MENATAP MASA DEPAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN KEHUTANAN INDONESIA BARU2) Oleh: Elias1) Abstrak
Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alami terbesar di bumi yang mampu menghasilkan bermacam-macam produk dan jasa secara lestari bagi semua makluk hidup. Namun pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia yang sangat luas tersebut hanya memberikan kontribusi yang rendah terhadap pendapatan domestik bruto dan menyebabkan kerusakan hutan sangat parah yang mengakibatkan sering terjadinya bencana alam. Paradigma pemanfaatan sumberdaya hutan seharusnya memanfaatkan fungsi-fungsi hutan secara berimbangan dan maksimal, yang menghasilkan produk kayu, produk hasil hutan bukan kayu termasuk bioenergi, jasa-jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, dan memberikan manfaat sebagai pencegah erosi tanah, penyubur tanah, dan pengatur suply air bagi pertanian dan manfaat mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon dioksida dari atmosfir. Paradigma tersebut masih belum tercermin dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia selama ini. Dalam rangka mewujudkan Kehutanan Indonesia Baru diperlukan faktor pengungkit melalui: (1) Pengembangan dan pembangunan sumberdaya manusia kehutanan yang berkarakter, memahami dan memiliki kemampuan mengimplementasikan pengelolaan ekosistem hutan; (2) Pengembangan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan; (3) Pengembangan dan penerapan bidang teknik pengelolaan hutan; (4) Pengembangan industri kayu, industri hasil hutan bukan kayu, dan industri jasa lingkungan dan jasa sosial; (5) Pengembangan dan penerapan kebijakan fiskal sektor kehutanan; dan (6) Pengembangan institusi dan organisasi pengurusan hutan dan pengelolaan hutan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah (Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan). Kata kunci: pemanfaatan sumberdaya hutan, pengelolaan ekosistem hutan, Kehutanan Indonesia Baru. PROLOG Fokus makalah ini
hanya pada pokok-pokok pikiran pengembangan bidang
pemanfaatan sumberdaya hutan Indonesia dalam mewujudkan Kehutanan Indonesia Baru. Bidang pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan salah satu bidang
yang terkait dan
terpadu dengan bidang-bidang lainnya (kebijakan dan ekonomi kehutanan, pengurusan dan pengelolaan hutan, kelembagaan kehutanan, industri perkayuan, konservasi hutan, silvikultur, dll.) dalam pengembangan pengelolaan ekosistem hutan lestari. 1 Kepala Bagian Pemanfaatan Sumberdaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. 2 Makalah Utama disampaikan pada Diskusi Bulanan Pelaksanaan 50 Tahun Fakultas Kehutanan IPB, Juni 2013.
2 I.
1.
KILAS BALIK SEKTOR KEHUTANAN
KONDISI FISIK KEHUTANAN
Alokasi Kawasan Hutan Berdasarkan Fungsinya Luas total areal hutan di bumi kurang lebih 4 milyar ha atau sekitar 31 % luas total lahan dan equivalent dengan 0,6 ha per kapita. Pada tahun 1990an laju deforestasinya sekitar 16 juta ha per tahun, dan turun menjadi 13 juta ha per tahun pada tahun 2000an. Berdasarkan fungsinya peruntukan hutan tersebut terdiri atas: -
8 % Hutan Lindung
-
12 % Hutan Konservasi
-
30 % Hutan Produksi
-
4 % Hutan Jasa-jasa Sosial
-
24 % Hutan Serbaguna
-
7 % Lain-lain
-
16 % Tidak diketahui.
Hutan produksi seluas 1,2 milyar ha (30%) digunakan untuk memproduksi kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK), sedangkan 949 juta ha (24%) diperuntukkan untuk pengelolaan hutan serbaguna (FAO, 2010). Luas total daratan Indonesia adalah 187,9 juta ha, yang terdiri dari: -
16 % Kawasan Hutan Lindung (HL)
-
11 % Kawasan Hutan Konservasi
-
14 % Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
-
19 % Kawasan Hutan Poduksi Tetap (HP)
-
12 % Kawasan Hutan Konversi (HK), dan
-
28 % Bukan Areal Hutan Berdasarkan fungsi hutan di Indonesia tidak terdapat alokasi areal hutan untuk
pengelolaan hutan serbaguna dan pengelolaan hutan jasa-jasa sosial, sedangkan di kehutanan dunia terdapat alokasi lahan hutan sebesar 24 % untuk tujuan pengelolaan hutan serbaguna dan 4 % untuk tujuan menghasilkan jasa-jasa sosial.
3 Kondisi Tutupan Lahan Hutan Luas
total
kawasan
hutan
Indonesia adalah 133,6 juta ha dengan kondisi penutupan lahannya terdapat pada
Gambar
1.
Kondisi
tersebut
menunjukkan lebih dari 50% lahan hutan di Bali & Nusa Tenggara, Jawa, Maluku,
Sulawesi,Sumatera
dan
Kalimantan merupakan areal tidak berhutan. Hanya wilayah Papua yang memiliki tutupan lahan hutan yang Gambar 1. Kondisi Tutupan Lahan Hutan di Indonesia (Simangunsong et al, 2010)
masih baik.
Laju Deforestasi
Deforestasi di Indonesia Deforestasi di dalam Kawasan Hutan Deforestasi di luar Kawasan Hutan
Menurut Kementerian Kehutanan RI (2012), perkembangan deforestasi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2. Dibandingkan dengan laju deforestasi hutan dunia pada tahun 1990an sebesar 0,40 % dan tahun 2000an sebesar 0,33 %, laju deforestasi di Indonesia jauh lebih tinggi, yaitu pada tahun 1990-1996 sebesar 1,87 juta ha per tahun atau 0,99%, dan tahun1996-2000 sebesar 3,51 juta ha per tahun atau 1,87 %.
Gambar 2. Laju Deforesasi di Indonesia Adanya usaha pemerintah menurunkan laju deforestasi sejak tahun 2000 menyebabkan laju deforestasi di Indonesia sejak tahun 2000an semakin menurun setiap tahun. Dari data terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2009-2011 laju deforestasi sudah turun menjadi hanya 450 000 ha per tahun atau 0,24 %.
2.
KEBIJAKAN DAN EKONOMI KEHUTANAN
4 Bidang Pengurusan Hutan Pengurusan hutan telah mengatur dan menetapkan areal-areal hutan di Indonesia berdasarkan kawasan-kawasan hutan (HP, HPT, HL, Swaka Margasatwa, Pengawetan & Pelestarian Hutan dan Hutan Wisata). Penataan kawasan hutan dilakukan berdasarkan SK Menteri Pertanian No 837/1980 tentang Kriteria Penentuan Kawasan Hutan yang dilakukan dengan deliniasi di atas peta skala kecil ( < 1: 250 000). Sampai saat ini hanya sekitar 10 % batas-batas kawasan hutan yang telah ditandai di lapangan, sisanya masih merupakan batas-batas imaginer. Kondisi tersebut mengakibatkan banyaknya tumpangtindih dan konflik batas areal pengelolaan dan pemanfaatan kawasan-kawasan hutan. BidangPengusahaan Hutan Sejak diterbitkannya UU No. 5 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan pada tahun 1967 dan UU No.1 tentang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967, izin pengusahaan hutan alam maupun hutan tanaman hingga saat ini dominan diberikan hanya kepada para pengusaha besar dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengusaha menengah maupun kecil dan masyarakat lokal hampir tidak mendapatkan kesempatan berpartisipasi mengelola hutan negara. Luas lahan hutan yang diberikan izin dalam satu unit sangat luas (> 20 000 sampai 700.000 ha), dan satu grup perusahaan dapat mempunyai Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tamanan Industri (HTI) sampai puluhan unit dengan luas total lebih dari 2 juta ha. Pengusahaan hutan alam hanya melakukan operasi pemanenan kayu yang sangat eksploitatif dengan sistem silvikultur Tebang PilihTanam Indonesia (TPTI), sedangkan kegiatan pengelolaan hutan lainnya seperti pembinaan hutan, perlindungan hutan dan kegiatan pencegahan kerusakan hutan kurang mendapat perhatian. Pengusahaan hutan alam tersebut ternyata tidak lestari. Hal ini tercermin dari perkembangan jumlah HPH dari sebanyak 580 unit dengan luas areal kerja 61,38 juta ha pada tahun 1992/1993 menjadi jumlah HPH sebanyak 294 unit dengan luas areal kerja 23,24 juta ha pada tahun 2011 (Indrawan, 2013). Kondisi pengusahaan hutan tersebut menimbulkan areal hutan bekas tebangan yang terdegradasi seluas 42,51 juta ha dan areal hutan yang open access seluas 34,60 juta ha di Kawasan Hutan Produksi. Pada
pengusahaan
HTI,
Pemerintah
sampai
dengan
tahun
2006
telah
mencadangkan areal seluas 10,26 juta ha namun yang telah ditanami hanya 2,88 juta ha atau 28%. Areal HTI yang berhasil ditanami hampir semuanya merupakan HTI kayu
5 pulp. HTI kayu pertukangan dan kayu energi tidak mengalami kemajuan sehingga banyak lahan yang dicadangkan untuk pembangunan HTI terbengkalai. Pada tahun 2011 jumlah HTI telah mencapai 249 unit (Indrawan, 2013). Tidak berhasilnya pencapaian target pembangunan HTI disebabkan oleh banyaknya masalah yang dihadapi, a.l.: (1) Ketidakjelasan status lahan (tidak clear & clean) yang sering menyebabkan konflik sosial (2) Kurangnya jaminan hukum dan keamanan berusaha dari pemerintah (3) Kurang tersedianya infrastruktur di dalam dan di luar areal HTI (4) Rendahnya harga kayu hasil HTI akibat terbatasnya pasar (5) Kurangnya partisipasi masyarakat lokal sebagai pengusaha HTI Pemerintah telah berusaha meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, a.l. melalui hutan desa, hutan adat, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan. Dalam rangka program tersebut Pemerintah telah menargetkan luas izin pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat sekitar hutan 2 juta ha, namun hingga tahun 2013 pemerintah daerah baru menerbitkan izin seluas 68 000 ha. Sedangkan target pembagunan 500 000 ha hutan desa sampai tahun 2014 masih belum ada realisasinya, yakni hingga tahun 2013 areal yang ditata batas (PAK) untuk pembangunan hutan desa baru 107 613 ha (Harian Kompas, 25 April, hal. 13)
Nilai Hutan Menurut Simangunsong (2005), nilai hutan Indonesia berdasarkan fungsinya pada harga 2005 adalah 203 – 259 US$/ha/tahun, yang terdiri dari nilai manfaat langsung sebesar 93 – 135 US$/ha/tahun, nilai manfaat tidak langsung sebesar 90 – 117 US$/ha/tahun, dan nilai bukan manfaat sebesar 7 -18 US$/ha/tahun. Informasi detail mengenai nilai hutan virgin, nilai hutan bekas tebangan, hutan konversi dan hutan lindung dapat lihat pada Tabel 1. Nilai hutan pada Tabel 1 memberikan gambaran kasar untuk menunjukkan bahwa nilai hutan selain kayu merupakan porsi terbesar namun kurang mendapat perhatian.
Di lain pihak, dunia internasional memandang nilai hutan bukan kayu ini
semakin penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan.
Type of value Total economic value Use value Direct use value Timber
Production forest Conservation Primary Logged over forest forest forest 209.43 203.07 269.47 199.84 195.48 251.55 109.73 93.02 135.09 60.97 53.67 0.00
Protection forest 259.12 241.20 135.09 0.00
6
Tabel 1. Nilai Hutan Virgin, Hutan Bekas Tebangan, Hutan Konversi dan Hutan Lindung di Indonesia. Mempertimbangkan nilai total ekonomi hutan pada Tabel 1 dapat diambil kesimpulan nilai pungutan dari hutan oleh Pemerintah terlalu rendah. Nilai Izin HPH, Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) yang ditarik Pemerintah tidak sebanding dengan nilai total ekonomi hutan sebenarnya. Hal ini diikuti oleh harga jual kayu bulat Indonesia di pasaran domestik maupun ekspor yang selama ini dibawah nilai harga kayu bulat sesungguhnya (Panayotou dan Ashton, 1992). Karena itu para pengusaha hutan cenderung mendapatkan keuntungan yang besar dengan melakukan penebangan yang melebihi volume jatah etat tahunan dan memilih-milih jenis dan kualitas kayu bulat yang terbaik saja yang diangkut keluar hutan. Akibatnya pemanfatan sumberdaya hutan menjadi sangat boros yang menyebabkan logging waste yang berlimpah serta kerusakan hutan yang berat, sehigga produktivitas tapak hutan (kayu dan HHBK) dan fungsi hutan merosot. Di sisi lain, nilai ekonomi hutan alam tropika telah dinilai terlampau rendah selama ini karena nilai manfaat yang diperhitungkan hanya berasal dari hasil hutan yang dapat dijual saja, khususnya nilai tegakan kayu, sementara nilai manfaat dari barang-barang dan jasa-jasa lingkungan yang belum memiliki pasar termasuk barang publik belum diperhitungkan dalam menentukan nilai ekonomi hutan tropika tersebut. Lebih lanjut, nilai tegakan kayu pun sering kali dinilai terlampau rendah secara ekonomis. Sumber inefisiensi ekonomis ini diantaranya adalah kegiatan pemanenan dan pengolahan kayu yang tidak efisien yang menyebabkan biaya pemanenan dan biaya pengolahan kayu menjadi mahal. Disamping itu, harga kayu bulat domestik dan harga produk kayu olahan yang rendah akibat pasar kayu bulat dan kayu olahan yang terdistorsi juga menyebabkan nilai tegakan kayu menjadi rendah. Nilai tegakan kayu yang sebenarnya seharusnya diturunkan dari harga kayu bulat atau pun harga produk kayu
7 olahan tertinggi yang terjadi pada pasar yang tidak terdistorsi yang mencerminkan nilai ekonomis tegakan kayu. Akibatnya, sebagai contoh, tingkat pungutan bukan pajak yang dikenakan terhadap produksi kayu bulat dari hutan alam lebih rendah daripada tingkat pungutan yang efisien secara ekonomi sehingga penerimaan pemerintah dari sektor kehutanan lebih rendah dari pada yang seharusnya. Nilai ekonomi hutan alam tropika yang rendah merupakan disinsentif bagi upaya pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dan pembangunan hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat, sehingga menyebabkan kontribusi sektor kehutanan terhadap produk domestik bruto, penerimaan devisa, dan pendapatan pemerintah menjadi rendah. Nilai ekonomi hutan yang rendah telah menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan yang parah, seperti deforestasi dan degradasi hutan. Akibatnya, pasokan kayu bulat untuk industri perkayuan di masa depan terancam.
Manfaat jasa lingkungan hutan dan
keanekaragaman hayati berkurang. Masyarakat luas terus menanggung dampak negatif yang luar biasa akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah terus mengeluarkan banyak biaya untuk menanggulangi bencana kerusakan lingkungan tersebut. Konflik akibat kelangkaan sumberdaya hutan juga terus meningkat.
Bidang Industri Perkayuan Selama periode periode 1980-2007, sektor kehutanan termasuk industri kehutanan telah mengalami pertumbuhan yang cepat, serta memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, seperti penghasil devisa dan kontributor penting terhadap produk domestik bruto, penerimaan pemerintah dan penciptaan lapangan kerja. Namun kontribusi sektor ini terus menurun yang mengindikasikan lambatnya pertumbuhan sektor kehutanan secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri keseluruhan. Kontribusi yang terus menurun ini disebabkan industri kehutanan menghadapi persoalanpersoalan, seperti pasokan bahan baku kayu bulat tidak cukup, berproduksi di bawah kapasitas produksi, inefisiensi industri, daya saing produk rendah, pangsa pasar turun, dan produk kayu olahan bernilai tambah rendah. Pada tahun 1980an terjadi boom industri pengolahan kayu dengan adanya SK Bersama Tiga Menteri yang melarang ekspor kayu bulat dan mengharuskan para pemegang HPH mendirikan pabrik plywood. Mesin-mesin pengolahan kayu yang dipergunakan waktu itu pada umumnya mesin bekas dari Jepang, Taiwan dan Korea dan hingga saat ini banyak yang belum mengganti dengan yag baru, padahal teknologi baru pengolahan kayu sudah sangat
8 maju. Akibatnya proses produksinya tidak efisien dan mutu produknya kurang bermutu, sehingga tidak mampu bersaing di pasar internasional dan harga produknya juga rendah. Sama dengan pemanfaatan hutan, industri pengolahan kayu juga hanya mengolah kayukayu besar dari jenis komersial saja. Akibatnya ketika kekurangan bahan baku industriindustri tersebut beroperasi jauh di bawah kapasitas terpasang, bahkan sebagian besar tidak berproduksi lagi. Pada saat ini industri perkayuan yang masih berproduksi sebagian besar adalah industri pulp dan kertas.
Kontribusi PDB Sektor Kehutanan Pendapatan rata-rata setiap tahun sektor kehutanan pada periode 2001-2005 sekitar 6 milyar US$, dengan perincian sekitar 2,48 milyar US $ dari hasil hutan bukan kayu (41 %) dan sisanya dari produksi kayu (59 %). Pendapatan terbesar dari HHBK adalah dari getah, sirlak dan damar (77 %), rotan (9 %), dan arang (10 %). Data perkembangan nilai ekspor kayu dan HHBK Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Simangunsong et al 2010, pada Export of Forest Sector
tahun1993-2005
kontribusi
sektor
kehutanan
6,200
terhadap pendapatan produksi domestik (PDB)
6,000
Million US$
5,800
sekitar 3,3 - 4,3 %. Kementerian Kehutanan
5,600 5,400
bersama dengan Badan Pusat Statistik pada tahun
5,200 5,000
2011 telah menghitung PDB subsektor kehutanan
4,800 4,600 2001
2002
2003
2004
2005
ditambah subsektor yang berasal dari produk
Year
Timber products
Non-Wood Forest Products
Wildlife
industri primer kehutanan. Berdasarkan hasil kajian tersebut PDB subsektor kehutanan pada
Gambar 3. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu dan HHBK Indonesia
tahun 2007 hanya sebesar 0,91% dan PDB industri primer kehutanan sebesar 0,74%.
Jika digabungkan PDB sub-sektor kehutanan ditambah dengan industri primer kehutanan maka kontribusi PDB-nya menjadi 1,65% dari PDB Nasional. PDB dari sektor kehutanan semakin tahun semakin, bahkan pada saat ini sudah mulai minus. Demikian pula Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tingkat kabupaten pada umumnya hanya kecil sekali (dibawah 1%). Kecilnya nilai kontribusi PDB dan PAD dari sektor kehutanan mengakibatkan nilai hutan di Indonesia ”dianggap” sangat kecil, sehingga dari segi pandang tersebut para pejabat Pemerintah Pusat maupun daerah beranggapan lebih baik
lahan
hutan
dikonversi
menjadi
menguntungkan bagi PAD maupun PDB.
penggunaan
lahan
lain
yang
lebih
9 3. BIDANG TEKNIK PENGELOLAAN HUTAN Bidang Pengelolaan Hutan Paradigma pengelolaan hutan lestari (PHL) dalam kawasan hutan produksi sesuai UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 yang diusung selama ini oleh Kementerian Kehutanan adalah kelestarian hasil kayu, sedangkan kelestarian hasil hutan bukan kayu (HHBK) masih belum mendapat perhatian yang memadai, apalagi hasil hutan intangible seperti biodiversiti, udara, karbon, air, obat-obatan, satwa liar dan lain sebagainya. Berdasarkan UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 pengusahaan hutan alam hanya boleh dilakukan di Kawasan Hutan Produksi, yang dilaksanakan dengan pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP) untuk pemanfaatan kayu. Sistem pengelolaan hutan KPHP pada umumnya menggunakan sistem silvikultur TPTI. Sistem ini cendrung hanya melakukan pengelolaan spesies komersial tertentu saja dan menyebabkan high grading dalam pemanfaatan hutan dan langkanya jenis kayu tertentu. Hal ini disebabkan pemanenan kayu dilakukan dengan tebang habis terhadap jenis pohon komersial berdiameter lebih besar dari limit diameter yang ditentukan. Karena over cutting pada siklus pertama terhadap jenis-jenis tertentu saja, maka pada siklus berikutnya jumlah realisasi volume kayu dari areal yang sama semakin kecil (hutan mengalami degradasi). Hal ini diindikasikan oleh produksi kayu dari hutan alam terus menurun dari 17,31 juta m3 pada tahun 1994 menjadi 3,77 juta m3 pada tahun 2012. Dengan terbitnya UU Kehutanan No. 41/1999 telah merubah dasar legal pembentukan KPHP yang hanya mencakup Kawasan Hutan Produksi (sesuai SK Menteri Kehutanan No. 200/Kpts/1991)
menjadi pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang
mencakup seluruh kawasan hutan dan fungsi hutan (berdasarkan Permenhut P.6/Menhut-II/2009), yang meliputi Kawasan Hutan Konservasi, Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Produksi. Pemanfaatan hutan dalam KPH menurut fungsi dan peruntukannya dapat dilakukan melalui kegiatan: -
Pemanfaatan kawasan (IUPK)
-
Pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL)
-
Pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dan bukan kayu (IUPHHBK)
-
Pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK) dan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK)
10 Bidang Silvikultur Selama ini walaupun sudah ada 5 sistem silvikultur yang diperbolehkan oleh pemerintah (TPTI, Tebang Pilih Tanam Jalur/TPTJ, Tebang Rumpang/TR, Tebang Habis Permudaan Buatan/THPB, dan Tebang Habis Permudaan Alam/PHPA), pada umumnya pengelolaan hutan hanya menggunakan dua sistem silvikultur saja, yaitu hutan alam dikelola dengan TPTI, dan hutan tanaman dikelola dengan sistem THPB. Terbatasnya jumlah sistem silvikultur yang diperbolehkan mengakibatkan sering terjadi kesulitan menentukan sistem silvikultur untuk tipe hutan tertentu, misalnya hutan alam duabanga di Tambora. TPTI dengan limit dimaeter terhadap jenis komersial tertentu saja menyebabkan pengelolaan hutan alam cendrung hanya mengelolala beberapa spesies/jenis pohon. Sistem pengelolaan spesies ini menyebabkan beberapa jenis pohon menjadi langka (misalnya Ramin/Gonistylus bancanus, Agathis/Agathis spp. dan kayu hitam/dyospiros celebica). Pembangunan HTI pada umumnya dilakukan monokultur, yakni dengan mengelola tegakan dari jenis pohon cepat tumbuh, dan penebangan dilakukan dengan sistem THPB terkonsentrasi dan dalam skala yang sangat luas untuk mendapatkan volume kayu sebanyak-banyaknya (terutama pada HTI pulp), sedangkan faktor lain seperti aspek lingkungan tidak mendapat perhatian yang cukup. Pendekatan pengelolaan hutan yang membangun tegakan hutan monokultur seringkali berdampak negatif terhadap habitat satwa liar, seperti harimau, gajah, kera, dan orang hutan. Difihak lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang silvika (misalnya penyediaan bibit melalui pemuliaan genetik, teknik tissu culture, kebun pangkas, kebun benih dll.) dan silvikultur dewasa ini memberikan harapan yang besar dalam memperbaiki kondisi hutan alam yang rusak, meningkatkan mutu hutan, dan produktifitas hutan alam tropika. Kemajuan IPTEK tersebut dapat dimanfaatkan dengan merekayasa, mengembangkan, dan menerapkan teknik silvikultur intensif (SILIN), sistem-sistem silvikultur baru, pengelolaan hutan hetrogen, dan multi sistem silvikultur (MSS) sesuai dengan sifat-sifat lapangan dan sifat biofisik areal hutan dan tujuan pengelolaan hutan.
Bidang Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan hutan hingga saat ini pada umumnya bersifat eksploitatif, dengan ciri-ciri tujuan mengambil kayu sebanyak-banyaknya tanpa peduli terhadap kerusakan hutan & lingkungan, prasarana PWH (jaringan jalan angkutan, tempat penimbunan kayu, base camp, dll) dibuat dengan standar teknis yang rendah hanya dengan tujuan untuk memenuhi
11 keperluan sementara saja atau maksimum semi permanen. Setelah selesai hutan dieksploitasi, areal hutan, tegakan tinggal, dan prasarana PWH tidak dipelihara lagi dan ditinggalkan terbengkalai. Pemanfaatan hutan alam cendrung high grading. Pemanfaatan kayu komersial yang dipanen sangat tidak efisien karena hanya memanfaatkan bagian batang di bawah cabang pertama (60-80% dari volume total). Demikian juga terhadap pohon-pohon jenis-jenis komerisial dan non kommersial yang rusak akibat pemanenan tidak dimanfaatkan karena diameter batangnya dibawah ukuran limit dimater sistem silvikultur. Volume kayu logging waste yang ditinggalkan di areal hutan sangat besar yakni dapat mencapai sampai 3 kali volume produksi tahunannya. Pemanfaatan terhadap HHBK masih belum direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Potensi HHBK belum diinvetarisasi dan diketahui dengan baik. Pada umumya terjadi pemanfaatan melebihi kapasitas produksi dan tidak ada
usaha budidaya dan
pemeliharaan terhadap habitat dan tanaman penghasil HHBK, seperti rotan, getah jelutung, damar, dan buah tengkawang. Pemanfaatan dari segi estetika, keunikan, jasa-jasa lingkungan seperti karbon, air, dan rekreasi (termasuk turisme) masih belum mendapat perhatian.
Bidang Keteknikan Hutan Sejak tahun 1970an hingga saat ini teknologi dan teknik pemanenan kayu di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang lebih maju. Alat-alat berat mekanis yang dipergunakan pada umumnya bukan merupakan alat-alat mekanis yang spesial untuk pemanenan kayu, melainkan alat-alat untuk pertambangan, sehingga penggunaan alat berat tesebut sangat merusak hutan dan tanah. Penggunaan Teknik Reduced Impact Logging (RIL) secara keseluruhan dan
tradisional logging yang menggunakan tanaga manual
hampir tidak
dilakukan (Elias dan Vuthy, 2006), kecuali pemanenan kayu di hutan rakyat dan hutan jati dan rimba Perum Perhutani di Jawa yang menggunakan tanaga hewan dan manusia, dan beberapa IUPHHK-HA hutan gambut yang menggunakan sistem kuda-kuda dalam penyaradan kayu. Pemanenan kayu dengan sistem, peralatan dan teknik yang tidak tepat menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan yang sangat parah seperti pemadatan tanah dan kerusakan tegakan tinggal in situ, dan pengeruhan air serta sedimentasi di sungai baik in situ maupun ex situ, dan logging waste yang terjadi sangat besar (Elias, 2002). Pembukaan wilayah hutan yang dilakukan hingga saat ini masih bersifat PWH eksploitatif dan merupakan PWH sementara (Elias, 2012). Sebagai akibatnya sampai
12 saat ini masih belum tersedia prasarana PWH (infrastruktur transportasi) yang memadai dan belum adanya tata batas-batas kompartemen dan blok-blok RKT yang jelas dan permanen di dalam areal HPH/IUPHHK, yang mampu meningkatkan kapasitas produktif areal hutan yang dikelola. Kondisi PWH yang kurang baik ini diindikasikan dari jumlah realisasi tebangan yang semakin kecil dan biaya pemanenan kayu yang semakin tinggi dan semakin jauhnya lokasi tebangan.
Akibat Pobia Terhadap Jenis Tanaman Tertentu Dalam pemilihan jenis tanaman untuk pembangunan HTI maupun rehabiliasi areal kosong di dalam kawasan hutan, masyarakat sering dibuat bingung terhadap penolakan terhadap pilihan jenis tanaman tertentu yang tidak disukai atau dianggap tanaman perkebunan, seperti jenis pohon karet (Hevea brasilensis) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis jaq.). Pohon karet (Hevea brasilensis) yang tidak diperbolehkan di tanam di lahan kawasan hutan adalah jenis tanaman/pohon asli kehutanan. Di dalam hutan alam tropis di Sumatera misalnya sering dijumpai pohon karet tumbuh secara alami berdampingan dengan jenis-jenis pohon lain. Di Malaysia pohon kelapa sawit diperlakukan jenis pohon hutan dan areal kebun kelapa sawit dimasukkan sebagai kategori areal hutan. Penolakan jenis-jenis tanaman tersebut sebagian besar berdasarkan alasan yang kurang rasional dan emosional, yakni karena pohon karet yang menghasilkan hasil utama getah karet dan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit dianggap jenis tanaman sektor perkebunan, sebagian lagi disebabkan oleh isu-isu nasional dan internasional yang menyatakan tanaman karet dan kelapa sawit merusak lingkungan (ekosistem dan biodiversiti). Padahal bila dilihat dari aspek lingkungan apakah terdapat perbedaan yang besar, antara hutan karet, hutan akasia mangium (Acacia mangium), hutan kelapa sawit, hutan aren (Arenga piñata) dan
hutan jeunjing (Paraserienthes
falcataria), atau jenis-jenis unggul lainnya?. Perlu disadari bahwa jenis-jenis ini adalah jenisjenis yang paling ekonomis dan menghasilkan cast flow pendapatan yang paling baik dan keuntungan finansial yang paling tinggi. FAO yang menjadi pegangan internasional mendefinisikan areal hutan adalah areal yang luasnya > 0,1 ha dan tertutup > 10% oleh tajuk pohon dengan tinggi > 4 m. Berdasarkan definisi tersebut kebun kelapa sawit, kebun karet, maupun kebun-kebun jenis pohon lainnya juga termasuk kategori hutan. Dalam menyikapi masalah tersebut di atas tidak seharusya kehutanan menolak jenisjenis tersebut. Karena penolakan tersebut yang emosional hanya akan merugikan sektor kehutanan sendiri, yakni menyebabkan penyusutan areal kawasan hutan (kehilangan asset dari areal hutan terbaik yakni topografi datar-landai, subur, dan aksesibilitasnya baik) dan
13 kehilangan sebagian pendapatan (kehilangan pendapatan dari hasil pengelolaan areal yang dikonversi menjadi perkebunan karet atau kelapa sawit, atau jenis tanaman lainnya). Seandainya hal tersebut disadari sejak semula, maka sektor kehutanan tidak harus melepaskan jutaan hektar areal kawasan hutan konversi untuk dijadikan Areal Penggunaan Lain (APL) sampai saat ini. Bilamana phenomena ini dapat difahami dan disadari sektor kehutanan, maka saat ini dan kedepan masih terdapat harapan mempertahankan luas areal kawasan hutan produksi yang dijadikan kawasan hutan konversi. “Nasi belum semuanya menjadi bubur, masih terdapat peluang menyelamatkan areal kawasan hutan konversi dan APL yang tersisa”. Kedepan visi dan misi pemanfaatan sumberdaya hutan harus lebih luas dan bersahabat
dengan
semua
jenis
komoditi
yang
menguntungkan
dan
tidak
membahayakan dari segi lingkungan. Dengan demkian bukan hal yang mustahil nantinya, bilamana sektor kehutanan selain menghasilkan produk-produk konvensional seperti kayu dan HHBK (getah pinus, rotan, arang, sirlak dan damar), juga menghasilkan buah-buahan, jamur, daging sapi, ikan, udang dan beranekaragam barang dan jasa lainnya, sehingga dapat diibaratkan hutan sebagai penyedia sandang dan papan serta jasa untuk suatu supermarket. Dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan sektor lain untuk memanfaatkan areal kawasan hutan dengan baik sesuai dengan fungsi-fungsi hutannya sebagaimana dijelaskan dalam konsep paradigma pemanfaatan sumberdaya hutan dalam bab II di bawah ini.
II. KONSEP DAN PARADIGMA PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN Landasan Filosofis Konggres Kehutanan Dunia ke 8 di Jakarta pada tahun 1978 memgambil tema Forest for People. Tema tersebut mengisyaratkan ”Visi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan adalah Demi Kesejahteraan Manusia atau Masyarakat”. Untuk mencapai visi tersebut maka ”Misi Utama Pengelolaan Hutan Lestari Adalah Untuk Kemaslahatan Manusia”. Suatu areal hutan mempunyai berbagai macam fungsi yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia, yaitu a.l: -
Produksi kayu
-
Produksi HHBK
-
Perlidungan terhadap lingkungan, seperti perlindungan daerah aliran sungai dan tanah, dan konservasi keranekagaman genetik.
-
Mengatur iklim dan mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan gas CO2 di atmosfer dan penyimpanan karbon dalam hutan
14 -
Penyangga kehidupan di bumi
-
Rekreasi dan keindahan alam, termasuk untuk turisme
-
Konversi ke produksi pertanian dan peternakan dll. Output dari fungsi-fungsi hutan tersebut dapat bersifat tangiable yang dapat dirasakan
langsung dan berupa barang dan jasa seperti kayu, HHBK, jasa taman wisata, jasa karbon hutan, dll. dan yang bersifat tidak langsung (intangiable) seperti fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, menjaga kesuburan tanah pertanian, mencegah banjir dan longsor, mengatur keseimbangan tata air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) sehingga debit air pada musim kemarau dan penghujan tetap stabil, mengediakan udara yang segar dan mengurangi polusi udara. Peranan fungsi hutan dalam kehidupan manusia dapat disimak dari empat hal berikut: (1)
Karena fungsi hutan yang sangat besar dan penting bagi keberlanjutan dan keberhasilan pertanian, maka dianggap ”Hutan adalah Ibunya Pertanian (Forest is the Mother of Agriculture)”;
(2)
Karena peranan penting hutan dalam kehidupan dan kemaslahatan manusia, maka dianggap ”Hutan adalah Penyangga Kehidupan” dan ”Tanpa Hutan maka Kehidupan di Bumi Akan Musnah”; dan
(3)
Pada waktu terjadi bencana alam, kelaparan, dan perang maka hutan menjadi tempat pengungsian dan perlindungan, sehingga “ Hutan Merupakan Tempat Berlindung dan Gudang Cadangan Makanan”.
(4)
Khusus bagi Negara Indonsia, Darusman (2012) dalam bukunya berjudul Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia, mengibaratkan “Hutan Indonesia merupakan tulang punggung negara dan ibu dari sektor-sektor lain”.
Paradigma Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Paradigma pemanfaatan sumberdaya hutan adalah pemanfaatan yang maksimal terhadap fungsi-fungsi ekosistem hutan tanpa mengurangi produksi-produksi fungsi-fungsi ekosistem hutan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam rangka mencapai pemanfaatan sumberdaya hutan maksimal maka yang harus dilakukan adalah pemanfaatan fungsi-fungsi
ekosistem hutan yang maksimal yang dapat diperoleh dari pengelolaan
ekosistem hutan atau pengelolaan hutan serbaguna. Dalam pemanfaatan suatu sumberdaya hutan tertentu sering sulit mendapatkan seluruh produk-produk dari fungsi-fungsi secara maksimal karena kompleksitas pengelolaan hutan serbaguna. Dalam hal ini dapat disederhanakan dalam pengelolaan hutan serbaguna
15 yang memfokuskan mengelola fungsi-fungsi yang dominan yang menghasilkan volume produksi, nilai finansial, dan nilai lingkungan dan sosial maksimal, dan menambahkan dengan satu atau beberapa fungsi-fungsi lain yang subdominan. Dalam rangka mewujudkan paradigma pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut diperlukan pengembangan paradigma dan konsep-konsep bidang lainnya yang terintegrasi dalam usaha mencapai pengelolaan ekosistem hutan lesrari, yang meliputi antara lain: (1) Pengembangan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang menciptakan kondisi pemungkin pemanfaatan sumberdaya hutan yang menyeimbangkan alokasi tujuan pengelolaan hutan (produksi kayu, produksi hasil hutan bukan kayu, dan jasa-jasa lingkungan dan sosial) dengan lebih meningkatkan proporsi pengelolaan hutan serbaguna dan pengelolaan hutan jasa-jasa lingkungan dan sosial, serta memberikan peranan lebih besar kepada masyarakat; (2) Pengembangan dan penerapan bidang teknik pengelolaan hutan yang menciptakan kondisi pemungkin perbaikan terhadap mutu hutan, peningkatan produktivitas hutan, dan penataaan batas kawasan hutan (pembentukan dan pemantapan KPH, penataan hutan dan pembukaan wilayah hutan permanen, silvikultur intensif, multi sistem silvikultur, pemanenan ramah lingkungan) (Elias, 2013); (3) Pengembangan industri kayu, industri hasil hutan bukan kayu, dan industri jasa lingkungan dan sosial yang menciptakan kondisi pemungkin pemerataan peluang usaha (pengusha industri besar, menengah, dan kecil) dan diversifikasi pemanfaatan bahan baku kayu bulat, diversifikasi produk industri perkayuan dan hasil hutan bukan kayu, dan terlaksananya usaha industri pemanfaatan jasa-jasa lingkungan dan sosial; (4) Pengembangan dan penerapan kebijakan fiskal sektor kehutanan yang menciptakan kondisi pemungkin suksesnya pembentukan KPH, penerapan pengelolaan ekosistem hutan lestari, dan memberikan kontribusi pendapatan yang sesuai dengan nilai hutan kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah; dan (5) Pengembangan institusi dan organisasi pengurusan hutan dan pengelolaan hutan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah (Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan).
Wujud Hutan Lestari Bagaimanakah bentuk atau wujud nyata hutan lestari?. Jawabannya sangat menarik dan bermacam-macam, karena sangat tergantung pada paradigma Pengelolaan dan
16 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan yang dipelajari, diketahui, dikembangkan, diyakini, dan dipraktekkan. Sebagai salah satu rimbawan gambaran saya: “Wujud hutan lestari adalah dalam suatu landskap terdapat sungai dengan airnya yang jernih, dan beraneka ragam makluk hidup di dalamnya, terdapat binatang liar beraneka ragam jenis berkeliaran (termasuk virus dan bakteri), dan beragam jenis vegetasi seperti jamur, tumbuhan bawah sampai dengan pohon-pohon besar saling mengisi dan membentuk strata hutan. Semua komponen biotik dan abiotik saling berinterakasi harmonis mempertukarkan energi, berreproduksi, dan memproduksi makanan untuk kehidupan bersama dan berada dalam keseimbangan alam”. Lingkungan ekosistem hutan tersebut di atas mempunyai kapasitas menghasilkan berbagai produk alami yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Prinsip pemanfaatan sumberdaya hutan adalah memanfaatkan produksi fungsi-fungsi sumberdaya hutan secara maksimal tetapi tidak boleh melebihi kapasitas produksi fungsi-fungsi tersebut, sehingga dapat dipastikan sumberdaya hutan tersebut tidak
akan habis atau berkurang
manfaatnya sebab hutan merupakan sumberdaya alami yang terbaharukan.
III. TELADAN KASUS PENGELOLAAN HUTAN SERBAGUNA Pengelolaan Hutan di Negara Bagian Missouri, Amerika Serikat Salah satu contoh perkembangan paradigma tujuan pengelolaan hutan terdapat di Negara Federal Missouri, Amerika Serikat yang luas total areal hutannya adalah 14,5 juta are/acres (32% dari luas total areal). Dari luas hutan tersebut seluas 12 juta are (85%) dimiliki oleh 350 000 pemilik privat/masyarakat, dan sisanya 15 % adalah hutan negara dan federal. Alasan pemilikan hutan yang utama bukan lagi untuk menghasilkan kayu pertukangan maupun kayu bakar, melainkan untuk keindahan dan alam, tempat tinggal dan privacy, legacy keluarga, perburuan dan rekreasi, serta investasi. Hasil survei alasan tersebut secara detail disajikan dalam Gambar 4. Hutan tersebut sangat penting bagi perekonomian Negara Bagian Missouri, dimana tiap tahun menghasilkan pendapatan US $ 4,7 milyar, menyediakan 35 000 lapangan kerja dan gaji sebesar US $ 700 juta.
17
Gambar 4. Alasan-Alasan Pemilikan Lahan Hutan di Negara Bagian Misouri, Amerika Serikat ( Linit & Payne, 2013) IV. IMPLIKASI TERHADAP KEHUTANAN INDONESIA Implikasi dari pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya hutan sesuai dengan paradigma tersebut di atas tehadap praktek-praktek kehutanan di Indonesia secara garis besar adalah sebagai berikut: 1.
Pengembangan dan pembangunan sumberdaya manusia sektor kehutanan yang berkarakter, memahami dan memiliki kemampuan mengimplementasikan pengelolaan ekosistem hutan lestari
2.
Pengembangan investasi dan modal
3.
Pengembangan kebijakan pengelolaan hutan, meliputi a.l: -
Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan meliputi bentuk pengelolaan dan hak pengelolaan
4.
Kebijakan fiskal
Pengembangan dan penerapan teknik pengelolaan hutan, meliputi a.l.: -
Pembentukan dan pemantapan KPH
-
Perencanaan dan Penataaan Hutan sesuai mosaik, tapak dan tujuan pengelolaan hutan.
-
Pembukaan wilayah hutan permanen
-
Teknik silvikultur intensif (SILIN)
-
Sistem-sistem silvikultur meliputi a.l.: o Monocyclic rotasi pendek untuk produksi bahan baku pulp dan bahan bakar (bioenergi) o Monocyclic rotasi sedang dan panjang untuk produksi kayu pertukangan
18 o Polycyclic cyclus tebang pendek untuk hutan alam dan hutan tanaman campuran
-
Polycyclic cyclus tebang panjang
-
Multi sistem silvikultur
-
Bentuk-bentuk perhutanan sosial meliputi : agroforesry, silvofishery, silvopastura, dll.
5.
Pemanenan hasil hutan ramah lingkungan
Pengembangan dan penerapan institusi khususnya organisasi pengurusan dan pengelolaan hutan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.
6.
Pengembangan industri pengolahan kayu, industri pengolahan HHBK, industri pemanfaatan jasa lingkungan dan sosial. Pengembangan industri tersebut harus dapat menjaga keseimbangan peluang berusaha bagi para pengusaha besar, sedang, dan kecil.
V. KESIMPULAN Dalam rangka membangkitkan Kehutanan Indonesia Baru, salah satu faktor pengungkitnya yang sangat menentukan adalah pengembangan dan pembangunan sumberdaya manusia (SDM) kehutanan yang berkarakter, memahami dan memiliki kemampuan mengimplementasikan pengelolaan ekosistem hutan. Khusus
untuk
pengembangan
dan
penerapan
paradigma
pemanfaatan
sumberdaya hutan diarahkan untuk mengembangkan pola pikir (mind set) para pemangku kepentingan (stake holders), yaitu dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang hanya memproduksi kayu menjadi pemanfaatan sumberdaya hutan yang mengutamakan produksi dari berbagai fungsi sumberdaya hutan, yang meliputi a.l. produksi kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa-jasa lingkungan, dan jasa-jasa sosial. Pengembangan SDM dan implementasi paradigma pemanfaatan sumberdaya hutan harus dibarengi dengan pengembangan dari bidang-bidant terkait lainnya: 1.
Pengembangan kebijakan yang mendukung implementasi paradigma pemanfaatan sumberdaya hutan, a.l. :
Pengembangan hak-hak pengelolaan kawasan hutan dari sebagian terbesar besar oleh pemerintah kearah lebih berimbang antara hak pengelolaan oleh pemerintah, oleh korporat, dan oleh masyarakat.
Pengembangan tujuan pengelolaan hutan yang mengutamakan kayu saja kearah yang lebih berimbangan antara produksi kayu, produksi hasil hutan bukan kayu, dan produksi jasa-jasa lingkungan dan sosial.
19
Pengembangan kebijakan fiskal sektor kehutanan dan pendapatan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dari sektor kehutanan. Pengembangan fiskal harus memperhatikan dan menbuka faktor-faktor pemungkin pengelolaan hutan lestari, sedangkan pengembangan pendapatan pemerintah harus disesuaikan dengan nilai lahan dan hutan yang diusahakan serta bentuk pungutan harus lebih sederhana, yakni 1-3 bentuk pungutan saja.
Pengembangan kebijakan yang menimalkan campur tangan Pemerintah terhadap aspek teknis pengelolaan hutan oleh fihak korporat dan masyarakat.
2.
Pengembangan paradigma pengelolaan hutan menuju pengelolaan ekosistem hutan dengan meningkatkan porsi areal hutan untuk
pengelolaan hutan serbaguna dan
pengelolaan hutan jasa-jasa lingkungan dan sosial, pengembangan pengelolaan hutan berskala kecil, dan pengembangan akses dan peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan. 3.
Pengembangan aspek teknis pengelolaan hutan, a.l. :
Penataaan batas-batas kawasan hutan yang permanen
Perencanaan dan penataaan hutan dalam unit-unit kelestarian (Bagian Hutan) dalam KPH sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan, kondisi tapak, kelayakan finasial, dan kebutuhan pasar.
Pembukaan wilayah hutan yang permanen
Multi sistem silvikultur termasuk pengembangan berbagai bentuk perhutanan sosial seperti agroforestry, silvofishery, silvopastura, dll.
4.
Teknik silvikultur intensif (SILIN)
Pengelolaan hutan serbaguna dan hutan jasa-jasa sosial
Sistem dan teknik pemanenan ramah lingkungan
Pengembangan Industri pengolahan kayu, industri pengolahan HHBK, dan industri pemanfaatan jasa-jasa lingkungan dan sosial dari hutan
5.
Pengembangan institusi kehutanan, khususnya organisasi pengurusan dan pengelolaan hutan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.
Ucapan Terimaksih Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Ir. Bintang Charles Simangunsong dan Dr. Ir. Togu Manurung yang telah melakukan review terhadap tulisan ini.
20 Daftar Pustaka Darusman D. 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press, Bogor. Elias. 2002. Reduced Impact Logging. Buku 1 & 2. IPB Press, Bogor. Elias and Vuthy L. 2006. Assessing Progress in Developing and Implementing Codes of Practice for Forest Harvesting in ASEAN Member Countries. ASEAN & FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Jakarta, Indonesia. Elias. 2012. Pembukaan Wilayah Hutan. Buku Teks Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Edisi II, Bogor. Elias. 2013. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Penerapan Multi Sistem Silvikultur. Makalah pada Pembekalan SILIN/Multi Sistem Silvikultur bagi GANIS PHPL Bidang Pembinaan Hutan pada tanggal 3-5 Juni 2013 di Hotel Aquarius, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. FAO. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010. FAO, Rome, Italy. Indrawan I. 2013. Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi di Indonesia dengan Penerapan Multisistem Silvikultur. Peper dipresentasikan dalam rangka Diskusi Bulanan menyambut Ulang Tahun Emas 50 Tahun Fakultas Kehutanan IPB, pada tanggal 26 Pebruari 2013, di Auditorium Sylva-Pertamina Kampus IPB Darmaga, Bogor. Linit M. and Payne T. 2013. Collaborating for the Greater Good. Presented in the Meeting between Staff of Faculty of Forestry IPB and Staff of College of Agriculture, Food and Natural Resouces, Universty of Missouri USA, held on April 15, 2013 at the Faculty of Forestry IPB, Bogor. Panayotou T. and Ashton PS. 1992. Not by Timber Alone. Economics and Ecology for Sustaining Tropical Forests. Island Press, Washington, D.C., USA. Simangunsong, CB. et al. 2010. Indonesian Forestry Outlook 2020. Food Agriculture Organization (FAO) and Center of Forestry Planning and Statistics, Ministry of Forestry of the Republic Indonesia, Jakarta.