Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor Informal di Kota Solo Paulus Wirutomo Departemen Sosiologi Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Konsep pembangunan yang terlalu sektoral dan berorientasi pada pertumbuhan saat ini menuai berbagai kritik. Konsep baru yang lebih berorientasi pada manusia, yaitu Human Development, muncul, tetapi juga masih bersifat sektoral. Artikel ini menawarkan suatu konsep pembangunan yang lebih sosiologis, yaitu membangun manusia harus dengan membangun unsur-unsur dasar masyarakatnya, yaitu struktur, kultur dan proses sosial. Dengan menggunakan data dari penelitian kualitatif yang dikumpulkan lewat metodologi SSM di Solo, artikel ini menyimpulkan bahwa Pemerintah Kota Solo pada derajat tertentu telah melaksanakan pembangunan sosial lewat pembangunan aspek struktural, kultural, dan prosesual yang berujung pada masyarakat yang lebih inklusif. Abstract The present development concept has been widely criticized for being too sectoral and growth oriented. A new concept like Human Development introduced by the United Nation is a good alternative, but it is still sectoral in nature. This article tries to offer a more sociological concept of development, since it is based on the contention that to develop human being we have to develop its society. It means to develop “the basic elements of socio-cultural life” namely: the structural, cultural and processual elements. By analyzing the data on the informal sector in Solo collected with SSM methodology, I have come to the conclusion that the government of Solo city has been to some degree practicing the social development concept through developing the structural, cultural and processual aspects leading to the more inclusive society. Keywords: social development, informal sector, social structure, culture, social process, Solo
PE N DA H U L UA N
Setelah sekitar lima dekade (sejak tahun 50an), konsep pembangunan yang growth oriented ternyata tidak berhasil membangun harkat dan martabat manusia. Secara hakiki PBB mencatat walaupun telah menghasilkan pertumbuhan material, pembangunan yang ada bersifat jobless (tidak menghasilkan pekerjaan yang cukup dan
102 |
PAU LUS W IRU TOMO
bermartabat), ruthless (kejam, karena semakin menambah kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan), rootless (tidak mengakar di masyarakat, menancapkan dominasi budaya dari luar, mencerabut tradisi dan nilai-nilai budaya lokal), voiceless (tidak mendengarkan aspirasi rakyat, kurang demokratis dan partisipatif), dan futureless (menghancurkan lingkungan alam) (UNDP 1997). Dalam upaya menyelamatkan peradaban manusia, konsep pembangunan perlu lebih ditopang oleh ilmu sosial-budaya guna mengimbangi dominasi ilmu-ilmu yang lebih berorientasi kebendaan. Tantangannya, ilmu sosial-budaya tidak cukup melakukan pengkajian atau evaluasi capaian pembangunan (social impact assessment), yang bukan hanya analytical-evaluative, tetapi juga harus lebih prescriptive. Implikasinya, perlu perubahan pendekatan dari diubah dari sekedar the enlightment model menjadi the engineering model.1 Pembangunan sosial-budaya mempunyai prinsip yang tidak mudah diterima oleh logika pertumbuhan kebendaan, yakni adanya variabelvariabel sosial dan humaniora seperti kerukunan, kemandirian, kesetiakawanan, demokrasi, kesejahteraan, bahkan kebahagiaan. Semua variable ini harus bisa masuk ke dalam perhitungan inputoutput pembangunan yang menekankan dimensi kuantitatif. Logika perencanaan yang sangat berpegang pada azas efisiensi harus bisa menerima logika sosial-budaya yang cenderung berorientasi pada efektifitas (menghasilkan kesejahteraan nyata bagi masyarakat). Selain itu, azas profesionalitas kaum teknokrat harus bisa memberi tempat bagi azas partisipasi masyarakat dan seterusnya. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi atau kebendaan harus diseimbangkan dengan peningkatan kualitas kehidupan bermasyarakat (good society) (Bellah 1992). 1 Banyak pemikir sosial-budaya tidak menyukai kata “social engineering”, karena bernuansa otoriter dan dapat melanggar HAM.Tetapi dalam kenyataan hampir semua kebudayaan di dunia saat ini jatuh dalam suatu skenario yang diciptakan secara sepihak oleh yang berkuasa/dominan (hegemon). Kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat manusia ke dalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtif yang merajalela. Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan yang telah menghasilkan tiga krisis besar, yaitu kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan (Korten 2006), adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu. Jadi sebenarnya ”cultural engineering” sudah dan terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini. Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan itu? Tidakkah mungkin masyarakat (civil society) bersama pemerintah merancang suatu ”counter engineering” untuk melakukan ”perlawanan budaya” tandingan yang mampu menyelamatkan manusia dari gejala “dehumanisasi” itu? Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 103
Pada dasarnya, sudah banyak konsep pembangunan yang penekanannya pada unsur “manusia”, seperti people centred development (Korten 2006). Senafas dengan semangat Korten, studi ini mengajukan suatu proposisi yang lebih sosiologis, yaitu bahwa membangun manusia haruslah melalui pembangunan masyarakatnya. Bellah mengatakan bahwa sulit menjadi seorang manusia yang baik di dalam masyarakat yang tidak baik, karena kehidupan manusia sangat bergantung dari tatanan institusional yang tercipta melalui proses bermasyarakat (Bellah dkk. 1992:4). Dengan demikian, membangun masyarakat bukan sekedar membangun sektor-sektor atau hanya menjamin sebagian hak-hak individu, tetapi secara keseluruhan membangun warga negara menjadi civil society yang tercerahkan.2 Untuk itu, dalam penelitian ini penulis menawarkan konsep pembangunan sosial yang bersifat sistemik-sosietal, yang dikaitkan langsung dengan konsep dasar sosiologis yang merupakan elemen dasar kehidupan sosial-budaya, yaitu struktur sosial, kultur dan proses sosial. Tulisan ini bertujuan untuk mendefinisikan secara lebih tajam dan terinci konsep pembangunan sosial serta menemukan gambaran pembangunan sosial (pembangunan struktur, kultur dan proses) pada sektor informal di Kota Solo.3 Selain itu, dalam artikel ini juga akan diuraikan bagaimana komponen-komponen pembangunan sosial beririsan satu sama lain dan menimbulkan proses saling mendukung. M E T O DE PE N E L I T I A N
Tulisan ini menggunakan data penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dan beberapa pengajar Departemen Sosiologi UI yang bertujuan untuk mendeskripsikan pembangunan sosial-budaya sektor informal di Solo. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, wawancara mendalam dan Focused 2 Kata tercerahkan (enlightened ) inilah mungkin yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “… mencerdaskan kehidupan bangsa.” 3 Artikel ini bersumber dari hasil penelitian yang membandingkan Kota Depok dan kota Solo dalam melakukan pembangunan sosial bagi sektor informal. Penelitian itu bermaksud menemukan variabel yang bisa dijadikan sebagai indikator pembangunan sosial dan nantinya akan dikembangkan menjadi Indeks Pembangunan Sosial. Mengingat keterbatasan ruang, artikel ini hanya akan menggambarkan pembangunan sosial di Kota Solo. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
10 4 |
PAU LUS W IRU TOMO
Group Discussion (FGD), diskusi terarah, dan observasi. Dokumen yang dianalisa berupa undang-undang, peraturan daerah, dokumen perencaan, data statistik, berbagai hasil penelitian (disertasi, tesis, skripsi), kertas kerja, dan dokumen lain yang terkait dengan penataan sektor informal di Kota Solo. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan yang memahami, terlibat dalam penataan sektor informal, antara lain pimpinan daerah, Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA), Dinas Pasar, Dinas Satpol PP. Selain itu, sebagai informan kunci adalah anggota masyarakat seperti pelaku sektor informal, aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), aktivis masyarakat, budayawan. Wawancara terhadap mereka dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang dampak pembangunan serta aspirasi masyarakat serta untuk konfirmasi data/temuan penelitian. Peserta FGD adalah kalangan pemerintah daerah (1 kali); sektor informal (pedagang kaki lima [PKL]) baik yang sudah ditata maupun yang belum (masing-masing 1 kali). Diskusi terarah dengan para pakar dan LSM dilakukan 1 kali di Kampus Universitas Sebelas Maret. Observasi dilakukan secara sistematis melalui perekaman audio-visual maupun kunjungan lapangan. Dalam rangka menangkap dan mengungkap fenomena pembangunan sosial di dunia empiris yang bersifat kompleks dan ditandai dengan pertentangan antara sudut pandang (worldviews)4, studi ini juga menggunakan Soft Systems Methodology (SSM), yaitu metodologi penelitian sistemik sebagaimana dikembangkan oleh Checkland dan Scholes (1990), Wilson (1990), Checkland dan Poulter (2006), (Hardjosoekarto 2011). PE M B A N G U N A N S O S I A L : S T RU K T U R , K U LT U R , PRO S E S
Makna pembangunan sosial seringkali masih kabur. Istilah sosial kerap dimaknai secara berbeda-beda. Bila ditarik dari akar katanya, maka terdapat beberapa pengertian (Wirutomo 2006).5 Makna 4 Dunia nyata, menurut Checkland dan Poulter (2006), secara terus menerus dikreasi dan direkreasi oleh pikiran, perbincangan dan tindakan manusia yang punya maksud (purposeful activity). Dalam kerangka SSM, dunia nyata pemerintah kota dan pembangunan sosial Kota Solo yang kompleks itu diperlakukan sebagai holon (human activity systems, sebagai purposeful activity systems). Untuk uraian lebih lengkap tentang metodologi ini lihat Wirutomo (2011). 5 Sektor sosial sering diartikan sebagai sektor yang inputnya uang tetapi outputnya bukan uang, seperti sektor pendidikan, kesehatan,kesenian, agama dan sebagainya. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 105
sosial berarti bukan individual. Karenanya, perencanaan sosial berfokus bukan pada perubahan individu (perseorangan) maupun kelompok tertentu (eksklusif), tetapi perubahan masyarakat sebagai sistem.6 Pembangunan sosial adalah peningkatan kualitas norma dan nilai dalam pranata sosial yang menghasilkan pola interaksi atau, lebih dalam lagi, pola relasi sosial (terutama menyangkut hubungan kekuasaan), baik antar individu maupun kelompok. Jadi, pembangunan sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi sosialnya. Dalam perspektif pembangunan sosial, partisipasi masyarakat bukan sekedar alat atau cara, tetapi tujuan karena, dalam keikutsertaan yang aktif dan kreatif dalam pembangunan, hakikat manusia sebagai makhluk yang memiliki aspirasi, harga diri dan kebebasan diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan mutunya. Dengan kata lain, penekanan pembangunan sosial adalah pemerataan sarana dan hak-hak manusia yang paling dasar (inklusi sosial) (Conyers 1982; Midgley 1995; Haralombos 2008:212-277).7 Pemisahan konsep pembangunan sosial dari konsep pembangunan ekonomi tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya, memisahkan pelaksanaannya atau bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang mutually exclusive. Penulis berpendapat bahwa kehidupan ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial. Pembangunan sosial merupakan landasan dari pembangunan ekonomi sehingga semua sektor pembangunan harus berakar pada kehidupan sosial-budaya yang dicita-citakan oleh masyarakat yang bersangkutan, bukan sebaliknya, pembangunan sosial-budaya hanya dijadikan sektor (lihat Gambar 1). 6 Masyarakat bukanlah sekedar penjumlahan dari individu-individu yang ada di dalamnya, melainkan suatu sistem yang terbentuk secara khas dari jaringan hubungan yang teratur dan memiliki saling ketergantungan fungsional di antara unsur-unsurnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, membangun masyarakat adalah membangun sistem hubungan itu. Penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan aliran Struktural Fungsional yang cenderung melihat sistem sosial bersifat ”deterministik” (organismic analogy). Menurut penulis, sistem sosial bersifat lebih dinamis dan fleksibel (melihat secara seimbang ”kepentingan sistem” dengan ”kepentingan individu”). 7 Social inclusion adalah: “kesempatan bagi setiap individu untuk dapat berpartisipasi di dalam kehidupan sosialnya sebagai warga masyarakat, bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi semua hak-hak dasar (pendidikan, kesehatan, politik, melaksanakan ibadah, menikmati waktu luang, berekspresi diri dan sebagainya).” Jadi tujuan pembangunan sosial bukan sekedar menghilangkan kemiskinan dalam arti sempit (rendahnya penghasilan atau tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum), tetapi menciptakan inklusi sosial Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
10 6 |
PAU LUS W IRU TOMO
Gambar 1. Posisi Aspek Sosial-Budaya dalam Pembangunan
Semua bidang kehidupan manusia, termasuk perdagangan, industri dan sebagainya, berakar pada kehidupan sosial. Jadi, pembangunan sosial adalah pembangunan elemen dasar dari kehidupan social, yaitu struktur, kultur dan proses sosial. Struktur sosial adalah pola hubungan, terutama hubungan kekuasaan, antara kelompok sosial dalam bentuk stratifikasi, komposisi, diferensiasi sosial. Sebagai implikasi dari perbedaan kekuasaan itu, struktur bisa menghasilkan kekuatan yang bersifat memaksa (coercive), memerintah (imperative), menghambat atau memberi kendala (constraining) pada tindakan manusia (actor). Kekuatan struktur sosial bisa terlembaga (institutionalized) secara legal-formal, seperti undang-undang, kebijakan pemerintah, maupun yang tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang, walaupun tidak memiliki kekuatan hukum resmi, tetapi efektif mengatur kehidupan masyarakat luas melalui iklan, fasilitas fisik yang Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 10 7
diciptakan dan sebagainya.8 Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa (negara yang sering kali berkolusi dengan pengusaha besar) untuk membangun pola dominasi yang menindas dalam masyarakat. Jadi pembangunan struktural artinya suatu usaha menyeimbangkan hubungan kekuasaan antar pemerintah dan rakyat atau golongan kaya dan miskin melalui kebijakan pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan rakyat. Dengan kata lain, pembangunan struktur adalah memperbaiki struktur yang eksklusif (tidak adil, diskriminatif ) menjadi inklusif (adil, memberikan kesamaan hak). Kultur adalah segala sistem nilai, norma, kepercayaan dan semua kebiasaan serta adat istiadat yang telah mendarah daging (internalized) pada individu atau masyarakat sehingga memiliki kekuatan untuk membentuk pola perilaku dan sikap anggota masyarakat (dari dalam).9 Kebudayaan yang telah tertanam dalam suatu masyarakat tidak selalu merupakan cara hidup terbaik bagi kesejahteraan dan martabat manusia maupun masyarakat itu. Namun, banyak kekuatan yang selalu berusaha mempertahankan kebudayaan yang ada untuk melindungi kepentingannya dan menindas golongan lainnya melalui legitimasi budaya (cultural hegemony). Jadi, perlu pembangunan kultural untuk meningkatkan kualitas sistem nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan rakyat baik secara langsung, misalnya melalui sosialisasi, edukasi, maupun tidak langsung, seperti melalui pembangunan struktural dan proses sosial. Proses sosial adalah segala dinamika interaksi sehari-hari antar anggota masyarakat yang belum terstruktur (structured) maupun mengkultur (cultured). Melalui proses sosial yang dinamis dan kreatif, individu maupun kelompok dapat mengekspresikan aspirasi secara relatif bebas; melakukan negosiasi antar anggota masyarakat, mulai dari debat kusir di warung kopi, seminar, dialog di TV, bahkan chatting antar warga di dunia maya dan demonstrasi. Arena ini bisa 8 Di luar struktur sosial masih ada faktor lain yang memiliki kekuatan struktural (structural forces), yang mampu memaksa tindakan manusia, misalnya struktur demografi, struktur fisik kota. Penelitian ini akan menekankan pada struktur sosial karena faktor ini bisa mempengaruhi kekuatan struktural lainnya. 9 Kultur sering didefinisikan secara sangat luas misalnya Selo Soemardjan mendefinisikannya sebagai semua hasil karya, cipta dan rasa yang digerakkan oleh karsa. Untuk alas an analisis, di dalam tulisan ini kultur dibatasi hanya pada: nilai, norma, kebiasaan, tradisi atau cara hidup dan cara berpikir yang telah mendarahdaging “internalized” . Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
10 8 |
PAU LUS W IRU TOMO
menjadi tempat orang menegosiasikan keteraturan sehingga dapat menjadi sumber perubahan struktur maupun kultur yang ada (social order is a negotiated order). Dalam praktek pembangunan saat ini, proses sosial seringkali justru dihambat (dibatasi/dipenjara) oleh struktur dan kultur yang diciptakan demi kepentingan kelompok tertentu. Konsekuensinya, pembangunan menjadi eksklusifhegemonik. Padahal, membangun proses sosial artinya membangun kondisi kultural maupun struktural di dalam masyarakat yang memberi ruang lebih luas bagi pengembangan kuantitas maupun kualitas proses sosial itu sendiri. Di dalam kehidupan nyata, struktur, kultur dan proses tidak berdiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu saling beririsan atau saling berpotongan (saling menopang, mempengaruhi dan bahkan mungkin “menyebadan/melekat“ [embedded]) sehingga membentuk suatu sistem yang kompleks. Usaha sistematis dan terencana untuk membangun kualitas ketiga elemen dasar societal itulah yang kita sebut sebagai pembangunan sosial. Bila hal ini terjadi maka akan dihasilkan kehidupan sosial yang lebih emansipatoris (setara) dan inklusif (memberikan hak dasar dan kesejahteraan bagi semua warga negara). Oleh karena itu, pembangunan di bidang apapun (ekonomi, fisik, hukum, agama) harus berlandaskan pada pembangunan elemen dasar itu (lihat Gambar 2). Gambar 2. Elemen Dasar Kehidupan Sosial-Budaya: Struktur, Kultur, Proses
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 10 9
STRUKTUR
KULTUR
PROSES
PE M B A N G U N A N S T RU K T U R A L
Pembangunan sosial Kota Solo berakar pada janji politik Jokowi sebagai calon walikota, yaitu pembangunan ekonomi wong cilik. Janji tersebut lebih merupakan sistem nilai inklusi Jokowi sebagai individu. Ketika menjadi walikota, sistem nilai ini dikembangkan secara resmi menjadi visi dan misi kota Solo.10 Hal ini menunjukkan gejala sosiologis yang menarik, yaitu diangkatnya elemen kultural (sistem nilai inklusif) ke dalam ranah struktural-formal (visi-misi), yang menunjukkan terjadinya irisan antara kultur dan struktur atau bisa disebut sebagai “budaya yang distrukturkan” (structured culture [SC]). Jokowi telah menterjemahkan secara konsisten visi-misi pembangunan yang inklusif itu ke dalam kebijakan pembangunan kota dan merincinya lebih jauh ke dalam program, proyek dan 10 Visi Kota Solo: “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memajukan kota dilandasi spirit Surakarta sebagai Kota Budaya”. Salah satu rumusan misi yang sangat bersifat inklusif adalah: “Mengembangkan dan meningkatkan ekonomi kerakyatan melalui pengembangan sektor riil, pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dengan fasilitasi kredit, menuntaskan penataan PKL, melanjutkan program revitalisasi pasar tradisional, meningkatkan kemampuan manajemen pedagang pasar serta mempromosikan keberadaan pasar dan pedagang.” Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
110 |
PAU LUS W IRU TOMO
anggaran yang mana kesemuanya merupakan aspek struktural. Sebab itu, pembangunan kota seperti ini disebut pembangunan struktural, yang menjadi basis atau sistem nilai (aspek kultural) yang memberi arah bagi perubahan sosietal. Dengan pembangunan struktural diharapkan terjadi perubahan hubungan kekuasaan antar kelompok di masyarakat. Salah satu bentuk pembangunan struktural adalah Perda No. 3 tahun 2008 tentang pengelolaan PKL. Berbekal perda tersebut, Pemerintah Kota Solo tidak melakukan pendekatan penggusuran, tetapi memilih pendekatan relokasi dengan cara: 1. Penyediaan kios gratis, yang dimungkinkan karena Pemkot yang membeli tanah dan membangun pasar dengan APBD, sehingga Pemkot bebas menentukan harga kios yang sesuai dengan komitmen para pedagang tanpa tergantung dari kekuasaan investor. Hal ini bisa menjadi contoh kebijakan yang mengubah hubungan kekuasaan. 2. Para pedagang kaki lima yang dipindahkan ke pasar diberi SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan), SHP (Surat Hak Penempatan) dan KTPP (Kartu Tanda Pengenal Pedagang), sehingga status mereka berubah dari pedagang sektor informal menjadi formal. 3. Selain itu, Pemkot juga telah menyediakan berbagai pilihan ruang atau tempat usaha bagi PKL, yaitu shelter, tenda (di trotoar dan jalan dengan waktu terbatas), gerobak dan tenda.11 4. Memfasilitasi pendirian koperasi bagi para pedagang agar mereka bisa mandiri dalam hal keuangan. Tindakan struktural ini telah mengubah pattern of power relations dalam konteks kehidupan PKL atau sektor non-formal sekaligus memicu perkembangan kultural dan prosesual, seperti perubahan sistem nilai dan sikap para PKL, budaya berorganisasi, partisipasi. Dengan demikian, struktur regulasi Kota Solo telah berhasil, hingga tingkat tertentu, menegakkan kewajiban terhadap PKL untuk keluar 11 Data menunjukkan bahwa dalam sektor informal terdapat stratifikasi yang kompleks: (a) pemilik kios di tanah resmi, (b) pemilik kios di tanah tidak resmi, (c) PKL yang yang diberi tempat sementara di jalan/kaki lima untuk tujuan wisata kuliner, misalnya di Gladak, (d) pedagang ”liar” yang berada di kaki lima di tengah kota, (e) pedagang kaki lima di gang/pelataran rumah, (f ) pedagang asongan/keliling dan sebagainya. Berbagai jenis pilihan tempat usaha itu dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai strata ini, walaupun saat ini belum sebagian besar terjangkau. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 111
dari tanah yang tak berizin sekaligus memberikan hak melanjutkan usaha dengan fasilitas yang terjangkau oleh mereka. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini akan menelusuri apakah struktur regulasi ini mampu menghasilkan suatu pembangunan sosial, misalnya bagaimana pola hubungan kekuasaan antara Pemkot dengan pelaku sektor informal diatur kembali. Isu sosiologis yang relevan di sini adalah: bagaimana pembagian kekuasaan antara PKL, pedagang formal dan Pemkot diatur kembali? Siapa penentu kebijakan? Bagaimana pola pengambilan keputusan? Bagaimana pola penyampaian aspirasi? Bagaimana pola penertiban (koersif atau komunikatif)? Bagaimana pola penggerakan partisipasi masyarakat? Bagaimana pola unjuk rasa dan sebagainya? Dengan kata lain perlu dikaji lebih jauh apakah stratifikasi sosial di Solo akan menjadi lebih bersifat terbuka atau tertutup. Inilah hakekat dasar pembangunan sosial. PE M B A N G U N A N K U LT U R A L
Kultur adalah sesuatu yang mendarah daging, bertahan lama dan tidak terlalu mudah untuk berubah dengan sendirinya. Uraian di atas menunjukkan bahwa salah satu hal yang efektif merubah kultur adalah melalui kekuatan struktur berupa pengembangan kebijakan, perundangan-undangan, program, proyek hingga penetapan anggaran pembangunan kota. Tetapi kita juga melihat bahwa akar dari perubahan struktural di Solo sebenarnya berasal dari komitmen walikota terhadap nilai inklusi. yaitu pembangunan ekonomi wong cilik. Dengan demikian, landasan dari perubahan struktural Kota Solo adalah faktor kultural dari walikota sendiri, yang kemudian diterjemahkan ke dalam tatanan struktural dan dilaksanakan dengan konsisten. Jadi, dalam hal ini, yang terjadi adalah kultur melahirkan struktur dan selanjutnya struktur melahirkan kultur baru (structureculture self reinforcing process). Di Solo, upaya struktural untuk membangun kebudayaan ditandai dengan kebijakan “Eco-Cultural City”, yang pertimbangannya antara lain memberikan arah budaya pada Kota Solo dan mengembangkan identitas kota. Hal ini dilihat penting untuk menanggulangi proses kemunduran budaya di Solo. Karakter Solo masa lalu dipandang lebih baik dan membanggakan daripada masa sekarang. Hal itu mendorong Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
112 |
PAU LUS W IRU TOMO
walikota untuk merumuskan slogan: Solo masa depan adalah Solo masa lalu.12 Untuk memberikan kesempatan berpartisipasi nyata kepada para pedagang kaki lima, Jokowi telah menghidupkan kembali tradisi lama sarasehan gaya masyarakat Solo, yaitu jagongan, yang secara informal dapat menjadi arena untuk menegosiasikan kepentingan PKL versus kepentingan Pemkot dan seluruh masyarakat Solo. Bila tradisi ini dijadikan suatu prosedur formal, hal itu akan menjadi suatu gejala budaya yang distrukturkan. Pemberian kios sebagai milik pribadi telah mengembangkan berbagai sistem nilai yang lebih positif kepada para pedagang sebagai warga kota, yaitu nilai kebersihan, keindahan (kegiatan menghias kompleks pasar), kreativitas (acara kesenian untuk promosi pasar) dan tanggungjawab (daftar hadir rapat). Tentang kebersihan, seorang Pedagang Pasar Klewer mengatakan bahwa pasar sekarang lebih bersih, lebih teratur. Mereka merasa tidak nyaman bila tidak membersihkan tempat kerjanya sendiri. Mengenai kontrol sosial terhadap orang yang melanggar aturan, seorang PKL mengatakan: “ … Kepala paguyuban kan sudah diserahkan ke ketua kelompok, ketua kelompok ga sanggup langsung diserahkan satpam…..misalnya menaruh barangnya menjorok itu Pak, itu kita serahkan ke yang wajib.” (Wawancara dengan seorang PKL Pasar Klewer) Sikap partisipatif para pedagang dalam paguyuban pedagang pasar juga berkembang. Artinya, suatu peraturan yang memberikan fasilitas fisik ternyata bisa memberi dampak perubahan kultural. Program revitalisasi budaya di Solo ternyata berdampak pada pengembangan budaya masyarakat Solo. Hal ini telah menghasilkan kegairahan budaya masyarakat PKL, misalnya pada cara menghias tenda-tenda PKL. Yang lebih menarik lagi, ketika para PKL bersepakat dengan Pemkot untuk pindah ke Pasar Klitikan, mereka 12 Misalnya julukan “Solo sumbu pendek” (Solo yang mudah membara) sekarang ini akan dikembalikan menjadi “Solo sumbu panjang”. Kebijakan yang paling menonjol dibidang pengembangan karakter-budaya adalah kebijakan anti kekerasan dalam penanganan ketertiban kota. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 113
menyelenggarakan kirab tradisional secara besar-besaran sehingga mewarnai suasana kota dengan nuansa tradisional. Peraturan anti kekerasan yang ditujukan kepada petugas Satpol PP perlu dipantau dengan mengukur statistik bentrokan atau konflik massal antara Pemkot vs PKL dalam penertiban, demonstrasi, dan sebagainya (data tentang hal ini belum tersedia). Namun, peraturan itu nampaknya sudah mempengaruhi dan mewarnai interaksi seharihari antara Satpol PP dengan para PKL sehingga struktur yang ada mulai berproses, seperti terlihat dalam penertiban tanpa kekerasan. Gejala ini lama-kelamaan bisa berkembang menjadi budaya atau proses yang membudaya (cultured process [CP]). Artinya proses interaksi sehari-hari telah membudaya dalam masyarakat Solo.13 Itu merupakan gejala bahwa struktur yang dibuat Pemkot telah menjadi budaya (cultured structure [CS]). PE M B A N G U N A N PRO S E S S O S I A L 14
Proses sosial adalah unsur amat penting dalam pembangunan sosial, karena melalui proses inilah perubahan struktural dan kultural dimulai. Jokowi, berbeda dengan kebanyakan pemimpin daerah lainnya, agaknya sangat sadar tentang hal ini. Untuk merelokasi PKL ke pasar tradisional, Jokowi menggunakan tradisi masyarakat Solo, yaitu jagongan (pertemuan informal yang tidak menekankan pada target apapun). Jagongan antara walikota dengan para PKL yang berlangsung 54 kali membuktikan walikota benar-benar siap menjalani proses sosial yang bersifat mengalir, tidak formal, dan para pihak bisa menegosiasikan konsep keteraturan kota. Pendekatan tradisional ini sebenarnya melanggar azas pembangunan, yaitu efisiensi, tetapi secara sosiologis ternyata efektif. Tindakan ini merupakan “proses yang distrukturkan” (structured process [SP]); interaksi informal dijadikan 13 Keadaan ini bahkan telah menghasilkan berbagai konsekuensi yang tidak diperhitungkan atau ditargetkan sebelumnya , misalnya saat ini SKPD yang paling menguasai informasi lapangan tentang aspirasi komunitas PKL justru Satpol PP, karena mereka lebih banyak terlibat dalam dialog dan negosiasi (tanpa kekerasan) dengan para PKL. 14 Perbedaan antara proses sosial dan kebudayaan terletak pada tingkat internalisasi dari perilaku. Bila suatu gejala telah mendarah daging pada tingkat individu atau menjadi tradisi pada tingkat kelompok, artinya gejala itu telah membudaya, sedangkan proses masih belum mendarah daging, belum terikat pada budaya atau struktur yang ada. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
114 |
PAU LUS W IRU TOMO
prosedur resmi pendekatan pemerintah kepada rakyat. Ini artinya birokrasi yang beku menjadi lebih luwes dan manusiawi. Jokowi menamakan para PKL yang telah direlokasi sebagai saudagar, bukan pedagang liar yang setiap hari dikejar-kejar aparat keamanan dan ketertiban pemerintah kota dan harus siap digusur setiap waktu. Perubahan status ini ternyata telah memberikan harga diri pada mereka baik di hadapan orang lain maupun keluarganya. Seorang PKL mengatakan: “Dulu, ... saya lebih takut dengan hujan daripada Satpol PP, karena kalau hujan saya harus kukut-kukut barang dagangan saya, sekarang ini tidak lagi, bahkan sekarang keluarga, anak bisa main ke sini, seperti ke kantor bapaknya, dulu tidak mungkin selain kumuh juga bercampur ada yang minumminum, “main” dan lain-lain.” (Wirutomo dkk. 2010) Status sebagai saudagar juga telah mendorong munculnya berbagai sikap mental yang positif pada PKL. Mereka mulai beraspirasi untuk mengembangkan usahanya, memacu kreativitas, sikap bertanggungjawab terhadap kebersihan kompleks pasar, dan merancang acara budaya untuk promosi pasar. Proses-proses sosial baru ini bisa mengembangkan aspek kultural, yaitu sistem nilai kebersihan, ketertiban, prestasi dan sebagainya. Saat ini mungkin berbagai nilai itu baru berbentuk “proses” belum benar-benar “membudaya” (cultured). Bila telah membudaya, terjadilah suatu “cultured process” (proses yang membudaya). Para pedagang mengatakan walikota sering mengunjungi pasar secara incognito dengan bersepeda onthel dan berbincang secara santai dan informal. Gaya komunikasi blusukan ini mungkin masih sangat bersifat pribadi dan belum menjadi pola baku yang diresmikan melalui aturan atau instruksi (distrukturkan). Kebiasaan perorangan ini mungkin juga belum menjadi budaya di kalangan para birokrat kota. Tetapi gaya sang pemimpin ini merupakan suatu proses sosial yang sangat penting yang sedang terjadi pada masyarakat Solo. Proses ini sangat berpotensi berkembang menjadi struktur (structured process) maupun kultur masyarakat Solo (cultured process). Instruksi walikota tentang pendekatan non kekerasan bagi Satpol PP dalam menertibkan PKL telah mendorong munculnya proses sosial yang menarik. Tanpa dibekali pentungan, aparat Satpol PP “terpaksa” Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 115
mengasah kemampuan mereka menertibkan PKL dengan cara lain. Mereka diwajibkan membawa buku saku berisi Perda tentang PKL. Dengan cara itu, mereka belajar memainkan peran sebagai pendidik (agent of socialization) tentang Perda kepada komunitas PKL. Mereka berusaha mengubah peran dari “penggebuk” dan “penggusur” menjadi pendidik. Jadi di sini struktur telah mendorong terjadinya proses adaptif sehari-hari melalui interaksi sosial. Pernyataan Kepala Satpol berikut perlu disimak: “Kita mengkoordinasikan sekaligus juga menertibkan, tapi tidak semena-mena langsung angkut... kan engga. Karena kita mengedepankan istilah di Solo itu “nguwongke wong” [memanusiakan manusia pen.]. Dengan hati kita menertibkan seperti itu, dengan koordinasi, dengan… komunikasi dan solusi”. (Wirutomo dkk. 2010) Uraian di atas merupakan gambaran dari interaksi struktur-kulturproses. Pendekatan non-kekerasan sering dianggap tidak efektif dan tidak efisien, tetapi hal itu membuat penindakan secara fisik menjadi tidak banyak dan kesadaran para PKL meningkat: “[Penindakan pen.]... tidak banyak… Rambu-rambu itu sangat dipatuhi. Apabila ada patroli, mereka sangat takut Pak. Sangat tertib Pak. Mereka juga sudah tau daerah-daerah yang steril dari PKL. Ya sampai sekarang ini belum ada terjadi bentrok dengan PKL-nya Pak. Ya sebisa mungkin diantisipasi supaya tidak seperti itu.” (Wirutomo dkk, 2010). Mengenai komunikasi dengan masyarakat PKL, Ketua Satpol PP mengatakan: “Kita tidak hanya sekedar menegakkan Perda aja ya Pak ya. Dengan komunikasi.., kita tau kesulitannya apa. Misalnya…. tidak ada pembeli yang kesini …… kita mengumpulkan semua PKL itu lalu mengkomunikasikan kepada dinas pasar dan Pak Wali tentunya. Sehingga Pak Wali langsung mengadakan pertemuan...” (Wirutomo dkk. 2010).
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
116 |
PAU LUS W IRU TOMO
Pemkot Solo juga menentukan SOP (Standar Operation Procedure) bagi Satpol PP bahwa mereka (dalam keadaan berseragam) tidak boleh membeli makanan atau apapun kepada pedagang kaki lima. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi sikap mereka sehingga bisa berwibawa di depan para PKL. Semua ini mungkin belum membudaya, tetapi secara sosiologis telah menjadi proses sosial yang baik. Salah satu aspek proses sosial yang banyak memperoleh perhatian walikota adalah penciptaan public sphere (ruang ekspresi warga). Karena itu walikota sangat aktif menyediakan ruang publik (public space) untuk kepentingan itu. Menurut walikota: “Yang paling penting bagi saya membuat ruang kepada masyarakat untuk saling bertemu, jangan dilihat hanya dari sisi ekonominya saja, saling bertemu saling menyapa, ada sisi ruang sosial dan budayanya. Ruang-ruang seperti itu yang saya kira diperlukan kota agar menjadi hidup dan sehat. Tahun depan kita akan buat lagi 3400 ruang pertemuan warga untuk mempererat kohesivitas.” (Wirutomo dkk. 2010) Tindakan Pemkot membuka ruang terbuka bisa mengembangkan aktivitas kewargaan yang dapat mengembangkan kesempatan rakyat untuk mengekspresikan aspirasi dan kreativitas mereka.15 Berkembangnya public space (taman atau ruang terbuka lain, seperti city walk atau jalan raya yang ditutup pada waktu-waktu tertentu) membuka banyak sekali kegiatan kreatif warga di ruang publik, seperti pagelaran seni jalanan bahkan aksi teatrikal yang bersifat kontrol sosial. Hal ini merupakan suatu gejala “membudayanya pola interaksi yang baru” (cultured process [CP]). Adanya peraturan-peraturan baru yang diterapkan oleh Pemkot merupakan pembangunan struktural yang penting. Bagaimana pelaksanaannya? Hal ini adalah aspek proses sosial yang perlu kita amati terus di lapangan. Sejauh mana ada negosiasi antara Pemkot dan masyarakat? Misalnya, dalam konteks relokasi PKL di Panggungrejo yang masih bermasalah, Kepala Satpol PP mengatakan: 15 Konsistensi Pemkot Solo bahwa penggusuran atau pembebasan tanah benar-benar digunakan untuk ruang publik (bukan mal) menimbulkan rasa percaya (trust) rakyat terhadap itikad baik pemerintah, sehingga mereka tidak terlalu resisten lagi terhadap penggusuran atau pembebasan tanah. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 117
“Pak Wali kan sudah tau dari saya (Ketua Satpol pen.) melalui komunikasi dari PKL-PKL tadi. Beliau mendengarkan sendiri permasalahan jalan, angkutan. Akhirnya pak wali memberikan usul….biar rame, dibikinin hotspot. Itu toh dibikin di deket UNS supaya banyak yang dateng. Akses jalannya digempur, biar semuanya lancar. Lalu ada juga yang minta wayangan,… sama Pak Wali. Oke, disetujui…. Kita melakukan ini untuk memudahkan semua…. Ada juga solusi..jualan buku yang kayak di Jogja itu Pak. Sampai sejauh itu Pak Wali memikirkan hal itu, sehingga dapat dikatakan PKL-PKL di Solo itu dimanjakan.” (Wirutomo dkk. 2010) Unsur proses sosial lain adalah kecenderungan perkembangan pola berorganisasi, jejaring sosial (social capital) dari sektor informal, seperti perkembangan jumlah paguyuban, aktivitas paguyuban PKL; pola sosialisasi dan pelatihan yang mencerdaskan dan mencerahkan (mengembangkan kesadaran) para PKL. Proses sosial juga bisa berupa gerakan sosial yang mendukung maupun menentang peraturan yang ada, misalnya reaksi media, demonstrasi. M E N I L A I PE M B A N G U N A N S O S I A L S E K T O R I N F O R M A L DI KO TA S O L O
Pertanyaan paling dasar dari tulisan ini bisa dirinci sebagai berikut: apakah ada pembangunan struktural (kebijakan, UU) yang mampu menyeimbangkan relasi kekuasaan yang ada serta mengkoreksi ketimpangan sosial? Apakah ada peningkatan kualitas kultur, seperti sistem nilai, tradisi, sistem kepercayaan sehingga keadaban publik semakin berkualitas? Apakah proses sosial memberikan ruang untuk menegosisasikan kembali keteraturan struktural dan kultural yang ada, berpartisipasi secara kreatif dan bisa mengevaluasi pembangunan? Perlu juga diamati bagaimana dampak berantai atau perpotongan antara komponen struktural-kultural (structured culture dan/atau cultured structure), struktural-proses (structured process dan/atau processed structure), kultur-proses (cultured process dan/atau processed culture). Sejauh mana dampak berantai itu mengarah pada inklusi sosial yang lebih tinggi kualitasnya (good society)? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: indikator pembangunan struktural lebih banyak menyangkut Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
118 |
PAU LUS W IRU TOMO
kegiatan pemerintah dalam menciptakan peraturan atau regulasi yang ditujukan untuk menyeimbangkan hubungan kekuasaan antar golongan dan kelompok dalam masyarakat dan bagaimana aturanaturan itu efektif dilaksanakan (rule enforcement). Sedangkan dalam aspek budaya, indikatornya adalah segala gejala tertanamnya sistem nilai dan tradisi baru pada masyarakat merupakan penerima akibat langsung atau tak langsung dari pembangunan struktural. Dalam aspek proses sosial, indikatornya adalah perkembangan interaksi dan dinamika sosial pada masyarakat Solo sebagai akibat dari perubahan struktural maupun kultural. Perlu diingat bahwa pembangunan kultur dan proses juga bisa memberi dampak balik pada pembangunan struktur sehingga bisa terjadi proses saling mendorong (sef reinforcing process). Jokowi memang telah melakukan serangkaian tindakan pembangunan sosial dalam sektor informal di Solo, tetapi apakah hal itu harus dinilai secara lebih makro-komprehensif? Misalnya, apakah relokasi PKL di Solo menghasilkan inklusi sosial yang signifikan? Data Bappeda tahun 2009 menunjukkan luas kawasan industri meningkat (sekitar 130%) pada tahun 2009. Kawasan kumuh perkotaan dari tahun 2005 sampai 2007 cenderung tetap, yaitu sekitar 101,42 ha. Pasar tradisional meningkat antara tahun 2005-2009 (naik sekitar 1%), sedangkan pasar swalayan meningkat dari 20 pada tahun 2005 menjadi 31 pada tahun 2009 (naik sekitar 50 %). Pada tahun 2009 jumlah hypermart bertambah 1, pasar grosir 2 dan mall 2 buah. Dilihat secara makro kuantitatif, pembangunan sosial di Solo belum terlalu memuaskan, tetapi analisis struktural-kultural dan prosesual menunjukkan adanya kecenderungan menuju pada pembangunan sosial secara konsisten dan signifikan. Sejauh ini yang kita ukur masih capaian sektoral, bukan sosietal.16 Pembangunan sosial yang bersifat sosietal adalah syarat dari segala pembangunan bagi manusia sebagai social being, karena itu pencapaiannya harus diukur dalam suatu Indeks Pembangunan Sosial.
16 Pembangunan sektoral tanpa pembangunan societal tidak akan menjamin kebrlanjutan dan bersifat genuine, sebab seringkali hanya dijadikan “pelipur lara” oleh kekuatan “kapitalis raksasa” yang berkerjasama dengan “penguasa” agar kondisi societal (struktur, kultur, proses) yang tidak adil bisa tetap dipertahankan demi kepentingan mereka. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
MENCARI MAKNA PEMBANGUNAN SOSIAL
| 119
K E S I M PU L A N
Perbedaan pokok antara pembangunan sosial dengan pembangunan sektoral yang kita kenal saat ini adalah pada orientasinya. Pembangunan sosial bukan sekedar memperbesar dan mempercepat output material atau ekonomi, tetapi bagaimana membangun ekonomi yang berakar pada elemen dasar kehidupan sosial masyarakat, yaitu struktur (keseimbangan hubungan kekuasaan menjadi lebih inklusifpartisipatoris),17 kultur (sistem nilai yang mengangkat martabat kemanusiaan),18 proses sosial (ruang bebas untuk berekspresi, beraspirasi dan bernegosiasi). Karena itu, penekanan pada konsep pembangunan sosial-budaya bukan memisahkan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial, tetapi justru menyatukannya secara sistemik. Paradigma baru pembangunan seperti Human Development (UNDP) dan MDGs (UN) memang merupakan loncatan besar dalam konsep pembangunan, tetapi keduanya masih terbatas pada pencapaian target sektoral, seperti pendidikan, kesehatan dan tidak mendasar pada perbaikan kehidupan sosial warga masyarakat. Pada masa depan, pembangunan kita harus mengarah pada pembangunan kehidupan sosial-budaya. DA F TA R PU S TA K A
Bellah, Robert et. al. 1992. The Good Society. New York: Alfred A. Knopf Inc. Checkland, Peter and Jim Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action, Include a 30-year Retrospective. Chichester: John Wiley and Sons, Ltd. Checkland, Peter and John Poulter. 2006. Learning for Action: a Short Definitive Account of Soft Systems Methodology and Its Use for Practitioners, Teachers and Students. Chichester: John Wiley and Sons, Ltd. Conyers, Diana. 1982. An Introduction to Social Planning in the Third World. Chicester: John Willey and Sons. 17 Sejak lama Karl Marx telah menyatakan bahwa yang harus dikoreksi dari kapitalisme adalah power relation of production yang eksploitatif terhadap buruh. 18 Semua pembangunan harus punya komitmen terhadap sistem nilai tertentu. Nilai inklusi adalah yang paling dasar bagi pembangunan sosial. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120
12 0 |
PAU LUS W IRU TOMO
du Bois, William and R. Dean Wright. 2001. Applying Sociology: Making a Better World. Boston: Allyn and Bacon. Etzioni, Amitai. 1993. The Spirit of Community Rights, Responsibilities and the Communitarian Agenda. New York: Crown Publishers. Habermas, Jurgen. 1976. Legitimate Crisis. London: Heinemann. Hall, Anthony and James Midgley. 2004. Social Policy for Development. London: Sage Publications. Herlambang, Suryono. 2010. “Kota Hijau atau Kota yang Adil: Mendesain PKL di Era Kota Neoliberal dan Kota Hijau Lestari". Makalah. Korten, David C. 2006. The Great Turning. San Fransisco: Berret Koehler Publisher Inc. and Kumarian Press. Midgley, James. 1995. Social Development: the Development Perspective in Social Welfare. London: Sage Publications The Hong Kong Council of Social Service. 2002. Social Development Index 2002, Major Findings. Available at http://www.hkcss.org.hk/ pra/sdi_e.pdf. UNDP. 1995. Human Development Report 1995. New York: Oxford University Press. UNDP. 1997. Human Development Report 1997. New York: Oxford University Press. Wilson, Brian. 1990. Systems: Concepts, Methodologies and Application. John Wiley and Sons Inc, Chichester. Wirutomo, Paulus, et. al. 2010. “General Design for Socio Cultural Development at Depok City”. An unpublished research report. Wirutomo, Paulus dkk. 2011. “Pengembangan Indeks Pembangunan Sosial bagi Sektor Informal di Kota: Studi Kasus Kota Depok dan Solo". Laporan Penelitian.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 1, Ja nu a ri 2013: 101-120