101
kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan hukum yang dimaksud tersebut tidaklah hanya menitikberatkan pada jangka waktu selama lima tahun dapat digugat atau tidak, tetapi harus memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut diterbitkan apakah telah melalui prosedur yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu diingat juga bahwa kepemilikan tersebut tidak terlepas dari adanya hubungan kausalitas atas perbuatan hukum berupa perjanjian dengan Hadi Suripno sebagai alas hak terbitnya sertifikat hak atas tanah tersebut. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang mengakibatkan adanya cacat hukum maka dapat mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Sesuatu dianggap batal demi hukum maka dianggap tidak pernah terjadi atau tidak pernah dilakukan. Oleh karena itu maka bagi Bank Bapindo perlindungan yang bisa diberikan oleh hukum hanyalah dengan menggugat secara perdata kepada Hadi Suripno sebagai pihak yang bertanggungjawab melakukan perbuatan melawan hukum untuk menuntut kerugian yang ditimbulkan atas tanah yang merupakan obyek sengketa sedangkan kepada PT. PLN, Tbk dan Ny. Slamet Kahono dikarenakan bukan merupakan pihak yang turut ditarik dalam perkara ini secara langsung maka kepemilikan tanah kedua pihak tersebut masih dapat dipergunakan sepanjang Pemohon
102
Kasasi yang telah dinyatakan menang dalam perkara a quo tidak memproses dengan mengajukan gugatan baru kepada kedua pihak tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 1056K/Pdt/1999. Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan (kedwitunggalan), bahwa pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan. 84 Dalam kerangka berpikir ini maka hak-hak perseorangan atas tanah tidak mutlak tetapi selalu ada batasnya yakni kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Perlindungan hukum yang diberikan kepada para pihak setidaknya tidak melupakan hal tersebut. Pemahaman peraturan perundang- undangan setidaknya oleh para pihak tidak hanya diterapkan sebatas pada keadilan kepentingan pribadinya yang bersifat reaktif, namun lebih dari itu setidaknya perlindungan hukum yang diberikan harus dapat dipahami secara reflektif bahwa hak- hak perseorangan atas tanah tidak mutlak tetapi selalu ada batasnya yakni kepentingan orang lain yang secara sah memiliki hak atas tanah tersebut.
84
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hlm.158.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bantul dan membatalkan putusan dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta telah sesuai dengan fakta dalam proses persidangan, peraturan hukum serta asas hukum yang berlaku berkaitan dengan sertifikat hak atas tanah yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga memberikan hak kepada pemoho n kasasi yang dinyatakan menang dalam berperkara untuk mengajukan proses pembatalan sertifikat dan atau pencabutan sertifikat hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional atas nama Hadi Suripno selaku termohon kasasi I. Hakim menimbang bahwa kepemilikan sertifikat hak atas tanah tersebut didapat dengan adanya cacat hukum karena terbukti secara sah dan meyakinkan tanah obyek sengketa merupakan tanah warisan dari (alm.) Karsopawiro yang merupakan orang tua dari Mulyorejo selaku pemohon kasasi. Perbuatan me lawan hukum yang dilakukan oleh Hadi Suripno dengan mendaftarkan obyek sengketa atas nama dirinya sendiri berdasarkan tipu muslihat maka memenuhi ketentuan adanya cacat yuridis dalam pembuatan sertifikat hak atas tanah. Putusan a quo sudah tepat sesuai dengan sistem pendaftaran tanah di Indonesia yaitu sistem publikasi negatif dengan unsur positif.
103
104
2. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 716/K/Sip/1973 tanggal 5 September 1973 maka pemohon kasasi tidak dapat serta merta merasakan langsung
kepastian
hukum
dari
putusan
Mahkamah
Agung
No
1056K/Pdt/1999 karena pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah. Kemenangan dalam berperkara di pengadilan baru sebatas kemenangan diatas kertas karena pihak yang dinyatakan menang harus mendaftarkan putusan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional dan tunduk pada ketentuan yang berlaku di BPN karena pengeluaran/pencabutan dan pembatalan surat sertipikat adalah semata- mata wewenang dari kantor pendaftaran tanah dan pengawasan pendaftaran tana h, bukan termasuk wewenang pengadilan negeri. 3. Dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah serta perlindungan hukum terhadap pihak ketiga sebagai pemegang hak atas tanah, maka dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA mengatur pengertian bahwa sertipikat tanah sebagai surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat tanah merupakan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan
105
perbuatan hukum sehari- hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Ketentuan tersebut dilaksanakan dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang secara umum menyatakan bahwa setelah lima tahun sejak diterbitkan, sertipikat tanah tidak dapat digugat kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan hukum yang dimaksud tersebut tidaklah hanya menitikberatkan pada jangka waktu selama lima tahun dapat digugat atau tidak, tetapi harus memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut diterbitkan apakah telah melalui prosedur yang bena r dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Perjanjian jual beli menjadi alas hak bagi kepemilikan dan beralihnya sertifikat hak atas tanah yang dilakukan oleh Hadi Suripno selaku Termohon Kasasi I dengan pihak ketiga. Perjanjian tunduk pada ketentuan dalam KUH Perdata maka dalam syarat sahnya perjanjian terdapat klausula causa yang halal. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan dan atau dianggap tidak pernah ada. Pelanggaran terhadap hal tersebut sama dengan pelanggaran terhadap asas nemo plus juris yang merupakan asas dimana seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang dimilikinya. Secara materiil penjual sudah tidak berhak lagi atas obyek perjanjian meskipun secara formil sertifikat tersebut masih tercatat atas nama penjual. Oleh karena itu maka bagi pihak yang terkait langsung dan ditarik sebagai pihak yang berperkara dapat mengajukan gugatan
106
kepada Penjual dengan terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum yang dapat menuntut adanya ganti kerugian sedangkan bagi pihak yang terkait langsung namun tidak ditarik sebagai pihak yang berperkara maka putusan a quo tidak dapat dilaksanakan kepada pihak tersebut. Pengadilan tidak berwenang untuk karena jabatan menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai tergugat, karena hal tersebut bertentangan dengan asas acara perdata.
B. SARAN 1. Hakim memahami secara formal dan materiil mengenai sistem pendaftaran tanah di Indonesia sehingga jika unsur-unsur bagi dapat dibatalkannya kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah terpenuhi akibat hukum dari putusan tersebut dimungkinkan untuk menjangkau kepentingan pihak lain yang tidak terlibat langsung. Ketepatan dan kebijaksanaan hakim dalam merumuskan amar putusan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan. Apabila rasa keyakinan hakim belum terpenuhi dalam menjatuhkan putusan, hakim yang menangani suatu perkara dapat memperoleh keterangan atau penjelasan tambahan dari para ahli yang ahli dibidangnya untuk memperkuat dasar putusan dan mengantisipasi agar putusan yang dikeluarkan tidak menjadi putusan yang kurang tepat, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan karena hakim kurang menggali keterangan
dan
ditanganinya.
penjelasan
mengenai
permasalahan
yang
sedang