MENCARI PRAKSIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM ISU LINGKUNGAN: SEKELUMIT PENGALAMAN PSDK
Editor
: Donny Setiawan, ST.
Inisiatif, Bandung 2005
Mencari Praksis Partisipasi Masyarakat dalam Isu Lingkungan: Sekelumit Pengalaman PSDK Editor : Donny Setiawan, ST., Prolog : Diding Sakri, ST Epilog : Donny Setiawan, ST. Kontributor : Wulandari Dadan Madani Dadan Ramdhan Heri Jabrig Ira Pryadarsani Undang A.R. M. Jefri Rohman Euis Widia M. Arif Nurdwiansyah Asep S. Rival Zaelani Endang Juandi Aan Kurniawan Dede Juhari Tata letak & Desain Sampul: Erie Hermawan Katalog Dalam Terbitan (KDT): Setiawan, Donny (ed) Mencari Praksis Partisipasi Masyarakat dalam Isu Lingkungan: Sekelumit Pengalaman PSDK/Donny Setiawan, ST. – Kata Pengantar: Diding Sakri, ST.-Bandung: Inisiatif 2005 i, xxx hlm; 21,5 Bibliografi ISBN: 979-25-2100-3 1. Partisipasi 2. Lingkungan 3. Komunitas
Dipersilahkan mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini, dengan atau tanpa izin dari penerbit, sepanjang menyebutkan sumbernya secara lengkap. Edisi pertama: November 2005 © hak cipta dilindungi undang undang
Pengantar Penerbit Buku ini adalah rekaman dan eksplanasi para penggiat Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) tentang pengalaman mereka dalam mempraktikan konsep partisipasi warga dalam sektor lingkungan. Partisipasi yang dimaksud dalam buku ini lebih kental memuat pengertian advokasi yang dilakukan PSDK dalam mempengaruhi perencanaan, penganggaran, dan implementasi program sektor lingkungan di lingkup Kabupaten Bandung. Penulisannya dilakukan oleh para pendamping PSDK, yaitu INISIATIF, suatu lembaga yang mempromosikan partisipasi warga dalam sektor publik, serta para penggiat PSDK yang memang berasal dari komunitas langsung. Ada perdebatan menarik di balik penulisan buku ini. Pada suatu kesempatan, seorang penggiat PSDK mengatakan: “Apa tidak terlalu dini kita menuliskan pengalaman PSDK dalam upaya perbaikan sektor lingkungan ini? Kita ini belum apa-apa, bahkan masih terus mencari konsep yang terbaik. Setahun tiada artinya, mungkin beberapa tahun lagi.” Pernyataan ini suatu pancingan yang baik bagi suatu diskusi tentang nilai penting dari suatu kegiatan penulisan. Apalagi penulisan suatu pengalaman, yang memang berbeda dengan proses penulisan tipe lain, misalnya literature reviews dan theoretical exploration. Penulisan suatu pengalaman memang harus mempertimbangkan beberapa hal yang disebutkan dan dipertanyakan di atas. Apakah kita telah cukup lama menjalankan konsep tertentu dalam suatu praktik (pengalaman)? Apakah kita telah cukup mapan dengan konsep awal yang kemudian dipraktikkan itu? Apakah praktik tersebut telah cukup menghasilkan sehingga layak untuk dipublikasikan? Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan itu akan membagi kita menjadi dua kubu. Ada kubu yang memilih untuk menunggu sehingga pengalamannya dianggap telah cukup lama, menghasilkan, dan konsepnya matang. Namun ada juga yang segera saja menuliskan pengalaman yang masih pendek, belum menghasilkan, dan konsepnya belum matang. Ini pada akhirnya hanya masalah pilihan semata. Kami penerbit dan para penggiat PSDK pada akhirnya memilih sikap yang terakhir itu. Merasa belum cukup pengalaman, belum mantap konsep, dan i
belum memperoleh hasil yang memuaskan dari praktik, tidak menutup semangat kami untuk menerbitkan buku ini. Bukan tanpa alasan untuk mengatakan bahwa buku ini juga dapat berkontribusi terhadap pembaca. Dengan penerbitan ini, kami merasa bahwa khalayak pembaca dan diri kami sendiri, dapat lebih cermat membaca dan memberikan umpan balik. Umpan balik untuk memantapkan konsep partisipasi warga dalam sektor lingkungan. Sehingga pengalaman kami dapat berlanjut dalam jangka yang lebih panjang dan berharap dapat menghasilkan lebih signifikan. Bukan hanya itu, penerbitan buku ini diharapkan menjadi publikasi kepada aktor lain yang concern terhadap isu yang digarap PSDK. Sehingga PSDK dikenal dan mengenal ”dunia yang lebih luas”. Kemudian jejaring kerja sama dapat diperluas pula. Kontribusi yang disumbangkan buku ini adalah pada jalur advokasi yang dipraktikan PSDK. Advokasi sektor lingkungan biasanya dilakukan pada jalur di luar sistem kebijakan. PSDK melakukan advokasi dengan menggunakan jalur Perencanaan dan Penganggaran Tahunan Kabupaten. Jadi partisipasi PSDK adalah dengan mengagregasi persoalan dan solusi lingkungan yang ada di Kabupaten Bandung kemudian memastikan bahwa solusi yang diperlukan termuat dalam dokumen program tahunan Kabupaten. Cara yang ditempuh PSDK akan berguna bagi komunitas lain di tempat lain yang saat ini sedang gencar melakukan advokasi perencanaan dan penganggaran daerah. Demikian, sekelumit pertimbangan yang melatari penulisan buku ini. Besar harapan kami, bahwa pada waktu mendatang akan terbit buku lain yang menceritakan keberhasilan PSDK maupun inisiatif lain dalam partisipasi publik. Bandung, November 2005
Diding Sakri, ST Direktur Eksekutif INISIATIF
ii
Mencari Praksis Partisipasi Masyarakat dalam Isu Lingkungan: Sekelumit Pengalaman PSDK DAFTAR ISI Kata Pengantar ..........
i
Daftar Isi ........ BAG 1 KONSEP PARTISIPASI WARGA DALAM SEKTOR LINGKUNGAN Prolog Merumuskan Konsep dan Melakukan Praktik: Upaya Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) untuk Menemukan Praksis Partisipasi Warga dalam Sektor Lingkungan di Kabupaten Bandung Diding Sakri BAG 2 UPAYA MEMBANGKITKAN KESADARAN KRITIS WARGA PADA SEKTOR LINGKUNGAN: MENCARI PRAKSIS PARTISIPASI MASYARAKAT Praksis Partisipasi Masyarakat Majalaya Membangun Kesadaran Kritis Melalyi Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) Wulandari Praksis Partisipasi Masyarakat Bale Endah dan Katapang Praktik Mengembangkan PSDK di Bale Endah dan Katapang: Belajar dari Pengalaman Komunitas Rancibu (Rancamanyar, Cikambuy dan Bojong Buah) Dadan Ramdhan Praksis Partisipasi Masyarakat Bale Endah dan Katapang Kesolidan dan Kerjasama: Aspek yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan PSDK Ira Pryadarsani Praksis Partisipasi Masyarakat Bale Endah dan Katapang Pemberdayaan Potensi Lokal Menjawab Persoalan Lingkungan M. Jefri Rohman
iii
Praksis Partisipasi Masyarakat Dayeuh Kolot dan Bale Endah Banjir, Banjir, lalu Banjir...: Mengungkap Realitas yang Ada di Komunitas Korban Banjir serta Hambatan dalam Pengembangan PSDK M. Arif Nurdwiansyah Praksis Partisipasi Masyarakat Dayeuh Kolot dan Bale Endah Awan Mendung Kali Citarum Rival Zaelani Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang Refleksi Pendampingan Komunitas Gunung Wayang Juandi Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang Kesempatan yang Harus Dimanfaatkan Dede Juhari Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang Radio Komunitas sebagai Media Efektif dalam Proses Penyadaran Lingkungan. Dadan Madani Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang Mendulang Tanpa Batas Heri Jabrig BAG 3 PENUTUP Epilog Menuju Komunitas Yang Tangguh dan Kreatif Donny Setiawan Solilokui Warga
iv
MENCARI PRAKSIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM ISU LINGKUNGAN: SEKELUMIT PENGALAMAN PSDK
1
BAGIAN I KONSEP PARTISIPASI WARGA DALAM SEKTOR LINGKUNGAN
2
Prolog MERUMUSKAN KONSEP DAN MELAKUKAN PRAKTIK: UPAYA PUSAT SUMBER DAYA KOMUNITAS (PSDK) UNTUK MENEMUKAN PRAKSIS PARTISIPASI WARGA DALAM SEKTOR LINGKUNGAN DI KABUPATEN BANDUNG Oleh: Diding Sakri
Menjalankan secara tepat praktik partisipasi warga dalam berbagai sektor harus disertai perumusan konsepnya secara matang. Keterpaduan antara konsep dan praktik inilah yang kemudian disebut sebagai praksis. Praktik tanpa konsep akan (berkemungkinan) sesat dan lelah menghadapi berbagai perubahan sistem dan situasi yang mempengaruhi si pelaku. Konsep yang tidak dapat dipraktikan akan (berkemungkinan menjadi) sia-sia belaka. Demikian halnya dalam mencari praksis partisipasi warga dalam sektor lingkungan. Pertama-tama harus dirumuskan konsepnya. Kemudian konsep itu dipraktikan dalam sistem dan situasi yang ada. Dari praktik itu, akan diketahui keterbatasan dan kelebihan konsep awal. Selanjutnya konsep dan praktik itu diperbaiki terus menerus. Sampai akhirnya ditemukan suatu praksis: terpadunya konsep dan praktik. Jika konsep cukup baik dan praktiknya konsisten maka praksis inilah yang akan menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi. Tulisan ini mengangkat upaya yang dilakukan sekelompok warga yang menyebut dirinya Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK), dalam rangka menemukan praksis partisipasi warga dalam sektor lingkungan di Kabupaten Bandung. PSDK adalah jejaring partisipasi warga yang terdiri dari para aktivis komunitas di 5 (lima) kecamatan, yaitu: Kecamatan Majalaya, Kertasari, Baleendah, Katapang, dan Dayeuhkolot. A. Konsep Partisipasi Warga dalam Sektor Lingkungan Konsep partisipasi warga dalam sektor lingkungan, harus didasarkan setidaknya pada beberapa ide pokok tentang tata pemerintahan serta kenyataan yang ada dalam sektor lingkungan itu sendiri. Ide pokok yang menjadi landasan dalam hal ini adalah ide: (1) governance; dan (2) perencanaan dan penganggaran partisipatif. Sementara itu, kondisi lapangan yang perlu diperhatikan adalah: (1) permasalahan lingkungan di Kabupaten Bandung; dan (2) kebijakan pemkab selama ini dalam sektor 3
lingkungan. Kondisi Governance. Per-definisi, governance memuat ide pokok: “memutuskan secara bersamasama antara pemerintah, masyarakat/warga, dan swasta dalam menentukan alokasi sumber daya public untuk memenuhi segala sesuatu kepentingan public.”. Berbeda dengan idenya, kondisi umum saat ini adalah: 1. Warga adalah pihak yang memiliki akses paling terbatas terhadap sumber daya publik. Dominasi dalam pengambilan keputusan ada pada kelompok pemerintah dan swasta. 2. Untuk situasi yang telah membuka akses bagi warga, ternyata warga tidak punya kapasitas untuk menggunakan ruang atau sistem yang telah terbuka tersebut. Hal ini antara lain karena tidak adanya pengalaman warga untuk melakukan hal tersebut. 3. Dalam sektor lingkungan, relasi antar pelaku setidaknya terjadi antara: a. Pihak swasta: para pengusaha perkebunan yang menggunakan kawasan hutan untuk perkebunan (vegetasi non-hutan), industri penghasil limbah (padat, gas, cair dan Bahan Beracun Berbahaya/ B3). b. Pemerintah: dinas-dinas yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pengelolaan dan pengendalian lingkungan, antara lain Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Kebersihan serta Dinas Permukiman dan Tata Wilayah. c. Masyarakat: kelompok warga yang lingkungannya menjadi wilayah pembuangan limbah atau kawasan hutannya dibudidayakan untuk perkebunan. Relasi antar ketiga pihak ini tidak berimbang. Kedudukannya adalah masyarakat lebih sering menjadi korban dari kepentingan bersama antara pengusaha dengan pemerintah. Pengusaha berorientasi pada peningkatan kapasitas produksi dengan mengeksploitasi lingkungan. Pemerintah berorientasi pada perolehan pajak dan retribusi dari para pengusaha. Kondisi Prosedur Perencanaan dan Penganggaran. Prosedur perencanaan dan penganggaran per-definisi adalah: “seperangkat tata cara yang mengatur tentang bagaimana menentukan kebutuhan prioritas dan mengalokasikan sumber daya untuk memenuhinya.” . Kondisi umum saat ini adalah: 1. Prioritas kebutuhan yang ditentukan pada fase perencanaan, berbeda dengan prioritas kebutuhan yang mendapat alokasi sumber daya (anggaran). Lebih parahnya adalah, tingkat/intensitas partisipasi warga 4
pada saat menentukan prioritas kebutuhan lebih daripada ketika proses memutuskan alokasi anggaran. Hal ini mengakibatkan frustasi dalam partisipasi. 2. Lebih spesifik, jika menjadikan UU 32/2004, UU 17/2003, UU 25/2004, sebagai norma, maka pada praktiknya penyelenggaraan perencanaan dan penganggaran di daerah secara umum memiliki ciriciri: a. Dokumen rencananya tidak lengkap. Beberapa dokumen penting untuk pembangunan daerah tidak dimiliki oleh daerah. Misalnya ada daerah yang tidak memiliki Dokumen Strategi dan Prioritas. b. Proses tidak lengkap. Tidak semua tahapan prosedural yang ada, dilakukan oleh daerah. Misalnya banyak daerah tidak melakukan konsultasi publik sebelum RAPBD disyahkan menjadi APBD. c. Partisipasi masyarakat hanya di bagian awal saja. Dari mulai perumusan RAPBD sampai pengesahan, warga tidak terlibat lagi. d. Transparansi lemah. Adanya kesulitan warga untuk mengakses informasi yang ada dalam dokumen publik, misalnya Daftar Anggaran Satuan Kerja (DASK). Serta tidak ada inisiatif dari lembaga pemerintahan untuk mempublikasikan dokumen penganggaran yang sesungguhnya merupakan hak warga. e. Akuntabilitas sebatas administratif. Pertanggungjawaban pemerintah hanya dalam rangka memenuhi kewajiban administratif belaka. Tiada proses pertanggungjawaban kepada warga dan konstituen. Kondisi Lingkungan Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Inisiatif, ada 6 (enam) masalah sektor lingkungan di Kabupaten Bandung: 1. Sulitnya memperoleh air bersih di perdesaan non-PDAM, 2. Rendahnya cakupan dan kualitas pengelolaan sampah, 3. Rendahnya kualitas drainase dan ketiadaan keberlanjutan pemeliharaannya, disertai banyaknya wilayah banjir, 4. Masih banyaknya keluarga yang tidak memiliki instalasi limbah rumah tangga, 5. Tingginya tingkat kerusakan lingkungan, terutama karena limbah industri, dan 6. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hidup bersih, sehat, dan berkualitas, serta rendahnya inisiatif untuk menjalankan local problem solving
5
PERMASALAHAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN BANDUNG PERMASALAHAN
LOKASI UTAMA (KECAMATAN)
1. Sulitnya memperoleh air bersih Belum ada bak penampungan air dan pipanya (untuk daerah yang memiliki sumber mata air)
Ciwidey, Cililin, Cipongkor, Batujajar (3 dari 45 Kecamatan)
Banyak KK yang tidak memiliki akses terhadap layanan air bersih
Ciwidey, Dayeuhkolot, Gn. Halu, Katapang, Margaasih, Majalaya, Pacet, Rancabali, Rongga, Solokan Jeruk, Soreang, Rancaekek, Cicalengka (13 dari 45 Kecamatan)
2. Rendahnya kualitas pengelolaan sampah Masih rendahnya penanganan persampahan
Bojongsoang, Banjaran, Dayeuhkolot, Katapang, Majalaya, Nagreg, Ngamprah, Paseh, Pacet, Solokan Jeruk, Soreang, Rancaekek, Cicalengka, Batujajar, Cileunyi, Cikancung, Cihampelas, Baleendah (18 dari 45 Kecamatan)
Tidak tersedianya tempat pembuangan sampah permanen lokal
Banjaran, Katapang, Margahayu, Pangalengan, Rancabali, Soreang (6 dari 45 Kecamatan)
Perlu penataan/pengelolaan sampah
Banjaran (1 dari 45 Kecamatan)
Limbah kotoran ternak sapi
Cisarua, Kertasari (2 dari 45 Kecamatan)
3. Buruknya drainase Saluran drainase beberapa ruas rusak, sedangkan pemeliharaan sangat minim
Cileunyi, Cilengkrang, Gn. Halu, Pameungpeuk, Pangalengan (5 dari 45 Kecamatan)
Bila hujan lebat terjadi penggenangan air di jalan
Bojongsoang, Dayeuhkolot (2 dari 45 Kecamatan)
Masih banyaknya kirmir jalan yang rusak
Ciwidey, Cilengkrang, Padalarang (3 dari 45 Kecamatan)
Banjir
Dayeuhkolot, Majalaya, Paseh, Pameungpeuk, Sindangkerta, Solokan Jeruk, Rancaekek, Cicalengka, Baleendah (9 dari 45 Kecamatan)
4. Rendahnya pengelolaan limbah rumah tangga • •
Banyak KK yang belum mempunyai Jamban (MCK) Jumlah kasus penyakit diare dan gastroenteritis pada tahun 2004: 92.911 kasus
Cikalong Wetan, Cileunyi,Cipatat, Cilengkrang, Dayeuhkolot, Katapang (6 dari 45 Kecamatan)
6
PERMASALAHAN
LOKASI UTAMA (KECAMATAN)
5. Kerusakan lingkungan Tingginya tingkat kerusakan lingkungan karena limbah perusahaan
Batujajar, Majalaya, Ngamprah, Padalarang (4 dari 45 Kecamatan)
Polusi udara karena perusahaan
Batujajar, Majalaya (2 dari 45 Kecamatan)
Keringnya sumur disekitar pabrik karena penyedotan/artesis
Batujajar, Majalaya, Ngamprah (3 dari 45 Kecamatan)
Kurangnya pemeliharaan dan pemanfaatan sumber mata air
Ciwidey, Cileunyi (2 dari 45 Kecamatan)
Kurang perhatian terhadap lingkungan seperti bekas galian tidak direklamasi
Cipatat, Cikancung, Cihampelas, Cikalong Wetan (4 dari 45 Kecamatan)
Rendahnya kesadaran pengusaha untuk memperhatikan perizinan dan lingkungan hidup
Cikalong Wetan, Batujajar, Padalarang (3 dari 45 Kecamatan)
Perambah hutan
Cikalong Wetan, Kertasari (2 dari 45 Kecamatan)
Masih sulitnya pembuangan limbah yang lokasinya berdampingan dengan perkampungan penduduk
Cileunyi, Majalaya (2 dari 45 Kecamatan)
Rendahnya upaya reboisasi
Cikalong Wetan, Cileunyi, Lembang, Pangalengan, Pacet, Rancabali (6 dari 45 Kecamatan)
Penggali pasir sulit dihentikan karena menyangkut mata pencaharian
Cisarua, Pangalengan, Rancabali (3 dari 45 Kecamatan)
Air untuk pengairan sawah dipenuhi limbah
Margaasih, Majalaya (2 dari 45 Kecamatan)
6. Rendahnya pengetahuan masyarakat soal hidup sehat Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan
Katapang, Banjaran, Cisarua, Ngamprah, Pameungpeuk, Pacet, Soreang (7 dari 45 Kecamatan)
Sumber: Laporan Penelitian Perkumpulan Inisiatif Kebijakan Sektor Lingkungan Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, kebijakan sektor lingkungan di Kabupaten Bandung belum memberikan prioritas program dan anggaran untuk mengatasi permasalahan di atas. Setidaknya selama 3-5 tahun terakhir, sektor lingkungan masih merupakan sektor yang marjinal. Data berikut ini menunjukkan hal tersebut. 7
PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANDUNG APBD TAHUN 2005-2004-2003 Isu/ Masalah
Program
Kegiatan
Anggaran (Rp)
APBD Tahun 2005
(tidak tercantum dalam dokumen rencana)
Penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan
Pengendalian pencemaran air dan feasibility study IPAL Terpadu zona Batujajar Pengendalian Pencemaran Limbah Padat dan B3
54,550,000
Pengendalian Pencemaran Udara
92,125,000
Penghijauan Reguler Peningkatan Pengelolaan Pencemaran Lingkungan
443,950,000
485,185,000
Pemberdayaan Masyarakat Bidang Lingkungan Hidup
62,100,000
Penyusunan State of Environment Report
23,300,000
Pengendalian dan Penentuan Debit Pengambilan Air Bawah Tanah dalam Hubungannya dengan Water Balance
110,150,000
APBD Tahun 2004
(tidak tercantum dalam dokumen rencana)
Penanggulangan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan
Pengendalian Pencemaran Lingkungan
Peningkatan Pengelolaan Pencemaran Lingkungan
Penyusunan SoE
42,500,000
Sosialisasi dan Kampanye Lingkungan Hidup
42,200,000
Inventarisasi dan Pelatihan Pengolahan Limbah Kotoran Sapi
32,400,000
Percontohan Pengembangan Daur Ulang Sampah Menjadi Pupuk Cair Organik
40,900,000
Penghijauan Reguler
Pendayagunaan dan Pengelolaan Limbah
Bersambung ke halaman berikutnya
8
83,950,000 724,700,000
Lanjutan tabel Isu/ Masalah
Program
Kegiatan
Anggaran (Rp)
APBD Tahun 2003 (tidak tercantu m dalam dokumen rencana)
Pencegahan, pengendalian, pemulihan pencemaran air, udara dan tanah
Pencegahan dampak dan pengendalian pencemaran lingkungan
1,500,000,000
Mengembangkan kerjasama dalam pengelolaan pemulihan penanggulangan hutan
Penghijauan reguler
1,000,000,000
TOTAL DANA APBD 2005-2003 (Rp)
4,738,010,000
Sumber: Laporan Penelitian Perkumpulan Inisiatif Menilik alokasi APBD 2003-2005, nampak bahwa Dinas Lingkungan Hidup selama tiga tahun menyerap dana sebesar Rp. 4,738,010,000. Dana tersebut dialokasikan sebagian besar untuk kegiatan yang berbasis peran lembaga DLH. Hanya ada tiga kegiatan yang berorientasi langsung pada kegiatan penguatan partisipasi masyarakat, yaitu: (1) pemberdayaan masyarakat bidang lingkungan hidup, pada tahun 2005; (2) inventarisasi dan pelatihan pengolahan limbah kotoran sapi, pada tahun 2004; dan (3) sosialisasi dan kampanye lingkungan hidup . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tiga tahun terakhir kegiatan DLH masih berorientasi pada peningkatan kapasitas lembaga sebagai pelayan bidang penyehatan lingkungan belum memprioritaskan peran masyarakat. Alokasi kegiatan pemberdayaan masyarakat selama tiga tahun tersebut hanya sebesar Rp.136,300,000. Nilai ini hanya sebesar 0,02% dari total alokasi APBD untuk Dinas Lingkungan Hidup. Untuk alokasi dana yang non-pemberdayaan, secara nominal sangat terbatas. Sangatlah kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan penyelesaian masalah. Untuk program pengendalian pencemaran lingkungan saja sesungguhnya diperlukan dana lebih besar daripada angka tersebut hanya untuk satu tahun anggaran saja. Hal ini berkaitan dengan luasnya wilayah Kabupaten Bandung dan banyaknya pabrik dan industri penghasil limbah, yakni mencapai ribuan pabrik. Kecilnya alokasi anggaran ini rupanya menjelaskan penyebab permasalahan tingginya tingkat kerusakan lingkungan di Kabupaten Bandung. Yakni, dengan terbatasnya anggaran maka pengawasan dan pengendalian hanya dapat dilakukan dalam skala terbatas. 9
Posisi marjinal sektor lingkungan dalam konteks kebijakan Kabupaten Bandung ini, disebabkan setidaknya oleh dua hal yang saling menguatkan. Pertama, memang secara prioritas pembangunan, kebijakan Kabupaten Bandung lebih mementingkan alokasi kegiatan yang memiliki dampak perkembangan tinggi terhadap ekonomi. Misalnya perkebunan di daerah pegunungan dan industri di Daerah Aliran Sungai (DAS) diutamakan. Padahal dari sisi lingkungan, keduanya berpotensi mengakibatkan tercemarnya DAS serta erosinya pegunungan. Sebab pertama ini diperparah oleh sebab kedua, yakni rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengusulkan kegiatan pembangunan yang dapat menyelesaikan masalah lingkungan. Sehingga input terhadap pemerintah tentang masalah ini juga sedikit. Artinya tekanan untuk memprioritaskan sektor lingkungan sangat lemah. Berdasarkan uraian tentang kondisi dalam isu: (1) governance; (2) perencanaan dan penganggaran partisipatif; (3) permasalahan lingkungan di Kabupaten Bandung; dan (4) kebijakan Pemkab selama ini dalam sektor lingkungan, maka dapat dirumuskan konsep partisipasi warga dalam sektor lingkungan. Ciri-ciri partisipasinya adalah meliputi: 1. Partisipasi warga harus disertai atau didukung dengan adanya pihak yang secara langsung memberikan penguatan kepada kelompok warga. 2. Partisipasi warga harus berupaya membuka akses tentang data, informasi, dan prosedur politik serta perencanaan dan penganggaran. Sehingga warga memiliki kekuatan berupa penguasaan terhadap informasi. 3. Partisipasi warga harus diarahkan pada adanya jaminan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lapangan. Artinya warga harus siap terlibat dalam semua proses panjang perencanaan dan penganggaran. 4. Partisipasi warga setidaknya harus disertai dengan kemampuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan warga dalam sektor lingkungan yang akan diperjuangkan. 5. Partisipasi warga harus disertai dengan kemampuan untuk melakukan penyelesaian masalah sendiri untuk persoalan lingkungan yang berskala lokal. 6. Partisipasi warga harus dijalankan dengan disertai adanya penguatan basis massa dan jejaring antar kelompok warga yang berada di wilayah kabupaten sehingga memiliki daya tekan yang tinggi terhadap pemerintahan.
10
B. Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK): Sebagai Wadah Implementasi Konsep Partisipasi Warga dalam Sektor Lingkungan Untuk menjalankan keenam ciri partisipasi warga dalam sektor lingkungan tersebut, Yayasan Inisiatif mencoba mengembangkan wadah implementasi yang disebut sebagai Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK). Dalam konsep PSDK, keenam ciri partisipasi warga tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan: 1. pengembangan kapasitas organisasi warga, 2. pengembangan jejaring antar kelompok warga, 3. penyediaan informasi dan kampanye, 4. advokasi, 5. ujicoba penyelesaian masalah lingkungan di tingkat lokal. Dalam rangka menginisiasi dan mengembangkan PSDK dengan kelima fungsi tersebut, Yayasan Inisiatif menempuh serangkaian langkah berikut ini: 1. Assessment. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi persoalan lingkungan yang ada di lokasi dampingan. Kemudian juga untuk menemukan aktivis lokal yang peduli terhadap upaya penyelesaian masalah lingkungan. Selain itu, juga mengidentifikasi inisiatif lokal yang telah berjalan dalam penyelesaian masalah lingkungan di tingkat lokal. 2. Serial Lokalatih. Lokalatih adalah suatu kegiatan penyamaan persepsi dan konsep yang akan dijalankan PSDK. Yaitu konsep tentang partisipasi warga dalam menyelesaikan persoalan lingkungan. Selain itu, lokalatih ini juga memuat berbagai ketrampilan dan pengetahuan tentang upaya mempengaruhi kebijakan. 3. Riset partisipatif. Bertujuan untuk memperkuat pemahaman warga tentang masakah lingkungan dan kebijakan yang ada di pemerintahan terkait isu tersebut. Riset ini menjadi bahan untuk advokasi kebijakan oleh warga. 4. Ujicoba advokasi. Yaitu keterlibatan warga dalam prosedur perencanaan dan penganggaran yang ada. Dalam proses ini warga mendesakkan temuan riset mereka agar diakomodasi dalam kebijakan dan anggaran. 5. Ujicoba kampanye, audiensi, dan public hearing. Selain advokasi melalui prosedur perencanaan dan penganggaran yang formal. PSDK juga melakukan advokasi dengan cara kampanye untuk memperluas dukungan warga. Audiensi juga dilakukan untuk memastikan adanya dukungan dari pihak Pemkab terhadap usulan kegiatan warga. Sementara itu, public hearing dilakukan agar usulan tersebut diketahui 11
oleh masyarakat luas dan didukung oleh pihak DPRD. Pada tahap pertama, implementasi konsep PSDK sebagai media partisipasi warga dalam sektor lingkungan, dilakukan di 5 kecamatan di Kabupaten Bandung. Kelima kecamatan ini memiliki persoalan masing-masing dalam sektor lingkungan. Pertama adalah Kecamatan Kertasari dengan masalah penggundulan hutan Gunung Wayang dan pengurangan jumlah mata air. Kedua dan ketiga adalah Kecamatan Katapang dan Baleendah dengan isu sampah. Keempat adalah Kecamatan Dayeuhkolot dengan isu Banjir. Kelima adalah Kecamatan Majalaya dengan isu limbah cair dan B3 dari pabrik. C. Capaian Partisipasi Warga dalam Sektor Lingkungan Melalui PSDK Sampai dengan ditulisnya paper ini, kegiatan PSDK telah berhasil dengan capaian-capaian yang akan terus dikembangkan. CAPAIAN PARTISIPASI WARGA DALAM SEKTOR LINGKUNGAN Kegiatan
Capaian
Pembentukan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK)
1. Terorganisir sekitar 40 orang aktivis lokal di 5 kecamatan (Majalaya, Katapang, Baleendah, Dayeuhkolot, Kertasari). 2. Terbentuk PSDK lokal di 5 kecamatan tersebut. Pembentukan PSDK meliputi pembentukan organisasi baru dan re-orientasi organisasi lokal kepada arah dan fungsi PSDK yang direncanakan dalam konsep PSDK. 3. Terbentuk Jejaring PSDK wilayah sebagai simpul PSDK di tingkat kabupaten.
Peningkatan Kapasitas
Para aktivis PSDK telah mengikuti rangkaian pelatihan yang meliputi pengetahuan dan skill tentang: 1. Budget tracking. 2. Penyusunan rencana dan anggaran komunitas. 3. Metoda riset. 4. Pengorganisasian rakyat.
Penyediaan informasi dan kampanye publik
1. PSDK memiliki basis data tentang permasalahan dalam isu lingkungan hidup bagi dari dimensi kebijakan maupun dimensi masyarakat. 2. PSDK menerbitkan buletin ”Balaka: Berita Lintas Komunitas” dan berjaringan dengan radio komunitas. 3. Data DASK untuk beberapa dinas terkait dengan isu ”Lingkungan Hidup” telah disebarluaskan kepada masyarakat beserta cara memahaminya.
12
Lanjutan tabel Kegiatan
Capaian
Partisipasi dalam Prosedur Musyawarah Perencanaan Kegiatan Tahunan (MPKT)
1. 40 orang aktivis lokal menjadi motor dan fasilitator dalam MPKT di desa dan kecamatan masing-masing. 2. Beberapa kegiatan berhasil masuk dalam APBD 2005 dan RKPD 2006. 3. Beberapa program DLH yang berlokasi di jejaring PSDK, dilakukan dengan skema kemitraan antara warga dengan pemerintah/dinas.
Ujicoba penyelesaian masalah lingkungan lokal
1. Ujicoba pengelolaan sampah. 2. Ujicoba pembuatan kolam resapan untuk mengalirkan kembali mata air.
Sumber: Laporan Penelitan Perkumpulan Inisiatif.
13
BAGIAN II UPAYA MEMBANGKITKAN KESADARAN KRITIS WARGA PADA SEKTOR LINGKUNGAN: MENCARI PRAKSIS PARTISIPASI MASYARAKAT
14
15
Praksis Partisipasi Masyarakat Majalaya MEMBANGUN KESADARAN KRITIS MELALUI PUSAT SUMBER DAYA KOMUNITAS (PSDK) Oleh: Wulandari
“Baheulamah Citarum teh caina herang,, laukna loba, lamun aki teu boga deungeun sangu kari ngecrik we ka Citarum, ngala lauk... Tapi ayeuna, aduh… kacida kotorna cai Citarum, lauk pararaeh, miceun limbah pabrik ka Citarum, miceun runtah ka Citarum. Manusa geus ngarusak imah cai Citarum”. (Ayi Sumarna, warga Majalaya) (Dulu, Citarum airnya jernih, ikannya banyak, kalau Kakek tidak punya lauk pauk tinggal menjaring ikan di Citarum. Tapi sekarang, aduh....kotor sekali air Citarum, ikan pada mati, buang limbah pabrik ke Citarum, buang sampah ke Citarum. Manusia sudah merusah rumah air Citarum) Itulah salah satu pendapat warga Majalaya yang menggugah kesadaran saya. Manusa geus ngarusak imah cai Citarum, (manusia sudah merusak rumah air Citarum). Kalau kita umpamakan daerah aliran sungai itu sebagai sebuah rumah, kemudian rumah itu dikotori, dicemari, otomatis rumah itu akan rusak dan perlu waktu yang lama untuk memperbaikinya. Mulai dari menyiapkan rancangan rumah baru, anggaran, menyiapkan bahan bangunannya, menyiapkan tenaga kerja dan lain-lain. Sama halnya dengan Citarum, jika Citarum kini tercemar, dangkal, erosi, perlu perencanaan yang matang bagaimana cara memperbaikinya. Masalah pencemaran air Citarum hanyalah salah satu masalah lingkungan hidup dari sekian banyak masalah lingkungan yang lainnya. Permasalahan lingkungan hidup ditandai dengan kondisi yang semakin rumit, kompleks, dan menghadapi ancaman serius. Munculnya ancaman ini terkait dengan hubungan manusia dan lingkungannya yang bersifat eksploitatif. Tekanan penduduk, meningkatnya kegiatan ekonomi dan pembangunan yang kurang mempertimbangkan aspek lingkungan, berakibat fatal terhadap kerusakan sumberdaya alam, meningkatnya pencemaran, dan menurunkan kualitas lingkungan hidup. Padahal kalau kita tinjau lebih jauh, sesungguhnya dalam pengelolaan lingkungan hidup, tindakan pencegahan (preventif) jauh lebih baik daripada 16
tindakan penyembuhan (kuratif) baik ditinjau dari segi investasi, waktu yang dibutuhkan maupun kelangsungan pembangunan bagi generasi berikutnya. Untuk itu pengelolaan lingkungan hidup harus dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh oleh setiap pelaku pembangunan, baik pemerintah, industri dan masyarakat. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan dampak pada tercapainya keselarasan dan keseimbangan antara manusia dan daya dukung lingkungan serta terkendalinya pemanfaatan sumberdaya lingkungan untuk generasi mendatang. Tapi sayang sungguh sayang, nasi sudah menjadi bubur, kini kondisi Sungai Citarum sudah parah dan tercemar. Pelanggaran-pelanggaran terhadap pencemaran lingkungan tidak ditindak tegas. Padahal, mencemari lingkungan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum. Tegaknya hukum dikalangan masyarakat terutama terselenggara oleh keinsyafan mereka untuk tunduk secara sukarela, dan karena keyakinan bahwa tunduk kepada hukum itu akan mempercepat tercapainya tujuan yang diinginkan bersama. Apabila pemerintah dan atau penguasa membiarkan hukum dilanggar tanpa menuntutnya, maka dengan itu pemerintah mengundang pelanggaran hukum lainnya. Umpamanya, rakyat melihat tiap-tiap kali ada pelanggaran hukum yaitu pencemaran lingkungan tidak dituntut, maka hal itu lamalama akan menimbulkan pengertian bahwa perbuatan yang sebenarnya terlarang itu menjadi tidak terlarang lagi. Karena dari pihak penegak hukum ada sikap mentolerir pelanggaran-pelanggaran hukum, sikap rakyat dan pemerintah terhadap pencemaran lingkungan menjadi permissive (sikap membiarkan pelanggaran). Disamping itu kalau pencemaran lingkungan tidak diapa-apakan, tidak ditindak, maka dikalangan para perusak lingkungan ”rasa bersalah” (sense of guilty) menjadi tumpul. Dengan ini saya mengatakan bahwa pencemaran lingkungan itu berkembang karena adanya sikap mental permissive, yang suka mentolelir perbuatan-perbuatan melanggar hukum. Akibatnya, hukum tidak bisa ditegakkan oleh penegak-penegak hukum yang juga permissive. Pertanyaan yang kemudian muncul, darimana harus dimulai? Kalau itu yang dipersoalkan, maka kita seperti dihadapkan pada masalah mencari ujung seonggok benang kusut – kita tidak tahu lagi darimana harus diusut, semua serba semrawut. Dengan kondisi seperti itu, menurut saya, kita harus melakukan suatu tindakan secara simultan. Untuk mengawalinya, tidak lagi 17
dipersoalkan darimana harus dimulai? Tetapi darimana saja yang mungkin. Laksanakan terlebih dahulu apa-apa yang dapat kita kerjakan. Misalnya sekarang kita baru bisa menindak para pencemar lingkungan, lakukan itu dahulu. Jadi yang utama adalah tindakan. Upaya pengintegrasian secara menyeluruh menuntut dikembangkannya keterpaduan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada setiap tahap pembangunan dari mulai perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahap pengendalian, dan menuntut kemitraan diantara para pelaku pembangunan lingkungan hidup. Melalui program pemberdayaan ini, diharapkan akan dapat terjadi kerjasama kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kerjasama ini sangat diperlukan dalam memberikan masukan informasi tentang bentuk pengelolaan lingkungan hidup yang dapat berguna untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan dibidang pengelolaan lingkungan hidup. Wacana itulah yang mendorong munculnya gagasan Community Resources Center (CRC) / Pusat Sumber Daya Komunias (PSDK). Isu lingkungan merupakan pilihan isu yang penting untuk disikapi. Cita-cita idealnya, CRC/PSDK ini menjadi media bagi masyarakat untuk berdiskusi dan membahas berbagai permasalahan urusan publik, termasuk masalah lingkungan. CRC/PSDK berfungsi sebagai pusat data bagi masyarakat, pusat pengembangan kapasitas masyarakat, pusat jaringan (penghubung antar komunitas, dan antar institusi), pengorganisasian masyarakat, dan advokasi kebijakan, sehingga masyarakat menjadi pelaku utama dari sebuah proses advokasi. Idealnya PSDK ini sebagai media untuk melahirkan agenagen perubahan sosial, melahirkan kader-kader yang siap menjadi organizer dan leader. Optimisme untuk mewujudkan cita-cita itulah yang mendorong saya terlibat aktif dalam kerja-kerja pengorganisasian atau penguatan komunitas di Majalaya. Sejujurnya, saya disini memiliki posisi ganda, satu sisi saya adalah bagian dari Yayasan inisiatif yang menggulirkan program tersebut. Sisi yang lain, saya adalah warga Majalaya asli. Posisi ganda itu, menjadi keuntungan besar bagi saya, karena akan mempermudah saya masuk ke masyarakat dan melakukan pengorganisasian. Berikut ini adalah beberapa tahapan yang sudah dilakukan dalam pengembangan CRC di Kecamatan Majalaya
18
A. Mengidentifikasi aktifis lokal Idealnya, seorang aktivis itu memiliki kriteria: mempunyai jiwa aktivisme, social skill (kemampuan sosial), economic skill (kemampuan ekonomi). Tapi dalam prakteknya, mencari aktivis seperti itu sangat susah sekali. Selalu ada yang timpang, salah satu dari tiga kriteria tersebut. Meskipun demikian, tidak menyurutkan hati saya untuk mencari agen-agen perubahan. Dalam melakukan identifikasi aktivis lokal, saya mencoba masuk ke organisasi pemuda/pemudi di Majalaya, yaitu Generasi Muda Majalaya (GMM). Dasar saya melakukan hal tersebut karena saya melihat oganisasi itu sangat potensial, banyak dari mereka yang aktif dan punya ikatan emosional yang kuat antar anggotanya. Adapun kekurangannya, GMM hanya punya satu kegiatan rutin yang dilakukan setiap 2 tahun sekali yaitu Nyukcruk Galur Pagar Betis, sesudah itu vakum. Mereka banyak berkumpul tapi fokus dari kumpul-kumpul mereka hanya obrolan antar teman saja. Tapi banyak dari mereka yang ingin mencoba untuk lebih fokus melakukan kegiatan dan dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Isu lingkungan pun sangat direspon positif oleh mereka. Latar belakang orang-orang yang aktif di GMM pun beraneka ragam, ada yang aktif di pecinta alam, organisasi keagamaan, olahraga, Karang Taruna, dll. Pada tahap awal, saya mencoba beradaptasi dengan mereka, mengenal, ngobrol, diskusi dan menjadi kepanitian dalam kegiatan Nyukcruk Galur Pagar Betis Tahun 2004. Dari pertemanan itulah akhirnya saya menggulirkan wacana PSDK kepada beberapa aktivis GMM yang sudah saya assesment sebelumnya, dan ternyata respon mereka pun positif. Beberapa dari aktivis GMM itu memang sudah mengenal Yayasan Inisiatif dan pernah mengikuti program Pelatihan Kader Lingkungan yang dilaksanakan oleh Forum Peduli Citarum (FPC) dan Yayasan Inisiatif pada Tahun 2004 di Ciwidey selama satu minggu. Sehingga program CRC ini merupakan aplikasi terhadap ilmu yang sudah mereka dapat sebelumnya. Beberapa aktivis GMM yang saya assesment saat itu berjumlah lima orang, diantaranya Euis Widia, Umar Alam Nusantara, Jajang Muhammad Rozaq, Yuyu Sukmana, dan Wewen Mulyadi. Lima orang inilah merupakan perintis pertama untuk melakukan pengembangan PSDK kedepan. Untuk menambah wacana mereka tentang PSDK, kami pun sering berdiskusi dengan mereka. Selanjutnya dua orang dari mereka yaitu Euis dan Jajang mengikuti Lokakalatih I tentang Pengembangan Pusat Sumber Daya Komunitas di Argapuri Ciwidey. 19
Tindak lanjut dari pelatihan tersebut adalah teman-teman yang ikut Lokalatih I mensosialisasikan hasil lokalatih 1 ke temannya yang lain dan mendiskusikan prioritas masalah lingkungan yang sulit dipecahkan di Majalaya. Sehingga kami semua pada saat diskusi tersebut berupaya menganalisis masalah secara dalam dan isu apa yang akan kita sikapi bersama-sama. B. Menyepakati isu bersama Dalam menyepakati isu bersama, metoda yang kita lakukan adalah Focus Grup Discussion (FGD) dengan lima orang aktivis GMM yang akan mengembangkan PSDK dan juga mengundang anggota GMM lainnya untuk memberikan pendapat sehingga akan lebih banyak ide yang muncul. Isu lingkungan yang menurut mereka harus disikapi di Kecamatan Majalaya adalah masalah sampah dan masalah limbah. Kemudian diskusi pun di fokuskan untuk memilih salah satu dari dua isu yang di usulkan, karena kalau dua isu itu digarap secara langsung, sumber daya yang ada tidak akan cukup dan tidak akan fokus. Dalam diskusi tersebut, banyak yang mengusulkan agar masalah limbah khususnya limbah dari industri tekstil yang penting untuk disikapi, dengan da alasan: Pertama, Majalaya dari dulu terkenal dengan industri tekstil sampai sekarang, dari mulai industri besar sampai kecil. Perkembangan industri itu berjalan alamiah, sporadis. Dari dulu Majalaya tidak pernah direncanankan dengan matang untuk jadi kota industri. Majalaya tidak pernah memiliki Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Sampai akhirnya, Tahun 20022012 Majalaya memiliki RDTRK yang prosesnya dilaksanakan secara partisipatif, itu pun karena ada proses aspirasi dan advokasi yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S). Akibatnya, perkembangan industri pun tidak tertata. Lokasi industri dan perumahan penduduk berdekatan. Hal ini menyebabkan wajah kota Majalaya menjadi semrawut. Jika dari dulu Majalaya direncanakan dengan matang, ditata peruntukkan penggunaan lahannya, dimana untuk industri, perumahan, pertokoan, taman kota dan lain-lain, mungkin Majalaya tidak akan semrawut seperti sekarang. Hal yang lebih penting lagi adalah pembangunan di Majalaya tidak berwawasan lingkungan. Akibatnya, kondisi lingkungan hidup mengalami ancaman kerusakan yang sangat serius.
20
Kedua, dengan dikenalnya Majalaya sebagai kota industri maka dampak negatif dari perkembangan tersebut adalah terancamnya kelestaraian fungsi sungai sebagai sumber air tawar karena tercemari limbah. Juga pencemaran udara karena banyak mesin industri yang mengeluarkan pembuangan asap bahan bakar rasidu, solar dan batu bara. Perubahan mengalihkan BBM ke batu bara merupakan program pemerintah. Sebab persediaan BBM semakin menipis dan harganya terus naik. Tapi sayang, pada prakteknya banyak dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat dengan pemakaian batu bara tersebut yang disebabkan adanya kandungan limbah B3 (Bahan, Berbahaya dan Beracun) pada abu batu bara yang dihasilkan. Abu dari batu bara pun susah dibuangnya dan belum ada tempat penampungan khusus. Terkadang karena masyarakat tidak tahu, abunya banyak digunakan untuk menutupi jalan yang berlobang. Ketiga, kebutuhan industri akan air sangat tinggi sekali sehingga sumber air pun banyak tersedot oleh industri, baik air tanah maupun air sungai. Banyak industri menggunakan sumur artesis, kemudian air sungai pun diambil dengan cara membuat kolam-kolam penampungan air melalui pipapipa besar. Untuk menggambarkan masalah tersebut, berikut petikan wawancara kami dengan salah satu petani bernama Komar (nama samaran) “persediaan air di Majalaya itu sudah berkurang karena banyak perusahaan industri, sehingga wajar kalau warga Majalaya sekarang kakalapakan kakurangan cai dimana musim kemarau. Rek teu kakurangan cai kumaha patani di Majalaya, lamun caina ayeuna dicokotan ku parusahaan. Cai ti mulai dari Pasir Kukun sampai Cimaranggi airnya dipakai oleh pabrik melalui kolam-kolam panampungan cai, jadi aya pipa anu nyedot cai ti sungai masuk ka kolam penampungan cai parusahaan”. (persediaan air di Majalaya sudah berkurang karena banyak perusahaan industri, sehingga wajar kalau warga Majalaya sekarang kesusahan, kekurangan air pada musin kemarau. Mau tidak kekurangan air bagaimana petani Majalaya, kalau airnya diambil oleh perusahaan. Air dari mulai Pasir Kukun sampai Cimaranggi airnya dipakai oleh pabrik melalui kolam-kolam penampungn air, jadi ada pipa yang menyedot air dari sungai masuk ke kolam penampungan air perusahaan.) Keempat, banyaknya pengaduan masyarakat kepada pihak industri mengenai pencemaran limbah, khususnya limbah cair yang dibuang ke sungai dan limbah batu bara. Pengaduan tersebut dibahas bersama-sama, dinegosiasikan, dan pada akhirnya masyarakat banyak yang mengajukan 21
tuntutan kepada pihak industri, diantaranya: pengolahan limbah industri melalui IPAL, tenaga kerja, uang kompensasi/(HO), penyediaan prasarana umum serta penyediaan sarana air bersih. Pembagaian uang HO (kompensasi atas ganti rugi yang sudah diterima). HO itu adalah istilah warga Majalaya untukmenuntut penggantian ganti rugi atas dampak negatif yang ditimbulkan dari limbah pabrik, pendirian bangunan pabrik,polusi suara). HO pun menjadi trend dalam menyelesaikan masalah limbah. HO dijadikan senjata oleh pihak industri untuk membungkam masyarakat agar tidak protes lagi terhadap masalah limbah. Biasanya pemberian HO selalu diikat oleh suatu perjanjian atau kesepakatan kedua belah pihak yang di tuliskan dalam perjanjian diatas segel. Jumlah rupiah dari HO yang dibagikan tersebut bermacam-macam, tergantung radius (jarak) rumah warga dengan perusahaan. Jarak lebih dekat, uangnya lebih besar, begitu sebaliknya. Rata-rata uang HO itu dari mulai 300.000 – 30.000. Dengan demikian, biaya sosial mendirikan industri tekstil di Majalaya sangat tinggi, karena dampak negatif dari industri akan menimbulkan reaksi warga. Kelima, dengan dikenalnya Majalaya sebagai kota industri dengan segala problematikanya, Majalaya pun kami sebut sebagai kota polutif dan kota dilematif. Polutif karena bayak sekali pencemaran baik air, udara dan tanah. Dilematif karena pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kekurangan air sementara itu pada musim penghujan terjadi banjir yang disebabkan DAS Citarum mengalami erosi dan pendangkalan. Itulah argumen teman-teman yang ingin secara fokus menyikapi masalah limbah industri. Meskipun demikian, bukan berarti masalah sampah tidak penting untuk disikapi. Sampah juga adalah masalah penting yang harus dipecahkan dan ini akan jadi agenda selanjutnya. Pada akhirnya semua pun sepakat bahwa limbah industri yang akan jadi fokus utama untuk melakukan riset partisipatif ke masyarakat. C. Riset Partisipatif Setelah menyepakati isu bersama yang akan ditindaklanjuti, agenda selanjutnya adalah persiapan menuju riset partisipatif. Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa harus riset partisipatif? Riset partisipatif merupakan tahapan untuk mendalami masalah limbah industri. Dalam riset tersebut, kita menggali pandangan warga yang yang terkena dampak langsung limbah industri, berinteraksi dengan mereka, survey langsung ke lokasi, wawancara, melakukan Focus Grup Discusson (FGD) dengan warga yang terkena dampak langsung limbah serta mengidentifikasi aktivis lokal di komunitas tersebut. 22
Yang menarik adalah orang yang melakukan riset partisipatif tersebut adalah warga yang terkena dampak langsung dari limbah industri, yang sudah mendapatkan berbagai pelatihan. Mereka ini adalah inisiator yang kemudian akan melahirkan agen-agen perubahan baru agar bertambah banyak. Intinya, peneliti dalam riset tersebut adalah para aktivis lokal yang berjumlah lima orang dan satu pendamping dari Yayasan Inisiatif yang juga warga Majalaya dan terkena dampak langsung dari limbah Citarum. Inisiator itulah yang kemudian masuk ke komunitas warga yang terkena dampak limbah. Selanjutnya, kami pun sebagai peneliti menyiapakan perbekalan untuk melakukan riset tersebut. Dari berbagai hasil diskusi kami menyepakati: 1. Wilayah riset partisipatif berjumlah 6 desa yaitu: A. Desa Majalaya Kp. Kondang (RW 10) Kp. Mekar Rahayu (RW 07) B. Desa Sukamaju Kp. Patrol (RW 12) Kp. Ciwalengke (RW 09) C. Desa Sukamukti Kp. Pangkalan Raja (RW 06) Kp. Sukaasih (RW 10) D. Desa Biru Kp. Pasir Leutik (RW 11) E. Desa Padaulun Kp. Warusatangkal (RW 03) F. Desa Padamulya Kp. Sukahaji Kp. Cimaranggi (RW 02 dan RW 03) 2. Menyusun materi riset, yang terdiri dari: A. Membuat panduan wawancara B. Membuat panduan Focus Grup Discussion (FGD) C. Membuat tulisan tentang Community Resources Center (CRC) / Pusat Sumber Daya Komunias (PSDK) dan tulisan tersebut dibagikan kepada warga serta dijelaskan dalam setiap kesempatan baik dalam wawancara, FGD, dan pertemuan informal lainnya. D. Menuliskan penemuan-penemuan hasil survey ke lapangan (lokasi pembuangan limbah, sungai mana saja yang tercemar, siapa saja korban dari limbah tersebut) 23
E. Mencari data jumlah industri tekstil di Majalaya ke instansi pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten). F. Membuat panduan dalam mengidentifikasi aktivis lokal disetiap komunitas. Singkatnya daftar riwayat hidup aktivis tersebut, motivasi mereka, pandangan mereka, solusi yang diusulkan, dll. Sehingga ini menjadi bahan bagi kita untuk mengembangkan PSDK. G. Menyusun jadwal riset yang diagendakan selama tiga bulan dari mulai Januari – Maret 2005. Pada tahap awal, riset partisipatif lebih fokus menggali pandangan komunitas yang terkena dampak limbah secara langsung, dari mulai penyebab, akibat, solusi, dugaan sumber pencemaran, sungai yang tercemar, data, dll. Tahap selanjutnya adalah menggali pandangan pengusaha industri tekstil dalam masalah limbah. Terakhir, menggali pandangan kebijakan pemerintah dalam menghadapi masalah limbah. Tahap kedua dan terakhir, akan menjadi agenda kedepan setelah tahap pertama selesai. D. Lokakarya upaya penyelesaian masalah limbah menurut pandangan komunitas Setelah riset partisipatif tersebut selesai, agenda selanjutnya adalah mempresentasikan hasil riset tersebut kepada warga yang menjadi wilayah riset melalui kegiatan lokakarya dengan mengundang perwakilan tiap komunitas. Hal tersebut penting dilakukan agar warga mengetahui hasil riset kita dan bisa memberikan kritik dan saran serta cek dan ricek terhadap hasil riset tersebut. Salah satu usulan dari warga adalah bahwa riset tersebut banyak bersifat deskriptif dan alangkah baiknya kalau penelitan tersebut didukung oleh hasil uji laboratorium, misalnya kita mengetahui pipa pembuangan pabrik X ke sungai Cikacembang, kita uji dilaboratorium, apakah itu melebihi standar baku mutu atau tidak, sehingga hasilnya bisa lebih valid. Sebab indikator warga melakukan penilaian terhadap limbah sangat sederhana, dimana mereka menemukan air sungai berwarna, panas, bau dan terkadang berbusa, secara otomatis berarti industri tersebut tidak menggunakan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Dalam lokakarya itu pun, kami menjelaskan tentang gagasan pengembangan PSDK kedepan, dan banyak warga yang sangat merespon positif terhadap gagasan PSDK serta ingin melaksanakan hal tersebut. Tapi 24
tentu saja untuk melaksanakan gagasan tersebut perlu motivator dan inisiator yang memiliki komitmen. Dalam lokakarya tersebut muncul gagasan apakah PSDK ini akan dijalankan oleh organisasi kemasyarakatan yang sudah ada di masyarakat atau mau membentuk organisasi baru. Itulah yang akan jadi bahan pemikiran bersama. Kemudian dalam lokakarya tersebut disepakati akan ada pertemuan lanjutan untuk membahas PSDK. Selanjutnya, inilah beberapa temuan kami dilapangan: a. Kendala yang dihadapi warga; 1. Keterbatasan pengetahuan warga dan aparat pemerintahan lokal tentang limbah cair, padat dan batu bara karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terutama instansi yang berwenang atau perusahaan mengenai bahaya polusi limbah dan batu bara. 2. Keterbatasan pengetahuan warga dan aparat pemerintahan lokal tentang kebijakan – kebijakan pemerintah untuk perindustrian, limbah cair, padat dan batu bara yang berupa undang-undang, peraturan daerah, surat keputusan dan lain-lain. 3. Keterbatasan pengetahuan warga tentang prosedur pengaduan kasus lingkungan hidup, dari warga ke pemerintah, serta pihak-pihak mana saja yang berwenang mengurus masalah tersebut. 4. Salah satu model penyelesaian masalah limbah antara warga dengan pihak perusahaan, berupa: uang HO/uang ganti rugi, permintaan tenaga kerja, penyediaan air bersih, pembangunan MCK, pembangunan gang, dan sarana umum lainnya. Jika dipahami lebih dalam, model penyelesaian tersebut ternyata tidak menyelesaikan masalah pencemaran, bahkan pencemaran terus ada. Jika dipahami, uang HO yang diberikan perusahaan tidak sebanding dengan dampak negatif yang diterima oleh warga. 5. Salah satu model penyelesaian masalah limbah berupa uang HO tersebut, terkadang menjadi legitimasi bagi perusahaan yang membuang limbah, jika ada protes-protes warga sehingga posisi warga menjadi terpojok. 6. Karena tingkatan ekonomi masyarakat yang rendah, sehingga masyarakat mengejar target uang HO yang akan diberikan oleh perusahaan tanpa memikirkan dampak buruk bagi lingkungan. 7. Adanya penekanan dari aparat pemerintah kepada warga untuk menerima negosiasi yang ditawarkan oleh perusahaan. 8. Lemahnya moral aparat pemerintah dalam menyelesaikan kasus limbah yang ujung-ujungnya berpangkal pada uang. 9. Tidak kontinyunya kontrol aparat pemerintah dalam mengawasi pencemaran limbah. 25
10. Kurangnya silaturahmi dan sosialisasi dari aparat pemerintah ke masyarakat sehingga pemerintah tidak bisa merasakan keluhan masyarakat. Akibatnya timbullah kecurigaan, ketidakpercayaan dari masyarakat kepada pemerintah. 11. Kurangnya penanganan kasus-kasus limbah yang dilakukan secara serius oleh pihak pemerintah, sehingga ada kesan dimasyarakat pemerintah itu lamban, dan sepertinya tidak ada tindak lanjut. 12. Adanya tingkatan kewenangan yang berbeda dalam menyelesaikan kasus limbah. Contoh: kasus limbah batu bara, itu adalah kewenangan pusat sehingga menimbulkan kelambanan dalam penanganan kasus sebab pihak Pemda Kabupaten khususnya DLH Kabupaten tidak bisa menyelesaikan kasus-kasus limbah batu bara di wilayah Kabupaten Bandung sehubungan karena masalah kewenangan. 13. Tidak tegasnya sangsi hukum bagi yang melanggar peraturan-peraturan hukum lingkungan. b. Potensi yang dimiliki warga; 1. Ada partsipasi aktif warga yang mengawasi pencemaran air limbah ke sungai yang tidak menggunakan proses IPAL, limbah batu bara yang tidak menggunakan penyaringan, dan hal tersebut sudah di laporkan ke Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa, BPD, Camat, meskipun dalam prakteknya penanganan pemerintah tidak maksimal. 2. Pengaduan langsung dari perwakilan warga ke pihak perusahaan baik secara lisan maupun tertulis. 3. Membentuk tim panitia yang diwakili oleh aparat setempat dan tokoh masyarakat untuk memfasilitasi dan negosiasi ke perusahaan tentang keluhan-keluhan warga. a. Contoh kasus: Warga Sukaasih RW 10 desa Sukamukti telah membentuk panitia yang terdiri dari 13 orang yang ditunjuk untuk memfasilitasi dan negosiasi antara warga dengan perusahaan PT. Purnama dengan mengajukan tuntutan berupa uang kompensasi (HO), air bersih, tenaga kerja, dan jaminan kesehatan, yang sekarang masih dalam proses. b. Contoh Kasus: Tidak ada masalah di Pasir Leutik yang tidak diselesaikan dengan proses negosiasi. Warga pasir Leutik selalu mendiskusikan setiap masalah yang mereka alami dengan pihak perusahaan, meskipun pada akhirnya dari hasil negosiasi tersebut masyarakat selalu merasa terpaksa untuk menerima hasil negosiasi tersebut. 4. Mengenai masalah pencemaran air limbah ke sungai, limbah batu bara, warga melakukan koordinasi dengan Kades setempat maupun Kades 26
di desa lain juga camat, agar memperingati perusahaan yang membuang air limbah ke sungai tanpa melalui proses IPAL dan limbah batu bara yang tidak menggunakan penyaringan. 5. Untuk masalah banjir, rumah-rumah penduduk di wilayah itu ditinggikan bangunannya, mamakai papan penghalang maupun tanah yang dimasukkan ke karung sebagai pengganjal. 6. Kerja bakti rutin di tiap wilayah c. Usulan Penyelesaian Masalah; 1. Perlu diadakannya pelatihan tentang limbah (cair, padat, B3) dan polusi batu bara bagi warga dan pihak-pihak yang terkait sepert : Camat, Kades, RW, RT, Kepolisian, Koramil, organisasi masyarakat, dengan mengundang ahli lingkungan. 2. Diperlukan tenaga kesehatan yang meneliti kesehatan warga dan meneliti apakah limbah dan polusi batu bara menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. 3. Perlu mengetahui tentang kebijakan baik Undang-undang, Perda, dll tentang perindustrian, limbah, batu bara. 4. Perlu mengetahui bagaimana prosedur kebijakan pengaduan warga tentang limbah dan polusi batu bara. 5. Adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah mengenai penggunaaan IPAL setiap perusahaan tekstil di Majalaya dan ada sangsi hukum yang tegas terhadap perusahaan yang nakal, yang tidak memakai IPAL. 6. Diperlukan adanya IPAL Terpadu bagi industri tekstil agar tidak mencemari air sungai. 7. Perlu adanya payung hukum yang jelas tentang sumber daya air, agar penggunaannya berasaskan keadilan. 8. Perlu adanya sosialisasi ke masyarakat tentang limbah dari dinas yang kontinyu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat. Bentuk sosialisasi berupa iklan di televisi dan radio, reklame, poster, bulletin, diskusi warga, dll 9. Perlu adanya kerjasama dan sikap terbuka antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal pengawasan pencemaran lingkungan. 10. Penegakan hukum di bidang lingkungan hidup. 11. Pengembangan kemampuan dan kapasitas warga. E. Menggagas tim inti untuk menjalankan fungsi CRC/PSDK Agenda pertemuan selanjutnya setelah melaksanakan lokakarya adalah diskusi untuk membahas siapakah yang akan menjalankan fungsi PSDK? Apakah organisasi kemasyarakatan yang sudah ada? Atau mau membentuk 27
organisasi baru? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan didiskusikan bersama dan pilihannya tergantung pada kesepakatan komunitas. Yang jelas, semuanya sepakat bahwa mereka tidak ingin apabila organisasinya ada, tapi fungsinya tidak berjalan. Istilah sunda mengatakan “tuk cing” tos dibentuk cicing, tidak berfungsi, mereka tidak mengharapkan hal tersebut. Dalam diskusi tersebut, banyak warga yang mengusulkan untuk dibentuk organisasi baru yang menjadi wadah bagi warga yang terkena dampak langsung limbah dan polusi batu bara, dan organisasi ini akan menjadi kekuatan untuk warga. Beberapa argumen yang dilontarkan tentang inginnya dibentuk organisasi baru, diantaranya: sebutlah Ujang (nama samaran) mengatakan ”kita harus sensitif melihat kelembagaan RW, apakah memang tepat kalau lembaga RW ini menjalankan fungsi PSDK, padahal kenyataannya RW ini merupakan kaki tangan perusahaan, jadi dari mulai tingkat Bupati kebawah pun semuanya lebih condong ke perusahaan daripada ke masyarakat yang jadi objek penderita. Dan saya pernah punya pengalaman nyata tentang hal tersebut. Memang tidak semua RW seperti itu. Kita mengamati dan bukan jadi rahasia umum lagi bahwa pemerintah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap IPAL ternyata mendapatkan uang sogokan dari perusahaan, sehingga tidak bisa bertindak tegas, dan perusahaan pun bebas dari jeratan hukum”, sehingga menurut saya harus dibentuk organisasi baru, yang dikelola oleh kita sebagai warga yang terkena dampak langsung limbah. Kita mengharapkan bahwa harus ada kekuatan masyarakat tapi pada kenyataannya ada kelemahan ditingkat masyarakat, masyarakat lebih fokus ke ekonomi. Nah, PSDK nanti kedepan harus memikirkan bagaimana strategi supaya masalah ini menjadi penting disikapi oleh masyarakat? Bagaimana agar wacana ini bisa menjadi wacana dimasyarakat? Kemudian strategi apa yang harus dilakukan oleh kita untuk menghadapi perusahaan, pemerintah? Argumen lain diungkapkan oleh Udin (nama samaran) “terus terang saja, saya adalah buruh pabrik dan tahu bahaya limbah dan batu bara bagi kesehatan kita. Umumnya masyarakat juga mengetahui hal itu, tapi mau bagaimana lagi, pertama, kita butuh pekerjaan, kita butuh uang untuk menghidupi keluarga, dan untuk kondisi Majalaya, masyarakat itu sangat tergantung kepada industri, sehingga meskipun kita tahu bahayanya tapi kita tidak bisa berbuat apaapa, karena kita tergantung pada perusahaan. Kedua, masyarakat itu tidak memiliki kekuasaan sehingga mudah sekali dipatahkan, karena 28
tantangan masyarakat untuk menembus benteng kekuasaan itu sangat berat, baik dari sisi perusahaannya sendiri maupun sisi kebijakan pemerintah, berhadapan dengan birokrasi pemerintah, kepolisian, kejaksaan, preman. Akhirnya muncul ketakutan-ketakutan untuk menembus birokrasi tersebut. Ketiga, masyarakat ada dalam posisi ketidakberdayaan. Banyak faktor yang menyebabkan ketidakberdayaan itu, diantaranya: faktor ekonomi, dimana secara finansial belum kuat, faktor ketakutan akan kekuasaan tadi dan banyak hal lagi. Sehingga ketiga faktor tadi yaitu kebutuhan, kekuasaan dan ketidakberdayaan ini yang menjadi penghambat bagi masyarakat untuk bertindak secara terus menerus dalam menyelesaikan masalah limbah dan polusi batu bara meskipun masyarakat tahu bahayanya bagi kesehatan. Untuk itulah saya mengusulkan agar dibentuk organisasi baru, yang pengelolanya adalah kita sebagai objek penderita dari sebuah proses pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Kita yang mengelolanya, membuat aturan mainnya sehingga jelas tujuannya”. Begitulah beberapa ungkapan tentang pentingnya dibentuk organisasi baru untuk menjalankan fungsi PSDK. Akhirnya pada hari Minggu, 27 Maret 2005 disepakatilah nama organisasi yang akan menjalankan fungsi PSDK di Kecamatan Majalaya yaitu Komunitas Peduli Lingkungan (KPL). Pembentukan awal organisasi ini lebih pada: pertama, uji coba komitmen seluruh aktivis lokal yang peduli terhadap lingkungan. Kedua, pembelajaran tentang bagaimana membangun kerjasama, bagaimana membangun kepercayaan (trust), bagaimana menjalankan kerja-kerja kolektif, bagaimana menyebarkan gagasan keseluruh lapisan masyarakat, bagaimana menyusun strategi advokasi, dll. Ketiga, proses peningkatan pengetahuan dan kemampuan seluruh aktivis. Setelah ini berkembang dan terinternalisasi didalam diri setiap aktivis, secara alamiah proses menuju organisasi yang lebih ideal, matang akan berjalan dengan sendirinya. Harapan dari semua aktivis adalah, organisasi ini tidak kaku, tidak memiliki AD/ART yang rigid tapi cukup dengan hanya pedoman organisasi dengan bahasa yang sederhana, terbuka bagi warga yang peduli terhadap lingkungan dan lebih mementingkan tindakan (action). F. Advokasi Proses advokasi yang dilakukan antara lain: a.
Audensi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung Latar belakang proses audensi dengan DLH adalah adanya keinginan dari 29
KPL untuk mempresentasikan hasil riset partisipatif dan membuka komunikasi yang efektif dengan DLH. Audensi adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Program audensi dengan DLH merupakan salah satu program KPL. Untuk merealisasikan program tersebut, beberapa aktivis KPL memberikan surat permohonan audensi yang ditujukan kepada Kepala DLH Kabupaten Bandung pada hari Senin, 25 April 2005. Kemudian kami pun aktif mengecek kepastian jadwal audensi tersebut baik datang langsung ke DLH maupun lewat telepon. Kepastian jadwal pun kami terima, hari Selasa, 10 Mei 2005 jam 09.00 pagi, kami ditunggu di ruang rapat DLH untuk audensi. Sebelum melakukan audensi, kami diskusikan hal tersebut didalam rapat koordinasi KPL, dan menyepakati siapa saja yang akan mewakili KPL dalam audensi tersebut. Kemudian disepakatilah enam orang aktivis KPL untuk melakukan audensi dengan DLH. Kami pun datang dan disambut baik oleh mereka. Staf DLH yang berdiskusi dengan kami ada sekitar delapan orang. Pembukaan disampaikan oleh staf DLH, kemudian kami pun mengajukan tahapan agenda acara audensi, yaitu: 1. Perkenalan baik dari pihak masyarakat yaitu KPL maupun pihak DLH. 2. Latar belakang berdirinya KPL (historis) 3. Presentasi hasil riset dengan sistematika: a. Ruang lingkup wilayah penelitian b. Identifikasi masalah c. Model-model upaya penyelesaian masalah d. Bentuk-bentuk tuntutan warga e. Usulan warga (rekomendasi) 4. Presentasi program kerja KPL. 5. Tanggapan dari staf DLH Kabupaten tentang hasil riset partisipatif yang dilakukan oleh komunitas Majalaya. 6. Diskusi. Diskusi pun berjalan dengan sangat menarik, kami menjadi tahu programprogram apa saja yang dilakukan oleh DLH dalam menyelesaikan masalah pencemaran air, tanah, udara, meskipun belum maksimal. Kami pun tahu kesulitan yang dihadapi DLH dilapangan dengan segala keterbatasan sumber daya yang DLH miliki. Tapi kami pun tetap mengusulkan agar segala aspirasi dari warga Majalaya diperhatikan dan ditindaklanjuti melalui tindakan-tindakan yang nyata dilapangan. Setelah kami mempresentasikan riset ini, kami berharap, hasil riset ini menjadi bahan bagi DLH untuk mengecek kebenaran tentang pencemaran khususnya air dan udara di 30
Kecamatan Majalaya. b.
Permohonan narasumber kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung untuk kegiatan pelatihan limbah bagi komunitas Majalaya Ada beberapa cerita yang menarik dari proses advokasi yang dilakukan oleh teman-teman Komunitas Peduli Lingkungan (KPL). Salah satu program KPL untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang limbah yaitu: mengadakan pelatihan limbah, yang narasumbernya berasal dari Dinas Lingkungan Hidup sebagai pakar dibidangnya. Seluruh biaya untuk pelatihan tersebut di support oleh Yayasan Inisiatif, sedangkan tempat dan kursi disupport oleh Kecamatan Majalaya, karena tidak memungkinkan bagi kami untuk bekerjasama dengan DLH terutama bantuan dana, sebab mereka sudah memiliki DASK tiap tahunnya. Akhirnya kami melakukan komunikasi dengan Yayasan Inisiatif dan Pemerintah Kecamatan Majalaya. Kedua lembaga tersebut sangat mendukung inisiatif yang digulirkan oleh warga. Kemudian kami pun mengirimkan surat permohonan narasumber yang ditujukan kepada Kepala DLH pada hari Selasa, 10 Mei 2005 melalui bagian Tata Usaha. Jawaban atas surat tersebut harus menunggu disposisi dari Kepala DLH. Beberapa hari kemudian kami datang lagi kesana dan ingin mengetahui bagaimana jawaban atas surat tersebut. Kami masuk ruangan, dan bertemu dengan seseorang, yang belum kami kenali, tapi kami yakin dia berpengaruh di DLH, sebutlah Neng (nama samaran). Kemudian kami pun berdialog, dan dengan nada sinis, dia berucap ”saya ini, gimana ya, rada alergi ke LSM teh, karena terkadang mereka itu tidak jelas tujuannya, programnya”. Kemudian salah satu dari kami menjawab ”jangan berkata seperti itu, banyak LSM yang punya peran penting dalam pemberdayaan masyarakat, tidak semua LSM jelek, kami pun bisa mengatakan bahwa pemerintah jelek, programnya tidak jelas. Justru kedatangan kami kesini untuk berpartnership dengan pemerintah, masyarakat memiliki inisiatif untuk mengadakan pelatihan limbah dengan narsumbernya dari DLH, karena memang itu sudah jadi tugas DLH mensosialisasikan masalah ini ke masyarakat, yang selama ini sosialisasi itu tidak berjalan maksimal. Inisitaif ini muncul didasari oleh adanya keterbatasan pengetahuan warga mengenai limbah baik itu berupa peraturan hukum, tata cara pengaduan kasus limbah, bagaimana penyelesaiannya, dll. Beberapa warga sudah melakukan riset partisipatif, mendokumentasikan sungai yang tercemar limbah dalam 31
bentuk foto, handicam, memiliki data perusahaan di Kecamatan Majalaya, menuliskan aspirasi masyarakat yang terkena dampak limbah. Kami datang kesini bukan untuk minta uang, tapi kami minta narasumber dari DLH dan akan kami ongkosin mereka. Dia pun terdiam. Pada akhirnya DLH menyetujui usulan pelatihan limbah tersebut, dan ada beberapa staf yang dtugaskan untuk menjadi pemateri dalam acara tersebut. c. Kampanye lingkungan melalui program pelatihan limbah Setelah surat permohonan narasumber yang diajukan Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) kepada Kepala DLH disetujui, program pelatihan limbah pun dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Mei 2005, pukul 11.00 WIB, di Aula Kecamatan Majalaya. Hasil yang diharapkan melalui program pelatihan limbah adalah: 1. Menambah wawasan dan pengetahuan warga mengenai: (a) Jenisjenis limbah ( limbah padat, limbah cair, limbah udara, limbah domestik (rumah tangga), bahan berbahaya dan beracun (B3)); (b) kandungan zat-zat kimia dalam limbah ; (c) bahaya limbah bagi lingkungan dan kesehatan manusia, (d) teknologi pengolahan limbah, dll. 2. Mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hukum mengenai pencemaran limbah 3. Mengetahui segala peraturan hukum mengenai limbah. 4. Mengetahui tata cara pengaduan kasus lingkungan hidup khususnya pencemaran limbah di wilayah Kabupaten Bandung. 5. Mengetahui proses hukum apabila ada yang melanggar peraturan mengenai pencemaran limbah. 6. Mengetahui kendala-kendala dalam penegakkan hukum. 7. Mengetahui model-model penyelesaian masalah mengenai pencemaran limbah dimasyarakat. 8. Diskusi dengan narasumber. Peserta pelatihan limbah adalah warga yang terkena dampak negatif dari limbah cair maupun udara. Peserta adalah perwakilan dari enam desa yang dijadikan wilayah riset partisipatif yang berjumlah 30 orang. Pada saat diskusi banyak sekali pertanyaan yang peserta ajukan, mereka sangat aktif, malahan narasumber dari DLH pun kelihatan sudah sangat kelelahan menjawab pertanyaan peserta. Pada saat itu, peserta pelatihan banyak mempertanyakan komitmen tegas pemerintah terhadap pelaku-pelaku pencemaran lingkungan khususnya pembuangan limbah industri ke sungai dan debu batu bara yang mengandung B3. Peserta mengharapkan DLH 32
Kabupaten kontinyu melakukan pengawasan IPAL industri tekstil di Majalaya dan menindak tegas pelaku pelanggaran pencemaran lingkungan sesuai dengan hukum yang berlaku. d.
Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program dan dana APBD hasil MPKT Kecamatan Majalaya di sektor lingkungan hidup Tahun 2004, saya terpilih menjadi salah satu tim delegasi MPKT Kecamatan Majalaya berdasarkan pemilihan di forum MPKT Kecamatan Majalaya. Tim delegasi MPKT Kecamatan Majalaya memiliki tugas untuk mengikuti proses MPKT Kabupaten sampai selesai. Adapun dinamika MPKT Kabupaten diantaranya: diskusi langsung dengan dinas yang bersangkutan sesuai dengan usulan program dari masyarakat, menyesuaikan platfon anggaran yang sudah ditetapkan sesuai kecamatannya masing-masing, sehingga program yang diusulkan harus benar-benar yang prioritas. Otomatis, dalam proses tersebut ada penyesuaian anggaran, dan ada program yang harus ditangguhkan untuk tahun depan, jika usulannya terlalu banyak, sebab anggaran terbatas. Perlu diketahui bahwa MPKT adalah proses perencanaan pembangunaan yang menjaring aspirasi masyarakat (bottom up planning) yang dilegitimasi oleh undang-undang. Masyarakat menganalisis masalah, kebutuhan, dan program apa yang diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu usulan masyarakat di bidang lingkungan hidup adalah pemberdayaan masyarakat dibidang lingkungan hidup dengan biaya 25 juta rupiah, yang leading sectornya adalah Dinas Lingkungan Lidup (DLH). Gagasan warga itu muncul didasari oleh adanya program dari Kabupaten yaitu: Desa Sehat 2003, Kecamatan Sehat 2005 dan Kabupaten Sehat 2007. Atas inisiatif warga dan Camat Majalaya, digulirkanlah program GEKKSOR (Gerakan Kebersihan Sadar Sorangan). Hasil MPKT tahun 2004 pun disetujui dan disahkan menjadi APBD, yang realisasinya akan dilaksanakan pada tahun 2005. Waktu berjalan, dan tibalah pada realisasi program dari APBD tersebut. Warga Majalaya yang tergabung dalam KPL menanyakan hal tersebut kepada pihak kecamatan dan pihak kecamatan menjawab bahwa itu harus ditanyakan kepada DLH. Saat itu, saya sendiri kesana dan bertemu dengan dua orang staf DLH dari Subdin Pencegahan Dampak Lingkungan. Diskusi pun berjalan dan saya mengusulkan bahwa warga Majalaya ingin terlibat untuk menentukan desain program tersebut. Pihak DLH pun terbuka untuk menampung usulan masyarakat, sebab pihak DLH belum 33
selesai mendesain program tersebut. Akhirnya mereka menyarankan agar masyarakat menyusun usulannya melalui proposal, dan mendiskusikannya dengan DLH. Hasil dari pertemuan tersebut saya sampaikan kepada Pemerintah Kecamatan Majalaya, diantaranya: Camat Majalaya, Kasi Pemberdayaan Masyarakat dan Kasi Infomasi. Mereka pun terbuka untuk menampung aspirasi masyarakat. Saya pun mengusulkan bagaimana kalau KPL menyusun proposal tersebut, kemudian nanti di diskusikan dengan Pemerintah Kecamatan, dan mereka setuju. Selanjutnya teman-teman KPL mendiskusikan hal tersebut. Beberapa gagasan pun muncul, dimulai dari analisis masalah. Dari analisis tersebut kami berpandangan bahwa masalah sampah di Majalaya sangat sulit diatasi, apalagi setelah kasus TPA Leuwi Gajah longsor. Beberapa TPSS di Majalaya sampahnya selalu menggunung, tidak bisa semuanya diangkut oleh truk sampah, karena keterbatasan biaya. Sedangkan Majalaya, penduduknya padat, kemudian banyak pabrik industri, banyak Pedagang Kaki Lima (PKL), memiliki pasar (Pasar Bingung, Pasar Baru, Pasar Desa Ciwalengke, Pasar Desa Wangisagara), sehingga kalau menginjakkan kaki ke pusat kota Majalaya, kekumuhan adalah hidangan pembukanya. Atas dasar itulah, kami mengusulkan bahwa program pemberdayaan masyarakat dibidang lingkungan hidup itu harus memuat tiga hal penting, yaitu: 1. Pelatihan (out putnya adalah kognitif), diharapkan masyarakat bisa mengetahui dan memahami bagaimana memperlakukan sampah dengan baik 2. Studi banding (out putnya adalah afektif), diharapkan masyarakat bisa termotivasi dengan melihat komunitas lain yang sudah mempraktekkan hal tersebut, contohnya komunitas Cibangkong, Pasar Minggu Jakarta, Jagakarsa Jakarta, dll. 3. Uji coba melalui praktek langsung dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, (out putnya adalah psikomotrik), diharapkan masyarakat bisa mempraktekkannya langsung dan menjalankan proses belajar. Mengetahui hambatan, tantangan dan keberhasilan dalam mengelola sampah. Kemudian, kami pun melakukan jaringan dengan beberapa lembaga yang pakar dibidang komposting sampah. Akhirnya, kami menemukan salah satu lembaga yang pakar dibidang tersebut. Lembaganya bernama Al-Shintan di 34
Bekasi dan PT. Hemal Agrinusa di Jakarta. Kami pun sering melakukan diskusi dengan kedua lembaga tersebut. Lembaga tersebut menjual mesin pembuat kompos, memberikan pembinaan manajemen dari mulai produksi sampai pemasaran kompos, dan memberikan pelatihan pengolahan sampah menjadi kompos dengan teknologi inokulasi mikroba (bioaktivator). Keunggulan teknologi tersebut adalah: 1. Mampu menekan pertumbuhan bakteri pathogen pada sampah dan mengurai senyawa beracun lainnya sehingga menghindarkan pencemaran tanah dan air. 2. Menghilangkan bau busuk sampah (offensive odor) yang mengganggu lingkungan. 3. Mengubah tumpukan sampah menjadi kompos fermentasi (pupuk organik) berkualitas tinggi yang digunakan untuk pertanian organik. 4. Mendorong perkembangan pertanian organik yang akrab lingkungan dan berbiaya rendah, karena petani dapat membeli pupuk dengan harga murah dan selalu tersedia. 5. Teknologi sederhana dan tidak mahal, bahkan dapat menjadi unit usaha mandiri yang dapat menghasilkan keuntungan. Ini merupakan penghematan bagi Pemerintah Daerah yang selalu menghadapi masalah sampah dan pengelolaannya. Harga seperangkat alat tersebut adalah 15 juta rupiah plus pelatihan dan pembinaan manajemen. Pengolahan sampah menjadi kompos merupakan salah satu unit usaha yang bisa dikembangkan oleh warga, dan menghasilkan laba. Cita-cita kami, dari laba yang dihasilkan, akan digunakan untuk pelatihan ke desa-desa, bagaimana cara memperlakukan sampah dengan baik mulai dari: memilah sampah, membuat komposting sampah secara sederhana. Selanjutnya, dari laba yang dihasilkan, kami pun ingin memberikan sarana dan prasarana baik itu tong sampah maupun roda sampah bagi RT percontohan, RW percontohan, desa percontohan, sekolan percontohan maupun pemerintah desa percontohan. Kemudian unit usaha kompos tersebut akan dikelola oleh warga khususnya pemuda/ pemudi yang belum memiliki pekerjaan, sehingga bisa membuka kesempatan kerja bagi para pemuda/pemudi. Bahagianya, banyak yang mendukung gagasan warga, bahkan Yayasan Inisiatif mau mensupport dana untuk pelatihan warga, jika uang yang 25 juta rupiah itu kurang untuk mencapai tiga out put tadi. Tema besar dalam proposal yang disusun oleh KPL adalah pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan berwawasan lingkungan dengan 35
memanfaatkan sampah organik untuk menjadi kompos dan sampah non organik untuk didaur ulang. Setelah proposal itu selesai, kami pun mempresentasikan ini kepada Pemerintah Kecamatan dan mendiskusikannya secara bersama-sama. Pemerintah Kecamatan merespon positif dan menyetujui hal tersebut. Mereka pun mengusulkan agar proposal ini dipresentasikan di dalam Rapat Koordinasi Camat dengan Kades dan Cabang Dinas dan mendiskusikannya. Selanjutnya, kami mempresentasikan hal tersebut dihadapan Muspika, 11 Kepala Desa, dan Cabang Dinas. Mereka seluruhnya merespon positif, bahkan untuk pengadaan tanah akan diusahakan bersama, dan Kades akan mendiskusikan dengan BPD kalau bisa tanah carik desa dijadikan tempat untuk pengeolaan kompos tersebut. Akhirnya, gagasan pengolahan kompos pun menjadi gagasan semua yang hadir, yang merepresentasikan masyarakat. Kemudian forum tersebut mengamanahkan kepada Pemerintah Kecamatan dan KPL untuk ke DLH dan menyampaikan agar program tersebut diswakelolakan kepada masyarakat. Selanjutnya, kami pun berangkat ke DLH untuk menyampaikan amanah dari warga Majalaya. Sesampai di DLH, Kasubdin yang menangani program tersebut sedang sakit, dan kami diterima oleh stafnya. Keputusan pun belum bisa diambil, sebab Kasubdinnya tidak ada, dan harus didiskusikan terlebih dahulu di intern DLH. Tapi dalam diskusi tersebut, salah satu staf DLH menyatakan bahwa tidak ada item untuk pembelian alat, yang ada hanya pelatihan saja. Akhirnya, mereka menyatakan bahwa akan menghubungi kami, jika sudah ada keputusannya. Beberapa hari kemudian, ketika kami ada diacara sosialisasi Pilkada 2005 di Desa Majasetra, pada hari Rabu, 14 September 2005, Kasi Informasi Kecamatan Majalaya tiba-tiba memberitahukan kepada saya, bahwa saya harus segera ke kecamatan karena staf DLH sedang menunggu untuk membahas proposal tersebut. Saya dan Kasi Informasi pun pergi ke Kantor Kecamatan Majalaya. Setelah tiba, kami pun bersalaman dan beramah tamah. Substansi dari diskusi kami dengan staf DLH yaitu: bahwa staf DLH menolak usulan proposal yang disusun oleh Komunits Peduli Lingkungan (KPL) karena dalam DASK yang sudah ditetapkan, nama program tersebut yaitu pemberdayaan Masyarakat di bidang lingkungan hidup, dengan nama kegiatannya yaitu pelatihan calon pendamping masyarakat. Jadi usulan untuk membeli alat pencacah sampah dan pengelolaan kompos komunal itu tidak sesuai dengan DASK. Staf DLH memberikan penjelasan kepada kami bahwa program tersebut 36
akan diperuntukkan untuk kegiatan pelatihan calon pendamping masyarakat bidang lingkungan hidup. Adapun materi yang akan diberikan dalam pelatihan tersebut yaitu: komposting sampah skala rumah tangga, praktek bio gas dan bio teknologi dari kotoran kuda. Peserta pelatihan sebanyak 25 orang, waktu pelatihan 2 hari, dengan jumlah anggaran 25 juta rupiah. Dalam menjelaskan konsep pelatihan, pihak DLH tidakmenjelaskan substansi pelatihan, melainkan hanya membahas masalah teknis pelatihan, usulan tempat, mengundang peserta, dsb. Sehingga hal inilah yang membuat kami agak jengkel. Mendengar penjelasan tersebut, otomatis kami sangat kaget sekali, karena menurut kami model pelatihan seperti itu sangat menghamburkan biaya. Kami pun mengusulkan kepada mereka bebarapa hal, yaitu: 1. Meminta transparansi anggaran 25 juta dan Term of Reference (TOR) / Kerangka acuan Kerja (KAK) yang sudah disusun oleh DLH. 2. Meminta agar perencanaan serta penyusunan Term of Reference (TOR) / Kerangka acuan Kerja (KAK) pelatihan didiskusikan dan disusun bersama dengan kami sebagai warga Majalaya yang mengusulkan aspirasi tersebut melalui MPKT, tidak didesain sendiri. 3. Meminta agar pihak warga dilibatkan dalam kepanitian pelatihan tersebut. Aapun dasar kami menuntut hal tersebut yaitu: dalam Perda TPA disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk merumuskan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan suatu program, apalagi usulannya adalah lewat proses MPKT dan itu bisa diswakelola oleh masyarakat. Berdasarkan Keppres 80 tahun 2003, biaya dibawah 50 juta itu bisa diswakelola oleh masyarakat. Sehingga seharusnya dalam merumuskan perencanaan TOR, warga harus dilibatkan. Sedangkan, ini kan tidak sama sekali, malah warga sudah berinisiatif untuk melakukan uji coba komposting sampah komunal pun itu ditolak. Mereka desain program sendiri dan dokumennya pun tidak diperlihatkan kepada warga. Warga Majalaya itu bukan ingin mengemis uang kepada DLH, tapi kita ingin mengambil hak kita, hak kita terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Karena hak harus direbut. Uang itu bukan milik DLH, tapi itu dana APBD, dan dalam APBD itu ada pajak rakyat. Mendengar usulan kami tersebut, ada aura tidak setuju dari pihak DLH , yang mereka pancarkan melalui pernyataan-pernyataannya. Akhirnya, saya priadi marah pada saat itu, menangis dengan tangisan kekesalan melihat perilaku birokrat seperti itu dan menyatakan sikap tidak setuju dengan 37
nada tegas kepada mereka sambil walk out dari diskusi tersebut. Setelah kejadian tersebut, pihak kecamatan pun tidak bisa mengambi keputusan pada saat itu karena proses diskusi terputus dan tidak ada kesepakatan. Hanya saja pihak kecamatan menegaskan kepada pihak DLH agar lebih partisipatif menjalankan program, khususnya di Majalaya, karena tingkat kekritisan warga Majalaya sangat tinggi. Akhirnya , kurang lebih dua minggu setelah kejadian tersebut,pihak DLH menelpon saya dan meminta saya dan teman-teman KPL datang ke kantor DLH dan mendiskusikan masalah tersebut. Kami pun datang ke kantor DLH, memenuhi undangan mereka. Enam orang perwakilan KPL hadir pada saat itu. Substansi diskusi pada saat itu adalah bahwa: pihak DLH memberikan kesempatan kepada pihak KPl untuk mereview ulang hasil dari konsep yang susun oleh KPL mengenai pembelian alat pencacah sampah untukkomposting sampah komunal, dan sikap KPL terhadap pelatihan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kemudian pihak pemerintah memberikan penjelasan bahwa konsep yang disusun oleh warga mengenai pembelian alat pencacah sampah untuk proses komposting,idak bisa disetujui tahun ini karena tidak sesuai dengan DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja), dan ini tidk bisa ditawar-tawar lagi, karena kalau ini dilaksanakan akan menyalahi aturan sebab bukan peruntukkannya. Kemudian, usulan KPL ingin terlibat dalam perencanaan serta penyusunan TOR pelatihan dan penganggarannya , hal ini bisa dilakukan dengan syarat bahwa konsep yang akan disusun itu adalah pelatihan bukan konsep yang dibuat sebelumnya oleh KPL. Pihak DLH ingin proses pelaksanaan pelatihan ini diswakelolakan kepada KPL, sehingga dari mulai penyusunan TOR, anggaran dan pelaksana teknis dilapangan adalah KPL. Tetapi persyaratan untuk itu KPL harus berbadan hukum, memiliki akta notaris, kalau tidak, hal ini tidak bisa dilakukan oleh KPL. KPL pun merespon usulan dari DLH, salah satu teman kami menyatakan bahwa proses swakelola itu bisa seperti ini: pihakDLH tetap yang menjadi penanggungjawab kegiatan, tapi pelaksana teknis dilapangan adalah KPL,kepanitiaan bersama, TOR didiskusikan bersama secara transparan.Nanti bon-bon pembelian ATK,sewa tempat,sound, dll, dilaporkan kepada DLH. Mendengar pernyataan tersebut, pihakDLH tetap tidak setuju,sebab konsep swakelola menurut mereka bukan seperti itu, melainkan seperti ini: 1. Pihak KPL melakukan kesepakan MoU dengan pihak DLH untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pihak DLH sebagai 38
penanggungjawab kegiatan dan pihak KPL sebagai pelaksana kegiatan. 2. KPL sudah berbadan hukum,memiliki akta notaris 3. Terdaftar di Kesbanglinmas. Akhirnya pihak DLH mengusulkan kepada KPL untuk menempuh proses badan hukum, agar lebih memenuhi syarat de jure dan de facto. Kemudian hasil diskusi tersebut kami sosialisasikan keseluruh anggota KPL dan pemerintah Kecamatan. Banyak anggota KPL yang mengusulkan agar proses badan hukum ditempuh dengan alasan untuk keberlanjutan organisasi kedepan, menumbuhkan kepercayaan organisasi di hadapan pemerintah, sehingga oranisasi ini memilikikekuatan hukum, tidak dicurigai negatif atau ddisebut organisasi tanpa bentuk. Atas kesepakatan anggota dengan seluruh argumen-argumennya, akhirnya KPL akan mengurus persyaratan berbadan hukum ke notaris. Alhamdullilah, salah satu staf Kecamatan Majalaya, sangat mensupport sekali gagasan KPL, sehingga beliau menyatakan bahwa proses badan hukum tersebut akan diselesaikan oleh beliau, karena kebetulan istrinya notaris. Beliau pun menyatakan bahwa khusus untuk KPL tidak akan dipungut biaya. Pada tanggal 25 Oktober 2005, penyelesaian akta notaris pun selesai, dan KPl secara terus menerus melakukan diskusi dengan pihak DLH mengenai TOR kegiatan, beberapa perbaikan pun dilakukan untuk menyempurnakan TOR tersebut. Ada yang menarik dari proses diskusi dengan pihak DLH. Di awal pihak KPL menanyakan kepada pihak DLH, apakah kepanitiaan pelatihan itu adalah KPL atau gabungan antara KPL dengan DLH, kemudian pihak DLH menyatakan bahwa kepanitiaan adalah KPL. Tetapi anehnya, pada saat detik-detik terakhir mereka mengusulkan kepada KPL agar mereka dimasukkan dalam kepanitiaan sebanyak 8 orang sebagai pihak yang akan mengawasi pekerjaan KPL, secara otomatis jika mereka terlibat maka ada honor yang akan diterima oleh mereka, padahal seluruh beban pekerjaan KPL yang melakukan. Pihak DLH hanya memberikan pengarahan dan penjelasan tentang bagaimana menyusun TOR, anggaran, cara pelaporan akhir, juga persiapan yang harus dilakukan,singkatnya mereka adalah penasehat. Akhirnya,pada hari kamis, tanggal 17 November 2005, ditandatanganilah MOU kesepakatan kerja antara DLH degan KPL. Pelaksanaan pelatihan calon pendamping masyarakat akan dilaksanakan selama enam hari dari mulai tanggal 21 – 26 November 2005. Peserta pelatihan adalah perwakilan dari tiap desa se Kecamatan Majalaya yang berjumlah 38 orang. 39
Substansi materi pelatihan yaitu: 1. Tanggal 21 –23 November kuliah dikelas, dengan materi: • Cleaner production • Mengenal sampah, bahayanya dan cara pengelolaannya. • Teori dan praktek komposting sampah • Kebijakan pengelolaan sampah diKabupaten Bandung beserta Kebijakan Anggarannya. • Inisiatif pengelolaan sampah yang dilakukan oleh komunitas secara mandiri • Teori dan Praktek daur ulang sampah non organik menjadi karya seni. • Teori dan praktek bio gas dari kotoran kuda • Teori dan praktek bio teknologi dari kotoran kuda • Peran pendamping masyarakat 2. Tanggal 24 November 2005 Pembuatan kreasi tong sampah 3. Tanggal 25 November 2005 Kampanye lingkungan ke empat desa dan empat sekolah 4. Tanggal 26 November 2005-11-18 Kunjungan lapangan ke komunitas yang sudah melakukan pengelolaan kompos sampah secara mandiri yaitu: Kelurahan Cibangkong (RW 11) dan Wahana Peduli Lingkungan. G. PSDK Wilayah PSDK wilayah merupakan jaringan antara PSDK di tiap komunitas. Diawal, yang mengembangkan PSDK ini baru empat komunitas yaitu Gunung Wayang dengan nama organisasi MPSA (Masyarakat Pemerhati Sumber Air), Majalaya dengan nama organisasi Komunitas Peduli Lingkungan (KPL). Rancibu (Rancamanyar, Cikambuy, Bojong Citepus) belum memiliki organisasi tapi tindakan kolektif sudah ada, dan Bojong Citepus belum memiliki organisasi karena wilayah tersebut sangat sulit diorganisir dalam keadaan banjir. PSDK Wilayah pun punya perangkat organisasi yaitu Pokja (kelompok kerja), diantaranya Pokja advokasi, pokja capacity buiding, pokja kampanye dan pokja basis data dan informasi. Setiap pokja tersebut menyusun program kerjanya masing-masing dan hal itu menjadi program kerja PSDK Wilayah. Penerbitan buletin PSDK adalah salah satu program pokja kampanye. Dokumentasi hasil rapat PSDK, data hasil riset patisipatif, 40
undang-undang dan peraturan hukum laiannya merupakan program pokja basis data dan informasi. Pelatihan dan uji coba merupakan program pokja capacity buiding. Public hearing, audensi merupakan program pokja advokasi Dalam prakteknya masih banyak hal yang harus terus diperbaiki, karena semua proses tersebut merupakan proses pembelajaran bersama. Ada beberapa kendala yang dihadapi diantaranya bagaimana pola hubungan PSDK wilayah dan PSDK di tiap komunitas (lokal)? Jika aktivis lokal di PSDK komunitas lebih banyak mengerjakan program kerja PSDK wilayah, maka program kerja PSDK komunitas akan terbengkalai dan itu akan jadi hambatan? PSDK Wilayah akan berkembang jika PSDK di tiap komunitas itu berjalan dan berkembang, jadi yang menjadi kekuatan PSDK wilayah itu justru berada di PSDK komunitas, sebab PSDK Wilayah itu hanyalah jejaring dari PSDK-PSDK komunitas? PSDK komunitas membutuhkan PSDK wilayah dan begitupun sebaliknya? Itulah beberapa kendala yang harus dipecahkan bersama. Solusi atas kendala tersebut, PSDK akan mengadakan rapat khusus sehingga semua masalah bisa terpecahkan dengan semangat kerjasama. H. Public Hearing CRC Salah satu program PSDK wilayah adalah Public Hearing, maksudnya warga diempat komunitas yaitu Gunung Wayang, Majalaya, Rancibu (Rancamanyar, Cikambuy, Bojong Buah) dan Bojong Citepus, mempresentasikan hasil riset partisipatif, program kerja yang sudah dilakukan oleh komunitas tersebut dan rekomendasi program dan kegiatan kepada Pemda Kabupaten. Kemudian DIBALE mempresentasikan program yang sudah dilakukan dalam menangani masalah ditiap komunitas tersebut. Dengan demikian akan terjalin komunikasi antara pemerintah dan warga dalam menyampaikan permasalahan dan solusi ditiap komunitas. Tujuan umum dari acara public hearing tersebut adalah: 1. Mensosialisasikan tentang fungsi dan cara kerja Community Resources Center (CRC) / Pusat Sumberdaya Komunitas (PSDK) kepada Pemerintah Kabupaten Bandung. 2. Mensosialisasikan hasil riset partisipatif yang dilakukan oleh empat komunitas (Gunung Wayang dengan isu kerusakan mata air, Rancibu (Rancamanyar, Cikambuy, Bojong Buah) dengan isu sampah, Bojong Citepus dengan isu banjir dan Majalaya dengan isu limbah) kepada Pemerintah Kabupaten Bandung. 41
3. Mensosialisasikaan inisiatif yang telah dilakukan oleh komunitas dalam melakukan upaya penyelesaian masalah komunitas berupa rencana tindak komunitas. 4. Mendorong terjalinnya komunikasi yang efektif antara komunitas dengan Pemerintah Kabupaten Bandung mengenai perrmasalahan DAS Citarum dan kebijakan yang telah dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten. 5. Menjadi media bagi komunitas untuk menyampaikan aspirasi dan rekomendasi berupa usulan program, kegiatan khususnya tentang isu diempat komunitas dan umumnya tentang penanggulangan DAS Citarum kepada Pemda Kabupaten Bandung. Selanjutnya, kami pun melakukan rapat koordinasi PSDK untuk melaksanakan program tersebut. Salah satu Pokja yang menangani program tersebut adalah Pokja advokasi. Kami pun berdiskusi dari mulai menyiapkan TOR acara, jadwal, surat, peluang kerjasama dengan Pemda Kabupaten Bandung, anggaran, dan menyiapkan materi yang akan dipresentasikan. Salah satu badan pemerintah yang sangat terbuka terhadap inisiatif warga adalah Bapeda (Badan Perencanaan Daerah) Kabupaten Bandung. Kami pun melakukan beberapa kali diskusi dengan staf Bapeda mengenai gagasan kami untuk melaksanakan acara public hearing dan bentuk kerjasama yang akan dijalin dengan Pemda Kabupaten Bandung dalam penyelenggaraan acara tersebut. Staf Bapeda sangat merespon baik hal tersebut dan menyarankan agar kami menempuh jalur birokrasi yang formal untuk melakukan acara tersebut yaitu dengan memberikan surat permohonan kerjasama yang ditujukan kepada Bupati Bandung. Kami pun memberikan surat permohonan kerjasama kepada Bupati Bandung sesuai dengan prosedur formal. Akhirnya disposisi Bupati pun turun kepada Bapeda khususnya Kabid Perencanaan Fisik Bapeda. Substansi dan teknis acara public hearing sering kami diskusikan dengan Bapeda. Kesepakatan diskusi antara PSDK dan Bapeda adalah: pertama, acara public hearing akan dilaksanakan pada hari Kamis, 25 Agustus 2005 jam 09.00 s/d 13.00 WIB di ruang Rapat Bapeda Lantai satu. Kedua, Bapeda bertugas menyiapkan tempat, kursi, sound system, alat tulis, mengundang peserta yang berasal dari DIBALE, dan membuka acara tersebut. Ketiga, PSDK bertugas menyiapkan materi yang akan dipresentasikan, anggaran, mengundang aktivis lokal diempat komunitas, dan menjadi fasilitator dalam acara tersebut. Anggaran untuk kegiatan public hearing disupport oleh Yayasan Inisiatif. Keempat, pada awalnya, PSDK ingin agar dua pihak ini yaitu 42
Pemerintah dan warga mempresentasikan inisiatif dan tindakan yang sudah dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan ditiap komunitas, tapi karena masalah waktu yang tidak cukup, maka ditahap awal ini cukup warga saja yang mempresentasikan inisiatifnya kepada pemerintah, kemudian pemerintah memberikan tanggapan atas presentasi tersebut. Selanjutnya warga bebas berdiskusi dengan pemerintah baik memberikan pertanyaan maupun pernyataan. Waktu berjalan dengan cepat, tibalah pada hari yang dinantikan, yaitu acara public hearing. Acarapun dimulai oleh Bapeda dengan susunan acara seperti biasa yaitu pembukaan oleh MC, sambutan Ketua Pokja Advokasi PSDK, sambutan Yayasan Inisiatif dan sambutan Bapeda Kabupaten Bandung yang sekaligus membuka acara. Kemudian, acara selanjutnya adalah presentasi riset partisipatif oleh satu orang perwakilan aktivis lokal di empat komunitas. Setelah presentasi selesai, dilanjutkan dengan acara diskusi yaitu membuka kesempatan bagi seluruh peserta untuk bertanya. Pertanyaan pun banyak dilontarkan oleh warga yang ditujukan kepada pemerintah, kemudian pemerintah menjawab pertanyaan tersebut. Ada juga beberapa pertanyaan warga yang tidak terjawab karena dinas yang diundang tidak hadir atau dinas tersebut hadir tapi bukan bidangnya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini menimbulkan kekecewaan bagi warga. Pemerintah pun banyak yang memberikan komentar berupa simpati kepada PSDK yang kreatif dan inovatif dalam mengupayakan berbagai tindakan untuk menyelesaikan solusi atas permasalahan yang dihadapi komunitas dengan swadaya yang tinggi. Ada juga yang memberikan masukan berupa kritik dan saran atas riset partisipatif yang sudah dilakukan. Waktu menunjukkan jam 12.00 siang dan fasilitator diskusi menawarkan apakah acara akan berlanjut atau istirahat terlebih dahulu untuk shalat dan makan siang, kemudian acara dilanjutkan. Beberapa peserta menginginkan agar acara terus dilanjutkan sampai selesai, sebab kalau istirahat maka peserta khususnya dari perwakilan tiap dinas tidak akan datang lagi dengan berbagai alasan kesibukan. Ternyata hal tersebut benar, beberapa dinas ada yang meminta ijin untuk pamit karena masih banyak agenda yang harus dikerjakan. Hal ini menyebabkan kekesalan bagi warga, dan warga banyak yang mempertanyakan bahwa menghadiri acara public hearing pun merupakan tugas penting dari pemerintah yang harus melayani kepentingan publik, tapi kenapa tugas tersebut tidak dijadikan prioritas bagi pemerintah. Suasanapun sempat gaduh atas kekesalan warga terhadap sikap pemerintah yang dipandang kurang serius pada acara 43
public hearing tersebut. Akhirnya Bapeda bersikap sangat bijak pada saat itu dan dinas diharapkan menghargai warga masyarakat yang ingin sekali mengemukakan aspirasinya atas permaslahan yang warga hadapi. Pihak dinas pun menerima keputusan forum untuk kembali melanjutkan diskusi. Dalam acara tersebut ada beberapa hal yang disepakati, diantaranya: Dinas PU akan memfasilitasi komunitas Majalaya untuk bertemu dengan PSDA Propinsi untuk berdiskusi mengenai program pengerukan Citarum di Kecamatan Majalaya. Dinas Kimtawil sangat terbuka bagi warga yang ingin menanyakan tentang pelanggaran ijin mendirikan pabrik yang menjorok ke bantaran sungai. Dinas kebersihan akan menindaklanjuti usulan komunitas Rancibu yang sampahnya sangat lamban diangkut ke TPA oleh truk sampah. Tiga bulan kedepan public hearing akan dilaksanakan kembali. Akhirnya acara pun selesai. Ada beberapa cerita menarik dalam acara public hearing, diantaranya pengalaman saya ketika diwawancara oleh wartawan Kompas. Hasil dari wawancara tersebut menjadi berita dikoran Kompas rubrik Jawa Barat, hari Jum’at, 26 Agustus 2005 dengan judul Warga Majalaya Keluhkan Limbah. Dalam tulisan itu wartawan menuliskan pendapat saya dengan kalimat seperti ini: Hal ini dibenarkan Wulandari (28), warga Majalaya yang juga aktivis LSM Inisiatif. “Hampir semua masyarakat di Desa Biru, Padamulya, Padaulun, Sukamaju, Sukamukti, dan Majalaya membenarkan bahwa ada oknum DLH yang disuap dan sebagainya atau kalau menjelang pengawasan, pihak pabrik diberi tahu sehingga infomasinya bocor,” kata Wulandari. Padahal sebenarnya, hal itu tidak sesuai dengan pernyataan yang sebenarnya. Efek dari berita tersebut diantaranya: tiga orang staf DLH datang ke rumah saya dan membahas masalah tersebut. Tiga orang staf itu adalah Ai (nama samaran), Mak (nama samaran) dan Akang (nama samaran). Mereka menanyakan dasar saya berpendapat seperti itu. Kemudian, mereka bercerita bahwa setelah berita itu terbit, Kepala Dinas langsung mengadakan rapat dinas, mengumpulkan seluruh stafnya, Kepala Dinas marah besar, dan merasa kecewa atas pemberitaan tersebut. Ai menyatakan bahwa dia merasa kinerja nya selama ini dalam melakukan tugas tidak dihargai, padahal dia sudah berupaya maksimal dalam melakukan tugas. Kemudian Akang menyatakan bahwa berita tersebut 44
mungkin akan dijadikan sumber uang bagi institusi lain, dan setiap saat mungkin kami akan diperiksa atas pemberitaan tersebut. Selanjutnya, Mak menyayangkan sekali atas sikap wartawan yang memojokkan pihak DLH, padahal Mak sudah memberikan waktu untuk diwawancara pada hari Senin, 29 Agustus 2005. Mereka pun menyarankan agar saya mau bertemu dengan Kepala DLH dan menjelaskan tentang berita tersebut. Saya pun memang berniat untuk bertemu dengan Kepala DLH dan menceritakan proses wawancara saya dengan wartawan. Malahan saya akan bertemu dengan wartawan tersebut dan meminta kaset rekaman wawancara saya dengan wartawan. Selanjutnya saya menelpon wartawan dan meminta waktu untuk berdiskusi membahas masalah tersebut. Wartawan pun sepakat. Akhirnya kami bertemu dan berdiskusi. Intinya, wartawan siap bertemu dengan DLH, kalau memang pihak DLH sudah melakukan hak jawab ke media atas ketidaksetujuannya dalam pemberitaan tersebut. Kemudian wartawan pun menjelaskan bahwa ada beberapa teknis penulisan berita yang harus dipahami. Tapi untuk kebaikan bersama, kami pun sepakat akan menemui pihak DLH. Suasana hati belum tenang, saya pun konsultasi dengan salah satu anggota DPRD Kabupaten dan menanyakan masalah tersebut dan bagimana solusinya. Sebutlah Aden (nama samaran) anggota DPRD, begini pendapatnya: “kamu jangan pergi menemui DLH, harga diri, itu yang harus kamu jaga. Tanpa surat resmi memanggil kamu, tanpa pihak DLH melayangkan surat tanggapan atau hak jawab ke media tersebut, kamu jangan mau. Biarlah mereka diberikan pelajaran atas berita tersebut untuk menjadi bahan perbaikan bagi kinerja mereka. Kita jadi bertanya-tanya kan , kenapa dengan berita tersebut, DLH jadi kebakaran jenggot, ada apa dibalik semua ini?”. Akhirnya, atas pemikiran yang matang saya tidak jadi pergi ke DLH dan memberikan alasan ketidakhadiran saya melalui sms kepada salah satu staf DLH. Wartawan pun saya telepon dan dia sangat gembira atas keputusan yang saya ambil. Itulah beberapa gambaran pengalaman saya dilapangan, tantangan dan hambatan yang kami hadapi dalam mengadvokasi kebijakan publik. Hanya semangat, keyakinan, kesabaran dan kerja keras lah yang menjadi senjata kami untuk terus berjuang melawan ketidakadilan menuju perubahan yang lebih baik. 45
46
47
Praksis Partisipasi Masyarakat Bale Endah dan Katapang POTRET DINAMIKA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENANGANI SAMPAH (Sebuah Pengalaman Pengembangan PSDK di Rancamanyar, Cikambuy dan Bojong Buah) Oleh : Dadan Ramdhan
A. Pendahuluan Program pengembangan CRC yang digagas oleh Yayasan Inisiatif memberikan kesadaran kritis bagi semua pihak, bahwa kita (masyarakat) harus mulai bersikap dan bertindak secara kolektif terhadap kondisi dan permasalahan lingkungan DAS Citarum hari ini, yang telah berubah seiring dengan perubahan kehidupan ekonomi-politik masyarakat Kabupaten Bandung khususnya dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Perubahan itu terlihat sangat nampak dari gambaran kondisi sungai Citarum dan perilaku serta sikap masyarakat yang berada di sekitar DAS Citarum selama ini. Jika kita amati, perubahan yang terjadi menunjukkan pada kondisi lingkungan DAS Citarum ke arah yang lebih buruk. Kondisi memburuknya lingkungan Citarum terjadi, mulai dari hulu hingga hilir Citarum. Kondisi memburuknya lingkungan ini, bisa diidentifikasi dari persoalan berkurangnya kuantitas dan kualitas sungai Citarum yang disebabkan oleh lahan hutan kritis, pencemaran oleh limbah pabrik, pencemaran sampah domestik Akar dan pokok permasalahan lingkungan DAS Citarum, disebabkan oleh dua faktor yaitu rendahnya partisipasi masyarakat dan tidak efektifnya kebijakan pemerintah dalam mengelola lingkungan DAS Citarum. Berangkat dari kondisi dan permasalahan lingkungan DAS Citarum hari ini, penulis berpendapat bahwa gagasan pengembangan CRC merupakan salah satu bentuk upaya menjawab permasalahan lingkungan DAS Citarum mulai dari hulu hingga hilir ke arah yang lebih baik melalui penguatan kapasitas partisipasi masyarakat. Dalam pandangan penulis, program pengembangan CRC?PSDK merupakan sebuah ide dan praktek serta semangat baru untuk melakukan perubahan, perbaikan dan pemulihan lingkungan DAS Citarum kearah yang lebih baik. Semangat inilah yang menuntun penulis selama melakukan aktivitas program pengembangan CRC di komunitas yang mengelola 48
persampahan yang akan penulis kemukakan sebagai sebuah dinamika pengalaman pengembangan CRC?PSDK di Komunitas Rancibu (Rancamanyar, Cikambuy dan Bojong Buah). B. Pengembangan CRC /PSDK : Assesmen: Lokalatih dan Riset Partisipatif komunitas • Assesmen Kegiatan ini merupakan aktivitas awal dari program pengembangan CRC yang bertujuan untuk mengidentifikasi isu dan permasalahan di komunitas serta menemukan aktivis-aktivis lingkungan tingkat lokal yang berinisiatif melakukan upaya menyelesaikan persoalan lingkungan di komunitasnya. Berangkat dari diskusi yang dilakukan kawan-kawan YI, saya mendapat mandat untuk melakukan assessment di komunitas yang berinisiatif mengelola sampah domestik yang diinisiasi oleh kelompok atau organisasi warga bernama Warga Peduli Lingkungan (WPL) yang berlokasi di Kampung Bojongbuah Desa Pangauban Kecamatan Katapang. Isu dan permasalahan sampah dipilih karena persoalan sampah menjadi bagian dari permasalahan lingkungan DAS Citarum yang belum terselasaikan. WPL telah berupaya mendorong inisiatif masyarakat lokal untuk mengelola sampah secara mandiri melalui aktivitas pengomposan. Pada bulan oktober, penulis melakukan assessmen, diawali dengan sosialisasi program CRC yang dilakukan kawan-kawan YI dengan para aktivis lingkungan di WPL yang dikomandoi oleh Pak Yoga. Selama masa assessment inilah, saya memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi dan berdiskusi dengan aktivis-aktivis yang ada di WPL berkaitan dengan persoalan persampahan yang terjadi dikomunitas, serta upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh komunitas itu sendiri. Pada tahap ini, penulis belum mendapat kesulitan dalam menemukan aktivis lokal karena di WPL relatif ada warga yang peduli terhadap persoalan lingkungan. Di Bojongbuah, tempat WPL bermarkas, saya bisa berkenalan dengan M Jefry Rohman, Dian Farid, Yohanes Sutarto, Cecep dan warga yang lainnya yang sering berkumpul di WPL. Dari praktek yang mereka lakukan, upaya WPL dalam mengelola sampah, telah mengurangi kuantitas sampah yang dibuang masyarakat RT 4 Kampung Bojong Buah desa Pangauban ke sungai Citarum. Aktivitas ini, membuat penulis berkesempatan menyusuri sungai Citarum. Mulai dari Cikambuy hingga Rancamanyar. Kegiatan assessment ini 49
membuat saya banyak berdiskusi dengan warga yang berinisitaif mengelola sampah yang tergabung dalam kelompok warga KBWM (kawasan bersih warga Mandiri). KBWM merupakan program pengelolaan sampah berbasis warga yang digulirkan oleh WPL sejak tahun 2003. KBWM ini dikelola oleh kelompok warga yang ada di Kampung Cikambuy Hilir RW 10 Desa Sangkan Hurip Kecamatan Katapang. Bahkan perkembangannya meluas sampai di kampung Penclut RW 5 Desa Rancamanyar Kecamatan Baleendah. Kampung Cikambuy Hilir adalah wilayah yang berdekatan dengan pinggiran Sungai Citarum. Perkembangan ekonomi dan pertambahan penduduk mengakibatkan aktivitas ekonomi dan kegiatan konsumsi masyarakat meningkat. Implikasinya, produksi sampah domestik di Kampung ini juga meningkat dan berpotensi untuk dibuang ke sungai dan anak–anak sungai Citarum sangat besar karena lahan pembuangan sampah domestik terbatas. Sebelum ada aktivitas pengelolaan sampah oleh masyarakat dalam KBWM, sebagain besar masyarakat membuang sampah ke pinggiran jalan sampai menumpuk bahkan terbuang ke Sungai Citarum. Asessment di komunitas Cikambuy Hilir membuat saya berkenalan dan banyak berdiskusi dengan masyarakat yang separuh waktunya dihabiskan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan dalam mengelola sampah dalam bentuk praktek pengomposan sampah organik. Di sinilah saya bisa berkenalan dan berdiskusi dengan pak Enu Wiharja, Pak Jajang Dokter, Pak Idun, Pak Nana yang sehari-harinya tak lepas dari urusan sampah. Kegiatan atau upaya yang Kelompok KBWM lakukan ternyata telah mengurangi kuantitas sampah yang dibuang ke Citarum. Aktivitas assessment kemudian saya lanjutkan ke kampung Penclut Desa Rancamanyar, Rancamanyar dipilih karena di sana ada masyarakat dan kelompok pemuda yang mengelola sampah. Kampung Penclut merupakan wilayah pesisir Citarum yang memiliki penduduk padat. Dengan kondisi seperti itu, banyak masayarakat yang membuang sampah ke Citarum. Sehingga kalau tidak ditangani akan menambah pencemaran sungai Citarum. Di Rancamanyar saya banyak berdiskusi dengan warga yang berinisiatif mengelola sampah. Di sini saya banyak bertemu dan berdiskusi dengan Pak RW 5, Pak Dadang, Pak Adeng, Rifal, Atin dan kelompok pemuda lainnya. Dari kegiatan assesment ini, akhirnya saya memilih 5 orang aktivis local yang akan diikutsertakan dalam lokalatih 1 di Gambung Ciwidey. Kelima 50
orang aktivis itu adalah M Jefry Rohman, Dian Farid, Jajang Kosasih, Rival Zaelani dan Atin Koswara. Walaupun tidak memenuhi kriteria aktivis ideal yang diharapkan, kelima aktivis tersebut merupakan kader muda dan memiliki potensi yang bisa diberdayakan. • Serial Lokalatih Pengembangan CRC melalui serial lokalatih merupakan media efektif dalam meningkatkan kapasitas komunitas untuk mendukung kerja-kerja kolektif advokasi untuk menyelesaikan persoalan komunitas. Media ini juga merupakan ruang konsolidasi gagasan dan praktek serta media refleksi bersama terhadap pengalaman komunitas dalam menyelasaikan persoalannya. a. Lokalatih 1 (Gambung Ciwidey) Kegiatan ini merupakan awal perkenalan aktivis di 4 titik untuk saling mengetahui dan memahami persoalan yang terjadi di lingkungan DAS Citarum. Kelima aktivis local yang berasal dari Bojongbuah, Cikambuy dan Rancamanyar, bisa saya libatkan untuk mengikuti kegiatan ini dengan tuntas. Menurut aktivis lokal, aktivitas ini memiliki nilai positif karena selain untuk memperdalam isu hasil assesment juga memberikan pengetahuan baru bagi aktivis lokal berkaitan dengan kondisi lingkungan yang terjadi di komunitas lainnya. b. Lokalatih 2 (Wisma Caringin Jati Nangor) Kegiatan ini dilakukan setelah riset partisipatif. Kawan-kawan aktivis lokal khususnya komunitas Rancibu (rancamnyar, Ciikambuy dan Bojong Buah) bisa mengikuti kegiatan lokalatih, tentunya dengan tambahan peserta (aktivis lokal) yang mereka rekomendasikan selain Jefri, Rival, Atin, Jajang dan Dian. Peserta tambahan yang dimaksud yaitu Ira Prydarsani, Dadan Ramdhana (Cikambuy), Adi Kusdinar (bojong Buah), serta Yudi Hermawan. (Rancamanyar). Pada lokalatih ini, saya melihat, ada semangat dari mereka untuk terlibat dalam upaya perbaikan lingkungan DAS Citarum. Ini tergambar dari aktivitas selama pelatihan berlangsung, mereka antusias, aktif dan memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Ada harapan, mereka bisa mempraktekan materi yang diperoleh sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Namun ada kekhawatiran, ketika mereka kesulitan untuk memahami materi yang diberikan dan mempraktekannya di lapangan.
51
Dalam lokalatih ini juga, penulis bisa berdiskusi panjang mengenai persoalan lingkungan dengan masyarakat dari wilayah lain. Paparanpaparan yang mereka berikan melalui laporan risetnya, merupakan gambaran realitas kondisi lingkungan yang mereka hadapi di komunitasnya. Inilah pengalaman baru, ketika mereka bisa dipersatukan dan terlibat diskusi mengenai permasalahan lingkungan Citarum tanpa saling menyalahkan dan membenarkan satu sama lain. Kawan-kawan aktivis lokal bisa berbagi pengalaman sekaligus menimba pengalaman baru dari praktek yang sudah dilakukan di komunitas lainnya. Satu materi dalam lokalatih 2 yang menuntut pemahaman lebih dalam adalah materi tentang program pengembangan CRC dan praktek-praktek yang akan dilakukan sesuai dengan gagasan fungsi CRC. Sebenarnya, ada kekhawatiran dari penulis sendiri, ketika kawan-kawan aktivis lokal secara keseluruhan belum bisa memahami gagasan ini terlebih mempraktekan di komunitasnya. c. Lokalatih 3 (Wisma Bumi Kitri Pramuka Cikutra Bandung) Pada lokalatih 3 ini, penulis melihat, masukan peningkatan kapasitas terkait dengan advokasi kebijakan adalah masukan/bekal untuk melakukan praktek di lapangan. Menurut pandangan penulis, apa yang telah diberikan dalam lokalatih ini memang sesuai dengan kebutuhan aktivis lokal di lapangan. Ada pengalaman dari aktivitas ini yang bisa djadikan sebagai pembelajaran bersama. Komunitas dapat saling berbagi pengalaman, bertukar pikiran, curah gagasan terkait dengan praktek yang sudah dilakukan dan kendala selama melakukan praktek advokasi di komunitas dan wilayah. Pada lokalatih 3, ada beberapa perubahan skema uji coba advokasi yang dilakukan antara komunitas dan wilayah. Perubahan selanjutnya adalah mulai adanya pemilahan agenda kerja komunitas dan wilayah. Perkembangan yang muncul, beberapa usulan /rencana tindak komunitas menjadi mandat CRC wilayah. Harapannya ini dilakukan untuk memfungsikan CRC wilayah. Pada prakteknya, rencana kerja ini belum bisa dijalankan dengan total. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala dan persoalan. Kendala yang muncul diantaranya kesulitan berkonsolidasi aktivis yang menjadi perwakilan wilayah.
52
• Riset Partsipatif komunitas Walaupun tidak bisa memandu penyusunan RTL pada lokalatih 1 di komunitas yang penulis dampingi, penulis bisa berinteraksi kembali dengan kawan-kawan di lokal dalam sebuah aktivitas riset partisipatif sebagai mandat lokalatih 1 dan tahapan aktivitas pengembangan CRC. Pertemuan penulis dengan kader local telah menyepakati bahwa riset partsipatif difokuskan pada penguatan praktek pengelolaan sampah yang dilakukan oleh KBWM di Cikambuy Hilir dan Rancamanyar. Untuk selanjutnya, riset partsipatif yang dilakukan di komunitas Rancibu (Rancamnyar, Cikambuy dan Bojongbuah) lebih difokuskan pada identifikasi permasalahan pengelolaan sampah yang dihadapi oleh warga (masyarakat) dalam KBWM serta kaitannya dengan berbagai kebijakan pengelolaan sampah dan pembangunan pemerintah kabupaten Bandung. Kegiatan riset di komunitas Rancibu diawali dengan sosialisasi program CRC, kemudian ditindaklanjuti dengan diskusi dan evaluasi kondisi objektif dan subjektif KBWM. Selain untuk mengidentifikasi permasalahan persampahan KBWM dan kebijakan pemerintah, riset ini juga ditujukan untuk mencari individu lain yang bisa diajak bergabung dan terlibat dalam upaya menyelesaikan permasalahan lingkungan di komunitasnya, khususnya dalam KBWM. Dari diskusi-diskusi yang saya lakukan dengan kawan-kawan aktivis local selama riset partisipatif, gambaran atau potret permasalahan yang dihadapi oleh komunitas di 3 titik tersebut tidak jauh berbeda-beda terkait dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Hal ini tergambar dari aktivitas pengelolaan sampah, kondisi KBWM dan respon masayarakat terhadap KBWM serta pengetahuan warga terhadap kebijakan pemerintah (MPKT). Potret permasalahan yang bisa diidentifikasi selama riset ini diantaranya belum berjalannya manajemen KBWM, kurangnya koordinasi pengelola KBWM, persoalan kaderisasi KBWM, sarana dan prasarana yang belum memadai, rendahnya keterlibatan masyarakat dalam mengelola sampah serta terbatasnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Bandung. Terbatasnya Informasi dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang MPKT di kabupaten Bandung merupakan salah satu persoalan yang ditemui di tingkat kebijakan.
53
Di lapangan, kawan-kawan aktivis lokal telah mengidentifikasi permasalahan internal maupun eksternal KBWM dan mampu mengajak individu lain untuk terlibat dalam program pengembangan CRC. Keterlibatan kelompok-kelompok pemuda dalam pengelolaan KBWM diharapkan menjadi awal bagi upaya untuk menyelesaikan persoalan kaderisasi yang selama ini menjadi kendala dalam mengelola aktivitas KBWM. C. Praktek Pengembangan PSDK : Aksi-Aksi Kolektif Komunitas Komunitas Aktivitas atau aksi kolektif yang dilakukan di komunitas Rancibu tentunya berangkat dari rencana tindak komunitas sebagai rencana tindak lanjut atau mandat lokalatih 2 yang mengacu pada hasil riset partisipatif. Ada dua sasaran advokasi yaitu penguatan masyarakat melalui pengorganisasian dan upaya-upaya advoaksi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam mengelola persampahan. Dalam kerangka itu, program yang dilakukan di dorong untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi CRC berdasarkan kebutuhan komunitas. Pada tahap pengorganisasian aktivitas yang dilakukan belum mengarah pada pembentukan organisasi /CRC local sebagai bagian dari pengembangan CRC lokal. Pengorganisasian lebih difokuskan pada upaya mendorong penguatan KBWM sebagai titik masuk untuk menjalan fungsi-fungsi CRC/ PSDK selanjutnya. Dinamika Pengembangan di KBWM Cikambuy Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan lebih diupayakan pada pengembangan fungsi-fungsi CRC. Kegiatan yang dimaksud meliputi aktivitas pertemuan rutin KBWM, diskusi, dan sosialisasi pemilahan sampah di rumah dan MPKT serta kampanye tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat kepada organisasi lokal dan pemerintahan desa serta kecamatan. Kegiatan diskusi dan pertemuan rutin ini dilakukan dalam kerangka memperkuat koordinasi pengelola KBWM serta membangun komunikasi yang baik dengan tokoh, pemuda serta masyarakat sebagai pelanggan serta WPL. Aktivitas ini juga lebih mendorong pada meningkatnya kesadaran warga terhadap lingkungan serta membangun kepedulian dan rasa memiliki terhadap KBWM sehingga timbul semangat dan tindakan untuk menyelesaikan persoalan KBWM. 54
Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan sebagai upaya untuk menjawab persoalan kaderisasi dalam KBWM. Dengan adanya aktivitas ini, pemuda yang diwakili oleh Cikal dan Karang Taruna mulai terlibat dalam pengelolaan sampah sebagai tim kolektor atau retribusi infak gotong royong warga/masyarakat. Diskusi yang dilakukan bukan hanya berkaitan dengan sosialisasi pengelolaan sampah saja, namun berkaitan pula dengan sosialiassi berbagai kebijakan mulai dari pemerintah desa, kecamatan dan kabuputen Bandung. Kegiatan sosialiasasi ini juga melibatkan berbagai organisasi lokal seperti IRMA dan Formis. Pengembangan CRC di Cikambuy memberikan kesempatan kepada pengelola KBWM untuk beraudensi dan bersosialisasi praktek pengelolaan sampah KBWM dengan pihak pemerintahan desa dan kecamatan yang selama ini tidak dilakukan. Memang selama ini partisipasi masyarakat Cikambuy yang telah berinisiatif mengelola sampah belum mendapat perhatian pemerintahan. Padahal inisiatif ini perlu didorong oleh pemerintah mengingat potensi dan permasalahan yang dihadapi KBWM selama ini. Upaya mendorong penguatan KBWM Cikambuy ternyata mendapat respon positif dari pemerintah desa Sangkan Hurip. Buntut dari sosialisasi dan audensi yang telah mereka lakukan berdampak positif bagi penyelesaian persoalan KBWM. Selain mendapat pengakuan dari Pemerintahan Desa mereka juga memberikan bantuan dana kepada KBWM walaupun tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Audensi KBWM dengan pihak pemerintahan Kecamatan Katapang, lebih diarahkan pada sosialiasi KBWM dan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh KBWM dalam mengelola sampah rumah tangga di masyarakat. Menurut pengelola KBWM, selama KBWM berdiri dan melakukan aktivitas. Ini dilakukan oleh mereka dalam kerangka membangun pola komunikasi antara KBWM dan pihak Kecamatan Katapang. Upaya advokasi juga dilakukan kepada pemerintah kabupten Bandung melalaui Dinas Kebersihan. Upaya ini dilakukan untuk membangun komunikasi antara KBWM dan Dinas kebersihan dalam kerangka menyelesaikan persoalan KBWM dan persoalan persampahan yang terjadi Di Kabupaten Bandung. 55
Selain itu, sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas pengelola KBWM Cikambuy, kegiatan yang dilakukan diantaranya melakukan pelatihan di Cibangkong dan studi banding praktek pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat ke Sukawening dan Gambung Kecamatan Ciwidey. Dari hasil studi Banding, mereka menilai bahwa praktek yang KBWM lakukan lebih baik tinimbang yang lain. Praktek yang dilakukan di KBWM lebih mengedepankan pada upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Aspek pemberdayaan inilah yang tidak dilakukan oleh pengelola sampah di Ciwidey. Dinamika Rancamanyar Seperti halnya di Cikambuy, program CRC di Rancamanyar lebih diarahkan pada upaya untuk memperbaiki permasalahan manajemen KBWM yang berlokasi di Kampung Penclut RW 5 Desa Rancamanyar Kecamatan Baleendah. Permasalahan yang muncul tak terlepas dari koordinasi, pola kepemimpinan dan praktek pengelolaan sampah yang kurang tertata. Salah satu persoalan di lapangan yang ditemui adalah bertambahnya jumlah pelanggan KBWM sementara tidak diimbangi dengan pola pengelolaan yang baik Di TPS sehingga sampah semakin menumpuk dan tidak terkelola dengan baik. Berangkat dari permasalahan ini, upaya penguatan KBWM menjadi penting sebelum melakukan upaya-upaya advokasi selanjutnya. Pasca lokalatih 2, upaya untuk mendorong dinamika perubahan untuk memperbaiki kondisi KBWM memang tak berjalan sebagaimana mestinya. Ketika kawan-kawan dari Rancamanyar berupaya untuk melakukan upaya perubahan memang tidak mendapat dukungan penuh dari pengelola KBWM. Ada beberapa faktor yang menyebabkan proses penguatan di Rancamanyar tidak berjalan sebagaimana hasil rencana tindak lokalatih 2, diantaranya: a. Kesulitan dalam melakukan koordinasi diantara pengelola KBWM. Hal ini berkaitan dengan pola kepemimpinan yang ada dalam KBWM, yang mengarah pada ketergantungan pada individu yang lain. b. Ketergantungan KBWM pada WPL sebagai inisiator terbentuknya KBWM sangat besar sekali. Pola pengambilan keputusan yang terjadi di KBWM Rancamnyar selalu menunggu instruksi atau komando WPL. Dibalik persoalan-persoalan, diatas program CRC juga telah mendorong upaya perubahan dalam KBWM dan identifikasi kebijakan pengelolaan 56
sampah Rancamanyar diantaranya : a. Perubahan pada manajemen KBWM. Perubahan ini menyangkut peran dan tugas pengelola KBWM mulai dari koordinator, bendahara, tim kolektor, sosialisasi, pemungut sampah. Kelompok pemuda mulai dilibatkan sebagai kolektor atau tim retribusi yang selama ini dipegang atau dikelola oleh pengangkut sampah b. Pendataan jumlah pelanggan dan sosialisasi pemilahan yang dilakukan oleh kelompok pemuda kepada masyarakat. c. Pengumpulan data dan informasi tentang ajuan dan realisasi MPKT di kecamatan Baleendah dan Desa Rancamnyar pada tahun 2005. d. Melakukan audensi dengan pihak kecamatan berkaitan dengan kewenangan kecamatan dalam persampahan. Upaya-upaya mendorong perubahan dilakukan dengan melakukan diskusi dengan pemerintahan desa Rancamanyar. Pemerintahan Desa Rancamanyar mendukung upaya tersebut, namun dalam pengelolaanya lebih menyerahkan pada organisasi WPL. Dinamika di Bojong Buah Program CRC yang dilakukan di Bojongbuah Desa Pangauban pasca lokalatih 2 bisa dikatakan menemui kendala dan kesulitan. Dinamika dan realitas masyarakat di mana sekretariat WPL ini berada belum sepenuhnya bisa mendukung kerja-kerja kawan-kawan aktivis local di Bojongbuah. Respon masyarakat terhadap upaya penyelasaian persampahan yang dikelola WPL selama ini bisa dikatakan kecil bahkan terkesan tidak mendukung upaya yang telah dilakukan WPL. Pada tahap riset partisipatif, program CRC dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Namun, dinamika lapangan memang selalu berubah, mundurnya Dian Farid karena harus bekerja dan kondisi Adi Kusdinar yang kesulitan dalam menjalankan aktivitas terkait dengan sikap masyarakat terhadap WPL, membawa pengaruh terhadap proses pengembangan program CRC di Bojongbuah. Sebenarnya sudah ada upaya aktivis Adi Kusdinar untuk mensosialiasikan kegiatan pengelolaan sampah untuk mengurangi sampah yang di buang ke Citarum. Adi memulai aktivitas ini, melalui forum-forum pengajian yang ada di dekat rumahnya. Sepertinya ada semangat kawan-kawan lokal untuk memperluas pengembangan pengelolaan sampah di bojong buah. Namun upaya mereka menjadi terhambat karena sikap masyarakat terhadap praktek yang dilakukan WPL selama ini. 57
2. PSDK Wilayah Dinamika pengembangan PSDK/CRC di wilayah tidak semaju dengan praktek pengembangan di komunitas. Aktivitas konsolidasi 3 di Gunung Wayang menghasilkan kelompok-kelompok kerja yang akan menjalankan fungsi CRC dalam prakteknya belum bisa dilakukan. Kondisi di komunitas untuk segera menyelasaikan persoalan di komunitas membutuhkan waktu, tenaga, pemikiran yang menguras mereka. Dari perkembangan yang ada di CRC wilayah, ada beberapa cacatancatatan terkait dengan dinamika pengembangan CRC wilayah: 1. Keberadaan CRC wilayah harus dipandang sebagai bentuk jejaring komunitas sekaligus alat perjuangan bersama yang lebih besar lagi. 2. Sekretariat sebagai ruang bersama 4 komunitas belum secara total difungsikan sebagai media untuk penyimpan data dan informasi, diskusi, konsolidasi terutama konsolidasi gagasan dan pemikiran. 3. Intensitas diskusi masih relatif kurang meskipun di awal kawankawan pernah melakukannya. Padahal, jika kita memanfaatkan sekretariat secara total, bukan hanya sekedar ruang untuk melakukan koordinasi saja, namun lebih jauh lagi, sekretariat bisa menjadi media untuk memproduksi gagasan dan praktek yang lebih maju dalam melakukan upaya advokasi kebijakan. 4. Minimnya data dan informasi yang dimiliki oleh wilayah merupakan satu hal yang harus segera disikapi oleh CRC/PSDK wilayah. 5. Mempertegas prinsip kerja, posisi dan peran antara wilayah dan komunitas mengacu pada fungsi–fungsi PSDK akan menghilangkan kontradiksi yang dipersoalkan selama ini. D. Kendala-Kendala Menjalankan Program CRC /PSDK 1. Assesmen Pada tahap ini menemukan aktivis yang memenuhi kriteria aktivis ideal dilihat dari aspek aktivisme, kemampuan berorganisasi dan kemampuan ekonomi relatif sulit dilakukan. Selama proses ini, penulis berupaya untuk mencari calon aktivis sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Namun dilapangan, aktivis local yang ditemuikan memang beragam dan memiliki potensi yang bisa diberdayakan. Kader-kader lokal yang ada di komunitas Rancibu ini merupakan kaderkader muda yang selama ini peduli terhadap persoalan lingkungan khususnya persampahan yang dialami di lokasinya. Selama ini, mereka sudah banyak terlibat dalam upaya-upaya untuk menangani persampahan 58
di komunitasnya. 2. Pengorganisasian Upaya untuk mendorong terbentuknya organisasi komunitas yang bisa menjalankan fungsi-fungsi CRC belum bisa dilakukan. Hal ini terkait dengan keberadaan KBWM dan hubungannya dengan WPL sebagai inisiator terbentuknya KBWM. Proses pengorganisasian lebih di dorong pada pengembangan dan penguatan internal KBWM dan internalisasi berbagai isu dan kebijakan pemerintah yang selama ini memang belum secara intensif dilakukan oleh WPL. Pada prakteknya, KBWM juga belum mampu menjlankan fungsi-fungsi CRC secara utuh. Kondisi ini disebabkan kondisi internal KBWM yang belum teroragnisir dengan baik. Dari pengalaman kawan-kawan lokal, ada beberapa kendala dalam mendorong penguatan dalam KBWM, diantaranya : Kesulitan koordinasi pengelola KBWM Aktivitas dalam mendorong penguatan intenal KBWM dilakukan untuk membiasakan dan membudayakan kembali pertemuan-pertemuan yang selama ini tidak berjalan dalam KBWM. Hal ini dilakukan, untuk menjawab persoalan koordinasi dan konsolidasi yang tidak pernah dilakukan oleh pengelola KBWM sebelumnya. Kesolidan dan kekompakan tim dalam menjalankan aktivitas KBWM menjadi faktor yang berpengaruh terhadap praktek pengelolaan sampah yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Terbatasnya Pengetahuan dan Pemahaman masyarakat Persoalan lain yang dihadapi adalah sikap dan respon masyarakat terhadap gagasan-gagasan pengembangan CRC komunitas terkait dengan kebijakankebijakan pemerintah. Selama proses sosialisasi, kader lokal mendapat kesulitan dam memberikan pemahaman tentang isu dan kebijakan kepada masyarakat walaupun sudah dikemas melalui bahasa yang sehari-hari mereka gunakan. Kesadaran akan persoalan memang ada namun praktek untuk bertindak menyelasaikan persoalan belum dilakukan. Kesulitan ini disebabkan oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap berbagai kebijakan masih relatif kurang. Mereka merasakan bahwa ada persoalan, namun mereka tidak mengetahui bagaimana cara menyelasaikan, siapa pihak yang harus di datangi. Keterbatasan informasi dan sikap apatis terhadap berbagai kebijakan menjadi faktor yang mempengaruhi proses internalisasi gagasan pengembangan CRC. Butuh 59
proses panjang bagi kawan-kawan untuk melakukan perubahan di komunitasnya. Kesulitan dalam Mencari Kader Baru Persoalan lain yang dihadapi terkait upaya menemukan kader baru. Pada tahap ini, kader lokal mendapat kesulitan dalam menemukan dan mengajak individu lain yang telah melakukan telah berinisiatif melakukan upaya penanganan sampah di tempatnya. Kesulitan dalam menemukan orang yang mau terlibat dalam aktivitas pengelolaan sampah sempat terlontar juga oleh pengelola KBWM. Kawan-kawan di komunitas Rancibu sudah berupaya melakukan sosialisasi gagasan CRC berbasis lingkungan dalam kerangka pengorganisasian ke beberapa organisasi lokal misalnya ke CIKAL (Ciri Anak Alam), FORMIS (Forum Remaja Islam), IRMA (Ikatan Remaja Mesjid). Dari praktek yang telah dilakukan, muncul kepedulian dan keterlibatan CIKAL untuk ikut menyelasaikan persoalan pengelolaan sampah di komunitas. Kesulitan mencari kader terkait pula dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadap sampah selama ini. Ada banyak masyarakat menilai bahwa sampah adalah masalah sehingga jarang orang mengelola sampah. Dari pengalaman yang diperoleh, sampah merupakan potensi yang memiliki nilai ekonomi. Jika dikelola dengan baik sampah merupakan rizki. Karena memiliki nilai ekonomi inilah, pemerintah mau mengelolanya meskipun dengan manajemen yang amburadul. 3. Uji Coba Advokasi Komunitas Pada tahap ini, proses pengembangan CRC di komunitas dalam kerangka uji coba advokasi dapat berjalan walaupun kadang di lapangan kader lokal mendapat berbagai kendala terkait dengan faktor internal dan eksternal KBWM. Kendala ini dilpangan sangat mempengaruhi pada aktivitas aksiaksi kolektif advokasi yang dilakukan. Kendala–kendala yang di hadapi diantaranya : Kesolidan Pengelola KBWM Praktek advokasi yang dilakukan selama ini memang tidak didukung oleh seluruh tim KBWM. Kesibukan tim pengelola masing-masing menyebabkan kurang solidnya tim sehingga upaya advokasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah belum dijalankan secara kolektif. Upaya penguatan KBWM harus terus didorong dengan lebih memperhatikan kualitas keterlibatan pengelola dan masyarakat untuk lebih bisa memiliki 60
KBWM. Terbatasnya Informasi komunitas terhadap Kebijakan Pemerintah Lemahnya inisiatif untuk melakukan upaya penyelasaian masalah komunitas terkait dengan terbatasnya informasi komunitas terhadap berbagai kebijakan yang ada. Minimnya informasi yang diperoleh menjadi kendala mereka melakukan proses negosiasi dengan pemerintah. Mengubah sikap dan paradigma serta kebijakan pengelolaan sampah di tingkat pemerintah Praktek yang dilakukan oleh KBWM telah mengurangi jumlah timbunan sampah yang dibuang ke Citarum. Namun, dukungan dan perhatian pemerintah (Dinas Kebersihan) selama ini dirasakan sangat kecil. Upaya yang dilakukan KBWM dalam mengelola sampah melalui pengomposan belum bisa mendorong perubahan sikap dan paradigma maupun kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah belum dilakukannya bimbingan teknis yang seharusnya dilakukan oleh pihak dinas kebersihan kepada pengelola KBWM sebagai bentuk kesepakatan KBWM dan Dinas Kebersihan. Proses MPKT tidak berjalan dan sulit diakses komunitas Dalam prakteknya, MPKT sebagai salah satu ruang yang bisa diakses untuk menyelesaikan persoalan KBWM dihadapi oleh KBWM relatif sulit dimasuki. Hal ini terkait dengan waktu dan mekanisme dalam MPKT. Proses MPKT yang seharusnya melibatkan perwakilan masyarakat (komunitas) tidak terjadi, bahkan RW pun tidak dilibatkan. Pada prakteknya, ruang MPKT ini masih didominasi oleh elit-elit lokal tingkat desa yang lebih mewakili pemerintah tinimbang komunitas. Kader–kader lokal kadang disulitkan oleh mekanisme MPKT yang lebih didominasi oleh pelaku pemerintahan desa. Peranan perwakilan MPKT desa dinilai lebih bisa mewakili aspirasi dan kebutuhan komunitas/lokal yang ada. E. Pengembangan PSDK ke Depan Gagasan pengembangan CRC/PSDK ke depan harus berangkat dari evaluasi dan refleksi bersama dari praktek yang sudah dilakukan di tingkat komunitas dan aktivis lokal. Hal ini perlu dilakukan untuk memperdalam dan mengkaji urai kembali gagasan CRC?PSDK sebagai kesatuan antara ide dan praktek Lebih jauh lagi, perubahan apa yang telah dimiliki oleh aktivis komunitas serta gagasan ini bisa membawa dampak dan manfaat postif bagi masyarakat dan mengubah perilaku pembuat kebijakan selama ini?
61
Melihat kondisi objektif pemerintahan kabupaten Bandung terkait dengan berbagai kebijakan di setiap sektor pembangunan, gagasan CRC/PSDK sebagai sebuah praktek advokasi kebijakan menjadi satu kebutuhan dalam mendorong perubahan kebijakan yang ada di Kabupaten Bandung yang lebih berpihak kepada rakyat Dalam kerangka perubahan itulah, upaya mendorong penguatan kapasitas lokal dan memperluas basis untuk melakukan praktek advokasi menjadi sangat penting untuk dilakukan CRC/ PSDK ke depan. Tentunya, upaya itu harus didukung oleh kapasitas PSDK yang lebih maju dan terorganisir. Berbagi peran dan posisi antara wilayah dan komunitas dalam PSDK menjadi satu hal yang perlu di pikirkan sehingga mampu menjalankan fungsi bahkan memperluas fungsi-fungsi yang ada. F. Penutup Sekelumit dinamika pengembangan CRC di komunitas di Rancibu yang dituturkan di atas adalah catatan-catatan yang bisa dipertimbangkan dan didiskusikan dalam pengembangan CRC selanjutnya. Penulis melihat telah terjadi perubahan pola sikap, pola pikir dan pola tindak yang di alami oleh aktivis lokal dalam menyikapi persoalan, terlepas keberhasilan advokasi kebijakan yang dilakukan. Namun dibalik itu, ada sebuah pertanyaan: apakah proses pengembangan PSDK yang penulis lakukan melalui program CRC/PSDK ini membawa perubahan dan dampak yang lebih baik bagi KBWM atau sebaliknya, membawa dampak yang lebih buruk lagi sesuai dengan gagasan CRC? PSDK itu sendiri?. Di satu sisi ada harapan, program ini bisa memacu inisiatif lokal untuk lebih berdaya dan mampu mengorganisir dirinya. Namun di sisi yang lain, ada kekhawatiran, penulis sendiri belum melihat adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Mengkaji kembali secara mendalam strategi advokasi yang dijalankan komunitas Rancibu adalah satu kebutuhan yang perlu didiskusikan lebih dalam lagi. Termasuk bagaimana melakukan upaya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh komunitas Rancibu harus didukung oleh kerangka kebijakan/regulasi yang lebih mempertimbangkan potensi lokal/komunitas. Pada akhirnya, keterlibatan dalam program selama ini, membuat penulis lebih mengenal, mengetahui dan memahami potret kondisi lingkungan DAS Citarum. Dari praktek pendampingan serta interaksi dengan kawankawan di tingkat lokal membuat penulis lebih mengenal gambaran kondisi permasalahan lingkungan baik yang terjadi di hulu maupun hilir sungai 62
Citarum. Dari sinilah, penulis mendapat pengetahuan dan mulai berpikir bagaimana cara kita bersikap terhadap sampah. Satu bentuk pengalaman baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
63
Praksis Partisipasi Masyarakat Bale Endah dan Katapang KESOLIDAN DAN KERJASAMA: ASPEK YANG PERLU DIPERHATIKAN UNTUK MENGEMBANGKAN PSDK Penulis : Ira Pryadarsani
Dari pengalaman hidup saya selama ini saya tidak pernah aktif didalam organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan selama ini saya menyadari kurang peduli dengan permasalahan lingkungan yang ada disekitar saya. Namun dalam ketidak pedulian itu masih ada perasaan sedih ketika melihat semakin meningkatnya tingkat degradasi lingkungan dan perasaan kecewa karena masalah tersebut tidak pernah terselesaikan. Seperti halnya permasalahan sampah di lingkungan tempat saya tinggal, semangat warga dalam mengelola sampah yang terbentuk dalam KBWM (keluarga bersih warga mandiri) yang telah terbentuk sejak tahun 2003, KBWM tersebut memiliki konsep pengelolaan sampah yaitu pemilahan, pengomposan dan pemasaran namun sampai saat ini KBWM tersebut belum bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. Hal tersebut dikarenakan kurangnya bantuan dan dorongan dari pemerintah serta lemahnya inisiatif dan control warga terhadap kebijakan (anggaran) pemerintah. Dengan adanya pendampingan dari Yayasan Inisiatif melalui lokalatih 2 dan 3 merupakan pengalaman yang sangat berharga karena saya memperoleh kesempatan untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman tentang keorganisasian, advokasi, MPKT, kebijakan pemerintah dan berbagai informasi tentang keusakan lingkungan disekitar Das Citarum. Hal tersebut mendorong saya untuk bergabung dengan PSDK (Pusat Sumber Daya Comunitas). Dengan melihat tujuan, fungsi dan peran PSDK saya yakin PSDK dapat menjadi wadah untuk menampung inisiatif warga dan control warga terhadap kebijakan (anggaran) pemerintah. Namun selama 5 bulan saya bergabung di PSDK, ada beberapa hal yang menjadi kelemahan di PSDK yaitu masih kurangnya kerjasama dan koordinasi diantara anggota PSDK. Dan tidak hanya di PSDK wilayah, untuk ruang gerak di komunitas local pun saya merasa kesulitan dalam mencari teman untuk bisa bekerjasama, hal tersebut dikarenakan temanteman memiliki kesibukan dan aktivitas masing-masing. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena PSDK baru terbentuk 64
selama 5 bulan dan ibarat embrio yang baru terbentuk dalam waktu yang singkat tersebut tentu saja banyak sekali kelemahan dan kekurangan dalam kinerja PSDK. Meskipun PSDK baru terbentuk tetapi banyak sekali program dan rencana tindak lanjut (RTL) yang telah direncanakan di PSDK. Misalnya saja dari hasil lokalatih tiga yang di laksanakan selama tiga hari di Cikutra, PSDK telah merumuskan rencana-rencana program kerja yang akan dilakukan baik diwilayah maupun di tiap komunitas. Adapun rencana program yang harus dikerjakan oleh PSDK untuk kegiatan wilayah yang harus dikerjakan dibulan agustus yaitu nyusur Citarum, public hearing dan ditambah dengan beberapa program yang akan dilakukan ditiap komunitas. Dalam pengerjaannya ternyata ada beberapa program yang mengalami pengunduran waktu dan belum terlaksanakan baik program di wilayah maupun di komunitas. Sampai bulan september ini program wilayah yang baru terealisasikan yaitu public hearing yang dilaksanakan dibulan agustus. Untuk melaksanakan program dikomunitas terkadang kawan-kawan dikomunitas terbagi waktunya dengan program di wilayah. Hal tersebut terasa sekali terutama di comunitas Rancibu, di tambah dengan kurangnya tenaga-tenaga sukarela (orang-orang kompeten/aktivis-aktivis lingkungan yaitu orang-orang yang benar-benar rela meluangkan waktunya dan pikirannya untuk kegiatan di PSDK komunitas maupun wilayah). Namun meskipun demikian ada beberapa komunitas yang telah terbentuk kerjasama yang baik diantara mereka misalnya saja comunitas Gunung Wayang dan Majalaya, dengan kerja sama yang baik diantara mereka terbukti pada komunitas tersebut telah banyak sekali rencana program dan rencana tindak lanjut yang telah terealisasi dan terbukti juga dengan terbentuknya kerjasama dengan pihak pemerintah. Misalnya saja untuk komunitas Gunung wayang telah berhasil membentuk suatu kumpulan yang bernama MPSA (Masyarakat Peduli Sumber Air) dan mereka berhasil beraudensi dan kerjasama dengan pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Hidup Kabupaten Bandung. Dan untuk komunitas Majalaya mereka telah berhasil menampung aspirasi masyarakat disana dalam wadah yang bernama KPL (Komunitas Peduli Lingkungan) dan mereka telah berhasil beraudensi dan kerjasama dengan pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. Untuk membentuk kerjasama yang baik itu perlu penguatan komunitas baik di PSDK wilayah maupun di PSDK local. Pengembangan PSDK perlu dilakukan lebih banyak lagi yaitu dengan mencari dan mengajak orangorang (aktivis local) yang benar-benar kompeten untuk bisa diajak 65
kerjasama dan mengorganisir diri di PSDK. Memang tidak gampang mengajak dan menyadarkan orang untuk berpartisipasi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Untuk itu para pendamping di Yayasan Inisiatif perlu menjembatani hal tersebut, karena bagaimana pun juga dalam suatu organisasi kerjasama yang baik sangat menentukan dalam mencapai suatu keberhasilan. Dalam menjalankan tugas di PSDK saya dan teman-teman tidak terlepas dari kesibukan dan aktivitas masing-masing dan hal tersebut akan menjadi kendala dalam kelancaran menjalankan tugas di PSDK. Saya menyadari bahwa dalam melaksanakan tugas, disamping memberikan waktunya sebaiknya orang juga memberikan pikiran dan tenaganya. Yang terbaik ialah, melibatkan perasaannya, karena kreativitas, inovasi atau gagasangagasan baru hanya dapat muncul dari seseorang yang dalam melaksanakan tugasnya itu, sekaligus memberikan waktu, pikiran, tenaga dan perasaannya. Bagaimanapun juga membentuk kerjasama dan kesolidan perlu dipupuk Sejas dini di tubuh PSDK. Namun yang paling penting ádalah membentuk kerjasama dan kesolidan baik di internal PSDK maupun eksternal. Karena dengan membentuk kerjasama atau berjaringan dengan pihak luar baik dengan masyarakat ataupun dengan pemerintahan merupakan langkah awal yang paling penting untuk keberlangsungan dan masa depan PSDK. Suatu hal yang harus dilakukan PSDK sekarang ini untuk kepentingan dimasa yang akan datang, dimana PSDK harus berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan baik dari warga maupun pemerintah. Hal tersebut harus menjadi catatan penting dan dipikirkan oleh PSDK. Dengan terbentuknya kerjasama yang baik di PSDK baik internal maupun eksternal, besar harapan saya PSDK dimasa yang akan datang akan dapat menjadi wadah untuk menampung inisiatif warga dan control warga terhadap kebijakan (anggaran) pemerintah yang tidak hanya untuk isu lingkungan saja tetapi pada isu-isu permasalahan lainnya yang menyangkut kepentingan warga dan pemerintah. Untuk terwujudnya keterlibatan warga dalam suatu perencanaan karena bagaimanapun juga keberhasilan suatu perencanaan pembangunan adalah yang benar-benar dapat mewujudkan aspirasi masyarakat. Sehingga menjadi suatu perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.
66
Praksis Partisipasi Masyarakat Bale Endah dan Katapang PEMBERDAYAAN POTENSI LOKAL PERSOALAN LINGKUNGAN Oleh : M. Jefry Rohman
MENJAWAB
Permasalahan lingkungan dewasa ini cukup memprihatinkan, bahkan bisa dikatakan, kondisinya sekarang berada dalam fase Sakaratul Maut. Kenapa tidak, dari berbagai isu yang ada, mulai dari rusaknya sumber air (sungai) dengan timbunan limbah domestik bahkan limbah pabrik yang sampai sekarang pemerintah kewalahan dalam mengatasinya. “Lingkaran Syetan” permasalahan lahan kritis seperti hutan/gunung di beberapa daerah di Jawa barat bahkan Indonesia dinilai berbagai pihak sulit untuk mencari benang merahnya. Di Propinsi Jawa barat saja hanya tersisa 30 % atau mencapai (?) hektar hutan yang masih bisa diselamatkan dari luas hutan yang dimiliki Propinsi Jawa barat dan Banten seluas @ 743.233,36 hektar yang terbagi pada : Hutan Konservasi 68.471,31 hektar, Hutan Lindung (HL) 251.115,60 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 171.015,05 hektar dan Hutan Produksi (HP) 252.631,40 hektar (sumber : Dinas Kehutanan Jabar) bahkan disinyalir hutan lindung tempatnya para binatang langka pun ikut rusak juga. Permasalahan lahan kritis dibeberapa daerah memang menjadi menu aktual dalam berbagai kegiatan diskusi baik yang diadakan oleh kalangan pemerhati lingkungan maupun pemerintah. Namun dari berbagai langkah/ cara yang ditempuh pemerintah ataupun pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menanggulangi permasalahan lingkungan seakan menemukan batu sandungan dan kendala yang sangat komplek. Dari kenyataan diatas, mungkin beberapa tahun ke depan kita tidak bisa merasakan lagi udara sejuknya sekitar hutan, kita tidak mungkin bisa lagi mendapatkan air jernih yang mudah didapat, muncul langsung dari dalam tanah atau mungkin kita hanya bisa melihat pemandangan hutan/ pegunungan kita layaknya pada pasir yang sulit mencari oasis (mata air) tatkala kita kehausan. Dari permasalahan diatas, perlu ada tindakan nyata secara sinergis dimana kebijakan-kebijakan yang ada harus diimplementasikan di lapangan. Berbagai pelanggaran-pelanggaran perusakan lingkungan harus ditindak 67
tegas tanpa pandang bulu. Berbagai potensi kepedulian dari masyarakat harus dirangkul dan diajak kerjasama itu pun kalau kita masing merasa memiliki dan butuh akan pentingnya fungsi hutan dan lingkungan yang seimbang. Tetapi akan sama kejadiannya kalau paradigma kita dalam memperlakukan kekayaan alam hanya mengutamakan sumber devisa negara (profit oriented) tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkannya atau kita masing beranggapan kalau hutan kita itu sebagai lahan garapan yang bisa diperdagangkan atau dialih fungsikan sebagai lahan pertanian. Artinya jangan lagi ada tindakan mementingkan segelintir pengusaha-pengusaha yang tidak punya i`tikad baik bagi pemulihan kondisi lingkungan. Selaras dengan azas Partisipatif, Transparansi dan Akuntabilitas, mungkin tak berlebihan kalau masyarakat/rakyat mulai sadar dan tergugah rasa kepeduliannya apalagi warga masyarakat lokal/komunitas yang langsung merasakan kompleknya permasalahan lingkungan dewasa ini. Munculnya gerakan kepedulian komunitas bisa disebabkan beberapa faktor dan motif yang timbul; Pertama ada yang berinisiatif sendiri atau kolektif yang memang tulus, ikhlas, respek terhadap permasalahan yang ada. Kedua, yang diajak teman atau rekannya. Ketiga, bahkan ada individu/kelompok yang azas kepeduliannya itu semata-mata mencari penghidupan sehari-hari atau mendapatkan proyek semata dan masih banyak lagi. Namun dengan dalih serta motif apapun, seseorang berhak mencurahkan perhatian, tenaga dan bahkan materilnya yang terpenting adalah ada tindakan nyata di lapangan serta satu sama lain saling bahu membahu yang terintegrasi sesuai dengan skilnya masing-masing. Gerakan-gerakan kepedulian masyarakat atas berbagai permasalahan yang ada, dari waktu kewaktu memang perkembangannya tidak sedikit, khusus organisasi-organisasi yang bergerak dalam penanganan permasalahan lingkungan. Namun dari berbagai Ormas dan LSM yang ada, sangat minim sekali memfokuskan perhatiannya atas program-program pada pengembangan potensi lokal/komunitas yang pada akhirnya potensi lokal tesebut dijadikan pelaku utama atas berbagai permasalahan yang dihadapi dan dirasakannya atau dengan kata lain keberadaan LSM/Ormas tersebut lebih menitik beratkan program-program yang digulirkan sendiri tanpa ada pihak masyarakat didalamnya, sebagai contoh; manakala organisasi tersebut melakukan aksinya dilapangan masyarakat hanya jadi media pengamat dan cenderung jadi penonton tatkala aksi atau proyek itu dijalankan ditengah-tengah mereka yang paling ironis banyak NGO atau 68
Lembaga Non Pemerintah menitik beratkan pada program pemberdayaan masyarakat namun dari kenyataan dilapangan program ini kurang optimal dijalankan. Bicara tentang pemberdayaan masyarakat, dalam kamus bahasa Indonesia (Badudu Zain, 1994) mengartikan kata berdaya yaitu : berkemampuan atau kesanggupan atau berakal atau memiliki muslihat untuk mengatasi sesuatu sehingga kata pemberdayaan memiliki makna upaya untuk meningkatkan kemampuan, kesanggupan atau akal untuk mengatasi sesuatu masalah/persoalan. Keberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dicirikan dengan timbulnya kesadaran kemampun dan kemandirian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Di alam demokrasi ini, kata pemberdayaan masyarakat memang terus dihembuskan oleh berbagai kalangan khususnya pihak-pihak yang kritis maupun dari pihak pemerintah sendiri dengan tujuan menjalankan roda pembangunan selaras dengan azas partisipatif. Namun makna pemberdayaan ini tidak akan berjalan sesuai yang kita inginkan kalau masyarakatnya/rakyat itu sendiri tidak disiapkan dan diarahkan. Untuk sebagian masyarakat mungkin inisiatif-inisiatif untuk bisa berdaya telah tumbuh dan teruji kekuatannya bahkan banyak dari kalangan pemerintah seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengakui bahwa kearifan budaya lokal ternyata sanggup menjaga tatanan kehidupan sosial adat istiadat setempat maupun keseimbangan lingkungan karena dikalangan mereka masih tertanam budaya Pamali (tabu) seperti ; Masyarakat Pedalaman Baduy di Propinsi Banten, Masyarakat Dayak di Kalimantan, Masyarakat Asmat di Papua dll. Untuk masyarakat sekitar perkotaan, budaya tabu ini telah sirna dan hilang dan sifat kegotong royongan masyarakat telah perlahan-lahan mulai luntur seiring dengan robahnya tatanan hidup bermasyarakat di kalangan mereka. Namun tidak keseluruan masyarakat yang bersifat begitu artinya masih banyak dari kalangan masyarakat perkotaan yang mau berbagi dengan sesamanya tergantung bagaimana cara kita mengembangkannya dan mesti diingat bahwa masyarakat masih banyak keterbatasan. Sebuah kasus mungkin jadi satu gambaran manakala pemberdayaan masyarakat perkotaan masih banyak kendala; Di suatu tempat, tepatnya Kp. Juntihilir RT 01/04a Desa Sangkan Hurip Kecamatan Katapang Kab. Bandung, persoalan yang muncul di Kampung ini adalah permasalahan sampah domestik warga yang diinisiasi oleh salah 69
seorang wakil ketua RW dibantu dengan salah seorang warga yang lain bahu-membahu memikirkan bagaimana cara mengatasi permasalahan dan cara penanggulangan sampah domestik tersebut. Satu persatu masalah dapat terpecahkan dari mulai tahapan sosialisai ke warga, penentuan lokasi yang diperuntukan sebagai sarana TPSS sampai pada tahap pendirian bangunannya walaupun hanya berdindingkan bambu yang sangat sederhana, sampai pada tahap pembentukan tim pengelola. Namun semangat pemberdayaan mereka terganjal suatu masalah yaitu gerobak pengangkut sampah yang dihasilkan dari bantuan salah satu lembaga peduli lingkungan ini tidak bisa dimanfaatkan/dipakai secara maksimal karena salah salah satu gelindingnya (roda) rusak. Berbagai cara pun ditempuh untuk dapat mengganti gelindingnya dengan yang baru, namun hasilnya sangat menyedihkan karena warga dan institusi pemerintahan desa setempat yang didatangi oleh tim belum bisa membantu permasalahan tersebut Pengalaman Pribadi dalam Menelaah dan mengimplementasikan Makna Pemberdayaan Program pengembangan sumber daya komunitas atau community resources center yang digulirkan Yayasan Inisiatif, memang kalau saya cermati serta alami langsung, mungkin bisa dibilang salah satu metode pemberdayaan yang efektif dan terarah baik ditinjau dari segi penerapan konsep-konsep yang dijalankan di lapangan maupun sasaran serta tujuan yang dicapai dari program ini. Patut di garis bawahi dari program pengembangan sumber daya ini yaitu; cara atau metode mengarahkan langsung potensi individu/ kelompok tersebut sebagai pemeran utama dalam setiap pergerakannya dengan harapan mereka bisa berdaya, berkemampuan dalam menjawab dan mengatasi masalah yang dihadapinya. Sebelum individu/kelompok potensial yang terjaring dari tahapan assesment diberbagai komunitas ini melakukan aktivitas dilingkungannya masing–masing, mereka diberikan bekal wawasan pengetahuan serta keterampilan - keterampilan yang dibutuhkan mereka dalam format Lokalatih. Dari sinilah saya mulai tertarik dan menikmati kegiatan-kegiatan yang dijalankan dilapangan yang mana selain mendapatkan suguhansuguhan wawasan serta keterampilan baik yang saya dapatkan dari bangku lokalatih maupun dari pengalaman di lapangan secara langsung dan yang paling saya bersemangat dalam program ini yaitu; menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang punya hak untuk bisa mencurahkan perhatian, waktu/kesempatan, wawasan serta pengalaman yang saya miliki dalam 70
rangka mengatasi masalah yang saya hadapi di lingkungan saya sendiri. Dari berbagai pengalaman kegiatan yang dilakukan oleh saya serta rekanrekan dari komunitas lain dalam Program Community Resources Center ini adalah, ikut serta dalam forum diskusi intern memikirkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menjawab permasalahan yang ada khususnya menyangkut permasalahan lingkungan, audensi dan berinteraksi langsung dengan berbagai instansi pemerintah serta dinas terkait yang sebelumnya tidak saya alami, ikut serta dalam tahapan program pengorganisasian massa yang memang belum tersentuh dalam program ini dengan tujuan membentuk dan mengembangkan potensi sebagai modal sumber daya komunitas yang bisa dikembangkan baik sebagai pihak yang kritis terhadap situasi yang berkembang ataupun sebagai pelaku utama dalam mencegah dan memulihkan kondisi lingkungan. Kesimpulan Di halaman sebelumnya disebutkan kenapa strategi pemberdayaan sulit tumbuh dan berkembang dimasyarakat bahkan hanya sebagai slogan semata? Sebuah kasus mungkin menjadi Ibrah atau gambaran yang bisa kita pelajari menjadi bahan evaluasi bahwa makna pemberdayaan tidak akan berkembang di masyarakat kalau semua pihak terkait dalam hal ini pemerintah belum bisa memahami bahwa mereka (rakyat) masih banyak kelemahan serta keterbatasan terlebih semangat kegotong-royongan sudah mulai pudar berganti dengan sifat egoisme yang tumbuh di kalangan mereka dan yang terpenting adalah kebutuhan yang sifatnya finansial/dana jadi kendala yang mesti dipahami oleh pemerintah.
71
72
73
Praksis Partisipasi Masyarakat Dayeuh Kolot dan Bale Endah BANJIR, BANJIR LALU BANJIR… Mengungkap Realitas yang Ada di Komunitas Korban Banjir serta Hambatan dalam Pengembangan PSDK Oleh: M. Arif Nurdwiansyah
Gambaran Wilayah Jika kita mendatangi wilayah Bojong Citepus tepatnya RW 09, bisa dipastikan akan sulit bagi yang baru datang. Karena wilayah ini hanya memiliki satu akses masuk dari jalan utama (jalan Palasari) berupa gang dengan lebar jalan tidak lebih dari 4 meter, hanya cukup untuk satu mobil saja. Gang ini juga dihimpit oleh pabrik. Pemandangan sepanjang gang hingga ke pemukiman hanya ada tembok pembatas pabrik dan sebuah selokan. Untuk ukuran pemukiman di perkotaan, pemukiman ini cukup padat, hampir tidak ada sama sekali halaman di setiap rumah. Gang-gang di pemukiman tidak lebih dari 1 meter saja. Kebanyakan rumah di Bojong Citepus dibangun lebih tinggi dari jalan/gang dan bertingkat. Hal ini untuk menjaga hunian dari banjir yang sering datang. Banjir, ah biasa.. Banjir di Bojong Citepus selalu terjadi setiap tahun, bahkan ada ujaran dari warga ‘Sanajan di dieu teu hujan, tapi hujan di girang, pasti ka dieumah banjir’. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena selain berada di kawasan rendah, juga posisi pemukiman yang hampir sama dengan citarum bahkan lebih rendah. Lihat saja benteng pembatas Citarum yang lebih tinggi dari pemukiman. Pada tahun 2005 saja sejak bulan januari telah terjadi setidaknya 5 kali banjir kecil dengan ketinggian air sekitar 30-100g cm. Saking seringnya banjir, jika banjir kecil sudah dianggap wajar, dan warga tidak mengungsi. Selain curah hujan dan wilayah yang lebih rendah, menurut warga banjir juga disebabkan oleh sedimentasi di Citarum cukup parah, air membawa sampah dan lumpur dari hulu, belum lagi limbah-limbah industri yang juga menyumbang pencemaran Citarum. Sampah yang menumpuk, menghambat aliran air. Sampah ini bukan saja dari pemukiman warga tetapi juga dari hulu, tumpukan sampah yang paling kentara pada banjir bulan februari lalu, berada di sungai Citepus. Tumpukan sampah yang 74
menggenangi sungai sampai 100 m. Normalisasi daerah hulu, mengakibatkan aliran sungai makin cepat dan menumpuk di hilir, membawa sedimentasi yang tinggi. Dari semua itu warga hanya melihat kondisi citarum yang terus mendangkal, sedimentasi yang tinggi, hingga ketika air surut, citarum hanya berair sepinggang. Sekilas Pandangan Warga ‘banjir adalah masalah atau musibah’ ? Dalam pandangan warga terhadap banjir ini, memang beraneka ragam. Meski paling umum yang sering penulis dengar adalah banjir ini takdir. Bahkan ada yang sampai mengatakan ‘mening banjir, loba nu datang’... tetapi jika ditanya lebih jauh warga cukup tahu banwa banjir sering datang dan tidak ada penanganan yang cukup serius dari pemerintah. Paradigma penanganan bencana di sisi pemerintah memang masih banyak pada mitigasi, masih belum ada kebijakan penanganan bencana yang bersifat preparadness. Belum muncul inisiatif dari pemerintah untuk mencoba agar bencana itu tidak terjadi lagi. Banjir sebagai kesalahan kebijakan ? Mengutip artikel walhi ‘ bencana yang terencana’, hal ini bisa jadi terjadi juga pada Citarum. Normalisasi mungkin benar bukan sebagai penanganan banjir, proyek yang ada, mulai dari normalisasi citarum dan sub-DAS-nya, ternyata juga berdampak negative. Normalisasi di daerah Bojong Soang, Sapan hingga Ranca Kasumba ternyata juga berdampak makin sering banjir di daerah hilir seperti Bojong Citepus ini. Lain juga ceritanya dengan kampung ciputat dan kampung muara di desa andir kecamatan baleendah,yang diapit tiga sungai sekaligus, citarum sebelah utara, ciputat sebelah timur yang bermuara ke citarum dan aliran sungai.... yang juga bermuara ke citarum. Hingga praktis, banjir di wilayah tersbut bukan hanya dari citarum tetapi juga dari kedua aliran ini. Pada tahun 2004, ada rencana membuat folder sebagai penampungan air buangan dari warga dan dianggap dapat mengendalikan banjir. Dalam realitasnya, teknis pembangunan folder tersebut berjalan lambat. Yang semula dijanjikan akan selesai dalam jangka waktu 5-6 bulan tetapi hingga banjir datang pada bulan februari lalu, folder tersebut belum selesai. Dari tiga folder yang dibangun, yaitu di kp. Parung halang, kp. Citepus dan 75
kp. Bojong citepus, hanya di kp. Parung halang saja yang bisa dianggap telah selesai. Dan konon mulai dari bentuk folder, volume hingga bentuk jadi itu berbeda dari rancangan awalnya. Ada fenomena menarik yang ditemukan penulis ketika mencoba mencari tahu tentang pembangunan folder di parung halang, salah seorang warga yang rumahnya berdekatan dengan folder menyatakan bahwa ketika rembug warga membahas pembangunan folder tersebut sudah terjadi konflik. Hal ini dimulai ketika membahas pembebasan lahan. Pada mulanya, menurut penuturan beliau, bentuk folder tersebut adalah oval, tetapi tibatiba menjadi kurva. Dan entah kebetulan atau tidak, ketika berubah bentuk tersebut, ada seorang warga yang memiliki dua rumah dan masuk pada daerah rencana pembebasan. Banyak warga menganggap ada permainan pada proses itu, karena juga kebetulan orang yang memiliki dua rumah itu adalah salah seorang yang cukup vokal dalam prose rembug tersebut. Apapun dan bagaimanapun konflik dari pembangunan itu terjadi, tapi yang pasti, ternyata ketika banjir terjadi di parung halang sendiri, folder tersebut tidak mampu mengatasi luapan air, mesin yang kecil dan hanya satu-satunya bukan berfungsi mengalirkan air ke citarum malah terendam!. Warga sampai harus meminta bantuan 4 mesin untuk memompa air dan membobol tanggul. Pembobolan tanggul juga dilakukan oleh warga citepus dan bojong citepus. Hal ini dilakukan karena aliran dari warga terhambat ke citarum, padahal citarum telah surut. Hambatan dalam Mengembangkan dan Mendorong Warga Ketika prose asesment lanjutan sedang berjalan, banjir datang bahkan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya mitigasi dilakukan dengan mengorganisir sumberdaya luar, dalam hal ini, kawan-kawan dikampus diikutsertakan. Dalam kondisi banjir itulah beberapa fase riset dilakukan, pada proses ini mau tidak mau memang terhambat oleh kondisi alam, warga lebih banyak melakukan kegiatan berbenah dan pemulihan lingkungan rumah dari sisa-sisa kotoran, sampah dan lumpur yang terbawa banjir. Tetapi untuk beberapa kegitan riset seperti pembuatan peta genangan bisa lebih up date karena baru saja terjadi. Pada mitigasi yang dilakukan kawan-kawan kampus, terlihat bagaimana 76
respon warga terhadap banjir itu sendiri. Selain tentunya kesal dan menggerutu, warga juga senang ketika banyak yang datang memberikan bantuan, tidak jarang adu mulut, bahkan sampai kontak fisik terjadi karena permasalahan pembagian jatah bantuan. Tingkat ekspektasi yang tinggi terhadap lembaga atau personal dari luar juga terlihat jelas. Menganggap lembaga manapun yang datang akan memberi bantuan baik natura maupun innatura. Pada tingkat ekspektasi ini sulit juga menjelaskan posisi dan apa yang akan dilakukan di sana. Dari tingkat ekspektasi yang tinggi ini bahkan bisa berubah menjadi kecurigaan yang tidak beralasan. Dari hal ini menarik penulis untuk melakukan investigasi, kenapa hal ini terjadi, dan akhirnya diketahui bahwa sebenarnya terjadi eskalasi politik lokal yang cukup cepat. Situasi pasca banjir dan tingkat kejenuhan warga dimanfaatkan secara langsug maupun tidak langsung oleh kelompok tertentu. Selain kejadian-kejadian yang sifatnya khusus di atas, juga menjadi hal yang klasik adalah ketidak pedulian wargauntuk mengubah kondisi yang ada. Hal ini disebabkan tingkat kejenuhan yang telah melebihi ambang batas, hingga terkesan warga mengambil kesimpulan dan langkah-langkah yang tidak terarah dengan baik. Lain dari hal itu, faktor pekerjaan yang didominasi oleh pekerja pabrik. Ketika banjir sekalipun, pabrik tidak tutup dan hanya memberi toleransi 1-2 hari saja untuk tidal masuk. Selebihnya ketika banjir masih menggenang sekalipun, banyak warga tetap bekerja atau harus bekerja, hinggga banyak yang tidak memperdulikan kondisi tetapi lebih memilih untuk pindah sementara dan tidak terganggung kerjanya. Fenomena, ini telah menjadi fenomena yang wajar di sana, ketika banjir, mereka mengungsi ke rumah-rumah saudara atau sengaja mengontrak di wilayah lain. Selain alasan agar tetap bisa bekerja, juga karena rumah yang telah tergenangi banjir, tidak bisa langsung ditempati ketika banjir surut, karena bau busuk dari lumpur setidaknya baru hilang satu minggu. Bagi mereka, lebih baik mencari dan konsentrasi pada pekerjaan dari pada memikirkan masalah banjir yang terus datang setiap tahun. Anggapan bahwa banjir adalah bencana dan tidak bisa dirubah, cukup menghambat pada proses ‘menggerakkan’, karena untuk ‘bangkit’ saja sulit. Ditambah masih banyaknya warga yang menganggur, meski daerah tersebut termasuk kawasan pengembangan industri, tetapi pihak pabrik kebanyakan hanya menerima tenaga kontrak dan prioritas wanita, belum lagi kasuskasus ketenaga kerjaan yang klasik seperti calon tenaga kerja yang melalui 77
calo, pemalsuan KTP, dan lainnya. Bagi warga -terutama pemuda-, masalah utama yang mereka hadapi bukanlah banjir, tetapi akses pendidikan dan pekerjaan. Masalah yang mereka hadapi tidak bisa begitu saja dpaksakan dan dialihkan atau diarahkan pada isu banir serta merta. Memang harus dicari sebuah jembatan antara untuk mengatasi hal tersebut. Paradigma instan, cepat dapat kerja dan hasilkan uang, juga menghambat pada proses mencari jembatan antara. Karena isu banjir di Bojong Citepus memang tidak langsung bersentuhan dengan aspek ekonomi mereka, ini sangat berlainan dengan kondisi di wilayah pengembangan PSDK lainnya. Jikapun bisa ditarik garis tegas antara isu dan kebutuhan setempat, hal itu akan kembali pada tinggkat ekspektasi yang tinggi. Memang ternyata di wilayah ini, telah banyak NGO dan lembaga lain yang masuk dan mencoba mengembangkan pemberdayaan masyarakat di sana. Tetapi rupanya banyak model-model pendekatan yang berekses pada tingkat ekspektasi tinggi ini. Misalnya ketika sebuah NGO yang bergerak dalam bidang pemberdayaan ekonomi, memberikan bantuan modal dan pelatihan, setiap pertemuan ada perdiem, terus menerus, hingga menjadi kebiasaan bagi mereka, ketika ada lembaga lain yang masuk maka dalam frame mereka pasti lembaga ini akan memberi uang atau ada proyek. Sekalipun warga setempat yang peduli dan sadar bahwa harus ada yang dirubah, tak luput dari kesulitan di atas (selain tentunya kesibukan mereka untuk bekerja). Sindiran tak luput diterima, meski telah di berikan berbagai penjelasan, tetap saja tidak mudah masuk. Ada memang beberapa kelompok warga yang juga sadar tetapi mereka lebih memilih untuk diam dengan alasan lebih baik bekerja, ‘puguh duitna’. Melihat kondisi yang terjadi, pengembangan PSDK di wilayah tersebut, tidak bisa dipaksakan begitu saja. Tapi yang pasti, kesadaran terhadap kondisi yang ada dan harus dirubah setidaknya telah muncul pada beberapa personal, dan harus terus bergulis dan menyebar. Memang benar, bahwa bencana adalah kekuasaan dari pencipta, tetapi jika keyakinan itu tidak diiringi dengan semangat untuk merubah keadaan apakah mungkin selalu begitu ?, bukankah Tuhan tidak akan merubah suatu kaum jika kaum itu sendiri hanya berdiam diri ?. Wassalam...
78
Praksis Partisipasi Masyarakat Dayeuh Kolot dan Bale Endah AWAN MENDUNG KALI CITARUM Oleh: Rival Zaelani
Awan mendung, hitam, menebal. Hujan akan turun kembali mengguyur gelish yang memang telah basah sejak hujan tadi malam. Bulan Februari 2005 .......... Aku masih berdiri di pinggiran sempadan sungai citarum yang bulan Februari 2005 kemarin meluap meludahkan kotoran yang hitam pekat sehitam aspal jalanan yang berasal dari pabrik industri yang kerap mengalirkan limbah ke badan sungai citarum, juga sampah-sampah domestik yang setiap hari mengambang, berenang, menyusuri monumen panjang sebuah peradaban ini, ya.... peradaban manusia yang panjang sepanjang 270 km kini hanya sebuah monumen. Seperi itulah keberadaan Citarum saat ini. Bahkan Citarum yang seharusnya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat disekitarnya, dengan terjadinya banjir pada bulan Februari 2005 kemarin, yang menurut warga setempat banjir ini merpakan banjir terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah terjadinya banjir sejak tahun 1967/1968. Penderitaan akibat banjir ini dialami oleh warga kampung Bojong Citepus dan warga kampung ciputat, yang merupakan wilayah studi dari program CRC/PSDK1. Disela-sela mitigasi banjir temanku yang bernama Hendi sebagai aktivis lokal dari Kp. Bj Citepus yang didampingi oleh Kang Arif dari Yayasan Inisiatif2 sebagai assesor melakukan aktivitas Riset Partisipatif3 di Kp. Bj Citepus, tepatnya di RW 09 Kp. Bj Citepus desa Cangkuang Wetan Kecamatan Dayeuh Kolot yang bertujuan untuk ; 1. Mengidentifikasi peta genangan banjir. 2. Mengidentifikasi alur sejarah banjir. 3. Mengidentifikasi potensidan upaya serta harapan komunitas. 4. Mengidentifikasi keterkaitan sebab-akibat. Banjir adalah merupakan sebuah bencana yang tak bisa kita hindari. Ya, kebanyakan orang bicara seperti itu, tapi lain halnya dengan warga 79
kampung bojong citepus maupun warga kampung ciputat, mereka beranggapan bahwa tidak akan terjadi banjir jika tanpa sebab yang pasti. Berdasarkan dari hasil Riset Partisipatif, warga beranggapan bahwa banjir ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya ; 1. Tingginya curah hujan. 2. Sampah yang mrnumpuk membuat aliran tidak lancar dan mrnambah sedimentasi. 3. Kebijakan pemerintah yang kurang efektif mengenai proyek normalisasi di hulu Citarum,sedangkan di daerah hilir dan sekitarnya semakin dangkal karena tidak adapengerukan. 4. Proyek Folder di kampung Bojong Citepus yang kurang tepat, karena menghambat arus air dari pemukiman karena tertahan oleh Folder tersebut. Beguru dari pengalaman, masyarakat kampung bojong citepus dan kampung Ciputat saat ini telah memahami kondisi lingkungannya dengan baik, sehingga mereka mempunyai cara sendiri tentang upaya penanggulangan banjir tersebut. Adapun upaya-upaya yang pernah mereka usulkan pada pemerintah adalah pengerukan citarum yang telah diusulkan langsung oleh warga kepada bupati disaat sedang melakukan peninjauan daerah korban banjir di kampung ciputat. Sedangkan untuk warga kampung Bojong Citepus, mereka telah membuat 3 OPSI4 yaitu ; Pengerukan, Relokasi, Dijual jika rela. Entah berapa desa yang terendam banjir bulan februari kemarin, atau berapa ratus rumah yang roboh karena luapan emosi dari citarum yang sdeang protes ini. Yang pasti masih terngiang di telingaku keluh kesah warga Kampung ciputat yang setiap tahunnya selalu dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit dari sungai citarum yang selalu meluap memporak porandakan mimpi-mimpi indah di tengah malam. “Ibu mah ngaraos kasiksa pisan atuh jang ku kaayaan banjir wae kieu teh, unggal taun teu tiasa tenang”. Begitulah keluhan seorang ibu warga kampung Ciputat ketika saya wawancarai disaat melakukan Riset Partisipatif. Ya, mungkin benar citarum sedang protes, seperti yang telah aku baca di buletin BALAKA5 edisi perdana, agustus 2005 disana tertulis bahwa banjir adalah akibat dari keseluruan permasalahan yang ada di DAS Citarum, baik dari penggundulan hutan, limbah maupun sampah, semuanya menyumbang 80
kesakitan yang diderita citarum. Maka Citarum protes ......... Angin dipinggiran sungai Citarum bertiup semakin kencang menggiring kumpulan-kumpulan awan hitam berkumpul menjadi sati diatas langit sungai citarum, mengusir seluruh aktivitas yang ada disekitarnya. Burung yang bernyanyi riang diatas kabel listrik beterbangan mencari tempat untuk berteduh, kupu-kupu yang sedang asyik mencumbui kembang tergesa-gesa untuk pulang, dan pak Amim pun yang dari pagi tadi asyik mencangkul di bantaran sungai pergi entah kemana meninggalkan sisa-sisa cangkulannya untuk besok. Langit kembali mendung seperti saat bulan Februari kemarin, dan siap untuk merubah ketenangan serta keriangan menjadi kegelisahan, kepanikan serta kesedihan. Hujan akan turun berarti banjir akan kembali menggenangi perkampungan di DAS Citarum. Bersama tiupan angin Fikiranku terbang menembus awan mendung di atas sungai citarum menyusuri pengalamanku yang telah lalu. Aku tersentak, ah sudah sembilan bulan lamanya sejak dari aktivitas riset partisipatif yang aku dan teman-teman lakukan di desa Rancamanyar, tapi sementara riset tersebut hanya bisa menjadi beberapa lembar laporan riset partisipatif saja yang saat ini masih tersimpan di tumpukan buku yang paling bawah di lemari kamarku. Pikiranku kembali kemasa sembilan bulan yang telah lalu, disaat aku, Atin dan Jefry melakukan riset di desa Rancamanyar, tepatnya di Kampung penclut Desa rancamanyar Kecamatan Baleendah yang merupakan kampung halamanku sendiri. Dengan riset ini kami sangat berharap bahwa hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi bagi program KBWM yang merupakan aktivitas warga yang sudah berjalan tahun sejak tahun 2003. KBWM (Kawasan bersih Warga Mandiri) adalah merupakan sebuah program pengelolaan sampah terpadu berbasis warga yang diinisiasi oleh Warga Peduli Lingkungan (WPL), Yang saatini telah berjalan dibeberapa desa di Provinsi Jawa Barat. Program KBWM inilah yang pada waktu itu menjadi sasaran riset yang aku lakukan pada bulan Januari 2005 bersama teman-teman.waktu itu adalah waktu pertama kali aku dikenalkan pada pada program PSDK/CRC Oleh saudara Ramdan dari Yayasan inisiatif......... 81
82
83
Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang REFLEKSI PENDAMPINGAN KOMUNITAS GUNUNG WAYANG Oleh: Juandi
A. Mengenal Wilayah, Masalah Citarum dan Aktivis komunitasnya. Gunung Wayang tidak sesohor gunung – gunung lain di Jawa Barat seperti Gunung Ciremai, Gunung Gede – Pangrango atau Gunung Salak. Selangkangan gunung berketinggian 2.181 meter ini menerbitkan mata air – mata air yang kemudian berhimpun menjadi telaga Cisanti. Sebuah selokan besarpun mengalir dari telaga ini. Selokan besar ini lah yang kemudian di kenal sebagai Sungai Citarum. Kelak, setelah berhimpun dengan aliran air dari ribuan mata air lain di sepanjang daerah aliranya sejauh 269 KM, sungai ini menjadi sungai terpanjang dan tersohor di Jawa Barat. Gunung Wayang terletak di dalam wilayah administrasi dua Kecamatan di Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pangalengan. Lokasi program sendiri terletak di Kecamatan Kertasari, tepatnya di Desa Tarumajaya dan Desa Cibeureum. Keduanya merupakan desa terdekat ke lokasi Zona Inti Daerah Aliran Sungai ( DAS ) Hulu Citarum. Dinamika sosial ekonomi masyarakatnya sangat berpengaruh terhadap kondisi hutan di areal ini. Secara Keseluruhan Kecamatan Kertasari membawahi Desa – Desa Sukapura, Cibeureum, Tarumajaya, Cikembang, Cihawuk dan Santosa. Adapun nama Kertasari diambil dari nama daerah yang menjadi pusat administrasi dan pemukiman buruh perkebunan teh yang di kelola oleh PT Lonsum. Sebuah perkebunan swasta asing yang sudah berdiri semenjak jaman kolonial Hindia Belanda. Kertasari hanya merupakan perkampungan yang terletak di wilayah Desa Tarumajaya. Sedangkan pusat pemerintahan maupun pusat ekonomi kecamatan berada di Desa Cibeureum. Sebagian besar penduduk Desa Tarumajaya dan Desa Cibeureum merupakan petani dan buruh tani. Beragam jenis sayuran seperti kentang, wortel, bawang daun dan pecay menjadi komoditas unggulan di daerah berhawa dingin ini. Aktivitas ekonomi masyarakat menjadi sangat 84
tergantung pada ketersediaan lahan pertanian. Kepemilikan lahan oleh masyarakat relatif minim jika dibandingkan lahan yang dikuasai oleh Perum Perhutani dan perkebunan baik swasta maupun pemerintah. “Kelaparan” akan lahan pertanian dan minimnya penguasaan lahan oleh masyarakat inilah yang menjadi pemicu merebaknya aktivitas pertanian di kawasan hutan. Alhasil, kebun sayuranpun bertebaran hingga di lahan – lahan miring yang seharusnya menjadi kawasan konservasi. Aktivitas pertanian semacam ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat. Pihak PT Perkebunan Nusantara VIII pun melakukan tindakan serupa. Perusahaan ini, mengalih fungsikan sekitar 60 hektar kebun kinanya menjadi ladang kentang dan wortel. Tindakan ini meneguhkan sikap masyarakat untuk mengabaikan berbagai larangan yang terkait dengan pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian. Dampaknya, daerah resapan air di Zona Inti Daerah Aliran Sungai Citarum inipun semakin berkurang. Debit air sungaipun terus mengalami penurunan. Lumpur dari lahan pertanian terus masuk ke dalam aliran sungai, terbawa oleh air hujan. Permasalahan lain yang nampak menonjol adalah pembuangan kotoran sapi secara langsung ke Citarum. Tindakan para peternak yang tersebar di hampir seluruh desa ini mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai. Akibatnya, saat ini fungsi sungai sebagai sumber air bersih sudah tidak ada. Masyarakat mengandalkan air yang dialirkan langsung dari mata – mata air di perbukitan. Perkenalan dengan para aktivis komunitas berawal dari proses asesmen yang dilakukan pada bulan November 2005. Orang yang pertama saya temui adalah Dede Juhari (DJ). Seorang mantan penggarap lahan hutan yang telah turun gunung. Bapak tiga anak ini tercatat sebagai salah satu anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan ( LMDH ) Tarumajaya. Karena memandang LMDH sudah menjadi alat kepentingan ekonomi ketuanya semata, dia memilih untuk tidak aktif lagi dalam kepengurusan. Saat di temui, Kang Dede, lebih senang mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis lingkungan secara personal. Hubungan DJ dengan Yayasan Inisiatif (YI) telah terbangun jauh sebelum November 2005 melalui kegiatan Pelatihan Comunity Organiser. Acara yang diselenggarakan tahun 2003 oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) 85
Kabupaten Bandung ini menghadirkan pegiat–pegiat YI sebagai fasilitator. Setelah kegiatan berakhir kontak dengan YI terputus sama sekali. Sebagai alumni pelatihan CO, Dede Juhari menjadi salah satu orang yang direkomendir sebagai kontak person awal program. Pada saat pertama kali di temui DJ bercerita tentang sepak terjangnya setelah pealatihan CO. Menurut penuturannya, pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari pelatihan tersebut dia praktekkan melalui program penanaman rumput gajah di lahan kritis oleh para peternak sapi. Disamping itu, bersama para mantan penggarap lahan hutan yang terkena dampak penurunan perambah, dia tengah mengembangkan aktivitas pembuatan kolam resapan di lahan – lahan yang dulu berupa rawa kemudian berubah menjadi ladang sayuran. Meski mengedepankan aspek penyelamatan lingkungan tindakan ini tidak mendapat dukungan dari pihak pehutani. Argumentasi tentang pengembalian fungsi resapan lahan tidak dapat diterima oleh perum perhutani. Alih – alih memberi dukungan, perhutani malah mendatangkan sepasukan polsus bersenjata api untuk mengusir penggarap dari areal kolam resapan. Alasan yang disampaikan, kolam – kolam tersebut mengancam kelestarian lingkungan karena dapat menimbulkan longsor di areal pemukiman. Padahal secara geografis lahan tersebut jauh dari areal pemukiman. Meski demikian para penggarap tetap pada pendirian untuk melanjutkan kegiatannya. Hari ini boleh dipulangkan namun besok pekerjaan harus dilanjutkan. Begitu kira – kira jalan pikiran mereka yang tentunya tidak disampaikan kepada para polsus. Alumni pelatihan CO lain yang ada dalam daftar rekomendasi adalah Hery Ferdian. Yang bersangkutan tidak berhasil saya temui pada kegiatan asesmen awal. Menurut keluarganya, Hery sedang bekerja dan tinggal di Majalaya. Setelah Kegiatan Lokalatih Pertama DJ berhasil membangun kembali kontak dengannya serta melibatkan dalam kegiatan riset partisipatif.Hery Jabrig, demikian sebutannya, pun terlibat dalam aktivitas – aktivis program selanjutnya. Pembangunan kontak dengan aktivis komunitaspun melebar ke luar dari alumni CO. Berdasarkan rekomendasi DJ, sasaran penjajakan di arahkan pada sekelompok pemuda yang aktif dalamorganisasi pencinta alam Wanapasa. Mereka pernah dilbatkan dalam program penataan Situ Cisanti 86
yang dikelola oleh LMDH setempat. Namun karena merasa hanya diperalat untuk kepentingan elit lokal , para pemuda ini memilih menarik diri. Pada saat ditemui pertama kali, para pegiat Wanapasa sedang mengembangkan lembaga penyiaran Radio Citra FM. Wanapasa sendiri secara tidak langsung menjadi fakum. Jika di nilai dari sisi aktivitas, komunitas ini punya potensi untuk dilibatkan. Sayangnya, kedatangan penulis yang disertai oleh DJ menyebabkan respon mereka terhadap program tidak terlalu baik. DJ masih diidentifikasi sebagai anggota LMDH sehingga dicurigai memiliki prilaku yang sama dengan anggota LMDH lainnya. Para pemuda ini terkesan sangat berhati – hati dalam menyambut kedatangan penulis. Mengingat potensi yang dimiliki oleh para pemuda tersebut maka diputuskan untuk melakukan pendekatan secara lebih intensif. Harapannya posisi DJ LMDH bisa diklarifikasi dan resistensi terhadap program bisa dikurang. Pilihannya adalah membangun komunikasi personal dengan Dan Madani. Sosok ini merupakan figur yang nampaknya mempunyai pengaruh besar di kelompoknya. Dan Madani adalah aktivis Teater Awal di IAIN Sunan Gunungjati. Belakangan lebih banyak terlibat dalam kegiatan di kampung halamannya. Kuliah yang terbengkalai di IAIN di teruskan di kampus yang lebih dekat, STAI Darul Arqom di Lembur Awi Kecamatan Pacet. Saat asesmen dilakukan , dia duduk sebagai Direktur Radio Citra FM. Sebuah radio milik Yayasan Pendidikan Darma Bakti. Pada akhirnya kesepahamanpun terbangun. Dalam diskusi segitiga antara penulis dengan DJ serta Dan Madani, ditarik kesimpulan bahwa memang ada persoalan yang masih sulit untuk di klarifikasi antara para pegiat Wanapasa dengan DJ sebagai anggota LMDH. Hal tersebut tidak menghalangi Dan Madani secara pribadi untuk terlibat, pilihannya adalah tidak memaksakan adanya aktivitas bersama antara Wanapasa dan DJ dalam konteks program ini. B. Lokalatih Lokalatih merupakan salah satu fase dalam rangkaiaan program pengembangan pusat sumberdaya komunitas. Dalam kegiatan ini para aktivis komunitas dipertemukan untuk mempresentasikan pandangan, pengalaman dan pengetahuannya tentang permasalahan DAS Citarum termasuk upaya pemecahan masalah yang sudah dilakukan. Aktivitas ini 87
setidaknya dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang permasalahan Citarum di luar komunitasnya. Yang juga penting adalah setiap peserta mendapat gambaran tentang peran masyarakat di komunitas lain sehingga masing – masing dapat menarik pelajaran dari praktek – praktek tersebut. Peserta dari komunitas Gunung Wayang pada Lokalatih pertama adalah DJ sebagai perwakilan dari kelompok penggarap kolam resapan dan Khadafi dari Radio Citra. Rencana semula Dan Madani akan hadir dalam acara ini, namun karena ada acara mendadak , dia merekomendasikan Khadafi sebagai penggantinya. Sebagian peserta lokalatih merupakan alumni pelatihan CO. Bagi DJ lokalatih merupakan momen penting untuk mempresentasikan aktivitasnya selepas pelatihan tersebut. Banyak temuan dan pengalaman dari parakteknya selama ini terakumulasi dan belum menemukan ruang kembali untuk di diskusikan. Lokalatih memberinya simpul untuk melanjutkan kiprahnya dalam penanganan permasalahan DAS Citarum. Akan halnya Khadafi, seperti masih menyimpan banyak pertanyaan tentang maksud dan tujuan Lokalatih. Wajar saja hal ini terjadi karena keikutsertaannya di luar rekomendasi yang dihasilkan proses asesmen. Penulis belum menyampaikan banyak gambaran tentang kegiatan init kepada yang bersangkutan. Akibatnya, seusai kegiatan ini, menurut penuturan Dan Madani, sosialisasi tentang proses dan hasil lokalatih tidak dilakukan oleh Khadafi. Terlepas dari persoalan tadi, kehadiran khadafi di lokalatih setidaknya membawa dia mengenal lebih dalam tentang persoalan DAS Citarum. Pertemuan dengan para aktivis dari komunitas lain, menambah referensinya tentang organisasi yang berkiprah dalam penanganan Citarum. Ada hal yang berbeda dengan pengalamannya ketika berinteraksi dengan organisasi sejenis di Kecamatan Kertasari. Pandangan negatif tentang LSM yang terbangun akibat perlakuan LMDH Desa Cibeureum terhadap Wanapasa mulai berubah. Gambaran tentang kondisi luar daerah ini menjadi penting untuk membantunya keluar dari rasa pesimis terhadap perani organisasi masyarakat. Menilik perkembangan dua peserta dari komunitas Gunung Wayang setelah lokalatih, menguatkan pandangan penulis tentang peran asesmen sebagai fase persiapan lokalatih. Peserta yang sudah mendapat gambaran 88
tentang kegiatan dan tindaklanjut setelah kegiatan akan lebih memahami apa yang harus didapat dan dilakukan selama kegiatan ini berlangsung. Proses asesmen bukan sekedar memberi penilaian tapi juga membantu peserta menemukan orientasi terhadap sebuah kegiatan. Dalam fase ini penulis mengakui adanya kesalahan dalam melaksanakan penyiapan calon peserta. Pertama gagal meyakinkan Dan Madani untuk menempatkan lokalatih sebagai prioritas dan menunda aktivitas yang lain. Kedua, tidak menyiapkan alternatif calon peserta sejak awal. Seharusnya penulis juga memberikan informasi yang memadai tentang kegiatan ini kepada Khadafi sebagai antisipasi ketidakikutsertaan Dan Madani. C. Riset Partisipatif Seusai lokalatih pertama langkah menuju kerja advokasipun dilakukan. Tugas pokok para aktivis komunitas adalah melakukan pendalaman terhadap isu yang paling menonjol di komunitasnya. Tujuannya adalah untuk menggali bahan – bahan yang dibutuhkan bagi kebutuhan advokasi . Hal ini dicapai melalui kerja riset yang akan dilakuka oleh aktivis lokal. Hasil riset kemudian dbahas dalam lokakarya lokal yang dihadiri oleh pihak – pihak yang dipandang berkepentingan dengan hasil riset tersebut. Lokakarya ini dimaksudkan melakukan klarifikasi terhadap hasil temuan riset serta penggalian data dan informas yang belum terekam dalam kegiatan riset. Point penting lain dari lokakarya ini adalah lahirnya rencana tindak lanjut bersama yang akan di presentasikan dan dibahas dalam forum lokalatih kedua. Kawan – kawan di Rakom Citra melakukan riset tentang aspirasi masyarakat dalam hal pengelolaan lahan hutan. Hal ini berkaitan dengan rencana mereka untuk mempertemukan para pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan dalam sebuah forum. Harapannya akan muncul kesepakatan bersama tentang pengelolaan hutan di kawasan zona Inti DAS Citarum Hulu. Aktivitas ini , menurut istilah Dan Madani, “nyambung” dengan kebutuhan Radio untuk mengembangkan kapasitas para kru jurnalisnya. Riset selain dimaknai sebagai upaya pengumpulan data juga dimaksudkan untuk menciptakan ruang belajar teknik penggalian informasi bagi para jurnalis Citra. Para jurnalis yang dimaksud adalah para pelajar Aliyah yang direkrut sebagai “informan” Radio. Tugasnya adalah menyampaikan informasi tentang kejadian di lingkungan tempat tinggalnya untuk disiarkan sebagai berita di radio. 89
Mengingat kebutuhan tersebut maka riset ditempatkan dalam kerangka praktek investigasi yang terangkai dalam pelatihan jurnalistik. Sayangnya Bersamaan dengan proses penggalian data, Dan Madani harus melaksana Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Ciwidey. Tugas mengawal kerja lapangan para kru jurnalis di delegasikan kepada paegiat radio Citra yang lain. Sayangnya tugas ini tidak terlaksana dengan bak sehinga para petugas riset yang masih muda usia kesulitan mencari kawan diskusi untuk menjawab permasalahan yang timbul baikberkaitan dengan teknis maupun psikologis. Tidak berjalannya peran pengawal ini juga berimbas kepada proses pengumpulan data yang terlah didapat. Alhasil tidak semua temuan para kru jurnalis dapat terdokumentasikan. Dengan data yang minim sangat sulit untuk menyusun rencana tindaklanjut terhadap permaslahan yang ada. Absennya Dan Madan juga berdampak besar terhadap capaiaan target yang diinginkan. Termasuk membangun kontak dengan para pihak yang terkait dengan isu pengelolaan hutan sebagai langkah penting menuju terselenggaranya forum untuk mendiskusikan konsep pengelolaan hutan. Hasil maksimal yang di dapat adalah menguatnya identifikasi diri sebagai jurnalis pada beberapa kru yang terlibat. Pengalaman lapangan yang diperoleh membuka pikiran mereka tentang sisi menarik dan sisi rumitnya kerja seorang jurnalis. Hari ini sebagian dari mereka adalah merupakan tim inti Rakom Citra FM, menggantikan kru lain yang sudah tidak aktif lagi. Sementara, kawan –kawan dari kelompok penggarap kolam resapan Ciseke memilih untuk mendalami isu tentang sumber – sumber air di sekitar kolam resapan Ciseke. Pilihan ini berdasarkan pada kebutuhan untuk melakukan penguatan terhadap proses penggarap yang sedang dilakukan. Seperti sudah dipaparkan sebelumnya bahwa keberadaan penggarap kolam resapan masih dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian lingkunga oleh perhutani. Melalui riset ini mereka berharap dapat mengumpulkan bukti bahwa kolam resapan sebagai tempat memiliki sejarah yang cukup panjang bahkan sejak jaman kolonial. Selain itu riset ini juga diharapkan mampu memberi gambaran tentang kondisi mata air – mata air yang ada di sepanjang Sub DAS Ciseke. Aliran sungai ini bermula di Dano Aul yang terletak di kaki Gunung Puncak Besar dan bermuara ke Citarum di Kampung Goha Desa Tarumajaya. 90
Hasil riset juga diharapkan dapat menjadi “amunisi” untuk mendesak pemerintah tentang perlunya tindakan penyelamatan mata air- mata air tersebut. Kepentingan mereka jelas, ketika kodisi mata air sudah pulih maka akan berpengaruh terhadap stabilitas pasokan air bagi kebutuhan kolamnya. Lebih luas dari itu, pasokan air untuk kebutuhan rumah tanggga masyarakat di Desa Cibeureum dan Tarumajayapun akan meningkat. Sasaran lain yang ingin di capai adalah terjadinya penguatan di kelompok penggarap kolam resapan Ciseke serta terbangunnya kontak dengan para penggarap kolam resapan yang tersebar di blok lain sepanjang sungai Ciseke, para penggarap lahan di sekitar mata – mata air serta para penggarap lahan di sekitar Dano Aul. Kontak – kontak ini akan menjadi simpul awal untuk kerja pengorganisasian para penggarap terseburt. DJ sebagai kontak person di kelompok ini berusaha untuk memperluas pelibatan anggotanya, dia melibatkan Hery Ferdian yang sudah kembali dari Majalaya serta Jaja Sujana sebagai tim peneliti. Kedua orang ini diproyeksikan untuk menjadi tim inti dalam kerja advokasi yang akan dilakukan kemudian. Penggaliam data di fokuskan pada sejarah penggarapan kolam resapan di Ciseke, Kondisi Dano Aul serta kondisi mata air – mata air di sepanjang aliran sungai Ciseke. Penelitian di Dano Aul memberikan informasi penting tentang kesiapan para penggarap untuk terlibat dalam proses rehablitasi Dano serta. Disamping itu juga tergali keinginan para pengarap tentang pengelolaan Dano dan lahan disekitarnya setelah proses rehabilitasi. Sementara tentang mata air , teridentifikasi adanya 23 titik mata air yang ada di sepanjang aliran Ciseke. Hanya dua yang memiliki debit air stabil baik di musim hujan maupun musim kemarau. Sedangkan berkaitan dengan kolam resapan Ciseke, ditemukan saksi yang menguatkan bahwa keberadaan kolam resapan di Ciseke sudah sejak jaman kolonial. Bahkan petugas – petugas kehutanan di masa lalu telah pernah membuat kolan resapan di sana. Hanya saja karena perkembangan pertanian sayuran yang meningkat pesat, klam – kolam tersebut sempar berubah menjadi ladang sayuran. Temuan memperkuat klaim para pengarap bahwa apa yang mereka lakukan lebih dari sekedar membuat kolam ikan namun juga mengembalikan fungsi lahan sebagai daerah resapan air.
91
Dalam lokakarya lokal yang dihadiri oleh perwakilan dari empat kelompok penggarap kolam resapan diputuskan bahwa tindakan selanjutnya yang akan dilakukan adaalah : mendesak pihak pemerintah melalui Balai Pengelola Sumberdaya Air (BPSDA) untuk segera melakukan rehabilitasi Dano Aul, meyakinkan perhutani tentang manfaat kolam resapan sebagai daerah resapan air di sekitar kawasan hutan, mencari dukungan pihak lain pengembangan usaha perikanan d kolam resapan. E. Penguatan Organisasi dan Upaya Penyelesaian Masalah • Radio Citra FM Salah satu persoalan yang dihadapi para pegiat Radio Citra adalah kekhawatiran akan terjadinya sweeping oleh petugas. Penyelenggaraaan siaran radio oleh masyarakat masih dipandang kegiatan semi ilegal. Beberapa kali ancaman akan dilaporkan kepada aparat terlontar dari para “breaker “ yang mengklaim sering terganggu frekuensinya. Pada saat penulis melakukan asesmen, mereka sama sekali belum tahu tentang payung hukum yang mengatur dan melindungi keberadaan radio komunitas. Dalam kesempatan diskusi hasil asesmen yang dihadiri oleh Doni Setiawan dari Yayasan Inisiatif di tempat Khadafi, barulah informasi tersebut tersampaikan secara jelas. Doni, yang sempat terlibat dalam membidani kelahiran Jaringan Radio Komunitas Indonesia ( JRKI ), memaparkan bahwa di dalam Undang –Undang Penyiaran telah diatur tentang adanya frekuensi khusus bagi lembaga penyiaran komunitas. Selanjutnya kawan – kawan Radio Citra direkomendasikan untuk berhubungan langsung dengan JRK. Interaksi dengan JRK berdampak besar terhadap menguatnya motivasi kru Citra. Apalagi setelah resmi terdaftar sebagai angota JRK. Organisasi ini juga membantu proses pembuatan akta notaris Citra sebagai lembaga penyiaran komunitas yang berbentuk perkumpulan. Radio komunitas sebaiknya memiliki relasi yang jelas dengan komunitasnya. Bukan sekedar menempatkan mereka sebagai pendengar belaka. Akan lebih baik jika masyarakat di komunitas tersebut terlibat aktif termasuk dalam menentukan dan mengisi materi siaran. Tercapainya kondisi ini akan semakin mempertegas keberadaan Citra FM sebagai sebuah radio komunitas.
92
Berangkat dari pemikiran tersebut maka Dan Madani dan Khadafi mulai merintis jalan kearah terbentuknyapembentukan organisasi masyarakat. Melalui kegiatan Kontes Calung bertema kepedulian lingkungan yang difasilitasi oleh Citra FM, kontak-kontak di kalangan senimanpun mulai terbangun. Menurut rencana hal ini akan ditindaklanjuti dengan Gelar Budaya Gunung Wayang yang akan melibatkan kalangan seniman secara lebih luas. Terbangunnya kontak dengan para seniman ini juga diharapkan dapat peran mereka dalam mengkampanyekan kepedulian terhadap sungai Citarum. • Masyarakat Peduli Sumber Air ( MPSA ) Diluar agenda advokasi kolam resapan, DJ dan Hery Ferdian merancang rencana untuk melakukan penyusuran Sungai Citarum dari Gunung Wayang sampai Muara Gembong di Karawang . Tujuannya adalah untuk melakukan penelitian tentang kondisi Citarum dari hulu sampai hilir. Perjalanan yang akan di tempuh dengan jalan kaki ini diperkirakan memakan waktu satu bulan penuh. Tim susurpun di tingkat lokalpun terbentuk. Anggotanya berasal dari penggarap kolam resapan, penggarap lahan di sekitar Dano Aul serta individu - individu lain di luar penggarap. Rencana ini kemudian diajukan untuk menjadi program PSDK di tingkat wilayah. Sebagai tindaklanjutnya maka dilakukanlah pembagian tugas PSDK akan menjadi tim pendukung yang menyiapkan segala kebutuhan operasional sementara kawan – kawan dari Gunung Wayang akan menjadi tim pelaksana susur. Mengingat beratnya medan yang harus ditempuh dan besarnya dana yang dibutuhkan, sampai tulisan ini dibuat, Program Susur Citarum ini membutuhkan waktu persiapan yang cukup panjang. Tim pendukung masih berupaya menggalang logistik sedangkan tim pelaksana susur masih melakukan konsolidasi dan peningkatan kapasitas. Rencana Susur Citarum penulis catat sebagai momen yang menjadi titik penting bagi penguatan organisasi masyarakat di Gunung Wayang. Sebagai sebuah ide, rencana ini bisa mengkonsolidasikan beberapa individu yang punya kepedulian terhadap permasalahan Citarum. Perkembangan kemudian tim susur menjadi cikal bakal bagi berdirinya organisasi Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA). Organisasi inilah yang kemudian berperan dalam melakukan kerja – kerja advokasi terhadap permasalahan Citarum di Gunung Wayang.
93
• Advokasi Dano Aul Kegiatan ini ditujukan untuk menghentikan proses pendangkalan terhadap Dano seluas empat hektar yang terletak di hulu Sub Das Ciseke. Langkah yang ditempuh adalah mengkonsolidasikan para penggarap lahan di sekitar Dano Aul dan mendorong mereka untuk menerapkan pola pengelolaan lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Pola yang dimaksud adalah dengan mengganti komoditas sayuran menjadi kopi atau tanaman lain yang tidak memerlukan olah lahan secara terus menerus. Para penggarap juga dianjurkan untuk melakukan penyulaman terhadap tegakkan kayu yang sudah rusak karena ditebang secara liar. Disisi lain advokasi juga diarahkan untuk mendorong pihak Balai Pengelola Sumber Air (BPSDA) segera merealisasikan Program Rehabilitasi Dano Aul. MPSA meminta agar para penggarap lahan di sekitar Dano mendapat dilibatkan dalam proses rehabilitasi. Hal ini segera disambut oleh BPSDA. Sebagai tahap awal dilakukanlah pembabatan rumput yang menutupi pinggiran Dano. Proses pembabatan ini melibatkan tenaga kerja lokal lokal yang dibayar. Dari sinilah konflik kepentingan kemudian muncul. Pelaksana lapangan dari BPSDA mengabaikan kesepakatan untuk memprioritaskan para penggarap lahan sekitar. Sebagian besar tenaga yang direkrut berasal dari masyarakat luar penggarap. Nampak ada perebutan kepentingan untuk mengelola program ini di tingkat aparat lokal. Karena Dano Aul berada perbatasan antara Kecamatan Kertasari dan Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan, maka aparat setempat merasa lebih punya kewenangan dalam mengatur penyedian tenaga kerja. Akhirnya para pegiat MPSA memilih untuk menarik diri dari proses selanjutnya. Selain terbentur oleh wilayah administratif, jarakyang cukup jauh menimbulkan kesulitan untuk terus membangun konsolidasi yang ketat diantara para penggarap di sana. Meski demikian kontak dengan para penggarap yang berasal dari Kecamatan Kertasari terus dilakukan. • Advokasi Kolam Resapan Keberadaan kolam resapan yang di Kecamatan Kertasari memberi kontribusi terhadap penyimpanan cadangan air. Sebagian menempati lahan yang berada di wilayah hak kelola Perum Perhutani. Meski dari aspek
94
lingkungan memberi dampak positif namun nampaknya Perhutani lebih mengkhawatirkan pembuatan kolam ini sebagai bentuk penduduk lahan. Tekanan berupa peringatan dan ancaman kerap diterima oleh para penggarap. Mengatasi hal tersebut maka MPSA, sesuai rekomendasi dari beberapa penggarap berupaya untuk melakukan lobi terhadap pihak Perhutani dalam hal ini Kepala Resor Pemangkuan Hutan (KRPH) Wayang Windu di Kertasari dan Asper di Pangalengan. Tujuannya adalah untuk meyakinkan mereka tentang aspek manfaat kolam resapan bagi kelestarian lingkungan. Langkah ini dinilai berhasil berhasil menghentikan tekanan terhadap para penggarap. Lebih jauh lagi KRPH mengajak para penggarap untuk bersama – sama membuat persemaian pohon di areal sekitar kolam resapan. Berkaitan dengan pengembangan usaha perikanan, MPSA melakukan beberapa kali audiensi dengan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten. Usulan yang diajukan adalah adanya pelatihan teknis perikanan, pendampingan untuk penguatan kelompok dan penyedian benih ikan untuk empat kelompok kolam resapan. Namun disnakan hanya menyanggupi penyediaan benih ikan senilai 25 juta rupiah. Sampai melewati batas waktu yang dijanji, Oktober 2005, para penggarap belum menerimanya. • Advokasi Pencemaran Limbah Kotoran Sapi. Persoalan pencemaran Citarum oleh limbah sudah di mulai sejak dari hulu di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasar. Setiap hari ribuan ton kotoran sapi di buang langsung dari kandang ke aliran sungai. Air sungai nampak berwarna hijau sehingga tak dapat digunakan untukkebutuhan rumah tangga masyarakat. Pembuangan kotoran ini juga disinyalir memberi kontribusi terhadap pendangkalan di bagian hilir.Meski segarnya keuntungan dari produksi susu sapi dinikmati oleh banyak pihak namun tak nampak satupun usaha yang serius untuk menangani masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Termasuk Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan yang selama ini menjadikan Kecamatan Kertasari sebagai daerah pemasok susu mentahnya. Berkaitan dengan hal ini MPSA menyusun rencana penanganan yang melibatkan para peternak. Konsep yang disusun adalah mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik atau bio gas. Dengan demikian, kotoran sapi
95
akan memiliki nilai tambah baik secara sehingga tidak akan dibuang begitu saja. Hasil diskusi dalam rapat MPSA memutuskan bahwa Pupuk organik dipandang menjadi pilihan yang paling mungkin untuk di produksi saat ini. Karena sasarannya adalah peningkatan nilai ekonomi kotoran sapi maka model pengolahanpun dirancang sebagai sebuah usaha produksi pupuk. Usaha ini diharapkan dapat menyerap kotoran sapi dari para peternak dengan cara pembelian tunai. Untuk menjalankannya maka dibutuhkan modal berupa lahan, peralatan, alat pengangkutan serta dana awal pembelian bahan dan tenaga kerja. Pihak Disnakan Kabupaten menyatakan siap membantu dengan syarat MPSA memberikan gambaran yang lebih jelas tentang sebaran ternak sapi dan aliran sungai yang terkena dampak. Untuk memenuhinya maka dilakukanlah penelitian yang menghasilkan peta sketsa sebaran ternak sapi di Kecamatan Kertasari. Sampai bulan November 2005 upaya lobi terhadap disnakan kabupaten masih berlangsung. Dinas Tarkim Propinsi Jabarpun segera menyikapi permasalahan limbah ini. Pada akhir September 2005, menurut informasi yang di terima MPSA dari disnakan kabupaten, Dinas Tarkim telah menurunkan tim ke lapangan. Sayangnya tim tersebut tidak menemui para pegiat MPSA sebagai pihak yang mengajukan program. Belakangan malah beredar kabar bahwa instansi ini telah bekerjasama dengan KPBS Pangalengan untuk membangun instalasi pembuatan biogas di Kampung Goha Desa Tarumajaya. Pengalaman dengan BPSDA dalam rehabilitasi kasusu rehabilitasi Dano Aul kembali terulang. F. Penutup. Satu tahun pertama penulis maknai sebagai proses penyemaian. Masa ini minimal telah menguatkan beberapa individu untuk melanjutkan mimpinya tentang perubahan di komunitasnya. Dede Juhari, dan Hery Ferdian dengan MPSA – nya , Dan Madani dan Khadafi dengan Radio Komunitas Citra FM - nya, adalah para aktivis yang memiliki segi hari depan bagi perubahan di wilayah Gunung Wayang. Langkah selanjutnya yang mungkin harus dilakukan adalah memadukan dua potensi , MPSA dan Rakom Citra FM, dalam satu gerak bersama. Perlu untuk segera meningkatkan program – program kerjasama diantara dua lembaga ini. Langkah ini penting sebagai tahapan menuju terlaksanannya fungsi – fungsi PSDK di wilayah Kecamatan Kertasari. 96
Tahap tertinggi yang di harapkan dalam pengembangan PSDK adalah terbentuknya sebuah lembaga baru di tingkat komunitas yang dapat melayani kepentingan masyarakat setempat baik organisasi maupun individu.
97
Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang KESEMPATAN YANG HARUS DIMANFAATKAN Oleh: Dede Juhari
Berbagai pelatihan yang telah diikuti dan hasrat yang terpendam bangkit kembali setelah mendapatkan pelatihan CO di PPAW PERHUTANI Ciwidey, yang diprakarsai oleh FPC (Forum peduli Citarum) yang bekerjasama dengan DLH (Dinas Lingkungan Hidup), menambah semangat dan menambah wawasan untuk melangkah yang lebih jauh kedepan, hingga saya lebih mengenal apa yang harus dilakukan yang bermanfaat bagi saya dan lingkungan disekitar. Saya lebih pecaya diri untuk menuju suatu perubahan pola berpikir, selalu ingat RTL (Rencana Tindak Lanjut) yang akan dilakukan setelah mendapatkan pelatihan CO. Hingga timbul perubahan karakter dan kebiasaan bahkan ada niat merubah kebiasaan cara pandang masyarakat terhadap hutan, Hutan dan Mata-mata air sebagai sumber kehidupan yang patut ditata, ditanami dan dijaga. A. Kesempatan yang tidak disia-siakan I Sayapun sempat mendorong matan penggarap petak 73 untuk alih lokasi kelahan terlantar yang berada di PTPN VIII Talun Santosa Desa Cikembang. namun eks-penggarap petak 73 tidak seluruhnya ikut bahkan yang ikut kebanyakan penggarap diluar petak 73. B. Kesempatan yang tidak disia-siakan II Melihat lagi kesempatan dilahan-lahan perhutani banyak peluang-peluang yang mungkin digarap dikarenakan kelalaian petugas dan ditambah lagi kurangnya kesadaran mayarakat Disekitar Desa hutan, betapa pentingnya hutan sebagai sumber air dan sumber kehidupan, saya dan kawan-kawan seperjuangan mulai melakukan penanaman rumput gajah dipetak 73, yang sebelumnya sudah melakukan studi banding ke-Desa Marga mukti Kec. Pangalengan dan Kec. Ciwidey. Setalah itu saya lakukan saya mulai melakukan loby-loby dengan Perhutani seperti: POLTER, KRPH Wayang Windu dan ASPER Pangalengan. Sehingga mengahasilkan kesepakatan antara petani rumput gajah dan Perhutanipun mempersilahkan lokasi yang tidak ada tanaman komoditi kopi, dengan cara menyewa lahan tersebut yang sudah ditanami rumput 98
gajah senilai Rp.2500,0- /patok dan itu sudah berjalan sampai saat ini. C. Kesempatan yang tidak disia-siakan III Saya teringat kepada Bapak Solihin G.P mantan Gubernur Jabar yang sekarang jadi pemerhati lingkungan tatar Sunda DPLKTS pernah berkata “ gunung kaian, lamping awian. Nu datar kebonan, nu legok aya caian balongan”. Setelah memahami pepatah tersebut, yang dulunya rawa-rawa becek (embeul) sebagai fungsi resapan air dirubah oleh masyarakat petani menjadi lahan pertanian sayur-mayur. Setelah SK Gubernur No.522 tahun 2003 mengenai pelarangan tanaman tumpangsari dilahan perhutani maka lahan sementara waktu lahan itu di tinggalkan oleh para pemnggarap. Dan pada saat itu berinisiatif mempelopori membuat kolam resapan dilahan tersebut dan itu diikuti oleh masyarakat. Awal mulanya hampir setiap hari keliling disekitar lahan yang kira-kira bisa dibuat kolam resapan, dengan rekan-rekan yang membuat kolam resapan sering berkumpul dan berdiskusi tentang masalah lingkungan yang memprihatinkan dan itu sering saya lakukan disetiap kesempatan. Permasalahan yang mulai memuncak yaitu masalah kolam resapan ketika pembuatan kolam resapan di Ciseke Pro-kontra masalah mulai datang. Kronologis lahan tersebut setelah penggarap lahan sayur-mayur lengser ada sekelompok orang yang menanam komoditi alpukat dilahan tersebut “ Cuma menanam tanpa melakukan perawatan yang intensif hingga tanaman tersebut terbengkalai. Kelompok masyarakat kedua rame-rame menanam komoditi kopi bantuan dari PLN, Indonesia Power, tetapi sangat disayangkan asal tanam saja tanpa melihat bahwa lahan di Ciseke yang dulunya rawa yang tidak mungkin begitu saja bisa tumbuh kalau tidak ada pengolahan tanah yang seperti digulud-gulud/ bedeng-bedeng yang memerlukan biaya besar, setelah terlihat tidak ada perawatan, maka tanaman kopi tersebut mati perlahan-lahan akibat musim hujan yang mengguyur terus-menerus yang tumbuh subur bukan komoditi kopi melainkan rumput kakawatan yang susah mati meskipun disemprot roundup racun herbitisida/ racun rumput. Kelompok masyarakat ketiga, menanam rumput gajah hampir diseluruh areal Ciseke, apa yang terjadi ? tanah jugalah yang menentukan! Tanah becek di Ciseke yanga ditanami rumput gajah, “hidup segan matipun enggan”, hampir ¾-nya mati jadi yang mengambil rumput siapa saja bebas. Dengan datangnya musim kemarau masyarakat mulai membabat belukar 99
yang ditinggalkan para penggarap dan lahan becek Ciseke sebagian sudah disemprot menggunakan roundup/ racun rumput. Melihat Lahan seluas 4 hektar itu yang potensial untuk kolam resapan, saya mengontak teman-teman untuk segera membuat kolam resapan di Ciseke pada hari Senin tanggal 18 dan menjalar ke Desa-Desa lain. Agustus 2004, saya membawa satu orang pekerja harian untuk membuat kolam resapan pada pagi hari kira-kira pukul 09.30 kawan-kawan belum juga datang, tetapi saya lanjut terus tanpa ada hati was-was, dan setelah dua hari kemudian baru mereka datang itupun sore hari dan hanya dua orang diantaranya: 1. Jaja Sujana, 2. Ujang Solihin. Pada hari Kami tanggal 21 Agustus 2004, melihat banyaknya yang datang saya dan Jaja Sujana berinisiatif untuk membagikan lahan yang kira-kira bisa dibuat kolam resapan menurut kemampuan masing-masing maka hasilnya tidak sama dan tidak tertata rapih. Kendalapun datang bertubi-tubi dan berbagai pihak yang kontra meneror dengan segala cara. Tetapi saya sudah mempersiapkan dan memikirkan terlebih dahulu apa yang akan menjadi permasalahan, yakni dengan cara: 1. melobby ke KRPH Polter Perhutani, 2. dokumen poto-poto lahan kritis, lahan koservasi sebagai lahan tangkapan air. • lahan Perhutani • lahan Perkebunan 3. mengorganisir diri, membuat kelompok kolam resapan Ciseke Akibat tidak puasnya sekelompok orang, dengan adanya pembuatan kolam resapan di Ciseke harus dihentikan masalahnya akan mengganggu air yang mengalir ke Desa Cibeureum dan lahan akan rusak, diwaktu itu kalah pengaruh, utusan Perhutani datang langsung ke Ciseke kebetulan pada waktu itu kolam resapan garapan saya hampir selesai jadi jarang ke lokasi salah satu petugas dari Perhutani menekankan agar pembuatan kolam resapan harus dihentikan sebelum ada legalitas dari Perhutani itu sendiri. Saya sempat bertanya kepada ASPER Pangalengan, harus bagaimana menempuh legalitas dari Perhutani. Kata ASPER! LMDH harus mengirim surat legalitas kepada KPH bandung selatan, dan sayapun langsung ke LMDH meminta agar secepatnya dibuatkan surat legalitas kolam resapan ke KPH Bandung Selatan. Tetapi sebulumnya saya juga pernah melakukan
100
lobby-lobby ke BPLHD, WPL, FPC dan PJT Puwakarta. Sementara surat belum sampai ke KPH, tiba-tiba Polhut dari Perhutani sambil membawa senjata warna hijau daun langsung kelokasi, kelompok kamipun tidak gentar menghadapi Polhut dari unit. Mereka pergi setelah 2 jam adu argumentasi dan transparansi dari kami, ternyata dibalik kedatangan Polhut ke kolam resapan Ciseke atas dasar dokumen yang dilaporkan langsung ke KPH Bandung Selatan yang tidak berpihak mengenai keberadaan kolam resapan. Dan memang ada kekhawatiran dari pihak Perhutani seperti yang telah terjadi di Mandalawangi Kab. Garut. Tanpa terduga ada pertolongan datang pada bulan 11-an sekitar bulan Ramadhan datang seorang utusan dari Inisiatif menurut saya pada waktu itu lagi panas-panasnya situasi masalah yang saya hadapi, dengan di dampingi Juandi saya merasa terbantu didalam menyelesaikan masalah legalitas kolam resapan, semakin hari semakin terasa oleh saya betapa pentingnya organisasi untuk alat perjuangan yang bersifat kerakyatan untuk mewadahi kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dengan adanya jaringan yang telah dirintis dari awal, ditambah lagi pengalaman baru melaui diskusi permasalahan yang terjadi diluar Kec, kertasari saya semakin yakin masalah kolam resapan akan bisa dihadapi melalui proses kebersamaan kalau dikerjakan bersama-sama semuanya akan terasa ringan apalagi setelah ada pendamping yang pertama saya kenal adalah IPGI yang sekarang menjadi Yayasan Inisiatif. Akhir tahun 2004 YI mengadakan lokalatih I yang bertempat di gambung Kec. Ciwidey, mengenai Community Resourse Center (CRC)/ Pusat Sumber daya Komunitas (PSDK), pada waktu itu saya mulai saling tukar Informasi dari berbagai komunitas antara lain: 1. Komunitas Gunung Wayang dengan Isu hutan kritis yang diwakili oleh saya dan 2 orang direktur Radio Citra Fm, sebagai corong informasi dan kampanye lingkungan. 2. Komunitas Majalaya dengan isu limbah 3. Komunitas Rancamanyar dengan isu sampah 4. komunitas Cikambuy dengan isu sampah dan Banjir. Ke-4 komunitas termasuk komunitas saya mulai mempersentasikan isu permasalahn yang dihadapi dan mulai dari sanalah CRC mulai dibentuk dan merumuskan rencana tindak lanjut.
101
Awal 2005 saya bersama kawan-kawan seperjuangan mulai melakukan riset partisipatif mengenai permasalahan mata air disepanjang sungai Ciseke yang merupakan pemasok air terbesar keDAS zona inti hulu sungai Citarum, dan menggali isu-isu lingkungan terutama mengenai mata-mata air disepanjang sungai Ciseke yang semakin hari tidak ada yang merasa peduli akan kelestarian keberlangsungan sumber mata-mata air yang semakin hari semakin menyusut akibat gundulnya hutan dan tidak ada tegakan kayu disekitar areal mata-mata air yang habis tanpa ada batasanbatasan mana yang bisa dijadikan lahan pertanian dan mana yang tidak boleh. Dengan diadakannya riset partisipatif menjadi tenaga baru bagi proses penyelesaian 1. Danau aul yang tertunda dan menggiring proyek pengerukan/ pembangunan Danau Aul 2. penyelesaian legalitas kolam resapan Ciseke 3. terpetakannya mata-mata air sungai Ciseke 4. terdokumentasikannya isu permasalahan lingkungan Sekitar bulan maret 2005 Yayasan Inisiatif kembali mengadakan lokalatih II yang bertempat di Jatinangor Kab. Sumedang sayapun melakukan persentasi hasil riset yang telah dilakukan dilkomunitas Gunung Wayang Windu. Sekitar bulan Juli 2005 lokalatih III digelare kembali oleh Yayasan Inisiatif guna meningkatkan sumber daya tiap-tiap komunitas. Tahun 2005 Komunitas Gunung Wayang sudah membentuk sebuah organisasi untuk alat perjuangan untuk mencapai suatu perubahan Kec. Kertasari yang tertinggal disegala bidang terutama dibidang lingkungan. Oleh karena itulah kami mendirikan sebuah organisasi yang bernama Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) yang tadinya dari kumpulan beberapa orang yang hanya terdiri dari anggota susur Citarum dan konsen kelingkungan sampai sekarang mengalami perubahan yang sangat drastis kemajuannya mulai dari dukungan tokoh masyarakat, tokoh agama, karang taruna dan pemerintah setempat adapun penambahan anggotanya antaralain: petani, peternak sapi, kelompok kolam resapan, guru dan santri. Adapun hasil yang telah dicapai antaralain: 1. pengajuan proposal kelompok kolam resapan untuk mendapatkan bantuan benih ikan dari Dinas peternakan dan perikanan Kab. Bandung 102
2. pengajuan proposal pengelolaan limbah tai sapi, masih dalam proses uji kelayakan proposal semua ini tidak terlepas dari kerjasama dengan PSDK. 3. nyusur Citarum masih sangat banyak kendala yang merintangi? 4. kegiatan-kegiatan MPSA yang sudah berjalan dan masih banyak sekali PR yang harus diselesaikan Kendala MPSA: 1. tidak adanya komputer 2. sekretariat masih sempit 3. belum adanya pelatihan khusus tentang organisasi 4. belum tergalinya potensi yang ada sehingga berbagai masalah sulit dihadapi. Wassalammualaikum Wr. Wb DEDE JUHARY
103
Praksis Partisipasi Masyarakat Kertasari-Gunung Wayang RADIO KOMUNITAS SEBAGAI MEDIA EFEKTIF DALAM PROSES PENYADARAN LINGKUNGAN. Oleh: Dadan Madani
“ Teuing Jang, Anak Incu urang bakal moalkitu nyahoeun nukumaha Ki Hujan, saninten,kai Puspa sasatoan sabangsaning paray, tampele ? da gening ayenamah kai-kai jeng walungan tempat sasatoan hirup na oge ges ruksak “. (saya tidak tahu nak, anak cucu kita nanti mungkin tidak akan tahu seperti apa Ki Hujan, Saninten, Kai Puspa...hewan hewan seperti Paray, Tampele? Soalnya sekarang kayu kayuan dan sungai sungai tempat binatang hidup juga sudah pada rusak..) Ungkapan seorang Tokoh Masyarakat ini membawa pikiran kita untuk berpikir tentang realitas kondisi keruksakan lingkungan. Wacana tentang keruksakan lingkungan di Indonesia menjadi salah satu objek perbincangan dan wacana diskusi berbagai kalangan khususnya para pemerhati lingkungan hidup. Jawa Barat satu diantaranya,yang memiliki permasalahan tentang keruksakan lingkungan. Selain Hutan-hutan dan Gunung yang kritis juga salah satu sungai yang mengaliri sebagian Daerahdaerah di Jawa Barat telah mengalami proses keruksakan dan kritis keadaannya. Terutama permasalahan Daerah aliran sungai Citarum, yang melingkupi daerah Kab. Bandung sampai Kab. Karawang.keruksakannya sudah sangat menghawatirkan, dari hulu sampai muaranya disesaki dengan permasalahan-permasalahan yang butuh proses lama untuk mengatasinya. Konon ceritanya dahulu kala sungai Citarum itu Airnya jernih bisa dimanpaatkan untuk hajat orang banyak dan hidup leluasa berbagai spesies-spesies binatang air didalamnya. Apalagi di hulu sungai citarum itu sendiri selain pohon-pohon yang berdiri tegak merimbuni Hulu sungai juga masih terlihat banyak sekali Rimba-rimba yang dihuni oleh spesies-spesies bintang liar. Seiring dengan perkembangan penduduk dan berbagai faktor permasalahannya, hulu sungai citarum baik hutan, gunung mapun airnya sudah menjadi objek perekonomian tanpa memperhatikan kelangsungan 104
hidupnya kedepan, begitu juga daerah-daerah yang dialiri oleh air sungai tersebut. Sederhana saja faktor keruksakan hutan dan gunung yang ada di hulu sungai citarum, karena masyarakat sebagian besar mengandalkan dari penghidupan bertani, bercocok tanam dengan tidakmempunyai lahan pertanian sendiri.khususnya tiga Desa dekat dengan wilayah Hutan Hulu sungai Citarum yang termasuk dari bagian wilayah kec. Kertasari paling banyak penduduk dan prioritas utama mata pencaharian dari pertanian yangmengandalkan lahan hutan. Sebelum ada program pemerintah tentang program 3 opsi untuk mengatasi ,masalah keruksakan hutan hulu sungai citarum,pernah ada program buka tutup hutan, artinya masyarakat yang waktu itu penduduknya masih sedikit diperbolehkan untuk bercocok tanam di hutan dengan catatan sesuai dengan bagian wilayah mana yang sedang giliran pembukaan hutan. Dan setelah itu beberapa musim kemudian ditutup kembali. Setelah pengembnagn penduduk bergitu pesat program tersebut tidak sesuai, dan pergantian kembaliprogram selanjutnya. Dari program satu keprogramlainnya ternyata masih tetap belum bisa mnuntaskan permasalahan-permasalahn lingkungan di Kecamatan Kertasari. Masyarakatyang tidak memilikimata pencaharian lain masih tetapmerambah hutan dengan alasan “kalo seandainya saya tidak merambah hutan, bagaimana anak dan istri saya makan dan mencukupi kebutuhan lainnya”(ungkapan seorang petani perambah). Alasan yang sederhana tersebut memang masuk diakal. Tapi mengapa harus membiarkan hutanmenjadi rusak ? pertanyaan tersebut yang sampai saat ini belum ada jawaban yang tepat. Awal tahun 2000-an ketika permasalah lingkunganmenjadi salah satu bagian masalah yang besar di bumipertiwi ini, kebijakanpemerintahmengangkat citarum sebagai salah satu isu lingkunganyang palingpenting dan diprioritaskan, programprogaramkebijakan bergulir kebeberapa daerah sekitar DAS Citarum.Beberapa program diantaranya ke Gunung Wayang atau Hulu Suangai Citarum sebagai faktor utama penyebab sanitasi lingkungan. Kebijakantiga obsi yaitu alih lokasi, alih profesi, dan alih komodiiti salah satu senjata solusi untukmenanganipermasalahan Hulu Sungai Citarum, program tersebut disambutdan diterima oleh sebagian unsur masyarakat. Pelaksana programnya melibatkananak daerah untukikut serta berpartisipasi di dalamnya, antara lain Karangtaruna, LMDH, Pecinta alam, dan unsur-unsur ormas yangada didaerah sekitar bahumembahu 105
menjalankan programnya. Dariketiga programpemerinatah pelaksanaannya hanya sebagian petani saja.
ternyata
Hulu sungai dijadikanTaman pariwisata, petak tujuh tiga dikosongkan dan ditanami denagan tanaman keras seperti alpukat dan kopi, parapetaninya dikasih domba, transmigrasi lokal dan teknikprogram yang lainya cenderungtidak terlaksana denagan tuntas terbukti denagan para petani masih tetap mengandalkan hutan bahkan merambah lahan hutan begitu luas. Program tidak tepat, atau pelaksana progaram yang tidak menjalankan rencana tersebut dengaan tuntas?
106
BAGIAN 3 PENUTUP
107
Epilog MENUJU KOMUNITAS YANG TANGGUH DAN KREATIF Oleh: Donny Setiawan
Keberadaan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) pada tahun pertama ini dimulai dengan upaya mengkonsolidasikan komunitas pada tiga wilayah di Kabupaten Bandung dengan ikatan isu bersama dengan pengelolaan sektor lingkungan hidup di Sub-DAS Citarum Hulu. Pada tahun pertama ini pula kerja pengorganisasian komunitas maupun advokasi kebijakan lebih banyak diakselerasi oleh masing-masing kelompok komunitas di tiga wilayah. PSDK sendiri sebagai sebuah kelembagaan yang diharapkan dapat merajut aktivitas di masing-masing komunitas tersebut lebih banyak menitikberatkan pada aspek penguatan kelembagaan. Menarik untuk diamati siapa atau apa sebetulnya komunitas yang dijadikan basis gerakan PSDK ini. Apabila dilihat dari pola pengorganisasi diri yang dilakukan di tiga wilayah, secara umum dimulai dari berkumpulnya sekelompok warga yang berdomisili di sekitar Sungai Citarum yang memiliki kebutuhan dan keinginan untuk memperbaiki kondisi lingkungan di tempat mereka tinggal. Mereka kemudian menggalang dukungan dari warga lain untuk mewujudkan keinginan dan harapannya melalui upayaupaya bersama yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi lingkungannya. Setidaknya terdapat tiga jenis kegiatan yang tipikal dilakukan oleh komunitas di tiga wilayah tersebut. Pertama, penelitian sederhana tentang kasus-kasus kerusakan lingkungan. Kedua, menggalang dukungan dari warga melalui serangkaian kegiatan diskusi, lokakarya dan pelatihan terhadap para pihak-pihak potensial. Dan ketiga, melakukan pengaduan dan menawarkan alternatif penyelesaian masalah kepada pemerintah daerah. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa karakter komunitas yang terlihat selama ini adalah yang menekankan pada aspek-aspek konsensus, identifikasi, jalan bersama untuk hidup, berbagi kepentingan dan nilai, serta penyatuan sumber daya. Definisi ini melahirkan pandangan tentang komunitas, yaitu: pertama, adanya batasan geografis spesifik sebagai area definitif dari sebuah komunitas; kedua, kepercayaan bahwa komunitas kecil menjadi wahana tumbuhnya demokratisasi; ketiga, menekankan pada interaksi sosial yang dinamis.
108
Terdapat beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari praktek yang selama ini dilakukan pengorganisasian diri maupun aksi-aksi kolektif yang selama ini dilakukan oleh komunitas yang tergabung dalam PSDK. Pembelajaran-pembelajaran tersebut adalah: 1. Keberadaan aktivis komunitas menjadi sangat sentral dan menjadi pondasi dalam membangun inisiatif komunitas dalam menyelesaikan persaolan yang mereka hadapi di lingkungannya. Untuk itu, pengkaderan akktivis komunitas menjadi prasyarat kunci untuk membangun keberlanjutan proses pemberdayaan komunitas. 2. Penguasaan data dan informasi yang akurat melalui praktek penelitiam sederhana terhadap kasus-kasus kerusakan lingkungan di tempat komunitas tersebut tinggal menjadi amunisi bagi komunitas untuk memperjuangkan penyelesaian persoalan praktis yang mereka hadapi ataupun menjadi bahan analisis dan kajian bagi perubahan kebijakan yang terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi. 3. Pentingnya dukungan yang lebih luas dari warga terutama untuk membangun kesadaran dan kepemilikan bersama terhadap isu dan permasalahan yang sedang mereka hadapi. 4. Adanya dukungan dari para pakar terutama dalam memberikan pengayaan wacana dan alternative opini sekaligus memperkuat dukungan terhadap yang apa sedang dilakukan oleh komunitas tersebut. 5. Dukungan penguasaan skill dan keterampilan dalam melakukan aktivitas-aktivitas pendukung penyelesaian masalah komunitas. Skill dan keterampilan tersebut diantaranya adalah kemampuan untuk melakukan penelitian sederhana, kemampuan untuk mengkomunikasikan data dan informasi, lobi dan negosiasi serta keterampilan-keterampilan pendukung lainnya. 6. Penguasaan data dan informasi tentang produk-produk kebijakan yang relevan dengan persoalan yang sedang dihadapi komunitas menjadi informasi yang cukup penting untuk melihat peluangpeluang penyelesaian masalah. Apa yang dilakukan oleh komunitas Majalaya melalui Kelompok Peduli Lingkungan (KPL), komunitas Gunung Wayang melalui Masyarakat Pecinta Sumber Air (MPSA) dan Rancibu (Rancamanyar, Cikambuy dan Bojong Buah) dengan Kawasan Bersih Warga Mandiri (KBWM) menunjukkan bahwa komunitas yang terorganisir serta memiliki kemampuan dan keterampilan telah memberikan dorongan semangat dan kepercayaan diri 109
untuk mengupayakan penyelesaian atas masalah yang mereka hadapi. Keberanian untuk berhadapan dengan birokrat dan pengusaha dengan disertai penguasaan masalah yang cukup baik, memperlihatkan bahwa komunitas-komunitas tersebut memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai media perjuangan warga. Di sisi lain, praktek yang dilakukan oleh komunitas ini bukannya tidak menghadapi kendala. Tanggapan yang tidak simpatik dari birokrasi dan pengusaha serta potensi konflik diantara warga sendiri karena kepentingan sebagian warga lainnya yang terganggu akibat apa yang komunitas tersebut lakukan menjadi sebagian kendala yang sering mereka hadapi. Belum lagi persoalan dilemma pertentangan batin di dalam diri aktivis komunitas yang dihadapkan pada pilihan untuk memperjuangkan kepentingan komuntas warga atau kebutuhan untuk survive. Persoalan diatas tampaknya menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pada aktivis komunitas. Untuk merespon tantangan tersebut, setidaknya ada beberapa agenda yang akan dilakukan oleh PSDK ke depan seperti yang diamanatkan dalam rencana strategis PSDK. Agenda-agenda tersebut antara lain: 1. Memperluas dukungan dari warga (masyarakat korban) melalui kegiatan pengorganisasi komunitas 2. Memperkuat data dan informasi pendukung tentang kasus-kasus lingkungan yang sedang dihadapi 3. Memperkuat PSDK sebagai sebuah kelembagaan jaringan diantara aktivis komunitas 4. Menggalang dukungan dari pada pakar, birokrat yang peduli, NGO dan pihak-pihak lainnya yang memiliki kepentingan yang sama dengan PSDK 5. Mengembangkan dan memperluas sektor pelayanan publik yang menjadi bidang gerak PSDK Agenda-agenda tersebut diharapkan dapat menjadi resep yang cukup mujarab untuk mewujudkan cita-cita membangun komunitas yang tangguh dan kretif.
110
SOLILOKUI WARGA
111
MENDULANG TANPA BATAS Oleh: Heri Jabrig
*Angin biru Bertepatan tanggal 17 Agustus 2005, aku tengah bercerita seberkas rasa dari helai demi helai perjalanan hidup yg ku alami, karena bagiku pengalaman adalah perjuangan yang telah dilewati ! berhasil atau tidaknya hanya Allah’lah yang menentukan, hingga kita sadar ! kita bisa bertahan sampai saat ini. Begitupun 60 tahun Indonesiaku memerdekakan diri. * Satu Arah PSDK (Pusat Sumber Daya Komunitas) / CRC (Community Resourse Centre) adalah segenggam ikatan tali persaudaraan yang menyulam dan merajut serpihan-serpihan jejak kedua langkah kakiku, ketika purnama mengepal lukiskan cahaya yang mewarna didasar haru-nya sukma. Paradigmabaru itu memancar dari sesosok jiwa patriotisme yang berwujud jasadkan kang Dede juhary, rekan-rekan PDSK dari empat komunitas, Kakak-Kakak Pendamping dan Yayasan inisiatif, atas kekuasaan Allah SWT pencipta alam semesta. puji dan syukur terpanjatkan kehadirat-Nya yang mempertemukan kami semua, lewat tekad dan harapan yang sama bahwasanya kita hidup ini bertetangga “sesama manusia, alam, dan apapun yang ada di jagat raya ini”. * Kedua Telapak Kaki Memijak Mewakili Gunung Wayang kang Dede Juhary, saya dan Firman. Pada tahun 2003 kami bersama-sama mengikuti pelatihan CO (Community Organizer) yang dilaksanakan di PPAW Perhutani Kecamatan Ciwidey Kab. Bandung, yang mana tujuan dari program tersebut diharapkan pasca pelatihan peserta bisa mendampingi masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan terutama hutan yang berada di zona inti hulu sungai Citarum (petak 73). Awal 2005 kang Dede Juhari mengajak saya agar pengetahuan yang didapat dari pelatihan CO, dipraktekan dilingkungan masyarakat “ tidak perlu banyak bicara dan wacana, yg penting real dilapangan rie !’lah” itulah perkataan kang Dede ! yang sampai saat ini selalu terniang di telinga saya. Pada saat itulah kami mulai berkolaborasi menyusun ide didalam menggangkat sebuah isu lingkungan yang menjadi misteri disegenap kerumunan masyarakat Kec. Kertasari. Isu demi isu kami pelajari dan 112
pahami, hingga solusi demi solusipun terungkap dibenak kami bahkan satu demi satu solusi itu mulai berkoalisi ditengah realita. * Gula Dan Kopi pahit dan manis seakan tak dapat saya bedakan apalagi terpisahkan karena jika itu dipilah kemungkinan akan menjadi masing-masing cerita yang jauh berbeda mulai dari : arah, tebal, warna, rasa dan arti maknanya. * Laju Mata Air Alih profesi kolam resapan adalah isu strategis yang memulai harmonisnya rasa kebersamaan yang mana pembuatan kolam resapan tersebut dipelopori oleh kang Dede Juhay, kang Jaja Sujana, A. Rohana dan kawan – kawan seperjuangannya yang sebagian mantan penggarap petak 73. Masih diawal tahun 2005 saya, kang Dede dan kang Jaja melakukan pendataan penggarap kolam resapan Ciseke, Sirah Cibeureum, Batu Reok, petak 73 hingga kedaerah lain yang ada kolam resapan. Riset partisipatif kembali kami lakukan di danau aul, dikarenakan keberadaan danau aul erat kaitannya dengan keberadaan kolam resapan Ciseke dan sangat berkepentingan terhadap pasokan airnya. Termasuk kelestarian mata air-mata air disepanjang aliran sungai Ciseke kami teliti. Setelah hasil riset didokumentasikan, mulai dari pemotoan, pendataan nama-nama penggrap lahan sekitar, sejarah danau aul, sampai kepemetaan. kang Dede memeperlihatkan dokumen-dokumen tersebut ke-PSDA (Pengelola Sumber Daya Air). Dan setelah PSDA mengetahui betapa banyak jumlah mata air- mata air yang ada disepanjang sungai Ciseke dan mengetahui juga bahwa Danau aul merupakan pemasok air terbersar ke sungai Ciseke dan sungai Citarum, maka PSDA melakukan pemantauan dan berencana melakukan pengerukan. Dari hasil riset tersebut yang di ktik oleh pendamping komunitas Gunung Wayang yaitu kang Juandi dan atas dokumentasi yang kami miliki kamipun mempersentasikannya pada waktu loka latih II bulan Maret tahun 2003 yang difasilitasi oleh Yayasan Inisiatif, bertempat di Wisma Caringin Kab. Sumedang, yang mana disana saya bisa berkumpul kembali dengan kawan-kawan komunitas lain, diantaranya: 1. komunitas Gunung Wayang • MPSA dengan isu Mata air-mata air, lahan kritis dan
113
permaslahan lingkungan lainnya. • Radio komunitas Citra fm sebagai sarana informasi dan kampanye lingkungan. 2. komunitas Majalaya dengan isu limbah, 3. komunitas Rancamanyar dengan isu sampah, 4. komunitas Cikambuy Soreang dengan isu sampah dan banjir. Ke-4 komunitas berhasil menyusun program rencana tindak lanjut (RTL) yang akan dilakukan di lokal dan di wilayah program lokal yakni permasalahan yang akan ditanggulangi oleh masing-masing komunitas, yang terdiri dari 4 komunitas. Sedangkan program wilayah yakni permasalahan yang akan ditanggulangi bersama oleh ke-4 komunitasdi PSDK/ CRC. RTL yang menjadi program wilayah antara lain: 1. Nyusur Citarum 2. dan isu strategis DAS Citarum. Dan 3. lokasi Sekretariat {PSDK} Untuk mempermudah jaringan koordinasi dan konsolidasi antar komunitas. PSDK membentuk kelompok kerja untuk program-program yang ada diwilayah atau PSDK/ CRC, diantaranya adalah: 1. Pokja Advokasi, dikoordinatori oleh Jefry Rohman, 2. Pokja Kampanye, dikoordinatori oleh Dede Juhary, 3. Pokja Capacity Building, dikoordinatori oleh Umar Ali, dan 4. Pokja Konsolidasi, koordinasi dan Basis data, dikoordinatori oleh Heri Ferdian. Ke-4 Pokja ini berhasil disusun guna memfasilitasi keberadaan sekretariat PSDK dan program yang menjadi tanggung jawab bersama (program wilayah). Masing-masing koordinator berbagi tugas dengan tiap-tiap anggota pokjanya dan menyusun RTL masing-masing. Namun keempat pokja yang tengah berjalan sampaisaat ini, belum meraih sebuah frestasi yang maksimal seperti apa yang diharapkan ketika terbentuknya keempat pokja tersebut. Alasan dan jawaban yang pantas untuk mengklarifikasi PSDK, hanya dapat dipertanggung jawabkan oleh k’pribadian individunya masing-masing. Dalam menempuh kebijakan ? Harapan individu atau komunitasnya harus menjadi harapan PSDK, kegagalan individu atau komunitasnya berarti kegagalan PSDK. Sayang ! budaya rasa seperti itu belum nampak mengaura-i individu-individu PSDK. S’moga lokalatih IV bisa me-ruat kegelapan
114
yang terkubur didasar hati individualisme, egoisme dan –isme-ismelain yang menghambat persatuan aura kebersamaan. Setelah PSDK/CRC mutlak memiliki sekretariat di Jln. Balesarakan No.12 Baleendah. PSDK memfasilitasi pelatihan I untuk organisasi MPSA Gunung Wayang kec. Kertasari kab. Bandung. Berhubung lokalatih sudah menjadi agenda wilayah, sebagai salah satu pengembangan Pusat Sumber Daya komunitas, maka Yayasan Inisiatif mengadakan lokalatih III di wisma Bumi Kitri Cikutra. Dengan berbagai materi yang sifatnya merubah kebijakan public (pemerintah). * JILID AKHIR Dengan berbekal pengetahuan yang kami dapatkan MPSApun selaku organisasi yang menitik beratkan terhadap lingkungan mencoba menyusun rencana tindak lanjut (RTL) guna menanggulangi permasalahan yang ada di Kec. Kertasari. Dengan didasari kepedulian dan tertuju pada permasalahan, kami akan tetap berusaha walau rintangan yang kami hadapi sangatlah berat. Namun atas dasar ibadah pula kami yakin bahwasanya setiap permasalahan pasti ada jalan keluar, “semoga Allah SWT berpihak dan memudahkan atas apa yang kami tempuh untuk menuju suatu perubahan yang menjadikan masyarakat kec. Kertasari berhak atas sumber daya alam (SDA) yang dimiliki. Didalam menuntut suatu kebijakan yang adil demi untuk masyarakat, kami selaku pengurus MPSA mengucapkan selamat berjuang semoga apa yang diharapkan bisa diraih,digapai dan bermanfaat bagi diri sendiri dan khalayak masyarakat luas. Ammmmmmmmmmmmin!?. Wassalamualaikum Wr. Wb ShAnG hIaNg JaGat selesai
115
CIPEUJEUH JADI GEULEUH, ALATAN MANUSA SARAKAH MICEUN LIMBAH SAGAWAYAH Oleh: Undang A.R.
Lamun seug urang nitenan kaayaan alam di sabudeureun urang ayeuna, bet asa loba pisan karuksakan-karuksakan ani disebabkeun ku ulah leungeun-leungeun manusa anu teu ngabogaan rasa tanggungjawab pikeun kahirupan turunan urang/generasi anu bakal datang. Contona wae kiwari geus loba gunung anu garundul lantaran tatangkalan nana beak di taluaran ku sabagean masyarakat jeung oknum Perhutani anu dilindungi ku oknum aparat anu teu tanggungjawab. Anu antukna nimbulkeun bencana alam saperti tanah longsor, banjir jeung ruksakna sabagian sumber mata air (cai nyusu). Komo deui peukeun tempat-tempat anu aya dihandapeun gunung mah bencana banjir teh geus jadi langganan. Pangpangnamah tempat-tempat anu dekeut ka walungan, lantaran walungan nana geus teu muat pikeun ngawadahan cai anu sakitu ngagulidagna dina mangsa usum ngijih (usum hujan). Da eta atuh kiwarimah gunung-gunung na oge geus teu mampuh pikeun nahan cai hujan anu ragrag ti langit, anu sakudunamah bisa diserep ku akar-akar tatangkalan anu aya di gunung atawa di leuweung. Tapi kiwari gunung-gunung teh, boro-boro bisa nahan atawa nyereup cai hujan, malahan mah gunungna sorangan anu meh kabawa ku cai hujan lantaran gunungna herang bolenang siga kalapa meunang ngabutik atawa jiga sirah ronaldo ”si raja bola” ti Brazil. Atuh lamun seug datang usum halodo, gunung-gunung teh geus teu sanggup nyadiakeun cai (cai nyusu), da eta atuh akar-akar tatangkalan nana oge geus rarungkad beak dibalongkaran ku patani lantaran tanah na rek dipelakan palawija atawa sayuran. Bari henteu daek ngayakeun deui reboisasi/melak tangkal kai pikeun ngagantian tatangkalan anu geus ruksak. Para patani teh henteu pasti malikirkeun keur kahirupan jangka panjang, anu pentingmah .pangabutuh ayeuna bisa kacumponan. Anu untukna mah kiwari di lingkungan urang teh lamun usum halodo tigerat ku cai, tapi lamun usum ngijih geus tangtu kabanjiran. Leuhueng banjirna teh ukur cai wungkul da ieu mah lamun banjir teh jeung lumpur oge ditambah ka runtah anu kabawa palid ka walungan. Da eta atuh mariceun runtah teh bet ka walungan, sok ngarah gampang wae bari teu mikirkeun 116
pibalukareunana. Anu puguh mah kitu gawe teh matak nyangsarakeun jelema loba, eumh...ah!. Tapi aya deui anu leuwih parah tibatan eta, nyaeta di wewengkon anu geus loba pabrik tekstil (kawasan industri). Contona wae saperti di daerah Majalaya, Palasari Dayeuhkolot, Rancaekek jeung daerah sejena. Masyarakat anu aya di daerah industri mah lamun usum halodo teh kacida pisan kakuranganana ku cai teh lantaran sumur-sumur penduduk teh loba nu saraat euweuh caian, alatan pabrik-pabrik anu aya di sabudeureunaana loba anu nyarieun sumur bor (sumur artesis) anu jerona eta sumur bor teh nepi ka ratusan meter. Jadi sumur-sumur penduduk anu jerona ngan sababaraha meter atawa ukur puluhan metermah, meh beakeun cai kasedot ku sumur-sumur anu leuwih jero. Da karasa pisan ku kuring mah perbedaanana, saencana aya sumur-sumur bor anu dijarieun ku para pengusaha, jeung ayeuna saenggeusna aya sumur-sumur bor eta. Lamun baretomah saencana aya sumur bor sok sanajan usum halodo oge, sumur-sumur penduduk teh tara nepi ka saat-saat teuing, tapi kiwari mah nepi ka ngoletrak katembong taneuhna. Balukarna masyarakat peting koceak alatan kakurangan cai, bari sok sanajan aya sabagean parusahaan anu nyadiakeun cai beresih keur masyarakat tapi da teu nyukupan pikeun kabutuhan sapopoena. Komo dei para patani anu ngagarap sawah mah pating jarerit, sabab sawah garapanana gararing nepi kabarejad tarelaan lantaran teu ka cebor, da cai walungan nana anu sakuduna pikeun nyaian sawah teh ayeunamah ka hewag ku pangabutuh parusahaan dumeh mesin-mesin alat produksina loba anu ngagunakeun cai anu teu saeutik jumlahna di sagedengean keur kabutuhan karyawana/pagawena. Cohagnamah para pengusaha teh mani sarakah pisan kana cai teh, geus puguh anu di jero taneuh di sedotan, eta anu aya diwalungan oge di cokot deuih dumeh bisa mayar ka para preman anu ngandir cai jeung para patugas irigasi anu kadang-kadang henteu adil dina ngtur cai teh. Komo deui anu ngarana preman dedengkot caimah sajabana ti hawek teh oge sok bari nyingsieunan kanu sejen supaya caina eweuh anu daekeun ngaganggu. Antukna mah para patani teh ngan bati olohok bari ngurut dada ngarasakeun kateuadilan anu karandapan ku maranehna. Malah aya oge anu kukulutus bari ngaleos nyebutkeun ”si jurig cai” sing di lebok teteb sarta diakheratna sing kekerebekan dina cai panas naraka jahanam. 117
Euhmh...ah. Oge sajabana ti sarakah teh para pangusaha mah sok ngageugeuleuh kana cai walungan teh, da eta atuh miceun limbah pabrik teh langsung dipiceun ka walungan tanpa diolah heula, padahal pamarentah teh mah ngawajibkeun ka sakabeh perusahaan lamun miceun limbah ka walungan teh kudu hasil pengolahan IPAL heula ngarah cai walungan teh tetep beresih. Tapi loba pisan para pengusaha teh anu teu daek ngalaksanakeun aturan pamarentah di sagedengeun pamarentahna sorangan kurang tegas nindak para pengusaha anu bedegong. Antuknamah cai walungan teh jadi geuleuh rupana keumeuh ngabeuleugeudeur hideung jaba panas jeung bau deuih. Ongkoh deui cai limbah teh aya anu ngandung racun anu matak ngamusnahkeun sasatoan anu aya dijero cai saperti lauk jeung sabangsana. Lamun datang cai gede teh langsung banjir limbah ka pakampungan penduduk anu aya di sabudeureanana oge matak nimbulkeun rupa-rupa panyakit saperti ararateul, diare jeung sajabana. Tapi henteu cukup ngan kitu wungkul ditambah deui ku pencemaran udara anu kalur tina cerobong asap anu rupana hideung, lestreng, anu matak ngotoran awang-awang. Komo deui lamun bahan bakarna ku batu bara mah sajabana ngotoran awang-awang teh oge bisa nimbulkeun panyakit ISPA jeung sajabana. Lantaran batu bara mah ngandung B3 nyaeta bahan beracun dan berbahaya lamun seug henteu diolah sakumaha mistina bisa ngaganggu kasehatan warga anu aya disabudeureunana. Kuayana rupa-rupa pasualan ieu, urang salaku manusa anu ngabogaan akal pikiran, oge salaku khalifah/pamingpin dimuka bumi ieu, tangtuna oge ngabogaan kawajiban pikeun memeres rupa-rupa pasoalan anu aya dilingkungan urang masing-masing. Da geuning jelas timbulna karuksakan didaratan jeung dilautan teh disababkeun ku ulah leungeun-leungeun manusa, saperti anu tos digariskeun dina kitab suci al-qur’an. Ku ayana hal ieu pisan urang sarerea kudu bisa ngungkulan sagala pasoalan anu keur karandapan ayeuna jeung anu bakal datang, sangkan urang bisa ngawariskeun ka generasi-generasi anu bakal datang teh, nyaeta alam (lingkungan) anu beres kalawan beresih tina rupa-rupa geugeuleuh. Contona wae lamun urang bisa ngokolakeun sampah anu aya dilingkungan urang sewang-sewangan, tangtuna oge bisa ngurangan pasoalan anu aya dihareupeun jeung disatukangeun urang sarerea. Dina harti urang kudu bisa nyiptakeun lingkungan anu beresih jeung sehat sabab kabersihan teh bagian tina iman. Jadi lamun urang teu resep atawa teu daek beberesih 118
urang teh kaasup jelema anu kurang iman. Audubillahimin dzalik. Kumargi kitu hayu atuh urang babareungan sarerea ngupayakeun sangkan lingkungan urang teh mangrupakeun hiji lingkungan anu beresih, sehat tur sarwa endah. Da geuning lamun urang daek mah ngokolakeun sampah oge tangtu bakal aya hasilna anu cukup lumayan, da sampah oge ari geus dikokolakeun mah bisa dijual atawa aya nilai jualna (komoditi) di sagedengeun ngurangan pangangguran teh. Ulah ngan saukur sampah teh dijadikeun musuh anu ngahantui satiap waktu (jaman) da sampah oge kaasup mahluk anu kudu diperlakukeun sakumaha mestina. Contona wae ayeuna di KPL (Komunitas Peduli Lingkungan) Majalaya, anu kalebet dina bengkeutan CRC (Community Resources Center) anu dikokojoan ku Ibu Wulandari saparakanca, baris ngakolakeun sampah anu aya di Kecamatan Majalaya. Oge dikomunitas-komunitas anu sejenna, saperti komunitas Gunung wayang, Rancamanyar, Bojong Citepus, Dayeuhkolot sarta komunitas-komunitas anu sejenna pada-pada ngabogaan rencana kagiatan masing-masing, anu sakaligus dipayungan ku Yayasan Inisiatif anu dikokojoan ku Kang Diding Sakri saparakanca Sim kuring mah kataji pisan ku niat sae ti aranjeunna sarta ngagaduhan tekad anu buled pikeun nyalametkeun lingkungan. Kumargi kitu mangga atuh urang dukung kusadayana ti ngawitan elemen masyarakat, pamarentah oge para pangusaha anu aya di sabudeureunana. Mudahmudahan hasil gawe urang sarerea teh aya manfaatna. Amin.
119
JANGAN SIA-SIAKAN AKU Oleh: Euis Widia
Majalaya adalah kota industri. Dimana penduduknya sangat padat dan hasilnya industrinya pun beraneka ragam terutama di bidang tekstil. Tetapi sayangnya perkembangan industri yang begitu pesat, sampai-sampai pemeliharaan lingkungan tidak diperhatikan. Ironis sekali rasanya hidup ini. Majalaya diibaratkan sebagai kota dollar yang berbau busuk akibat daripada ulah manusia. Manusia yang tidak bertanggungjawab (oknum). Mungkin itulah julukan yang pantas bagi mereka. Bila dikaitkan dengan agama, kota Majalaya surga diatas neraka. Surga bagi para investor asing, penanam saham, dan neraka bagi masyarakat sekitar yang mulai merasakan dampak daripada limbah industri, sungai berwarna warni. Di dalam al-qur’an diceritakan sungguh berbahagialah wahai penghuni surga. Dimana mengalir sungai madu dan sungai susu bagi mereka orang-orang yang beriman. Tetapi apa yang akan terjadi dengan penghuni kota Majalaya, sungguh prihatin bagi mereka, dimana sungai mengalir berwarna kuning buka berarti madu dan sungai mengalir berwarna putih bukan berarti susu. Tapi semua itu adalah limbah yang bedebah, yang merugikan bahkan mungkin saja mematikan. Di tahun 60-an sungai-sungai mengalir jernih, banyak orang beraktivitas disana dari mulai mandi, mencuci, menangkap ikan, dan sebagainya. Tapi kini apa yang terjadi coba anda perhatikan disekelilingnya, sungai menangis dan menjerit karena bau busuk yang diakibatkan oleh limbah industri dan oknum yang tidak bertanggungjawab. Sungai merasa disiasiakan akibat ulah mereka, sungguh ironisnya sungai merintih kesakitan, karena tak ada seorang pun yang mau menyentuhnya. Sungai sudah menjadi sumber penyakit bagi orang yang menjamahnya, tidak seperti dulu banyak orang yang pergi ke sungai menjerit-jerit karena kehilangan fungsi dan manfaatnya. Siapakah orang yang akan mendengar jerit tangis sungaisungai. Lalu tergugahlah hati dan jiwaku untuk mulai peduli terhadap sungai yang sudah tercemar. Selangkah demi selangkah mulai kususuri, siapakah gerangan yang sudah merusak keindahan dan kejernihan badan sungai, kocoran-kocoran limbah dari pabrik-pabrik industri dimuntahkannya ke badan sungai alangkah rakus dan serakahnya sang perusak alam. Kini tak nampak lagi keindahan 120
daripadanya, semua orang menjauhinya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Kini semangatku mulai bertambah untuk merobah nasibnya. Satu orang demi satu orang ku tanya dan ku gugah hati nuraninya untuk cinta dan peduli pada lingkungan, namun sayangnya banyak orang hampir tidak mau tahu dan tidak mau peduli terhadap rusaknya lingkungan. Mereka tidak sadar kalau lingkungan sudah semakin kritis dan dapat memperburuk kehidupan dan keberlangsungan hidup manusia dimasa yang akan datang, bagaimana kelak nasib anak cucu kita, semua itu belum terpikirkan oleh manusia. Kepulan asap batu bara yang mulai terasa menyesakkan napas, mengeringkan tenggorokan, memedihkan mata, mengotori genting-genting dan halaman rumah. Ditambah itu semakin bertambah pula kerusakan lingkungan di Kota Majalaya tercinta ini. Siapakah oknum dibalik semua ini? Tak ada orang yang mau bertanggungjawab. Sedikit demi sedikit kugali ilmu tentang lingkungan, satu per satu pertanyaan kuluncurkan guna menyelamatkan lingkungan. Ku sebar sedikit demi sedikit ilmu yang aku dapat, tapi sayang seribu kali sayang seringkali kutemukan orang-orang yang menyia-nyiakan ilmu yang kuberikan, harus bagaimana ini. Pemerintah tak mau tegas, sementara rakyat semakin tertindas.
121
CIKACEMBANG TINGGAL KENANGAN Oleh: Asep S.
Tahun 1995 Cikacembang airnya jernih bagaikan mata air dari pegunungan yang tak henti-hentinya mengalirkan kesejukkan bagi penduduk dipinggiran Sungai Cikacembang. Banyak anak-anak bermain dan berenang, Ibu-Ibu mencuci pakaian sambil canda gurau. Sore hari banyak orang-orang ngobrol sambil memegang kail mengharapkan ikan untuk tambah lauk pauk makan, maklum sebagian penduduk pinggiran kali Cikacembang orangnya pendapatannya pas-pasan, tapi sekarang kali Cikacembang tinggal kenangan yang tak mungkin kembali kesemula seperti dulu. Cikacembang sekarang menangis, merintih, menjerit kepanasan sama orang-orang yang tak bertanggungjawab atas kelestarian Cikacembang yang terasa sesak dan pengap, diganti air yang mengalirkan kebencian yang sangat pahit terasa. Cikacembang lain dulu lain sekarang. Sekarang Cikacembang airnya berubah warna yang dulunya jernih sekarang airnya berubah warna, kadang hitam,, kadang biru, dan berbusa mengeluarkan bau tak sedap. Cikacembang sekarang bagaikan kampung ditinggal penduduknya, sepi, hampa, tiada lagi anak-anak bermain sore atau pagi. Penduduk Cikacembang khususnya ingin mengadu, ingin mengeluh kepada siapa, harus berteduh bagaikan anak ayam ditinggal induknya. Cikacembang dulunya bagaikan kertas yang bersih, murni, yang belum tergores pena. namun sekarang bagikan kertas yang tertumpah tinta yang tak mungkin bisa dihapus. Cikacembang tinggal kenangan.
122
CARITA RAKYAT JELATA Oleh: Endang
Masyarakat yang terpinggirkan mengenai masalah air, dan limbah batu bara dan cair, yang membuang begitu saja tanpa proses IPAL. Saya dengan teman-teman sering mengontrog atau menemui ke perusahaan tetapi perusahaan banyak alasan yang kuat. Jawaban perusahaan itu sudah melalui proses atau banyak basa-basi. Saya dan teman-teman tidak bisa berbuat banyak, karena saya tak bisa berbuat banyak, karena saya tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menegur saja. Dan masalah air kami alami sering membuat jengkel dikala musim halodo, sumur-sumur kering, karena tersedot oleh perusahaan yang mempunyai sumur bor atau sumur artessis. Pabrik Purnama yang mempunyai artesis, kata pegawainya mempunyai tiga sumur bor atu artesis. Dan PMTI punya satu yang saya tahu, mungkin lebih dari satu sumur bor diwilayah kami yang sering kami alami. Dan mengenai batu bara yang kami alami mulai jam 18.30, mengenai bau tak sedap, baunya minta ampun. Dan sekali waktu, saya dan teman-teman melempari benteng perusahaan dan perusahaan sampai memanggil polisi. Dan sekian dulu cerita saya, lain waktu disambung lagi. Dan sekali lagi hapunten pisan, da abdi sanes ahli kana nyerat, bilih aya seratan anu teu kahartos kusadayana. Wassalam. Ti abdi kang Endang tea.
123
OLEH-OLEH Aan Kurniawan Paninggal ninggal Panguping nguping Pangambung ngambung Kana kaayaan alam anu kiwari beuki pikangeurieun Tapi awak anehna teu bisa gerak kusabab tanaga geus beak Beuki dieu beuki ka seuseup Antukna nafas jadi seuseuk Panyakit beuki beutah di imah Sakabeh pan geus aduh walah Warga sakampung ge resah Kasaha atuh urang muntang Para inohong ge geuning kalah beungong Ngan saukur mere beja anu geus biasa Teu bisa nindak kanu loba duitna jeung loba dekengna NGERI Aan Kurniawan Rumahku dikawasan industri Dimana lahan bermain tak ada lagi Tata ruang pengap bikin sesak napas ini Limbah pun semakin mencemari disana sini Segudang problema belum juga terjawab Datang lagi masalah baru yang menantang Bumi yang kita pijak Udara yang kita hirup Air yang kita minum Semuanya kini timbulkan penyakit Oh..inilah dampak (negatif) industri Duh! geuning kieu rasana jadi jalma leutik dibobodo terus diinjek.
124
KOTAKU Aan Kurniawan Udara panas setiap hari kunikmati Asap tebal dan kotor yang keluar dari cerobong industri Merubah indahnya/birunya langit Air hujan yang selalu dinanti-nanti Malah datangkan bencana membanjiri kota kami Air bersih kini hancur dibeli Walau memang sebagian lagi tak bisa menikmati Ada sebuah pertanyaan dalam hati Sampai kapan semua ini berganti? Ku coba terus menanti Walau itu belumlah pasti. LAGU Euis Widia Ditengah gunung udara pagi Kami berkumpul memandang alam Kami merenung menatap alam ko.... jadi berantakan Kami semua bersatu tekad Tindak tegas yang menghambat Untuk membangun alam negriku Jadi alam yang indah dan damai Serakah-mu Murka-ku Siapa tak kenal
125
LOKALATIH 1 GAMBUNG, CIWIDEY (KIRI)
LOKALATIH II, WISMA CARINGIN, JATINAGOR (BAWAH)
126
LOKALATIH III, WISMA BUMI KITRI PRAMUKA, BANDUNG (KANAN)
LOKALATIH IV, WISMA PARAHYANGAN, BANDUNG (ATAS)
127