Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu
Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan
Struktur Presentasi 1. Ikhtisar tatakelola PNBP dalam sektor kehutanan 2. Estimasi produksi kayu dari hutan alam, 2003-2014 3. Estimasi kerugian negara 4. Temuan dari analisa kelemahan dalam penatausahaan produksi kayu dan pemungutan PNBP 5. Roadmap pembenahan sistem
PNBP dalam sektor kehutanan IHPH 3%
Other 1%
PKH 15%
Dana Reboisasi
Sejak Maret 2014, KLHK juga memungut Penggantian Nilai Tegakan (PNT):
PSDH 31%
Atas produksi dari Land Clearing: *) Data dari 2012
PNT = Vol (m3) x Harga Patokan x 100%
Menurut statistik resmi, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama tahun 2003– 2014 secara keseluruhan mencapai 143,7 juta m3. Dari produksi tersebut, sebanyak 60,7 juta m3 dipungut oleh pemegang izin HPH melalui sistem tebang pilih; sedangkan 83,0 juta m3 merupakan hasil pembukaan lahan untuk pengembangan Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit dan karet, serta pertambangan . Grafik 2.1. Produksi kayu dari hutan alam yang tercatat di Indonesia selama periode 2003–2014
8 7
Dalam Juta m3
6 5 4 3 2 1 - 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tebang Pilih (P H)
Pembukaan Lahan Hutan
Hasil dari model kuantitatif kajian menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya selama tahun 2003–2014 mencapai 630,1 sampai 772,8 juta m3. Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari KLHK hanya mencatat 19–23% dari total produksi kayu selama periode studi, sedangkan 77–81% tidak tercatat .
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR dan PSDH yang kurang maksimal mencapai US$ 6,47–8,98 milyar (Rp. 62,8–86,9 trilyun) – atau rata-rata sebesar US$ 539– 749 juta (Rp. 5,24–7,24 trilyun) per tahun selama 12 tahun periode kajian .
Agregat kerugian negara yang bersumber dari nilai komersial domestik untuk produksi kayu yang tidak tercatat selama periode tersebut mencapai Rp. 598,0–799,3 trilyun (US$ 60,7–81,4 milyar), atau Rp. 49,8–66,6 trilyun (US$ 5,0–6,8 milyar) per tahun.
Kelemahan Dalam Sistem Administrasi PNBP Kehutanan 1. Data dan Informasi 2. Pengendalian Internal
3. Akuntabilitas Eksternal 4. Penegakan Hukum 5. Struktur Tarif 6. Pengambilan Kebijakan
1
Pengurusan data produksi kayu dan pemungutan PNBP tidak memadai
• Tidak dikelolanya catatan mengenai pemungutan PNBP berdasarkan perusahaan. • Volume produksi kayu yang tercatat, tidak konsisten dari satu sumber ke sumber lainnya, data historis dalam laporan dirubah dari tahun ke tahun, dan pelaporan kategori sumber produksi kayu berbeda dari satu tahun ke tahun berikutnya tanpa penjelasan • Terdapat banyak kekurangan dalam laporan internal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai produksi kayu yang berasal dari kegiatan pembukaan lahan. • Rencana produksi secara konsisten melebihi realisasinya dan/atau pelaporan produksi yang lebih rendah dari produksi yang sebenarnya, serta perbedaan signifikan dalam areal produksi yang dilaporkan. • Data yang dilaporkan di database SI-PUHH berbeda dengan catatan internal KLHK. • Data spasial belum digunakan untuk memeriksa inventarisasi atau laporan produksi.
1
Pengurusan data produksi kayu dan pemungutan PNBP tidak memadai
Produksi dari HPH (2013): 3.672.594 m3 vs 6.621.643 m3
Produksi dari HTI (2013): 19.554.418 m3 vs 35.288.880 m3
2
Pengendalian internal tidak memadai untuk memastikan akuntabilitas tata usaha kayu dan pemungutan PNBP Informasi mengurus dan mengawasi hutan dihasilkan oleh pemegang konsesi, verifikasi fisik dilakukan secara terbatas KLHK bergantung pada daerah untuk pengendalian internal Penyampaian dokumen tembusan, rumit, tapi tidak memiliki kejelasan fungsi Pengawasan internal terfragmentasi Insentif manipulasi tinggi
Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan
Intensitas
Intensitas
Konsesi hutan Pembukaan lahan di IPPKH Pembukaan lahan di APL dengan izin
Cruising Tidak jelas 100% 5%
Verifikasi 1% 5% Tidak diatur
penggunaan lahan Pembukaan lahan hutan konversi atau tukar
5%
Tidak diatur
menukar kawasan Pembukaan lahan untuk konsesi hutan
5%
Tidak diatur
tanaman Pembukaan lahan HGU
100%
5%
2
Pengendalian internal tidak memadai untuk memastikan akuntabilitas tata usaha kayu dan pemungutan PNBP
3
Mekanisme akuntabilitas eksternal yang ada tidak memadai untuk mencegah kerugian negara • Kemenkeu belum memiliki sistem yang memadai untuk melakukan pengawasan PNBP. • Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) belum melakukan pemeriksaan komprehensif • Sistem Verifiasi Legalitas Kayu (SVLK) menjadi terbatas oleh karena fokusnya yang pada pemeriksaan kepatuhan administratif, sedangkan verifikasi di lapangan masih minim. • SI-PUHH tersedia namun bentuknya saat ini tidak memberikan transparansi yang memadai dalam pertanggungjawaban kepada publik.
4
Terbatasnya efektivitas penegakan hukum kehutanan
Laporan Hasil Analisis PPATK 2002-2014
Tindak pidana lain, 20
Bidang Kehutanan, 10
Bidang Perpajakan, 75
Pencurian Bidang Perpajakan
Perjudian, 36
Pemalsuan uang, 10
Terorisme Perjudian
Pencurian, 9
Terorisme, 49
Penyuapan, 88
Penyuapan Pemalsuan uang
– Kebijakan penegakan hukum kehutanan belum diarahkan pelaku kejahatan utama – dengan pendekatan keuangan – Suap dan korupsi terjadi tiap tahap pengelolaan kehutanan – Sebagian besar kawasan hutan produksi tidak memiliki unit pengelola, pengawasan lemah
5
Tarif PNBP kehutanan yang ditetapkan memberikan insentif untuk pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan
• Secara historis, sistem royalti kehutanan di Indonesia tidak rasional, dan memungkinkan konsesi hutan untuk mengumpulkan rente ekonomi yang terlalu berlebih. • Tarif DR hampir tidak berubah sejak akhir tahun 1990-an, namun, nilainya secara riil sebagai persentase dari harga pasar menurun drastis. • Harga patokan yang menjadi dasar PSDH, masih jauh di bawah harga pasar dan dari segi nominal hampir tidak berubah sama sekali sejak akhir tahun 1990-an. • Akses terhadap rente ekonomi memberikan insentif kuat bagi pemegang izin untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan dan/atau ilegal. • Pemungutan Pengganti Nilai Tegakan (PNT) dimaksudkan sebagai disinsentif untuk pembukaan lahan, namun tarif tidak mencerminkan nilai tegakan yang sebenarnya.
5
Secara historis, sistem royalti kehutanan di Indonesia tidak rasional, dan memungkinkan konsesi hutan untuk mengumpulkan rente ekonomi yang terlalu berlebih.
Harga Patokan (PSDH 10% dari harga patokan) Harga Patokan untuk Perhitungan PSDH
Samua Provinsi
Ukuran KB
KBK
Sumatra dan Sulawesi Meranti
RC
Kalimantan dan Maluku Meranti
RC
Papua dan Nusa Tenggara Meranti
RC
Merbau
1999 (06/MPP/Kep/1/1999)
204.000
>30 cm
640.000
360.000
640.000
360.000
530.000
265.000 905.000
2007 (8/M-DAG/PER/2/2007)
245.000
>30 cm
600.000
360.000
600.000
360.000
504.000
270.000
1.500.000
6 Mar 2012 (12/M-Dag/PER/3/2012) 550.000 24 Apr 2012 (22/MDAG/PER/4/2012) 245.000
>30 cm
1.270.000
953.000
1.270.000
953.000
1.700.000
1.150.000
2.649.000
>30 cm
600.000
360.000
600.000
360.000
504.000
270.000
1.500.000
>30 cm
620.000
320.000
730.000
430.000
620.000
320.000
>49 cm
640.000
340.000
760.000
450.000
640.000
340.000
31 Dec 2014 (P.68/Menhut-II/2014)
310.000
1.800.000
Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan harga patokan (sebagai dasar penentuan tarif PSDH) sehingga lebih mendekati harga pasar. Namun demikian, tidak lebih dari 2 bulan kemudian, setelah proses lobi oleh industri, peraturan baru keluar sehingga mengembalikan har pasar ke nilai awal yang bertahan hingga saat ini. Harga patokan yang ada saat ini bukan indeks dari harga pasar seperti seharusnya, melainkan nilai artifisial yang tidak ada hubungannya dengan harga pasar.
5
Tarif DR hampir tidak berubah sejak akhir tahun 1990-an, namun, nilainya secara riil sebagai persentase dari harga pasar menurun drastis. Tarif DR sebagai Prosentase Harga Pasar Domestik 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pembenahan Kunci 1.
Audit komprehensif terhadap penerimaan bukan pajak kehutanan yang dilakukan oleh BPK-RI
2.
Seluruh produksi kayu dari hutan di bawah penatausahaan negara dilaporkan pada sistem SIPUHH online KLHK
3.
Alat monitoring spasial digunakan untuk memverifikasi inventarisasi hutan pada seluruh areal pembukaan lahan sebelum ditebang habis.
4.
Penegakan hukum ditingkatkan, termasuk penggunaan peraturan perundang-undangan anti pencucian uang
5.
Pengkajian mendalam terhadap struktur dan tarif royalti guna menentukan cara Pemerintah
6.
Koordinasi secara rutin antara KLHK dan Kementerian Keuangan guna merencanakan target penerimaan negara bukan pajak
USULAN
RANCANGAN PEMBENAHAN SISTEM 1. Perencanaan PNBP 7. Sistem Kontrol “post audit”
AREA IUPHHK-HA
SIMPONI— SIPHAO— SIPUHH— eMONEV KINERJA PHPL
3. Penggunaan Teknologi
CRUISING
URKT RKT
2. Instrumen di HA 4. Instrumen di HT
PEMBAYARAN PNBP
5. Satuan Tarif 6. Sistem Pembayaran
PENEBANGAN TRAKTOR
LHP—TPN
TPK HUTAN
USULAN
ROADMAP PEMBENAHAN SISTEM 1. PEMBAHASAN HASIL KAJIAN SECARA KESELURUHAN: Dampak, Resiko, Kelembagaan 2. PEMBAHASAN DAN PENETAPAN UNSUR-UNSUR PEMBENTUK SISTEM: – – – –
Integrasi sistem online Uji coba penggunaan teknologi: drone, chips, dll Telaah data (GN-SDA) dan penetapan perencanaan PNBP nasional Uji coba lapangan
3. REVIEW PERATURAN DAN PENETAPAN PERUBAHAN (BERTAHAP ATAU SEKALIGUS) 4. EVALUASI PELAKSANAAN PERATURAN
TERIMA KASIH
Grafik 2.3. Estimasi 1 dari produksi kayu yang sebenarnya di pulaupulau utama selama tahun 2003–2014
8 7
Dalam Juta m3
6 5 4 3 2 1 - 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumatra Kalimantan Produksi Yang Tercatat
Papua
Lain
angka setinggi 52,7 juta m3 pada tahun 2014. Dari volume yang dihasilkan oleh pembukaan lahan tersebut, 55 persennya merupakan kayu bulat berdiameter kecil, sedangkan 45 persennya adalah kayu bulat berdiameter 0
8
Grafik 2.5. Estimasi 2 tentang produksi kayu yang sebenarnya di pulaupulau utama selama tahun 2003–2014
7
Dalam Juta m3
6 5 4 3 2 1 - 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumatra Kalimantan Produksi Yang Tercatat
Papua
Lain
total produksi kayu tersebut ternyata tidak 0 tercatat.
Grafik 2.2. Estimasi 1 dari produksi kayu yang sebenarnya di Indonesia selama tahun 2003–2014
8 7
Dalam Juta m3
6 5
n
4 3 2 1 - 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tebang Pilih i I tensitas Tnn g gi Pembukaan Lahan Kayu Bulat Produksi Yang Tercatat
Tebang Pilih I tensitas Rendah Pembukaan Lahan Kayu Bulat Kecil
Grafik 2.4. Estimasi 2 dari produksi kayu yang sebenarnya di Indonesia selama tahun 2003–2014 0
8 7
Dalam Juta m3
6 5 4 3 2 1 - 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003
Tebang Pilih i I tensitas Tnn g gi Pembukaan Lahan Kayu Bulat Produksi Yang Tercatat
Tebang Pilih I tensitas Rendah Pembukaan Lahan Kayu Bulat Kecil