MENANGKAP PELUANG, MENGATASI TANTANGAN: Meneropong Dunia Kerja Sarjana Syari’ah1 oleh: Dr. Ismail Yahya, MA2
Pendahuluan Kalau semata-mata kita membicarakan dunia kerja yang akan diraih oleh peserta didik setelah dia menyelesaikan pendidikannya, seolah-olah kita mereduksi persoalan pendidikan hanya untuk menyiapkan pekerja-pekerja untuk mengisi posisi-posisi yang tersedia. Padahal secara ideal dan luhur, pendidikan, sebagaimana disebutkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, sebagaimana diulang kembali di dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 1 ayat 1, adalah: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Namun realita di masyarakat menunjukkan bahwa dunia kerja apa yang akan diperoleh peserta didik tetap menjadi pertimbangan utama bagi peserta didik atau orang tua di dalam memilih Fakultas atau Program Studi tertentu. Apakah pandangan ini keliru? Jawabannya: “Tentu tidak.” Terlebih seperti yang disebutkan oleh José Ortega Y Gasset (1944: 34) dalam “Mission of the University” bahwa pendidikan atau pembelajaran tingkat perguruan tinggi meliputi dua hal: 1.
Mengajar profesional terdidik dengan mengajar masyarakat untuk menjadi dokter, ahli hukum, hakim, ekonom, pegawai negeri, guru, dan lain-lain.
2.
Penelitian ilmiah dan penyiapan peneliti-peneliti masa depan.
1
Disampaikan pada Kuliah Umum Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta dengan tema: “Peluang dan Tantangan Fakultas Syari’ah di Era Global,” Rabu, 17 September 2014. 2 Dosen mata kuliah Metodologi Studi Islam, Metolodogi Penelitian, dan Filologi pada Jurusan Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah, IAIN Surakarta. Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta periode 2006-2010.
1
Persoalan utamanya adalah bagaimana cara perguruan tinggi Islam dalam hal ini IAIN Surakarta/Fakultas Syari’ah menyiapkan profesional terdidik ini? Tulisan ringkas ini mencoba mendiskusikan persoalan-persoalan ini dengan terlebih dahulu membaca dan menangkap peluang yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi oleh sarjana Syari’ah.
Membaca dan Menangkap Peluang Setidaknya para sarjana Syari’ah diuntungkan secara konstitusional dan mereka memiliki modal sosial (social capital) yang bisa dipandang sebagai peluang-peluang yang dimiliki, penjelasannya sebagi berikut: 1. Peluang Konstitusional Walaupun bukan sebagai negara agama, namun Indonesia menempatkan agama sebagai pilar penting pembangunannya. Bahkan agama diberikan tempat di dalam sistem hukum dan pemerintahan. Di bidang hukum misalnya, agama (baca: Islam) menjadi sumber dalam pembentukan hukum nasional di samping sumbersumber lain yang berasal dari sumber lokal berupa hukum adat dan sumber luar berupa hukum Barat. Di bidang pemerintahan, urusan dan kepentingan agama diurus oleh satu kementerian tersendiri yaitu Kementerian Agama. Terlebih sekarang ini, tidak sedikit ajaran-ajaran agama (baca: Islam) yang dijadikan materi atau mengilhami produk legislasi nasional seperti undang-undang tentang wakaf, zakat, peradilan agama, perbankan syariah, dan lain-lain. Di Aceh dikarenakan sifat kekhususannya bahkan diberikan suatu peradilan yang juga memiliki kewenangan memutus perkara tidak hanya dalam bidang Hukum Keluarga (al-
Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah) dan Hukum Ekonomi Syariah (Mu’a>malah), namun juga dalam bidang Hukum Pidana (Jina>yah) di Mahkamah Syari’ah3 yang diatur lebih lanjut dengan Qanun.4
3
Mahkamah Syari’ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang oleh UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa “Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut Peradilan Umum”
2
Peluang konstitusional ini ditambah dengan ketentuan-ketentuan yang jelasjelas menyebut Sarjana Syari’ah atau Sarjana Hukum Islam sebagai salah satu syarat menduduki profesi tertentu5 merupakan raison d'être atau bukti bahwa eksistensi Sarjana Syari’ah diakui. Persoalannya sebagaimana dikatakan oleh Wahyu Widiana dan Rahmat Arijaya6 adalah bagaimana kesiapan Fakultas
(lihat Penjelasan pasal 3A UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). 4
Sampai saat ini baru ada 5 (lima) qanun hukum materil yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang pidana (jinayah), yaitu: 1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang’Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak pidana) yakni: a. Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang ‘aqidah). b. Tidak shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ”uzur syar’i” (bidang ibadah). c. Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa ’uzur untuk tidak berpuasa (bidang ibadah). d. Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari Ramadhan (bidang ibadah). e. Tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). 2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya. 3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi). 4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum). 5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo; b. Membayar zakat tidak menurut yang sebenarnya; c. Memalsukan surat Baitul Mal; d. Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya; e. Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah. (lihat Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Dihubungkan dengan Sistem Peradilan Di Indonesia, makalah, hlm. 9-10). 5 UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 13 ayat (1) menyebutkan: “Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: huruf e. sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 2 menyebutkan: “Yang dapat diangkat menjadi Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.” Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dijelaskan yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.” UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 7 ayat (1) menyebutkan: “Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung seseorang calon harus memenuhi syarat: huruf c. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum. Pada Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf c ini “Yang dimaksud dengan “sarjana lain” dalam ketentuan ini adalah sarjana syariah dan sarjana ilmu kepolisian.” 6
Wahyu Widiana dan Rahmat Arijaya, Pengadilan Agama dan Peluang Sarjana Syari’ah, makalah, hlm. 14.
3
Syari’ah memikul tanggungjawab akademis yang berat ini dalam menyiapkan dan melahirkan Sarjana Syariah yang qualified: mulai dari perubahan mind set para pendidik, tenaga kependidikan, dan pimpinan; kurikulum yang adaptif; pengayaan-pengayaan
dengan
pelatihan,
pembibitan
dan
pembekalan
keterampilan-keterampilan yang mendukung ke arah profesionalitas lulusan. Berdasarkan peluang konstitusional ini maka para Sarjana Syariah memiliki peluang menempati profesi-profesi utama yang memang mempersyaratkan pendidikan tinggi di bidang hukum seperti hakim agung, hakim pengadilan agama, advokat, panitera pengganti dan jurusita, mediator di pengadilan agama, dan petugas posbakum (Pos Bantuan Hukum). Belum termasuk profesi-profesi “sampingan” seperti dosen, guru, dan lain-lain.
2. Peluang Modal Sosial (social capital) Tidak kalah pentingnya dalam membaca dan menangkap peluang yang ada adalah peluang modal sosial dan moral (social and modal capital) yang melekat di dalam modal lulusan (human capital) Sarjana Syari’ah. Human capital (modal manusia) menekankan segala sesuatunya lebih merujuk kepada dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Sementara modal sosial dalam bentuknya bisa berupa trust (kepercayaan), yaitu kepercayaan stakeholders kepada lulusan Fakultas Syari’ah di tengah karut-marut dunia hukum dan keadilan di Indonesia. Pengacara lulusan Fakultas Syari’ah, misalnya, akan menjadi alternatif sebagai Advokat yang lebih dipercaya dan dihormati oleh masyarakat, setelah sepak terjang oknum Advokat selama ini yang dianggap menyumbang kepada keterpurukan penegakan hukum di Indonesia.7 Modal sosial yang terlekat kepada gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dan Sarjana Hukum Islam (SHI) yang mengisyaratkan dimensi religius dan moralitas akan menjadi “amunisi” tambahan bagi lulusan Fakultas Syari’ah untuk lebih berperan setelah human capital dimiliki.
7
Wahyu Widiana dan Rahmat Arijaya, Pengadilan Agama dan Peluang Sarjana Syari’ah, makalah, hlm. 9.
4
Mengatasi Tantangan Tantangan global, regional, dan lokal yang dihadapi oleh lulusan Fakultas Syari’ah merupakan keniscayaan. Dalam konteks regional dengan berlakunya ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 sebagai bagian dari perwujudan ASEAN Community (Komunitas ASEAN) maka arus barang sumber daya manusia dari berbagai negara di kawasan ASEAN akan saling berdatangan. Dalam konteks lokal, persaingan antar lulusan perguruan tinggi tentunya semakin ketat, terlebih bahwa sarjana hukum juga memiliki kesempatan yang sama dengan sarjana syari’ah dalam bidang-bidang yang dianggap domain lulusan Fakultas Syariah. “Angin segar” berupa peluang-peluang yang dimiliki oleh Sarjana Syariah seyogyanya membuat mereka optimis dalam menghadapi tantangan yang akan dihadapi. Untuk menambah “amunisi” mengatasi tantangan tersebut, beberapa gagasan penulis usulkan: 1.
Sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan lulusan di bidang ilmu Syari’ah, Fakultas Syariah memang harus selalu membuat perbaikanperbaikan, baik yang terkait dengan peningkatan mutu SDM tenaga pendidik (dosen) dan tenaga kependidikan, kurikulum, dan pengayaan pelatihan soft skill, serta penguatan kerjasama:
2.
Seyogyanya sudah disiapkan long-term and gradual planning perbaikan mutu SDM yang nantinya pada satu titik, orientasi Fakultas Syariah tidak melulu ditujukan pada peningkatan prestasi pendidiknya saja (teaching staff-based achievement), namun juga berbasis pada prestasi peserta didik (mahasiswa) atau student-based achievement. Oleh karena itu, suatu saat Fakultas Syariah tidak hanya bangga dengan prestasi dosennya karena banyak meneliti, menulis di jurnal terakreditasi bahkan internasional, memperoleh fellowship di berbagai universitas kelas dunia, memperoleh paten dan HAKI, namun juga akan bangga dengan mahasiswanya yang banyak menulis, dan meneliti, serta juga akan bangga dengan alumninya yang banyak berprestasi.
3.
Meninjau kurikulum secara regular agar adaptif dan match dengan kebutuhan yang berkembang. Problem rendahnya daya saing lulusan Sarjana Syariah terhadap Sarjana Hukum dalam bidang perdata dan hukum acara yang selama 5
ini dikeluhkan bisa diatasi dengan memasukkan mata kuliah-mata kuliah yang tidak hanya kaya dengan nilai teoritis, tapi juga praktis. Praktikum membaca “kitab kuning” merupakan pembekalan keterampilan “eksklusif” yang tidak dimiliki oleh sarjana bidang hukum lainnya. 4.
Harus dimaklumi bahwa hard skill yang dikuasai, yang tidak lain merupakan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama kuliah juga harus diimbangi dengan pemberian soft skill, yang tidak lain merupakan kumpulan karakter kepribadian, ketrampilan yang menyangkut komunikasi, kerjasama, kreatifitas, prakarsa, etika, dan optimisme sebagai “nilai tambah” kepada peserta didik. Di samping harus disadari pula bahwa kesempatan berkarir di dunia kerja pada bidang profesi hukum terbatas, tidak sebanyak jumlah angkatan kerja yang lulus dari perguruan tinggi. Oleh karena itu, memiliki life skill, yang tidak lain adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan sangat penting dimiliki peserta didik sehingga mereka dapat hidup mandiri.
5.
Last but not least, kerjasama kelembagaan antara Fakultas Syariah dengan berbagai lembaga, khususnya lembaga-lembaga hukum dalam penguatan akademik dan keterampilan hukum, misalnya lewat kerjasama pemagangan mahasiswa dalam periode tertentu (apprenticeship) semakin memberi “nilai tambah.”
Penutup Dengan membaca dan memahami peluang-peluang: konstitusional dan modal sosial yang dimiliki oleh Sarjana Syariah, seharusnya mereka tidak perlu galau menghadapi tantangan-tantangan yang akan dihadapi, selama antisipasi terhadap tantangan-tantangan tersebut telah direncanakan dan diprogramkan dengan baik khususnya oleh Fakultas Syariah sebagai lembaga yang melahirkan Sarjana-sarjana Syariah yang memiliki kompetensi baik hard, soft atau life skill untuk memasuki dan berkompetisi di dunia kerja.
6