II. ARAH, MASA DEPAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN INDONESIA 2.1.
Pengantar Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda kedepan dan kebelakang yang besar, melalui keterkaitan “inputoutput-outcome” antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akibat kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Pembangunan di masa lalu kurang memperhatikan keunggulan komparatif yang dimiliki. Keunggulan komparatif yang dimiliki belum didayagunakan sehingga menjadi keunggulan kompetitif nasional. Akibat dari strategi yang dibangun tersebut maka struktur ekonomi menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang lalu memberi pelajaran berharga dari kondisi tersebut. Apabila pengembangan ekonomi daerah dan nasional didasarkan atas keunggulan yang kita miliki maka perekonomian yang terbangun akan memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia. Belajar dari pengalaman tersebut, sudah selayaknya strategi pembangunan nasional kembali memperhatikan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Untuk itu Kabinet Indonesia Bersatu menetapkan Revitalisaisi Pertanian sebagai salah satu strategi utama pembangunan nasional 2005-2009.
2.2.
Posisi Pertanian Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Depan Posisi pertanian akan sangat strategis apabila kita mampu mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung memandang pertanian hanya sebagai penghasil (output) komoditas an sich menjadi pola pikir yang melihat multi-fungsi dari pertanian. Multifungsi pertanian meliputi peran sebagai: a. Penghasil pangan dan bahan baku industri. Sektor pertanian sangat menentukan dalam ketahanan pangan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 1
b.
c.
d.
e.
f.
g.
nasional sekaligus menentukan ketahanan bangsa. Penduduk Indonesia tahun 2025 akan mencapai 300 juta lebih, ketahanan nasional akan terancam bila pasokan pangan kita sangat tergantung dari impor. Dalam proses industrialisasi pertanian juga memproduksi bahan baku industri pertanian seperti sawit, karet, gula, serat, dan lainnya. Pembangunan daerah dan perdesaan. Pembangunan nasional akan timpang kalau daerah/perdesaan tidak dibangun, urbanisasi tidak akan bisa ditekan, dan pada akhirnya senjang desa dan kota semakin melebar. Lebih dari 83 persen kabupaten/kota di Indonesia ekonominya berbasis kepada pertanian. Agroindustri perdesaan akan sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi perdesaan terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Penyangga dalam masa krisis. Sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal terbukti sangat handal dalam masa krisis ekonomi, bahkan mampu menampung 5 juta tenaga kerja limpahan dari sektor industri dan jasa yang terkena krisis; kasus bom Bali yang melumpuhkan parawisata di Bali, terselamatkan oleh sektor pertanian. Penghubung sosial ekonomi antar masyarakat dari berbagai pulau dan daerah sebagai perekat persatuan bangsa. Masing-masing pulau/daerah memiliki keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan keunggulan masing-masing. Perdagangan (trade) antar pulau ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi dengan melakukan spesialasisasi masing-masing daerah. Saling ketergantungan antara daerah menjadi jaminan pengembangan ekonomi daerah dan mempererat persatuan antar daerah. Kelestarian sumberdaya lingkungan. Kegiatan pertanian berperan dalam penyagga, penyedia air, udara bersih, dan keindahan. Pada haketnya pertanian selalu menyatu dengan alam. Membangun pertanian yang berkelanjutan (sustainable) berarti juga memelihara sumberdaya lingkungan. Agrowisata merupakan contoh yang ideal dalam multi-fungsi pertanian. Sosial budaya masyarakat Usaha pertanian berkaitan erat dengan sosial-budaya dan adat istiadat masyarakat. Sistem sosial yang terbangun dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan dan lainnya. Kesempatan kerja, PDB, dan devisa. Lebih dari 25,5 juta keluarga atau 100 juta lebih penduduk Indonesia hidupnya
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 2
tergantung pertanian. Sektor pertanian menyerap 46,3% tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9% dari total ekspor non migas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen PDB nasional. 2.3.
Arah Masa Depan Kondisi Petani Indonesia Transformasi struktur perekonomian yang terjadi menunjukkan bahwa peran pertanian dalam pembangunan nasional terus menurun, namun tidak diikuti oleh bebannya dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini berakibat produktivitas pertanian menurun dan semakin senjang dibanding sektor diluar pertanian, terutama sektor jasa dan industri . Indikator tersebut tercermin dari produktivitas pertanian. Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem (dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat 2,6% per tahun). Hal ini menunjukkan terjadinya marjinalisasi pertanian sebagai akibat langsung dari kepadatan penduduk. Sementara itu luas lahan semakin berkurang dan perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian terbatas. Jumlah rumah tangga petani (RTP) menurut Sensus Pertanian (SP) 2003 mencapai 25,58 juta RTP. Sekitar 40 persen RTP tergolong tidak mampu dan 20 persen diantaranya dikepalai oleh perempuan. Pada daerah dimana tingkat migrasi tenaga kerja laki-laki tinggi, beban kerja sektor pertanian bergeser kepada tenaga kerja perempuan dan kelompok lanjut usia. Pada bagian lain kualitas SDM pertanian juga rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 35 persen, tamat SD 46 persen, dan tamat SLTP 13 persen. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD 31 persen, tamat SLTP sekitar 20 persen, dan tamat SLTA 27 persen. Tingginya tingkat pendidikan di sektor non pertanian ini sebagian besar berasal dari mereka yang melakukan urbanisasi atau yang meninggalkan sektor pertanian di perdesaan. Dilihat dari karakter komoditas dan jenis usaha yang dilakukan oleh petani, kegureman tidak selalu identik dengan luas penguasaan lahan. Kegureman petani secara umum terkait dengan keterbatasan akses mereka terhadap berbagai sumberdaya pertanian (lahan, air, informasi, teknologi, pasar,
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 3
modal, dll). Sejalan dengan itu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani dapat dilakukan melalui: (a) peningkatan skala usaha sesuai dengan sifat komoditasnya. Misalnya untuk petani pangan luas lahan minimal 1 hektar per petani di JawaBali dan 2,5 hektar per petani di luar Jawa-Bali, (b) pengusahaan komoditas sesuai dengan permintaan pasar, (c) diversifikasi usaha rumahtangga melalui pengembangan agroindustri perdesaan dengan kegiatan non-pertanian, (d) pengembangan kelembagaan penguasaan saham petani untuk sektor hulu maupun hilir, (e) kebijakan perlindungan bagi petani dan usahanya. 2.4.
Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Sumberdaya utama dalam pembangunan pertanian adalah lahan dan air. Akses sektor pertanian terhadap sumber daya tersebut dihadapkan kepada berbagai masalah, seperti: (a) terbatasnya sumberdaya lahan dan air yang digunakan, (b) sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia (900 m2/kapita), (c) banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan per keluarga petani kurang dari 0,5 ha, (d) tingginya angka konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dan tidak terjaminnya status penguasaan lahan (land tenure). Sumberdaya lahan yang dipergunakan untuk produksi pertanian relatif terbatas. Dalam dekade terakhir luas lahan pertanian sekitar 17,19 persen dari total lahan, yang terdiri dari 4,08 persen untuk areal perkebunan; 4,07 persen untuk lahan sawah; 2,83 persen untuk pertanian lahan kering dan 6,21 persen untuk ladang berpindah. Tingkat pemanfaatan lahan sangat bervariasi antar daerah. Perkembangan luas lahan pertanian, terutama lahan sawah dan lahan kering (tegalan), sangat lambat, kecuali dibidang perkebunan (Gambar 1), terutama untuk kelapa sawit.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 4
20000 19000 18000 17000
Luas (x 1.000 ha)
16000 15000 14000 13000 12000 11000 10000 9000 8000 7000 6000 5000 1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun Sawah
Lahan Kering
Perkebunan
Lahan Terlantar
Gambar 1. Perkembangan Penggunaan Lahan Pertanian 1996-2004 (BPS)
Peningkatan jumlah penduduk tahun 2000-2003 sekitar 1,5 persen per tahun menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun. Konversi lahan pertanian terutama terjadi pada lahan sawah yang berproduktivitas tinggi menjadi lahan permukiman dan industri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan sawah dengan produktivitas tinggi, seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa dan di sekitar Bandung, mempunyai prasarana yang memadai untuk pembangunan sektor non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Luas baku lahan sawah juga cenderung menurun. Antara tahun 1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 sampai 2002 terjadi penciutan luas lahan sawah seluas 0,4 juta ha karena tingginya angka konversi (Tabel 1). Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9 juta ha lahan terlantar yang dewasa ini ditutupi semak belukar dan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 5
alang-alang. Pemanfaatan lahan yang berpotensi ini secara bertahap akan dapat mengantarkan Indonesia tidak saja berswasembada produk pertanian, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor, apalagi jika insentif untuk petani dapat ditingkatkan. Di samping itu, sekitar 32 juta ha lahan, terutama di luar Pulau Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem. Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan mengalami degradasi. Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan kompetisi penggunaan antara pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi demikian maka penggunanan air untuk pertanian selalu dikorbankan sebagai prioritas terakhir. Pada bagian lain dalam dekade terkhir perhatian untuk memelihara jaringan irigasi bagi mempertahankan efisiensi penggunaan air juga menurun yang berakibat kepada penurunan intensitas tanam dan produktifitas pertanian. Untuk itu peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi merupakan langkah bagi peningkatan produktifitas pertanian. Untuk itu, dalam rangka revitalisasi pertanian, pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh melalui: (i) reformasi keagrariaan untuk meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air serta meningkatkan rasio luas lahan per kapita, (ii) pengendalian konversi lahan pertanian dan pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha, (iii) fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan lahan pertanian baru), serta (iv) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 6
Wilayah Tahun 1981-1999 Jawa Luar Jawa Indonesia Tahun 1999-2002 Jawa Luar Jawa Indonesia
Konversi
Penambahan
Neraca
1.002.055 625.459 1.627.514
518.224 2.702.939 3.221.163
-483.831 +2.077.480 +1.593.649
167.150 396.009 563.159
18.024 121.278 139.302
-107.482 -274.732 -423.857
Tabel 1. Neraca luas lahan sawah tahun 1981-1999 dan 1999-2002 (Ha)
2.5.
Arah Masa Depan Produk dan Bisnis Pertanian Dalam kurun waktu yang panjang pembangunan pertanian selalu diidentikkan dengan kegiatan produksi usahatani semata (proses budidaya atau agronomi), sehingga hasil pertanian identik dengan komoditas primer. Kegiatan pertanian masa lalu lebih berorientasi kepada peningkatan produksi komoditas primer dan kurang memberi kesempatan untuk memikirkan pengembangan produk hilir. Dari sisi kebijakan, pembangunan pertanian cenderung terlepas dari pembangunan sektor lain, kebijakan di bidang pertanian tidak selalu diikuti oleh kebijakan pendukung lain secara sinergis. Pembinaan pembangunan pertanian tersekat-sekat oleh banyak institusi, sehingga kebijakan sering tidak sinkron antar lembaga terkait akibat perbedaan kepentingan dari masing-masing sektor. Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin besar. Dengan mengespor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri, padahal sebaliknya bila Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka dilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri. Belajar dari kelemahan tersebut, sejak Pelita VI pembangunan pertanian dilakukan melalui pendekatan agribisnis, yang pada hakekatnya menekankan kepada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan produksi ke pendekatan bisnis, dengan demikian aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama, (2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral,
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 7
namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral), (3) pembangunan pertanian bukan pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan pendapatan petani. Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk plahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdayasaing. Untuk itu, salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan adalah pengembangan agroindustri perdesaan. Pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan strategis dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar (primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi-urban). Akibatnya, nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, termasuk menjadi penyebab terjadinya urbanisasi. Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan agroindustri perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui upaya peningkatan nilai tambah dan dayasaing hasil pertanian. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pengembangan agroindustri perdesaan diarahkan untuk: (a) mengembangkan kluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya, (b) mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar, dan (c) mengembangkan industri pengolahan yang punya dayasaing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Agenda utama pengembangan agroindustri perdesaan adalah penumbuhan agroindstri untuk membuka lapangan kerja di perdesaan, dengan kegiatan utama: (a) Fasilitasi penerapan teknologi dan sarana pengolahan hasil pertanian di sentra-sentra produksi; (b) Pengembangan infrastruktur penunjang di perdesaan seperti listrik, jalan akses, dan komunikasi; (c)
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 8
Pengembangan akses terhadap permodalan; dan Peningkatan mutu, efisiensi produksi dan pemasaran.
(d)
Dalam rangka pengembangan produk hilir produk pertanian yang berdayasaing, inovasi teknologi yang berorientasi pasar dan berbasiskan sumberdaya domestik menjadi prasyarat keberhasilan pengembangan produk hilir pertanian ke depan. Dalam rangka mendorong terjadinya inovasi proses hilir produk pertanian yang bernilai tambah tinggi dan berdayasaing, dukungan berbagai kebijakan makro ekonomi sangat diperlukan. Disamping itu, pengembangan teknologi pengolahan dan produk pada produk hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi pengolahan untuk menghasilkan diversifikasi produk, dan meminimumkan kehilangan hasil. Dalam rangka pengembangan produk (porduct development) baru seperti pengembangan berbagai jenis industri oleo-pangan dan industri oleo-kimia akan didorong pengembangannya. Demikian pula pengembangan industri pengolahan karet lanjutan sepeti industri ban otomotif and barang jadi lain dari karet, pengembangan industri farmasi (tanaman obat-obatan), dan industri pengolahan berbasis hortikultura akan terus dikembangkan. Dalam rangka peningkatan dayasaing produk pertanian, disamping pengembangan produk hilir, ke depan pengembangan produk hulu juga didorong pertumbuhannya. Pengembangan industri perbibitan/perbenihan merupakan prasarat peningkatan dayasaing produk pertanian. Demikian juga pengembangan industri agrokimia dan alat serta mesin pertanian. Secara umum sasaran pembangunan pertanian jangka panjang (2025) adalah: (a) terwujudnya pertanian industrial yang berdaya saing; (b) mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (c) tercapainya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian; dan (d) terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian dan tercapainya pendapatan petani sebesarUS $ 2500/kapita/tahun.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
II - 9