUP A tahun 1960 menyangkut kepemilikan masyarakat adat atas tanahnya terdapat dalam pasal3 UUPA: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelak -sanaan hak ulayat dan hak-hak ynag serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 90
87Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan hukum dalam kerangka pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit VI, 1975, him. 138. 88 Budi Hartono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997, him. 22-23. 89Pasal16 dan 53, UUPA. 90UUPA Tahun 1960, Pasal3.
Hukum ResponsifVolume 02
Kearifan Lokal Masyarakat
Samin
.
Berdasarkan konsep "menguasai" dalam hal tanah oleh negara yang sedemikian itu, maka hak kepemilikan tanah ulayat dari masyarakat adat menjadi terancam kedudukannya. Dengan ini pula peran masyarakat adat dan kedudukan masyarakat adat ada dalam bahaya tersingkir dan terping-girkan, jika karena dalih kepentingan nasional dan negara yang tertentu di anggap bahwa hak ulayat mereka tidak sesuai dengannya atau bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan pembuat UUPA terhadap hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sebenamya . 91 merupa kan utopia, Hukum dan etnograti merupakan hasil karya satuan masyarakat wilayah setempat. Adapun karya-karya ini berperanan dalam terang (the light on) pengetahuan local." Hukum dipahami tidak hanya menjadi dasar atau titik tolak berpikir, melainkan juga sebagai tujuan ke arah apa yang akan dicapai. 93 Pelaksanaan pemberlakuan peraturan agraria antara lain: Pendaftaran Tanah dengan melakukan pensertipikatan tanah milik masyarakat, termasuk masyarakat Samin, Pengukuran Tanah dan Pelaksanaan Jual BelilTransaksi sesuai dengan Peraturan yang berlaku. Masyarakat Sikep (masyarakat Samin) mengakui pesan untuk meneruskan ajaran mbah Surontiko yang tertulis dalam ternbang macapat bahwa hidup manusia diutus: "sageda amewahi asrining jagad" (diberdayakanlah untuk menambah keindahan dunia), dan agar manusia berupaya terus "angrengga jagad agung' (memperbagus keadaan alam raya). "Jagad" dalam kutipan yang pertama terutama adalah jagad cilik (dunia kecil) ialah manusia-manusia: diri sendiri dan orang lain, dan kemudian juga berarti jagad gedhe (ngalam ndonya = alam dunia) lingkungan tempat setiap manusia hidup. Sedangkan "jagad agung" dalam kutipan kedua, jelas dikhususkan untuk alam semesta. Untuk itu dipedulikan berperilaku yang mempunyai tanggung jawab kepada kelestarian lingkungan alamo Dengan hidup senantiasa berusaha berperilaku baik: rajin bekerja menggarap tanah, menanami pekarangan, memelihara temak, kerja Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Pusaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, him 86 91 Geertz, Clifford, "Further Essay an Imperative Anthropology", Basic Book, Inc, Publishers, New York, him. 100. 93 Ibid, him. IO\. 91
Hukum ResponsifVolume
02
ISSN: 20891911 dan kegiatan kudu bareng-bareng (harus bersama-sama), tolong-menolong supaya rukun dan damai di samping menjauhi perbuatan yang dilarang, oleh warga Sikep diyakini bahwa akibatnya adalah kehidupan mereka dan keadaan alam sekitar bisa bertambah baik. Akan tetapi, seandainya yang terjadi justru kebalikannya disadari bahwa akibatnya hanyalah kapitunan (merugikan) bagi hari depan kehidupan mereka sendiri maupun kebaikan alam sekitar. Di samping memperlakukan sesama manusia sebagai saudara, warga Sikep butuh menyayangi alam di lingkungannya. Alam kudu ditresnani (harus disayangi), karena nyedhiani kanugrahan panggesangan (menyediakan anugerah penghidupan). Sato kewan (berbagai macam hewan) merupakan kanthining urip (ternan-ternan serta pelengkap kehidupan) manusia. Jadi alam kudu diuri-uri (harus dipelihara) dan dilestarekake (dijaga kebaikannya). Mbabati alas (menebangi hutan) ora ngelingi anak-putu (tidaklah mengingat kepentingan anak-cucu). Maka itu, sing bakal menehi kasugengan (yang akan memberi jaminan hidup), aja dirusak (janganlah dihancurkan). Masyarakat Sikep menyadari bahwa kehidupan mereka sebagai orang sederhana tergantung pada lingkungan alamo Mereka mencari rezeki dengan bertani, yaitu mau mengeluarkan keringatnya sendiri mengolah tanah. Mereka tidak mau berdagang dijadikan penghasil nafkah umpamanya, sebab di sini ada perhitungan yang memembohongi pembeli. Dari berita radio dan televisi mereka mengetahui adanya kerusakan hutan dan alam di daerahdaerah lain, yang ketika musim penghujan selalu mendatangkan banjir bandang dan tanah longsor di mana-mana, sedangkan pada musim kemarau senantiasa terancam kekeringan. Hal ini juga dialami desa ini. Ketika hutan di pegunungan selatan desa masih lebat dengan hutan jati, sungai dari pegunungan masih banyak mengalirkan air baik ketika musim hujan maupun ketika kemarau dan sangat bermanfaat untuk mengairi persawahan sekitar yang dilaluinya. Namun kini ketika hutan jati sudah diguduli, pegunungan menjadi tandus dan sungainya berubah menjadi hampir mengering di musim kemarau dan tatkala musim hujan terlalu deras untuk menghanyutkan sapi dan terusmenerus mengikis erosi tanah yang dilewati. Secara khusus di lingkungan banarawa (tanah rendah berawa-rawa), suatu lokasi
35
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
persawahan tadah hujan temp at masyarakat Sikep bercocok tanam keadaan kerusakan alam ini sangat dirasakan. Pelumpuran saluran irigasi Jratunseluna ketika musim hujan membawa pengendapan banyak lumpur sehingga mendangkalkan muara pembuangan air di bagian selatan persawahan warga Sikep. Begitu pula sungai Serang di sebelah utara pun ketika musim penghujan juga mengalami pelumpuran berat, yang juga membawa pengendapan tanah di dasar sungainya. Maka itu, apabila musim penghujan persawahan masyarakat Sikep ini paling tidak tergenang air sekurang-kurangnya dua bulan dalam setahun, sehingga tidak dapat menghasilkan apa pun kecuali untuk mecari ikan. Sebaliknya di musim kemarau kondisi sawah menjadi sangat kering lagi keras, sehingga tanahnya nela-nela (terpecah dalam bongkahan) menjadi tempat pesembunyian hama tikus. Mereka memaklumi dalam alam kemerdekaan orang-orang umumnya diteladani merdi kaya (mengutamakan mencari kekayaan) dan bukan berperilaku yang benar. Dengan berebut kekayaan ini orang menjadi angkara (sombong-kejam) dan murka (rakus, serakah). Maka masyarakat Sikep dapat mengerti orangorang demikian itu rnenjadi tak peduli untuk menjaga (ngupakara) alam seperti dilaksanakan oleh warga Sikep. Orang-orang Sikep merasa berkewajiban angrengga jagad agung (mernperbagus keadaan alam), karena hidup mereka sebagai ngayom alam (diayomi oleh alam). Maka mereka perIu ngopeni isen-isening jagad (memelihara kelestarian makhluk isi alam), sebab kalau tidak demikian nanti mereka akan kapitunan dhewe (dirugikan sendiri). Karena itu pekarangan mereka lengkapi dengan bermacam-macarn tanaman, seperti tanaman jambu saja dua macam dan pisang bukan hanya jenis kepok. Jelas bagi masyarakat Sikep bahwa orang hidup perIu amewahi (makin bertambah) kebisaannya, pengertiannya, dan wawasannya. Mereka sangat menginginkan diberi tahu pelajaran ilmu pertanian, mengingat pekerjaan pokok mereka adalah bercocok tanam mengolah tanah. Sayang sekali kehadiran para penyuluh pertanian tidak tetap. B.
Penutup
Pandangan hidup masyarakat Samin terhadap tanah dilakukan untuk menjadi pedoman hidupnya dalam melaksanakan kehidupannya. "Paugeran" masyarakat Samin 36
ISSN: 20891911 terhadap tanah merupakan suatu hukum yang harus ditaati. Masyarakat Sikep yang kurang menghargai sekolah formal, karena mereka khawatir bahwa kepintaran yang diperoleh dari bersekolah itu adalah pintar tetapi hanyalah untuk minteri (mengakali) orang-orang lain. Maka itu sekolah mereka adalah sekolah di dalam kehidupan itu sendiri, termasuk bertani menggarap tanah. Dari hasil-hasil dalam sekolah kehidupan ini mereka mencita-citakan taraf sosial yang tinggi namun jangan sampai ngungkuli (kelewat melampaui), tetapi kalau hanya mencapai taraf sosial rendah aja ngantio kasoran (janganlah sampai begitu direndahkan) terhadap orang-orang lain. Perkembangan penghidupan warga Sikep dengan demikian diharapkan menuju ke masyarakat yang kurang lebih sama rata dan sama rasa. bagi suatu masyarakat yang sedang membangun, hukum selalu dikaitkan dengan usaha-us aha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Menghadapi keadaan demikian, maka peranan hukum semakin menjadi penting dalam mewujudkan tujuan itu. Fungsi hukum tidak cukup sebagai kontrol sosial, melainkan lebih dari itu. Fungsi hukum yang diharapkan dewasa ini adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, Untuk bertindak atau bertingkah laku sesuai dengan ketentuan hukum inilah perlu ada kesadaran hukum dari masyarakat karena faktor itu merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Singkatnya, sesungguhnya fungsi hukum sekarang ini sudah mengalami pergeseran yaitu secara lebih aktif melakukan perubahanperubahan yang diinginkan. Budaya hukum dalam arti strik dan positif bercirikan pelaksanaan perilaku yang mewujudkan kerukunan dan kerjasama demi kesejahteraan maupun keadilan para warga. Dalam hal ini perilaku yang umumnya tidak disetujui para warga dipandang sebagai "salah". Sedangkan perilaku yang umumnya disetujui bisa mengusahakan keadaan rukun dan kerjasama dipandang sebagai "benar". Jadi secara hakiki budaya hukum membutuhkan legitimasi benar -salah kelakuan manusia untuk kesejahteraan dan keadilan. Adapun legitimasi ini berakar di dalam hatinurani perorangan, yang mendasari kehidupan moral seseorang dan Hukum ResponsifVolume 02
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
masyarakat. Sebab itu dalam proses bermasyarakat dan bemegara, seharusnya tata hukum menjilmakan nilai moral "baik" sekaligus menghindari nilai moral "jahat" dan demikian mempertegas aturan moral; sehingga perbuatan seperti membunuh, mencuri, memperkosa, dan menipu pajak di samping berciri ilegal, sekaligus immoral. Sikap dan perilaku warga masyarakat Samin dipolakan pada tata aturan berlegitimasi "benar", supaya yang terbangun janganlah suatu masyarakat kacau balau dan saling bermusuhan, sampai berkembang berbagai perilaku ganas, kebiadaban yang merusak budaya itu sendiri. Untuk itu Iazimnya disadarkan pentingnya para warga mengikuti kaidah perilaku dan diperingatkan adanya sanksi sosial atas pelanggaran kaidah itu oleh para orangtua, guru, pemimpin IokaI, maupun pemuka agama. Kaidah perilaku ini berupa hukum formal yang diselenggarakan negara, dan hukum informal jika diselenggarakan oleh berbagai kelompok/organisasi sosial di dalam negara. Di sini setiap perilaku yang mengikuti tata hukum demikian bemilai untuk membangun kebersamaan dan kemajuan masyarakat maupun negara. Proses perkembangan masyakat dan negara untuk seterusnya akan membutuhkan pertumbuhan tata hukum yang baru sesuai dengan perubahan sosial demi meningkatkan kesejahteraan dan menjamin keadilan.
B.N. Cardozo, The Growth of the Law (New Haven, 1942). Bernard Arif Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tetantang fondasxi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, PT Mandar Maju, Bandung, 1989 Bernard L Tanya, Beban Budaya Masyarakat Lokal menghadapi Hukum Negara, Analisis Budaya dan Kesulitan Sosio Kultural Masyarakat Sabu menghadapi Regulasi Negara, Disertasi Semarang, Program Doktor Ilmu Hukum, Tahun 2000 Hartono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997.
Hukum ResponsifVolume
Clifford Geertz, 1983, Local Knowledge: further Essay in Interperatif Anthropolgy, New York, Basic Books Esmi Warssih, Pranata Hukum sebuah telaah sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005 Frijof Capra, "The Turning point; Science, Society and trhe Rising Culture", Simon and Schuster, Bantam paperback, 1983 Geertz, Clifford, "Further Essay an Imperative Anthropology", Basic Book, Inc, Publishers, New York. Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Pusaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 20006 Hoebel, E. Adamson: "The Law of Primitive Man", Harvard University Press, New York,1979. Koentjoroningrat, Sejarah Antropologi, penerbit Ul-Press 1990. Laksanto Utomo, Penguasaan Tanah Masyarakat Adat (Studi Budaya Hukum Masyarakat Samin Di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah). Disertasi Undip Semarang, 2011, hal. 234 Lawrence M. Friedman, The American Law, The New York-London W W Norton Company, 1984. Leopold
DAFTAR PUST AKA
Budi
/SSN: 20891911
02
Pospisil, "Anthropolgy of Law: A Comparative Theory", Harper & Row, Publishers, New York, 1971.
Lukman Sutrisno, Masalah dan Proyek PIRBUN, dalam Prisma No 4 Tahun XVIII, LP3ES Jakarta, 1989. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukurn Nasional, LPHK Fakultas Hukurn, Iniversitas Padjadjaran, Bina Cipta, 1976. Philip Nonet & Philip Selznick, Law and Society Transitition ; Toward Responsive Law, New York and Row, New York, 1978 Satjipto
Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam konteks Situasi Global . Dalam Khudfaizah Dimyati (editor) . Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Muhammadiyah Press, Surakarta, 2000
37
Kearifan Lokal Masyarakat Samin
.
Satjipto Rahardjo. "Pendayagunaan Sosiologi hukum untuk Memahami Proses-Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi", Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998. Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan hukum dalam kerangka pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit UI, 1975. Suripan Sadi Hutomo, "Samin Surontiko d~ Ajaran-ajarannya", Basis, Januari XXXIV, Yogyakarta, 1985. Taufik Suprihatini, "Stereotip dan pendapat jarak Sosial pada masyarakat Jawa Samin dan
38
ISSN: 20891911 masyarakat Jawa bukan Samin", Penelitian Program Pascasarjana Fisip UI, tahun 1993. Valerine, JKL, Kriekhoff "Kedudukan Tanah Dati sebagai Tanah Adat di Maluku Tengah"; Suatu Kajian dengan Memanfaatkan Pendekatan Antropologi, Disertasi Doktor Pada Program Pasca sarjana Universitas Indonesia, 1991. W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, vol II, terjemahan Mihammad Arifin dari Legal Theory, CV Rajawali, Jakarta, 1990 Yulia Mirwati, '''Konflik-konflik mngenai tanah ulayat dalam era reformasi di Daerah Sumatera Barat", Disertasi Doktor pada Program Doktor Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002.
Hukum ResponsifVolume 02