Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar
Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus ini bukan hal baru di kedua wilayah tersebut. Namun, seiring dengan musim kering berkepanjangan yang dipengaruhi siklom tropis dan El Nino (naiknya suhu permukaan laut), masalah kebakaran lahan dan hutan jadi masalah yang mendesak untuk ditindaklanjuti. Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), di Sumatera terdapat 693 titik panas yang terpantau lewat Satelit Modis. Di Sumatera Selatan terdapat 613 titik panas, Lampung, 37 titik apa, dan Jambi 32 titik api. Selebihnya 9 titik panas di Bangka Belitung dan Kepulauan Riau dengan 1 titik panas. Informasi lain juga menyebutkan bahwa di Sumatera tercatat ada sebuah perusahaan yang 6 ribu hektar dari total 8 ribu hektar lahannya terbakar. Sektor pariwisata dan transportasi juga terkena imbas musibah asap pekat ini. Di Riau sudah ada lima bayi yang harus dirawat karena ISPA karena asap pekat dan kualitas udara yang terus memburuk. Bandara di Bangka Belitung sempat tutup hingga 11 jam. Di Sumatera Barat, sekolah-sekolah harus ditutup untuk menghindari dampak negatif ISPA.. Lebih jauh, jumlah pasien di rumah sakit khusus paru-paru di Sumatera Selatan meningkat drastis selama tiga bulan terakhir, terutama pasien anak-anak dan orang tua. Bulan Juli 2015 tercatat 493 kasus dan meningkat menjadi 587 kasus di bulan Agustus. Di Kalimantan, kondisi serupa juga terjadi akibat rentannya kebakaran lahan dan hutan. Di Palangkaraya, indeks udara sudah mencapai sangat tidak sehat dan sangat berbahaya. Kalimantan Tengah mengalami dampak paling parah dibandingkan daerah lain di Kalimantan, seperti jarak pandang yang hanya mencapai 100 meter. Di Kalimantan Selatan, meskipun sempat diterpa curah hujan yang tinggi, kebakaran lahan dan hutan tetap terjadi, sehingga provinsi ini juga merasakan asap pekat, yang menyebabkan jarak pandang sekitar 300 meter. Mengatasi kasus kebakaran lahan dan hutan yang semakin parah, pihak polisi tengah melakukan penyidikan terhadap 18 perusahaan. Lebih jauh, TNI, Polri, Dinas Pemadam Kebarakaran dan dinas terkait lainnya, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD), lewat koordinasi Pemerintah Daerah setempat. Misalnya, Provinsi Kalimantan Tengah mengalokasikan dana sebesar 1, 5 miliar dari APBD untuk menanggulangi masalah yang kian parah tersebut. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga terus berjalan dalam rangka mengatasi asap tebal dan kebakaran lahan dan hutan yang berdampak multidimensi dan menimbulkan banyak kerugian tersebut.
Akar Masalah Asap Masalah kebakaran lahan dan hutan bukan masalah baru di Sumatera dan Kalimantan. Kejadian tahun 2015 menjadi puncak gunung es permasalahan asap tebal di Indonesia. Kasus yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya seperti yang terbesar di Provinsi Riau yang mencapai 26.000 hektar (1997-1998) dan berdampak ke negara tetangga, serta kejadian yang terus terjadi setiap tahunnya, seharusnya jadi pelajaran bagi pemerintah daerah setempat dan para pemangku kebijakan terkait. Termasuk perusahaan yang beroperasi di daerah terkait dan masyarakat sekitar. Studi CIFOR terkait kasus kebakaran lahan dan htan (1998-2003) menyebutkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah pembukaan lahan untuk perkebunan dan HTI. Perubahan kebijakan pemerintah daerah terkait tata guna lahan, dari kawasan hutan menjadi perkebunan dan transmigrasi. Pembakaran lahan juga dinilai efektif dan murah untuk membuka lahan perkebunan maupun HTI. Penyebab lainnya adalah penguasaan lahan oleh masyarakat untuk membuka lahan baru, penyebaran api liar dan tanah yang ditinggalkan atau sudah habis izinnya, sehingga dibuka dan dikuasai oleh masyarakat dengan pembakaran. Patut dicatat, bahwa kasus kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal merupakan salah satu dampak dari implementasi desentralisasi dan pembangunan yang tidak mengindahkan dampak terhadap lingkungan dan aspek lainnya, baik kesehatan, pariwisata, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kerapkali bertabrakan dengan pertimbangan ini. Provinsi Riau dalam kasus berbeda juga pernah mengalami hal ini, yaitu kasus ekspor pasir ke Singapura yang kontroversial, karena menyebabkan kerusakan lingkungan terutama laut, sumber mata pencaharian para nelayan di daerah setempat. Penanggulangan masalah juga selalu menghadapi pelbagai masalah klasik birokrasi dan sistem pemerintahan. Diantaranya adalah ego sektoral, lemahnya
koordinasi, keterbatasan dana dan tenaga ahli. Ternyata desentralisasi tidak sertamerta membuat penanganan kasus seperti kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal menjadi lebih mudah. Sudah jadi rahasia umum bahwa alokasi APBD lebih banyak terserap untuk operasional seperti belanja pegawai daripada pelayanan. Namun, asumsinya, dengan model seperti itu seharusnya segenap aparat pemerintah daerah bisa lebih optimal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, baik lewat sumber daya manusia maupun fasilitas penunjang kerja lainnya. Lebih jauh, wewenang kepada pemerintah daerah setempat untuk menyatakan kondisi darurat terkesan lambat dinyatakan, sehingga bantuan pemerintah pusat tidak bisa
langsung
bergerak
memberikan
bantuan.
Misalnya,
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) harus menunggu pernyataan dan pemberitahuan dari pemerintah daerah setempat sebelum memberikan bantuan berupa hujan buatan dan bom air. Evaluasi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) tahun 2013 tentang penanggulangan bencana alam di Provinsi Jawa Barat juga menunjukkan masalah koordinasi antara BPBD di tingkat Provinsi dan Kabupaten, serta Nasional, terkait pembagian wewenang dan wilayah kerja operasi badan penanggulangan bencana terkait. Lagi-lagi hal ini menunjukkan dilema dan tantangan dalam penerapan desentralisasi di Indonesia.
Mendorong Inisiatif Masyarakat Melarang dan menghentikan pembangunan bukan jalan keluar yang bijak dalam mengatasi masalah kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal. Satu hal yang pasti, penegakan hukum menjadi hal yang mutlak diperlukan. Tidak bisa dipungkiri, masalah kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal kebanyakan disebabkan oleh faktor manusia sebagai pelaku utama penyebab kebakaran. Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum (Tim Penegakan Hukum Penanggulangan Kebakaran Lahan dan Hutan) harus mampu bertindak tegas terhadap para pelaku kebakaran tanpa pandang bulu. Bahkan jika pelaku kebakaran melibatkan pejabat publik, pengusaha, maupun aparat keamanan dan pertahanan. Bila perlu, dengan saksi dan bukti yang kuat, pemerintah harus menjatuhkan sanksi terberat terhadap para pelaku kebakaran. Pemerintah juga perlu melibatkan aktor non-negara seperti LSM dan media, serta para pakar teknis untuk menanggulangi permasalahan ini.
Terkait kebijakan daerah, pemerintah daerah lewat pengawasan DPRD dan DPD, serta masyarakat sipil harus menerapkan kebijakan yang tidak hanya propembangunan dan kesejahteraan, namun juga memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Peraturan tentang tata ruang dan wilayah harus diterapkan secara seksama dan konsisten dan berlaku untuk semua pemangku kebijakan. Pemberian ijin perkebunan dan HTI harus diikuti pengawasan yang rutin dan ketat terutama untuk pembukaan lahan, mengingat parahnya dampak kebakaran lahan dan hutan selama ini. Jika terbukti ada pelanggaran, maka pemerintah tidak boleh sungkan untuk mengambil tindakan hukum, termasuk pencabutan ijin usaha. Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk pembukaan lahan yang ramah lingkungan untuk mencegah kebakaran lahan dan hutan. Hal ini bisa dilakukan melalui dinas-dinas terkait, seperti dinas pertanian dan dinas kehutanan, serta LSM peduli lingkungan. Selain itu, jika ada kebijakan lokal yang diterapkan masyarakat seperti masyarakat adat terkait pembukaan lahan, hal ini bisa menjadi masukan pemerintah dan para pengolah lahan yang ada, termasuk masyarakat pada umumnya. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap pembukaan lahan, sekali lagi, pemerintah harus tegas menegakkan hukum. Terkait masalah klasik seperti koordinasi, sudah menjadi pekerjaan rumah wajib bagi pemerintah untuk memperbaiki komunikasi dan koordinasinya dengan pihakpihak terkait. Ini harus dilakukan di pelbagai lini dari tingkat pusat hingga daerah. Jika perlu, kebijakan yang menghambat penanggulangan masalah dengan sigap harus dikaji kembali, apalagi mengingat sifat birokrasi yang
hirarkis, prosedural, dan
membutuhkan landasan peraturan yang jelas untuk bertindak. Lebih jauh, untuk melakukan tindakan preventif, pemerintah harus memastikan bahwa informasi penting dari badan-badan terkait, seperti BMKG dan BPBD, maupun laporan dari masyarakat, LSM, dan media dapat segera dicek dan ditindaklanjuti, apalagi masalah kebakaran lahan dan hutan bukan masalah yang baru terjadi sekali dan sudah berdampak serius di berbagai bidang. Untuk itu, pemerintah pusat maupun daerah harus memiliki good will dan kesadaran untuk mengalokasikan anggaran yang memadai baik untuk tindakan preventif, responsif, dan kuratif dalam mengatasi permasalahan kebakaran lahan dan hutan. Jika diperlukan, seharusnya pemerintah juga bisa meminta bantuan internasional sesuai dengan kebutuhan.
Lewat langkah-langkah ini diharapkan pemerintah dapat didorong untuk mampu memperbaiki kinerjanya dengan mengatasi masalah klasik sekaligus menerapkan prinsip-prinsip good governance agar dapat melakukan fungsinya secara optimal, responsif, dan relevan.