Mencalèny & Usung Bayung Marang A collection of Kenyah stories in the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit languages
i
ii
Mencalèny & Usung Bayung Marang A collection of Kenyah stories in the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit languages
Edited by Antonia Soriente
Atma Jaya University Press 2006
iii
Copyright@2006 by Antonia Soriente and Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology ISBN 979-8850-67-X This book has been published with joint financial support from the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology and UNESCO Office, Jakarta. The author is responsible for the choice and the presentation of the facts contained in this book and for the opinions expressed therein, which are not necessarily those of the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology or UNESCO. National Library of Indonesia Cataloging in Publication data Soriente, Antonia (ed.) Mencalèny & Usung Bayung Marang. A collection of Kenyah stories in the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit languages. Jakarta: Atma Jaya University Press, 2006. 1. Kenyah Languages. 2. Language documentation. 3. Kalimantan (East). 4. Endangered languages. 5. Borneo. 6. Òma Lóngh. 7. Lebu’ Kulit. 8. Orthography. 9. Folklore. Published by: Atma Jaya University Press Mailing Address: Universitas Katolik Atma Jaya Jalan Sudirman 51 Jakarta 12930 Indonesia
[email protected] Cover: Dragon motif on a fragment of a traditional Kenyah skirt during a dance in Setulang (photograph by Antonia Soriente 2005) English translation by Thomas J. Conners
iv
Table of Contents Prakata Foreword Uri Tadmor
viii ix
Sekapur Sirih Preface Bambang Kaswanti Purwo
x xi
Kata pengantar Introduction Antonia Soriente
xiv xv
Peta/maps Map 1. The Island of Borneo Map 2. Location of the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit villages Catatan tentang Ejaan Notes about the Orthography
xxxvi xxxvii xxxviii xxxix
Òma Lóngh (with translations in Indonesian and English) Mencalèny Ipui Turan
2
Bali Bezu Hantu Raksasa/The Giant Ghost Yosabat Alui
12 13
Bali Fatè Ghòlep Hantu Tak Berkepala/The Headless Ghost Yosabat Alui
18 19
Dòngò Fatangh Iwan Ajang
28
Ana’ Baza Anak Bungsu/The Youngest Child Sima Malan
40 41
v
Mpé ngèny Buzu Mpé dan Buzu/Mpé and Buzu Fè’èj Sabò Ònya
50 51
Tadèny Òlè Fè’èj Sabò Ònya
60
Fetó’ udij le Òma Lóngh Keturunan Kita Òma Lóngh/Our Òma Lóngh Lineage Kirip Lidem
70 71
Udij le ke Saèny Hidup Kita di Sa’an/Our Life in Sa’an Kayang Ulé
94 95
Glossary : Òma Lóngh-Indonesian-English
107
Lebu’ Kulit (with translations in Indonesian and English) Usung Bayung Marang Lie Merang
160
Ketena’ Bulak met Naa Keramo’ Cerita perpindahan dari Naa Keramo’/Moving out of Naa Keramo’ Paran Usat
194 195
Baya’ Sungai Sega ngan Baya’ Sungai Kayan 202 Buaya Sungai Segah dan Buaya Sungai Kayan 203 The Segah River Crocodile and the Kayan River Crocodile 203 Tulung Anyé Ungan ngan Awé Ungan dan Awé/Ungan and Awé Pebaun Bilung
220 221
Lengkan ngan Tuyanga Lengkan dan Teman-temannya/Lengkan and his friends Tulung Anyé
230 231
vi
Adet Lebu’ Kulit ngan Ketena’ Bilung Apang Adat Lebu’ Kulit dan Kisah Bilung Apang Lebu’ Kulit Traditions and The Story of Bilung Apang Pifung Lahang
250 251 251
Glossary : Lebu’ Kulit-Indonesian-English
273
Lampiran: Penyumbang Cerita
314
Appendix: List of Contributors
315
vii
Prakata
Ur admor Urii T Tadmor Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
Buku ini merupakan sumbangan yang sangat dinantikan bagi sastra daerah Indonesia yang begitu minim jumlahnya. Hampir semua karya sastra yang terbit di Indonesia menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Sangatlah sedikit yang diterbitkan dalam bahasa daerah, bahkan dalam bahasa yang dipergunakan oleh jutaan penutur, seperti bahasa Jawa atau bahasa Sunda, terlebih lagi sastra dalam bahasa-bahasa yang jumlah penuturnya kecil, dan jarang sekali ditulis. Antonia Soriente telah melakukan sebuah tugas penting bagi masyarakat Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit dengan menyusun sistem penulisan untuk bahasa mereka berdasarkan analisa linguistik serta masukan langsung dari para penutur asli. Hasilnya adalah terbitan sastra yang pertama dalam bahasa-bahasa tersebut. Di samping para penutur asli yang menjadi tujuan utama sebagai pembaca, buku ini juga diperuntukkan bagi para ilmuwan, khususnya para ahli Borneo dari berbagai bidang studi, karena dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia, terjemahan bahasa Inggris, serta daftar kosakata. Itulah dua tujuan yang diinginkan oleh UNESCO dan Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, yang bekerjasama menyeponsori penerbitan buku ini. Sejak tahun 2001, UNESCO telah membantu melestarikan bahasa dunia yang terancam punah sesuai dengan Universal Declaration on Cultural Diversity (Deklarasi Universal Keragaman Budaya). Di dalam rencana resminya, UNESCO mengimbau masyarakat internasional untuk melindungi warisan bahasa umat manusia dan memberikan dukungan pada ekspresi, kreasi, dan penyebaran bagi sebanyak mungkin bahasabahasa di dunia; mendorong keragaman bahasa pada semua tingkat pendidikan, dengan tetap menghormati bahasa ibu; serta mendukung keragaman bahasa dalam dunia maya. Sedangkan misi Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology adalah membuat analisa perbandingan gen, budaya, kemampuan kognitif, bahasa, dan sistem sosial di dunia. Alangkah tepat langkah kedua lembaga ini bersumbangsih kepada tujuan mulia tersebut melalui penerbitan sebuah buku yang mengandung informasi sejarah, budaya, dan linguistik, yang berorientasi kepada masyarakat, dan sekaligus juga bermanfaat secara ilmiah.
viii
Foreword This book is a very welcome contribution to the small yet important body of literature in bahasa daerah, local languages of Indonesia. Practically all literature published in Indonesia is in the national language, Indonesian; very little is published in other languages, even languages with many millions of speakers, such as Javanese or Sundanese. All the more so in the case of smaller languages, which are rarely written down at all. Antonia Soriente has done the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit communities an important service by devising writing systems for their languages based on linguistic analysis as well as direct input from the speakers themselves. The result is the very first literary publication in these languages. While the speakers’ communities remain the main target audience of the book, it also serves the scientific community, in particular scholars of Borneo from various fields of study, by providing translations into Indonesian and English, as well as a glossary. It is this duality of purpose that brought together UNESCO and the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, who have jointly sponsored the publication of this book. Since 2001, UNESCO has been active in preserving the world’s endangered languages in accordance with the Universal Declaration on Cultural Diversity. The declaration’s action plan calls for safeguarding the linguistic heritage of humanity and giving support to expression, creation and dissemination in the greatest possible number of languages; encouraging linguistic diversity at all levels of education, while respecting mother tongues; and promoting linguistic diversity in cyberspace. As for the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, its stated aim is to produce comparative analyses of different genes, cultures, cognitive abilities, languages, and social systems. What a fitting way to contribute to all these lofty goals by publishing a community-oriented book containing historical, cultural, and linguistic information, in a scientifically useful way.
ix
Ur admor Urii T Tadmor Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
Sekapur Sirih Bambang Kaswanti Purwo Penerbit Universitas Atma Jaya
Bahasa, seperti manusia atau makhluk hidup lainnya, juga dapat mati. Menurut catatan UNESCO, sepuluh bahasa mati setiap tahunnya di dunia ini. Setakat ini tercatat 7000-an bahasa di dunia dan 700-an di antaranya terdapat di Indonesia. Keprihatinan akan kematian bahasa ini membuat UNESCO pada konferensi November 1999 mencanangkan 21 Februari sebagai “Hari Bahasa Ibu Internasional” (International Mother Language Day) dan itu dirayakan pertama kalinya di Markas UNESCO di Paris tahun 2000. Laju kepunahan bahasa diperkirakan akan lebih cepat lagi pada abad ini. Salah satu syarat yang dapat menjamin agar sebuah bahasa dapat tetap hidup ialah apabila bahasa yang bersangkutan memiliki penutur yang jumlahnya mencapai 100.000 orang. Bahasa Kenyah, bahasa yang memiliki puluhan dialek, dengan wilayah penutur di Kalimantan Timur dan Serawak, jumlah penuturnya jauh di bawah patokan minimal itu. Oleh karena itu, terbitnya buku cerita Kenyah ini – di dalam bahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia, dan Inggris – sungguh merupakan langkah penyelamatan rintisan yang layak disambut dan didukung dengan acungan jempol. Cerita, yang pada awalnya merupakan tradisi lisan, dengan tampilnya di media cetak, kini memperoleh peluang untuk melintas batas wilayah penuturnya, menjadi tak terbatas ketersebarannya.
x
Preface Bambang Kaswanti Purwo Atma Jaya University Press
Language, like people and other living creatures, can fade away. According to UNESCO, ten languages die every year throughout the planet. The latest count of the number of languages spoken over the world today amounts to 7,000 languages, around 700 of which are in Indonesia. Such an alarming threat prompted UNESCO, in their conference in November 1999, to declare February 21st as “International Mother Language Day”, and it was celebrated for the first time at their headquarters in Paris in 2000. The rate of extinction will become even more rapid in this century. Chances are greater for a language to survive if it has at least 100,000 speakers. The Kenyah languages, which have tens of dialects, and are spoken in the area of East Kalimantan and Serawak, have far fewer speakers than that criterion. Hence, the advent of this book of Kenyah stories—in Òma Lóngh and Lebu’ Kulit with translations into Indonesian and English—which truly represents a pioneering effort to preserve the language, deserves thundering applause. These stories, originating from an oral tradition and now appearing in printed media, have the opportunity to expand beyond the area of their original speakers, and become widely available.
xi
Bagi penutur bahasa Kenyah itu sendiri, terbitnya buku ini membuka pintu gerbang penuturnya, menuju ke keberaksaraan (literacy). Dengan terbitnya buku ini terbuka pulalah langkah penyelamatan berikutnya, peluang bagi bahasa Kenyah untuk mulai merambah merasuki dunia pendidikan, mewujud menjadi bacaan anak-anak sekolah. Pada masa lampau sampai dengan 1970-an, bahasa ibu digunakan di tahun-tahun pertama sekolah dasar, sebelum anak-anak siap untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Akan tetapi, menurut catatan Moeliono,1 hanya enam bahasa besar, yaitu Aceh, Bali, Batak, Madura, Jawa, dan Sunda yang selama ini pernah menjadi bahasa pengantar peringkat awal sekolah dasar. Sejak diberlakukannya Kurikulum 1994, bahasa daerah memperoleh kembali lahan di jalur sekolah, melalui program “muatan lokal” (local content). Di SMP, misalnya, muatan lokal memperoleh jatah waktu empat sampai enam jam pelajaran seminggu – dua jam di antaranya untuk pengajaran bahasa daerah. Jatah waktu ini merupakan sepertiga dari jatah waktu untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu enam jam seminggu. Mudah-mudahan buku cerita Kenyah ini sungguh-sungguh dapat merambah ke sekolah-sekolah dan tidak hanya memperkaya khasanah bahan bacaan untuk program muatan lokal, melainkan juga membuat penuturnya lebih berbangga hati sehingga lebih mencintai bahasa ibu mereka. Semoga pula buku ini dapat memacu terbitnya buku-buku serupa di dalam bahasa Kenyah dan bahasa daerah yang lain.
1 Anton M. Moeliono.1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa Jakarta: Djambatan hlm. 59.
xii
For the speakers of the Kenyah languages themselves, the printing of this book opens the gates of another door, leading to greater literacy. With the advent of this book a further step at preservation is open, paving the path for the Kenyah languages to begin to pioneer and permeate into the world of education, serving as reading material for school children. Until the 1970’s, local languages were used as the medium of instruction during the first years of elementary school, before children were ready to use Indonesian. However, Moeliono1 notes that only six large vernaculars in Indonesia (Acehnese, Balinese, Batak, Madurese, Javanese, and Sundanese) have ever become the language of instruction during the early years of primary education. Since the enactment of the 1994 Curriculum, local languages have regained a place in the schools, under the program of muatan lokal (‘local content’). In middle schools, for example, four to six hours a week are devoted to muatan lokal, two hours of which are allotted to study the local language. This allotment of time is a third of the time allocated to study Indonesian, which is six hours a week. It is our hope that this book of Kenyah stories will truly seep through the schools, and not only enrich the treasury of reading materials for muatan lokal, but also make its speakers proud of their language, and encourage them to cherish their mother tongue. This book will also hopefully spur other such books to be published in Kenyah and other local languages.
Anton M. Moeliono. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan p. 59.
1
xiii
Kata Pengantar Antonia Soriente Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology Buku Mencalèny and Usung Bayung Marang: A collection of Kenyah stories in the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit languages ini merupakan bunga rampai dari lima belas cerita rakyat, sembilan di antaranya dalam bahasa Òma Lóngh dan enam dalam bahasa Lebu’ Kulit. Buku ini merupakan kumpulan cerita yang menyingkapkan kearifan lokal, adat- istiadat, legenda, pesan moral dan fragmen kehidupan sehari-hari orang Kenyah. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk menampilkan cerita-cerita lisan ini dalam wujud tertulis dan sekaligus mengaksarakan bahasa aslinya – suatu usaha yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Apa yang disajikan di dalam buku ini bukanlah analisis mendalam mengenai peranan dan pentingnya telaah cerita rakyat dan sastra lisan, bukan pula ihwal teoretis atau tafsiran atas cerita-cerita itu. Sumbangan dari usaha ini semata-mata dimaksudkan untuk mendokumentasikan bahasa dan memungkinkan masyarakat penutur bahasa ini menjangkau hasil budaya mereka sendiri supaya dengan demikian dapat mewariskannya kepada generasi berikutnya. . Judul dari buku ini diambil dari dua judul cerita yang ada di dalamnya, satu dalam bahasa Òma Lóngh dan satunya lagi dalam bahasa Lebu’ Kulit. Bahwa jumlah cerita berbeda, itu hanyalah karena cerita-cerita Òma Lóngh yang dikumpulkan ternyata lebih pendek daripada cerita-cerita Lebu’ Kulit. Cerita-cerita itu berbeda satu sama lain dan, mengenai siapa yang dipilih menjadi penyumbang cerita, hal itu dilakukan atas dasar kesediaan mereka untuk membantu usaha pendokumentasian ini. Bahasa Kenyah dituturkan dalam wilayah yang luas di Pulau Borneo yaitu di sekitar perbatasan Indonesia dan Malaysia Barat. Di Indonesia, bahasa ini tersebar di kampungkampung sepanjang sungai-sungai besar seperti Sesayap, Kayan, Kelai dan Mahakam serta anak-anak sungainya yang terletak di empat kabupaten Kalimantan Timur yaitu Malinau, Bulungan, Berau dan Kutai. Sementara di Malaysia, bahasa Kenyah tersebar di dua distrik Serawak yaitu Baram dan Balui, tepatnya di sungai Baram dan Rejang (lihat Peta 1). Tingkat perbedaan di antara varian-varian dalam bahasa ini sangat tinggi dan sejauh ini belum ada yang diakui secara resmi sebagai bahasa umum walaupun sudah ada beberapa dokumen yang ditulis dalam bahasa tertentu, sebagian besar dilakukan oleh gereja setempat dan kemudian menjadi contoh tertulis untuk yang lain. Beberapa dokumen gereja dan buku lagu rohani, misalnya, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Lepo’ Tau.
xiv
Introduction Antonia Soriente Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology This book, titled Mencalèny and Usung Bayung Marang: A collection of Kenyah stories in the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit languages, contains a total of 15 stories, 9 in Òma Lóngh and 6 in Lebu’ Kulit. This book is a collection of stories presenting the shared local knowledge, cultural traditions, legends, moral tales, and simple recollections of daily life of Kenyah people. The aim of the book is to provide a written record of these stories as well as the languages themselves, which had previously never been written down. Without entering into an indepth analysis of the role and importance of studies of folktales and oral literatures, and overlooking theoretical issues and interpretation of those stories, this contribution is mainly meant to document a language and give the community access to a product of their own culture to pass on to future generations. The book derives its title from two of the stories contained in the book, one in Òma Lóngh the other in Lebu’ Kulit. The difference in the number of stories is simply due to the fact that the stories collected in Òma Lóngh are shorter than those in Lebu’ Kulit. The stories are different and the contributors themselves were chosen on the basis of their willingness to help with the documentation project. Kenyah languages are spoken in a wide area around the border between Indonesia and Malaysia on the island of Borneo. They are distributed in a great number of villages along the main rivers and their tributaries in four Regencies in East Kalimantan, Malinau, Bulungan, Berau and Kutai (Sesayap, Kayan, Kelai and Mahakam Rivers) and two Districts in Sarawak: Baram and Balui (Baram and Rejang Rivers) (see Map 1.). They display a high level of variation among variants and so far no language is officially regarded as a common language although, in reality some of them have been provided with written documents—mainly done by local churches, and therefore used as examples by others. For example, some church documents and songbooks have been translated into Lepo’ Tau.
xv
Bahasa-bahasa tersebut secara genealogis, oleh beberapa sarjana, digolongkan dalam sub-kelompok Kayan-Kenyah (Hudson 1978, Kroeger 1998, Soriente 2004), atau dalam satu kelompok besar yang disebut Keluarga Bahasa Sarawak Utara (Blust 1974 dan 1998). Saya mulai meneliti bahasa Kenyah pada tahun 1993 ketika terlibat dalam sebuah penelitian lintas-bidang yang dilakukan oleh WWF (World Wide Fund for Nature) Indonesia. Lokasi tempat penelitian sekarang menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang, terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Penelitian saya saat itu berkenaan dengan pemetaan bahasa-bahasa yang dituturkan di Kecamatan Pujungan, yang kemudian saya gunakan sebagai bahan tesis master saya di Universitas Indonesia. Saya lalu memperluas kajian itu dengan menjangkau sebanyak mungkin bahasa Kenyah yang dituturkan di Kalimantan Timur dan Sarawak. Saya mengumpulkan data dari 28 varian bahasa Kenyah dan beberapa bahasa terkait lainnya untuk bahan disertasi saya memperoleh gelar doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia (lihat Soriente 2004). Pada tahun 1995, saya juga sempat melakukan penelitian bahasa di sekitar sungai Mahakam dan Kayan Hilir dengan dukungan dana dari Unit Budaya Kantor UNESCO, Jakarta. Selanjutnya, pada tahun 2004, saya mengajukan sebuah proposal untuk meneliti secara lebih mendalam dua bahasa yang sebelumnya pernah saya tinjau yaitu Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit. Proyek yang disambut antusias oleh direktur UNESCO di Jakarta bertujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan memperkenalkan dua bahasa daerah dari Indonesia. Bahasa Òma Lóngh sendiri dituturkan oleh sekitar 3000 orang di dua kabupaten di Kalimantan Timur, sementara bahasa Lebu’ Kulit dituturkan oleh sekitar 8000 orang di beberapa desa yang tersebar di 3 kabupaten di Kalimantan Timur dan satu distrik di Serawak. Bahasa-bahasa itu sedang terancam karena adanya arus perpindahan orang-orang Kenyah dari kampung asal mereka yang terletak di dataran tinggi yang hanya bisa dicapai melalui sungai, ke pesisir pantai. Bahasa ini juga mengalami pengaruh dari bahasa Kenyah yang lebih dikenal dan tersebar di wilayahnya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahkan, bahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit dianggap ‘aneh’ oleh penutur bahasa Kenyah lainnya karena adanya bunyi geseran dan sengau dalam sistem fonologis dan halhal istimewa lainnya. Oleh karena itu, rekaman audio dan penjelasan mengenai bahasa sangatlah penting bagi usaha pelestarian bahasa. Varian-varian ini dianggap pantas menjadi bahan studi dan dokumentasi bahasa karena selalu diabaikan dalam studi-studi sebelumnya dan kalau pun dimuat dalam beberapa atlas bahasa, seperti Language Atlas (Wurm & Hattori 1984) atau Languages of Indonesia (SIL 2001), tidak terkelompokan secara tepat. Selain itu, rekaman dan penjelasan tata bahasa dari bahasa-bahasa ini dimaksudkan untuk mendorong orang-orang daerah turut menjaga bahasa mereka agar tetap hidup, serta membuat mereka menyadari betapa pentingnya keragaman bahasa dan warisan budaya dari masing-masing suku.
xvi
Genealogically, the languages are included in the Kayan-Kenyah subgroup by some scholars (Hudson 1978, Kroeger 1998, Soriente 2004), or in a major group called the North Sarawak language family (Blust 1974 and 1998). I started studying Kenyah languages in 1993 when I got involved in a multidisciplinary research product conducted by the WWF (World Wide Fund for Nature) Indonesia. The area later became the Kayan Mentarang National Park, in the Malinau Regency in East Kalimantan. At that time, I undertook preliminary research mapping the languages spoken in the Pujungan District. That research then became the basis of my master’s thesis at Universitas Indonesia. I later widened my scope to cover as many of the Kenyah languages spoken in East Kalimantan and Sarawak as possible. I collected data from 28 Kenyah varieties and a number of other related languages; that became the material for my dissertation work done at Universiti Kebangsaan Malaysia (see Soriente 2004). In 1995, the Culture Unit of UNESCO Office, Jakarta awarded me a small grant to undertake linguistic research on the Mahakam and Lower Kayan rivers in East Kalimantan. Later in 2004, I submitted a proposal to undertake serious work on two of the languages which I had previously overviewed, Òma Lóngh and Lebu’ Kulit. This project was met with enthusiasm by the Director of the UNESCO Office in Jakarta. The aim of the project was to preserve, develop and promote two local languages of Indonesia. Òma Lóngh is spoken by around 3000 people in two districts in East Kalimantan and Lebu’ Kulit is spoken by approximately 8000 people in a number of villages scattered over 3 districts in East Kalimantan and one in Sarawak. These languages are under threat because of the migration of Kenyah people from their original villages in the upper reaches of the rivers to coastal locations. Also, they are affected by the double influence of better known or ‘mainstream’ Kenyah and Indonesian, the national language. Òma Lóngh and Lebu’ Kulit are considered to be ‘strange’ by other Kenyah speakers because of the fricative and nasalized sounds present in their phonological systems, among other features. Audio recordings and descriptions of the languages were regarded as crucial for the preservation of the languages. These variants were considered to warrant proper study and documentation because they had been neglected in most previous studies, and when mentioned, like in the Language Atlas (Wurm & Hattori 1984) or Languages of Indonesia (SIL 2001), they have been misclassified. It was envisaged that recordings of these languages in the form of texts and the description of their grammar would encourage local people to keep their languages alive and make them aware of the importance of language diversity and their ethnic and cultural heritage.
xvii
Ada beberapa alasan mengapa bahasa Kenyah dianggap terancam. Pertama, terdapat banyak jenis varian tetapi tidak pernah ada satu bahasa umum yang dapat menjadi lingua franca untuk semua orang Kenyah yang berbeda-beda. Sebenarnya kalau sementara beberapa varian dimengerti secara luas, beberapa yang lainnya justru terpinggirkan dan hanya dipakai oleh beberapa ribu orang penutur saja. Kedua, bahasa Kenyah tidak memiliki tradisi tulis dan dipelajari sebagai bahasa ibu oleh mereka yang masih tinggal di desa-desa pedalaman pulau Borneo. Ketiga, kelompok-kelompok kecil masyarakat ini hidup berjauhan satu sama lain dan dikepung oleh bahasa nasional, Indonesia dan Malaysia. Berhadapan dengan tekanan-tekanan semacam itu, bahasa-bahasa itu sedang dalam resiko kepunahan. Dua varian khusus ini mewakili dua cabang terpisah dalam sub-kelompok bahasa Kenyah (Soriente 2004) dengan ciri pembeda cukup istimewa yang memisahkan keduanya dari sebagian besar bahasa yang dikenal umum seperti Lepo’ Tau, Bakung, Badeng, Uma’ Jalan, Lepo’ Maut, dll. Cabang bahasa Òma Lóngh sendiri meliputi Uma’ Lasan, Uma’ Alim dan Uma’ Baka, sementara Lebu’ Kulit hanyalah satu anggota dari cabang yang meliputi Lebu’ Timai, Uma’ Ujok, Uma’ Pawa’ dan Uma’ Kelep. Dan satu dari tugas-tugas utama proyek dokumentasi ini adalah merekam berbagai cerita dalam bahasa-bahasa daerah tersebut, sebagai data yang dikumpulkan secara langsung oleh penutur secara naturalistik, yang kemudian dianalisa dengan tujuan-tujuan linguistik. Lokasi yang dipilih dalam proyek dokumentasi bahasa ini adalah Desa Setulang yang terletak di daerah sungai Malinau di Kabupaten Malinau, untuk Òma Lóngh, dan Desa Long Tungu yang berada di bagian hilir sungai Kayan di Kabupaten Bulungan, untuk Lebu’ Kulit (lihat Peta 2). Merujuk pada prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Keragaman Budaya UNESCO, saya pikir penelitian ini akan semakin bermanfaat jika dilanjutkan dengan penerbitan sebuah buku yang akan memuat sejumlah cerita yang telah direkam. Buku itu sendiri memiliki tujuan-tujuan yang dianggap mendasar dari setiap proyek dokumentasi bahasa yaitu pertama untuk mengalih-tuliskan bahasa-bahasa daerah yang selama ini hanya memiliki tradisi lisan dalam bentuk buku. Kedua, untuk menyediakan bahan awal yang nantinya bisa menjadi bagian dari mata pelajaran ‘muatan lokal’ di sekolah-sekolah (SD dan SMP), yang dibutuhkan untuk pengembangan pelajaran bahasa daerah dalam sistem pendidikan formal. Ketiga, untuk memunculkan kesadaran akan keragaman bahasa di antara masyarakat daerah. Keempat, melalui buku yang berisikan ceritacerita dalam bahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit yang dilengkapi daftar kata itu para penuturnya akan bangga pada bahasa dan budaya yang mereka miliki. Kelima, untuk mendorong penggunaan bahasa daerah yang terancam karena penggunaan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan. Sekalipun buku ini ditujukan pertama-tama dan terutama pada para penuturnya yang akan membaca cerita-cerita milik mereka sendiri dalam bahasa mereka, tetap penting juga orang Kenyah lain dan orang non-Kenyah dapat menikmatinya. Oleh karena itu, kami, bersama Unit Budaya Kantor UNESCO, Jakarta dan Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology memutuskan untuk melengkapi buku ini dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar bisa diakses oleh siapa pun yang berminat pada dua bahasa daerah ini maupun pada isi buku ini.
xviii
There are several reasons why these Kenyah languages are considered endangered. First, there are many varieties but no unified tongue has ever emerged that might serve as a lingua franca for all the diverse Kenyah people. In effect, while some of the variants are widely understood, others are quite marginal and concern only approximately a few thousand speakers. Second, the Kenyah languages have no written tradition, and are learned as mother tongues by those still living in villages in the interior of Borneo. Third, these small communities are far from each other and surrounded by their respective national languages, Indonesian and Malaysian. Facing such pressures, they run the risk of extinction. These two particular varieties represent two separate branches of the Kenyah subgroup (Soriente 2004), with quite distinct features that separate them from the more commonly known, or as I am calling them “mainstream Kenyah” languages such as Lepo’ Tau, Bakung, Badeng, Uma’ Jalan, Lepo’ Maut etc. The branch Òma Lóngh belongs to includes also Uma’ Lasan, Uma’ Alim and Uma’ Baka; whereas Lebu’ Kulit is only one member of the branch that includes also Lebu’ Timai, Uma’ Ujok, Uma’ Pawa’ and Uma’ Kelep. One of the main tasks of the documentation project was to record stories in the local languages in order to have first hand data collected in a naturalistic environment to analyze for more scientific linguistic purposes. The locations chosen for the documentation project were the village of Setulang, on the Malinau River in the Malinau Regency, for Òma Lóngh, and the village of Long Tungu, on the lower course of the Kayan in the Bulungan Regency for Lebu’ Kulit (see Map 2.) In line with the principles proclaimed by the UNESCO Universal Declaration of Cultural Diversity, I thought that it would be useful to produce a publication of some of the recorded stories. This publication would have a multifold purpose considered fundamental in every documentation project. First, it would produce tangible written material on languages which otherwise have only an oral tradition; to provide preliminary material to be part of the ‘local content’ subject in schools (elementary and junior high school) needed to foster the study of the language in the formal education system; to raise language diversity awareness among the local community through a book that contains stories in two local languages, Òma Lóngh and Lebu’ Kulit, together with a glossary to foster the relevant speech communities’ pride in their own language and culture and to encourage the use in oral and written domains of the local languages otherwise endangered by the use of Indonesian. Given that this book is aimed first and foremost at the local community, who will read their own stories in their own language, it is also very important that other Kenyah and non-Kenyah people can enjoy the book. We decided with UNESCO Office, Jakarta and the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology that the book would also have Indonesian and English translations in order to be accessible to people who might find interest in the language and in the content of the book.
xix
Keterlibatan para penutur asli dalam desain dan hasil proyek dokumentasi ini sungguh vital. Di Long Tunggu maupun di Setulang, para sesepuh kampung dan penduduk kampung lainnya secara aktif terlibat dalam proyek ini. Masalah-masalah yang muncul selama proyek ini, seperti sistem ejaan yang akan dipilih untuk teks atau memutuskan cerita-cerita manakah yang akan dimuat, berhasil diselesaikan dengan bantuan mereka. Bahkan, untuk menyelesaikan tugas ini dan menjadikannya sebagai bahan buku, beberapa cerita yang sudah direkam di lapangan dialihtuliskan oleh beberapa penutur asli, baik yang tinggal di kota Malinau, Tanjung Selor maupun Jakarta. Masing-masing bab dalam buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris serta dilengkapi dengan daftar kata yang sebagian besar isinya berasal dari kata yang ada di dalam cerita dan sebagian lagi diperoleh pada saat pengumpulan data di lapangan. Menyusun senarai kata adalah tugas yang lumayan sulit karena setiap kata dalam bahasa Kenyah hanya diiringi terjemahan satu kata dalam dua bahasa terjemahan tanpa komentar apa pun. Saya sangat sadar bahwa sering terdapat satu kata memiliki banyak arti, dan jika benar-benar ingin menyusun sebuah kamus maka kata harus dijabarkan ke dalam satu definisi yang utuh dan lengkap. Alasan saya memutuskan untuk meletakkan kedua daftar kata itu di akhir cerita adalah untuk membantu pembacaan cerita dalam bahasa asli mereka. Harapannya adalah kedua daftar kata itu, yang berisi lebih kurang 1000 kata dengan terjemahan dalam dua bahasa, dapat menyediakan informasi dasar perihal etnografi dan kebahasaan serta dapat menjadi dasar penyusunan sebuah kamus yang lebih lengkap di masa yang akan datang. Ilustrasi yang ada dalam buku ini, diolah berdasarkan foto yang diambil selama kunjungan lapangan saya, mewakili motif-motif yang sangat umum dalam budaya Kenyah dan terdapat pada bendabenda budaya yang bermacam-macam seperti dinding balai desa, tiang gapura kampung, dekorasi tembok, tas rotan, pakaian adat, topi, gendongan bayi, perisai, topi pelidung matahari, tato, dll. Coraknya bisa berbentuk binatang yang menjadi simbol-simbol dalam masyarakat Kenyah seperti burung enggang, mewakili dunia atas, naga dan macam-macam reptil, mewakili dunia bawah, dll. Ada yang berbentuk S kembar, ada yang disusun dalam pola geometrik, ada yang berbentuk spiral atau berpautan membentuk spiral ganda, ada yang dibuat dengan wajah raksasa seperti pada topeng udo’, ada gambar manusia jongkok dan ada pula gambaran wajah dewa. Tetapi tujuan buku ini bukan menganalisa makna simbolik dari ilustrasi-ilustrasi itu. Sebuah studi yang mendalam tentang makna dan nilai yang terkandung dalam simbol-simbol itu dapat ditemukan dalam Sellato (1989).
xx
The participation of the local community in the design and the output of the documentation project was vital. While in Tanjung Selor-Long Tungu and Malinau-Setulang, village elders and many others were actively involved in the project. Problems that came up during the project, like the orthography to be chosen for the texts, were resolved with the help of the local community who also decided which stories to publish. To accomplish this task, some of the stories recorded in the field were transcribed with the help of native speakers, in the towns of Malinau and Tanjung Selor and also in Jakarta, and became the material for this book. Both parts of the book are followed by a glossary with translations in Indonesian and English. These wordlists contain most of the words occurring in the texts and some others that were collected during elicitation sessions. Building a glossary is quite a difficult task considering that every single Kenyah word has often been given only one corresponding gloss. I am very aware that there is often more than one meaning for each of the words, and in order for this to become a real dictionary these single word matches must be expanded into full definitions. The only reason I decided to put the glossaries at the end of the stories was to facilitate the reading of the stories in their original language. The hope is that these glossaries, each containing more than 1000 entries in the two languages, will provide basic information on ethnographic and linguistic items, and will become the basis for a more serious dictionary work to come. The illustrations contained in the book are based on pictures taken during my field trips. They represent very common motifs in Kenyah culture and are reproduced in various cultural artifacts: the walls of the assembly hall, the poles at the entrance gate of the villages, the decorations on walls, rattan baskets, traditional clothes, hats, baby carriers, shields, sunhats, tattoos and so on. They reproduce in stylized form animals and symbols of the Kenyah community like the hornbill, representing the upper world, the dragon and other reptiles, representing the underworld, the dragon dog, etc. Some are repeated in S shape by mirror pairs, some are arranged in geometric patterns, others are spiraled or interlocked to form double spirals, some reproduce the monster faces found on the udo’ masks, others squatting human figures or stylized torsos, and others godly faces. It is not my intention in this book to analyze the symbolic meaning of these illustrations. A more detailed study of the meaning and value of these symbols can be found in Sellato (1989).
xxi
Sebaliknya, prioritas utama proyek ini adalah membuat standarisasi sistem ejaan yang belum dimiliki oleh bahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit dan mengembangkan sistem ejaannya. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan sistem bunyi dari kedua bahasa itu dengan tambahan dari sistem ejaan yang para penutur asli sudah terbiasa dengannya. Jadi, sistem pengejaan yang dipilih mirip dengan sistem ejaan bahasa Indonesia dengan sumbangan dari beberapa dokumen yang menggunakan beberapa bahasa Kenyah terkait sebagaimana dapat dilihat di dalam seksi berikut buku ini. Untuk menyusun sebuah sistem ejaan harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi para penutur asli sebagaimana dikatakan oleh Collins (2005), “seorang linguis saja tidak cukup untuk menciptakan sistem ejaan. Kita butuh memastikan bahwa itu adalah sistem yang disetujui masyarakat dan selanjutnya dapat digunakan. Lalu, sebaiknya juga dilakukan konsultasi dengan masyarakat penutur, LSM dan pengguna potensial untuk mencapai sebuah konsensus tentang ejaan.” Tugas paling ambisius dari buku ini adalah pembuatan sistem ejaan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dapat dipahami oleh penutur Kenyah yang lain dan konsisten. Banyak penutur asli, khususnya Òma Lóngh, secara khusus berminat untuk melakukan standarisasi bahasa tulis karena usaha-usaha yang dikerjakan sebelumnya sangat tidak konsisten. Beberapa lagu rohani dan nyanyian pujian yang pernah ditulis oleh pendeta dan pengamat budaya lainnya dipandang sulit untuk dipahami dan dibaca oleh penutur aslinya. Dalam bahasa Lebu’ Kulit perbedaan di antara varian diatasi melalui pilihan salah satu varian sebagai standar dengan resiko mengesampingkan yang lain, demi sebuah konsensus. Ditekankan bahwa persetujuan masyarakat terhadap sistem ejaan yang dikembangkan itu bersifat esensial dan kebutuhan untuk menstandarisasi itu berarti kompromi. Dalam membuat sistem ejaan itu, kami mencoba untuk merespon harapan yang berbeda-beda di antara masyarakat yang bertutur dalam bahasa-bahasa yang paling dominan dan yang bertutur dalam varian bahasa Kenyah lainnya dengan maksud menumbuhkan kesadaran atas keragaman bahasa di antara para penuturnya. Bagian berikut dari buku ini yang mengandung beberapa catatan tentang sistem ejaan, menampilkan sistem huruf yang dipakai dengan beberapa contoh. Beberapa ketidak-konsistenan pada sistem ejaan ditemukan khususnya dalam versi bahasa Indonesia di mana alih-tulis nama dan tempat mengikuti ejaan standar dalam bahasa Indonesia. Saya berharap buku ini dipandang sebagai hanya langkah awal menuju proyek pelestarian bahasa dan budaya yang lebih besar yang nantinya akan dilakukan oleh para penutur aslinya sendiri. Saya juga berharap buku ini akan mendorong mereka untuk mengembangkan keberaksaraan dalam bahasa mereka sendiri. Kumpulan cerita ini, walaupun hanya contoh kecil dari cerita-cerita yang tersebar luas, menampilkan budaya dan sejarah masyarakat Kenyah yang perlu disampaikan pada generasi masa depan. Untuk mencapai itu semua tidak ada jalan lain kecuali harus tetap mengajarkan bahasa dan nilai-nilai adat kepada anak-anak mereka.
xxii
Prior to this project, the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit languages did not have a standard orthographic system. Therefore, a spelling system had to be developed. It had to take into account both the sound system of the language in addition to those orthographies with which the community of speakers was already familiar. So we chose a spelling system that was similar to the spelling of the national language, Indonesian and borrowed hints from the few documents in other related Kenyah languages as can be seen in the next section. Devising a spelling system must take the needs and aspirations of the community of speakers into account. As suggested by Collins (2005), “it is not enough for a linguist to invent a spelling system. We need to make sure it is a system that the community approves of and therefore might use. Therefore, there should be consultations with community groups, NGO’s and potential users in order to achieve a consensus about spelling.” The most ambitious task of this book was the establishment of an orthographic system that could satisfy the needs of the community, could be understood by other Kenyah speakers and be internally consistent. Many local speakers, especially the Òma Lóngh, were particularly interested in the effort to standardize the written language, as some previous efforts to write it resulted in very inconsistent endeavors. Some songs and hymnals written by priests and other cultural observers were claimed to be difficult to understand and to be read by the local people. In Lebu’ Kulit the difference among variants had to be overcome through the choice of one variety as the standard, penalizing the others just based on consensus. It was essential for the community to agree upon the orthographic system to be developed, and any standardization effort necessarily meant compromise. In the establishment of the orthographic system, I tried to respond the wishes of the community in differentiating between the more dominant languages and, in particular, the other Kenyah variants as a means to raise language diversity awareness among its speakers. The next section containing notes about the orthography, displays the spelling system used in the two languages with some examples. Some inconsistencies with the spelling system are to be found especially in the Indonesian version where the transcription of names and places follow the standardized spelling in Indonesian. I hope this book is viewed as only a first step towards a bigger project of language and culture preservation that should be implemented by the native speakers. I am hopeful that it will encourage them to create and promote literacy in their own language. These stories are but a small sampling of a wider range of tales celebrating the culture and history of the Kenyah community that need to be passed to future generations. To do this it is extremely important to keep teaching children the language and the traditional values of these people.
xxiii
Saya sadar akan adanya kekurangan dalam buku ini, tetapi saya berharap buku ini tetap dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi masyarakat Kenyah. Sebagai seorang linguis, saya wajib berterima kasih kepada Unit Budaya Kantor UNESCO di Jakarta, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology serta Pusat Kajian Budaya dan Bahasa – Universitas Atmajaya yang telah mendukung saya untuk mengembalikan hasil penelitian ini kepada masyarakat yang selalu menerima dan mendukung usaha saya. Saya berharap juga buku ini bisa memicu lahirnya bukubuku lain, yang dibuat dan didukung baik oleh orang Kenyah sendiri maupun pemerintah daerah, sebagai upaya melestarikan keragaman bahasa di Indonesia. Saya percaya semua orang Kenyah merasa bangga melihat bahasa mereka didokumentasikan dan akan mulai mengubah sikap atas bahasa mereka sendiri. Tumbuhnya kesadaran dalam diri para penutur asli adalah cara paling efektif untuk mencegah bahasa dari kepunahan, terlepas dari besar atau kecilnya jumlah penutur. Orang-orang yang pindah dari wilayah asli Kenyah telah berhenti mengajarkan bahasa asli kepada anak-anak mereka dan dalam lingkungan masyarakat Kenyah sedang tumbuh pengaruh yang berasal dari bahasa Indonesia dan Malaysia. Atas alasan itu, saya harap buku ini dapat digunakan sebagai referensi bagi mata pelajaran “muatan lokal” di sekolah-sekolah dasar. Kampung-kampung yang bersuku tunggal, seperti Setulang, jika perhatian yang sama besar diberikan juga pada bahasa seperti halnya pada budaya, memberikan kesempatan yang baik untuk memperbarui minat pada bahasa agar dapat terus dipupuk. Jika guru-guru mulai menggunakan bahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit di masing-masing desa saat mengajar, jika ibu-ibu tetap berbicara dengan anak-anak mereka dalam bahasa ibu dan jika para sesepuh tetap menekankan pentingnya penggunaan logat asli dalam pertemuan-pertemuan maka bahasa itu senantiasa tidak akan hilang. Sekarang ini saja, kebaktian ternyata dapat dilakukan dalam bahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit dan usaha untuk menciptakan lagu-lagu rohani dalam bahasa daerah adalah langkah yang baik menuju pemeliharaan bahasa. Apa yang paling dibutuhkan lebih dulu adalah bagaimana merangsang orang-orang daerah bisa menciptakan cerita mereka dan mulai menuliskannya serta bagaimana memahami pentingnya bahasa mereka di dunia modern. Saya sungguh bahagia menyaksikan beberapa orang Òma Lóngh mulai bertukar sandek (SMS) dalam bahasa Òma Lóngh dan berharap cara seperti ini terus dikembangkan.
Ucapan Terima Kasih Buku ini tidak akan pernah terwujud tanpa adanya dukungan dana dari Unit Budaya Kantor UNESCO, Jakarta yang diberikan sejak dimulainya ide untuk membuat sebuah karya nyata dari warisan penting orang Kenyah yang tidak nyata, sebuah buku cerita berbahasa Òma Lóngh dan Lebu’ Kulit. Stephen Hill, Himalchuli Gurung dan Silvia Mulani yang menyambut dengan antusias niat saya untuk membuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat Kenyah sangat pantas menerima uluran tangan tanda terima kasih saya yang sebesar-besarnya.
xxiv
I am aware of the shortcomings of the book, nevertheless I hope that it is a great contribution to the Kenyah people. As a linguist, I feel flattered to be able, thanks to UNESCO Office, Jakarta, the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology and the Pusat Kajian Budaya dan Bahasa Universitas Atmajaya to give back to these communities which have always been so welcoming and supportive of my efforts. I hope this book functions as a trigger for other books produced and supported by Kenyah people and by the local government in an effort to maintain language diversity in Indonesia. I believe all Kenyah people will feel proud seeing their languages documented and will start changing their attitudes towards them. Raising the self awareness of the speakers is the most effective way to prevent languages from dying, no matter how big or small the number of speakers. People who have emigrated from Kenyah areas have stopped teaching the language to their children, and within the Kenyah area there is an ever growing influence from Indonesian and Malaysian. It is for this reason that I hope this book can be used as a reference for teaching the “local content” in elementary schools. In mono-ethnic villages, such as Setulang, if the same attention is given to language as it is to culture, chances are good—that through this book—renewed interest about the language can be raised. If teachers start using Òma Lóngh and Lebu’ Kulit in their respective villages to give instruction, if mothers keep on speaking to their children in their mother tongue and if the elders keep on stressing the importance of using the local vernacular in meetings, the language will not disappear. The fact that religious services can be held in Òma Lóngh or Lebu’ Kulit and that efforts are being made to create religious songs in the local language is a good step towards language maintenance. What is mostly needed, though, is to stimulate local people to create their own stories and start writing them down; and to understand the relevance of their languages in modern world. I witnessed with pleasure that some Òma Lóngh people started exchanging cellular text-messages using the Òma Lóngh language. I hope this trend will develop.
Acknowledgements This book would not have been realized without the financial support of UNESCO Office, Jakarta which supported from the beginning the idea of producing a tangible product of such an important intangible heritage of Kenyah people, a book of stories in Òma Lóngh and Lebu’ Kulit. Stephen Hill, Himalchuli Gurung, Silvia Mulani have greeted my efforts to produce something useful for the Kenyah community with great enthusiasm and deserve full acknowledgement for this.
xxv
Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, lembaga di mana saya bekerja, merupakan tempat yang ideal untuk melakukan penelitian dan bekerja karena penuh dengan kebebasan dan keterbukaan. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bernard Comrie atas perhatiannya pada topik penelitian saya dan atas dukungan yang diberikannya pada usaha ini. Uri Tadmor telah menyediakan banyak waktunya jika sewaktu-waktu saya ingin mendiskusikan masalah-masalah yang terkait dengan penerbitan buku ini, mulai dari hal-hal ilmiah seperti membuat sistem ortografi sampai pada masalah-masalah yang lebih umum yang terkait dengan layout. Ia juga berbaik hati untuk menulis prakata dalam buku ini. David Gil memercayai saya untuk menjalankan proyek ini dan terlibat dalam memutuskan isu-isu relevan seperti terjemahan bahasa Inggris, format dan kulit muka buku. Thomas Conners, yang dalam waktu singkat telah mengerjakan sebuah tugas besar yaitu menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Inggris, juga banyak menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan saya mengenai isi cerita. Dan tak lupa juga saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh kolega saya di Jakarta Field Station, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, atas dukungannya. Saya menyampaikan terima kasih pada Pusat Kajian Budaya dan Bahasa – Universitas Atmajaya dan Bambang Kaswanti Purwo yang mendorong saya melanjutkan penelitian ini dengan menerbitkan buku tentang bahasa ini yang belum banyak dikenal. Bambang Kaswanti Purwo berperan penting dalam editing dan penyelesaian problem-problem praktis lainnya yang berhubungan dengan buku ini. Saya juga berterima kasih atas kesediaannya menulis sekapur sirih dan mengijinkan buku ini diterbitkan oleh penerbit Universitas Atma Jaya. Marthin Billa – Bupati Malinau dan Ketua organisasi Dayak Kalimantan Timur (PDKT) – dan Jalung Merang – ketua organisasi Lebu’ Kulit yang disebut Tebenggang Lung – adalah orang Lebu’ Kulit yang sangat mendukung proyek ini. Mereka berdua menunjukkan dedikasinya untuk memelihara nilai-nilai adat, budaya dan bahasa Dayak. Saya berharap sumbangan kecil ini dapat berguna pada mereka dan rakyatnya. Kepada mereka lainnya yang telah memberikan dukungan atas usaha ini saya hendak menyampaikan terima kasih: Simon Devung dari Universitas Mulawarman, Cristina Eghenter dan Dolvina Damus dari WWF di Kalimantan Timur; Lini Wollenberg, Godwin Limberg dan Ramses dari CIFOR (Center for International Forestry Research); dan Januri dari FOMMA (Forum Masyarakat Adat) yang telah berbagi pengetahuan dengan saya; Bernard Sellato, seorang penasehat yang sempurna; dan James Collins yang tak pernah berhenti mendukung riset saya tentang bahasabahasa Kenyah.
xxvi
The Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, the institution for which I work, is the perfect place to undertake research and work with freedom and openness. I explicitly thank Bernard Comrie for the interest shown in my research topic and for the support given to this endeavor. Uri Tadmor has spent a lot of time with me discussing problems related to the publication of the book, from scientific ones like the establishment of an orthographic system to more general ones related to the layout; he has been kind enough to write the foreword. David Gil has entrusted me to carry on this project and has participated in the decision of relevant issues like the English translation, the format and the cover. Thomas Conners has undertaken a great job in translating the book into English in a relatively short time and has spent a great deal of time with me discussing the content of the stories. I extend my thanks to all my colleagues at the Jakarta Field Station of the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology for their support. I am also grateful to Pusat Kajian Budaya dan Bahasa of Universitas Atma Jaya and Bambang Kaswanti Purwo who have encouraged me to pursue this effort to produce a book on a little known language. Bambang Kaswanti Purwo has been crucial in the editing and in the resolution of other practical problems associated with the book. I thank him for his availability to write a preface and to allow this book to be published by Atma Jaya University Press. Both Marthin Billa—the Regent of the Malinau Regency, and the head of the Organization of the Dayak of East Kalimantan (PDKT)—and Jalung Merang— the head of the Lebu’ Kulit organization called Tebenggang Lung— both Lebu’ Kulit, have always been extremely supportive of this project. They have both shown a dedication to maintaining traditional Dayak values, culture, and language. I hope this small contribution may be of some service to them and their people. I would like to extend my gratitude to others who have shown their support for this endeavour, including: Simon Devung, from Universitas Mulawarman, Cristina Eghenter and Dolvina Damus from WWF in Kalimantan Timur; Lini Wollenberg, Godwin Limberg and Ramses from the CIFOR (Center for International Forestry Research); and Januri from FOMMA (Forum Masyarakat Adat) who have all generously shared their knowledge with me. Bernard Sellato has been an excellent advisor; and James Collins has never stopped supporting my work on Kenyah languages.
xxvii
Semua kesalahan dan kekurangan dalam buku ini, tentu saja, adalah milik saya sendiri. Mendekati sebuah bahasa yang belum terdokumentasikan dan para penuturnya, dengan seluruh tantangan dan kompleksitasnya, tidak mungkin dapat dilakukan tanpa bantuan banyak orang Kenyah yang menyediakan waktunya untuk membantu saya baik secara langsung maupun mendorong dari belakang melalui pengajaran dan kasih sayang mereka. Saya tidak akan mampu menyampaikan terima kasih pada mereka satu persatu tetapi saya ingin memastikan bahwa saya sangat menghargai dukungan dan dorongan yang begitu besar diberikan kepada saya. Ada banyak sekali orang yang harus diucapkan terima kasih, begitu banyak yang ramah pada saya dan tanpa bantuannya buku ini tidak akan pernah ada. Saya ingin menyampaikan terima kasih khusus kepada mereka yang telah menuturkan semua cerita ini kepada saya, serta kepada mereka yang membantu menerjemahkan dan menyiapkan buku ini. Iwan Ajang, seorang tokoh penting dalam masyarakat Òma Lóngh di Kota Malinau, adalah orang pertama yang mengenalkan pada saya aspek bahasa, budaya dan sejarah Òma Lóngh. Ia menyumbangkan cerita “Dòngò Fatangh” yang mengisahkan sebuah legenda yang bisa dijadikan panutan moral bagi orang Òma Lóngh. Bantuan dan pengetahuannya sungguh tak ternilai. Ipui Turan, seorang yang ramah dari Setulang. Ia menyumbangkan cerita “Mencalèny”, sebuah cerita yang sangat dikenal oleh orang Òma Lóngh, dan mengajarkan kearifan dan keyakinan orang-orang jaman dulu. Yosabat Alui memang tidak lagi tinggal di kampung Òma Lóngh tetapi komitmennya pada pengembangan dan pemeliharaan seni dan bahasa telah banyak memberikan inspirasi pada orang untuk melakukan hal yang sama. Dalam buku ini ia menyumbangkan cerita “Hantu Tak Berkepala” dan “Hantu Raksasa”. Sima Malan sangat mendukung usaha pelestarian dan pengenalan bahasa dan budaya Òma Lóngh di sekolah-sekolah. Cerita sumbangannya berjudul “Anak Bungsu”. Fè’èj Sabò Ònya menuturkan cerita lucu “Mpé dan Buzu” dan “Tadèny Ólé” untuk dimuat dalam buku ini. Ia sungguh berjiwa muda jauh melampaui usianya yang sudah uzur. Walau mula-mula malu-malu, ia akhirnya terus bercerita sambil sesekali bernyanyi dan menari.
xxviii
All of the mistakes and shortcomings in the book are, of course, solely mine. Approaching the reality of an undocumented language and the people who speak it, with all the challenges and complexities that entails, would have been impossible without the help of many Kenyah people who took the time to assist me in a material way and beyond, through their teaching and affection. I will not be able to thank everybody but I want to make sure that I acknowledge the support and encouragement so many have shown to me. There are, of course, so many people to thank, so many who have shown me kindness and without whose help this book would never have been realized. Although I collected many stories, only a selection of them appear in this book. I would like to give special acknowledgement to those who told me these stories, and helped in their translations and preparation. Iwan Ajang is a prominent man among the Òma Lóngh in Malinau City, and he was the first person to introduce me to many aspects of the language, culture, and history of the Òma Lóngh. He told the story of “Dòngò Fatangh”, a legend presenting an appropriate moral example for the Òma Lóngh people. His help and knowledge are inestimable. Ipui Turan is a kind old man from Setulang. He told the story of “Mencalèny”, known by all Òma Lóngh, filled with the knowledge and faith of their ancestors. Yosabat Alui, though no longer living in an Òma Lóngh village, provided both the “The Headless Ghost” and the “The Giant Ghost” stories. His commitment to the development and preservation of his people’s arts and language is inspiring. Sima Malan, who contributed “The Youngest Child”, was very supportive of all efforts to preserve and promote the Òma Lóngh language and culture in local schools. Fè’èj Sabò Ònya told the funny stories of “Mpé and Buzu” and “Tadèny Ólé”. She is truly a young soul, athough her age is rather advanced. Although reluctant at first, she ended her tales with singing and dancing.
xxix
Kirip Lidem bisa diibaratkan sebagai ingatan berjalan. Pengetahuan dan ingatannya di kemudian hari akan sangat berguna untuk memelihara sejarah lisan dan pengetahuan budaya. Ia menceritakan silsilah keluarga besarnya dalam judul “Keturunan Kita Òma Lóngh”. Kayang Ulé, dengan “Hidup Kita di Sa’an” hendak menceritakan alasan mengapa dulu mereka memutuskan pindah dari kampung lama ke kampung baru. Ia juga menerangkan perbedaan dan perubahan dalam aspek kehidupan mereka, yang lama dan yang baru. Tulung Anyè yang memberikan kepada kita cerita “Lengkan dan Temantemannya” dan “Buaya Sungai Segah dan Buaya Sungai Kayan” sungguh orang tua yang luar biasa, kreatif dan energik. Walaupun menderita sakit yang menyebabkannya gemetar dan membuatnya tidak bisa menulis, ia secara antusias mengetik beberapa cerita yang sayangnya tidak semua cerita itu dimuat dalam terbitan kali ini. Saya ingin berterima kasih secara mendalam atas komimennya dan atas nama Kenyah yang diberikannya kepada saya, Unjung Nyalau. Pebaung Bilung menyimpan sebuah bakat terpendam yang tidak disadarinya. Ketika bercerita tentang “Ungan dan Awe”, sebuah cerita ini yang memperingatkan kita untuk tidak memperlakukan buruk binatang, ia terlihat begitu mahir. Paran Usat, yang menyumbang “Cerita Perpindahan dari Naa Keramo’”, adalah orang Lebu’ Kulit yang ikut dalam perpindahan dulu. Ingatan dan wawasan tentang kehidupan masa lalu akan membantu melestarikan adatadat lama mereka. Pifung Lahang sangat ramah dan lucu serta selalu berusaha membuat lawan bicaranya tersenyum atau tertawa. Ceritanya yang berjudul “Adat Lebu’ Kulit dan Kisah Bilung Apang” juga merupakan cerita yang lucu. Lie Merang adalah seorang pendeta dengan memiliki banyak tanggungjawab. Namun, dengan ramah ia masih sempat menyisihkan waktunya untuk menceritakan legenda moral “Usung Bayung Marang” yang sakti dan kepercayaan lama atas Bungan Malan. Bukan itu saja, ia masih terus membantu setiap kali saya melakukan kunjungan lapangan.
xxx
Kirip Lidem who told “Our Òma Lóngh Lineage”, is like a walking memory. His knowledge and elephantine memory have helped preserve an important part of oral history and cultural knowledge. Kayang Ulé, with “Our Life in Sa’an” told of reasons for moving from the old to the new village. He also described the differences and changes between their ‘old’ way of life and their ‘new’. Tulung Anye, who gave us both “Lengkang dan his friends” and “The Segah River Crocodiles and the Kayan River Crocodiles” stories, is truly a remarkable old man, creative and energetic. Although he suffered from a disease causing him to shake and making him unable to write, he enthusiastically typed some of the stories, not all of which, unfortunately, could be included in this volume. I am deeply touched that he was the one who gave me my Kenyah name, Unjung Nyalau. Pebaung Bilung, who told “Usung and Awé”, had a hidden gift for storytelling, which even he hadn’t realized. The tale warned not to abuse animals. Paran Usat who gave “Moving out of Naa Keramo’”, was one of the Lebu’ Kulit involved in the original move. His recollections and insights will do much to preserve the old ways. Pifung Lahang, who told “Lebu’ Kulit Traditions and The Story of Bilung Apang”, is a funny and amiable man, always endeavoring to get a smile or laugh from his audience. Lie Merang, a priest with many responsibilities, graciously took the time to tell the moral legend of “Usung Bayang Marang” with its supernatural characters and the old beliefs of Bungan Malan, and then continued to assist and help me along the way.
xxxi
Saya juga menyampaikan terima kasih secara khusus kepada mereka yang berperan penting dalam alih-tulis, penerjemahan, menyiapkan informasi bahasa dan mengajarkan bahasa kepada saya. Mereka itu adalah Rossalina, Katarina Kole, Kasing Ingan, Anita Apui dan Daud Larung. Mereka juga sangat membantu dalam penyusunan glosari. Orang-orang lain yang saya ingin berterima kasih di Malinau: Udau Robinson, Sehan Pebing, Kaing Ajen, Lenjau Bit, Yonathan Elbar, dan Cornelis Elbar. Di Setulang banyak orang yang berhak atas terima kasih saya yang mendalam atas bantuan, antusiasme dan pengetahuan yang mereka bagi kepada saya: Sorang Ajan, Kole Ajan, Elisar Ipui, Abeng, Kuling Ngau, Ujung, Felea Tigang, Lajung Nco, dan Laung. Saya berhutang terima kasih pada banyak orang di Tanjung Selor atas bantuan mereka: Tadan Anyé, Florens Bid, Pekiring Bilung, Zeth Elbar, Peluhung, dan Marianti Karolus. Perjalanan lapangan saya di Long Tungu tidak akan sukses tanpa bantuan dan dukungan Ifung Aran, Lira, Apui Baya dan banyak orang Lebu’ Kulit lainnya yang tidak dapat dicantumkan dalam daftar ini satu per satu. Pada perjalanan saya yang terakhir ke Pujungan saya bertemu dengan kawan-kawan lama yang menunjukkan kasih sayang dan dukungan: Sarina, Apui Asang, Naa Sulang dan banyak lainnya. Terika kasih khusus saya sampaikan juga pada Luli Dongo dan Semung Soma yang mendukung kegiatan saya dengan membagi pengetahuan mereka kepada saya tentang bahasa Òma Lóngh. Saya juga berterima kasih atas kerja keras yang dilakukan oleh Roziqin untuk layout dan ilustrasi serta Faisol Riza untuk editing versi bahasa Indonesia.
xxxii
I offer a special thanks to those who have been crucial in transcribing, translating, prividing linguistic information and teaching me their language: Rossalina, Katarina Kole, Kasing Ingan, Anita Apui and Daud Larung. They have also helped greatly in compiling the glossaries. Other people I want to thank personally in Malinau are: Udau Robinson, Sehan Pebing, Kaing Ajen, Lenjau Bit, Jonathan Elbar, and Cornelis Elbar. In Setulang many people deserve my sincerest gratitude for helping me with enthusiasm and sharing with me their knowledge: Sorang Ajan, Kole Ajan, Elisar Ipui, Abeng, Kuling Ngau, Ujung, Felea Tigang, Lajung Nco, and Laung. I owe many people in Tanjung Selor gratitude for their help: Tadan Anyé, Florens Bid, Pekiring Bilung, Zeth Elbar, Peluhung, and Marianti Karolus. My fieldtrips in Long Tungu would not have been successful without the help and support of Ifung Aran, Lira, Apui Baya and many other Lebu’ Kulit people whom I cannot list one by one. In my latest trip to Pujungan I met old friends who showed affection and support: Sarina, Apui Asang, Naa Sulang and many others. Special thanks goes to Luli Dongo and Semung Soma who have supported my enterprise and shared with me their knowledge of the Òma Lóngh language. I acknowledge the great work done by Roziqin for the layout and illustrations and Faisol Riza for editing the Indonesian version.
xxxiii
References Blust, R. A. 1974. The Proto-North Sarawak Vowel Deletion Hypothesis. Thesis Ph.D. University of Hawaii. Blust, R. A. 1998. The Position of the languages of Sabah. In Ma. Lourdes S. Bautista (ed.). Pagtanaw, essays on language in honor of Teodoro A. Llamzon. Collins, J. 2005. Minority Languages and Dictionaries: Documentation and maintenance Public lecture organized by Curtin University (Miri, Sarawak) at Pustaka Miri, 30 November 2005. Eghenter, C. & Sellato B. (Eds.). 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian interdisipliner di pedalaman Kalimantan. Jakarta: WWF Indonesia Hudson, A. B. 1978. Linguistic Relations among Bornean Peoples with Special Reference to Sarawak: an Interim Report. Sarawak Linguistics and Development Problems. Studies in the Third World Societies 3: 1 44. Williamsburg, VA. Kroeger, P. R. 1998. “Language classification in Sarawak: a status report. Sarawak Museum Journal 74: 137-173. Moseley (Ed.). 1994. Atlas of the World’s Languages, London: Routledge. Sellato, B. 1992 (1989). Hornbill and Dragon. Arts and Culture of Borneo. Singapore: Suntree publishing SIL International Indonesia Branch. 2001. Languages of Indonesia. Jakarta. Soriente, A. 2004. A classification of Kenyah languages in Sarawak and East Kalimantan. Thesis PhD at Universiti Kebangsaan Malaysia. Uluk, A. Sudana, M. & Wollenberg E. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak terhadap Hutan di sekitar Taman Nasional Kayan Menetarang. Bogor: CIFOR. Wurm, S. A. & Hattori (Eds.). 1984. Language Atlas of the Pacific Area. Pacific Linguistics C66.
xxxiv
xxxv
Map 1. The Island of Borneo (Source: Eghenter, Sellato, Devung 2003:20)
xxxvi
xxxvii (Source: Uluk, Sudana, Wollenberg 2001:3)
Map 2. Location of the Òma Lóngh and Lebu’ Kulit villages
Catatan tentang Ejaan Konsonan Òma Lóngh Huruf b c d f g gh j
k ’ l m n ng ngh ny p r s t v z
Contoh bazengh “parang” cen “binatang” da’eng “daun” faij “pahit” sagó “goreng” ghòlep “penggal” taghet “kaki” jagèny “kerja” òjèny “hujan” anij “kulit” kòlèj “jamur” kepek “debu” udek “anjing” tè’a “bagus” có’ “suruh” lana “nanah” mabò “merumput” nepè “panggil” ngenufi “mimpi” ta’engh “tahan” nyangèny “memenuhi” bolèny “bulan” pet “buang” raam “dalam” tareng “rajin” sui “lebih” ta’a “rok tradisional” devó “dua” mazóngh “demam”
IPA KIEL b c d
F g
V Ô
Deskripsi letupan bilabial bersuara letupan palatal tak bersuara letupan dental bersuara (pada posisi tengah beralternasi leluasa dengan r) geseran bilabial tak bersuara (pada posisi awal beralternasi leluasa dengan p); dalam percakapan dihasilkan dengan geseran glotal h letupan velar bersuara geseran velar bersuara (pada posisi awal beralternasi leluasa dengan k) letupan palatal bersuara pada posisi awal dal medial, pada posisi akhir merupakan letupan palatal tak bersuara yang tak dilepas
k
letupan velar tak bersuara
/
letupan glotal (hamzah)
l m n
sampingan nasal bilabial bersuara nasal dental bersuara nasal velar bersuara nasal velar tak bersuara (hanya pada posisi akhir) nasal palatal bersuara
N N9 = p r
letupan bilabial tak bersuara geletar apikal (pada posisi di antara vokal beralternasi leluasa dengan d) geseran alveolar tak bersuara letupan dental tak bersuara geseran bilabial tak bersuara geseran alveolar bersuara
s t
B z
xxxviii
Notes about the Orthography Òma Lóngh consonants Letter b c d
Example bazengh “machete” cen “animal” da’eng “leaf”
f
faij “bitter”
g gh
sagó “fry” ghòlep “behead” taghet “foot” jagèny “work” òjèny “rain” anij “skin” kòlèj “mushroom” kepek “debu” udek “dog” tè’a “good” có’ “order” lana “pus” mabò “weed” nepè “call” ngenufi “dream” ta’engh “sturdy” nyangèny “fill” bolèny “moon” pet “throw away” raam “inside” tareng “diligent” sui “more” ta’a “traditional skirt” devó “two” mazóngh “fever”
j
k ’ l m n ng ngh ny p r s t v z
IPA KIEL b c d
F
g
V Ô
Description voiced bilabial stop voiceless palatal stop voiced dental stop (in medial position it freely alternates with with r) voiceless bilabial fricative (in initial position it freely alternates with p); in fast colloquial speech it is produced as a voiceless glottal fricative h voiced velar stop voiced velar fricative (in initial position it freely alternates with k) voiced palatal stop in initial and medial position, in final position it represents an unreleased voiceless palatal stop
k
voiceless velar stop
/
glottal stop
l m n
lateral approximant voiced bilabial nasal voiced dental nasal voiced velar nasal voiceless velar nasal (only in final position)
N N9 =
voiced palatal nasal
p r
voiceless bilabial stop apical trill (in intervocalic position it freely alternates with d) voiceless alveolar fricative voiceless dental stop voiceless bilabial fricative voiced alveolar fricative
s t
B z
xxxix
Vokal Òma Lóngh
Vokal a é è e e i ó ò u
Contoh aba “hilir” té “itu” tè “pergi” bazengh “parang” ce “jauh” ii “siapa” tó “kita dua” tò “hari” udij “hidup”
IPA KIEL a e
E ´ ¨ i o
O u
xl
Deskripsi vokal tengah rendah vokal madya tinggi depan tegang vokal madya tinggi depan kendur vokal madya tengah tak bulat vokal tinggi belakang tak bulat vokal tinggi depan tak bulat vokal madya tinggi belakang bulat vokal rendah belakang bulat vokal tinggi belakang bulat
Òma Lóngh Vowels
Vowel
Example
a é è e e i ó ò u
aba “downriver” té “that” tè “go” bazengh “machete” ce “far” ii “who” tó “we two” tò “day” udij “life”
IPA KIEL
a e E ´ ¨ i o O u
Description
low central vowel mid high front tense vowel mid high front lax vowel mid central vowel high back unrounded vowel high front unrounded vowel mid high back rounded vowel low back rounded vowel high back rounded vowel
xli
Konsonan Lebu’ Kulit
Letter
Example
IPA KIEL
b c d g j k ’ l m n ng ny p r s t v
buang “beruang” pencit “menindis” dau “hari” ga’at “pinang” jagèny “kerja” kading “kambing” kedu’ut “sedikit” jela’ “lidah” lana’ “nanah” makang “berani” nem “enam” nganup “berburu” nyat “minta” palan “pantangan” rateleu “mereka” sak “masak” taket “kaki” belavau “tikus”
w y
kawang “keluar” maya “miring”
b c d g
Description letupan bilabial bersuara letupan palatal tak bersuara letupan dental bersuara voiced dental stop letupan velar bersuara voiced velar stop letupan palatal bersuara voiced palatal stop letupan velar tak bersuara letupan glotal (hamzah) sampingan nasal bilabial bersuara nasal dental bersuara nasal nasal velar bersuara nasal palatal bersuara letupan bilabial tak bersuara geletar apikal geseran alveolar tak bersuara letupan dental tak bersuara geseran bilabial tak bersuara (hanya pada posisi di antara vokal) semivokal labial semivokal palatal (pada posisi tengah)
Ô k
/ l m n
N = p r s t
B w j
Vokal Lebu’ Kulit
Vokal a é e i o u
Contoh alo “arus sungai” dué “dua” amen “pertanda” iti “itu” penco’ “lurus” udo’ “topeng”
IPA KIEL a e
´ i o u
Deskripsi vokal tengah rendah vokal madya tinggi tak bulat vokal madya tengah vokal tinggi depan tak bulat vokal madya tinggi belakang bulat vokal tinggi belakang bulat
xlii
Lebu’ Kulit consonants
Letter Example b c d g j k ’ l m n ng ny p r s t v
buang “bear” pencit “crush” dau “day” ga’at “areca nut” jagèny “work” kading “goat” kedu’ut “a little” jela’ “tongue” lana’ “pus” makang “brave” nem “six” nganup “hunt” nyat “ask for” palan “prohibition” rateleu “they” sak “cooked” taket “foot” belavau “rat”
w y
kawang “go out” maya “slanted”
IPA KIEL b c d g
Ô k
/ l m n
N = p r s t
B w j
Description voiced bilabial stop voiceless palatal stop voiced dental stop voiced velar stop voiced palatal stop voiceless velar stop glottal stop lateral approximant voiced bilabial nasal voiced dental nasal voiced velar nasal voiced palatal nasal voiceless bilabial stop apical trill voiceless alveolar fricative voiceless dental stop voiceless bilabial fricative (only in intervocalic position) labial approximant palatal approximant (in medial position)
Lebu’ Kulit vowels
Vowel a é e i o u
Example alo “flow of river” dué “two” amen “omen” iti “that” penco’ “straight” udo’ “mask”
IPA KIEL a e
Description low central vowel mid high front unrounded vowel mid central vowel high front unrounded vowel mid high back rounded vowel high back round vowel
´ i o u
xliii
xliv
1
Mencalèny Ipui Turan
1. Engne beghò’ère énó revó re ana’ òzò mudij tengen, Òzò i’ek dae re keng évó. Bang évó fadi le fezai tè de tè, méé te be évó tè meghala. Tè có tò, tè Òzò i’ek deró fadi meghala ke bai Bezòngèny te, ngkiny có lengh jatóngh. Cu nè Mencalèny fesóngh évó le. 2. Engne rae Mencalèny me évó té, “có ènem kavó ézé de’ kavó mèny nyé?” “Có selengh ló’óngh pé mi,” dae évó, feteme ta’eng tene tó’ó évó je metò len évó re taghek Mencalèny nyé re. 3. Engne Mencalèny nyé có kelònèny laset étó ézé, a’eng ne de sentengh len ketó’ jó. Fetavè e étó selengh ló’óngh jé, lóle tavè e étó ézé, feteme có selengh jatóngh de’ évó kòme’ selengh ló’óngh nyé.
2
Mencalèny
Mencalèny
Ipui Turan
Ipui Turan
1. Pada zaman dahulu hiduplah dua orang anak yatim di daerah terpencil yang jauh dari keramaian orang. Mereka dipanggil Òzò kecil. Kemanapun pergi mereka selalu bersama, begitu juga kalau mau pergi bermain. Suatu hari kedua Òzò kecil itu pergi bermain di sungai Pujungan (Bezòngèny), tiba-tiba datanglah Mencalèny bertemu dengan mereka berdua.
1. In the old days, there were two orphans who lived in a remote area, far from the hustle and bustle of people. They were both called little Òzò. Wherever they went they were always together, even when they went to play. One day, the two little Òzò went to play at the Pujungan (Bezòngèny) river, suddenly Mencalèny came and met the two of them.
2. Mencalèny berkata, “Apa itu yang kalian pegang?” “Ini gelang ayah kami,” jawab keduanya untuk menghilangkan rasa takut pada Mencalèny. Padahal orang tua mereka sudah tiada.
2. Mencalèny said, “What do you two have there?” “This is our father’s bracelet,” the two of them answered out of their fear of Mencalèny. In fact, their parents had already passed away.
3. Mencalèny itu bertubuh besar dan sangat kuat sehingga tidak ada yang berani melawannya. Melihat gelang yang dipegang kedua anak itu sangat besar, timbul rasa penasaran dan dengkinya. Gelang yang dimaksudnya itu sesungguhnya hanyalah lingkaran bulat dari rotan pengikat tutup tabuh.
3. Mencalèny was big and very strong, so much so that none were brave enough to go against him. Seeing that the bracelet those two held was really large, a bitter and envious feeling arose within him. The bracelet that they meant, was in fact just a rattan ring used to tie the tabuh drum!
3
4. “Ènem kavó izi,” kónyó la’a me évó. “Selengh ló’óngh pé mi,” rae évó. “Mpi pé kam ó?” dae Mencalèny nyé me évó. “È e ke useng te,” rae évó té. “Tè kavó nepè zó ngèny ki fevatè,” dae Mencalèny nyé. “Òbe’ ku fevatè?” dae évó me zó té. “Òbe’ ki fevatè, tè avó nepè zó ngèny ki fevatè,” dae Mencalèny. ” Énó tè’a te be lèny-lèny ku òbe’ fevatè, ngena u ke tuju azó tò ré,” dae anak dévó. “Enó tè’a te be ki ngena zó, je fe ghòda majèny e ta’eng nè je ne e nè, je ki òbe’ ngane fevatè re,” dae Mencalèny nyé. 5. Je engne len kèmet Mencalèny nyé, zó de’ ate’ bezu len ngèny laset, je felavó bezu étó òbèny aeng ne selengh ló’óngh. E nyele’ selengh jatóngh nyè te lengene meló, avè lóle tavè Mencalèny nyé, je énó òbèny ne de’ felavó bezu te zó. 6. Engne lane évó tè métó bate de’ bezu te nyèangh dempò sòngè Bezòngèny. Évó fesóngh có bate de’ bezu ali le, évó ngali teliliengh bate.
4
4. “Alat apa itu?” tanya Mencalèny. “Gelang ayah kami,” jawab keduanya. “Di mana ayah kalian?” tanya Mencalèny. “Ia ada di atas sana,” jawab keduanya. “Pergi dan panggillah dia untuk bertarung denganku!” hardik Mencalèny. “Kamu mau bertarung?” tanya kedua anak itu. “Aku mau bertarung, pergi dan panggillah untuk bertarung denganku!” kata Mencalèny. “Baik. Kalau kamu betul-betul mau bertarung, tunggulah sampai tujuh atau delapan hari,” kata keduanya. “Bagus!. Akan kutunggu biar lama sekalipun asalkan ia datang. Aku mau bertarung dengannya,” kata Mencalèny.
4. “What is that thing?” asked Mencalèny. “Our father’s bracelet,” the two answered. “Where is your father?” asked Mencalèny. “He is up there,” the two answered. “Go and call him to come fight me!” snapped Mencalèny. “You want to fight?” asked those two children. “I want to fight, go and call him to come fight me!” said Mencalèny. “Ok, if you really want to fight, wait here for seven or eight days,” the two said. “Fine. I will wait as long as it takes, so long as he comes. I want to fight him,” said Mencalèny.
5. Selama ini, ia merasa bahwa ialah yang paling besar dan kuat, tetapi rupanya ada orang yang punya gelang lebih besar. Ketika ia memasukkan gelang itu di lengannya terasa longgar sekali dan itulah yang membuat Mencalèny penasaran dan dengki karena ternyata ada orang yang lebih besar dari dirinya.
5. Mencalèny thought that he was the biggest and strongest all this time, but it seemed there was someone who had a bigger bracelet. When he put on that bracelet, it was really loose, and that’s what made Mencalèny bitter and jealous, because it turned out there’s someone bigger than him.
6. Kedua anak kecil itu mencari batu yang paling besar di tebing pinggir atas sungai Pujungan. Mereka kemudian menemukan sebuah batu yang paling besar. Kemudian keduanya menggali di sekeliling batu itu.
6. The two boys looked for the biggest rock on the upper slope of the Pujungan river bank. Then they found the biggest rock. Then they dug all around that rock.
5
7. Tè fengetuju tò e, évó mejé bada pé dó kenè tene nempam, jage’-jage ne. “Tè’a te,” dae Mencalèny. Tè benempame, tè évó navè ke ngelubij bate bezu zé, de’ évó òbèny ngali ke useng módóngh, je évó fate’ rae te zó, “é nè pè mi tene be ku òbe’ rae fevatè ngane.” 8. Nè bate lóngh nyè lubij, bangh dae nè gheleleme bate bezu zé kelópiengh ke bai. Kela’ ne Mencalèny té, nè sa’ó Bezòngèny. Bezu ali le òbèny tó’ó Òzò i’ek deró, a’eng Mencalèny maghangh ngane fevatè. Nè Mencalèny kela’ bate bezu zé nè sa’ó Bezòngèny, engne bate zé nè feghene’ daam sòngè Bezòngèny, te Lóngh Melò’è. Mòna étó òbèny kelebe’ bate te tane’ ngèny dughu tecek taghete te Bèla Raven. 9. Nè e meté’ Sa’èny kela’ mentóngh feraè jalene daam lòbangh bate, Batangh Kèdò ngadèny lepò bate ji’i. Énò lalem te lòbangh bate zé. Mòne be le nesó’ sekek le daam ézé bangh dae kezaré, kurae tòzò ódiéngh ngèny belasóngh ne.
6
7. Tibalah pada hari ketujuh, kedua anak itu berteriak memberitahukan Mencalèny bahwa ayahnya akan datang besoknya dan supaya ia bersiap-siap. “Baik!” kata Mencalèny. Keesokan harinya mereka mau menggulingkan batu yang sangat besar yang telah mereka gali di atas gunung, tapi terlebih dahulu mereka memberitahu Mencalèny, “Ia akan datang, kalau kamu mau bertarung dengannya.”
7. On the seventh day, the two boys shouted, telling Mencalèny that their father would come the next day, so that he would be ready. “Ok,” said Mencalèny. The next day, they were going to roll that huge rock which they had dug out of the hill, but first they told Mencalèny, “He’s coming, if you want to fight him.”
8. Batu besar itupun bergulingan dari atas gunung dengan suara gemuruh yang sangat hebat, Mencalèny pun ketakutan dan melarikan diri menyusuri sungai Pujungan ke hilir. Ternyata ayah kedua Òzò kecil itu sangat besar sehingga Mencalèny tidak berani bertarung dengannya, iapun terus berlari ke hilir sungai Pujungan, batu besar itu berhenti di kuala Lòngh Lò’è. Sampai sekarang masih kelihatan lubang batu itu dan bekas tapak kaki Mencalèny di tanah tebing Bèla Raven.
8. The large stone rolled from the top of the mountain with a great thundering racket, Mencalèny was even frightened and fled downstream along the edge of the Pujungan. It turned out that Òzò’s father was so big that Mencalèny didn’t dare fight him, he kept running down the Pujungan. The large rock stopped at the Lòngh Lò’è estuary. Even today the hole from that rock is visible, and its foot print is up on the slope in Bèla Raven.
9. Ia terus berlari menyusuri mudik sungai Sa’an (Sa’èny) lagi, sambil ia menyimpan barang-barangnya dalam lubang batu yang disebut batang kèdò. Lubang batu itu cukup dalam dan kalau kita masukkan sebuah tongkat ke dalam lubang itu terdengar suara gemerincing seperti bunyi lonceng kecil atau hiasan kuningan.
9. He kept running, going upriver along the edge of the Sa’an (Sa’èny) River, and at the same time he stored his things in a hole in a stone called batangh kèdò. The hole in that stone was deep enough that if we put a stick into the hole, we’d hear a tinkling sound like the sound of a small bell or a brass decoration.
7
10. Tè e kela’ abi módóngh de’ sadó mpò te, Módóngh Ncó’ Bate ngadane ji’i. E melepek ke langij té metem có langèny ki’ite. E melepek la’a, metem te féfiengh nyé, e melepek pó nè fevetó’ abi tane’ ne. E nyemuzu langèny nyè ta balé cèny. 11. Ciny ki’i taie kempò tè kela’, je e taghek bate bezu zé. Tè e abi langij te, avè taghek lefe e be bate zé nè fabèj jo. Kè’en e ngeca’et cèny nyé ciny mpò te. Nè cèny nyé fevughek, cine tè’a étó tempane édé. 12. Énó có de’ ngèny Mencalèny famóngh, Balengh Kòrangh ngadane. Tafa Balengh Kòrangh kè’ene té, avane a’eng Balengh Kòrangh zé tè fasó te duseng tane’ jé té. Zó azune de’ fezèj-fezèj kèmet kelònèny ne ézé. 13. Te óle Bèla Féfiengh tè’è e Balengh Kòrangh nyé. Je ncam lefe re felai ngèny bali tasa zé re. Bali rae le keng nyó je a’eng ne ta’èny étó zó ézé.
8
10. Ia terus berlari sampai di puncak gunung yang paling tinggi bernama gunung ‘Ncó’ Bate’. Kemudian ia menyumpit ke langit, anak sumpitnya menancap di langit. Ia menyupit lagi dan anak sumpitnya menancap di gabus anak sumpit pertama, begitulah ia terus menyumpit sampai anak sumpit itu bersambungan dari langit ke bumi. Ia lalu menjadikan anak sumpit yang bersambungan dari langit sampai ke bumi itu sebagai tangga.
10. He kept running until he reached the peak of the tallest mountain, which was called Ncó’ Bate. Then he shot his blowpipe into the sky, and the dart stuck in the sky. He shot again, and the dart stuck in the cork end of the first dart, and he continued to shoot until the darts stretched from the sky to the earth. He made all the darts connect the sky to the earth like a stairway.
11. Dari sana ia naik ke langit karena takut batu besar tadi (akan terus mengejarnya). Sesampainya di langit Mencalèny masih diselimuti perasaan takut kalau batu besar itu akan mengejarnya sehingga iapun merusak tangga itu. Tangga itupun runtuh berkepingkeping dan bekas tumpukan puing-puing tangga itu terlihat sangat jelas.
11. From there he climbed to the sky because he was afraid (that the large stone was going to keep chasing him). When he arrived in the sky, Mencalèny was still wrapped in a feeling of fear that the giant stone would chase him, so much so that he destroyed the stairs. The stairs collapsed in shreds, and the pile of ruined stairs can still be seen very clearly.
12. Ada seorang teman Mencalèny yang selalu bersama pada waktu masih di bumi, namanya Balengh Kòrangh. Ia tertinggal di bumi sehingga Balengh Kòrangh tidak bisa pergi meninggalkan bumi. Mungkin ialah yang selalu memberi pengaruh jahat pada pikiran manusia.
12. There was a friend of Mencalèny’s who was always with him when he still lived on the earth, his name is Balengh Korangh. He is left on the earth, so that Balengh Korangh could not leave the ground. Maybe he’s the one who always has an evil effect on the thoughts of man.
13. Balengh Kòrangh tinggal di puncak tebing Féfiengh. Waktu itu manusia masih bisa berbicara langsung dengan hantu dan kita menganggap ia juga sebagai hantu karena wujudnya tidak kelihatan.
13. Balengh Korangh lived on the peak of slope Féfiengh. At that time, people could still speak directly with spirits, and we consider him spirit too, because his face wasn’t visible him a spirit too.
9
14. Balengh Kòrangh ngkiny ne ve’ bange sa’ té. Có jazóngh ne nótóngh té, bange aeng ne sa’, a’eng bange aneng Balengh Kòrangh sa’, avè busi e te re. Jé kempusi e te éle ngeda-ngeda de’ kè’en le kanèny. Kuva’an sangh ngèny bekè re ta’eng dé kata éle te je zó òbèny ngenca’ate. 15. Méé rae teghene’ ézé.
10
14. Balengh Kòrangh menantang setiap manusia untuk bertanding siapa di antara mereka yang paling banyak membuat asap. Manusia membakar satu pondok sehingga asapnya banyak dan karena Balengh Kòrangh tidak punya pondok ia menjadi marah dan jengkel. Kemarahan dan kejengkelannya itu dilampiaskannya pada tanaman yang dibutuhkan oleh manusia seperti daun palem sangh dan daun rempah bekè. Tumbuhan itu tidak ada lagi di Sa’an karena telah dirusak oleh Balengh Kòrangh.
14. Balengh Korangh challenged everyone to compete to see who among them could make the most smoke. Someone burned down a hut so that there was a lot of smoke and because Balengh Korangh didn’t have a hut, he became angry and annoyed. His anger and rage were fully directed toward the plants that men often used and needed like the palm leaves (sangh) and seasoning leaves (bekè). Those plants aren’t around Sa’èny anymore, because they were destroyed by Balengh Korangh. 1 5 . And that’s how the story goes.
15. Begitulah bunyi cerita ini.
11
Bali Bezu Yosabat Alui 1. Engne isi kelazèny ne ke Sa’èny te beghò’ère, móne be re kadu nè saghij kuva’an be re lame’ de ngèny be re mazóngh ne, tè re nóbó bi re nè moèj ciny fenyaghij jé. Tè có tòe maó ne re tè nóbó méé, móngh ne tè. Je móne re tè nóbó ke Sa’èny te beghò’ère feghasèj de, bi móngh ne tè ke bai tè nóbó. 2. Je énó có letó mamij ki’i te, a’enge ncam tè ngèny ne nóbó je i’ek le fe anake, énó anake de’ madingh nè mudij. Avé bangh évó fana’ le raò lengó re kajèny ne tè nóbó ke bai Sa’èny te. Ke belae baa te rae òbèny ne mese’ tóbó tasa zé re. Tè raò nè fedengh tò te ne beleke’ dae kaó teghevangh udek té. Lèny le len teken-teken te batangh òma je òma radu re ke Sa’èny te bo’ère. 3. “É’, có ènem pe ézé fe?” rae tineviengh té. Ngeniengh e ngenè’en dae na ézé… lény le feghenó nyengh dae nè tu’ tu’ tecek jè, tèsen òbane ézé évó fana’ eng té. “Tinevieengh… nè afé maghi,” rae nè ésé bezu zé. “Có ènem ta’èny ézé?” rae tineviengh té mentóngh nè meghelóngh te sentiengh ciny tavé té na’at ke ósé ghó’ó, lèny le étó có bali bezu rè’è té. “É’ balèny tavè… upiny ta’èny isi ki ngkiny mévó fana’ ti ó’ó?” kónyó. 12
Hantu Raksasa
The Giant Ghost
Yosabat Alui
Yosabat Alui
1. Nenek moyang kita dulu, ketika masih tinggal di Sa’an (Sa’èny), punya satu kebiasaan yaitu jika banyak orang yang sakit batuk, pilek atau demam mereka mengajak kita semua pergi menuba (mencari ikan dengan menggunakan sejenis akar beracun) supaya sembuh. Suatu hari, semua orang ikut pergi menuba di sungai. Biasanya kalau mau pergi menuba kita umumkan terlebih dahulu supaya semua orang bisa pergi.
1. Our ancestors, when they still lived in Sa’an (Sa’èny), had a custom when a lot of people were sick coughing, with a cold or fever, they invited us all to go menuba (to go fishing using a type of poison root) to get cured. One day, everyone went menuba fishing in the river. Normally, if we went menuba fishing we’d announce it earlier so that everyone could come.
2. Seorang ibu tidak bisa ikut pergi karena anaknya masih kecil, Ibu itu baru saja melahirkan. Jadi, tinggallah ia berdua dengan bayinya di tengah kesunyian kampung karena semua orang pergi menuba pada bagian arus tenang di sungai Sa’an. Ketika matahari mulai meninggi, tiba-tiba terdengar suara anjing melolong dan rumah terasa bergetar. Saat itu di Sa’an rumah-rumah dibangun dengan bentuk rumah panjang.
2. There was one mother who couldn’t come because her child was sick. She had just given birth. So, she stayed there together with her baby, in the solitude of the village because everyone had gone menuba fishing in the middle of the Sa’an River. When the sun began to rise, suddenly the voice of a dog howling was heard, and the house shook. At that time, in Sa’an houses were shaped like long houses.
3. “Ada apa ini?” bisik ibu itu menunggu. Ada suara langkah yang semakin mendekat padahal ia tahu bahwa hanya mereka berdua saja yang berada di rumah itu. “Ibuu…. saya minta api,” terdengar suara seseorang dari luar rumahnya. “Suara siapa itu?” bisik Ibu itu sambil mengintip ke luar dari sela-sela dinding rumah dan terkejut karena di luar ada hantu raksasa. “Astaga… Bagaimana caranya saya dan anak saya menyelamatkan diri?” katanya.
3. ‘What is this?’ she whispered, waiting. There was the sound of approaching footsteps, but she knew that only the two of them were in the house. ‘Maam, may I have some fire,’ a voice outside the house was heard. ‘Whose voice is that?’ whispered the woman while she peeked outside through the cracks in the wall, and she was shocked because outside there was a giant ghost! ‘Oh my god, how can my child and I save ourselves?’ she said.
13
4. Énó òbèny sóngh e té je méé gheti be re mamij a’eng tè ta’eng le sóngh ne ngafé. E pèny sóngh dé ke jómó me zó, bangh isi kepeke le nòcen lòten afé zé. 5. Méé te raee kome’, “tinevieengh…. nè afé maghi” kónyó la’a. E pèny có sóngh dé mezó la’a. Feghenó tè ta’eng tene étó sóngh évó fana’ té, “mupiny ta’èny isi ki ó’ó” rae tineviengh té. 6. E ngempesen ala có kóte kè’en ne tè raam tòngep ba’an ne kóte zé tene ngecèfa rae bali zé té. Méé te rae bali zé la’a, “tinevieengh… nè afé maghi” kónyó. Ba’an ne tineviengh pèny có sóngh de’ baza te ne ke ósé, daò talò isi nocen-nocen sóngh nyé té bu’i nè e ngkiny évó fana’ sa’ó ciny lighek té nè kela’. 7. Tè évó abi ke lóngh songè Zagha te, zé évó fesóngh kelonèny kadu re té. Tó seró-seró ngèny fari-fari étó tineviengh òbèny nè kiny ana’e zé. ”Mupiny kavó?” rae kelonèny kadu dé me évó. “Có bali bezu rè’è nè fabèj mévó, énó naie baza méé,” rae tineviengh.
14
4. Di dapur tungkunya memang masih menyala dengan menggunakan kayu besar yang disebut sóngh, karena menurut kebiasaan orang dulu api harus selalu menyala, kalau ada seseorang yang baru melahirkan. Ia lalu mengambil sepotong kayu berapi dan melemparkannya ke luar rumah, untuk hantu raksasa itu. Hantu raksasa itu kemudian menyepak-nyepaknya. 5. Tetapi, belum berapa lama, hantu raksasa itu kembali berteriak nyaring, “Ibuu... saya minta api.” Ibu itu melemparkan lagi sepotong kayu berapi kepada hantu raksasa itu sehingga tertinggal sepotong saja di tungku. “Aduh… Apa yang harus saya lakukan?” katanya. 6. Ibu itu kemudian cepat-cepat mengambil seekor kutu di rambutnya dan memasukkannya ke dalam sebuah tabung. Kutu itulah yang nantinya menjawab hantu raksasa itu. Hantu raksasa itu berteriak lagi, “Ibuuu… saya minta api.” Ibu itu langsung melemparkan potongan kayu terakhir keluar. Pada saat hantu raksasa sedang menanduk-nanduknya, ibu dan bayinya itu melarikan diri melalui pintu belakang.
4. In the kitchen, the hearth was still lit because according to the old ways, the fire must always be burning, using big pieces of wood called sóngh, if someone just gave birth. She then went and took a piece of burning wood and threw it outside the house, for the giant ghost. The ghost then kicked the fire away.
7. Sampailah mereka berdua di kuala sungai Jagha dan bertemu dengan orangorang yang sedang menuba. Ibu itu terlihat basah berkeringat setelah berlari dengan membawa anaknya. “Apa yang terjadi pada kalian?” tanya mereka. “Ada hantu raksasa yang mengejar kami!” jawab ibu itu.
7. As the two of them arrived at the head of the Jagha River, they met with the people who were out menuba fishing. The woman appeared wet, covered with sweat from having run away carrying her child. ‘What happened to you two?’ they were asked. ‘There’s a giant ghost chasing us?’ the mother answered.
15
5. But before long, the giant ghost came back, screaming in a piercing voice, ‘Maam, may I have some fire?’ The woman then threw another piece of fire wood to the giant ghost so that there was only one piece of firewood left in the hearth. ‘Oh no, what am I going to do?’ she said. 6. The woman then quickly grabbed a louse from her hair and put it into a bamboo container. It was the louse who then answered the giant ghost. The giant ghost then screamed again, ‘Maaaaam, may I have some fire?’ The woman immediately threw out the last piece of fire wood. While the giant ghost was kicking it away, the mother and baby ran away out of the back door.
8. Re mabangh ne nè bali bezu zé tè. A’eng majèn lèny le rae nè ghelelem e ciny useng te, dae jerep kaze rughu na e masèj ézé. Nè bali zé abi raò re ghe bai ne, kè’en ne mece, pèny sekek te zó je bangh tè keroet le sekek de be tè’a mè’è fe sepu malèj aeng Òma Lóngh bu’ire, énó de’ seghó’ó aneng fe je a’eng fóbó le isi keti dé tó bali zé. 9. Tè fadèny kó’ó le isi bali bezu zé nyaghèj té, a’eng isi re de’ ncam fegheti ngane. “É’... mupiny lèny fe?” “Amó tè’a téló bulu di,” rae có tè a’eng tèsen mupiny isi re ghe fegheti ngane. 10. Maó ne có nyepu có téló bulu semeliengh, de zé nelecó e te zó be mengek mèè fe téló bulu rè’è ntó e saghij étó kè’en ne be le na’at étó e. Tè’a isi zi’i lebet te zó. Di’i ne mèny ne mece’ zó ézé. 11. Tae lubij ngèny matè té tè balé có bate bala bezu rè’è ézé te lóngh sòngè Jagha tè’è. Pó ba’an be mii énó lefe bate bala bezu zé te lóngh sòngè Jagha, ji’i étó òbèny bali bezu de’ nè fabèj tineviengh nyè òbèny ne mece’ mèny téló bulu.
16
8. Semua orang segera bersiap-siap menyambut kedatangan hantu raksasa itu. Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh dan ranting-ranting patah karena terinjak. Hantu raksasa itupun tiba di tempat menuba. Orang-orang langsung menyerangnya dengan tombak tetapi tidak mempan dengan tombak itu selalu bengkok, padahal sepuhan tombak orang Òma Lóngh terkenal sangat bagus.
8. Everyone then immediately got ready for the arrival of the giant ghost. Not long after, they heard a thundering voice and branches being snapped as they were stepped on. The giant ghost had come to the menuba fishing place. People immediately attacked him with spears but they didn’t hit him, they just bent, although the spears of the Òma Lóngh are famed for their excellent gilding.
9. Hantu raksasa itu menjadi semakin marah dan tidak seorangpun yang bisa mengalahkannya. “Bagaimana sekarang?” “Sepertinya rebung ini bagus jika dibuat tombak,” kata salah seorang dari mereka setelah tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mengalahkannya.
9. The ghost became increasingly angry, and no one could defeat him. ‘What do we do now?’ ‘This bamboo shoot will make an excellent spear,’ said one of them, not knowing exactly how to defeat him.
10. Karena ide itu lalu beberapa orang mencabuti rebung bambu semeliengh dan melemparkannya pada hantu raksasa itu. Sekalipun rebung bambu itu masih muda dan terlihat tidak menyakitkan, tapi ternyata rebung bambu itu bisa menembus tubuh hantu raksasa itu. Setelah itu, mereka semua menggunakannya untuk menombak hantu raksasa itu.
10. Because of that idea, several people pulled up semeliengh bamboo shoots and threw them at the giant. At first it looked like the bamboo shoots were still young and didn’t appear to hurt him, but it turned out that the bamboo shoots could pierce the body of the ghost. After that, they all used it to spear the ghost.
11. Hantu raksasa itu kemudian mati, rebah, dan berubah menjadi batu merah yang besar di kuala sungai Jagha. Sampai saat ini batu merah besar itu masih ada di sungai Jagha, sebuah batu penjelmaan dari mayat hantu raksasa yang mengejar seorang ibu dan tewas ditombak dengan rebung bambu.
11. The giant ghost then died, collapsed, and changed into a large red rock at the mouth of the Jagha River. That large red rock is still at the mouth of the Jagha River today, a rock shaped from the corpse of a giant ghost that chased a mother and was speared with bamboo shoot.
17
Bali Fatè Ghòlep Yosabat Alui 1. Eng ne beghò’ére asa re mudij ke Sa’ény ne, fevatangh òma re radu le. Énó có Òma Radu ngadèny ji’i, có seghé lighek Òma Lebiny ngadèny ji’i. Tè te có tò’ e, énó re revó ósó re fetòzangh ti’i òbe’ ferajé’ tè ngencale’. Je eng ne be asa le ghe Sa’èny ne ce tè le ghe vai, tè ghe sòngè Bezòngèny te. 2. Ba’ane engne dae de’ ciny Òma Radu zé: “é tòzangh, ènem fòzèny ku?” “Eng mó ènem fòzèny ki,” rae de’ ciny Òma Lebiny nyé. “É tó a’eng tè ngencale’ lèny ó’ó?” rae de’ ciny Òma Radu zé. “Énó tè’a tè,” rae de’ ciny Òma Lebiny nyé. “Kempi te tó feghena ó’ó?” rae de’ ciny Òma Radu zé. “Ghe óle èangh te ke Laga te, ngena u ó’ó mi’i,” rae de’ ciny Òma Lebiny nyé.
18
Hantu Tak Berkepala
The Headless Ghost
Yosabat Alui
Yosabat Alui
1. Dahulu kala, ketika masih di Sa’an (Sa’èny), orang-orang tinggal di rumah panjang. Ada satu rumah panjang yang disebut Òma Radu dan satu lagi, yang ada di belakangnya, disebut Òma Lebiny. Pada suatu hari dua orang yang berteman karib berjanji mau pergi menjala bersama. Di Sa’an kalau kita mau pergi menjala itu berarti pergi ke sungai dan tujuannya pasti hanyalah ke sungai Pujungan (Bezòngèny). Sementara itu, perjalanan ke sana cukup jauh.
1. In the old days, in Sa’an (Sa’èny), people still lived in long houses. There was one long house called Òma Radu and another one, behind it called Òma Lebiny. One day two very close friends decided to go net fishing together. In Sa’èny, if we want to go net fishing that means we go to the river, and that can only mean the Pujungan (Bezòngèny) river. What’s more, that’s even a far journey away.
2. Orang dari Òma Radu itu bertanya, “Temanku, apa yang kamu kerjakan?” “Saya tidak mengerjakan apa-apa,” jawab temannya yang tinggal di Òma Lebiny. “E... Kenapa kita berdua tidak pergi menjala saja nanti?” tanya yang dari Òma Radu. “Ayolah!” kata yang dari Òma Lebiny. “Di mana nanti kita ketemu?” kata yang dari Òma Radu itu. “Di atas bukit di Laga itu, tunggu saja nanti di sana,” kata yang dari Òma Lebiny.
2. The one from Òma Radu asked, “My friend, what are you working on?” “I’m not working on anything,” responded his who stayed in Òma Lebiny. “Hey, why don’t we go net fishing later?” asked the one from Òma Radu. “Ok, let’s go!” said the one from Òma Lebiny. “Where should we meet later?” said the one from Òma Radu. “Above the hill at Laga, just wait there,” said the one from Òma Lebiny.
19
3. Adiengh òbèny tè de’ ciny Òma Radu zé tè ngena ke óle èangh nyé te. Énó òbèny có bali ngenè’en dae évó có fatè ghòlep keng ne je a’eng óle e re. Fatè ghòlep jé tè ngena ke Laga te. Tè ne keng nyé òé, ta’èny étó nteme mi’i le e je a’eng tété re bu’i re. 4. “Majèny tene ku ngena aghi?” rae e mezó. “Énó majèny te né,” rae zé, befetem có bali ézé méé. “Tè tó te mi’i,” rae e mezó. 5. Tè évó ciny óle èangh tè sa’ó Módóngh Dadu, nó ce te tè ngalangh módóngh dadu zé, té évó abi Belae Beta te tè ngalangh tètè labe’ jè’è, tèsen le étó tètè labe’ jè’è. Tè évó ngencale’ ézé, adiengh té évó ngencale’ kadu ata’ ti’ie, évó menèj kencale’ jè ènó de’ a’eng óle. 6. “Énó de’ ta’eng óle, tòzangh,” dae de kelònèny nyé. “A’eng ènem dé,” dae de’ bali zé. Òbèny có bali zé ngane. E ngencale’ la’a méé te’ e menate la’a énó de’ ta’eng óle, mòne tè fentangh kelònèy òma zé tè nesepe. Tè radem tene’e tè nesep ézé e, “Felèva tó té nesep,” kónyó me bali zé.
20
3. Orang yang dari Òma Radu itu berangkat duluan ke sana. Percakapan kedua teman karib tadi ternyata didengar oleh hantu yang disebut fatè ghòlep, hantu tak berkepala. Hantu itu kemudian pergi lebih dulu menunggu di Laga. Sesampai di tempat yang telah ditentukan, orang Òma Radu itu samarsamar melihat sosok seseorang. Saat itu ia tidak membawa pelita.
3. The one from Òma Radu left first. The conversation of those two close friends was overheard by a ghost which was called fatè ghòlep, the headless ghost. The ghost then went there first and waited at Laga. As he arrived at the agreed meeting point, the one from Òma Radu vaguely saw the shape of someone; he wasn’t carrying a light then.
4. “Sudah lamakah kamu menungguku?” tanya yang dari Òma Radu itu. “Cukup lama juga!,” jawab ‘orang’ itu; padahal, sesungguhnya yang diajak bicara itu adalah hantu. “Kalau begitu, ayo kita jalan!” ajak orang dari Òma Radu itu.
4. “Have you been waiting long?” asked the one from Òma Radu. “Long enough,” said that ‘person’, in fact it was a ghost he was talking to. “In that case, let’s get going!” said the man from Òma Radu.
5. Maka berjalanlah keduanya menuruni lereng gunung Módóngh Dadu. Setelah cukup jauh menuruni lereng itu, sampailah keduanya di sungai Pujungan yang di sebut Belae Beta. Keduanya lalu menyeberang melalui jembatan gantung. Jembatan gantung itu masih ada sampai sekarang. Lalu mulailah mereka menjala. Kali pertama mereka menjala begitu banyak ikan yang dihasilkan, tetapi di antaranya ada ikan yang tidak berkepala.
5. Then the two of them went down the slope of Mount Módóngh Dadu. After a good distance going down the slope, the two of them came to the Pujungan, called Belae Beta. The two of them then crossed across a hanging bridge. That hanging bridge is still there today. Then they began to fish. The first time they cast their net they caught a lot of fish, but there were some among them without heads.
6. “Kawan, ada yang tidak berkepala,” kata orang yang dari Òma Radu itu. “Oo, itu tidak apa-apa,” jawab temannya yang hantu itu. Setiap kali menjala, pasti ada ikan yang tidak berkepala dan kalau jalanya tersangkut, orang yang dari Òma Radu itulah yang menyelam. Mungkin karena terus-terusan menyelam, ia kedinginan, lalu ia berkata, “Kita berdua gantian menyelam, ya.”
6. “Friend, there are some fish without heads,” said the man from Òma Radu. “O, that’s nothing,” answered the ghost friend. Each time they cast their net there were headless fish, and if the net got caught, the man from Òma Radu would dive down. Perhaps because he was constantly diving down, he got very cold, then he said, “Let’s take turns diving down, ok.”
21
7. Mòne e pèny kencale’ la’a tè, fentangh. “Ighu le fe tè nesepe me tó”, rae e me bali zé. Tè nekeng de’ bali zé nesep bangh étó tè gherema óle e le, rema rae òbèny bòlèny fitute ézé tè raam sòngè. Sara’ tavè nekeng de’ lepu òma menèj kencale’ jé óè, ngasa e ciny sòngè Bezòngèny te nè abi Teghajó ne ngadèny seghaba kè’è te tètè labe’ de’ Belae Beta zè’è. 8. É rae nè bali zé baza, “maòngh de’ a’eng óle maghi.” Amóne zó nece’ te fu’eng tètè labe ne, tè ata’ de’ a’eng óle dé ti’i maònge mezó ti’i, ngasa e la’a nè mòghèj tè fala ke benevangh, benevangh ngadèny ke duseng Belae Beta zé. 9. Nè bali zé fala ata’ de’ e maòngh dé, je ce’ nè fabèj jó tisi bali zé. Tè e mòghèj módóngh dadu nè fala nta èangh Teli I’ek ngadèny kè’è te. Énó òbèny có fu’eng fazangh avè zó tè laghet fu’eng fazangh jé je a’eng tene e mòèj len kela’ bali zé re.
22
7. Ia kemudian menebarkan jalanya dan tersangkut lagi. “Kamu yang pergi menyelam,” suruhnya kepada hantu itu. Ketika hantu itu terjun ke air untuk menyelam, terlihat dengan jelas di dalam air bagian ujung leher hantu tanpa kepala itu. Orang yang dari Òma Radu itu menjadi takut, ditariknya cepat-cepat jala itu dan kemudian ia berlari sekencangkencangnya dari hilir. Sungai Pujungan, sampai di daerah Teghajó, sebelah hilir jembatan gantung yang ada di Belae Beta itu.
7. Then he cast the net again, and it got caught again. “You dive down,” he ordered the ghost. When the ghost got into the water to dive down, the end of his headless neck was clearly visible. The man from Òma Radu became frightened, he quickly pulled out the net, and then ran as fast as he could down the Pujungan river to the area of Teghajó, on the downstream side of the hanging bridge at Belae Beta.
8. Hantu tanpa kepala itu mengejarnya sambil berteriak, “Tinggalkan ikan yang tidak ada kepalanya untukku.” Orang itu pun menancapkan kayu di pokok jembatan gantung dan meletakkan ikan-ikan yang tidak berkepala di situ. Kemudian itu, orang itu berlari lagi mendaki bukit sampai di suatu tempat yang kemudian diberi nama benevangh terletak di sebelah darat Belae Beta.
8. The headless ghost chased him shouting, “Leave the headless fish for me!” The man stuck the wood at the base of the hanging bridge, and put the headless fish there. After that, the man ran again and climbed up the hill to a place that was later given the name benevangh, on the land side of Belae Beta.
9. Hantu itu kemudian sampai di tempat ikan yang ditinggalkan tadi, tetapi ia tidak berhenti dan terus mengejar. Orang itu berlari lagi mendaki gunung Módóngh Radu sampai di kaki gunung yang dinamakan lereng Teli I’ek. Di sana terdapat sebuah pohon kepayang, ia lalu memanjatnya karena tidak sanggup lagi untuk melarikan diri dari kejaran hantu itu.
9. The ghost arrived at the place where the fish were left, but he didn’t stop, he kept on chasing. The man ran on and climbed Mount Módóngh Radu to the foot of the mountain, called Teli I’ek slope. At that place there was a kepayang tree, he climbed up the tree because he couldn’t keep running from the ghost that kept chasing.
23
10. Tè zó abi mpò te nyemaga’-nyemaga’ len ló’óngh fazangh nyé té, amóne zó pèny ló’óngh fazangh kenta te bali zé, bangh dae tè kelesi bali zé nòcen-nòcen ló’óngh fazangh nyé, bangh isi kanginykanginy bòlèny fiteke, ngafé rae òbèny bòlèny fiteke ézé. Tèe nyemaga’ len ló’óngh fazangh nyé la’a, e pèny có la’a bangh dae tè keleleme zé tè sa’ó èangh Teli I’ek kè’è. Méé te tè e fabèj ézé, e rae nòcen-nòcen édé. 11. Énó rae có de sadó baza beva fazangh nyé, bezu le rae ji’i. Móne e pèny ji’ie ce te rae taie abi nta módóngh Lèbe’ kè’è te ki’i te sazu ne taie fabate ézé. Kajènye tè nòcen-nòcen nyé nè kempesene kenta té óé naie abi nta ne tó ghai-ghai naie mòghèj módóngh jè’è nè fala óle èangh kè’è ne nè abi òma ne té. 12. Tè kelebete ke aminy, malete té óè, daé te ne lene banyó tè e lutu je e kòme’ a’eng te ne eng bali zé. Beleke’ òbèny nè bali zé feghenó ciny ósé nè ngetu’ é’ó té je a’eng é’ó ngenè’en je zaa’ é’ó lutu re. 13. Ngempesen ne òbèny bali zé mejóngh besòlèny keng ne te sentiengh laminy. Tè’a òbane mejónge je mèny vè mi’i le re mekó sentiengh dé. Òbèny nè ne balie zé feghenó mejóngh nyó tè kiny nyó ke lefóbóngh te, meken nyó nta lefóbóngh té. Na’at e raem lutu zaa’ e té, raam kenufie, “ngenufi ki baci énò étó bali zé na’at étó aghi.” 24
10. Sampai di atas pohon, ia mencari-cari buah kepayang yang kemudian dilemparkan ke hantu yang ada di bawah pohon. Terdengar suara keras saat hantu itu menanduk buah kepayang dan terlihat seperti ada api membara di ujung leher hantu tak berkepala itu. Diambilnya lagi buah kepayang dan dilemparkannya ke bawah. Buah kepayang itu menggelinding ke bawah mengikuti lereng bukit sampai di lereng Teli I’ek. Begitu juga hantu tadi yang mengejar buah kepayang sambil menanduknya. 11. Tinggal satu lagi buah kepayang yang agak besar. Diambilnya buah terakhir itu dan dilemparkannya sekuat tenaga, sejauh mungkin, sampai di bukit Lèbe’ namanya. Sementara hantu itu asyik mengejar buah kepayang orang itu pun turun cepat-cepat dan berlari sekuat tenaga mendaki gunung sampai ke puncak. Kemudian berlari lagi sampai di kampung.
10. When he got to the top of the tree, he looked for kepayang fruit which he threw at the ghost at the bottom of the tree. A loud noise was heard when the ghost swatted away the fruit, and it looked like there was a fire blazing out of the end of the neck of that headless ghost. The fruit rolled down following the slope of the hill until it reached Teli I’ek slope. And just like that the ghost chased the kepayang fruit as he was swatting it.
12. Sesampai di rumah, ia langsung masuk, dikuncinya pintu rumah lalu pergi tidur. Ia pikir bahwa dirinya sudah selamat dari kejaran hantu tadi. Namun, rupanya hantu itu tetap mengejarnya, mengendap-endap di teras rumah, dan mengetuk-ketuk pintu rumahnya, tetapi ia tidak mendengar karena tertidur dengan nyenyak.
12. As he arrived home he went right in, locked the door, and went right to sleep. He thought he was already safe from that chasing ghost. But the ghost continued to chase him, moving stealthily onto the terrace of the house and knocked on the door, but he didn’t hear the knocking because he was sleeping soundly.
13. Hantu itu kemudian cepat-cepat membuka dinding depan rumahnya yang hanya diikat memakai rotan. Masuklah hantu tak berkepala itu ke dalam rumah dan dengan perlahan mengangkat orang tadi ke lumbung, dan membaringkannya di bawah lumbung. Dalam tidurnya orang itu bermimpi, “Seperti ada hantu tadi melihat saya.”
13. The ghost then opened the front wall of the house, which was only tied with rattan. The headless ghost went into the house and slowly lifted that man to the rice barn, then he laid him flat under the rice barn. In his sleep, the man dreamt, “it’s like a ghost was watching me.”
25
11. There was just one kepayang fruit left, it was really big. He picked the last fruit and threw it with all his might, as far as possible, to Lèbe hill, was its name. As the ghost was chasing the fruit, the man got down quickly and ran as fast as he could climbing to the peak of the mountain. Then he continued running back to his village.
14. Nèe na’at lèny le étó ketòza’ bali zé na’at étó zó lutu té. Tè kempesene laghet lefóbóngh nyé tè ghe tóng lefóbóngh te, a’eng tesen aeng ii zé òbèny dughu re maòngh nyó ke óle èangh te. Kòda re ghulu’ té, e nelecò có ghulu’ te fatè ghòlep jé adiengh, ncam isi e ngeradó ézé fé. Énó òbèny dae kòtò fatè ghòlep jé tasa zé re. 15. E nelecò có la’a je fede’ devó étó-étó ghulu’ dè’è mè’è. Fenó keri’ek étó ghulu’ dè je ntó eng kadu ghulu’ lefóbóngh ne, bangh có le la’a óé, amóne e pèny de’ kempaza zé je raò zó pane ézé dae a’óngh neghu’u’ tene, sé zé te zó. Zé tè bali zé tòbangh té òbèny ke nè rema te ne. 16. Taie mepe’ le ézé tè balé có batangh téghény bezu rè’è ézé té, ngenjemen mè’è étó ézé. Ba’an ne re maeng ne batangh téghény nyé té abi tuju-azó tò rae re maune ézé zé taie ngó’ó. Be bu’i re tadiengh-tadiengh Òma Lóngh ngafé kulu’ dó, je lèny le be le na’at étóe, sèket lèvè re tè òzèny kulu’ kè’en é’ó ngafé bòlane.
26
14. Begitu terbangun, memang benar hantu tak berkepala sedang mengawasinya. Dengan cepat ia bangun dan memanjat lumbung itu sampai di atas bubungan. Diambilnya papan bubungan itu dan dilemparkannya ke arah hantu yang ada di bawahnya, tetapi tidak mengenai sasaran. Rupanya hantu itu bisa menghindar, “Ada juga permainan silat hantu itu.”
14. As he woke up, the headless ghost was indeed watching over him. He quickly got up and climbed up the rice barn to the roof. He took off a roof tile from the rice barn and threw it in the direction of the ghost, but he didn’t hit his target. It seemed the ghost could avoid it, “The ghost knows martial arts too!”
15. Ia melempar hantu itu lagi dengan papan bubungan lumbung, papan di bubungan dipasang dengan sebelahmenyebelah. Semakin sedikitlah papan bubungan itu karena memang bubungan tidak mempunyai banyak papan. Sampai akhirnya tertinggal hanya satu papan bubungan lagi. Diambilnya papan yang terakhir itu. Pada saat ia melemparkan papan itu ke arah hantu terdengarlah suara ayam jantan berkokok dan lemparannya mengenai sasaran. Rupanya saat itu fajar sudah mulai menyingsing.
15. He threw another roof tile at the ghost, the roof tiles were laced side by side. There were fewer and fewer tiles, because the roof didn’t have many to begin with. So that there was just one roof tile left. He took the last tile, as he threw the tile toward the ghost, the sound of a cock crowing was heard, and he threw it at his target. It seemed that dawn was breaking.
16. Lalu rebahlah hantu tak berkepala itu dan berubah menjadi sebatang kayu tèghèny besar yang masih basah. Orang-orang kampung pun ramai-ramai membakar habis batang kayu tadi selama tujuh delapan hari. Sejak saat itulah suku Òma Lóngh selalu melancipkan ujung papan bubungan. Kalau kita perhatikan, sampai saat ini pun, setiap kali mereka membuat bubungan pasti ujung papannya dibuat lancip.
16. Then the headless ghost collapsed, and changed and became a stick of tèghèny wood, which was still wet. The people of the village excitedly burned the stick of wood for sever or eight whole days. Since that time, the Òma Lóngh people always sharpen the edges of their roof tiles. If you notice, even today every time they build a roof, the edges of the tiles are sharpened.
27
Dòngò Fatangh Iwan Ajang 1. Engne mi Òma Lóngh eng có kelempeng mi òzèny ngadane Dòngò Fatangh. Teghene’ Dòngò Fatangh jé, có teghene’ tepeng mi beghò’ère dé ké’en mi kebaze’, be mi sentengh baze’ disi bevate, de’ òzò Dòngò Fatangh nyé. 2. Teghene’ òzò Dòngò Fatangh nyé. Évó pé dó (amè dó) tè ke raò ómó te, tè évó abi ke raò ómó te, maòngh ana’e zé, de’ Dòngò zé. Tè pé dó métó sa’ek bie, ketè na’at sa’ek bie ke sadó ómó te. Énó òbèny nè azò nè fezèj jó ki’i te, ngòlep jó. Tè re kela’ (azò), énó òbèny ana’ jé ta’èny, je a’eng tèsen ènem. 3. Nè pé dó ke lepò be té taó’ tene, kefu’unge fementeme, avane ana’e zé ta’eng tèsen nyó. Engne ana’e zé feghémet zó mudij nyai mi’i le. Dae nè kelai amè dó nè abi lepò ne, fesa’ évó, évó òmèny daò ntem. Ana’ zé òbe’ pek afé je pé dó kòme’ amé dó fari, avane òbe’ nè bange afé, nè rema. Je engne amè dó zé méé fatè kòlep zé nè ke lepò. 28
Dòngò Fatangh
Dòngò Fatangh
Iwan Ajang
Iwan Ajang
1. Kami, orang Òma Lóngh, mempunyai sebuah perhimpunan yang diberi nama Dòngò Fatangh. Dòngò Fatangh adalah sebuah kisah tentang nenek moyang kami tempo dulu yang perlu diteladani dan semoga kami bisa mengikuti teladan Dòngò Fatangh.
1. We, the Òma Lóngh people, have an organization, which is called Dòngò Fatangh. The story of Dòngò Fatangh tells about our ancestors long ago, which provides an example for us, and hopefully we can follow the example of Dòngò Fatangh.
2. Berikut ini kisah Dòngò Fatangh. Suatu hari ia dan ayahnya pergi ke ladang. Sesampainya di ladang, anak yang bernama Dòngò itu ditinggal pergi ayahnya untuk mencari perangkap. Sang ayah melihat ada perangkap di pinggir ladang. Tapi rupanya, pada saat itu, datang musuh yang kemudian membunuh dan memotong kepalanya. Ketika musuh itu beranjak pergi anak itu sempat melihat tetapi sayangnya, saat itu ia belum bisa mengerti apa yang terjadi.
2. What follows is the story of Dòngò Fatangh. One day he and his father went to the fields. As they arrived at the fields, the boy whose name was Dongo, was left there by his father who went to look for traps. The father saw that there were traps on the edge of the field. But, apparently, at that time, an enemy came up and then killed him and cut off his head. When that enemy went to go, the child had a chance to see him, but, unfortunately, didn’t understand what had happened. 3. When evening arrived, the father went back to their hut. He intentionally came late at night so that the child couldn’t recognize him. The child thought that his father was still alive. After the father arrived at their hut, the two of them cooked and ate dinner together in that dark place. The boy wanted to light a fire to make it light, but his father said he was really hot. The father was afraid of the light because he actually was a headless ghost.
3. Ketika malam tiba, sang ayah pulang ke pondok mereka. Ia sengaja datang malammalam supaya anaknya tidak mengenalinya. Anak itu sendiri berpikir bahwa ayahnya masih hidup. Setelah ayahnya sampai di pondok mereka berdua memasak dan makan malam bersama di tempat yang gelap. Anak itu mau menyalakan api supaya terang, tetapi ayahnya melarang dan berkata bahwa ia sedang gerah. Ayahnya takut kelihatan dalam terang karena dia sebenarnya hantu tak berkepala.
29
4. Tè évó òmèny, engne pé dó ta’eng ncam òmèny pèny-pane ke sepèny pet jòte’ dé. Engne dae ana’e zé, “dae té ju’ ènem édé?” “Dae sa’è tè nueng te sepèny tó re,” dae amè dó. Engne amè dó zé faté ghòlep jé. 5. Tè nteng òmèny, lèny énó rae pé dó kòme’, “eng énó ku ta’èny tè re lafó ó’óre?” “Énó nkiny betòèny nyatiengh é’ó,” kenae. “Je besa’an mempèj tele,” feteme engne é’ó keng de’ betòèny nyatiengh zé óle amé dó. Eng ne kónyó telee zé pó’ abij amè dó re mèny. Betòèny nyatiengh je bala étó bòlèny fite’ seghòbèny kòlep pé dó. 6. Tè bemae tene nè évó uli, tè kiny nyó kòma. Zó ódó’ ana’e zé nè kóma, nè maòngh nyó te bòlèny pet òma. Pé dó fetetó rae te ana’e, “engne aghi matè tene ki, te fu’eng vè bala mató jé’è ki, be re ta’eng ngelèny, ‘tu’ tu’ batangh faa tè sentiengh nè ciny usè.” 7. Méé lèny disi ana’ jé. Ta’eng ne ngelèny nyó, “mé’èny ne de’ matè nè nkiny ne kòma?” kena e tó’ó dó re kòma ne. Naie baze’ dae ketafa pé laghi dó zé. “Tu’ tu’ batangh faa ciny usé ne,” é nè có taghet dé’è nè luu ciny tuseng tilek. Zé tè re ngelèny amè dó zé matè tene ke nau te.
30
4. Lalu mereka berdua makan tetapi ayahnya tidak makan dan nasinya hanya dilempar-lempar ke dalam sumur. Anaknya kemudian bertanya, “Suara apa itu?” “Suara katak melompat di sumur kita,” kata ayahnya yang sudah menjadi hantu tak berkepala.
4. Then the two of them ate, but the father didn’t eat, he just threw his rice into a well. The boy then said, ‘What’s that sound?’ ‘That’s frogs jumping into our well,’ said his father, who had already become a headless ghost.
5. Setelah makan ayahnya bertanya, “Tadi kamu lihat ada orang pergi?” “Ada! mereka bawa sekuntum kecombrang nyatiengh,” katanya. “Tetapi akar pengikatnya besar.” Padahal yang ia sebut kecombrang adalah kepala ayahnya dan yang disebut tali adalah rambut tengkuk ayahnya yang dipegang. Disebut kecombrang karena terdapat warna merah pada bagian tengkuk kepala ayahnya.
5. After eating, his father asked, ‘Did you see a man go by earlier?’ ‘There was a man! He carried a stalk of nyatiengh,’ he said. ‘But the roots tying the nyatiengh were really big.’ In fact, what he called nyatiengh, was really his father’s head, and what he called the tying root was the hair from the back of his neck, which was being grasped. He called it nyatiengh because the hair on the back of his father’s head was red.
6. Ketika hari sudah malam mereka berdua pulang, sang ayah membawa anaknya pulang ke rumah. Anak itu digendongnya pulang ke rumah dan diantarnya sampai di pinggir kampung. Sang ayah lalu berpesan kepada anaknya, “Aku sudah mati dekat rotan itu, kalau orang tidak percaya bilang ‘tuk-tuk batang faa dari serambi rumah.’
6. When it was already night, the two of them went home, the father carrying his son back to their house. The boy was carried on his shoulders to their house, and was dropped off at the edge of the village. The father then left a message with his son, ‘I died near the rattan, if people don’t believe you, say to them ‘tuk-tuk batang faa from the front porch’.
7. Anak itu melakukan apa yang dipesankan oleh ayahnya. Tetapi Orang-orang tidak mempercayainya. “Sejak kapan orang mati membawa orang pulang,” kata para tetua di rumah. Lalu ia melakukan apa yang dipesankan oleh ayahnya. “Tuk-tuk batang faa dari serambi,” ia bilang dan langsung ada sebuah kaki yang jatuh dari loteng. Barulah kemudian orang-orang percaya bahwa ayahnya sudah mati di ladang.
7. The boy then did what his father told him. But people didn’t believe him. ‘Since when do dead people carry other people home?’ the elders at home said. Then he did what his father had told him. “Tuk-tuk batang faa from the front porch,” he said and a foot immediately fell from the second floor. Only then did people believe that his father had died in the field.
31
8. Tè benempame, tè re na’at jó lèny énó fataie te ródó fu’eng vè bala mató zé. Zé risi tadiengh re keng Òzó Dòngò Fatangh nyé. Je zó nè fatangh nyó fetem fatè kòlep de. 9. Engne ana’ jé nè bezu tene, tèe ngèny ne nadiengh nau, bangh ngaken zó le re, faló zó. Je a’une mi’i risi, ce’ ala tè’a tee risi fòzèny ne te zó, zé isi kèmet bezue. Zé risi tadienge bezu kèmet, de’ Òzò Dòngò Fatangh nyé. Tèe ngèny ne nau, tè ngèny ne nganó’, bangh tòlangh le re tè me zó. Ntó’ eng nalane, bangh tòlangh óle le re tè me zó. 10. Tèe ate’ eng kèmet tene, e nkiny ne damè òmèny óle babé. Nepè de’ late’ daem lepu zè. Zó tè nepè re, nkiny ne madóngh te jazunge. Zi rae fenadiengh, “énó òbèny tè ki ala có babé ngèny ne, afane nalèny jé bangh óle re,” kónyó. Énó sa’è te re rae kèmete e zé, méé risie bada kèmete, Òzò Dòngò Fatangh nyé.
32
8. Keesokan harinya orang-orang pergi memeriksanya dan ternyata memang benar mayat ayah dari anak itu berada di dekat rotan bala mató. Inilah awal mulanya orang-orang menyebut anak yatim Dòngò Fatangh karena ia datang memberitahu bahwa bapaknya telah mati dan bertubuh tak berkepala.
8. The next day, people went to examine the field, and indeed they found the corpse of his father near the bala mató rattan. This is when people began to call the boy Dòngò Fatangh the orphan, because he came and told them that his father was dead, with a headless body.
9. Setelah anak itu mulai dewasa ia ikut pergi berburu. Orang-orang suka menipu dan membohonginya. Tetapi ia tidak pernah membalasanya dan menerima perlakuan orang-orang itu kepadanya. Itu jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Itu awal Dòngò Fatangh berpikir dewasa. Kalau ia ikut pergi berburu, orang-orang hanya memberinya tulang. Karena hasil berburunya tidak ada atau sedikit, orang-orang hanya memberinya tulang kepala.
9. After that boy began to grow up, he followed them hunting. People liked to deceive and lie to him. But he didn’t ever respond in kind, and he accepted all of it. He had the soul of a strong leader. That’s when Dòngò Fatangh began to think like an adult. If he went hunting with them, people only gave him a bone. Because he only ever caught very little, or nothing at all, people only ever gave him head bones.
10. Setelah dewasa, ia mengundang orangorang berpesta makan kepala babi. Ia mengundang para tetua di kampung itu. Ia, yang mengundang orang-orang untuk datang ke rumahnya, pertama-tama mengatakan, “Aku menangkap babi ketika aku ikut orangorang pergi berburu tapi saya hanya akan dapat kepala.” Orang-orang malu mendengar perkataannya dan cara ia menyampaikan perasaannya.
10. After he was grown up, he invited everyone to a party to eat the head of a boar. He invited the elders of the village. He, the one who invited the people to come to his house, first said, ‘I caught a boar when I followed everyone hunting but I will only keep only the head.’ People were really ashamed to hear his words, and the way he expressed his feelings.
33
11. Tèe ate’ nè bezu tene, tè re ngkiny nyó ketè navè. Ngamen ne, a’eng tè tè’a amen ne. Zó tè ngamene, tè’a amene. Tè re nese’ azò dé ke rughu tè tau re te, a’eng ne ta’èny é’ó. Tèe ngèny ne laghet, tè nese’ azò, énó e ta’èny re fezagèny mesèj ómó. Tetó òbane ta’èny étó có de’ bezu bazengh. “Móne éle tè fala é’ó édé ó’ó, égham fetó’ de’ bezu bazengh jé’e’. Ègham nè maghi bazenge,” kónyó je ntó’ eng té’a bazenge re. 12. Tè lèny fe re neva azò dé, zó tè tó’ de’ bezu bazengh jé. Jé tè’a isie jé énó bali amene ngane. Tè azò zé fese’ daò tóngh tepengh, zé taie matè zó. E ala bazeng azò zé, ji’i mane matè azò zé, ngòlep jó ala óle. Jé fenadiengh kèmet aneng Òzò Dòngò Fatangh nyé be ta’eng Òzò I’ek dae re fe te Dòngò Fatangh. 13. Tèe ate’ nè bezu, dé étó-étó anune kèmet. Tée ngèny ne sengunyeng, nè deghi’ij letò ngane sengunyeng. Énó có de’ bezu keri’ek, Óré Barò ngadane. Engne rae e mé’ó: “ne ri’i ne sakij nè fala aghi ghine ó’ó, di’i tè letó ki” kónyó. Jé isi bevèj baze’ dae ésée te zé.
34
11. Ketika ia sudah semakin dewasa, orangorang mengajaknya pergi membalas dendam. Semua orang mencari pertanda (ngamen) tetapi hasilnya selalu buruk dan hanya ia yang kalau mencari pertanda hasilnya pasti bagus. Orang-orang pergi mencari musuh di ladang tetapi tidak menemukannya. Lalu ia ikut orang memanjat pohon mencari musuh dan ia melihat ada beberapa orang sedang memotong dahan di ladang. Ia melihat dengan jelas ada yang menggunakan parang besar. Lalu ia berkata, “Kalau nanti kita menyerang carilah yang parangnya besar dan berikan parangnya untukku.” Ia tidak memiliki parang yang bagus.
11. When he was even older, people invited him to seek revenge. Everyone looked for a good omen (ngamen), but they never succeeded, only he could find a good omen if he looked for it. People went to find enemies in the field, but they could not find them. Then he joined them climbing up a tree to look for enemies, and he saw several people cutting branches in the field. He saw clearly that one was using a huge machete. Then he said, ‘if later we go attack, look for the big machete and give it to me.’ He didn’t own a good machete.
12. Maka diseranglah musuh yang sedang bekerja itu, ia berhadapan dengan penyamun yang menggunakan parang besar. Tapi ia bernasib baik, dewa melindunginya, karena kaki musuhnya terjerumus ke sela-sela dahan bekas tebangan kayu sehingga tidak bisa bergerak bebas. Di sanalah ia bisa membunuhnya. Ia mengambil parang musuhnya, lalu memotong leher untuk mengambil kepalanya. Memang itulah tujuan Dòngò Fatangh, yatim itu, yang dikenal juga sebagai Òzò I’ek.
12. So they attacked their enemies who were working in the field. He faced the enemy who used the huge machete. But he had good fortune, the gods protected him, because the feet of his enemy were caught between the branches of the felled tree so he couldn’t move freely. There he could kill him. He took his enemy’s machete, then he cut his neck so he could take his head. That indeed was Dòngò Fatangh’s goal, that orphan, who was also known as Òzò I’ek.
13. Begitulah semakin ia dewasa, semakin dewasa juga pemikirannya. Pada waktu ia ikut bergotong royong banyak gadis yang mau ikut dengannya. Salah satu dari gadis-gadis itu ada yang sudah perawan tua bernama Óré Barò. Dòngò Fatangh berkata kepada mereka, “Barang siapa yang nanti sampai paling duluan ke tempatku di sini, ia akan menjadi isteriku.” Ia memang sungguh-sungguh dengan ucapannya itu.
13. The more he grew up, the more mature was his thinking as well. Whenever he did community service, a lot of girls also wanted to join in. One of those girls who was already an older virgin was named Óré Barò. Dòngò Fatangh said to them, ‘Whoever gets to my place first will become my wife.’ He was very sincere in saying that.
35
14. Sakitj de’ bezu zé, a’eng deghi’ij letó i’ek be zó ate’ ngadep jó. Dò’è ri’i fezagèny je apa lefe é’ó re. Zó adiengh fala zó deghi’ij letó bezu zé. Afane zé rae: “móne tè’a amen tó tè kòma ó’ó, ji’i ncó ku letó ki le,” kónyó. Mé’è risie. Nè évó uli, tè’a amen évó. Zé letó e, zó òzèny tó udij de’ ciny Bavèny Adò. 15. Engne ana’ Òzò Dòngò zé, Adò Dòngò. Ana’ Adò Dòngò zé, Baveny Adò. Ngana’e Mpangh Bavèny. Engne e zè’è, có re ciny Lóngh Lò’è kenae re keng ki’i te. Je engne Òma Lóngh de’ bemii dé, pèj na’èny rae é’ó: Òma Lóngh, Òma Ódóngh, Òma Taghóngh ngèny Lóngh Lò’è. Felili fenyengh é’ó édé te fu’eng Sa’èny . 16. Lóngh Lò’è zé, Lèèny Afé ngadane, nè métó letó raò Òma Lóngh. Jé rae re bada, je zó nè métó letó de’ eng da’eng. Zó tè eng da’eng Mpangh Bavèny nyé. Kadu fólóngh ra’une ngèny fólóngh bulu dó. Méé étó òbèny fengelempèny ne bò’ère. 17. Lempèny tene re be eng fólóngh da’eng ngèny fólóngh bulu re, engne dé tenu’ laminy ne. Engne da’eng sengò laminy, engne bulu dé tenu’ laminy. Kadu naèny isi re te bulu dé. Dé étó òbèny fengelempèny é’ó de’ bò’ère ba’an dae re.
36
14. Ternyata perawan tua itulah yang duluan sampai pada Dòngò Fatangh, bukan yang muda. Tapi apa boleh buat, mereka (yang muda) lambat menyelesaikan pekerjaannya. Yang tua itu lebih cepat sampai pada Dòngò. Ia lalu berkata lagi, “Kalau pertanda kita berdua dalam perjalanan pulang nanti memang bagus, maka kamu langsung saya jadikan isteri.” Ternyata pertanda mereka memang baik sehingga jadilah mereka suamiisteri dan dari pasangan inilah berasal garis keturunan Bavèny Adò.
14. It turned out to be the older virgin who arrived first to Dòngò Fatangh’s place not the young one. But what could he do, they (the young girls) were late in finishing their tasks. The old one went back to him earlier. Dòngò said, ‘If our omens are good during our journey home, then I will immediately take you as my wife.’ It turned out that their omens were good, so they became husband and wife, and this couple began the Bavèny Adò line.
15. Anak Òzò Dòngò adalah Adò Dòngò. Dari Adò Dòngò lahirlah Baveng Adò dan anak Baveng Adò adalah Mpangh Bavèny. Mereka semua berasal dari Lóngh Lò’è. Òma Lóngh yang ada sekarang ini berasal dari empat kelompok yaitu Òma Lóngh, Òma Ódóngh, Òma Taghóngh dan Lóngh Lo’é. Keempat kelompok ini tinggal berdekatan di sekitar Sa’an (Sa’èny). 16. Dari kelompok Lóngh Lò’è itu pernah datang seorang pemuda bernama Lè’èny Afé mencari gadis Òma Lóngh. Ia mencari gadis yang memiliki da’eng, (sejenis tanaman berdaun lebar yang biasa digunakan untuk atap rumah) dan Mpangh Bavèny memang memiliki baik kebun da’eng maupun kebun bambu. 17. Ukuran kekayaan mereka (nenek moyang jaman dulu) adalah kebun bambu atau kebun da’eng, karena keduanya merupakan bahan bangunan rumah. Da’eng digunakan untuk atapnya dan bambu digunakan sebagai bahan rumah. Bambu memang memiliki banyak kegunaan. Itulah ukuran kekayaan seseorang pada waktu itu, menurut cerita orang-orang.
15. Òzò Dòngò’s child was Adò Dòngò. Adò Dòngò begot Baveng Adò, and Baveng Adò’s child was Mpangh Bavèny. They all came from Long Lò’è. The Òma Lóngh today come from four different groups, they are Òma Lóngh, Òma Ódóngh, Òma Taghóngh and Lóngh Lò’é. These four groups all lived near Sa’an (Sa’èny). 16. From the Lóngh Lò’é group, there was once a young boy named Lèèny Afé, who looked for an Òma Lóngh girl. He looked for a girl who had da’eng, (a type of plant with a wide leaf which was usually used to make roofs), and Mpangh Bavèny indeed had a nice garden of da’eng and even a bamboo garden. 17. The wealth of people (in the old days) we determined by the size of bamboo and da’eng gardens, because both were used to build houses. Da’eng was used for the roof and bamboo was used for the house. Bamboo has a lot of uses. That’s how they used to determine wealth in the old days, according to the stories.
37
18. Engne ana’ évó de’ Mpangh Bavèny ngèny Lèèny Afé zé, ngenufi rae, kena zó nè eng ana’. Énó rae bali kenè ana’ mezó bezu le, “je feghòda bezu-bezu, je ne é’ó eng,” kónyó. Nè lèny ana’ jé mudij, bezu lèny lé, Aveng ngadane, Aveng Lèèny, ciny Lèèny Afé. Dé nè tepeng re mudij ke Sa’èny te, de’ nkiny-nkiny ne mudij de’ ana’ Aveng dé. 19. Méé étó teghene’ Òzò Dòngò Fatangh jé. Dòngò Fatangh nè fala ba’an bemii ne bevèj e ngèny ta’enge te kèmet te, te rae e baze’ kelai. Dé tòmèny mi òzèny có kelempeng Dòngò Fatangh. Ba’an bemii le mi òbèny fetavè òbèny kèmet Dòngò Fatangh zé.
38
18. Anak dari Mpangh Bavèny dengan Lèèny Afé adalah Aveng Lèèny. Sebelum melahirkan anaknya, ia bermimpi bahwa ia akan diberi seorang anak yang besar oleh dewa. Dalam mimpinya itu ia berkata “sebesar apapun anak yang diberikan tidak apa-apa, yang penting ada.” Ternyata benar adanya, begitu lahir bayinya besar sekali dan diberi nama Aveng. Aveng Lèèny, dari Lèèny Afé. Begitulah silsilah nenek moyang yang dulu hidup di Sa’an, yang berasal dari garis keturunan Aveng.
18. Mpangh Bavèny and Lèèny Afé had a child, Aveng Lèèny. Before she gave birth, she dreamt that the gods would give her a large child. In her dream she said, ‘the size of the child is not important so long, as there is a child.’ There was indeed a child, she gave birth to a huge baby, and named it Aveng Lèèny, from Lèèny Afé. That’s the family tree of our ancestors who used to live in Sa’an, who descended from Aveng’s line.
19. Demikianlah kisah Dòngò Fatangh yang yatim itu. Dòngò Fatangh memberikan contoh untuk kehidupan sekarang karena sifatnya dan pendirian teguh dan konsekuen dengan apa yang diucapkan. Itulah sebabnya kami mendirikan sebuah perhimpunan bernama Dòngò Fatangh untuk selalu mengenang cara berpikir Dòngò Fatangh.
19. That’s the story of the orphan Dòngò Fatangh. Dòngò Fatangh gives an example for our lives today because of the generosity of his heart, strong principles, and keeping true to your word. That’s why we started a group called Dòngò Fatangh to always remember Dòngò Fatangh’s way of thinking.
39
Ana’ Baza Sima Malan
1. Énó te có lepu beghò’ère, énó tele ósó re daam có lòbangh laminy, é pé dó ngèny énó revó re anake. Engne kelònèny dé kata é’ó tele fana’ mudij daam kentè’a, é’ó tè’a ali mudij; móngh ènem ènem tenu’ dó raam fengelaminy dó, sai ngèny sóghóngh móngh tenu’-tenu’ a’eng é’ó kòrangh daam fengelaminy dó. 2. Jecu de’ sadine òbe’ tè cengbesé lepu, je engne sekene a’eng òbe’ sadiny e zé tè cengbesé lepu, je ce’ bezu te kèmet sadiny e zé òbe’ tè cengbesé lepu. Pó’e nyèj móngh étó tòlate te pé laghi dó, avane pé laghi dó fetòlèj me évó sadine zé ngèny de’ seken. 3. Engne pé laghi dó, e nebaze’ dae ana’ de’ sadiny nyé. Ba’ane pé dó fetòlèj zalen me évó, nòlèj me de’ sadiny zé, ngèny nòlèj me de’ seken zé. Je engne de’ sekene zé zó ngencetengh daò pé dó. Engne de’ sadinye zé, zó ketè cengbesé lepu te, tè favangh tavaie. 40
Anak Bungsu
The Youngest Child
Sima Malan
Sima Malan
1. Pada jaman dahulu di suatu kampung, tinggallah tiga orang dalam sebuah rumah yaitu seorang ayah dan dua anaknya. Mereka bertiga hidup serba berkecukupan dan hidup enak karena semua kebutuhan sudah tersedia di dalam rumah sehingga tidak kekurangan suatu apa pun.
1. A long time ago, in a village, there lived three people in a house, a father and his two children. The three of them lived contentedly, and life was good because everything they needed was available in the house, so that they didn’t long for anything.
2. Tiba-tiba, pada suatu hari, Si Bungsu ingin pergi merantau. Sang Kakak tidak setuju jika adiknya itu pergi ke kampung lain. Tetapi keinginan adiknya untuk pergi merantau ke kampung lain sangat kuat. Ia kemudian meminta warisan yang menjadi bagiannya kepada ayahnya dan akhirnya Sang Ayah membagikan warisannya kepada kedua anaknya.
2. Then suddenly one day, the younger son wanted to leave home to look for work. The older brother didn’t agree with his younger brother going to some other village. But the younger brother’s desire to go find work in some other village was strong. He asked for his share of the inheritance from his father and his father finally divided the inheritance between his two boys.
3. Sang Ayah merestui kemauan keras anak bungsunya itu pergi merantau ke kampung lain, sedangkan kakaknya memilih tetap tinggal bersama Sang Ayah. Si Bungsu tetap mengikuti kata hatinya, pergi merantau ke kampung lain.
3. The father approved of his younger son’s strong desire to go and find work in another village, while his older son chose to stay and live with his father. The younger brother followed his heart, and went to find work in another village.
41
4. Tè de’ sadiny nyé tè masèj cengbesé lepu, tè te có lepu de’ bezu. Daam lepu de’ bezu zé, kadu na’èny étó bevèj-bevèj kelònèny ti’i. Énó kelònèny de’ lempèny ngèny énó kelònèny de’ ja’at te lepu zé. Móngh na’èny-na’èny kelònèny énó daam lepu zé. Tè e majènymajèny daam lepu zé, engne tòlèj de’ pé dó òbèny tè me zó adiengh ne, tè ngó’ó tene e kanèny te kadep e fenata. Amó zi’i fengadepe, zi’i tai kanèny òangh de’ e òbèny mamóngh dé. Té éfó-éfóe, tè ngó’ó tene òangh de’ e òbèny mamóngh dé, tòsa tene e mudij. 5. Tè e nyèj lesò te có ngèny có, je a’eng ne òbe’ mepó zó je a’eng ne tèsen nyó re. A’eng ne tèsen nyó raam lepu zé, je e tè nyaghé raam lepu zé re. Aza-azae tè e nyèj mepó te có kelònèny lempèny daam lepu zé, tè fóte jagèny te zó. 6. Engne rae e “Pé, eng jagèny dughu ki ncam fezagèn? Je tòsa ali le ki mudij, je ne eng ké’en ighu né maghi, keci omèny mi’i le.” Méé rae tai me kelonèny lempèny nyé. “Énem dughu ku ncam fezagén?” dae kelònèny lempèny nyé me zó. “Kuva’an fetóbó cen, maghèny bu’iny, maghèny za’ feta’èny zé rughu ki ncam, engne cengbesé a’eng ki ncam te ri’i,” dae e me kelònèny lempèny jé. 7. Balé énó bu’iny aeng kelònèny de’ lempèny nyé, kadu bu’ine ké’en ne fetóbó. Avane kelònèny lempèny nyé tè jagèny me zó, có’ zó fetóbó bu’ine. Ba’ane ji’i tene jagèny e maghèny bu’iny séket tó.
42
4. Kemudian berangkatlah Si Bungsu itu ke kampung lain, ke kampung yang lebih besar. Di kampung itu terdapat orang kaya dan orang miskin. Setelah lama tinggal di kampung itu, uang yang dibawanya hampir habis karena dipakai untuk berfoya-foya. Ketika uangnya benar-benar habis, hidupnya berubah menjadi susah.
4. Afterwards, the younger son set out to another village, to a bigger village. In that village there were rich and poor people. After having stayed in that village for a while, the money he brought was almost gone because he spent lavishly. When the money was totally used up, his life changed and became difficult.
5. Ia akhirnya pergi meminta belas kasihan dari orang-orang di kampung itu. Didatanginya mereka satu per satu, tetapi orang-orang tidak mau membantunya karena mereka tidak mengenalnya. Ia hanyalah seorang pendatang di kampung itu; jadi, orang tidak mengenalnya. Akhirnya, ia pergi meminta tolong kepada seorang kaya di kampung itu, meminta pekerjaan kepadanya.
5. Finally, he went to ask for pity from the people of the village, he visited them one by one. But the people didn’t want to help him because they did not know him. He was just a recent arrival in their village, so people didn’t know him. Finally he went and asked for help from a rich man in the village, he asked him for a job.
6. Katanya, “Pak, adakah pekerjaan yang dapat saya kerjakan? Hidup saya susah. Yang penting ada yang kamu berikan kepada saya untuk dapat saya makan,” begitu katanya pada orang kaya itu. “Lalu apa yang bisa kamu kerjakan?” tanya orang kaya itu. “Saya bisa memelihara binatang, memberi makan babi, dan memberi makan ayam. Kalau yang lain saya tidak bisa,” jawabnya kepada orang kaya itu.
6. He said: ‘Sir, is there any work I can do? My life is difficult. The important thing is that you give me enough so that I can eat,’ that’s how he spoke to the rich man. ‘So what can you do?’ asked the rich man. ‘I can raise animals, feed pigs and feed chicken. I can’t do anything else,’ he answered to the rich man.
7. Kebetulan orang kaya itu mempunyai babi, ada banyak babi yang ia pelihara. Ia kemudian memberikan pada Si Bungsu pekerjaan memelihara babi. Jadi, sejak itu pekerjaannya adalah memberi makan babi setiap hari.
7. Coincidentally the rich man owned pigs, there were many that he kept. Then he gave the younger son a job keeping the pigs. So since then, his job was to give food to the pigs everyday.
43
8. Je engne fengòmane de felentengh tè me zó. A’eng e òmèny kuva’an isi be tasa e raò tó’ó re, ba’an kadep e òmèny pó besó, éneme òbe’ òmèny énó ri’i. Je engne zó raò kelònèny lempèny nyé, cengbesé lepu zé te, de’ keri’ek fengòmèny de tè me zó, a’eng e tè besó mupiny. 9. Lepó zé, tè e maghèny bu’iny. Je a’enge òbèny besó òmèny fengòmèny de’ re òbèny tè me zó, engne faghèny bu’iny dé, ri’ie tè òmèny tene aza-aza. Daam kòda-kòda majèny e de’ mi’i risi, pó nè có kèmet ne ti te kèmete, òbe’ tè felèvet fala pé dó la’a. 10. Engne tasa e raò pé dó, tè’a udite. Engne rae e raam kèmete: “felafó tè’a be ki tè felèvet fala pé mi la’a. Tasa ki raò pé mi re, tè’a len ki mudij, móngh kadep de’ ki òbe’ òmèny énó, ngèny de’ ké’en ki eng énó ri’i,” méé rae ana’ baza zé. 11. Ngèny e ala étó có betep ciny kèmete fenata òbe’ nè felèvet fala pè dò la’a. Ba’ane nè e felèvet fala pè dò, ce lefé te laminy pè dò, énó rae kenangengh ne kòma te. “Énem ta’èny bane méé?” kónyó. Obèny damè re kòma te, sa’è e nè ngòna je feghèmet len òbèny fenyate adiengh ne òbe’ nè kela’ pé dó, bemii òbe’ nè felèvet fala pé dó la’a.
44
8. Sementara itu, makanan yang diberikan padanya ditakar oleh orang orang kaya itu. Ia tidak lagi makan seperti waktu masih tinggal bersama orang tuanya: makan sepuasnya apa pun yang ia mau makan karena semuanya tersedia. Di rumah orang kaya itu, ia hanya diberi makan sedikit saja sehingga tidak pernah begitu kenyang.
8. In the meantime, the food which was given to him was measured out by the rich man. He didn’t eat like he used to when he still lived with his parents, eating his fill of anything he wanted because everything was available. At the house of the rich man, he was only given a little bit to eat, so that he was never really full.
9. Setelah itu ia pergi memberi makan babi. Karena ia tidak pernah kenyang akhirnya ia memakan makanan babi itu. Ia melakukan hal itu cukup lama sampai pada suatu hari muncul pikirannya ingin kembali kepada orang tuanya lagi.
9. After that, he went to feed the pigs. Because he was never full, he ate the pig food. He did this long enough, until one day the thought of going back to his father occurred to him.
10. Sewaktu tinggal bersama orang tuanya, hidupnya enak, bisiknya dalam hati. “Lebih baik jika saya kembali ke rumah orang tua saya lagi. Sewaktu saya tinggal bersama orang tua, hidup saya berkecukupan, apa pun yang ingin dimakan semuanya ada,” kata Si Bungsu dalam pikirannya.
10. When he lived with his father life was good, he whispered in his heart. “It’s better if I just go back to my father’s house again. When I lived with him, my life was contented, anything I wanted to eat, there was everything,’ said the younger boy in his thoughts.
11. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali kepada orang tuanya. Ia kemudian pulang. Ketika masih cukup jauh dari rumahnya, ia mendengar suara sorak sorai dari arah rumahnya. “Ada apa ya?” tanyanya. Rupanya orang-orang sedang berpesta di rumahnya. Ia malu menampakkan diri karena dulu ialah yang bersikeras untuk pergi dari rumah orang tuanya dan sekarang ingin kembali ke rumah orang tuanya.
11. After that, he decided to go back to his father. Then he went home. When he was still away from the house, he heard away voices cheering from the house. ‘What’s that?’ he asked. Apparently, people were having a party at the house. He was embarrassed to show himself because before he wanted so much to leave his father’s house, and now he wanted to come back to his father’s house.
45
12. Énó re de’ fezagèny me pé dó zé, asiny né’ó ke davangh lepu, nè fesóngh nyó ke davangh òma ne. Je engne rae “ènem fòzèny ne kòma te?” “Ramè re kòma te méé,” rae kòle’ aeng pé dó zé me zó. 13. “Eng pé mi senteng nyelaghe’ aghi ta’èny, ntó ne eng e senteng ala aghi felévet la’a? Ciny na’a re aghi òbe’ nyèj tè cengbesé lepu ngèny nè kela’ pé mi, je bemii òbe’ né felévet tene ki la’a, enge ala aghi ta’èny?” dae ana’ baza zé me kòle’ aeng pé dó zé. 14. Afane tè kòle’ pé dó zé tè bada me pé dó kòma ne. “Énó có re ke òangh òma te òbe’ nè felèvet dae la’a, nè fala ighu,” dae e me pé dó. Tè kèmet pé dó fala ana’ baza zé, tasa e tè kela’ jó re, bangen len pé dó énó rae na lòò’ de. 15. ”Éi tè’a ali le méé, nepè zó kòma,” dae me kòleke. Ba’ane nè kòle’ zé nè nepè zó, ana’ baza zé ngkiny zó kòma. Nè pé dó nè nyelalangh, e nyeghafe zó, sai belen kèmete je énó nè ana’ zé felèvet de. 16. Afane pé dó ngkiny zó kòma, nkiny zó kaminy. Tè felafó ramè isi é’ó la’a, je énó nè ana’ jé lòò’ de. Ba’ane pé dó có’ de matè bu’iny de’ sadó lempe, je di’i étó fenangen ne beghò’ère matè bu’iny de’ lempe be ramè-ramè belen. Ba’ane bangen len pé dó té je énó nè ana’ jé felèvet de. 46
12. Kebetulan ada kuli ayahnya pergi ke luar kampung dan bertemu dengannya di sana. Ia bertanya, “Apa yang sedang dilakukan orang-orang di rumah?” “Orang-orang di rumah sedang berpesta,” kata kuli ayahnya itu.
12. By coincidence, one of his father’s workers was going out of the village and met him there. He asked, ‘What are the people doing at the house?’ ‘They’re having a party,’ said the worker.
13.”Apakah ayah masih mau menerima saya? Memang sebelumnya saya ingin pergi dari rumah, pergi merantau ke kampung lain, tetapi sekarang saya ingin kembali lagi. Apakah ayah masih menerima saya?” tanya Si Bungsu kepada kuli orang tuanya.
13. ‘Will father still want to accept me? Indeed, I wanted to go from his house before, go look for work in another village, but now I want to come back again. Will father still accept me?’ the younger son asked his father’s worker.
14. Kemudian kuli itu pergi memberitahukan kepada orang tuanya di rumah. “Ada seseorang di luar kampung, mau kembali lagi kepada anda,” kata kuli itu kepada orang tuanya. Langsung pikiran ayahnya tertuju pada anak bungsunya yang dulu meninggalkannya. Sang Ayah merasa sangat senang karena ia pulang. 15. “Baiklah, kalau begitu panggil ia ke rumah”, kata ayahnya kepada kuli itu. Lalu kuli itu pergi memanggil pulang Si Bungsu dan membawanya masuk ke rumah. Begitu melihatnya, Sang Ayah lalu memeluk anaknya itu. Perasaannya sangat bahagia karena anaknya telah kembali. 16. Kemudian ia membawanya pulang dan pesta bertambah meriah karena Si Bungsu telah pulang. Ayahnya menyuruh orang memotong babi yang paling gemuk, sesuai dengan tradisi orang dulu kalau ada pestapesta mereka memotong babi yang paling gemuk. Ayahnya merasa bahagia sekali karena anaknya sudah kembali.
14. Then the worker went and told his father at the house. ‘There is someone outside the village, who wants to come back to you,’ said the worker to the father. The father’s thoughts immediately fell to his youngest son who had left him before. The father felt overwhelmed with happiness because he had returned.
47
15. ‘Good, in that case call him to the house,’ the father told the worker. Then the worker went and called the younger son home, and brought him into the house. Upon seeing him, the father hugged his son. He felt great joy because his son had come home. 16. He brought him home, and the party became even more excited because the younger brother had come home. The father ordered someone to cut the fattest pig, according to the old tradition of cutting the fattest pig at a party. The father felt so happy that his son had come home.
17. Engne de’ seken òbèny ngencetengh daò pé dó, zé té i’ek tavè tené e. I’ek tavaie je zó de’ òbèny ngencetengh ngèny pé dó a’eng isi re matè bu’iny de’ lempe me zó. Nè ana’ baza zé nè lòò’, é me zó isi re matè bu’iny, ba’ane busi ana’ adienge zé de’ òbèny ngencetengh daò pé dó zé re. 18. Ba’ane engne rae e me pé dó “éh Amè, é ku a’eng matè bu’iny maghi, aghi mepó ighu raam jagèny kòma ne? A’eng fóbó isi ku feghèmet aghi cengkajèny ki ngencetengh daò ighu kòma ne,” dae ana’ adienge zé. Engne rae pé dó me zó: “móngh de’ ki eng kòma ne aeng ku dé móngh, engne sadiny ku zé òbèny tè meta’e, avane bezu len sai ki je énó naie felèvet de. Avane tè’a ali tene, je énó tele keve’-keve’ femóngh daam laminy éle bemii,” méé rae pé dó me ana’ adienge zé.
48
17. Sang Kakak yang selalu tinggal bersama orang tuanya itu merasa iri hati. Ia merasa iri karena ia yang selalu tinggal dengan orang tuanya tidak pernah sekali pun orang tuanya memotong babi yang gemuk untuknya. Tetapi ketika adiknya pulang, orang tuanya memotong babi untuknya. Maka marahlah anak sulung yang selalu tinggal bersama orang tuanya itu.
17. The older brother who always stayed at home with his father felt jealous. He was jealous because he always stayed with his father, but not once did his father cut a fat pig for him. But when his younger brother came home, his father cut a pig for him, and so the older brother was angry, because he always stayed with his father.
18. Ia berkata kepada ayahnya, “Ayah, kenapa Ayah tidak memotong babi buat saya; padahal, sayalah yang selalu membantu Ayah melakukan pekerjaan di rumah? Ayah tidak pernah memikirkan saya selama saya bersama Ayah di rumah.” Ayahnya menjawab, “Semua yang saya pakai di rumah ini adalah kepunyaanmu, sementara adikmu itu selama ini hilang dan sekarang saya senang sekali karena ia sudah kembali. Sekarang lebih baik lagi karena kita bertiga bersama-sama berkumpul lagi di dalam rumah ini,” begitulah kata ayahnya kepada anak sulungnya itu.
18. He said to his father, ‘Father, why have you never cut a pig for me, when in fact I’m the one who always helps you with the work at home? You never think about me so long as I have been with you in the house.’ His father answered, ‘Everything I use in this house is yours, while your younger brother was lost and now I’m very happy that he has returned. Now it’s even better because all three of us are gathered together again in one house,’ so the father said to his oldest child.
49
Mpé ngèny Buzu Fè’èj Sabò Ònya 1. “Tè tó nótóngh ó’ó é Buzu!” dae Mpé. “Ghéte u kela ó’ó ke óle ómó ghé te be ki nótóngh ó’ó daò aa’ namam kafèny.” “A’a,” dae Buzu té je a’une tè. Tè métó òlet bate le e ke benó ómó évó zé te. “Ènem banyó có’ aghi tè kela’ ke sadó ómó té, òbe’ be ki tè naèny laló?” dae Buzu daam kèmete. 2. Eng ne Buzu énó le te kèmete, je mòne Mpé zé balèny ali le rae kèmete. Daò Buzu ala òlet bate té, “ghé ki có’ jó tè kela’ mè’è ó’ó re... é ghé ta e,” dae selem kèmet aeng Mpé té. “Mpi ku Buzu?” dae Mpé. É étó Buzu ala-ala òlet bate té, tè Mpé nòzen Buzu té. “Tabó te len le kè’ene kenyé fe,” dae Buzu té, e matóngh có kòlej e. “Có ènem ézé tè matóngh Buzu?” dae Mpé. “Pen tó ré,” dae Buzu. 3. Tè Mpé ngasa fabèj atóngh kòlèj jé, a’eng e mòèj je kave’ bezu le te sòngè zé re. “É kójó òbane kè’en ku Buzu?” dae Mpé mentóngh tè fabèj kòlèj jé, tó sèlem-sèlem le lulek aeng Mpé fegu te bate fabèj kòlèj sa’ó sòngè zé. 50
Mpé dan Buzu
Mpé and Buzu
Fè’èj Sabò Ònya
Fè’èj Sabò Ònya
1.”Ayo kita pergi bakar ladang, Buzu!” ajak Mpé. “Kalau sudah sampai di sana, sementara aku membakar, kamu bisa lari bersembunyi ke dalam semak-semak kering yang rimbun di kepala ladang itu.” “Ya”, kata Buzu tapi ia tidak pergi. Buzu malah pergi mencari ulat batu di sungai yang ada di hulu ladang mereka. “Kenapa juga ia suruh aku lari ke kepala ladang, mau saya terbakar?” bisik Buzu dalam hatinya. 2. Buzu, sang isteri masih punya sedikit pikiran dari pada Mpé suaminya yang jelasjelas sangat bodoh. Sementara Buzu mencari ulat batu, “Aku suruh ia lari ke sana tadi, tapi kenapa Buzu malah pergi ke tempat lain?” kata Mpé dalam hatinya. “Di mana kamu, Buzu?” kata Mpé. Ketika ia melihat Buzu sedang mengambil ulat batu, pergilah Mpé menghampirinya. “Kalau ada dia, terganggu terus aku”, bisik Buzu lalu dia hanyutkan satu jamur. “Apa yang hanyut itu Buzu?” tanya Mpé. “Anu (kemaluan) kita berdua,” jawab Buzu.
1. “Hey let’s go burn the rice fields, Buzu!” Mpé invited. “Once we’re there, while I burn the fields, you go and hide in the bushes of the forest at the top of the field.” “Yes” Buzu said, but she didn’t go. Instead, Buzu went to find a rock caterpillar in the river upstream from their field. “Why did he tell me to come to the field too, do I want to get burned?” Buzu whispered in her heart. 2. Buzu, the wife, still had some wits about her, especially compared to Mpé who was clearly very stupid. While Buzu was looking for a rock caterpillar, “I told her to come here before, why did Buzu go somewhere else?” said Mpé to himself. “Where are you, Buzu?” said Mpé. When he saw Buzu picking up the rock caterpillar he went up and approached her. “I’m constantly bothered when he’s around,” whispered Buzu, then she put a mushroom in the water and let it float. “What’s that drifting Buzu?” asked Mpé. “Our genitals!” she replied. 3. Mpé then hurriedly chased the flowing mushroom, but he didn’t catch it because the river was too strong. “Why were you not strong enough to keep hold of it?” he asked as he was chasing that floating mushroom, until he bruised his shin colliding with a rock.
3. Mpé kemudian bergegas mengejar jamur yang hanyut itu tapi ia tidak berhasil karena air sungai agak besar. “Kenapa kamu tidak kuat menahannya?” tanya Mpé sambil mengejar jamur yang hanyut itu sampai biru-biru tulang keringnya terantuk batu.
51
4. Daò Mpé fabèj kòlèj té tè Buzu feghelem. “Buzu... mpi ku Buzu?” dae Mpé ó’ó lepó e kai-kai tè fabèj kòlèj jé. A’eng Buzu mèfa rae e. “É dao namam kè’è te e feghelem mii je ki’i ki có jó tè kela’ ó’ó re mè’è,” dae Mpé daam kèmete. 5. Tè Mpé métó Buzu dao òbèny tótóngh namam té, e fesóngh có fatè tela’ó. “É matè te ne obèny Buzu, é ku étó tela’ó re ku òbèny tè naèny laló Buzu” dae Mpé nèdò- nèdò tela’ó zé té. “Òrè éfó Buzu… é ku étó tela’ó re ku Buzu òbèny tè naèny laló Buzu?” dae Mpé nèdò-nèdò fatè tela’ó de’ òbèny tè naèny laló zé té. Nè e be’ fatè tela’ó zé uli mentóngh nèdò-nèdò ngalangh janèny té. 6. “Ènem ta’èny banyó Mpé zé nèdò fatè cen?” dae Buzu té mentóngh nè baze’ jó nè kòma té. Nè Mpé abi òma ne, tè ghelebet e ke télóngh tè ala ta’a taleng aeng Buzu té kè’en e ngelipengh te fatè tela’ó zé. “É sekèj-sekèj telèny Mpé zé tè ta’a ki te kèny zé?” dae Buzu té je tèsen Buzu có fatè tela’ó ézé re. Bangh étó teghòlengh ta’a talune zé te fatè tela’ó zé. 7. Dae tèdò tèdò Mpé te fatè tela’ó zé: “Òrè éfó Buzu… é ku étó tela’ó re ku Buzu òbèny tè naèny laló Buzu.”
52
4. Sementara Mpé mengejar jamur itu, pergilah Buzu bersembunyi. “Buzu… di mana kau, Buzu?” teriak Mpé setelah ia capek mengejar jamur tadi. Buzu tidak menyahut. “Mungkin ia di dalam semak-semak tempat yang tadi aku menyuruhnya bersembunyi” pikir si Mpé. 5. Lalu Mpé pergi ke semak-semak tempat ia menyuruh Buzu bersembunyi tadi yang sudah terbakar dan ia hanya menemukan seekor kijang yang mati terbakar. “Rupanya kamu sudah meninggal Buzu… Kenapa rupamu seperti kijang yang terbakar, Buzu? kata Mpé meratapi kijang yang mati terbakar itu. “Buzuku sayang… Kenapa rupamu seperti kijang terbakar api, Buzu?”, kata Mpé terus meratapi kijang yang mati terbakar itu. Kemudian digendongnya kijang yang sudah mati itu, dibawanya pulang sambil terus meratap sepanjang perjalanan. 6. “Ada apa dengan Mpé, kenapa dia meratapi binatang yang mati itu?” bisik Buzu sambil mengikutinya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Mpé masuk ke kamar mengambil rok kepunyaan Buzu dan memakaikan pada bangkai kijang itu. “Kenapa Mpé memakaikan rokku pada binatang yang mati itu?” kata Buzu karena ia tahu bahwa yang diratapi Mpé adalah seekor kijang yang mati. Rok itu terlilit pada kijang yang mati itu. 7. Mpé terus meratapi kematian kijang itu: “Buzuku sayang… Kenapa rupamu seperti kijang yang terbakar api, Buzu?”.
53
4. While Mpé was chasing that mushroom, Buzu went and hid. “Buzu… where are you Buzu?” screamed Mpé after he was tired of chasing the mushroom. Buzu didn’t respond. “Maybe she’s in the bushes I told her to hide in earlier,” Mpé said to himself. 5. Then Mpé went to the bushes where he told her to hide earlier, which were already burned, but he only found a small barking deer which was burned to death. “It seems that you have already died Buzu…! Why do you look like a burned barking deer, Buzu?” Mpé said lamenting over the deer which was burned to death. Then he carried the dead deer, he carried it all the way home, lamenting the whole way.
6. “What’s wrong with Mpé, why is he lamenting so that dead animal?” whispered Buzu as she followed him back to the house. When he arrived home, Mpé went into their room and got one of Buzu’s skirts and put it on the carcass of the barking deer. “Why is Mpé dressing that dead animal in my skirt?” said Buzu because she knew that Mpé was lamenting a dead deer. The skirt was wrapped around that dead deer. 7. Mpé continued to lament the death of the deer, “Buzu my love… why do you look like a deer burned in the fire, Buzu?”
Tè có ana’ aeng Mpé ngèny Buzu matè…. 8. “Tè u adiengh ala òfa rè’è Mpé, ala òfa rumij dè’è ja’at mè’è le sine ku bezu óle ufij de ló’óngh òfa rè’è,” dae Buzu. Tè Mpé nau tè ala òfa méé, majèny e ta’eng nè uli. “Tó ta’eng nè uli le ku laó-laó, be ta’eng ki ncam tè nau je fana len ana’ ji re ba’ane ki có’ ighu tè,” dae Buzu. “Alò ki tè taò’ fabèj ufij dè je òbe’ ala de’ ku bezu óle ufij de,” dae Mpé. E ala có òfa bezu sine, e ala la’a bezu le te sine. Ce’ òbe’ métó de’ ku bezu óle ufij de e je mi’i rae Buzu me zó re. Nè e uli a’eng òfa naèny e. “Mpi ne òfa re?” dae Buzu. “A’eng cu de’ ku bezu óle ufij dé ba ki ta’eng ala e,” dae Mpé. “É sè’ò fau Mpé… apa ali le obèny ku ighu Mpé zi lèny. Aghi tè ó’ó je ne u nganèny ana’ ji ó’ó, ighu mana sòngè ntu zó ó’ó je e fana re. A’eng lèny le òbèny ku tèsen ala òfa rè’è,” dae Buzu.
54
Salah satu anak Mpé dan Buzu meninggal...
A Child of Mpé and Buzu Goes and Dies......
8. “Pergilah ambil keladi Mpé, ambillah keladi yang sebesar kepala pipit saja karena yang kecil-kecil itu isinya tidak bagus!” kata Buzu. Mpé pun pergi mengambil keladi dan lama sekali tidak kembali. “Kenapa lama sekali tidak pulang? Aku tidak bisa pergi kemana-mana karena anak ini demam. Itulah sebabnya aku suruh kamu yang pergi,” tanya Buzu. “Aku kelamaan mengejar pipit karena aku mau ambil keladi sebesar kepala pipit,” jawab Mpé. Dia mengambil satu keladi karena isinya besar dibuangnya. Diambilnya lagi yang lain isinya besar juga, dibuangnya. Dia tetap mau mngambil keladi sebesar kepala pipit seperti dipesankan Buzu. Pulanglah si Mpé tanpa membawa keladi. “Mana keladinya?” tanya Buzu. “Tidak ada yang sebesar kepala pipit makanya aku tidak jadi mengambilnya,” jawab Mpé. “Kasian sekali kamu ini Mpé… Kamu ternyata bodoh sekali. Sekarang aku saja yang pergi, kamu jaga anak ini, panaskan air untuk mandinya karena badannya masih panas. Ternyata kamu tidak bisa mengambil keladi itu,” kata Buzu.
8. “Go and get a taro Mpé, get one as big as the head of a sparrow, because the insides of the little ones are no good!” said Buzu. Mpé went to get a taro, and for a long time didn’t come back. “Why did it take you so long to come back? I can’t go anywhere with this feverish child. That’s why I told you to go,” asked Buzu. “It took me a long time to chase that sparrow, because I wanted to get a taro as big as the head of the sparrow,” answered Mpé. He picked up on one taro, but because it was too big he threw it away. He picked up another which was too big, so he threw it away. He still wanted to find a taro as big as a sparrow’s head, like Buzu ordered. He came home without any taro at all. “Where is the taro?” asked Buzu. “There weren’t any as big as a sparrows head, so I didn’t bring any,” answered Mpé. “You are pitiable indeed, Mpé… you really are very dumb. Now I myself will go, you watch this child, heat up some bathwater because his body’s still very hot. It turns out you can’t even fetch a taro!” said Buzu.
55
9. Tè Mpé nelangh có tariengh malèj bezu rè’è, e felete’ ézé méé na e lete’ oé kè’en Mpé mejep ana’ évó zé daam tariengh lete’ jé. Ngelakóngh ana’ évó zé je e fana re. “É nyatóngh ku ana’… é bangen isi ku ntu ana’,” dae Mpé. Tè matèny óé a’eng ana’ jé ferisi tene je e tè matè fana re, Mpé ala zó be’ jó. 10. Nè Buzu uli ala òfa té: “eng e lutu méé Mpé?” dae Buzu. “Aa... jaa’ ali le e lutu,” dae Mpé. “E... e.. e ana’ óle fèlò?” dae Mpé mentóngh ngentimu ana’ jé be fetem matè tene e. “Ènem dé te pa e... é futi pa e?” dae Buzu. “Ònyet é,” dae Mpé étó futi za te pa ana’ évó zé. 11. Tè re mase’ ana’ évó zé je òbèny tè matè lete re. Òbèny nè ana’ jé mónó je daam có kulij òbèny ne melelen jó re. Tè évó baze’ de té fesóngh fatè ana’ évó zé. “É có fatè cen ti,” dae Mpé ala fatè ana’ évó zé. “É ku étó ana’ tó zè’è re ézé baci Mpé,” dae Buzu. “Òèj ngadu–ngadu rae te cen,” dae Mpé.
56
9. Mpépun mengisi air ke dalam sebuah kuali besi yang besar lalu dididihkannya. Setelah mendidih anaknya diceburkan ke dalam kuali yang berisi air panas itu. Anak itu meronta-ronta karena kepanasan. “Berenang ya nak…bersenang-senanglah kamu mandi nak”, kata Mpé. Lama kelamaan anak itupun tidak bergerak lagi karena mati kepanasan. Mpé lalu mengangkat dan menggendongnya.
9. Mpé filled a large iron pot with water and boiled it. After the water boiled, the child was plunged into the large pot filled with hot water. The child struggled to get free because it was too hot. “Swim boy… enjoy your bath boy!” said Mpé. After a while, the child didn’t move anymore because he had died from the heat. Mpé then lifted him out and carried him.
10. Setelah mengambil keladi Buzu pun pulang. “Tidurkah ia?” tanya Buzu. “Ya... ia tidur nyenyak sekali,” jawab Mpé. “E… kenapa anak ini kepalanya gundul?” tanya Mpé sambil menggendong anaknya yang sesungguhnya sudah meninggal. “Apa itu yang putih-putih di mulutnya?” tanya Buzu. “Ònyet (butiran kecil beras yang hancur digiling)”, jawab Mpé padahal itu telur lalat hijau yang bakal jadi ulat di mulut anaknya.
10. After getting the taro, Buzu came home. “Is he sleeping?” she asked. “Yes, he’s sleeping soundly,” answered Mpé. “Hey…why is his head bald?” asked Mpé as he rocked the child which was actually already dead. “What’s that white stuff in his mouth?” asked Buzu. “Ònyet (a small pounded grain of rice),” answered Mpé, when if fact, it was green fly eggs, which would become caterpillars in his child’s mouth.
11. Lalu pergilah orang-orang mengubur anak mereka itu. Rupanya mayat anak itu terjatuh karena hanya digulung dalam kulit kayu. Mereka berdua saat mengikuti orang dari belakang menemukan mayat anak itu. “Ada mayat binatang di sini,” kata Mpé seraya mengambil mayat anak mereka itu. “Kelihatannya seperti anak kita itu, Mpé,” kata Buzu. “Jangan terlalu mengada-ada pada binatang,” kata Mpé.
11. Later people went and buried their child. It seemed like the corpse of the child fell, because it was only wrapped in tree bark. The two of them followed the people from behind, and then found the corpse of the child. “There’s an animal corpse here,” said Mpé while taking the body of their child. “It looks like our child, Mpé,” said Buzu. “Don’t make too much of an animal,” said Mpé.
57
12. Nè évó uli fesa’ fatè ana’ évó zé, tè mesa’ e tè évó òmèny. “É ku étó taghet matè urij tó zè’è re zi Mpé,” dae Buzu. “Éé ngadu-ngadu rae te cen, pèny ghine aghi òmane,” dae Mpé. “É ku étó uju matè urij tó zè’è re zi Mpé,” dae Buzu. “Éé ngadu-ngadu rae te cen, pèny ghine aghi òmane,” dae Mpé. 13. Pó méé le rae zé teghene’ méé.
58
12. Setelah itu mereka pun pulang dan memasak mayat anak mereka itu. Setalah matang mereka makan. “Yang ini seperti kaki anak kita, Mpé,” kata Buzu. “Jangan banyak bicara pada binatang, sini biar aku yang makan,” kata Mpé. “Yang ini seperti tangan anak kita, Mpé,” kata Buzu lagi. “Jangan banyak bicara pada binatang, sini biar aku yang makan,” kata Mpé.
12. After that they went home and cooked the body of their child. After it was cooked, they ate it. “This looks like our boy’s foot, Mpé,” said Buzu. “Don’t talk too much about animals, just let me eat,” said Mpé. “This looks like our boy’s hand, Mpé,” said Buzu again. “Don’t talk so much about animals, just let me eat,” said Mpé. 13. So goes the story.
13. Demikianlah ceritanya.
59
Tadèny Ólé Fè’èj Sabò Ònya
1.Tè có re obe’ tè métó letó ke tóngh kaze te. “Mpi bazengh kalóngh tó zè’è Ale?” dae Tadèny Ólé. “Tè ènem ku ana’?” dae pé ale me zó. “Òbe’ tè na’at letó ke tóngh sevi kep te, énó rae re felai énó letó te tóngh kaze bezu rè’è” dae Tadèny. “Au tè ana’. A’eng ki ghe bada bazengh kalóngh nyé je a’eng udij de tè ala letó tóngh sevi kep te,” dae pé aeng Tadèny Ólé re té. 2. Ce’ obe’ tè te e, avè tè e nyelem métó sóó’ évó ke lefóbóngh te. Énó òbèny tae ta’èny sóó’ ke lefóbóngh te. “Énó tene ki ta’èny bazengh ne,” dae Tadèny me pé ale. “Ééé... zé tene baza udij ku méé ana’. Je fii ke tè métó letó ke tóngh sevi kep te, a’eng ne mudij,” dae pé ale me zó té. 60
Tadèny Ólé
Tadèny Ólé
Fè’èj Sabò Ònya
Fè’èj Sabò Ònya
1. Konon ada seseorang yang ingin mencari perempuan di atas pohon. “Mana parang berukir kita itu, Bu?” tanya Tadèny Ólé. “Mau ke mana kamu, Nak?” Ibunya yang sudah janda itu balik bertanya. “Saya mau pergi mencari perempuan di atas pohon, di mana ada burung hinggap. Ada yang mengatakan bahwa di atas pohon berkayu besar itu ada seorang perempuan,” kata Tadèny Ólé. “Jangan pergi, Nak! Aku tidak akan memberi tahu tempat parang berukir itu karena siapapun tidak akan hidup lagi bila mencari perempuan di atas pohon tempat burung-burung hinggap,” ibunya Tadèny Ólé berkata.
1. They say there was a boy who wanted to look for a girl in the top of a tree. ‘Where’s that carved machete of ours, mother?’ asked Tadény Ólé. ‘Where do you want to go, son?’ asked his mother who was a widow. ‘I want to go look for a girl in the top of a tree, where there’s a bird perched. Some say that there’s a girl on top of that large woody tree,’ said Tadény Ólé. ‘Don’t go, son! I’m not going to tell you where the carved machete is, because no one will live who searches for a woman at the top of a tree where birds perch,’ Tadény Ólé’s mother said.
2. Tetapi Tadèny Ólé berkeras ingin pergi. Diam-diam ia mencari tempat parang berukir yang disembunyikan dalam lumbung mereka. Akhirnya, ditemukannya juga parang berukir yang disembunyikan dalam lumbung itu. “Sudah saya temukan parangnya,” kata Tadèny Ólé pada ibunya. “Apa boleh buat, ini akan menjadi akhir hidupmu, Nak. Siapa saja yang pergi mencari perempuan di atas pohon itu, di mana ada burung hinggap, tidak akan selamat,” kata ibunya.
2. But Tadény Ólé really wanted to go. He quietly searched for the place where the carved machete had been hidden in their rice barn. Finally, he found the machete, which was hidden in their rice barn. ‘I’ve already found the machete,’ said Tadény Ólé to his mother. ‘Whatever you do, this will be the end of your life, son. Whoever goes and looks for a girl in the top of a tree, where birds perch, will not be safe,’ said his mother.
61
3. “Léfe... nè ne bazengh kalóngh jé,” dae Tadèny. Tè Tadèny méé... tè e fala có bèla mpò rè’è Bèla Kazèny kè’en e meghalet bazengh kalóngh jé té, tè bèla zé lèbe’. E meghalet bazengh jé la’a, tè módóngh jé lèbe’. 4. Tae abie kè’en e có’ ana’ nè badae kòma ne. “Énó có saghè ke bai te dae am badae me re kòma te,” dae Tadèny Ólé có’ ana’ dé. Nè ana’ dé badae me re kòma ne té. “Énó có saghè ke bai te baza tè’a zétó zó te kenyi’i.” “Ènem pe lèny dò’è-dò’è nè re na’at aghi fe?” dae Tadèny Ólé tè daam có kulij sevi te’ ngedóngh te pa sèghèny tóngh có bònyò. 5. Óbó re na’engh sènèny je ana’ dé kòme’ tè’a étó Tadèny Ólé re. Tè re ntengh nyènèny té nèe’ ó ke vai. Nè Tadèny Ólé madangh nè mekep ghe vai ne.
62
3. “Biarlah... Saya minta parang berukir itu,” kata Tadèny Ólé. Lalu berangkatlah Tadèny Ólé… Ketika ia menjumpai sebuah tebing tinggi bernama tebing Kazèny (Kayan), parang berukir itu ditekuknya dan tebing yang tadinya tinggi itu menjadi rendah. Ditekuknya lagi parang itu dan tebing itupun semakin rendah.
3. Come what may, I ask for the carved machete,’ said Tadény Ólé. Then Tadény Ólé set out. When he came upon a steeply sloping hill, which was called Kazèny (Kayan), he bent his carved machete and that slope which was very high became low. He continued to bend his machete and the slope became lower and lower.
4. Sesampainya di tempat tujuan ia menyuruh anak-anak memberitahukan pada orang-orang kampung. “Katakan ada seorang tamu di pinggir sungai!” kata Tadèny Ólé menyuruh anak-anak itu. Anak-anak itu pergi menyampaikan pesan Tadèny Ólé. “Ada seorang tamu di pinggir sungai, ia sangat gagah,” kata mereka. “Kenapa begitu lama orang-orang datang untuk melihat saya?” bisik Tadèny Ólé, sambil memakai kulit burung te’ (menjelma menjadi burung te’), bertengger di atas pohon limau.
4. When he arrived at his destination, he told some children to tell the villagers. ‘Tell them there is a guest at the edge of the river!’ Tadény Ólé said, ordering those children. The children went and delivered Tadény Ólé’s message. ‘There is a guest at the edge of the river, he is very handsome!’ they said. ‘Why is it taking so long for people to come and see me?’ complained Tadény Ólé, who entered the skin of a te’ bird, taking its form, and perched above on a citrus tree.
5. Orang-orang kampung itu kemudian sibuk menghias diri mereka karena kata anakanak itu Tadèny Ólé adalah seorang yang gagah. Setelah selesai menghias diri, mereka semua pergi ke pinggir sungai. Tadèny Ólé lalu terbang dan mendarat di pinggir sungai.
5. The villagers were then busy decorating themselves, because the children said that Tadény Ólé was very handsome. After they finished dressing up, they all went to the edge of the river. Tadény Ólé then flew and landed on the edge of the river.
63
6. É có jenè re mega’ té ku bezu beva uju éghiengh ne ézé. “Bezu izi ana’ tè am ala ra’eng dughu jenè zé”, dae Tadèny Óle me ana’ té. Tè ana’ dé ala ra’eng i’ek le. “Éé... a’eng méé e ala ra’eng feti lencò dé am, bezu dé ra’eng dughue. Ala kadu le am,” dae Tadèny Óle té. De mega’ jenè zé té ku bezu batangh tanyij de étó nè jenè zé feghòa’ té, tè kelònèny kadu dé òmèny jenè zé je òbèny nè na’at Tadèny Óle zé ghe vai ne. 7. Nè kelònèny kadu dé fóte Tadèny Ólé, “eng énó le fe fenangen ku re?” “Énó,” kónyó me re. “Eng énó le fe letó tè’a étó re ke sevi kep te?” dae re me zó. “Énó… a’eng tè’a tè ala é’ó édé. Letó mòèj étó ngèny sevi kep te tóngh kaze ke tóngh kaze tanyij te,” kónyó me re. 8. Tè re ghe ala letó dé té a’eng ne fabi Tadèny Ólé. Tè ghe có sevi te’ re matè zi’i, tè ghe có re matè le te zi’i. “Ighu lefe tè!” dae re me Tadèny Ólé. Re navè ghe pet jó tene re.
64
6. Pada saat itu ada satu batang bambu lemang, sebesar jari kelingking, yang akan dibelah. “Besar sekali lemang ini! Pergilah kalian mencari daun untuk tempat lemang ini!” kata Tadèny Ólé kepada anak-anak di sana. Anakanak itu pergi mengambil daun-daun yang kecil. “Bukan yang itu! Cari saja daun besar! Ambil sebanyak-banyaknya!” katanya lagi. Kemudian orang-orang membelah bambu itu dan begitu terbuka ternyata mendapati lemangnya begitu besar, sebesar batang kayu manggris. Semua orang di pinggir sungai itu, yang datang melihat Tadèny Ólé, tak habishabis memakannya.
6. At that time, there was a bamboo tube filled with sticky rice, as big as a pinkie finger, which was to be split open. ‘This bamboo tube is really big! Go and find a leaf for the rice!’ said Tadény Ólé to the children there. The children went and got small leaves. ‘Not those! Get big leaves, as many as you can!’ he said again. After that, the people opened the bamboo and having been opened, there was indeed a lot of sticky rice, as big as a branch of manggris tree. All the people on the edge of the river, who came to see Tadény Ólé, had their fill of the food.
7. Orang-orang itu bertanya pada Tadèny Ólé, “Adakah yang kamu sukai?” “Ada,” jawabnya. “Masih adakah perempuan di pohon itu, di mana ada burung hinggap?” tanya orangorang itu padanya. “Ada… tapi tidak bisa diambil. Ada seorang perempuan cantik dan seekor burung yang hinggap di atas pohon kayu itu, pohon manggris,” jawabnya pada mereka.
7. The people asked Tadény Ólé, ‘Is there one whom you like?’ ‘There is,’ he answered. ‘Is there still a girl on the top of that tree, where the birds perch?’ they asked him. ‘There is…but she can’t be taken. There is a beautiful girl and a bird atop that tree, a manggris tree,’ he answered them.
8. Orang banyak itu kemudian berebut ingin pergi mengambil perempuan itu tanpa memberi kesempatan kepada Tadèny Ólé. Ketika salah satu dari mereka pergi ke tempat burung itu hinggap (untuk mengambil perempuan itu), ia mati terbunuh. Lalu pergilah yang satu lagi tapi ia pun terbunuh. “Sekarang giliran kamu!” kata orang-orang itu kepada Tadèny Ólé. Mereka ingin supaya Tadèny Ólé juga terbunuh.
8. Those people then fought to go and take the girl without giving Tadény Ólé a chance first. When one of them tried to take the girl atop the tree, he fell dead. Then another went to take the girl and he too fell dead. ‘Now it’s your turn!’ they said to Tadény Ólé. They wanted Tadény Ólé to be killed too.
65
9. Tè Tadèny Ólé laghet té... bangh étó taie abi sevi kep jé te… bangh étó ladónge le ngèny sevi kep jé, devó re deghi’ij letó mòej étó rè’è kè’ene tè ala di’i ghe tè letóe. Nè e ngkiny letó dé évó kenta té bangh dae kaó tepa’ uju re le bangen étó nè e ngkiny é’ó ke naèny tene letó dévó kè’ene. Nè é’ó abi nta ne té de có é’ó kacet, aza ncam isi é’ó tele kacet té. 10. Sóló zé nè é’ó tele uli kòma je bòse’ nè re. Mòne nè fedengh Bèla Kazèny té kè’en e meghalet bazengh kalóngh zé. Móngh azò kenè mabangh é’ó tele ke óle bèla zé ne, je alò é’ó tele kepek có afé té. Ó’ó lepó zée tè é’ó tele òmèny té, bangh étó azò kadu le mabangh é’ó tele té ala’ ngkangh sekek jela te azò dé té. “Nè am tele kenta, fevatè tele,” dae azò dé. “Nó’ adiengh é òmèny mi tele adiengh,” dae Tadèny Ólé. Bangh étó kadu re le té òbe’ matè zó je re lóle tavè te zó tè ala letó dévó re. 11. Nè Tadèny Ólé kenta té e mepengh-mepengh óle azò dé pó é’ó tè ngó’ó. Tè azó dé ngó’óe nè Tadèny Ólé uli ngkiny letó dévó.
66
9. Tadèny Ólé lalu memanjat pohon besar itu sampai ke tempat burung hinggap dengan burung itu... Di atas, ia duduk bersama dengan burung itu dan dua orang perempuan cantik jelita yang akan diambil dan dijadikan istrinya. Dan setelah itu ia membawa kedua perempuan cantik itu turun. Orang-orang pun bersoraksorai sambil bertepuk tangan karena Tadèny Ólé telah berhasil mengambil kedua perempuan itu. Sesampainya di bawah mereka diminta menari dan ketiganya menari dengan indah sekali.
9. Tadény Ólé then climbed that large tree to the place where the girl was. On top, he sat next to two girls, beautiful and lovely, whom he would take and make his wives. After that he carried the beautiful girls down. The peopled cheered and applauded because Tadény Ólé had succeeded in getting those two girls. When they got out of the tree, the three of them were asked to dance, and they danced gracefully.
10. Lalu mereka bertiga pulang ke rumah. Kala berhadapan dengan tebing Kazèny yang curam, ia menekuk parang berukir itu. Saat mereka berada di puncak tebing, musuh datang mengepung karena mereka bertiga membuat api. Sesudah itu, saat mereka bertiga makan, terlihat musuh yang mengepung mereka mengangkat tombak. “Turunlah kalian bertiga, kita berperang!” kata musuh itu. “Sebentar, kami bertiga sedang makan,” kata Tadèny Ólé. Rupanya banyak orang yang mau membunuhnya. Mereka iri pada dirinya yang berhasil mengambil dua perempuan cantik itu.
10. Then the three of them went home. When they were facing Kazèny the steep slope, he folded the carved machete again. When they were at the peak of the slope, enemies came and encircled them, because the three of them made a fire. After that, as they were eating, they say the enemies surrounded them and raised their spears. ‘The three of you must come down, we are going to fight!’ said their enemy. ‘In a moment, the three of us are eating now,’ said Tadény Ólé. Apparently, many people wanted to kill them. They were jealous of him for having gotten those beautiful girls.
11. Tadèny Ólé kemudian turun dan menebas habis leher orang-orang itu. Setelah semuanya mati Tadèny Ólé pun meneruskan perjalanan pulang ke rumah dengan membawa kedua perempuan itu.
11. Tadény Ólé then came down, and cut the necks of those people. After they were all dead, Tadény Ólé continued on his way home with the two girls.
67
12. “Énó nè Tadèny Ólé uli tene”, dae re badae me pé ale té. “A’eng ne de’ nè uli òbèny tè ala letó dé?” dae pé ale. “Ate’ lèny lé... é rae kaó lalu re,” dae re mezó. Je eng ne òbèny dae Tadèny Ólé té: “melaló tóngh kaze, melaló tóngh a’ek, melaló tóngh sulek, melaló móngh de móngh,” kónyó. Bangh dae lalu a’ek dé té je di’i fengelòè re beghò’è re ala óle kadu, é leto devó ngane té. “Ate’ lèny tene nè Tadèny Ólé mii, au ngevò e... é rae nè re nyengh tene,” dae re me pé ale. Tè pé ale eng có ta’a taleng té kè’en e pet fenya matóe, devó re buiny i’ek besó òmèny fenya matóe dé. Bangh dae tavó-tavó e le ngèny ne étó nè anake ngkiny letó devó re uli.
68
12. “Tadèny Ólé pulang!” kata seseorang memberitahu ibu Tadèny Ólé. “Mana ada orang yang bisa pulang kalau pergi mengambil perempuan di pohon itu?” jawab ibunya. “Ini betul… Itu suaranya sedang berteriak!” kata orang itu lagi kepada ibunya. Saat itu terdengar Tadèny Ólé sedang berkata, “Berteriaklah daun kayu... berteriaklah daun rumput… berteriaklah daun pakis... berteriaklah semuanya...” Kemudian berteriaklah semuanya karena, pada jaman dulu, kemenangan itu berarti membawa pulang banyak kepala musuh, apalagi jika turut juga dua perempuan cantik bersama dengannya. “Memang benar, sekarang Tadèny Ólé pulang, percayalah… Itu suaranya semakin dekat”, kata orang itu lagi kepada Ibunya. Pergilah Ibu Tadèny Ólé dengan mengenakan pakaian bagus. Ia membuang bersih belek matanya (karena selama ini menangisi Tadèny Ólé), dua ekor anak babi kenyang memakan belek mata itu, dan tertawa terbahak-bahak bersama orang-orang melihat anaknya pulang dengan membawa dua orang perempuan.
69
12. ‘Tadény Ólé has come home!’ someone told his mother. ‘How is it possible that someone who has gone to take a girl from that tree can come home?’ answered his mother. ‘It’s true… that’s his voice shouting!’ said the person to his mother. At that time, she heard Tadény Ólé saying, ‘Shout leaves… shout grass… shout ferns… everything shout!’ Then everything shouted, because, in the old days, bringing back the heads of many victims meant victory, especially if you brought two beautiful girls with you! ‘It’s really true, Tadény Ólé has come home, believe me… that’s his voice getting closer,’ said the person to his mother. Then Tadény Ólé’s mother went, wearing her best clothes. She cleaned the crust from her eyes (from crying), two piglets could be full eating that crust; and she laughed raucously with the other people seeing her son come home with two beautiful girls.
Fetó udij le Óma Lóngh Kirip Lidem
1. Eng ne étó fetó udij tó laghi ciny Lóngh Lò’è, Kirij, Lèdem, Lèèny, Ncó’, Jalóngh, Avengh, Fèèny, Afé, Éngèny, Jalóngh, Ncò. Pó téle ki tèsen. Ne ciny Óma Lóngh ne, lemó sui fulu seng tene, Kirit, Lèdem, Lèèny, Ncó’, Jalóngh, Avengh, Mpangh, Bavèny, Òdò, Dòngò, Alé, Anò, Ònya, Sè’ò. Dé étó tepeng le ciny Òma Lóngh méé. Be le ala e keve’ lemó fulu òmèny ne có ósó kelònèny, mase’ tè tene sui tuju ató òmèny éle ke Sa’èny te. 2. Eng ne de’ nè nkiny ne bòò beghò’ère ciny Èvèny te Temaviengh Ncó’ Òdò, Laiengh Bilóngh ngèny Ònya Sè’ò, é’ó tele de’ le tèsen dae teghene’ òbèny nè nkiny ne bòò. Eng ne Laiengh Bilóngh nyé zó kefala lepu re asa re nè ke Sa’èny ne, a’eng anake, bangh daònge le eng, Òdò Bilóngh ngadèny sadine ji’i de’ eng ana’ de. Ana’ Òdò Bilóngh nyé Aviengh Ncó’, Temaviengh Ncó’ Òdò e, ana’ Aviengh Ncó’ jé Avengh, té na e fasi tene. Te zi’i tè ate’ tepeng fu’eng éle de’ Ncò zé le. Móngh éle de’ ciny Lóngh Lò’è di. 70
Keturunan Kita Òma Lóngh
Our Òma Lóngh Lineage
Kirip Lidem
Kirip Lidem
1. Garis keturunan laki-laki dalam keluarga besar Lóngh Lò’è adalah Kirij, Lèdem, Lèèny, Ncó’, Jalóngh, Aveng, Lèèny, Afé, Èngèny, Jalóngh dan Ncò. Hanya sampai di sini saja yang saya ketahui. Sementara dalam keluarga besar Òma Lóngh garis keturunan laki-lakinya sudah lima belas generasi yaitu Kirij, Lèdem, Lèèny, Ncó’, Jalóngh, Aveng, Mpangh, Bavèny, Adò, Dòngò, Alé, Òsangh, Anò, Ònya dan Sè’ò. Mereka semua adalah nenek moyang kami, semua orang yang bersuku Òma Lóngh. Kalau dihitung, jika setiap orang berusia rata-rata lima puluh tahun maka sudah lebih dari tujuh ratus tahun kami hidup di Sa’an (Sa’èny).
1. The line of male descent in Lóngh Lò’è’s branch of the family is Kirij, Lèdem, Lèèny, Ncó’, Jalóngh, Aveng, Lèèny, Afé, Èngèny, Jalóngh and Ncò. I only know that much. But in the Òma Lóngh branch the line of male descent is already 15 generations, they are Kirij, Lèdem, Lèèny, Ncó’, Jalóngh, Aveng, Mpangh, Bavèny, Adò, Dòngò, Alé, Òsangh, Anò, Ònya and Sè’ò. They are all our ancestors, they are all from the Òma Lóngh clan. If you add it up, if each person lives an average of 50 years, then we have already been living in Sa’an (Sa’èny) for 700 years!
2. Adalah Temaviengh Ncó’ Òdò, La’iengh Bilóngh dan Ònya Sè’ò yang dulu membawa kami pindah dari Èvèny, sebagaimana cerita yang kita dengar. La’iengh Bilóngh adalah seorang kepala desa sewaktu masih tinggal di Sa’an. Ia sendiri tidak memiliki keturunan tetapi ia mempunyai satu keponakan dari Òdò Bilóngh, adiknya. Anak Òdò Bilóngh itu bernama Aviengh Ncó’ dan biasa dipanggil Temaviéngh Ncò’ Òdò. Selanjutnya Aviengh Ncó’ ini memiliki seorang anak bernama Aveng. Dan sejak Aveng inilah silsilah kita berkembang. Jadi, Ncò itu merupakan nenek buyut kami semua dari keluarga Lóngh Lò’è.
2. Temaviéngh Ncó’ Òdò, La’iengh Bilóngh and Ònya Sè’ò are the ones who moved us from Èvèny, at least that’s the story we’re told. La’iengh Bilóngh was the village chief when we still lived in Èvèny. He himself didn’t have any offspring, but he had a nephew from his younger brother Òdò Bilóngh. Òdò Bilóngh’s son was named Aviengh Ncó’ but he was usually called Temaviéngh Ncò’ Òdò. And then this Aviengh Ncó’ had a son named Aveng. And since Aveng, our family tree has grown. So, Ncò is our great grandparent, for everyone in the Lóngh Lò’è branch.
71
3. Tó’ bangh matè Apèny Nòèny lèny tèsen. Ó’ó lepó i’i, Ncò Asangh, Asangh Lavèj, Lavèj Bóró. “Di étó éle ciny Lóngh Lò’è móngh ti mii, dae Fè’èj Bóró.” “Neghene’ ki kuva’an mè’è re,” keci me Arèny. Je póne, “ki feghéé’ òzane kòma te,” kónyó. “A’eng téfó tò i’i, ngèny ta’eng étó dughu keci, tè fesij-fesij te nè kenta be ki òzèny ku étó sa’óngh mè’è re ti’i, méé étó belérenge, òzèny ngadèny éle fevadi ke ghuluke ghé te. Ciny di’i te taie fasi.” 4. “A’eng étó dughue ce’ nkine te fetó udij Ózóngh Liny ke razó, zó òbèny có’ aghi òzane. Nyatèny ènem be kadu nè-nè seng-seng re tene. Be ngetó’ aeng matè Fè’èj Afé re, énó sangèny te étó sa’óngh dé be ki ghèmet étó éle. Bange lèny étó éle ciny matè Avengh di tene.” 5. Engne étó fetó’ udij kelònèny kuva’an isi tè fasi agha re. Có le fu’eng agha rè’è tè fasi étó, bezu étó tè fasi rè’è benè ngagha, méé gheti te sazu isi kelònèny, je feciny laghi ate’ de nyemate’. Engne ciny letó méé a’engne nyemate te ri’i, je ciny laghi ate’ de fetó’. Amó cinné éle fetó’ laghi, ciny Afé Avengh.
72
3. Hanya almarhum Apèny Noèny saja yang tahu, selain Ncò Asangh, Asangh Lavèj dan Lavèj Bóró. Demikianlah silsilah kita dari keluarga Lóngh Lò’è. “Kita semua yang ada disini dari Lóngh Lò’è,” kata Fè’èj Bóró. “Saya akan menceritakan yang dulu,” kata saya kepada Arèny, Tetapi ia berkata, “Saya sudah mencoba membuatnya di rumah, sehari saja tidak cukup. Lagi pula ruangnya sudah tidak ada, karena semakin ke bawah semakin sempit. Saya membuatnya seperti topi caping (sa’óngh), membundar seperti itu, dan saya menulis semua nama kita bersaudara di ujung kerucutnya. Dari situ nanti menyebar ke bawah.”
3. Only Apèny Noèny, rest his soul, knew this, other than Ncò Asangh, Asangh Lavèj and Lavèj Bóró. That’s our family tree in the Lóngh Lò’è branch. ‘We are all from Lóngh Lò’è,’ said Fè’èj Bóró. ‘I’m going to tell first,’ I said to Arèny. He said, ‘I already tried to do it at home, a full day wasn’t enough. And there’s no more space, because the further down the bottom (we write) the tighter it gets. I made it like a farmer’s caping hat (sa’óngh), round like this, and I wrote all the names of our relatives, all the way to the tip of the paper. From there it spreads out to the bottom.’
4. “Walau ruangnya sudah tidak ada, tetapi tetap saja dibawa oleh Ózóngh Liny ke hulu. Ia yang menyuruh saya membuatnya. Tetapi kita tidak mungkin sanggup membuatnya karena keturunannya sudah berjumlah banyak sekali. Keturunan dari almarhum Fè’èj Afé saja, kelihatannya sudah memenuhi seluruh bagian caping itu. Jadi, ternyata memang keturunan dari almarhum Avengh sudah demikian banyak.”
4. ‘Although there wasn’t enough space, I was still carried upstream by Ózóngh Liny. He ordered me to do it. But we couldn’t possibly do it, because we have so many ancestors. The lineage from Fè’èj Afé, deceased, alone, seems to fill up the whole caping. So, it turns out there are already a lot of descendants from Avengh, deceased.’
5. Garis keturunan manusia itu ibarat akar. Pokoknya hanya satu tetapi akarnya banyak. Dalam silsilah, biasanya yang diingat hanya garis keturunan laki-laki saja. Tidak demikian halnya dengan garis keturunan perempuan, mereka selalu dilupakan. Dari silsilah itu kami berasal dari garis keturunan Afé Avengh.
5. A family line is like a root. Essentially there’s just one, though there are many roots. In a family tree, normally only the male line is remembered. It’s not the same with the female line, which is always forgotten. From that family tree, we descend from Afé Avengh.
73
6. Engne ciny Arèny Aveng letó aunne, Ba’eng Arèny aeng le, engne ciny matè tòbangh Laiengh, Òrè Laiengh aeng éle re, engne ciny matè Fè’èj Afé, Nyavè Afé aeng le. Ti’i-ti’ éle rae édé ba’ale be le na’at dae. Móne le hèmet lene, tó a’eng fóbó tèsen len le nyemate’ dae édé. Ba’eng Arèny aeng éle re, avè kòme’ móne le ncam le nyòrèj. 7. Engne aeng Feléa re Lè’èny Arèny aeng dó re. Ana’ Lè’èny Arèny nyé matè Sangh Jalóngh ne de’ peng Lèa re. Je móne le na’at isi édé méé, ana’ de’ Lapangh jè’è matèèen mi. Lapangh ngadèny ana’ aeng matè Fè’èj Ba’eng Arèny, nè se ghata ami. Engne kata tepeng aeng Felèa re, bangh nyó le tè Òdò ngadèny ba’ale, Bale Òdò. 8. Énó de’ sate’ lete bò’ère, Òdò Arèny, bangh matè peng kam le de’ Bale Òdò. Engne de’ sadiny, bangh Kajèny le tè éfó ri’i, Lèèny Kajèny, Ncèny Kajèny, Ladèny Kajèny étó éfó de’ baza, je Òdò òbèny ngadane tasa zé re afane ji’i tè éfó ngadane. Kuva’an tó’ó Sima dè’è re fe Ncò Laiengh, Ngò Laiengh, Lèvè Laiengh, Nyibóngh Laiengh, Libij Lévangh, Asóngh Levangh, Levangh rae tè baza tè salé ngadèny ne. Ne ki’i ne tè ngadèny, mi’i ne tè salé tè éfó ngadèny ne.
74
6. Sementara garis keturunan perempuan dari Arèny Aveng dalam silsilah kita adalah Ba’eng Arèny, dari almarhum Tòbangh La’iéngh adalah Orè La’iengh dan dari almarhum Fè’èj Afé adalah Nyavè Afé. Hanya itu saja yang kita dengar dan rasanya memang sulit untuk mengingat semua garis keturunan itu. Seandainya kita bisa menuliskannya, kita mulai dengan Ba’eng Arèny.
6. The female line of decent from Afé Aveng in our family tree is Ba’eng Arèny; from Tòbangh La’iengh, deceased, is Òrè La’iengh; and from Fè’èj Afé, deceased, is Nyavè Afé. That’s all I ever heard, and it’s really hard to remember that much. Supposing we had to write it, we could start with Ba’eng Arèny.
7. Dari garis keturunan Felèa, buyutnya bernama Lèèny Arèny. Anak Lèèny Arèny adalah almarhum Sangh Jalóngh, kakek Felèa. Dari garis keturunan Felèa, buyutnya bernama Lèèny Arèny. Anak Lèèny Arèny adalah almarhum Sangh Jalóngh, kakek Felèa. Sementara itu, anaknya Lapangh adalah almarhum Ibu saya. Lapangh sendiri adalah anak almarhum Fè’èj Ba’eng Arèny, nenek buyut kami. Kalau dari keturunan kakek buyut Felèa satu-satunya yang bernama Òdò, yang ada hanyalah Bale Òdò.
7. From the line of Felèa, his greatgrandfather was named Lèèny Arèny. Lèèny Arèny’s child was Sangh Jalóngh, deceased, the grandfather of Felèa. From the line of Felèa, his great-grandfather was named Lèèny Arèny. Lèèny Arèny’s child was Sangh Jalóngh, deceased, the grandfather of Felèa. Lapangh’s child was my mother, deceased. Actually Lapangh was the child of the deceased Fè’èj Ba’eng Arèny, my great-grandmother. From Felèa’s ancestors, only one was called Òdò, Bale Òdò. 8. There is also a line that was cut off, Òdò Arèny’s line, whose last descendant was Balé Òdò, deceased, Felèa’a grandfather. While the last line of Balé Òdò’s younger brother used the last name Kajèny, they were Lèèny Kajèny, Ncèny Kajèny, and Ladèny Kajèny. Because they were called Òdò at that time, they changed their last name to Òdò. The same thing happened with Sima’s ancestors: Ncò La’iengh, Ngò La’iengh, Lèvè La’iengh, Nyébóngh La’iengh, Libij Levangh and Asóngh Levangh. In the end they changed their last name to Levangh, according to how they were called at that time.
8. Ada pula silsilah yang terputus yaitu keturunan Òdò Arèny yang keturunan terakhirnya adalah almarhum Balé Òdò, kakek Felèa. Sedangkan keturunan terakhir adiknya Balé Òdò memakai nama akhir Kajèny yaitu Lèèny Kajèny, Ncèny Kajèny dan Ladèny Kajèny. Karena nama panggilannya pada waktu itu adalah Òdò maka bagian akhir namanya diganti Òdò. Begitu halnya dengan orang tuanya Sima yaitu Ncò La’ieng, Ngò La’ieng, Lèvè La’ieng, Nyébóngh La’ieng, Libij Levang dan Asóngh Levang. Pada akhirnya mereka mengubah bagian akhir namanya menjadi Levang disesuaikan dengan nama panggilannya saat itu.
75
9. Tó ku rae tengen te aneng tó’ó mpi Felèa zè’è. Afane é’ó fezéj dae te matèéen aeng mantri Ngangh mè’è re, “tangen ku nè kata ami be tengen te aeng ku tó’ó” dae é’ó me zó jere’ jó. Tó lèny le mó’ó tavè e rae ceng ana’ laghie dé te zó. Kuva’an Jalóngh Ngò re, móngh de’ sadiny, Afé kó’ó tè éfó ngadèny di’i. Có sui fulu é’ó fevadi, matè Ózóngh Sui, sui é’ó fulu. 10. Aeng Abeng fe ate’ baza, matè Fè’èj Nyavè. Móne ki ghèmet dae matè Savangh Ajangh óé, se mi tene rae Òzò Kólé banyó. Èngèny Afé aeng dó re, Nyavè Afé aeng Abeng ne, ngana’ de’ Nyavè Afé zé, seghata matèamen Abeng, ngana’ de’ Engèny Afé zé Ngò Engèny, ana’ de’ Ngò zé matè Ló’óngh Febiengh. 11. Ki ngana’ Ló’óng Lòsèj be ki nédó zó je fevadi mévó Ló’óng Lòsèj je navè Levé La’iengh aune zè’è. A’eng keve’ étó òbèny nè tó’ udij le, avè ne Fè’èj Èrangh de mii rae: “fèce’ étó di be ki ghèmet étó, méé ghèmet dae-dae re òbèny serengèny udij,” kónyó.
76
9. Pernah suatu hari, dengan berlagak seperti orang lain, pamannya Felèa itu mencandai almarhum ibunya mantri Ngangh, “Kenapa kamu sering datang ke sini, kan orangtuamu lain?” Ia sedih mendengar apa yang dikatakan oleh saudara laki-lakinya itu. Demikian halnya dalam keluarga Jalóngh Ngò, semua adik-adiknya juga memakai nama Afé pada akhir nama mereka sesuai panggilan terakhir nama orang tua mereka yang berubah menjadi Afé. Mereka semua sebelas bersaudara dan almarhum Ózóngh Sui adalah yang terakhir.
9. One day, pretending to be like other people, Felèa’s uncle was joking with the deceased mother of mantri (medical aide) Ngangh, ‘Why do you come here so often, these aren’t your parents?’ She was sad to hear what her relative said. The same thing happened with Jalóngh Ngò’s family, all of the younger brothers used Afé as their last name, according to the last name of their father which was changed to Afé. There were eleven brothers and, Ózóngh Sui, deceased, was the last one.
10. Keluarga Abeng merupakan keturunan terakhir dari almarhum Fè’èj Nyavè. Menurut penuturan almarhum Savang Ajang, Òzò Kólè termasuk salah satu cucu kami (Kólingh). Mereka adalah keturunan Engèny Afé, sementara kita adalah keturunan Nyavè Afé. Anak Nyavè Afé itulah yang ada dalam garis keturunan almarhum ayah kami. Anak Èngèny Afé itu bernama Ngò Èngény dan anak Ngò Èngény adalah almarhun Ló’óngh Febiengh.
10. Abeng’s family is the last line from Fè’èj Nyavè, deceased. According to what Savangh Ajangh, deceased. has said, Òzò Kólè is one of our grandchildren (Kólingh). They are descendants of Engèny Afé, while we’re descendants of Nyavè Afé. Nyavè Afé’s child is part of our father’s lineage. Èngèny Afé’s child is Ngò Èngèny, and Ngò Èngèny’s child is Ló’óngh Febiengh.
11. Jadi, saya memanggil ‘anak’ kepada Ló’óngh Lòsèj kalau saya nanti meratapinya. Akan tetapi, di pihak lain, saya juga masih bersaudara dengan Ló’óngh Lòsèj karena Lèvè La’iengh ada di pihaknya. Rupanya memang tingkat keturunan kita itu tidak sejajar. Makanya almarhum Fè’èj Èrang pernah katakan, “Saya pikir, sialan betul orang-orang yang lebih tua tingkatnya karena mereka harus hidup bersama dengan yang lebih muda.”
11. So, I will call Ló’óngh Lòsèj ‘son’ if I ever had to mourn him. However, on the other hand, I’m still the same generation as Ló’óngh Lòsèj because Lèvè La’iengh is of that line. It seems that our lines are not really that even. That’s why Fè’èj Èrangh once said, ‘I think it’s really unfortunate for people who are older, because they have to live in the same generation with those who are younger.’
77
12. “Eng ne òbèny ana’ adiengh mòèj nè ri’i” keci. “Móne be é’ó òbèny letó sakij é’ó ngana’ fé, mò be laghi ró’é òbèny re ngana.” 13. Eng ne étó òbèny mi ke lefu’eng ke i’ek sòngaie te, métó malèj fenata mi’i le mi, énó lefe òbèny lòbangh ne mekate. Feghèmet isi de’ bò’è ne le, a’eng tèsen te mpi le éle òbèny tepeng le ala fenèsen métó malèj. Ncam òbèny é’ó métó tó’ ti’i eng, a’eng é’ó mòrèj òbèny tè mekèj ciny besé, tó’ tòbèny eng rughu é’ó mekèj. Eng ne étó òbèny dughu tè re métó édé méé ce. 14. Énó ke Lóngh Kuseng kè’è, sòngè Tanem I’ek ngèny Kafèny I’ek, mi’i te étó òbèny fevetó’ lòbangh di’i. Móne tè sangèny có abek bane, kadu tene malèj de òzèny ti’i. Eng ne rae de’ bò’ère feghatae: “tè bezu ló’óngh bònyò aló’ mè’è tene tè malèj méé.” Méé rae de’ bò’ére fata, “be tè sangèny có abek ngèny be tè ku bezu ló’óngh bònyò aló’ de.”
78
12. Lalu saya berkata,”Kalau orang itu melahirkan lebih dulu, cepat juga mereka tumbuh dewasa apalagi kalau yang dilahirkan itu anak perempuan maka akan cepat juga punya anak. Berbeda jika anak laki-laki maka akan lambat punya anak.”
12. Then I said, ‘If those people give birth first, they grow up really fast, especially if they’re girls, because then they will have children really quickly. It’s different with boys, who take longer to have children.
13. Mata pencaharian kami dulu saat masih mendiami bagian paling hulu sungai adalah mencari besi dan sampai sekarang di sana masih terdapat banyak lubang bekas penggalian. Kalau kita memperhatikan kehidupan orang-orang jaman dulu, sulit kita mengetahui darimana asalnya pengetahuan nenek moyang untuk mencari besi. Bahkan mereka tahu persis di mana lokasi yang ada besinya, tidak sembarangan menggali dan hanya menggali di lokasi yang pasti ada besinya.
13. Our livelihood, when we still lived far upriver, was looking for iron, and even until now there are a lot of dug out holes there. If we look at how people used to live, it’s hard to understand how our ancestors knew how to look for iron. In fact, they knew exactly where to look for iron, they didn’t just dig up anywhere randomly, but they knew the exact locations.
14. Lokasi untuk mencari besi itu adalah di daratan Lóngh Kuseng, sungai Tanem I’ek dan di Kafan I’ek. Lubang-lubang bekas galian itu saling menyambung. Menurut mereka, kalau sudah penuh satu bakul maka akan banyak alat yang bisa dibuat. Perumpamaan yang sering mereka pakai adalah ‘besinya sebesar buah jeruk bali’. Mereka mencontohkannya dengan berkata, “Kalau sudah penuh satu bakul maka besi yang didapat akan sebesar buah jeruk bali.”
14. The place to find iron was in Lóngh Kuseng, in Tanem I’ek and Kafan I’ek rivers. The old dug out holes all connect. According to them if you fill one rice container, then you can make a lot of tools. The example, they frequently use is ‘iron as big as a pomelo’. They make an example saying, ‘If a rice container is already full, then we can get iron as big as a pomelo.’
79
15. Énó batangh felè re bò’ère, móne re mepi édé kadu tene tè bazengh tenòzèny ti’i mèny asè. Ji’i de’ kene la’a dé, de’ re a’eng le fe masi. La’a bane bemii. Bemii bemae tè re mepóngh la’a. Di’i ne ncam-ncam ngasè, ri’i tè mepóngh me re. Móna étó òbèny tè sabangh asè ti’i. Móne be netò a’eng terane’ étóe je bala re. Felafó tè’a te ne kuva’an bemii re je mèny mesiny le re. 16. Òzèny ne tane’ dé radu le dughu re fenyéfé, pa le bezu je sé tè tète’ malèj de’ re felòdò zé ti’i, faghiengh tene ke nené bemii. Daam kóden tane’ dè’è é’ó nanem lé tè tète’ ke ti’i, tè ne senginy zé re mekate. De nguek kóden tane’ jé, ala malèj jé raame. Ji’i tene òzèny dughu re felòdò. 17. Tè’a azu ne òzèny sengò laminy ku isi le òzèny kòden tane’ dè’è Sa’èny te bò’ère, be feghèmet kòden tane’ de’ a’eng fóbó tè mófó’ le. Ti’i ne òbèny lefu’eng le, ki’i te tòngep dè’è. Feghèmet isi é’ó òzèny laminy bate dé kuseng te faghiengh isi-isi re òzane. Je fedé eng lòèny, tè re nyangèny lòane zé. Lòane zé re mesò, a’eng re mesò semén dé ti’i. Masó madiengh méé-méé isi é’ó ngelòèny dughu dé.
80
15. Ada juga batang besi. Orang-orang dulu memotongnya dengan kampak untuk membuat banyak parang, mereka bilang bahwa saat inipun masih banyak yang belum dikeluarkan. Saat itu, untuk memotong besi biasanya dilakukan pada malam hari karena goresan bekas kampaknya (percikan api) kelihatan, sebaliknya kalau dilakukan pada siang hari goresannya tidak terlalu kelihatan merahnya. Sekarang ini, keadaannya sudah lebih baik karena orang-orang sudah menggunakan mesin (untuk memotong).
15. There are also iron bars. People used to cut them with axes to make a lot of machetes, they say that even now there’s a lot that hasn’t been taken out. In those days, they cut the iron at night, because the marks from the axe were visible, as opposed to daytime, when the marks didn’t appear too red. Now, things are a lot better, because people use machines (to cut iron).
16. Mereka kemudian membuat cetakan memanjang di tanah untuk memipihkan besinya dengan mulut cetakan yang besar. Di sana besinya dilelehkan dan lalu diteteskan dalam periuk tanah yang mereka tanam. Besi yang sudah mencair itu menetes sendiri ke dalamnya dan kalau sudah dingin periuk tanahnya dipecahkan dan besinya diambil. Begitulah tempat orang melelehkan besinya.
16. They then made molds stretching along the ground to flatten the iron, with a large mold opening so that later it would be easy to work the iron. There, the iron was melted and dripped into a clay pot which was then buried. The melted iron dripped by itself inside and when it cooled it was dug up again. The clay pot was then broken and the iron taken out. That was the place people melted iron.
17. Mungkin bagus kalau membuat atap rumah seperti orang di Sa’an dulu membuat periuk dari tanah karena periuk seperti itu tidak pernah rusak. Di mana ada bekas kampung orang dulu maka di situ kita akan menemukan periuk tanah yang terbalik, milik orang. Jika kita menyaksikan orang-orang membuat rumah beton di darat, terlihat gampang membuatnya karena mereka juga menggunakan cetakan. Setelah diisi penuh, cetakan itu lalu diangkat dan tinggallah semen yang sudah terbentuk itu. Kemudian cetakannya dipindahkan lagi, begitulah cara mereka membuat beton dengan cetakan.
17. Maybe it would be good to make our roofs like people in Sa’an used to make pots from clay, because those pots never broke. Wherever there are old village remains, we find overturned clay pots that people used to use. If we see someone making a concrete house on the land, it seems easy because they use a mold too. After being filled in, the mold was then lifted and all that remained was the molded concrete. Afterward, the mold was moved again, that’s how they make cement with a mold.
81
18. Móne òzèny kòden tane’, ncam le òzèny sengò ti’i de’ rè’è be eng lòane le na bezu le bate òzèny sengò ke Sa’èny te. Tane’ kuviny re tè raò ladé, de meteng, tè ne manyengh le nakè édé. De tè ngenyatengh, jé re òme’ nakè zé. Ésé ngèny ngadèny Òma Lóngh 19. Kadu ali le ésé éle Òma Lóngh di de’ tè salé rae, énó fe de’ tè keve’ dae kuva’an be le kòme’ ‘mepa’ acune: Mepa zé rae le kòme’ mepa bulu Mepa bavangh dae le tè ala ata’ te bavangh Mepa babé rae le te babé de’ a’eng matè òbèny ne nyelapangh. Kuva’an be le kòme’ ‘mesi’ re: Mesi raam lanyèj jé rae le be le tè de tè raam lanyèj Mesi ata’ dae le be le tè ala ata’ mèny fesi fé Méé gheti te be le kòme’ ‘mesengh’ : Mesengh aó zé rae le ghe mekep pa aó mèny có sengh Mesengh nyó rae le be le mesengh có kelònèny Kadu ésé-ésé de’ tè fegheve’ dae je tengen te isi jagèny ne ti’i. Eng ne ésé zi re mèny ba’an dae de’ mugheng aeng Òma Ódóngh ésé zi.
82
18. Begitu pula caranya kalau membuat periuk tanah, bahkan kita pun bisa membuat atap dengan menggunakan cetakan. Di Saèny untuk membuat atap cetakannya dibuat lebar, tanah liat dicampur dengan ladè dan ditumbuk sampai keras, lalu kemudian dijadikan nakè. Nakè itu berarti mencampur tanah liat itu dengan damar.
18. That’s also the way to make clay pots, we can even make roofs using molds. In Saèny, to make a roof we use a wide mold; clay is mixed with ladè which is pounded until it’s hard, then it’s nakè, which means to mix clay with resin.
Bahasa dan nama-nama Òma Lóngh
Words and names in Òma Lóngh
19. Banyak sekali kata dalam Bahasa Òma Lóngh yang mengalami perubahan. Ada pula kata-kata yang sama namun artinya berbeda seperti dibawah ini: mepa: Mepa bulu dipakai kalau memecahkan bambu. Mepa bavangh diapakai kalau menguras air kolam untuk menangkap ikan. Mepa babé dipakai kalau mencari jejak babi yang belum mati setelah terkena tembakan. mesi: Mesi raam lanyèj dipakai kalau mengisi tas anyaman dengan sesuatu. Mesi ata dipakai kalau memancing ikan. mesengh: Mesengh aó zé dipakai kalau menutup tabung bambu. Mesengh nyó dipakai kalau mengikat seseorang. Jadi, banyak sekali kata yang sama tapi cara pemakaiannya berbeda-beda. Dan menurut orang tua, bahasa kita ini adalah bahasa Òma Ódóngh.
19. There are a lot of words in Òma Lóngh which have changed. There are also words which are the same, but the meaning has changed, as below: mepa: mepa bulu is used to split bamboo mepa bavangh is used to drain water from a pond to catch fish mepa babé is used to follow the trail of a pig that had been shot but not yet died. mesi: mesi raam lanyèj is used to fill a weaved bag with something mesi ata’ is used to fish mesengh: mesengh aó zé is used to close a bamboo container mesengh nyó is used to tie someone So there are a lot of words which are the same, though the usage differs. And according to the old folks, our language now is called Òma Ódòngh.
83
20. Je kuva’an dae é’ó de’ mugheng kune, énó pèj na’èny ne Òma Lóngh di de’ tè fetavó’ é Lóngh Lò’è, é Òma Ódóngh, é Òma Lóngh, ngèny Òma Taghóngh. Dé étó re òbèny tè tafó’. 21. Eng ne le de’ fetó’ laghi ciny Òma Lóngh é’ó Apèny Kajèny re tè Bate Kajangh, je ghéte sate’ isi é’ó Òma Lóngh dé méé. Eng ne Òma Ódóngh bange ri’i, mi’i te Lóngh Lò’é bange te ri’i, é’ó tene ate’ mii. 22. Eng ne fetó’ laghi ciny Òma Taghóng, Mpé Kariny ne dé, keri’ek tene é’ó. Eng ne isi bevèj-bevèj é’ó de ciny Òma Ódóngh dé, tè’a feghacò é’ó, bangh nyughi é’ó feghapa le re ngèny a’eng fóbó le é’ó tè tó’ó lepu me re. Kuva’an Mava Ihin, Ózòngh Ncò, Fè’èj La’iengh ne de’ ate’ fetó laghi ciny Òma Ódóngh jé. 23. Be ciny Lóngh Lò’è ne kuva’an Òzò Kólé, Mpé Lavèny, matè Savangh Ajangh, matè Fè’èj Lòsèj, matè Ló’óngh Òdò, matè Fè’èj Nempan Òdò, matè Sangh Jalóngh, mi’i te Tòbangh Èrangh, matè Fè’èj Lè’èny Arèny, matè Sangh Ató, matè Afé Avengh, matè Tòbangh Laiengh ngèny matè Alóngh Avengh, dé étó é’ó de’ fetó’ laghi méé. É’ó de’ ciny Lóngh Lò’è dé mèny lepu me re.
84
20. Sebagaimana dikatakan oleh para orang tua bahwa terdapat empat suku yang tergabung dalam Òma Lóngh yaitu Lóngh Lò’è, Òma Odóngh, Òma Lóngh dan Òma Taghóngh. Suku-suku ini bergabung menjadi satu.
20. The old folks also say that there are four clans which make up Òma Lóngh, which are Lóngh Lò’è, Òma Odóngh, Òma Lóngh and Òma Taghóngh. These clans join together as one.
21. Garis keturunan laki-laki dari Òma Lóngh adalah Apèny Kajèny yang tinggal di Batu Kajang. Tetapi garis keturunan ini kemudian terputus. Sementara itu, Òma Ódóngh memiliki banyak keturunan laki-laki. Begitu pula Lóngh Lò’è, bahkan sekarang ini Lóngh Lò’è memiliki keturunan yang paling banyak.
21. The male line of decent in Òma Lóngh is Apèny Kajèny, who lives in Batu Kajangh. But this line eventually stopped. However, Òma Ódóngh has a long line of male decent. So does Lóngh Lò’è, in fact Lóngh Lò’è has the largest number.
22. Selanjutnya, keturunan laki-laki dari Òma Taghóngh adalah Mpé Kariny dan sekarang jumlah mereka tinggal sedikit. Mereka memiliki sifat senang dipuji, orangorang sering mengejeknya sebagai orang bodoh dan tidak ada satu pun dari mereka yang menjadi kepala desa. Sedangkan keturunan Òma Òdóngh adalah Mava Ihin, Òzóngh Ncò, Fè’èj La’iengh.
22. To continue, the male line from Òma Taghóngh is Mpé Kariny and now there aren’t many left. They are people who like to be praised, people always think of them as really stupid and there’s not one of them who can be the village chief. And the male line in Òma Òdóngh is Mava Ihin, Òzóngh Ncò, Fè’èj La’iengh.
23. Lalu keturunan dari Lóngh Lò’è adalah Òzò Kólé, Mpé Lavèny, almarhum Savangh Ajangh, almarhum Fè’èj Lòsèj, almarhum Ló’óngh Òdò, almarhum Fè’èj Nempan Òdò, almarhum Sangh Jalóngh, almarhum Tòbangh Èrangh, almarhum Fè’èj Lèèny Arèny, almarhum Sangh Ató, almarhum Afé Avengh, almarhum Tòbangh La’iengh dan almarhum Tòbang Alóngh Avengh. Mereka semua adalah keturunan laki-laki dari Lóngh Lò’è yang pernah menjadi kepala desa.
23. The line from Lóngh Lò’è is Òzò Kólé, Mpé Lavèny, the deceased Savangh Ajangh, the deceased Fè’èj Lòsèj, the deceased Ló’óngh Òdò, the deceased Fè’èj Nempan Òdò, the deceased Sangh Jalóngh, the deceased Tòbangh Èrangh, the deceased Fè’èj Lèèny Arèny, the deceased Sangh Ató, the deceased Afé Avengh, the deceased Tòbangh La’iengh and the deceased Tòbang Alóngh Avengh. Those are all the males from Lóngh Lò’è who have been village chiefs.
85
24. Be le òbe’ tèsen étó nè tó’ tó udij dé, aeng matè Fè’èj Ncó’ ate’ teme’ étó òbèny nyòrate móngh, énó aeng Òma Lóngh, énó aeng Lóngh Lò’è, énó aeng Òma Ódóngh ngèny énó aeng Òma Taghóngh. Je Òzò Juni sazu ne feraie. 25. Né re fetafó’ móngh tene méé, nè feghelet tene ke Sa’èny ne. Adiengh òbèny nè Lóngh Lò’è ngèny Òma Ódóngh, baza né éle Òma Lóngh ngèny Òma Taghóngh. Eng ne òbèny lefu’eng aeng Lóngh Lò’è tadiengh-tadiengh tèsen lefu’eng dó lepò nau jè’è de’ I’ek Aó, énó bavangh ne te I’ek Felunu’ de’ mè’è. 26. Nè re la’ ciny lefu’eng aó né ke Lefu’eng Afò, né re la’ ciny Lefu’eng Afò né ke Lefu’eng Ta’i, có jagha zè’è de’ Lefu’eng Ta’i. Né re la’ ciny Lefu’eng Ta’i tè ke Avangh Bezu. Nè re la’ ciny Avangh Bezu, bangh Apèny Lempu é’ó fana’ le la’a re tè kela’. 27. Òma Lóngh dae kempezu ngadèny éle kè’en ne be fetafó’ te ne re bemii. Tè le eng ngadèny te Òma Lóngh je Fè’èj Afé nè ngébèny Mpangh Bavèny, afane dé tè re ketemóngh bò’ère. 28. Eng ne rae kelazèny éle te ja’at ngadèny di fe, énó rae tè nafij ngadèny le kuva’an be ana’ adiengh ne tè ta’eng “ózóngh” tè nafij ngadèny aeng pé laghi ngèny pé letó ana’ de’ tè ta’eng jé.
86
24. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai silsilah ini, Fè’èj Ncó’pernah menulisnya secara lengkap yaitu Òma Lóngh, Lòngh Lò’è, Òma Ódóngh dan Òma Taghóngh. Kemungkinan tulisan itu masih disimpan oleh Ozò Juni. 25. Kemudian, sekarang semuanya berkumpul kembali di Sa’an. Mereka yang pindah lebih dulu ke Sa’an adalah Lóngh Lò’è dan Òma Ódóngh, kemudian disusul oleh Òma Lóngh dan Òma Taghóngh. Bekas kampung Lóngh Lò’è yang pertama berada di Lepò Nau, di I’ek Aó, dan sawah mereka terletak di I’ek Felunu’.
24. So we could better understand this family tree, Fè’èj Ncó once wrote down the whole thing, Òma Lóngh, Lòngh Lò’è, Òma Ódóngh and Òma Taghóngh. This might still be kept by Òzò Juni.
26. Kemudian orang-orang pindah dari Lefu’eng Aó ke Lefu’eng Afò, dari Lefu’eng Afò ke Lefu’eng Ta’i. Lefu’eng Ta’i adalah sebuah tempat yang dianggap keramat. Dari Lefu’eng Ta’i pindah ke Avangh Bezu dan dari sana mereka kemudian pindah lagi kecuali Apèny Lempu sekeluarga yang tetap memilih tinggal di Avangh Bezu.
26. Then people moved from Lefu’eng Aó to Lefu’eng Afò, from Lefu’eng Afò to Lefu’eng Ta’i. Lefu’eng Ta’i is thought to be a sacred place. From Lefu’eng Ta’i they moved to Avangh Bezu and from there they moved again, except for Apèny Lempu and his family, who chose to stay in Avangh Bezu.
27. Pada umumnya orang-orang luar lebih mengenal kita dengan sebutan Òma Lóngh karena kita semua sudah bercampur jadi satu. Dinamakan Òma Lóngh karena dulu Fè’èj Afé dari Lóngh Lò’è pergi melamar Mpangh Bavèny yang berasal dari suku Òma Lóngh, dan sejak itu kita mulai bergabung dan bercampur dengan suku lain.
2 7 . In general, outsiders know us as Òma Lóngh, because we’ve already mixed and become one here. We were called Òma Lóngh because Fè’èj Afé from Lóngh Lò’è once proposed to Mpangh Bavèny who was from the Òma Lóngh clan, and since then, we began to join and mix with other groups.
28. Kita memiliki suatu kebiasaan untuk memberikan nama panggilan pada mereka yang berduka misalnya jika ada seorang anak sulung meninggal dunia maka nama ózóngh disandingkan pada nama kedua orang tuanya.
28. We have a custom for giving names to those who have suffered, for example, if an eldest child has passed away then he is called ózóngh and that name is also added beside the name of both of his parents.
87
25. Afterward, everyone had gathered again in Sa’an. Those who moved to Sa’an first were Lóngh Lò’è and Òma Ódóngh, they were followed by Òma Lóngh and Òma Taghóngh. The old village of Lóngh Lò’è was first in Lepò Nau, in I’ek Aó, and their rice fields were in I’ek Felunu’.
29. Móne ana’ de tè ta’eng ó’ó lepó zé de’ fengerevó, fengetele, fengepèj be ji’i le fe tè ta’eng, “mpé” tè nafij ngadèny aeng pé “laghi” ngèny “buzu” aeng pé “letó” ana’ de’ tè ta’eng jé. 30. Móne ana’ de’ fengetele tè ta’eng, tè nafij ngadèny ne “savangh” tè nafij ngadèny aeng pé laghi ngèny pé letó ana’ de’ tè ta’eng jé. Móne ne ana’ de’ fengepèj tè ta’eng, tè nafij ngadèny ne “luek” tè nafij ngadèny aeng pé laghi ngèny pé letó ana’ de’ tè ta’eng jé. 31. Móne be ana’ de’ fengelemó tè ta’eng, “sangh” tè nafij ngadèny aeng pé laghi ngèny pé letó ana’ de’ tè ta’eng jé. Méé étó ta’e be tè ta’eng ana’ de la’a, tè ngelèvet ciny “mpé” te la’a je re nafij “lèvet” ti’i e kuva’an “mpé lèvet”, “savangh lèvet”, “luek lèvet” ngèny “sangh lèvet” de. 32. Énó tè abó-abó ngadèny ja’at tó’ó dé me de’ ana’ fe. Ne “mpé” ngèny “buzu” ne tó’ó re, “jeleng” dae re keng ana’ laghi ngèny ana’ letó. Móne tó’ó re tè “luek”, “aniengh” dae re keng de’ ana’. Mòne tó’ó re “ózóngh” fe “tepen” dae re keng ana’ dó.
88
29. Jika yang meninggal adalah anak kedua, ketiga, keempat dan seterusnya maka ia dipanggil mpé. Mpé menjadi nama tambahan untuk ayah anak yang meninggal itu dan buzu untuk ibunya.
29. If the one who passes away is the second, third, fourth, etc. child, then they are called mpé. Mpé is also added to the name of the father of the child who passed away, and buzu to the mother.
30. Sementara itu, jika anak yang meninggal ada tiga orang maka nama savangh dipakaikan pada nama ayah-ibunya. Lalu, jika yang meninggal empat orang anak maka ayah-ibunya juga akan memakai nama luek menjadi bagian dari nama mereka.
30. However, if three children have passed away then the name savangh is used for the mother and father. And if four children have passed away then they are called luek and the mother and father use luek as part of their name.
31. Dan jika yang meninggal lima orang anak, nama sangh dipakai untuk bapak dan ibunya. Tetapi jika yang meninggal lebih dari lima orang anak maka panggilannya adalah mpé dan buzu yang ditambah dengan lèvet yaitu mpé lèvet dan buzu lèvet, serta sebutan savangh lèvet, luek lèvet, dan sangh lèvet nama panggilan berikutnya.
31. And if five children have passed away, then sangh is used for the mother and father. However, if more than five children have passed away, then mpé and buzu are used adding lèvet, so you get mpé lèvet and buzu lèvet, and the names savangh lèvet, luek lèvet, and sangh lèvet are the next names.
32. Sebaliknya, kami juga memiliki nama panggilan untuk anak-anak sesuai dengan gelar nama duka orang tua itu. Kalau mpé dan buzu orang tuanya, maka gelar duka untuk anaknya jeleng baik anak laki maupun anak perempuan. Kalau orang tuanya luek maka sebutan untuk anaknya aniengh. Kalau orang tuanya ózóngh maka sebutan untuk anaknya tepen baik perempuan maupun laki-laki.
32. On the other end, we also have names used for the children that match the titles for those parents who have suffered. If your parents are mpé and buzu, then the necronym for the children is jeleng, for both girls and boys. If your parents are luek then the name for the children is aniengh. If your parents are ózóngh then the name for the children is tepen, for both girls and boys.
89
33. Be tè matè letó re fe, “apèny” rae re keng ne, mòne tè matè laghi le “bale” rae re keng ne. Móne be revó lèvè tè le apèny, “apèny nce’” dae re keng ne, ngèny be tè revó lèvè re re tè bale, “bale tempény” dae re keng ne. Be tè ketele lèvè re re apèny fe, “ápèny nci” rae tè nafij ngadeny ne ngèny be tè ketele lèvè re re bale, “bale nci” dae tè nafij ngadèny ne. 34. Be tè eng ana’ de’ apèny jé ó’ó lepó e tè eng letó fé “dangangh” dae re keng ana’ e be e letó je móne be laghi anake “salu” dae re keng nyó. Móne tó’ó laghi re tè ta’eng, “òzò” dae re keng ana’ laghi, ngèny “òtèny” dae re keng ana’ letó. Je be tó’ó letó tè ta’eng, “ileng” móngh le dae re keng ana’ laghi ngèny letó. 35. Móne be ana’ le tè matè beleke’ fé “tòbangh” dae re keng ne. Tè cengana’ le matè ke cengbesé lepu te “saba” dae tè nafij ngadèny ne. Móne cengana’ laghi le tè ta’eng, “temòtèny” dae re keng móngh cengana’ de’ tafa dé ngèny be cengana’ letó ne tè ta’eng, “temileng” dae re keng móngh cengana’ de’ tafa dé. 36. Móne tè eng se re be ta’eng fóbó lefe de’ tè matè “fe” rae tè nafij ngadèny ne, je móne be eng de’ tè matè “fè’èj” dae tè nafij ngadèny ne a’eng ne ce’ kanèny “fe” le.
90
33. Apabila isteri yang meninggal maka sebutan untuk suaminya adalah apèny, sebaliknya bila suami yang meninggal maka sebutan untuk istrinya adalah bale. Jika dua kali menjadi menduda maka ia dipanggil apèny nce’ dan jika dua kali menjanda maka ia disebut bale tempèny. Sementara jika tiga kali menduda ia dipanggil apèny nci dan jika tiga kali menjanda ia dipanggil bale nci.
33. If one’s wife passes away, then the husband is called apèny, if the husband passes away, then the wife is called bale. If one is a widower twice over then they are called apèny nce, and if one is a widow twice over they are called bale tempèny. While if one is a widower three times, their name is apèny nci and for a three time widow bale nci.
34. Bila duda tersebut mempunyai anak lagi pada istrinya yang kedua maka anak tersebut dipanggil dangangh kalau perempuan dan salu kalau laki-laki. Jika orang tua laki-laki meninggal maka sebutan untuk anak laki-laki adalah òzò dan untuk anak perempuan òtèny. Tetapi bila orang tua perempuan yang meninggal maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan disebut ileng.
34. If a widower has children by a second wife, then those children are called dangangh for girls and salu for boys. If the father of a child passes away, then the name for a boy is òzò and for a girl òtèny. However, if the mother of a child passes away, then both sons and daughters are called ileng.
35. Jika anak meninggal dengan tiba-tiba, kedua orang tuanya dipanggil tòbangh. Jika saudara kita meninggal di tempat lain maka sebutan untuk saudara laki-laki maupun perempuan kita adalah saba. Jika ada seorang laki-laki meninggal maka semua saudara yang ditinggalkannya dipanggil temòtèny, tetapi jika yang meninggal perempuan maka saudara-saudaranya dipanggil temileng.
35. If a child suddenly dies, then his parents are called tòbangh. If a relative of ours dies somewhere else (outside the village) then the name for both male and female relatives is saba. If a male relative dies, then all the remaining relatives are called temòtèny, which if it’s a female who dies, then all the relatives are called temileng.
36. Jika mempunyai cucu dan belum ada yang meninggal maka tambahan nama untuk kakek-neneknya adalah fe. Tetapi kalau ada cucunya yang meninggal maka tambahan nama untuk kakek-neneknya adalah fè’èj, tidak lagi memakai fe.
36. If one has grandchildren and none of them have died yet, then the name for the grandparents is fe. However, if one has a grandchild who has passed away, then the name for the grandparents is fè’èj, and not fe anymore.
91
37. Eng ne dae kelazèny le te ngadèny tè’a be ana’ laghi adiengh ne mudij “teviengh” dae re keng tó’ó laghi e ngèny “tinaviengh” dae re keng tó’ó letó e. Móne be ana’ letó adiengh ne mudij “taviengh” dae re keng tó’ó laghi e ngèny “tinaviengh” dae re keng tó’ó letó e.
92
37. Sedangkan kebiasaan lainnya adalah memberikan sebutan nama karena sukacita, misalnya jika anak pertama lahir laki-laki maka sebutan untuk sang ayah teviengh dan ibunya tineviengh. Tetapi jika anak pertama perempuan maka sebutan maka ayahnya disebut taviengh dan ibunya dipanggil tinaviengh.
93
37. Another custom is to give names because of happiness, for example, if one’s first born child is a boy, then the father called teviengh and the mother is called tineviengh. If one’s first born child is a girl, then the father is called taviengh and the mother is called tinaviengh.
Udij le ke Saèny Kayang Ulé 1. Tasa re ke Sa’èny te, ate’ tòsa tisi le. Tasa le mudij ke Sa’èny be le feghèmet len nè le fasó ke ghine. Jefe le ta’eng tè tè’a mupiny ngèny ne mudij ó’ó lepó òbèny le né fasó ciny Sa’èny ne. Salé lete lene keri’ek be le feghèmet len de’ té fesò-fesò, disi òbèny jagènyjagèny le tasa le ke Sa’èny te, lepó le né Setòlangh ghine. Sóló disi te sòngè ké’en le òmèny ne, ngèny disi òbèny le mece’ de méé bò’ère, tasa re ke Sa’èny te. 2. Fu’ung tò le re tè ala lugheng kene kune, tè ala bulu dughu re tè ala sòngè kempò ke Sa’èny te. Òzèny telugheng le ki’i te, tè ala sòngè. Telugheng dé le nè ngkiny kòma. Tè ala ke dughu le té ala sòngè ke teli. Teli ngadèny sòngè tasa re ke Sa’èny ne, je teli rughu le tè ala re. Ntó eng sòngè de’ bezu nyengh lepu le ki’i te. 3. Be le feghèmet isi òbèny le mudij ki’i te, kuva’an mece’ dé re. Mece’ fadè ke’en le òmèny, nò baat isi tè jagèny mece’ te lesungh. Méé risi òbèny le mudij ke Sa’èny ghéte. Tè le ala sòngè la’a mentóngh tè ntu, méé risi re tasa le mudij ke Saèny ne. É le kai mece’ fe, é tè le nyèa’ pa le te teli. 94
Hidup Kita di Sa’an
Our Life in Sa’an
Kayang Ulé
Kayang Ulé
1. Dulu, sewaktu masih di Sa’an (Sa’èny), hidup kita sangat susah jika dibandingkan dengan setelah kita pindah ke Setulang (Setòlangh). Sekalipun secara ekonomi tidak ada perubahan, setelah pindah dari Sa’an sedikit terjadi perubahan pada kebiasaankebiasaan kita dalam mengerjakan sesuatu seperti mengangkut air bersih untuk minum dan menumbuk padi. Kebiasaan-kebiasaan itu pelan-pelan menghilang setelah kita pindah ke Setulang.
1. Before, when we were still in Sa’an (Sa’èny), our lives were really very difficult compared with after we moved to Setulang. In financial matters there were no changes, but after moving from Sa’an there were some small differences in how we usually did some things, like getting clean water for drinking or crushing rice. Our old ways were slowly lost after moving to Setulang (Setòlangh).
2. Di Sa’an, untuk mengangkut air bersih ke rumah biasanya orang-orang menggunakan tabung bambu yang disebut telugheng dan airnya diambil dari pancuran yang disebut teli. Orang-orang membuat teli (dari bambu yang dibelah dua) di sungai kecil yang mengalir dekat perkampungan kita karena memang di sana tidak ada sungai besar.
2. In Sa’an, to carry clean water to the house people usually used a bamboo container called a telugheng and the water was taken from a spout called a teli. People made teli (from bamboo split in two) in small streams which ran near to villages, because there weren’t any big rivers.
3. Cara hidup kita lainnya adalah menumbuk padi untuk kita makan. Pekerjaan ini cukup berat dan memang berat hidup kita dulu di Sa’an. Setelah menumbuk padi biasanya kita pergi mengambil air sambil mandi dan kalau pada saat itu kita lelah, begitu sampai, kita bisa langsung menadahkan mulut ke pancuran.
3. Another aspect of our lives is that we pound rice to eat for dinner. This is really hard work, and our lives were really hard before in Sa’an. After pounding the rice, we normally went to get water and bathe at the same time, and if we were weak, as we arrived, we immediately put our mouths under the spout.
95
4. Có la’a kuva’an étó dughu le ngómó ke Saèny te beghò’ère. Móne le ja’at, ja’at ba’an dae tóó le ke Saèny te, ja’at le te dughu kómó le. Engne maó tè’a, tè’a le te tane’ dughu re ngómó ki’ite. Méé étó bevèj-bevèj tasa le ke Saèny ne. 5. Nè le mudij ke Setòlangh ghine, di’i ne laset òbèny òzèny ómó, òbèny le tadiengh meséj dughu le ngómó ghine, kuva’an tè ngempe’ dé re, di’i le te eng tane’, ke Setòlangh ghine. Be le feghèmet disi òbèny nè re fasó ngkiny éle ke Setòlangh ghine, móne le òbèny laset fezagèny, bezu le te aneng le tane’. Méé risi-risi re tene mudij ke Setòlangh ghine. 6. Có la’a òbèny beva ómó di re, a’eng tene risi le nè beke. Énó tene risi meny le nè ngkine kòma. Kuva’an gerobak dé re, be le nyengh janèny aló’ di, ciny òtò tene nè le ngkine. Méé risi ta-ta nyè’èny disi keri’ek. Be le na’at disi òbèny le mudij ke Sa’èny te, énó la’a disi re mece’ ghine. Jefe òbèny keri’ek le énó le tè ngkiny le te dughu re mece’ dé, mece’ ta’eng aló dé asiengh lesóngh dé. 7. Méé risi bevèj le nè mudij ke Setòlangh ghine. Bangh òbe’ baze fenyè’ane risi ne le te jagèny-jagane. Kuva’an te asiengh-asiengh de re, méé le te be le te nepengh ómó dé re. Ntó tisi le jetengh disi le òbe’ có’ de nepengh mèny asiengh. Méé risi bevèj tè baze’ isi-isi ngenyè’ane risi mudij bemii. 96
4. Satu lagi adalah penentuan lokasi berladang. Kalau kita berasal dari golongan bawah (atau rakyat jelata) maka lokasi berladangnya berada di lahan yang kurang subur. Sedangkan orang dari golongan atas ladangnya terletak di lahan yang subur. Begitulah kebiasaan-kebiasaan kita dulu di Sa’an. 5. Sebaliknya di Setulang, siapa yang kuat membuka hutan dan membuat ladang maka ia akan memiliki lahan yang luas. Dan memang salah satu alasan kepindahan kita ke Setulang adalah agar kita bisa memiliki banyak lahan asal kita mau lebih giat bekerja. Beginilah caracara hidup kita di sini.
4. Another thing is determining the placement of our fields. If we come from the lower classes (or are commoners) then the fields are made in land that’s not really fertile. While the upper classes have very fertile fields. That was our custom before in Sa’an.
6. Jika kemudian ada padi hasil dari ladang orang-orang tidak lagi menggendongnya, sebagaimana halnya dulu di Sa’an, tetapi mereka menggunakan gerobak. Apalagi kalau ladang kita berdekatan dengan jalan besar, maka padi itu bisa langsung diangkut dengan menggunakan truk. Begitulah sekarang, pekerjaan yang dilakukan menjadi lebih ringan. Demikian halnya kalau mau menumbuk padi mereka tidak lagi menggunakan lesung seperti di Sa’an. Biarpun padi yang mau digiling sedikit mereka tetap membawanya ke tempat penggilingan padi.
6. If afterwards there was some rice from the fields, people don’t carry it, like they used to in Sa’an, now they use a cart. And if a field is close to a big road, then the rice can be taken directly by truck. So now, the work that we do is much lighter. It’s the same if we want to crush rice, they don’t use a mortar like in Sa’an. Even if we only want to grind a little bit of rice, we still take it to a rice grinding place.
7. Selain itu, agar lebih gampang bekerja sekarang kita juga menggunakan mesin. Kalau mau menebang dan membuat ladang misalnya, orang-orang tidak lagi menggunakan kampak. Walaupun tidak mempunyai gergaji mesin kita bisa membayar orang untuk menebang kayu di ladang dengan menggunakan gergaji mesin.
7. Other than that, to make it easier to work, we also use machines. If we want to clear and make a field, for example, people don’t use an adze anymore. Even though we don’t own a sawing machine, we can pay someone to clear the wood in the field using a sawing machine.
97
5. Just the opposite in Setulang, whoever is strong enough to clear forest and make a field will have a lot of land. And indeed one of the reasons we moved to Setulang was so that we could own more land so that we could have more work. This is how things are here.
8. Tè fefala abò zé, a’eng tene isi le numeng disi mèny beló’iengh. Énó tene nèmèny le fezèj a’ek, kuva’an keda a’ek, tè nyempròte. De’ zé étó-étó tai fesò zé étó òbèny jagèny isi jagèny ómó di ghe Sa’èny te beghò’ère, bangh mèny beló’iengh le re ki’ite. Nè le ghine, énó tene tè salé te zé te abò zé. Mabò mèny keda a’ek dé tene re bemii ghine. 9. Kuva’an étò nè sòngè daò òma di la’a, sòngè kanèny le tadiengh nè le ghine, sepengh lèny fele le métó bòèny sòngè kuva’an derum dé rughu le tè sòngè . Méé risi-isi tadiengh ne bò’ère di’i le seleket lugheng le ghine derum dé, bòèny sòngè . Tè bemiie tè felafó nyè’èny belen le feghèmet disi kuva’an te sòngè kanèny dé re léfe nè sòngè méé tene daam laminy, be le feghèmet isi ta baza-baza mii, dé étó ta-ta salé étó. Be le feghèmet étò òbèny bevèj le ke Sa’èny bò’ère mudij. 10. Be te seghòla di fela’a, ana’ le tene mala’ seghòla bemii tè nyengh seghòla tè mala’ de seghòla énó tene seghòla raò éle kuva’an SMP zé énó tene raò éle zé. Méé te SMA zé re ngatangh daò éle lete je nyengh te éle kuva’an ke ata Belènò ghéte tè é’ó ana’ métó’ seghòla lepó é’ó tè tamat te SMP zé. 11. Méé jétó-jétó ta salé jétó ba’ale tasa re Sa’èny, je feghòda laset étó ghèmet dempalè ana’ òbe’ femetó’ seghòla tasa le ke Sa’èny a’eng é’ó ncam je mééti ce lepu le te seghòla ki’i te bò’ère. Avane dé étò tè ana’ le ce ali le te re ta’eng tè seghòla bò’ère, mééti ce lepu le ngèny ne tasa le lefu’eng te. 98
8. Lalu, untuk membersihkan rumput pada saat padi mulai tumbuh orang-orang sudah tidak lagi menggunakan arit tetapi menukarnya dengan racun rumput yang disemprotkan. Dulu, ketika di Sa’an, orangorang menggunakan arit untuk membersihkan rumput tapi sekarang, di sini, mereka memakai alat semprot untuk menaburkan racun pembersih rumput di ladang. 9. Pada waktu pertama kali pindah ke sini, sebagaimana telah diketahui, kita kewalahan mencari tabung besar seperti drum untuk menampung air bersih. Drum itu menjadi telugheng kita di sini. Tapi sekarang keadaannya semakin baik karena air bersih sudah bisa dialirkan ke rumah-rumah. Itulah perubahan-perubahan yang kita rasakan bila dibandingkan dengan keadaan dulu sewaktu masih tinggal di Sa’an.
8. Then, to clear the weeds once the rice has started to grow, people don’t use a sickle anymore, but have traded them in for weed poison which is sprayed. Before, when we were in Sa’an, people used sickles for weeding, but now, here, they use a sprayer to spread pesticides in the field.
10. Mengenai pendidikan, sekarang justru anak-anak kita yang malas bersekolah padahal sekolah setingkat SMP saja sudah ada di kampung sendiri. Begitu juga SMA, walaupun berada di Kota Malinau (Belènò), rasanya masih dekat untuk dijangkau bila mereka hendak melanjutkan sekolah setamat SMP.
10. About education, our kids now are in fact reluctant to go to school, although there’s a middle school in the village already. And even a high school, although it’s in Malinau City (Belènò), still feels close enough if they want to continue after finishing middle school.
11. Hal ini akan berbeda bila dibandingkan dengan saat kita masih tinggal di Sa’an dulu. Walaupun keinginan anak-anak kita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya begitu besar, mereka tidak bisa melanjutkan karena ada beberapa kendala seperti jarak kampung dengan sekolah terlalu jauh. Inilah yang menyebabkan anak-anak kita tertinggal dalam soal pendidikan waktu kita di kampung lama.
11. This aspect is really different if we compare it to when we lived in Sa’an. Although our kids really wanted to continue their schooling to the next level, they couldn’t continue, because there were a number of problems, like the distance between the school and the village was too far. That’s what caused our children to get left behind in their education when we used to live in the old village.
99
9. When we first moved here, as far as we knew, we were overwhelmed searching for a big container, like a drum to store clean water. The drum became our telugheng here. But now things are better because clean water can be sent to each house directly. That is a difference we really feel if we compare it to before when we lived in Sa’an.
12. Engne nè le fasó ghine mii ba’an fengala’ ana’ tene tó’ ana’ de’ baza di, je ghèmet seghòla raò éle bemii di’i kuva’an laminy tabèny dé, énó tene laminy tabèny daò éle ghine. Engne tasa re ke Sa’èny ne ta’eng dé kata éle, avane dé jétó òbèny ta salé-salé étó ó’ó lepó re òbèny nè neghaij fasó nkiny éle ciny Sa’èny cinné te ba’ale.
13. Tó ngi’ek belen ghèmet le étó òbèny kèmet é’ó de’ tó’ó tasa é’ó eng mudij òbèny nè ngalek nkiny éle fasó ciny lefu’eng, be ghèmet jétó òbèny ghèmet é’ó ghèmet bezu me éle móngh, a’eng eng i’ek belen ghèmet le jétó òbèny ghèmet é’ó nè neghaij nkiny éle fasó ghe Setòlangh ghine. 14. Be le feghèmet jétó òbèny dughu le mudij ke Sa’èny te bò’ère zu ali le belen òbèny ghèmet le étó òbèny é’ó ghèmet bezu me éle móngh. Je maó-maó é’ó òbe’ be re tè salé mudij mentóngh de’ sazune. Aa mi’i ali le étó òbèny ghèmet é’ó, be le ghèmet étó òbèny ghèmet é’ó laset òbèny nè nkiny éle fasó a’eng é’ó óme’ maan. 15. Kèmet bezu me éle móngh méé te é’ó kòda sazu re, kadu matè bò’ère je ta’eng laminy tabèny ki’i te le, a’eng ne ncam nabèny je a’eng dé bò’ère. Be re saghij méé zé le isi éfó tavè re bangh belepa méé le, be re eng de’ nè saghij ki’i te bò’ère, énó te re tésen eng tabèny te Lóngh Bezòngèny, je ce. 100
12. Setelah kita pindah ke sini, sekarang tergantung apakah mereka mau atau tidak memanfaatkan keadaan yang sudah lebih baik, di mana sudah ada sekolah di kampung sendiri. Selain itu, sekarang sudah ada puskesmas di kampung kita, tidak seperti di Sa’an. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa kemudian kita pindah ke sini.
12. After we moved here, now it depends upon whether they want to take advantage of the better circumstances or not, where there’s already a school in the village itself. Other than that, there’s also a public health clinic in our village, unlike in Sa’an. This is yet another reason why we moved here.
13. Oleh karena itu, kita sungguh terharu dan merasa salut atas pemikiran besar orang-orang tua dulu yang berusaha membawa kita pindah, dengan menggunakan perahu, dari kampung lama ke Setulang.
13. Because of this, we are truly touched, and admire the grand thinking of our elders who worked to move us, using ships, from the old village to Setulang.
14. Kita juga berterima kasih karena ternyata mereka berpikir jauh ke depan agar hidup kita semua menjadi lebih baik. Mereka ingin mengubah hidup kita, begitulah kira-kira pemikiran mereka. Karena begitu besarnya kemauan untuk membawa kita pindah, mereka bahkan tidak memikirkan berbagai halangan dan rintangan dalam perjalanan.
14. We are also thankful, because of their forward thinking that allows everything in our lives to get better. They wanted to change our lives, that’s roughly what their thinking was. Because they really wanted to us move us, they didn’t even think about the trials and tribulations of the journey.
15. Dan karena niat besar itu pula, memikirkan masa depan kita, mungkin saja dulu banyak di antara mereka yang meninggal, apalagi di sana tidak ada rumah sakit sehingga orang tidak bisa pergi berobat dan jika ada yang sakit biasanya hanya diurut saja. Satu-satunya puskesmas yang kita ketahui pada saat itu letaknya sangat jauh yaitu di Pujungan.
15. And because of that grand desire, thinking of our future, maybe before many of them had died, even there there was no clinic, so that one couldn’t go for medicine. If someone was sick, he was normally just massaged. The only public health clinic we knew of at that time was really far away in Pujungan.
101
16. Tòsa ghèmet ke nè ngalek ngkiny de’ saghij ciny ki’ite méé jétó-jétó fenòsa le mudij ke Sa’èny ghéte, ce seghòla, ce laminy tabèny, a’eng eng ta’eng SD ki’ite (énó SD ki’ite) je tó eng dughu re tè metó’ ó’ó lepó tè lepe’ te SD zé ki’ite. Dé jétó-jétó é’ó laset jétó òbèny ghèmet nè nkiny éle fasó. 17. Ne ghèmet jétó ngetó’ ósó le fenata méé le le mudij ke Sa’èny, a’eng ta’eng faghiengh lene. Be le métó cen te le òmèny de’ méé, ntó eng kasij cen ghéte, je ce le keghata pemerénta di ate’-ate’ tòsa ki’i te. 18. Énó la’a kuva’an le òzèny dughu le di re, pó majangh le nèna òbèny le medengh dughu le tè tele òmèny le mimeng tene je kójó re, engne ntie le ta’eng mòèj, tè ala nti kazé de’ manyengh dé, nti bulu latóngh le ki’i te, nti bulu latóngh ne sengò ra’eng, sengò lédé dé le ki’i te. Ate’ ta’eng le nti de’ ta’engh ghéte. Jefe re òme’ ta’engh kuva’an lemelè dé, lemelè dé ate’ ta’engh rae, nti le ki’ite ngèny nti temalangh, énó tè te dé mófó’, a’eng kuva’an belè’em di re. 19. Be le Sa’èny te mii, lé ghòda tareng éle òzèny dughu le. Be ghèmet disi bevèj Sa’èny te mii, ate’ tè’a alile òbèny nè le fasó je le òzèny dughu le. Lepe’ tene a’eng tene le ghèmet ke ngeseva laó cengkajèny udij le mònaie je ntó tè ja’at. Dé jétó-jétó le ghèmet étó òbèny ke Sa’èny ngèny ó’ó lepó le nè mudij ghine. 102
16. Sulit membayangkan kita membawa orang sakit dengan perahu ke sana. Itulah masalah-masalah yang ada di Sa’an, jauh dari sekolah dan puskesmas. Mengenai sekolah, sebenarnya bukan sama sekali tidak ada tetapi yang ada hanya Sekolah Dasar (SD) sehingga begitu anak-anak kita tamat belajar mereka tidak bisa melanjutkan lagi. Itulah sebabnya orang-orang tua dulu berusaha membawa kita pindah dari sana. 17. Masalah lainnya adalah sekalipun sumber makanan di Sa’an melimpah seperti banyaknya binatang buruan dan mudahnya memburu tetapi hubungan kita dengan dunia luar, seperti dengan pemerintah, sungguhlah sulit. 18 Jika kita membangun rumah maka dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sudah harus diperbaiki karena bahan-bahannya tidak tahan lama. Kita tidak sanggup mencari tunggul kayu yang bisa tahan lama sehingga biasanya kita menggunakan bambu latóngh sebagai tiang dan atapnya dari daun. Memang di sana tidak ada tunggul kayu yang tahan lama, sekalipun banyak orang bilang bahwa kayu lemelé dan kayu temalangh bisa tahan lama tapi nyatanya juga keropos, tidak seperti kayu ulin. 19. Sebaliknya di Setulang sekarang kita bisa membangun rumah berkali-kali. Kondisinya sudah lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan di Sa’an, dalam membangun rumah kita tidak khawatir jika harus memperbaikinya dalam waktu dekat. Kita juga sudah bisa membangun rumah yang tidak akan keropos sepanjang hayat kita. Begitulah perbedaan-perbedaan antara kehidupan di Sa’an dengan kehidupan di Setulang.
103
16. It’s hard to imagine that we would carry someone who was sick by boat there. That was the problem in Sa’an, it was far from schools and clinics. About schools, it’s not that there weren’t any at all, but there was only an elementary school, so that if kids finished it, they had no where to continue.
17. Another thing, although food there was abundant—there were many animals and it was easy to hunt them—but our contact with the outside world, like with the government, was really difficult. 18. If we built a house, within at most three years we had to make repairs, because the materials didn’t last long. We weren’t able to search for good pieces of wood that would last, so we usually used latóngh bamboo for the beams and leaves for the roof. Indeed, there wasn’t any good wood there which would last, originally people said that lemelé or temalangh wood would last, but in fact, it also fell apart like ulin wood. 19. Just the opposite now in Setulang, we can build houses again and again. Our circumstances are already better here, compared with life in Sa’an, if we build a house we don’t worry that we have to repair it any time soon. We can also build a house that won’t fall down during our entire lives. That’s a big difference between our lives in Sa’an and our lives in Setulang.
20. Jefe le ta’eng tè tè’a ngèny ne énó laset telen ta dé salé kuva’an sòngè ké’en le òmèny ne, raò éle tene dé bemii. A’eng le neven belen tè ala ke bai tene sòngè bemii, ntó’ ghe tè meti sòngè Belènò zé. Zé tòsa isi zé je é perusahaan di la’ ngelitute zé tòmèny laset òbe’ ala sòngè ciny Setòlangh nyé, nè raò éle kòma ne. 21. Kòme’ ta’eng tè nòzèny le ézé cinna’a, tè lèny fe òbane tenòzèny. Zi ketè có òmèny tene le kanane; bòlèny có òmèny 2004, ate’ le nadiengh kanane mé’é. 22. A’eng fóbó keri’ek len dughu ta salé ó’ó lepó re òbèny nè nkiny éle fasó re ghi Setòlangh nyi. Méé rae le neghene’ jétó òbènyòbèny le mudij ke lefu’eng kena le nè fasó, engne aneng le tó’ó de mé’é bangh ngelupungh nyadó-nyadó re le éle méé étó ngetó’ éle beghò’ère ke Sa’èny te.
104
20. Biarpun kita tidak semampu orang lain, tapi perubahan-perubahan itu bisa kita rasakan juga. Air bersih sudah dialirkan ke rumah-rumah sehingga kita tidak perlu lagi mengangkut air dari sungai. Sekalipun sungai Malinau tidak mungkin mengering tapi banyaknya kegiatan perusahaan telah membuat airnya menjadi keruh. Oleh karena itulah sumber air bersih kita diambil dari sungai Setulang.
20. Although we’re not as well off as other people, these are differences we can really feel. Clean water comes right to the house, so we don’t need to fetch it from the river. Although the Malinau River won’t run dry, a lot of businesses and factories have already polluted the water. And so our source of clean water is taken from the Setulang River.
21. Kita tidak pernah menyangka kalau proyek air bersih ini akhirnya selesai juga. Sudah setahun ini kita menikmatinya, sejak kita menikmati pertama kalinya pada bulan Januari 2004.
21. We never suspected that the clean water project would ever be completed. We have already enjoyed it for a year now, since the first time we had it in January 2004.
22. Begitulah, banyak perubahan yang telah terjadi setelah kita pindah ke Setulang. Dan demikianlah kisah yang dapat saya ceritakan seputar kehidupan di kampung lama di Sa’an sebelum kita pindah ke sini.
22. So like that, there are a lot of changes since we moved to Setulang. And that’s the story I can tell you about our life in the old village in Sa’an, before we moved here.
105
106
107
a
a a’ek a’eng a’i a’ó a’une aa aa’ aba abe abek abeng abengh abet abi abij abò abungh aci acune adek adet adiengh adó adóngh aeng lefe aeng afane afé afèny afò agha aghi ahe ai aii aij
pelengkap kalimat rumput tidak kata seruan sendok untuk ambil nasi dia tidak 1. ya 2. pelengkap kalimat daun kering hilir 1. kecuali 2. abu bakul embun orang yang suka jahil cawat sampai tengkuk rumput dari ladang buah maritam kok misal ketan yang dibungkus dan dimakan di ladang pada saat menulang adat dulu, pertama mungkin tempat duduk belum punya supaya api supaya dataran tinggi akar saya walaupun kata seruan punya siapa? pasir
108
particle grass no, not exclamation spoon for rice he/she is not 1. yes 2. particle dry leaf downstream 1. except 2. ash woven basket dew one who is mischievous loincloth arrive nape of neck grass from dry rice field maritam fruit particle example sticky rice wrapped and eaten in the rice field custom, tradition before, first maybe place to sit not yet have, own so that fire so that highlands root 1st person singular pronoun however, although exclamation who has/owns sand
alek alem alet ali aliny aló alò aló’ alute am ama’ amè amen amengh amet ami
gandeng akal cincin ambil jangan biasa nama panggilan untuk ibu yang sudah janda perahu malam kunci sekali buah alim aliran, arus sebab orang asing perahunya kalian mama ayah 1. pertanda 2.mendiang ayah bisu burung pelatuk kami
amó amóne ana’ amóngh ana’ aòngh ana’ bala ana’ laghi ana’ letó ana’ pij ana’ anake anangh ane aneng
anu lalu anak tiri anak keponakan bayi anak laki-laki anak perempuan anak kembar anak anaknya dahi maka punya
aja’ aken akó’ ala ala’ alè ale
109
accompany reason a ring take don’t usual, normal name for a widow boat night key very alim fruit stream, flow cause foreigner his/her/the ship 2nd person plural pronoun mother father 1. omen 2. deceased father mute woodpecker 1st person plural exclusive pronoun particle, pause then, pass step-child nephew/niece baby son daughter twin child his/her/the child forehead so, therefore have, own
angh ani
aòngh apa apa’ apane apèny asa asè asèj asiengh asiny asu ata ata’ sala’ ata’ atangh atè va’ atè ate’ lan ate’ ate’-ate’ atóngh
katak kata seruan menunjukkan rasa heran nama anak dari orang tua yang dipanggil “luek” kulit kotoran punya saya punya-nya, miliknya gorengan tengkorak bambu yang dipotong untuk diisi masakan letak bodoh bapak dudanya duda waktu kapak jalan 1. putar 2. mesin kebetulan lantai tempat ikan salap ikan 1. sama saja 2. tempat masak paru-paru hati sebenarnya sangat paling sesuatu yang hanyut
au aunne
jangan dia punya
aniengh anij anó anó’ anune anyè anyengh óle aó
110
frog exclamation expressing surprise name for a child from parents who are called luek skin filth mine he/she has/owns fried snacks skull cut bamboo filled with food place stupid father the widower widower time axe road 1. turn 2. machine by coincidence floor place salap fish fish 1. just the same 2. place to cook lungs liver actually very most something drifting/washed away don’t he/she has/owns
b
ava avane
1.maka 2. lebah 1. makanya 2. daripada itu
avangh avè avé avi avó aza aza-aza azaza azò azó azu ba’ale ba’ane ba’e ba’en ba’i
1. di luar 2. dunia maka mata pisau hampir kata seruan sangat akhir-akhir akhir-akhir musuh, penyamun delapan mungkin barangkali maka, oleh sebab itu jadi sehingga lahan hutan yang akan dibuat ladang bau, cium beras bengkak, memar berat babi hutan baca kata kalian kataku katamu beritahu kata mereka nangka pinggir sungai tempat letaknya kampung merah berubah janda
ba’u baa baa’ baat babé baca’ bacam baci bacu bada badó badó’ bai bala balé bale
111
1. so, therefore 2. honey bee 1. that’s why, therefore 2. rather than that 1. outside 2. world so, therefore knife blade almost exclamation very recently, finally recently, finally enemy eight possibly probably so, therefore, because become until, up to forest area to be made into dry rice fields smell uncooked rice swell, swollen, bruised heavy wild boar read you all say my words/I say your words/you say inform their words/they say jackfruit bank of a river where a village is located red change widow
balèny balèny tavé bali bane bange bangen bangh banyó Baò base’ batangh bate bate’ bató’ bavangh baza bazé selij bazé tavèny bazé baze’ bazengh be mae be bé be’ bédé’ beghetem begheven beghò’ère bèj bekè beke bekèny
sombong kata seruan ketakutan hantu kata orang 1. nyala 2. lebat, banyak senang 1. hanya 2. selalu katanya Bahau (nama sungai) basah batang batu perut leher 1. tambak, rawa 2. bawang terakhir angin deras sekali angin kemarau angin 1. buaya 2. mengikuti parang malam kalau lereng menggendong bebek padahal bengong dulu 1. nama 2. luas daun rempah menggendongnya belukar baru
bekó bèla belabò
ikat, tali jurang, tebing tikus
112
arrogant exclamation expressing fear ghost, spirit they say 1. light, flare up 2. many, a lot like, enjoy 1. only 2. always they say the river Bahau wet stick, stem rock stomach neck 1. pond, swamp 2. onion last strong wind dry season wind wind 1. crocodile/alligator 2. follow chopping knife night if, when slope to carry on one’s back goose in fact perplexed before, first 1. k.o. name 2. spacious seasoning leaves to carry on one’s back dry rice field, fallow for one year tie, rope gorge, crevice rat
belae belanyèj belaó belaòngh belasóngh belé’ belè’em beleke’ belel belen bèlengh Belènò belente’ belepa belérengh beleset beleve’ tò beleve’ beli beli beló’iengh belònangh bemae re bemae bemii bené beni beniengh benó benyéa’ bepen bera’ besaan besè besé
air yang tenang tas anyaman yang digendong di belakang pagi-pagi anting-anting hiasan terbuat dari kuningan kaleng kayu ulin tiba-tiba rasa perasaan, rasanya hijau Malinau 1. sirsak 2. Belanda memijat 1. bundar, bulat 2. pusaran keluar tengah hari setengah beli beli cangkul; arit terlempar tadi malam nanti malam sekarang kalau benih gendongan anak bagian tertinggi di ladang kemarin pantat robek akar yang dipukul untuk menjadi bahan buat api dayung sebelah (kanan/kiri)
113
still water woven basket carried on the back early morning earrings decoration made from bronze can ulin tree/wood suddenly feel, taste feeling green Malinau 1. soursop fruit 2. Dutch massage 1. round, circle 2. rotation outside, go out noon half buy buy hoe; scythe thrown earlier this evening later tonight now if, when seed child carrier upper part of a rice field yesterday butt tear, torn root beaten and used as fire timber oar, row side (right/left)
besì’ besó besòlèny besónóngh beta
pohon kelor kenyang dinding yg diikat dengan rotan rompi kulit kambing yang dipakai untuk perang petai
betaò’ beté betè beté’ betep betò’en betòèny beva bóra beva taghet beva uju beleve’ beva uju éghiengh beva uju nuju beva uju tó’ó beva uju beva bevangh bevate bevèj Bezòngèny bezu bie bò’ère bò’et bòde’ bòèny bóle bòlèny amet bòlèny có bòlèny devó sui’ fulu bòlèny devó
tadi malam betis sudah tato keputusan bintang kuntum, tandan kapuk, kapas jari (kaki) jari tengah jari kelingking jari penunjuk ibu jari jari (tangan) buah beruang sifat-nya sifat Pujungan besar jerat dulu pendek busa tempat bulu bulan purnama bulan Januari bulan Desember bulan Februari
114
merunggai tree full wall tied with rattan goat skin vest used in war (tree with) edible stinking beans last night calf (of leg) already tattoo decision star bunch cotton toe middle finger little finger index finger thumb finger fruit bear his/her/the characteristic characteristic Pujungan large, big knot, noose before, first short foam place fur, hair full moon January December February
bòlèny bònengh bònyò bòò bòse’ bòsèny bòset bòte’ bu’i bu’ine bu’iny buku buliengh bulij bulu busi buzu
c
ca’ sa’a’ cale’ ce ce’ cen jéghó cen cengana’ sa’ cengana’ cengbesé cengkajèny cengléé cèny cep cina’are cinné cinni ciny cinyata
1.ujung 2. bulan katak jeruk pindah ingin segera musang pusar buta waktu itu babi ternaknya babi ternak buku gila bubur bambu marah, benci nama seorang perempuan jika anak yang kedua, ketiga... meninggal kepik jala jauh 1.sudah, cukup 2. tanda batas, larangan binatang liar binatang saudara sepupu saudara lain selamanya satu kali, lain kali tangga alis dulunya dari sana dari sini dari dari satu tempat
115
1. end 2. moon/month frog orange move to want immediately civet cat navel blind at that time the domesticated pig domesticated pig book crazy porridge bamboo angry, hate name for one whose second, third, etc. child has died dent(ed) net far 1. already, enough 2. limit, prohibition wild animal animal cousin relative other forever once, another time ladder eyebrow before from there from here from from a place
có ató có ribu có sui fulu có tengen có có’ cu
d
da’eng daa daam dadem dadu daè dae daem daeng dae-rae daghij damè pó ajò damè dangangh
daò dare datun julek davangh dazó dazune dé de de’ dè’è deghi’ij deket
seratus seribu sebelas lain satu suruh 1. kamu 2. tiba-tiba 3. pelengkap kalimat untuk laki-laki
100 1000 11 other one order 1. 2nd person singular pronoun 2. suddenly 3. particle used by men leaf daun blood darah in, inside dalam be cold kedinginan long panjang safe aman voice, word suara, kata in, inside dalam possessions kepunyaan words kata-kata meeting rapat harvest festival upacara pesta panen party, festival pesta nama untuk anak perempuan dari name for a daughter from a widower father who has seorang duda yang kawin lagi remarried 1. between, in the middle 2. in 1.di antara, di tengah 2. sedang the process of 1. they say 2. loneliness 1. kata orang 2. kesepian type of group dance sejenis tarian massal outside luar permission ijin possibly mungkin those itu (jamak) person/people orang which, that, who yang that itu teenage girl remaja perempuan lit bernyala
116
e
delate’ dema tò deméé dempalè dempò dengen dentó deró derum détó devó fulu devó sui fulu devó
dewasa; yang tua-tua di kampung siang hari yang itu separuh di atas tuli selain mereka dua derum seperti duapuluh duabelas 1. dua. 2. mereka dua
di di’i disi dó letó dó manè dó dó’ kòzangh dó’ dò’è Dòngò dughu duseng é e é’ ó’ é’ é’ai
ini (jamak) ini (jamak) cara beruk betina beruk jantan mereka orang utan kera terlambat, lambat Dòngò tempat di atas; di darat 1. kenapa. 2. ada nya, dia bungkus kata seruan kata seruan menunjukkan rasa heran lereng anu jangan mereka mungkin itu
è’ang é’é è’ele é’ó éadó édé
117
adult; village elders midday, early afternoon that one half on top deaf other than 3rd person dual pronoun oil drum like 20 12 1. two 2. 3rd person dual pronoun these these way female macaque monkey male macaque monkey 3rd person plural pronoun orangutan monkey late Dòngò place above; on land, upland 1. why 2. there is/are 3rd person singular pronoun package exclamation exclamation expressing surprise slope particle, pause don’t 3rd person plural pronoun possibly that
f
éen éfe éfó égham éghéng éh ehe ehm éi éis èlangh éle
mendiang ibu baru saja akhir kalian kelingking kata seruan kata seruan ya kata seruan kata seruan pisau kita
èmèny
ijuk pohon sagu
éne ènem ènèny eng engne énó ésé ésele ésene èsò étó èva’ tè Èvèny évó ézé fa’a fa’an fa’ij faa
sudah apa tangkai, pohon 1. ada, pakai. 2. peti adapun ada bahasa tidak tahu tidak tahu buah mata kucing, lengkeng 1. rupa 2. kelihatan seberang Iwan (nama orang) mereka dua itu paha pinang pahit rak untuk menyimpan kayu bakar mengejar dia mengejar 1. berikesempatan, 2. menyampaikan
fabate fabèj fabi
deceased mother just now final, last 2nd person plural pronoun little finger exclamation exclamation yes exclamation exclamation knife 1st person plural inclusive pronoun palm fiber a sago palm tree
118
already what stalk, tree 1. there is/are, use 2. box so there is there is/are language don’t know don’t know lengkeng fruit 1. aspect, form 2. seen across Iwan (person’s name) 3rd person dual pronoun that thigh areca palm fruit bitter shelf for storing fire wood chase him, her chase 1. give a chance, 2. deliver
facèny fadè fadèny fadi fadóngh fae faghe faghèny faghiengh fala falè fale faló famen famóngh fana fana’ fanya’ fanyen fanyi faòng fari fasi fasó fata fatangh fatè fate’ favangh faven fazangh fazò fazu fe-
pepaya padi semakin berani saudara menduduki belalang pakis makanan gampang 1. tiba 2. melewati 3. kepada 1. sebagian. 2. teman sagu membohongi pintu bersama panas keluarga jangkrik tunangan genit tinggal keringat berhambur pindah 1. misal 2. lantai 1. beritahu 2. muncul mayat padam beri kesempatan bingung buah kepayang rusa bergulat 1. awalan yang dipakai pada nama seseorang yang punya cucu, 2. awalan untuk nomina dan verba (resiprokal, kausatif, intransitif)
119
papaya unhusked rice braver and braver relative sit on grasshopper k.o. fern food easy 1. arrive 2. go by 3. to 1. a portion of 2. friend sago lie, deceive door together hot family cricket fiancé(e) prudish, coquettish stay sweat scatter move 1. example 2. floor 1. inform 2. appear corpse put out, calm give a chance confused kepayang fruit deer wrestle 1. prefix used with names of people who have grandchildren 2. prefix for verb and nouns
fè’a fè’ate
feghata feghatè feghatengh
belimbing neneknya yang cucunya meninggal nama orang jika cucunya meninggal nama orang jika cicitnya meninggal sembilan asal muasal garis keturunan hitung pasangan penyok berdiri di pinggir 1. Pimping 2. anak sumpit yang kedua beri pujian belajar idiot kepala desa mengumumkan dengan suara keras perumpamaan berperang terus, langsung, potong jalan
fegható’ feghéé’ feghelai feghelem feghelempeng feghelet fegheleva feghelili feghémet feghena feghencó feghenó
menasehati, mendidik mencoba berkata bersembunyi kelompok bercampur bergantian berdekatan berpikir menunggu bertengkar datang pelan-pelan
fè’èj fé’èjbali fè’en feciny fecó’ fede’ fède’ fedengh fèfa féfieng fegerevó feghacò feghalè feghapa feghapungh feghasèj
120
star fruit the grandparent whose grandchild has died name for people whose grandchildren have died name for people whose greatgrandchildren have died nine origin of a family lineage count match dented stand on the edge 1. Pimping 2. blowpipe dart the second praise study idiot village chief announce publicly example war continue, straight, make a short cut advise, educate try say hidden group mixed in turns approach think wait argue, fight come slowly
feghepèj feghesé feghetele fegheti fegheve’ feghòa’ feghòda fegiengh fegu fèj felafó felaghi bali felaghi felai felanó’ felavèj felavó felè’a felele felengh felentengh felet felèta’ felete’ felèva felèvet felezèj felò felòdò Felòsèj felunu’ femala’ fementem femepe’ femepe’ fèmet femetó’
yang keempat cocok ketiga kali 1. melawan. 2. saling berbuat sesuatu sama terbelah berapa pun pasangan terantuk istirahat lebih; terlampaui kupu-kupu burung elang bicara kancil menyeberang lewat berdampingan rasa kita pergelangan kaki menakar patah lampu didihkan bergantian kembali bermain gundul lelehkan Lusat (nama orang) beringin membuat malas membuat gelap menumbangkan merebahkan pikir menyambung
121
the fourth fit the third time 1. resist 2. do something together same split however many couple accidentally bump into rest more, pass by butterfly eagle speak mouse deer cross go by side by side, together our feeling anklet measure out broken lamp cause to boil in turns return play bald melt Lusat (name) banyan tree make reluctant make dark fell (a tree) cause to lie down, fall down think connect
femève’ fempeng fempengh femuek femungh fena’èny fenadiengh fenangen fenata fencengh fenésen fengadepe fengala’ fengelaminy fengelesò fengelòè fengerevó fengetele fengòbe’ fengòmane fengòmèny fengudij fenòsa fentangh fenya fenyaghij fenyate fenyéfé fenyèj fepi fepó féra’ feraè ferajé’ feremeng ferene’ fèrèny
membelokkan kumpul tertutup, tersumbat menghancurkan semua, gabung macam 1. permulaan 2. membuat mulai kesukaan, kegembiraan sendiri melarang pengetahuan keinginannya kemalasan rumahnya penderitaan, pengasihan, belas kasihan keberuntungan yang kedua yang ketiga keinginan makanannya makanan kehidupan penderitaan sangkut belek penyakit permintaannya pipihkan, menipiskan permintaan membelah kerjasama bentuk segiempat, kaleng simpan berjanji menyimpan pelan-pelan; sabar parah
122
turn s.t. gather closed, clogged up destroy all, together sort, type 1. beginning 2. make begin what is liked, happiness alone forbid knowledge his/her/the wish/desire reluctance, weariness his/her/the house suffering, reciprocate a feeling of pity good fortune the second the third want, desire his/her/the food food life suffering hook dry mucus around the eye disease the request flatten, press request split work together four sided shape, can save, store promise save, store slowly; patient severe
ferisi fesa’ fesaghij fesalé fésé fese fesé’ fesek fesi fesij fesò fesóngh feta’èny fetadiengh fetangen fetavaie fetavè fetavó’ fete fetèj fetem fetenu’ fetepè fetetó feti fetó fetó’ fetóbó fetòlèj fetòsa fevade’ fevadi fevangen fevatangh fevate
bergerak masak menjangkit tukar menukar barang panggil pecah terbuka terhimpit kail sempit terlepas menemukan 1.saling melihat 2.barangkali satu per satu saling mengungkapkan kegembiraankan kegembiraan mengingatnya mengingat menggabungkan, bergabung, berkumpul empedu berpisah 1. melengket 2. padahal mempersiapkan memanggil memastikan pisang pasangan suami-istri 1. lawan 2.tiru 3. sambung; sambungan garis keturunan pelihara membagikan membuat susah saling mencium bersaudara menyenangkan hati rumah bersambung saling membagikan
123
move cook, cooked spread, be contagious exchange things call break open be in tight spot fish hook narrow accidentally let loose find 1. see each other 2. probably one by one expressing happiness to e.o. remember him/her/it remember joined, gather gall bladder separate 1. to stick to 2. in fact prepare s.o. or s.t. call determine, confirm banana husband-wife couple 1. resist 2. imitate 3. connect; connecting lineage raise/take care of (animals) divide make difficult kiss each other have siblings make happy connected houses divide out to each other
g
fevatè Feve’ feventem fevepi fevesé fevesò fevesung fevetó fevétó fevetó’ fevughek fezagane fezagèny fezai fezavè fezèj fii fitek
saling membunuh, berperang suku Pua’ menjadi gelap berbagi membelah saling melepaskan bertemu menikah saling mencari bersambung terlipat, tersusun mengerjakannya bekerja bersama masih mengganggu siapa saja ujung leher yang dipenggal
fitute
ujung lehernya yang dipenggal
fó’óngtò fóbó fóghé fònè fóte fòzane fòzèny fu fu’eng fulek fulu futi ga ga’ gali gerobak ghai ghé
sengaja sama sekali pindah tempat punai tanya perbuatannya perbuatan kebun 1.pokok. 2. lama getah sepuluh putih bunyi belahan menggali gerobak capek di sana
124
kill each other, make war the Pua’ people become dark divide split let e.o. go meet marry look for each other connected folded, stacked to work s.t. work together still disturb whoever end of the neck which is cut/ chopped the end of the neck which is cut/chopped intentionally very much move small wild pigeon question his/her/the action/deed action/deed garden 1. main point 2. long time/old resin ten white sound division, section dig cart, wagon exhausted there
ghémet ghéne ghéte ghine ghòda ghòlep ghulu
h i
j
ha’i hau hé hii i’ek i’i i’ut i’ut-i’ek idi iek sòngè ighu ii ileng ine inu is isi isiku iti izi ja’a ja’a’ ja’at ja’eng jaa’ jadó jagane jage’ jagèny
pikir di sana di sana di sini berapa kepala terpenggal 1. pucuk topi caping (sa’óng) 2. papan bubungan kata seruan jenis kue kata seruan kata seruan kecil itu kecil kecil-kecilan ini mata air kamu siapa nama orang jika semua orangtuanya meninggal (yatim) ini manik kata seruan kayak, rupa kayak kamu payudara ini dagu jamur batang 1. jelek, jahat, rusak 2.miskin karena tidak ada nyenyak mungkin pekerjaannya jaga pekerjaan
125
think there there here how many cut head 1. the tip of a flat woven hat, worn in the fields 2. roof board exclamation name of a cake exclamation exclamation small that small smallest this water source, well 2nd person singular pronoun who name for one whose parents have died this bead exclamation like, form like you breast this chin k.o. mushroom 1. ugly, bad, broken 2. poor because there aren’t any soundly (of sleep) possibly his/her/the job guard job
jagha jai jalengh jamèj jamó’ janèny janginy jate’ jatungh javè jazungh jé je jè’è jece’ jecu jefe jefuliengh jekò
keramat teman balok doyan, suka nyamuk jalan kuningan ingat tabuh masih dapur itu karena, tetapi itu 1. tetapi 2. masih tiba-tiba biarpun, walaupun, juga pusing belukar
jela jeleng
lidah nama anak dari orang tua yang dipanggil mpé dan buzu tawar, tidak enak jagung mentang-mentang basah ketan yang dimasak dalam bambu asalkan tertawa bunyi kayu yang patah tetap rupa ini ini dia depan nasi
jeliengh jelungh jemaò jemen jenè jene jere’ jerep jeteng jétó ji ji’i jó jómó jòte’
126
holy, miraculous friend block like mosquito road bronze remember drum still kitchen that because, but that 1. but 2. still suddenly however, although dizzy dry rice field, fallow for 10 years tongue name for a child from parents called mpé and buzu plain, not tasty corn pretend to be wet sticky rice cooked in bamboo provided that laugh sound of broken wood stay, remain form this this 3rd person singular pronoun front cooked rice
k
ju ju’ jun kaba kabé kabiengh kabó’ kacet kacò kadep kadiengh kadu kafèny kafij kai kajen kajèny kalé kalóngh kam kaminy kanane kanèny kanginy kaó kapen kapungh Kariny kasij kasó kata kati kave’ kave’ kavó kaza’ kaze
di depan (di perahu) bunyi cemplung asal hilir senjata kiri biawak menari berani keinginan kambing banyak tebal sayap lelah, capek tumpul (pisau) selama sejenis daun yang dipakai untuk atap ukir kalian masuk ke rumah pakai pakai percikan api r i uh kapal kampung Karim (nama orang) miskin deras (hujan dan sungai) 1. kepada 2. contoh ikan lele agak ragu kalian berdua kaya kayu
127
in front of (a ship) plunging sound reason downstream weapons left monitor lizard dance brave want, desire goat many thick wing weak, exhausted dull as long as a type of leaf used to make roofs carve 2nd person plural pronoun enter a house use use sparks of a fire noisy ship neighborhood, village Karim (person’s name) poor swift, hard (of rain and rivers) 1. to 2. example k.o. catfish rather doubt 2nd person dual pronoun rich wood
Kazèny
Kayan, nama suku dan sungai
ke kekè’è kè’en ké’en kebangh
ke, di, sampai awalan kata kerja (masa depan) di sana 1. oleh 2. bekas yang tempat untuk menumbuk daun ubi mengikuti, teladani bising tas punggung terbuat dari anyaman rotan kata saya kata kamu racun di luar buah terap di pusat dia sengaja kepada ke sini burung betet 1. galian 2. kenapa pincang lari, pulang, menghindar uwa-uwa kelambu kebiasaan permukaan yang cekung masuk (ke dalam) gemuruh kelompok perisai, tameng ada yang mengganjal kaca kura-kura bunyi daun kering
kebaze’ kebek kébó keci kecu keda kedavangh kèèny kefu’eng kefu’unge keghata keghi kéghiengh kèj keje’ kela’ kelabet kelabó’ kelazèny kelebe’ kelebet kelelem kelempeng kelempij kelen kelèngè kelep kelesi
128
Kayan, name of a river and ethnic group to, at, until verbal prefix (future) there 1. by 2. old, used which, that, who place to pound yam leaves follow as an example of noisy woven rattan backpack my words your words poison outside terap fruit in the center he intentionally to, toward to here betet bird 1. dug hole 2. why lame, poorly functioning leg run, go home, avoid k.o. gibbon mosquito net norm a concave surface go in thundering group shield there’s something that wedge in glass turtle sound of dry leaves
kelesò keletiengh kelibij kelighe’ kelómó kelònèny kelufi kelupiengh kèmet kémete kempaza kempesen kempezu kempò kempusi kena kenae kenangeng kenè kene kenesengh keng kenghana’ kenta kèny kenya kenyi kenyi’i kep képangh kepek kepeke kepu kerabangh kerévengh keri’ek keròet keseng
kasihan mengapung pegangan di belakang selimut manusia, orang lupa terguling pikiran pikirannya terakhir cepat-cepat 1. terkenal 2. kebesaran naik, di atas kemarahan sebelum 1. sebelumnya 2. katanya keramaian datang kata orang terikat, tertutup, tersumbat bilang, sebut akan melahirkan ke bawah daging untuk dimakan, lauk Kenyah dia dia itu hinggap tidak beruntung debu kuatir rendaman penyu bengkok sedikit bengkok gajah
129
pity float handle behind blanket person, people forget rolling thoughts his/her/the thoughts the last fast 1. famous 2. greatness climb, a top anger before 1. before 2. they say bustle come people say tied, closed, clogged say will give birth to the bottom meat to be eaten Kenyah 3rd person singular pronoun that one perch, alight not lucky dust worry soaked sea turtle bent, crooked a little bent, crooked elephant
kesij ketè ketemóngh ketengh keti ketò kétóngh ketòza kevè keve’ kezaré kezé kezek kezeze’ kezungh ki ki’i ki’ite kij kó’ó kòda kóden kódó kóé kòjèj kójó kòjò kólé kòle’ kòlèj kòleke kòlep kòma kòme’ kómó kónyó kòrangh kóte
sisir 1. hampir 2. mau pergi bergabung tersumbat 1. berlaku 2. berarti panas manggis mengamati dengan posisi miring burung merak sama bunyi gemerincing baru piring pare beo saya kesana, disana di sana kurap arah 1. berapa 2. kuda periuk kata mereka kue cemilan tidak tahan, rapuh sayuran macan pembantu, budak jamur pembantunya penggalan (kepala) ke rumah mengira ke ladang katanya kurang kutu
130
comb 1. almost 2. want to go get together clogged 1. be valid 2. mean hot mangosteen observe from a slanted position peacock same tinkling sound new plate bitter melon myna bird 1st person singular pronoun to there there ringworm direction 1. how many 2. horse cooking pot they say cake snack brittle, apt to break vegetables tiger servant mushroom his/her/the servant piece, lump (head) to the house think to the field they say less lice
l
kòtò kòzate kòzèj ku
silat monyetnya monyet 1. kamu 2. seperti
kuétó kulij kulu’ kunne kupiny kurae kuseng kuva’an kuviny la’
seperti kulit bubungan menyebutnya bagaimana seperti darat seperti keras 1. pergi, minggir, lari 2. jangan 3. suka 1. lagi 2. sisa lapar 1.asin, 2.nyaring gantung labi-labi jatuh lewat ikat kepala cepat, gesit memanjat laki anak sungai dalam (air) api yang merayap sendiri sehingga terbakar teriakan pilek rumah nanah sebenarnya anak sumpit langit
la’a la’e la’ij labe’ labi labu lafó lafungh lagèj laghet laghi lalek lalem laló lalu lame’ laminy lana lane langèny langij
131
traditional self-defense arts his/her/the monkey monkey 1. 2nd person singular pronoun 2. like like bark ridge of a house state how like land like hard 1. go, to the side, run 2. don’t 3. like 1. again 2. remain hungry 1. salty 2. high-pitched hang freshwater turtle fall pass head tie fast climb (tree) male stream in (water) self-burning fire scream a cold house pus actually blowpipe dart sky
langò langset lanyèj lanyó laó larek larèny lasèny laset late’ lati latóngh lava lavèny
lalat langsat tas anyaman rotan licin 1. awal 2. pagi-pagi genit sejenis pohon halaman, lapangan 1.kuat. 2. nafas besar cacing sejenis bambu tali, dawai bekas ladang
lazó’ le
lebah 1. kita 2. pelengkap kalimat
lé lèbe’ lebet lebiny leci lèda lédé lédé’ léfe lefe lefóbóngh lefu’eng leke’ leki leku leku lèle lele lelèj lemate’
biarkan rendah terbenam, masuk berak perasaan saya lembar daun kering tebas biarlah masih lumbung padi kampung lama datar saya rasa gelang kamu rasa benar rasanya kita rasa bosan pacat
132
fly lansium tree and fruit k.o. woven rattan bag slippery 1. beginning 2. early morning coquettish k.o. tree yard, field 1. strong 2. breath large worm k.o. bamboo rope, fine wire dry rice field, fallow for several years bee 1. 1st person plural inclusive pronoun 2. particle let be low disappear, enter defecate my feeling sheet dry leaf cut down let be still rice barn old village flat I feel bracelet you feel true feeling our feeling bored leech
leme’ lemelè lemó lempe lempèny len lenci lencò lencó lengaóngh lengen lénget lengh lengó lèngò lenki lèny lep lepe’ lepò lepó lepu lepungh leró lesò lesókóngh lesungh lèta’ lete
lemah jenis kayu agatis lima gemuk kaya rasa rasa saya harimau tenggelam terong lengan terlindungi, tidak kelihatan lingkaran sepi, sunyi teduh rasa saya betul, benar lutut selesai, sudah pondok 1. laron. 2. setelah kampung ular sawah, ular sanca rontok kasihan kumbang lesung panu 1. sajalah, begitu juga 2. sendiri
lete’ letó lèvangh levangh lèvè leve lèvet
mendidih perempuan kadang biji kali saja 1. kembali 2. nama tambahan pada nama duka jika 5 orang anaknya sudah meninggal
133
weak k.o. wood five fat rich feel, taste my feeling tiger sink eggplant arm protected, not visible circle quiet, empty calm, shaded my feeling true knee finish, already hut, cottage 1. flying white ant 2. after village python drop off, shed pity bumblebee mortar skin fungus 1. only, like that too 2. alone, self boiling woman sometimes seed times only 1. return 2. name added to a necronym for one who has five deceased children
levi lézangh lezèny lezó mij lezó li’ij lighek litek litute liveng ló Lò’è ló’óngh
lòane lòbangh lòdò lòèny lóle lóngh lòò’ lòten lu lubij luek
m
lugheng lulek lutu luu ma’angh ma’ek maan maangh
rasa kami kuburan durian kunyit jahe bahu belakang keruh keruhnya jambu jarum nama tempat dan suku 1. biji, buah (berbentuk bulat) 2. nama orang kalau semua saudaranya meninggal, anak tunggal cetakannya lubang cair, meleleh cetakan iri (hati), benci 1. muara, kuala 2. nama sejenis rumput yang harum muncul sisa kayu yang terbakar pelengkap kalimat yang dipakai oleh perempuan 1. rebah. 2. terguling nama untuk ibu dan bapak kalau empat anaknya sudah meninggal tempat mencuci di rumah tulang kering (kaki) tidur rontok kering berumput 1. sulit 2. mahal menyala (api)
134
we feel cemetery durian fruit turmeric ginger shoulder back turbid, muddy turbid, muddy jambu fruit (rose apple) needle the Lò’è people and place 1. seed, (round) fruit 2. name for one all of whose siblings have died, single child the mold hole liquid, melt mold jealous, hate mouth (of river), estuary 2. a fragrant type of grass appear remnant wood which is burned particle used by females 1. collapse 2. rolled name for a mother or father who has four deceased children place to wash in the house shinbone sleep fall off, shed dry have grass 1. difficult 2. expensive light (fire)
mabangh mabò madam madangh made’ madiengh madungh maè mae maeng maga magha maghangh maghèny maghi majèny majò mala’ malé malè malèj malèny malet malò mama’ mamek mamij
menjaga merumput busuk terbang mencium 1.baru, 2.kembali, lagi duduk kurus malam membakar jatuh membongkar berani memberi makan pada saya lama menuai malas garis vertikal terbiasa besi pantang 1. mengunci. 2. lama angin deras di langit mama hangat ibu yang baru melahirkan
mamóngh mana manè mane manó manó’ lóngh manyengh manyu maó
membawa 1. panaskan 2. masak nasi jantan pegangnya, memakainya kotor kutilang keras lemak 1. mumpung 2. ribut
135
protect, guard weed rotten fly smell 1. new 2. come back, again sit thin night burn fall take apart brave give food to me long time cut crops with a tuai knife reluctant, weary vertical line accustomed iron prohibition (by taboo) 1. lock 2. long, old strong wind in the sky mother warm woman who has just given birth carry 1. heat up 2. cook rice male hold him, it; use it dirty k.o. bird, bulbul hard fat 1. take advantage of 2. storm, noisy
maó-maó maòngh mase’ masèj masi masó mata matè amen matè èen matè urij mate matè mate’ matèny mató tò mató matóngh maune mava maven mazóngh me mé mé’é mè’è mè’èny mèangh mebet mece’ medengh medò méé mééle mééte mééti mèfa mega’
mentang-mentang letakkan mengubur berjalan menghamburkan pindahkan mentah mendiang ayah mendiang ibu almarhum anak bagi meninggal, membunuh memadamkan lama matahari mata menghanyutkan membakarnya nama orang kalau anak yang ketiga meninggal gila demam kepada, untuk manis, enak potong (pakai pisau) waktu itu kapan menanjak, curam, landai mengikat 1. menumbuk 2. menikam mendirikan warna coklat 1. meraut rotan 2. begitu begitu saja begitu juga begitu pun menjawab membelah
136
pretend to be place bury walk to spread move s.t. raw deceased father deceased mother deceased child divide die, kill put out long, old sun eye sweep away burn it name of child if third child died crazy fever to, for sweet, delicious cut at that time when steep, sheer, sloping tie 1. pound 2. stab found, establish, build brown 1. shape rattan 2. like that just like that like that too even like that answer cut, divide
meghala meghalet meghaliengh meghelóngh méghet mejé mejep mejóngh mekate mekèj meken mekep meku’ melè melelen melepe’ melepek meló memèny memij memó mémó mempèj menate mencèj menèj mengek mengkangh mentem mentóngh mèny menya’ menye’ mepa mepe’ mepengh
bermain menekuk melempar mengintip batuk teriak celup angkat menggalinya menggali baring 1.tutup 2.hinggap membersihkan (ladang sesudah dibakar) 1. gampang, 2. murah gulung, menggulung menyelesaikan menyumpit longgar waspada, ragu-ragu kuning pencet, tekan tidak mungkin, mustahil kasar menariknya jarang menarik masih muda angkat gelap 1. sambil. 2. menjemput 1. pegang 2. pakai minyak kunyah 1. menyapu 2. memecahkan bambu tumbang memotong dengan parang
137
play crumble, bend throw spy on cough scream dip, immerse lift dig it dig lie down 1. close 2. perch, alight clean (a field after burning) 1. easy 2. cheap roll finish blow a dart (from a blowpipe) loose cautious yellow push, press not likely, impossible rough pull it rare pull still young lift dark 1. at the same time 2. pick up 1. hold 2. use oil chew 1. sweep 2. break bamboo fall down with a crash cut with a k.o. machete
mepi
meti meti’ metij métó metó’ metóngh mève’ mevengh mévó
membelah, membagi dalam bentuk kecil 1.bantu 2.iris belah rendam berdiri menyalakan buka potong dahan asam 1.ikat, 2.tutup mancing 1. mesin 2. berdaging (buah) lepaskan gemar menulis 1. hilang 2. memberi tanda di pohon 3. memotong dengan parang penakut menjelajah kesemutan menancap tumbuk menyumbat bekas ladang yang mulai berumput kering 1. pergi ke hulu 2. buat tato 1. nyalakan 2. membunyikan mencari menyambung, melanjutkan pukul belok bunuh diri kami berdua
mezó mi
padanya kami
mepó mepóngh mepu merejengh mereket mesé’ mesèj mesem mesengh mesi mesiny mesò mesòrèj meta’
metaghek meté’ metek metem meteng metengh metèny
138
cut, split, divide into small pieces 1. help 2. slice cut, split soak stand up light open cut branches sour 1. tie 2. close fishing 1. engine 2. plump let loose be fond of writing 1. lose 2. give a sign on a tree 3. cut with a machete coward explore, examine, traverse pins and needles embed/implant s.t. pound clog old field which has begun to grow grass dry 1. go upriver 2. make a tatoo 1. light 2. sound look for connect, continue hit turn commit suicide 1st person dual exclusive pronoun to him/her 1st person plural exclusive pronoun
mi’i mii mimeng mó mò’angh mó’ó mòangh mòbangh mòda’ módóngh mòèj mófó’ mòghate mòghèj mókat móló mòna mònaie móne mònè móngh mónó mòrèj mòsangh mózóngh mpé mpe’ mpi mpò mubij mudij muek mugheng mughu mui mujeng
begitu sekarang memperbaiki 1. jika, kalau 2. anu haus habis kering kasar belah perut ikan gunung 1.laju, kuat, mampu, cepat, 2.sehat jabuk, rapuh mendakinya mendaki memukat tanam kelihatan tanamnya kalau tanam (tiang, semai) semua melorot jatuh sembarang andras mendorong nama orang laki jika anak yang kedua, ketiga... meninggal hutan rimba di mana atas, tinggi cabut hidup, lahir hancur tua membuat rapat cuci bibir
139
like that now repair 1. if, when 2. um thirsty finished, run out dry rough split a fish stomach mountain 1. strong, able, fast 2. healthy brittle climb it climb (mountain) trawl plant visible plant it if, when plant (pole, stake) all decline, drop random shallows push name for a man whose nonoldest child has died rainforest where top, tall pull out live, be born destroy old hold a meeting wash lips
n
mupiny musu muteng muzek na na’a na’ane na’at na’e’ na’engh na’èny nabèny nadiengh nae naèny nagèny naghò nakaie nakè nalèny namam nanem nangé nau nava navè ncam nce’ nci
ncò lèbèny ne mii nè ne né’en ne’eng
bagaimana hapus potong (pakai parang) condong memberi sebelumnya macamnya lihat membangunkan memasang, memakai macam berobat mulai merampas mendapat cempedak melepaskan (binatang) menendangnya tendang dapat sejenis pakis liar tanam menangis pergi ke ladang, ke hutan luas mengingat bisa nama seseorang jika dia dua kali duda nama tambahan untuk laki-laki dan perempuan kalau tiga kali menduda/menjanda ular kobra dibuat begini 1.datang 2. memberikan 1. pun 2. orang dengar adapun
140
how erase cut (with a macete) inclined to, sympathetic to give before this the type of see build, erect use, attach type medicate start seize, carry away get, receive k.o. tree similar to jackfruit free (an animal) kick him/it kick get k.o. wild edible fern plant cry go the field, forest wide, spacious remember can, able name for one who has been a widower twice name added for men and women who have lost their spouses three times cobra made like this 1. come 2. give 1. even 2. person listen as it is
nè’ò nebaze’ nece’ nèdò néfet neghaij neghene’ neghi neghóló neghu’u’ negerene’ nekeng nelangh nelecò nem nempam nèna nené nepane
mereka datang meneladani menancap menangisi heran berusaha bercerita dulu peras berkokok bersabar kemudian mengisi air meluncur, melempar enam besok memanfaatkan menyempah 1.tadi pagi 2. tambal
nepè nepengh nesen nesep nèsep neti netó netò neva neven nèvet ngadane ngadèny ngadu ngafé ngagha ngaken ngalangh
panggil menebang menyesal menyelam minum tumbuh kita berdua siang menyerang ingat heran namanya nama memperbanyak berapi berakar mengakali melalui, sepanjang
141
they come set an example embed, implant s.t. cry for surprised work, try tell a story before, first press, squeeze crowing, boasting patient then, afterwards fill with air throw six tomorrow take advantage of plate s.t., gild 1. earlier this morning 2. patch, mend call fell (e.g. tree) regret dive drink grow 1st person dual pronoun afternoon attack remember surprised his/her/the name name increase have a fire have roots seek a way, endeavor go by way of, along
ngalek ngali ngana’ nganó nganó’ ngasa ngatangh ngaté ngazò ngèbèny ngecéfa ngeda ngedóngh ngefa’an ngeveva ngelakóngh ngelaminy ngelaset ngelasij ngelèny ngelepu ngelèvet ngelibij ngelipengh ngelitute ngelòane ngelòbangh ngelójó ngelópóngh ngelubij ngempangen ngempesen ngena ngenca’ate ngencale’ ngencetengh ngencó ngene’
berperahu menggali melahirkan mengotori memburu lari anggap di pinggir potong kepala (perang) melamar membalas meracuni bertengger makan sirih berbuah meronta-ronta bangun rumah bernapas mencuri percaya bermukim kembali pegang melilitkan (kain) mengeruhkan mencetaknya melubangi telanjang menetap menggulingkan menyenangi membuat sesuatu terburu-buru menunggu merusaknya menjala menetap melarang berhenti
142
take a boat dig give birth dirt hunt run consider on the edge head hunting propose respond poison perch eat betel bear fruit struggle to get free build a house breath steal believe live in come back, return hold wrap around make turbid, cloudy print make a hole naked stay roll up make s.t. happy make s.t. in a hurry wait ruin it net stay forbid stop
ngené’en ngeniengh ngenjemen ngentimu ngentò ngenufi ngèny ngenyè’èny ngepó ngeradó ngerute’ ngeseva ngetò ngetó’ ngetòmen ngetòmèny ngetótó ngetu’ ngeva ngevò ngi’ek ngkangh ngkem ngkine ngkiny ngó’ó ngómó ngòna ngu nguek ni nighire nisij nó nó’ nóbó
mendengar mendengarkan masih basah menggendong anak sambil membuai agar tertidur menyanyi sambil saling bersautsautan bermimpi dengan meringankan tiup menghindar jongkok ganti menjemur jalan lurus memeluk dengan sayang melamun terus mengetok berbuah tidak perduli mengecilkan pegangan pergelangan tangan membawanya membawa habis membuat ladang menampakkan, memperlihatkan nonton menghancurkan pelengkap kalimat dulu hisap ada nanti, sebentar 1. menuba, menangkap ikan dengan racun 2. memelihara
143
listen hear still wet rocking a baby to sleep and singing a lullaby singing calls back and forth dream with lighten blow avoid squat change dry walk straight hug a loved one daydream continue knock bear fruit not care make smaller handle wrist carry him/her/it carry finished, run out make a field show watch destroy particle before, first suck there is/are later, in a moment 1. use a poison to catch fish 2. keep (animals)
nòcen nódane nògèny
menanduk mendempul menugal
nòlèj nòmer nòmò nònèny nósó’ nòta nótóngh nòzen nòzò ntangh ntasòèj ntem nten óle ntengh nti ntó ntu ntungh nubu nueng nya nyadó nyaghé nyaghèj nyagó nyai nyala nyalé nyalij nyangèny nyatengh nyatèny nyatiengh
membagi nomor melihat menabrak, menindih tusuk muntah membakar mendatangi berbunyi tempat gantungan anak muda, bujang kegelapan bantal 1. cukup 2. setelah, selesai tiang bukan, tidak juga mandi hidung rebus loncat, terjun 1. anu 2. iya pinggir bertamu melawan, membangkang goreng biasa menghindar menukar, mengubah lengket memenuhi damar sanggup kecombrang, sejenis tumbuhan yang bunganya dimakan sebagai sayuran
144
charge with horns apply caulking sow seeds with a pointed stick (dibble) divide number see crash stick, pin vomit burn come to make a sound hanging place, clothes line young child, bachelor darkness pillow 1. enough 2. after, finished pole not, not as well bathe nose boil jump, fall 1. um 2. yes side, edge visit oppose fry normal avoid trade, change sticky fulfill resin able, capable k.o. plant with edible flower as a vegetable
nyatóngh nyé nyè’è nyè’èny nyéa’ nyèam nyèang nyéfé nyeghafe nyèj nyèla nyelalangh nyelapangh nyelé nyelem nyelét tò nyellu nyeló nyema’at nyemaga’ nyemake’ nyemate’ nyemóla nyemuzu nyènèny nyengh nyengit nyenté nyepu nyeva nyi nyi’i nyidiengh nyileng nyó
berenang itu itu ringan 1.kemarin 2.ambil air jeram tebing tipis peluk minta jilat menyambut menembak tukar-menukar barang dari hutan membuat sesuatu secara diamdiam fajar menelan jahit gigit meraba meletakkan ingat meludah goyang berhias, menghias dekat kencing bersandar melepaskan tunas, rontok membalas ini itu menyamar dengan rumput nyanyi 1.dia 2. kelapa
145
swim that that light 1. yesterday 2. get water rapids steeply sloping thin hug ask for lick answer shoot exchange good from the forest do s.t. secretly dawn swallow sew tooth feel, grope place s.t. remember spit shake decorate close urinate lean release a shoot or bud respond this that conceal with grass sing 1. 3rd person singular pronoun 2. coconut
o
nyóó’ nyòrate nyòrèj nyu’eng nyughi ó ó’é ó’ó nempam ó’ó ó’óng ó’óre òangh òange òbane òbe’ òbèny óbó òda òdafe òdangh ódiengh óé òèj òfa ògè òjèny òkò ólé óle òlem òlengh òlet lèfèny òlet òma òme’ òmeke òmèny
menyembunyikan menulisnya menulis pikul mengejek 1.kata seruan 2. pelengkap kalimat kata seruan lusa nanti air terjun tadi uang uangnya bekasnya mau bekas kenapa berapa cukup udang lonceng kecil kata seruan jangan keladi, talas telanjang hujan nama orang jika cucunya meninggal walet kepala terong pipit kalung kelabang ulat rumah mengira mengiranya 1. makan, 2. tahun
146
hide write it write carry on shoulder mock, ridicule 1. exclamation 2. particle exclamation two days from now later waterfall earlier money his/her/the money the old, used want old, used why how many enough shrimp small bells exclamation don’t taro, aroids naked rain name for one whose grandchild has died k.o. swallow head k.o. eggplant necklace centipede caterpillar house think think 1. food 2. year
ómó ònga ònyet òsen òsèny ósó òte’ òtèny òtò òwé’ òzane òzèny òzò ózóngh
p
pa pade’ pane pangh pófóng panyen paren pé ale pé pe’ pé’afèny pèj pek pemerénta pen peng pèny pèny-pane pérepé perusahan pet
ladang 1.sirih. 2. rengas butiran beras yang hancur digiling garam nanas tubuh, manusia otak nama seorang perempuan jika ayahnya meninggal mobil mama membuatnya membuat nama seorang laki jika ayahnya meninggal nama untuk orang tua jika anak sulungnya meninggal 1. mulut. 2. sapu penciuman melemparnya kalajengking orang biasa bangsawan nama untuk ibu yang sudah janda orang tua 1. hasil rebahnya. 2. mungkin masing-masing 1.tikar 2. empat tiup pemerintah kemaluan perempuan moyang lempar melempar-lemparkan bunga perusahan buang
147
dry rice field 1. betel 2. varnish crushed ground rice seed salt pineapple body, human brain name for a woman whose father has died car mother make it make name for a man whose father has died name for a parent whose eldest child has died 1. mouth 2. broom sense of smell throw him/her/it scorpion commoner noble term of address to one’s widowed mother parents 1. yield of things felled 2. possible each 1. floor mat 2. four blow government female genitals ancestors throw throw flower company throw out
piengh baviengh pó
r
s
pó’ póne pute ra’a ra’eng raa raam radem radu rae raena ramè raò razó re ré ré’é réfa rema rènga repó revetó’ revó ri’i risi ró rò’è Ròngò rughu rumij sa’ sa’é Sa’èny sa’ó sa’óngh
sereh 1. sampai 2. kapur 3. tangkai tali pancing rambut sudah meniupnya pandan daun darah dalam (tempat) kedinginan panjang suara, sebut kabar pesta dalam 1.hulu 2.turut 1. orang 2. pelengakap kalimat itu (jamak) itu (jamak) seberang sungai terang bodoh rapat, padat bersambung dua ini rupa dia lambat Dòngò tempat kecil 1.sepupu. 2.masakan. 3. asap 1.katak. 2.malu Sa’an menyusuri sungai ke hilir, menuruni lereng, pohon topi caping
148
lemongrass 1. arrive 2. camphor 3. fishing rod hair already blowing it pandan tree leaf blood in (a place) be cold long voice, state news party in 1. upstream 2. follow 1. person 2. particle those those across the river clear, bright stupid meeting, dense connect two this form, aspect 3rd person singular pronoun late Dòngò, person’s name place small 1. cousin 2. cooking 3. smoke 1. frog 2. shy Sa’an, place name follow a river downstream go down from a hill, tree farmer hat
saangh saba sabangh saben sabeng sadine sadiny sadó sae safè safé safi saghè saghij sagó sai sakij salé sale’ salengh salu sanam sangèj sangèny sangh
sanij saó sara’ sate’ sava savangh sazu se
batas nama seseorang kalau saudaranya mati di tempat lain 1. goresan 2. parit, got hitam (kulit) sabun adiknya adik 1. pinggir. 2. paling sayang baju dinding gitar sampe orang asing, tamu sakit biskuit, gorengan senang cepat tukar, berubah salah hitam nama untuk anak laki-laki dari seorang duda yang kawin lagi semut kecil cabang penuh 1. sejenis pohon palem yang daunnya seperti kipas. 2. nama orang jika empat anaknya sudah meninggal pedas lebat jatuh, terpeleset punah sawah nama orang tua jika anaknya sudah meniggal 3 org mungkin 1. semut merah. 2. cucu
149
limit name of s.o. whose sibling dies somewhere else 1. scratch 2. ditch, gutter dark (skinned) soap his/her/the younger sibling younger sibling 1. edge 2. most love clothes wall guitar foreigner, guest sick biscuit, fritter like, enjoy fast exchange, change wrong black name for a son from a widower who has remarried small ant branch full k.o. palm with fan-like leaves 2. name for one who has four deceased children spicy dense, heavy fall, slip extinct rice field name for a parent who has three deceased children possible 1. red ant 2. grandchild
sé sè’ò sebé sèfen seghaba seghata seghé seghèbet seghelep seghènem seghèny seghòbèny seghòla sekèj sekek seken sekene sèket sekò selalangh selapangh ògè selapangh selarengh séle seleket selem sèlem selengh seleti selij sélóngh sematé seméliengh sènèny seng sengep sengh sengh badangh senginy
kena, sesuai kasihan cabai gigi sebelah hilir di pihak sebelah sana capung senja dari mana jendela 1. sebelah 2. bekas sekolah dengan sengaja tombak, tongkat kakak kakaknya setiap gaharu berpapasan panah senjata ikan patin kuku selaku diam-diam biru gelang paha dan lengan rambutan peristiwa yang tidak bisa dijelasakan manusia muka tomat sejenis bambu perhiasan keturunan tutup penutup gambas dingin
150
hit, according to pity chili pepper tooth downstream side on the side of that side dragonfly dusk from where window 1. side 2. old, used school intentionally spear, stick older sibling his/her/the older sibling each eaglewood tree meet without stopping bow (and arrow) weapon patin fish nail in step quiet blue thigh and arm bracelet rambutan fruit s.t. that can’t be explained by humans face tomato k.o. bamboo decoration lineage, genealogy close lid, s.t. used to close k.o. squash cold
t
sengò sengunyeng sentengh sentiengh sepengh sepèny sepu serengèny seró-seró Setòlangh sevi sezèny si siengh sighe sine siny siriengh sò sòèj sóghe’ sóghóngh sóló sòngè sòngèny sóngh sóó’ sòò’ sóóngh sòrate sòrèj sughi sui sulek ta ta’a ta’ane ta’at ta’e ta’e’
atap kerja sama bisa, cukup, sanggup dinding kewalahan sumur sepuhan besi serentak, bersamaan basah kuyup karena keringat Setulang burung kura-kura punggung datar siput, bekicot kucing siku dagingnya daging mas kawin kasihan luka tiang cukup kemudian, lalu air, sungai sumber air asin kayu bakar yang besar simpanan duri pantat tulisannya tulisan ejekan sisa, lebih sejenis pakis perginya rok tradisional menemukan, melihatnya penglihatan 1. kanan 2. dia pergi bangun
151
roof work together can, enough, able wall overwhelmed well metal gilding jointly together soaked from sweat Setulang bird turtle with a flat back snail cat elbow the meat meat dowry pity wound pole enough then, next water, river source of salty water large firewood stored thing spike butt the writing writing mockery, ridicule remain, more k.o. edible fern going traditional skirt meet, find, see vision 1. right 2. he goes/went wake up
ta’èj ta’eng ta’engh ta’èny ta’i tò ta’i taan taangh tabèny tabó Tacungh tadiengh taeng tafasi tafèny taghangh taghek taghet taghò taghungh taie tajò tajóngh taleng talèny talò talune tamat tane’ bala tane’ tangen tanyij taò’ taó’
lihat tidak kuat, tahan 1.melihat 2.mungkin tahi lalat tahi tempat makanan babi antara obat risih, terganggu Tanjung Selor awal, permulaan kepunyaan berhambur tampi bunglon takut kaki lepas danau dia pergi tempayan sarung 1. sukun 2. kulit kayu dapat asyik kulit kayunya tamat tanah merah, tanah liat tanah sering pohon manggaris telat sore menjelang malam
tapó tarengh tariengh tasa ta-ta
berlebihan rajin wajan waktu pergi-pergi
152
see not strong, sturdy 1. see 2. possible mole excrement place where the pig eats among medicine bothered, disturbed Tanjung Selor beginning possession scattered about winnowing basket chameleon scared foot free lake he/she goes/went k.o. large water jar sarong 1. breadfruit 2. tree bark get great the bark of a tree end clay land often manggaris tree late late afternoon to evening, twilight too much diligent wok time go
tau tavaie tavè tavek taviengh tavó Tavò tavó’ tazengh tè té te te’ té’a tò tè’a té’ó tece’ tecek tèdò téfó teghecet teghelij teghene’ tèghèny teghepé teghevangh teghezèj teghezèny teghólengh teka’ teken tela’ó telaghè telangh telava tele telè’a’ telen
perjalanan ingatnya, rasa hatinya ingat, rasa hati gong nama seorang laki jika anak pertamanya perempuan tertawa terbahak-bahak Tawau gabung tikar untuk menjemur padi 1.pergi, 2. beri di situ pada, di nama sejenis burung kecil kemarau bagus, baik mereka tumbuk jejak meratapi selesai terkejut kelelawar cerita nama sejenis kayu kumbang melolong, mengaung nakal mata air terlilit dahak getaran kijang belut kuah laba-laba 1. tiga. 2. tali kadal rasa
153
journey he/she remembers, his feeling remember, feeling gong name for a man whose first child is a daughter uproarious laughter Tawau together mat for drying rice 1. go 2. give there to, in, at k.o. small bird dry season good, well 3rd person plural pronoun pound trail, track cry for finish surprised bat story name of a kind of wood bumblebee scream, wail naughty spring, well twisted phlegm vibration, shiver barking deer, muntjak eel gravy, sauce, liquid spider 1. three 2. rope k.o. lizard feeling
teli téliengh teliliengh telingó téló bulu téló za’ téló télóngh telòset telugheng tem temalangh temali teme’ temenggangh temetó temileng temó temòtèny temòzò tempèny tempèny tempiengh temu tena’i tenaviengh tene tenèghen tenenye’ teng tengen tengkèny
pancuran tonggeret keliling telinga rebung telor ayam kemaluan laki-laki kamar cicak tempat untuk menampung air (dari bambu) tajam (pisau) sejenis kayu kehamilan telaten burung enggang badak nama seseorang jika saudara perempuan meninggal bersih tak tersisa nama seseorang perempuan jika saudara laki-laki meninggal nama seseorang laki jika saudara laki-laki meninggal berlapis nama seorang perempuan kalau dua kali menjanda teliti menyimpan barang yang layak pakai usus nama seorang laki jika anak pertama perempuan sudah ikan baung tergigit 1. sumbatan 2. alat untuk menumbuk beda ruang tamu
154
spour et water, water pipe k.o. cicada go around ear bamboo shoot chicken egg male genitals room k.o. small house lizard place to catch and store water (form bamboo) sharp (knife) k.o. wood pregnancy persevering hornbill rhinoceros name for one whose female sibling has died clean, spotless name for female whose male sibling has died name for a male whose male sibling has died layered name for a woman widowed two times careful store usable goods intestines name for a male whose first child is a girl already k.o. freshwater catfish bitten 1. s.t. used to close or plug 2. tool for pounding/crushing different guest room
tengó tenó tenòzèny tenu’ tepa’ tepè tepe tepen tepeng tepengh tepu terane’ tésen tètè tété tète’ tetó tetóngh teva’eng tevau teviengh tévó ti ti’i tilek timeng ava’ timeng lèngè timeng tinaviengh tineviengh tinózó tisi tò kecó tò miku tò
kematangan, kemasakan di depan, menghalang terbuat alat, barang tepuk panggil tebu nama anak dari orang tua yang dipanggil ózóngh moyang kayu tebangan bocor tanda tahu jembatan senter, obor tetes pasti landak rangkong tidak sengaja nama seorang laki jika anak pertama laki-laki akhir di situ di situ loteng semangka labu timun nama ibu jika anak pertama perempuan nama ibu jika anak pertama lakilaki nama seseorang perempuan jika saudara laki-laki meninggal kelihatan hari Senin hari Minggu hari
155
overdone in front, hinder made from tool, thing clap call sugar cane name for a child from a parent called ózóngh ancestors felled tree leak sign know bridge flashlight drip certain porcupine k.o. hornbill unintentional name for a male whose first child is a male end there there upper story, attic watermelon pumpkin cucumber name for a woman whose first child is a girl name for a woman whose first child is a boy name of a woman whose brother has died visible Monday Sunday day
tó
kita berdua
tó’ tò’ang tó’ieng tó’ó tó’ómpi tòbangh
tòbèny tóbó
pas, langsung, berhadapan jendela pinggang orang tua paman 1. rebah 2. nama orang tua seorang anak yang meninggal secara tiba-tiba bekas tuba, akar beracun
tódó
menginap di luar rumah
tòèny tolangh ósó’ tòlangh tòlate tòlèj tòmèny tòmò tóne tònèny tòngep tóngh
longsor tulang rusuk tulang 1. bagiannya 2. warisannya 1. bagian 2. warisan sebab melihat bulu terbakar tertimpa posisi terbalik 1. pucuk daun. 2. kayu pemukul 3. ujung pohon susah terbakar teman bunyi bunyi ketukan sama sekali tidak tajam lagi tujuh pohon yang sudah mati tapi masih berdiri di atas kemudian padi pertama singkong
tòsa tótóngh tòzang tòzò tu’ tugheng tuju tungeng
u
tuseng u’i ubek ubi agha
156
1st person dual inclusive pronoun exact, straight, facing window hips parents, elders uncle, aunt 1. fall down 2. name for a parent who’s child has suddenly died old, used plant from which a fishing poison is extracted, poison root stay overnight away from home landslide rib bone 1. its/his part 2. his inheritance 1. part 2. inheritance cause see burnt hair/fur struck down reversed position 1. tip of a leaf 2. beating wood 3. tip of a tree hard burnt friend sound knocking sound not sharp at all anymore seven tree which is dead but still standing on, above then, next first rice stalk cassava
v
z
ubi kaze udek udeke udij udite ufij ugheng ughu uju ukeng uli upiny urek
ubi kayu anjing anjingnya hidup hidupnya pipit tua rapat tangan hukuman pulang bagaimana pucuk (gong), puncak (gunung)
usé uteng uzek va vai vè ve’ vèfa vèj vi za
serambi, teras terpotong condong buah pinggir sungai tempat letaknya kampung rotan sama kiri-kanan pura- pura, memang nama untuk ibu telor lalat bakal jadi ulat
za’ aung za’ tó’ó za’ za’a’ zalen ze zé zè’è zeng zi zi’i zó
ayam jantan ayam betina ayam nyenyak pakaian, barang kepiting itu itu nyamuk ini ini dia
157
cassava dog the dog life his life sparrow old meeting hand punishment go home how tip (of a gong), peak (of a mountain) veranda, terrace cut inclined fruit edge of a river where a village is rattan same left-right pretend, indeed name for a mother fly eggs which will become caterpillars rooster, cock hen chicken soundly (of sleep) clothes, things crab that that mosquito this this 3rd person singular pronoun
158
159
Usung Bayung Marang Lie Merang 1. Un daau Usung Bayung Marang ni un tuyang, kua’-kua’ mayeng, tasauat, tiga pengelunan dité rateleu, ié iti Pak Putan Talang, Aka Bana, Bato Dado’, Pui Kavuk Buang. 2. Usung Bayung ngan tuyang-tuyanga ni un sio, pengayeng, tasauat ira’ dulu tina neng lebu’. Ya’ Usung Bayung ti ala’ tuyanga. 3. Uvana un sio rateleu, sulo rateleu uva’ ketai ala’ uleu saliu uleu tamen Usung Bayung Marang ti no’o ala’ uleu Jelivan Kapit Marang ngkin uli’ pavi’ uma’. Sulo ketai Usung Bayung ti bara’ daau kimet ta no’o kumé sinen ati ngan peging daau tuyang ati o, kumé di’, “Inai masa dau ini na mé’ teleu uva’ ketai sepatai ngan lebu’ Jelivan Kapit Marang ti, mpeié ka uva’ buké aki’ ncé ngelulep uleu ati saliu uleu tamak da,” kendaaua no’o kumé sinen ati.
160
Usung Bayung Marang
Usung Bayung Marang
Lie Merang
Lie Merang
1. Dahulu kala, konon ada seorang pemuda bernama Usung Bayung Marang (kayu besar yang terbang) yang memiliki empat orang kawan yaitu Pak Putan Talang (pelepah pohon talang), Aka Bana (akar), Bato Dado’ (batu panjang) dan Pui Kavuk Buang (biawak). Mereka semua adalah pemuda-pemuda yang kuat, muda dan bertubuh kekar.
1.In the old days, they say there was a young man named Usung Bayung Marang (large flying tree), who had four friends, they were Pak Putan Talang (spine of a talang palm leaf), Aka Bana (root), Bato Dado’ (long stone) and Pui Kavuk Buang (monitor lizard). They were all young men, strong, and with solid bodies.
2. Usung Bayung dan kawan-kawannya memiliki kesaktian, kekuatan dan masa muda dan menjadi harapan semua orang kampungnya. Begitulah alasan Usung Bayung pilih kawan-kawannya.
2.Usung Bayung and his friends had supernatural powers and strength. They were young men who became the hope of all the villagers. These were the reasons Usung Bayung took them as his friends.
3. Dengan kesaktian itu, di dalam hatinya, Usung Bayung dan kawan-kawannya ingin membalas dendam kepada Jelivan Kapit Marang. Mereka ingin mengambil kepala Jelivan sebagai pengganti kepala bapaknya dan membawanya pulang ke rumah. Usung Bayung menghadap ibunya memberitahukan rencana dirinya dan kawan-kawannya. Ia berkata kepada ibunya, “Ibu, hari ini kami mau pergi berperang dengan suku Jelivan Kapit Marang, aku tak akan pernah senang sebelum memotong kepala Jelivan sebagai pengganti kepala bapak.”
3.With his powers Usung Bayung and his friends wanted to take revenge against Jelivan Kapit Marang. They wanted to take Jelivan’s head in return for the head of his father and bring it home to the house. Usung Bayung faced his mother to tell her about his and his friends’ plan. He said to his mother, ‘Mom, today we want to go attack the Jelivan Kapit Marang people, I won’t rest until I cut the head of Jelivan as revenge for dad’s head.’
161
4. Un daau sinena da no’o, “Bép barép, pekimet tigao, bo’o ketai ngkin uséo na tua-tua sa’a, tamam da di’. Tamam sé kelunan mayeng, muat, makang, mpei un sé ayenga nenga ta Jelivan da un. Masa’ ka mengiri po’o nenga ta ié o” kendaau sinen ati na pebawa’ ié. Un daau sinen Usung Bayung ti no’o pala’ ié, “Iku’ mo’o uva’ ketai na di’, tiga-tiga ngan tué-tué lu’ nem teleu tai,” kendaau sinen ati no’o. 5. Sulo daau uva’ ketai kumé sinen ati no’o, “Mesut mé’ teleu, Pak Putang Talang, Aka Bana, Bato Dado’, Pui Kavuk Buang ni uva’ ke leka nemé semu’up.” Sulo ketai rateleu puno alut Langan Adang inyé no’o, tai ineu-ineu rateleu dalem alut ti o, keba’an malat, bulo, kelempit, ngan ketu’ ineu ya’ tiga. 6. Sulo ketai rateleu menesai medik sungai tening ngan kasé, ketai pala’ lebu’ Jelivan Kapit Marang ti. Janan alut bang neng sungai lu’ janan-janan ira’ sé mpei un. Un na daau Usung Bayung ti kumé rateleu “Tuyang-tuyang, kadu’ alé’ pengesek ya’ ka mempeng teleu ketai pala’ Jelivan ni,” kendaau Usung ti no’o.
162
4. Ibunya menjawab, “Wahai anakku, kamu harus pikirkan baik-baik! Jangan-jangan kamu dan kawan-kawanmu yang akan menjadi korban seperti bapakmu. Dulu bapakmu seorang yang kuat dan berani, tetapi tak berdaya dihadapan Jelivan Kapit Marang. Mungkin ini bisa terjadi pada dirimu dan kawan-kawanmu.” Ibunya berkata sambil ingin memberinya semangat. Lalu ibunya berkata lagi kepada Usung Bayung, “Tetapi kalau kamu berkeras mau pergi, baiklah! Jagalah dirimu dan kawan-tamanmu!”
4. His mother answered, ‘Oh, my son, think hard about this! I wonder if you and your friends will become victims like your father. Before, your father was strong and brave, but he couldn’t hold out when he faced Jelivan Kapit Marang. This could happen to you and your friends.’ His mother said as she was trying to give them inspiration. Then his mother said to Usung Bayung, ‘But if you really want to go, ok. Take care of yourself and your friends!’
5. Ia menyampaikan lagi niatnya untuk pergi pada ibunya, “Besok pagi-pagi Aku, Pak Putan Talang, Aka Bana, Bato Dado’ dan Pui Kavuk Buang akan berangkat.” Mereka kemudian menurunkan perahu Langan Adang dan memasukkan ke dalamnya semua peralatan perang seperti parang, tombak dan perisai serta semua bekal yang diperlukan.
5. He then told his mother of his intention to go, ‘Tomorrow morning, Pak Putan Talang, Aka Bana, Bato Dado’, Pui Kavuk Buang, and I will leave.’ They then put out their ship Langan Adang, and loaded all of their weapons, swords, spears, shields, and all other provisions they needed.
6. Lalu mereka mendayung ke hulu sungai, yang amat jernih dan sangat deras, menuju kampung Jelivan Kapit Marang. Memang, satu-satunya jalan menuju kampung itu hanyalah melalui sungai. Usung Bayung kemudian berkata, “Kawan-kawan, banyak sekali rintangan yang akan menghalangi kita ke kampung Jelivan.”
6. Then they rowed upstream, the river was clear and swift, they went toward the Jelivan Kapit Marang village, the only way to get to that village was to go by river. Usung Bayung then said, ‘Friends, there’s going to be a lot of interference delaying us on our way to the Jelivan village.’
163
7. Kasan ketai asat rateleu ti, mpau na dau, ngan laau tegen rateleu, sulo Usung Bayung da ngkin ra ngenjala’, sulo Usung Bayung da tai kejala’a da neng sé belau dalem, mentem lu’ na dité belau inyé, sulo ketai kejala’ irai da pavi’ bara ti no’o. “Lala, penat ta na tegen kejala’ irai so’on boong.” Suloa kelepeng-kelepeng avit kejala’ ti di’, ié menat kejala’ ti di’, “ah tageng alé’ tegena alé’, pentang,” kendaau Usung Bayung. 8. “Aka Bana taio meneset ta aring,” ken Usung Bayung ti. Kumé Aka Bana, “Eh mpeié uva’ ketai un, takuté.” Suloa so’on Pak Putang Talang da, ngiri pelé’é. “Mengempei Pui Kavuk Buang, iku’ tia neng sungai ni, tai na meneset ta?” kendaau Usung Bayung ti. Kumé Kavuk ti, “mo’o ikam so’on néé’ nyé ketai té mu,” kendaau Kavuk 9. Sulo ketaa petepum meneset pavi’ avit kejala’ ti, mena’ata di’ kadu’ alé’-alé’ bo’ong, mena’at tia kava’ di’, “Lalala sé baya’ ja’au ku. Sé ineu ni? Bép barép, uvan sé baya’.” Suloa nengkesuk kempau ngan umau, nai ko’ mpau “Ineu nyé?” kendaau Usung da. Kumé Kavuk da, “Sé baya’, ja’aua.”
164
7. Di tengah perjalanan, saat matahari tepat di atas kepala, mereka merasa lapar. Usung Bayung mengajak kawan-kawannya menjala ikan. Sambil tetap menuju ke hulu, Usung Bayung melempar jalanya di bagian yang airnya tenang, dalam dan gelap. Ia lempar jala itu sampai ke dasar sungai. Dan, “Woi, sepertinya jala ini ketarik oleh ikan!” Lalu Usung Bayung menyatukan batu jala itu untuk menariknya ke atas. “Wah, kuat sekali! Mungkin tersangkut?” kata Usung Bayung.
7. In the middle of the journey, when the sun was directly overhead, they got hungry. Usung Bayung invited his friends to go net fishing. As they continued upstream, Usung Bayung cast the net in a calm part of the river, it was deep and dark. He cast the net to the bottom of the river. ‘It seems like the net is being pulled down by the fish!’. Then Usung Bayung gathered together the stones of the net to pull it to the top. ‘Wow, this is really strong! Maybe it’s caught?’ Usung Bayung said.
8. “Aka Bana, pergilah kau menyelam!” suruh Usung Bayung. Aka Bana berkata, “Aku tak mau! Aku takut!” Kemudian disuruhnya Pak Putan Talang, tapi ternyata ia juga takut. “Bagaimana Pak Kavuk Buang? Kau yang biasa di sungai. Pergilah kau menyelam!” suruh Usung Bayung. Kavuk berkata, “Karena kau yang menyuruh, baiklah aku akan lakukan.”
8. ‘Aka Bana, go dive down!’ Usung Bayung ordered. Aka Bana said ‘I don’t want to, I’m scared!’ Then Pak Putan Talang was told to go, but it turned out he was also scared. ‘How about Pui Kavuk Buang? You’re comfortable in the river. You go dive down.’ Ordered Usung Bayung. Kavuk said, ‘Because you’re the one who told me to go, I will do it.’
9. Ia pun menyelam, sampai ke batu-batu jala itu, dan melihat luar biasa banyaknya ikan. Kemudian ia melihat ke hilir, “Apa itu? Astaga rupanya ada seekor buaya besar yang ikut terjala!” Ia lantas keluar dari air, muncul ke permukaan, dan naik ke atas perahu. Usung Bayung bertanya, “Ada apa?” Kavuk menjawab, “Ada seekor buaya besar sekali ada di dalam jala.”
9. He then dove down, to the stones weighing down the net, and he saw an incredible amount of fish. Then he looked downstream, ‘What’s that? Oh my, it seems a huge crocodile got caught in the net!’ He then got out of the water, went up to the top, and got into the boat. Usung Bayung asked, ‘What’s wrong?’ Kavuk answered, ‘There’s a really big crocodile caught in the net.’
165
10. Sulo Usung da so’on ié, “Tai peluet meneset tai petira’ ngan bara’ kumé baya’ ti.” “Mo’ ma’at avit kejala’ ini. Tiga na o, mesik ba’o na mo’ uva’ petakut mi teleu!” ken Kavuk da kumé baya’ ti. Sulo Usung da menat kejala’ irai no’o, ba’at lu’ na so’on bo’ong biti. 11. Ketai rateleu penco’ medik pavi’ sé kubu’ uvan tuun alut niti. Taa mentem no’o, sulo ra luntu’ alem iti o. Na, naa dema no’o, sulo ketai Usung Bayung da ngkin rateleu ngendani’ bateu bila irai no’o, mena’at rateleu di’ mpau alé’-alé’ dité bateu bila inyé. Sulo daau Usung Bayung da sebayang ngan ngenteni’ “Nono nono, ngentelin bato, mbaké Usung aki’ tini Usung tini Bayung Marang; kenjun jutun kena tupang” kendaaua no’o. Mena’at Usung da di’, kenai sé kayeu usung murip daru’, ja’au pavi’ tak bateu bila ya’ masé nta ti. 12. Sulo ketai rateleu menaket neng kayeu usung ti pavi’ tak bateu bila ya’ masé nta ni. Mena’at rateleu pelé’é di’, pat tak lé’é bateu lanyé iti, sulo daau Usung da nengteni’ lé’é “Nono nono ngentelin bato, mbaké Usung aki’ tini Usung tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
166
10. Usung Bayung menyuruhnya lagi, “Kembalilah menyelam dan bicaralah dengan buaya itu!” Kavuk pun berbicara pada buaya, “Jangan kau gigit batu jala ini, bukalah mulutmu! Dan jangan menakut-nakuti kami!” Usung Bayung lalu menarik jala itu, berat sekali karena penuh dengan ikan.
10. Usung Bayung then ordered him again, ‘Go back down and talk to that crocodile!’ Kavuk talked to the crocodile, ‘Don’t bite the stones on this net, and open your mouth! And don’t scare us!’ Usung Bayung then pulled in the net; it was really heavy because it was filled with fish.
11. Perjalanan ke hulu pun dilanjutkan, mereka berhenti di suatu tempat singgah dan menambatkan perahunya. Karena, saat itu, hari mulai gelap, mereka memutuskan untuk bermalam di sana. Besoknya, ketika terang datang lagi, Usung Bayung membawa kawankawannya mendekati tebing batu. Mereka melihat betapa tingginya gunung batu itu. Usung Bayung lalu sembahyang dan membaca mantra, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.” Tiba-tiba tumbuhlah sebatang pohon kayu Usung besar dan panjang bersandar pada batu tebing paling bawah.
11. They continued their journey upstream, they stopped in a resting spot, and tethered the ship. Because at that time it was getting dark, they decided to spend the night there. The next day, when it was light again, Usung Bayung brought his friends to a rocky slope. They saw how tall that rock mountain was. Usung Bayung then prayed and read this mantra, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.” Suddenly a huge tall Usung tree sprouted up, and leaned against the bottom most rock of the slope.
12. Mereka pun dengan mudah memanjat kayu usung itu dan tiba di atas tebing batu yang paling rendah. Mereka melihat kembali, masih ada empat tingkat lagi di gunung batu yang curam itu. Usung Bayang lalu membaca mantra yang sama lagi, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
12. They easily climbed the usung tree and got to the top of the lowest slope. They looked back, there were still four more slopes on the steep rock mountain. Usung Bayung then read the same mantra, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
167
13. Sulo daau ketai Pak Putang Talang da, “murip neng bila ti, tiga ta na dité sangat-sangat talang ti.” Sulo ketai rateleu menaket talang iti no’o pavi’ tak ya’ kedué. Mengiri pelé’é daau Usung Bayung Marang da ngenteni’, “Nono nono ngentelin bato, mbaké Usung aki’ tini Usung tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.” 14. Sulo ketai Aka Bana da ngenjalet neng bila bateu ti pavi’ tak ya’ keteleu. Sulo daau ketai rateleu menaket, sut-sut Aka Bana da no’o, ngan palet tai rateleu pavi’ ko’ tak ya’ keteleu. Sulo daau Usung Bayung da ngenteni’ pelé’é nyat apana un sé ayeng rateleu ka un, “Nono nono ngentelin bato, mbaké Usung aki’ tini Usung tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.” 15. Sulo daau ketai Bato Dado’ da ngenjalet neng bateu bila ti no’o, ja’au ta na dité bateu biti, ketai rateleu sut-sut bateu biti pavi’ tak ya’ kepat iti. Sulo ketai rateleu sut-sut bateu Bato Dado’ da no’o, pavi’ tak ya’ kepat ngan séé’ tawai ngan bangen tegen na tai rateleu. Bangen alé’-alé’ na daau rateleu ngan uvan peniga Bungan Malan, neng asat rateleu. 16. Ini na tak bateu bila ya’ kelemé ya’ baya-baya rateleu ke tai menaket. Neng iti na daau Usung Bayung Marang da nyat lesau pala’ Bungan Malan apana Bungan Malan ti nai sé ayeng kumé Pui Kavuk Buang ka ngkin rateleu pavi’ lebau ko’ tak ya’ kelemé ti o. Sulo daau Usung Bayung Marang da ngenteni’ no’o, “Nono nono ngentelin bato, mbaké Usung aki’ tini Usung tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang,” kendaau Usung Bayung da no’o. 168
13. Lalu terdengar suara Pak Putan Talang, “Tumbuhlah pada tebing-tebing itu cabangcabang pohon palem talang yang bagus!” Lalu merekapun dengan mudah menaiki pohon talang itu sampai tingkat kedua. Usung Bayung membaca mantra lagi, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
13. Then Pak Putan Talang’s voice was heard, ‘May branches of a talang palm tree grow on those slopes!’ Then they easily climbed the talang tree to the second level of the mountain. Usung Bayung then read the mantra again, ‘Nono, nono nqentelin bato mbakè Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena Tupang.’
14. Saat itu juga tumbuhlah akar-akar (Aka Bana) yang menempel pada tebing batu itu. Mereka kemudian menginjak akar-akar itu dan dengan cepat mereka tiba di tingkat ketiga. Setelah itu Usung Bayung membaca mantra lagi memohon agar mereka memperoleh kekuatan, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
14. At that time, some roots (Aka Bana) also grew, and stuck to the stone slope. They then stepped on the roots and quickly arrived at the third slope. After that, Usung Bayung read the mantra again, asking that they have strength, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
15. Saat itu terdengar suara pada tebing batu itu bersamaan dengan munculnya batubatu panjang (Bato Dado’) sampai ke bagian atas tebing keempat. Mereka pun lantas memanjat batu itu dan tiba dengan cepat di tingkat keempat. Mereka senang dan gembira sekali karena Tuhan Bungan Malan bermurah hati memberi mereka jalan.
15. At that time, they heard a sound from the stone slope, and at the same time long rocks appeared (Bato Dado’) which went up to the top of the fourth slope. Then they climbed the rocks and quickly arrived at the fourth level. They were thankful and were very happy because God Bungan Malan generously allowed them to go. 16. Now, there was only the fifth stone slope, the last one. When they wanted to climb it, Usung Bayung Marang asked again to Bungan Malan to give strength to Pui Kavuk Buang, to be able to carry them to the fifth level. He read the mantra, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
16. Kini tinggal tingkat batu kelima, tebing terakhir. Saat mereka mau memanjatnya Usung Bayung Marang memohon kembali kepada Bungan Malan agar memberikan kekuatan bagi Pak Kavuk Buang untuk membawa mereka sampai ke tingkat kelima itu. Ia membaca mantra, “Nono, nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung, tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang.”
169
17. Kendaau Pui Kavuk Buang da no’o, “Usung iku’ neng batuké ni, iku’ Pak Putun Talang, neng li’ipé masé kaving ni o, iku’ Aka Bana, mapo li’ipé masé ta’au ni o, iku’ Bato Dado’ ngelingkem segié ni o,” kendaau Kavuk Buang da no’o. Pejaga’ ngan pebawa’ rateleu, apana mpei rateleu i’ot tawai un. Lepek na daaua pekatuk rateleu o di, sulo ketai Kavuk Buang da ngkin rateleu menaket bateu bila ti no’o, ah, ketem tana’ sileu Kavuk da neng bateu bila ti ngkin rateleu, tai tai tai ko’ belua’ bateu ti di’, maan-maan tegen Kavuk ti ketai ngkin rateleu. 18. Ngan ketaa lama’ pa ta’an. Sulo kenai rateleu sebuvut kenta, ép barép bisau alé’-alé’ na tegen rateleu ngan i’ot tawai, sulo daau Usung da ngelalo’, “Bawa’ na Pui, kedu’ut lé’é teleu ka avi’ nengayet na!” “Uva’” daau Pui Kavuk Buang ti ta, “mpei sileué ni senteng ka mapo nu’un.” Ah... ketai selegen rateleu, temparé pa Kavuk ti tai supé ngan lama’ ngkin rateleu, “Pavi’ na teleu ko’ tak ya’ kelemé ni o,” kendaau Kavuk da no’o. Sulo daau rateleu menya’iu so-so ngentana’ dité uvan ke bangen tawai tai lebau ko’ tak bateu ya’ kelemé ti.
170
17. Lalu Pak Kavuk Buang (biawak) berkata, “Usung kau di leherku, kau Pak Putan Talang di bahu kiriku dan kau Aka Bana di bahu kananku! Pegang kuat-kuat! Sedangkan kamu Bato Dado’, peluklah pinggangku!” Mereka bersiap mematuhi perintah Pak Kavuk Buang dan tak berkecil hati. Setelah itu, Kavuk Buang mulai memanjat. Kukunya mencengkeram tanah pada batu-batu besar itu. Ia terus membawa mereka sampai ke tengah-tengah tebing, dan terlihat Kavuk cukup kesulitan membawa mereka.
17. Then Pui Kavuk Buang (a monitor lizard) said, ‘Usung, you get on my neck, you, Pak Putan Talang on my left shoulder and you, Aka Bana on my right shoulder! Hold on tight! And you, Bato Dado’, hold onto my waist!’ They were ready to do as Pui Kavuk Buang instructed, and they were all willing. After that, Kavuk Buang began to climb. His nails gripped the dirt on the huge stones. He continued to carry them up to the middle of the slope. It seemed that Kavuk was having a lot of trouble carrying them up.
18. Tiba-tiba, kekuatannya melemah dan mereka pun merosot ke bawah. “Aduh!” Hatinya berdebar kencang dan merasa takut. Tetapi Usung berteriak, “Bersemangatlah Pui! Sedikit lagi kita sampai, usahakan!” “Baik!” jawab Kavuk Buang. “Kukuku seperti tak bisa mencengkeram!” “Oh!” Mereka semakin gentar melihat Kavuk yang semakin lemah dan tidak berdaya membawa mereka. “Sampailah kita ke tingkat yang kelima!” teriak Kavuk. Mereka lalu berteriak keras, kuat-kuat, menandai kegembiraan yang memenuhi pikiran mereka setelah berhasil sampai ke tebing batu kelima.
18. All of a sudden, his strength began to fail, and they began to slip down to the bottom. ‘Oh!’ His heart beat fast and he was scared. But Usung shouted, ‘Have strength Pui! Just a bit further and we’re at the top, keep going!’ ‘I shall!’ replied Kavuk Buang. ‘It’s like my nails can’t grasp it!’ ‘Oh!’ They shook more and more watching Kavuk get weaker and not have the strength to carry them. ‘We’ve arrived at the fifth level!’ shouted Kavuk. Then they all cheered loudly, forcefully, showing the happiness that filled their thoughts after successfully arriving at the fifth stone slope.
171
19. Tisen ratelu di’ mpau na dau, ngan laau na tegen rateleu. Sulo rateleu uyai kanen no’o, kasan rateleu jaga’ kanen iti di’, sulo ketai Pui Kavuk Buang da ala’ da’un pata kanen rateleu ti no’o. Un daau Kavuk ti dalem ataia, “Aki’ petakut rateleu, man mengempei dité liung rateleu,” kendaau Kavuk Buang. Sulo daau Kavuk Buang da ala’ da’un kian tai-tai neng sukung usé ati no’o, ngan kenaa mengasa no’o pala’ rateleu o, “Bép barép ngelelem lu’ na,” daau kenai Pui Kavuk da dani’ rateleu. 20. Sulo dité ketai Usung Bayung ngan tuyang-tuyang ati ketai lap takut. “Pékatan, menginyé dité ira’ uva’ ketai ala’ uleu Jelivan mu?” Sulo rateleu mua kanen ti no’o, ngan uman. Lepek uman sulo ketai rateleu metuk asat pala’ lebu’ Jelivan Kapit Marang, ngan puno murung bateu ti po’o, tegu ueng, sulo ueng biti menyinget rateleu, alé’ uvan singet ni sakit alé’ tegen siu singet bini, mpei rateleu menyingo nu’un, kenai-kenai rateleu pavi’ ko’ data lebu’ Jelivan ngan mena’at rateleu di’ ti sé kubu’, sulo daau rateleu turo neng kubu’ nyé no’o. 21. Neng kasan rateleu ngelama’ neng kubu’ ti di’, daau isiuisiu dulu nai uli’ no’o, la la la la kadu alé’-alé’ kenai dulu met umé. Un kedaau ra rateleu kumé dulu ra iti, “nai met mpei nem?” “Kenai mé’ uli’ mavé ngan Jelivan ni,” kendaau ra. Ketai kelunan biti mo’o no’o di’, ngan sedingan ketaa mentem po’o. Sulo daau rateleu pekimet mengempei aken-aken rateleu ka sepatai ngan lebu’ Jelivan Kapit Marang ya’ kadu’ kelunan ti. 172
19. Saat itu sudah tengah hari, karena merasa lapar, mereka lalu menanak nasi. Setelah beberapa lama mereka menanak, datanglah Pak Kavuk Buang membawa daun (untuk tempat nasi). Dalam hatinya Kavuk berkata, “Aku akan menakut-nakuti mereka dan ingin melihat bagaimana reaksi mereka.” Setelah itu, ia segera mengambil daun-daunan dari buah kian, menempelkannya ke seluruh tubuh dan berlari ke arah kawan-kawannya. “Aduh, ribut sekali!” Kata Pak Kavuk saat mendekati mereka. 20. Usung Bayung melihat kawankawannya melarikan diri ketakutan. “Pengecut! Begini mereka akan pergi mengambil kepala Jelivan itu?” Kemudian, mereka menuangkan nasi dan memakannya bersama. Selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan mendaki gunung batu menuju kampung Jelivan Kapit Marang. Di tengah jalan, mereka diganggu penyengat yang menyengat mereka. Sekalipun sengatan itu terasa sangat sakit, mereka tidak peduli sama sekali. Lalu sampailah mereka ke dataran tinggi kampung Jelivan dan melihat satu tempat singgah, dan bermalam di sana. 21. Setelah beristirahat beberapa lama di tempat itu, mereka mendengar suara orangorang pulang. Wow banyak sekali datang orang dari ladang! Mereka bertanya pada orang-orang itu, “Darimana kalian?” “Kami pulang dari gotong royong dengan Jelivan,” jawab mereka. Orang-orang itu lalu pergi bersamaan dengan datangnya malam. Usung Bayung dan kawan-kawannya mulai berpikir apa akal mereka untuk berperang dengan kampung Jelivan Kapit Marang yang berpenduduk banyak itu.
173
19. By that time it was already the middle of the day, because they were hungry, they cooked rice. After cooking a while, Pui Kavuk Buang brought leaves (on which to put the rice). Kavuk said to himself, ‘I’m going to scare them so I can see their reaction.’ After that, he immediately took the leaves from a kian fruit, stuck them all over his body and ran towards his friends. ‘Wow, what a noise!’ Pui Kavuk said as he approached them. 20. Usung Bayung saw his friends all running out of fear. ‘Cowards! This is how we’re going to go take Jelivan’s head?’ Afterwards, they served out the rice and ate together. After eating, they continued their journey, climbing a stone mountain leading to the Jelivan Kapit Marang village. In the middle of the trip, they were disturbed by wasps, which stung them. Even though their stings were really painful, they didn’t care at all. Then they arrived in the highlands, of the Jelivan village, and they saw a resting place and they spent the night there. 21. After resting for a while at that spot, they heard the sound of people going home. Wow, there were a lot of people coming from the fields. They asked those people, ‘Where did you all come from?’ ‘We came from a community project for Jelivan,’ they answered. Those people then went on exactly as night fell. Usung Bayung and his friends began to wonder if it was wise to attack the Jelivan Kapit Marang village, which had so many people.
22. “Ka mengini tegen puyan ya’ tiga teleu uyai alem ini, ya’ iti, tai na teleu menia’ alem ini, bara’ kumé lebu’, uvana un na dité uvan taket Usung Bayung Marang ko’ ava’ uma’ ni, uva’ ka nai sepatai ngan Jelivan Kapit Marang,” kendaau rateleu. 23. Daau ra pekimet no’o, mengiti na rateleu ketai o. Sulo ketai rateleu masat mentem pavi’ lebu’ ti no’o, ngan menia’ kumé lebu’ iti no’o. Un daau kenai lu’ bara’ kumé iré no’o, “daau kenai lu bara’ kumé ileu po’o senganak, ni uvan un na Usung Bayung Marang ngan tuyang-tuyanga ka sepatai ngan lebu’ Jelivan mesut, tiga na teleu lakei-lakei ya’ mayeng, makang, pejaga’ ngan mentam tegen ka nyelaka’ Usung Bayung Marang ni, tiga naam petenup bulo, malat, kelempit, ngan tiga-tiga, ma’ap semu’up ketu’ teleu lakei, ledo ira’ muat pejaga’ neng usé lu tengen, uvana ka sepatai na teleu ngan Usung Bayung Marang,” kendaau rateleu na alem iti o, tai menia’. 24. Lepek na rateleu menia’ no’o di’, sulo ketai Usung Bayung Marang da ngan rateleu ngelajo anak Jelivan ti no’o, anak ledo Jelivan ni, ngarana Awing Piling, sé anak ledo ya’ puti’, bué, tiga dité uséa, miking pia, sé anak ledo bué-bué dité uvana. Sulo ketai Usung Bayung da kempau ko’ lamin Jelivan ti no’o, ka uva’ ala’ sep. Sulo daaua megok bamen diti, “Nai na kamin!” kendaau Awing Piling da nai muvai alet bamen diti no’o, mena’at Usung Bayung da di’, la la, Awing Piling da na neng juméa ti, sulo ketai dué kedalem, sulo daau Usung Bayung da so’on Awing Piling ti ala’ sep Usung Bayung ti no’o. 174
22. “Begini kira-kira akal cerdik yang kita buat malam ini: kita pergi malam ini memberitahu orang-orang kampung bahwa ada bekas kaki Usung Bayung, di sebelah hilir rumah ini, yang mau datang berperang dengan Jelivan Kapit Marang,” kata mereka.
22. ‘So this was what we thought to do that night: we would go that night and tell the people of the village that Usung Bayung’s footprints were on the downstream side of the house, and he wanted to come attack the Jelivan Kapit Marang,’ they said.
23. Begitulah akal yang mereka buat. Lalu malam itu mereka pergi berjalan menuju kampung itu untuk memberitahu orang-orang. Mereka kemudian berkata, “Kami datang memberitahukan kepada saudara-saudara bahwa besok Usung Bayung dan kawankawannya mau berperang dengan kampung Jelivan. Jadi, siapkan diri kalian matangmatang untuk menghadapi mereka! Bagus, jika kalian mempersiapkan baik-baik tombak, mandau dan perisai! Pagi-pagi buta, semua lakilaki dan perempuan yang kuat sudah harus menyiapkan dirinya untuk berperang dengan Usung Bayung Marang.” Begitulah isi pengumuman yang mereka sampaikan malam itu.
23. That was the reasoning behind what they did. Then, that night they began to walk toward the village to tell the people. Then they said, ‘We’ve come to tell our brothers and sisters that tomorrow, Usung Bayung and his friends want to attack Jelivan village. So, get yourselves well prepared to face them! So, prepare well, spears, swords, and shields! At the crack of dawn all of the strong men and women have to prepare themselves to battle with Usung Bayung Marang.’ That was the announcement they made that night.
24. Sesudah mengumumkan, Usung Bayung Marang lalu bertamu ke anak Jelivan Kapit Marang yang bernama Awing Piling. Ia adalah seorang gadis yang berkulit putih dan bersih, berwajah cantik dan bertumbuh ramping. Pokoknya, ia seorang gadis yang sangat bersih. Ia pergi ke sana karena ingin bulu alisnya diambil. Ia lalu mengetok pintu. Awing Piling segera membuka kunci pintu itu dan melihat Usung Bayung di serambinya. Ia berkata, “Masuklah!” Keduanya lalu masuk ke dalam rumah. Setelah itu, Usung Bayung meminta Awing Piling mengambil alisnya.
24. After announcing it, Usung Bayung Marang then went to visit the daughter of Jelivan Kapit Marang named Awing Piling. She was a fair skinned girl, with a pretty face and a thin body. The important thing is that she had very fine skin. He went there because he wanted her to take his hair from his eyebrow. Then he knocked on the door. Awing Piling immediately opened the door lock and saw Usung Bayung on the terrace. She said, ‘Come in!’ The two of them then went in. After that, Usung Bayung asked for a hair from her eyebrow.
175
25. Sulo daau Awing Piling uku’ ngelejo, so’on Usung Bayung ti megen neng su’ung ati, neng iti na daau Awing Piling da ala’ sep Usung Bayung da no’o. Un daau Usung Bayung kumé Awing Piling ti, “Mengempei daau dulu ira’ menia’ irai?” Sulo daau Awing Piling da kumé di’, “Usung Bayung ngan tuyang-tuyanga kenai sepatai ngan lebu’ Jelivan mesut, ma’ap semu’up.” 26. Sulo Usung Bayung da kumé no’o, “Daau sé ineu pinyé po’o? Usung Bayung ya’ mpei nyé uva’ kenai sepatai nyé po’o? Tamena o da sé kelunan mayeng, mpei sé ayeng ata aki’ un,” kendaau Usung Bayung ti na kumé Awing Piling da, ngan tita tamen Awing Piling ti sekening daau dué petira’. Mpei Jelivan Kapit Marang ti metem nu’un sekening daau dué bara’ Usung Bayung ti uva’ kenai sepatai ngan tamen ati. 27. Un daau Jelivan ti, “Tamen Usung Bayung da di’ sé kelunan mayeng, mpei ya’ senteng ketei ngan aki’, suloé pelajap uleu tamena da, nyé ta sapai bateu tamena da menentang ko’ nting dapun na kinyé,” kendaau Jelivan da lunyé lu’ daau neng Usung Bayung da. Neng ini na Usung Bayung ti tisena tai Jeliven ya’ ja’at ti no’o. Un daau Usung Bayung ti no’o, kumé Jelivan ti, “Amai, mpeié ka uva’ buké aki’ ncé ka mupet uleu Bayung Marang na un, kuyaikuyai daau ira’ menginyé!” kendaau Usung Bayung da kumé Jelivan ti alem iti. 176
25. Awing Piling kemudian duduk berselonjor dan menyuruh Usung Bayung telentang dengan bertumpu pinggang. Setelah itu, terlihat Awing Piling mulai mengambil alis Usung Bayung. Usung Bayung bertanya pada Awing Piling, “Apa kata orang yang datang mengumumkan tadi?” Awing Piling menjawab, “Besok pagi-pagi buta Usung Bayung dan kawan-kawannya mau berperang dengan Kampung Jelivan.”
25. After that, Awing Piling sat down with her legs stretched out and told Usung Bayung to stretch and lay on his waist. After, Awing Piling was seen taking Usung Bayung hair from his eyebrow. Usung Bayung then asked Awing Piling, ‘What did that person say who made an announcement earlier?’ Awing Piling answered, ‘Tomorrow morning at the crack of dawn Usung Bayung and his friends are going to attack Jelivan village.’
26. Usung Bayung bertanya lagi, “Pengumuman macam apa itu? Usung Bayung mana yang akan datang berperang? Apakah yang bapaknya seorang yang kuat? Tentu tidak sekuat aku!” kata Usung kepada Awing Piling. Sementara itu, bapaknya Awing Piling mendengar keduanya berbicara. Jelivan Kapit Marang itu penasaran mendengar percakapan keduanya tentang Usung Bayung yang akan datang berperang dengan dirinya.
26. Usung Bayung then asked, ‘What kind of announcement was that? What Usung Bayung is going to attack? The one whose father was a strong man, but certainly not as strong as I am!’ said Usung to Awing Piling. Meanwhile, Awing Piling’s father overheard the two of them talking. Jelivan Kapit Marang was interested to hear what the two of them had to say about Usung Bayung, the one who was going to come and attack.
27. Kemudian Jelivan itu menimpali. “Bapak Usung Bayung yang begitu kuat saja, tak berdaya berhadapan denganku! Aku penggal kepalanya dan kugantung baju batunya di dinding dapur rumah ini,” kata Jelivan untuk meremehkan Usung Bayung. Maka tahulah ia bahwa Jelivan itu memang jahat. Ia lalu berkata pada Jelivan, “Bapak, aku tak mau (hidup) kalau aku tidak potong kepala Bayung Marang itu! Kata-kata seperti itu tak ada gunanya.” Begitulah ia berkata kepada Jelivan Marang malam itu.
27. Afterwards Jelivan countered, ‘Usung Bayung’s father was only so strong, he did’nt compare to me! I chopped his head and I hung his stone clothes on the kitchen wall of this house!’ said Jelivan belittling Usung Bayung. Then he knew that Jelivan was truly evil. Then he said to Jelivan, ‘Sir, I want to cut off the head of this Bayung Marang! Words like yours are useless!’ That’s what he said to Jelivan Marang that night.
177
28. Atek lana di’ mpei Jelivan da tisen Usung Bayung ti un, ié kumé tasauat lebu’ iti tia, petem Usung Bayung da ti tia uva’ ka sepatai ngan ka mupet batuk ngan ala’ uleu Jelivan da saliu uleu tamena da. 29. Alem iti di’ ketai Usung Bayung ti bara’ daau isiu Jelivan da kumé tuyang-tuyanga da no’o ngan ukan-ukan ketai menyengit bara’ kumé Awing Piling ti no’o. Tai Usung da ko’ Aka Bana, Pak Putan Talang, Bato Dado’, Pui Kavuk Buang ti, so’on rateleu tai ala’ sapai bateu tamen ati ko’ amin ti. Sulo kenai Usung da peluet ko’ Awing Piling da po’o ntung ka pesalau Jelivan Kapit Marang ti ngan Awing Piling da no’o. 30. Kasan na mengiti di’, lepek na kenai rateleu ala’ sapai bateu tamen Usung Bayung ya’ menapai ko’ dapun ti. Neng iti na Usung Bayung da nyat uva’ kenai uli’ no’o neng Jelivan ti, sulo kenai Usung Bayung da kawang, nai petegu’ tuyang-tuyanga ti no’o ngan penco’ uli’ ko’ kubu’ ni alem iti. Mpei rateleu uva’ ka luntu’, pekimet mengempei puyan ya’ tiga ka sepatai ngan Jelivan Kapit Marang ti ngan ketu’ kelunan kadu’. 31. Na’a dema no’o, sulo kendaau Usung Bayung da na kumé tuyang-tuyang iti, “Moo’ teleu nai ni, kua’ ngan sé lu’ tawai teleu ngan ngebawa’ na nyen tai i’ot tawai ngan ja’au pengelan teleu pala’ Bungan Malan ti ya’ muyan urip lu ni.” Sulo ketai rateleu na nyelipa kelunan kadu’ lebu’ Jelivan ti no’o.
178
28. Jelivan tidak tahu bahwa ia adalah Usung Bayung, seorang pemuda yang memberitahu kepada pemuda-pemuda kampung itu bahwa Usung Bayung ingin berperang untuk memotong leher dan mengambil kepala Jelivan sebagai pengganti kepala bapaknya.
28. Jelivan didn’t know that he was Usung Bayung, the young man who told the young men of that village that Usung Bayung wanted to attack and cut the neck and take the head of Jelivan in revenge for his father.
29. Malam itu, dengan berpura-pura pamit kencing kepada Awing Piling, Usung Bayung menyampaikan kepada kawan-kawannya kata-kata Jelivan itu. Lalu pergilah Aka Bana, Pak Putan Talang, Bato Dado dan Kavuk Buang mengambil baju batu bapak Usung Bayung di rumah itu. Lalu Usung kembali sambil membuat sibuk Jelivan Kapit Marang dan Awing Piling.
29. That night, pretending to excuse himself to Awing Piling to urinate, Usung Bayung told his friends what Jelivan had said. Then Aka Bana, Pak Putan Talang, Bato Dado’ and Kavuk Buang went to take the stone shirt of Usung Bayung’s father from that house. Then Usung came back and busied Jelivan Kapit Marang and Awing Piling.
30. Pada saat yang sama, kawan-kawannya datang mengambil baju batu milik bapaknya yang tergantung di dapur. Setelah itu, ia meminta diri pulang pada Jelivan. Ia lalu keluar menemui kawan-kawannya dan malam itu juga mereka kembali ke tempat persinggahan. Mereka tidak tidur dan terus berpikir bagaimana caranya berperang melawan Jelivan Kapit Marang dan para pengikutnya.
30. At the same time, his friends came to take his father’s stone shirt, which was hanging in the kitchen. After that, he excused himself from Jelivan and went back. Then he went out and met his friends, and that evening they all went back to the resting place. They didn’t sleep and kept thinking of a way to fight against Jelivan Kapit Marang and his followers.
31. Ketika datang terang, esoknya, Usung Bayung berkata pada kawan-kawannya, “Kita sudah sampai di sini seperti niat dan semangat kita. Jangan sedikitpun berkecil hati karena kita percaya betul pada pada Bungan Malan yang telah membuat kehidupan kita.” Lalu pergilah mereka menghadapi orang-orang dari kampung Jelivan.
31. When it was light, the next day, Usung Bayung said to his friends, ‘We have arrived here because of our intention and zeal. Don’t feel scared at all, because we believe fully in Bungan Malan who gave us life.’ Then they went to face the people of Jelivan village.
179
32. Mena’at Jelivan Kapit Marang da di’, “Pékatan. Ineu? Uvan Usung Bayung Marang da nia nai ko’ lamin, so’on Awing Piling anaké ni ala’ sepa da ta’an.” Nai keto’ na tegen Jelivan ti no’o, sulo daaua pekatuk ketu’ lebu’ ati no’o uva’ ka sepatai ngan menatai Usung Bayung ngan tuyang-tuyang ati. 33. Ti na daau Usung Bayung, Pak Putan Talang, Aka Bana, Bato Dado’, Pui Kavuk Buang ti ncé’un peliung, menaat dité uyo ayau biti. Sulo kenai dulu ngendani’-ngendani’ pala’ rateleu no’o neng iti, na daau Usung Bayung da nyat pala’ Bungan Malan apana tai sio, pengayeng kumé rateleu sepatai dau ti. “Nono nono ngentelin bato, mbaké Usung aki’ tini Usung tini Bayung Marang, kenjun jutun kena tupang” kendaau no’o nyat ayeng neng Bungan Malam ti o. 34. Mpei puun nya’in di’, kenai ayau biti na menyurup rateleu, parang bulo, pelajap rateleu ngan malat, mpei rateleu tai mengedot un. Neng iti na daau Usung Bayung ti kumé di’ Pak Putang Talang da, petuvang Talang neng ayau biti, ketai ra pencit, lepuk, matai. Ketai Usung da, tuvang neng ayau biti, lepuk matai, nyé kenai ra murip pelé’é Aka Bana da pelepuk neng ayau biti di’, taia ngelintetngelintet neng usé ra ti.
180
32. Setelah melihat Usung Bayung, Jelivan Kapit Marang berkata, “Sialan! Ada apa ini? Ternyata yang datang ke rumah dan menyuruh Awing Piling mengambil alisnya itu adalah Usung Bayung Marang!” Hatinya panas sekali. Ia segera perintahkan orang-orang itu menyerang dan membunuh Usung Bayung beserta kawan-kawannya.
32. After seeing Usung Bayung, Jelivan Kapit Marang said, ‘Damn it! What is this? It turns out the one who came to my house and ordered Awing Piling to give her eyebrow was Usung Bayung Marang!’ He was really angry. He immediately ordered the people to attack and to kill Usung Bayung and his friends.
33. Usung Bayung, Pak Putan Talang, Aka Bana, Bato Dado’ dan Kavuk Buang tidak bergerak sambil melihat keadaan musuh. Saat orang-orang mulai bergerak mendekati mereka, Usung Bayung segera meminta kepada Bungan Malan supaya memberikan kekuatan pada mereka berperang hari itu, “nono nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung tini Bayung Marang kenjun jutun kena tupang.”
33. Usung Bayung, Pak Putan Talang, Aka Bana, Bato Dado’, and Kavuk Buang didn’t move as they watched what their enemies were doing. As the people began to move and approach them, Usung Bayung immediately asked Bungan Malan to give them strength to fight that day, ‘nono nono ngentelin bato mbaké Usung, aki tini Usung tini Bayung Marang kenjun jutun kena tupang.’
34. Tak berapa lama, musuh datang menyerbu dengan melemparkan tombak dan menebaskan mandau. Tetapi mereka tidak mundur. Usung Bayung lalu meminta Pak Putan Talang membalas dengan menumbangkan pohon talang. Banyak Musuh yang tertindih dan mati. Saat ia menumbangkan pohon Usung, banyak juga di antara musuh mereka yang mati tertimpa pohon itu. Tetapi anehnya, musuh-musuh itu hidup kembali. Di tempat lain, Aka Bana meliliti tubuh-tubuh musuh mereka dengan akar.
34. Not long after, their enemies attacked throwing their spears and burnishing their swords. But they didn’t retreat. Usung Bayung then asked Pak Putan Talang to fell a talang tree. Many were trapped and died. When he was felling the tree many of his enemies were also crushed to death by the tree. But the really weird thing, all of those enemies came back to life. In another place, Aka Bana twisted and turned the bodies of their enemies with his roots.
181
35. Sulo rateleu mencit ayau biti neng bateu daru’ un ira’ putun taket, usu’ ngan lengen putun, ketai Pui Kavuk Buang da mengerot ayau pé da’a mebeng ta na batek ayau biti. Tai ra matai nyé kenai ayau biti murip pelé’é, ah lama’ lu’ na daau rateleu pelepuk-pelepuk ayau biti, mpei ra tai matai un uvana un sé sepun mukon puti’ buk ko’ mpau ti menyio-menyio kelunan biti ira’ matai nai murip neng sio ati. 36. Mena’at Usung Bayung da di’, ketai Usung Bayung da marang kempau ti, ngendani’ sepun ti no’o, sulo Usung Bayung ti pelajap batuk sepun mukon ti no’o, sulo kenai Usung da kenta sulo rateleu pelepuk ayau biti neng usung kayeu ja’au ti neng kelunan kadu’, matai ta na dulu so’on rateleu, mengiri ta Aka Bana, Pak Putan Talang, Bato Dado’ peluvit neng iré matai. 37. Na bang Jelivan Kapit Marang da lu’ no’o murip. Sulo kenai Usung Bayung da pala’ Jelivan ti no’o kumé di’, “Jelivan, nai no’o ngendani’ aki’, buké iku’ makang dau ni na tua ka sepatai ngan lan-lan.” Jelivan ti mena’at Usung ti di’, “Uvan un sapai bateu tamen na da nia, uvan iku’ ya’ nai kelevi’ da pulu,” kendaau Jelivan da keto’ alé’-alé’ na da na dité Jelivan ti neng Usung Bayung ti.
182
35. Bato Dado’ dengan batu panjangnya menindis musuh mereka sampai ada yang putus kaki, tangan atau lengannya. Sementara itu, Pak Kavuk Buang (biawak) menerkam musuh sampai berdarah atau merobek perut mereka. Tetapi, sekali lagi, anehnya musuhmusuh itu hidup kembali. “Uh, capeknya!” seru mereka ketika menimpa musuh yang tak mati-mati berkat kesaktian seorang nenek berambut putih, yang ada di atas dan terus menghidupkan kembali musuh-musuh mereka yang mati.
35. Bato Dado’ pressed a lot of their enemies with a long stone so that their hands, feet, or arms were cut off. Meanwhile, Pui Kavuk Buang pounced on those who had come back to life. ‘Ugh, I’m exhausted!’ he exclaimed crushing those who would not die, because they were protected by the supernatural powers of an old white haired grandmother, who was above and kept bringing their enemies back to life.
36. Melihat itu, Usung Bayung lalu terbang ke atas mendekati orang tua itu, menebas lehernya dan turun kembali ke bawah. Mereka lalu menimpa lagi musuh-musuh itu dengan kayu besar. Barulah musuh mereka benarbenar mati. Aka Bana, Pak Putan Talang dan Bato Dado’ juga menggulingkan dan berhasil membunuh musuh-musuh mereka.
36. Seeing that, Usung Bayung then flew up and approached that old woman, sliced her neck and came back down. Then they crushed their enemies again with a huge usung tree. Only then did they truly die. Aka Bana, Pak Putan Talang, and Bato Dado’ also rolled over and succeeded in killing their enemies.
37. Saat itu hanya tinggal Jelivan Kapit Marang yang masih hidup. Usung Bayung lalu menantang Jelivan, “Jelivan, majulah! Kalau kau benar-benar berani, ayo kita sungguh-sungguh berperang hari ini!” Jelivan melihat Usung. “Kamulah yang datang malam itu mengambil baju batu bapakmu!” katanya sangat marah melihat Usung Bayung itu.
37. At that time, only Jelivan Kapit Marang was left alive. Usung Bayung then challenged Jelivan, ‘Jelivan, come forward! If you are truly brave, then let us have an honest fight today!’ Jelivan looked at Usung. ‘You are the one who came that night and took your father’s stone shirt!’ he said, in rage at seeing Usung Bayung.
183
38. Sulo Jelivan da menirék taket Usung ti neng malat daru’ ati di’, mpei su’un mengiri ta Usung ti menusuk malat daru’ ati neng Jelivan ti di’, mpei su’un, sulo dué pivui ngan pelajap usé dué ti, mpei un uvan a un ti ta sapai bateu ti tia ngelirung usé dué ti, tai lama’-lama’ na dité Jelivan da no’o, mpei ya’ senteng ketei ngan Usung Bayung ti nu’un. 39. Ketaa lap-lap ié di’, ketai Usung ti pivui-pivui Jelivan da no’o, sulo ketai Jelivan da petepum neng sé bawang, Usung Bayung da ala’ kimeta jaki’, “bép barép tiga néé’ mepo bawang ini pé meneda’ apana nai tia kawang o,” sulo daau Usung Bayung ti mepo bawang ti di’, sulo kenai bawang ti meneda’, sulo kenai Jelivan da kawang, sulo dué pivui pelé’é. Un daau Usung Bayung ti kumé rateleu tuyang-tuyang ati, “buké da’a bala nai petité kenta, ié aké titi, buké da’a kuning nai petité kenta anun Jelivan da ni ti,” kendaau Usung Bayung ti no’o kumé rateleu. Tai dué pivui ngan uva’ ka menatai dué selepé apan ta dité dué ti. 40. Sulo ketai dué marang kempau ti, kempau ti na dué sepatai ngkang malat daru’ ka menusuk usé dué ti. Mena’at Usung Bayung ti di’, sapai bateu Jelivan Kapit Marang ti seluep, sulo daau Usung Bayung ti menusuk malat ati neng nta itek ati mpei masan di’, bum... kenai Jelivan da labu’ ko’ tana’ na, mpei pu’un masan nai Usung Bayung da na ngentujang dani’ ié, suloa mengelulep batuk ngan uleu Jelivan da no’o ta na.
184
38. Jelivan lalu menebas kaki Usung dengan menggunakan mandau panjang tetapi tidak mengenai sasaran. Ketika Usung menusukkan mandau panjangnya pada Jelivan juga tidak mengenai sasaran. Keduanya lalu berkejaran dan saling menebas tubuh masing-masing tetapi selalu gagal karena keduanya dilindungi oleh baju batu. Lama kelamaan terlihat Jelivan bertambah lambat, tidak sekuat Usung Bayung untuk berperang.
38. Jelivan then stabbed at Usung’s feet with a long sword, but he didn’t hit his target. When Usung stabbed his long sword at Jelivan, he also missed his target. The two of them chased and stabbed at each other’s bodies, but they always failed because the two of them were protected by stone shirts. After a while, Jelivan began to grow tired, he wasn’t as strong as Usung Bayung in battle.
39. Mereka terus berkejaran. Suatu saat, ketika Usung mengejar, Jelivan terjun ke dalam sebuah danau. Usung Bayung lalu berpikir sejenak. “Pengecut! Bagus, aku akan rebus mendidih danau ini sampai ia keluar!” kata Usung Bayung. Setelah itu, ia merebus danau itu hingga mendidih dan Jelivan pun keluar. Keduanya lalu berkejaran lagi. Usung Bayung berkata kepada kawan-kawannya, “Kalau ada darah merah menetes ke bawah berarti itu darahku, tetapi kalau darah kuning yang menetes ke bawah maka itu darahnya Jelivan.” Keduanya terus berkejaran, terlihat berusaha saling bunuh.
39. They continued to chase each other. At one point, when Usung was chasing, Jelivan fell into a lake. Usung Bayung then thought for an instant. ‘Coward! Good, I’m going to boil this lake until he comes out!’ said Usung Bayung. After that, he heated the lake until it boiled and Jelivan came out. The two then chased each other again. Usung Bayung said to his friends, ‘If there is red blood dripping down that means it is my blood, however, if yellow blood is dripping down that it is Jelivan’s blood.’ The two of them continued to chase, and appeared to be trying to kill each other.
40. Lalu keduanya terbang dan berperang di atas. Keduanya memegang mandau panjang dan berusaha untuk menusuk ke tubuh masing-masing. Pada saat itu, Usung Bayung melihat baju batu Jelivan Kapit Marang terbuka. Ia pun segera menusukkan mandau itu pada ketiak Jelivan. Tidak lama kemudian, “Bum!” Jelivan jatuh ke tanah. Usung Bayung melompat mendekati dan memotong kepala Jelivan.
40. Then the two of them flew up and fought on the top. The two of them held their long swords and tried to stab the other’s body. At that time, Usung Bayung saw Jelivan Kapit Marang’s stone shirt open. He immediately thrust his sword in Jelivan’s armpit. Not long after, boom!, Jelivan fell to the ground. Usung Bayung jumped close to him and cut off his head.
185
41. Sulo kenai rateleu ngkin uleu Jelivan, ngan Awing Piling da rateleu ala’ salut murip. Nai rateleu uli’ pavi’ uma’ sinen Usung Bayung da no’o ngan bangen daau tawai rateleu peging lebu’ Usung Bayung ti no’o. Sulo kenai pengeja’au lebu’, kelunan-kelunan ira’ un séé’ ka tisen murip, ngan pekimet nai pala’ Usung Bayung ngan ketu’ tuyang ti, kebara’ daau tawai ra uva’ ka mamat ngendana dité kenai rateleu ngkin uleu Jelivan. 42. Sulo ketai kelunan kadu’ irap bavui, bo’ong, ngkin aseu, ngkin kejala’, tai irap penguman dulu kadu’. Mpei masan di’ kenai ra ngkin bavui, bo’ong, payau, pelanuk na uli’ kuma’. Dau iti na dulu pumung uman, bangen, tiga tawai ngan Usung Bayung da, ngan tuyang-tuyanga da. Kasan dulu mengiti-mengiti dité di’, sulo kenai anak mengasa bara’ isiu kumé Usung Bayung da, “Usung, ti kenai Jelivan Jangin Pilau ngan tuyang-tuyanga kenai ala’ Awing Piling, anak Jelivan ti, ledo, kumé ié.” 43. Tisena Usung Bayung da o, sulo daaua pekaliu uséa da kip buteu, lanyé’, sulo ketaa ngan julut kelunan biti na masé likut, nai sedingan iré masat. Un daau dulu kumé Jelivan ti di’, “ti sé kelunan kip buteu, lanyé, nai ngan ileu, Jelivan, pesé’é-pesé’é ileu dité ié,” kendaau ra kumé Jelivan da. “So’on tai lap nia, ma’ana buké ié ncé uva’ tai lap,” kendaau Jelivan ti kumé tuyang-tuyang ati. Nyé ngayet kenaa ta ngan iré, nai pavi’ uma’ Usung Bayung ngan Awing Piling ti. Keto’ ngan laset alé’-alé’ na tegen Jelivan Jangin Pilau ti neng Usung Bayung ti, ya’ uyai sé’é kumé ié. 186
41. Dengan membawa serta kepala Jelivan dan Awing Piling sebagai tawanan, mereka kemudian pulang ke rumah ibunya Usung Bayung. Semua warga kampung, termasuk kepala kampung, bergembira dan senang mengetahui mereka masih hidup. Mereka memuji Usung Bayung dan kawan-kawannya, menyampaikan suara hatinya untuk membuat mamat sebagai tanda mereka datang membawa kepala Jelivan. 42. Orang-orang lalu pergi membawa anjing untuk mencari babi, membawa jalan untuk mencari ikan, dan pergi mencari makanan. Ketika kembali ke rumah mereka telah membawa babi, ikan, rusa dan pelanduk. Orang-orang kemudian berkumpul, makan bersama, bergembira, dan memuji-muji Usung Bayung beserta kawan-kawannya. Begitulah terlihat orang-orang itu. Pada saat itu, datang seorang anak berlari memberitahukan berita pada Usung Bayung, “Usung, Jelivan Jangin Pilau dan kawankawannya datang mau mengambil Awing Piling, anak perempuan Jelivan.” 43. Setelah mengetahui hal itu, Usung Bayung lalu menjelma menjadi orang yang tubuhnya penuh “kurap”. Ia lalu pergi mengikuti rombongan itu dari belakang dan berjalan bersama-sama mereka. Tetapi kemudian ada seseorang yang memberitahu Jelivan, “Ada orang berpenyakit kurap mengikuti kita, Jelivan. Ia akan membuat kita malu!” “Suruh dia pergi! Kalau tidak mau, pukul dia!” kata Jelivan kepada kawankawannya. Ia dan kawan-kawannya akan pergi ke rumah Usung Bayung dan Awing Piling. Ia sungguh marah dan kesal pada Usung Bayung karena membuatnya malu.
187
41. Carrying Jelivan’s head and Awing Piling as a captive, they then went home to Usung Bayung’s mother’s house. The whole village, including the village chief, was happy and pleased to know that they were still alive. They praised Usung Bayung and his friends, they raised their voices to make the mamat ceremony as a sign that they already came with Jelivan’s head. 42. People then went with dogs to look for wild boar, to look for fish, and to look for food. When they came back to the house, they carried boar, fish, deer, and mouse deer. Then the people all gathered together, ate together, celebrated and praised Usung Bayung and his friends. That’s what they all looked like. At that time, a child came running, and told Usung Bayung, ‘Usung, Jelivan Jangin Pilau and his friends are coming to take Awing Piling, Jelivan’s daughter.’
43. Knowing this, Usung Bayung then took the shape of someone whose body was covered by ringworm. Then he went to follow the group from behind and walked together with them. But then someone told Jelivan, ‘There is someone sick with ringworm who is following us, Jelivan. He will embarrass us!’ ‘Tell him to leave us! If you don’t want to, beat him!’ said Jelivan to his friends. He and his friends were going to go to Usung Bayung’s house, where Awing Piling was. He was violently angry and upset with Usung Bayung for humiliating him.
44. Kendaau Jelivan da kumé tuyang-tuyanga ti, “mpeié ka uva’ un, nem teleu payu’ na ngan ié, nem teleu mana’a ngan beta ko’ lisung ti, sulo ketai ra bai ié no’o, ngan payu’ ngan ié o, mpeié uva’ un” kendaau Usung Bayung ti no’o. Nyé ngayet daau rateleu kumé ié ta. Nem usé daau tuyang Jelivan ti ya’ mayeng uva’ ka payu’ ngan ié. Sulo daau ra payu’ ngan Usung ti no’o, pebesé uai. 45. Dué sulo dué payu’ pelé’é, “bet ko’ nta tia, tiang,” ken Jelivan ti. Ah beleka’ Usung Bayung ti ya’ bet tuyang Jelivan ti ko’ nta ti. Tai sé tuyanga pelé’é, menakep Usung Bayung ti, ntung dué payu’, ah pebesé uai pelé’é téi dué lé’é di’, Usung da paranga ko’ ketina avau, talong lu’ na dité ié. Taia keteleu, kepat, kelemé ngan ya’ kenem ti di’, mengiri ta pa, pebesé uai lu’, lu’, ngan Usung Bayung ti. 46. Sulo kendaau Jelivan Jangin Pilau kumé tuyang-tuyang ati no’o, “Nai kelumé maring nyé, ngilintut neng ié, nga mé’é payu’ o,” sulo daau dué payu’ no’o, uva’-uva’ tegen Usung ti ta ngelema’ngelema’ Jelivan ti, ép, barép pebesé uai dué, sulo dué payu’ lé’é, Usung Bayung da mana’ Jelivan da ko’ tapé ti di’ pempo ko’ dalem ti tai pasek kuren lueu ya’ nai meneda’ ti.
188
44. Jelivan berkata pada kawan-kawannya, “Aku tak mau kalian bergulat dengannya! Kalian saja yang lemparkan dia ke lesung itu!” Lalu mereka datang menantangnya bergulat. “Aku tidak mau!” kata Usung Bayung. Mereka ingin ia mau bergulat. Keenam orang kuat kawan Jelivan itu berkata bahwa mereka menantangnya bergulat. Lalu bergulatlah mereka dengan Usung dan ternyata seimbang, ibarat bambu dibelah dua.
44. Jelivan said to his friends, ‘I don’t want you to wrestle with him! You all just throw him in this mortar!’ Then they came to challenge him to fight. ‘I don’t want to!’ said Usung Bayung. They wanted him to wrestle. Those six strong men, friends of Jelivan said that they challenged him to wrestle. Then they wrestled with Usung Bayung, and it turned out they were evenly matched, like bamboo split in two.
45. Mereka bergulat lagi. “Banting dia ke bawah, kawan!” kata Jelivan. “Hah!” Ternyata Usung Bayung lah yang membanting kawannya ke bawah. Satu kawan lainnya lalu menangkap Usung Bayung dan mereka bergulat. Terlihat tidak ada yang kalah maupun menang sampai saat Usung membantingnya ke kubangan babi. Ia dipenuhi lumpur. Majulah orang ketiga, keempat, kelima dan keenam. Begitu seterusnya, selalu tidak ada yang kalah dan menang.
45. They continued to wrestle. ‘Throw him to the bottom, friend!’ said Jelivan. ‘Ha!’ It turned out to be Usung Bayung who threw his friend to the bottom. Another friend then took Usung Bayung and they wrestled. No one appeared to be winning or losing until Usung Bayung threw him into a pig sty. He was covered in mud. Then the third, fourth, fifth and sixth man came forward. And so it went on, no one winning or losing.
46. Lalu Jelivan Jangin Pilau berkata kepada kawan-kawannya, “Berikan padanya selimut baru! Lilitkan! Barulah kami berdua bergulat.” Lalu keduanya bergulat. Kelihatannya Usung akan segera mengalahkan Jelivan tetapi ternyata tidak ada yang kalah atau menang, ibarat bambu tadi. Keduanya terus bergulat sampai Usung Bayung berhasil membanting Jelivan ke dinding, tembus ke dalam, dan jatuh ke dalam kuali sayur yang mendidih.
46. Then Jelivan Jangin Pilau said to his friends, ‘Give him another blanket! Twist it around him! Then the two of us will wrestle.’ Then the two of them wrestled. It seemed like Usung would quickly defeat Jelivan, but it turned out that neither of them won or loss, like that bamboo. The two of them continued to wrestle, until Usung Bayung succeeded to throw Jelivan against a wall, and through it, and he fell into a boiling pot of vegetables.
189
47. Taa levi no’o, sulo Usung Bayung ti paso-paso tuyang Jelivan da ko’ bené atang biti, suloa ngepang sé ti tai ié neng lamin kelukun dé ti. Sulo ketaa ngepang Jelivan Jangin Pilau da taia ngan sepun da ya’ un kelitung ti, nai tagé na ledo-ledo muat-muat biti no’o uva’ ka uyai kanen semu’up ti. 48. Mena’at ra di’, beleka’ ti tuyang-tuyang Jelivan da megen neng atang, lamin kelukun, Jelivan ti ma’u kelitung sepun Usung Bayung ti. Sé’é alé’-alé’ na rateleu, ngan keto’ pala’ Usung Bayung ti. Sulo ketai ra uli’ ta na semu’up iti, ngan mpei ra ngkin Awing Piling ti nu’un o. 49. Lepek iti no’o, uva’ ketai menugan na lebu’ Usung Bayung neng mesut ati no’o. Ketai dulu mavé kumé Usung Bayung da no’o, un Usung Bayung da o tai pekaliu tebenggang nia o, sulo taia marang-marang kempau ti mena’at dulu ira’ mavé kumé ié ti. “Bép barép” un daau dulu ira’ menugan ngan mena’at di’ na, “iku’ tebenggang lung ya’ tiga-tiga dité buleu kapit nyé lu’ pa pelabu’ dian bala kumé ileu mu,” uvana tebenggang lung ti tai menegep neng pu’un dian ya’ sa’au ti.
190
47. Lalu, pada sore harinya, Usung Bayung memindahkan kawan-kawan Jelivan ke bagian tempat masak dan sebagian lain ke tempat pencucian. Lalu ia mengangkat Jelivan Jangin Pilau dan membawanya, bersama seorang tua yang sakit ambein, ke tempat para perempuan menanak nasi pagi itu.
4 7 . Then, in the afternoon, Usung Bayung moved Jelivan’s friends to the cooking place and some of them to the place where they did the washing. Then he lifted Jelivan Jangin Pilau and carried him, along with an old woman sick with hemorrhoids, to the place where the women cooked rice in the morning.
48. Orang-orang kampung itu melihat kawan-kawan Jelivan berbaring di dapur dan di tempat pencucian. Sementara Jelivan terlihat sedang mencium ambein nenek Usung Bayung itu. Mereka, dengan perasaan yang sangat malu dan marah pada Usung Bayung, akhirnya pulang pagi itu tanpa berhasil membawa Awing Piling.
48. The villagers saw Jelivan’s friends lying flat in the kitchen and laundry area. Meanwhile, Jelivan appeared to be kissing the hemorrhoids of Usung Bayung’s grandmother. They, feeling completely humiliated and angry with Usung Bayung, finally went home in the morning, without succeeding to carry Awing Piling with them.
49. Setelah itu, keesokan harinya, kampung Usung Bayung pergi menugal. Orang-orang berdatangan untuk bergotong royong dengan Usung Bayung. Sementara itu, Usung Bayung menjelma menjadi burung enggang dan terbang ke atas melihat orang yang sedang bekerja gotong royong. Orangorang yang sedang menugal itu berkata sambil menengadah ke langit, “Wahai burung enggang dari muara yang berbulu sayap bagus, jatuhkan untuk kami durian merah itu!” Burung enggang muara itu lalu terbang dan hinggap pada sebatang pohon durian yang lebat buahnya.
49. After that, on the next day, Usung Bayung’s village went to sow seeds with a dibble. People came from all over to help Usung Bayung. Meanwhile, Usung Bayung took the form of a hornbill, and flew to the top to see the people working together. The people who were sowing seeds said as they looked up to the sky, ‘Wow, a hornbill from the estuary with excellent wing feathers has given us a red durian fruit!’ The estuary hornbill then flew up and alit on a durian tree full of fruit.
191
50. Mo’o na tebenggang lung da, menudek-menudek dian biti no’o kumé dulu ira’ mavé menugan ti, pé dian bala biti mo’o. Un daau dulu kumé, “tebenggang ti di’, uvan tisen tia daau lu pisiu pulu.” Sulo dulu ira’ menugan ti menemo, ngan ala’ dian-dian birai no’o, tiga ta na, daau ra uman dian lunek ti. 51. Kenai tebenggang lung da marang nai uli’, pavi’ uma’ ni. Kenai dulu ira’ kadu’ uli’ po’o neng iti na daau ketu’ kelunan pemung bangen ngan Usung Bayung da o, ngan ketu’ kelunan neng lebu’ ti di’ uva’ ka menilé Usung Bayung Marang ti pengeja’au lebu’ ya’ iti paren lebu’. 52. Na ini na daau dité asat urip ya’ Usung Bayung Marang ti ka pesedep neng lebu’ ra ti: “ya’ kesé kendaaua: kua-kua teleu murip ngan tiga tawai; ya’ kedué: sé lu tawai, sé lu kimet, sé lu atai teleu nyelada dulu ira’ uva’ ka ngenja’at lebu’ lu ni; ya’ keteleu ni: tiga lu tawai lu, ngan lesau ira’ asi’ murip kumé ileu; ya’ kepat, kendaaua di’: mpei lu uva’ ja’at kimet ngan senganak lu, selepé apan.” 53. Na ini na daau ketai lepek ketena’ Usung Bayung ni o.
192
50. Burung itu lalu mematuk-matuk durian sampai jatuh untuk mereka yang sedang bergotong royong menugal itu. Kemudian ada seseorang berkata, “Rupanya burung enggang itu mengerti percakapan kita!” Orang-orang itu mengambil dan mengumpulkan duriandurian jatuh. “Enak!” Terdengar suara mereka saat memakan durian yang tebal isinya.
50. The hornbill then pecked at the durian until it fell down for those who were working together sowing seeds. Then someone said, ‘It seems that this hornbill can understand what we’re saying!’ The people then took and gathered the fallen durian. ‘Delicious!’ you could hear as they ate the durian, full of fruit.
51. Kemudian burung enggang itu terbang pulang ke rumah. Orang-orang yang menugal tadi pun pulang dan berkumpul. Mereka semua bangga sekali pada Usung Bayung dan memilihnya menjadi kepala kampung (pemimpin kampung).
51. Then the hornbill flew back home. The people sowing seeds also went home and gathered together. They were all proud of Usung Bayung and chose him become the village chief.
52. Beginilah kira-kira keadaan yang Usung Bayung Marang harapkan bisa terwujud di kampung mereka. Pertama katanya, “Marilah kita hidup bersama untuk tujuan mulia.” Kedua, “Bersatu hati agar kita bisa bersatu menghadapi orang yang mau merusak kampung kita.” Ketiga, “Mari berpikir untuk saling mengasihi terutama kepada mereka yang hidup susah.” Dan keempat, ia berkata, “Jangan kita masing-masing mempunyai pikiran jahat kepada sesama saudara.”
52. This is roughly what Usung Bayung Marang had hoped for for his village. First he said, ‘Let us live with good intentions.’ Second, ‘Join our hearts, so we can face together those who would destroy our village.’ Third, ‘Let us always feel kindness for each other, especially those whose lives are difficult. And fourth, he said, ‘Don’t let us have bad or evil thoughts against each other!’
53. Beginilah kisah Usung Bayung.
53. This is the story of Usung Bayung.
193
Ketena’ Bulak umet Naa Keramo’ Paran Usat 1. Un tawaié ni uva’ ketei tekena’ pé kenai lu avi’ da ko’ Lung Tungu ini. 2. Tiga ta a. Un dité pu’un-pu’un ileu nai bulak ni da anak uvan na di’ ketai lu tuyen tegen asi’ murip ko’ Apau Kayan ti. Na urip lu ko’ Apau Kayan kasip ta dité, ncé’un uman usen ngan ncé’un kelenya’. Ya’ aring-aringa mpei lu uman usen daleu lu ko’ Apau Kayan ni un, na dalem mengiti o nenga ketai lu pekimet. Ya’ kedué dité ileu ketai kasip po’o di’ na pilu uva’ ke sekula di’, ma’an dité ileu uva’ pekalai uvan na su’ lu ngan kota ngan sekula, ma’an ditéa. Nenga mengiti dité ileu ke sedep kumé di’ mo’o tiga nilu tai murip kava’ ti dani’-dani’ tilu irap sé usen dani’ tilu so’on anak lu tai sekula kendaau lu no’o. Nenga tuman lu dité uva’ kenai bulak ni da. 3. Penguva’ dité ileu pengimet uva’ kenai bulak da ma’an dité ileu kenai pa uvan na mpei dulu uva’ ileu ke bulak un, ineu pilu dekep mengiti ko’ Apau Kayan ti murip. Buké ileu mena’at dité uvan dulu ko’ ava’ ni o di’ tiga dité dulu petuk uman sé usen, tu’é dité dulu so’on anak dulu tai sekula, ngedani’ ko’ Tanjung. Ti tuman-tuman dité ileu kumé, “oi ineu pa ba’an daau dulu ke mapo ileu, bang tai nilu mejo peteneng urip lu kata lu” kumé no’o. Nenga tuman dité ileu meneto irap janan kata-kata lu no’o. 194
Cerita Perpindahan dari Naa Keramo’
Moving out of Naa Keramo’
Paran Usat
Paran Usat
1. Saya hendak menceritakan bagaimana akhirnya kita sampai ke Lung Tungu.
1. I want to tell you about how we finally arrived in Lung Tungu.
2. Begini ceritanya. Pada dasarnya, yang membuat kami pindah, kami tidak tahan lagi hidup menderita di Apau Kayan. Kehidupan kami di sana sungguh sulit, terutama karena tidak ada garam dan minyak. Jadi, alasan yang pertama adalah karena di Apau Kayan tidak ada garam maka kami mulai berpikir untuk pindah. Alasan yang kedua adalah kami mengalami kesulitan untuk bersekolah karena jarak untuk pergi ke kota maupun ke sekolah sangat jauh. Dan tampaknya dua alasan inilah yang membuat kami berencana pergi ke hilir, di mana kami bisa mencari garam dan menyekolahkan anak kami. Begitulah kira-kira niat dan alasan mengapa kita ingin pindah. 3. Saat kami sudah merencanakan pindah rupanya orang-orang kampung lainnya tidak mau dan sulit pindah, mereka tetap ingin berkumpul di Apau Kayan. Padahal kami melihat kehidupan orang-orang luar, yang tinggal di hilir, berlangsung dengan baik karena bisa makan garam, bisa menyekolahkan anak dan dekat dengan kota Tanjung. Oleh karena itu kita katakan, “Oi! Apa lagi yang membuat kita harus bertahan? Kita pergi saja agar bisa memperbaiki hidup kita!” Tetapi akhirnya kita memutuskan untuk mencari jalan sendiri-sendiri.
2. So this is the story. Essentially, what made us move, we could not stand anymore suffering in Apau Kayan. Our lives there were really hard, mostly because there wasn’t any salt or oil. So, the main reason was because in Apau Kayan there wasn’t any salt, so we began to think about moving. The second reason, was that it was hard to go to school, because it was so far to town, let alone to the school. And it seems that these two reasons made us decide to go downstream, where we could find salt and send our kids to school. So that’s the reason why we wanted to move.
195
3. When we had already planned to move, it seemed people from other villages didn’t want to move because it was hard, they wanted to stay together in Apau Kayan. However, we could see how people outside lived, those who lived downstream, how smoothly things went because they could eat salt, they could send their kids to school, and they were close to the town of Tanjung. Because of that we said, ‘Hey! What else must we endure? We’re going to go to improve our lives!’ So finally we decided to find our way ourselves.
4. Uva’ lu kenai sedingan Pesurang da no’o, na pilu ncé pemung lebu’ ngan iré di’ ari’ Lebu’ Kulit lu’ tira. Nenga tuman-tuman lu kumé tai nilu pemung ngan iré neng janan. Kelu no’o “nenga lu tai da!” O pa kelu di’ sala’ dité kenai mé’ aring da. Balai lu’ mé’, mpei nai mung un mengutong dité tegu’ ileu lu’ nilu. Nai neng kata-kata lu sedingan Pesurang ra da nyé tuman lu nai leka’ no’o da. 5. Nyé kenai lu neng janan no’o pelolo pa. Ma’an tegen na mu dité ileu uyai janan petawo, dité ileu uyai alut petawo, mengiti dité ileu. Buké ncé’un sala’ tegen né pekimet dité asat mé’ teleu neng janan da di’ sé bulan mateng-mateng: mé’ teleu leka’ tanggal sé bulan tusu uman sé ribu pi’en ato lemé pulu’ tuseu, mé’ teleu pavi’ ko’ Lung Tungu ni. Ngan tiga mpei un sé-sé ineu ya’ uvan mé’ tai un sakit, un pengelema’, un sé tusa un neng janan pejo lu’ kenai mé’ teleu, nyé té kenai asat mé’ teleu da’. 6. Nyé kenai lu kava’ ni no’o di’ un na dité kelepeng lu kedu’ut da na ngan dulu, na ngan lebu’ pu’un bini da o. Mpei pa masan o sulo kenai Pejipa ra da, po’o iré maté Pelisa’ ra da no’o ira’ kadu’ neng uman lemé pulu’ tuseu da o. Nenga kenai ra po’o nai pit teleu kini o.
196
4. Kami ingin pergi bersamaan dengan Pesurang. Kita tidak berkampung bersama dengan mereka (Pesurang dan orangorangnya) tapi mereka juga bersuku Lebu’ Kulit. Di situlah alasan kenapa kami ingin bergabung dengan mereka. Kita bilang, “pergilah kita!” Kemudian kami sadar kalau kami salah pergi dahulu. Sebagian saja kami, ternyata tidak semuanya berkumpul. Dengan mengikuti kemauan sendiri-sendiri bersamaan dengan Pesurang, kami berangkat.
4. We wanted to go with Pesurang. We weren’t from the same village as them, but they were also Lebu’ Kulit. That’s why we wanted to join them. We said, “let’s go!” Then we realized that it was wrong to go first. Only a number of us went, not everyone gathered together. So with each group doing as it pleased, we set out following Pesurang.
5. Selanjutnya kita berangkat. Perjalanan saat itu sungguh berat, terutama karena kami harus membuat jalan darurat dan perahu darurat. Begitulah keadaan kami. Jika tidak salah, saya pikir, perjalanan itu berlangsung satu bulan persis. Kami berangkat tanggal satu bulan tujuh tahun 1957 dan tiba di Lung Tungu tanggal satu. Kami tiba di sana dengan selamat dan tidak ada satupun persoalan, misalnya menderita sakit, yang terjadi selama perjalanan. Tidak ada sama sekali kekurangan dan kesusahan selama dalam perjalanan, semuanya berlangsung lancar. Begitulah perjalanan kami.
5. Then we were on the road. The journey was really difficult then, especially because we had to make emergency roads and emergency boats. That was our situation. If I’m not mistaken, I think, the journey took one month exactly. We left on the first day of the seventh month of 1957 and arrived at Lung Tungu on the first day too. We arrived there safely, without any complications, for example, illness, on the way. There was no lack of anything or any difficulty for the whole journey, everything went smoothly. That was our journey.
6. Setelah sampai di hilir, kami berkumpul dengan orang kampung yang sudah lama menetap di sana. Jumlah kami saat itu masih sedikit. Namun tidak lama kemudian datanglah Pejipa, bersama dengan almarhum Pelisa’, dan rombongan pada tahun lima puluh tujuh. Kedatangan mereka menambah jumlah kami di sini.
6. Once we arrived downstream, we gathered with the people of the village who had already lived there for a long time. Our numbers were very small then. But not long after that Pejipa came, along with, rest his soul, Pelisa’, and a whole group in ’57. Their arrival added to our numbers there.
197
7. Ni dité ketai lu murip neng o irai o, lan di’ un ta dité tigaa o, tai uman usen nilu o un kelenya’ nilu o ngan uva’ na dité ileu ka uyai lamin pa no’o. Nenga ta tuman dité ileu pedeng sé lamin sekula. Dité ié sekula teleu neng Lung Tungu ni aring-aring irai o, guru’ ya’ nai nenga daleu inyé guru’ Ifung, sé Lebu’ Kulit lu’ ta ié nai. Sulo ra petawo irap anak sekula ira’ uvan taro ka tisen sekula ko’ Naa Keramo’ ti irai o ira’ uvan lepek kelas teleu. Sulo ra ala’ Petingang Ifung di’ ala’ Pudau Jawan da o nyé pit ié daleu irai o, sulo rateleu pasat sekula nyé da o di’. Iyah, un dité pekaliu na o un dité peniga na o! 8. Sulo lu uyai sé sekula pelé’é po’o ti ketaa dekep téa no’o. Sekula ya’ ileu uyai ti no’o di’ atek sekula tageng na ditéa o, kepang beli’en nia o, sapau beli’en mung na dité peging dapuna o ngan bila’ tua’ na nting nga o. Nyé dité ileu pedeng sekula irai da. 9. Na buké aki’ na’at dité urip teleu nakini no’o, ni ya’ tegen ileu kuva’, irai o ini ti ya’ tegen ileu kadep irai, uva’ dité ikam anak bini ketai un sé penisen ngan dulu bareng-bareng. Bang ncé barengbareng lu’ nem teleu anak neng urip nem teleu o ini o, mpei masan mé’ kematai no’o ta’an mu di’, masa’ ikam nia ami’ ketina tegen ka peteneng sé urip. Tiga-tiga lu’ nem teleu o anak ilan ikam teleu murip apan na dengé teleu neng Lung Tungu ni o, sedi’ un ta daau dulu kumé o tiga dité uvan ra ko’ Tungu ti kumé o. Iti tegen kepenguva’ lu mpei lu uva’ dulu ke suto’ ileu.
198
7. Sekarang, sebagaimana kalian lihat, kehidupan kami di sini berjalan jauh lebih baik. Kami bisa makan dengan garam, memiliki minyak dan mempunyai semangat untuk membangun rumah. Itulah sebabnya kami mendirikan sebuah gedung sekolah, sekolah pertama di Lung Tungu. Guru pertama di sekolah itu adalah Ifung, seorang Lebu’ Kulit, dan sementara murid-muridnya adalah anakanak sekolah yang sudah pernah sekolah sampai kelas tiga di Naa Keramo’ tetapi tidak melanjutkan dan maunya hanya bermainmain saja. Kemudian mereka juga merekrut Petingang Ifung dan Pudau Jawan untuk menambah jumlah guru dan untuk menjalankan sekolah itu. Ya, terlihat sekali ada perkembangan dan kemajuan!
7. Now, as you can see, our lives here are far better. We can eat with salt, have oil, and have the energy to build houses. That’s why we built a school, the first school in Lung Tungu. The first teacher at the school was Ifung, a Lebu’ Kulit man, and at first the students were school children who had gone to school up to the third grade in Naa Keramo, but hadn’t continued and only wanted to fool around. Then they recruited Petingang Ifung and Pudau Jawan to add to the number of teachers and get that school going. Yes, it’s very clear that there has been progress and development!
8. Lalu kami mendirikan sebuah sekolah lagi yang lebih lengkap. Gedung sekolah itu sangat kokoh, atap serta dapurnya dari kayu ulin, dan dindingnya dari papan. Seperti itulah gedung sekolah yang kami dirikan.
8. Then we founded a more complete school. The building was very solid, the roof and kitchen were made from ulin wood, and the walls from boards. That’s what the school we founded is like.
9. Jadi, jika saya menyaksikan kehidupan yang sekarang, rasanya memang inilah yang kami maui, yang kami inginkan, yaitu ingin melihat kalian sebagai anak-anak yang mampu menyerap pengetahuan dari orang lain. Janganlah sembarangan kalian menjalani hidup ini! Kami tidak lama lagi akan meninggal, kalianlah yang kami harapkan dapat meneruskan kehidupan kami. Baik-baiklah membawa hidup kalian supaya nanti tersiar kabar dari Lung Tungu, dan semua orang mendengar, bahwa hebat juga mereka yang tinggal di Tungu itu. Itu keinginan kita karena kita tidak mau dihina oleh orang.
9. So, if I look at our lives now, I feel this is indeed what we had wanted, what we longed for, that is, to see all the children able to soak up knowledge from others. Don’t live your lives at random! We’re going to die soon, you (children) are the ones we hope will continue our lives. Carry your lives well, so that someday the news will spread from Lung Tungu, and everyone will hear, how great they are who live in Tungu! That’s our hope, because we don’t want to be insulted by others.
199
10. Un ileu murip ni uvan na pasa uva ketiga, uva’ séé’. Dité dulu ni pasa uva’ ketai ko’ jumé, dulu ni mengiti dité penguyan dulu murip nakini. Mpei un dité dulu uva’ ka keno’-keno’ ya’ ini un uvan na uva’ ka tiga dité dulu. Bang petangen anak nem teleu ni lu’ nem teleu mengayet, so’on iré sekula apan nem ncé’un keba’an dité ami’ ira’ atek pegayeng umé un, uvan na un dité ileu ira’ pegayeng umé ni kasip alé’ dité ileu murip ngan maan dité a. Ineu lé’é dité ikam anak ira’ ini murip nakini kelo dité ikam neng gayeng umé, mpei dité ikam senteng keba’an ami’ ka ngkang asai, ngkang malat un. 11. Bang mengiti lu’ daau lu bara’ dité uvan penguyan kenai teleu kava’ ni ngan dulu murip. Na bang inyé lu’ aki’ uva’ ketei kumé teleu kedu’ut da.
200
10. Dalam hidup, kita harus senantiasa berlomba-lomba untuk maju dan dewasa. Lihatlah semua orang berlomba-lomba maju ke depan, sebagaimana yang dilakukan orangorang di jaman sekarang, dan tidak ada yang mau ketinggalan. Semua orang ingin maju. Doronglah anak kalian agar rajin, berusahalah supaya mereka terus bersekolah agar kalian tidak seperti kami yang memang petani ini. Menjadi seorang petani itu sangat menderita dan susah, apalagi anak-anak sekarang sudah semakin malas bertani. Kalian sudah tidak seperti kami yang memegang kapak dan parang.
10. In life, we must compete to get ahead and become adults. Look at everyone racing ahead, whatever people are doing now, they don’t want to be left behind. Everyone wants progress. Push your kids to be motivated, try to make sure they continue their schooling, so that you won’t just be farmers like us. To be a farmer is to suffer, especially now with children so much more reluctant to become farmers. You are already not like us, who hold the axe and machete!
11. Begitulah ceritanya bagaimana kami datang ke hilir untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Itu saja yang sedikit saya mau sampaikan pada kalian.
11. So that’s the story of how we came downstream to find a better life. That little bit is all that I want to tell you.
201
Baya’ Sungai Sega ngan Baya’ Lirung Kayan Tulung Anyé 1. Mekini daau ketena’ ini. Aring-aringa, un neng lirung Kayan ko’ Bulungan ni, kadu’ alé’-alé’ baya’ nenga uvana lirung iti ja’au, ngan lé’é di’ dalem. 2. Un no’o, uvan tai kelepeng na baya’ biti o, senteng lu’ ke kumé, mung-mung baya’ iré bai. Un ngkin iré kelepeng iti o, suloa menaring tia no’o, un daaua: “mengempei daau teleu ni, teleu baya’ ira’ neng lirung Kayan ni na atek kadu’ ba’ane mu?” mekiti daaua. Sulo ira’ kadu’ iti mipa, “po’o lan alé’ lu’, iré metuk pa isiu ati po’o, buké ileu mena’at di’, teleu ni kadu’ ira’ mayeng, ngan makang.” mekiri ta kadu’ ira’ ja’au usé. Un ta baya’ ira’ pipa teleu ni kekua’ teleu ta’an mu?” Un daau sé: “aki’pekimet di’ mpei un baya’ ketai kua’ kadu’ teleu un. Teleu ni mayeng, ngan makang”. 3. Uvan tai na isiu rati pavi’ ko’ baya’ ira’ ko’ Sega iti o. Un ya’ sekening isiu ti ié bara’ kumé pengeja’au ra ti o. Sulo pengeja’au baya’ bini kelepeng baya’ neng sungai Sega Kabupaten Berau ti. Mung-mung baya’ nai kelepeng, sulo ya’ sekening isiu ti penco isiu irai na kumé ketu’-ketu’ baya’ biti no’o. Daleu ra sekening daau ya’ bara’ iti, mpei ti po isiua lu’ pu’un, nyatana daau lelem baya’ biti keto’. 202
Buaya Sungai Segah dan Buaya Sungai Kayan
The Segah River Crocodile and the Kayan River Crocodile
Tulung Anyé
Tulung Anyé
1. Beginilah bunyi fabel ini. Dahulu kala di sungai Kayan yang besar dan dalam, di Kabupaten Bulungan, terdapat banyak sekali buaya.
1. This is how the story goes. In the old days, in the Kayan River, large and deep, in Bulungan County, there were many crocodiles.
2. Suatu hari, di sana, semua buaya diundang berkumpul. Kemudian seekor buaya pengundang angkat bicara, “Saudara-saudara sekalian, setujukah kalian dengan pendapat saya bahwa kita, buaya di sungai Kayan ini, adalah kelompok buaya terbesar?” Mereka menjawab, “Benar sekali yang Anda katakan! Menurut pendapat kami, di antara kita banyak sekali buaya yang kuat, berani dan berbadan besar. Adakah buaya di sekitar sini yang setara dengan kekuatan kita?” Salah satu dari mereka berkata juga, “Aku pikir tak ada kelompok buaya yang lebih besar dibanding kita. Kitalah yang paling kuat dan berani.”
2. One day, all of the crocodiles were invited to gather there. Then the crocodile who invited all the others began to speak, ‘Brothers and sisters all, do you agree with my thinking that we, the crocodiles of the Kayan River, are the largest group of crocodiles?’ They answered, ‘It is very true what you say! According to us, among us there are many who are strong, brave, and very large. Are there any crocodiles around here that can compete with our strength?’ One of them also said, ‘I think there is no other group of crocodiles which is larger than ours. We are the strongest and bravest.’ 3. Apparently, their words were heard by the group of crocodiles who lived in the area of the Segah River. A crocodile who heard this news directly informed their leader. After hearing this news, their leader immediately gathered together all the crocodiles in the Segah River, in Berau County. As soon as they were all gathered, he told them the news, but before he could finish telling them the news, there were thousands of crocodiles screaming in anger because they couldn’t bear to hear any more.
3. Rupanya pembicaraan mereka itu terdengar sampai ke kelompok buaya yang mendiami wilayah sungai Segah. Seekor buaya yang mendengar berita itu langsung menyampaikannya pada pemimpin mereka. Setelah mendengar berita itu, sang pemimpin segera mengumpulkan semua buaya di aliran sungai Segah Kabupaten Berau. Begitu semua berkumpul ia pun menyampaikan berita itu. Belum habis semua berita itu disampaikan, saat itu juga ribuan buaya itu berteriak marah karena tak tahan mendengarnya.
203
4. Un daau pengeja’au ra ti o mekini, ié muteu ra tiga-tiga. “Mengempei tegen teleu sekening isiu umet baya’ lirung Kayan ni tiga temu, un ta tegen teleu uva’ kebara’ makang teleu ngan ayeng teleu katap iré mu?” Buké ra sekening baya’ ira’ kadu’ iti, nyatannyatan buteng daau ra nu’un. Busek ketai tua’ nira mengayau ko’ lirung Kayan ti. 5. Un pengeja’au ra ti, ié petusap kura’ kadu’ baya’ ira’ nai kelepeng iti, kadu’ ra dué ribu kadu’ ra. Iré pekata kadu’ ra ngan baya’ lirung Kayan ti, teleu ribu kadu’ ira’ neng lirung Kayan ti. Iré sekening baya’ lirung Kayan ti sui’ kadu’ o, nco keto’ pa ira’ neng sungai Sega’ biti lé’é. 6. Sulo pengeja’au ra ti puteu ira’ uva’ ketai mengayau na ko’ lirung Kayan no’o. Ira’ uva’ ketai iré so’on ra menco’ usu’. Barép... mung ra tua’ na menco’ usu’! Un daau sé nengaang iré o, uséa ja’au, ke ja’au alut ni uséa, murip sé pu’un talang neng likut ta. Un daau kumé iré, “senteng tengené tai, nyem nem ira’ kadu’ ini teri’ nai.”
204
4. Sang pemimpin kemudian bertanya baik-baik, “Apa pendapat kalian setelah mendengar berita dari buaya sungai Kayan? Perlukah kita tunjukkan pada mereka kekuatan dan keberanian kita?” Buaya-buaya itu mengeluarkan suara bergemuruh saking marahnya, mereka segera ingin pergi menyerang ke sungai Kayan.
4. The leader then asked them politely, ‘What do you think after hearing this news from the Kayan river crocodiles? Do we need to show them our strength and bravery?’ The crocodiles let out a thundering scream in anger, they wanted to go right away to the Kayan River and attack.
5. Kemudian sang pemimpin menghitung seluruh buaya yang hadir dalam pertemuan itu tetapi hasilnya hanya 2000 ekor. Bila dibandingkan, masih lebih banyak buaya yang ada di sungai Kayan karena jumlah mereka 3000 ekor. Sekali lagi, buaya sungai Segah naik pitam karena mendengar buaya di sungai Kayan masih lebih banyak.
5. Afterwards, the leader counted all of the crocodiles who had attended the meeting, but he only got 2000 crocodiles. When compared to the other group, there were still more crocodiles in the Kayan river, because their numbers were 3000. Once again, the rage of the Segah river crocodiles rose because they heard that there were more crocodiles in the Kayan River.
6. Sang pemimpin kemudian bertanya siapa saja di antara mereka yang mau ikut menyerang ke sungai Kayan diminta mengacungkan tangan. Dan, wow... mereka semua mengacungkan tangan! Tetapi pada saat itu terdengar seekor buaya yang tubuhnya besar sekali, seukuran badan perahu dan di punggungnya tumbuh sebatang pohon talang, berkata, “Kalian semua tidak usah ikut, cukup aku sendiri saja yang berangkat.”
6. Then the leader said whoever among them wanted to attack the Kayan should raise their hand. And, wow… they all raised their hands! But at that point they heard a crocodile whose body was huge, as big as a ship, and on his back grew a talang tree, he said, ‘You all don’t need to bother coming, it’s enough for me to go alone.’
205
7. Mekiti kadu’ ra uva’ ketai, mpei senteng un, uvana ja’au alé’alé’a, mekiti no’o mengan ketai leka’ nia o. Un kelepek isiu ra ti, iré so’on sé anak ketai ngan ié, anak iti uku’ mapo pu’un talang neng likut ati. Kadu’ anak ira’ uva’ ketai, ari’ bang sé lu’ senteng tai. 8. Neng dau baya’ ini ketai leka’ ti mung kelunan ngan mungmung baya’ neng alo sungai Sega ti kelepeng mena’at ketai dué leka’. Mung-mung kelunan man belira, ntung dulu peman usu’ ngan dué. Un sinen ngan tamen anak ya’ uku’ nyekapeu talang iti menangé tua’ nira pekaka’ anak iti. Mekiti bangen daau lala kelunan mengalang sungai Sega ti mena’at ketai baya’ ja’au ti tai ilan dué medik. 9. Mpei nya’in pavi’ na dué ko’ janan Aking Sega ti. Sulo baya’ ti ilan dué pelempet; kena dué pelempet ti, anak iti mesik sapai da, mentang neng sé da’an kayeu kedana’ janan dué neng ikeng ti masé sungai Sega ti.
206
7. Banyak sekali buaya yang ingin ikut menyerang tetapi tidak bisa (karena kecil dan lebih sedikit). Ia sendiri merasa badannya sangat besar. Suara-suara semakin riuh karena ingin lekas pergi menyerang. Setelah mendengar perkataan buaya itu, mereka kemudian menyuruh seorang anak untuk menemaninya. Anak itu duduk di punggungnya sambil memeluk batang pohon talang. Sekalipun banyak anak yang ingin ikut tetapi hanya seorang saja yang diijinkan pergi bersamanya.
7. Many of the crocodiles wanted to come and attack but they couldn’t (because they were small and fewer). He himself felt his body enormous. Their voices rose and rose because they wanted to attack right away. After hearing the words of that crocodile, they ordered a child to accompany him. That child sat on his back holding onto a branch of the talang tree. Although a number of children wanted to go with him, only one was allowed to go together with him.
8. Pada hari yang telah ditentukan, seluruh penduduk dan buaya sungai Segah berkumpul mengantarkan keduanya berangkat. Mereka memegang bendera dan menjabat tangan keduanya. Kedua orang tua anak yang duduk memeluk pohon talang itu menangis saat turut mengantar keduanya. Riuh rendah suara orang sepanjang sungai Segah saat mengantar keduanya pergi ke hulu.
8. On the day which had been set, all of the denizens and crocodiles of the Segah River gathered to send off the two of them. They held flags and shook their hands. The parents of the child sat holding the talang tree, crying while sending them off. A low buzz of noise filled the length of the Segah as they were delivered upstream.
9. Tak lama kemudian keduanya sampai di jalan Aking Segah. Buaya dan anak itu menyusuri jalur sungai yang sudah ada sejak dulu. Anak itu lalu membuka baju dan menggantungkannya pada salah satu dahan kayu sebagai tanda bahwa keduanya telah meninggalkan sungai Segah.
9. No long after, the two of them arrived at Aking Segah road. The crocodile and the child went along the edge of the stream which had been there since before. Then the child took off his shirt and hung it on a tree branch as a sign that they had already left the Segah River.
207
10. Neng kenai dué so’o ti, beleka’ usan nai kasan kenai dué pengalang sé lalut. Penigaa o, usan iti na ilan sungai pekalo lalut iti nenga melai na kenai dué masat pavi’ sungai Iin ni. Buké ileu mena’at janan pengalang lalut iti, meneto to telit tuana neng lepek usé baya’ iti lalau ati uvana usé baya’ iti ja’au, taket ati mekut tuana tana’ pé ketai tana’ pekut, bateu ja’au pa paso tua’ na pé ketaa baliu belaau dalem. 11. Mekiti dué so’o Iin ti, kadu’ lebu’-lebu’ dué lalau, pavi’ ko’ alo Pengian ti. Dué lalau lebu’ Punan, lebu’ Lung Buang, Lung Lian, Lung Peso’, Lung Lasan. Dué pavi’ Lung Lasan ni, dué kanyé ira’ tai isiu aring kumé baya’ ko’ lirung Kayan ti, un ira’ tai ngkin isiu ti ko’ lirung Kayan ti, ngaran dué Usé ngan Lajan. 12. Tai dué pavi’ ko’ iti, tekejet alé’-alé’ baya’ ko’ lirung Kayan ti sekening isiu neng daau kenai surup umet baya’ sungai Sega ti. Mekiti palet pengeja’au baya’ petebai baya’ lirung Kayan. Kelepeng ketu’-ketu’, isiu ya’ ié sekening umet Usé ngan Lajan ti ié bara’ mung-mung.
208
10. Ketika mereka menuju hilir dengan menyusuri satu anak sungai tiba-tiba turun hujan yang menguntungkan keduanya. Hujan itu membuat arus sungai bertambah besar sehingga mereka lebih mudah melaluinya sampai ke sungai Iin. Kalau tadinya aliran sepanjang sungai kecil itu berbelok-belok, dengan besarnya tubuh buaya itu langsung menjadi lurus karena tanah pinggirannya longsor. Kakinya menggerus dan menyeret longsoran tanah itu. Semua batu besar di sungai itu ikut terseret pindah sehingga air sungai menjadi tenang dan dalam.
10. When they were going downstream following along the edge of a tributary, suddenly it began to pour rain, which was lucky for the two of them. The rain made the current of the tributary grow stronger so that it was easier for them to cross it and get to the Iin River. If before the course of the whole stream twisted and turned, then, it directly became straight because the body of the crocodile was so big it caused landslides along the edge. His feet crushed and dragged the mud from the landslide. All of the large rocks in the river were dragged away, so that the water in the river became calm and deep.
11. Begitulah, sampai keduanya tiba di sungai Iin. Banyak kampung yang mereka lewati antara sungai Iin dan sungai Pengian seperti kampung Punan, Long Buang dan Long Lian. Kemudian keduanya sampai di Long Peso, Long Lasan. Setibanya di Long Lasan keduanya mencari orang-orang yang akan diutus pergi menyampaikan pesan ke sungai Kayan. Utusan itu bernama Usé dan Lajan.
11. And so the two of them arrived at the Iin River. They passed a lot of villages on their way from Iin River to Pengian River, such as Punan, Long Buang, and Long Lian. Then the two of them reached Long Peso, Long Lasan. As they arrived at Long Lasan, the two of them searched for someone to send and deliver a message to the Kayan river. The messengers ‘names’ were Usé and Lajan.
12. Begitu kedua utusan itu menyampaikan pesan, terkejutlah pemimpin buaya sungai Kayan karena ternyata telah datang seekor buaya sungai Segah yang hendak menyerang mereka di sungai Kayan. Segera pemimpin buaya sungai Kayan itu memanggil semua buaya di aliran sungai itu dan setelah semuanya berkumpul, ia pun menyampaikan pesan yang dibawa Usé dan Lajan.
12. As the two messengers delivered their message, the leader of the Kayan River crocodiles was shocked, because it turned out there was already a crocodile from the Segah River who wanted to attack them in the Kayan. The leader of the Kayan River crocodiles immediately called all the crocodiles in the river, and after they had all gathered together, he also sent a message to be carried by Usé and Lajan.
209
13. “Nteng na teleu tebei keba’an umet kena da, uvan un na kenai ayau uyai surup ra kenai pepatai ngan teleu lawé isiu teleu da uvan tai pavi’ na ko’ mpun baya’ ko’ sungai Sega ti, kadu’ ra dué ribu. Ari’ ya’ kenai menyurup teleu bang sé lu’, ja’au alé’-alé’ daaua, sé anak uku’ usun likut ati, nyekapeu sé pu’un talang. Iti daau ko’ Lung Lasan ti mekini isiu ya’ aki’sekening. Mengempei tegen teleu kengejumé ié? Senteng ta teleu? Un teleu menyakat mu?” 14. Iré sekening daau isiu pengeja’au ra ilan iré ‘menyakat’ ti, pa na lan na kimet ira’ kadu’ ti, isiu ira’ kadu’ ti uva’ ke menyakat tua’ nira! Mekiti no’o kenai Usé ngan Lajan da bara’a na kumé baya’ ja’au irai ko’ Lung Lasan ti o. 15. Un baya’ ngan anak ya’ ié ilan usun likut ati irai kenai dué na so’o alo Kayan ni o. Daleu dau belua’ ni dué lalau dulu neng lebu’ Lepak Aru’, Naha Aya’, Lung Telinjau, Lung Bang, Lung Tungu ngan Lung Lembu. Mpei nyatan selap dité kelunan na mena’at dité kenai dué so’o alo Kayan ni un mengempei dité kapen ja’au ko’ sungai mé ti, mekiri dité kenai baya’ ja’au iti so’o. Dité saré bengaai ni ko’on tana’ tevi senutung ko’on baya’ iti, tanjui daru’ ngan kileng alo Kayan ni meneto’ telit tua’ na ko’on taket baya’ iti kenaa pekut.
210
13. “Janganlah kita meremehkan keadaan karena sekarang datang musuh yang hendak menyerang kita gara-gara pembicaraan kita beberapa waktu yang lalu telah tercium oleh kelompok buaya sungai Segah yang berjumlah 2000 ekor. Tetapi yang akan datang menyerang kita sekarang ini hanyalah seekor buaya, yang katanya besar sekali, dan seorang anak yang duduk di atas punggungnya sambil memeluk sebatang pohon talang. Begitulah kabar dari Long Lasan yang saya dengar. Bagaimana cara kita menghadapinya? Kita mau melawannya?”
13. ‘Don’t underestimate the circumstances, because now an enemy has come who wants to attack us because what we spoke about a while ago has been heard by the Segah River crocodiles, who are 2000 strong. But the one who has come to attack is only one crocodile, they say he is enormous, and a child sits on his back holding onto a branch of a talang tree. That’s the news that I heard from Long Lasan. How should we face this? Should we fight back?’
14. Setelah mendengar ‘melawan’ dari sang pemimpin, mereka semua pun bertekad untuk melawan. Dan setelah mendengar keputusan mereka, kembalilah Usé dan Lajan untuk menyampaikannya kepada buaya besar yang sedang menunggu di Long Lasan. 15. Buaya dan anak yang duduk di atas punggungnya kemudian berjalan ke arah hilir sungai Kayan. Tepat tengah hari, mereka melewati kampung Lepa’ Aru, Naha Aya’, Long Telinjau, Long Bang, Long Tungu dan Long Lembu. Sepanjang jalan orang-orang takjub menyaksikan keduanya yang sedang menyusuri hilir sungai Kayan. Laksana kapal besar berlayar di laut, begitulah rupa keduanya ketika sedang menyusur ke hilir karena luar biasa besarnya badan buaya itu. Tanah di pinggiran sungai itu menjadi longsor karena didorong oleh badan buaya itu, tanjung di sungai Kayan yang panjang dan tadinya berbelok-belok menjadi lurus karena kaki buaya itu datang menyeret tanahnya.
14. After hearing ‘fight’ from their leader, they all intended to fight! And after hearing their decision, Usé and Lajan went back and delivered the decision to the big crocodile who was waiting in Long Lasan.
211
15. The crocodile and the child who was sitting on his back then walked down the Kayan. At midday, they passed by Lepa’ Aru village, Naha Aya’, Long Telinjau, Long Bang, Long Tungu, and Long Lembu. All along the road people were astonished to witness the two of them going downstream along the edge of the Kayan. Like a large ship sailing in the sea, so the two of them appeared as they went downstream along the edge of the river because of the incredible size of the crocodile. The land on the edge of the river crumbled because it was pushed by the body of that huge crocodile, the cape of that river which twisted and turned became straight because that huge crocodile crushed the earth beneath his feet.
16. Tengen bateu luvit, mekiri ta kayeu tuvang, tengen dité bavui ngan payau lap mengasa. Pavi’ na dué ko’ lirung Kayan ti o. Tai dué menumon pavi’ sé bulan tanjui un ait nenga. Usun ait iti ié pelek anak ya’ ié ngkin irai. Ié pekatuk anak iti so’on ié mena’at umet ait iti ineu ya’ kenuyan neng lirung Kayan ti bo’o. Un anak iti ja’au ta kimeta po’o, uvana ja’au tebeluma baya’ iti tetoa ko’on usuna, uvana ja’au ngan mayenga mekiri pa alé’ lu’ a. 17. Mena’at baya’ iti kava’, ko’ déé, lengiyeu lu’, mpei un sé-sé kawet ineu-ineu un. Sulo baya’ iti ngelungun na pekena kenai kawet baya’ neng lirung Kayan ti umau. Kua’ lu’ kenai baya’ biti umau ko’ bengaai ti, ié petusap ra teleu ribu kadu’ ra. Mpei ra uva’ kenai ko’ belua’, un baya’ ja’au ini aring tai ko’ belua’ ti pekena. Meto mentem dité alo Kayan ni ko’on liung tung talang ngan ngelenék belua’ alo Kayan ni ko’on lenék tekesuk baya’ iti. Mekiti ya’ ngelungun ko’ belua’ ti. 18. Kenai sé baya’ ira’ pengakang neng lirung ti tua’ na ngedani’ ié. Mekiti dué pedani’, sulo dué pesepa’at ntung meneset nya’in. Mo’o sungai nai ngebura’ kawang tegu’ dué da. Kenai ketumput po’o, tengen kenai liré, mekirepa kenai bura’ pelé’é. Lepek iti, bang kenai patai baya’ lirung Kayan irai umau.
212
16. Selain itu banyak batu yang terguling, kayu-kayuan tumbang, serta babi-babi dan kijang berlarian tunggang langgang. Sesampainya di sungai Kayan, keduanya lalu menuju ke satu tanjung berpasir. Buaya itu meletakkan anak itu di atas pasir dan menasehatinya supaya anak itu menyaksikan saja dari pasir itu apa yang akan terjadi. Anak itu bangga sekali dan berharap buaya itu akan menang karena badannya yang luar biasa besar, berani dan kuat.
16. Other than that, a lot of stones were rolled over, trees fell with a thud, pigs and deer ran hither and thither. As they arrived at the Kayan River, the two of them headed for a sandy promontory. The crocodile placed the child on the sand and advised the child to witness from there what was about to happen. The child was proud, and hoped that the crocodile would win because he was incredibly big, strong, and brave.
17. Buaya itu mulai bergerak ke tengah sungai sambil melihat ke hulu dan ke hilir bergantian. Saat itu sepi saja dan tidak terlihat tanda-tanda apapun. Lalu ia diam dan menunggu sampai terlihat buaya sungai Kayan itu muncul ke permukaan. Dan secara serentak buaya-buaya itu muncul ke permukaan air di pinggir sungai, jumlahnya 3000 ekor. Mereka tidak berani bergerak ke tengah sungai karena di sana buaya besar itu sudah menunggu lebih dulu. Saat itu sungai Kayan terlihat menyeramkan karena lambaian daun-daun talang dan gelombang air besar akibat gerakan buaya raksasa yang ada di tengah sungai itu.
17. The crocodile began to move to the middle of the river looking back and forth upstream and downstream. At that time it was quiet, there wasn’t any sign of anything. Then he was still and waited for the Kayan River crocodiles to come to the surface. Then all at once the crocodiles came to the surface at the edge of the river, 3000 strong. They didn’t dare move to the middle of the river because the giant crocodile was already waiting there from before. At that time the Kayan seemed frightening because of waves of talang leaves and huge waves of water from the movements of the giant crocodile in the middle of the river.
18. Lalu seekor buaya yang paling berani datang mendekatinya. Keduanya terlibat saling serang, bergigitan sambil menyelam lama. Dari dasar sungai buih-buih, segala macam daun, kayu dan ranting-ranting muncul ke permukaan sampai akhirnya yang muncul hanyalah bangkai buaya sungai Kayan.
18. Then the bravest crocodile finally came close to him. The two of them attacked each other, bit each other, and went under for a long time. From the bottom of the river came foam, every type of leaf, wood, and twigs came up to the surface until finally only the corpse of the Kayan River crocodile came up.
213
19. Mekiti pengakang ra da matai, sulo ketai ira’ kadu’ menyeset menakat pé-pé ju’un un kelevut kuba’an aring da. Un anak ya’ mena’at umet ait irai, daau sa’iua tengen-tengena ntunga pap usu ati. Ntung saiu anak iti tia ngepejat bangen. Un na ketai nya’in na ti no’o, nai umau na baya’ ja’au irai no’o, sulo kenaa ko’ bengaai ni ngedani’ anak iti. 20. Un baya’ ja’au iti, mpeia sé-sé uvan un sakat ko’on baya’ lirung Kayan un. Bangen pia dité anak iti po’o uvana anak iti kanjet tua’ nia bangen. Umet ait iti na dué mena’at o ra pepatai ti, dité patai baya’ birai tengen na nai leting sukung lirung Kayan ti. Neng iti na dué uku’ ngan mekiti dité uvan baya’ ti bara’ dité sentenga, bara’ makanga, sulo anak iti uyai laga tai terpal usana, nenga na dué uku’ nya’in, ngan pelé’é o, dué menco’ belira neng ait iti apan dulu ditéa. Iti sé kedana’ dué nai pepatai ngan baya’ ira’ neng lirung Kayan ti. 21. Nai pa dulu so’o umet déé, nai pa dulu umet ava’, tekené lu’ tira ju’un peliung selap mena’at belira ya’ dué pedeng ait iti. 22. Pekimet na dué nai uli’ no’o, sulo baya’ iti so’on anak iti uku’ usun likut ati. Un belira irai, anak iti man na ntunga nyekapeu pu’un talang iti. Umet lirung Kayan ni na anak iti nyilun ntunga ngedirep belira iti. 214
19. Begitu si pemberani itu mati, serentak semua buaya maju melawan sambil menyelam sampai tidak ada yang keluar dari air seperti pertempuran sebelumnya. Anak kecil yang menyaksikan dari tanjung berpasir itu berteriak sendiri, bertepuk tangan dan meloncat-loncat kegirangan. Setelah sekian lama, muncullah buaya besar itu ke permukaan dan pergi ke pinggir sungai mendekati anak itu.
19. And so the brave one died, all together the other crocodiles moved to fight and at the same time dived under so that there weren’t any out of the water as in the prior battle. The young child who was watching from the sandy promontory cheered by himself, clapped his hands, and jumped in happiness. After a while, the huge crocodile came up to the surface and went to the edge of the river and approached the child.
20. Tinggallah ia satu-satunya yang masih hidup dan tak terluka sedikitpun setelah diserang ribuan buaya sungai Kayan. Anak itu girang gembira dan menari-nari. Dari pasir itu keduanya melihat buaya-buaya yang tadi berperang menjadi bangkai yang mengapung di sungai Kayan. Keduanya pun kemudian duduk sambil menyaksikan bekas kehebatan buaya besar itu. Anak itu lalu membuat terpal pelindung. Di sana keduanya duduk lama sekali sambil mendirikan bendera di pasir supaya semua orang bisa melihatnya sebagai tanda keduanya berperang dengan buaya di sungai Kayan itu.
20. He was the one and only one left alive and he wasn’t wounded at all after being attacked by thousands of crocodiles from Kayan. The child was thrilled and danced around. From the sand the two of them saw the crocodiles who had fought before become corpses floating in the Kayan. The two of them then sat witnessing the effects of the greatness of that huge crocodile. The child then made a canvas shelter. They sat there for a long time, and erected a flag in the sand so that all could see it as a sign that they fought a war with the crocodiles of the Kayan.
21. Orang-orang yang hilir-mudik itu berhenti atau berjalan lambat-lambat untuk melihat bendera yang didirikan keduanya.
21. People who were going downstream stopped or went slowly to see the flag erected by the two of them.
22. Setelah itu, keduanya berniat untuk kembali pulang. Anak itu disuruh duduk di punggungnya sambil memeluk batang pohon talang dan mengibarkan bendera. Dari sungai Kayan, anak itu mulai menyanyi sambil mengibarkan bendera.
22. After that, the two of them thought about going home. The child was told to sit on his back and hold onto a branch of the talang tree and display the flag. From the Kayan River, the child began to sing and wave the flag.
215
23. Lebu’ ira’ dué lalau, mpei nyatan dité iré selap mena’at nu’un. Buk iré mesa, tekené lu’ tira’ pelek leu ra nai mena’at. Buké iré medu teh, medu’ kopi, tekené lu’ tira’ peleka, nai mena’at dité ketai dué lalau. Buké ira’ menyayau uleu uvana jaten, mekiri pa buké iré uman, tekené lu’ tira’ peleka daleu iti, nai mena’at dité ketai dué lalau. 24. Buké un ira’ uva’ luntu’, kenai ra tagé tua’ na paran nai mena’at dué tai lalau ti. Buké un ira’ piau ngan pesagun daleu iti, tekené lu’ tira nteng paran nai mena’at ketai dué lalau. Mung-mung kelunan ira’ pekena jaki’ lu’ sulo kenai ra mena’at dué jaki’ lu’, ngan buké iré lalau no’o, senteng ta kelunan ira’ tekené lu’ mena’at irai metukak po’o. 25. Mekira pa buké kelunan ira’ uyai ramai pumung ko’on pendeta, senteng tira metukak o iti pa. Mekite na dité ketai dué medik ti mpei nyatan bangen ketai dué uli’ no’o dué un usun neng pepatai ti nu’un.
216
23. Di setiap kampung yang dilewati orangorang bukan main takjubnya melihat mereka. Kalau kebetulan ada orang yang sedang menumbuk padi, alunya diletakkan dulu agar ia bisa datang melihat mereka. Kalau ada yang sedang mereguk teh atau kopi, berhentilah mereka lalu meletakkan cangkirnya dan beranjak pergi melihat keduanya lewat. Kalau kebetulan orang itu sedang menggaruk kepala karena gatal atau kalau ada yang sedang makan, maka berhentilah mereka agar bisa melihat.
23. At every village they passed, people were truly astonished to see them. If by chance someone was pounding rice, he put his pestle down so that he could go see them. If someone was drinking tea or coffee, they stopped and put down their mug and went to see the two of them pass. If by chance someone was scratching an itch or in the middle of eating, then they stopped to go see.
24. Kalau kebetulan orang itu sedang mengantuk, bangunlah ia dan pergi melihat keduanya lewat. Kalau pada saat itu ada yang sedang berkelahi dan bertinju, berhentilah mereka demi bisa melihat keduanya lewat. Semua orang perlu berhenti sejenak untuk datang melihat sebentar keduanya lewat. Orang-orang yang berhenti itu melihat keduanya sedang berjalan.
24. If someone was tired, they woke up and went to see the two of them go by. If at that time someone was fighting or boxing, they stopped to go see the two of them pass. Everyone needed to stop for a moment and come see them pass for a moment. People who stopped saw the two of them walking.
25. Begitu juga kalau ada orang yang bikin pesta pernikahan oleh pendeta maka pernikahannya ditunda dulu karena harus datang menyaksikan keduanya lewat. Bukan main gembiranya mereka melihat keduanya pulang sebagai pemenang perang.
25. And even if people were throwing a wedding party with a priest, then the wedding was postponed because they had to come and witness the two of them pass. They were unbelievably happy to see the two of them go back as victors in the war.
217
26. Dué tai pavi’ Aking Sega ti po’o, sulo dué ala’ sapai anak ya’ mentang irai neng da’an kayeu ya’ dué ’ lalau neng janan ti. Kenai dué penco su’ o pavi’ uvan kelunan ngan baya’ pekaka’ dué da no’o. Uvan un na dulu kelepeng nyelaka kenai dué pavi’. Un ineu maring mo’o-mo’o dulu. Baya’ ja’au ngan anaka ya’ usun likut baya’ irai mpei nyatan dité dulu mintuk piléka da nu’un. Bala tengen na pilék ati ko’on bala pa’an siu’ ba’ dulu ira’ uvan kepa’an mintuk ié. 27. Mekiti no’o, sulo dulu kelepeng na sekening daau baya’ ja’au ati petira’ mengempei uvan asat dué ti pé kenai dué uli’ ti. Neng kelepeka, un na daau isiu dulu no’o, ié neng dué nai uli’ ngkin musun pepatai ngan baya’a ira’ ko’ lirung Kayan ti. Seng sé bulan baya’ ira’ ko’ Berau ti bangen ramai, menco’ belira seng-seng sé bulan menco’ belira.
218
26. Begitu sampai di Aking Segah, keduanya mengambil kembali baju yang digantungkan anak itu pada dahan kayu saat keduanya lewat pada perjalanan pergi. Tidak berapa lama kemudian keduanya pun tiba di tempat yang dulu para buaya dan orangorang mengantar keduanya berangkat. Ternyata orang-orang sudah berkumpul di sana menyambut kedatangan keduanya. Mereka memakai apa saja yang baru. Buaya besar dengan anak di punggungnya itu senang bukan main. Orang-orang mencium pipi anak itu sampai pipinya menjadi merah karena terkena ludah sirih mereka yang menciumnya.
26. As they arrived at Aking Segah, the two of them took back the clothes the child had hung on a branch of a tree they passed on their way there. After a while, they reached the spot where the crocodiles and people had delivered them before. It turned out that people had already gathered at that place, welcoming their arrival. They wore any new clothes they had. The huge crocodile and the child were extremely pleased. People kissed the child’s cheeks so much that his cheeks became red because they got hit by so much betel spit.
27. Sesudah itu, mereka mendengarkan cerita buaya besar itu, bagaimana perjalanan keduanya sejak berangkat sampai pulang. Diceritakan juga bahwa mereka berdua pulang membawa kemenangan atas buayabuaya sungai Kayan. Selama 1 bulan buayabuaya di sungai Berau mengadakan pesta kemenangan dengan memancangkan bendera selama 1 bulan.
27. After that, they listened to the story of the big crocodile, how the journey went from beginning to end. They also told that the two of them came home victorious over the Kayan River crocodiles. For a month, the crocodiles of the Berau River had a victory party and raised the flag for month.
219
Ungan ngan Awé Pebaun Bilung
1. Ketena’ ya’ aki’ ketei ni mengini daaua. Un dué ra dité ledo, Ungan ngaran ié, Awé ngaran ié. Sepuk ngetena’ kumé aki’. 2. Mena’a’ da, daleu dulu man adet da un lebu’ ira’ ko’ Pejungan ti uyai umé ava’ lebu’ ra ti. Na, nai dué ledo no’o ko’ umé ava uma’ ti, mpei uvan dué ilan ineu-ineu un masat tana’ kenai dué umet uma’ ti nai avi’ ko’ umé ni na daleu iti. Beka’ dué ncé’un uva’ ketai uli’, tiga pa dué uvan muyang sabit, muyang kivé, muyang tenup dué nai ko’ umé ti. Pé-pé dué ncé’un tai uli’ na’a iti. Na, un sé ti masé ta’au tia, un sé masé kavinga neng alo Pejungan ti. 3. “Ketai maya dau o di’, nteng na tua sa’ tai uli’, turo na tua ko’ umé ni” ken dué o di’, turo na dué o. Ineu pa té’é sé ti nai berit daleu kenaa masat kalang janan ié nai no’o’ ti. Kanyéa lo neng sabit ati, mpei un. Suloa muteu ya’ ngan ié masé dipa irai “un no’ muyang lo?” kenya. 220
Ungan dan Awé
Ungan and Awé
Pebaun Bilung
Pebaun Bilung
1. Kisah yang akan saya sampaikan begini bunyinya. Konon ada dua orang perempuan, yang satu bernama Ungan dan satunya lagi bernama Awé. Nenek lah yang menceritakan kisah ini pada saya.
1. The story I am going to tell sounds like this. It is said that there were two women, one named Ungan, and one named Awé. My grandmother told me the story.
2. Dahulu kala, ketika orang-orang masih memegang kuat adat, orang-orang Pujungan membuka ladang di bagian hilir kampung mereka. Suatu hari pergilah dua orang perempuan ke ladang di bagian hilir kampung itu. Mereka tidak membawa apa-apa dan hanya berjalan kaki dari rumah hingga ke ladang. Tetapi tiba-tiba mereka merasa tidak ingin pulang. Untungnya ketika mau pergi ke ladang mereka sudah mempersiapkan beberapa perlengkapan seperti alas pelindung sabit dan tas punggung. Akhirnya memang mereka tidak pulang sore itu. Yang satu berada di sisi kanan dan yang satu lagi di sisi kiri aliran sungai Pujungan.
2. In the old days, when people still held strongly to the old ways, the Pujungan people built fields on the downstream side of their village. One day the two women went to the field on the downstream side of their village. They didn’t bring anything; they walked from their house to the field. Suddenly they didn’t want to go home. Fortunately, when they wanted to go to the field, they had prepared some things, like a small leaf mat and a backpack. Eventually they didn’t go home that afternoon. Now, one was on the right and the other one was on the left bank of the Pujungan River.
3. “Karena hari sudah sore sebaiknya kita tidak usah memaksa pulang, kita menginap saja di ladang,” kata salah satu dari mereka. Menginaplah mereka di ladang itu. Rok ta’a salah seorang perempuan itu robek sewaktu mereka berjalan di ladang. Ia mencari jarum di alas duduknya tetapi tidak ketemu. Lalu ia bertanya kepada temannya yang berada di seberang, “Apakah kamu membawa jarum?” tanyanya.
3. “Because it’s already late, it’s best if we don’t go home, we can just spend the night in the field,” one of them said. So they stayed in the field. The ta’a skirt of one of them got torn when they had been walking in the field. She looked for a needle in her small leaf mat, but there wasn’t one. So she asked her friend across the river, “did you bring a needle?” she said.
221
4. “Aa ni téé’ muyang,” kenya ngan ié ti. “É mengempeié kena’a iku’o?” kenya po’o. “Mengini, iku mengetem lo nyé neng buleu aseu nyé, nenga o’ so’on aseu nyé nai menyatung o nai pelawat alo Pejungan ni,” ken ya’ masé kaving ti bara’a kumé ié o. “Tiga ta pa,” kenya o. 5. Na lepek ledo ti ngetem lo ti neng buleu aseu ti o di’, suloa so’on aseu ti tai menyatung pelawat no’o’ tai ilan lo ti kumé ya’ ié ko’ masé dipa irai o. Dué Awé ngan Ungan ti petawé nekukoi. 6. Tai na aseu ti pelawat o di’, lana sungai ti kasé o, suloa di’ ma’at sé kayeu angau, ié ilan lo ti neng buleu likut ati ngetem, tai aseu irai avi’ dapit ko’ dipa ti no’o di’, suloa lepo kayeu ya’ neng ba’a irai po’o, tai pala’ ledo irai no’o. Ungan ngarana, un ya’ masé ta’au ti, Awé ya’ masé kaving ti. Awé ti, ié ya’ tai pateu lo ko’on buleu aseu ya’ uvan ié ilan no’o’ ti. 7. Na sulo ledo ya’ masé ta’au ti, Ungan ti ala’ lo irai neng buleu aseu irai no’o. Nenga nia mimum té’éa da o, menyelé té’éa ya’ berit irai. Un aseu irai o di’ kenaa peluet po’o ngan Ungan ya’ da masé kaving ni o. Daleu aseu ti pelawat alo Pejungan ti po’o, beleka’ kepo kasé nai. “Ép ineu na kepo kasé no’o ta’an? Avé tua tu’é ketei apui,” mekinyé pa daau Awé ti pala’ Ungan ti ko’o. Tai maya dau tai tusaa mena’at dité kepo kasé ti. Ko’o mentem sulo kenai usan bateu. 222
4. “Ya, aku membawanya,” jawab temannya. “Tapi bagaimana caranya aku memberikannya ke kamu?” tanyanya lagi. “Caranya begini, kamu tancapkan jarum itu di bulu anjing itu, suruh ia berenang menyeberangi sungai Pujungan ini,” kata temannya yang berada di sisi kiri kepadanya. “Baik,” kata perempuan itu. 5. Setelah menancapkan jarum itu pada bulu anjing, ia menyuruh anjing itu berenang menyeberangi sungai dan pergi memberikannya pada teman yang berada di seberang. Dua orang perempuan itu, Awé dan Ungan, kemudian tertawa terbahak-bahak. 6. Pergilah anjing itu menyeberangi sungai yang arusnya deras sekali. Ia menggigit sepotong ranting kayu, sementara jarum yang ditancapkan berada di bulu belakangnya. Tidak berapa lama kemudian anjing itu sudah sampai di seberang. Ia membuang ranting kayu yang ada di mulutnya dan menghampiri perempuan yang bernama Ungan itu, di sisi kanan sungai. Awé sendiri berada di sisi kiri. Awélah yang meminjamkan jarum melalui anjing yang dibawanya ke ladang. 7. Perempuan yang di sisi kanan itu, si Ungan segera mengambil jarum di bulu anjing itu untuk memperbaiki dan menjahit rok ta’anya yang robek. Anjing itu kemudian kembali pergi menyeberang ke tempatnya semula. Pada saat anjing itu menyeberang untuk kembali pada tuannya tiba-tiba angin bertiup kencang. “Aduh! Kenapa tiba-tiba datang angin sekencang ini? Kita tidak bisa menyalakan api!” kata Awé terhadap Ungan. Hari semakin sore dan semakin susah melihat karena angin bertiup sangat kencang. Setelah hari menggelap datanglah hujan batu.
223
4. “Yes, I brought one,” she replied. “But how can I get it to you?” she said. “Like this, you put the needle in that dog’s fur, then order the dog to swim across this Pujungan River,” said her friend who was on the left side. “Ok,” said that woman.
5. After she put the needle into the dog’s fur then she ordered the dog to swim across the river and bring the needle to her friend on the other side. Those two women, Ungan and Awé, roared with laughter. 6. The dog went across the river whose current was really strong. Then he bit on a twig and the needle was put in his back hair. Not long after, the dog reached the other side. Then he let go of the twig in his mouth, and approached the woman, whose name was Ungan, the one on the right, Awé was on the left. Awé was the one who sent the needle with the dog she brought to the field. 7. Then the woman on the right, Ungan, took the needle from the dog’s fur, then she sewed and fixed her torn ta’a dress. Then the dog went back across to where it was before. When the dog was crossing to go back to it’s master, suddenly a strong wind blew. “Oh, why has this strong wind suddenly come, we can’t light a fire,” said Awé to Ungan. The later it got the harder it got to see because of the strong wind. Once it was dark, it started to rain stone (hail).
8. Na un na daau dué o: “tiga na tua kua’ lu’ mu’up na.” Dué tai ncé’un lepau ti uvan ketai uli’ ti pentang neng janan. Sulo dué turo mengiti no’o, un sé ti Awe ya’ masé ibeng ti, masé kaving sungai Pejungan ti mpei dué ketei apui nu’un. Un mpei Ungan ya’ masé ta’au ti o di’ mengiri ta mpeia ketei apui pu’un. Sulo dué uyai na uku’ dué ngejo’ong no’o sedingan lu’. Dué uku’ ti té’é dué ti lu’ na kep taket dué ti ngejo’ong. 9. Kenai usan bateu pelé’é o bang ketai dué pinca’ lu’. Mpei dué tu’é kepisiu kua’ dué nu’un mengawo ko’on usan bateu ti. “Na mengempei na dité aki’ ié mengini ni o ta’an?” kenya no’o mu, tisen na di’ mpeia na’at nu’un kua’ uvan ketai dué niti lalau na neng tuken dué kenai uli’ o. 10. Buké ileu sekening daau sepuk da petira’a o di’ beleka’ na dué tai baliu bateu no’o pavi’ nakini. Mekinyé daau sepuk da bara’a. Buké un dulu ira’ nai umet su’ ti, ngan buké iré uva’ ketai na’at lana, tiga tira’ tai mena’at da. Un sé masé ta’au medik, un sé masé kaving medik un Ungan dué Awé ya’ baliu bateu irai keba’an dité udo’ ni na dué. Mekinyé udo’ bateu dué nyé ya’ ngejo’ong dué, mpei dué megen ngan ngelemek pejo taket. Dué un ngejo’ong tiga-tiga dué nyekalep menginyé dité bateu ya’ tai menuyan dué tai baliu udo’ bateu ko’on usan bateu ti.
224
8. Keduanya berkata, “Lebih baik kita sama-sama merunduk.” Mereka tidak punya pondok dan karena tertahan di jalan mereka menginap sekenanya. Baik Awé yang di sisi kiri sungai Pujungan maupun Ungan yang di sisi kanan, tidak bisa menyalakan api. Kemudian mereka berdua jongkok bersamasama. Mereka berdua duduk, rok masingmasing menutupi kaki saat mereka duduk jongkok.
8. The two of them said, “It’s best if we just stay down low.” They had no shelter because they had been detained on the road, so they just slept like that. Neither Awé on the left side of the Pujungan River nor Ungan on the right side could light a fire. Then the two of them both squatted down. They both sat down, with their skirts coving their feet as they squatted.
9. Hujan batu turun lagi, “Rupanya kesukaran ini belum usai.” Mereka sudah tidak bisa bercakap-cakap lagi karena gemuruh hujan batu tersebut. “Bagaimana aku bisa melihatnya?” salah satu dari dua perempuan itu berkata ketika ia mencoba melihat temannya tapi ternyata tidak bisa. Keduanya sudah tidak bisa mengetahui keberadaan satu sama lain. Waktunya untuk pulang juga sudah lewat.
9. The stone rain came down again, apparently the tribulations didn’t stop. They couldn’t speak because of the thundering of the stone rain. “How can I see her,” one of the two women said when she tried to look for the other, but it turned out she couldn’t see her. Neither could figure out the position of the other. And the time to go home had already passed.
10. Menurut nenek saya ketika ia menceritakannya, “Tiba-tiba mereka berubah wujud menjadi batu sampai sekarang. Kalau ada orang yang datang dari jauh mau melihat buktinya, lebih baik kita menyuruhnya untuk melihat batunya, satu berada di sebelah kanan dan satu lagi di sebelah kiri jalur sungai tersebut. Ungan dan Awé yang telah berubah menjadi batu itu seperti sepasang patung. Patung mereka seperti sedang berjongkok, bukan berbaring atau duduk berselonjor di lantai. Mereka berdua berjongkok dengan baik, berlutut, begitulah mereka berdua akhirnya menjadi patung batu karena hujan batu.”
10. Now, according to my grandmother when she told the story, suddenly the two of them changed into stone, even until now. If there are people who come from far away who want to see the evidence, it’s best to tell them to look at the stones, one on the right and one on the left of that river, there are Ungan and Awé, who have turned into stone like a pair of statues. Just like that their statues are squatting down, not lying down or sitting on the ground with straight legs. They are both squatting down hard, you can see them kneeling like that; they both became stone statues because of the stone rain.
225
11. Ya’ ngkin usan bateu iti, ié na aseu irai, uvan na Awé tai ngetem lo neng buleu aseu iti. Un aseu ni sen ileu petubo ngan menakan iré, ngan jakit pebelei, iré pa ileu ilan menganup, ileu uyai jakit kanyé bavui. Ledo dué ya’ tai baliu bateu irai mpei kelunan ko’ uma’ ni tisen ketai kanyé dué un, uvan na mpei dué tai uli’ nu’un. Mekiti ketai ko’o kelunan ira’ petawé aseu, ira’ petaro sen. 12. Un urip mena’a’ da, buké un usan bateu, sulo ketai uma’ baliu bateu, mekiri pa kelunan ngan yap ngan avau baliu bateu, ‘selit’ ngarana ko’on dulu mena’a’ da. 13. Nai dulu umet uma’ ti no’o neng mesut ta di’ nai kanyé dué, beleka’ udo’ bateu dué lu’ dulu tegu’ neng saré janan ti. Menginyé na ketai ko’o di’it ledo dué irai. Di’it ledo lu’ pira mpei ra un lakei lu’ pu’un, tai mengiti nira uvan ra ncé’un tisen daau ira’ tu’a ra pekatuk iré ta’an mu. 14. Mekinyé uvan Kenya mena’a’da daleu ra sa’ man adet da. Buké urip nakini di’ ileu tai mengelan Tuhan ni mpei un iti neng ileu nu’un, ileu na’at ta o di’ kadu’ lu’ pira sa’ baya’a. Mpei ra un na tai lepoa lu’ pu’un, aseu pa ntungulai pa, bulu’ pa un lu’ pira iti pavi’ neng urip lu nakini.
226
11. “Yang membawa hujan batu adalah anjing itu karena Awé menancapkan jarum itu pada bulunya. Anjing adalah binatang yang kita pelihara dengan memberi makan dan menjadikannya sebagai barang dagangan. Kita membawanya berburu untuk membantu mencari babi. Selain itu semestinya kedua perempuan yang pergi berubah menjadi batu itu pulang tetapi mereka tidak pulang. Begitulah nasib orang yang menertawakan anjing dan mengolok-olok binatang.”
11. The one who brought about that stone rain was the dog, because Awé put a needle in its fur. Dogs are animals we raise by giving them food and we sell and buy them. We bring them hunting to help find pigs. Furthermore those two women who became stone, they should have but they did not go home. That is the fate of those who laugh at dogs, who ridicule animals.
12. Pada jaman dulu kalau turun hujan batu kampung menjadi batu. Peristiwa orang, ayam dan babi menjadi batu disebut selit, suatu takhayul orang jaman dulu.
12. During the old days, if there was a stone rain, a village could become stone. And so also people, chickens, and pigs could become stone; these things which could not be explained by people, were called selit by people in the old days.
13. Keesokan harinya orang-orang kampung datang mencari tetapi mereka hanya menemukan patung batu kedua perempuan itu di pinggir jalan. Begitulah akhir dari kedua perempuan muda itu, kedua gadis yang belum bersuami itu. Itulah yang mereka alami. Mungkin juga karena mereka tidak memperhatikan nasehat orang tuanya. Begitulah suku Kenyah dulu waktu masih memegang teguh adat.
13. The next day, people from the village came to look for the two of them, but they only found stone statues of two women on the side of the road. So was the end of those two young women, those two girls who had not yet had husbands. That is what they experienced, perhaps because they didn’t heed the advice of their parents.
14. Dalam hidup sekarang ini, kita sudah percaya pada Tuhan dan tidak ada lagi kepercayaan seperti itu. Tetapi kalau kita perhatikan masih banyak yang menjalaninya. Mereka belum meninggalkannya, baik kepercayaan tentang anjing, ular maupun bambu, sampai saat ini.
14. That was what the Kenyah people were like before, they still held firm the traditional beliefs and customs. If we live like now, we already believe in God, there are no longer any beliefs like that. But if we look, there are still many who follow the old ways. They haven’t abandoned beliefs concerning dogs, snakes, or bamboo, up to this time.
227
15. Mpei ra uvan tai lepo adet sepun lu ira’ mena’a’ irai un ya’ ileu takut ati uvan na palan. Un bulu’ ni nenga lu menirék puset anak buké ileu un anak nginyé adet lu mena’a’ lu’ po’o, un pa ntungulai ni o di’ neng bulu’ lu ma’an iré. Uvan na daau lu tisen umet katuk Tuhan ié bulu’ ni ié na nting lu kelunan ngelayan di’. Malan alé lu ma’an kelunan neng bulu’. Menginyé adet lu Kenya ni mena’a’ da. 16. Nenga, menginyé lu’ daaué ngetawai daau sepuk da ngetena’ kumé aki’. Buké dulu kumé di’ sepun na ya’ mpei ta’an kumé di’ nyé ta lianga ko’ Jelarai na ka’a na sepuk lakei matai ka’a pa sepuk ledo matai. Pipui ngaran sepuk lakei, Pusun ngaran ya’ ledo. Bang aki’ lu’ ya’ urip tamak da ko’ ini. 17. Bang pé menginyé daaué ke ngentena’ daau sepuk da, nebara’ kumé aki’. Mpeia ngetena’ ira’ baka’ keba’an tira’ baka’ irai un ketena’ lan lu’. Iré ya’ aki’ bara’ ni daau un ta udo’ bateu ledo dué nyé ko’ alo Pejungan ti. Buké ileu tai medik ti di’ ira’ ketai mena’at a di’ inyé daau senteng tilu tai mena’at ta. 18. Aki’ uripé uman dué ribu pat (2004) ni, nem pulu’ ayé (68) uman; daleu sepuk da ngetena’a da, uripé daleu inyé sé pulu’ uman daleu sepuk da ngetena’a da. Tipané ngetena’a kumé ra anaké ni ngan ira’ seué ni o di’ nengaé sa’ ngetawaia pavi’ dau ni. 228
15. Mereka belum meninggalkan adat kebiasaan nenek moyang jaman dulu yang ditakuti karena dianggap pantangan. Bambu itu baik karena bisa dipakai untuk mengiris tali pusar bayi kalau kita melahirkan, sebagaimana adat kita dulu, dan untuk menghalau ular. Kita mengetahui dari nasehat Tuhan bahwa bambu dibuat sebagai dinding karena kita adalah manusia biasa. Bambu adalah dinding kita, pantang bagi kita untuk memukul orang dengan bambu. Demikianlah adat suku Kenyah pada jaman dulu.
15. They still haven’t given up the old traditional customs of their ancestors, they are frightened to give them up because it is prohibited. Bamboo is good because it is used to cut the umbilical cord of a baby if we give birth, that is the old custom, and to beat a snake. But God tells us that bamboo is to be used to make walls because we are simple people, so our walls are bamboo; it is forbidden to beat a person with bamboo, so is the old way of the Kenyah people.
16. Jadi, itu saja yang saya ingat dari cerita nenek kepada saya. Kalau ada orang yang berkata, “Neneknya yang mana ya?” Kuburannya ada di Jelarai, di sana lah kakek dan nenek saya meninggal. Kakek saya bernama Pipui dan nenek saya bernama Pusun. Sekarang tinggal saya sendiri yang masih meneruskan garis keturunan ayah saya di sini.
16. So, that is what I remember of the story that my grandmother told to me. If people ask you which grandmother, her grave is in Jelarai, which is where my grandfather and grandmother died. My grandfather was named Pipui, and my grandmother was named Pusun. Only I alone continue my father’s line here.
17. Hanya itu yang dapat saya ceritakan, apa yang saya dengar dari nenek saya. Ia tidak menceritakan sebuah dongeng tetapi sebuah cerita nyata karena yang saya ceritakan, patung batu itu, berada di daerah Pujungan kalau kita menyusuri sungainya. Yang ingin melihat tempat itu bisa pergi ke sana.
17. That is all I can tell you of what I heard from my grandmother, she didn’t tell fairytales, but true stories. What I have told you is that there are stone statues in the area of Pujungan. If we just follow that river, whoever wants to see that place can go there.
18. Usia saya pada tahun 2004 ini 68 tahun dan sewaktu nenek saya menceritakannya usia saya saat itu baru 10 tahun. Saya sudah sering menceritakannya kepada anak-anak dan cucu saya, dan hingga hari ini saya masih mengingatnya.
18. My age in the year 2004 is 68 years, when my grandmother told me this story I was 10 years old. I have often told this story to my children and grandchildren, so that I still remember it today.
229
Lengkan ngan Tuyanga Tulung Anyé 1. Mena’a da uman seribu pien ato pat pulu nem da (1946) un ko’ Sega’ ti un sé tana’ ya’ dulu tisen ko’ déé Merapun. Un Merapun ni sé sangat sungai Kelai ti ya’ mpei ileu tisen Kelai ni sé sungai ya’ un ko’ Sega’ ti. Un tana’ Merapun ni o sé tana’ ya’ dulu ncé’un senteng ketai masat uvan na un balei ka’a. 2. Un sé kelunan o ngarana Lengkan. Un Lengkan ni sé kelunan ngelayan alé’-alé’ masat daleu pulung. Senteng lu ke kumé mpei un tana’ Bulungan ni ya’ ié ncé’un masat nu’un. Ko’ daleu pulung ié tisen tengen ié tisen mo’o-mo’o na Punan ira’ daleu pulung ni. 3. Na, un o di’ suloa ilan lemé usé tai ngan ié masat ko’ tana’ Merapun ni no’o, ira’ ié ilan ngaran ra: Po’ot, Idan, Anyé Udau, Bilung Anyé, Tamen Giem. Lemé usé ni ié tai ilan no’o’ ko’ tana’ ya’ dulu ncé’un-un senteng tai ka’a ya’ dulu miau ié uvan na un balei ka’a. 230
Lengkan dan Teman-temannya
Lengkan and his Friends
Tulung Anyé
Tulung Anyé
1. Pada tahun 1946 di Segah, orang-orang mengetahui adanya sebuah daerah di hulu Merapun dengan nama yang sama. Merapun adalah salah satu cabang dari anak sungai Kelai dan, sebagaimana kita ketahui, Kelai adalah salah satu anak sungai yang ada di Segah. Merapun ini adalah salah satu daerah yang tidak pernah didatangi orang karena banyak hantunya.
1. In 1946, in Segah, there was an area up the Merapun river known by many people. Merapun is a branch of a tributary of the Kelai river; and we know that the Kelai is the tributary in Segah. Merapun is an area never visited by people because there are many ghosts there.
2. Terdapat seorang yang bernama Lengkan. Ia terbiasa berjalan di hutan sehingga bisa dikatakan bahwa tidak satu pun daerah di wilayah Bulungan ini yang tidak dijelajahinya. Ia mengenal semua orang Punan yang tinggal di hutan-hutan.
2. There was a person named Lengkan. He was someone used to walking in the forest, so that it could be said that there wasn’t one area in Bulungan which he hadn’t explored. He knew all of the Punan who lived in the forests.
3. Suatu hari ia membawa kelima orang temannya, yaitu Po’ot, Idan, Anyé Udau, Bilung Anyé dan Tamen Giem pergi bersama menjelajahi daerah Merapun. Kelima orang itu dibawanya pergi ke hutan yang orang sama sekali tidak pernah ke sana, dilarang, karena ada hantunya.
3. One day he brought five of his friends, Po’ot, Idan, Anyé Udau, Bilung Anyé, and Tamen Giem (Father of Giem) to go with him exploring the area around Merapun. These five people who he brought with him to the forest had never once been there, it was forbidden, because there were ghosts there.
231
4. Na un Lengkan ni o ié uvan mo’o-mo’o ngelayan tai masat daleu pulung di’, ié tai tisen na tana’ nyé dulu ncé’un senteng ketai ka’a ti, ié suba’ na tai ilan rateleu lemé usé ni. Na, Lengkan ni ié kenem ra. Tai nia o ilan iré medik Kelai ti o di’, sulo ketai ra pavi’ sungai Merapun ti. Na un Merapun ni o di’ un sé lebu’ ka’a ngarana Lebo. Un tu’a lebu’ Lebo ni ié miau ra ketai ka’a. Lengkan ni o di’ ié tisen tu’a lebu’ ni miau ré ketai o, suloa petira’ tiga-tiga na ngan ié, uyai ié panak o. Ié tai sé sué malat ira’ tiga-tiga tai sé sapai ngen seluen kumé ié o. Na, un tu’a lebu’ Lebo ni o di’ tai sé keleput kumé Lengkan ni. 5. Un daau Lengkan ni petira’ ngan ié ni: “Mé’ teleu nai ni uva’ ketai na’at apen pulung ko’ tana’ ya’ dulu kumé daau un balei ni, uvan na mpei un kelunan sé-sé un tai masat ka’a. Un nié ni uva’ ketai ilan nem teleu masat ka’a ti, mengempei lan ni?” kenya muteu tu’a lebu’ Lebo ti. 6. Un daau tu’a lebu’ Lebo ni o: “Lengkan, ini tana’ ini aki’ ya’ tisena. Un sé balei ka’a ni mpei dulu senteng-senteng tai ka’a un, uvan na mengiti ketai dulu ka’a ti buké ié tisen tuk lu’ sarap lap tua’ na takut balei ti. Ini o ni o taring kenai o ka’a o, mpeié dayo iku’ ketai un,” menginyé daaua kumé Lengkan ti.
232
4. Lengkan, yang memang sudah terbiasa menjelajah hutan telah mengetahui daerah itu sebagai daerah terlarang tetapi ia tetap ingin mencoba membawa teman-temannya ke sana. Kemudian berangkatlah ia dan kelima orang temannya. Ia membawa mereka ke arah hulu Kelai, kemudian sampai di sungai Merapun. Di Merapun ini terdapat sebuah kampung bernama Lebo. Kepala kampung Lebo itu melarang mereka pergi. Karena Lengkan tahu bahwa kepala kampung melarang mereka pergi maka ia mengajaknya berbicara secara baik-baik dan kemudian mengangkatnya menjadi saudara. Ia memberikan sebuah mandau yang bagus dan sepasang pakaian kepada kepala kampung Lebo itu. Sebaliknya, kepala kampung Lebo memberinya sebuah sumpit.
4. Lengkan, who was indeed very used to exploring the forests knew that this area was a forbidden area, but he still wanted to try to bring his friends there. So they left, he and his five friends. He brought them in the direction upstream of Kelai, then they arrived at the Merapun river. In Merapun there is a village called Lebo. The village chief of Lebo forbayed them to go. Because he knew that the village chief had forbidden them to go, he kindly invited him to speak and then made him a relative. He gave the chief of Lebo an excellent mandau sword and a pair of clothes. In return, the chief of Lebo gave him a blowpipe dart.
5. Beginilah Lengkan berkata, “Kami datang untuk mencari hasil hutan di daerah yang berhantu itu karena belum pernah ada orang yang pergi ke sana. Saya ingin mengajak mereka ke sana, bagaimana caranya?” ia bertanya kepada kepala kampung Lebo itu.
5. Lengkan spoke like this, “We have come looking for forest products in this haunted area because no one has ever gone there. I am the one who wants to invite them there, how can we do it?” he asked to the chief of Lebo.
6. Kepala kampung Lebo itu berkata, “Lengkan, di daerah ini akulah yang paling tahu. Ada hantu di sana. Orang sama sekali tidak berani pergi ke sana karena begitu orang ke sana, dan kemudian mengetahuinya, pasti mereka lari tunggang-langgang ketakutan. Kamu ini baru pertama datang; jadi, saya tidak ijinkan kamu pergi.” Begitulah yang dikatakannya pada Lengkan.
6. The chief of Lebo said, “Lengkan, ni this area I am the one who knows the most. There are ghosts there, people are not allowed to go there because, if people go there, and they see ghosts, they certainly will run helter-skelter out of fear. You are the first to come, so I will not permit you to go,” so he spoke to Lengkan.
233
7. “Aa buké uvan menginyé neng ineu mé’ teleu ncé’un senteng ketai ta’an? Ami’ ni kelunan beragama Kristen ngan mengelan Tuhan Yesus”, menginyé daau Lengkan ti. “Ami’ ira’ mengelan Tuhan ni, mpei un mé’ senteng takut balei un”, menginyé daaua. Lengkan ti o ié mengiti daau ti o, lan na kelunan Kristen tia mung ti rateleu. Ira’ ngan ié ti agama kristen ra ari’ ileu mena’at o di’ mpei ra tubo dité ilan iré sebayang un. 8. Na, un daau ta’u lebu’ Lebo ti o: “Lan ta ta’an mu Lengkan? Ini néé ja’au mengini uripé di’ mpeié sekening un kelunan tai ka’a un, buké tai dulu iré lap niti, uvan na di’ lan na balei un ini o. Uvan na o di’ daau iku’ agama Kristen o di’, aa mesek ta mu”, kendaau tu’a lebu’ Lebo ti no’o. 9. Ngan mengiti no’o ketai Lengkan ni ilan iré masat ko’ pulung ni no’o seng sé dau. Sulo ra uyai lepau no’o ko’ tana’ ya’ un balei nyé. Lepek ra uyai lepau ti na kinyé na rateleu o ié kadu’ rateleu, ié enem usé peging Lengkan ti o di’ mipa na tegen rateleu: un selapang pira di’, un bulo pira di’, un malat pira di’. Senteng lu ke kumé di’ kelunan kua’ mayeng ra, kelunan kua’ muat, mpei un tegen di’ ineu ya’ kenai ngendani’ rateleu nu’un, tei ngan kimet ati, ineu le’é rateleu di’ kumé rateleu mengelan Tuhan Yesus.
234
7. “Jadi, kalau begitu, kami tidak bisa pergi? Kami ini orang yang sudah beragama dan percaya kepada Yesus Kristus,” kata Lengkan. “Kami yang sudah percaya kepada Tuhan, kami tidak percaya kepada hantu,” Lengkan berkata lagi. Walau ia dan temantemannya memang orang Kristen, kalau diperhatikan sesungguhnya ia tidak menunjukannya karena mereka tidak melakukan sembahyang, tidak mengerti bagaimana seharusnya orang yang percaya pada Tuhan.
7. “So, if it’s like that we cannot go? We are people who already have religion, we believe in Jesus Christ,” said Lengkan. “We who believe in God, do not believe in ghosts,” Lengkan said again. Although he and his friends were indeed Christians, however, if you looked carefully, he did not display this, and he did not invite them to pray. He didn’t understand how people who believe in God are supposed to act.
8. Kemudian kepala kampung Lebo itu berkata lagi, “Apa itu benar, Lengkan? Aku sudah setua ini belum pernah mendengar ada seorang pun yang pergi ke sana, jika pun ada yang pergi mereka akan lari karena memang ada hantunya. Karena kamu mengaku beragama Kristen, ya coba saja,” kata kepala kampung Lebo itu.
8. Then the chief of Lebo said again, “Is that true Lengkan? I am already as old as this and have never heard of a single person who has gone there, and if someone went they would run because there are certainly ghosts there. Because you profess to be a Christian, yes, give it a try,” said the chief of Lebo.
9. Setelah itu, Lengkan membawa temantemannya berjalan di hutan sepanjang hari. Kemudian mereka mendirikan pondok di daerah yang berhantu itu. Setelah selesai mendirikan pondok, mereka menyadari bahwa dengan adanya senjata, tombak dan mandau mereka berenam merasa sudah cukup kuat. Bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang kuat dan berani sehingga rasanya tidak akan ada yang mendekati dan mengadu kekuatan dengan mereka, apalagi mereka mengaku percaya kepada Yesus Kristus.
9. After that, Lengkan brought his friends and walked in the forest all day. Then they built a hut in that haunted area. After they built their hut, they were aware that with their weapons, spears, and mandau swords, the six of them felt strong enough. It could be said that they were strong and brave men so that they felt no one would approach or test their strength, especially since they believed in Jesus Christ.
235
10. Ngan mengiti no’o di’ sulo rateleu di’ lepek na rateleu uyai lepau o di’ ngan di’ ti na tegen rateleu o di’ bang ke pekimet masat lu’ na rateleu ketai masat pulung no’o. Un no’o turo rateleu neng lepau iti alem iti, beleka’ un daau sé tawé. Tiga alé’-alé’ daau tawé kelunan iti mengempei daau dulu petawé, ja’au-ja’au daaua, dulu kimet sé ineu ya’ petawé ni, mengiti tawé ya’ rateleu sekening ti daleu-daleu belua’ alem ti rateleu sekening daau tawé ti. Mpei rateleu pisiu nu’un o di’ pé mengiti po’o mpei un daau tawé rai nu’un o. Mpei rateleu sé-sé ke kumé di’ daau sé ineu ni o ta’an, ineu mengini ni, mpei un kimet rateleu ke neng kuméa daau tawé balei ti un. Nyé rateleu ti temek tegen ke uyai, temek rateleu ke luntu’ ta alem iti o di’. 11.Daleu ntem dema ni, kenai sé kilet dema mengini di’, un sé ngaran Po’ot kumé rateleu ié ja’au-ja’au dité kelunan ngan mayengmayeng dité. Ié nai tagé ié uva’ ketai iba’. Ketaa no’o mengesu’ ko’ lepau rateleu ti tai nyelipai o, ko’ uvan na ka kuméa: “ko’ ini néé ke iba’ mu,” kumé o. Daleua ke muyai seluen ati ke iba’ di’ ka uyai larunga ke iba’ di’ na’at a di’, “alala ri’,” dité sé ineu menenga ba’ a “sé ineu nyé ta’an?” kenya.
236
10. Setelah mereka membangun pondok itu, mereka merasa tenang dan tinggal perlu memikirkan perjalanan di hutan. Malam itu, pada saat mereka tidur di pondok, tiba-tiba terdengar suara tawa. Suara ketawa itu begitu nyaring seperti suara seseorang sedang menertawakan sesuatu, besar sekali sehingga dianggap seperti menertawakan sesuatu. Demikian yang didengar oleh mereka di tengah malam. Mereka diam saja sampai kemudian tidak terdengar lagi. Mereka tidak bertanya suara apa itu? Kenapa begini? Tidak terlintas pertanyaan itu dalam pikiran mereka terhadap suara tawa hantu itu. Mereka meneruskan tidur dengan tenang malam itu.
10. Once the built that hut, they felt calm and all they had to do was think about their trip to the forest. That night, as they slept in the hut, suddenly they heard the sound of laughter. The laughter was rather piercing, like the sound of someone laughing at something, it was so loud that they thought someone definitely was laughing at something, such was the sound they heard in the middle of the night. They remained quiet, until they didn’t hear it anymore. They didn’t ask what that sound was. How could this be? Those questions didn’t cross their minds about that ghostly laughing voice. They just continued to sleep calmly that night.
11. Pada saat fajar menyingsing Po’ot, salah satu dari mereka yang berbadan besar dan sangat kuat terbangun terbangun karena ingin buang air besar. Ia pergi menjauh dari pondok itu mencari tempat untuk buang air besar. Ia berkata, “Ah, di sini tempatnya untuk buang air besar!” Saat ia akan membuka celananya dan mengambil posisi untuk buang air besar, ia melihat ada mulut yang menganga. “Hah!” Ia kemudian berpikir, “Apa itu?”
11. At dawn, Po’ot, one of them whose body was big and strong, he was awakened because he needed to defecate. He went far from the hut to find a place to relieve himself. He said, “Ah, here’s a place!” As he was about to open his pants and squat down to relieve himself, he saw a mouth that was agape. “Huh!” Then he thought, “what was that?”
237
12.Mena’at dité ba’ ya’ tebenga ti, dité jipen na di’ ja’au, dité uséa di’ mentem ja’au, dité uséa ti, ja’au pa dité ntema neng ata pena’ata, ja inyé nia naa takut, tem iti daleu-daleu ke iba’. Mpeia iba’ nu’un uvan na di’ paran na takut, nai nyelegen, suloa ju’un tei iba’ kenaa, man seluena da tua’ na mengiti, ju’un palet kenai menekéa peluet na, suloa di’ kumé “baka” kenya, nai mengasa ko’ lepau ni o di’ “Sineu ni ti o? Mpei tiga mena’ata un sineu ma’an, ditéa ja’au té ba’a di’, kadu’ dité jipena di’, avé’ mengiri di’ ié mata basé aki’, dité tebenga ba’ ati. Mpei lu sé ineu ya’ ileu ka na’a melai dité kengejumé ineu nyé o, mengempei sé ineu ti ta’an?” kenya no’o bara’a rateleu di’ nai rateleu no’o. 13.Un rateleu ya’ ngan ié ti o kinyé na kenai rateleu beti’ o, ya’ rateleu uvan paran ala’ di’ bulo. “Ko’ mpeia, ko’ mpeia?” ngiri daau sé, “ko’ mpeia, ko’ mpei nyé?” mengiri daau sé. 14.Un Po’ot na o di’ buké ileu kumé Tamen Dena’ ken dulu kumé ié Tamen Dena’ ken dulu pa kumé ié. Buké ngarana atek ngarana di’ Po’ot. Un Tamen Dena’ ni o di’ suloa kumé “kiti” kumé no’o, na ilan rateleu pala’ balei irai no’o. 15. “Inyé du!” kumé no’o di’, “ja, atek sé balei maan-maan dité ié, buké iré dité ié ti baya’.” Sulo rateleu keliling ié no’o, rateleu kelilinga di’, ié di’ ke menesun no’o di’ mengiti. Rateleu parang bulo uvan na mpei rateleu makang ke ngedani’ ié un. Mengiti rateleu parang bulo ke menesun, tai bulo menesun ié di’ mengiti, palet iko ati menedé, menakep, menyala’, ma’an-ma’an bulo birai, neng iko ati, ja, mo’o bulo birai. 238
12. Samar-samar ia melihat sebuah mulut yang menganga, gigi yang besar dan badan raksasa. Tiba-tiba ia merasa takut padahal ia sangat ingin buang air besar. Ia tidak jadi buang air besar karena rasa takutnya yang luar biasa itu. Ia gemetar dan langsung lari sambil memegang begitu saja celananya tanpa sempat mengancingnya kembali. Ia berteriak sambil berlari ke arah pondok. Ia berteriak keras, “Apa itu menyeramkan sekali, mulutnya sangat besar, giginya banyak dan lagi mulutnya dihadapkan kepada saya! Bukan sesuatu yang mudah dan baik untuk kita hadapi. Bagaimana dan apa itu?” katanya kepada teman-temannya yang lain. 13. Mereka semua terbangun karena terkejut dan langsung mengambil tombak. Salah satu dari mereka berkata “Di mana dia? di mana dia?” Yang lainnya lagi berkata, “Di mana dia?” 14. Po’ot dikenal dengan panggilan Tamen Dena’. Orang-orang menyebutnya Tamen Dena’ walau nama sebenarnya Po’ot. Tamen Dena’ ini berkata, “Di sana!” Ia membawanya ke arah hantu itu. 15. “Itu dia! Yah, memang menyeramkan sekali! Tetapi coba perhatikan, itu kan seekor buaya!” Kemudian mereka mengurung, mengelilingi dan menikamnya dengan tombak. Mereka melempar tombak karena tidak berani mendekatinya. Begitu mereka melempar tombak, dengan gerakan yang sangat cepat, ekor makhluk itu menangkis dan menangkap, menghindar dan memukulmukul tombak itu dengan ekornya sampai tombak-tombak itu habis mereka lemparkan.
239
12. When he vaguely saw a mouth agape, huge teeth, and a gigantic body, and suddenly he was afraid, though he really needed to go to the bathroom. He didn’t end up going to the bathroom because of his overwhelming fear, he shook and ran away, grasping his pants as they were without buttoning them first. He shouted as he ran toward the hut. He screamed loudly, “What was that terrifying thing, with a huge mouth, tons of teeth, and it’s mouth facing me! It is not something good and easy for us to face. How and what was that?” he said to his other friends. 13. They all woke up because they were startled, and directly grabbed their spears. One of them said, “Where is he? Where is he?” And the others all said, “Where is he?” 14. Po’ot was known as Tamen Dena’ (Mr. Late), so that’s what people called him Tamen Dena’, though his real name was Po’ot. Tamen Dena’ said, “There he is!” then he brought them in the direction of the ghost. 15. “That’s him! Yeah, he’s really terrifying! But try to look closer, that’s a crocodile!” Then they caged, surrounded, and stabbed the crocodile with their spears. They threw their spears because they wouldn’t dare go close to it. As they threw their spears, with very swift movements, that beast swatted and caught, avoided and knocked those spears with it’s tail until they had thrown all the spears.
16. Mpei rateleu tu’é ketai ngedani’ ié nu’un uvan na malat mpei rateleu makang ke ngedani’ ié buké man malat un di’. Un bulo birai mpei rateleu makang ketai ala’ bulo birai nu’un, uvan na bulo birai duro ié ti mengiti no’o. Un Lengkan da o di’ mekempeia pekimet daru’ nu’un sulo ketaa ko’ lepau ala’ selapang, ala’ selapang irai o di’, neng selapang nia tei ié no’o. Mengiti nia nyelapang ié o di’, nga lu’a tai ju’un peliung. 17. Matai na baya’ irai ko’on selapang ti o, di’ rateleu ngedani’ nia o. Nga na dulu tisen “ép ini nia atek-atek balei ya’ ken di’ tu’a lebu’ irai o, balu, mpei mengempei tei ngan ié, buké ileu pekimet, bulo ni pa lan, mpei lu tina bulo ni alé’-alé’ un di’, selapang ni ié ta atek-atek ja’au tegen di’ tina teleu nai mengini, ié teleu un selapang ni na ini o di’ mpeia tu’é ke menyakat teleu nu’un, teleu nyelapang ié” ken di’ Lengkan da no’o. 18. Rateleu ngelupé, ngelupé baya’ irai o di’, ntung rateleu di’ pesingket-singket ala’ jipen baya’ irai, talan na tira’-tira’ rateleu o di’ buké ka baya’ ni na uvan ka balei ya’ iré ke kumé di’ un sé balei ka’a ti ke kumé ni di’ ke lan ta pa. “Buké ileu kimeta pa lan kedi’. Melai-melai su’ laut ni mu di’, ileu pekimet alo Kelai ni ya’ melaimelai pa su’ alo Kelai ti di’, sungai Merapun ni po’o di’. Sangat ani di’ ni pia su’ mengini Merapun po’o di’ ineu baya’ uvan kenai murip ko’ murung kini kedi’. Ke lan ta daau ra kuméa ini sé balei balu” mengini daau tira’-tira’ rateleu o.
240
16. Mereka kemudian tidak berani lagi mendekatinya. Mereka tidak berani dekat hanya dengan memegang sebuah parang. Mereka juga tidak berani mengambil tombaktombak itu karena semuanya ada di dekat makhluk itu. Tanpa berpikir panjang, Lengkan langsung ke pondok mengambil senapan dan menembak makhluk itu. Setelah ditembak barulah makhluk itu tidak bergerak.
16. After that, they weren’t brave enough to approach it, they wouldn’t dare approach it with only a small machete. They also wouldn’t dare grab their spears, which were all close to that beast. Lengkan didn’t think too long and went right away to the hut and grabbed his gun and shot the creature. Only after shooting it did the beast stop moving.
17. Setelah buaya itu mati, mereka mendekatinya. Barulah mereka menyadari, “Jangan-jangan inilah hantu yang dimaksud oleh kepala kampung Lebo itu, yang ternyata tidak seberapa juga kekuatannya. Setelah kita pikir-pikir memang tombak ini tak bisa diandalkan dan justru senapan inilah yang bisa kita andalkan. Dengan adanya senjata ini buaya itu tidak bisa melawan kita setelah kita menembaknya,” kata Lengkan.
17. After the crocodile was dead, they approached it. They were then aware, “I wonder if this is the ghost the chief of Lebo meant, it turned out not to be that strong anyway. After we think about it, of course these spears are unreliable, and indeed it’s the gun that we can trust, and with this weapon the crocodile didn’t stand a chance after we’ve shot it,” Lengkan said.
18. Mereka membolak-balik tubuh buaya itu dan masing-masing mencabut gigi buaya itu. Mereka berbicara dan menduga-duga apakah buaya inilah yang dianggap hantu yang ada di daerah itu. “Kalau kita pikir, mungkin ada benarnya juga. Tempat ini jauh sekali dari laut. Kita ingat sungai Kelai juga sangat jauh, demikian juga sungai Merapun ini. Cabang ini saja sudah sangat jauh, mengapa bisa buaya datang ke pegunungan seperti ini untuk hidup di sini. Pantas saja orang-orang menganggapnya hantu,” kata mereka.
18. They went back and forth around the body of the crocodile and each one of them pulled out a tooth, they discussed and presumed that this crocodile was what was thought a ghost in this area. “If we think about it, maybe there’s some truth to it. This place is really far from the sea, remember the Kelai river is also really far, and so is the Merapun. The tributary is even far away, how could a crocodile come to the mountains like this to live here. It makes sense that people thought it was a ghost,” they said.
241
19. “Na buké uvan mengini na balei ni ya’ iré ke kumé balei ni, nia lepek nalan ko’on teleu no’o di’. Na, ineu po’o ta’an o ini?” 20. “Bang ke kanyé apen ta teleu mu atek lempan dité ineu kini ta lan.” 21. “Mpeié sé-sé ke man na un di’ ya’ ineu pa teleu ke kanyé lé’é o?” 22. “Buké mengempei o di’ bang nga ri’ bang masat na teleu kanyé ineu ya’ teleu ke kanyé mesut o, ié uvan na tana’ ini o di’ terang nga kadu’ temedo kini. Ié dulu ju’un-un uvan nai masat kini ni, menginyé ya atek lan. Na uva’ ka kanyé temedo rateleu uvan na di’ temedo ni maan alé-alé beleia.” 23. “Na buké menginyé di’ ni, na balei ni nalan ko’on teleu o, mpei ineu-ineu nu’un bang ke kumé di’ bo’ teleu ti ya’ atek-atek uvan menatai balei ni mu uvan ke mekini lu’ na daau lu ke pekimet ira’ mengini o. Uvan na di’ ya’ ileu ka pekimet no’o di’ ke un ta apena ta’an mu. Daau lu lu’ ke kumé un apen ié pala’ lempan dité ineu kedi’, teleu suba’ ta ke kanyé mu,” menginyé daau Lengkan ri’ ilan rateleu no’o. Turo na rateleu alem iti o di’. 24. “Ja!” beleka’ Lengkan da nai mengaloi sakit di’ usé ati, tei mengaloi sakit usé ati o, mpei rateleu tisen ke pekimet sakit ati un. 242
19. “Kalau ini yang mereka katakan hantu itu, kita sudah membunuhnya. Lalu sekarang apa lagi?”
19. “If this is what they called the ghost, then we’ve already killed it. Then what do we do now?”
20. “Kita tinggal mencari hasil hutan dan kelihatannya daerah ini sangat ramah.”
20. “We should stay and look for forest goods, and this area looks very promising.”
21. “Saya tidak pernah menjamah daerah ini tapi apalagi yang akan kita cari?”
21. “This area has never been touched before, but what will we look for?”
22. “Bagaimana jika kita pergi saja jalan dan mencari apa yang kita rencanakan itu besok, daerah ini pasti banyak badak karena tidak pernah dijamah orang, begitulah biasanya.” Mereka mau mencari badak karena harganya sangat mahal.
22. “How about if we just go walking and look for what we planned tomorrow? This area must have a lot of rhinoceros, because this place has been untouched by humans.” They wanted to find rhinoceros because it fetched a really high price.
23. “Kalau begitu, hantu itu sudah kita bunuh. Jadi, tidak ada apa-apa lagi, mungkin memang kitalah yang harus membunuh hantu itu karena memang itu maksud kita. Yang kita pikirkan adalah hasil hutan ini. Kita berharap tempat ini ramah dan menghasilkan, kita coba mencarinya,” begitu suara Lengkan saat membawa mereka. Kemudian menginaplah mereka malam itu.
23. “In that case, we’ve already killed the ghost, so there’s nothing else, maybe we were really meant to kill that ghost because that’s what we intended. We thought of the forest goods, and we hoped this place would be welcoming and productive, so let’s try to find something,” that’s how Lengkan spoke when he brought them. Then they bunked down for the night.
24. “Aduh!” Tiba-tiba Lengkan menjerit karena badannya kesakitan. Yang lainnya tidak tahu apa yang harus dibuat.
24. “Owww!” suddenly screamed Lengkan because his body was overtaken with pain, the others didn’t know what to do.
243
25. “Mumo ié! Pa muso’ taban, kadu’ taban, pa pedu’ taban pa neng ié!” Muso’ kelenya’ kayu puti’ neng ié kempei ra ketai nyat lesau neng kelunan kiti uvan na melai-melai selipai ati mu melaimelai su’ tana’ ti o mu. 26. “Ép!” bang daau kenai kaloi Lengkan ti nyemaren-nyemaren lu’ ié nai sakit ti. 27. “Wé!” 28. “Ineu mengini o ta’an di’? Mpei lu tisen pekimet ini nu’un?” menginyé daau Tamen Dena’ ti o, ié-ié lu’ ta sé kelunan ya’ un kimet dité nengaang rateleu pa. 29. “Mengempei teleu kié mengini o di’? Mpei teleu ketai luntu’ na ta’an!” 30. “Ineu bang dité ketaa nyemaren-nyemaren dité Lengkan di lu’ no’o ni? Ke mengempei no’o, ke mengempei na teleu ke pekimet ié mengini?” nginyé daau rateleu a neng kata rateleu no’o. 31. “Hé, mengempei pilu kié ta’an? Bang tai ilan ié uli’ na teleu mu baya’ janan teleu da,” menginyé daau rateleu pekimet no’o. 32. Na dema no’o uyai tang nira o mengaput tang ti tagengtageng o di’, nenga na Lengkan da megen no’o, pat usé menyi’un Lengkan da o. Dué usé ba’ ineu ra da ié mpei ineu mengempei iré ba’ buké iré tai peluet ti un di’. Lengkan ti nyéa mengaloi to’o neng tang ti.
244
25. “Urut ia! Gosokan salep atau kasih minum obat!” Minyak kayu putih kemudian digosokan ke badannya karena di sana tidak ada tempat atau orang-orang yang bisa dimintai tolong. Tempat itu sangat jauh dari keramaian.
25. “Rub him! Rub him with a salve or give him medicine!” Then kayu putih oil was rubbed on his body because there was no one or no place where they could ask for help, that place was far away.
26. “Aduh!” Teriakan Lengkan semakin menjadi karena rasa sakitnya itu.
26. “Owww!” Lengkan’s screams became worse because of the pain. 27. “Owww!”
27. “Aduh!” 28. “Bagaimana ini? Kita tidak tahu lagi harus berbuat apa!” kata bapak yang disebut Tamen Dena’ karena tinggal ia saja yang masih berusaha.
28. “What are we supposed to do? We don’t know what else to do?” said the one called Tamen Dena’, because he was the only one still trying.
29. “Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa tidur kalau begini terus!”
29. “What are we supposed to do? We can’t sleep if it continues on like this.”
30. “Mengapa Lengkan semakin menjadijadi? Apa yang harus kita lakukan padanya?” Ia yang mengurus Lengkan sendirian berkata.
30. “Why is Lengkan getting worse like that? What should we do for him?” said the one who was caring for Lengkan by himself.
31. “Ya, mau bagaimana lagi? Sebaiknya kita bawa pulang saja lewat jalan kita itu,” mereka bersepakat setelah berembug.
31. “Yes, what else is there to do? It’s best we carry him home the way we came,” so they said after they thought about it.
32. Setelah fajar tiba, mereka membuat tandu dan mengikatnya kuat-kuat. Lengkan dibaringkan di atasnya dan tiga sampai empat orang yang menandunya. Dua orang lagi menggendong barang-barang mereka yang sudah tidak terlalu banyak, karena mereka akan pulang. Lengkan terus saja menjerit kesakitan di atas tandu itu.
32. After dawn arrived, they made a sort of stretcher and forcefully hoisted it up. Lengkan was placed lying down on it, and three or four of them carried it. The other two carried their things, which weren’t too much now that they wanted to go home. Lengkan constantly moaned in pain on the stretcher.
245
33. Iré tai menyi’un ié ti no’o, tai na rateleu masat o rateleu tai uli’ ti o seng janan daru’ janan iti ya’ rateleu nai. Rateleu uvan nai umet Lebo irai o, lebu’ Lebo. Tai rateleu dani’ lebu’ di’ tai ju’un daau sakit Lengkan ti mpeia mengaloi un. 34. Tai ra pavi’ uma’ no’o di’: “ineu nem teleu nai uli’?” kendaau tu’a lebu’ ti no’o. 35. “Mengempei ié mengini Lengkan?” 36. “Ineué nai sakit o mé’ teleu menatai sé baya’ ka’a ti. Ja’au alé’-alé’ baya’ inyé. Aring-aringa di’ mé’ teleu menesun umet su’a. Mpei mé’ teleu makang tai ngedani’ ié un. Tai neng ko’o a no’o di’ nga mé’ teleu nyelapang ié no’o, mataia baya’ ini o di’.” 37. “Mpei un ié ya’ dulu na’ balei balu?” inyé rateleu muteu tu’a lebu’ ti no’o. 38. “O é kumé na Lengkan o é kumé na nyé nem teleu bulingbuling daau tai suba’ tana’ inyé. Takut alé’-alé’ dulu ka’a ti un sé balei ya’ dulu takut alé’-alé’. Avé’ dulu tisen ke bara’a ta’an sé ineua. Mpei i’ dité ié lu’ pu’un di’, ikam teleu nia tai dité ié ni o. O é kumé na sa’ nengayet nem teleu ketai di’ ni na tai nem teleu ditéa o di’ bo’ balei ri’ ti ni. Inyé kenai nem teleu avi’ uma’ ni di’ ineu tiga too’ po’o. Mpei ineu un ié balei ni nalan nia o di’, mengempei makang nem teleu tai lé’é o? Sedi’ un lu’ pa sé balei ya’ sui’ neng ini lé’é,” menginyé daau tu’a lebu’ Lebo ti. 246
33. Mereka memikulnya dan terus melangkah sepanjang jalan yang telah mereka lalui sebelumnya dari kampung Lebo. Semakin dekat dengan kampung semakin hilang rasa sakit yang dirasakan oleh Lengkan. Ia tidak lagi berteriak.
33. They carried him on their shoulders and followed along the path they took before from Lebo village. The closer they got to the village, the more the pain that Lengkan felt abided, he didn’t scream anymore.
34. Saat mereka tiba di kampung, kepala kampung itu bertanya, “Mengapa kalian pulang?”
34. As they arrived in the village, the chief asked, “Why have you all come back?”
35. “Bagaimana bisa terjadi begini, Lengkan?”
35. “How can this have happened Lengkan?”
36. “Saya menjadi sakit setelah kami membunuh seekor buaya di sana. Buaya itu sangat besar. Pertama-tama kami melempar tombak dari jauh saja, kami tidak berani mendekatinya. Namun, pada akhirnya kami menembaknya hingga mati”.
36. “I got sick after we killed a crocodile there. The crocodile was huge. At first, we threw our spears from far away, we didn’t want to approach it. However, finally we just shot it dead.”
37. “Apakah itu yang dikatakan hantu?” tanya mereka kepada kepala kampung itu.
37. “Is that what was called the ghost?” they asked the village chief.
38. “Sudah saya katakan kalian jangan nekat pergi ke daerah itu. Daerah itu sangat menyeramkan. Ada hantu yang sangat ditakuti orang di daerah itu. Tidak ada yang bisa memberitahu itu apa. Belum pernah ada yang melihatnya tetapi kalian telah melihatnya. Sudah saya peringatkan tetapi kalian memaksa untuk pergi. Sekarang kalian sudah tahu akibatnya. Jangan-jangan itulah hantunya. Kalau kalian tiba di rumah, kamu akan sembuh. Tidak ada apa-apa lagi karena hantunya sudah kalian bunuh. Lalu bagaimana, apakah kalian masih berani kembali? Mungkin masih ada lagi hantu yang lebih dari itu,” kata kepala kampung Lebo.
38. “I already told you, don’t dare to go that area. That place is truly terrifying, there is a ghost, feared by the people of this area. No one can tell you what it is. No one has ever seen it, except that you have now seen it. I warned you, but you insisted on going, and now you know the consequences, I wonder whether that was the ghost? If you arrive home, and you are healed and well and there are no other problems, then you have killed the ghost. However, are you brave enough to go back? Perhaps there is another ghost beside that one?” said the chief of Lebo.
247
39. Na un tu’a lebu’ Lebo ti o ié na’at daau rateleu di’ mpei daau rateleu uva’ ketai nu’un tai masat nu’un uvan na di’ jayé na rateleu. 40. “Na buké mengempei Lengkan di’ mengempei ko’ tana’ ra sé ketai teleu di’ naié o?” menginyé daau tu’a lebu’ Lebo. 41. “Buké menginyé tiga inyé nai o ngan mé’ teleu ié ko’ tung busé na tai teleu,” menginyé daau Lengkan da no’o di’. Tai na tu’a lebu’ Lebo da ngan rateleu masat pulung no’o ko’ tana’ ko’ tung busé na ketai rateleu o. 42. Menginyé daau puyan ya’ ilu dité neng uman 1946 da ko’ tana’ Sega’ ti. Dité lan-lan ari’ mung kelunan ira’ uvan tai no’o ko’ ini da di’ Lengkan ngan Tamen Dena’ mpei ra un nu’un o, bang sé lu’ urip ra lé’é Panyé Udau ngan Idan, bang dué nyé lu’ un lé’é inyé lu’. 43. Sé ineu ya’ aki’ ke bara’ neng di’ sé puyan ya’ lan-lan dité da ko’ tana’ Sega’ da mena’a’ da. Aki’ tai tisen ni di’ daau Panyé Udau da bara’a ta kumé aki’.
248
39. Setelah mendengar perkataan kepala kampung Lebo, mereka tidak ingin kembali ke tempat itu karena jera.
39. After they heard the speech of the chief of Lebo, they didn’t want to go back to that place because they were frightened.
40. “Lengkan, bagaimana kalau kita pergi ke daerah lain saja dan saya ikut?” kata kepala kampung Lebo itu.
40. “Lengkan, how about if we go to some other place, and I’ll come along?” said the chief of Lebo.
41. “Oh, itu ide yang bagus jika Bapak ikut dengan kami dan kita pergi ke daerah lain saja.” Maka pergilah kepala kampung Lebo bersama dengan mereka ke daerah lain.
41. “Oh, that’s a great idea, you will come with us and we’ll go to some other place.” So the chief of Lebo went with them to some other place.
42. Demikianlah peristiwa yang kita alami dan benar-benar terjadi di daerah Segah pada tahun 1946. Tapi semua orang yang pergi ke hutan itu yaitu Lengkan dan Bapak Lambat, mereka sudah tidak ada lagi, hanya tinggal Panyé Udau dan Idan yang masih hidup.
42. And so that was what we experienced in the area of Segah in 1946, and it really happened. But everyone who went to that forest, Lengkan and Tamen Dena’, they’ve all passed away, there’s only Panyé Udau and Idan who are still alive.
43. Itu saja yang saya sampaikan tentang kejadian di daerah Segah pada masa lalu, Panyé Udau sendiri yang menceritakan peristiwa itu kepada saya.
43. That’s all I have to say about the event which really happened in the area of Segah a long time ago; I was told the story by Panyé Udau himself.
249
Adet Lebu’ Kulit ngan Ketena’ Bilung Apang Pifung Lahang Adet Lebu’ Kulit 1. Uma’ Lebu’ Kulit ni daleu mena’a’ da, sepun mé’ buké iré ilan ami’ mengadet aring da. Sulo ketai ra ngkin ami’ ko’ sé lepau irap manuk pelakei. Mpei nya’in ra nyat pelakei kumé ami’ di’ nai nira, sulo mé’ ncé’ ala’ pelakei ti, uvan un daau tebara’ kumé ami’ mengesu’ sakit met ami’ mung. 2. Na sulo ra ala’ avau ngan iyap iré menapo’ ko’ lepau ti. Lepek niti o, sulo ra menua ami’ ko’ lepau ti, kenai mé’ uli’, sulo ra nyat telang sio nyat pelakei. 3. Nai mé’ uli’ no’o, sulo mé’ bai ami’ mung-mung no’o, peging anak-anak ngan ledo, nai mé’ pempun no’o. Sulo ra mawang sapau, sulo ra ngebara’a no’o, muét telang pelakei neng ami’, ko’on ami’ ka muat, ncé’un sakit. Na, lepek iti no’o, nenga lu’ mé’ pasei. 250
Adat Lebu’ Kulit dan Kisah Bilung Apang
Lebu’ Kulit Traditions and The Story of Bilung Apang Pifung Lahang
Pifung Lahang Adat Lebu’ Kulit
Lebu’ Kulit Traditions
1. Dahulu, di zaman awal suku Lebu’ Kulit, nenek moyang kami sering menggelar upacara adat. Pertama-tama mereka membawa kami ke ladang untuk mencari burung elang. Dan tanpa menunggu lama burung-burung itu mulai berdatangan tapi kami tidak menangkapnya. Adalah larangan bagi kami menangkapnya jika kami ingin kuat dan jauh dari penyakit.
1. Long ago, at the beginning of the Lebu’ Kulit, our ancestors often performed ritual customs. First they carried us to the fields to look for falcons. And without having to wait a long time, they began to arrive, but we didn’t catch them. There’s a prohibition against us catching them if we wish to be strong, and kept far from illness.
2. Mereka membawa juga babi dan ayam (sesajen) ke ladang untuk ditancapkan di pondok. Lalu, di pondok ladang itu, mereka berdoa dan melumuri tubuh kami dengan darah. Setelah selesai, ketika hendak pulang, mereka meminta air berkat dan burung elang untuk kami bawa pulang.
2. They also brought pigs and chickens (as offerings) to the fields, to place them in our huts. Then, in the field huts, they prayed and smeared their bodies with blood. After they were done, when they wanted to go home, they asked us to carry home holy water and the falcons.
3. Setibanya di rumah kami semua, baik anak-anak maupun perempuan, diminta berkumpul di dalam rumah. Atap rumah itu dibuka. Lalu mereka membaca mantra sambil mengibas-ibaskan darah burung elang itu pada tubuh kami agar kami sehat, kuat dan jauh dari penyakit. Setelah selesai kami boleh bubar.
3. As we all arrived home, even the children and the women, we were asked to gather in the house. The roof of the house was opened. Then they read mantras and spread the blood of the falcons on our bodies, so that we would be healthy, strong, and stay far from illness.
251
4. Buké alé-alé mé’ sakit, sulo ra, “uih, mpei nyé siu’ un ini,” kera, sulo ra ko’on ami’ mamat. Un mamat iti lo ra di ketu’-ketu’ lakei ya’ senteng tegen ka siu’ kamat iti tai keba’an teleu pulu’ usé, pat pulu’, pilu ta’an dité ani o. Tai ra ilan ami’ no’o, un sé sang iré tai ilan ko’ bené naa ti no’o neng sé asa’. 5. Na un na ketu’ kadu’ mé’ ira’ Lebu’ Kulit ini no’o di’ ira’ uvan tai ti ri’, sulo mé’ uku’ no’o. Tai balai mengayau no’o kumé ami’ o di’, “jaga’ teleu,” kendaau dulu un ya’ tai masat iti o, sulo ketaa no’o, “barép iri uvan dulu loo lu kini, jaga’ teleu,” kendaau ira’ ja’au ti no’o, “tai nira ja! jaga’ teleu iré kenai ninyé,” kera. Sulo Lebu’ Kulit menyurup no’o ala’ ayau mena’a’ da, daau saiu Lebu’ Kulit ni no’. Nai dulu uli’ no’o bangen-bangen na dulu o muat-muat dité Lebu’ Kulit bangen nu’un, kancet, lunté, ineu-ineu na, ramai alé Lebu’ Kulit ti. 6. Na lepek iti un daau dité ileu ira’ uvan siu’ kamat iti mpei lu senteng uman sungai un, mpei lu uman ineu-ineu un bang kanen lu ileu uman iti dité kamat iti. Sulo ba’an teleu dau nilu ncé’un senteng kuman sungai neng kelemé dau ati sulo dulu uyai beleka’ kayeu “udo’”, kemé kumé ié. Udo’ kayeu daru’ ié dulu ka pedeng neng jumé ti o, un na sang ya’ uvan mé’ neké i’uk kanen mé’ ti o sulo me nekéa neng sang iti ie ami’ tai ngeliling neng belaka’ iti o.
252
4. Jika di antara kami masih ada yang sering sakit, mereka berkata, “O… pasti ada yang tidak benar.” Mereka lalu menyuruh kami untuk ikut upacara mamat. Mamat itu harus diikuti oleh semua laki-laki yang merasa mampu, mungkin sekitar tiga puluh atau empat puluh orang. Mereka mengajak pergi kami dengan membawa selembar daun silat ke pinggir andras, tepat pada sebatang kayu yang ada di dalam air.
4. If among us there were some who were frequently ill, then they said, ‘Oh… something is not right.’ They then ordered us to perform the mamat ritual. The mamat must be performed by all men who are able, maybe around 30 or 40 people. They invite us to go and we bring a silat leaf to the edge of the river rapids, exactly where there’s a tree in the water.
5. Lalu sebagian dari kami, orang Lebu’ Kulit, yang ikut mamat itu duduk. Sebagian lainnya ditugaskan pergi berperang (berjagajaga) untuk melindungi kami dan kepada mereka kami berpesan, “Jaga diri dan berhatihatilah!” Mereka pun berangkat. “Awas ada yang baru meninggalkan tempat ini, berhatihatilah!,” kata si pemimpin. Lalu ia berkata lagi, “Bersiaplah mereka sudah datang!” Mereka pun langsung menyerang dan memenggal kepala musuh. Beberapa saat kemudian mereka berteriak kegirangan karena memenangkan peperangan. Di sepanjang perjalanan pulang mereka menarinari, menyanyi atau melakukan apa saja untuk meluapkan kegembiraan. Ramai sekali!
5. Then some number of us, Lebu’ Kulit people, who are performing the mamat, sit down. The rest are told to attack (defend), to protect us, and to them we say, ‘Watch yourself and be careful!’ They then leave. ‘Take note, there are some who have just left this place, be careful!’ says the leader. Then he says again, ‘Get ready, they have already come!’ They then immediately attack and cut off the heads of our enemies. After a while, they cheer in happiness because they won the battle. Along the whole journey home they danced, sang, and did whatever to show their happiness. It was really exciting!
6. Setelah itu, kami yang ikut dalam pesta mamat dilarang minum air atau makan apapun selain nasi (mutih) selama tiga hari sebagai syarat keikutsertaan. Pada hari kelima mereka membuat patung kayu yang diberi nama udo’ (topeng), terbuat dari kayu panjang dan diletakkan di depan rumah adat. Lalu daun silat yang digunakan sebagai pembungkus nasi kami taruh di sekeliling tiang besar itu.
6. After that, those of us who partook in the mamat celebration were forbidden to drink water or eat anything other than plain rice as a participation requirement, for three days. On the fifth day they made a wooden statue and called it udo’ (a mask), made from long wood and then placed it in front of the traditional community building. Then the silat leaves were used to wrap the rice we put around the large pole.
253
7. Ari’ daleu iti o kena mé’ ke pedeng belaka’ iti ala’ iyap dulu singket-singket usé lakei, iyap a’ung mpei dulu ala’ iyap ledo un iyap a’ung mo’o-mo’o ami’ man. Un na ira’ mukon ti o di’, sulo ra di’ ko’on ami’ tai pala’ iré ilan iyap ti un sé sagan man malat na mé’ o, menetek batuk iyap ti bet usé ada ko’ likut lu ti uleu ada o di’ sulo ra menua ami’ no’o. Un kempen ineu ra maan iré tai neng li’ip mé’ ni o, taring lu’ ira’ ilan ami’ tei ati iting janan kera iti taring-taring lu’ neng kamat ti. 8. Sulo lepek iti, buké ileu sa’ uva’ ti léé di’ ta pavi’ ya’ mpaumpau no’o un dité ati o ira’ kedu’ut uvan siu’ lua kamat iti, mpei ra senteng masa dulu ira’ kua’ suang lua nu’un, na pira ncé’un ala’ uleu, senteng ra un kelega sé dué pa ta’an kukeba’an dité uvan lua ra neng kamat ti. Mengiti ditéa. Lepek na dulu uman neng dité uvan dulu menatai iyap ti no’o neng mesut ati nenga na dulu pedeng belaka’ ti o. Daau lalu’ dulu no’o tei ngan na. 9. Atek maan ta dité adet dulu mena’a’ da neng Lebu’ Kulit ini, neng kamat iti, un dité ileu po’o alem sé alem ati, tu’ ledo ri mpei ra senteng nai ke naai un, buké ledo nai ke naai di’ penco’ ra ncé’un tisen niti, iti na dité uvan tuken kelunan ira’ uvan uva’ nai ke naai niti.
254
7. Sebelum tiang besar itu didirikan setiap laki-laki harus membawa seekor ayam jantan, bukan ayam betina. Para tetua meminta kami untuk membawa ayam-ayam itu kepada mereka. Lalu dengan menggunakan parang dan talenan kami menyembelih leher ayamayam itu, badannya dilempar ke belakang sementara kepalanya digunakan untuk pemberkatan kami. Pada bahu kami ditorehkan gambar yang sangat mengerikan. Itulah yang disebut mamat tingkat pertama atau pembuka jalan.
7. Before the big pole can be put up, all the men must bring a rooster, not a hen. The elders ask us to bring those chickens to them. Then, using a big machete and cutting board we cut the necks of the chickens, the bodies are thrown in the back while the heads are used in our offerings. A frightening picture is cut into our shoulders. That’s what’s called the first level or opening step in the mamat.
8. Jika kita ingin sampai ke tingkat yang tertinggi akan memperoleh kemudahan adat dan yang kurang ikut mamat tidak bisa mendahului mereka yang sering ikut. Jika tidak mendapat kepala musuh, mereka boleh memakai topi dengan satu-dua bulu panjang burung sesuai tingkat keikutsertaan dalam mamat tersebut. Setelah itu mereka makan. Di tempat mereka menyembelih ayam keesokan harinya didirikan tiang besar itu dan selama bekerja mendirikan tiang itu orangorang bersorak-sorai.
8. If we want to get to the highest level, those who don’t often perform the mamat go before those who often celebrate, in order to make the custom easier. If you don’t get a head in battle, then you’re allowed to use a hat with one or two long bird feathers according to your level of participation in the mamat. After that they eat. At the place where they decapitated the chickens, on the next day the large pole is erected, and while the pole is being put up people cheer the whole time.
9. Begitulah tradisi mamat dari suku ini, sebuah adat yang mengerikan. Lalu pada malamnya semua perempuan tidak boleh ke serambi, depan rumah, dan jika melanggar resikonya mereka akan langsung pingsan.
9. That’s what the mamat is like for our clan, a rather chilling tradition. Then, at night time all the women are not allowed to go onto the veranda, in of the house, and if they violate this the risk is that they will immediately pass out.
255
10. Un na dité uvan uleu ira’ dulu ala’ mena’a’ kena mé’ ke menakan iré ti di’ liung-liung benayan ti, na nyé dulu menakan iré no’o, lengiyeu po’o, lengiyeu na ketu’ dité uvan uleu-uleu ira’ dulu ala’. Na lepek na iti o di’ séé’ nilu no’o, muat na dulu neng kamat iti no’o. 11. Un sé naan na po’o daau ra daleu iti, loo tu’ anak lakei ira’ i’ot lu’ po’o, ira’ loo lu’ uvan nai musang, iré uva’ sinen ra ti na ba’ ira’ o dulu ala’ anak lakei ti no’o dulu menesun ta uleu ya’ uvan dulu ala’ ti. Iti taring-taring dité anak iti uva’ ka mengayau niti dité iré uyai sé katuk kumé anak iti apan na kebaan dité uvan ira’ tu’a lu ti. Dité uvan keba’an anak ira’ ileu tai uva’ iti. 12. Na un na dité ati o nenga lu tai tebei dité dulu no’o, nai tiga na dité pengurip dulu o ta’an, tai tiga dité ileu o na ngiti na dité uvan adet Lebu’ Kulit ni. Un Lebu’ Kulit ni sineu maan ta dité adetadet mena’a’ da, buké tai nilu pavi’ keba’an lu masau ni ta’an ba’an lu masau ni umet taring ati, taring ketai parai sak ti ‘meniva’ ken dulu. Inyé sé dité adet-adet Lebu’ Kulit ni.
256
10. Sementara itu, jika kami belum memberi makan kepala-kepala musuh yang dibawa pulang itu, tempat menggantung kepala-kepala itu bergoyang keras. Setelah diberi makan kepala-kepala itupun terdiam. Orang-orang yang ikut mamat menjadi sehat kembali dan kita pun senang.
10. All the while, if we haven’t given them any food yet, then the place where we hang all the head-hunted heads will start to shake violently. But once we’ve given them food, the heads will be quiet. Everyone who joined in the mamat will be healthy and we’ll all be happy.
11. Dulu, ada satu adat lagi yang dijalankan saat menyambut bayi laki-laki yang baru lahir, dan masih bersama ibunya. Ketika anak itu sedang digendong, salah satu kepala yg digantung diambil dan ditikam. Begitulah untuk pertama kalinya mereka mengajarkan pada anak itu berperang dan menasehatinya supaya kelak ia menjadi seperti para pemimpin mereka. Seperti itulah anak-anak yang mereka kehendaki.
11. There was another type of tradition, in the old days, if a baby boy was just born and he was still with his mother. When the baby is being rocked, one of the heads (head-hunted heads, hanging in the house) is taken and stabbed. That’s the first time that the baby is taught to fight so that later he will become like the leaders of the village. That’s the kind of child they hope for.
12. Sejak itu kehidupan kita menjadi tenang, aman dan lebih baik sebagaimana yang diinginkan dalam adat suku Lebu’ Kulit. Selain itu, ada tradisi-tradisi lain yang dulu dijalankan oleh suku Lebu’ Kulit yang juga mengerikan, misalnya tradisi menyambut musim panen tiba, yaitu saat padi mulai menguning, yang orang namakan meniva. Ini juga merupakan salah satu adat suku Lebu’ Kulit.
12. Since then, our lives have become more peaceful, safe, and better, this is what is hoped for according to Lebu’ Kulit tradition. Other than that, there are other traditions that the Lebu’ Kulit used to practice, which are also horrifying. For example, when the harvest season arrives, and the first rice stalk begins to turn yellow, people call this time meniva. This is another cultural practice of the Lebu’ Kulit.
257
13. Meniva ya’ keké’ ni, un ta sé usé dulu ko’on malan daaua, ‘malan daau’ kelu, malan daau ncé’un-un senteng kuman ineu titi pa, bineu pia sakit tegen na la’au di’ mpeia senteng uman ineu un. Tai maau di’ suloa bet avet ati, ugaia megen. Sulo kenaa dema, suloa un menanit aveta da, ketaa ko’ balé, uman liyéa o, suloa ngelepu parai biti bet ulet ketu’-ketu’ ineu ya’ uva’ kenai uman parai ra’ iti. Ié ngelepu sedé ti di’ matai tua’ nira, ngiti daau kebara’ dulu ra un adet mena’a’ da. Na lepek iti di’, suloa na’at umé lé’é, na’at dité umé buké un lu’ pa dité uvan penyakit umé. 14. Buké taga’, “oi! mpei tiga dité umé teleu ti nu’un taga’,” kera, sulo ra pisiu dulu o, “mpei tiga dité umé ti un buké ngempei di’ teleu tai ntu’ no’o?” kera kumé ya’ malan ti. Sulo ketai ya’ malan ti no’o di’ ketu’-ketu’ anak lakei ilan uit tengen-tengen na dité iré ilan uai mo’o nira tai megoka ko’ sungai ti o, megok sungai ti lanlan bai usan. Sulo dulu menedé uai neng likut ati neng sungai ti. Buké ileu mo’o pekimeta po’o nai ta usan, nai usan alem iti lepek iti
258
13. Meniva yang kami maksud adalah menjadikan seseorang malan daau, sebagai tumbal. Orang itu diberi nama malan daau yang berarti orang yang memiliki banyak pantangan. Ia dilarang makan apapun, selapar apapun pantangan baginya untuk makan. Saat menjelang malam ia harus melepas cawatnya dan berbaring dengan telanjang. Lalu menjelang fajar ia menyeret cawatnya pergi ke teras, sambil makan jahe dan menyemburkannya ke arah padi untuk membasmi ulat dan semua jenis hama yang merusak. Setelah itu, ia juga menyemburkan cabai sehingga semua hama mati. Begitu cerita orang-orang mengenai adat jaman dulu. Setelah itu ia kembali memeriksa ladang, kalau-kalau masih ada hama atau penyakit.
13. By meniva we mean to make someone a malan daau (someone who makes personal sacrifices for the good of the community in order to ward off bad fortune). The one who is given the name of malan daau has many prohibitions. He may not eat anything, however hungry he is, he is forbidden to eat. If it’s getting to be night time, he must take off his loincloth and lie down naked. When dawn is coming he ties up his loincloth and goes to the front terrace, eating ginger, he spits out in the direction of the rice fields to exterminate caterpillars and all types of plant diseases which destroy the paddy. After that, he spits out chili peppers until all the pests die. That’s the story about the old customs. Then he comes back and checks the fields, to see if there are still any pests or diseases.
14. Jika musim kemarau datang orangorang mengeluh, “Ya ampun! Kelihatannya ladang kita tidak akan bagus!” Mereka kemudian berembug. “Ladang kita sedang tidak bagus, bagaimana jika kita memandikan kamu?”. Mereka bertanya pada orang berpantangan itu, lalu orang berpantangan itu pergi, bersama semua anak laki-laki yang masing-masing membawa piring dan rotan, ke sungai. Rotan itu dicambuk-cambukan ke air sungai terus-menerus untuk memanggil hujan. Lalu sesudahnya mereka mencambuk punggung orang berpantangan itu di air. Kalau kita memohon hujan maka malam itu juga hujan pasti turun.
14. When the dry season comes, people complain, ‘Oh goodness, it looks like our fields won’t be good.’ Then they complain, ‘Our fields aren’t good, how about if we bathe you?’ they ask the malan daau. Then he goes. All of the male children each carry plates and rattan to the river. The rattan is repeatedly beaten on the water to call for rain. Then afterwards, they beat the back of the malan daau in the water. If we ask for rain, then it will definitely come that evening.
259
di’. 15. Sulo ya’ malan daau ti pekimet lé’é, sulo ketaa masat ko’ umé, taia ko’ umé ti di’ un ta sé jaai ié, un uleng kibanga un api’ puti’, jena’ api’ puti’. Tai nia na’at umé ra iti o di’, avéa senteng kuman kanen ngan dulu. Ineu pa dulu bai iré di mpei ra sé-sé kimet kuman un. Mengkang-mengkang ta dité laset ra di’ nyaut ncé senteng ke menasa’ ba’ ra neng sungai. Nai ra uli’ iré na’at ditéa di’ un lu’ pa uvan dité ulet di’. 16. Na, alem iti lu ala’ liyé tai ko’ ata ié ti. Iti na ié menya singket semu’up ni ngelepu ko’ balé, ngelepu ko’ balé ti. Atek lan na di’ ulet tai tira ncé’un, ni ko’ ini o kelu di’ tai tisen ‘upeng’ lu’. Daleu mena’a’ da di’, daleu un adet mena’a’ da, mpei upeng un iti lu na dité taban, na uvan pengelan adet dulu mena’a’ irai, tai ko’o iti po’o di’ nyé dulu masau no’o, masau tiga parai dulu, dulu masau ti uvan dulu tiga parai, sulo dulu papit parai na kumé ié o singket-singket luvang amin tai lemé belék, un pira tai sé ingen ja’au ngan nyangan tai kumé ya’ uvan malan uman iti. 17. Buké ileu mo’o pekimet bua’ gayeng lu, buké tiga parai, suang alé’-alé’ paraia uvan dulu lesau dité ié ncé’un-un senteng kuman ineu. Ié malan kumé ileu uman iti lu kimet seng uman iti di’ ukéngukéng ra mengiti dité uvan ira’ mena’a’ irai pekatuk dité neng anak ira’ kepetuk adet Lebu’ Kulit ini mena’a’ da. Na ngiti na dité uyouyo Lebu’ Kulit ni, uman ra ketai un parai ti no’o di’. 260
15. Kemudian orang berpantangan itu memohon lagi sambil berjalan menuju ke ladang. Dengan ditemani seseorang, ia berjalan mengenakan kalung kibang, kain putih dan topi putih. Sekembalinya dari ladang, ia tetap pantang makan nasi dan lainlainnya. Walaupun ditawarkan, pantang baginya berpikir untuk makan. Walaupun tenggorokannya kering, ia sama sekali tidak boleh membasahi mulutnya dengan air. Ketika hendak pulang, mereka menyempatkan diri melihat kembali ladangnya kalau-kalau masih ada hama. 16. Kemudian, pada malamnya orang berpantangan itu mengambil dan menaruh jahe di depannya. Setiap pagi, ia menguyah dan menyemburkannya ke teras. Hama yang sebelumnya sudah tidak ada lagi tetapi sekarang ada hama lain yang disebut upeng. Pada jaman dulu, upeng itu tidak ada obatnya sehingga kami membasminya menurut keyakinan adat kami dan ternyata panen kami bagus. Setelah panen setiap keluarga harus menyumbang padi untuk orang berpantangan itu, ada yang menyumbang lima kaleng dan ada pula yang menyumbang satu bakul besar yang penuh dengan padi. 17. Jika mengingat hasil panen dengan padi yang banyak sekali timbul rasa kasihan orangorang kepadanya yang selama ini tidak makan, dan sudah bersedia untuk tidak makan sebagai tumbal kami semua. Sepanjang tahun ia tidak makan sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Bagi mereka, ini adalah sebuah nasehat pada anak-anak yang akan meneruskan adat suku Lebu’ Kulit. Begitulah tradisi suku ini menjelang musim panen.
261
15. Then the malan daau asks again as he is walking toward the river. Accompanied by one person, he goes wearing a kibang necklace, white cloth, and a white hat. As he comes back from the field, he is still prohibited from eating rice with the others. Although he is offered, it is forbidden for him to think about eating. Although his throat is dry, he is not allowed to moisten his mouth with water. When they want to go home, they take the opportunity to look again to see if there are any pests left in the fields. 16. Afterward, at night, the malan daau takes ginger and puts it in front of him. That’s what he chews every morning, and spits it onto the terrace. There was a new kind of pest, called upeng. In the old days, there was no pesticide for upeng, so we eradicated it according to the old tradition, and the result was an excellent harvest. After that, every family must give rice stalks to the malan daau as a payment; some give five cans and some give a big basket full of rice. 17. If we think about the results of the harvest, with the amount of the rice fields, a feeling of great pity for him swells up in people, because he hasn’t eaten at all, and was willing to become the malan daau for all of us. All year he doesn’t eat, so his body becomes thin and dry. For them, this is the advice to the children who will continue the traditions of the Lebu’ Kulit. That’s the tradition leading up to the harvest season.
Ketena’ Bilung Apang 18. Tai kancau na Lebu’ ileu ni no’o ngiri ta Lebu’ Tau, uvan na tiga Lebu’ Kulit ni murip mena’a’ da. Sulo ra tei isiu ke pasé’ no’o, pasé’ na isiu ra ti o. Un daau Lebu’ Tau ni o, “oi! teleu den ya’ tisentisen petira’ mé’ teleu aring man ya’ mpei suang-suang uvan ikin,” kera pasé’ nira ti, “na un anun teleu o, Bilung Apang,” kera kumé ié. 19. Un na Bilung Apang ni o sé Lebu’ Kulit ti nyé. Tai Bilung Apang na di’ ilan sé anak aseu uva’ daau kuman bavuia. Suloa tai anak aseua da neng belanyat taia so’o no’o, taa nia di’, “ah kini ku’un bavui baké’,” kenya. Suloa pejaka’, suloa ngelavék aluta da na neng sé kayeu o, sulo kenaa pejaka’ no’o, “ép! tei apui néé aring, nyé daau sé amen nuyau kinyé tei apui néé aring, ep! kala’ bavui téé’ o, tiga alé’ na daau amené ni,” kenya. 20. Suloa ala’ kayeu, tei apui no’o, nai apui ati katan di’, “ineu ba’an tegen tai paso da é’ ni?” kenya. Na’at ta di’, “wé uvan sé siyan ineu uvan sé siyan ya’ uvan né’ tei apui ni o ni?” kenya, suloa ala’ siyan inyé. Kenya ketai pelek ié ko’ alut di’, “mpei aluta da un, é kempei na aluté da no’o ta’an?” kenya. “Taié nganup aring melé pa kempei uvan tai aluté da o mu,” kenya no’o.
262
Cerita Bilung Apang
The Story of Bilung Apang
18. Suku Lebu’ Kulit sangat bangga, seperti halnya suku Lepo’ Tau, akan kehidupan mereka pada jaman dahulu yang sangat baik. Kedua suku ini sering beradu kepandaian bercerita. Suatu hari orang-orang suku Lepo’ Tau menantang, “Ayo kita cari seseorang yang paling pandai bercerita! Kita lihat, siapa yang paling banyak akalnya!” Kita berkata pada mereka, “dari pihak kita adalah Bilung Apang.”
18. The Lebu’ Kulit are very proud, as are the Lepo’ Tau, that their lives long ago were very good. These two clans often compete in storytelling. One day, the Lepo’ Tau challenged, ‘Let’s find the best storyteller! We’ll see who is the best!’ We said to them, ‘We have Bilung Apang on our side.’
19. Bilung Apang adalah seorang Lebu’ Kulit. Suatu hari ia membawa seekor anak anjing pergi untuk berburu babi. Ia pergi ke hilir (dengan menggunakan perahu) dan anak anjing itu diletakkannya ke dalam tas gendongnya. Ia pergi makin ke hilir. “Ahh.. mungkin di sini ada babi,” katanya. Ia lalu menepikan perahu dan mengikatnya pada sebatang kayu. Setelah itu ia naik ke darat, “Ah aku harus membuat api, aku dengar ada suara binatang! Ini pertanda bagus! Di situ saja aku buat api! Sepertinya aku segera akan dapat babi hutan! Bagus sekali peruntunganku!” katanya.
19. Bilung Apang was a Lebu’ Kulit. One day he took a puppy out hunting wild pigs. He went downstream (using a boat) and he put the puppy in a bag on his back. He continued downstream. ‘Ahh… maybe there’s wild pig here,’ he said. He then banked his boat and tied it to a tree. Then he went on the shore. ‘Ah, I must make a fire; I hear the sounds of animals! This is a good sign! I’ll make a fire over there! It seems like I’ll quickly get a wild boar! This is really good luck!’ he said.
20. Ia kemudian menambah kayu sehingga api itu semakin besar. Tiba-tiba ia kaget. “Kok aku seperti berpindah?” katanya sambil memeriksa. “Loh! kok tempatku membuat api ini ternyata kura-kura darat?” ia bertanya. Lalu ia mengambil kura-kura itu untuk ditaruh di perahu. Tetapi perahunya tidak ada lagi. “Eh, dimana perahuku?” keluhnya. “Ah! lebih baik aku pergi berburu dulu, biarlah perahu itu hilang,” begitulah katanya.
20. Then he continued to add wood to the fire until it was really big. Suddenly he was surprised. ‘It seems like I am moving?’ he said as he checked around. ‘Wow! how is it that the place where I made my fire turned out to be a turtle?’ he asked. Then he took the turtle to put in his boat. But his boat wasn’t there anymore. ‘Hey, where’s my boat?’ he complained. ‘Ah, it’s better for me to just go hunting first, let the boat go,’ that’s what he said.
263
21. Taia nganup no’o di’, “lala ha! uvan kini aluté da o ni sé alut adau aké’ ni da di’ alé’ senteng aki’ kuyai alut na lentung ani no’o,” kenya. “Ei! mpei naié palet kuyai aluté ni nu’un o melé pa kenéé uyai ya’ baya’ ti o mu aki’ mo’o’ uva’ ke nganup ni di’ tai néé’,” kenya no’o. 22. Sulo ketaa no’o di’ nia pekena aseu ada di’, suloa uku’ di’ mpei nya’in di’ sulo kenai sé punai. Suloa di’ nakep, nai sé pelé’é di’, suloa tai neng lengen ati nai sé lé’é di’ pekatip tua’ na punai birai neng lengen ati. Nai tua’ nira, suloa tai lepet ati, ja tai nalan mung nira neng singket lepet ati, ié mesip pa balai neng batuk ati. Sulo nai Bilung Apang da luvit tepum neng sé bawang, “hah! mpei néé’ tisen ketai manuk birai lap nu’un o pa taro lan lunaé nai luvit. Nai beti’ di’,” kenya. 23. Kemaga’ buka da di’, “awa’ liré mu” keké’ uvan urang. Urang tengen-tengen na uvan neng buka da. Suloa maga’ iré “ah tiga alé’ uvan tai petepum neng bawang ni,” kenya, ié mena’at dité urang biti neng bawang ti di’, “lala ri pa kumé putet arép putet pira ini o di’ ya’ mpei aki’ ke paran kumé urang ngan putet ini ta’an?” kenya no’o.
264
21. Pergilah ia berburu. “Hei…ada perahu bekas di sini! Aku bisa membuat perahu baru dari tunas itu! Tapi mana sempat aku membuat perahu? Nantilah belakangan, sekarang aku mau berburu dulu,” pikirnya.
21. Then he went hunting. ‘Hey…there’s an old boat here! I can make a new boat from that shoot there! But when will I have the time to make a boat? I’ll just do it later, now I’m going to go hunting first,’ he thought.
22. Ia kemudian meneruskan pergi berburu. Saat ia berhenti duduk untuk menunggu anjingnya, hinggaplah seekor burung punai. Ia lalu menangkapnya. Kemudian datang lagi seekor, ia pun menangkapnya dan menaruhnya di lengan. Ketika datang lagi seekor, ia jepit burung itu pada lipatan lengannya. Tetapi burung itu terus datang dan datang lagi sampai lipatan lengannya penuh burung. Ia juga selipkan sebagian pada lehernya. Tapi tiba-tiba Bilung Apang tergelincir jatuh ke danau kecil di tengah hutan itu. “Waduh.. Semua burung itu lepas tanpa kusadari,” katanya sambil tertawa. “Lalu aku bangun,” ia berkata lagi.
22. Then he continued hunting. As he sat to wait for the puppy, a pigeon landed near him. He caught the pigeon. Then another pigeon came, and he caught it too, and put it on his arm. When another pigeon came, he clamped it on the folds of his arm. But the birds just kept coming, until the folds of his arm were full of pigeons. He also put some of them around his neck. But all of a sudden Bilung Apang slipped and fell into a small lake in the middle of the forest. ‘Oh, all of the birds got away!’ he said laughing. ‘Then I should get up,’ he said.
23. Ia kemudian mengibas-ibaskan rambutnya. “Ada banyak daun busuk,” katanya sambil mengibaskan banyak udang yang nyangkut di rambutnya. “Hah, ada untungnya juga aku jatuh ke dalam danau kecil di hutan ini!” serunya setelah melihat udangudang di danau kecil itu. “Eh.. eh.. ada lelenya juga! Mana dulu ya, udang atau lele?” katanya.
23. Then he shook his hair. ‘There are a lot of rotten leaves here,’ he said as he shook a lot of shrimp which got caught in his hair. ‘Ha, it was fortunate that I fell into this little lake in the forest!’ he exclaimed after seeing all the shrimp in that lake. ‘Hey, eh, there’s also catfish here! Which should I get first, the shrimp or the catfish?’ he said.
265
24. Suloa ala’ putet biti, ala’ putet biti mung-mung no’o kadu’ lan na putet ié ala’. Suloa pekimet no’o, mena’at-mena’at di’ iri dité sé pu’un bulu’ ta. Ié ala’ bulu’ ti di’, ié menyepet di’, “barép! da’a’ lu’.” Ié tei lé’é di’ da’a’. “Mo’o na ineu pira ini?” kenya di’ mena’ata di’, “barép pentan”, mpei sé-sé pekimet ke mena’at iré nu’un o iré sangan neng bulu’ ti di’, “hah ala’ da’un seng né’é tua’.” 25. Suloa ala’ irap tung da’un di’, sulo lemeruta di’, suloa meseng pentan ti o uvan bekai, “hah! tigaé uvan bekai ya’ aki’ ala’ seng ao pentan ni,” kenya, sulo kenaa no’o di’, “kempeié ala’ aka pa ta’an? avé un uai,” kenya. Tai dité sé aka o ié kumé aka ié menat di’ “kuko’” kenya, “wé ineu aka ini tai “kuko’,” kenya di’. “Woi! uvan bangat,” suloa ala’ bangat nyé no’o. “Lala kadu’ lan na sen aki’ ala’ ni, mengempei né o ta’an?” kenya no’o.
266
24. Ia mengambil lele! Ketika mendapatkan banyak sekali lele, ia mulai berpikir sambil melihat ke sekeliling. Di sana ada rumpun bambu. Ia pun mengambil sebatang dan memotongnya. “Astaga bambu ini berdarah!” Ia lalu mengambil yang lain, tetapi tetap berdarah. “Apa ini?” ia bertanya sambil memeriksa. “Eh.. ada kelelawar!” serunya. Ia berpikir bagaimana caranya mengambilnya satu-persatu dari bambu itu. “Sepertinya lebih baik aku ambil daun saja!” katanya.
24. He took the catfish! After he got a lot of catfish, he began to think and look around him. There was a bamboo grove there. He took a stalk and cut it. ‘Oh my god, this bamboo is bleeding!’ He took another stalk, but it bled too. ‘What is this,’ he said examining it. ‘Oh, it’s a bat!’ he exclaimed. He then thought of a way to take them one by one from the bamboo. ‘I should just take the leaves instead,’ he said.
25. Lalu ia mencari daun, mengambil dan menyumbat lubang bambu itu. “Untung sekali aku! Daun bekai penutup bambu ini akan membuatnya menjadi lemang kelelawar!” ia berkata. Kemudian ia berjalan lagi, “Di mana aku bisa mendapatkan akar? Tidak ada rotan!” katanya. Lalu ia melihat seutas akar. Saat ia tarik ada bunyi ‘kuko.’ “Akar apa ini yang bisa bunyi ‘kuko’?” tanyanya. “Ohh ternyata seekor monyet!” Ia pun lantas menangkapnya. “Astaga banyak sekali buruan yang kudapat! Sekarang bagaimana ya?” katanya.
25. Then he looked for leaves, took them, and clogged the hole in the bamboo. ‘I am really lucky! These bekai leaves can close the bamboo and can make bat lemang (a kind of rice or cassava cake cooked in bamboo tubes)!’ That’s what he said. Then he continued on, ‘Where can I find some roots? There’s no rattan!’ he said. Then he saw a bunch of roots. When he pulled them there was a ‘kuko’ sound! ‘What is this that makes such a sound?’ he asked. ‘Oh, it’s a monkey!’ He then caught the monkey too. ‘Oh my, there are some many things I have caught! What should I do now?’ he said.
267
26. Kimet nia kenai uli’ no’o di’, “kempei néé kala’ aluté da uli’ no’o ta’an?” kenya no’o. Naa ba’ ao birai no’o ngan na ba’ bangat no’o ié ncé’un alut, “ni kempei néé kala’ alut o ta’an?” kenya naa dani’ bengaai ni di’ iri sé lu’ung dian. “Ja’au,” daau, “dian ti”, suloa mebé’ dian ti, “ee ja’au dian ni ineu supé’ néé’ uman sé bé’ ani o ta’an sé lu’ung ani,” kenya no’o, suloa ala’, ié mesek tai anak aseu ati neng sé bé’ mu’ dian ti di’, “uh langkang lu’a o, melo lu’a o, tigaé tai neng sé bé’ ani ba’an né, aki’ ngkin na aseué ni neng sé ni o,” kenya. Suloa di’ mesek uku’ neng ‘alut’ ati di’ senteng un. 27. Sulo naa menesai, menesai no’o di’, menesai aseua da ngan dian ti no’o di’, mpei dian tai kua’-kua’ dian inyé nu’un o mungmung Lebu’ Kulit ngan Lebu’ Tau na malap dité dian iti. “Tiga nilu uvan Bilung Apang di’ tegu’ dian du,” kera no’o, sulo ketai dulu pempun no’o. “Un nco ta uvan penisen Bilung Apang na. Ei! mpei teleu ketai kua’ penisen ngan Lebu’ Kulit ni un uvan un nco ta Bilung Apang ni tisen pekimet kumé ileu. Lebu’ Kulit ni ta atek-atek uvan un penisen,” kendaau Lebu’ Tau’ sé sé ni no’o. “Oi ngiti ta uvan Lebu’ Kulit ni un penisen ta,” kendaau dulu no’o.
268
26. Ia lalu berpikir untuk pulang. “Di mana bisa kudapatkan lagi perahuku untuk pulang?” tanyanya. Ia berjalan karena tidak ada perahu sambil menggendong bambu-bambu berisi hasil buruan itu dan seekor monyet. “Di mana bisa kudapatkan perahu?” katanya lagi sambil mendekati pinggir sungai. Di pinggir sungai itu ada sebutir durian yang sangat besar. “Eee..besar sekali durian ini!” ia berkata lalu membelahnya. “Ee... sungguh besar durian ini! Aku bahkan takkan sanggup menghabiskan setengahnya.” Kemudian ia mencoba meletakkan anak anjingnya di satu belahan kulit durian itu. “Wah... masih longgar, mungkin aku bisa naik belahan yang satu lagi sambil kugandeng anjingku yang ada di belahan tadi,” katanya. Ia pun mencoba duduk dalam ‘parahu’ kulit durian itu.
26. He thought about going home. ‘Where can I get another boat to go home?’ he asked. He walked because he didn’t have a boat, and carried bamboo filled with everything he had caught and the monkey. ‘Where can I get a boat?’ he said as he approached the edge of the river. On the edge of the river there was a huge durian fruit. ‘Wow, that durian is huge!’ he said as he split it. ‘Wow, this really is huge! I can’t even finish half of it!’ Then he tried to put the puppy in one half of the durian shell. ‘Wow, it’s still has room. Maybe I can ride in one half and pull the dog in the other half,’ he said. He then tried to sit in the durian ‘boat’.
27. Dari tanjung itu ia mendayungmendayung dan mendayung durian bersama anjing itu. Sejak itu tidak ada lagi durian seperti itu. Semua orang-orang suku Lebu’ Kulit dan Lepo’ Tau terheran-heran melihat durian itu. “Beruntung sekali Bilung Apang bisa menemukan durian sebesar itu,” kata mereka. Semua orang lalu berkumpul. “Ia pintar! Pengetahuan kita kalah dengan orang-orang Lebu’ Kulit karena ada Bilung Apang yang pintar. Orang-orang Lebu’ Kulit ternyata lebih pintar!” kata orang-orang suku Lepo’ Tau. “Memang suku Lebu’ Kulit memiliki banyak pengetahuan,” kata mereka.
27. From the promontory, he rowed, and rowed, and rowed the durian along with the dog. Since then there has never been another durian like that. All of the Lebu’ Kulit and the Lepo’ Tau were shocked to see that durian. ‘How lucky is Bilung Apang to have found such a huge durian,’ they said. Everyone gathered together. ‘He has intelligence. Hey, our knowledge is not the same as the Lebu’ Kulit, because they have Bilung Apang the wise. The Lebu’ Kulit are smarter,’ said the Lepo’ Tau. ‘The Lebu’ Kulit indeed have great knowledge,’ they said.
269
28. Buké Bilung Apan tai ngenjala’ ni ko’ Lung Kalai na du, na’ata di’ kumé kayeu, “hah! kayeu mengempei ta’ané mentem téa?” uvan lepuro’ lalang. Ié muét kejala’a da di’ mo’o, na lalang tai penat kejala’a da, suloa lepoa, “ha! kempei na kejala’é da no’o ta’an?” kenya no’o. Naia menesai no’o mpei nia dité kejala’a da nu’un o, “melé pa kempei uvan ketai kejala’ ra’ mengini pa mu?” kendaau a. 29. Ié ketaa so’o no’o mpei nia tegu’ kejala’a da nu’un o, “maap semu’up péé’ nai den na mu.” Naia maap semu’up iti nai medik, nai tumat den kejala’a da di’. “Lala.. ineu ra’ kelo’ong kinyé nyé ta’an alé’ ba’an dité belip ineu na ineu kinyé ta’an?” kenya. Taia pekelung-pekelunga di’ uvan kejala’a da, ié menat kejala’a da di’, “alala,” singket maté kejala irai tua na bo’ong pavi’ avit ati mesip. 30. Sulo kenaa uli’. “Kena kuma’ ti tai na teleu aring teleu pelelat uvané ngejala’. Mpei teleu Lebu’ Kulit ini keba’an aki’ ni ngejala’ un.” Nai na dulu ra’ un séé’ irai mena’ata no’o ié ala’ bumpung ada di’ dulu na’at bo’ong ra’ iti iré tusep maté kejala’ rai di’, “ei mpei sésé awanga nu’un ira’ mencat ti di’ dué pira nenga neng maté ati avit ati singket-singket leng avit ati tua’ na bo’ong.” 31. Na nginyé dité uvan penisen Lebu’ Kulit ni. Mpei melai uvan dulu ketai kua’ ngan penisen Lebu’ Kulit ni un, ngiti na dité uvan dulu ira’ mena’a’ irai ka pasé’ ngan dulu. Lan Lebu’ Kulit ni uva’ un penisen ta. Pé inyé lu’ ya’ aki’ tisen. 270
28. Suatu hari Bilung Apang pergi menjala di Lung Kalai, ia melihat sepotong kayu. “Wah, kayu apa ini, mengapa kelihatan gelap?” Ternyata yang disangka bekas kayu terbakar itu adalah kumpulan ikan lalang. Ia segera menebar jalanya, tetapi ikan-ikan itu justru menarik jalanya. Jala itu lepas. “Aduh, di mana jalaku?” katanya. Ia mendayung tetapi jala itu sudah tidak kelihatan. “Biarlah jala itu hilang!” katanya. 29. Ia mencoba lagi pergi ke hilir tetapi jalanya juga tidak ditemukan, “Pagi-pagi saja aku datang mencarinya.” Pagi-pagi buta ia pergi ke hulu untuk mencarinya lagi. “Oh gerombolan apa itu berkilauan...? Kilau apa itu?” katanya. Lalu ia memperhatikannya dengan seksama dan ternyata itu adalah jala miliknya. Ia pun lantas menariknya. “Astaga! Di setiap mata jala itu ada ikan!” Bahkan sampai di batu jala itu pun terselip ikan.
30. Lalu ia pulang. “Sebelum aku ke rumah, akan kubagikan hasil tangkapan ini pada orangorang. Tidak ada orang-orang Lebu’ Kulit yang seperti aku kalau menjala.” Orang-orang berdatangan senang melihat ia mengambil bumbung itu. Mereka melihat ikan-ikan itu dan menghitung mata jalanya, “Wah, tidak satu pun yang tanpa ikan!. Bahkan ada yang dua ikan dan di setiap batu jala yang berbentuk cincin itu ada ikannya.” 31. Itulah pengetahuan orang-orang Lebu’ Kulit. Tidak mudah untuk bisa menyamai kepandaian mereka. Begitulah orang-orang dulu mengadu kepandaian. Memang suku Lebu’ Kulit ini ingin terus maju. Sampai di sini saja yang saya ketahui.
271
28. One day, Bilung Apang went net fishing at Lung Kalai, and he saw a piece of wood floating. ‘Wow, what kind of wood is this that is so dark?’ It turned out that what he thought was an old burned piece of wood was actually a school of lalang fish. He quickly cast his net, but it was the fish that pulled the net down. He let go of the net. ‘Oh no, where is my net?’ he said. He rowed, but the net was no longer visible. ‘Well, just let it go!’ he said. 29. The tried again going downstream, but he still couldn’t find the net, ‘I’ll just come early tomorrow morning and look for it.’ Before the sun was up he went upstream to look for the net. ‘Oh, what’s the group shining over there? What is that shining?’ he said. Then he examined them more closely, and it turned out to be his net. He then pulled it up. ‘Oh my god! In every crook of the net there’s a fish!’ Even the stones weighing the net were covered in fish. 30. Then he went home. ‘Before I go home, I’m going to divvy out my catch to everyone. There’s no other Lebu’ Kulit who can fish like me!’ Everyone came and was happy to see him take his bamboo container. They saw all the fish, and counted the links of the net, ‘Wow, there’s not a single one without a fish. There are even some with two fish, and all the stones shaped like rings are filled with fish!’ 31. That’s the knowledge of the Lebu’ Kulit. It’s not easy to name that type of knowledge. That’s how people used to compete in knowledge. Indeed, the Lebu’ Kulit have continued to advance. That’s as much as I know.
272
273
a
a
1.dia 2. pelengkap kalimat
a’ung aa’ abé abut
ameng ami’
jantan iya sayur sawi tempat duduk, bagian paling belakang nama sejenis kayu adat kata seruan pasir akar kekuatan, keberanian akal saya ambil, dapat kata seruan menunjukkan perasaan kaget sangat terlalu (dengan sifat heran) malam mangga buah alim, bambangan arus tanpa batas, laut arus sungai, parit orang asing perahu bapak pertanda yang berhubungan dengan kepercayaan lama bisu kami
amin ampap anak amung anak aong anak bala anak pepit anak angau angko’ ani
rumah tengkurap anak tiri anak keponakan bayi anak kembar anak ranting cincin dia ini
adau adet ah ait aka akang aken aki’ ala’ alala alé’ alé’-alé’ alem alim alo’ alim alo arap alo alo’ alut amai amen
274
1. 3rd person singular pronoun 2. particle male yes mustard greens place to sit, rear part k.o. wood custom exclamation sand root strength, bravery reason 1st person singular pronoun take, get exclamation expressing surprise, shock very too (with a surprised feature) night bambangan/alim fruit mango flow without limit, sea flow of river, trench foreigner boat father omen under the old beliefs/ ways mute 1st person plural exclusive pronoun house lying flat on one’s stomach step-child nephew/niece baby twin children child small branch, twig ring this one
anit anun ao
asai asat asau aseu asi’ aso ata atai atai bep atang atek ati atip ato ava’ avan avau avé avet aveu avi’ avit
kulit punya, milik bambu yang diisi dengan makanan untuk dimasak supaya, karena dataran tinggi; Apau Kayan hasil kain lampu damar api 1. tapi 2. jangan dulu pertama-tama kayu yang hidup dalam air yang berwarna hitam kapak jalan panen anjing keadaan susah lantai di depan hati paru-paru tempat masak sangat, paling dia itu jepitan ratus hilir duda babi ternak 1. mana 2.tidak cawat abu sampai batu jala
avun avung awa’ awang awéi ayau
awan buah maritam 1. andaikata 2. jerat burung tempat di luar tidak tahu musuh
apan apau apen api’ apui nyateng pui ari’ aring aring-aring asa
275
skin have, own bamboo filled with food to be cooked to that, because highlands; Apau Kayan product, results cloth torch fire 1. but 2. don’t first, before the first one/time/thing black tree growing in water axe road harvest dog difficult situation floor in front liver lungs kitchen, place to cook very, most that one clips, tongs hundred downstream widower pig 1. which 2. not loincloth ash arrive small rock used to weight a net cloud maritam fruit 1. supposing 2. bird snare place outside don’t know enemy
b
ayé ayeng ba’ awang ba’ ba’an ba’at ba’u baa baa’ baditiang bai baka baka’ baké’ bala balai balé balei baleu baliu balu bamen bang bangat bangé bangen bara bara’ bareng barép basa basa’ basé bat batek bateu batuk bavui bawang
delapan kekuatan jendela 1.menggendong, membawa 2.mulut 1.seperti 2. bilang, kata 3. ikatan padi berat bau beras bengkak nyanyian yang mengiringi tarian berbaris panggil mari! bohong, menipu mungkin; kira-kira merah sebagian teras, tempat jemuran hantu, dewa janda berubah kata seruan: jangan-jangan pintu 1. hanya 2. selalu sejenis monyet, lutung basi senang dasar beritahu kasar, sembarangan kata seruan: aduh baca basah sebelah tikar untuk tidur perut batu leher babi hutan 1. danau, rawa; sawah 2. bawang
276
eight strength window 1. carry 2. mouth 1. like/as 2. say 3. rice stalk binding heavy smell uncooked rice swell, swollen song accompanying a line dance call come here, please! lie, deceive possible, estimate red part of terrace, place for drying things ghost; spirit; god widow change exclamation; let us hope not door 1. only 2. always k.o. monkey rotten like, enjoy base, foundation inform rough; random exclamation; wow read wet side sleeping mat stomach stone neck wild boar 1. lake, swamp, rice paddy 2. onion
baya’
1. buaya 2. di belakang
bayen bé bé’ beka’ bekai
bayar lereng belahan tiba-tiba daun yang dipakai sebagai bumbu makan mencuri tiang kayu besar yang diukir tas anyaman yang digendong di belakang guntur tikus kaleng tiba-tiba Belanda kayu ulin dukun kaca yang berkilau bendera anting-anting arit tengah, setengah bunga yang dipakai sebagai sayuran bagian atas rumah pantat tempat gantung kepala pada waktu adat dulu 1. sebelah hilir giram 2. bagian bawah dari tas anyaman 3. pinggir pinggir air benih gendongan anak hilang sobek jiwa dayung pecah kenyang buang, lempar betis
bekelau belaka’ belanyat belaré belavau belék beleka’ Belenta’ beli’en belian belip belira beloong belu’ing belua’ belusot beluvung ben benayan bené bengaai beni bening beram berit berué’ besai besé beso bet beté
277
1. crocodile 2. in the back, behind pay slope (of a mountain) section suddenly leaf used as a seasoning steal carved large wood pole braided bag carried on the back thunder rat can suddenly Dutch k.o. very hard wood shaman shining glass flag earrings sickle half flower used as a vegetable top part of a house butt place to hang head-hunted heads during old customs 1. downstream of rapids 2. bottom part of a braided bag 3. edge water’s edge seed baby carrier disappear tear, torn soul oar, cow break, broken full (having eaten) throw away, throw calf (leg)
beti’ betik betuen bika’ bila bila’ bileng bini binyé birai bisau biti bo’ bo’o da bo’o bo’on bo’ong bua’ taket bua’ usu’ belua’ bua’ usu’ ja’au bua’ usu’ kéng bua’ usu’ tuso’ bua’ usu’ bua’ buan apui buan buang buat buét bui buk levi’ buk na’a buk semu’up buk buké bulak bulan dema bulan dué sui pulu bulan dué bulan kamet bulan sé
bangun tato bintang berteriak di sekitar kampung untuk mengumumkan sesuatu tebing papan biru, hijau ini (jamak) itu (jamak) itu yang disebut (jamak) hati berdebar itu (jamak) rupanya tadi nanti, sebentar makan dengan tangan, melahap ikan jari (kaki) jari tengah ibu jari jari kelingking jari penunjuk jari (tangan) buah lampu kantong, tempat penyimpanan; kandang beruang tingkah laku pendek bapak yang anaknya kedua meninggal nanti malam nanti sore besok pagi 1. rambut 2. kalau kalau, jika pindah kampung bulan purnama bulan Desember bulan Februari bulan purnama bulan Januari
278
build, wake up tattoo star shout in a neighborhood to announce s.t. slope board blue, green these those those just mentioned beating heart those apparently earlier later, in a moment eat with hands fish toe middle finger thumb little finger index finger finger fruit lamp pocket, place for storing, pig pen bear behavior short name for a father whose second child has died later this evening later this afternoon tomorrow morning 1. hair 2. if, when if, when moving of village full moon December February full moon January
bulan buleu bulo bulu’ bunyau bura’ busang busé busek buta’ buté buteng butu’ buveu buyo’
d
da da’a da’an da’un daau dakep dalem batek dalem daleu inyé daleu irai daleu iti daleu dani’ dapit dapun daré darem daru’ data data’ dau belua’ dau demma dau ke levi’ dau ke mentem dau kesé dau lenci
1. bulan 2. ujung bulu tombak bambu jeruk busa pulau tempat lain cepat buta butir marah sekali kemaluan laki-laki bubu, alat perangkap ikan nama ibu yang anaknya kedua meninggal pelengkap kalimat darah cabang daun suara orang yang punya keahlian menangkap isi perut dalam waktu itu waktu itu tadi waktu itu 1. di antara 2. waktu; masih; sedang dekat, hampir sampai ke seberang dapur nakal kedinginan panjang halus dataran tengah hari terang hari senja senja hari Senin terbenam
279
1. moon, month 2. tip, end fur, hair spear, lance bamboo orange foam island other place fast blind grain very angry male genitalia tool for catching fish name for a mother whose second child has died particle blood branch leaf voice expert trapper stomach contents in, inside that time that time earlier that time 1. between 2. when; still; in the process of near, almost arrive across kitchen naughty feeling cold long smooth, refined level land, plain midday clear day twilight twilight Monday set (e.g. sun)
e
g
h i
dau levi dau migu dau sé dau dayo dé déé dekep dema demek den dena’ dengé di’ di’it ledo dian dipa dité dok lakei dok ledo du dué pulu dué sui’ pulu dué
gelap hari hari Minggu lusa hari ijinkan mereka hulu lengkap terang tenang mencari lambat, sabar kabar pelengkap kalimat wanita muda, gadis durian seberang sungai kelihatan, melihat, rupa beruk jantan beruk betina pelengkap kalimat duapuluh duabelas 1. dua 2. mereka berdua
dulu é é’ éé ép ga’at gayeng gen giam gu’ guru’ ha huu i’ i’ot i’uk iba’ ibeng ié
orang saya kata seruan siapa kata seruan pinang pekerjaan tempat baring jeram pas, tepat guru kata seruan panggilan anjing siapa kecil bungkus berak kidal dia
280
dark (day) Sunday two days from now day allow, permit 3rd person plural pronoun upstream complete clear calm look for late, patient news particle young girl durian fruit across the river visible, see, form male short tailed macaque female short tailed macaque particle twenty twelve 1. two 2. 3 rd person dual pronoun person 1st person singular pronoun exclamation who exclamation areca nut job place for lying down rapids exact teacher exclamation word for calling a dog who small package feces, defecate left handed 3rd person singular pronoun
ieng ieu ikam teleu
nyamuk kepiting kalian (tiga orang atau lebih)
ikam ikeng ikin iku’ ilan ilang ilangatei ileu
kalian jalan pintas, yang paling pendek pikiran, ide kamu bawa pisau cacing tanah kita
ilun
inan ineu ingen ini inyé ira’ irai irap irau iré rateleu
anak laki/perempuan yang ibunya meninggal panggilan untuk perempuan atau ibunya sendiri batang 1.apa 2. manik bakul untuk membawa beras ini itu yang (jamak) itu tadi mencari menangisi orang meninggal mereka banyak
iré iri isau isiu ité itek iti iting iyap aung iyap ledo iyap ja’at ja’au jaai jaga’ jakan
mereka ini buah mata kucing bahasa, pembicaraan susu ketiak itu (jauh) membuka, merintis ayam jantan ayam betina ayam jahat, buruk besar menemani berjaga arak
inai
j
281
mosquito crab 2nd person trial (3 or more) pronoun 2nd person plural pronoun shortest route thought, idea 2nd person singular pronoun carry knife earthworm 1st person plural inclusive pronoun name for a child whose mother has died name for a woman or one’s mother stick 1. what 2. beads basket to carry dry rice this that (far) which, that, who (plural) that before look for cry for one who has died 3rd person plural pronoun (many) 3rd person plural pronoun this lengkeng fruit language, speech breast armpit that (far) open, explore rooster, cock hen chicken evil, bad large accompany guard rice wine
jaki’ jakit jamuk janan jaten jéé jela’ jelai baa jelang latei jena’ jena’ sekapuk jena’ sungep jeu avau jién sepa jipen jo
k
jumé ka ka’a kadep kading kadu’ kak kala kala’ kalang kamat kancau kancet julut kancet kanen lama’ kanen lu’ai kanen mayeng kanen kanyé kapan kapit kara’ karai kasan
sebentar jembatan nyamuk malaria jalan gatal dagu lidah jagung cacing topi ikat kepala topi sagu sirih gigi kata seruan yang menunjukkan rasa kaget depan; halaman 1. kata yang menunjukkan masa depan, keinginan 2. burung gagak di sana maksud kambing banyak dahag kalah dapat sepanjang mengadakan upacara perayaan “mamat” sombong jenis tarian berbaris menari tunggal nasi lembek nasi campur nasi keras nasi mencari tebal sayap hutan rimba sendok selama, sementara
282
one moment bridge malaria mosquito road itch chin tongue corn worm hat head wrap hat sago betel tooth exclamation expressing surprise front; yard 1. word tah indicates desire, wish, future 2. raven, crow there intent, meaning goat many phlegm lose get along “mamat” ritual arrogant k.o. line dance solo dance mushy rice mixed rice hard rice cooked rice look for thick wing rainforest spoon as long as, while
kasé kasen kasip kata-kata katan katap katuk k a v a’ kaving kavuk kavut kawang kawet Kayan
deras tumpul sulit, susah mengurus sendiri mengembang, tumbuh meniru nasehat di sebelah hilir kiri biawak kabut keluar kelihatan, muncul nama sungai dan nama suku
kayeu ke keba’an kebangen kebara’ kebelua’ kedaau kedana’ kedi’ kedi’it leddo’ kedipa kedu’ut kedué kejala’ keké’ Kelai kelapan kelawa’ kelayan kelega
kayu akan seperti, contoh kegembiraan memberitahukan dipertengahan kata tanda pelengkap kalimat gadis di seberang sungai sedikit kedua jala kata saya nama sungai tidak disangka-sangka laba-laba biasa bulu burung yang panjang yang diletakkan di atas topi (beluko) kelima perisai minyak tanah 1. kura-kura 2. mirip setelah berkumpul sumpit minyak
kelemé kelempit kelenya’ kelep kelepek kelepeng keleput kelesi’
283
swift dull difficult arrange oneself grow, blossom imitate advice on the downstream side left monitor lizard fog out, go out visible, appear name of river and ethnic group wood will like, example happiness announce in the middle word sign particle girl across the river little two, second net I say name of a river unexpected spider normal bird feathers used in head dressing fifth shield petroleum, kerosene 1. turtle 2. look like after gather blowpipe oil
kelesiau kelevi’ da kelevut kelingé kelitung kelivek kelo kelo’o kelo’ong keloo
banteng tadi sore mancur telinga penyakit ambeyen putaran malas kijang 1. bulat 2. sekumpulan sembrono
kelu kelukun kelumé kelunan kelupi’ kemaga’ kemé’ kemesek kemo kempau kempei kempen ken kena kena’ kena’at kenaa kenai kendaau kenéé’ keno’ kenta’
kita bilang tempat penyimpanan air terbuat dari bambu selimut manusia, orang lupa mengibaskan kami bilang mencoba kamu bilang di atas; di darat; naik di mana gambar kata, bilang sebelum berikan melihat dia akan datang akan datang bilang saya pelan di bawah; turun
kentau kenu’ kenuyan kenya kep kepala lebu’ kepang kepé kepo
menyanyi cinderamata, kenangan terjadi 1. katanya 2. Kenyah tutup kepala desa sirap, atap kayu pincang angin
284
wild Javanese ox earlier this evening sprout ear hemorrhoids rotation reluctant, weary barking deer/muntjak 1. round 2. gathering random, not following social norms we say bamboo water container blanket human, person forget make s.t. wag or flap, spread we say try you say above, on top; on land, climb where picture word, say before give see he/she/it will come will come, future say 1st person singular pronoun slow below, under; get off of, go down sing souvenir happen 1. he says 2. Kenyah close village head wooden roof lame, crippled wind
kera keramo’ ketaa ketai keté’ ketei keteleu ketem ketena’ ketina keto’ ketu’ ketumput kian kibang kileng kilet kimet kini kinyé kip buteu kirip kivé ko’ ko’ ko’ ko’ ko’ ko’
awang daai dalem dau sek dau uli’
ko’ ini ko’ iti ko’ jumé ko’ likut ko’ mpau ko’ mpéi ko’ nta’ ko’ usun ko’o ku’en ku’un
kata mereka nama buah; juga nama tempat di Apau Kayan – Naa Keramo’ dia akan pergi akan pergi saya akan lakukan ketiga cengkeram cerita kubangan marah, benci seluruh, semua muncrat buah terap jenis manik bengkok petir pikiran di sini di situ penyakit kulit, kurap bulu burung enggang yang dipakai di tangan untuk menari bakul untuk membawa barangbarang, biasanya dipakai wanita di, ke di luar ke darat di dalam sebelah timur (matahari terbit) sebelah barat (matahari terbenam) di sini di situ di depan di belakang di atas di mana di bawah ke puncak akhir karena; oleh ada
285
they say name of a fruit; also name of a place in Apau Kayan he will go will go 1st person singular pronoun will do third grip, hold story mud hole angry, hate all, everything spurt terap fruit k.o. bead crooked, bent lightening thought here there skin disease, ringworm hornbill feathers held in the hand during a dance basket for carrying things usually used by women in, at, to outside to land in, inside east side (rising sun) west side (setting sun) here there in front (of) behind, back above, on top where below to the peak final, end because, by there is/are
kua’ kubu’ kueng kukeba’an kulé kulit kulong kuma’ kuman kumé kura’ kuren kuteu kuva’ kuyai kuyai-kuyai
l
kuyat dok la’au la’it labu’ laga lakei laking kuyang lala lalang lalau lalé’ lalu’ lalut lama’ lamin adet lamin lan lana’ langan keleput langit langkang langkau lanyé lap larung
sama tempat persinggahan, istirahat gerutu menurut macan kulit kayu binatang piaraan ke rumah makan 1. untuk; kepada 2. bilang berapa periuk kutu mau membuat 1. kata seruan untuk mengejek 2. tidak ada gunanya kera lapar asin jatuh tempat duduk laki-laki; suami orang hutan kata seruan yang menunjukkan rasa bangga dan heran sejenis ikan gepeng lewat sekali teriak anak sungai lemah rumah adat rumah betul, benar nanah peluru sumpit langit tidak sarat, longgar tinggi (untuk orang) licin lari duduk bersama
286
same resting place say s.t. in complaint according to tiger bark (tree) pet to the house eat 1. for, to 2. say how many cauldron, cooking pot lice want make 1. exclamation made while mocking 2. there’s no use monkey hungry salty fall chair, place to sit man, husband orangutan exclamation expressing pride and surprise k.o. flat fish pass very, once shout stream, tributary weak traditional house house true, right pus blowpipe dart sky not tight, loose tall (of a person) slippery run sit together
lasam laset lasu laut lava pesei lawé lawen lé’é lebau Lebo lebu’ ledo legu’an leka’ leko leko’ lelan lelem lemaa lemanai lemé lemerut lempo’ lenci lenék leng lengen lengieu Lengkan lenteng lentung lenyet lep lepau lepek lepet lepo lepu’un lepuk lepuro’
liar 1. marah 2. nafas panas laut tali pancing 1. gara-gara, karena 2. tangguk nakal lagi, sisa sampai nama orang kampung, desa perempuan, istri pergelangan tangan berangkat tidak mau gelang betul-betul suara gemuruh menabur benih anak muda lima menarik gemuk tenggelam ombak lingkaran benda seperti yang terbuat dari rotan untuk topi caping lengan diam nama orang danau tunas lemas lutut pondok sudah, selesai, setelah lipatan kaki atau tangan lepas kampung lama tertimpa kayu yang mati tapi masih berdiri
287
wild 1. mad, angry 2. breath hot sea fishing rope 1. because of 2. small fish scoop, take with scoop naughty again, remain arrive, until person’s name neighborhood, village woman, wife wrist leave, depart not want bracelet true, very thundering voice, sound sow seeds young child five pull fat sink wave round object like that made from rattan for a caping hat arm quiet person’s name lake shoot (of a plant) weak knee cottage, hut already, finished, after crook of the hand or feet set free old neighborhood struck down dead wood still standing
lerip lesau letep leting leu leu
tajam kasihan sarat, sempit terapung alu kita
levi’ li’ip liang liap liba’ lidék lien ligit likut lingau lintam liré
petang menjelang malam bahu kuburan kadal rendah bebek kelaparan uang belakang bodoh mendung daun yang sudah mati dan tinggal dalam air hasil tebasan
liré’ lirung lisung liung liyé lo loo lu lu’ lu’ung lua luai luang luang lueu tung ureu lueu lumut buteu lunaé
limbuh, air yang berputar tidak hanyut lesung gerak jahe jarum baru kita pelengkap kalimat; saja, lah 1.biji 2. nama untuk orang yang tinggal sendiri setelah seluruh anggota keluarga telah mati mendapat kemudahan adat 1.longgar, goyang 2. nasib murah rezeki biji berbentuk oval kandang sayur lauk, sayur lumut saya
288
sharp pity tight, narrow afloat, adrift pestle 1 st person plural inclusive pronoun darkness approaching night shoulder cemetery k.o. lizard low duck, goose hunger money back stupid cloudy dead leaf on water product of cutting down, clearing whirlpool mortar move ginger needle just 1 st person plural inclusive pronoun particle; only 1. seed 2. name for one who lives alone when his/her whole family is deceased easing of ritual custom 1. loose, moving 2. always lucky oval shape object stable, stall, pen vegetable side dishes, vegetable moss, algae 1st person singular pronoun
m
lunek lung lunté luntu lunyé luvang luvit ma ma’an ma’ang ma’ap ma’at ma’u maan maap maau mabé maga’ magat makang malan malap ma l at mamat
man mana’ mancan mano manteng manuk mapo maram marang marap maring masa masa’ masan
berdaging tebal kuala tarian bersama tidur mengolok lubang terguling kemaluan perempuan memukul nyala pagi-pagi buta gigit mencium 1.menyeramkan, menakjubkan 2. mahal pagi-pagi (masih gelap) malam kerja gotong-royong untuk pemimpin kibas kuat, sehat berani pantang heran parang, mandau upacara adat lama untuk meramaikan pengambilan kepala musuh, hasil mengayau genggam, pegang melepaskan pepaya kotor tuli burung pegang busuk terbang luas sekali, tidak keliahatan batas baru mendahului, melewati mungkin lama
289
be thick with meat estuary group dance sleep laugh at hole rolled female genitalia hit light crack of dawn bite smell, kiss 1. astonishing 2. expensive early morning (still dark) night mutual cooperation for leaders wag, flap, spread strong, healthy brave prohibition surprised short machete old ritual custom to commemorate the hunting of an enemy’s head, product of headhunting hold set free papaya dirty deaf bird hold rotten fly very wide and spacious, without visible border new go first, go past possible long time
masat masau masé mat mata dau mata’ matai maté mateng mau mavang mavau mavé
berjalan panen, menuai, potong padi sebelah emas matahari mentah mati, meninggal mata persis malam menjaga merumput bekerja gotong-royong
maveu mavun mawa’ mawang maya mayau mayeng mayung mé usen mé mé’
debu, warna coklat embun panggilan untuk bapak/ibu yang anaknya ketiga meninggal membuka jalan, menyingkir miring menggaruk keras; kuat demam asin manis kami
mé’é
1. kami berdua 2. meraut
mebé mebeng mebo medau medik medu’ megen megok mejo mekep mekup
membelah bocor membantu bekerja upahan dengan imbalas beras pergi ke hilir minum berbaring ketok, menabuh lurus tutup bersih (ladang sesudah dibakar)
mekut
menggaruk
290
walk harvest, cut rice side gold sun raw dead, die eye exact night guard weeding work together, community project dust, brown dew name for one who has three deceased children open a road, yield way slanted scratch hard, strong fever salty sweet 1 st person plural exclusive pronoun 1. 1 st person dual exclusive pronoun 2. shape s.t. by bending it chop, split leak help work in exchange for rice go downstream drink lying down knock, strike a drum straight close clean (a field after it’s been burned) scratch
melai melé meléi meli
mudah, gampang 1. biar 2. surut beli teriak untuk mengumumkan sesuatu di kampung
melo memé memerinta memit mempeng memutun mena’a’ da mena’at menaa
longgar peras memerintah kuning menghalangi potong (dengan parang) dulu melihat memasukkan padi dalam lubang tugal memberi makan tangkap memanjat hamil tadi malam kemarin sejenis nyanyian yang diiringi sorakan, menandakan kegembiraan tangis menyeret tergantung manancapkan sesuatu di atas kayu yang runcing memulai membasahi tarik membunuh memberi jarang rakus angkat 1. menghentakkan kaki waktu menari 2. tempeleng
menakan menakep menaket menalé menalem da menalem menalu’ menangé menanit menapai menapo’ menaring menasa’ menat menatai mencai mencat menco menco’ menebép meneda’ menedé menegep
mendidihkan memukul dengan rotan hinggap
291
easy 1. let be 2. withdraw buy scream/shout to announce something to the neighborhood loose squeeze order yellow impede cut (with machete) first, before see put rice stalks in a dibble hole feed capture climb (tree) pregnant last night yesterday k.o. song with yells, expressing happiness cry drag s.t. or s.o. hanging implant s.t. in pointed wood begin wet pull kill give rarely greedy lift 1. stamp with the feet while dancing 2. slapping on the face or ears boiling beat with rattan perch
menek meneké menelei menelit menelu’ menemo menena menené menentang menesai meneset menesun menetek menetik meneto mengan menganak menganup mengawo mengayau mengedot mengelan mengempei mengerot mengetem mengini menginyé mengirai mengiri mengiti mengkang mengot mengutong menia’ menilé’ menirék meniva mentam mentang mentem menua
halus mengikat membeli meluruskan rebus mengumpulkan mendahului menempah bergantung berdayung menyelam menikam, menombak memotong membuat tato putus 1. mencekik 2. mengharapkan melahirkan berburu dengan anjing ribut memotong kepala musuh mundur percaya bagaimana mengeruk mencengkeram begini begitu begitu begitu demikian kering muda menurut ukuran sendiri mengumumkan memilih tebas 1. kegiatan adat dulu yang pakai air atau darah setelah mamat 2. ambil ubek, potong padi pertama penuh pertimbangan gantung gelap mendoakan dan melumuri dengan darah (adat lama)
292
fine, smooth, refined tie buy straighten boil gather together go first, ahead of book, make an order hang row sink stab cut make a tattoo cut, severed 1. strangle 2. hope for give birth hunt with a dog noisy head hunt reverse believe how scratch grip like this like that like that like that thus, so dry young according to one’s own size announce chose cut down 1. old custom event using water or blood after the mamat 2. cut the first rice stalk full of judgments hang dark pray and smear with blood (old custom)
menudek menulo menumon menusuk menutung menuvo paréi menya’ menya’iu menyak menyakat menyapai menyatung menyayau menyek menyelé menyengit menyepet menyinget menyingo menyio menyurup mepé merit mesa’ mesé mesek mesem meseng mesik mesip mesuk mesun mesut met metekém metem metu’ metuk metukak mi’uk miang miket miking mimum
mematok lempar mengutamakan menusuk membakar bertanam padi kunyah teriak lemak melawan berbaju berenang menggaruk tekan menjahit buang air kecil memotong kayu dengan parang menyengat tidak peduli memberi kuasa menyerang potong (dengan pisau) robek menumbuk membelah mencoba asam menyumbat membuka menyisip mendorong menumbuk sesuatu sangat halus besok dari suara besar gelisah potong dahan dan daun sambung berhenti membungkus landai batuk ramping memperbaiki
293
determine, define throw make a priority stab burn plant rice chew scream fat resist, go against wear clothes swim scratch press sew urinate cut wood with a machete sting not care give strength attack cut (with a knife) tear, torn pound split try sour clog open insert push pound s.t. very finely tomorrow from large voice/sound nervous, worried cut leaves and branches connect stop wrap slope slightly cough slender, slight repair
mintuk mipa mipet miran miyau mo’ mo’o mok moo’ mpa’ mpau mpei lepu’un mpei mpejat mpeng mpun mu mu’ mua muat mubo mué muét mui’ muit mukon mumo mung munyép mupet mura murang murip murung musang muso’ musun muteu muvai muvit
mencium menjawab cerita tentang kehidupan seseorang dengan rima seperti puisi kapan melarang, mengusir 1. jangan 2. karena habis gelas, cangkir memang hutan rimba tinggi belum 1. tidak, bukan 2. mana melompat halangan kumpulan pelengkap kalimat yang menunjukkan rasa pasrah sampah menuangkan nasi dengan sendok kayu kuat, laju bantu kalian berdua kibas, percik membersihkan, mencuci mencongkel tua gosok semua tajam potong tabur benih kasar hidup gunung keluar, lahir gosok kemenangan bertanya membuka cabut
294
kiss, smell answer story about the life of s.o. set in rhyme or verse when forbid, expel 1. don’t 2. because run out, finished glass, mug indeed primary forest high, tall not yet 1. no, not 2. which jump impediment gathering particle expressing submission trash, garbage serve rice with a wooden spoon strong, fast help 2nd person dual pronoun wag, flap, sprinkle clean, wash crowbar, lever old rob all sharp cut sow seeds rough live mountain go out, give birth rub victory ask open pull out
n
na’ na’a na’a ni da na’an na’at naa naai naam nai naken nakep nakini nalan nalem da nang nawa ncé’ ncé’un nco né ne nebara’ nebé’ nebek nebelom nebeng néé’ nekedeng nekukoi nem
1. pelengkap kalimat, penunjuk arah (dekat) 2. penyambung kalimat memberi sore tadi sore macam lihat andras serambi di rumah panjang kalian datang menipu tangkap sekarang menangkap, dapat kemarin dahi luas tidak tidak ada lebih, kelebihan saya pelengkap kalimat mengumumkan membelah tusuk mengharap tebang saya berdiri terbahak-bahak 1. kalian 2. enam
nemé’
kami
neng nenga nengala’ nengayet nengiti nengkesuk
1. pada 2. kena di situ mengharapkan satu bantuan berusaha demikian keluar dari air secara tiba-tiba
na
295
1. particle 2. directional (close) 2. coordinating particle give afternoon earlier this afternoon type see shallows front porch on a long house 2nd person plural pronoun come, arrive trick, deceive catch now catch, get yesterday forehead spacious, wide no, not there is/are no more, advantage 1st person singular pronoun particle announce split stick hope fell 1st person singular pronoun stand roar with laughter 1. 2nd person plural pronoun 2. six 1st person plural exclusive pronoun 1. to 2. hit there hope for help try, make efforts thus, so come out of the water suddenly
nesun ngan nganup ngaput ngaran ngari ngasa ngayau ngayet ngebara’ ngebaya’ ngebui’ ngebura’ ngedana’ ngedani’ ngedeng ngedirep ngejala’ ngejo’ong ngejula ngelajo ngelalo’ ngelama’ ngelan ngelasit ngelavék ngelawen ngelayan ngelebu’ ngelejo ngelelem ngelemek ngelenék ngelepu ngeleput ngelida ngeliling ngelingkem ngelintet ngelirung ngeluko’
menombak dengan, dan, atau berburu ikat nama menggaruk lari berperang dengan musuh dan memotong kepala mau beritahu 1. mengikuti 2. membuat satu perbuatan terakhir membersihkan berbuih menandai mendekati berdiri mengibarkan menjala jongkok meludah pergi bertamu berteriak istirahat percaya mencuri menjerat mengambek terbiasa berkumpul duduk berselonjor ribut menetap, tidak pindah-pindah kerja bergelombang meniup menyumpit pedih mengelilingi memeluk melilit melindungi merokok
296
stab with a spear with, and, or hunting tie name scratch run war with enemies and head hunt want inform 1. follow 2. make a final act clean foam up mark, indicate get close stand spread out, strew cast a net squat spit go visit scream rest believe steal snare; entice; trick sulk, mope accustomed gather sit with legs stretched out noisy stay, not change jobs have waves blow blow darts smarting, painful encircle hug twist protect smoke
ngelumo ngelungun ngelupé ngempei ngenjalet ngentau ngenteni’
ngkang ngkem ngkin ngulep ni nia
berduka cita diam mimpi bagaimana menempel nyanyi mengucapkan doa dengan berpuisi menjadi angkat beri semangat sambil mengentakkan kaki meloncat-loncat 1. mencegah 2. menjauhkan mengingat menancapkan bercerita mencari tahu melompat kucing begini demikian begitu demikian kebiasaan laki-laki ikut perempuan pada saat nikah pegang pergelangan tangan membawa potong kepala waktu perang ini dia, ini dia
nié
saya, ini saya
nilu
kita
nio nira niti njala’ njo’ong nju’un no’o’
kamu mereka itu menjala menjongkok tidak pergi ke ladang, ke hutan
ngenuyan ngepang ngepejat ngepejat ngesu’ ngetawai ngetem ngetena’ ngetisen ngetujang ngiau ngini nginyé ngiri ngiti ngivan
297
grieve be quiet dream how stick sing say prayers with poetry become lift give strength while tapping one’s foot jump 1. prevent 2. keep s.t away remember implant something tell a story find information jump cat like this thus, so like that thus, so male custom of following the woman when married hold wrist carry chop heads during war this 3rd person singular pronoun; this one 1st person singular pronoun; me! 1st person plural inclusive pronoun 2nd person singular pronoun 3rd person plural pronoun that cast a net squat no, not go to the field, forest
nok aring nta ntem ntena’ nteng nteng nting ntu’ ntung ntungulai nu’un nuap nugan nuk nupé nupia nuta’ nuvo nuyau nya’in nyadu nyagé nyangan nyara nyat nyatan nyatan nyatung nyaut nyaveng nyé nyéa nyebeliu nyekalep nyekapeu nyelada nyelaka’ nyelipa nyelu nyemarem nyen nyengit nyi’an nyidép
nanti dulu bawah gelap berhenti berhenti jangan dinding mandi hidung ular tidak, sudah menguap menugal jangan mimpi walaupun muntah menanam bunyi binatang lama bekerja sama menggoreng memenuhi capek minta melihat, memperhatikan tidak tahan berenang sama sekali menyulam itu itu dia bersiul berlutut memeluk bertahan, mengantisipasi 1. menyambut 2. menghalang berhadapan menelan makin jangan kencing ringan menghirup, mengisap
298
later first bottom dark stop stop don’t wall bathe nose snake no, not; already feed (a child) sow seeds with a dibble don’t dream however vomit plant sound of an animal old, long time work together fry fill tired ask for, request see, notice not bear, last swim very, absolutely embroider that that one whistle kneel hug last, anticipate 1. connect 2. impede facing swallow more don’t urinate light snort, suck
o
p
nyila’ nyilun nyipé nyirau nyo nyu’uk nyungut o mekini o mekinyé na o oi ou pa pa’it pai pak pakat pala’ palan palat taket palet paleu paling pana mamut pana panyin pao papit parai paran parang paren pasa pasang pasé’ pasei pasek pasen paseng
jilat menyanyi tipis tangisi orang yang meninggal kelapa sembunyi budak nanti begitulah pelengkap kalimat, menunjukkan bahwa kegiatan telah selesai kata seruan kata seruan 1. pelengkap kalimat 2. juga pahit panggil, undang pelepah pohon kelapa atau pisang akar kepada pantangan telapak kaki cepat sagu sagu hangat panas orang biasa belalang kumpul barang untuk kepentingan orang banyak padi orang yang selalu mendahului orang lain, tidak mau kalah lempar bangsawan berlomba pasang berdebat bubar, berhambur masuk pasar menembak
299
lick sing thin cry for the deceased coconut hide rhinoceros later like that particle indicating an event is over exclamation exclamation 1. particle 2. also bitter call, invite spine of a coconut or banana leaf root to prohibition sole of foot fast sago sago warm hot communer grasshopper gather things for the good of many unhusked rice one who always must win, cannot lose throw noble compete attach debate disperse, scattered enter market shoot
paso pat pata patai pateu patip pavat pavi’ payan payau payu’ pe-
pé pebawa’ pebelei pebesé uai pebo peden pedeng pedeu péé’ pegayeng peging pego’ pegu’ pejaai pejaga’ pejaka’ pejo peju’un pek pekajep pekakak pekalai pekaliu pekata pékatan pekatip
pindah empat tempat mayat kirim kompak, tidak mudah berpisah kejar sampai meninggalkan rusa bergulat 1. awalan yang dipakai untuk orang yang sudah punya cucu: Pedaud, Pebaun 2. awalan untuk nomina dan verba (resiprokal, kausatif, intransif) sampai memberi semangat menjual membelah rotan: tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang bantu terburu-buru berdiri (untuk barang) empedu saya pekerja sekaligus, semua, bersama menyentuh, terantuk bertemu menemani, berkawan bersiap mendarat dari perahu, tambat lurus menghilangkan kayu yang dipakai untuk memukul mengintai mengantar belajar 1. menjelma 2. berubah membuat contoh umpatan: kurang ajar! saling menjepit
300
move four place corpse send dense, not easy to separate chase arrive, until leave behind k.o. deer wrestle 1. prefix used on names of people having a grandchild 2. prefit for nouns and verbs (reciprocal, causative, intransitive) until give strength to sell split rattan: no one wins, no one loses help in a hurry stand (of things) gall bladder 1st person singular pronoun worker at the same time, all, together touch, bump into meet befriend, accompany be prepared land from a boat straight lose s.t. wood used for beating spy on deliver, accompany study 1. take the form of 2. change make an example curse: damn! pinch each other
pekatuk pekelet pekelung pekena pekena’ pekeng péket pekimet peko’o pekut pelajap pelakei balei pelakei pelanuk pelawat pelé pelé’é pelek pelelan pelelat pelempet peleng pelepek peleting peliung pelolo peluet peluung peluvit peluvung pempeng pempo pempun pemung pemuyan penat penceng pencit penco’ pengakang pengayeng pengeja’au pengelamin
menasehati campur mengintip menunggu berhenti sempit menyalakan berpikir menghabiskan membuat terseret menebas kupu-kupu burung elang kancil menyeberang biarkan lagi meletakkan, menaruh membuktikan membagi melewati pergelangan kaki selesaikan membuat sesuatu terapung bergerak kata seruan untuk memberi semangat pada orang kembali rapat desa menggulingkan lumbung terhalangi tembus berkumpul gabung perbuatan tarik larang menindis langsung pemberani kekuatan pembesar, pemimpin keluarga
301
advise mix peek wait stop narrow set fire think finish off drag along cut down butterfly eagle mouse deer cross allow again, more place, put prove devide pass by ankle finish make s.t. float move exclamation giving energy to s.o. return village meeting roll s.t rice barn impeded perforate, emerge gather join action, behavior pull forbid crush right away brave one strength head man, leader family
pengelan pengelebu’
kepercayaan bermasyarakat
pengelema’ pengelunan pengenjai pengenyat pengesek pengkang penguat penguman pengurip penguva’ penguyan peniga penisen pentan penyakit pepasé
kekurangan postur tubuh pemberian permintaan 1. cobaan 2. benteng, halangan menjemur penyangga, pemuda tulang punggun bangsa makanan kehidupan keinginan tingkah laku perbaikan, kemajuan pengetahuan kelelawar penyakit adu bicara, saling argumentasi
pesagun pesak pesakat pesalau pesaliu pesap pesé’é pesedep pesei pesenté pesepa’at pesepit
bertinju masak berlawanan menghalikan perhatian tukar menukar barang hitung membuat malu merencanakan kail bersandar saling menggigit orang saling bergelut
pesip petangen petaro petat petawé petawo petei petem peteneng petenup
sempit berikan semangat supaya rajin main-main, mengolok berpisah tertawakan membuat sesuatu darurat pisang padahal membenarkan, meluruskan mempersiapkan
302
belief live in community, form a group lack body posture gift request 1. try 2. impediment dry s.t. support; young backbone of a people food life want behavior improvement, progress knowledge bat illness speaking contest, argumentation box, fight cook go against, resistance to shift attention exchange goods count embarrass plan fish hook lean bite each other wrestle or quarrel with each other narrow give strength to be diligent play around, mock separate laugh at make s.t. an emergency banana in fact correct, straighten prepare
petepum petina petira’ petité petuk petulat petuvang pi’en pia piat piau pilék pilu
terjun harap berbicara menetes menyambung membagi menumbangkan sembilan dia ganggu berkelahi pipi kita
pinca’
menghadapi masalah terusmenerus pintar itu sekeliling mereka berbicara tambahan berkejar-kejaran juga, lagi pohon sagu 1. lama 2. pohon 3. belum (mpei... pu’un) nenek/kakek naik gunung kata seruan heran 1. sudah 2. pelengkap puluh hutan burung punai merebut tangkai turun gunung pusar jantung tiup ikan lele bertanya putih perbuatan
pinten pinyé pipa pira pisiu pit pivui po’o pu’un nanga’ pu’un pui pukat pulu pulu pulu’ pulung punai punan pungeu puno puset pusuk put putet puteu puti’ puyai
303
fall, dive hope speak drip connect divide fell s.t. nine 3rd person singular pronoun disturb fight cheek 1st person plural inclusive pronoun repeatedly face a problem smart that around, surrounding area 3rd person plural pronoun speak extra, add on chasing also, again, more sago palm 1. old, long time 2. tree 3. not yet (mpei... pu’un) grandparent climb a mountain exclamation of surprise 1. already 2. particle ten forest pigeon seize, fight for stalk, stem go down a mountain navel heart blow k.o. catfish ask white deed
r
s
puyan ra
sifat, sikap mereka, orang
ramai o asau ramai umen ubek
upacara setelah panen upacara pemotongan padi pertama upacara, pesta mereka mereka itu pelengkap kalimat mereka pelengkap kalimat roti masih nekat, paksa katak lebat topi pelindung dari matahari terbuat dari daun sang ipar anting-anting alat pelindung yang terbuat dari daun kipas (sang) talenan teriakan matang, masak luka akibat musuh yang meyerang sakit salah hitam ganti, berubah tawanan alat musik berdawai tangga daun taman hias yang bentuknya seperti kipas penuh cabang pedas asap baju panah tidak jadi, terhenti, terputus
ramai rateleu rati ré’ releu ri’ ruti sa sa’ sa’ai sa’au sa’ung sabai sabau sabit sagan saiu sak sakat sakit sala’ saleng saliu salut sampé san sang sangan sangat sanit sap sapai sapang lebu’ ugai sapat
304
attitude, character 3rd person plural pronoun, person post harvest festival festival of cutting of the first rice stalk festival, ritual, party 3rd person plural pronoun them particle 3rd person plural pronoun particle bread still determined, forced frog dense hat worn to protect from the sun, made of palm leaves in law earrings small leaf mat used to protect (sun/rain) cutting board scream cooked, ripe wound from an attacking enemy sick wrong black change prisoner stringed instrument stair, ladder decorative yard leaves shaped like a fan full branch spicy smoke clothes arrow (and bow) not happen, stopped, cut off
sapau sarap saré ba’ saré sarin saring saringai satung sawa’ sé ato sé ribu sé sui’ pulu’ sé sé’é sebayang sebeliu sebuling maté sebuvut sedata’ sedé sedep sedi’
atap lari tunggang-langgang bibir pinggir sungai adik pinggir pinggir sungai renang lembah, sawah seratus seribu sebelas 1. satu 2. lainnya malu sembayang siul pusing melorot, merosot telentang lombok, cabai rencana jangan-jangan
sedingan séé’
bersamaan dengan 1. pemikiran baik, senang 2. dewasa pinggang daging pelukan kayu gaharu kakak dengar sekolah 1.bergairah, bersemangat 2. cepat gentar sebagai, seperti masing-masing sarung bersebelahan terasing peristiwa yang tidak bisa dijelaskan manusia seperti orang atau binatang menjadi batu
segi séi sekapeu sekau seken sekening sekula’ selap selegen seleket selepé selintut selipa selipai selit
305
roof run helter-skelter lips river bank younger sibling edge river bank swim rice field, paddy 100 1000 11 1. one 2. the other one shy prayer, worship whistle dizzy decline, drop lie on one’s back chili pepper plan don’t let it happen that; I wonder whether; hope not together with 1. good thoughts, like, enjoy 2. adult hips meat hug eaglewood tree older sibling hear school 1. enthusiastic 2 fast vibrate, tremble as, like each (other) sarong next to foreign an event that can’t be explained by humans, as when a person turns to stone
seluen seluep semu’up da semu’up sen sena’an seng senganak sak senganak usé senganak sengim senté senteng senutung sep sepuk sepum sepun
celana terbuka tadi pagi pagi binatang satu macam selama saudara sepupu saudara kandung saudara dingin bersandar bisa, mampu, boleh mendorong alis 1. nenek/kakek saya 2. bunga nenek/kakek kamu nenek, buyut
sé-sé set seu lep seu sikeu seu sian sikeu silet sileu silong sinak sinam sinen sineu singet singiang singket sinung sio siu’ so so’o so’on so’ong sok
satu-satu terbit cucu dua kali cicit cucu kura-kura darat siku sempit kuku muka ibu saya ibu kamu ibu sesuatu sempit puting beliung tiap kamar kuasa, kekuatan kena, mengenai, terkena suara besar sebelah hilir 1. suruh 2. oleh, karena paha suruh
306
pants open earlier this morning morning animal one type as long as cousin blood relative relative cold lean on can, able, allowed push eyebrow 1. my grandparent 2. flower your grandparent grandmother, great-grandparent one by one rise, emerge great-grandchild great-great-grandchild grandchild land turtle elbow narrow, tight nail (e.g. finger) face my mother your mother mother something narrow, tight whirl wind each room power, strength be hit, struck, affected loud voice downstream side 1. order 2. by, because thigh order
t
sorat so-so su’ su’un su’ung sua’ suang suat suba’ sué sugi sui’ suka’ sukung sulo sungai ja’au sungai laleng sungai layap sungai ung sungai supé’ surup sut suto’ ta ta’an ta’au taa taam taban taga’ tageng tai pemung tai taieng tajen takau taket takut talan talang talong
surat, buku kuat-kuat jauh kena pinggul duri banyak luka coba sarung parang tembakau lebih tiang 1. cukup 2. semua lalu, kemudian banjir air tenang banjir air terjun air, sungai tidak sanggup, kalah menyurup, menyerbu injak mencelah pelengkap kalimat, penunjuk arah (jauh) 1. mungkin 2. pelengkap kalimat yang menunjukkan rasa heran kanan dia pergi kalian obat kemarau kuat, kokoh kawin pergi, kasih, beri tikar untuk menjemur padi cepat lepas dari tangkapan kaki takut apa saja pohon palem lumpur
307
letter, book strong far get hit hip point, spine many wound try machete sheath tobacco more pole 1. enough 2. all then, next flood calm waters flood waterfall water, river not able, lose attack step on criticize harshly particle, (distant) directional 1. possible 2. particle expressing surprise right he goes 2nd person plural pronoun medicine dry season sturdy, strong, tenacious marry go, give mat for drying rice stalks fast free from a trap foot scared whatever palm tree mud
tamak tamam tamen tana’ tana’ beré tana’ da’a payau tana’ ma’it tana’ saleng tana’ tevi tana’ tangen tanjui tapa tapan tapé taring taro tasauat té té’é tebangen tebara’ tebedo’ tebegeng tebei tebelum tebenggang tebun téé’ tegen tegu’ tei tekené tekesuk telang baa telang liva telang teleu
bapak saya bapak kamu bapak tanah tanah berbatu tanah coklat tanah pasir tanah hitam tanah longsor tanah rajin tanjung terlambat tampi dinding antara serambi dan rumah pertama bercanda pemuda pelengkap kalimat rok wanita tradisional kegembiraan beritahukan badak tercekik 1. remeh 2. tenang harapan burung enggang sejenis burung yang ekornya panjang seperti cendrawasih saya rasanya bertemu tepat pada waktu membuat 1. kembali lagi 2. berhenti keluar dari bawah ke atas bubur air atau darah yang dipercikkan untuk upacara adat, pemberian nama atau panen air, kuah 1. tiga 2. kata ganti orang jamak untuk tiga orang atau lebih
308
my father your father father land rocky land brown land sandy land black land landslide soil land diligent peninsula late winnowing basket wall between a house and veranda first joke young man particle traditional woman’s skirt happiness inform rhinoceros strangled 1. trifling 2. calm hope hornbill k.o. bird with a long tail feather like a cendrawasih/ bird of paradise 1st person singular pronoun feeling meet on time make 1. come back again 2. stop go out from bottom to top porridge water or blood sprinkled for a custom ritual, naming ceremony, or harvest festival gravy, sauce, liquid 1. three 2. 3 rd person pronoun trial (3 or more)
telit telu’ tem temparé temu tena’i teneng tengen tening tenup tepum teri’ teto teveu tevi ti tia tiang tidun tiga tikap tilo tilu timun alo’ tina tingen tio tipan tira tira’ tisen tita titai titi to to’-to’ too’ tu’ tu’a ledo tu’a mpi’ tu’a
lurus tempat peluru sumpit padahal padahal pelengkap kalimat usus benar sendiri, lain murni peralatan, perlengkapan terjun tidak usah melaksanakan sesuatu langsung tanpa berpikir-pikir tebuh longsor kecil itu itu dia kawan tanduk burung enggang bagus, baik heran telor kita semangka 1. harap, menaruh kepercayaan 2. pergilah, lakukanlah! sakit perut yang luar biasa itu nanti sering mereka 1. seperti 2.bicara tahu sementara jembatan itu pelengkap kalimat perbuatan yang tidak berdasar kamu 1. semua 2. cincangan daun mertua paman, tante orang tua
309
straight container for blowpipe darts in fact in fact particle intestines true alone, self, other pure tools, equipment fall, dive not necessary do something right away without thinking sugarcane small landslide that that one friend hornbill horn good, well surprised egg 1st person plural inclusive pronoun watermelon 1. hope, place belief in 2. go! do it! extremely upset stomach that later often 3rd person plural pronoun 1. like, as 2. speak know while bridge that particle foundless deed 2nd person singular pronoun 1. all 2. chopped leaves parent-in-law uncle, aunt parents, elders
tu’a-tu’a tu’é tua
orang yang tua dan lebih senior bisa, pintar kita berdua
tua’
1. aja 2. tawar 3. terus, semua
tuan tubo tué tuk tuken tuko tulang tuman
longsor mengurus, memelihara bisa sambung waktu, saat toko tulang 1. antara, sela-sela 2. alasan, sebab subuh tumit 1. palu 2. daun bermalam di luar rumah
tumat tumit tung turo tusa tusep tuseu tuun
u
tuvang tuyang tuyau tuyen u’ uai udo’ udo’ payau
susah menghitung tujuh tepian sungai, tempat orang mandi tumbang teman suara tidak tahan, siksa cium rotan topeng, tari topeng topeng dengan bentuk binatang
ueng ugai lago’ ugai uh uih u it ujan ujon ukan-ukan ukéng
penyengat telanjang bulat telanjang uh wah piring buah nanas paruh pura-pura kurus sekali
310
village elder can, smart 1 st person dual inclusive pronoun 1. only 2. plain 3. continue, all landslide take care of, keep as a pet can connect time store bone 1. between, interval 2. reason dawn heel 1. hammer 2. leaf spend the night away from home hard, difficult count seven riverbank, place to bathe fell friend voice, sound not endure, torture smell/kiss rattan mask, mask dance mask in the shape of an animal bee stark naked naked uh exclamation plate pineapple beak pretend very thin
ukeng
pertumbuahan tersendat-sendat
uku’ ula’ uleng ulet uleu uli’ uma’ uma’ daru’ uman anak uman umau umbut umé umet un
duduk budak kalung ulat kepala pulang rumah rumah panjang upacara pemberian nama kepada anak 1. makan 2. tahun muncul pohon sagu ladang sejak, dari, oleh 1. ada 2. apakah
unyok upeng upeu
puncak hama padi cucu yang neneknya meninggal
urang ureu urip usan ima’ usan usau usé usen usu’ usuk usun usung ut sungéi utan
udang rumput hidup musim hujan hujan sayur hijau orang, badan asin, garam tangan dada, rusuk di atas sejenis pohon kayu yang besar mata air nama untuk anak perempuan yang bapaknya meninggal otak mobil besi pasangan, lawan mau, ingin, akan pura-pura
utek uto uton utong uva’ uva’-uva’
311
s.o growth that is choked off repeatedly sit servant necklace caterpillar head go home house long house child naming ceremony 1. eat 2. year appear sago palm dry field since, from, by 1. there is/are 2. question particle peak rice plant disease name of a grandchild whose grandmother has died shrimp grass life rainy season rain green vegetable person, body salty, salt hand breast, rib above k.o. large tree spring name for a girl whose father has died brain car metal pair, match want, desire, will pretend
uvan uvei kayeu uyai ngaran anak uyai uyau uyo uyung
w y
wa wé woi ya’ ya’ mpéi yah yé
karena, bekas ubu kayu, singkong upacara anak membuat anak laki yang bapaknya meninggal cara, keadaan panggilan untuk bapak/ibu yang anaknya yang pertama meninggal kata seruan kata seruan kata seruan yang (tunggal) yang mana yah tali pikulan
312
because, old, used cassava ceremony for a child make name for a boy whose father has died way, condition name for a parent whose first child has died exclamation exclamation exclamation which, who, that (singular) which one exclamation shoulder strap
313
Lampiran
Penyumbang Cerita Òma Lóngh Nama Ipui Turan Yosabat Alui Iwan Ajang Sima Malan Fè’èj Sabò Ònya
Tempat Lahir Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an
Usia 75 46 67 60 88
Tempat Tinggal Setulang Tanjung Selor Malinau Setulang Setulang
53 70
Pekerjaan Petani Guru Pensiunan Guru Guru Ibu Rumah Tangga Petani Petani Petani
Kayang Ulè Kirip Lidem
Long Sa’an Long Sa’an
Long Metutun Naa Keramo’ Long Pelban Long Jelarai Naa Keramo’
51 80 77 69 81
Pendeta Petani Pensiunan Guru Ibu Rumah Tangga Petani
Tanjung Selor Long Tungu Tanjung Selor Tanjung Selor Long Tungu
Setulang Setulang
Lebu’ Kulit Lie Merang Pifung Lahang Tulung Anyè Pebaun Bilung Paran Usat
314
Appendix
List of Contributors
Òma Lóngh Name Ipui Turan Yosabat Alui Iwan Ajang Sima Malan Fè’èj Sabò Ònya Kayang Ulè Kirip Lidem
Born in Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an Long Sa’an
Age 75 46 67 60 88 53 70
Occupation Farmer Teacher Retired teacher Teacher Housewife/farmer Farmer Farmer
Residence Setulang Tanjung Selor Malinau Setulang Setulang Setulang Setulang
Long Metutun Naa Keramo’ Long Pelban Long Jelarai Naa Keramo’
51 80 77 69 81
Priest Farmer Retired teacher Housewife Farmer
Tanjung Selor Long Tungu Tanjung Selor Tanjung Selor Long Tungu
Lebu’ Kulit Lie Merang Pifung Lahang Tulung Anyè Pebaun Bilung Paran Usat
315
316
317