Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
POLICY PAPER No. 17 MEI 2013
MENCARI INSENTIF YANG EFEKTIF MENDORONG PERTUMBUHAN BISNIS DAN EKONOMI
Daftar Isi Team
○
○
○
○
○
○
○
i
Latar Belakang
○
○
○
○
○
○
○
1
Konsep dan Definisi Insentif
○
○
○
○
○
○
○
2
○
○
○
○
○
○
○
4
Kondisi untuk Insentif yang Efektif
○
○
○
○
○
○
○
6
Kebijakan Insentif di Indonesia
○
○
○
○
○
○
○
13
Peran Insentif Sebagai Pendorong Pertumbuhan Dunia Usaha
Tax Holiday
○
○
○
○
○
○
○
15
Rekomendasi Kebijakan
○
○
○
○
○
○
○
18
Daftar Pustaka
○
○
○
○
○
○
○
19
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Team
Penulis : Tulus T.H. Tambunan
Steering Commitee 1. Hariyadi B. Sukamdani 2. Emirsyah Satar 3. Maxi Gunawan 4. Rahardjo Jamtomo Active Team 1. Didik J. Rachbini - Executive Director 2. Tulus Tambunan - Senior Economist and Project Team Leader 3. Rasidin Sitepu - Junior Economist 4. M. Hakim - Legal Councel 5. Yohanna M.L Gultom - Social Scientist 6. Aslim Nurhasan - PR Professional/Expert
Tulisan ini merupakan hasil pemikiran Tim Advokasi Program ACTIVE. Pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini dapat diajukan kepada Tim ACTIVE Kadin Indonesia di
[email protected]
i
Karena, dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah jumlah dari pertumbuhan output dari semua sektor ekonomi atau semua kegiatan ekonomi formal (karena kegiatan ekonom informal tidak tercatat oleh Badan Pusat Statistik/BPS), maka dalam upaya menaikkan laju pertumbuhan PDB dengan sendirinya pemerintah Indonesia mengalihkan perhatiannya kepada kemampuan dunia usaha di dalam negeri untuk bisa terus tumbuh. Dan salah satu cara yang pemerintah selalu lakukan selama ini adalah memberikan insentif, terutama insentif fiskal, bagi dunia usaha. Tentu sudah bukan lagi sebuah rahasia umum, bahwa perkembangan atau kelangsungan sebuah bisnis atau kegiatan ekonomi dipengaruhi oleh sederet faktor, langsung maupun tidak langsung, pada waktu
Programme
Hingga tahun 2012 sejak pulih kembali akibat krisis keuangan Asia 1997/98 lalu Indonesia berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang positif walaupun sempat diterpa krisis ekonomi global pada periode 2008-2009 dan kondisi ekonomi global hingga saat ini yang masih mengalami kelesuhan terutama akibat masih berlangsungnya krissis euro. Namun ada kemungkinan bahwa tahun 2013 ini laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional akan merosot, yang juga menjadi alasan pemerintah merevisi target pertumbuhan PDB tahun ini yang ditetapkan sebelumnya menjadi sedikit lebih rendah yakni 6,2 persen yang menjadi target anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) tahun 2013. Perkiraan bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini akan lebih rendah daripada target semula tentu memiliki suatu alasan kuat, yakni perekonomian dunia yang juga diperkirakan akan melesuh.
yang bersamaan. Ini artinya, memberikan sebuah insentif saja, tidak menentukan kemampuan sebuah kegiatan ekonomi untuk tumbuh. Dalam kata lain, insentif harus merupakan sebuah pelengkap bukan substitusi bagi faktor-faktor determinan utama seperti stabilitas politik dan sosial, luas dan pertumbuhan pasar dalam negeri, pasar tenaga kerja yang fleksibel dan efisien, dan masih banyak lagi.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
I. Latar Belakang
Policy paper mencoba menjawab pertanyaan: jenis atau bentuk insentif yang bagaimana yang efektif mendorong pertumbuhan kegiatan bisnis di Indonesia. Memang menjawab pertanyaan ini tidak mudah, karena bukan saja tergantung pada jenis yang tetap sesuai kondisi atau masalah yang ada yang dialami oleh sebuah kegiatan bisnis yang diberikan insentif tersebut tetapi juga ada sejumlah prakondisi agar sebuah insentif bisa berhasil. Oleh karena alasan ini maka sangat mungkin bahwa sebuah insentif terbukti sangat efektif di sebuah negara atau untuk sebuah sektor ekonomi namun tidak punya efek-efek positif di negara lain atau untuk sektor ekonomi lainnya. Pembahasan di dalam policy paper ini dibagi ke dalam empat bab sebagai berikut. Bab II menyangkut pemahaman, konsep atau definisi dari insentif. Bab III membahas secara teoretis posisi atau pentingnya insentif di antara sejumlah faktor penentu dinamika pertumbuhan output dari sebuah bisnis atau kegiatan ekonomi. Bab IV membahas insentif yang efektif untuk pertumbuhan dunia usaha. Bab V membahas bentuk insentif yang paling diandalkan selama ini oleh pemerintah Indonesia dalam memberikan insentif bagi dunia usaha, yakni keringanan pajak (tax holiday) dengan tujuan untuk meningkatkan investasi dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi nasional.
1
Programme
II Konsep dan Definisi Insentif
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Konsep atau definisi insentif lebih banyak ditemukan di dalam literatur manajemen daripada di dalam literatur ekonomi makro, karena memang pemberian insentif lazim terjadi di banyak perusahaan. Kamus Manajemen menyatakan bahwa insentif adalah sesuatu yang mendorong atau merangsang seseorang atau sekelompok orang atau sebuah perusahaan atau sekelompok perusahaan untuk melakukan suatu tindakan, misalnya meningkatkan produksi (http:// www.kajianpustaka.com/2013/03/pengertianbentuk-dan-tujuan-insentif.html). Dari literatur mengenai manajemen, kesimpulan umum adalah bahwa insentif dipahami sebagai suatu alat atau cara untuk mendorong karyawan/pekerja agar lebih meningkatkan produktivitas kerjanya untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan (misalnya meningkatkan keuntungan setiap tahun). Misalnya, Gorda (2004) mengatakan bahwa di dalam sebuah perusahaan insentif adalah suatu sarana memotivasi dalam bentuk materi (misalnya uang atau hadiah barang) yang diberikan sebagai suatu perangsang ataupun pendorong dengan sengaja kepada para pekerja dengan tujuan agar mereka menjadi lebih semangat untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Manullang (2003) memahami insetif sebagai suatu sarana motivasi/sarana yang menimbulkan dorongan (bagi seseorang atau perusahaan) untuk melakukan sesuatu kegiatan. Cascio (1995) berpendapat bahwa insentif adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada individu (misalnya pegawai) dalam suatu kelompok (misalnya perusahaan), yang diketahui berdasarkan perbedaan dalam mencapai hasil kerja. Penghargaa ini khusus dirancang untuk memberikan sebuah rangsangan atau memotivasi bagi karyawan agar berusaha meningkatkan produktivitas kerjanya. Sedangkan menurut Harsono (2004)
2
insentif adalah sebuah sistem kompensasi dimana jumlah yang diberikan tergantung pada hasil yang dicapai, yang berarti menawarkan sesuatu insentif kepada pekerja untuk mencapai hasil yang lebih baik. Di dalam dunia usaha atau perusahaan ada berbagai bentuk insentif yang bisa (umum) diberikan, dan menurut Koontz, dkk. (1986), diantaranya adalah berupa uang, partisipasi, dan lingkungan kerja. Dalam bentuk uang: dengan memberi uang berarti memberi alat untuk merealisasikan kehidupan pegawai, dan hal ini dapat merangsang pegawai untuk selalu meningkatkan prestasi kerjanya. Dalam bentuk partisipasi: memberikan dorongan yang kuat untuk meningkatkan kesadaran melakukan tugas yaitu dengan diberikannya perhatian, kesempatan untuk berkomunikasi dengan atasan, Dalam bentuk lingkungan kerja: menciptakan lingkungan kerja yang baik sehingga dapat diberikan juga penghargaan kepada pegawai yang menghasilkan prestasi yang tinggi. Sedangkan di dalam literatur ekonomi, relevansi dari insentif terkait dengan salah satu dari 10 prinsip ekonomi (orang bersikap rasional, melakukan pertukaran/trade-off, dan seterusnya), yakni orang tanggap terhadap insentif: seseorang biasanya akan lebih giat/ aktif saat ia mendapatkan keuntungan tambahan dari apa yang ia kerjakan. Contohnya seseorang akan bekerja sesuai porsi saat penghasilannya tetap, tetapi saat ada insentif maka ia akan bekerja secara ekstra dari sebelumnya. Menurut Pascasuseno (2012), pemberian insentif dapat diartikan sebagai sebuah bentuk dorongan atau rangsangan yang umumnya berasal dari faktor eksternal (dalam hal ini pemerintah) yang dilakukan untuk mempengaruhi atau memotivasi individu atau kelompok usaha melakukan suatu perubahan tertentu. Sedangkan Dewi (2011) mengutarakan berikut ini: secara konsep, insentif dapat diartikan sebagai suatu tindakan
Jenis-jenis insentif ini memiliki beberapa versi namum pemerintah biasanya memberikan 3 jenis insentif, yaitu: insentif moneter, insentif fiskal, dan non fiskal dan moneter. Insentif moneter adalah semua insentif yang terkait perbankan seperti penurunan suku bunga dan keringanan pinjaman bank. Insentif fiskal adalah adalah pemanfaatan APBN untuk mempengaruhi kegiatan bisnis atau pertumbuhan ekonomi. Bentuk insentif fiskal adalah misalnya penghapusan atau keringanan bea masuk atau bea keluar atau pajak, dan pemberian subsidi (Sharee, 2013). Sedangkan insentif non-fiskal dan moneter adalah semua insentif yang tidak terkait dengan fiskal maupun moneter, yakni insentif yang berbentuk fasilitas baik fisik maupun non fisik, seperti keamanan, kemudahan perizinan, kemudahan mendapatkan lokasi, kemudahan akses ke pasar, kemudahan askes ke teknologi, pelayanan, dan infrastruktur (http://www.indonesiakreatif.net/ index.php/id/tulisananda/read/berharap-padainsentif-pemerintah-untuk-industri-kreatif). Berbeda dengan insentif fiskal, insentif nonfiskal lebih sulit dan bersifat jangka panjang dari sisi dampaknya. Dengan landasan prinsip di atas ini, insentif bagi sebuah perusahaan harus dilihat dalam hubungannya dengan total biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan tersebut apabila melakukan suatu kegiatan, misalnya membuka pabrik baru di wilayah lain. Secara matematik sederhana, insentif dapat dirumuskan sebagai berikut: Insentif = Total Biaya - Biaya Net
(1)
atau, Biaya Net = Total Biaya - Insentif
(2)
Programme
Artinya, semakin besar nilai insentif (misalnya, insentif pajak: pengurangan pajak keuntungan/ pendapatan/penambahan nilai) yang diberikan kepada sebuah perusahaan, semakin kecil ‘biaya net’ atau biaya yang sebenarnya (harus) dikeluarkan oleh perusahaan itu dalam melakukan suatu kegiatan, dan, ceteris paribus, semakin besar/ meningkat kegiatan tersebut yang merupakan tujuan utama dari pemberian insentif tersebut. Perkiraan jumlah biaya net yang akan dikeluarkan oleh perusahaan tersebut jika kegiatan yang sudah direncanakan (misalnya menambah jumlah pabrik dengan membangun pabrik-pabrik baru) dilaksanakan juga ditentukan oleh besar-kecilnya resiko yang akan dihadapinya, misalnya pabrik-pabrik baru tersebut ternyata tidak bisa beroperasi karena kesulitan mendapatkan bahan baku. Jadi, dalam hal ini, insentif yang diberikan pemerintah kepada sebuah perusahaan berfungsi sebagai suatu kompensasi bagi resiko yang dihadapi oleh perusahaan tersebut: semakin besar resiko bisnis semakin kecil/ kurang kegiatan (banyak kegiatan yang direncanakan batal/ditunda pelaksanaannya), atau, semakin besar insentif yang diberikan dengan resiko bisnis tertentu yang ada, semakin besar kegiatan.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
pemberian motivasi, dorongan, atau rangsangan bagi individu atau kelompok dalam bentuk pemberian fasilitas baik berupa finansial maupun non finansial yang bertujuan untuk mesejahterakan individu atau kelompok yang menjadi sasaran dari kebijakan insentif (hal. 88).
Analisa hubungan antara insentif, resiko bisnis, biaya net, dan kegiatan bisnis juga dapat dilihat dari ilustrasi sederhana di Gambar 1. Garis (a) adalah insentif yang ‘ideal’ atau yang diharapkan oleh sebuah perusahaan, yakni insentif sebesar atau yang mengkompensasi sepenuhnya resiko bisnis yang diprediksi dari pelaksanaan sebuah kegiatan usaha yang direncanakan: semakin besar resikonya semakin besar kompensasi atau insentif yang dibutuhkan. Garis (b) adalah sebuah hubungan negatif antara besarnya insentif yang didapat dan besarnya biaya net yang harus ditanggung oleh sebuah perusahaan, pada setiap resiko yang ada, dengan asumsi faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi biaya bisnis konstan:
3
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
semakin besar insentif yang diterima, semakin kecil biaya bisnis yang sebenarnya perusahaan tersebut tanggung. Garis (c) adalah sebuah hubungan negatif antara besarnya biaya yang sebenarnya harus dibayar dan volume kegiatan bisnis: semakin rendah biaya produksi semakin besar volume produksi, juga dengan asumsi
bahwa determinan-determinan produksi lainnya tetap tidak berubah. Garis (d) adalah hubungan antara besarnya resiko yang diperkirakan dan volume kegiatan: semakin besar resiko yang diperkirakan akan muncul semakin sedikit kegiatan bisnis yang direncanakan sebelumnya terrealisasi, ceteris paribus.
Gambar 1: Hubungan antara Insentif, Biaya Net, Kegiatan Bisnis dan Resiko Bisnis Insentif
(b)
(a) 45 0 90 0 Risiko
Biaya Net
(c)
(d)
Kegiatan Bisnis
III Peran Insentif Sebagai Pendorong Pertumbuhan Dunia Usaha Bukan lagi suatu rahasia publik bahwa dinamika perkembangan atau pertumbuhan setiap jenis usaha/kegiatan bisnis dipengaruhi oleh banyak faktor pada waktu bersamaan. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung seperti misalnya stabilitas politik, dan banyak faktor yang berpengaruh secara langsung seperti regulasi atau kebijakan pemerintah pada sektor dimana usaha bersangkutan beroperasi. Tentu besar kecilnya derajat dari pengaruh dari masing-masing faktor tersebut berbeda antar jenis usaha, misalnya
4
antara usaha restoran dengan perusahaan otomotif. Selanjutnya, dilihat dari sisi perusahaan, faktor-faktor tersebut bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Kelompok pertama tersebut adalah faktor-faktor yang bisa dipengaruhi oleh perusahaan seperti modal, sumber daya manusia (karyawan, pekerja), organisasi, manajemen, penguasaan teknologi, dan lainnya. Sedangkan faktor-faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar kontrol perusahaan, mulai dari kelembagaan, infrastruktur, dan banyak lagi (Gambar 2). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan keberadaan insentif yang
- ketersediaan modal - ketersediaan SDM - penguasaan teknologi - organisasi - manajemen - visi dan misi perusahaan - strategi usaha yang diterapkan - dan lainnya
Dinamika dunia usaha
Faktor-faktor eksternal
Non-insentif - kelembagaan - infrastruktur - logistik - transportasi - pasokan energi - lembaga dan sistem pendanaan - lembaga pelatihan - lembaga riset - luas dan struktur pasar - bahan baku - kebijakan-kebijakan ekonomi & regulasi - kondisi politik dan sosial - sistem dan penegakan hukum - budaya masyarakat - dan lainnya
juga merupakan faktor berpengaruh terhadap kegiatan bisnis, faktor-faktor eksternal dapat kelompokkan ke dalam dua sub-kelompok, yakni faktor-faktor eksternal non-insentif dan insentif. Menurut Hamid (2005), ada pandangan bagi banyak pengusaha di Indonesia saat ini bahwa faktor-faktor yang sangat diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan bisnis adalah apa yang diformulasikan dengan unsur “3L + 1I” sebagai dasar pengambilan keputusan untuk investasi, yaitu: law enforcement, labour, local (pemerintahan daerah/otonomi), serta infrastruktur. Seperti yang ia jelaskan, hal ini berkmakna bahwa masalah penegakan hukum, perlu diperbaiki agar ada kepastian aturan dan usaha yang jelas. Aturan ini juga termasuk bidang perizinan dan perpajakan yang sejauh ini dinilai ‘bisa’ ditawar dan kurang memberikan kepastian, dan sebagainya. Demikian pula dalam hubungan dengan ketenagakerjaan. Pengusaha merasa selalu
Insentif: - keringanan pajak - kemudahan mendapatkan kredit - subsidi bunga pinjaman - penghapusan bea masuk impor/ bea keluar ekspor - subsidi energi - subsidi bahan baku - kemudahan administrasi dan perizinan - subsidi penyewaan gedung - subsidi harga tanah - fasilitas kemudahan lainnya
disudutkan kalau berhubungan dengan masalah perburuhan, dan sulit sekali untuk melakukan rasionalisasi atau pemutusan hubungan kerja, soal upah buruh, ketentuan cuti, dan sebagainya dianggap menyulitkan posisi pengusaha. Sementara di sisi lain para buruh merasa dieksploitasi oleh pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarmya. Pelaksanaan otonomi daerah juga sering menjadi rintangan bagi pelaku ekonomi untuk nvestasi di daerah-daerah. Adanya ketentuanketentuan lokal yang tidak jarang bertentangan dengan ketentuan pemerintah pusat, atau memberatkan investor di daerah, mengurangi hasrat pelaku ekonomi untuk melaksanakan kegiatan di daerah-daerah-daerah tersebut. Persoalan infrastruktur yang terbatas dan terkonsentrasi pada daerah tertentu juga perlu didorong pembangunannya. Hamid (2005) menegaskan bahwa berbagai variabel atau masalah di atas tersebut sangat perlu mendapat perhatian pemerintah jika ingin menggairahkan dunia usaha di dalam negeri, di samping
5
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Faktor-faktor internal:
Programme
Gambar 2: Peranan Insentif: Analisa dari Pendekatan Permintaan
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
memberikan insentif pajak atau insentif lainnya 1. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada sebuah perusahaan oleh perusahaan itu (bisa) dianggap sebagai sebuah kompensasi atas ekstra biaya atau resiko yang muncul yang harus ditanggung oleh perusahaan itu apabila melakukan suatu kegiatan bisnis akibat kondisi yang tidak ‘normal’. Yang dimaksud dengan ekstra biaya adalah biaya tambahan akibat kondisi yang tidak normal, atau total biaya yang sebenarnya di bayar lebih besar daripada yang seharusnya pada kondisi ‘normal’. Misalnya, apabila di suatu wilayah sudah ada infrastruktur yang bagus (kondisi ‘normal’), maka biaya melakukan bisnis di wilayah tersebut sebesar, sebut saja, ‘a’ rupiah. Namun karena belum ada jalan raya dan pelabuhan (kondisi ‘tidak normal’), biaya melakukan bisnis yang sama di wilayah itu mencapai ‘b’ rupiah, yang mana ‘b’ > ‘a’. Dengan memakai Gambar 2 sebagai sebuah kerangka analisa, maka dapat dikatakan bahwa insentif dibutuhkan untuk mengkompensasi kerugian yang dialami oleh setiap perusahaan akibat salah satu atau sebagian atau semua dari faktor-faktor eksternal non-insentif tidak dalam kondisi ‘normal’ atau yang umum disebut ‘kondusif ’, mulai dari, misalnya, logistik tidak efisien, infrastruktur buruk, fasilitas transportasi minim, pasokan energi kurang atau tidak stabil, pasar tenaga kerja kaku
1
6
atau tidak fleksibel, sumber pendanaan terbatas, hingga politik yang tidak stabil.
IV Kondisi untuk Insentif Yang Efektif Pertanyaan sekarang yang menjadi pembahasan utama di dalam policy paper ini adalah jenis atau bentuk insentif apa yang paling efektif untuk perkembangan atau pertumbuhan kegiatan usaha (misalnya, investasi). Pertanyaan ini sama seperti pertanyaan kebijakan apa yang paling efektif untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari pajak: apakah menaikkan tarif pajak atau menambah jumlah pembayar pajak (mengurangi batas minimum dan jenis pendapatan bebas pajak), atau memberikan sangsi lebih keras bagi wajib pajak yang tidak membayar, atau dengan cara-cara lain? Seperti halnya kebijakan untuk menaikkan pendapatan dari pajak, efektivitas dari kebijakan memberikan insentif bagi dunia usaha tergantung pada kondisi atau karakter tertentu dari pelaku (agen) bisnis dan jenis atau sifat dari bisnisnya (yang menjadi sasaran pemberian insentif) yang akan sangat menentukan bentuk reaksi/respons pelaku (agen) bisnis tersebut terhadap insentif yang diterimanya. Paling tidak, secara teori, ada lima (5) kondisi/karakter di mana sebuah insentif dengan tujuan meningkatkan kegiatan ekonomi tidak efektif atau bahkan tidak punya efek sama sekali:
Dalam upaya menarik investasi asing, khususnya investasi tetap atau penanaman modal asing (PMA), Indonesia harus bersaing dengan banyak negara tetangga yang juga menjadi pilihan oleh banyak PMA, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Cambodia, dan Filipina. Menurut Hamid (2005), Indonesia kurang nyaman dibandingkan negara-negara tetangga tersebut untuk melaksanakan bisnis. Ia mengungkapkan hasil penelitian dari Political Economic Research Consultancy (PERC) yang menunjukkan bahwa misalnya pada tahun 2002 Indonesia masuk terburuk nomor dua setelah India diantara 14 negara yang disurveinya. Dari laporan tersebut terlihat pula bahwa Indonesia menempati posisi terburuk dibandingkan dengan negara lainnya dalam hal kualitas sistem perpajakan (skor 8,67). Peringkat pertama terburuk bagi Indonesia juga dalam hal pembajakan hak milik intelektual (skor 9,83), ada/tidaknya monopoli/kartel (8,67), serta kemampuan peradilan melindungi hak milik intelektual dengan skor maksimal: 10! Sedangkan faktor birokrasi yang terkait dengan sogokan (red tape) menempati peringkat kedua terburuk (setelah India) dengan skor sebesar 9,33. Ini artinya bahwa memberikan insentif saja tidak cukup untuk menarik PMA.
2) agen binis tidak memiliki kehendak bebas atau dalam teori mikro, tidak memiliki fungsi utility pribadi melainkan mengikuti kehendak atau motivasi eksternal. Misalnya, dia berencana membuka sebuah restoran di Pondok Indah Jakarta Selatan hanya karena sahabatnya sudah (atau akan buka) punya restoran di wilayah itu;
2
3
Programme
sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh pelaku usaha di industri kreatif2; dan 5) insentif yang didapat oleh agen bisnis tidak sepadan dengan kerugian yang akan ditanggungnya apabila melakukan kegiatan bisnis di suatu wilayah. Misalnya, penghapusan pajak untuk 5 tahun tidak berhasil menarik investor masuk ke suatu wilayah karena kondisi infrastruktur dan tenaga kerja yang terlalu buruk di wilayah tersebut 3.
3) bentuk atau jenis insentif yang diberikan tidak relevan atau tidak tepat sesuai karakter dari agen bisnis yang berangkutan. Misalnya, karena sebagian besar pelaku usaha di industri kreatif di Indonesia adalah dari kategori usaha mikro, kecil dan menengah dan kebanyakan mereka beroperasi di sektor informal atau tidak membayar pajak apa pun, maka pemberian insentif pajak akan sia-sia;
Dari sisi empiris, pertanyaan tersebut di atas dapat ditanyakan langsung kepada pelaku usah atau calon investor lewat survei-survei lapangan atau focus group discussion (FGD). Dapat diasumsikan bahwa jika seorang pelaku usaha mengatakan bahwa insentif yang dia paling butuhkan adalah dalam bentuk subsidi dalam pembelian lahan, maka bentuk insentif itulah yang paling efektif bukan saja bagi dia tetapi juga bagi pelaku-pelaku usaha di bidang yang sama yang mana ketersediaan lahan merupakan input terpenting, dan dapat diharapkan dengan adanya insentif tersebut kegiatan usaha di bidang itu akan meningkat, ceteris paribus.
4) bentuk atau jenis insentif yang diberikan tidak relevan atau tidak cocok dengan sifat atau jenis dari usaha atau sektor dimana agen bersangkutan beroperasi. Jelas, bentuk insentif yang dibutuhkan pelaku usaha di industri makanan dan minuman
Pertanyaan di atas itu bisa juga ditanyakan dengan cara lain: apa yang paling dibutuhkan oleh seorang pelaku usaha agar bersedia melakukan kegiatan usaha, dan di sini juga, metode paling tepat adalah melakukan survei lapangan. Satu kasus sebagai contoh konkrit
Pascasuseno (2012) menjelaskan bahwa bentuk insentif fiskal untuk industri kreatif adalah misalnya sistem pre sale untuk pembiayaan film di Amerika Serikat (AS) yang menjual hak distribusi film kepada distributor sebelum film itu diproduksi dengan jaminan skenario film dan para pemerannya. Pemerintah dapat berperan sebagai pembeli hak distribusi untuk kemudian diberikan pada distributor. Di sisi lain, insentif non fiskal sama pentingnya dengan insentif fiskal. Sebagai contoh, industri animasi mungkin memerlukan insentif pemberian slot tayang di TV nasional. Hal ini juga dilakukan China sejak tahun 2006 dengan melarang animasi luar negeri ditayangkan di televisi pada pukul 5 sore sampai 8 malam untuk membantu industri animasi lokal. Sebagai satu contoh, hasil penelitian Wibowo dan Samosir (2004) mengenai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Pare Pare di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa insentif fiskal yang diberikan pemerintah belum secara efektif dimanfaatkan oleh para investor di Kapet tersebut. Paling tidak sampai dengan tahun 2003 belum ada investor asing (PMA) baru yang tertarik untuk berinvestasi di Kapet Pare Pare. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh tidak tersedianya prasarana dan sarana produksi, pemasaran dan perhubungan, diperparah lagi dengan rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dari tingginya angka buta huruf, dan keamanan yang tidak kondusif.
7
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
1) agen bisnis tidak mengalami kendala yang mengikat, misalnya biaya, waktu dan spasial. Dalam kata lain, walaupun kondisi infrastruktur di sebuah wilayah buruk yang membuat biaya transportasi mahal, bagi dia bukan suatu masalah serius. Mungkin bukan tax holiday yang dia perlukan melainkan keamanan;
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
adalah di sektor kelistrikan. Sampai saat ini minat para swasta untuk berinvestasi dalam proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang diharapkan dari usaha tersebut relatif rendah. Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal, antara lain: (i) tarif dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate khusus pelanggan rumah tangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain. Berdasarkan kondisi ini, Purwiyanto dan Tim (2005) mengusulkan langkah-langkah konkrit yang perlu diambil oleh pemerintah sebagai berikut. Untuk meningkatkan iklim dan realisasi investasi, perlu: (i) penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang–tindih kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan–peraturan yang kurang mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah–masalah investasi secara tepat dan akurat. Sedangkan bentuk usulan insentif fiskal untuk meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan adalah antara lain: (i) di bidang PPh: a) insentif regional dengan pembebasan PPh d” 60 persen dari pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif sektoral bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh d”10 persen selama 5–10 tahun; c) insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dengan pajak final d”5 persen dari penghasilan bruto (dengan komposisi: 3 persen pemerintah pusat, 1 persen pemda daerah dan 1 persen untuk dana pembangunan, dan d) pembebasan PPh atas keuntungan ekspor d”30 persen selama 5 tahun
8
untuk mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN: a) usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN; dan (iii) di bidang kepabeanan: a) menggunakan mekanisme PP Nomor 42 Tahun 1995: pembebasan/keringanan bea masuk (BM) atas impor; b) menggunakan Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995: barang oleh pemerintah pusat dan pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah/memasukan industri ketenagalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d) memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e) menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan memasukan harmonisasi tarif. Sedangkan usulan bentuk–bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c) penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d) memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari sumber daya tidak terbarukan. Contoh lainnya adalah di sektor maritime yakni kelautan dan perikanan. Berdasarkan hasil penelitiannya, Bengen (2010) mengusulkan bentuk-bentuk insentif sebagai berikut: (a) insentif untuk pengusaha/investor yang menanamkan modalnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI); (b) insentif dalam proses penyederhanaan administrasi dan perizinan investasi dengan cara, misalnya memberikan sistem pelayanan terpadu di Pemda Tingkat II; (c) insentif berupa adanya kompensasi kerugian bagi usaha kelautan dan perikanan rakyat; (d) keringanan pembayaran Pajak Bumi dan
Karena usulan-usulan di atas tersebut didasarkan atas pengkajian-pengkajian yang seksama mengenai kondisi dari sektor-sektor bersangkutan, maka dapat diasumsikan bahwa bentuk-bentuk insentif yang diusulkan tersebut adalah yang paling efektif, paling tidak sesuai kondisi pada saat itu, dan dengan asumsi bahwa faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi dinamika bisnis atau keuntungan usaha di sektor listrik dan sektor maririm tidak berubah. Sebagai suatu pendekatan alternatif, pemilik atau manajer perusahaan atau agen bisnis juga bisa ditanya apa kendala-kendala utama yang mereka hadapi (atau dunia usaha pada umumnya) dalam melakukan usaha di Indonesia. Landasan teorinya adalah bahwa adanya sebuah kendala serius, misalnya infrastruktur yang sangat buruk, bisa menghambat kelancaran usaha atau membatalkan
Programme
rencana investasi. Pertanyaan seperti ini juga dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) yang melakukan survei setiap tahun terhadap pemilik, pemimpin, manajer, direktur atau CEO perusahaan dari semua skala usaha (kecil, menengah dan besar) di banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia perusahaan-perusahaan terkenal seperti PT Garuda Indonesia, Blue Bird, Sinarmas, Bakrie & Brothers adalah diantara responden yang terpilih setiap tahunnya. Hasil survei yang dikombinasikan dengan hasil analisa data sekunder (statistik nasional) menghasilkan indeks daya saing global dari negara-negara yang masuk di dalam sampel. Di dalam surveinya, para responden juga diminta untuk menyebut kendala-kendala paling utama yang dihadapi dunia usaha di negara mereka. Hasil dari survei tahun 2011 menunjukkan bahwa sebagian besar mereka, korupsi dan efisiensi birokrasi merupakan dua kendala serius yang membuat biaya berusaha di Indonesia relatif mahal (Gambar 3).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Bangunan (PBB) sampai lima tahun; (e) insentif penangguhan BM dan BM tambahan untuk barang-barang modal yang terkait dengan produksi sektor kelautan dan perikanan; (f) insentif pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PpnBM) serta Pajak Penghasilan (PP), misalnya untuk penggalakan ekspor non migas, fasilitas perpajakan di bidang PPN dan PpnBM berupa pajak yang terhutang tidak dipungut dan penangguhan pembayaran PPN untuk impor barang modal serta peralatan mesin yang akan digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang ekspor, seperti komoditi kelautan dan perikanan; (g) insentif suku bunga perkreditan bagi investor, misalnya suku bunga pinjaman yang dipatok untuk kredit investasi di sektor kelautan dan perikanan, yang biasanya tingkat bunga ratarata berkisar 21-23 persen menjadi sekitar 4 persen; (h) insentif berupa tax holiday, misalnya dikenakan pada usaha-usahakelautan dan perikanan yang umumnya mempunyai jangka waktu tanam yang lama dan bersifat slow yielding (tidak cepat menghasilkan) dan penuh dengan ketidakpastian.
Jadi dapat ditegaskan di sini bahwa di Gambar 3 tersebut adalah kendala-kendala yang (bisa) menghalangi pertumbuhan kegiatan dunia usaha di Indonesia, maka, sangat sederhana: kendala-kendala tersebut harus dihilangkan, dan upaya pemerintah untuk menghilangkan kendala-kendala tersebut sebenarnya harus dilihat sebagai upaya pemberian insentif bagi pelaku bisnis untuk menjalankan atau mengembagkan usaha mereka di tanah air. Namun apabila kendala-kendala tersebut tidak mudah dilenyapkan (apalagi oleh departemendepartemen ekonomi), misalnya, korupsi yang sudah merupakan ‘budaya’ bangsa Indonesia, yang terkait dengan banyak hal mulai dari kesejahteraan pegawai negeri terutama di tingkat bawah hingga tidak adanya penegakkan hukum yang tegas, maka salah satu bentuk insentif yang bisa mengkompensasi atau mengurangi ekstra biaya
9
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 3: Kendala-kendala Utama yang Dihadapi Dunia Usaha di Indonesia: Hasil Survei WEF 2011 (%)
Sumber: WEF (2011) akibat korupsi, misalnya, pabean di pelabuhan, adalah deregulasi sehingga proses pengurusan pabean menjadi sangat sederhana yang berarti menghilangkan/mengurangi peluang korupsi. Informasi mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah (UMK) di Indonesia dapat juga digunakan sebagai dasar untuk penentuan bentuk-bentuk insentif yang diperlukan, khususnya oleh kelompok usaha tersebut. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 dan 2005 terhadap usaha mikro UMI dan usaha kecil (UK) di industri pengolahan menunjukkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh sebagian besar dari kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skimskim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari saudara/kenalan atau dari sumber-sumber informal untuk
10
mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan formal. Dalam hal pemasaran, UKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan produk-produk mereka, atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan usaha besar (UB) lewat sistem subcontracting. Data paling akhir dari BPS mengenai UMI dan UK di industri pengolahan tahun 2010
Dalam hal pendanaan, sudah merupakan suatu pengetahuan umum bahwa di Indonesia seperti di negara-negara sedang berkembang (NSB) pada umumnya (bahkan juga di banyak negara maju), sebagian besar modal kerja maupun investasi di UKM adalah dari sumbersumber informal. Data BPS yang ada
Tabel 1: Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Jenis Kesulitan dan Kelompok Industri, 2010 Kelompok Industri** (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) Total
Jumlah unit
1
2
3
4
5
6
7
8
929910 30395 53169 234657 276548 32910 639106 7268 24305 19168 5043 13786 215558 1553 61731 434 199 1540 3488 4708 107166 62898 7184
Punya kesulitan serius 745824 22141 46682 164144 172307 26735 514990 2731 21185 15744 4320 8541 181747 1460 52594 349 113 1148 3269 4394 93175 43722 5818
Jenis kesulitan utama*
206309 7074 8434 19320 18584 3764 140664 736 1750 5621 1226 1794 22578 358 9149 25 56 582 1503 23171 10604 166
146185 8206 3094 43718 36119 5833 141798 610 5441 1202 1378 2514 45475 301 13820 107 47 273 2231 708 23239 11252 1572
255793 3883 20978 78722 75038 12908 165355 1127 8087 6019 1587 3793 85238 692 24297 209 20 652 331 1717 40914 16545 2853
21506 185 4334 2131 729 272 2141 86 740 16 23 1627 796 48 45 132 38 -
23346 1061 1328 2081 867 228 4862 25 167 1045 57 13 2484 10 643 48 330 718 258
19732 260 430 8608 12006 917 16589 94 1036 178 30 45 2876 27 919 8 60 2252 1555 540
3849 41 512 770 4558 66 8109 102 57 63 1811 232 73 401 218 22
69104 1431 7572 8794 24406 2747 35472 53 3862 1606 42 296 19658 72 2828 8 46 119 117 240 2736 2792 407
2732 724
2 133133
483468
495123
806758
34759
39571
68162
20884
184408
Keterangan: * 1=bahan baku ;2= pemasaran;3= modal;4= BBM/enerji;5= transportasi ;6 =keahlian;7 =upah buruh=;8= lainnya ; ** no industri = (1) Makanan; (2) Minuman; (3) Pengolahan Tembakau; (4) Tekstil; (5) Pakaian jadi; (6) Kulit & produknya (termasuk alas kaki); (7)Kayu & produknya (tidak termasuk meubel) & barang anyaman dari rotan, bammbu dan sejenisnya; (8) Kertas & produknya; (9)Percetakan & reproduksi media rekaman; (10)Bahan kimia & produknya; (11)Farmasi, produk obat kimia & obat tradisional; (12)Karet & plastik & produk-produknya; (13)Barang galian bukan logam; (14) Logam dasar; (15)Barang logam non-mesin & peralatannya; (16) Komputer, barang elektronik & optik; (17) Alat-alat listrik; (18) Mesin & perlengkapannya; (19) Kendaraaan bermotor, trailer & semi-trailer; (20)Alat-alat transportasi lainnya; (21) meubel; (22) manufaktur lainnya; dan (23) Jasa reparasi & pemasangan mesin dan alatalatnya.
Sumber: BPS (2010)
11
Programme
unit usaha, bahan baku sebanyak 206.309 unit usaha, dan kesulitan pemasaran sebanyak 146.185 unit usaha (Tabel 1).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
menunjukkan sebanyak 78,06 persen dari seluruh UMI dan UK (2.732.724 unit usaha) di sektor itu mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya. Jenis kesulitan utama terbesar yaitu kesulitan dalam permodalan, pemasaran, dan bahan baku masing-masing sebanyak 806.758 unit usaha, 495.123 unit usaha, dan 483.468 unit usaha. Industri makanan yang mengalami kesulitan terbesar sebanyak 745.824 unit usaha (34,96 persen) meliputi: kesulitan modal sebanyak 255.793
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
menunjukkan bahwa sumber modal terbasar di kelompok usaha tersebut bukan dari sektor keuangan formal, termasuk lembaga-lembaga keuangan mikro, tetapi dari modal sendiri, seperti uang tabungan pemilik usaha, bantuan dari keluarga, pinjaman dari pedagang atau pemasok bahan baku, peminjam-peminjam informal, atau dari pembeli/konsumen dalam bentuk pembayaran (sebagian atau sepenuhnya) di muka. Hasil survei BPS terhadap UMI dan UK di industri pengolahan tahun 2010 menunjukkan bahwa sumber
modal sendiri mencapai 79,51 persen. Sedangkan mereka dengan modal sebagian dari pihak lain tercatat sebesar 16,96 persen, dan mereka yang seluruh modalnya berasal dari pihak lain sebesar 3,53 persen. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 2, menurut kelompok industri, UMI dan UK di industri makanan paling banyak menggunakan modal sendiri, yaitu 767.729 unit usaha, sedangkan mereka di di industri peralatan listrik paling sedikit menggunakan modal sendiri, yang tercatat hanya 122 unit.
Tabel 2: Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Sumber Modal dan Kelompok Industri, 2010 Kelompok Industri* (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) Total
Jumlah unit
929910 30395 53169 234657 276548 32910 639106 7268 24305 19168 5043 13786 215558 1553 61731 434 199 1540 3488 4708 107166 62898 7184 2732 724
100% modal sendiri 767729 27892 30099 177325 205548 18793 556565 3008 16974 14314 4707 7927 155183 880 46195 427 122 820 3445 3547 77924 47184 6145
Sumber modal Sebagian dari pihak lain 140886 2310 21505 38053 60680 12358 62520 2818 6747 3709 264 3014 53023 647 13993 7 77 528 38 989 25624 12622 1001
100% dari pihak lain 21295 193 1565 19279 10320 1759 20021 1442 584 1145 72 2845 7352 26 1543 192 5 172 3618 3092 38
2172753
463413
96558
Keterangan: * no industri = lihat Tabel 2. Sumber: BPS (2010)
12
Beberapa kebijakan penting yang dapat dianggap sebagai kebijakan insentif pada era Soeharto ini adalah antara lain sebagai berikut (Robinson, 1986; Pangestu, 1991; Thee,1991, 2002; Basri dan Hill, 1996; Hill, 2000; Bird dan Manning, 2003; Lewis, 2007; Widodo, 2008; Tambunan, 2011; Zanden dan Marks, 2012): (1) dikeluarkannya UU penanaman modal asing pada tahun 1967, awal dari kebijakan pintu terbuka bagi investasi asing, dan UU penanaman modal domestik pada tahun 1968; (2) kebijakan devaluasi dan penaikkan tarif untuk memperbaiki nilai kompetitif ekspor non-migas sesaat sebelum terjadinya boom minyak yang kedua akhir 70-an/awal 80-an; (3) pemberian subsidi bahan bakar minyak
Memang tidak mudah menyimpulkan, apalagi menentukan dengan angka kontribusi dari masing-masing dari kebijakan tersebut terhadap kinerja yang Bank Dunia julukin miracle, karena banyak faktor yang turut berpengaruh terhadap kinerja perekonomian nasional saat itu secara serentak, termasuk kondisi ekonomi dan politik regional atau global saat itu (a.l. perang dingin yang memuncak, harga BBM yang sangat tinggi di pasar internasional). Namun jelas bahwa langkahlangkah yang diambil pemerintah Orde Baru tersebut merupakan insentif yang memang dibutuhkan oleh pelaku bisnis swasta di tanah air dan investor asing yang ingin masuk ke Indonesia.
V.1 Pengalaman Era Orde Baru: Sebuah Contoh Insentif yang Efektif?
4
Misalnya pada tahun 1980 ekspor kayu gelondongan dibatas hingga 32 persen dari total output dan pada tahun 1991 perusahaanperusahaan kayu dilarang beroperasi kecuali mereka yang telah menanamkan investasi dalam pengolahan. Hasilnya: investasi di industri pengolahan kayu meningkat tajam dalam bentuk usaha bersama (join venture) terutama dengan perusahaanperusahaan Jepang (Zanden dan Marks, 2012).
13
Programme
Mungkin prestasi pembangunan ekonomi nasional selama era Orde Baru dapat digunakan sebagai sebuah contoh yang baik untuk mengkaji efektivitas dari kebijakan insentif ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa salah satu faktor yang membuat ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi dan perubahan struktural yang pesat selama era tersebut adalah dikeluarkannya serangkaian kebijakan yang memang sangat dibutuhkan pada saat itu yang diarahkan untuk menstabilkan perekonomian dan sistem politik, untuk meningkatkan output dan produktivitas di sektor pertanian (dikenal dengan revolusi hijau) dan untuk menarik investasi asing, khususnya PMA (Zanden dan Marks, 2012).
(BBM), beras dan pupuk sejak awal 80-an; (4) serangkaian peraturan untuk meningkatkan pengolahan sumber daya alam (SDA) menjadi barang jadi atau setengah jadi di dalam negeri4; (5) serangkaian paket deregulasi perdagangan dan investasi pada pertengahan kedua dekade 80an dan pertengahan pertama dekade 90-an yang mengurangi secara substansial tariff, menghapus pembatasan impor yang paling kuantitatif, menghilangkan hambatanhambatan non-tarif, dan membuka lebih banyak sektor/bidang kegiatan untuk investasi asing; (6) pemberian kredit murah dalam skim-skim khusus, termasuk untuk UMKM seperti Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit untuk Modal Kerja Permanen (KMKP), dan kredit Bimas atau pedesaan; (7) berbagai deregulasi untuk mendukung ekspor non-migas (kebijakan promosi ekspor), antara lain pengurangan tarif dan hambatan non-tarif, liberalisasi peraturanperaturan asing, dan upaya mengurangi kekuatan monopoli dari bisnis-bisnis besar; dan (8) reformasi sektor finansial.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
V Kebijakan Insentif di Indonesia
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
V.2 Era Reformasi
mencapai Rp. 56,4 triliun untuk keringanan pajak dan kepabeanan serta Rp 17 triliun untuk subsidi dan peningkatan belanja negara untuk dunia usaha. Memang data menunjukkan bahwa selama periode krisis tersebut, Indonesia berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi positif (Gambar 4); walaupun tidak ada bukti peran insentif fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional selama periode tersebut, karena banyak faktor lain yang juga berperan, termasuk stabilitas politik dan sosial (yang sangat berbeda dengan kondisi pada saat Indonesia dilanda krisis keuangan Asia 1997-98). Sedangkan satu jenis insentif non-fiskal adalah berbentuk fasilitas baik fisik maupun non fisik, seperti keamanan, lokasi, pelayanan, dan infrastruktur (misal: jalan raya, listrik, telepon) (Pascasuseno, 2012).
Sejak awal era reformasi hingga sekarang ini juga sudah banyak insentif, baik moneter, fiskal maupun non-fiskal, yang diberikan pemerintah kepada sejumlah sektor ekonomi dan kelompok usaha tertentu. Insentif moneter, misalnya, dalam bentuk penurunan tingkat suku bunga dilakukan pemerintah pada periode Oktober-November 2011 untuk menjaga pertumbuhan kredit usaha. Insentif moneter lainnya adalah keringanan pinjaman bank bagi usaha mikro dan kecil (UMK) yakni Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memberikan pinjaman modal tanpa agunan. Insentif fiskal terutama sangat gencar dilancarkan pemerintah dalam mengantisipasi krisis ekonomi global pada periode 2008-2009. Pada tahun 2009, jumlah insentif fiskal tercatat
Gambar 4: Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2004-2009 (%) 7 6 5 4 3 2 1 0
5.7 5
2004
6.3
6.2
5.5 4.5
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: Statistical Yearbook of Indonesia (beberapa tahun), BPS (www.bps.go.id).
UMKM juga mendapatkan perhatian khusus dalam pemerintahan Reformasi ini dengan dikeluarkannya Undang-undang (UU) No 20 Tahun 2008 soal UMKM yang juga secara eksplisit menegaskan soal skim insentif bagi kelompok usaha tersebut, termasuk juga insentif bagi usaha besar (UB) yang memberikan perhatian pada UMKM (misalnya melakukan subcontracting). Insentif dapat 5
Sebagian dia kutip dari Ina Primiana (2009).
14
berupa keringanan pajak/retribusi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, kemudahan pada akses pasar dan pendanaan, kemudahan perizinan, dan bentuk-bentuk lainnya yang dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha (Dewi, 2011). Paket-paket insentif lainnya seperti yang berhasil dirangkum oleh Dewi (2011 5) hingga
Tentu paket-paket intensif yang diuraikan di atas itu hanyalah beberapa dari sekian banyak paket insentif yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Ini belum termasuk paketpaket insentif khusus sektoral dan daerah. Terutama dengan otonomi daerah, telah banyak
VI Tax Holiday Sejak awal era reformasi atau tepatnya sejak pemulihan ekonomi nasional akibat krisis keuangan Asia 1997-98 hingga sekarang ini, pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan kegiatan ekonomi di semua lini termasuk investasi tetap dari luar negeri atau umum disebut penanaman modal asing (PMA) dengan berbagai cara, termasuk memberikan keringanan pajak atau tax holiday. Beberapa tahun yang lalu, di banyak surat kabar di tanah air memberitakan pernyataan Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan yang merencanakan insentif pajak pada sejumlah industri termasuk industri kreatif agar dapat bertumbuh. Diberitakan bahwa waktu itu Direktorat Jendral Pajak akan melakukan kajian pada tahun 2012 agar insentif ini dapat diberikan. Penelitian tersebut dianggap penting agar pemberian insentif pajak tersebut efektif melihat sebagian besar pelaku di industri kreatif adalah dari kategori usaha mikro, ecil dan menengah (UMKM) dan, seperti telah dijelaskan sebelumnya di Bab IV, kebanyakan UMKM di
15
Programme
paket insentif yang dikeluarkan oleh pemda, dan ini semakin memperumit analisa tingkat efektivitas sebuah paket/kebijakan insentif dari sebuah sektor pada tingkat nasional, mengingat paling tidak dua hal. Pertama kinerja atau respons dari sebuah sektor di tingkat nasional adalah per definisi kumpulan dari respons dari sektor tersebut di tingkat daerah, dan respons sektoral per daerah bisa bervariasi karena faktorfaktor utama (termasuk kebijakan pemda, dan potensi daerah) yang mempengaruhi kinerja sektor tersebut bisa berbeda antar daerah. Kedua, karena sebuah sektor terkait dengan sektor-sektor lainnya (misalnya input atau bahan bakunya yang digunakan oleh sebuah sektor berasal dari sektor lain), maka efektivitas dari sebuah kebijakan insentif terhadap, sebut saja, sektor A sangat dipengaruhi oleh kinerja dari sektor B sebagai sektor pemasok atau sektor C sebagai sektor hilirnya (misalnya distribusi atau transportasi).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
tahun 2010 adalah antara lain: (a) Paket Insentif Oktober 2005: insentif fiskal, deregulasi dalam sektor perdagangan dan sektor perhubungan, peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah petani, dan subsidi langsung tunai; (b) Inpres No 3 Tahun 2006: kebijakan perbaikan iklim investasi; (c) Inpres No 6 Tahun 2007: kebijakan perbaikan iklim investasi (menggantikan Inpres No 3 Tahun 2006); (d) PP No.1 Tahun 2007: fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di industri-industri tertentu, antara lain makanan, tekstil dan produk tekstil (TPT), bubur kertas dan kertas, bahan kimia untuk industri, barang kimia, karet dan barang dari karet, barang dari porselin, logam dasar besi dan baja, logam dasar bukan besi, mesin dan perlengkapannya, motor listrik, generator dan transformator, elektronik dan telematika, alat transportasi, dan pembuatan dan perbaikan kapal laut; (e) UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal; (f) SK Menteri Keuangan No.135 Tahun 2007: keringanan bea masuk; (g) PP No.35 Tahun 2007: pengalokasian pendapatan badan usaha untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, usaha swasta dan BUMN; (h) PP No.7 Tahun 2007: impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (perubahan ketiga atas PP No.12 Tahun 2001); (i) SK Menteri Ristek No.47 Tahun 2008: pusat inovasi UMKM untuk meningkatkan produktivitas, diversifikasi produk, nilai tambah dan daya saing UMKM, intermediasi teknologi, dan mencari cara-cara inovatif dan klinik HKI; dan (j) sejumlah insentif pada tahun 2010 untuk memacu perkembangan industri kreatif berbasis budaya (yakni jasa periklanan, arsitektur, seni rupa, kerajinan, disain, fashion, film, seni pertunjukan, penerbitan, riset dan pengembangan, software, TV dan radio, mainan, dan permaian video.
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
industri ini beroperasi di sektor informal yang diperkirakan potensi yang belum bayar pajak dari kelompok usaha tersebut cukup tinggi yaitu sekitar 10 persen dari total penerimaan negara dari perpajakan (Pascasuseno, 2012). Jelas, apabila sekelompok usaha tidak pernah bayar pajak maka insentif dalam bentuk keringanan atau penghapusan pajak akan berdampak nihil6.
sekaligus. Ini juga berlaku pada pemberian subsidi yang merupakan bentuk penting lainnya dari insentif fiskal: lebih banyak (sedikit) subsidi menurunkan (menaikkan) biaya produksi yang mendorong (mengurangi) pertumbuhan volume produksi (tentu dengan asumsi ada permintaan pasar yang bisa menyerap penambahan produksi)7.
Landasan teori dari pemikiran bahwa pemberian keringanan pajak, misalnya dalam bentuk pengurangan, pembebasan atau penundaan pembayaran pajak (misalnya pajak penambahan nilai atau pajak pendapatan) atau penghapusan bea masuk untuk impor dan bea keluar untuk ekspor, akan memberi keuntungan finansial bagi pengusaha, dan ini memberikan dorongan lebih kuat untuk melaksanakan aktivitas produksi (misalnya menambah volume produksi atau melakukan investasi baru), dan pada akhirnya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi adalah berikut. Dari sisi permintaan, jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat yang berarti konsumsi (permintaan pasar) akan meningkat. Dari sisi suplai, sedikit atau tidak ada pajak atau tidak ada bea masuk (bagi perusahaan yang mengimpor bahan baku) atau tidak ada bea keluar (bagi perusahaan berorientasi ekspor) membuat industri meningkatkan jumlah outputnya. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum (http://organisasi.org/definisipengertian-kebijakan-moneter-dan-kebijakanfiskal-instrumen-serta-penjelasannya). Jadi, keringanan pajak dipercaya berpengaruh positif terhadap ekonomi lewat sisi permintaan (konsumen) dan sisi penawaran (produsen)
Sekarang pertanyaan, apakah keringanan pahak atau tax holiday efektif sesuai tujuannya? Seperti telah dibahas di bab sebelumnya, efektif atau tidak bisa diduga atau diestimasi melalui antara lain survei terhadap pelaku usaha dengan pertanyaan sederhana namun langsung: apakah pelaku usaha memang membutuhkan keringanan pajak. Hingga saat ini belum banyak survei dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satunya yang ada adalah dari Grup Regus yang hasilnya mengungkapkan bahwa 85 persen perusahaan di Indonesia menyatakan, keringanan pajak dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan investasi hijau ( http:// www.alpensteel. com/ article/ 55-114-artikelnon-energi/4676-mendesak-keringanan-pajakbagi-perusahaan-green-building.html). Studi lainnya adalah dari Prakosa (2003) yang menganalisa pengaruh kebijakan tax holiday terhadap perkembangan PMA di Indonesia selama periode 1970-1999 dengan pendekatan kuantitatif (analisa data sekunder dengan sebuah model) dan kualitatif (wawancara). Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan insentif pajak yakni PP No. 45 Tahun 1996 merupakan salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi perkembangan PMA di Indonesia selain PDB. Namun, kebijakan tersebut bukan faktor utama yang dipertimbangkan oleh investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Kondisi
6
Di Indonesia saat ini bentuk insentif yang paling dekat untuk industri kreatif adalah insentif pajak UMKM. Seperti yang dijelaskan oleh Pascasuseno (2012), pada Agustus 2011 lalu pemerintah menyatakan akan mengeluarkan 2 skema insentif pajak, yaitu untuk UMKM yang akan dikenakan Pajak Pertambahan nilai (PPn) hanya sebesar 0,5% dan hanya untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang akan dikenakan pajak 3 persen yang merupakan akumulasi dari Pajak Penghasilan (PPh) 2 persen dan PPn 1 persen. Selain potongan pajak, bentuk dukungan terhadap usaha kreatif misalnya adalah insentif ekspor seperti yang dilakukan Kota Zhengzhou di Cina dengan memberikan hibah kepada perusahaan dengan nilai ekspor tertentu setiap tahunnya.
7
Teori ini sejalan dengan teori Kurva Laffer yang intinya adalah bahwa jika tarif pajak terlalu tinggi maka tidak ada pengusaha yang mau meneruskan atau mengembangkan kegiatan bisnisnya karena sebagian besar dari hasilnya hanya akan masuk ke kas negara. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan kegiatan bisnis adalah mengurangi tarif pajak (Laffer dkk, 2009).
16
Efektif yang dimaksud di atas tersebut adalah ‘dampak langsung’: kegiatan usaha meningkat karena ada keringanan pajak. Namun ada juga dampak tidak langsungnya, yakni yang terkait dengan terjadinya trade off antara pemberian tax holiday dan penerimaan pemerintah dari pajak: semakin besar pemberian keringanan pajak semakin kurang pendapatan pemerintah dari pajak, semakin besar defisit APB, yang pada akhirnya bisa membuat dampak total dari kebijakan tax holiday negatif. Yang dimaksud dengan dampak total (atau hasil akhir/net) dari kebijakan insentif pajak yang negatif dapat dijelaskan secara sederhana oleh Gambar 5: jika hasil positif (dampak langsung) dari pemberian tax holiday lebih kecil dari efek negatif (dampak tidak langsung) akibat tidak adanya pembangunan infrastruktur karena pemerintah tidak punya sisa dana karena penghasilan pajak
Pemerintah oleh karena itu harus bisa menentukan berapa besar penurunan tarif pajak (selain tentu memperhatikan pra-kondisi lainnya). Hamid (2005) menambahkan bahwa penurunan jenis pajak tidak harus menyeluruh, melainkan untuk jenis-jenis yang tingkat tarifnya sudah terlalu tinggi. Jadi memerlukan suatu kejian dan melihat kasus per kasus. Seperti dijelaskan di dalam teori Kurva Laffer (Gambar 6), pada tarif 0 persen tidak ada pendapatan pajak, seperti juga pada tarif 100 persen karena tidak ada orang yang mau bekerja karena semua gajinya akan menjadi pajak dan masuk ke kas negara. Alasan untuk ini adalah bahwa tarif pajak punya dua efek pada pendapatan: satu adalah arimatik, yang satu lagi efek ekonomi. Efek arimatik adalah statis, yang artinya adalah jika tarif rendah, pendapatan pajak per rupiah dari basis pajak akan rendah sebanyak jumlah dari penurunan tarif tersebut, dan sebaliknya untuk peningkatan tarif pajak (Laffer dkk, 2009)8.
Gambar 5: Dampak dari gejala Trade-off antara Tax Holiday dan Pemasukan Pemerintah dari Pajak Output ↑
Tax Holiday
Pendapatan pajak ↓
Output ↓
Pembangunan infrastruktur ↓
Defisit APBN ↑
Output ↓/↑ ?
8
Dalam perkataan lain, jika 1 persen tarif pajak menghasilkan pendapatan pajak Rp 1 milyar, maka orang akan berasumsi bahwa 2 persen tarif pajak akan menghasilkan pendapatan pajak sebesar Rp 2 miliar, …….dan 5 persen menghasilkan Rp 5 miliar. Sama juga, dibawah skenario yang sama orang akan berasumsi bahwa penurunan 5 persen tarif pajak akan hanya menghasilkan Rp 500 juta. Lihat penjelasan selanjutnya di Laffer dkk (2009). Hamid (2005) memberikan hasil dari beberapa simulasi aplikasi Kurva Laffer, antara lain hasil kajian yang dilakukan Permana Agung (2004) pada tarif cukai tembakau, yang hasilnya menunjukkan ada yang dapat meningkatkan penerimaan pajak di samping yang sebalinya. Menurut Hamid, simulasi bisa dilakukan misalnya untuk penurunan PPH Badan secara selektif, ataupun atas PPN, dan jenis pajak lainnya. Namun demikian, seperti yang ditegaskan oleh Hamid, penurunan tarif pajak ini juga perlu dicermati, karena jangan sampai yang tejadi bukannya mendorong produksi, melainkan meningkatkan konsumsi.
17
Programme
menurun yang disebabkan oleh insentif pajak tersebut, maka hasil netnya (dampak total) negatif, dan selanjutnya semakin berkurang pendapatan pajak yang masuk ke kas pemerintah. Oleh karena itu, jika skenario ini dipercaya akan terjadi, sebaiknya kebijakan tax holiday tidak dijalankan.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
kestabilan politik dan sosial serta rasa aman berusaha dalam negeri merupakan faktor yang paling dipertimbangkan oleh investor asing dalam pengambilan keputusan investasi di Indonesia. Prakosa juga menegaskan bahwa untuk membuat iklim investasi yang kondusif tidak hanya cukup dengan kebijakan insentif pajak saja tetapi juga perlu ditunjang sikap kekonsistenan pemerintah terhadap kebijakan perpajakan.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 6: Kurva Laffer Pendapatan pajak (Rp)
0
VII Rekomendasi Kebijakan Insentif memang sangat penting dan sangat dibutuhkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan usaha dan ekonomi. Namun demikian, karena insentif adalah sebuah bentuk bantuan yang gratis, sudah pasti ada biaya alternatifnya (opportunity cost) yang tidak kecil yang mungkin bisa memberikan hasil yang lebih besar apabila di manfaatkan bukan dalam bentuk insentif melainkan, misalnya, untuk membiayai jalan raya atau pelabuhan. Terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia yang faktanya tidak memiliki modal yang cukup untuk membiayai pembangunan (oleh karena itu pemerintah selama ini selalu minjam dana dari luar negeri dan sangat mengharapkan masuknya investasi asing khususnya PMA), merencanakan secara hati-hati pemberian insentif adalah suatu keharusan. Terutama pemberian insentif seperti pajak untuk investasi harus selektif dengan sebuah kajian yang sangat serius dan komprehensif agar tepat sasaran dan menghasilkan dampak positif yang optimal karena insentif pajak bagi Indonesia sangat mahal dan dapat menciptakan distori dalam sistem perpajakan, mengurangi penerimaan pajak, dan mengekang anggaran. Upaya mempercepat pertumbuhan usaha bisa
18
Tarif pajak (%)
jadi malah memperlambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya meningkatkan efektivitas dari kebijakan insentif, pemberian insentif juga harus spesifik sesuai sifat atau karakteristik dari sektor (termasuk pelaku-pelaku di dalamnya) yang menjadi sasaran insentif dan kondisinya saat itu serta prospeknya ke depan. Sektor berbeda mempunyai kondisi , permasalahan dan prospek pertumbuhan yang berbeda, dan oleh karena itu memerlukan bantuk insentif yang juga berbeda. Kebijakan insentif harus dianggap sebagai pelengkap, bukan penentu utama, dan oleh karena itu kebijakan insentif harus selalu harmonis dengan kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya yang ada yang mempengaruhi sektor yang menjadi sasaran insentif, baik secara langsung maupun tidak langsung yakni lewat pengaruhnya pada sektor-sektor terkait lainnya.
Bengen, D.G. (2010), “Perspektif Strategi Pembangunan Negara Maritim Berbasis Kelautan dan Perikanan”, makalah Seminar Nasional, 7 Oktober, Jakarta: Indonesia Maritime Institute; Bird, K. dan C. Manning (2003), “Economic Reform, Labour, Markets and Poverty”, dalam K. Sharma (ed.), Trade Policy, Growth and Poverty in Asian Developing Countries, London/New York: Routledge. BPS (2010), Profil Industri Kecil dan Mikro 2010, Desember, Jakarta: Badan Pusat Statistik; Cascio, Wayne F. (1995), Managing Human Resources, Productivity, Quality of Work Life, Profit, fourth edition, London: Mc GrawHill; Dewi, Lefy Savitri (2011),”Pengembangan Skim Insentif Bagi UMKM Dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Usaha”, Coopetition, 11(1): 86-97, November; Gorda, I.G.N (2004), Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit STIE Satya Dharma Singaraja; Hamid, Edy Suandi (2005), “ Kebijakan Insentif Pajak untuk Merangsang Perkembangan Dunia Usaha”, makalah dalam Seminar Nasional Ekonomi “Kebijakan Insentif Pajak untuk Merangsang Perkembangan Dunia Usaha”, Universitas Wijayakusuma Purwokerto, 23 April (http:// akuntansi-manajemen2.blogspot. com/2011/07/ kebijakan-insentif-pajak-untuk.htm); Harsono (1987), Manajemen Publik, Jakarta: Balai Aksara Ghalia Indonesia; Hill, Hal (2000), The Indonesian Economy, Cambridge: Cambridge University Press. Koontz, Harold, Cyril O’Donnel, dan Heinz Weihrich (1986), Manajemen. Jilid 2 (Terjemahan: Gunawan Hutauruk), Jakarta: Penerbit Erlangga; Laffer, Arthur B., Stephen Moore and Peter J. Tanous (2009), The End of Prosperity: How Higher Taxes Will Doom The Economy if We Let It Happen, Threshold Edition, Simon & Schuster Inc, New York; Lewis, Peter M. (2007), Growing Apart: Oil, Politics, and Economic Change in Indonesia and Nigeria, Ann Arbor: The University of Michigan Press. Pangestu, Mari (1991), “The Role of Private Sector in Indonesia: Deregulation and Privatisation”, The Indonesian Quarterly, 19(1): 27-52; Pascasuseno, Agung (2012), “Berharap Pada Insentif Pemerintah untuk Industri Kreatif” (http:// indonesiakreatif.net/uncategorized/berharap-pada-insentif-pemerintah-untuk-industrikreatif/); Prakosa, Kesit Bambang (2003), “Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday Terhadap Perkembangan Penanaman Modal Asing di Indonesia (Tahun 1970-1999)”, Jurnal Ekonomi Pembangunan: 8(1): 19-37, Juni; Purwiyanto dan Tim (2005), “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan”, Oktober, Jakarta;
19
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Basri, M.C. dan H. Hill (1996), “The Political Economy of Manufacturing Protection in LDCs: An Indonesian Case Study”, Oxford Development Studies, 24: 241-259;
Programme
Daftar Pustaka
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Robinson, Richard (1986), Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen and Unwin; Samosir, Agunan P. dan Tri Wibowo (2004), “Analisis Efektivitas Pemberian Insentif Fiskal di Kawasan Timur Indonesia (KTI) (Studi Kasus: Kapet Pare Pare)”, Kajian Ekonomi dan Keuangan, 8(1): 1-18, Maret; Sharee (2013), “Peranan Pemerintah (insentif fiskal dan non fiskal) dan Perbankan Terhadap Pengembangan Green Building”, 15 Februari (http://shareeducation. wordpress.com/ 2013/ 02/ 15/peranan-pemerintah-insentif-fiskal-dan-non-fiskal-dan-perbankan-terhadappengembangan-green-building-23/); Tambunan, Tulus T.H. (2011), Perekonomian Indonesia. Kajian Teoretis dan Analisis Empiris, Jakarta: Ghalia Indonesia; Thee Kian Wie (1991), “The Surge of Asian NIC Investment into Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 25(3): 383-396; Thee Kian Wie (2002), “The Impact of the Asian Economic Crisis on the Prospects for Foreign Direct Investment in Indonesia”, dalam J. Th. Lindblad (ed.), Asian Growth and Foreign Capital: Case Studies from Eastern Asia, Amsterdam: Aksant. WEF (2011), Global Competitiveness Report 2011-2012, Geneva: World Economic Forum; Widodo, Tri (2008), “The Structure of Protection in Indonesian Manufacturing Sector”, ASEAN Economic Bulletin, 25(2):161-178; Zanden, Jan Luiten van, dan Daan Marks (2012), Ekonomi Indonesia 1800-2010. Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan, Jakarta: KOMPAS dan KITLV.
20