RUANG UTAMA
MENCARI FORMAT PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFISIEN, EFEKTIF DAN KOMUNIKATIF Aos Kuswandi Abstract Implementation UU No. 32 Tahun 2004 makes consequence in relationship between the state government and local government. In this study looking for the form of local governance with good governance principles is still running. Kata Kunci: Pemerintahan Daerah, Good Governance
Demokrasi dan Otonomi Daerah Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika politik, melainkan juga terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembangunan sistem politik yang demokratis diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu upaya pembangunan sistem politik yang demokratis, khususnya dalam mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang pada masa Orba sangat sentralistik, adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah melalui pemberlakuan Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004. Konsekuensi dari pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah terjadinya berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Keberadaan pemerintah daerah akan sangat ditentukan oleh keputusan yang lebih demokratis oleh rakyat di daerah. Demikian pula pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, akan sangat ditentukan oleh masyarakat di daerah. Dalam hal ini posisi dan peran DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan kehendak masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Lembaga ini harus mampu menampung dan memperjuangkan menyalurkan aspirasi dan kehendak masyarakat serta menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan umum secara optimal. Pada sisi lain kedudukan pemerintah daerah (eksekutif) yang terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah dituntut untuk mampu bermitra sejajar dengan
DPRD. Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui otonomi luas memberikan peluang bagi DPRD dan eksekutif untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya. Co–equal partner antara DPRD dan eksekutif secara seimbang merupakan keseimbangan dalam pelaksanaan pemerintahan dalam konteks demokrasi. Pada posisi yang tidak saling menjatuhkan keduanya harus mampu berkolaborasi secara positif dalam tugas dan fungsi yang berbeda. Dengan demikian antara keduanya memiliki wibawa politis di mata rakyat yang telah mempercayakan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepadanya. Sehingga pada akhirnya tujuan pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Konsep otonomi daerah yang ideal adalah kemandirian daerah dalam menentukan hidupnya sendiri sesuai dengan potensi dan kebutuhannya yang dilakukan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi melalui mekanisme yang diatur dalam garis-garis politik daerah. Kehendak masyarakat pada daerah otonom harus diformalisasikan ke dalam garis politik daerah berupa Peraturan Daerah. Dalam hal ini maka Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) memiliki tugas dan fungsi untuk mewujudkan tujuan ideal dari otonomi daerah tersebut. Dalam bahasan otonomi daerah, secara konseptual pemerintah daerah adalah organ politik yang memiliki kewenangan untuk "mengatur" dan "mengurusi" rumah tangga sendiri. Dalam hal kewenangan "mengatur" adalah kewenangan legislasi yang dimiliki setiap daerah otonom. Ia meliputi kewenangan dalam menyusun policy (Perda), kewenangan mengatur distribusi dan spending sumberdaya dan keuangan (APBD) dan kewenangan untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan. Pada kewenangan “mengurus” pemerintahan daerah berkaitan dengan pengelolaan urusan rumah tangga daerah yang dimiliki oleh eksekutif pemerintahan daerah. Ini terkait dengan kewenangan mengelola urusan otonomi daerah. Kemampuan untuk mengelola secara optimal dalam urusan rumah tangga daerah menjadi tanggungjawab sepenuhnya pemerintah daerah yang
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Terdapat tiga azas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Ndraha: 1991), yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah merupakan azas yang mengedepankan kewenangan daerah dalam pengelolaan urusan pemerintahan di daerah. Sedangkan dua azas lainnya masih terkait dengan keterlibatan pemerintah pusat di daerah dalam hal pengelolaan urusan tertentu. Sebagai sebuah azas, desentralisasi harus diterjemahkan dalam bentuk konkrit, baik berupa sistem pengaturan maupun instrumen pengaturan (2000). Konsekuensi dari azas desentralisasi dalam bentuk konkrit adalah otonomi daerah. 30 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
ditetapkan dalam peraturan daerah dan APBD.
pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good Governance telah menjadi wacana yang kian populer di tengah masyarakat. Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasi masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan Good Governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang keberlanjutan demokrasi itu sendiri. Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinisikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas berbagai usaha. Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah
Good Governance Good governance adalah suatu tata pemerintahan atau Governance (lihat Tata Pemerintahan) yang mendasarkan diri pada prinsipprinsip, yang kemudian dikenal dengan "Sepuluh Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik", antara lain: Partisipasi, Penegakan Hukum, mewujudkan adanya penegakan hukum dan kepastian hukum yang adil, Transparansi, Responsiveness/ Tanggap, Kesetaraan, Visi Strategis, Efektifitas dan Efisiensi, Profesionalisme, Akuntabilitas dan Pengawasan. (Hasil Seminar Nasional "Tata Pemerintahan Kota yang Baik”, Mei 2001). Governance adalah suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintahan, legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok (perusahaan, asosiasi, LSM dan lain-lain) untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu. (Hasil Kesepakatan Bersama antara Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, 2001). Kaitannya dalam bahasan mengenai good governance, sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam 31
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
Kemampuan Teknis dan Manajerial Kemampuan teknis dan manajerial para pegawai negeri sipil merupakan faktor yang jelas harus dimiliki dalam Good Governance. Pada saat ini, kedua kemampuan ini tidak terlalu menjadi hambatan lagi, sebagaimana di masa lalu, karena membaiknya tingkat pendidikan, tapi perubahan yang cepat membutuhkan pengembangan keterampilan yang terus menerus.
tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance. Prinsip-prinsip Good Governance Kunci utama memahami Good Governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip Good Governance. Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan Good Governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda Good Governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini.
Kapasitas Good Governance Good Governance harus dibangun berdasarkan kualitas organisasi penyelenggara pemerintahan daerah, sehingga pengembangannya dilakukan berdasarkan pada hal ini, bukan hanya pada kemauan politik, maupun kemauan pribadi seorang pemimpin yang kuat serta kekuasaan negara, yang tidak akan bertahan lama dalam jangka panjang. Memiliki jajaran staf birokrasi pemerintahan daerah yang terampil tidak cukup jika organisasi pemerintahan tidak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan keterampilan ini dengan sebaik-baiknya. Kemampuan organisasi-organisasi pemerint ahan merupakan faktor kunci untuk menyiapkan layanan-layanan jasa bagi kepentingan usaha maupun masyarakat, dan untuk menyiapkan kondisi bagi kemajuan ekonomi. Struktur organisasi dan sistem manajemen pemerintahan telah mengalami perubahan. Masalah yang sering ditemui adalah sentralisasi yang berlebihan, ketidakluwesan, serta kurang efisien. Ini dipecahkan terutama dengan menyediakan staf yang memiliki otonomi yang lebih luas dalam hal-hal operasional, dan
Aspek-aspek Good Governance Pelaksanaan Good Governance tergantung pada kemampuan untuk menggunakan kekuasan dan mengambil keputusan sepanjang waktu, dalam spektrum ekonomi, sosial, lingkungan dan sektor-sektor lainnya. Ini juga terkait dengan kemampuan pemerintah untuk mengetahui, menengahi, mengalokasikan sumberdaya, menerapkan serta memelihara hubunganhubungan yang penting. Meski terdapat banyak rumusan tentang Good Governance, secara umum ada konsensus tentang faktorfaktor kuncinya:
32 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
sebaliknya, memikul beban tanggung jawab yang cukup berat.
akibat ketidakpastian politik. Meski hal ini tidak secara khusus terkait dengan sistem politik tertentu dalam jangka pendek, dalam jangka panjang demokrasi meningkatkan stabilitas dengan memberikan pada masyarakat suara untuk mengekspresikan pilihan-pilihan mereka melalui persaingan yang terbuka.
Kepastian Hukum Aturan hukum mengacu pada proses kelembagaan untuk menyusun, menafsirkan dan menerapkan hukum serta aturanaturan lainnya. Ini berarti keputusan yang diambil oleh pemerintah harus memiliki dasar hukum dan perusahaan-perusahaan swasta serta masyarakat dilindungi dari kesewenang-wenangan. Kepastian hukum memerlukan pemerintahan yang bebas dari insentif-insentif yang distortif, melalui korupsi, kolusi, nepotisme atau terjebak dalam kepentingan sempit kelompok kepentingan tertentu; menjamin hak-hak kepemilikan dan pribadi; serta mencapai stabilitas sosial dalam tahap tertentu. Ini akan memberi kepastian hukum yang penting bagi perusahaan dan masyarakat untuk mengambil keputusan yang baik. Kepastian hukum tidak berarti semakin banyak aturan semakin baik. Rincian aturan yang berlebihan dapat mengarah pada kekakuan dan mengundang resiko untuk memilih-milih penerapan aturan tertentu. Penafsiran dan penerapan aturan bagi masyarakat memerlukan keluwesan sehingga ada alternatif-alternatif dalam derajat tertentu. Keluwesan ini dapat diimbangi dengan aturan prosedur administrasi. Kepastian hukum memerlukan stabilitas politik. Pemerintah harus mampu membuat komitmenkomitmen yang bisa dipercaya, dan meyakinkan sektor swasta bahwa keputusan-keputusan yang diambil pada akhirnya tidak akan dicabut
Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban dapat menjadi tujuan - yaitu mencerminkan nilai-nilai demokratik - serta dapat pula menjadi cara menuju pengembangan organisasi pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien. Para politisi serta pegawai negeri sipil memiliki kekuasaan yang besar melalui hukum dan aturan yang mereka terapkan, Sumberdaya yang mereka kendalikan serta organisasi yang mereka kelola. Pertanggungjawaban adalah kunci untuk menjami bahwa kekuasaan ini digunakan secara layak dan sesuai dengan kepentingan publik. Pertanggungjawaban memerlukan kejelasan tentang siapa yang bertanggung jawab pada siapa, untuk apa dan bahwa pegawai negeri sipil, organisasi serta para politisi harus mempertanggungjawabkan keputusan serta kerja mereka. Pertanggungjawaban dapat diperkuat melalui persyaratan pelaporan formal, dan pengawasan eksternal, seperti lembaga audit yang mandiri, ombudsman, dll. Pertanggungjawaban demokratis, sebagaimana yang dicerminkan oleh pertanggungjawaban kepala daerah kepada rakyat melalui DPRD. Hal tersebut akan terkait dengan Akuntabilitas Kinerja Instansi 33 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
Pemerintahan (AKIP) secara keseluruhan yang merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan misi pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui mekanisme laporan pertanggungjawaban dan laporan administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
daerah akses pada informasi penting tentang kebutuhan dan prioritas orang per orang, masyarakat serta usaha swasta. Pemerintah, yang mencakup masyarakat, akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengambil keputusan dan keputusan tersebut akan memperoleh dukungan yang lebih besar setelah diambil. Meski tidak ada hubungan langsung antara demokrasi dan setiap aspek Good Governance, jelas bahwa pertanggungjawaban, transparansi dan partisipasi diperkuat oleh demokrasi, dan ketiga faktor ini. Hubungan antara aspek-aspek Good Governance. Aspek-aspek yang berbeda dalam Good Governance memiliki hubungan yang rumit satu sama lain. Dalam banyak hal, beberapa faktor dapat dilihat sebagai prakondisi bagi yang lain. Kemampuan teknis dan manajerial, sebagai contoh, merupakan prakondisi bagi kemampuan organisasi pemerintahan daerah, dan kemampuan organisasi pemerintahan daerah ini merupakan kondisi yang harus ada untuk menegakkan aturan hukum. Namun, ada pula efek lain yang tidak kalah penting, yang muncul dari arah sebaliknya, misalnya kemampuan organisasi memperkuat kemampuan teknis dan manajerial, pertanggungjawaban memperkuat aturan hukum.
Transparansi Keterbukaan merupakan aspek yang penting dalam Good Governance, dan pengambilan keputusan yang transparan penting bagi sektor swasta untuk membuat keputusan serta investasi yang baik. Pertanggungjawaban dan aturan hukum memerlukan keterbukaan dan informasi yang baik sehingga jenjang administrasi yang lebih tinggi, pengawas eksternal serta masyarakat umum dapat melakukan verifikasi terjadap kinerja administrasi pemerintahan dan kesesuaiannya terhadap hukum. Pemerintah memiliki akses terhadap banyak informasi penting. Penyebaran informasi melalui transparansi dan sistem informasi yang terbuka dapat menyediakan informasi-informasi rinci yang dibutuhkan perusahaan dan masyarakat untuk mengambil keputusan pemerintahan yang baik.
Kesimpulan Partisipasi Partisipasi dapat mencakup pertemuan-pertemuan konsultasi dalam pengembangan kebijakan dan pengambilan keputusan serta prosesproses demokratis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Partisipasi memberikan pada pemerintah
Desentralisasi dan gerakan menuju kepemerintahan daerah yang memiliki akuntabilitas dan efisien akan terus menjadi isu sentral di Indonesia, selama beberapa tahun mendatang. Langkah-langkah besar untuk memperkenalkan peningkatan 34
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
DAFTAR PUSTAKA
otonomi daerah dan usaha-usaha massif untuk mengenali peran, tanggung jawab dan fungsi lembaga pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam menghadapi isu desentralisasi baru, kini sementara berlangsung. Pemerintah daerah lebih bertanggung jawab terhadap pemilih mereka dengan menghilangkan hubungan-hubungan pelaporan yang hirarkis antara tingkat kabupaten, propinsi dan pusat. Selain itu Kepala Pemerintahan Daerah (Bupati/Walikota) langsung bertanggung jawab kepada wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga Legislatif Daerah (DPRD). Meskipun demikian, masih banyak terdapat ketidakpastian tentang cara-cara operasional yang tepat untuk lembaga-lembaga daerah. Saat ini lembaga pemerintah pusat dan daerah dituntut agar lebih efektif dan efisien, serta mengoptimalkan alokasi sumber daya. Hubungan harmonis antara pemerintah daerah kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat harus menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kepemerintahan daerah yang baik. Pada sisi lain dalam diri pemerintahan daerah (eksekutif /kepala daerah) termasuk perangkat daerah lainnya maupun legislatif (DPRD) harus mampu berjalan secara harmonis dan seimbang dalam tugas dan kewenangan yang berbeda. Kondisi tersebut akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan daerah. Sehingga pada akhirnya akan mampu menciptakan format ideal pemerintahan daerah.
Budiardjo, Miriam, 1986, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia. Handoyo, B., Hestu Cipto, 1998, Otonomi Daerah Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daearah, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya. Hoggerwerf, A., 1983, Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Erlangga. Kaho, Josef Riwu, 1991, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers. MacAndrews, Colin, dan Ichlasul Amal, 2000, Hubungan Pusat– Daerah dalam Pembangunan, cetakan ketiga, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Marbun, B.N., 1997, DPR Daerah Masa Depan dan Pertumbuhannya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Masykur, Nur Rif’ah, (ed), 2001, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Depok: PT. Permata Artistika Kreasi. Muslimin, Amrah, 1986, Aspek-aspek Otonomi Daerah, Bandung: Alumni. Rasyid, Ryass, 1997, Manajemen dan Kepemimpinan Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Yasrif Watampone. 35 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
Sarundadjang, S.H., 1997, Pemerintah Daerah di Berbagai Negara (Tinjauan Khusus Pemerintahan Daerah di Indonesia: Perkembangan, Kondisi dan Tantangan), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Otonomi Daerah, Bandung; Penerbit Ramadhan. Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Bandung: Alqaprint.
Supriatna, Tjahya, 1993, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, cetakan I, Jakarta: Bumi Aksara.
Yudoyono, Bambang, 2000, Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD, Jakarta: Sinar Harapan.
Suradinata, Ermaya, 1998, Manajemen Pemerintahan dan
36 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005