KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM (Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
Mohammad Fadloly NIM: 105045201525
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/ 2011 M
KATA PENGANTAR
Hamdan Lillah, penulis panjatkan, karena hanya atas rahmat dan inayah Allah SWT penulisan skripsi yang berjudul: “Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam (Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)” dapat penulis selesaikan. Shalawat beserta salam, semoga Allah SWT senantiasa limpahkan kepada Baginda Rasul Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta sampai kepada kita semua selaku umatnya. Amiin. Melalui sebuah proses panjang dan pergulatan bathin yang multidimensi, penulisan skripsi ini dapat selesai. Tentu dalam proses tersebut banyak pihak yang senatiasa memberikan direct motivation and indirect motivation. Secara spesial penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Nahrowi, SH, MH, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku pembimbing skripsi ini atas segala waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis . Selanjutnya penulis juga menyampaikan terimakasih, dedikasi, apresiasi positif dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bersedia membantu dalam penyusunan skripsi ini sehingga selesai pada waktunya. Sungguh bantuan semua pihak bagi penulis merupakan sebuah amal jariyah, jazaa kumullah ahsanal jazaa. Secara khusus penulis sampaikan kepada :
1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
2.
Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
3.
Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Bapak Afwan Faizin, MA.
4.
Prof. Dr. Hj. Amany B. Umar Lubis, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan masukan dan motivasi kepada Penulis dalam pengajuan skripsi ini.
5.
Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta yang telah mendidik penulis selama menempuh pendidikan strata satu.
6.
Seluruh Pegawai dan Karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, atas segala pelayanan kemahasiswaan yang diberikan.
7.
KH. Moh. Yasin Husen yang mengajari penulis dari alif- ba- ta sampai sekarang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat.
8.
Kedua orang tuaku Ayahanda Taslim dan Ibunda Watinih yang selalu sabar, ikhlas dan disetiap hembusan nafasnya adalah ketulusan menyayangi dan mendoa’akan penulis
sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan Strata Satu. Satu hal yang tak pernah Penulis lupakan dari beliau adalah kesabaran dalam setiap tempaan kehidupan. Insya Allah itu yang melandasi penulis dalam mewarnai hidup ini.
9.
Mahbubah Yayah Komariyah, AMd OT. yang telah memberikan dukungan sepenuh hati, mendampingi penulis saat suka maupun duka, tak pernah lelah memberikan support sehingga penulis menemukan inspirasi dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Syukur pada-Mu ya Allah SWT, atas angugerah “bidadari” sebaik dirinya.
10. Adikku tersayang Siti Romlah, Kakaku tercinta ( Aminah, Absori, Sumaeni, & Sunifah) Keponakanku ( Ros, Alup, Uli, azki, Darul, Yasib, Marhamah, Maflihatuzzakiyah, Badruzzaman & Fahd ), Kakak ipar ku (Suja’I, Anita K, Carsan & Munawwir) dan Saudara Sepupu Fauzan M.Ag, Teh Umi Kulsum SAg, Ayip, Aghni, Bilqis & Nyai yang slalu memberikan dukungan. 11. The big family of Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jakarta Raya dan Persatuan Mahasiswa Indramayu (PERMAI-AYU) DKI Jakarta. 12. Teman-teman
Jurusan Siyasyah
Syar’iyyah
angkatan 2005
atas
kebersamaan yang terjalin selama ini, khsusnya Afnanul Huda, Fathunniam, Usman Ibnu Yusuf, Dinnur dll. 13. My best friends ; kg Ade, Mahbub, Amar, Mujahidin, Rudiyanto, Basir dan semua yang telah memberikan support dan mau mendengarkan keluhan penulis baik suka maupun duka selama penulisan skripsi ini. Saran dan kritik konstruktif dari semua pihak sangat kami harapkan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Tentu harapan terbesar penulis adalah penulisan skripsi ini bermanfaat untuk siapa pun khususnya bagi civitas akademika
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU )
Jakarta, 19 Mei 2011 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESHAN……………………………………………………………… LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………………. KATA PENGANTAR ............................................................................................ DAFTAR ISI ......................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 6 C. Tujuan dan manfaat Penelitian ............................................................... 7 D. Tinjauan Pustaka..................................................................................... 8 E. Metode penelitian ................................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 11 BAB II KELEMBAGAAN
NEGARA
MENURUT
UUD
1945
DAN
KETATANEGARAAN ISLAM A. Lembaga Negara Menurut UUD 1945 ................................................... 13 1. Pengertian dan Kategorisasi Lembaga Negara ................................. 13 2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945.............................. 16 3. Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ........................................................ 22
B. Lembaga Negara Menurut Konsep Ketatanegaraan Islam...................... 23 1. Shulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif) .................................... 24 2. Shulthan Tasri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) ..................................... 25 3. Shulthan Qadhaiyyah (Kekuasaan Yudikatif) .................................... 27
BAB III
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA MENURUT UNDANGUNDANG NO 5 TAHUN 1999
A. Pengertian dan Tujuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)......................................................................................... 37 B. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha................... 39 C. Kedudukan, Susunan, Kewenangan dan Fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha ..................................................... 43 D. Kedudukan KPPU dalam Sistem Ketatanegaraan (teori trias politika).................................................................................. 49 E. Perbedaan Tugas dan Fungsi KPPU dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan
.................................................................. 52
BAB IV
KOMISI
PENGAWAS
PERSAINGAN
USAHA
DALAM
KETATANEGARAAN ISLAM (ANALISIS PASAL 35 DAN PASAL 36 UNDANG-UNDANG
NOMOR
5
TAHUN
1999
TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT) A. Analisis Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ........................................................... 56 B. Kegiatan Pengawasan Persaingan Usaha Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam.................................................. 63 1. Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam...................................................................................................63 2. Tugas dan Wewenang Wilayah Hisbah..............................................75 C. Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam.........................77 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan......................................................................................... 81 B. Saran-saran ......................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 85
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat potensial untuk dikembangkan oleh para pelaku bisnis karena potensi alam yang melimpah dan letak geografis yang strategis. Berdasarkan kondisi tersebut tidak heran jika banyak bangsa lain yang berkeinginan menjadi penguasa di Indonesia, sejak zaman penjajahan hingga era kemerdekaan ini. Kebijakan pemerintah orde baru di bidang ekonomi telah menumbuhkan korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia. Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa segelintir pengusaha yang mempunyai ikatan romantis dengan penguasa. Namun di sisi lain tidak ada instrumen hukum yang secara tegas dapat diterapkan untuk menindak pelaku praktik monopoli. Pengaturan tentang anti monopoli masih tersebar di beberapa peraturan perundangundangan dan bersifat sektoral, akibatnya penegakan hukum di bidang ini menjadi sangat tidak efektif. Melihat kondisi tersebut, tidak heran jika sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis menginginkan undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan berupa previlege atau perlakuan khusus kepada pelaku bisnis tertentu. 1
2
Terjadinya krisis ekonomi menyadarkan dan mendorong bagi diundangkannya undang-undang yang secara khusus mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Untuk itu, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah undangundang yang mengatur persoalan antimonopoli, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.1 Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dalam pelaksanaannya dipraktekkan oleh Undangundang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Undang-undang persaingan usaha (UU No. 5 Tahun 1999) merupakan implementasi dari
UU yang diserahkan kepada
Komisi Pengawas Persaingan Usaha jenis lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain,2 berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam penegakan hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai posisi sentral tetapi bukan menjadi
1
KPPU di Garda Depan Edukasi Hukum Persaingan Usaha, artikel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada: http://www.kppu.go.id/baru/favicon.ico 2
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,(KPPU-RI), h. 17.
3
back bone (tulang punggung) dalam pengembangan hukum persaingan usaha. Posisi sentral tersebut berkaitan dengan kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diamanatkan oleh Bab IV UU Persaingan Usaha yaitu tentang kegiatan yang dilarang.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dinyatakan sebagai lembaga
pengawas. Pelaksanaan UU oleh para pelaku usaha yang bersifat independen tetapi UU persaingan usaha membagi pengawasan tersebut ke dalam tugas dan wewenang.3 Tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditafsirkan memberikan multifungsi dalam melakukan pengawasan pelaksanaan UU persaingan usaha yaitu UU No. 5 Tahun 1999 telah memberikan KPPU kewenangan yang sangat besar, sehingga menyerupai kewenangan lembaga peradilan (quasi judicial) yaitu diatur dalam pasal 35 dan pasal 36 yang memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai penyidik, penuntut umum, maupun sebagai pemutus terhadap tugas-tugas persaingan usaha. Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga peradilan yang bersifat quasi atau semu menjadi penentu bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukan merupakan back bone (tulang punggung) dalam melaksanakan UU No. 5 Tahun 1999. Kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha begitu besar tetapi UU No. 5 Tahun 1999 menempatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
3
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, artikel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada: http://id.wikipedia.org/apple-touch-icon.png
4
hanya sebagai lembaga yang pertama kali memeriksa kasus-kasus pelanggaran UU Persaingan Usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam sistem hukum Indonesia ditempatkan sebagai lembaga peradilan di tingkat awal, sehingga memungkinkan dilakukan upaya hukum bagi para pelaku usaha. Keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan upaya hukum bagi para pelaku usaha. Upaya inilah yang memungkinkan bahwa dalam pengembangan hukum persaingan usaha Indonesia ada pada lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri (PN) di tingkat pertama dan Mahkamah Agung (MA) di tingkat akhir. Kedua lembaga peradilan inilah yang mempunyai peran penting dalam pengembangan hukum persaingan usaha dengan melakukan pemeriksaan “keberatan“ yang diajukan pelaku usaha atas keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.4 Implementasi dari UU persaingan usaha penegakannya diserahkan pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai salah satu organ penegakan hukum persaingan usaha tingkat awal, yang selanjutnya bila ada keberatan dilanjutkan pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 43 dan pasal 44.
5
Ar߉tã öNä3s9 ¼çm¯RÎ) 4 Ç`»sÜø‹¤±9$# ÏNºuqäÜäz (#qãèÎ6®Ks? Ÿwur $Y7‹Íh sÛ Wx»n=ym ÇÚö‘F{$# ’Îû $£JÏB (#qè=ä. â¨$¨Z9$# $yg•ƒr'¯»tƒ ÇÊÏÑÈ îûüÎ7•B Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:168)
Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi. Kepemilikan dan penguasaan aset kekayaan di tangan individu adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam. Namun demikian, ketika kebebasan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan praktik-praktik monopolistik yang merugikan, maka adalah tugas dan kewajiban negara untuk melakukan intervensi dan koreksi.5 Merujuk pada uraian singkat di atas maka penulis melakukan penelitian skripsi yang berjudul “KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM (Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)”.
5
Hisbah dan Peranannya dalam Ekonomi, artkel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada: http://ekisonline.com/images/favicon.ico
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Persaingan usaha di Indonesia sangat maju sehingga dimanfaatkan sebagian orang melakukan tindakan monopoli atau persaingan tidak sehat dan perlu di bentuk adanya lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah undang-undang yang mengatur persoalan antimonopoli,6 yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Supaya pembahasan masalah dalam skripsi ini tidak meluas, maka pembahasan skripsi ini dibatasi pada dua hal yaitu analisis Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan prinsip-prinsip larangan praktek monopoli serta persaingan usaha tidak sehat dalam prespektif ketatanegaraan Islam. 2. Rumusan Masalah Dari Pembatasan Masalah tersebut di atas, Penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
dalam
Kelembagaan Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.
6
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta, KPPU-RI, 2009), h. 13.
7
2. Bagaimana Tugas, Wewenang dan Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 dalam Ketatanegaraan Islam. 3. Bagaimana Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah Hisbah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang aktivitas kegiatan usaha yang sehat.
Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain adalah : 1. Memberikan gambaran mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Kelembagaan Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945. 2. Menambah Wawasan
Tentang Bagaimana Tugas, Wewenang dan
Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 dan Ketatanegaraan Islam.
8
D. Tinjauan Pustaka Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan proposal skripsi ini, penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema-tema yang membahas dan tematema yang hampir sama terhadap pembahasan judul proposal, hanya saja yang secara spesifik merupakan tinjauan wilayatul hisbah, Karya Listiana Dwi Nusanti dari Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2009, dalam skripsinya yang berjudul lembaga kepolisian dalam perspektif Hukum Islam (kajian posisi wilayatul hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam) dalam literatur ini di jelaskan apa yang menjadi tugas dan wewenang Wilayatul hisbah dalam pertahanan (kepolisian), bagaimana lembaga kepolisian dalam hukum Islam, bagaimana perbandingan hukum islam tentang posisi wilayatul Hisbah di Aceh dan lembaga kepolisian di Indonesia. Karya Abdul Rosid dari Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2006, dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan mekanisme ijtihad dewan hisbah persis dan majlis syuriyah NU dan aplikasinya dalam permasalahan kontemporer, skripsi ini mejelaskan mekanisme ijtihad
dewan hisbah, dan majlis syuriyah NU serta
membandingkan keduanya dalam berijtihad menentukan masalah yang kontemporer. Berbeda dengan skripsi terdahulu, skripsi yang penulis buat ini membahasa tentang bagaimana tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang tertuang dalam pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan apa hubungannnya dengan hisbah.
9
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
kepustakaan
(library
research),
yaitu
penelitian
dengan
cara
mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang di angkat. 2. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini 3. Sumber Data a. Data Primer Data primer antara lain: Undang-undang Dasar 1945, dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulis. b. Data Skunder Data skunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu artikel-artikel dan makalah-makalah, serta mengkaji literatur-
10
literatur lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan tambahan dalam penulisan skripsi ini. 4. Tehnik Analisa Data Pada tahap analisa data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa secara kualitatif sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan. 5. Tehnik Penulisan Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Dalam Skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, dimana masing-masing mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu: Dalam Proposal Skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, dimana masing-masing mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu:
11
Bab Pertama, yaitu: Pendahuluan, Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab Kedua, Kelembagaan Negara menurut UUD 1945 dan Ketatanegraan Islam; Menjelaskan tentang, Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Pengertian dan Kategorisasi Lembaga Negara, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaga Negara Menurut Konsep Ketatanegaraan Islam, Shulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif), Shulthan Tasri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) dan Shulthan Qadhaiyyah (Kekuasaan Yudikatif). Bab Ketiga, Membahas secara umum mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-undang No 5 tahun 1999 yang berisi: Pengertian dan Tujuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Kedudukan, Susunan, Kewenangan dan Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta perbedaan Tugas dan Fungsi KPPU dengan Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Bab Empat, Pada bab ini penulis melakukan analisis mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Ketatanegaraan Islam kajian pasal 35 dan pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat yang berisi : Analisis Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan
12
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Kegiatan Pengawasan Persaingan Usaha Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam, Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam, Tugas dan Wewenang Wilayah Hisbah Serta Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam. Bab Lima, Penutup: tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II KELEMBAGAAN NEGARA MENURUT UUD 1945 DAN KETATANEGARAAN ISLAM
A. Lembaga Negara Menurut UUD 1945 1. Pengertian dan Kategorisasi Lembaga Negara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lembaga adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha,1 sedangkan kata negara diartikan sebagai organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.2 Secara sederhana istilah lembaga Negara atau organ Negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat atau yang biasa dikenal dengan sebutan Organisasi Non Politik (OrNoP), lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai lembaga Negara baik berada dalam eksekutif, legislatif, yudikatif atau bersifat campuran.3 Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara 1
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka 2007), h. 655. 2
Depertemen Pendidikan Nasional, h. 777.
3
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.
30-31.
13
14
yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang memiliki kedudukan dibawah lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD, sementara yang dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.4 Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan fungsi adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan fungsi adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam UUD 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya, adapula lembaga atau organ yang nama, fungsi atau kewenangannya diatur dengan peraturan yang lebih rendah.5 Jenis lembaga Negara berdasarkan kedudukannya,6 adalah:
4
Ibid, h. 42.
5
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, h. 45-46.
6
Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 107-109.
15
1) Lembaga legislatif, yaitu lembaga Negara yang berfungsi melaksanakan cabang kekuasaan membuat undang-undang. Lembaga yang masuk dalam golongan ini ada empat lembaga, yaitu: Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR),
Dewan
Perwakilan
Daerah
(DPD),
Majelis
permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2) Lembaga eksekutif, yaitu lembaga Negara yang berfungsi melaksanakan cabang kekuasaan melaksanakan undang-undang. Dalam lembaga ini ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan. 3) Lembaga yudikatif, yaitu lembaga Negara yang berfungsi melaksanakan cabang kekuasaan mengadili tehadap pelanggaran undang-undang. dikenal adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan karena itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang
16
(auxiliary)7 terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).
2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Jika dikaitkan dengan hal tersebut terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945.8 Organ atau lembaga tersebut diurutkan menurut pasal yang mengaturnya yang disebutkan dalam UUD 1945, adalah: 1. Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. 7
Presiden
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.
112. 8
Dari 34 Lembaga tidak ditentukan dengan jelas keberadaannya dan kewenangannya dalam UUD 1945, hanya 28 Lembaga yang keberadaan dan kewenangannya ditentukan oleh UUD 1945, yaitu: 1). MPR, 2). Presiden. 3). Wakil Presiden, 4). Dewan Pertimbangan Presiden, 5). Kementerian Negar, 6). Menteri Luar Negeri, 7). Menteri Dalam Negeri, 8). Menteri Pertahanan, 9). Pemerintahan Daerah Propinsi, 10). Gubernur, 11). DPRD Propinsi, 12). Pemerintah Daerah Kabupaten, 13). Bupati, 14). DPRD Kabupaten, 15). Pemerintah Daerah Kota, 16). Walikota, 17). DPRD Kota, 18). DPR, 19). DPD, 20). Komisi Penyelenggara Pemilu (Komisi Pemilihan Umum), 21). Bank Sentral/ Bank Indonesia, 22). BPK, 23). MA, 24). MK, 25). Komisi Yudisial, 26). TNI, 27). POLRI, dan 28) Satuan pemerintah derah bersifat khusus. Sedangkan 5 Lembaga lainnya tidak ditentukan dengan tegas dalam UUD 1945, yaitu: Duta, Konsul, TNI AD, TNI AL, dan TNI AU dan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Lihat; Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h. 66.
17
3. Wakil Presiden 4. Dewan Pertimbangan Presiden 5. Kementerian Negara 6. Menteri Luar Negeri 7. Menteri Dalam Negeri 8. Menteri Pertahanan 9. Duta 10. Konsul 11. Pemerintahan Daerah Provinsi 12. Gubemur 13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi 14. Pemerintahan Daerah Kabupaten 15. Bupati 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten 17. Pemerintah Daerah Kota 18. Walikota 19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota 20. Dewan Perwakilan Rakyat 21. Dewan Perwakilan Daerah 22. Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum 23. Bank Sentral: Bank Indonesia 24. Badan Pemeriksa Keuangan
18
25. Mahkamah Agung 26. Mahkamah Konstitusi 27. Komisi Yudisial 28. Tentara Nasional Indonesia 29. Kepolisian Negara Republik Indonesia 30. Angkatan Darat (TNI AD) 31. Angkatan Laut (TNI AL) 32. Angkatan Udara (TNI AU) 33. Satuan Pemerintah Daerah yang Bersifat Khusus atau Istimewa 34. Badan-Badan lain yang Fungsinya Terkait dengan Fungsi Kekuasaan Kehakiman. Lembaga-lembaga Negara diatas dapat di bedakan lagi berdasarkan fungsi dan Hierarki Dari segi fungsinya, lembaga-lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary) yakni:9 1. Lembaga negara utama atau lembaga Negara primer (main state’s organs atau primary constitusional organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan Negara (eksekutif, legislatif, atau yudikatif).
9
111.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.
19
2. Lembaga Negara penunjang atau lembaga Negara pendukung (auxiliary organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga Negara utama dalam menjalankan kekuasaannya, seperi Komisi Yudisial (KY) yang meskipun dibuat berdasarkan amanat UUD pada wilayah yudikatif, tetapi Komisi Yudisial secara fungsional tetap bersifat lembaga penunjang (auxiliary) terhadap fungsi lembaga primer kehakiman. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sedangkan dari segi hirarkinya, lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara, yaitu:10 a) Presiden dan Wakil Presiden; b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); c) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d) Mahkamah Konstitusi (MK); e) Mahkamah Agung (MA); f) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 10
Ibid, h. 106-110.
20
Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Lembaga negara kedua itu adalah: a) Menteri Negara; b) Tentara Nasional lndonesia; c) Kepolisian Negara; d) Komisi Yudisial; e) Komisi pemilihan umum; f) Bank sentral. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM),11 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),12 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),13 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),14
11
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889). 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4250). 13
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4252). 14
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817), Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingah Usaha.
21
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),15 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)16, dan lain sebagainya. Kelompok ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Lembaga-lembaga daerah tersebut adalah: a) Pemerintahan Daerah Provinsi; b) Gubemur; c) DPRD provinsi; d) Pemerintahan Daerah Kabupaten; e) Bupati; f) DPRD Kabupaten; g) Pemerintahan Daerah Kota; h) Walikota; i) DPRD Kota
15
Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4429). 16
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
22
3. Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan :”Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut komisi”. Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain KPPU dapat dikatakan sebagai “wasit” yang mengawasi sekaligus dapat memberikan eksekusi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut. Sesuai dengan pasal 34 UU Nomor 5 tahun 1999, selanjutnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara kelembagaan ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden. Sebagai tindak lanjut UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut,
dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 75
Tahun 1999 tentang pembentukan sebuah komisi yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
23
B. Lembaga Negara Menurut Ketatanegaraan Islam Pada masa Rasulullah lembaga-lembaga belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut masingmasing melembaga dan mandiri.17 Pembagian tiga macam kekuasaan ini disebutkan dengan jelas pada masa khalifah Umar bin Khatab.18 Kondisi kelembagaan Islam pada awal perkembangan Islam di masa Rasulullah SAW masih berpusat kepada beliau langsung. Keadaan ini dimaklumi mengingat Rasulullah SAW merupakan figur central dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat. Meski demikian, pondasi-pondasi sebagai cikal bakal kelembagaan dalam pemerintahan Islam telah diletakkan sejak awal oleh beliau. Seperti pengaturan adanya baitul mall, sistem kehakiman (pengadilan) Islam, pedoman pembagian harta rampasan perang (ghonimah) dll. Pada perkembangan lebih lanjut, dalam sejarah ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan, yakni Sulthan Tanfiziyyah (kekuasaan eksekutif), Sulthan Tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif), dan Sulthan Qadhaiyyah (kekuasaan kehakiman). Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif baru mulai dilakukan di zaman para khalifah Nabi, dengan pengangkatan para hakim (Qadhi) serta pengangkatan kelompok sahabat senior yang memiliki kemampuan dalam 17
18
Salim Ali Al-Bahansawi, Wawasan Sistem Politik Islam (Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996).
Abdul Qadir Djaelani, Negara Islam Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 148.
24
memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi, yang kemudian disebut ahl al-hall wa al-’aqd dan kini identifikasikan sebagai lembaga legislatif, seperti telah dilakukan Khalifah Umar yang dikenal sebagai negarawan, adminitrator serta seorang pembaru yang membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan.19 Dengan demikian, untuk beberapa provinsi, Umar telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif.
1. Sulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif) Dalam sistem tatanegara modern, kekuasaan Eksekutif mencakup Kepala Negara (Presiden dan wakil presiden dan atau Raja dan Ratu), Perdana Menteri, Menteri-menteri, serta Kepala-kepala Daerah. Kepala Negara adalah penghubung antara dua kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.20 Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Islam kekuasaan eksekutif jika dikategorikan berdasarkan fungsi, bentuk dan ruang lingkup tugasnya menurut AlMawardi, mencakup: kepala negara (khalifah atau imam), lembaga kementerian (wizarah) dan pemerintah daerah (imarat ‘ala al-bilad). Sulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif) merupakan pelaksana kegiatan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun daerah. Keberadaan pemerintah daerah
19
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.73 20
Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam. Penerjemah Firman Hariyanto, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995), h. 95.
25
(imarat ‘ala al-bilad) dan kementerian (wizarah) merupakan kepanjangan tangan (wakil) dari pemerintah pusat dalam hal ini adalah khalifah atau imam karena keduanya diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau imam.
2. Sulthan Tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) Secara terminologi fiqh, Sulthan Tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd).21 Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Allah, tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan A-Qur’an dan As-sunnah, meskipun konsensus rakyat menuntutnya. Allah berfirman: ÄÈ÷ètƒ `tBur 3 öNÏdÌ•øBr& ô`ÏB äouŽz•Ïƒø:$# ãNßgs9 tbqä3tƒ br& #·•øBr& ÿ¼ã&è!qß™u‘ur ª!$# Ó|Ós% #sŒÎ) >puZÏB÷sãB Ÿwur 9`ÏB÷sßJÏ9 tb%x. $tBur
ÇÌÏÈ $YZ•Î7•B Wx»n=|Ê ¨@|Ê ô‰s)sù ¼ã&s!qß™u‘ur ©!$#
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
21
Abdul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Cet III, Penerjemah Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1993), h. 245.
26
Dari perintah-perintah ini, maka timbul prinsip bahwa Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Tasri’iyyah (lembaga legislatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang dasar.22 Dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana didalamnya diduduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu: satu, jika perkara yang dinisbatkan ada nash nya, maka tugas mereka adalah memahami nash dan menjelaskan hukum yang ditunjukannya; dua, jika suatu perkara tidak ada nashnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nashnya, dan mengistinbath-kan (menetapkan) hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya. Dengan demikian, dua pokok sumber hukum dan ajaran Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan referensi utama pengambilan keputusan yang diambil oleh Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif). Dengan kata lain setiap produk hukum yang dihasilkan Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif) tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
22
Abdul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi, h. 245
27
3. Sulthan Qadhaiyyah (kekuasaan kehakiman) Kata Sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan.23 Menurut Louis Ma’luf, Shulthan berarti almalik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintahan.24 Sedangkan al-Qadhaiyyah yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman. Sedangkan secara etimologi, sulthatun bima’na alqudrah yakni: kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan atas bentuk perbuatan yang ditinggalkan. Dengan kata lain bahwa kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunan sampai pelaksanaan serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan kekuasaan yudikatif.25 Kehadiran
lembaga
peradilan
(Sulthan
Qadhaiyyah)
dalam
sistem
ketatanegaraan Islam adalah mutlak dibutuhkan sebagai lembaga pengawas dan penegak dijalankannya aturan seuai denagan peraturan perundangan yang berlaku.
23
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir: (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 650.
Kamus Arab Indonesia Terlengkap
24
Louis Ma,luf, Kamus Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam (Beirut: Daar al- Mashriq, 1973), h. 1095. 25
Rahman Ritonga, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1657.lihat juga Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 146.
28
Petugas yang menjalankan fungsi lembaga peradilan (Sulthan Qadhaiyyah) dalam ketatanegaraan Islam disebut sebagai Qadhi (hakim). Syarat-syarat menjadi Qadhi,26 yaitu: muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, ahli fiqh (yang bisa mengetahui hukum serta aplikasinya), dikhususkan bagi qadhi madzalim ada syarat tambahan yaitu laki-laki dan mujtahid. Dalam ketatanegaraan Islam, Shulthan Al-Qadhaiyyah dibedakan menjadi empat wilayat atau golongan, yaitu: Wilayat Al-Qadha, Wilayat Al-Hisbah, Wilayat madzalim dan Wilayat Al-Mahkamah al-Asykariyyah. a. Wilayat Al-Qadha ( ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ
) ﻭﻻﻳﺔ
Wilayat Al-Qadha adalah lembaga yang bertugas berwenang dan memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan.27 Menurut Salam Madzkur, Wilayat Al-Qadha adalah lembaga yang bertugas memutus sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka sama dihadapan Allah.28
26
Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 232. 27
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h.166. 28
Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam, Penerjemah AM, Imron (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 65.
29
Taqiyyudin an-Nabhani menyebut lembaga ini sebagai peradilan (qadha) biasa, yang mengurusi penyelesaian perkara ditengah masyarakat dalam hal muamalah (transaksi yang dilakukan satu orang dengan yang lainnya) dan ‘uqubat (sanksi hukum).29 Dengan demikian lembaga ini mirip dengan lembaga peradilan perdata. Lembaga qadha dibentuk untuk menangani kasus-kasus (kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat muslim dan atau non muslim yang dzimmi) yang membutuhkan keputusan berdasarkan hukum syariah.30 b. Wilayat Al-Hisbah ( ﺍﳊﺴﺒﺔ
) ﻭﻻﻳﺔ
1. Pengertian Wilayah Hisbah Wilayah hisbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan. Wilayat Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Al-Mawardi mendefinisikan al-hisbah dengan;
29
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah, RealitasEmpirik, Penerjemeh Moh. Maghfur Wachid (Bangil: Penerbit Al-Izzah, 1997), h. 248. 30
dan
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Akhmamussulthaniyyah: Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah (Surabaya: Pustaka Prosessif, 2000), h. 115.
30
ﻠﹸﻪ ﻓِﻌﺮﻜﹶﺮِ ﺇِﺫﹶﺍ ﺃﹶﻇﹾﻬﻨﻦِ ﺍﻟﹾﻤﻲ ﻋﻬﻧ ﻭﻛﹸﻪﺮ ﺗﺮﻑِ ﺇِﺫﹶﺍ ﻇﹶﻬﻭﺮﻌ ﺑِﺎﻟﹾﻤﺮ ﺃﹶﻣﺔﹸ ﻫِﻲﺒﺍﹶﻟﹾﺤِﺴ Artinya: “Menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan itu ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan.31
Allah berfirman:
ﺃﹸﻭﻟﹶﺌِﻚﻜﹶﺮِ ﻭﻨﻦِ ﺍﻟﹾﻤﻥﹶ ﻋﻮﻬﻨﻳﻑِ ﻭﻭﺮﻌﻥﹶ ﺑِﺎﻟﹾﻤﻭﺮﺄﹾﻣﻳﺮِ ﻭﻴﻥﹶ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﺨﻮﻋﺪ ﹲﺔ ﻳ ﺃﹸﻣﻜﹸﻢ ﻣِﻨﻜﹸﻦﻟﹾﺘﻭ (١٠٤ : )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ.ﻥﹶﻮﻔﹾﻠِﺤ ﺍﻟﹾﻤﻢﻫ Artinya:“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104).
Hisbah dipandang meluas bisa mencakup semua anggota masyarakat yang mampu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, baik mereka itu ditugasi oleh Negara atau tidak diwajibkan secara resmi, sebagaimana ruang lingkup hisbah yang mencakup hak-hak Allah dan hak-hak manusia, artinya bahwa hisbah mencakup semua sisi kehidupan.32
31
Al-Mawardi, Al-Akhkam A-Shuthaniyyah wal-wilaadatud-diniyyah. Penerjemah Fadli Bahri (Jakarta: PT. Darul Falah, 2006), h. 398. 32
Jariban bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn AlKhaththab. Penerjemeh H. Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 588.
31
2. Tugas dan wewenang Wilayah Hisbah Kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Wilayah Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas Muhtasib.33 Seorang petugas hisbah (Muhtasib) memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal,34 juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik asusila dan lain-lain. Wilayah Hisbah memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. Wilayah Hisbah adalah lembaga yang setiap hari berkampanye
33
Jaenal Aripin, Peradilan Agama .. .…., h. 168. Rohadi abd. Fatah, Islam and Good Governance, ijtihad politik umar bin Abdul Aziz (Jakarta: Lekdis, 2007), h. 225. 34
32
menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor. Namun demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayah Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul madzalim. Secara umum tugas dan dan fungsi muhtasib adalah:35 1) Menjalankan tugas amar maruf nahi munkar. 2) Melakukan supervise (pengawasan) pelaksanaan perdagangan dan pasar. 3) Supervise bidang pertanian dan lapangan kehidupan sosial. 4) Memberikan hukuman.
35
Ibid, h. 225.
33
Seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman melalui proses pengadilan.36 Di samping itu, Wilayah Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir,37 yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan Wilayah Hisbah juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. Tentu ketika menjatuhi hukuman Wilayah Hisbah harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari’at, atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at. Karena itu Wilayah Hisbah tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka Wilayah Hisbah saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka.
36
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 168.
37
Rohadi abd. Fatah, Islam and Good Governance, …(Jakarta: Lekdis, 2007), h. 225.
34
c. Wilayat Al-Madzalim ( ﺍﳌﻈﺎﱂ
) ﻭﻻﻳﺔ
Wilayat Al-Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.38 Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, boleh disamakan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, sebagai tempat bagi orang yang kalah tak puas membandingkan perkaranya.39 Lembaga ini mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara.40 Pejabat lembaga ini disebut sebagai Qadhi Mazhalim, yaitu Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau bisa juga diangkat oleh kepala Qadhi.41 Sedangkan yang berwenang untuk memberhentikan, mengoreksi, mendisiplinkan serta memutasinya dilakukan oleh khalifah atau mahkamah Mazhalim.42 Secara keseluruhan, menurut Muhammad Asad, Wilayat Al-Madzalim mempunyai hak atau wewenang:43
38
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 92.
39
A. Hajmy, Dimana Letaknya Negara Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 258.
40
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam…, h. 248.
41
Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 246. 42
43
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 265.
Muhammad Asad (Leopoldweiss), Masalah Kenegaraan Dalam Islam. Penerjemah Oemar Amn Hoesin dan Amiruddin Djamil (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, t.th), h. 63-64.
35
1) Menengahi segala perkara pertikaian antara Amir (Kepala Negara) dan Majelis Syura berdasarkan peraturan nash Al-qur’an dan Sunnah, yang mana pertikaian itu diajukan ke mahkamah ini oleh salah satu diantara kedua belah pihak. 2) Memveto salah satu perundang-undangan yang telah diputuskan oleh Majelis Syura atau salah satu pekerjaan administratif dari pihak Amir (Kepala Negara) dengan persetujuan Mahkamah, yangmana pendapat Mahkamah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan Sunnah. 3) Mengadakan referendum untuk menurunkan Amir (Kepala Negara) dari jabatannya, dimana Majelis Syura dengan duapertiga golongan yang mengajukan pengaduan bahwa dalam pemerintahannya sudah melanggar syari’at.
d. Wilayat Al-Mahkamah al-‘askariyyah
( ) ﻭﻻﻳﺔ ﺍﶈﻜﻤﺔ ﺍﻟﻌﺸﻜﺮﻳﺔ
Al-Mahkamah al-‘askariyyah merupakan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang secara khusus menangani perkara-perkara yang terkait dengan militer. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan Qadhi AlAsykar atau Qadhi Al-Jund sebagai sebutan pejabat hakim. Posisi ini sudah ada sejak Sultan Salahuddin Yusuf bin Ayyub.44 Tugasnya adalah untuk menghadiri sidang44
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.., h. 169.
36
didang di Dar al-‘Adl, terutama persidangan tersebut menyangkut tentang anggota militer/ tentara. 45 Lembaga ini mirip dengan lembaga Mahkamah Militer yang ada di indonesia. Keberadaan Al-Mahkamah al-‘askariyyah dalam system ketatanegaraan Islam merupakan salah satu bukti bahwa keadilan merupakan harga mati yang harus ditegakkan oleh siapapun dan dimanapun. Dengan kata lain semua warga Negara tanpa kecuali termasuk anggota militer/ tentara harus taat dan tunduk pada hukum yang berlaku.
45
Muna ‘Abd al-Ghani Hasan, Al-Qadha fi al-Hayah as-Siyasiyyah wa al-Ijtima’iyyah fi Misr fi al-‘Asr al-Mamluki, h. 77.
BAB III KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR. 5 TAHUN 1999
A. Pengertian dan Tujuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan bahwa : ”Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.1 Meski keanggotaan KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, tetapi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, KPPU bersifat independen. Indenpendensi KPPU yang bebas dari intervensi semua pihak termasuk pemerintah merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki KPPU sehingga dapat menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya secara obyektif sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pasal 2 berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
1
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MoNomorpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,(KPPURI), h. 8.
37
38
Adapun tujuan dari Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk:2 a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efsiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan
iklim
usaha
yang
kondusif
melalui
pengaturan
persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; c. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan d. Terciptanya efektivitas dan efsiensi dalam kegiatan usaha. Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efsien
(Pasal 3). Oleh karena
itu, mereka mengambil bagian pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UndangUndang Nomor. 5
2
Tahun
1999
dari
struktur
ekonomi
untuk
tujuan
Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MoNomorpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , h. 8
39
perealisasian kesejahteraan nasional menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha
dan
ketiadaan
pembatasan
persaingan
usaha,
khususnya
penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.3
B. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertetntu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.4 Monopolisme dalam kegiatan ekonomi khususnya di Indonesia telah mencatatkan sejarah yang kelam. Praktek monopoli telah diterapkan sejak lama oleh para penjajah yang pada akhirnya hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan bahkan menyengsarakan perekonomian rakyat kecil. Selepas kemerdekaan Indonesia, praktek monopoli ala kolonialisme sudah tidak diterapkan lagi. Meskipun demikian pada tataran praktis, kegiatan perekonomian secara makro tetap dikuasai oleh sekelompok orang yang dekat dengan lingkaran
3 Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,(Jakarta, KPPU-RI,2009 ), h. 15.
4
Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Bab I Pasal I ayat 2,(KPPU-RI), h. 6.
40
kekuasaan. Wacana mereformasi sistem perekonomian yang monopolistik sebenarnya sudah ramai dibicarakan jauh sebelum meletusnya reformasi tahun 1998 meski wacana tersebut tidak sampai terejawantahkan pada tataran praktis. Kondisi seperti ini berjalan sampai terjadinya reformasi tahun 1998. Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku suaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah malalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan. Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam
41
bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber utama penyebab inefsiensi dalam perekonomian dan berakibat pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Latar
belakang
penyusunan
undang-undang
antimonopoli adalah
perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi,
akan
tetapi dengan
syarat
Indonesia melaksanakan
reformasi
ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang antimonopoli.5 Meskipun demikian, Momerandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF bukan satu-satunya alasan lahirnya UndangUndang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain, kelahiran Undang-Undang tersebut bukan merupakan intervensi dalam bentuk “pesanan” pihak luar (IMF). Sejatinya kelahiran Undang-Undang tersebut merupakan cita-cita pemerataan pembangunan ekonomi yang berbasis keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
5
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,(Jakarta, KPPURI,2009 ), h. 12.
42
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan pelaku usaha yang lebih kecil. Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta. Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun rancangan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Rancangan Undang-
Undang tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-undang tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
43
Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.6 Berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi
Kehidupan
Nasional,
maka
Indonesia
memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.7
C. Kedudukan,
Susunan,
Kewenangan
dan
Tugas
Komisi
Pengawas
Persaingan Usaha 1. Kedudukan KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
merupakan
lembaga
negara komplementer (state auxiliary organ)8 yang mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu
6
Ibid., h. 13. 7 Ibid., h. 14. 8
Budi L. Kagramanto, “Implementasi UU Nomor 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007: h. 2.
44
pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)9 yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi.10 Lembaga quasi tersebut menjalankan kewenangan yang sebenarnya sudah diakomodir oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan keadaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada sektor-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi-judicial), eksekutif (quasi-public) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga negara di sektor yang sama. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang11. Selanjutnya, KPPU merupakan
suatu
organ
khusus
yang mempunyai
tugas ganda selain
9
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Konpress, 2006), h. 24. 10
11
6 Juli 2009 http:// www.reformasihukum.org
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Konpress, 2006), h. 24.
45
menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif (pasal 36). KPPU diberi status sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain (pasal 30). Implementasi dari Undang-Undang persaingan usaha penegakannya diserahkan pada KPPU sebagai salah satu organ penegakan hukum persaingan usaha tingkat awal, yang selanjutnya bila ada keberatan dilanjutkan pada Pengadilan Negeri (pasal 44 ayat2) dan Mahkamah Agung (pasal 45 ayat 3). Walaupun pada awalnya banyak yang mempertanyakan mengenai kontroversi kedudukan lembaga KPPU, tetapi sejalan dengan waktu, dunia usaha dan masyarakat telah mengenal dengan mempercayakan pengaduannya kepada KPPU. Awal dari kelahiran KPPU sebagai lembaga pemutus persaingan usaha menimbulkan kekhawatiran terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan.
46
Hal ini tidak akan terjadi karena kewenangan KPPU dibatasi oleh Pasal 47 Undang-Undang Persaingan Usaha.
2. Susunan KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha mempunyai sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota, yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Komisi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap angota dan 5 (lima) anggota Komisi (pasal 31 ayat 1). Anggota Komisi
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Presiden (pasal 30 ayat 3). Masa jabatannya 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, apabila terjadi kekosongan pada berakhirnya masa jabatan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru (pasal 31 ayat 3 dan 4).
3. Tugas KPPU Sesuai dengan ketentuan undang-undang Nomor. 5 tahun 1999 pasal 35, Komisi pengawas Persaingan Usaha mempunyai tugas sebagai berikut: a. Malakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16;
47
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17 dengan pasal 24; c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 25 sampai dengan 28; d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagai mana diatur dalam pasal 36; e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persangan usaha tidak sehat; f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undangundang ini; g. Memberi laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. 4. Kewenangan KPPU Dalam pasal 36, undang-undang Nomor. 5 tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
48
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil penelitiannya; d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan hurug f, yang tidak berdedia memenuhi panggilan Komisi; h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
49
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undan g ini. l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
D. Kedudukan KPPU dalam Sistem Ketatanegaraan (teori trias politika) Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk di luar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah mengalami transisi dari otoriterisme ke demokrasi.
50
Lembaga quasi tersebut menjalankan kewenangan yang sebenarnya sudah diakomodasi oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan keadaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada sektor-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi-judicial), eksekutif (quasi-public) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga negara di sektor yang sama. Jika dibandingkan dengan state auxiliary organ lainnya seperti KPK maka terdapat persamaan dan perbedaan antara KPK dengan KPPU. Beberapa persamaan antara keduanya adalah: kedua komisi ini dibentuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang. KPK dibentuk dengan UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan KPPU dibentuk dengan UU No 5 tahun 1999. Namun demikian sejalan dengan pemikiran Jimly Asshiddigie, kedua komisi ini berbeda dalam hal kedudukan. KPK disebut sebagai komisi Negara yang independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance. Hal ini dikarenakan walaupun pembentukan KPK dengan UU, namun keberadaan KPK memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945. SedangkanKPPU
51
merupakan lembaga independen lain yang dibentuk berdasarkan undangundang.12 Perbedaan yang lain berkaitan dengan latar belakang pembentukan kedua komisi ini. KPK dibentuk sebagai respon tidak efektifnya Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajalela. Diharapkan dengan adanya KPK dapat mendorong penyelenggaraan Good Governance. Sehingga keberadaan komisi sangat penting, hanya saja perlu ada koordinasi dengan
instansi
yang
memiliki
kewenangan
yang
serupa.
Sedangkan
pembentukan KPPU bertujuan untuk menjamin iklim usaha yang kondusif, dengan adanya persaingan yang sehat, sehingga ada kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Selain itu, komisi ini dibentuk juga untuk mendorong terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan usaha. Selanjutnya, KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif
12
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Konpress, 2006) h.24.
52
karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif. KPPU diberi status sebagai pengawas pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999. Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Anggota KPPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini sejalan dengan praktek di Amerika dimana FTC (the Federal Trade Commission) bertanggung jawab kepada Presiden. Ketentuan ini wajar karena KPPU melaksanakan sebagian dari tugas tugas pemerintah, sedangkan kekuasaan tertinggi pemerintahan ada dibawah Presiden. Walaupun demikian, tidak berarti KPPU dalam menjalankan tugasnya dapat tidak bebas dari campur tangan pemerintah. Independensi tetap dijaga dengan keterlibatan DPR untuk turut serta menentukan dan mengontrol pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPU.13
E. Perbedaan Tugas dan Fungsi KPPU dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindudtrian dan Kementerian Perdagangan
Secara umum, tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah melakukan pegawasan terhadap kegiatan pelaku usaha di Indonesia berkaiatan
13 Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,(Jakarta, KPPU-RI,2009 ), h. 313.
53
dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu KPPU juga memiliki kewenangan melakukan investigasi terhadap pelaku usaha yang patut diduga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekaligus berwenang menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar UndangUndang tersebut. Berkaitan dengan aktifitas dunia usaha di Indonesia, KPPU menjalin hubungan yang baik dengan semua pihak khususnya lembaga-lembaga terkait. Pola hubungan yang dibangun adalah koordinatif mengingat KPPU merupakan lembaga independent. Dalam hal pendirian badan usaha bukan merupakan domain KPPU. Kegiatan usaha baik dilakukan secara perseorangan maupun kelembagaan (badan usaha) tidak terlepas dari peraturan-peraturan kegiatan usaha dan atau pendirian badan usaha yang berlaku di Indonesia. Secara tehnis izin legalitas dan izin pelaksanaan kegiatan usaha di Indonesia sudah diatur oleh Pemerintah melalui kemeterian-kementerian yang terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Perindustrian RI maupun Kementerian Perdagangan RI. Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum memiliki salah satu tugas dan kewenangan memberikan
54
legalitas pendirian badan hukum termasuk pendirian badan usaha.14 Selanjutnya berkaitan dalam kegiatan dunia usaha, Kementerian Perindustrian RI memiliki salah satu kewenangan pokok yaitu; Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang perindustrian.15 Kemudian pada persoalan perdagangan usaha, Kementerian Perdagangan RI melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri memiliki tugas pokok merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perdagangan dalam negeri.16 Termasuk juga kewenangan Kementerian Perdagangan RI adalah menerbitkan berbagai macam perizinan dan non perizinan dalam kegiatan usaha perdagangan barang dan jasa seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (SIUP3A), Surat Ijin Usaha Jasa Survey (SIUJS) dll. Dalam kaitan aktifitas dunia usaha di Indonesia, keempat lembaga tersebut (KPPU, Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Perindustrian RI dan Kementerian Perdagangan RI) memiliki tugas dan fungsi yang saling terkait. Persoalan pengesahan badan hukum, perizinan usaha perdagangan dan ketentuan perindustrian merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Perindustrian RI dan Kementerian Perdagangan RI. Sedangkan 14
http://www.kemenkumham.go.id/unit/ditjen-ahu/home, diakses pada tanggal 20 mei 2011
15
http://www.kemenperin.go.id/Content102.aspx?kd_unit=000000, diakses pada tanggal 20
mei 2011 16
http://www.kemendag.go.id/tupoksi_direktorat_jenderal_perdagangan_dalam_negeri/, diakses pada tanggal 20 mei 2011
55
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pengawasan terhadap kegaiatan usaha yang sudah berdiri dan atau berjalan berkaiatan dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian wilayah KPPU tidak masuk kedalam ranah mengenai legalitas pendirian dan segala sesuatu yang berkaiatan dengan izin operasional suatu kegiatan usaha. Persoalan legalitas usaha badan hukum merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM RI. Selanjutnya mengenai kegiatan operasional pelaku usaha diatur sesuai ketentuan yang berlaku baik di Kementerian Perindustrian RI maupun Kementerian Perdagangan RI. Dengan kata lain KPPU melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha perorangan maupun badan yang sudah berjalan (disahkan) kegiatan usahanya oleh peraturan yang berlaku.
BAB IV KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM KETATANEGARAAN ISLAM (ANALISIS PASAL 35 DAN 36 UNDANGUNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT)
A. Analisis Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang no. 5 tahun 1999 pasal 35, Komisi pengawas Persaingan Usaha mempunyai tugas sebagai berikut:1 a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16; b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17 dengan pasal 24; c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
1
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,(KPPU-RI), h.19
56
57
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 25 sampai dengan 28; d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagai mana diatur dalam pasal 36; e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persangan usaha tidak sehat; f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undangundang ini; g. Memberi laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Berkaitan dengan pasal 35 UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, secara umum tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1) Monitoring Salah satu tugas pokok Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah melakukan monitoring (pengawasan) bagi setiap pelaku usaha di Indonesia untuk tidak mempraktekan segala bentuk tidakan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Monitoring terhadap pelaku usaha berkaitan juga dengan penilaian suatu terhadap perjanjian usaha dan kegiatan usaha untuk memastikan ada
58
atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 2) Publikasi Sebagai salah satu langkah prefentif sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal ini adalah pelaku usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki tugas untuk melakukan sosialisasi mengenai penyusuanan pedoman regulasi dan publikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 3) Konsultatif Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki tugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah berkaitan dengan kegiatan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Saran dan pertimbangan KPPU diperlukan untuk mengawal setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian agar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 4) Pelaporan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara intensif dan periodik bertugas memberikan laporan tertulis berkaitan dengan capaian hasil kerja kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5
59
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya, mengenai kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 36 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai berikut:2 a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil penelitiannya; d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
2
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,(KPPU-RI), h.19-20
60
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan hurug f, yang tidak berdedia memenuhi panggilan Komisi; h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Secara umum, dari sekian banyak wewenang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
(KPPU)
kewenangan sebagai berikut: :
dapat
diklasifikasikan
dalam
beberapa
61
1. Menerima Pengaduan Masyarakat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang menerima dan menindaklanjuti berbagai pengaduan masyarakat berkaitan dengan dugaan adanya kegiatan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kewenangan ini lebih bersifat pasif karena KPPU merespon adanya dugaan terjadinya kegiatan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan pengaduan masyarakat. Meski demikian kewenangan tersebut pada dasarnya manifestasi dari terjalinnya hubungan yang baik antara KPPU sebagai sebuah institusi dengan berbagai steakholder baik masyarakat secara personal individual maupun secara komunal. 2. Investigatif Selain “menunggu” pengaduaan dari masyarakat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga memiliki kewenangan aktif yaitu melakukan langkah-langkah investigasi terhadap adanya dugaan dan atau patut diduga berkaiatan kegiatan yang mengarah terjadinya praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Langkah-langkah investigatif bisa dilakukan dengan penelitian, pemeriksaan dan penyelidikan. Melalui kewenangan investigasi ini, KPPU juga berwenang untuk meneliti, mendapatkan atau meminta dokumen dan alat bukti lain yang berkaitan dengan peneylidikan dan pemeriksaan suatu kasus.
62
3.
Eksekutor Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), memiliki
kewenanangan untuk mengajukan tuntutan melaui pemanggilan terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar, pemanggilan saksi-saksi yang diperlukan serta menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang anti monopoli. Meski KPPU memiliki kewenangan memberikan putusan sanksi dalam perkara tindak praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, pelaku usaha dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU kepada Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA). Dengan kata lain KPPU merupakan pemutus perkara ditingkat awal. 4. Koordinatif Dalam melakukan tugas dan kewenangannya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang berkoordinasi (bekerjasama dengan pihak-pihak yang dibutuhkan termasuk dengan pihak penyidik. Kewenangan ini mutlak diperlukan sehingga KPPU dapat lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya.
63
B. Kegiatan Pengawasan Persaingan Usaha Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam. 1. Wilayah Hisbah Dalam Sistem Ketatanegaraan Islam Struktur kelembagaan yang digunakan di seluruh ketatanegaraan dunia termasuk Indonesia dewasa ini, tentu tidak mudah menemukan persamaan lembaga dari segi tugas, wewenang dan kedudukan dalam sejarah ketatanegaraan Islam. Lembaga Negara seperti Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif memang bisa di analogikan dengan sulthan Tanfiziyyah, Tasri’iyah dan Qadhaiyyah akan tetapi hubungan ini tidak bisa disamakan karena perbedaan yang begitu besar antara masa lalu dan modern seperti sekarang ini. Apalagi dengan lembagalembaga seperti kepala Negara, Wizarat, imarat ‘ala al-bilad, Qadha, hisbah, madzalim, dan lain sebagainya. Dalam konsep Islam segala bentuk tindakan dan kegiatan yang merugikan orang lain adalah sesuatu yang dilarang. Termasuk dalam kegiatan perekonomian (mu’amalah). Meskipun dalam sejarah sistem ketatanegaraan Islam tidak dijelaskan secara eksplisit lembaga yang secara spesifik khusus menangani persoalan kegiatan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, tetapi
secara subtantif, fungsi pelarangan, pengawasan dan penetapan sanksi
terhadap pelaku usaha yang merugikan orang lain sudah ada dan melekat pada sebuah institusi yang disebut wilayah hisbah. Dikatakan tidak spesifik mengawasi kegiatan perekonomian karena institusi ini menjalankan fungsinya
64
lebih luas yakni amar ma’ruf nahi munkar dalam semua sendi kehidupan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan tiga pilar sistem kelembagaan negara yang lazim berlaku yakni wilayah legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka dalam sistem ketataneraan Islam juga mengenal istilah Sulthan Tanfiziyyah (legislatif), Tasri’iyah (eksekutif) dan Qadhaiyyah (yudikatif). Jika dilihat dari fungsinya sebagai lembaga yang mengawasi tegaknya amar ma’ruf nahi munkar dalam semua sendi kehidupan masyarakat termasuk sektor kegiatan perekonomian, maka lembaga wilayah hisbah termasuk kedalam institusi Qadhaiyyah (yudikatif) karena juga dapat memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran aturan syariat yang terjadi. Secara prinsipil, konsep hisbah yang berkaitan dengan pengaturan kegiatan perekonomian telah dipraktekan sejak awal periode Islam di zaman Rasulullah SAW. Pada perkembangan selanjutnya terutama di zaman para sahabat dan periode setelahnya, kegiatan hisbah mengalami banyak kemajuan dan keberadaannya menjadi barometer terciptanya tatatan kehidupan masyarakat terutama dalam kegiatan mu’ammalah (perekonomian) yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam. Berikut adalah beberapa contoh pelaksanaan lembaga hisbah dalam pengaturan kegiatan perekonomian masyarakat dan negara:
65
1) Masa Nabi Muhammad SAW Kondisi peradilan mulai berkembang setelah Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah. Pada waktu itu Rasulullah SAW mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Rasulullah SAW untuk menjadi qadhi, seperti Ali bin Abi Thalib di Yaman dan Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Janad.3 Pada waktu itu, kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Rasulullah SAW. Meski secara kelembagaan Wilayah Hisbah pada masa Rasulullah SAW ini belum terbentuk, akan tetapi praktik-praktik yang mengarah pada kewenangan hisbah sudah dilakukan sendiri oleh beliau langsung. Sebagai salah satu contoh prektek wilayah hisbah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terdapat dalam sebuah hadits berikut:
ﻪ ﺎﺑِﻌ ﺃﹶﺻﺎﻟﹶﺖﺎ ﻓﹶﻨﻬ ﻓِﻴﻩﺪﻞﹶ ﻳﺧﺎﻡٍ ﻓﹶﺄﹶﺩﺓِ ﻃﹶﻌﺮﺒﻠﹶﻰ ﺻ ﻋﺮ ﻣﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻝﹶ ﺍﷲِ ﺻﻮﺳﺃﹶﻥﱠ ﺭ ﻕ ﻓﹶﻮﻪﻠﹾﺘﻌﻝﹶ ﺍﷲِ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻓﹶﻼﹶ ﺟﻮﺳﺎ ﺭﺎﺀُ ﻳﻤ ﺍﻟﺴﻪﺘﺎﺑﺎﻡِ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺻ ﺍﻟﻄﱠﻌﺎﺣِﺐﺎ ﺻﺬﹶﺍ ﻳﺎ ﻫﻠﹶﻼﹰ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻣﺑ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ.ﻲ ﻣِﻨﺲ ﻓﹶﻠﹶﻴ ﻏﹶﺶﻦ ﻣﺎﺱ ﺍﻟﻨﺍﻩﺮ ﻳﺎﻡِ ﻛﹶﻲﺍﻟﻄﱠﻌ Artinya : “Bahwa Rasulullah SAW berjalan (melihat-lihat) tumpukan makanan, lalu beliau memasukan tangannya kedalam makanan tersebut. Jari beliau menemukan bahwa bagian bawah tumpukan makanan itu basah. Lalu beliau bertanya: “Ini apa, wahai pemilik makanan?” Dia menjawab: “Terkena hujan, ya
3
Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), H. 226-227.
66
Rasulullah.” Beliau bersabda: “Tidakkah seharusnya yang terkena hujan diletakkan dibagian atas makanan ini, sehingga orang-orang bisa mengetahuinya. Siapa yang menipu maka bukan termasuk golongan (umat) ku”. Dari hadits diatas secara tegas dijelaskan bahwa segala unsur penipuan yang berujung pada kerugian salah satu pihak dalam kegiatan perekonomian adalah suatu tindakan yang terlarang. Pada periode ini Rasulullah SAW telah meletakkan pondasi dasar sistem perekonomian yang sesuai prinsip-prinsp syari’at Islam.
2) Masa Sahabat (al-Khulafa al-Rasyidin) Setelah Rasulullah SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Tetapi pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi hisbah yang diangkat. Namun pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muhtasib dipegang sendiri oleh khalifah. Sahabat Umar Ibn al Khaththab merupakan salah satu al-Khulafa al-Rasyidin yang konsen didalam praktek dan pengembangan konsep hisbah. Wilayah Hisbah difokuskan juga pada kegiatan perekonomian masyarakat dan Negara. Melalui keberadaan Wilayah Hisbah ini, kegiatan pasar dapat dimonitoring dengan baik. Praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dicegah, pelanggaran terhadap peraturan kegiatan perekonomian dapat ditindak tegas sehingga geliat perekonomian dapat berkembang pesat sesuai dengan aturan syari’at Islam.
67
Berikut adalah beberapa contoh pelaksanaan wilayah hisbah dalam kegiatan perekonomian pada masa sahabat Umar Ibn al Khaththab : a) Memerangi Segala Bentuk Penipuan Dalam Perdagangan Umar Ibn al Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu mempunyai
perhatian
yang kuat untuk melawan penipuan dan melarangnya. Misalnya diriwayatkan bahwa beliau melarang mencampur susu dengan air dalam hal ini beliau memerintahkan penyerunya dan menyerukan : “Jangan campur susu dengan air.” Umar Ibn al Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu juga melawan segala penyimpangan terhadap larangan tersebut dengan sungguh-sungguh dan tegas. Buktinya adalah diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu ‘Anhu melihat seorang laki-laki yang mencampur susu dengan air untuk dijual, maka beliau meyiramkan susu itu kepadanya.”4 Persoalan yang ada bukan terletak pada dicampurnya susu dengan air tersebut, tetapi unsur penipuan yang dilakukan oknum padagang tersebut yang menyatakan bahwa susu tersebut adalah murni. Hal ini berbeda jika disebutkan bahwa susu tersebut sudah dicampur dengan air dengan disebutkannya jumlah kadar air tersebut. Dengan demikian segala tindakan yang mengandung unsur penipuan termasuk dalam kegiatan perekonomian adalah sesuatu yang sangat dilarang.
4
Jaribah bin Ahmad Al-Harisi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta, 2006), h.594
68
Dari keterangan diatas, terlihat secara jelas dan tegas Sahabat Umar Radhiyallahu ‘Anhu melakukan “intervensi” kegiatan pasar dengan tujuan memastikan bahwa tidak ada unsur penipuan dalam bentuk apapun pada kegiatan usaha masyarakat. b) Melarang Penimbunan dan Monopoli Pasar Umar sangat mendorong para pedagang untuk mengimpor barang agar terpenuhi kebutuhan pasar umat Islam, sebaliknya sikapnya keras dalam menghadapi para penimbun yang buru-buru membeli barang-barang tersebut, kemudian menimbunnya dari umat Islam, dan mengeluarkan perintahnya untuk melarang para penimbun barang untuk berjual beli dipasar umat Islam. Diantara perkataan umar dalam hal ini, : “Barang siapa yang datang ke tanah kami dengan barang dagangan, hendaklah dia menjualnya sebagaimana yang diinginkannya, dia adalah tamuku sampai dia keluar, dia adalah teladan kami, dan janganlah menjual di pasar kami seorang penimbun barang.” Umar juga berkata, “Tidak boleh ada penimbun barang dipasar kami, dan jangalah dipercaya orang-orang yang ditangannya ada kelebihan harta dari rizki Allah yang turun ditanah kami, maka mereka menimbunnya dari kami, akan tetapi siapa saja yang mengimpor dengan hartanya pada musim dingin dan panas, maka dia adalah tamu Umar, maka silahkan dia menjual sebagaimana Allah kehendaki, dan silahkan menahan sebagaimana Allah kehendaki.” Dalam riwayat lain disebutkan bahawa umar bin khatab keluar pasar, maka dia
69
melihat orang-orang menimbun sisa barangnya, maka umar berkata, “janganlah bersenang-senang! Allah Azza Wajalla memberikan kami rizki, sehingga ketika sampai kepasar kami beberapa kaum menimbun sisa barang mereka dari para janda dan orang-orang miskin, maka apabila para pengimpor datang mereka menjual sesuai apa yang mereka inginkan dengan sewenang-wenang.5 Pada kegiatan ini, wilayah hisbah yang diterapkan oleh Sahabat Umar memiliki peranan yang sangat besar dalam menegakan aturan pasar. Kegaiatan monopoli termasuk kegiatan penimbunan merupakan tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak. Pada sisi lain, beliau juga memeberikan
perhatian
khusus
dalam
pengembangan
kegiatan
perekonomian dengan cara mendorong kegiatan distribusi ekspor impor barang yang dibutuhkan masyarakat. c) Menjaga Kepentingan Umum Kepentingan umum yang dimaksud adalah pengaturan jalur sarana dan prasarana yang menunjang distribusi perdagangan seperti jalan, pasar, pelabuhan dll. Dalam hal ini konsep wilayah hisbah mengatur sekaliguis memberi jaminan bahwa sarana-sarana tersebut berfungsi untuk kepentingan umum dan mencegah penyalahgunaan dengan dikuasainya oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
5
Ibid, h.604
70
d) Pengawasan Harga Pasar Umar memiliki perhatian yang besar dalam mengikuti perkembangan harga dan mengawasinya. Ketika datang utusan kepadanya, maka dia bertanya tentang keadaan mereka dan harga-harga kepada mereka; “Tidak diragukan bahwa tingkat harga dianggap sebagai indikasi terbesar tingkat mata pencaharian, karena dia mempunyai pengaruh terhadap nilai mata uang. Bahkan naiknya harga merupakan indikasi tersbesar inflasi, dimana ketika terjadi inflasi, harga-harga naik tajam, dan hal tersebut menyebabkan berkurangnya nilai mata uang. Infalasi merupakan penyakit ekonomi yang berbahaya yang bisa menghalangi langkah pertumbuhan ekonomi atau memberhentikan sama sekali langkah tersebut.6 Mengenai persoalan harga pasar, konsep wilayah hisbah yang diterapkan oleh sahabat Umar mendapatkan perhatian serius. Menurukan harga dibawah pasar dengan maksud menjatuhkan pedagang lain adalah sesuatu tindakan yang dilarang karena dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Terdapat beberapa riwayat yang shahih mengenai sahabat Umar dalam memperhatiakan
persoalan
harga
diantaranya;
Abdul
Razzaq
meriwayatkan dari Ma’mar bahwa sampai kepadanya berita bahwa Umar Radhiyallahu ‘Anhu bertemu seseorang yang menjual makanan, dia telah
6
Ibid, h.611
71
menurunkan harga, maka Umar berkata kepadanya: “Keluarlah dari pasar kami dan juallah sesuai kehendakmu!”. Selain itu, ada riwayat yang menunjukan bahwa Umar Radhiyallahu ‘Anhu meminta pada beberapa penjual untuk menjual dengan harga pasar. Riwayat tersebut tidak menjelaskan harga yang diberlakukan oleh para penjual, apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari harga pasar. Diriwayatkan bahwa seseorang laki-laki datang membawa kismis dan menaruhnya di pasar, atau kamu pergi dari pasar kami. Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan satu harga. “Lalu diriwayatkan bahwa dia menyingkir dari mereka.”7 Dengan demikian keberadaan konsep wilayah hisbah dalam kegiatan perekomian yang dipraktekan sahabat Umar Ibn Al-Khattab pada dasarnya adalah usaha untuk menciptakan iklim usaha dan perekonomian yang sehat dan dinamis, melindungi kepentingan bersama, mewujudkan kesejahteraan masyarakata sesuai dengan aturan syari’at Islam.
3) Masa Daulah Umayyah Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat, kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Melihat adanya perdebatan dan kurangnya dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan
7
Ibid, h.613
72
kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka dimulailah masa imperium Daulah Umayyah dari 661 – 750 M. Peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan yaitu berada terpisah dengan kekuasaan pemerintah. Terbukti dengan adanya penentuan qadhi yang dipilih khalifah, dengan memiliki kewenangan memutus perkara kecuali dalam bidang hudud dan jinayat.8karena dua perkara tersebut bukan termasuk hisbah melainkan pada dasarnya merupakan sengketa yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa al-khalifah al-rasyidin. Dengan demikian, wilayah hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
4) Masa Daulah Abbasiyah Setelah Daulah Umayyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750 M-1225 M (132 H-656 H), umat Islam banyak mengalami kemajuan dalam segala bidang termasuk dalam lembaga peradilan, pada periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan,
8
Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 241.
73
lembaga peradilan dikepalai oleh qadhi al-qudhah yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam. Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan
berfungsi
untuk
memperkecil
perkara-perkara
yang
harus
diselesaikan oleh wilayah qadha. Pada masa pemerintahan Abbasiyah, kelembagaan hisbah masih sama dengan kelembagaan hisbah pada periode Umayyah, Namun kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya. Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral, yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral (kesusilaan) dan atau keselamatan masyarakat umum. Sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan,
74
memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minumminuman keras, perjudian, dan lain-lain.
5) Pendapat Ulama Tentang Konsep Wilayah Hisbah Dalam Kegiatan Perkenomian Konsep mu’amalah (kegiatan perekonomian) dalam Islam harus sejalan dengan aturan yang ditetapkan syari’at. Untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif, maka diperlukan sebuah lembaga Hisbah yang melakukan monitoring pasar sekaligus menjamin kegiatan usaha yang ditetapkan syari’at. Kegiatan monopili dan bentuk persaingan usaha tidak sehat adalah praktek yang dilarang karena dapat menimbulkan iklim uasaha yang tidak sehat dan merugikan salah satu pihak. Sebagai salah satu contoh pada kasus penimbunan yang dapat merugikan masyarakat. Imam an-Nawawi bahkan mengatakan: “Para Ulama berijma’ bahwa apabila seseorang memiliki makanan, dan orang-orang sangat membutuhkannya, dan tidak mendapatkan yang lainnya, maka dia harus dipaksa untuk menjualnya untuk mencegah bahaya dari orang-orang.”9 Dengan demikian, secara subsatntif, keberadaan wilayah hisbah khsususnya pada pengaturan kegiatan perekonomian baik secara
9
Jaribah bin Ahmad Al-Harisi, Fikih Ekonomi Umar …. ……. h.606
75
konseptual terlebih secara kelembagaan merupakan sebuah kebutuhan mutlak untuk menjamin terciptanya kegaiatan usaha dinamis dan sehat yang berioreintasi pada kesejahteraan masyarakat sesuyai dengan aturan syari’at Islam.
2. Tugas dan Wewenang Wilayah Hisbah Wilayah Hisbah mempunyai tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Kewenangan Wilayah Hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Wilayah Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, maka fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan) disetarakan. Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (fungsionaris pada lembaga hisbah). Seorang muhtasib memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar (manipulatif)
serta kecurangan, mengawasi standar
timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal,
juga aspek
76
sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik asusila dan lain-lain. Namun demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkaraperkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkaraperkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat Seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman melalui proses pengadilan. Di
samping itu,
Wilayah
Hisbah
juga
mempunyai
wewenang
menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir,
yaitu hukuman yang diputuskan
berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan Wilayah Hisbah juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. Tentu ketika menjatuhi hukuman, Wilayah Hisbah harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari’at (dzahara fi’luhu), atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at (dzahara tarkuhu). Karena itu Wilayah Hisbah tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangkaprasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat
77
sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka Wilayah Hisbah saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka. Sebab itulah, untuk tahap awal yang paling penting dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan kesadaran yang sempurna di kalangan masyarakat, baik dengan ceramah ataupun yang lebih bagus tingkah laku kongkrit para penguasa yang akan menjadi contoh rakyat. Petugas Hisbah yang menjalankan tugas amar ma’ruf nahi mungkar wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma’ruf dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang mungkar.
C. Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam Dalam pengujian tugas dan wewenang penyelenggaraan pengawasan terhadap tindak monopoli dan persaingan usaha di atur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 yaitu larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tugas dan wewenang KPPU selaku regulator terhadap pengawasan kegiatan usaha lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 35 dan 36 UndangUndang Nomor 5 tahun 1999 sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
78
Selanjutnya konsep wilayah hisbah dalam Islam merupakan institusi pengawas praktek penerapan nilai-nilai syari’at disemua sendi kehidupan masyarakat termasuk kegiatan perekonomian. Wilayah Hisbah dalam sistem ketatanegaraan Islam masuk kedalam ranah lembaga Qadhaiyyah (yudikatif). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Sedangkan kewenangan
pengawasan
terhadap
kegiatan
pelaku
usaha
dalam
sistem
ketatanegaraan Islam diserahkan kepada institusi yang bernama wilayah hisbah. Meskipun secara subtansi tugas dan wewenang diantara kedauanya (KPPU dan Wilayah Hisbah) memiliki persamaan, terdapat juga beberapa hal perbedaan. Berikut adalah beberapa hal yang berkaitan dengan persamaan dan perbedaan diantara keduanya : 1. Institusi Negara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lembaga Wilayah Hisbah, kedua-duanya merupakan institusi yang dibentuk oleh Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. KPPU merupakan produk konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan terbentuk secara kelembagaan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 75 Tahun 1999 tentang pembentukan sebuah komisi yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
79
Sedangkan Wilayah Hisbah secara substantif sudah ada pada awal
periode
Islam
(masa
Rasulullah
SAW)
meskipun
secara
kelembagaan belum terbentuk. Dalam prespektif ketatanegaraan Islam, Wilayah Hisbah dibentuk sebagai institusi Negara dimulai ketika masa khulafaur rasyidin. 2. Fungsi Pengawasan dan Penindakan Secara prinsip dalam hal Pengawasan dan penindakan terhadap pelaku usaha yang melanggar aturan, KPPU dan Wilayah Hisbah memiliki fungsi yang sama. Dalam prakteknya keduanya memiliki perananan yang berbeda. KPPU dapat menjatuhkan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan pelaku usaha yang dikenakan sanksi dapat mengajukan keberatan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi (Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung). Sedangkan kewenangan menjatuhkan sanksi pada Wilayah Hisbah hanya sebatas pada persoalan dzahir (yang sudah jelas pelanggarannya) dan bentuk sanksi yang diberikan adalah berupa ta’zir atau bentuk hukuman yang berdasarkan pertimbangan muhtasib (petugas hisbah). Pada kasus yang memerlukan investigasi lebih lanjut, Wilayah Hisbah menyerahkan peersoalan tersebut kepada lembaga Qadhi (kehakiman). 3. Cakupan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki kewenangan secara khusus mengawasi pelaku usaha dari tindak monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sedangkan Wilayah Hisbah memiliki cakupan yang lebih
80
luas tidak hanya kepada persoalan kegiatan perekonomian saja tetapi juga seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah keburukan). 4. Sumber Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu wilayah kegiatan usaha yang diawasi adalah segala bentuk usaha yang legal secara hukum di Indonesia. Sedangkan dalam konsep Wilayah Hisbah sumber-sumber hukum berdasarkan syari’at Islam sehingga kegiatan usaha yang diawasi dalam praktek usaha yang halal atau dibenarkan dalam ajaran Islam. Sebagai contoh kegiatan usaha industri minuman keras atau perbankan yang mengandung unsur riba, maka kegiatan ini jelas-jelas dilarang bukan karena persoalan karena ada praktek monopoli, tetapi karena secara substansi kegiatan usaha ini dilarang dalam syari’at Islam.
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan Secara sederhana praktek monopoli merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sebagai mahluk yang egosentris, naluri manusia adalah ingin menguasai orang lain dalam berbagai hal termasuk dalam kegiatan perekonomian. Sifat inilah yang dikemudian hari mengarah pada bentuk-bentuk monopolistik. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, merupakan angin segar untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Iklim usaha yang kondusif dan sehat
merupakan keadaan yang sejalan dengan salah satu cita-cita kemerdekaan Negara Republik Indonesia, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Negara menjamin terbangunnya sebuah tatanan kegiatan perekonomian yang sehat. Oleh karenanya, kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan amanat konstitusi untuk menjamin terciptanya kondisi perekonomian yang sehat di Indonesia. Dalam prespektif Islam segala bentuk tindakan dan kegiatan yang merugikan orang lain adalah sesuatu yang dilarang. Termasuk dalam kegiatan perekonomian 81
82
(mu’amalah). Meskipun dalam sejarah sistem ketatanegaraan Islam tidak dijelaskan secara eksplisit lembaga yang secara spesifik khusus menangani persoalan kegiatan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, tetapi
secara subtantif, fungsi
pelarangan, pengawasan dan penetapan sanksi terhadap pelaku usaha yang merugikan orang lain sudah ada dan melekat pada sebuah institusi yang disebut wilayah hisbah. Dikatakan tidak spesifik mengawasi kegiatan perekonomian karena institusi ini menjalankan fungsinya lebih luas yakni amar ma’ruf nahi munkar dalam semua sendi kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai regulator pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diperlukan penguatan tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penguatan tugas dan wewenang ini mutlak dilakukan agar KPPU dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik lagi. Selanjutnya mengenai keberadaan Wilayah Hisbah dalam prespektif ketanegaraan Islam memiliki tugas dan fungsi yang hamper sama dengan KPPU. Tugas dan wewenang Wilayah Hisbah secara umum adalah sebagai berikut : 1. Melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks luas. 2. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan perekonomian dan perdagangan 3. Pengawasan bidang pertanian dan kehidupan social 4. Memberikan sanksi (ta’zir) yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’.
83
Meski terdapat beberapa perbedaan secara prinsipil, pada dasarnya keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sistem kelembagaan di Indonesia dan konsep Wilayah Hisbah dalam prespektif ketatanegaraan Islam memiliki benang merah yang sama yaitu terciptanya iklim usaha yang kondusif dan sehat yang pada gilirannya akan menciptakan pemerataan dan kemajuan sektor ekonomi berdasarkan kepentingan
bersama yang bermuara pada kesejahteraan
masyarakat luas.
B. Saran Berkaitan dengan hasil analisi terhadap pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang megatur tugas dan kewenangan KPPU, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Meski
dalam
kewenangannya
KPPU untuk
melakukan
penelitian
dan
penyelidikan terhadap pelaku dan atau kegiatan usaha yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999, tetapi lebih jauh KPPU tidak berwenang melakukan penggeledahan. Oleh karena itu dalam rangka penguatan wewenang KPPU diperlukan regulasi yang memungkinkan KPPU memiliki kewenanangan melakukan penyidikan terhadap pelaku dan atau kegiatan usaha yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999 sehingga tugas dan wewenang KPPU lebih efektif.
84
2. Diperlukan kerjasama yang lebih baik antara KPPU dengan semua element masyarakat dan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga lebih efektif dalam mencegah dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran terhadap pelaku dan atau kegiatan usaha yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999. 3. Perlunya sosialisasi dan publikasi yang lebih intensif mengenai keberadaan KPPU dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kepada semua pelaku usaha terutama kalangan pelaku usaha kecil.
Melalui penguatan tugas dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan dukungan kerjasama yang baik dengan semua pihak, diharapkan KPPU lebih dapat menciptakan kondisi kegiatan usaha yang sehat dan kondusif. Jika kondisi ini tercapai pada akhirnya akan menciptakan pertumbuhan iklim perekonomian nasional yang dinamis berasaskan keadilan dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Al-Bahansawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam. Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996. Al-Haritsi, Jariban bin Ahmad. Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khaththab. Penerjemeh H. Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Al-Maududi, Abu Al-A’la. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Cet III. Penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993. Al-Mawardi. Al-Akhkam A-Shuthaniyyah wal-wilaadatud-diniyyah. Penerjemah Fadli Bahri. Jakarta: PT. Darul Falah, 2006. Al-Mubarak,
Muhammad. Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam.
Penerjemah Firman Hariyanto. Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995. An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah, dan RealitasEmpirik, Penerjemeh Moh. Maghfur Wachid. Bangil: Penerbit AlIzzah, 1997. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Asad, Muhammad. (Leopoldweiss). Masalah Kenegaraan Dalam Islam. Penerjemah Hoesin, Oemar Amin
dan Djamil, Amiruddin. Jakarta: Yayasan
Kesejahteraan Bersama, t.th.
85
86
Asshiddiqie, Jimly.
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, cet.II. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. ------------------------. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Cet. III. Jakarta: Konstitusi Press. 2006. Asshiddieqy, T. M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Cet.II. Edisi.II. Semarang: pt. Pustaka Rizki Putra, 2001. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1982. Djaelani, Abdul Qadir. Negara Islam Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Hajmy, A. Dimana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984. Hasan, Muna ‘Abd al-Ghani. Al-Qadha fi al-Hayah as-Siyasiyyah wa al-Ijtima’iyyah fi Misr fi al-‘Asr al-Mamluki. Kairo. Universitas Al-Azhar, 1415 H/ 1994 M. Iqbal, Hakim Javid. Dalam Masalah-masalah Teori Politik Islam, cet. III. Bandung: Mizan, 1996. Lubis, Andi
Fahmi, Dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.
Jakarta: KPPU-RI,2009. Mufid, Nur dan Fuad, Nur. Bedah Al-Akhmamussulthaniyyah: Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah. Surabaya: Pustaka Prosessif, 2000. Ma’luf, Louis. Kamus Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam. Beirut: Daar alMashriq, 1973.
87
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Madzkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam. Penerjemah AM, Imron. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993. Ritonga, Rahman. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996 Roestandi, Achmad. Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006. Rohadi, abd. Fatah. Islam and Good Governance, ijtihad politik umar bin Abdul Aziz. Jakarta: Lekdis, 2007. Zallum, Abdul Qadim. Sistem Pemerintahan Islam. Penerjemah: M. Maghfur W. Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002.
Per-Undang-undangan Repubik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817. Repubik Indonesia. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4429. Repubik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia
88
Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. Repubik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252. Repubik Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 39. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889. Repubik Indonesia. Keppres Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingah Usaha. Data website KPPU di Garda Depan Edukasi Hukum Persaingan Usaha, artikel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada: http://www.kppu.go.id/baru/favicon.ico Komisi Pengawas Persaingan Usaha, artikel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada: http://id.wikipedia.org/apple-touch-icon.png Hisbah dan Peranannya dalam Ekonomi, artkel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada: http://ekisonline.com/images/favicon.ico Budi L. Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007. 6 Juli 2009 http:// www.reformasihukum.org http://www.kemenkumham.go.id/unit/ditjen-ahu/home, diakses pada tanggal 20 mei 2011
89
http://www.kemenperin.go.id/Content102.aspx?kd_unit=000000,
diakses
pada tanggal 20 mei 2011
http://www.kemendag.go.id/tupoksi_direktorat_jenderal_perdagangan_dalam _negeri/, diakses pada tanggal 20 mei 2011 www.kppu.go.id www.jimly.com