PENDIDIKAN USHUL FIQH (Suatu Metode Memahami Maksud Nas/Syari’ah) Oleh, Hamzah K*
Abstrak: Dalam memahami syari’at Islam terdapat bebagai macam cara, di antaranya menurut ulama Usul Fiqh ada dua cara, yaitu pertama, memahami syari’at Islam dari sumber aslinya (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.) Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman secara “lafziyah (teks)”. Yang kedua memahami syari’at Islam dengan menyandarkan permasalahan itu pada sumber asli (al-Qur’an dan Sunnah), pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman secara ma’nawiyyah, yang menuntut para pengkaji usul fiqh kemampuan penalaran dalam berpikir abstraktif dan kontemplatif untuk memahami maksud nas (syari’ah). Ini juga dilakukan dengan berijtihad, terutama jika tidak terdapat dalilnya secara harfiyah dalam sumber asli (alQur’an dan hadis Rasulullah saw.). Kata-Kata Kunci : Pendidikan Ushul Fiqh, Metode, Memahami
Maksud Nas/Syari’ah. Pendahuluan Syari’at Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta umatnya bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat kelak, demikian pula sebaliknya melarang manusia dari segala yang bisa membahayakan. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2):201 dalam bentuk doa, yaitu:
*
Hamzah K., Dosen tetap STAIN Palopo dan telah menyelesaikan studinya pada Program Pascasarjan Doktor (S3) di UIN Alauddin Makassar 2011
119
120
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Terjemahnya : Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Departemeb agama RI., 1984:49). Untuk mendapatkan hal tersebut, syari’at Islam harus dipahami dengan baik dan menyeluruh, agar dapat diamalkan secara baik dan sempurna. Dalam memahami syari’at Islam terdapat bebagai macam cara, di antaranya menurut ulama Usul Fiqh ada dua cara, yaitu pertama, memahami syari’at Islam dari sumber aslinya (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.) Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman secara “lafziyah (teks)”. Yang kedua memahami syari’at Islam dengan menyandarkan permasalahan itu pada sumber asli (al-Qur’an dan Sunnah), pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman secara ma’nawiyyah, yang menuntut para pengkaji usul fiqh kemampuan penalaran dalam berpikir abstraktif dan kontemplatif untuk memahami maksud nas (syari’ah). (Rachmat Syafe’I, 1999:6). Demikian juga yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Usul al-Fiqh bahwa cara memahami maksud hukum dari na¡ ada dua cara pendekatan, pertama, pendekatan ma’nawiyyah (thuruq Ma’nawiyyah), yaitu penarikan kesimpulan maksud nas (syari’at) bukan pada teks (lafaz) secara langsung, seperti qiyas, istihsan, istislah dan lailain sebagainya, yang kedua pendekatan lafziyah, penarikan kesimpulan makasud nas (syari’at) dengan pendekatan teks (lafaz) secara langsung (°uruq Lafziyyah). (Muhammad Abu Zahrah, 2000:116). Untuk memahami tujuan nas baik secara lafziyah maupun ma’nawiyah yang terkandung dalam nas perlu cara khusus untuk mengetahui atau memahaminya. Cara itu disebut dengan metode. Metodologi untuk memahami tujuan hukum-hukum na¡ (syari’at) tersebut dari petunjuk-petunjuknya disebut dengan Usu Fiqh. (Rachmat Syafe’I, 1999:5). Kedua metode ini dalam memahami maksud nas (syari’at) akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini untuk mengungkap rahasiarahasia tujuan hukum atau maqasid nas (syari’ah). A. Hakekat Memahami maqasid al-Nas atau maqasid syari’ah
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
121
Sebelum membahas tulisan ini, terlebih dahulu dipahami beberapa kata dianggap penting yang berhubungan dengan judul. Ini sangat penting agar lebih terarah pembahasan kita dalam makalah ini. Kata-kata yang dimaksud adalah sebagai berikut : ُ , kata ini berasal dari bahasa Arab yang merupakan Kata ط ُر ٌق َ yang artinya “jalan atau kaifiyat (cara-cara), bentuk jamak dari kata ط ِر ْيقَة selanjutnya kata tersebut sepadan dengan “metode” dalam bahasa Inggris, yakni methot. (Dede Rosada, 1999:14). Kata ْف ُ ت َ ْع ِريdari kata ف َ َع َرartinya “mengetahui atau memahami”. (Ahmad warson Munawir, 1997:919) Sedangka kata ْقاصد ِ ََ َمbentuk jamak dari ْصد َ َم ْقkata tersebut berakar dari kata د, ص,ق. Al-Qasdu menurut bahasa, memiliki beberapa arti, antara lain: meluruskan jalan (istiqamah al-thariq), keadilan (‘adl ), kesengajaan (i’timad ). (Abu al-Fadl Jamaluddin Ibn Mandzur (selanjutnya Ibn Mandzur), 1993:387). Kata Maqasid populer dalam bahas Indonesia dengan “maksud” yang berarti tujuan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988:549). Demikian pula dikemukakan oleh Abdul Azis Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa al-Maqasid jamak dari alMaksid yang berarti tujuan. (Abdul Azis Dahlan, 1996:1108). Tujuantujuan syari’at. Dalam ilmu Usul Fiqh, bahasan maqasid syari’at bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai perumusnya dalam mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menetapkan hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad. (Abdul Azis Dahlan, 1996), ا لنّصberarti lafaz yang zahir (jelas) atau tertulis. (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, 2003:1915). Sedangkan اصد ُ ا ِ ََمق َّ لjuga terdiri atas dua kata ْصد َّ الjalan ش ِر ْي َعة ِ َمقَاberarti tujuan dan kata ش ِر ْي َعة menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat dikatakan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan. (Ibnu Mansur al-Afriki, 2005:1). Kesamaan syari’at Islam dengan jalan menuju sumber mata air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syari’at ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan, tumbuhtumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syari’at sebagai penyebab kehidupan insani. (Amir Syarifuddin, 2008:1). Secara definisi bermacam-macam formulasi para ahli hukum, namun pada prinsipnya bahwa syari’at adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt. yang dijelaskan oleh rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia, dalam mencapai kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat kelak. (Suparman Usman, 2001:17).
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
122
Dari rumusandefinisi tersebut, maka syari’at dapat diidentikkan dengan agama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. al-Syura (42):13 Terjemahnya : Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Departemen Agama RI., 1984:785). Agama yang dimaksud pada ayat tersebut ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya. Maksud Nas pada ayat tersebut adalah agar manusia mendapatkan kehidupan yang bahagia dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian hati dan pikiran menjadi tenang dan tentram. Pada ayat yang lain disebutkan dalam QS. al-Jasiyah (45):18 Terjemahnya : Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Departemen Agama RI., 1984:817). Walaupun dalam syari’at diartikan dengan agama, tetapi kemudian dikhususkan untuk hukum amaliyah Pengkhususan ini membedakan antara agama dengan syari’at, karena pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syari’at berbeda antara satu umat dengan umat lainnya. (Fathurrahman Djamil, 1999:7-8).
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
123
Jadi hakekat memahami maqasid al-Nas atau maqasid al-Syari’ah adalah metode atau cara memahami tujuan Nas atau Syari’at dari sumber ajaran Islam baik yang tersurat maupun yang tersirat untuk mencapai kemaslamatan umat manusia dalam rangka mendapatkan kebahagiaan, ketenangan dan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Intinya maqasid Nas atau maqasiid syari’at adalah kemaslahatan dan kebahagian di dunia dan di akhirat. B. Syarat-syarat Memahami Maqasid al-Nas atau maqssid al-Syari’ah Seluruh ulama sepakat bahwa sumber pokok ajaran Islam adalah al-Qur’an. Untuk memahami konsep maqasid al-Nas atau maqasid syari’at yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid atau pakar/pemikir hukum Islam. Syarat-syarat memahami maqasid al-Nas atau maqasid syari’at minimal 4 (empat) syarat yang harus dimiliki, yaitu; memimliki pengetahuan bahasa, memiliki pengetahuan tentang Sunnah, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, (Asafri Jaya Bakri, 1996:2) dan menguasai kaidah-kaidah usuliyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyyah. 1. Pengetahuan tentang Bahasa Seorang mujtahid yang akan mengetahui kandungan isi al-Qur’an dan Hadis termasuk dalam memahami maqasid al-Nas atau maqasid syari’at, sangat diperlukan pengetahuan bahasa Arab. Sebab al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, seperti yang termaktub dalam QS. al-Suara (26):192, 193, 194, 195 Terjemahnya: Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. (Departemen Agama RI., 1984:587-588). Demikian pula ditegaskan dalam QS. Fu¡ilat (41):44
124
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Terjemahnya : Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orangorang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka, mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh". (Departemen Agama RI., 1984:779). Berdasarkan petunjuk nas tersebut, maka seseorang yang ingin mendalami kandungan al-Qur’an, dan terlebih khusus yang menyangkut tentang maqasid al-Nas harus memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Kemampuan pengetahuan bahasa Arab dalam memahami kandungan al-Qur’an, bagi al- Sythibi menjadi tolak ukur pemahaman syari’at itu sendiri. (Al-Sythibi, t.th.:119). Masalah yang muncul ialah apakah al-Qur’an dapat dipahami dengan terjemahan bahasa-bahasa selain dengan bahasa arab ? Menurut al-Syathibi dapat ditelusuri uraiannya tentang dalalah (penunjukan) suatu lafaz nas. Dalalah yang dimaksudkan adalah dapat dilihat dari dua segi, yaitu: pertama, lafaz dan ibarat yang menunjukkan kepada makna yang pokok (primer) (disebut dalalah asliyah); Kedua, Lafaz dan ibarat tidak menunjukkah kepada makna yang pasti, melainkan menunjukkan kepada makna tambahan, ini disebut dengan dalalah tabi’ah. (Al-Sythibi, t.th.:66). Seorang cendekiawan muslim berpendapat bahwa suatu terjemahan sudah dapat dipastikan tidak bisa mengganti kedudukan keaslian al-qur’an, dan jika diterjemahkan, maka hasilnya bukan al-Qur’an, melainkan terjemahan atau tafsir. (Nurcholis Majid, 1992:365). Karena al-Qur’an adalah bahasa Arab dalam usaha penggalian hukum yang dikandungnya, dan al-Qur’an juga mempunyai spesifikasi dalam bahasa Arab. Oleh karena itu syarat pertama yang harus dimiliki atau ditempuh untuk
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
125
memahami kandungan al-Qur’an adalah memahami dan mendalami pengetahuan bahasa Arab. 2. Menguasai tentang Hadis Hadis Nabi atau Sunnah Nabi merupakan sumber pokok ajaran Islam setelah al-Qur’an. (‘Abdu al-Halim Mahmud, 1967:26). Sunnah sangat penting dalam memahami maqasid al-Nas atau maqasid syari’at karena sunnah merupakan sumber dalam menentukan hukum. Menurut Mustafa al-Siba’i, fungsi Sunnah/Hadis dalam al-Qur’an, ada tiga fungsi utama, (Mustafa al-Siba’i, 1946:346), yaitu: Pertama, memperkuat hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an. Untuk menemukan hukum, alQur’an berfungsi sebagai penetap hukum (musbil), sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penguat terhadap ketetapan hukum al-Qur’an. Fungsi Sunnah sebagai penguat hukum al-Qur’an pada ketetapan hukum, erat kaitannya dengan perintah melaksanakan kewajiban, seperti mendirikan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan rama«an, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, larangan berzina, larangan pembunuhan dan lain-lain sebagainya. Kedua, Hadis berfungsi memberi keterangan, bayan, terhadap apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an, misalnya tentang pembagian warisan, tata cara manasik haji, hukum potong tangan, dan lain-lain. Ketiga, Hadis atau Sunnah berfungsi sebagai penetap atau pencipta hukum yang telah diatur dalam al-Qur’an, misalnya diharamkan memadu istri dengan saudara kandung istrinya. 3. Pengetahuan dengan Sebab-sebab Turunnya ayat Dalam memahami tujuan hukum atau maqasid al-Nas atau maqasid syari’at, diperlukan pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an sebagai dasar pokok hukum Islam. Hal ini sangat diperlukan, sebab al-Qur’an turun secara beransur-ansur, berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat di zaman Nabi saw. dengan mengetahui latar belakang peristiwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an akan lebih mudah memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang isi al-Qur’an. Latar belakang peristiwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an tersebut, akan memberikan bahan yang penting dalam usaha menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an itu. (Qamaruddin Saleh, t.th.:5). Adanya pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an, berarti dapat memberikan inspirasi baru tentang apa makna sesungguhnya diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Demikian pula dalam menafsirkan alQur’an tidak terlalu jauh dari makna hakikinya, atau mengurangi
126
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
pemahaman tentang tekstual saja, melainkan lebih memperluas pemahaman ayat-ayat al-Qur’an tentang kontekstual. Menurut al-Sythibi, pengetahuan tentang turunnya ayat-ayat alQur’an adalah mutlak diperlukan untuk memahami kandungan al-Qur’an itu sendiri. Karena sebab-sebab turunnya ayat tersebut merupakan faktor eksternal yang cukup menentukan maksud dan tujuan hukum yang dikandungnnya pada ayat al-Qur’an itu. (Al-Syathibi). Sedangkan menurut mufassir Syi’ah Murtada Mutahhari, mengetahui dan memahami sebab turunnya ayat al-Qur’an secara baik merupakan cara yang efektif dalam menjelaskan kandungan al-Qur’an. (Murtada Mutahhari, 1986:18). Al-Sabuni menjelaskan bahwa di antara faedah atau manfaat mengetahui sebab turunnya ayat al-Qur’an adalah dapat mengetahui hikmah dan rahasia diturunkannya syari’at terhadap ketetapan suatu hukum. (Abdurrahman al-Suyuti berpendapat bahwa tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, akan sulit untuk melakukan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an, bahkan tidak mungkin terhadap ayat-ayat tertentu. Dengan memahami turunnya ayat-ayat al-Qur’an dapat lebih mudah dan lebih cepat dipahami apa maksud atau tujuan diturunkannya alQur’an tersebut, demikian pula apa yang dikandungnya. Kesemuanya merupakan rangkaian atau sesuatu syarat yang bertalian dengan pemahaman tentang maqasid al-Nas atau maqasid syari’ah. 4. Memahami Kaidah Usuliyyah atau Kaidah Fiqhiyyah Kaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Kaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan. Oleh karena itu kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai kaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. (Rachmat Syafe’i, 1998:147). Demikian juga kaidah fiqhiyyah berfungsi sama dengan kaidah ushuliyyah. Kaidah fiqhiyyah ditumbuhkembangkan oleh para ulama ahli hukum untuk kepentingan pengembangan hukum dan pilihan hukum. Kaidah-kaidah fiqhiyyah itu mereka perlukan di dalam melakukan istinbath hukum, karena kaidah-kaidah tersebut merupakan instrumen (alat) di dalam proses menetapkan hukum. (Imam Musbikin, 2001:19-20). Dengan demikian kaidah-kaidah fiqhiyyah perlu dipelajari guna mengetahui prinsip-prinsip umum dalam melakukan istinbath hukum atas masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nas syari’ yang sangat
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
127
memerlukan ketetapan hukum. Orang tidak mudah menetapkan hukum terhadap problem baru dengan baik apabila dia tidak mengetahui kaidahkaidah fiqhiyyah, (Imam Musbikin, 2001). Ali Ahmad al-Nadwi berpendapat bahwa kaidah fiqhiyyah itu dapat mempermudah menguasai materi hukum, karena kaidah telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan, mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan ‘illat yang dikandungnya, membantu para ahli hukum melakukan analogi untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru, mepermudah memahami bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu, (Ali Ahmad al-Nadwi, 2002:28-29). Oleh karena itu baik kaidah ushuliyyah maupun kaidah fiqhiyyah sangat dibutuhkan dalam memahami tujuan hukum, baik dalam bentuk penggalian secara lafaz maupun makna atau maqasid al-Nas atau maqasid syari’ah. C. Metode Memahami Maqasid al-Nas atau Maqasid Syari’ah Metode memahami maqasid al-Nas atau Maqasid syari’at merupakan inti dalam mengetahui rahasia-rahasia hukum yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Metode memahami maqasid al-Nas (syari’at) terdapat berbagai macam cara, tetapi pada intinya ada dua garis besar, yaitu metode memahami maqasid al-Nas (syari’at) dengan melalui teks (lafaziyyah) dan metode memahami maqasid al-Nas (syari’at) dengan ma’nawiyyah. Kedua metode ini akan dikemukakan dalam makalah ini. 1. Metode Memahami Maqasid al-Nas (Syari’at) Secara Lafziyyah Untuk menggali hukum syari’at tidak terlepas dari pembahasan kebahasan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’at menyangkut lafaz. Sebenarnya lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingunkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya petunjuk (dilalah) lafaz-lafaz yang terdapat dalam na¡ beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas. (Rachmad Syafe’i, 2002:150). Jadi lafaz yang terdapat dalam nas ada yang jelas pengertiannya, mudah dipahami dan ada yang kurang jelas pengertiannya yang masih memerlukan penjelasan oleh para ahli hukum.
128
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
A. Lafaz yang jelas pengertiannya Para ulama berbeda pendapat dalam tingkatan lafaz dari segi kejelasan artinya. Dalam hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama dari ulama Hanafiyah dan kelompok kedua dari jumhur ulama yang dipelopori oleh Asy-Syafi’i. Pertama, Ulama Hanafiyah membagi lafaz dari segi kejelasan artinya ke dalam empat bagian, yaitu Zahir, nas, mufassar dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidak jelasan mereka membagi empat macam pula, yaitu khafa, musykil, mujmal dan mutasyabih. Kedua, Jumhur ulama yang dipelopori oleh Asy-Syafi’i membagi lafaz dari segi kejelasan artinya menjadi dua, yaitu zahir dan nas. Kedua bentuk lafaz ini disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidak jelasan artinya dibagi menjadi dua macam, yaitu mujmal dan mutasyabih. Kedua kelompok tersebut akan dijelaskan masing-masing di bawah ini: I. Kelompok pertama, ulama Hanafiyah yang membagi lafaz yang terang artinya kepada 4 (empat) bagian: 1. Zahir 2. Nas 3. Mufassar 4. Muhkam 1. AL-ZAH I R )(الظاهر Dalam memberikan definisi lafaz zahir terdapat rumusan yang berbeda dikalangan ulama usul di antaranya : Al-Sarakhsi secara sederhana memberikan definisi : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu”. (Abu Bakar al-Sarakhsi, 1971:164). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa zahir itu adalah karena penggunaan bahasa memang ditunjuk untuk itu. Contoh lafaz zahir, firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2):275 … … ... Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... (Departemen Agama RI., 1984:69). Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafaz itu sendiri tanpa
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
129
memerlukan qarinah lain. Masing-masing lafaz al-Bay dan al-Riba merupakan lafaz Amm yang mempunyai kemungkinan ditakhsis. Kedudukan lafaz Zahir wajib diamalkan sesuai petunjuk lafaz itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsis, yang men-takwil atau me-nasah-kan. (Rachmad Syafe’i, 2002:153). Contoh lain, yaitu firman Allah dalam QS. al-Hasyr (59):7 . . . ... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah… (Departemen Agama RI., 1984:916). Ayat di atas begitu jelas artinya, yaitu keharusan mentaati apa yang disuruh rasul baik mengenai apa yang diperintahkan dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang lebih mudah dipahami secara cepat (mudah). Namun maksud sebenarnya dari ayat tersebut adalah keharusan menerima apa-apa yang diberikan Nabi sehubungan dengan harta rampasan perang dan tidak menolak pemberian Rasul, serta menjauhi apa yang tidak disenangi Rasul. 2. AL-NAS )(ا لنّص Pengertian nas di sini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti al-Qur’an atau Hadis dan bukan pula nas dalam arti fiqh mazhab, yaitu qaul (pendapat) imam mujtahid yang dijadikan dasar berijtihad bagi pengikut ma©hab, tetapi kedudukan lafaz dan kejelasan artinya. Menurut bahasa, nas adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa rumusan para ulama di antaranya: Ulama Hanafiyah yang membedakan antara Zahir dengan nas, ia memberikan definisi terhadap nas sebagai berikut : Lafaz yang dengan sigatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa na¡ mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasannya, melainkan timbul dari pembicaraan sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah yang datang dari lafaz pembicara, dan tanpa qarinah tersebut, Lafaz tidak akan begitu jelas. Contoh lafaz nas QS. al-Nisa (4):3
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
130
. . . . . . Terjemahnya : . . . Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. . . (Departemen Agama RI., 1984:115). Ayat ini secara tegas membatasi perkawinan itu sampai empat orang. Dengan demikian perkawinan yang kelima sebagaimana dapat dilakukan dengan sendirinya batal. 3. MUFASSAR )(ا ْل ُمفَسَّر Mufassar adalah lafaz yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga tidak mungkin ditakwil atau ditahksis. Ditempatkannya al-Mufassar ini pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafaz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar di antaranya : Al-Uddah mendefinisikan : Suatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya. (Amir Syarifuddin). Umpamanya firman Allah dalam QS. al-Nur (24):4 ... Terjemahnya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera... (Departemen Agama RI., 1984:543). Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai, yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu. 4. LAFAZ MUHKAM Muhkam menurut bahasa diambil dari kata "Ahkam", yang berarti "Atqama", yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah adalah : "suatu lafaz yang dari sigatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
131
sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta'wil. Rachmat Syafe'i mengutip pendapat As-Sarakhsi : Muhkam itu menolak adanya pena'wilan dan adanya nasakh. (Rachmat Syafe'I, h. 157). Jadi muhkam adalah suatu lafaz yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan dita'wil, ditakh¡i¡ dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi saw. Lafaz muhkam berada pada tingkat paling atas dari segi kejelasan artinya, karena lafaz ini menunjukkan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak dalam ungkapan sipembicara. Lafaz muhkam apabila lafaznya "khas" tidak bisa dita'wil dengan arti lain. Dan apabila lafaznya "amm" tidak bisa ditakhsis dengan makna kha¡, karena maknanya sudah jelas dan tegas, tidak mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain. Umpamanya firman Allah dalam QS. alAhzab (33):53 Terjemahnya : Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. . . (Departemen Agama RI., 1984:677). Kata ( ا َبدًاselama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukkan bahwa tidak diterima atau haram mengawini janda Rasulullah untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut. II. Kelompok Kedua, Ulama Mutakallimin atau Jumhur Ulama yang dipelopori oleh Imam Syafi'i yang membagi lafaz yang terang artinya menjadi dua, yaitu Zahir dan nas Rachmad Syafe’i mengutip pendapat bahwa Imam Syafi'i sendiri tidak membedakan antara Zahir dengan nas, Baginya Zahir atau nas ini adalah dua nama (lafaz) untuk satu arti, seperti yang dikemukakan Abu Hasan al-Basri: "Nas menurut batasan Imam Syafi'i adalah suatu khitab yang dapat diketahui hukum yang dimaksudnya, baik diketahui dengan sendirinya atau melalui yang lain. Dan mujmal menurutnya disebut juga nas. Perkembangan selanjutnya setelah Imam Syafi'i nas dan Zahir ini dibedakan pengertian masing-masingnya, yaitu nas adalah suatu lafaz yang
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
132
tidak mempunyai kemungkinan untuk dita'wil, sedangkan Zahir mempunyai kemungkinan untuk dita'wil. Al-Ghazali juga membedakan definisi nas itu dengan ungkapan : Suatu lafaz yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan dita'wil, baik ta'wil dekat maupun ta'wil jauh. Dilalah na¡ wajib diamalkan secara pasti dan tidak boleh menyimpang dari dilalah na¡ tersebut, kecuali apabila ada masalah. Sedang hukum dilalah Zahir wajib diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali ada dalil yang memalingkannya. A. Lafaz yang Tidak Terang Artinya Ulama Hanafiyah membagi kepada empat macam tingkatan lafaz yang tidak terang artinya, yaitu khafi (tidak terang), musykil (lebih tidak terang), mujmal (sangat tidak terang), dan mutasyabih (paling tidak terang). Sedangkan ulama Syafi'iyyah (mutakallim) membaginya menjadi dua bagian, yaitu mujmal dan mutasyabih. Dibawah ini akan diuraikan kedua pendapat tersebut, yaitu : I. ULAMA HANAFIYAH Menurut ulama Hanafiyah lafaz yang tidak terang artinya ada empat macam, yaitu : 1. LAFAZ KH²F´ Lafaz khafi menurut bahasa adalah suatu lafaz yang tidak jelas atau tersembunyi; sedangkan menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Amir Syarifuddin memberikan definisi bahwa khafi adalah suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sigat lafaz. ( Amir Syarifuddin, 1999:13). Contoh lafaz khafi adalah lafaz ( السارقpencuri) dalam firman Allah QS. Al-Maidah (5): 38 ْ ق َوالس َِّارقَةُ َف ُ َوالس َِّار ... اق َطعُوا أ َ ْي ِد َي ُه َما Terjemahnya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya … (Departemen Agama RI., 1984:165). Lafaz ( السارقpencuri) itu sendiri sebenarnya cukup jelas yaitu orang yang mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
133
dengan sembunyi-sembunyi. (H.A.Muin et al., 1986:70). Akan tetapi, apabila pengertian ini diterapkan pada masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri kain kafan mayat dalam kuburan (nubasy), korupsi, perampok dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti di atas. apakah sanksi hukuman potong tangan diperlukan terhadap semua satuan arti itu. Di sinilah timbul kesamaran tersebut. 2. LAFAZ MUSYKIL Musykil ialah lafaz yang tidak terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan, untuk menjelaskan maksudnya harus dibantu. Arti yang dimaksudkan itu tidak mungkin diketahui kecuali dengan adanya dalildalil lain atau qarinah-qarinah lain yang menjelaskan maksudnya. (H.A.Muin et al., 1986). Sebab terjadinya musykil yaitu karena lafaz tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majaz, dan lafaz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan. Atau terjati pertentangan pemahamannya dengan pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan, kecuali dengan adanya dalildalil lain atau qarinah-qarinah yang menjelaskannya. Sebagai contoh lafaz musykil yang dapat dikemukakan di sini adalah lafaz ( قروءquru’’) dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 228. ُ ََو ْال ُم َطلَّق ات َيت َ َربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُس ِِه َّن ثَالَثَةَ قُ ُروء “Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ …”.(Departemen Agama RI, 1984:55.) Lafaz قُ ُروءadalah musykil, karena mempunyai dua arti, yaitu “suci” dan “haid”. Dan dari sinlah timbul ketidakterangan arti yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut apakah masa iddah wanita yang ditalak itu tiga kali suci ataukah tiga kali haid. (H. A. Mu’in, 1986:72). Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafaz tersebut termasuk secara pasti diperlukan adanya qarinah yang akan menjelaskannya. Kelihatannya ulama mengemukakan dalil atau qarinah yang berbeda, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda. 3. LAFAZ MUJMAL Lafaz mujmal ini lebih samar (tidak terang) dibandingkan dengan lafaz sebelumnya karena dari segi sigatnya sendiri ia tidak menunjukkan arti yang dimaksud, tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat membawa kepada maksudnya, tidak mungkin pula dapat dipahami arti
134
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari syar’i (pembuat hukum) sendiri (dalam hal ini Nabi). Mujmal dari segi bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafaz yang tidak bisa dipahami, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal (syar’i). Ketidakjelasan lafaz mujmal itu disebabkan dari lafaz itu sendiri, bukan dari faktor luar, seperti lafaz-lafaz yang dinukilkan oleh syari’ dari arti kata (lughawi) dan dialihkan menjadi istilah teknis hukum. Umpamanya lafaz salat, zakat, siyam, haji, riba dan sebagainya. Lafazlafaz tersebut sebenarnya lafaz yang dipakai dalam bahasa Arab secara arti kata, namun yang dimaksud oleh nabi sebagai pembuat hukum menurut apa yang dipahami oleh orang Arab dalam bahasa sehari-sehari. Untuk itu nabi memberi penjelasan dengan Sunnahnya. Seperti lafaz salat pada contoh di atas (QS. Al-Baqarah (2):43) menurut bahasa berarti “doa”, tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah saw. sebagaimana dalam sabdanya: رواه البخارى. صلوا كما رأيتمونى اصلى Artinya: Salatlah seperti kamu lihat aku melakukan shalat. Perbedaan antara lafaz mujmal dengan khafi³ dan musykil adalah lafaz mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya sematamata mengandalkan dari melihat pada lafaznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula dengan semata-mata pada penalaran dan penafsiran lafaz sebagaimana berlaku pada musykil. Untuk memahami secara baik maksud lafaz mujmal menurut bentuknya yang berbeda harus merujuk pada penjelasan resmi dari Nabi yang menjelaskan arti dan rinciannya. (Amir Syarifuddin, 1999:20) Tentang bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafaz mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari nabi menjadi “mufassar” sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis. 4. LAFAZ MUTASY²BIH Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan atau simpang siur. (Abu Bakar as-Sarakhsi, 169). Amir Syarifuddin mengemukakan bahwa lafaz mutasyabih menurut bahasa adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. (Amir Syarifuddin, 1999:21).
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
135
Lafaz mutasyabih menurut istilah yaitu: Lafaz yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafaz itu sendiri dan tidak terdapat qarinah yang menjelaskannya. (Kamal Muchtar, h. 82). Sebagian ulama berpendapat bahwa lafaz mutasyabih adalah suatu lafaz yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara’, baik al-Qur'an mampun Sunnah, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuannya. (Abu Bakar as-Sarakhsi, h. 169). Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya. (Amir Syarifuddin, 1999:21). Lafaz mutasyabih adalah suatu lafaz yang mempunyai beberapa kemungkinan artinya dan simpangsiur antara dua arti atau lebih. (Rachmat Syafe’i, 2002:167). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lafaz mutasyabih adalah suatu lafaz yang dari sigatnya itu sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang menjelaskan maksudnya, tidak ada pula penjelasan dari al-Qur'an dan sunnah Nabi saw. akal (daya nalar) manusia tidak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya menyerahkan kepada Allah swt. Mutasyabih itu ada dua bentuk: 1. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surah dalam al-Qur'an seperti (QS. Al-Baqarah (2):1, (QS. Qaaf (50):1, (QS. Al-Jasiyah (45):1, (QS. AlQashash (28):1 dan lain-lain sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafaznya. Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. sendiri tidak pernah menjelaskannya sehingga setiap membaca hanya akan mengatakan ( وهللا اعلمhanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya). (Amir Syarifuddin, 1999:21-22). Demikian juga para salaf dari golongan sahabat dan tabi’in serta dari ma§hab Ahli Sunnah wal Jamaah dari ulama ilmu kalam menyerahkan kepada Allah swt. apa maksud yang terkandung di dalamnya. (H. A. Mu’in, et.al., h. 78). 2. Ayat-ayat yang menurut zahirnya mempersamakan Allah Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
136
menurut arti lugawinya karena Allah swt. Maha Suci dari pengertian yang demikian contohnya firman Allah QS. Al-Fath (48):10. Arti lughawi ayat tersebut : “… Tangan Allah di atas tangan mereka…”. (Departemen Agama RI., 1984:838). Juga firman Allah swt. dalam QS. Al-Rahman (55):27. Arti lughawi ayat tersebut : “Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu yang Maha Besar dan Maha Mulia”. (Departemen Agama RI., 1984:886) Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasy±bihat dalam bentuk kedua ini, dalam arti bahwa ayat-ayat yang zahirnya menyamakan Allah dengan sifat-sifat yang terdapat pada manusia adalah termasuk dalam ayat-ayat mutasyabihat. Meskipun tidak mungkin mengetahui artinya, namun mereka berusaha untuk sampai pada maksudnya dengan cara menta’wilkan atau memalingkan arti ayat dari makna zahirnya kepada makna lain yang menghindarkan diri menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ini adalah pendapat ulama khalaf. (Amir Syarifuddin, 1999:23). Umpamanya, mereka menta’wilkan lafaz : yang arti zahirnya berarti “muka Tuhanmu” menjadi “zat Tuhanmu” seperti yang terdapat dalam QS. Al-Rahman (55):27 yang telah disebutkan di atas. Demikian pula kata يدzahirnya berarti “tangan” menjadi ( القدرةkekuasaan). (Kamal Muchtar, h. 83). 1. ULAMA SYAFI’IYYAH (MUTAKALLIMIN) Golongan Syafi’iyyah (mutakallimin) tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafaz dari segi ketidakjelasannya. Namun, dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafaz ini dalam dua bagian, yaitu mujmal dan mutasyabih. Merekapun berbeda-beda dalam memberikan definisi masing-masing kedua istilah tersebut, namun secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafaz yang menunjukkan makna yang dimaksud, tetapi petunjuknya tidak jelas. seperti dalam QS. Al-Baqarah (2):43.
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
137
“Dan Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat …” (Departemen Agama RI., 1984:16) Lafaz salat dan zakat di sini adalah mujmal sehingga memerlukan penjabaran yang lebih jelas. sebagian mereka ada yang menyamakan lafaz mutasyabih dengan mujmal, yaitu suatu lafaz yang tidak jelas maknanya. Dan ada pula yang membedakan antara mujmal dan muawwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal dengan mu’awwal terletak pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud pada lafaz mu’awwal adalah lemah (marjuh), sedangkan makna yang terdapat pada lafaz mujmal adalah kuat (rajih). (Jalaluddin Abd. Rahim al-Asnawi, t.th.:61). Berdasarkan uraian di atas, maka makna yang terdapat pada lafaz mutasyabih adalah lemah (marjuh). Lafaz mutasyabih itu tidak mempunyai makna yang kuat. Dari aspek ini, lafaz mutasyabih sama dengan mu’awwal atau mempunyai makna yang sama dari berbagai makna, sehingga dari aspek ini ia termasuk lafaz mujmal. Oleh karena itu, mutasyabih lebih umum dari lafaz mujmal dan muawwal. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode lafziyah dalam memahami maqasid al-Nas (syari’ah) pada garis besarnya ada dua, ada yang jelas pengertiannya sehingga dengan sendirinya mudah dipahami maksud hukum yang terkandung di dalamnya, dan ada yang tidak jelas pengertiannya, sehingga susah dipahami, ini terdapat dua macam, yaitu ada yang sama sekali tidak bisa dipahami, dengan kata lain hanya Allah saja yang mengetahui, seperti huruf hijaiyah pada awal surah dan ada bisa dipahami dengan memalingkan makna dari pengertian aslinya, seperti kata “tangan” yang diartikan dengan kekuasaan. II. Metode Memahami Maqasid al-Nas (Syari’ah) Secara Ma’nawiyah Memahami maqasid al-Nas (syari’at) secara ma’nawiyyah, berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang menitikberatkan pada penemuan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui ma’nawiyyah kajian lebih dititikberatkan dengan melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif (pembebanan hukum) yang diturunkan Allah. Pendekatan dalam bentuk ini penting dilakukan, terutama sekali karena ayat-ayat hukum dalam alQur’an terbatas jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul. Dalam berbagai permasalahan yang muncul itu, melalui
138
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan dapat dilakukan. (Imam Syaukani,2006:46-47). Ulama usul fiqh sepakat menyatakan bahwa pada setiap hukum terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah swt. baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh sebab itu, setiap mujtahid dalam meng-intinbath-kan hukum (menyimpulkan) hukum dari suatu kasus yang sedang dihadapi, harus berpatokan kepada tujuan-tujuan syara’ dalam mengsyaria’tkan hukum, sehingga hukum yang akan ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama usul fiqh dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh syara’, yaitu kemaslahatan umat manusia. Di antaranya adalah firman Allah dalamQS. Al-Nisa (4):165 Terjemahnya : (Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Departemen Agama RI., 1984:151). Kandungan ayat ini menurut ulama usul fiqh, menunjukkan bahwa Allah swt. dalam menentukan hukum-hukum-Nya senantiasa menghendaki sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia. maka ia akan merugi. Inilah makna yang terkandung dari diutusnya para rasul bagi umat manusia. (Abdul Azis Dahlan, h. 1108-1109). Maksud dan tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasus-kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh al-Qur’an dan Hadis. Lebih dari itu, tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan ketentuan hukum, atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian, pengetahuan tentang maqasid al-Nas (syari’ah) menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam proses berijtihad.
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
139
Tujuan syari’at mencakup tiga dimensi maqasid. Maqasid yang dimaksud itu meliputi tiga hal utama: daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. (Abdul Manan, 2006:108). Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala perioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya apabila kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat satu sama lain berebut posisi. Secara konseptual, peringkat daruriyat menempati urutan pertama, kemudian hajiyat dan terakhir tahsiniyat. Bagian pertama ini dinamai daruriyat berarti kebutuhan mendesak dan memaksa untuk harus dipenuhi, karena dengan unsur-unsur yang ada padanya dapat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat, sehingga apabila terlalaikan, hidup manusia di dunia akan sengsara (terjadi ketimpangan karena menyalahi norma-norma agama) serta kenikmatan yang akan diperoleh di akhirat akan sirnah. Hal tersebut dinyatakan oleh al-Sythibi dengan ungkapan: “Hal yang sifatnya daruriyat harus diwujudkan dalam rangka mencapai kemaslahatan agama dan dunia, karena jika hilang maka kemaslahatan dunia tidak terealisasi dengan benar dan di akhirat hilangnya kebahagiaan”. (Abu Ishaq alSyathibi, t.th.:4). Bagian kedua adalah hajiyat yang keberadaannya dibutuhkan untuk melapangkan dan membuka (ruang) sempit yang biasanya membawa kepada kesengsaraan dan kesulitan. Untuk mengejawantahkan kemaslahatan yang demikian itu, maka disyariatkan beberapa rukhsah untuk menjamin kelonggaran pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang sudah disyari’atkan dalam keadaan tertentu, agar dapat menghindarkan kesulitankesulitan. Apabila dikaitkan dengan konsep daruriyat yang pertama di atas, jika hajiyat tidak terealisasi secara benar, akan terdapat khesulitan. Adapun jika daruriyat tidak terealisasi, akan terjadi ketimpangan dan kemalaratan. Tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna atau pelengkap yang bersifat pemolesan dan penghias. Ini berlaku pada berbagai aspek, termasuk anjuran untuk berprilaku mulia dan menjauhkan diri dari segala hal yang dianggap nista menurut ukuran fitrah dan akal sehat manusia. Diungkapkan oleh Syatibi: “mengambil apa yang layak dari kebiasaan yang baik dan meninggalkan keadaan yang buruk dicela akal sehat”. Usur-unsur yang menjadi acuan maqasid al-Nas (syari’ah) secara hierarkis diurut sebagai berikut : a) memelihara agama; b) memelihara jiwa; c) memelihara akal; d) memelihara keturunan; e) memelihara harta. (Ali Hasbullah, 1982:334).
140
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Kemaslahatan dunia dan akhirat bersumber pada lima di atas, diurut secara kronologis menurut skala perioritasnya. Dimulai dari agama karena tanpa agama, tidak ada optimisme dan pengharapan balasan atas amalan yang dilakukan. Dengan norma-norma agama, cara hidup manusia akan berbeda dengan kehidupan binatang. Menjaga kehidupan, karena tanpa kehidupan tidak ada penganut agama. Adalah perintah Tuhan agar tidak menempuh jalan pintas dengan jalan apa pun untuk mengakhiri hidup. Keharusan menjaga akal, sebab tanpa akal, hidup manusia tidak punya nilai dan arti, dan akhirnya juga tidak mampu menjalankan agama secara benar. Wajib memelihara keturunan, karena dengan itu manusia tetap lestari secara alami dan sah sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dan yang terakhir dengan menjaga harta, manusia bisa menikmati hidup di dunia. Prinsip daruriyat mengandung sebuah kepastian kebahagiaan dan ketentraman, karena itu dapat diabaikan. Bahkan, kesalahan apa pun yang mempengaruhi kategori daruriyat ini akan menghasilkan berbagai konsekuensi yang berada jauh dari kelima komponen universal di atas. Memelihara komponen ini dapat ditempuh dengan dua cara: pertama, mewujudkan segala yang dapat mendukungnya (janib al-Wujud), dan kedua, meninggalkan segala yang dapat merusaknya (janib al-‘Adam). Ketiga, syari’at memerintahkan untuk menjaga kelestarian agama, Tuhan mewajibkan kepada hamba-Nya untuk merealisasikan rukun-rukun Islam, di sisi lain diperintahkan jihad sebagai antisipasi akibat yang muncul dari pihak-pihak yang ingin merusak kelestariannya termasuk dikenakan sanksi bagi orang murtad. (Wahbah al-Zuhaili,1986:1021). Dua kategori lainnya, hajiyat dan tahsiniyat secara struktural tunduk, dan secara substantif merupakan pelengkap dari daruriyat. Hal apa pun yang mengganggu tahsiniyat akan mempengaruhi pada hajiyat. Hal yang sama berlaku bagi hubungan antara hajiyat dengan daruriyat, hal yang mengganggu hajiyat akan berpengaruh pada daruriyat. Sejalan dengan itu, maka memperhatikan ketiga kategori tersebut berdasarkan urutan kepentingan adalah hal yang sangat urgen demi terwujudnya integritas dan tujuan berlakunya hukum. (Wael Hallaq, 2000:250). Menurut Al-Syathibi, untuk memahimi tujuan-tujuan syara’ maqasid al-Nas (syari’ah) para mujtahid perlu memahami hal-hal sebagai berikut:
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
141
1. Melakukan Analisis terhadap lafaz perintah dan Larangan Cara ini adalah melakukan penelaahan pada lafaz al-Amr (perintah) dan lafaz al-Nahyi (larangan) yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis secara jelas sebelum dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya, kembali kepada makna perintah dan larangan secara hakiki. Dalam konteks ini suatu perintah kata al-Syathibi harus dipahami menghendaki suatu yang diperintahkan itu dapat diwujudkan atau dilakukan. Perwujudan isi dari perintah itu menjadi tujuan yang dikehendaki oleh Syari’ (Tuhan). Demikian pula halnya larangan, juga dapat dipahami, menghendaki suatu perbuatan yang dilarang itu harus ditinggalkan. Keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang merupakan tujuan yang dikehendaki oleh Tuhan. (Al-Syathibi, t.th.:393). Penekanan dengan lafaz perintah dan larangan yang tidak terkait dengan masalah-masalah lain adalah untuk dapat membedakan yang mana merupakan merintah, dan yang mana merupakan larangan yang mengandung unsur tujuan yang lain. Misalnya dalam QS. al-Jum’ah (62):9 Terjemahnya Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (Departemen Agama RI., 1984:933). Maksudnya: apabila imam Telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya, termasuk jual beli. Ayat ... ( … فا سعوا ا لى ذ كر هللا وذروا ا لبيعBersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli, mengandung perintah yakni segera mengingat Allah (menunaikan salat Jum’at), dan jual beli bukanlah suatu larangan yang berdiri sendiri tetapi hanya tujuan menguatkan perintah untuk melaksanakan salat jumat. Hukum jual beli bukanlah merupakan suatu hukum asal yang dilarang dan berdiri sendiri, tetapi ia merupakan hukum tambahan sekaligus menguatkan hukum asalnya, yakni melaksanakan perintah untuk segera menunaikan salat jumat.
142
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tidak terdapat maqasid alNas (syari’ah) yang hakiki dari teks pelarangan jual beli itu. Maksud dari ayat tesebut adalah bahwa jual beli secara hakiki tidak dilarang, tetapi bentuk semacam ini merupakan analis lafaz dalam menelaah maqasid alNas (syari’ah). Bentuk analisis perintah dan larangan pada ayat tersebut merupakan sikap kehati-hatian dalam upaya melakukan pemahaman metode tentang maqasid al-Nas (syari’at) yang lebih tepat. Dengan demikian maqasid al-Nas (syari’at) benar-benar dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan dan pengembangan hukum, khususnya hukum Islam sebagai hukum yang bersumber dari wahyu. 2. Melakukan telaah ‘illah al-Amar (perintah) dan al-Nahyi (larangan) Pemahaman maqasid al-Nas (syari’at) dapat pula dilakukan melalui analisis ‘illah hukum yang terdapat dalam ayat al-Qur’an atau Hadis. ‘Illah ukum itu adakalanya tertulis secara jelas dan adakalanya tidak tertulis secara jelas. Apabila ‘illah itu tertulis secara jelas dalam ayat atau Hadis, maka menurut al-Syathibi harus mengikuti apa yang tertulis itu. Karena dengan mengikuti yang tertulis itu, tujuan hukum dalam perintah dan larangan itu dapat dicapai. Sebagai contoh ‘illah yang tertulis secara jelas, menurut al-Syathibi dapat dilihat dalam pensyariatan nikah yang bertujuan melestarikan keturunan, jual beli yang bertujuan saling mendapatkan manfaat dan hudud untuk memelihara jiwa. Sehingga berlaku kaidah bahwa “hukum itu ditentukan tergantung pada ada atau tidaknya ‘illat hukum tersebut. Jika ada ‘illat, maka hukum pun ada, dan jika ‘illatnya hilang, maka hukum pun hilang. (Abdul Azis Dahlan., h. 1111). Dengan demikian hukum itu tergantung pada roh tasyri’ (hukum) atau asrar asy-syari’ahnya, tidak semata-mata bergantung kepada bentuk hsrfiahnya. 3. Melakukan Analisis terhadap Sikap Diam al-Syari’ dari Pensyari’atan Sesuatu Metode yang digunakan al-Syathibi, dalam memahami maqasid alNas (syari’at) dalam pengembangan hukum Islam adalah melakukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut oleh syari’. Permasalahan hukum tersebut pada hakikatnya sangat berdampak positif dalam kehidupan.
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
143
Sikap diam al-Syari’ disebut al-Sukut ‘an Syar’iyyah al-‘Amal dibagi oleh al-Syathibi kedalam dua macam. Pertama al-Sukut karena tidak ada motif dan al-Sukut karena ada motif. a. Al-sukut karena tidak ada motif Sikap diam al-Syari’ dalam kaitan ini disebabkan oleh tidak ada motif atau tidak terdapat faktor pendorong al-Syari’ untuk memberikan ketetapan hukum. Akan tetapi pada rentang berikutnya dapat dirasakan manusia bahwa ketetapan hukum tersebut membawa dampak positif. Sebagai contoh, di zaman Nabi saw. tidak ada Nas yang memerintahkan menulis dan mengumpulkan al-Qur’an. Di masa Nabi tidak terdapat kebutuhan atau tidak ada faktor pendorong yang mengharuskan pengumpulan al-Qur’an. Pengumpulan al-Qur’an dilakukan setelah Nabi oleh para sahabat, karena pada masa itu muncul adanya kebutuhan yang mengharuskannya, yakni keraguan hapalan itu menjadi lenyap dengan meninggalnya para sahabat yang menghapal al-Qur’an. Atas dasar itu, sikap diam Nabi pada masanya, dapat dipahami bahwa pengumpulan mushaf tersebut tidak dilarang bahkan sangat diperlukan apabila terdapat motif atau faktor pendorong yang mengharuskan pengumpulan itu. b. Al-Sukut karena ada motif Al-Sukut (diam) karena ada motif ialah sikap diam al-Syari’ terhadap suatu persoalan hukum, walaupun pada dasarnya ada faktor atau motif yang mengharuskan al-Syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu munculnya persoalan hukum tersebut. Sikap ini menurut al-Syathibi, harus dipahami bahwa keberlakuan suatu hukum harus seperti apa adanya. Artinya tanpa melakukan penambahan dan pengurangan terhadap apa yang telah ditetapkan. Apa yang telah ditetapkan itulah yang diinginkan oleh al-Syari’ atau dapat disebut sebagai maqasid al-Nas (syari’at). Penambahan terhadap hukum yang telah ditetapkan dapat dianggap bid’ah dan bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh al-Syari’. Contoh yang dikemukakan oleh al-Syathibi adalah tidak disyariatkannya sujud syukur dalam mazhab Maliki. Tidak disyariatkannya sujud syukur ini, karena di satu pihak tidak dilakukan oleh Nabi di masanya, sedangkan di pihak lain motif atau faktor untuk melakukan hal itu seperti realisasi rasa syukur terhadap nikmat senantiasa tak terpisahkan dari kehidupan manusia, kapan dan dimanapun dia berada. Dengan
144
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
demikian, sikap diam atau tidak melakukan sujud syukur oleh Nabi pada masanya mengandung maqasid al-Nas (syari’at) bahwa sujud syukur memang tidak dianjurkan. Konsekuensinya ialah seperti apa yang dikatakan oleh al-Syathibi di atas bahwa pensyariatan yang dilakukan kemudian dapat disebut sebagai tambahan yang cendrung dianggap sebagai bid’ah. Dari uraian tentang metode pemahaman maqasid al-Nas (syari’at) yang telah diuraikan di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa metode pertama analisis lafaz perintah dan larangan lebih banyak ditujuakan pada masalah-masalah ibadah, cara kedua, analisis ‘illat al-Amr dan al-Nahyi ditujukan kepada masalah-masalah muamalah dan cara ketiga, al-Sukut ‘an Syar’iyyah al-Amal yang memiliki objek ganda; muamalah dan ibadah. Metode ini dikembangkan al-Syathibi bertolak dari kesimpulannya terhadap kandungan nas-nas yang mengandung prinsip-prinsip umum tentang hakikat dan tujuan disyariatkannya hukum. III. P e n u t u p A. Kesimpulan Dari uraia-uraian yang telah dikemukakan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tujuan pokok atau hakikat dalam metode memahami maqasid alNas (syari’at) baik secara tersurat (lafaz) maupun tersirat (ma’nawi) adalah agar hukum dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan sempurna, agar subjek dan objek hukum dapat mendapatkan kebahagiaan, ketenangan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. 2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam memahami maqasid alNas (syari’at) dengan baik dan sempurna; minimal memiliki empat syarat (1) menguasai bahasa Arab (2) menguasai Hadis Nabi saw. (3) memiliki pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan (4) memiliki pengetahuan kaidah-kaidah usuliyyah atau kaidah-kaidah fiqhiyah. 3. Para ahli hukum Islam atau para Fuqaha dalam metode memahami maqasid al-Nas (syari’at) pada garis besarnya ada dua; metode memahami maqasid al-Nas (syari’at) dengan menggunakan metode lafziyah dan metode ma’nawiyyah. Cara memahami maqasid al-Nas (syari’at) dengan metode lafziyyah berkisar pada lafaz dari segi kejelasan dan ketidak jelasan maknanya. Sementara memahami maqasid al-Nas (syari’at) dengan metode ma’nawiyyah para ahli hukum (mujtahid) lebih banyak
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
145
melihat rahasia-rahasia hukum dibalik dari teks (lafaz) atau hal-hal yang tidak terdapat secara harfiah dalam teks (lafas). Ini memerlukan ijtihad yang mendalam. Menurut al-Syathibi ada tiga hal pokok harus dipahami dalam memahami maqasid al-Nas (syari’at) seperti ini; (1) melakukakan analisis lafaz alAmr (perintah) dan al-Nahyi (larangan) untuk masalah ibadah; (2) melakukan analisis ‘illat al-Amr (perintah) dan al-Nahyi (larangan) khusus untuk masalah muamalah; (3) sikap diam al-Nas tersebut memiliki objek ganda, yaitu bidang muamalah dan ibadah. Cara ketiga ini dikembangkan dengan bertolak dari nas-nas yang mengandung prinsip-prinsip umum tentang hakikat dan tujuan disyariatkannya hukum. B. Implikasi Hukum Islam dapat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, apabila teori maqasid al-Nas (syari’at) dipertajam dan diterapkan oleh para ahli pada setiap kasus-kasus hukum yang muncul ditengah-ditengah dinamika kemajuan masyarakat, akibat kemajuan yang ditimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Daftar Rujukan Abu Zahrah, Muhammad. 2000. “USUl al-Fiqh”. Dterjemahkan oleh Saefullah Ma’sum et al., dengan judul USUl Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. Abd. Haq Ansari, Muhammad. 1990. “Sufism and Syari’ah: A Study of Syaikh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism”. Diterjemahkan oleh Achmad Nashir Budiman dengan judul Antara Sufisme dan Syari’ah. Cet. I; Jakarta: Rajawali. Abd. Rahim al-Asnawi, Jalaluddin. T.th. Nihayah al-Sul Syarh Minhaj AlWus-l. Kairo: Muhammad Ali Subaith. Ahmad, Arifuddin. 2005. Paradigma Baru: Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan. Ali, Atabik dan Zuhdi. 2003. Ahmad. Kamus Kontemporer ArabIndonesia. Yogyakarta: Multi Karya Garafika. al-Afriki, Ibnu Mansur. T.th. Lisan al-‘Arab. Jilid VIII. Beirut Dar al-Sadr.
146
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep maqasid Syari’ah Menurut al-Syathibi. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dahlan. Abdul Azis. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Ictiar Baru Van Houve. Departemen Agama RI. 1984. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djazuli. H.A. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Cet. V; Jakarta: Kencana. Djamil, Fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: Logos wacana Ilmu. Efendi, Satria. 1991. Maqasid Syari’at dan Perubahan Sosial. Dimuat dalam dialog. Badan Litbang-depag, No. 33 tahun XV, Januari. Hasbullah, Ali.1982. Usul al-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar Fikr al-‘Arabi. Hallaq, Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Jamaluddin Ibn Mandzur, Abu al-Fa«l. (selanjutnya Ibn Mandzur). 1993. Lisan al- Lisan al-‘Arab. Juz II. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al‘I’miyah. Mahmud, ‘Abdul al-Halim. 1967. al-Sunnah fi Makamatiha wa fi Tai³khiha. Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabi. Majid, Nurcholis. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban: “Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan“. Jakarta: Yayasan Paramadina. Manan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Mutahhari, Murtada. 1986. Memahami al-Qur’an. Jakarta: t.p. Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id al-Fiqhiyyah. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
147
Muin, H. A. et.al. 1986. Usul Fiqh. Jilid II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembina Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. al-Nadwi, Ali Ahmad. 1994. al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: Mafh-muha, Nasy’atuha, Tathwuruha, Dirasah Mu’alifatuha, Adillatuha, Mubimmatuha, Tathbiqatuha. Damaskus: Dar al-Qalam. Rosada, Dede. 1999. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Cet. I; Jakarta: Logos. Syafe’i, Rachmat. 1999. Islmu Usul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia. Syarifuddin, Amir. 2008. Usul Fiq. Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu. al-Syathibi, Abu Ishaq, (selanjutnya al-Syathibi). T.th. al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, juz 2. Beirut: Dar al-Ma’rifah. --------. T.th. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’at. Juz IV. Beirut: Dar alMa’rifat. al-Siba’i, Mustafa. 1946. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Syari’ah alIslami. T.tp.:Dar al-Qaumiyyah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr. Saleh, Qamaruddin. t.th. Asbabun Nuzul. “Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an”. Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro. al-Suyuti, Abdurrahman. 1974. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: t.p. al-Sarakhsi, Abu Bakar. 1971. Usul al-Syarakhsyi. Beirut: Dar al-Ma’arif. Syaukani, Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia: dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama. Weher, Hans. 1980. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: Mac Donald dan Evan Ltd. al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami. Juz 2. Damaskus: Dar al-Fikr.
148
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011