VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
MENCEGAH INDONESIA MENJADI NEGARA GAGAL Ag. Sutriyanto Hadi FPIPS IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Setelah menapaki era repormasi sekian waktu, ternyata harapan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara yang lebih beradap, lebih bersih, lebih adil, dan lebih sejahtera, belum kunjung tiba. Rupanya harapan tersebut malah menjauhi kenyataan. Korupsi semakin masif, mafia hukum, mafia pajak dan kerusakan. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak hadirnya kepemimpinan yang transformative, tegas dan menginspirasi. Para pemimpin lebih lebih asyik dalam gelombang pencitraan berdasarkan dinamika pasar. Para pemimpin lebih berpihak atau memilih kekaguman konstituen daripada berpihak kepada Konstitusi. Mereka cenderung kurang berani mengambil langkah konstitusi onal hanya karena takut tak popular atau citra dirinya jatuh. Dalam kondisi ini, jika tidak hati-hati Indonesia bias terjerumus ke dalam jurang Negara gagal. Harus ada upaya yang sungguh – sungguh, yang sistimik untuk mencegah Indonesia menjadi Negara gagal. Kata Kunci : Indonesia, negara gagal
I. PENDAHALUAN Sudah
satu
dasawarsa lebih
negara-negara Indonesia
berjalan
menapaki
perubahan politik yang sangat berharga. Pancasila tetap menjadi inspirasi kita yang hidup. Konstitusi kita yang merupakan hasil karya para legislator yang di pilih rakyat, cukup mencerminkan cita-cita demokrasi yang sudah lama terpendam. Konstitusi kita memang belum sempurna, tetapi kini hak-hak azazi manusia dijamin. Diskriminasi rasial, Agama, dan gender ditiadakan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Republik Indonesia menghidupkan dinamika daerah dengan desentralisasi ( Sesudah Setahun Maklumat keIndonesia-an, Kompas 31 Mei 2007 ). Namun kita juga menghadapi aneka soal yang mencemaskan, mengerasnya identitas golongan suku, agama, kekerasan, ancaman disentegrasi, dan merebaknya korupsi. Mengerasnya identitas golongan itu juga menindas perbedaan di dalam golongan itu sendiri. Identitas jadi tertutup, tanda takut bersentuhan dengan kehidupan lain. Mengerasnya identitas golongan itu juga mengaburkan sumber ketegangan sosial yang nyata di tengah kita, yakni rusaknya rasa keadilan. Rasa Keadilan rusak karena perbedaan kaya-miskin, bukan karena perbedaan ras, suku, dan agama. Rasa keadilan rusak karena para penjaga keadilan korup dan merugikan jutaan saudara kita yang tak MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
11
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
berupaya dan menganggur. Korupsi yang sangat marak, telah merusak atau menciderai cita-cita luhur dalam berbangsa dan bernegara. Korupsi yang merebak di hampir semua ini birokrasi juga telah mengaburkan keindahan makna reformasi yang hampir berjalan satu dasawarsa ini. Korupsi telah membuat Indonesia semakin terpuruk. Penegakan hukum yang dirasakan masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Tidak mengherankan jika ada masyarakat yang berpendapat bahwa hukum hanya tajam untuk rakyat kecil yang pada umumnya tidak berdaya, namun tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Kegagalan mewujudkan keadilan, terutama bagi rakyat kecil, disebabkan adanya penyimpangan kewenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Keadilan subtansif pun tidak dapat diwujudkan (Kompas, 16 Pebruari 2010 ). II. PEMBAHASAN. Sudah lebih dari enam dasawarsa Indonesia Merdeka, tetapi perjalanan panjang bangsa tidak bergerak menuju tatanan kehidupan sebagaimana yang dulu dicita-citakan oleh para pendiri republik. Sejauh mata memandang, di hampir semua sektor kehidupan dewasa ini tersaji potret dengan wajah buram. Era reformasi yang sempat menerbitkan harapan bagi dimilikinya landasan kokoh untuk melakukan perubahan, ternyata tidak berjalan pada track yang benar. Indonesia bahkan terancam
menjadi
Negara gagall
(failed States). Dibutuhkan perubahan radikal dan transformative untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman yang mengerikan
itu. Ukur ini menawarkan gagasan
pengelolaan Negara yang bertumpu pada konsep Indonesia Incoporated, suatu “ Jurus” pengelolaan Negara yang berwawasan entrepreneur. Selain mendasarkan pada teori, konsep ini juga dilengkapi dengan agenda dan rencana aksi, antara lain untuk mewujudkan ketahanan energi dan pangan. Target akhirnya adalah menjadikan Indonesia sebagai Negara entrepreneur maju dan berdaya saing pada 2020. Menarik katagorisasi Negara bangsa (Nation State) yang dikutip Imam Cahyono dari Stoddar. Menurutnya, ada 4 (Empat) Kategori Negara-bangsa; Kuat ; Lemah (Weakstate) ; gagall (Failedstate) ; dan runtuh (Collapsedstate). Negara lemah merupakan calon potensial. Kegagalan Negara. Sebuah Negara yang gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya yang baik. Bagaimana sindrom Negara yang gagal apabila gagal itu antara lain bisa dilihat dari beberapa indicator sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom Negara gagal antara lain : keamanan rakyat tidak bias dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi Negara terus menipis, pemerintah tidak berdaya dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan rawan terhadap tekanan luar negeri (Kompas,9/6/2005) Lantas Indonesia masuk yang mana ?
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
12
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
Menurut Jusuf Wanandi, Indonesia belum merupakan Negara gagal, tetapi Negara lemah (Weakstate). Namun, Imam Cahyono mengatakan, Indonesia di ambang Negara gagal. Tampaknya pendapat Imam Cahyono lebih tepat, yakni bahwa kita di ambang Negara gagal. Lihat saja, hampir semua indikasi Negara gagal sudah terpenuhi. Dalam hal keamanan, misalnya, rakyat kurang terlindungi. Lewat media massa kita bisa menyaksikan bagaimana orang demikian gampang diancam, dianiaya, diperkosa, bahkan dibunuh; kadang-kadang itu sekedar dipicu masalah sepele. Berita semacam itu kita saksikan hampir setiap hari tiada henti. Konflik etnis dan agama pun tidak jarang memakan korban yang cukup besar seperti dalam kasus Sampang, Poso, Ambon, dan Papua. Meskipun demikian, sering akar sesungguhnya dari konflik itu adalah ketidakadilan hukum, ketidaksejahteraan rakyat; atau konflik sengaja diciptakan untuk kepentingan politik local maupun asing. Legitimasi Negara semakin berkurang saja. Rakyat semakin tidak percaya bahwa Negara mengurus mereka. Dibakarnya pencuri sepeda motor atau maling ayam mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat pada hukum yang seharusnya ditegakkan Negara. Perusakan tempat hiburan, perjudian, dan pelacuran juga merupakan cerminan dari ketidakpercayaan rakyat pada hukum dan aparat. Lihat pula gejala apatisme misal terhadap para calon dalam Pilkada yang disuarakan masyarakat, “ Siapapun calonnya sama aja, saya tetap saja miskin!” Bagaimana dengan korupsi? Jangan diperdebatkan lagi; Indonesia termasuk Negara yang paling korup di dunia. Korupsinya bersifat massal dan melembaga . Karena sudah demikian melembaga, ada yang khawatir, kalau kasus korupsi di Indonesia di bongkar seluruhnya, Indonesia akan collaps (hancur), karena hampir tidak ada sub-sistem yang tidak korup. Indikator yang juga cukup jelas adalah lemahnya Negara dalam menghadapi tekanan asing hampir di segala aspek. Budaya kapitalistik seperti hedoisme, seks bebas, dan narkoba bagai gelombang air bah yang seakan tidak bisa dihentikan Negara. Secara politik, Indonesia gagal menyelesaikan krisis Timor Timur dan Aceh sebagai perkara internal. Indonesia pun harus meminta bantuan asing untuk masalah Aceh. Belum lagi agenda-agenda War on Terorisme (WOT) yang dibidani oleh AS, Yang demikian serius dijalankan Indonesia. Indonesia pun dipaksa untuk mengikuti scenario AS dalam WOT. Di Indonesia, terorisme pun harus ditafsirkan berdasakan versi AS- mulai dari definisi terorisme yang harus diartikan sebagai setiap pihak yang menyerang kepetingan AS, siapa pelakunya ( Umat Islam, Kelompok Islam, dan lebih spesifik lagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam ); sampai pada apa yang harus dilakukan buat berbagai jebakan dan rekayasa, tangkap dan aniaya aktifis Islam (meskipun MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
13
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
bertentangan dengan HAM) karena mereka adalah teroris, buat undang-undang terorisme yang intinya harus sejalan dengan kepetingan AS, buat badan-badan anti terorisme dengan target kelompok Islam, dll). Tekanan asing ini demikian terasa kalau kita melihat siapa yang mendanai semua proyek ini, yakni Negara-negara seperti AS dan Australia. Tekanan asing dalam masalah ekonomi lebih tampak lagi, Bahkan sejak awal pembangunan ekonomi, Indonesia sebenarnya dibangun berdasarkan agenda-agenda kapitalisme seperti ; pembangunan bertahap (Repilita) ; utang Luar Negeri; investasi asing pada sektor-sektor pemilikan umum seperti minyak, gas, dan emas; ketundukan pada rezim mata uang dolar; system perbankan, privatisasi sector umum; dll. Indikator yang paling jelas adalah kegagalan Negara memenuhi kebutuhan rakyatnya. Kasus busung lapar mencerminkan hal ini. Yang lebih menyedihkan, secara nasional jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia ternyata sangat besar. Menurut hasil susenas 2003, sekitar 27,3% balita Indonesia kekurangan Gizi. Artinya, dari jumlah 18 juta balita pada tahun 2003, 4,9 juta mengalami masalah gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi /perkiraan penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia1-4 tahun adalah 20,87 juta. Jika angka 27,3 % digunakan, diperkirakan sebanyak 5,7 juta anak balita mengalami masalah gizi buruk. Balita yang mengalami busung lapar atau kekurangan gizi sangat parah adalah sebanyak 8 %, yaitu 1,67 juta balita. Inilah potret kualitas hidup mayoritas rakyat yang kaya-kaya ini. Indonesia Negara Gagal ? Apa itu Negara gagal ? Negara gagal (failed states) hanyalah salah satu tahapan untuk menuju pada tahap berikutnya yaitu Negara runtuh ( colappe states ) seperti yang ditulis Robert Rotberg dalam papernya, Nation – state failure : Arcurring Phenomenon menyebutkan bahwa ada 4 kategori Negara-negara yaitu : 1. Negara kuat (Strong States), Negara yang dapat mengontrol territorial dan penduduk mereka. Umumnya mereka memiliki GDP tinggi perkapita. 2. Negara Lemah (Weak States), Negara yang pada umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa, yang menjadi hambatan untuk menjadi Negara yang kuat. Konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal yang umum. Hukum tidak ditegakkan dan privitisasi intitusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti nyata kegagalan Negara tersebut. Contohnya adalah Irak, Belarus, Korea Utara dan, Libya. 3. Negara Gagal (Failed States), Negara yang sangat sukar mencapai target untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Umumnya terdapat non state actors yang berpengaruh dan membantu memenuhi kebutuhan hidup penduduk. Keamanan
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
14
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
nyaris menjadi hal yang tidak ada kecuali di kota-kota besar. Ekonomi tak berjalan kualitas kesehatan yang buruk, dan system terabaikan. Korupsi menjadi hal yang marak, dan diperparah oleh inflasi. 4. Negara runtuh (Collapsed States ), Negara-negara gagal dengan situasi dimana tak ada pemerintahan sama sekali. Khusus untuk Negara gagal, Naom Chomsky (2006;1-2), menyebut tiga ciri pokok yang bisa dipakai untuk menjelaskan Negaranegara yang gagal ( Failed States ), Sebagai Berikut : (1) Ketidak mampuan
Negara dalam melindungi penduduknya dari kekerasan
atau bahkan mungkin penyerangan /pengrusakan. (2) Kecenderungan mengabaikan diri terhadap jangkauan hukum baik domestik, maupun hukum Internasional. (3) Jika mempunyai bentuk demokrasi, mereka menderita semacam deficit dalam berdemokrasi yang parah. Stoddard, A dalam Ethnonationalisme and the failed State; Source Of Civil State Fragmentation in the International Political economy Ernerge; A Graddduate Journal of International Affairs, Volume 4, Carleton University, Kanada, 2000, Juga Menjelaskan bahwa. Sebuah Negara bangsa (nation State) dianggap gagal jika ia tidak dapat mermenuhi kebutuhan rakyatnya yang baik. Negara gagal terjadi karena kepemimpinan dan institusi dari Negara tersebut sangat lemah sehingga tidak mampu lagi atau tidak mempunyai kekuatan pada beberapa indicator sosial, ekonomi, Politik, maupun militer. Sindrom dari Negara gagal antara lain keamanan rakyat tidak bisa terjaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi Negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri ( Robert I Rotberg, The Nature of nation-State failure,2002 ). Sindrom ini meliputi timpangnya kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, dan status ekonomi, Di masyarakat korupsi dan praktek-praktek gelap meluas, sementara pemerintah tidak mampu memberi gaji layak bagi pegawai negeri atau angkatan bersenjatanya. Kondisi ekonomi terus memburuk akibat sistem ekonomi tersembunyi seperti penyelundupan dan pelarian modal. Elite yang berkuasa melakukan korupsi
besar
besaran.
Mereka
menolak
transparasi,
pengawasan,
dan
pertanggungjawaban. Sindikat-sindikat penjahat berkoalisi dengan elite yang berkuasa, sementara pelayanan publik seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan transportasi umum merosot. Jasa pelayanan hanya elite yang berkuasa. Pembusukan terjadi di pusat kekuasaan, termasuk pemerintah yang tidak pecus, kebobrokan, institusional, dan kepemimpinan yang merusak sehingga menyulut konflik dan perpecahan. Kini telah 10 tahun reformasi berlangsung. Lihatlah betapa menyedihkan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
15
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
negeri ini. Yang lebih memilukan sekaligus memalukan, kini Indonesia termasuk dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007. Indeks itu dibuat majalah Foreign Policy yang berwibawa, bekerja sama dengan lembaga think-thank Amerika. The Fund for Peace. Meskipun harus diwaspadai dengan mencermati beberapa kriteria yang dipakai dalam penggolongan tersebut, karena mereka juga bukan badan indenpen penuh, tetapi paling tidak kita bisa tahu sebenarnya posisi Indonesia dimana. Banyak ukuran dalam membuat indeks itu. Tapi secara umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Negara paling gagal adalah Sudan, Irak, Somalia dan Zimbabwe. Tapi coba bayangkan Indonesia masuk satu jajaran dengan Negara itu, bersama dengan sejumlah Negara Afrika, Asia, dan Amerika latin, semacam Timor Timur, Myanmar, Konggo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda. Selama dekade lalu, setidaknya ada tujuh Negara yang dalam kategori Negara gagal, yaitu Afganistan, Angola, Burundi, republic Demokratik Congo, Liberia, Sirea Leone dan Sudan. Diantara 7 Negara gagal tersebut, yang betul-betul sampai hancur menjadi Collapsed state hanya satu Somalia. Sedangkan contoh Negara yang lemah adalah Colombia. The Washington Quarterly, majalah bergengsi di Amerika Serikat yang memusatkan perhatian pada kajian
masalah international dan strategis,
baru-baru ini mengupas secara khusus fenomena Negara-negara gagal (failed state) dalam kaitan dengan maraknya terorisme dunia. Sebuah Negara bangsa dianggap gagal karena ia tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan politik rakyatnya dengan baik. Sindrom dari Negara gagal antara lain keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung selesai, Korupsi merajalela, legitimasi Negara terus ditentang dan menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri. ( Robert I The Nuture of Nation-State failure, 2002). Merujuk pada sindrom tersebut dan keterpurukan yang dihadapi Indonesia, kita perlu bertanya di penghujung tahun 2002 ini; Apakah betul Republik ini sedang mengarah kepada Negara gagal ? Memang hanya beberapa dari 191 negara bangsa di dunia yang sekarang masuk kategori Negara gagal (Failed State) atau hancur (collapsed state) yang merupakan tahapan akhir dari kegagalan Negara. Lusinan lain masuk kategori Negara lemah (Weak state) yang merupakan calon potensial dari kegagalan Negara. Selama decade lalu, setidaknya ada tujuh Negara yang dalam kategori Negara gagal, yaitu Afganistan, angola, Burundi, Republik Demokraktik Congo, Liberia, Sierra leone dan sudan. Di antara tujuh Negara gagal itu, yang betul-betul sampai hancur menjadi collapsed state hanya satu, yaitu Somalia. Sedangkan contoh Negara yang lemah adalah Columbia. Pertanyaannya : Bagaimana Indonesia ? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dikajilebih dalam lagi mengenai gejala-gejala atau sindrom dari sebuah Negara gagal. Baru dari situ bisa diputuskan posisi Indonesia ada di mana. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
16
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
Political Goods Sebuah Negara bangsa lahir untuk memberikan barang-barang politik (political goods), seperti keamanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, hukum dan keadilan, serta insfrastruktur seperti jalan dan fasilitas komunikasi yang diperlukan oleh segenap rakyatnya. Negara lalu kehilangan fungsinya sebagai penyedia barang-barang politik tadi. Fungsi-fungsi tersebut secara terbatas diambil alih oleh para warlords dan actor nonnegara lainnya. Singkatnya, Negara gagal tidak lagi mampu
atau tidak mau
melaksanakan tugas sebagaimana sebuah Negara di dunia modern sekarang ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Rotberg, di Negara gagal masalah keamanan dan kestabilan tidak bisa dinikmati rakyat. Di Banyak Negara gagal, misalnya, pasukan pemerintah bertempur dengan gerilyawan atau kelompok separatis, terjadi perlawanan terhadap legitimasi pemerintah pusat, macam-macam kerusuhan sipil terjadi, konflik etnisdan teror mengancam stabilitas nasional. Negara gagal tidak mampu menjamin keamanan rakyatnya, padahal keamanan adalah barang politik paling
utama yang
dibutuhkan rakyat. Bukankah warga bergantung kepada Negara dan pemerintah pusat untuk mengamankan mereka supaya bebas dari rasa takut? Oleh karena Negara gagal tidak mampu menciptakan iklim keamanan diseluruh negeri (biasanya pemerintah pusat sulit untuk menujukkan kekuasaanya di luar Ibukota Negara), maka para warlords menguasai daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau kekuasaan-kekuasaan Negara dan mengancam Negara. Di Negara gagal lembaga-lembaga politik yang masih jalan hanya eksekutif. Jika pun lembaga legislatif masih ada, mereka hanya mesin stempel saja. Debat demokrasi sebagaimana layaknya sebuah parlemen yang riuh di Negara modern tidak terjadi. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan ditentukan olek pihak penguasa. Begitu juga lembaga Yudikatif. Lembaga kehakiman tidak ubahnya kepanjangan tangan dari eksekutif ketimbang sebuah lembaga peradilan yang indenpenden. Warga tahu betul bahwa mereka tidak bisa berharap banyak kepada peradilan, terutama dalam kasus-kasus yang melawan pemerintah atau Negara. Birokrasi dan aparat pemerintah bukan lagi abdi Negara atau abdi masyarakat, melainkan melayani rakyat. Militer, barangkali satu-satunya, lembaga yang masih punya integritas, namun angkatan bersenjata dari sebuah Negara gagal sering dipolitisasi tanpa semangat korupsi yang semestinya mereka pegang. Di Negara gagal ketimpangan ekonomi tampak mencolok. Kue ekonomi tidak dibagi secara adil melainkan hanya kepada kelompok tertentu saja. Mereka yang dekat kepada penguasa bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah parah. Keuntungan melimpah bhisa didapat dari spekulasi mata uang, percaloan, dan pengambilan kebijakan.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
17
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
Ulah Manusia Terjadinya Negara gagal bukan karena kebetulan atau kecelakaan, tapi ulah manusia. Kebijakan dan kesalahan elite kepimpimimpinan telah menghancurkan Negara. Pemerintahan kleptokrasi Mobutu Sese Seko menguras habis sumber daya Zaire untuk kepentingan keluarga dan kroni dekade, sedikit sekali uang yang mengucur kepada rakyat,
apalagi kesejahteraan mereka.
Pemerintahan
Mobutu
hanya
mengurus
kepentingan keluarga dan kroni Mobutu, dan bukan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Zaire. Negara kaya minyak Angola menjadi Negara gagal bukan saja karena selama tiga dekade dilanda perang, melainkan juga karena Presiden Eduardo dos santos menolak untuk mengizinkan pemerintah Angola memberikan pelayanan dasar kepada wilayah yang lebih luas dan dikuasainya. Di Somalia, Presiden Mohamad Siad Barre dengan congkak mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan untuk dirinya dan sukunya sendiri.
Di Afganisthan,
baik
Presiden Gulbudin Hekmatiyar
maupun
Burhanuddin Rabbani berusaha mencegah suku lain, kecuali Pusthun dan Tajik, untuk ikut serta dalam pemerintahan. Itu sebabnya Taliban berusaha menentang dan menggulingkan pemerintahannya, sehingga kemudian Afganisthan menjadi Negara teroris. Kita merasakan sindrom-sindrom dari Negara gagal itu pada tingkat tertentu terjadi di Indonesia. Kita merasakan keamanan dan ketertiban yang berantakan. Konflik horizontal terjadi di masayarakat dalam bentuk pertentangan suku, agama dan antar golongan. Bom kerap meledak di Ibukota dan tempat-tempat lain didaerah. Terakhir bom di Bali yang menewaskan ratusan orang asing, khusunya warga Australia. Kejahatan jalanan sudah pada tahap menyeramkan. Orang main hakim sendiri karena tak percaya lagi kepada aparat yang berwenang seperti polisi, hakim dan jaksa. Penjahat yang tertangkap massa, tak cukup dibunuh, tapi sering dibakar. Kita juga merasakan pemerintahan yang lemah. Utang Indonesia mencapai 60 Milliar dollar, sehingga Indonesia sangat tergantung dengan IMF. Lalu, apa dengan demikian Indonesia masuk kategori Negara gagal ? Jusuf Wanandi, dari CSIS, di Washington Quarterly, tidak sependapat. Meskipun lebih lima tahun dihantam macam-macam krisis; ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Indonesia tidak bisa disebut Negara gagal. Namun, jika krisis meltidemensi tadi terus berlangsung untuk 5-10 tahun lagi ke depan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia terjerumus menjadi Negara gagal. Oleh karena kemungkinan itu bukanlah mustahil, maka seluruh elite politik harus berusaha menghilangkan perbedaan dan menyatukan pikiran dan tindakan demi menyelesaikan berbagai macam masalah dan krisis yang dihadapi bangsa ini. Kecemasan pun timbul dari permasalahan yang terus bergulir. Ditakutkan Indonesia bisa menjadi Negara gagal (failed state), seperti Somalia dan Darfur Sudan. Di MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
18
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
Mana orang saling membunuh, sebab tidak ada aturan. Indonesia juga bisa menjadi Negara gagal jika tidak bisa survise di tengah kultur baru abad 21. Penulis mendiskripsikan Negara gagal seperti Negara yang
tak mau
melaksanakan tugas, layaknya sebuah Negara di dunia modern. Sindrom dari Negara gagal antara lain keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama yang tak kunjung usai, korupsi meralela, legitimasi Negara terus menipis, dan rawan terhadap tekanan luar negeri.
Ciri-Ciri Negara Gagal Apa yang disebut dengan Negara Gagal ? Definisi dapat bermacam-macam dan orang berdebat mengenai hal itu tanpa henti. Jadi, lebih baik disebutkan beberapa kriteria atau ciri khas yang banyak disepakati di dunia ini mengenai apa yang disebut sebagai Negara gagal. Yang terpenting adalah hal-hal berikut ini. a. Terasa tidak ada lagi jaminan keamanan; orang merasa tidak nyaman dan hal ingin mengungsi ke negeri orang. Kasus perusakan tempat-tempat ibadah merupakan salah satu hal yang khas bagi Negara gagal. b. Pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan bahan kebutuhan pokok ( Indonesia ; gas dan minyak tanah seperti yang terjadi belakangan ini). Insfaktruktur menjadi semakin teak karuan dan tidak efektif lagi. c. Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan Negara terhadap gangguan korupsi itu, seperti DPR, DPRD, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Anggota Kabinet. Di Negara – Negara gagal sebenarnya justru Negara itu bersekongkol dengan para preman , mafia, dan teroris. d. Bentrokan-bentrokan horizontal di antara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal itu menunjukkuan ketidakberdayaan aparat Negara. e. Kehilangan kepercayaan masyarakat yang merata dan menyeluruh. III.
Kesimpulan Berikut adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh, agar Indonesia tidak
menjadi Negara gagal. 1. Indonesia sudah harus mempunyai pemimpin baru; seorang pemimpin yang tegas, jelas, dan keras, di mana perlu kejam, tetapi adil. Sosok pemimpin
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
19
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
seperti ini berani bertindak dan berani mempertanggungjawabkan tindakannya tanpa banyak cincong. 2. Melihat keadaan yang semrawut dan kaotis di sekililing kita, sebenarnya pada saat ini sudah harus ada sense of emergence and sese of urgency. Bahkan, Negara Indonesia ini sudah harus berada dalam keadaan darurat. Jadi, pemerintah yang mencoba menegakkan benang yang sudah basah ini sudah harus memerintah dengan dekret. 3. Mulai membenahi perekonomian nasional. Ini berarti, langkah perekonomian nasional tidak dihalangi oleh kesenjangan aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Masalah otonomi Indonesia kini merupakan struktur federal yang sangat kacau, suatu bom waktu yang ditinggalkian Orde Baru. 4. Hentikan korupsi besar-besaran dari pusat hingga daerah, dari yang tertinggi hingga ke terendah. Bila perlu, terapkan hukuman mati. Di Indonesia, orang berkorupsi karena yakin bahwa dia akan lolos asal saja cukup duit untuk menyogok
para hakim dan lain-lain. Jadi, persyaratannya korupsi itu harus
besar. 5. Hentikan
pertikaian
horizontal
antarkelompok,
antarkampung;
pertikaian
sewaktu menonton pertandingan sepak bola; antarpenonton, antara penonton dan pemain, mengejar dan memukuli wasit, melempar batu; pertikaian antar suku, antarmahasiswa yang saling lempar batu; melempar batu ke gedunggedung yang dibangun dengan uang rakyat; dan hentikan main hakim sendiri. Kita manusia biasa. Hidup rakyat sudah sedemikian berat dan keadaan Indonesia ini sudah sedemikian terpuruk, janganlah kita perburuk keadaan dengan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak perlu lagi. Tugas para pejabat Indonesia sudah sedemikian berat dan sukar. Jangan ditambah lagi dengan tindakan yang tidak perlu. Bangsa dan Negara sudah demikian miskin, janganlah merusak kantor, pagar-pagar kantor atau sekolah, gedung sekolah atau gedung yang dibangun dengan darah rakyat. 6. Embuskan kembali semangat juang yang pernah kita miliki dan bangkitkan kembali patriotisme dengan definisi dan nilai-nilai baru sesuai dengan panggilan zaman atau Zeitgeist. Inilah saat bagi kita semua di mana-mana untuk memetakan 100 tahun berikutnya bagi kebangkitan Nasional yang kedua.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
20
VOL : XX, NO : 1, MARET 2013
DAFTAR PUSTAKA
Donald. K, Emerson , Editor, 2001, Indonesia Beyand Soeharto, Jakarta, PT. Gramedia PustakaUtama. Juan J, Linz,et al,2001, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat Belajar dari Kekeliruan Negara lain, Bandung, Mizan.
Budi Winarno, 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi , Yogyakarta Medress.
Riza Noer Arfani, Editor ,1996, Demokrasi Indonesia Kontenporer, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
21